Pencarian

Bidadari Penyebar Cinta 2

Pendekar Mata Keranjang 25 Bidadari Penyebar Cinta Bagian 2


menolongnya adalah
seorang yang mengenakan jubah berwarna kembang-kembang. Mata Seruni menelusur ke
atas. Kini tampaklah bagian kepala orang yang berjubah
kembang-kembang itu. Ternyata orang itu hanya
memiliki rambut putih sebatas tengkuk.
Sejenak kedua alis mata Seruni terangkat
dan keningnya berkerut. Ada rasa keragu-raguan
di benaknya. Tiba-tiba gadis ini kerahkan tenaga
dalamnya. Dia menarik napas lega, karena tangannya telah putih seperti semula
walau mulutnya masih terasa perih akibat tamparan yang dilakukan Utusan Iblis.
"Jangan-jangan memang dia...," batin Seruni, lalu buka mulut dan terdengarlah
suaranya. "Aku sudah tak apa-apa. Harap kau suka
turunkan tubuhku!"
Mendengar suara orang, orang berjubah
kembang-kembang menggumam tak jelas namun
tak menuruti permintaan orang yang di pundaknya. Mungkin merasa orang tidak
mendengar suaranya, Seruni kembali buka mulut dengan suara
agak dikeraskan.
Orang berjubah kembang-kembang hentikan langkahnya. Perlahan-lahan dia angkat
tubuh di pundaknya lalu ditegakkan di hadapannya.
Sejenak sepasang mata Seruni menyipit lalu
membeliak besar. Mulutnya yang semula hendak
mengucapkan sesuatu tiba-tiba mengatup rapat.
Dadanya tampak bergerak turun naik dengan kerasnya.
Orang di hadapan Seruni sunggingkan senyum. Ternyata dia adalah seorang nenek.
Menge- nakan jubah besar warna kembang-kembang.
Rambutnya putih hanya sebatas tengkuk yang pada bagian atasnya berombak mirip
sayap yang terentang. Sepasang kelopak matanya besar namun
matanya sipit. Paras wajahnya masih membiaskan
kecantikan sewaktu muda. Nenek itu bukan lain
adalah dedengkot rimba persilatan bergelar Peri
Kupu-kupu. "Kau...!" desis Seruni sambil alihkan pandangan ke jurusan lain. Lalu
tengadahkan kepala
dan lanjutkan ucapannya. "Jangan berharap aku
merubah niatku hanya karena kau telah menolongku!"
Peri Kupu-kupu tertawa pelan sambil pandangi wajah gadis cantik di hadapannya.
"Anak ini pendiriannya teguh. Sayang..., belum bisa membedakan mana yang baik dan
buruk...," batin Peri
Kupu-kupu lalu berkata pelan.
"Seruni.... Pertolonganku bukan untuk merubah niatmu. Hal itu semata kulakukan
hanya untuk menyelamatkanmu! Pantang bagiku melihat
perbuatan semena-mena di depan mataku. Apalagi
kau adalah manusia jenisku!"
Seperti diketahui, Seruni yang mengaku sebagai cucu sekaligus murid dari tokoh
bergelar Raksasa Bermuka Hijau turun ke rimba persilatan
dengan membekal tugas dari gurunya untuk
membunuh beberapa orang dan di antaranya adalah Peri Kupu-kupu. Selain itu juga
untuk menyelidik sekaligus memburu Lembaran Kulit Naga Pertala. Pada pertemuan
pertama kalinya dengan Peri
Kupu-kupu, Seruni gagal melaksanakan tugasnya
(Baca serial Pendekar Mata Keranjang dalam episode: "Bukit Siluman").
Mendengar ucapan Peri Kupu-kupu, Seruni
menyahut. "Bagus jika begitu ucapanmu! Berarti otakmu masih dapat membedakan urusan!"
"Seruni...," kata Peri Kupu-kupu sambil tertawa. "Pengalaman hidup telah membuat
seseorang berubah. Dan kehidupan memang aneh. Kadang-kadang hari ini menjadi
lawan namun lusa
berubah jadi kawan. Begitu juga sebaliknya. Hari
ini mengalami duka nelangsa tapi lusa berganti
roda bahagia. Tapi jalan menuju perubahan memang sulit. Diperlukan pengorbanan
besar. Malah kadangkala harus berani korban perasaan dan
harga diri!"
"Orang tua! Berkatalah sepuasmu. Namun
jangan mimpi bisa merubah niatku untuk membunuhmu! Pengorbanan apa pun yang kau
lakukan, tak akan membuat aku jadi kawanmu! Kau
telah kutulis di hatiku sebagai orang yang harus
kumusnahkan dari bumi ini!"
Sekali lagi Peri Kupu-kupu keluarkan tawa
perlahan, lalu berujar.
"Anak gadis. Jangan kau sebut-sebut lagi
tindakanku tadi untuk merubah niatmu! Aku
hanya mengatakan hukum alam yang berlaku.
Aku tahu, kau sebenarnya adalah gadis baik.
Hanya untuk sementara ini kau masih dikepung
oleh keadaan yang membuat pandanganmu kabur.
Aku percaya, kelak kau akan menemukan jati dirimu bila kekaburan itu sirna...."
Sejenak Seruni seperti tercekat mendengar
ucapan Peri Kupu-kupu. Namun sesaat kemudian
lenyap berganti dengan kemarahan yang selama
ini ditahan. "Orang tua! Kau tahu apa tentang aku"!
Buang jauh-jauh ramalanmu itu! Bersiaplah
menghadapi kematianmu!"
"Karena kematian tak bisa ditentukan kapan datangnya, sejak dulu kala aku telah
siap menghadapi kematian, Seruni. Namun sebelum
aku mati, apakah kau tidak mengharapkan sesuatu dariku"!"
Seruni terdiam. Dalam hati gadis ini membatin. "Bagaimana ini" Apakah aku harus
mengajukan tanya padanya seperti yang diperintah
Eyang Guru" Dia telah mengatakannya sendiri,
kenapa tidak"!"
Jika Seruni membatin demikian, tidak demikian halnya dengan apa yang ada dalam
benak Peri Kupu-kupu. "Entah kenapa, meski nada suaranya memerahkan telinga, namun aku
suka anak ini. Seandainya Raksasa Bermuka Hijau mau
mengatakan siapa sebenarnya dirinya dan apa tujuannya hingga menginginkan
nyawaku, mungkin
urusan ini tak sampai melibatkan gadis ini. Akankah salah paham ini terus
berlangsung" Sayang,
aku hanya mendengar alasan Raksasa Bermuka
Hijau dari orang lain. Kalau saja aku mendengar
sendiri dari mulutnya, aku mungkin sedikit banyak bisa mendapat titik terang.
Apakah aku harus menemuinya" Oh.... Tuhan. Panjangkan
umurku. Berilah kesempatan padaku untuk men-
jernihkan urusan yang belum tentu ini...," Peri
Kupu-kupu mendadak katupkan kelopak matanya.
Ketika mata itu membuka dan mengerjap, mata itu
telah berkaca-kaca.
Seruni tertegun. Ada perasaan aneh menyeruak di dada gadis ini. Hingga ucapan
yang hendak dikeluarkan seakan tercekat di tenggorokannya. Malah tanpa sadar dia
berkata lain dari apa
yang semula hendak dikatakan.
"Nek.... Apa sesungguhnya yang terjadi dengan dirimu"!"
Peri Kupu-kupu gelengkan kepalanya perlahan. Namun guliran bening air matanya
sudah jatuh membasahi pipinya yang keriput.
Tak dapat menahan perasaan, Seruni melangkah mendekat. Namun belum sampai gadis
ini bicara. Peri Kupu-kupu telah mendahului.
"Seruni.... Kau mau mengatakan padaku
kenapa kakekmu menginginkan nyawaku"!"
Untuk sesaat Seruni tak menjawab. Dia
pandangi lekat-lekat wajah nenek di hadapannya.
Setelah agak lama, baru dia berkata.
"Menurut Kakek...," Seruni ragu-ragu melanjutkan.
"Katakanlah, Seruni. Bagaimana menurut
kakekmu...."
"Mungkin kaulah yang saat ini menyimpan
lembaran kulit yang diburu kalangan tokoh-tokoh
rimba persilatan!"
Peri Kupu-kupu surutkan langkah satu tindak karena terkejut. Dadanya tambah
bergetar keras. Mulutnya terkancing rapat. "Kalau bukan cu-
cunya, mungkin aku masih ragu-ragu. Jadi... Ah.
Berarti memang dia orang yang selama ini kucari.... Karena hanya dari
keturunannya yang tahu
seluk-beluk lembaran kulit itu...."
Setelah dapat menguasai rasa terkejutnya.
