Pencarian

Bukit Siluman 3

Pendekar Mata Keranjang 24 Bukit Siluman Bagian 3


nya. "Celaka jika kipas ini sampai jatuh ke tangannya!" desisnya seraya geser
tubuhnya ke atas.
Hantu Berjubah menyeringai dan teruskan
juluran tangannya yang mengarah pada pinggang
Pendekar 108. Sejengkal Lagi tangan Hantu Ber-
jubah sampai ke pinggang Pendekar 108 menda-
dak dua larik sinar kuning menggebrak ke arah-
nya, membuat laki-laki berjubah hitam ini meng-
hambur ke samping sambil keluarkan makian
panjang pendek. Di kejap lain terdengar suara
'brakkk'. Pohon yang tinggal separo karena tum-
bang terkena hempasan tubuh Pendekar 108 ter-
hampar berhamburan terkena pukulan yang lolos
menghajar Hantu Berjubah. Pendekar Mata Ke-
ranjang sendiri meski selamat namun tubuhnya
tersapu dan kembali mencelat sebelum akhirnya
jatuh terkapar dengan mulut dan hidung makin
banyak keluarkan darah.
"Setan alas! Siapa bangsatnya yang cari
mati ini, hah"!" teriak Hantu Berjubah seraya
sentakkan kepalanya ke samping arah mana pu-
kulan tadi datang.
Merasa jiwanya masih selamat, Pendekar
Mata Keranjang 108 segera buka sepasang ma-
tanya. Sekujur tubuhnya terasa ngilu bukan
main. Dia coba kerahkan tenaga dalam untuk
mengatasi, namun tidak banyak menolong. Hing-
ga akhirnya dia hanya dapat miringkan tubuh
dengan mata memandang ke depan. Karena agak
jauh dan matanya masih sedikit kabur murid
Wong Agung ini tidak bisa mengenali siapa
adanya orang yang menahan gerak tangan Hantu
Berjubah yang hendak mengambil kipas dari
pinggangnya. Dia hanya bisa menangkap tiga so-
sok tubuh yang tegak agak jauh dari tempatnya
Hantu Berjubah.
Di depan sana, sentakan kepala Hantu
Berjubah tertahan sebelum setengah jalan. Di situ sepasang matanya melihat
seorang laki-laki mengenakan rompi berwarna hitam. Rambutnya pan-
jang dan digelung ke atas. Tubuhnya kecil kurus
dengan tangan kanan memegang bambu kuning
sebesar ibu jari tangan yang panjangnya tiga
jengkal. Ujung bambu itu ditempelkan ke mulut-
nya seperti hendak meniup seruling. Setiap dia
monyongkan bibir terdengar suara merdu seperti
suling ditiup! Padahal ujung bambu itu tidak ber-
lubang! Hantu Berjubah menyeringai, lalu gerak-
kan kepalanya lagi sedikit ke kiri. Di situ tegak seorang laki-laki berusia
tujuh puluh tahunan.
Rambutnya telah putih dan panjang. Raut wajah-
nya bengis. Tubuhnya yang tinggi kekar terlapis
oleh pakaian terbuat dari kulit ular.
Hantu Berjubah tersenyum sinis dan din-
gin, lalu gerakkan Lagi kepalanya. Di situ dia melihat seseorang yang sudah
sangat dikenalnya.
Seorang perempuan berumur tiga puluh lima ta-
hunan berwajah jelita mengenakan pakaian war-
na putih tipis yang di bagian dadanya dibuat ren-
dah menampakkan sembulan buah dadanya.
"Hem.... Perempuan sundal ini berhasil
menggaet Dewa Setan dan Mata Malaikat.... Kepa-
rat betul! Gara-gara dia urusan jadi berantakan!"
Hantu Berjubah sengatkan sepasang matanya
pada wanita berpakaian putih tipis. Lalu meng-
hardik garang. "Bidadari Penyebar Cinta! Aku masih me-
mandangmu sebagai sahabat, lekas enyah dari
sini!" Bidadari Penyebar Cinta tertawa panjang hingga dadanya turun naik.
"Hantu Berjubah! Peduli setan kau me-
mandangku sebagai apa! Yang pasti begitu kau
keluar dari sarangmu akulah yang berhak atas
putus tidaknya nyawamu!"
Sementara Hantu Berjubah dan Bidadari
Penyebar Cinta perang mulut, dua orang di samp-
ing Bidadari Penyebar Cinta seolah acuh saja. La-
ki-laki setengah baya berompi hitam yang meme-
gang bambu kuning arahkan pandangannya ke
jurusan lain dengan ujung bambu tetap berada
dicelah-celah bibirnya. Suara merdu seperti seruling ditiup itu makin lama makin
keras. Laki-laki
ini dalam rimba persilatan dikenal dengan gelaran Dewa Setan. Sedangkan laki-
laki tua berpakaian
dari kulit ular dalam kancah persilatan digelari
dengan Mata Malaikat.
Hantu Berjubah arahkan pandangannya
pada Dewa Setan dan Mata Malaikat. "Dewa Se-
tan, Mata Malaikat! Apa kalian juga ingin mati
bersama perempuan sundal ini"! Hah..."!"
Dewa Setan tidak berpaling, demikian pula
Mata Malaikat. Hanya sesaat kemudian mulut
Mata Malaikat bergerak menutup lalu membuka
dan terdengarlah ucapannya. "Mati bersama perempuan cantik lebih enak daripada
berkalang tanah sendirian, Hantu Berjubah!" Habis berkata begitu, mulut Mata Malaikat
terus membuka tak
menutup lagi. "Jika itu mau kalian akan kuturuti! Berse-
nang-senanglah di akhirat sana dengan perem-
puan sundal ini!"
Mendengar dirinya disebut perempuan
sundal, Bidadari Penyebar Cinta jadi naik pitam.
Sekali sentakkan kedua tangannya dua sinar
berwarna kuning terang melesat. Di lain kejap si-
nar itu mengembang lalu menyergap ke arah Han-
tu Berjubah. Perempuan ini telah lepaskan puku-
lan sakti 'Sinar Mentari'.
Mendengar deru angin dari sampingnya,
tanpa menoleh lagi Mata Malaikat dan Dewa Se-
tan telah tahu jika Bidadari Penyebar Cinta telah memulai serangan. Mendadak
Dewa Setan angkat
tangan tinggi-tinggi. Bambu kuning pendek di
tangannya disentakkan.
Tarrr! Tarrr! Bukan hanya suaranya yang menusuk
gendang telinga, namun pada saat bersamaan ge-
sekan bambu dengan udara memuntahkan perci-
kan api yang kemudian melesat ke arah Hantu
Berjubah. Mata Malaikat tak tinggal diam. Begitu
bambu kuning disentakkan, dia memutar diri
membelakangi. Tiba-tiba kedua tangannya dihan-
tamkan ke belakang. Meski hantaman itu pelan,
tapi bersamaan dengan itu terdengar suara lak-
sana ombak lalu tampak asap putih bergerak ce-
pat. Asap itu bergerak turun naik makin lama
makin besar. Mendapati tiga serangan sekaligus mem-
buat Hantu Berjubah tercekat. Dia sama sekali
tak menduga jika tiga orang itu akan kirimkan se-
rangan secara bersamaan. Belum sempat dia ber-
pikir hendak menangkis yang mana, sinar kuning
telah melabrak! Membuatnya harus cepat meng-
hindar untuk memapak bambu yang datang me-
nyusul. Laki-laki berpakaian hitam ketat ini cepat berkelebat ke samping sambil
kibaskan tangan
kanannya. Sinar kuning pukulan Bidadari Penye-
bar Cinta melenceng dan terus menerabas.
Hantu Berjubah teruskan kelebatannya la-
lu tangan kirinya menyambut bambu sementara
tangan kanannya menyentak menghantam asap
putih yang kini setengah tombak di hadapannya.
Plaaarrr! Blaaammm!
