Pencarian

Badai Di Karang Langit 1

Pendekar Mata Keranjang 15 Badai Di Karang Langit Bagian 1


BADAI DI KARANG LANGIT Darma Patria Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Cover oleh Henky
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Darma Patria Pendekar Mata Keranjang 108
dalam episode: Badai Di Karang Langit
128 hal. https://www.facebook.com/pages/Dunia-
Abu-Keisel/511652568860978
SATU MALAM baru saja turun. Bentangan ang-
kasa perlahan tampak mulai terang karena bulan bulat penuh samar-samar mulai
menunjukkan diri. Julangan batu karang di tengah Laut Utara yang berdiri angker diselimuti
kabut putih perlahan pula mulai tampak sosoknya.
Batu karang menjulang di tengah laut yang
dikelilingi oleh beberapa batu karang itu tampak tetap tegar meski hempasan
gelombang abadi
menerpanya. Batu karang yang dalam rimba per-
silatan dikenal dengan nama Karang Langit itu
terlihat semakin angker saat sang rembulan me-
mancarkan cahayanya, karena warnanya seakan
berubah menjadi merah darah!
Ketika sang rembulan makin tinggi, samar-
samar terlihat sesosok tubuh duduk bersila di
tengah pelataran batu karang yang menjulang.
Kedua tangannya saling bertindih di depan dada.
Sosok ini tak bergeming sedikitpun meski hembusan angin begitu kencang serta
hawa dingin me-
nusuk tulang. Bibirnya komat-kamit tak henti-
hentinya memperdengarkan sesuatu yang tak je-
las, karena sangat pelan sekali.
Dia adalah seorang laki-laki berusia lanjut.
Rambut dan jenggotnya panjang dan telah ber-
warna putih. Pakaian yang dikenakannya adalah
sebuah jubah warna putih dan anehnya, meski
angin kencang berhembus, baik rambut, jenggot
serta jubah sosok ini tak berkibar, seolah tiada
angin yang menerpanya!
Kedua mata laki-laki ini tak tampak, kare-
na mata itu ditutup oleh sepotong kulit yang diikatkan ke belakang kepalanya.
Melihat sikapnya, mudah diduga jika laki-
laki ini sedang memusatkan akal batinnya. Kare-na hingga berselang lama, dia
tetap bersikap seperti semula. Malah dari mulutnya yang tak henti bergerak-gerak
itu mulai agak terdengar suara.
Dia sepertinya sedang membaca mantera-
mantera. Namun, kekhusukan laki-laki ini agaknya
tak bisa terus berlangsung, karena tiba-tiba saja laki-laki ini menghentikan
gerak bibirnya. Telinganya tampak sedikit bergerak ke atas. Dan bersamaan dengan
itu kepalanya perlahan pula ber-
gerak sedikit tengadah.
"Lamat-lamat, aku dengar suara kelebat
seseorang sedang menuju kemari. Bukan, bukan
seorang. Tapi dua orang. Hmm.... Siapa mereka"
Bertahun-tahun diam di Karang Langit, baru kali ini aku merasa gelisah. Pertanda
apa ini" Apa
yang sedang menuju kemari adalah Aji...?" membatin laki-laki yang sedang duduk
bersila ini tanpa gerakkan kepalanya. Kepala itu tetap tengadah dengan dahi
mengernyit. Dari dugaan laki-laki ini makin nyata, ka-
rena dari arah pesisir memang tampak dua sosok bayangan sedang meluncur dengan
derasnya membelah ganasnya gemuruh ombak.
Dua sosok bayangan ini juga tampaknya
bukan orang sembarangan. Karena, keduanya
meluncur membelah gempuran ombak hanya
dengan menggunakan kayu bulat pipih sebesar
rangkulan tangan.
Dua orang ini tampak saling rentangkan
tangan kiri kanannya. Salah satu tangan masing-masing orang saling berpegangan.