Peri Kupu-kupu goyang-goyangkan kepalanya, lalu
berkata. "Seruni. Apakah kau masih menginginkan
nyawaku?" "Sebenarnya.... Ah, serahkan saja lembaran
kulit itu padaku. Dan anggap tidak ada lagi masalah di antara kita...."
"Seruni. Dengarlah baik-baik. Kakekmu salah paham. Apa yang dikatakan kakekmu
tidak ada padaku...!"
Wajah Seruni kembali berubah mendengar
ucapan Peri Kupu-kupu. Pandangannya dingin
menusuk ke bola mata sipit nenek di hadapannya.
"Eyang Guru tidak pernah berkata dusta.
Atau...." Belum selesai Seruni dengan ucapannya,
Peri Kupu-kupu telah memotong.
"Kakekmu memang tidak berkata dusta.
Namun dia salah paham!"
"Salah paham bagaimana maksudmu"!" suara Seruni mulai agak keras.
"Aku tak bisa menceritakan di sini. Aku perlu bertemu dengan Eyang Gurumu itu
biar urusan jadi terang!"
"Kau makin berbelit-belit!" hardik Seruni,
lalu menyambung. "Pesan Eyang Guru, jika lembaran kulit tak di tanganku, maka
sebagai gantinya
adalah kepalamu! Kau tinggal pilih!"
"Kalau orang lain yang mengucapkan katakata itu, sudah kupecahkan mulutnya.
Sayang yang keluarkan kata-kata adalah kau!" ujar Peri
Kupu-kupu sedikit agak keras. Hati perempuan
tua ini nampaknya juga mulai geram mendengar
kata-kata Seruni.
Seruni tersenyum dingin. "Apa bedanya aku
dengan orang lain" Hah"! Kau bukan sanak kerabatku. Aku pun tak punya tali darah
denganmu!"'
"Seandainya kau tahu, mungkin kau tak
akan berkata begitu, Seruni. Kau tak tahu! Di antara kita sebenarnya masih ada
pertalian darah!"
"Kau jangan mengada-ada, Tua Bangka!
Alasanmu tidak masuk akal!" seru Seruni meski
dadanya tiba-tiba merasa sesak. Berbagai perasaan kembali melanda hatinya.
"Sekarang kau boleh mengatakan sesukamu. Karena masalahnya memang belum jelas
benar. Namun aku yakin, jika Eyang Gurumu mengatakan begitu, berarti di antara
kita masih ada pertalian darah! Kelak semuanya akan jelas!"
Sejurus Seruni terdiam.
"Boleh aku tahu, siapa orangtuamu"!" tanya
Peri Kupu-kupu.
Ucapan Peri Kupu-kupu membuat Seruni
terkejut bukan main. Parasnya berubah seketika.
Kepalanya perlahan-lahan bergerak tengadah. Sebenarnya gadis ini menahan agar
air matanya tidak jatuh. Namun rupanya perasaan galau begitu
kuat menekan perasaannya. Hingga tak lama kemudian bahunya berguncang lalu dia
sesenggu- kan, membuat Peri Kupu-kupu terperangah kaget.
"Heran. Kenapa dengan gadis ini" Tersinggung dengan ucapanku" Tapi rasa-rasanya
aku tidak mengucapkan kata-kata yang menyinggung
perasaan. Aku hanya bertanya tentang kedua
orangtuanya.... Hem...," Peri Kupu-kupu diam untuk beberapa lama seolah menunggu
si gadis menguasai diri.
Tiba-tiba Seruni sentakkan kepalanya
menghadap Peri Kupu-kupu. Sepasang matanya
yang sembab oleh air mata memandang tajam lurus ke wajah si nenek.
"Kalau kau benar-benar masih ada pertalian
darah, berarti kau tahu siapa orangtuaku! Katakan padaku. Siapa mereka!"
Untuk kedua kalinya Peri Kupu-kupu terlengak oleh ucapan Seruni. Hingga untuk
beberapa lama nenek ini terdiam gagu. Setelah beberapa
saat baru Peri Kupu-kupu buka mulut.
"Seruni. Seperti kukatakan tadi, semuanya
belum jelas benar. Kau tahu, selama ini sebenarnya aku tengah mencari ikatan
darah yang tak terputus ini! Sekaligus untuk meluruskan kesalahpahaman. Jadi kalau aku belum
bisa menjawab tanyamu bukan berarti aku mengada-ada dengan
keteranganku!"
Seruni tidak menyambuti ucapan Peri Kupu-kupu, membuat nenek ini makin tak enak
perasaannya. "Seruni. Apakah kau benar-benar menginginkan kitab itu"!" tanya Peri Kupu-kupu
mengalihkan pembicaraan untuk mengatasi kekakuan
suasana. Seruni tak buka mulut. Malah mengangguk
atau menggeleng pun tidak. Membuat Peri Kupukupu jadi salah tingkah tak tahu
harus berbuat apa, hingga akhirnya nenek ini berujar.
"Baiklah. Untuk sementara ini kita berpisah
dulu. Namun perlu kau ingat baik-baik. Lembaran
Kulit Naga Pertala yang asli tidak ada padaku. Kalau kau ingin menyelidik, harap
kau tunggu sampai aku menemuimu lagi. Daerah ini adalah kawasan pinggir Sungai
Siluman yang menuju Bukit Siluman. Sementara ini kau jangan jauh-jauh dari
kawasan ini! Aku pergi sekarang...."
Habis berkata. Peri Kupu-kupu berkelebat
meninggalkan tempat itu. Namun langkahnya tertahan tatkala didengarnya Seruni
berseru. "Tunggu!"
Peri Kupu-kupu urungkan niat. Tanpa berpaling pada Seruni dia berkata.
"Katakan kalau masih ada yang ingin kau
utarakan!"
"Aku tak mengerti dengan semua ini. Kalau...."
"Seruni!" potong Peri Kupu-kupu. "Urusan
ini tidak akan bisa dimengerti tanpa hadirnya beberapa orang. Kalau kau ingin
mengerti tunggulah
seperti yang kukatakan tadi! Ingat! Jangan terburu-buru menuju Bukit Siluman


Pendekar Mata Keranjang 25 Bidadari Penyebar Cinta di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sebelum bertemu
denganku!"
Sebenarnya Seruni masih ingin bertanya
banyak, namun ketika gadis ini balikkan tubuh.
Peri Kupu-kupu ternyata sudah tidak ada di tem-
pat itu lagi! "Kenapa urusan jadi tak karuan begini"
Mungkinkah ucapan orang tua itu benar" Ah, urusan mencari kedua orangtuaku belum
kulakukan kini telah timbul masalah yang tak kumengerti...,"
Seruni menghela napas panjang. "Peri Kupu-kupu
bilang lembaran kulit yang aslinya tidak ada padanya. Berarti yang ada padanya
lembaran kulit palsu" Atau.... Ah, sebaiknya aku memang menunggu. Tapi aku akan menuju ke Bukit
Siluman jika dia terlambat. Aku masih meragukan keterangannya! Siapa tahu dia mempunyai
maksud lain di balik semua ini!"
Habis berkata begitu, Seruni arahkan pandangannya ke selatan. Dari sela-sela
kerimbunan semak, dia dapat menangkap bunyi gemuruh seperti air terjun di telinganya yang asalnya dari
Sungai Siluman. Padahal, permukaan airnya tenang saja!
ENAM MATAHARI telah jatuh ke pangkuan kaki
langit di ujung barat. Pada saat bersamaan, sang
rembulan mulai bergerak naik menggantikannya,
hingga walau malam telah menjelang, suasana
masih sedikit terang.
Dalam keadaan begitu, kawasan Sungai Siluman nampak indah. Air sungai terlihat
berkilat- kilat tertimpa cahaya rembulan. Pohon-pohon besar kecil yang banyak tumbuh di
pinggir sungai berubah menjadi kebiruan terkena pantulan warna
air sungai. Pendekar 108 sampai di kawasan Sungai Siluman setelah malam turun. Sewaktu
berlari murid Wong Agung ini sengaja menempuh jalan berputar. Selain untuk
menghilangkan jejak juga ingin melihat-lihat pemandangan indah kawasan
yang dilaluinya. Hingga dia sampai di pinggir sungai ketika malam telah
menjelang. Sejenak Aji layangkan pandangannya kian
kemari. Saat itu dia berada dua puluh tombak dari
tepi sungai, di mana banyak tumbuhan kecil di sekitarnya.
"Hem.... Terpaksa aku harus menunggu
sampai pagi. Untuk menuju bukit itu tentu membutuhkan perahu...," Aji luruskan
pandangannya ke tengah sungai. Yang tampak hanyalah permukaan air.
"Menentukan mana Bukit Siluman pun
amat sulit jika malam hari. Hem.... Aku terpaksa
harus menunggu sampai pagi. Tapi itu lebih baik.