Bambu kuning pendek milik Dewa Setan
mental balik. Laki-laki ini berseru tertahan ketika
merasakan tangannya seperti lumpuh dan tu-
buhnya terdorong mental ke belakang. Dia masih
dapat menguasai tubuh agar tak jatuh, namun di
saat terjadi ledakan dahsyat ketika pukulan Han-
tu Berjubah bentrok dengan pukulan Mata Malai-
kat membuat dirinya terhuyung kembali dan ak-
hirnya jatuh berlutut dengan tangan ngilu dan
hampir saja bambunya jatuh. Sedangkan Mata
Malaikat terdorong ke depan. Tapi orang ini sege-
ra julurkan kedua tangannya hingga kejap kemu-
dian dia bisa berdiri tegak, tak bergeming sedikit pun! Di seberang, Hantu
Berjubah berteriak keras. Meski tangan kirinya tidak mengalami cede-
ra, namun benturan dengan bambu kuning mem-
buat tangannya seakan hendak putus. Aliran da-
rah di tangannya mampet. Lalu tampak jubahnya
robek memanjang di bagian tangan kiri. Kalau dia
dapat mengimbangi bambu kuning, tidak demi-
kian halnya ketika pukulannya bentrok dengan
pukulan Mata Malaikat. Begitu ledakan terdengar,
tubuhnya langsung terseret naik turun mengikuti
sapuan angin yang menyertai asap putri yang te-
lah ambyar. Meski Hantu Berjubah kerahkan te-
naga dalam, dia tak bisa mengatasi sapuan angin
naik turun itu hingga kejap kemudian tubuhnya
terjerembab dengan napas ter-engah-engah. Da-
rah tampak keluar dari sudut bibirnya.
Pendekar Mata Keranjang sendiri yang tadi
berada agak jauh di belakang Hantu Berjubah
sempat tercekat ketika mendapati sinar kuning
yang berhasil dihindari Hantu Berjubah melen-
ceng dan lurus melabrak ke arahnya! Murid Wong
Agung ini coba menghindar dengan bergulingan
ke tanah. Namun belum sempat tubuhnya berge-
rak, sinar itu telah menghajar.
Pada saat genting itulah, Pendekar 108 me-
rasakan tubuhnya terangkat. Entah menduga itu
akibat pukulan yang menghajarnya dia segera pe-
jamkan sepasang matanya. Dia lalu merasakan
tubuhnya melayang turun. Pendekar 108 makin
rapatkan matanya. Dia seakan sudah pasrah un-
tuk jatuh menghantam tanah karena tenaganya
sudah terkuras juga karena mengalami cedera.
Namun murid Wong Agung ini jadi terpe-
rangah ketika mendapati tubuhnya bagian bawah
didorong pelan dari bawah lalu tubuhnya melesat
ke depan. Begitu hampir menyuruk tanah lagi,
dorongan itu menyentak lagi, membuat tubuhnya
melesat lagi ke depan. Begitu terus menerus hing-
ga pada suatu saat dorongan itu tak lagi dirasa-
kan. Pendekar Mata Keranjang cepat membuka
sepasang matanya. Pada saat bersamaan tubuh-
nya telah bergulingan di atas tanah!
Ketika suasana sirap, Hantu Berjubah ter-
kejut. Dia tidak melihat sosok Pendekar Mata Ke-
ranjang! Dia edarkan pandangannya. Tiga orang
di depan sana sudah bangkit berdiri.
Hantu Berjubah menarik napas. Dadanya
laksana ditusuk ribuan jarum. Dia maklum, terla-
lu berbahaya dalam keadaan cedera seperti ini
menghadapi tiga lawan. Untuk mengimbangi De-
wa Setan dan Bidadari Penyebar Cinta mungkin
dia masih sanggup menandingi. Namun dia mera-
sa sedikit jera menghadapi Mata Malaikat. Dia
memang tidak begitu mengenal laki-laki berpa-
kaian kulit ular itu, namun dari gerakan aneh
serta pukulannya, Hantu Berjubah sadar jika Ma-
ta Malaikat memiliki ilmu lebih tinggi dari teman-temannya. Dia tahu, waktu
lepaskan pukulan,
Mata Malaikat belum kerahkan seluruh tenaga
dalamnya namun itu telah membuatnya kalang
kabut. Menyadari semua itu diam-diam Hantu
Berjubah jelalatan kian kemari.
"Bidadari Penyebar Cinta jahanam! Urusan
belum selesai. Saatnya akan tiba!"
Bidadari Penyebar Cinta tertawa panjang.
"Hantu Berjubah! Sudah kukatakan putus tidaknya nyawamu adalah hakku! Jangan
mimpi bisa lari dari tanganku!" Habis berkata begitu kedua tangannya dihantamkan ke arah
Hantu Berjubah.
Namun laki-laki berjubah hitam ini telah berkele-
bat lebih dahulu meninggalkan tempat itu. Puku-
lan Bidadari Penyebar Cinta menghantam tanah.
Tanah itu langsung terbongkar dan berhamburan
ke udara. "Setan alas! Kenapa kalian diam saja"!" te-gur Bidadari Penyebar Cinta pada Dewa
Setan dan Mata Malaikat. Dewa Setan berpaling dan
hanya tersenyum. Sementara Mata Malaikat ber-
kata. "Sasaran sudah lenyap, perlu apa buang-buang tenaga"!"
Ucapan Mata Malaikat seakan menyadar-
kan Bidadari Penyebar Cinta. Dia segera meman-
dang berkeliling. Rahangnya seketika bergemele-
takan dan tubuhnya bergetar.
"Jahanam! Anak itu ke mana larinya"
Hem.... Dia sudah cedera, pasti belum jauh. Kita
kejar!" kata Bidadari Penyebar Cinta seraya memberi isyarat untuk segera
tinggalkan tempat itu.
Dewa Setan bergerak hendak berkelebat menurut
kehendak Bidadari Penyebar Cinta, tapi tidak de-
mikian halnya dengan Mata Malaikat. Kakek ini
malah duduk! "Mata Malaikat! Apa kau hanya akan du-
duk di situ"!" bentak Bidadari Penyebar Cinta geram. Mulut Mata Malaikat
membuka. Lalu ter-


Pendekar Mata Keranjang 24 Bukit Siluman di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dengar dia berucap.
"Menurut perjanjian, hanya sampai hari ini
kita bersama-sama. Sekarang kita jalan sendiri-
sendiri! Kalian mengikuti ke mana kaki kalian
melangkah, aku menuruti langkah ke mana kaki
mengajak...."
"Keparat!" maki Bidadari Penyebar Cinta tambah geram. Tangan kanannya berkelebat
menghantam ke arah kepala Mata Malaikat di
samping bawahnya. Namun tangan kanan sang
Ratu hanya menghajar tempat kosong. Berpaling,
perempuan berparas cantik ini kertakkan rahang,
dilihatnya Mata Malaikat telah membuat gerakan
meloncat-loncat masih dalam posisi duduk. Bida-
dari Penyebar Cinta angkat kedua tangannya
hendak lepaskan pukulan namun terlambat ka-
rena di lain kejap sosok Mata Malaikat telah le-
nyap laksana ditelan bumi!
SEPULUH PENDEKAR Mata Keranjang angkat kepa-
lanya yang berdenyut pusing. Seraya membuka
kelopak matanya dia berpaling ke kanan. Tak ada
siapa-siapa. Lalu sambil mengusap-usap dadanya
dia palingkan kepala ke kiri. Aji jadi terhenyak.
Delapan langkah di samping kirinya tegak seo-
rang perempuan tua berambut putih setengkuk
mengenakan jubah kembang-kembang dengan
mulut bergerak-gerak. Dia berkacak pinggang
dengan matanya yang sipit memandang ke arah
Pendekar 108 tak berkedip. Di samping si nenek
berdiri seorang lelaki berwajah amat tampan,
bahkan mendekati cantik, mengenakan pakaian
seorang perempuan.
"Peri Kupu-kupu.... Setan Pesolek...," desis Pendekar 108 mengenali siapa adanya
dua orang itu. Hanya sampai di situ pernyataan yang keluar
dari mulutnya. Tapi, di hati pemuda ini serente-
tan perkataan meluncur. Pernyataan bernada
bingung. "Bagaimana Setan Pesolek bisa muncul bersama nenek-nenek ini. Malah,
kelihatannya mereka berdua seperti dua orang sahabat baik."
Dengan benak yang masih dipenuhi rasa
bingung, Pendekar 108 berusaha untuk bangkit.
Namun, dia terhuyung dan kembali terkapar. Ki-
kih tawa perempuan keluar dari mulut Setan Pe-
solek, mengiringi ambruknya tubuh Pendekar
108. "Bagaimana sekarang?" tiba-tiba si nenek
yang bukan lain Peri Kupu-kupu adanya buka
mulut sambil berpaling pada lelaki banci di sebe-
lahnya. Si banci yang bukan lain dari Setan Peso-
lek adanya menghentikan tawanya. Dirapikan du-
lu rambutnya seraya menarik kepalanya ke bela-
kang. Gerak-geriknya memang mirip perempuan!
"Tenang, Peri...," Setan Pesolek menyahut seraya gerak-gerakkan kedua tangannya.
"Pulih-kan dulu keadaannya. Dia terluka...."
Peri Kupu-kupu menyeringai lalu melang-
kah ke arah Aji.