Hebatnya, mes-ti tubuh keduanya diterpa ombak, pakaian serta tubuh keduanya
tidak basah! Bahkan gempuran
ombak seakan-akan menyibak begitu keduanya
menerabas! Orang di sebelah kanan adalah seorang la-
ki-laki yang berusia lanjut. Rambut, jenggot dan kumisnya panjang serta putih
dan tampak awut-awutan tak terawat, hingga seolah menyembunyi-
kan paras wajahnya. Dia bertelanjang dada, se-
mentara pakaian bawahnya hanya berupa celana
pendek. Di samping kiri laki-laki bertelanjang dada,
adalah seorang perempuan. Parasnya cantik, be-
rusia kira-kira dua puluh lima tahun. Mengena-
kan pakaian warna gelap. Rambutnya panjang
bergerai dan berombak. Sepasang matanya bun-
dar serta tajam. Hidungnya mancung ditingkah
bibir yang membentuk bagus. Dadanya kencang
membusung, sementara pinggulnya besar meng-
getarkan. Kulitnya putih, sedang bola matanya berwarna agak kebiruan.
Sejenak, sepasang mata laki-laki bertelan-
jang dada melirik pada sang perempuan di sam-
pingnya. Dia tampak menghela napas dalam-
dalam. Helaan nafasnya jelas bukan karena melihat kecantikan sang gadis. Karena
paras wajah- nya menunjukkan kekecewaan. Bahkan tak ja-
rang laki-laki ini gelengkan kepalanya perlahan setelah melirik.
"Kinanti, Kau tahu, aku sebenarnya lebih suka melihat wajah aslimu.... Bukan
wajah palsu seperti ini! Dan seandainya bukan kau yang mengajak, aku lebih
senang menyendiri di Lembah
Rawa Buntek. Namun tak dapat ku ingkari, sejak bertemu denganmu lagi, aku merasa
ingin hidup seribu tahun lagi...! Kalau saja kau...," laki-laki bertelanjang dada tak
melanjutkan ucapan kata
hatinya, karena saat itu perempuan di samping-
nya palingkan wajah dan berkata.
"Dadung Rantak. Sejak tadi kudengar kau
menghela napas. Adakah sesuatu yang menggan-
jal di hatimu..." Katakanlah. Apa kau keberatan kuminta pertolongan"!"
"Hmm.... Dia tetap perasa seperti dahulu.
Tapi aku tak akan mengatakan apa yang sebe-
narnya mengganjal di hatiku. Dia keras kepala.
Jika tersinggung, bukan tak mungkin segala ke-
bahagiaan yang baru saja ku rasakan ini akan lenyap lagi...," membatin sang
laki-laki yang dipanggil Dadung Rantak.
Dadung Rantak dalam kancah sejarah rim-
ba persilatan adalah tokoh yang sudah tidak asing lagi. Dia dikenal sebagai
salah seorang dari sekian banyak tokoh jajaran atas golongan hitam.
Dan karena ketinggian ilmunya, tak heran jika la-ki-laki yang tak pernah
mengenakan pakaian ba-
gian atas ini sangat ditakuti oleh sesama tokoh golongan sesat, dan sangat
diperhitungkan oleh
tokoh-tokoh golongan putih. Tapi kebesaran dan keangkeran nama Dadung Rantak
tiba-tiba lenyap begitu saja, karena laki-laki ini tidak pernah lagi muncul
malah tersiar kabar jika Dadung Rantak telah tewas.
Namun yang sebenarnya terjadi adalah me-
lesetnya dugaan sebagian orang, karena Dadung
Rantak tidaklah tewas. Dia memang sengaja men-
gasingkan diri di sebuah lembah yang dikenal
dengan nama Lembah Rawa Buntek.
Bahkan tanpa ada seorang pun yang tahu,
Dadung Rantak telah mengangkat seorang laki-
laki dan seorang perempuan untuk dijadikan mu-
rid. Mereka adalah Jogaskara dan Sarpakenaka
yang kini mulai menggegerkan rimba persilatan
dengan bergelar Dayang Naga Puspa. (Tentang
Jogaskara dan Sarpakenaka atau Dayang Naga
Puspa, baca serial Pendekar Mata Keranjang 108
dalam episode: "Dayang Naga Puspa").