Aku bisa menyiasati keadaan terlebih dahulu. Bukan tak mungkin telah banyak
orang di sekitar
kawasan ini...." murid Wong Agung lalu melangkah
ke arah samping kanan lalu lurus hendak menuju
pinggir sungai. Namun gerakan kakinya tertahan
sewaktu tiba-tiba dari arah samping kiri terdengar
suara tawa mengikik pelan.
Cepat Pendekar Mata Keranjang berpaling
dengan mata dipentangkan lebar-lebar. Dari tem-
patnya berada, Pendekar 108 samar-samar melihat
sesosok tubuh berdiri lima belas langkah darinya.
Aji doyongkan tubuhnya ke depan lalu matanya
dibuka semakin lebar memperhatikan orang itu.
"Hem.... Setan Pesolek...," gumam Aji begitu
matanya dapat mengenali siapa adanya orang itu.
Tanpa pikir panjang lagi, murid Wong
Agung ini bergegas mendekati. Tapi tinggal berjarak satu tombak sosok yang
dikenal Aji, Setan Pesolek keluarkan suara, seraya gerakkan tangan
pulang balik. "Kau benar-benar menginginkan lembaran
kulit itu Pendekar 108"!"
Murid Wong Agung palingkan wajah dengan
dahi mengernyit. "Aneh. Suaranya seperti ditahan.... Apakah telingaku yang...,"
Aji tak dapat meneruskan kata hatinya karena pada saat bersamaan Setan Pesolek telah kembali
mengulangi pertanyaannya. "Karena tugas ini amat penting demi menyelamatkan dunia persilatan dari tangan
orang-orang tidak bertanggung jawab, meski petunjuk yang dikatakan Peri Kupu-kupu masih
belum bisa kupahami, aku akan tetap melangkah terus!"
Setan Pesolek gerak-gerakkan pinggang dan
pinggulnya. Mata kirinya dikerdipkan. Di lain kejap dia kembali buka suara.
"Pendekar 108! Kau masih ingat petunjuk
itu"!"
"Tentu! Tiga tambahkan tiga dan seterusnya. Tiga langkah paling tengah. Naik,
buka pintu lalu turun dan melangkah dua puluh satu."
Setan Pesolek dengarkan kata-kata Aji dengan seksama.
"Bagus! Lembaran kulit itu memang harus
diselamatkan agar rimba persilatan dapat tenang
damai...," kata Setan Pesolek lalu tengadahkan kepalanya.
"Setan Pesolek.... Sebenarnya selain aku belum bisa memecahkan petunjuk itu, aku
juga belum bisa memahami arti ucapanmu tempo hari.
Kalau saja kau telah mengetahuinya...."
"Ucapanku yang mana..."!"
"Kau bilang, melihat tabir penutup yang tak
bisa ditembus dengan pandangan mata biasa. Dan
kau bilang, mungkin kipasku bisa membukanya."
Setan Pesolek rapikan rambut dan wajah
dengan jari-jari tangannya.
"Aku memperoleh firasat memang demikian.
Dan sejauh ini aku belum bisa menafsirkan tabir
apa itu. Kipas di tanganmu mungkin saja bisa
membukanya. Tapi...," Setan Pesolek putuskan
ucapannya. "Tapi apa...?" sahut Aji.
"Coba kulihat kipasmu!"
Murid Wong Agung ambil kipas ungu 108
dari balik pakaiannya lalu diulurkan pada Setan
Pesolek. Setan Pesolek ulurkan sebelah tangannya
menyambuti kipas yang diulurkan Aji.
Sejurus kipas berwarna ungu itu ditimangtimang. Sepasang mata Setan Pesolek
memperhatikan bentuk kipas bergurat angka 108 itu untuk
beberapa lama. Lalu kepalanya menganggukangguk. Saat itulah tiba-tiba terdengar
suara 'Taarr-taarr-taarrr'! Beberapa kali.
Setan Pesolek cepat selipkan kipas ungu
108 ke balik jubahnya, lalu berkata.
"Nampaknya daerah sekitar sini tidak aman!
Cepat menyingkir!" kata Setan Pesolek sambil dorong tubuh Aji hingga
terjengkang. Lalu berkelebat
tinggalkan tempat itu.
Murid Wong Agung buru-buru bangkit lalu
berkelebat hendak menyusul Setan Pesolek. Namun pada saat bersamaan serangkum
angin dahsyat menderu ganas menghantam ke arahnya,
membuat Pendekar Mata Keranjang mencelat mental.
"Setan alas!" maki Aji sambil bangkit. Belum
sampai tubuhnya tegak, sesosok tubuh berkelebat.
Lalu terdengar suara 'Taaarrr! Taaarrr'!
Aji melihat kelebatan tali kuning yang memancarkan bunga api mengarah pada batok
kepalanya. Murid Wong Agung ini cepat rundukkan kepala lalu membentak dan
lepaskan pukulan
'Mutiara Biru'.
Wuuuttt! Wuuuttt!
Sinar biru membersit dan mengembang
menyebarkan hawa panas luar biasa. Karena geram, Aji lepaskan pukulan dengan
kerahkan tenaga penuh.
Tali kuning yang ternyata sebuah bambu
kuning langsung mental balik. Sosok orang yang
menyabetkan bambu ikut terdorong ke belakang
lalu jatuh terjengkang dengan keluarkan makian
tak karuan. Orang ini merasakan tangannya bergetar keras, malah kalau tidak
segera kerahkan
tenaga dalam, mungkin bambu kuning di tangan
kanannya akan jatuh! Orang ini cepat bangkit. Lalu usap-usap dadanya yang
berdenyut nyeri.
Pendekar Mata Keranjang segera melesat ke
depan. Lalu tegak dengan dagu membesi lima
langkah di hadapan orang yang baru saja menyerangnya. Pemuda ini melihat seorang
laki-laki setengah baya mengenakan rompi warna hitam. Tubuhnya kecil kurus.
Rambutnya digelung ke atas.
Paras wajahnya tirus mirip muka tikus. Di tangan
kanannya tergenggam sebatang bambu kuning sepanjang tiga jengkal.
TUJUH LAKI-LAKI setengah baya bersenjatakan
bambu kuning dan bukan lain adalah Dewa Setan
adanya memandang Aji dengan seringai ganas. Melihat senjata di tangan orang, Aji
teringat pada kipasnya yang dibawa Setan Pesolek. Mendadak ada
perasaan tak enak dalam hatinya. Namun segera
dikubur dalam-dalam mengingat telah tahu siapa
Setan Pesolek adanya. Tidak mungkin orang seperti Setan Pesolek menipu dan
melarikan kipasnya.
Berpikir sampai di situ, hati murid Wong Agung
kembali tenang.
"Siapa kau" Dan kenapa tiba-tiba menyerangku"!" bentak Aji memecah kebisuan
sambil memperhatikan orang dengan seksama. Aji merasa
belum pernah bertemu dengan orang di hadapannya. Sebaliknya Dewa Setan telah
tahu siapa Aji.
Hal ini terjadi sewaktu Aji terlibat bentrok dengan
Hantu Berjubah. Karena saat itu Aji terluka, dia
tidak tahu jika tiga orang yang datang menghadang Hantu Berjubah salah satunya
adalah Dewa Setan. Dewa Setan tengadahkan kepala. Bambu
kuning di tangannya ditempelkan ke mulutnya
mengeluarkan bunyi merdu seperti suling ditiup
beberapa kali keras menusuk gendang telinga.
"Pendekar 108! Kau tak perlu tahu siapa
aku. Yang pasti aku datang untuk menjemput
nyawamu!" Aji tertawa panjang. "Kau sudah pasti datang ke orang yang salah! Jangan-jangan
kedatanganmu hanya untuk mengantar nyawa!"
Dewa Setan ikut-ikutan keluarkan tawa.
"Aku tidak pernah salah apalagi gagal mencabut
nyawa orang yang kuinginkan!"
"Tapi tidak untuk kali ini! Sekarang justru
kau datang pada orang yang akan membetot selembar nyawamu!"
Dewa Setan makin keraskan tawanya mendengar kata-kata Aji. Tiba-tiba suara
tawanya diputus. Matanya membeliak besar.
"Tanganku akan bicara jika aku tak salah
pilih orang untuk mampus!"
"Matamu saja salah pilih orang, apalagi tanganmu! Ha.... Ha.... Ha.... Jangan-
jangan bicaramu
sebagai isyarat bahwa kau tak lama lagi menutup
mata!" "Setan alas! Kukuliti kulit kepalamu!"
Taaarrr! Taaarrr!
Tangan kanan Dewa Setan berkelebat.
Bambu kuning itu keluarkan suara mendesing dan
memperlihatkan lidah api tatkala melesat ke arah
Aji. Sementara tangan kirinya langsung bergerak
mendorong, hingga saat itu juga angin deras
menggebrak. Murid Wong Agung mundur dua langkah.