"Nenek.... Terima kasih. Kau telah meno-
longku." Peri Kupu-kupu tak menyambuti ucapan
Aji. Malah dia selinapkan tangan kanannya ke
saku jubah kembang-kembangnya. Ketika tangan
itu ditarik tampak segumpal benda lunak berwar-
na hitam di tangannya.
Tangan Peri Kupu-kupu yang memegang
gumpalan benda lunak menjulur ke depan. "Isap di mulutmu!"
Mungkin merasa jijik, Aji tak sadar malah
katupkan mulutnya rapat-rapat. Lalu meman-
dang Peri Kupu-kupu dengan pandangan tak per-
caya. Peri Kupu-kupu condongkan tubuhnya ke
depan. Tiba-tiba tangan kirinya menyambut dagu
Aji lalu ditarik sedikit ke bawah, hingga mulut Aji terbuka. Aji bertahan dengan
coba katupkan kembali mulutnya. Namun gumpalan benda hi-
tam itu telah lebih dahulu masuk.
"Lakukan apa yang kukatakan! Isap di mu-
lutmu!" bentak Peri Kupu-kupu lalu kacak ping-
gang. Di lain saat tiba-tiba suara tawanya mele-
dak. Pendekar 108 merasa tenggorokannya lak-
sana dimasuki api. Dia tersedak dan hendak me-
muntahkan gumpalan benda itu. Namun di-
urungkan ketika Peri Kupu-kupu tampak berpal-
ing dan memandangnya dengan mata berkilat-
kilat. Perlahan-lahan dengan napas ditahan-
tahan murid Wong Agung ini melakukan seperti
apa yang diperintahkan Peri Kupu-kupu. Begitu
dapat tiga isapan, Pendekar 108 merasakan tu-
buhnya hangat. Perlahan-lahan pula rasa ngilu di
sekujur tubuhnya lenyap. Pandangan matanya
makin tajam. Mendapati hal demikian, Pendekar
108 terus mengisap gumpalan benda di dalam
mulutnya. Dalam sekejap tubuhnya terasa rin-
gan. Darahnya normal. Dia segera bangkit lalu
membungkuk dalam-dalam. Dia mau mengu-
capkan terima ka-sih. Namun tersengal karena
mulutnya masih ter-sumpal gumpalan benda lu-
nak kehitaman. "Simpan obat itu!" kata Peri Kupu-kupu la-lu melangkah kembali ke arah Setan
Pesolek. Mu- rid Wong Agung keluarkan gumpalan benda lunak
yang tak diketahui namanya, dari mulutnya lalu
disimpan di balik pakaiannya. Murid Wong Agung
lalu menjura dalam sambil berkata. "Terima kasih atas pertolongan kalian
berdua...."
"Nanti saja berbasa-basi, Bocah! Sekarang
ada sesuatu yang harus kau dengar dan perhati-
kan!" Peri Kupu-kupu berkata separo menghar-
dik. Sementara Setan Pesolek malah keluarkan
cermin batunya. Cermin itu didekatkan ke wajah-
nya. Manusia banci ini pandangi wajahnya dari
pantulan batu itu.
"Pendekar Mata Keranjang!" Kali ini yang bicara adalah Setan Pesolek. Manusia
banci ini bicara sambil menggerak-gerakkan tangan pulang
balik ke depan wajahnya. "Saat ini dunia persilatan tengah geger. Hampir semua
tokoh, baik go-
longan hitam maupun putih menujukan perha-
tian pada Bukit Siluman. Karena di tempat itulah
tersimpan lembaran kulit yang bernama Lemba-
ran Kulit Naga Pertala, yang di dalamnya berisi-
kan ilmu-ilmu dahsyat! Dunia persilatan akan
tertimpa malapetaka besar apabila lembaran kulit
itu sampai jatuh ke tangan orang jahat." Pendekar 108 geleng-gelengkan
kepalanya. "Setan Pesolek!
Begitu cepatnya cerita menyebar di dunia persila-
tan! Baru beberapa hari yang lalu kau menyu-
ruhku pergi ke Bukit Siluman, dan saat itu pun
kau belum tahu, mengapa tempat itu demikian
penting. Tapi, sekarang, hampir semua tokoh per-
silatan telah mengetahui apa yang terdapat di
Bukit Siluman...," kata pemuda berpakaian hijau ini seraya usap-usap hidungnya.
"Sebenarnya geger Lembaran Kulit Naga
Pertala sudah berlangsung berpuluh tahun la-
manya. Namun kegegeran yang dulu-dulu segera
padam begitu mengetahui Bukit Siluman yang di-
duga kuat menyimpan lembaran kulit lenyap tan-
pa bekas seperti ditelan bumi. Sebelumnya, tem-
pat itu penuh terselubung misteri. Banyak tokoh
yang menyelidik bukit itu tak pernah kembali
bahkan mayatnya pun tak ditemukan. Setelah
bukit itu lenyap, perburuan terhadap Lembaran
Kulit Naga Pertala pun usai. Tapi, kali ini Bukit Siluman itu tampak kembali.
Dan itu terjadi
hanya berselisih waktu sedikit dengan kedatan-
ganmu. Tapi, itu bukan berarti usahamu akan
berjalan mulus, karena saat ini banyak tokoh
persilatan yang telah mendengar kabar kemuncu-
lan Bukit Siluman berdatangan, aku khawatir sa-
lah seorang dari mereka mengetahui rahasia tem-
pat itu. Maka untuk menjaga segala kemungkinan
kita harus bertindak cepat!"
"Setan Pesolek! Kau punya kesaktian un-
tuk mengetahui apa yang akan terjadi. Setidaknya
kau bisa membuka rahasia bukit itu!"
Setan Pesolek menggeleng. "Kemampuan
manusia terbatas, Anak muda! Dan aku terbentur
keterbatasan itu tatkala berhadapan dengan mis-
teri Bukit Siluman itu. Seperti yang kukatakan
tempo hari. Aku gagal menembus kabut misteri
lembaran kulit itu!"
Murid Wong Agung menghela napas pan-
jang. Dia maklum jika tokoh seperti Setan Pesolek saja tak dapat menembus
misteri rahasia Bukit
Siluman akan lebih sulit baginya menguak tabir
itu. "Tapi Tuhan Maha Adil, Anak muda...." Ti-ba-tiba Setan Pesolek melanjutkan
ucapannya. "Dalam keadaan gelap begini ada seseorang yang sedikit banyak bisa memberi jalan
penerang meski hanya samar-samar."
"Siapa orangnya, Setan Pesolek"!" tanya Aji
seakan mendapat semangat baru.
Setan Pesolek berpaling pada Peri Kupu-
kupu yang sedari tadi hanya diam mendengarkan.
"Peri Kupu-kupu. Sekarang giliranmu bicara!"
Peri Kupu-kupu komat-kamitkan mulut.
Lalu memandang pada Aji, goyang-goyangkan ke-
palanya sebentar lalu berkata.
"Mengenai rahasia bukit itu aku hanya
punya petunjuk, tiga tambahkan tiga dan sete-
rusnya. Tiga langkah paling tengah, naik buka
pintu lalu turun dan melangkah dua puluh sa-
tu...." "Aneh. Petunjuk apa itu"!" desis Aji dalam hati sambil usap-usap
hidungnya. Lalu menguta-rakan apa yang ada dalam benaknya. "Peri. Aku tak
mengerti petunjuk itu. Kau bisa menjelaskan"!"
Yang ditanya gelengkan kepalanya. "Saat
seperti sekarang ini, sebuah petunjuk lebih mahal dari seratus nyawa! Kau telah
mendapatkan setengah kenyataan, selebihnya putar otakmu sen-
diri!" Murid Wong Agung tengadahkan kepala
seolah menguraikan petunjuk yang dikatakan Peri
Kupu-kupu, namun dia tak menemukan arti dari
petunjuk itu. Akhirnya dia mengalihkan pandan-
gannya pada Setan Pesolek. Namun sebelum dia
buka mulut untuk bertanya, Setan Pesolek telah
gelengkan kepala sambil berkata.
"Aku tak bisa membantu! Segalanya ge-
lap.... Ada tabir penutup yang tidak dapat ditem-
bus mata...."
Peri Kupu-kupu melirik pada Setan Peso-
lek. "Tugas kita selesai. Kita harus segera pergi!"
Lalu pada murid Wong Agung nenek ini berujar.
"Firasatku mengatakan ada orang lain yang
juga telah mendapatkan petunjuk seperti itu. Ma-
ka cepatlah berangkat. Sayang bila orang itu
sempat mendahului. Bukan saja dunia persilatan
akan guncang tapi akan menjadikanmu seorang
pengecut besar!"