Tidak munculnya Dadung Rantak ke arena
rimba persilatan dalam beberapa puluh tahun silam, nyatanya hanya karena laki-
laki ini hatinya sedang dilanda duka nestapa. Kekasihnya, yang
bernama Kinanti yang dalam rimba persilatan dikenal dengan gelar Ratu Pulau
Merah, tanpa se-
bab dan tanpa pesan telah meninggalkannya.
"Dadung Rantak! Kau dengar apa yang ku-
katakan. Jawablah!" kata Kinanti atau Ratu Pulau Merah menyentak lamunan Dadung
Rantak. Seraya masih meluncur di atas gulungan amukan
ombak, Dadung Rantak batuk-batuk sebentar la-
lu angkat bicara.
"Kinanti.... Kau seperti orang yang baru sa-ja mengenalku. Apakah selama kita
berhubungan, aku pernah tak menyambuti apa yang kau minta..." Demi kau, apa pun
akan kulakukan. Walau harus menyabung nyawa sekalipun!"
Ratu Pulau Merah palingkan wajah. Sepa-
sang matanya yang berwarna kebiruan menatap
tajam pada laki-laki bertelanjang dada di sam-
pingnya. Dan sebagai rasa terima kasihnya, pe-
rempuan cantik ini melepaskan pegangan tan-
gannya lalu tangan kirinya itu dilingkarkan pada pinggang Dadung Rantak.
Sementara tangan kanannya tetap merentang seakan menjadi sayap
luncuran tubuhnya.
Melihat tingkah Ratu Pulau Merah, Dadung
Rantak sunggingkan senyum. Tangan kanannya
yang tadi saling berpegangan dengan tangan kiri Ratu Pulau Merah serta-merta
dilingkarkan di
pinggang sang perempuan.
Kini, di atas laut tampak dua orang sedang
berangkulan menembus ganasnya ombak. Hebat-
nya, begitu kedua orang ini saling melingkarkan tangan di pinggang lainnya,
luncuran tubuh keduanya semakin deras!
"Dadung Rantak! Kuharap kau mau me-
maafkan sikapku dulu!" berkata Ratu Pulau Merah dengan tengadahkan sedikit
kepalanya. Hing-ga wajahnya menerpa helaian jenggot dan rambut Dadung Rantak
yang awut-awutan. Herannya, perempuan cantik ini tidak merasa risih, malah
seraya mendesah pelan, wajahnya disapu-sapukan
pada helaian rambut Dadung Rantak.
Dadung Rantak terlihat berubah paras.
Tubuhnya sedikit bergetar, nafasnya lebih kencang dan tak teratur. Sepasang
matanya yang ke-labu sedikit berubah merah. Entah mengerti
maksud Ratu Pulau Merah atau hanya karena tu-
juan lain, Dadung Rantak gerakkan tangan ki-
rinya perlahan dan merapikan jenggot serta rambutnya.
"Dadung Rantak. Kau maukan..."!" kata Ratu Pulau Merah mengulangi ucapannya,
karena Dadung Rantak belum jawab pertanyaannya.
"Kinanti! Kalau aku tak memaafkanmu,
perlu apa aku menuruti permintaanmu" Apalagi
permintaanmu bukanlah permintaan yang sepele.
Ini menyangkut nyawa. Karena orang yang akan
kita hadapi adalah seorang tokoh yang ilmunya
tak bisa kita perhitungkan, apalagi dia sudah undur diri dari kancah persilatan,
yang berarti banyak punya waktu untuk memperdalam ilmu!"
"Tapi kau tak takut menghadapinya-
kan..."!" Dadung Rantak mengeluarkan tawa mengekeh panjang. Karena kekehan
tawanya bukan sembarang kekehan, maka sejenak itu gemu-
ruh gelombang laut seakan tertindih lenyap suara tawa kekehannya.
"Kinanti. Dalam hidupku, hanya satu yang
ku takutkan!"
Mengira bahwa yang ditakutkan Dadung
Rantak adalah orang yang akan dihadapinya, bu-
ru-buru Kinanti berucap.