Kedua tangannya diangkat ke atas. Lalu dikembangkan dan didorong dengan kerahkan
tenaga penuh. Untuk kedua kalinya dari kedua telapak
tangan Aji melesat sinar biru disertai hawa panas
menggebrak. Terdengar letupan keras. Namun karena
sudah waspada, sebelum letupan terjadi Dewa Setan melesat ke udara. Dan masih
merasakan tangannya bergerak ketika bambunya mental. Tapi
dia cepat kerahkan kembali tenaga dalamnya dari
atas bambu kembali disabetkan ke bawah.
Breeettt! Wuuuttt! Begitu cepatnya lesatan bambu kuning,
meski Pendekar Mata Keranjang telah bergerak cepat dengan gulingkan tubuh di
tanah, namun tak
urung juga ujung bambu membabat bahu kanannya. Tapi Aji tak peduli. Dia teruskan
gulingan tubuhnya. Pada gulingan ketiga dia berbalik dan
hantamkan tangannya.
Sinar biru membersit dengan membawa
hawa panas. Dewa Setan yang melayang turun keluarkan suara tegang. Dia sentakkan
tubuhnya untuk membuat gerakan berputar di udara. Namun tubuh bagian bawahnya masih
tersambar pukulan 'Mutiara Biru' yang dilepas Pendekar Mata Keranjang, hingga tubuhnya
terbanting di udara
lalu melayang lurus ke bawah dengan derasnya.
Murid Wong Agung tak mau buang kesempatan.
Sebelum sosok Dewa Setan menyentuh tanah, Aji
melesat ke depan. Tangan kirinya bergerak menghantam ke arah tangan Dewa Setan
yang memegang bambu.
Bukkk! Kembali terdengar seruan keras dari mulut
Dewa Setan. Tangan kanannya mental ke belakang
dan bergetar keras. Di kejap lain bambu kuning itu
mencelat lalu jatuh di sebelah sebatang pohon sepelukan orang dewasa. Selagi
tubuh lawan terhuyung-huyung Aji lepaskan lagi tinju kanannya
ke arah dada lalu disusul dengan tangan kiri ke
arah perut. Bukkk! Bukkk! Tubuh Dewa Setan terlipat ke depan. Saat
itulah kaki kiri Pendekar Mata Keranjang melesat.
Kepala Dewa Setan tersentak ke kanan, kejap kemudian tubuhnya terbanting dengan
derasnya di atas tanah! Sosok Dewa Setan sejenak bergetar keras, namun tak lama kemudian
diam kaku!

Pendekar Mata Keranjang 25 Bidadari Penyebar Cinta di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pendekar 108 menarik napas berulangkali.
Lalu berpaling pada bahunya. Sejurus sepasang
matanya mendelik. Pakaian di bagian bahu robek
dan kulit di baliknya mengelupas. Aji cepat hentikan aliran darah di sekitar
lukanya. Lalu salurkan
hawa murni untuk menangkal racun dari bambu
yang sempat menggores bahunya.
Saat itulah mendadak terdengar suara keras menegur.
"Jahanam Mata Malaikat! Kau kira bisa lolos dari mataku, hah"!"
"Mata Malaikat"! Siapa yang dipanggil Mata
Malaikat"!" batin Aji seraya cepat menoleh ke arah
datangnya suara.
Dari sela pohon, sesosok tubuh berkelebat.
Di lain saat sosok tersebut telah tegak delapan
langkah di hadapan Aji. Menahan kejut, kedua
mata Pendekar Mata Keranjang mendelik perhatikan orang di hadapannya.
"Edan! Bagaimana mungkin dia bisa memanggilku Mata Malaikat"! Atau mata orang
ini sudah lamur"!" Aji sunggingkan senyum sambil
usap-usap hidungnya lalu berkata.
"Utusan Iblis! Siapa yang kau maksud dengan Mata Malaikat?"
Orang di hadapan Aji yang bukan lain ternyata Utusan Iblis keluarkan dengusan
keras dan seringai garang.
"Kau jangan banyak mulut! Terimalah kematianmu sekarang juga, Mata Malaikat!"
"Gila! Jangan-jangan ini perbuatan orang
tua itu! Pantas dia mengatakan pemuda ini sebenarnya mencariku! Benar-benar
edan! Orang tua
itu mencelakakanku! Bagaimana sekarang"!" kata
murid Wong Agung dalam hati sambil cengarcengir. Namun sebenarnya hatinya geram
pada orang tua yang sempat ditemuinya beberapa waktu
berselang. "Dengar, Utusan Iblis! Aku bukan...."
"Teruslah bicara. Tapi jangan harap aku
percaya!" tukas Utusan Iblis. Pemuda ini arahkan
pandangannya pada sosok Dewa Setan sejenak lalu tersenyum dingin.
"Baik. Sekarang aku tanya padamu. Siapa
yang memberitahukan padamu jika aku Mata Malaikat"!"
Utusan Iblis tertawa bergerai. "Manusia macam kau memang suka sandiwara! Tapi
jangan khawatir, di alam kubur nanti kau masih bisa
sandiwara!"
"Hem.... Kau tak jawab tanyaku. Berarti kau
yang main sandiwara di hadapanku. Teruskan!
Aku ingin lihat bagaimana kelanjutan sandiwaramu! Jika bagus, aku bisa membawamu
ke pentas! Siapa tahu kau bibit yang terpendam!"
"Keparat! Setan busuk!" bentak Utusan iblis
marah. "Ah, matamu kurang melotot. Seharusnya
tanganmu mengepal dan diacungkan-acungkan.
Lalu buat kepalamu berpaling sambil senyumsenyum! Itu baru bagus. Ingat waktu
senyum kau bayangkan sedang melihat seorang nenek berdandan menor sedang telanjang bulat.
Yakin, senyummu pasti mempesona!"
"Bangsat! Kuhancurkan mulutmu!" sentak
Utusan Iblis dengan mata mendelik besar sementara dagunya mengembang, kedua
tangannya dikembangkan.
"Bagus! Mimikmu sudah pas. Tinggal pengaturan nada suara! Sebaiknya suaramu
dibuat setengah laki-laki separo perempuan!"
Utusan Iblis sudah tak dapat menahan ma-
rah. Kedua tangannya segera disentakkan ke depan.
"Hai.... Ini masih sandiwara kan"!" seru Aji
sambil bergerak ke samping menghindari sambaran angin yang menyambar dari
telapak tangan Utusan Iblis. Utusan Iblis tak menyahut. Malah sambil
melesat ke depan, kedua tangannya bergerak
menghantam. Belum sempat Pendekar Mata Keranjang
membuat gerakan, kelebatan tangan telah sejengkal di depan hidungnya, membuat
mau tak mau murid Wong Agung ini angkat kedua tangannya.
Prakkk! Bukkk! Dua pasang tangan beradu keras. Namun
pada saat bersamaan Utusan Iblis kirimkan tendangan tak terduga. Hingga tubuh
Aji terpental lalu terhuyung-huyung sambil memegangi lambungnya.
"Hai.... Dalam sandiwara tidak ada yang
sungguhan begini! Atau kau...."
Belum sempat Pendekar 108 teruskan ucapannya, Utusan Iblis telah keluarkan
bentakan keras. Lalu kedua tangannya menghantam ke depan,
kali ini lepaskan pukulan jarak jauh tangan kosong yang telah dialirkan tenaga
dalam. Melihat pukulan lawan, secepat kilat murid
Wong Agung hantamkan kedua tangannya. Sesaat
kemudian terdengar ledakan. Namun saat itu Aji
merasakan tubuhnya laksana tersedot tenaga kuat
ke depan. Hingga huyungan tubuhnya bukan ke
belakang, melainkan ke depan!
Baru saja Aji hendak hantamkan pukulan
'Mutiara Biru', tiba-tiba pinggangnya terasa ditelikung tangan. Pendekar Mata
Keranjang urungkan
niat lepaskan pukulan dan segera pukulkan kedua
tangannya ke arah tangan yang menelikung pinggangnya. Tapi baru setengah jalan,
tangan yang menelikung telah bergerak. Tubuh Aji terangkat lalu berputar dan di lain saat
telah deras menukik
ke bawah lalu terbanting dengan punggung terlebih dahulu!
Bukkk! Aji mengeluh tinggi. Namun segera bangkit.
Namun gerakan tubuhnya tertahan tatkala tibatiba sebuah kaki terbungkus jubah
merah sampai lutut ditekankan ke dadanya, membuat murid
Wong Agung rebah kembali dengan dada sesak
dan mulut megap-megap
Suara tawa keras segera terdengar, membuat dada Aji makin sesak, karena kaki di
dadanya makin keras menekan dan berguncang-guncang
mengikuti nada suara tawa.
"Keparat! Turunkan kakimu!" teriak Pendekar Mata Keranjang sambil hantamkan
tangan kanan kiri ke arah kaki yang menginjak dadanya.