"Nek...." Hanya itu yang keluar dari mulut Aji karena saat itu Peri Kupu-kupu
telah me-nyambung ucapannya. "Apa namanya kalau bu-
kan pengecut besar jika harus mengambil milik
orang lain"!"
"Nek, kira-kira siapa orang itu"!"
Peri Kupu-kupu angkat bahunya. "Jika aku
tahu, aku tak mungkin malang melintang. Karena
justru orang itulah yang selama ini kucari!"
"Jadi dia memiliki petunjuk yang sama"!"
"Meski tidak sama, tapi pada akhirnya me-
nuju satu titik temu!"
"Apakah kau akan memecahkan rahasia
itu bersamanya. Begitu"!"
"Urusan Lembaran Kulit Naga Pertala bu-
kanlah hal menarik bagiku. Ada yang lebih besar
dari itu!" Habis berkata demikian. Peri Kupu-kupu memberi isyarat anggukan
kepala pada Se-
tan Pesolek yang duduk di sampingnya. Lalu ba-
likkan tubuh dan berkelebat tinggalkan tempat
itu. Murid Wong Agung segera menghambur ke
arah Setan Pesolek yang masih berada di situ.
"Setan Pesolek. Aku benar-benar tak mengerti dengan petunjuk yang diberikan Peri
Kupu-kupu...," kata Pendekar 108 sambil duduk di
sampingnya. Lelaki banci itu tersenyum. "Batu sekeras
dan setebal apa pun akan pecah jika terus dihan-
tam. Kau telah memiliki senjata penghantam.
Tinggal mengukur semangat dan otakmu...."
Aji menarik napas dalam-dalam. Murid
Wong Agung ini akhirnya memutuskan akan me-
mecahkan petunjuk itu sendirian.
"Pendekar Mata Keranjang! Sebelum aku
pergi ada baiknya kau perhatikan baik-baik uca-
panku...," sejenak Setan Pesolek putuskan kata-katanya, membuat Aji berpaling.
"Aku melihat tabir penutup yang tak dapat ditembus pandangan
mata!" "Hem.... Berulangkali dia mengatakan hal itu...," batin Aji.
"Kipas ungu 108 mungkin dapat membuka
tabir penutup itu!"
Pendekar 108 terperanjat. Buru-buru dia
meraba pinggangnya. Sekonyong-konyong murid
Wong Agung ini terhenyak tatkala tangannya tak
merasakan senjata di pinggangnya.
"Aku harus pergi ke sana. Kipas itu pasti
terjatuh waktu nenek Peri Kupu-kupu menolong-
ku. Celaka jika sampai kipas itu...."


Pendekar Mata Keranjang 24 Bukit Siluman di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ada apa, Pendekar 108"!"
"Kipas itu. Pasti terjatuh di tempat perke-
lahian. Aku harus pergi sekarang."
Setan Pesolek selinapkan tangan kanannya
ke balik jubah kuningnya.
"Kipas itu kusimpan. Terimalah kembali!"
katanya seraya mengulurkan tangan kanannya
yang kini memegang kipas lipat berwarna ungu
yang tergurat angka 108 pada tubuhnya.
Pendekar Mata Keranjang menghela lega.
Lalu menyambuti kipas itu dari tangan Setan Pe-
solek. "Pendekar Mata Keranjang! Sudah saatnya aku pergi...."
"Kek. Tunggu!" tahan Pendekar 108 karena masih ingin menanyakan sesuatu. Tapi
terlambat. Karena Setan Pesolek telah melesat. Di lain kejap, dia telah lenyap!
Pendekar Mata Keranjang duduk terce-
nung. "Petunjuk ini makin kabur. Angka-angka yang tak ku mengerti lalu tabir
yang tak dapat ditembus...," Aji arahkan pandangannya jauh ke depan. Ingatannya
kembali pada Peri Kupu-kupu.
"Nenek aneh.... Kenapa dia mencari orang yang-punya petunjuk sama dengan
petunjuk miliknya"
Malah dia mengatakan urusan itu lebih menarik
daripada masalah Lembaran Kulit Naga Pertala.
Heran...."
Murid Wong Agung perlahan-lahan bangkit
berdiri. Entah bagaimana mulanya tiba-tiba dia
teringat akan gadis cantik berpakaian biru ber-
nama Seruni murid Raksaka Bermuka Hijau.
"Gadis cantik bertubuh mempesona, hem....
Sayang belum bernasib baik. Tugas berat telah di-
taruh di pundaknya. Tapi kenapa dia juga menca-
riku" Ah.... Mudah-mudahan dia dapat menemu-
kan ibunya yang selama ini dirindukan sebelum
melaksanakan tugas-tugasnya. Siapa tahu piki-
rannya akan berubah berkat nasihat ibunya....
Ah, kenapa aku harus memikirkan hal itu..."!" Aji memandang berkeliling. Dengan
benak disarati beberapa hal dia tinggalkan tempat itu.
SEBELAS BIDADARI Penyebar Cinta dan Dewa Setan
terus berkelebat dengan mata masing-masing liar
mencari ke sana kemari. Namun hingga keduanya
lelah dan merasakan mata perih karena terus-
terusan nyalang keduanya tak menemukan Pen-
dekar Mata Keranjang 108.
"Jahanam! Ke mana perginya anak itu"!"
gumam Bidadari Penyebar Cinta sambil hentikan
larinya. Napasnya terengah-engah. "Tak mungkin dia dapat berlari jauh karena dia
telah cedera. Hem.... Pasti ada yang menolongnya!"
"Tapi siapa"!" Dewa Setan yang telah tegak di samping Bidadari Penyebar Cinta
menyahut. Dia lalu melirik. Sepasang mata laki-laki setengah baya ini sejenak membeliak
melihat sembulan
buah dada perempuan di sampingnya yang berge-
rak turun naik.
"Keparat betul! Mengapa urusan jadi be-
rantakan begini rupa"! Mata Malaikat juga ikut-
ikutan menambah masalah!" batin Bidadari Penyebar Cinta lalu berpaling pada Dewa
Setan. "Kau tahu kenapa Mata Malaikat tak mau
melanjutkan perjalanan lagi bersama-sama ki-
ta...?" "Orang itu sulit diterka. Tapi dia adalah seorang yang teguh memegang
kata-kata. Menurut yang dikatakannya tempo hari, memang hari
ini saat terakhir dia mau bergabung dengan ki-
ta...." "Aku belum begitu kenal dengannya. Siapa dia sebenarnya"!"
"Orang tak ada yang tahu siapa dia sebe-
narnya. Yang diketahui kalangan rimba persilatan
adalah dia seorang yang aneh tapi memiliki ilmu
yang sulit diukur. Kalau bisa kita jangan buat
urusan dengan dia! Selain dapat menghadang
rencana, sekaligus dapat memporak-porandakan!"
"Hem...," Bidadari Penyebar Cinta bergumam panjang. "Aku menyirap kabar Bukit
Silu- man menyimpan misteri. Apa yang kau ketahui
tentang bukit itu"!"
"Aku pun tak tahu banyak. Hanya menurut
kabar, bukit itu dikurung oleh jebakan-jebakan
yang setiap saat mengancam nyawa. Ini terbukti
dengan tidak kembalinya beberapa tokoh yang
coba-coba menyelidik ke sana."
"Begitu" Apakah kau takut dengan semua
itu?" Dewa Setan tidak segera menjawab. Malah melirik ke arah buah dada Bidadari
Penyebar Cinta. "Setiap ketakutan ada sebabnya. Perasaan berani ada alasannya!"
"Apa maksudmu"!" tanya Bidadari Penye-
bar Cinta tanpa berpaling seakan memberi ke-
sempatan pada Dewa Setan untuk memandang
buah dadanya sepuas-puasnya.
Dewa Setan menyeringai aneh. Lalu berka-
ta dengan suara agak gemetar.
"Aku tak takut asal kau berada di sam-
pingku, dan...," dia menggantung ucapannya,
membuat Bidadari Penyebar Cinta menoleh. Seki-
las perempuan ini telah tahu apa yang dimaksud
laki-laki setengah baya itu.
"Kau menginginkannya..."!" tanya sang ra-tu dengan busungkan dada dan senyum
menggo- da. Perempuan ini perlahan-lahan pejamkan se-
pasang matanya lalu keluarkan desahan panjang,
membuat Dewa Setan makin berdebar dan mata
membesar. "Kau tunggu apalagi?" desahan sang ratu membuat Dewa Setan makin membelalak. Dan
melihat tantangan si perempuan berwajah cantik,
Dewa Setan segera melangkah. Seakan tak sabar,
tubuh perempuan itu diraupnya lalu bibirnya di-
pagut. Bidadari Penyebar Cinta keluarkan desa-
han dan tubuhnya menggeliat ketika dirasakan
tangan-tangan Dewa Setan mulai menelusup ke
balik pakaiannya. Untuk beberapa lama kedua
orang ini tenggelam dalam kemesraan sebelum ti-
ba-tiba Bidadari Penyebar Cinta menarik wajah-
nya dari wajah Dewa Setan sambil berbisik serak.