"Dadung Rantak. Kita sekarang belum tahu
ketinggian orang yang akan kita hadapi. Untuk
apa kita harus merasa takut..." Lagi pula kita berdua!"
Mendengar ucapan Kinanti, Dadung Ran-
tak kembali tertawa. Kepalanya sedikit berpaling, hingga janggutnya menyentuh
dahi Ratu Pulau
Merah. "Kinanti. Aku belum selesai dengan kata-kataku. Dengar! Yang paling ku
takutkan adalah jika kau meninggalkan ku lagi!"
Ratu Pulau Merah buka mulutnya. Sepa-
sang matanya membeliak. Dan serta-merta tan-
gan kirinya yang melingkar di pinggang Dadung
Rantak dipererat. Lalu kepalanya disandarkan di dada Dadung Rantak yang
telanjang. "Percayalah. Aku tak akan meninggalkan-
mu lagi! Kita akan terus berdua! Sampai menutup mata...."
"Astaga!" tiba-tiba Dadung Rantak berseru, membuat Ratu Pulau Merah tarik
kepalanya dan ikut-ikutan memandang ke depan, seperti yang
dilakukan Dadung Rantak.
Ternyata, luncuran tubuh mereka telah
hampir mencapai batu karang di tengah laut. Dan tak heran jika Dadung Rantak
sedikit terkejut, karena batu karang itu sudah demikian dekatnya, sementara
tubuh mereka terus meluncur dengan
deras! "Loncat!" teriak Dadung Rantak memberi aba-aba pada Ratu Pulau Merah.
Belum usai suara Dadung Rantak, kedua orang ini telah lesatkan tubuh masing-
masing. Dan tahu-tahu tubuh keduanya telah berdiri kokoh di atas batu karang
seraya tetap berangkulan!
Kayu bulat pipih yang mereka jadikan se-
bagai alat untuk meluncur menembus gempuran
ombak tampak terus meluncur deras dan meng-
hantam lamping batu karang. Bagian batu karang yang terkena luncuran kayu
langsung hancur
berkeping-keping. Malah batu karang itu sempat bergetar! Dari sini jelas bisa
dilihat bagaimana ketinggian ilmu kedua orang ini.
Masih tetap berangkulan, kedua mata mas-
ing-masing orang ini lantas menyapu berkeliling.
Dan berakhir pada batu karang yang berada di
tengah dan tampak menjulang tinggi serta di-
bungkus kabut putih.
"Kinanti! Apa kau yakin bahwa kedua ben-


Pendekar Mata Keranjang 15 Badai Di Karang Langit di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

da yang kau inginkan itu benar-benar ada di tangan Wong Agung"!" berkata Dadung
Rantak setelah agak lama di antara keduanya saling diam
dengan mata masing-masing tak berkedip men-
gawasi julangan batu karang.
"Dalam hidup, aku tak mau bertindak se-
belum aku yakin benar bahwa apa yang akan ku-
lakukan tidak sia-sia!"
Sejenak Ratu Pulau Merah menghentikan
ucapannya, lalu tak lama kemudian melanjutkan.
"Apakah kau meragukan keyakinanku..."!"
Dadung Rantak menggeleng perlahan. "Me-
ragukan tidak. Namun menurut yang kuketahui,
kipas hitam ciptaan Empu Jaladara telah jatuh ke tangan manusia yang bergelar
Malaikat Berdarah Biru. Sementara bumbung bambu berisi jurus
pamungkasnya ada di tangan seorang yang hing-
ga saat ini tidak dikenal namanya! Jadi aku tak habis pikir jika kau katakan
bahwa kedua benda tersebut ada di tangan Wong Agung...!"
"Kau tak usah berpikir habis-habisan. Dan keteranganmu memang benar jika kipas
hitam telah jatuh pada Malaikat Berdarah Biru, sementa-ra bumbung bambu berada
di tangan orang yang
tak dikenal namanya. Namun apakah kau telah
dengar pula tentang seorang pemuda bergelar
Pendekar Mata Keranjang 108?"