Suara tawa terputus. "Kau teruskan gerakan tanganmu, dadamu jebol!" ancam Utusan
Iblis seraya tekankan kakinya lebih keras, membuat Aji
urungkan niat dan makin megap-megap sukar
bernapas. Tak hanya sampai di situ. Begitu tangan
Aji tak jadi memukul, Utusan Iblis cepat angkat
kaki satunya lalu ditekankan pada tangan Aji.
Hingga selain megap-megap, Pendekar 108 tak bi-
sa menggerakkan tubuh bagian samping.
Utusan Iblis pandangi Aji dengan tersenyum
mengejek. Lalu berkata, "Mata Malaikat! Nyawamu
tinggal beberapa saat lagi. Jawab tanyaku. Apakah
ini kawasan Sungai Siluman yang menuju Bukit
Siluman"!"
"Jahanam! Turunkan kakimu dulu. Aku tak
bisa bernapas!" teriak Aji dengan suara parau tersendat.
Utusan Iblis kurangi tekanan kakinya pada
dada Aji, namun kaki itu tetap di atas dadanya.
"Sekarang jawab tanyaku!"
"Kau tadi tanya apa"!"
"Setan keparat! Kau tidak tuli! Jawab atau
kujebol dadamu!" hardik Utusan Iblis mulai marah
lagi. "Sebelum kujawab, dengar dulu. Aku bukan
Mata Malaikat! Kau telah ditipu orang!"
"Jangan banyak bacot! Jawab yang kutanya!"
Pendekar Mata Keranjang menghela napas
dalam sebelum akhirnya berkata. "Menurut orangorang, ini memang kawasan Sungai
Siluman. Soal Bukit Siluman aku tak tahu!"
"Hem.... Begitu" Jawaban tepat meski aku
tahu kau berdusta! Mata Malaikat! Bersiaplah untuk mampus!" habis berkata
begitu, Utusan Iblis
angkat kedua tangannya.
"Tahan! Jika kau salah turunkan tangan,
jangan menyesal jika rohku akan gentayangan
mencarimu sekaligus membalas atas tindakanmu!"
cegah Aji dengan tubuh bergetar dan suara semb-
er. Utusan Iblis tertawa mengekeh. "Aku Utusan Iblis. Tak ada bangsa roh atau
manusia yang sanggup menghadangku! Kau dengar itu"!"
"Tapi kau akan menyesal karena orang yang
kau bunuh bukan orang yang kau cari! Bagiku,
mati tidak apa. Tapi bagimu, orang yang berkepandaian tinggi apakah tidak malu
jika sampai salah bunuh. Jika Mata Malaikat tahu semua ini, ditaruh di mana
mukamu"!"
Utusan Iblis terdiam. Kedua tangannya perlahan-lahan diturunkan. Melihat hal ini
Aji lanjutkan ucapannya. Namun sebelum kata-katanya
terdengar, Utusan Iblis telah mendahului.
"Hem.... Berarti kau kenal dengan Mata Malaikat!"
Aji meringis tak tahu harus menjawab bagaimana. Utusan Iblis tekankan kakinya
lebih keras. Mungkin karena tak tahan merasa sesak, akhirnya Aji berkata
sekenanya. Karena saat itu yang
terlintas adalah wajah Peri Kupu-kupu, maka dia
berujar. "Sebenarnya...."
"Sebenarnya apa"!"
"Aku memang mengenalnya...."
Utusan Iblis menyeringai, lalu membentak.
"Katakan bagaimana orangnya!"
"Dia adalah seorang nenek berjubah kembang-kembang. Rambutnya ditata mirip sayap
yang tengah terkembang!"
Utusan Iblis tengadahkan kepala. Lalu memandang Aji dan berkata.
"Keteranganmu mungkin benar...," Aji menarik napas lega dan tersenyum, namun
senyumnya pupus seketika saat didengarnya Utusan Iblis
teruskan ucapannya. "Namun karena kau telah
berani berkata dusta beberapa waktu lalu, maka
kau tetap harus mampus! Lagi pula siapa tahu
kau memang Mata Malaikat yang mengalihkan
nama pada orang lain! Biar kelak tak ada rasa kecewa, kau juga harus mendahului
mampus!" "Tunggu!" seru Pendekar 108. Namun Utusan Iblis tak lagi menghiraukan seruan
Aji. Kedua tangannya diangkat dan serta-merta dihantamkan
ke arah Aji. Karena tak bisa lagi mengelak, akhirnya
Pendekar Mata Keranjang hanya pejamkan sepasang matanya menunggu maut menjemput
nyawanya. Sejengkal lagi hantaman kedua tangan Utusan Iblis yang telah dialiri tenaga
dalam itu meremukkan kepala Aji, tiba-tiba terdengar seru dahsyat. Di lain kejap
tubuh Utusan Iblis laksana disapu gelombang hingga terhuyung dan terjengkang
duduk. Rahang Utusan Iblis langsung menggembung besar, matanya merah laksana dikobari
api. Kedua tangannya cepat dipukulkan ke arah mana
deruan dan sapuan angin datang.
Wuuuttt! Wuuuttt! Praaasss!
Semak-semak lebat yang banyak berada di
sekitar tempat itu langsung rata laksana dipangkas pisau tajam. Serpihannya
langsung berhamburan ke udara berubah lembut lalu terbang di-
bawa angin malam.
Namun ditunggu hingga beberapa saat tidak
muncul juga seseorang, membuat Utusan Iblis marah lalu berteriak.
"Jahanam siapa pun adanya, keluarlah!
Aku Utusan Iblis!"
Tak ada sahutan. Namun sesaat kemudian
rimbunan tumbuhan lima belas kaki di samping
Utusan Iblis bergoyang-goyang dengan keras. Utusan Iblis cepat putar tubuh
setengah lingkaran lalu kedua tangannya untuk kedua kalinya menghantam.
Wuuuttt! Praaasss!
Rimbunan semak-semak terabas rata sampai pangkalnya. Namun kembali Utusan Iblis
dibuat marah. Dari bekas tumbuhan itu dia tak melihat siapa-siapa!
Mungkin penasaran, Utusan Iblis segera
melesat ke arah kerimbunan semak. Dari situ tibatiba dia samar-samar menangkap
suara tawa perlahan yang seperti datang dari tempat agak jauh.
Sejenak Utusan Iblis terpaku mendengarkan. Setelah dapat menyiasati arah
datangnya suara, tanpa
pikir panjang lagi dia berkelebat sambil berteriak.
"Kau berani mempermainkan Utusan Iblis.
Kau cari mampus!"
Pada saat Utusan Iblis berkelebat mengejar
orang, Aji segera bangkit. Baru saja tegak terdengar suara pelan menegur.
"Aji! Mengapa masih bengong mirip orang
bodoh. Ikuti aku!"
"Eyang...," gumam Pendekar Mata Keran-
jang mengenali panggilan dan suara gurunya. Dia
segera berpaling. Dia hanya sekilas menatap berkelebatnya sesosok bayangan.
Yakin bahwa itu
Eyang Gurunya si Wong Agung, Aji cepat putar tubuh lalu berkelebat ke arah mana
sang bayangan berkelebat. *** Kita tinggalkan dulu Utusan Iblis yang berkelebat mengejar orang yang diduga
telah mempermainkannya, juga berkelebatnya Aji menyusul
bayangan yang diduga Eyang Gurunya. Kita kembali pada Setan Pesolek yang
berkelebat sambil
membawa kipas ungu 108 milik Aji karena tibatiba terdengar suara bergeletarnya
bambu kuning. Pada suatu tempat yang agak jauh dari
tempat pertemuannya dengan Aji, Setan Pesolek
hentikan larinya. Sejenak kepalanya berputar ke
sana kemari. Sepasang matanya yang bulat tajam
liar memperhatikan tempat di sekitarnya. Seraya
menarik napas panjang dia mengusap keringat
yang membasahi lehernya. Sesungging senyum
menyeruak di bibirnya. Laki-laki ini lantas bergumam sendiri.
"Seharusnya pemuda tadi langsung kuhantam dadanya biar segera mampus. Tapi...
Ah, itu

Pendekar Mata Keranjang 25 Bidadari Penyebar Cinta di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

akan membuatnya curiga dan tak menghiraukan
Dewa Setan. Dan bukan tak mungkin akan mengejarku. Kurasa Dewa Setan akan
berhasil membuatnya ke akhirat. Kalaupun tak berhasil, kipas
ini telah jatuh ke tanganku. Lebih dari itu aku
akan segera mendapatkan Lembaran Kulit Naga
Pertala. Petunjuk itu telah kuperoleh meski belum
bisa kujabarkan.... Hem.... Sebentar lagi kitab itu
di tanganku. Hik.... Hik,... Hik...! Rimba persilatan
akan geger! Dan aku akan jadi tokoh tanpa tanding. Hik.... Hik.... Hik...!"