"Aku menangkap seseorang di sekitar si-
ni...." Dewa Setan menggerendeng panjang pendek dalam hati. Sebelum dia berbuat
sesuatu, Bi- dadari Penyebar Cinta telah menepis kedua tan-
gannya yang masuk di balik pakaian lalu perem-
puan ini meloncat membelakangi dan berteriak
lantang. "Pengintip jahanam! Keluarlah atau kau in-
gin mampus!" sambil berteriak perempuan ini merapikan pakaiannya yang sebagian
telah terbuka. Dadanya masih tampak naik turun menahan ge-
jolak yang tertunda.
"Baik! Kau tak mau keluar, berarti kau in-
gin mampus!" kembali Bidadari Penyebar Cinta berseru tatkala tidak ada orang
yang menampakkan diri. Kedua tangannya diangkat dan diarah-
kan pada semak belukar di dekat tanah rata yang
di sana-sini banyak batu-batu.
Belum sampai tangan bergerak, dari balik
sebuah batu besar muncul seseorang. Bidadari
Penyebar Cinta memperhatikan dengan mata me-
nyelidik. "Anak ingusan tukang intip!"
"Jangan salah duga. Aku tidak mengin-
tip...," kata orang yang baru keluar dari balik ba-tu. Dia ternyata seorang
gadis berwajah cantik
mengenakan pakaian warna biru dan bukan lain
adalah Seruni. "Hem.... Kalau tidak mengintip, apa kerja-
mu di situ, hah"!"
"Aku telah berada di sini sebelum kalian
ada di situ!"
"Beraninya kau berkata bohong! Kau perlu
diberi pelajaran!" sambil berkata tangan kanan Bidadari Penyebar Cinta bergerak
menyentak. "Orang tak dikenal! Jaga mulutmu. Kaulah
yang salah. Bermain cinta di sembarang tempat!"
sahut Seruni sambil melompat ke samping, hing-
ga pukulan yang dilancarkan Bidadari Penyebar
Cinta melabrak batu di belakangnya. Batu itu
kontan berantakan.
Berubahlah paras Bidadari Penyebar Cinta.
Bukan hanya karena pukulannya dapat dihindari
tapi juga oleh kata-kata yang diucapkan Seruni.
"Keparat jadah! Siapa kau, hah"!" Bidadari Penyebar Cinta membentak.
"Tak layak kau tahu siapa aku!" Seruni balik membentak, membuat kemarahan
Bidadari Penyebar Cinta tak dapat ditahan lagi.
"Bagus! Berarti kau ingin mampus tanpa
dikenal!" Habis berkata begitu, Bidadari Penyebar
Cinta berkelebat, di kejap lain tubuhnya telah dua langkah di hadapan Seruni dan
saat itu juga tangan kiri kanannya bergerak menghantam kepala
Seruni. Meski sedikit terkejut, Seruni cepat run-
dukkan kepala sambil angkat kedua tangannya.
Bukkk! Bukkk! Bidadari Penyebar Cinta terlengak dan bu-
ru-buru mundur dua langkah. Kedua tangannya
yang baru saja bentrok dengan lawan terasa ke-
semutan dan ngilu. Dari sini Bidadari Penyebar
Cinta sadar jika si gadis memiliki kepandaian dan tenaga dalam. Sebaliknya,
Seruni tampak terhuyung sampai lima langkah namun segera kua-
sai diri. Entah karena ingin meneruskan permai-
nannya yang terganggu atau apa, Bidadari Penye-
bar Cinta melangkah maju satu tindak. Tanpa
mengarahkan pandangan matanya pada Seruni
dia berkata. "Hari ini kau bernasib baik. Lekas tinggal-
kan tempat ini!"
Seruni menyeringai sambil tertawa pendek.
"Aku lebih dulu datang di sini. Kaulah yang
harus tinggalkan tempat ini!"
"Setan alas!" kemarahan Bidadari Penyebar Cinta muntah lagi. Kalau tadi hanya
ingin memberi pelajaran, kini membunuh pun dia tega. Ka-
rena sekarang maklum jika si gadis memiliki ilmu
maka dia tak segan-segan langsung lepaskan pu-
kulan 'Sinar Mentari', hingga saat itu juga dari
kedua tangannya melarik dua sinar kuning yang
membawa suara menggeledek dan gelombang an-
gin. Mendapati nyawanya terancam, Seruni tak
tinggal diam. Dia segera pula kerahkan tenaga da-
lam lalu menyentakkan kedua tangannya le-
paskan pukulan. Bersamaan dengan itu hawa
dingin menusuk menghampar. Suasana berubah
agak redup, lalu terdengar suara laksana gemu-
ruh ombak. Blammm! Tempat itu berguncang hingga membuat
sosok Seruni terseret sampai sembilan langkah ke
belakang. Wajah gadis ini berubah pias dengan
tangan gemetar. Perlahan-lahan kakinya ditekuk
lalu jatuh terduduk. Di seberang sana Bidadari
Penyebar Cinta terhuyung-huyung sambil dekap
dadanya yang berdenyut sakit. Perempuan bertu-
buh bahenol ini segera meneliti, tahu tak menga-
lami cedera cukup berarti, dia segera berkelebat
sambil kirimkan serangan!
Wuuttt! Wuuttt!
Kembali sinar kuning melesat. Seruni ter-
cekat. Dia cepat alihkan tenaga dalamnya pada
kedua tangannya, karena saat itu dia sedang ke-
rahkan tenaga dalam untuk mengatasi tubuhnya.
Tapi belum sempat kedua tangannya melepaskan
pukulan, serangan lawan telah menggebrak.
Seruni keluarkan seruan tertahan. Sekujur
tubuhnya seperti kejang, pandangan matanya pa-
nas. Saat lain tubuhnya mencelat mental ke bela-
kang. Karena di belakangnya banyak batu-batu,
maka tak ampun Lagi tubuhnya menghantam sa-
lah satu batu hingga berderak pecah lalu sosok-
nya lunglai dan jatuh tersandar. Dari mulutnya
mengucur darah segar. Karena matanya masih
pedih, Seruni mengatupkan kelopak matanya ra-
pat-rapat sambil coba kerahkan tenaga dalamnya.
Bidadari Penyebar Cinta tertawa panjang
lalu melangkah ke arah Seruni.
"Seandainya mulutmu tak berkata som-
bong, kau tak akan mengalami mati muda! Tapi
ini sudah nasibmu!" Bidadari Penyebar Cinta melompat, kaki kanannya kirimkan
tendangan ke arah kepala Seruni yang matanya masih terpejam.
Sejengkal lagi kepala Seruni terhajar ten-
dangan, tiba-tiba terdengar deruan angin, di lain kejap tubuh Bidadari Penyebar
Cinta seolah terdorong kekuatan dahsyat hingga perempuan ini
berseru. Namun dia teruskan tendangan. Karena
tubuhnya telah terdorong membuat tendangan-
nya melenceng dan menghantam batu di samping
Seruni. Sesaat kemudian deruan itu melesat dan
mengarah pada Bidadari Penyebar Cinta. Perem-
puan ini kembali berteriak lalu melompat mun-
dur. Deruan angin terus menggebrak lalu
menghantam tanah agak tinggi di belakang Bida-
dari Penyebar Cinta.
Pyaaarrr! Suasana seketika menjadi pekat karena ta-
nah itu berhamburan ke udara menutupi peman-
dangan. Ketika tanah surut, Bidadari Penyebar
Cinta tampak terbelalak lalu keluarkan sumpah


Pendekar Mata Keranjang 24 Bukit Siluman di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

serapah tak karuan. Sepasang kakinya pun sege-
ra dibantingkan hingga tanah itu bergetar.
"Ada orang ikut campur dan menolong ga-
dis keparat itu!" desis Bidadari Penyebar Cinta ketika sepasang matanya tak lagi
melihat Seruni.
Dada perempuan ini menyala-nyala. Geram, ke-
cewa dan penasaran. "Bangsat siapa yang menolongnya"!" Bidadari Penyebar Cinta
arahkan pandangannya berkeliling sekali lagi. Namun dia tak
menemukan siapa-siapa.
"Bidadari.... Sudahlah! Untuk apa dipikir-
kan?" tiba-tiba Dewa Setan yang sedari tadi hanya melihat keluarkan suara
menenangkan lalu melangkah mendekat.