"Apa hubungannya dengan pemuda itu"!"
kata Dadung Rantak sedikit terkejut, karena baru kali ini mendengar nama itu.
Dan dalam hati di-am-diam laki-laki bertelanjang dada ini berkata.
"Pendekar Mata Keranjang 108.... Hmm....
Apakah pemuda ini ada hubungannya dengan...,"
kata hati Dadung Rantak terputus, karena Ratu
Pulau Merah telah berkata.
"Dadung Rantak. Aku tak heran jika kau
tak mengetahui pemuda itu, karena kau telah
berpuluh-puluh tahun tak muncul dari pengasin-
ganmu. Hanya yang perlu kau ketahui, pemuda
itu kini telah membuat geger rimba persilatan!"
"Membuat geger..."!" ulang Dadung Rantak dengan paras terkejut. Lantas Dadung
Rantak melanjutkan kata hatinya. "Apakah pemuda itu telah mendapatkannya..." Jahanam.
Jika benar, berarti aku terlambat bertindak. Bagaimana dengan Sarpakenaka dan Jogaskara...?"
"Betul!" kata Ratu Pulau Merah. "Pendekar Mata Keranjang 108 telah berhasil
membuat Malaikat Berdarah Biru bertekuk lutut, bahkan me-
rampas kipas hitam dari tangannya. Kalau sam-
pai pemuda itu dapat menaklukkan seorang pe-
megang kipas hitam, apa tidak berarti bahwa pemuda itu telah mendapatkan jurus
pemusnah- nya..."!"
Dadung Rantak manggut-manggut. Seju-
rus, Ratu Pulau Merah menatap bola matanya, la-lu berkata. "Kenapa aku yakin
kedua benda itu di tangan Wong Agung, karena manusia bergelar
Pendekar Mata Keranjang 108 adalah murid
tunggalnya! Sementara menurut beberapa orang
yang kusuruh untuk menyelidiki Pendekar Mata
Keranjang 108, mereka mengatakan bila pemuda
itu tak pernah menggunakan kipas berwarna hi-
tam. Yang selalu di tangannya adalah kipas berwarna ungu yang tertera angka 108
Jadi ke mana lagi kipas dan bumbung itu kalau tidak disimpan gurunya?"
Kembali Dadung Rantak angguk-
anggukkan kepalanya. Mulutnya lalu membuka
hendak berkata. Namun sebelum ucapannya ter-
dengar, Ratu Pulau Merah kembali berucap.
"Dan yang lebih dari itu semua, Wong
Agung harus membayar darah atas kematian gu-
ruku!" saat berkata, paras Ratu Pulau Merah tampak merah padam. Pelipisnya
bergerak-gerak, sementara dagunya membatu. Wajahnya jelas
mengisyaratkan amarah yang meluap.
"Kinanti! Darah yang tertumpah memang
harus dibayar. Namun kau harus dapat meredam
amarah. Marah hanya akan menjadi bumerang!
Apalagi jika yang akan kita hadapi adalah orang
yang berpengalaman bertahun-tahun malang me-
lintang dalam rimba persilatan...!"
Mungkin menyadari kebenaran ucapan
Dadung Rantak, Ratu Pulau Merah tindih hawa
amarah di dadanya, bibirnya lantas tersenyum.
Tubuhnya lantas bergerak memutar hendak
menghadap Dadung Rantak. Namun tangan kiri
Dadung Rantak cepat bergerak menahan bahunya
dan berkata. "Aku bukan tak mau. Nafsuku pun sejak
tadi sebenarnya sudah menggebu-gebu. Namun
yang akan kita hadapi untuk kali ini tampaknya lebih penting. Jadi jangan
membuang-buang waktu percuma! Untuk berbasah-basah dalam nikmat
masih banyak waktu. Ayo.... Kita segera mene-
muinya!" Rona raut muka Ratu Pulau Merah terlihat
merah padam. Dadanya yang membusung naik
turun menindih gejolak nafsu yang mulai mengu-
asai dirinya. Dan selagi perempuan cantik ini sedang mencoba menguasai dirinya,
Dadung Ran- tak lepaskan lingkaran tangannya pada pinggang sang perempuan. Lalu melangkah
pelan ke arah batu karang yang menjulang. Hebatnya meski
tampak berjalan pelan, namun tahu-tahu tubuh-
nya telah berdiri di samping batu karang tinggi menjulang!