Perlahan-lahan laki-laki ini angkat kedua
tangannya ke atas. Dari batas keningnya tangannya disentakkan.
Seettt! Seettt!
Terdengar seperti suara robek. Tangan si lelaki terus bergerak ke belakang.
Sampai tengkuk kembali tangan itu menyentak. 'Seeettt'!
Di tangan si kakek tampak rambut tergerai.
Dia lalu menggoyang kepalanya. Kejap lain terlepas
rambut hitam berkepang dua. Rambut itu panjang
dan hitam! Si Laki-laki campakkan rambut di tangannya, lalu tangan itu kembali
diangkat ke atas.
Dari bawah janggut tangan itu menyentak perlahan. Lantas bergerak ke atas
membuka kulit tipis
yang menutup wajahnya.
Ketika kulit penutup itu terbuka, jelaslah
wajah di balik kulit yang baru saja terbuka. Ternyata dia adalah seorang
perempuan berparas
cantik. Bibirnya merah dengan bulu mata lentik
dan mata bulat tajam.
Perempuan ini kemudian tanggalkan pakaian! Di baliknya tampaklah pakaian warna
putih tipis dan ketat membungkus tubuh sintal yang bagian dadanya sedikit dibuat
rendah menampakkan
sebagian sembulan buah dadanya yang kencang.
Sejenak perempuan berbaju putih goyang-
goyangkan kepalanya.
"Hem.... Sebentar lagi pagi akan datang.
Aku akan cari tempat untuk istirahat sambil memikirkan petunjuk itu...,"
gumamnya seraya tersenyum. Tangannya bergerak meraba ke arah pinggang. Saat
tangannya bisa merasakan sembulan
kipas, dia menarik napas dalam. Perempuan berparas cantik dan bukan lain adalah
Bidadari Penyebar Cinta ini putar kepalanya sekali lagi, lalu
berkelebat tinggalkan tempat itu dengan bibir tersenyum.
DELAPAN SESAAT setelah Bidadari Penyebar Cinta
berkelebat lenyap sesosok bayangan muncul di
tempat itu. Sepasang mata sosok ini menyapu berkeliling. Kepalanya bergerak
berpaling ke samping
kanan dan kiri.
"Hem.... Aku masih membaui harumnya tubuh seorang perempuan.... Pasti orangnya
cantik. He.... He.... He...!" gumamnya lalu buka mulut lebar-lebar. "Seandainya aku
masih muda, pasti dia
kukejar. Sayang.... Tubuhku sudah tak kuat lagi
untuk urusan-urusan demikian, padahal sebenarnya hatiku masih ingin.... Ah,
mungkin masaku sudah memasuki zaman semangat kuat tenaga
kurang...."
Orang ini lantas sentakkan kepalanya ke
arah bawah. Tubuhnya dibungkukkan lalu tan-
gannya terulur mengambil rambut berkepang dua
yang tergolek di bawahnya.
Rambut itu didekatkan ke hidungnya dengan sepasang matanya dibeliakkan. "Rambut
palsu.... Tapi baunya harum. Aneh. Dunia makin lama makin dipenuhi hal aneh-
aneh. Sudah punya
rambut masih juga menggunakan rambut palsu.
Jangan-jangan itunya orang nanti juga dipalsu!
Edan! Bagaimana rasanya kalau lagi ketemu yang
palsu begitu" Ngeri...," orang itu terus bergumam
sambil tertawa sendirian, tanpa melepas rambut
berkepang dua itu. Pandangannya ditujukan lagi
ke tanah. "Hem.... Pakaian bagus! Harum lagi...! Pemiliknya sudah pasti perempuan yang
amat cantik. Sayang, aku tak melihatnya. Apalagi mendapatkannya. Tapi..., mendapatkan
pakaiannya pun cukup baik. Toh, bau harum tubuhnya masih tertinggal.... Peduli amat dengan
anggapan orang terhadapku nanti. Biar mereka kebingungan melihat
seorang kakek mengenakan pakaian perempuan...," orang itu ternyata adalah
seorang kakek berpakaian kulit ular dan bukan lain adalah Mata
Malaikat segera mengenakan pakaian perempuan
itu. Malah rambut hitam panjang dan berkepang
dua itu pun dikenakannya pula.
"He.... He.... He...! Tampangku mungkin sedikit keren. Bau tubuhku pun harum.
Siapa tahu berbekal temuan ada nenek-nenek atau gadis cantik yang tiba-tiba tertarik
padaku..."
Tiba-tiba Mata Malaikat tengadahkan kepalanya. Matanya memandang ke arah sebelah
ti- mur. Nun jauh di atas langit sana cahaya kemerahan telah tampak, berarti pagi
akan segera tiba.
Namun mesti pandangan si kakek ke arah pemandangan indah di bentangan langit
sebelah timur tapi sebenarnya bukan itu yang membuatnya tertegun untuk beberapa saat. Tapi
telinganya yang
sayup-sayup mendengar suara nyanyian yang sebenarnya membuat kakek ini
terkesima. "Pagi-pagi begini sudah ada orang bersenandung. Hem.... Senandung kasmaran lagi.
Dan dapat kupastikan itu suara seorang perempuan!
Jangan-jangan Peri Sungai Siluman.... Hai....
Mungkin peri itu sedang mandi. Ah, aku akan ke
sana. Siapa tahu aku bisa mencuri pakaiannya, lalu...," Mata Malaikat buka
mulutnya makin lebar
lalu berkelebat ke arah datangnya suara senandung.
"Sial!" umpat Mata Malaikat dalam hati begitu mendekam di balik rimbunan semak-
semak dan dari sini ternyata dia melihat seorang gadis
berparas cantik mengenakan pakaian warna kuning muda sedang duduk bersandar pada
sebatang pohon agak besar sambil bersenandung.
"Kukira sedang mandi...," Mata Malaikat terus mengomel sambil matanya tak
berkedip memperhatikan ke arah si gadis.
"Biar aku laki-laki dan sudah kakek-kakek,
namun aku bisa menyelami perasaan anak itu.
Sepertinya dia sedang jatuh cinta.... Orang lagi ketiban cinta memang tingkah
lakunya jadi berubah.
Dia lebih senang berteman dengan sungai, angin,
tumbuhan daripada berteman dengan orang selain
kekasihnya. Gilanya lagi dia lebih percaya pada
angin, burung-burung dan ikan sebagai tempat
curahan hati! Edan.... Cinta memang edan! Astaga.
Kenapa aku sampai ikut memikir ke sana. Lebih
baik aku mencari pemuda itu. Kasihan kalau dia
sampai ketemu dengan pemuda bergelar Utusan
Iblis itu. Aku akan mengatakan yang sesungguhnya, bahwa aku bersalah telah
mengatakan bahwa
Mata Malaikat adalah dirinya. Aku akan minta
maaf dan...."
Bisikan hati Mata Malaikat terputus tatkala
dari arah belakangnya berdesir angin. Mata Malaikat telah dapat menduga bahwa
ada orang di belakangnya. Namun dia tak segera berbalik. Karena
matanya yang memandang lurus ke depan sudah
tidak melihat sosok si gadis, kakek ini dapat menebak siapa adanya orang di
belakangnya. "Anak gadis! Mau menyanyi lagi"!" Tak terdengar sahutan. Mata Malaikat lalu
berkata lagi. "Nyanyianmu bagus! Boleh tahu, siapa
orang yang beruntung mendapat cintamu"!"
Lagi-lagi tak ada sahutan, membuat Mata
Malaikat balikkan tubuh. Sepasang mata kakek ini
membelalak. Mulutnya makin menganga. Enam
langkah di hadapan si kakek tegak seorang perempuan setengah baya. Mukanya
mengenakan bedak
putih agak tebal. Bibirnya merah mencorong.
Rambutnya dikepang dua. Perempuan ini mengenakan pakaian warna hijau.
"Kakek kurang ajar! Rupanya kerjamu tukang intip, ya! Jangan-jangan kau orangnya
yang suka ngintip orang mandi! Sepasang matamu pan-
tas dibuang agar tak bisa melihat!"
"Celaka! Aku betul-betul ketiban sial hari
ini! Sudah tidak melihat bidadari mandi malah
mendapat tuduhan tak karuan...," gumam Mata
Malaikat. Sesaat kemudian kakek ini perdengarkan suara tawa ngakak, membuat
perempuan setengah baya itu kernyitkan dahi.
"Orang sinting! Siapa kau"!" bentak si perempuan berambut kepang dan bukan lain
adalah Kamaratih. Seorang tokoh rimba persilatan yang
telah lama menghilang dan kini muncul kembali
mencari Manusia Neraka, guru Drupadi.
Mata Malaikat perlahan-lahan bangkit. Merapikan pakaian temuannya lalu berkata.