"Rupanya telah banyak tokoh yang berlaku
pengecut tak mau menampakkan diri!" Bidadari Penyebar Cinta masih mengomel
bahkan ketika kedua tangan Dewa Setan hendak merangkul di-
tepiskannya. "Bidadari.... Urusan lebih besar masih
menghadang. Jangan perkara sepele begini me-
nambah beban...."
Seolah tersadar akan ucapan Dewa Setan,
Bidadari Penyebar Cinta tampak anggukkan ke-
pala. "Kita tinggalkan tempat ini!" katanya lalu hendak berkelebat.
"Tapi...."
"Kita cari tempat yang lebih enak. Jauh da-
ri mata-mata usil yang mengintip...." Habis berkata, Bidadari Penyebar Cinta
berkelebat disusul
kemudian oleh Dewa Setan yang rupanya sudah
tak sabar. Seruni tidak dapat menerka siapa gerangan
yang memanggul dan melarikannya. Yang samar-
samar tertangkap matanya orang yang melari-
kannya berambut putih dan panjang.
"Siapa dia"! Gerakannya begini cepat,
hem.... Jangan-jangan...." Mungkin khawatir gadis ini lantas buka suara pelan.
"Penolongku. Terima kasih, kau telah me-
nyelamatkan nyawaku...."
Orang yang memanggul dan melarikan Se-
runi hentikan larinya dan putar tubuhnya dengan
sedikit menekuk lututnya. Tahu-tahu Seruni te-
lah duduk tersandar pada sebuah lamping tanah
agak tinggi. "Kalau boleh tahu, siapa kau...?" Seruni buka mulutnya kembali seraya mengusap
dadanya yang masih terasa nyeri. Orang yang kini
membelakangi Seruni balikkan tubuh. Seruni ter-
cekat sendiri. Memandang tak berkedip pada
orang di hadapannya. Dia adalah seorang kakek
berambut putih dan panjang tergerai hingga me-
nutupi sebagian pakaiannya yang terbuat dari ku-
lit ular. Sebelah matanya sipit, hampir terpejam, tapi satunya lagi, yang
sebelah kanan menonjol
keluar. "Urusan apa yang membuatmu bentrok
dengan perempuan cantik tadi, heh?" si kakek ajukan tanya. Dia bukan lain adalah
Mata Malaikat. Sejenak Seruni terdiam. Setelah memper-
hatikan lekat-lekat pada Mata Malaikat dia berka-
ta. "Sebenarnya urusannya sepele, Kek...." La-lu Seruni menceritakan apa yang baru
saja di- alaminya. Tiba-tiba Mata Malaikat keluarkan tawa
terbahak-bahak. Wajahnya yang bengis tak terli-
hat menjadi lebih ramah, malah terlihat seakan
menyeramkan. Seruni hanya bisa geleng-geleng
kepala. "Dasar manusia nafsu. Bercinta pun salah tempat. Ha... ha... ha...!"
Kakek ini lantas ajukan tanya lagi. "Kau sendiri siapa" Dan hendak ke mana?"
Seruni tampak bimbang untuk menjawab.
Dalam hati gadis ini berkata sendiri. "Apakah aku akan mengatakan apa tujuan
perjalananku" Ta-pi...." "He.... Kau tampak ragu-ragu mengatakan-
nya. Hem.... Mungkin kau mengira aku bukan
orang baik-baik. Itu memang benar! Tapi setidak-
tidaknya aku masih punya perasaan...."
Ucapan Mata Malaikat membuat paras wa-
jah Seruni merah padam. Buru-buru Seruni me-
nyambuti ucapan Mata Malaikat.
"Kau jangan salah sangka, Kek. Justru ka-
rena kau mau menolongku berarti kau orang
baik!" "Ah, ucapanmu membuat aku gelisah. Kau belum jawab pertanyaanku!"
"Aku Seruni murid sekaligus cucu dari
Raksasa Bermuka Hijau...."
"Hem.... Beruntung kau punya kakek seo-
rang tokoh besar. Aku kenal betul dengan ka-
kekmu itu! Ilmumu pun tidak cetek! Ayah ibumu
tentu sangat gembira punya anak gadis berke-
pandaian tinggi sepertimu...."
Seruni bukannya senang mendapat pujian
seperti itu, sebaliknya parasnya menjadi murung.
Bayangan kecewa tampak jelas di air mukanya.
"Kau salah duga, Kek.... Justru sejak kecil
aku tak mengenal siapa ayah ibuku. Ah, sean-
dainya dia tahu...," diam-diam Seruni membatin sendiri dalam hati.
"Hai.... Kau kembali murung. Ada apa" Apa
kata-kataku ada yang salah?"
Seruni menggeleng. Mata Malaikat perhati-
kan si gadis lekat-lekat, lalu buka mulut.
"Kau sepertinya menanggung sesuatu yang
berat...."
"Mula-mula tidak berat, Kek. Namun sete-
lah kualami sendiri, beban itu bukan hanya berat
tapi rasa-rasanya sulit kulaksanakan. Meski begi-
tu aku akan berusaha!"
"Hem.... Kau tak keberatan mengatakan
beban apa itu"!"
"Membunuh beberapa orang!"
Mata Malaikat bukannya terkejut menden-
gar jawaban Seruni. Malah kakek ini tertawa ber-
derai-derai. "Dunia persilatan memang dunianya orang-
orang gila. Hingga seorang manusia tega menyu-
ruh seorang anak muda berbuat gila! Membunuh
beberapa orang.... Hem... siapa saja calon mayat-
mayat itu"!"
Seruni terdiam. Dia berpikir kalau orang
tua di hadapannya mengenai kakeknya sudah
pasti dia mengenal pula beberapa orang yang ha-
rus dibunuhnya. Kalau salah seorang calon kor-
ban kebetulan sahabatnya, atau mungkin dia
sendiri, bukan mustahil tugasnya akan beranta-
kan bahkan bisa membuat dirinya celaka sebelum
bertindak. Apalagi sekarang sedang dalam kea-
daan cedera. Memikir sampai di situ akhirnya Se-
runi berkeputusan untuk diam.
"Apakah yang memberi tugas itu gurumu"!"
tanya Mata Malaikat.
Seruni anggukkan kepalanya pelan. Kali ini
dia tak berani memandang ke arah Mata Malai-
kat. "Anak cantik. Tugas seorang guru memang harus dilaksanakan. Tapi kau juga
harus berpikir dua kali untuk melaksanakannya! Hanya kupe-
ringatkan padamu carilah duduk urusan yang se-
benarnya agar nantinya kau tak salah menurun-
kan hawa maut! Karena demi kepentingan pribadi
kadang-kadang orang memilih yang baik untuk
diri sendiri dan menumpahkan yang buruk untuk
orang lain! Terjebak dalam lingkaran ini kau akan menyesal kelak kemudian hari!"
Habis berkata begitu, Mata Malaikat balik-
kan tubuh. "Kek, tunggu! Kau hendak ke mana" Kau
juga belum mengatakan siapa dirimu!"
Tanpa memutar dirinya, Mata Malaikat be-
rujar. "Aku juga sedang mencari seseorang. Soal diriku, kalau ada pertemuan lagi
pasti kau akan mengetahuinya.... Selamat tinggal!" Mata Malaikat segera meninggalkan Seruni
yang hanya diam
mengawasi kepergiannya.
"Hem.... Ucapannya ada juga benarnya.
Bodohnya diriku, kenapa aku tak menanyakan
pada guru apa urusannya hingga dia memberiku
tugas membunuh" Tapi aku yakin Eyang guru
pasti ada di pihak yang benar...," Seruni tengadahkan kepala. Dia baru sadar
jika saat itu senja telah turun dan sebentar lagi malam akan menje-lang. "Aku
harus mencari tempat untuk istira-hat...," Seruni lalu bergerak bangkit.
Melangkah perlahan-lahan sambil mengusap wajahnya yang
keringatan. DUA BELAS HENTAKAN ladam kaki kuda terdengar
memecah tidak putus-putusnya di dataran luas
perbatasan menuju Hutan Demangan. Karena
saat itu hari sudah senja dataran luas itu tampak semburat kemerah-merahan,
namun tak menghalangi pandangan, hingga penunggang kuda itu tak
banyak mengalami kesulitan tatkala lewat. Mung-
kin untuk mengejar waktu agar tak kemalaman
saat memasuki hutan, sang penunggang terus
menghentak tali kekang kuda tunggangannya wa-
lau saat itu sang binatang telah berlari cukup
kencang. Harapan si penunggang ternyata benar,
tatkala dia keluar dari hutan, malam telah turun, namun dia menarik napas lega
karena telah berada di luar hutan. Hingga meski malam telah jatuh
kini dia menghela kudanya dengan perlahan-
lahan karena kawasan yang dilaluinya sekarang
tidak lagi banyak pohon dan semak belukar ma-
lah nun jauh di depan sana telah tampak kelap-
kelip sinar lampu yang menunjukkan bahwa tak
jauh lagi akan sampai pada sebuah desa.