Ratu Pulau Merah seraya menggerendeng
panjang pendek segera menyusul. Dan baru saja
dia sampai di samping batu karang tinggi, dia terkejut. Ternyata Dadung Rantak
telah lenyap. Seakan tahu ke mana arah perginya Da-
dung Rantak, Ratu Pulau Merah segera donggak-
kan kepala. Sekilas dia masih melihat kelebat
bayangan Dadung Rantak di puncak batu karang,
lalu lenyap! "Ilmunya benar-benar luar biasa! Bersa-
manya, aku yakin Wong Agung akan takluk!
Hmm.... Sementara dia bertempur dengan Wong
Agung, aku harus menyelinap dan mencari benda
itu!" Berpikir begitu, Ratu Pulau Merah lantas berkelebat menyusuri batu karang
dan sampai sebelah barat batu karang tinggi, dia hentikan langkah. Kepalanya tengadah
melihat puncak ba-tu karang.
"Dadung Rantak muncul dari arah timur.
Aku akan menyelinap dari arah barat...." Perempuan cantik itu lantas takupkan
kedua tangannya di depan dada. Dan bagai terdorong hembusan
angin, tubuhnya serta-merta melesat ke atas lalu lenyap di puncak batu karang
yang tinggi menjulang!
DUA Di pelataran batu karang tinggi menjulang,
Wong Agung semakin kernyitkan kening. Te-
linganya makin tegak, dan perlahan pula ke-
palanya digerakkan ke samping kanan, di mana
saat itu baru saja Dadung Rantak mendarat.
"Gerakannya tidak menimbulkan suara
sama sekali. Hmm.... Ternyata bukan Aji. Tam-
paknya tamu tak diundang! Siapa dia...?" membatin Wong Agung dengan kepala
menghadap pada Dadung Rantak. "Dia sendirian! Apa dugaanku meleset..."
Atau dia memang bisa menyaru keadaan hingga
kepekaanku terpengaruh" Melihat gerakannya dia bukan orang sembarangan! Lebih
baik tidak kute-gur dahulu, bahkan kalau perlu aku akan pura-
pura tidak mengetahui kedatangannya!"
Selesai membatin begitu, Wong Agung lan-
tas palingkan lagi kepalanya seperti semula. Mulutnya komat-kamit.
Di sebelah timur sisi batu karang, Dadung
Rantak membeliakkan sepasang matanya. Berkat
terpaan cahaya rembulan, Dadung Rantak dapat
segera bisa mengenali siapa adanya orang yang
duduk bersila meski dahinya sedikit mengkerut
serta hati bertanya-tanya.
"Potongan tubuhnya tidak berubah meski
aku sudah berpuluh-puluh tahun tak lagi pernah jumpa. Tapi, kenapa kedua matanya
ditutup dengan sepotong kulit..." Ciderakah..." Atau memang sedang semadi dengan
menggunakan penutup
mata..." Hmm.... Wong Agung! Puluhan tahun si-
lam, aku pernah kau pecundangi, bahkan adikku
tewas di tanganmu! Kau tahu..." Peristiwa itu ku-simpan sendiri tanpa ada orang
lain yang tahu!
Saat itu adalah saat pembayaran darah!" Dadung Rantak maju dua langkah. Sepasang
matanya tak berkedip memandangi.
"Jangan dikira aku tak tahu tingkahmu
yang berpura-pura! Aku yakin, kau tahu kedatan-
ganku!" "Wong Agung!" teriak Dadung Rantak. "Kau tak pantas berpura-pura begitu rupa!"