"Orang cantik! Tua bangka sinting sepertiku
ini tak layak sebutkan nama di hadapanmu. Kau
boleh memanggilku apa saja! Don Yuan boleh, Mata Bongsang boleh. Asal tidak yang
bermakna burung-burung.... Kau mengerti maksudku bukan?"
Kamaratih pasang tampang geram meski
dalam hatinya geli. Dia sekali lagi memperhatikan.
Keningnya tiba-tiba berkerut, membuat bedak putihnya merekat. "Rambut putih,
mata aneh. Dalam
rimba persilatan hanya satu orang yang mempunyai ciri-ciri demikian...."
"Orang tua! Bukankah saat ini aku sedang
berhadapan dengan dedengkot rimba persilatan
bergelar Mata Malaikat"!"
Mata Malaikat doyongkan tubuhnya sedikit
ke depan dengan sepasang mata dipejamkan. Lalu
berkata sambil tarik pulang kembali tubuhnya.
"Dan bukankah gadis cantik di hadapanku
ini adalah seorang tokoh dunia persilatan bernama
Kamaratih"!"
Disebut gadis cantik, Kamaratih senyumsenyum. Sementara Mata Malaikat tak lagi
keluarkan suara
"Sobatku, Mata Malaikat!" kata Kamaratih
setelah agak lama keduanya tak ada yang buka
suara. "Kulihat hari ini kau lain dari dulu-dulu.
Gerangan apa yang membuatmu berubah. Janganjangan kau terpikat pada seorang
nenek!" Mata Malaikat perhatikan dirinya. "Hem....
Mungkin gara-gara pakaian ini yang dikatakannya
aku jadi berubah! Setan betul!" maki Mata Malaikat dalam hati lalu tertawa
bergelak. "Kamaratih. Sebenarnya maksud hati memeluk gunung tapi apalah daya tanganku cuma
segini!" ujar Mata Malaikat sambil ulurkan tangannya ke depan. "Lagi pula pada
tua bangka bau tanah begini siapa yang mau" Jangankan neneknenek, kambing pun terbirit-birit
kudekati! Padahal peliharaanku manggung pun sudah tak mampu...."
Paras wajah Kamaratih jadi agak merah
mendengar ucapan Mata Malaikat. Dalam hati perempuan setengah baya ini berkata.
"Sudah tua
bicaranya masih seperti masih muda dulu. Dasar
laki-laki!"
"Eh.... Kau sendiri kulihat makin mencorong saja. Jangan-jangan justru kau yang
lagi tersandung cinta. Siapa pemuda yang mampir di hatimu"!"
"Kau jangan menghina!" ujar Kamaratih
meski hatinya senang dipuji oleh Mata Malaikat.
"Ah. Kau jangan salah paham. Aku berkata
apa adanya. Kau kulihat makin cantik, makin bahenol. Pokoknya bertambah
segalanya! Dugaanku
pasti tak meleset. Kau lagi kasmaran bukan"!"
"Kali ini dugaanmu keliru, Mata Malaikat!
Justru aku sedang mencari orang yang mengkhianati cintaku!"
"Untuk diajak berdamai"!"
Kamaratih tertawa perlahan. "Untuk dikirim
ke akhirat!"
"Astaga! Mengapa urusan cinta bisa membawa-bawa akhirat" Walah, cinta ternyata
kejam juga, ya!"
"Tergantung orang yang menjalaninya. Kadang-kadang cinta bisa membuat orang
merasakan sejuta bahagia sejuta pesona. Namun tak jarang cinta juga membuat
orang mengalami sejuta
nestapa sejuta derita! Konyolnya, aku mengalami
yang kedua!"
"Hem.... Kau bilang mencari orang yang
mengkhianati cintamu. Mengapa ke sini" Apakah
orang itu tinggal di sekitar sini"!"
"Dia tidak tinggal di kawasan ini. Namun
aku yakin, dia pasti akan datang ke sini! Aku akan
menunggu sampai dia datang!"
Mata Malaikat palingkan wajahnya ke jurusan lain. "Hem... Berarti akan makin
banyak orang di sekitar kawasan ini.... Pasti ini ada hubungannya dengan pemburuan lembaran
kulit itu!" katanya dalam hati. Lalu dia berkata.
"Kamaratih. Apa yang menyebabkan kau
yakin orang itu akan datang ke tempat ini"!"
Kamaratih tengadahkan kepala lalu keluarkan deheman panjang, membuat Mata
Malaikat berpaling dan memperhatikannya.
"Sobatku, Mata Malaikat! Aku tahu, pertanyaanmu hanya pura-pura saja. Tapi
pertanyaanmu akan kujawab. Dia adalah seorang tokoh dari
rimba persilatan. Saat ini dunia persilatan sedang
ribut masalah Lembaran Kulit Naga Pertala yang
diduga orang masih tersimpan di Bukit Siluman.
Siapa saja pasti saat ini menginginkan lembaran
kulit itu. Dan satu-satunya jalan menuju Bukit Siluman adalah kawasan ini.
Jelas"!"
Mata Malaikat sentak-sentakkan kepalanya
ke bawah, pertanda dia mengerti akan ucapan
Kamaratih. Kamaratih turunkan wajahnya lalu
menyambung kata-katanya.
"Kau sendiri di sini kenapa" Menginginkan
juga lembaran kulit itu"!"


Pendekar Mata Keranjang 25 Bidadari Penyebar Cinta di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mata Malaikat buka suara.
"Urusan tetek bengek soal lembaran kulit,
bagi tua bangka sepertiku ini bukanlah suatu yang
berharga...."
"Begitu" Lalu apa kerjamu di sini" Mengintip orang"! Sobat, kalau hanya ingin
melihat tubuh, bagaimana kalau kutunjukkan diriku saja"
Dengan syarat, kau hanya boleh melihat tanpa boleh memegang! Mau..."!" kata
Kamaratih sambil
sunggingkan senyum dan geliatkan tubuhnya.
Mata Malaikat menjadi tergagu diam. "Setan
betul! Dia benar-benar meledekku! Apa dikira peliharaanku benar-benar tak mampu
manggung, hah"!" lalu kakek ini berkata.
"Kamaratih. Kau jangan menggoda tua
bangka ini. Aku tak tahu dadamu bagus menggoda, pinggulmu besar mempesona. Tapi
aku ragu...."
"Ragu apa"!" tanya Kamaratih sambil terus
menggoda dengan goyang-goyangkan pinggulnya.
"Aku takut punyamu palsu!"
Ucapan Mata Malaikat kontan membuat
Kamaratih hentikan gerakan tubuhnya. Wajahnya
jadi merah dan matanya mendelik.
"Kurang ajar! Meski aku sudah setengah
baya, dan saat ini banyak orang memalsukan tubuhnya, aku tak akan ikut-ikutan
perbuatan gila itu. Seluruh milikku masih asli!"
"Mana aku percaya sebelum...."
"Sudah! Omonganmu makin ngelantur tak
karuan!" putus Kamaratih, membuat Mata Malaikat tertawa bergelak-gelak. "Eh....
Kau belum jawab tanyaku. Kenapa kau berkeliaran di kawasan
ini"!" tanya Kamaratih selanjutnya.
"Apa aku akan bicara soal ini padanya"
Hem.... Tak apalah. Siapa tahu dia bisa memberi
cahaya setitik...," pikir Mata Malaikat.
"Kamaratih. Sebenarnya aku sampai ke sini
hanya terseret arus. Tujuanku sebetulnya adalah
seperti kau. Mencari seseorang. Tapi kau lebih mujur. Karena telah tahu orangnya
dan yakin akan datang ke sini. Sedangkan aku tidak demikian!"
"Maksudmu"!"
"Aku mencari orang yang wajahnya mungkin saat ini tak bisa kukenali lagi. Lebih
dari itu tak bisa kupastikan apa dia akan datang ke sini
atau tidak."
"Siapa namanya..."!"
Mata Malaikat terdiam sejenak seolah berpikir. Tak lama kemudian dia menjawab.
"Saat lahir ke dunia dia bernama Panjalu. Entah jika sekarang sudah berganti.
Bertahun sudah aku mencarinya. Namun karena wajahnya sudah tak kukenali lagi,
aku jadi kerepotan!"
Kamaratih manggut-manggut. Perempuan
berambut kepang ini kerutkan kening seolah ikut
berpikir. "Mata Malaikat! Kalau kau sampai bertahun-tahun mencarinya, tentu orang itu
sangat berharga bagimu!"
"Lebih dari intan berlian. Karena dia adalah
anakku!" "Heran. Sebagai bapak, mengapa bisa tak
mengenali anaknya?"
Mata Malaikat kembali tengadahkan kepala.
Wajahnya nampak berubah agak murung. Setelah
agak lama terdiam akhirnya dia berkata juga.
"Kau tak perlu heran. Sebab anak itu diculik orang semenjak berusia enam bulan!