Sang penunggang kuda adalah seorang ga-
dis berwajah jelita mengenakan pakaian warna
kuning. Rambutnya panjang dan dikucir dengan
ikatan sebuah ikat kepala berwarna kuning pula.
Hidungnya mancung dengan bulu mata lentik.
Tiba-tiba si gadis tarik hela kuda tunggan-
gannya. Begitu sang binatang berhenti sepasang
mata si gadis memandang kian kemari.
"Meski hari gelap, tapi aku merasakan ada
orang mengawasiku. Hem...." Sesaat gadis ini bimbang, namun kejap kemudian dia
sentakkan tali helanya hingga kuda itu kembali melangkah.
Tapi baru kira-kira enam langkahan, dari arah
belakang menderu gelombang angin deras. Meng-
hantam ke arah si gadis yang tegak di atas kuda.
Meski sedikit terkejut mendapati serangan
gelap, namun karena sebelumnya telah waspada
karena merasa ada orang mengawasi, gadis ini
secepat kilat melompat ke udara setelah kaki ki-
rinya kirimkan tendangan pelan ke arah kuda
tunggangannya, hingga meski kuda itu sempat
terhantam gelombang angin namun tidak sampai
telak. Kuda itu hanya melonjak dengan mengang-
kat kaki depannya tinggi-tinggi sebelum akhirnya
melompat ke depan lalu menghambur lenyap da-
lam kegelapan. Di udara si gadis cepat buat putaran lalu
ketika mendarat tubuhnya telah menghadap ke
arah datangnya serangan. Sejenak gadis ini na-
narkan matanya mencari-cari dalam kegelapan.
Tapi dia tak menemukan siapa-siapa!
"Bedebah! Keluarlah dari persembunyian-
mu!" teriak sang gadis.
Belum lenyap gema suara teriakan, dari
kegelapan berkelebat sesosok tubuh. Di lain kejap tahu-tahu sosok tadi telah
tegak dua langkah di
samping si gadis.
Si gadis terkejut, dan cepat-cepat berpaling
sambil kirimkan satu jotosan ke arah sosok di
sampingnya. Tangannya baru setengah jalan, se-
buah tangan telah terlebih dahulu menggebrak ke
arah bahu si gadis, membuat gadis ini terhuyung
dengan tubuh terputar.
Tanpa mempedulikan lagi siapa adanya
orang yang menghantam, si gadis segera sentak-
kan kedua tangannya.
Wuuttt! Wuuuttt!
Dari telapak tangan si gadis melesat dua
sinar warna-warni. Setengah jalan sinar itu mun-
crat lalu bermentalan beberapa bunga api menuju
sosok di hadapannya.
Sosok di hadapan si gadis mundur satu
langkah, lalu hantamkan kedua tangannya.
Wuuttt! Wuuuttt!
Si gadis serentak keluarkan seruan terta-
han. Karena serangan lawan sama dengan puku-
lan yang dilancarkannya. Hingga kejap itu juga
tempat itu dipenuhi bunga-bunga api yang mem-
bumbung di udara.
Sambil meloncat menghindar si gadis ber-
gumam sendiri. "Celaka! Ternyata dia! Sial. Bagaimana aku harus menjawabnya?"
Bersamaan dengan meloncatnya si gadis
terdengar beberapa letupan ketika bunga-bunga
api itu saling bentrok di udara. Belum lenyap su-
ara letupan, sosok yang baru datang telah kemba-
li berkelebat dan tahu-tahu telah tegak kembali di samping si gadis. Kali ini
sang gadis tidak lagi lakukan hantaman malah dengan suara serak dia
cepat menjura. "Maafkan aku, Guru!"
"Anak geblek! Kau mau mabur, hahhh"!" Si
gadis jatuhkan diri bersimpuh. Kepalanya ter-
tunduk dengan mulut mengatup rapat.
"Ayo jawab!" sosok di hadapan si gadis
kembali keluarkan bentakan. Ternyata dia adalah
seorang laki-laki tua. Parasnya merah membara.
Rambutnya awut-awutan. Tubuhnya yang kekar
dibungkus pakaian compang-camping, dan seba-


Pendekar Mata Keranjang 24 Bukit Siluman di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

giannya hangus seperti bekas terbakar. Ada asap
tipis mengepul dari sekujur tubuhnya. Orang
yang mengerikan ini adalah tokoh hitam yang ter-
kenal dan berjuluk Manusia Neraka!
"Maafkan muridmu, Guru. Aku terusik
dengan keteranganmu tentang Lembaran Kulit
Naga Pertala. Itulah yang membuatku berada di
sini.... Kepergianku semata-mata ingin ikut me-
nyelidiki Lembaran Kulit Naga Pertala!"
"Begitu" Tapi kenapa kau tak mengatakan-
nya padaku"!"
Si gadis angkat kepalanya. Kali ini dia agak
berani memandang wajah gurunya karena suara
gurunya tidak lagi kasar membentak.
"Aku khawatir kau tak memberi izin pada-
ku!" Manusia Neraka tertawa panjang.
"Drupadi. Kalau kepergianmu dengan tu-
juan mencari lembaran kulit itu, tidak mungkin
aku mencegahmu! Siapa tahu kau berhasil men-
dapatkannya...," kata Manusia Neraka dengan
suara pelan. Nada kemarahan lenyap sama sekali,
membuat Drupadi menarik napas lega.
"Guru.... Selama ini aku hanya mendengar
lembaran kulit itu selintas saja dari keterangan-
mu. Bisakah kau menjelaskannya hal ikhwal
lembaran kulit itu"!"
"Mengenai sejarah lembaran kulit itu ba-
nyak cerita yang berlainan. Hingga membuat seja-
rah yang sebenarnya menjadi kabur. Aku sendiri
tak tahu mana yang benar dari semua cerita yang
sampai padaku. Hanya dari beberapa cerita itu
aku bisa menarik kesimpulan jika lembaran kulit
itu memang benar-benar ada! Dan untuk menye-
lidik apalagi mendapatkannya dibutuhkan kecer-
matan dan waspada penuh!"
"Maksud Guru...?"
"Mendengar berita beberapa tokoh yang co-
ba-coba masuk ke Bukit Siluman tidak ada yang
kembali bahkan mayatnya pun tak ditemukan,
berat dugaan bukit itu selain misterius juga men-
gancam jiwa siapa saja! Meski aku belum sampai
ke sana, aku yakin di sana banyak terpasang je-
bakan-jebakan yang mematikan! Ini mungkin
sengaja dirancang khusus agar orang tidak mu-
dah memasukinya sekaligus mendapatkan lemba-
ran kulit itu!"
"Apa di sana masih ada penghuninya?"
"Itulah yang sampai sekarang tidak ada
yang tahu. Kalau melihat kegegeran lembaran ku-
lit itu sudah berlangsung pada seratus lebih ta-
hun yang lalu, hampir pasti tempat itu kini ko-
song. Di sinilah dibutuhkan kecermatan itu. Ka-
rena meski umpamanya kita berhasil melewati je-
bakan-jebakan itu, ke mana lagi kita harus ber-
tanya tentang disimpannya lembaran kulit itu"
Sebagai benda yang berisi kesaktian, tak mungkin
ditempatkan pada sembarang tempat!"
Mendengar keterangan gurunya, Drupadi,
si gadis terdiam. Dia berpikir sejenak lalu berka-ta.
"Apakah selama ini tidak ada orang yang
tahu, siapa terakhir kali pemegang lembaran kulit itu?" "Menurut kabar yang
kupercaya, pemegang terakhir lembaran kulit itu adalah seorang tokoh
bernama Eyang Pandanaran. Dia dikabarkan
mempunyai tiga orang murid. Satu laki-laki dua
perempuan. Anehnya, hingga kini tidak diketahui
ke mana lenyapnya Eyang Pandanaran. Hingga
membuat sejarah lembaran kulit itu makin dis-
elimuti kabut...."
"Tentang murid-muridnya...?"
"Itulah sekarang yang sedang kuselidiki!
Karena hanya murid-muridnya itu satu-satunya
petunjuk! Tapi di sini juga ada hambatan. Perta-
ma, kejadian itu sudah berlangsung seratus ta-
hun lebih yang silam. Kemungkinan masih hi-
dupnya murid-murid itu kecil sekali. Kedua, kita
sekarang mengalami kebutaan tentang siapa-
siapa saja orang yang dekat dengan mendiang
murid-murid itu, atau kalau mereka punya akan
cucu kita tak tahu siapa!"