Meski Wong Agung tak palingkan kembali
wajahnya, namun dalam hati diam-diam dia men-
gagumi kejelian orang yang datang. Tapi Wong
Agung tetap menyembunyikan rasa tahunya atas
kedatangan orang dengan palingkan wajah pada
arah orang yang berteriak seraya berkata.
"Sahabat! Aku memang tidak tahu ada
orang datang ke tempatku. Karena kedua mataku
tak bisa lagi melihat, kuharap kau sudi mengatakan siapa kau adanya...! Tapi
terlebih dahulu
kuucapkan selamat datang di Karang Langit...."
Dadung Rantak tersenyum sinis. Kakinya
kembali melangkah maju dua tindak. Sepasang
matanya menatap tajam ke arah kedua mata
Wong Agung yang tertutup potongan kulit.
"Hmm.... Rupanya dia memang tak bisa la-
gi dapat melihat. Namun demikian, bagi orang seperti dia, tanpa melihat pun
pasti tahu akan ke-datanganku, hanya mungkin tidak bisa memasti-
kan siapa diriku!" membatin Dadung Rantak, lantas donggakkan kepala seraya
berkata. "Sebenarnya tak ada gunanya kau menge-
tahui siapa aku! Namun karena saat ini adalah saat-saat terakhir kehidupanmu,
maka akan ku turuti permintaanmu!" sejenak Dadung Rantak hentikan ucapannya, sementara Wong
Agung sunggingkan senyum.
"Wong Agung. Tentunya kau masih ingat
dengan Ragil Sedura! Aku adalah kakaknya, da-
tang menuntut darah atas tewasnya adikku!" lanjut Dadung Rantak.
Kepala Wong Agung bergerak lurus meng-
hadap Dadung Rantak. Dahinya mengernyit sea-
kan mengingat sesuatu. Kepalanya lantas men-
gangguk perlahan.
"Ragil Sedura tokoh sesat yang bergelar Iblis Dari Selatan. Hm.... Berarti orang
ini adalah Dadung Rantak!" Wong Agung membatin. Pada orang di hadapannya Wong
Agung lantas berucap.
"Dadung Rantak! Sebaiknya hal ini kita bi-carakan baik-baik saja...."
Dadung Rantak keluarkan tawa panjang
hingga rambut dan jenggot serta kumisnya ikut
berkibar-kibar. Padahal sejak tadi rambut, jenggot serta kumisnya tidak
bergerak-gerak meski di pelataran Karang Langit berhembus angin kencang.
"Bicara hanya akan memperpanjang waktu.
Bersiaplah!"
Habis berkata begitu, Dadung Rantak terli-
hat undurkan kakinya satu tindak ke belakang.
Kedua tangannya disatukan dan ditakupkan seja-
jar dada. Bersamaan dengan gerakan tangannya,
hembusan angin yang menghampar di pelataran
Karang Langit terhenti seketika.
Situasi yang demikian tampaknya telah
cukup membuat Wong Agung maklum jika Da-
dung Rantak telah siap untuk menyerang. Diam-
diam dia pun segera kerahkan tenaga dalam. Dia sadar, Dadung Rantak bukanlah
orang sembarangan.
Selagi kedua orang ini sedang mengerah-
kan tenaga masing-masing, tanpa mereka sadari
sejak tadi sesosok bayangan terlihat mengendap-endap di belakang bangunan batu
yang ada di puncak batu karang. Sepasang mata sosok ini,
yang bukan lain adalah Kinanti atau Ratu Pulau Merah tak kesiap memandang jauh
ke depan. "Hmm.... Dadung Rantak rupanya juga
mempunyai masalah sendiri dengan Wong Agung.
Ini kesempatan baik. Begitu mereka mulai bertarung, aku akan menyelinap masuk
bangunan ba- tu ini!" Sementara itu, dalam hati Dadung Rantak sebenarnya dibuat cemas dengan
tidak munculnya Ratu Pulau Merah.
"Ke mana gerangan Kinanti..." Seharusnya
dia sudah sampai di sini. Mustahil dia tak dapat melewati sisi batu karang,
meski untuk melewa-tinya dibutuhkan sedikit tenaga!"