Yang patut diherankan, kenapa orang menculik anakku.
Padahal aku merasa tak punya musuh! Semua
orang rimba persilatan kuanggap sahabatku!"
Kamaratih ikut-ikutan tengadahkan kepala.
Wajahnya pun tampak berubah seolah larut dalam
derita yang dialami Mata Malaikat.
"Sobatku, Mata Malaikat. Meski kau tak
mengenali anakmu, namun setidak-tidaknya kau
bisa mengenali dari ciri-cirinya yang tidak mungkin dihilangkan. Apakah dia
punya ciri-ciri tertentu"!"
Mata Malaikat manggut-manggut. "Memang.
Meski aku tak mengenali wajahnya, aku masih yakin bisa menemukannya. Karena dia
memang punya ciri tertentu yang tak bisa dihapus...," sejenak Mata Malaikat hentikan
keterangannya, lalu
melanjutkan. "Dia mempunyai tahi lalat hijau sebesar uang logam di lehernya!"
Tiba-tiba Kamaratih keluarkan seruan tertahan, membuat Mata Malaikat berpaling.
Sejurus kakek ini menangkap perubahan pada wajah perempuan di hadapannya. Dengan dahi
berdebar, dia berujar. "Kamaratih. Wajahmu berubah. Ada apa"!"
Kamaratih tidak segera menyambuti pertanyaan Mata Malaikat. Sebaliknya sepasang
matanya memandang ke wajah si kakek seperti orang
yang baru mengenal, membuat yang dipandang jadi salah tingkah.
Karena ditunggu agak lama Kamaratih tak
juga buka mulut, akhirnya Mata Malaikat kembali
ajukan pertanyaan. Seakan baru tersadar, Kamaratih kerjapkan sepasang matanya
lalu berkata. "Mata Malaikat. Aku rasa-rasanya pernah
bertemu orang yang ciri-cirinya seperti kau sebut!"
Saking kaget bercampur gembira, sertamerta Mata Malaikat melompat ke depan.
Kedua tangannya cepat memegang pundak Kamaratih,
diguncang-guncang sambil berkata.
"Di mana" Kapan" Katakan!"
Kamaratih gelengkan kepalanya, membuat
Mata Malaikat nyengir dan perlahan-lahan tangannya turun. Bukan langsung ke
bawah melainkan ke dada Kamaratih, membuat perempuan ini
makin keras geleng-gelengkan kepalanya. Mata
Malaikat jadi heran dan kernyitkan dahi. Dalam
hati kakek ini membatin.
"Perempuan aneh. Ditanya menggeleng, tak
ditanya makin menggeleng!"
"Mata Malaikat! Kau ini mau tanya apa mau
meraba-raba!" tiba-tiba Kamaratih menegur karena
dibiarkan makin lama tangan Mata Malaikat makin tak mau meninggalkan dada
perempuan di hadapannya itu.
"Astaga!" keluh Mata Malaikat sambil sentakkan tangannya dari dada si perempuan
lalu dikibas-kibaskan. Entah karena terbawa perasaan,
tanpa sengaja kedua tangan kakek ini memegang
dada Kamaratih hingga perempuan ini gelenggelengkan kepalanya.
"Jadi gelengan kepalanya tadi bukan karena
tak tahu, tapi karena tak mau! Ha.... Ha.... Ha...!
Dasar tangan tak punya mata!"
"Kamaratih. Maaf. Bukan kusengaja. Tapi
dasar tangan tak bermata! Sekarang katakanlah,
di mana dan kapan kau bertemu orang itu"!"
Kamaratih menguasai diri karena dadanya
terasa berdebar-debar akibat pegangan kedua tangan Mata Malaikat yang tak
disengaja tadi. Setelah
agak lama baru dia berkata.
"Kapan dan di mana aku lupa. Yang pasti
aku sempat beberapa kali bertemu dengannya. Dia
bersama seorang perempuan cantik. Dalam rimba
persilatan perempuan itu bergelar Bidadari Penyebar Cinta!"
Mata Malaikat terlonjak saking kagetnya,
Dia buru-buru melangkah maju mendekati Kamaratih, namun kedua tangannya ditarik
ke belakang, membuat Kamaratih tersenyum.
"Kau tidak bercanda, Kamaratih"!"
"Aku tahu mana urusan penting dan urusan canda!"
Mata Malaikat tepuk jidatnya. "Bodoh! Bodoh! Dasar otak butek!" makinya
berulangkali. "Hai! Ada apa dengan kau"!" seru Kamaratih.
"Aku harus pergi sekarang! Terima kasih
atas keteranganmu! Lain kali kita jumpa lagi dan
omong-omong panjang lebar. Tapi sebelum aku
pergi, ada sesuatu yang harus kau ketahui!" ujar
Mata Malaikat dengan wajah sungguh-sungguh,
membuat Kamaratih cepat bertanya.
"Tentang apa"!"
"Aku tadi berdusta padamu! Sebenarnya peliharaanku masih sanggup manggung! Kau
boleh buktikan nanti setelah urusanku beres!"
Kamaratih mendelik dengan wajah merah.
Kedua tangannya segera dipukulkan ke depan.
Tapi yang dipukul telah berkelebat terlebih dahulu
dengan meninggalkan tawa bergelak.
"Dasar tua bangka edan!" maki Kamaratih.
"Lagi pula siapa percaya peliharaan kakek-kakek
sepertimu masih bisa manggung"!"
Sejenak Kamaratih memandang ke arah
berkelebatnya Mata Malaikat, setelah menarik napas dalam, dia pun berkelebat
meninggalkan tempat itu.
SEMBILAN KITA kembali pada Pendekar Mata Keranjang yang berkelebat menyusul gurunya, Wong
Agung. Pada suatu tempat agak jauh dari kawasan
Sungai Siluman, orang yang berkelebat dahulu
yang ternyata adalah seorang kakek berambut dan
berjenggot putih panjang, mengenakan jubah putih, sepasang mata ditutup oleh
sepotong kulit yang dilekatkan ke belakang kepalanya dan memang Wong Agung adanya hentikan
larinya. Lalu putar tubuh dan duduk di tanah. Sepasang matanya memandang tajam ke depan, di
mana tampak muridnya Aji berlari mendatangi lalu duduk
lima langkah di hadapannya setelah terlebih dahulu menjura hormat.
"Eyang.... Dari mana kau tahu kalau aku
berada di sini"!" tanya Aji, mengutarakan keheranannya.
"Hanya dugaan saja, Aji," jawab Wong
Agung. "Dari selentingan berita, kudengar berita
mengenal Bukit Siluman dan geger Lembaran Kulit
Naga Pertala. Aku yakin, kau akan terlibat di dalamnya. Kau tahu, Bukit Siluman
adalah tempat yang berbahaya. Oleh karena itu, aku buru-buru
menyusulmu untuk memperingatkan agar kau lebih berhati-hati. Untung di tengah
jalan aku bertemu dengan Gongging Baladewa dan Dewi Kayangan. Mereka
memberitahukan di mana adanya
kau...!" Aji manggut-manggut dengan mulut cengarcengir.
"Siapa pemuda berjubah merah tadi"!" tibatiba Wong Agung ajukan tanya setelah
memandangi muridnya hingga beberapa lama.
"Dia bergelar Utusan Iblis!"
"Apa hubungannya dengan Mata Malaikat"!"
kembali Wong Agung ajukan pertanyaan.
Aji sesaat terdiam. "Berarti dia telah agak
lama di sekitar tempat perkelahian itu, karena dia
tahu urusan Mata Malaikat," batin Aji menduga.
Sebenarnya Wong Agung belum begitu lama berada di sekitar tempat Aji dari Utusan
Iblis bentrok. Dia hanya sempat mendengar bagian terakhir percakapan Utusan Iblis yang
menyebut-nyebut Mata
Malaikat, lalu dia keburu mempermainkan Utusan
Iblis untuk mengalihkan perhatiannya yang saat
itu hendak turunkan tangan maut pada muridnya.
"Eyang...," kata Aji pula. "Utusan Iblis mencari Mata Malaikat. Sialnya aku
diduga adalah orang yang bergelar Mata Malaikat. Aku sendiri heran, siapa yang mengatakan hal
itu!" "Rimba persilatan dari dulu tidak berubah!
Penuh dengan kelicikan serta saling lempar sembunyi tangan...," ujar Wong Agung
seolah berkata pada dirinya sendiri. "Hem.... Kulihat di kawasan
ini telah banyak orang berkeliaran. Kau harus
waspada dan cepat bertindak, Aji!"
Pendekar Mata Keranjang manggutmanggut, meski hatinya saat itu mulai dirasuki
perasaan khawatir tentang kipasnya yang dibawa
Setan Pesolek. Pemuda ini hendak mengutarakan
Tangan Geledek 13 Bu Kek Kang Sinkang Karya Kkabeh Pendekar Remaja 2
^