"Hem.... Kalau begitu sulit rasanya mem-
buka misteri bukit itu!"
"Sesulit apa pun celah pasti ada, Drupadi!"
"Maksudmu, ada petunjuk lain?"
"Betul! Kau masih ingat ceritaku tentang
seorang lelaki berdandan perempuan"!"
"Setan Pesolek...."
"Benar! Dia dikenal sebagai orang yang bisa
mengetahui hal-hal yang gaib. Dialah sekarang
yang kemungkinan bisa menjelaskan misteri lem-
baran kulit itu!"
"Tapi...," Drupadi tak melanjutkan ucapannya karena gurunya telah menyela.
"Aku memang tak mungkin bertanya pa-
danya! Hanya kalau kau memang benar-benar in-
gin mendapatkan lembaran kulit itu, kau harus
bertanya padanya sebelum berangkat."
"Mana mungkin dia mau memberitahu.
Guru?" "Kau tak usah tanya langsung padanya.
Kau tahu, menurut berita yang berhasil kusirap,
munculnya kembali Bukit Siluman setelah ham-
pir seratus tahun yang lalu lenyap, karena keda-
tangan seorang pemuda yang mewarisi kipas Em-
pu Jaladara. Aku yakin ada hubungan antara si
pemuda, kipas, dan Bukit Siluman. Menurut beri-
ta yang dapat kusirap Setan Pesolek bersahabat
dengan pemuda yang telah mendapatkan kipas.
Dari pemuda itulah kau dapat mengoreknya. Ma-
nusia Dewa pasti telah mengatakan semuanya
pada pemuda itu!"
Drupadi terbelalak.
"Aku...?"
Manusia Neraka tertawa mengekeh. "Itulah
satu-satunya jalan yang harus kau lalui jika kau
menginginkan lembaran kulit itu, Drupadi! Ba-
gaimana caranya itu bisa kau atur sendiri! Se-
dangkan aku, akan menyelidik dengan caraku
sendiri." "Kalau aku tak berhasil...?" Manusia Neraka memandangi muridnya lekat-lekat.
"Hem.... Kalau kau tak berhasil, sementara kau jangan
menyelidiki di mana adanya Bukit Siluman dahu-
lu, tapi beradalah dekat kawasan Pantai Pangan-
daran yang menuju Bukit Siluman! Ingat. Jangan
pergi dahulu sebelum bertemu denganku!"
"Akan kuingat pesanmu, Guru!"
"Nah, aku pergi sekarang! Jangan lupa be-
radalah di kawasan Pantai Pangandaran. Baik
berhasil atau tidak!" habis berkata begitu, Manusia Neraka berputar. Dan sekali
kelebat dia pun
lenyap dari pandangan Drupadi.
Begitu gurunya pergi, pelan-pelan Drupadi
melangkah meninggalkan tempat itu.
Namun baru saja melangkah mendadak
dari arah samping Drupadi merasakan desiran
angin. Belum sempat berpaling, satu bayangan
hitam tiba-tiba berkelebat. Dan tahu-tahu seso-
sok tubuh tegak di depan Drupadi membuat gadis
murid Manusia Neraka ini tersurut tiga langkah!
Drupadi melihat seorang perempuan seten-
gah baya mengenakan pakaian warna hijau. Mu-
kanya memakai bedak putih agak tebal. Bibirnya
merah menyala. Rambutnya dikepang dua.
Sebenarnya tanpa diketahui oleh Drupadi
maupun Manusia Neraka diam-diam sejak tadi
perempuan ini telah mendekam di satu tempat
seraya mendengarkan percakapan antara murid
dan gurunya itu. Mungkin karena dilamun oleh
ucapan-ucapan Manusia Neraka hingga dia tak
mendengar ucapan terakhir Manusia Neraka yang
pamit pada muridnya. Dia baru mengetahui sete-
lah beberapa saat Manusia Neraka pergi mening-
galkan tempat itu. Dia segera saja berkelebat dan langsung tegak di hadapan
Drupadi. TIGA BELAS SEPASANG mata perempuan di hadapan
Drupadi membelalak besar di lain saat mulutnya
terbuka dan terdengarlah bentakkannya. "Mana keparat tadi, hah"!" Mungkin karena
masih terkejut dengan kedatangan orang, beberapa saat Dru-
padi terdiam. Hingga orang di hadapannya kem-
bali keluarkan bentakan garang. "Apa mulutmu ingin kutampar agar buka suara"!"
"Orang tua tak dikenal! Siapa kau"!" Drupadi balik menegur, membuat perempuan
seten- gah baya itu melotot angker dengan dagu men-
gembung. "Keparat! Ditanya malah balik bertanya!
Jawab dulu tanyaku!"
Meski geram mendengar ucapan orang,
namun akhirnya Drupadi berkata juga. "Kalau
yang kau maksud guruku, dia telah pergi!"
"Pergi ke mana"!"
"Katakan dulu siapa kau!" ucap Drupadi
dengan mata memperhatikan orang dari rambut
hingga kaki. "Dengar, Bocah! Aku Kamaratih. Bertahun
lamanya aku mencari Hanggoro! Ke mana per-
ginya dia, he"!"
"Hanggoro"!" Drupadi mengulangi ucapan
perempuan yang menyebut dirinya Kamaratih.
"Hem.... Rupanya kau belum tahu siapa
gurumu itu. Hanggoro adalah nama sebenarnya
Manusia Neraka, gurumu itu!"
Drupadi bengong, namun sesaat kemudian
kembali mengatup ketika Kamaratih kembali ber-
tanya dengan suara masih tetap garang.
"Cepat katakan, ke mana perginya keparat
itu!" "Aku tak tahu dia hendak ke mana.
Yang...." "Berani dusta, kurobek mulutmu! Te-
ruskan!" "Dia hendak menyelidik Lembaran Kulit
Naga Pertala...."
"Hem.... Urusan lama yang tidak ada jun-
trungannya. Urusan usang yang membuat mala-
petaka!" "Orang tua. Kau ini sebenarnya siapa" Dan
ada hubungan apa dengan guruku?"
Kamaratih memandang tajam pada Drupa-
di. Bayang kemarahan di wajahnya perlahan mu-
lai mengendur. Diam-diam dalam hati perempuan
berbibir merah menyala ini berkata. "Anak ini seperti aku waktu masih muda. Dari
percakapan- nya tadi kudengar dia mempunyai semangat
menggebu meski sadar jika apa yang akan diraih-
nya terlalu tinggi. Salah jika aku mengaitkan di-
rinya dengan perbuatan gurunya padaku. Kela-
kuan Hanggoro tak patut bila dia ikut merasakan
akibatnya. Hem...."
"Namamu siapa?" Kamaratih mengajukan
tanya dengan suara agak pelan.
"Kau bisa memanggilku Drupadi...."
"Apa gurumu tak pernah cerita tentang
aku"!" Drupadi coba mengingat-ingat, namun akhirnya dia gelengkan kepalanya.
"Rasa-rasanya tidak pernah menyebut-nyebut namamu.... Sebenarnya kau ini siapa?"
Kamaratih sudah buka mulutnya hendak
mengucapkan sesuatu namun tiba-tiba diurung-
kan. Malah dia putar diri lalu berujar.
"Kalau aku tak berhasil menemukan gu-
rumu, kelak jika kau bertemu dengannya di Pan-
tai Pangandaran, katakan padanya aku juga me-
nunggu di sekitar kawasan itu!" Habis berkata begitu, Kamaratih hendak
berkelebat, namun tubuhnya tertahan tatkala terdengar Drupadi me-
nahan. "Tunggu! Kau belum jawab pertanyaanku!"
Kamaratih berpaling. Memandang lekat-lekat pa-
da Drupadi. Kepalanya tampak menggeleng perla-
han. "Untuk sementara biarlah kau mengenalku sebagai Kamaratih. Suatu ketika kau
akan ta-hu.... Aku harus pergi sekarang...."
Drupadi mengawasi kepergian Kamaratih
dengan berbagai pertanyaan yang tak bisa dija-
wab. "Makin jauh melangkah, makin banyak
urusan yang tak ku mengerti...," gumam Drupadi lalu perlahan-lahan melangkah
meninggalkan tempat itu dengan benak dibuncah berbagai hal
yang belum bisa dipastikan.
SELESAI Lanjutan kisah ini:
BIDADARI PENYEBAR CINTA
https://www.facebook.com
/DuniaAbuKeisel
Scan/PDF: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
Document Outline
SATU Pendekar Buta 2 Joko Sableng 3 Rahasia Pulau Biru Medali Wasiat 16
^