Lain yang ada di benak Dadung Rantak,
lain pula yang ada di hati Wong Agung. Guru
Pendekar Mata Keranjang ini sebenarnya telah
mengendus adanya orang ketiga di tempat itu.
"Aku tak bisa ditipu. Ada orang lain di
tempat ini. Pertolongan hembusan angin menun-
jukkan orang ini adalah seorang perempuan. Sia-pa dia" Teman Dadung Rantak..."
Atau mereka datang sendiri-sendiri" Dugaanku ternyata tak
meleset. Jika saja...."
Wong Agung tidak meneruskan kata ha-
tinya, karena saat itu juga dari mulut Dadung
Rantak terdengar bentakan nyaring. Dan bersa-
maan dengan itu, kedua tangannya mendorong ke
depan. Wuuuttt!
Tak ada sambaran angin yang keluar, juga
tak ada suara yang terdengar. Namun hebatnya,
saat itu juga batu karang bergetar! Dan hawa dingin yang menyelimuti tempat itu
berubah menjadi hamparan hawa panas menyengat! Hingga gundukan beberapa batu
karang di pelataran Karang Langit tampak rengkah dan tak lama kemudian
berderak hancur dan hangus!
Bersamaan dengan mendorongnya kedua
tangan Dadung Rantak, di seberang, Wong Agung
tampak komat-kamit sebentar, kedua tangannya


Pendekar Mata Keranjang 15 Badai Di Karang Langit di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang sedari tadi sedekap disatukan dan diangkat lurus dada. Dan tanpa didahului
bentakan, tubuhnya tiba-tiba melesat dan lenyap dari pandangan! Saat getaran
yang menghentak Karang
Langit telah lenyap, entah dari mana datangnya, tiba-tiba sosok Wong Agung
melayang dari udara dan mendarat dengan tetap bersila di atas sebuah gundukan
batu karang! Namun penghuni Karang Langit ini terke-
siap sejenak, karena batu karang yang didudu-
kinya tiba-tiba rengkah dan hancur. Tapi sebelum batu karang tadi hancur dan
menghempaskan tubuhnya, Wong Agung kibaskan lengan jubah-
nya. Tubuhnya melesat dan tahu-tahu telah du-
duk kembali di atas gundukan batu karang lain-
nya. Akan tetapi, lagi-lagi batu karang yang baru saja didudukinya rengkah terus
hancur, membuat Wong Agung harus kebutkan kembali jubah
putihnya. Seakan tahu akan apa yang terjadi, untuk
kali ini Wong Agung tidak ingin mendarat di atas gundukan batu karang yang
memang banyak di
pelataran Karang Langit itu. Tubuhnya tahu-tahu telah mendarat dengan tetap
duduk bersila di
atas pelataran batu karang yang datar.
Namun kembali Wong Agung dibuat sedikit
terkesiap. Batu karang pelataran Karang Langit yang didudukinya terasa bergerak-
gerak, padahal batu karang di sekitarnya tidak bergeming!
"Luar biasa! Tenaga dalam orang ini benar-benar tinggi sekali! Gundukan batu-
batu karang telah hancur bagian dalamnya tanpa kelihatan di luarnya! Dan tanpa
mengeluarkan suara!" puji Wong Agung dalam hati seraya kerahkan tenaga
dalam untuk menahan gerakan-gerakan batu ka-
rang yang didudukinya.
Gerakan batu karang di bawah Wong
Agung kontan berhenti. Wong Agung palingkan
wajahnya pada Dadung Rantak yang enak-enakan
mengawasi tingkahnya. Mulutnya membuka hen-
dak berkata. Namun sebelum kata-katanya ter-
dengar, Dadung Rantak mendahului angkat bica-
ra. "Wong Agung! Kau sudah tua. Aku tak per-
lu mengingatkan lagi. Aku telah bertekad mele-
lehkan darahmu. Kau melawan atau tidak itu
urusanmu!"
Wong Agung tersenyum, lalu kepalanya
menggeleng perlahan.
"Dadung Rantak! Kalau aku sudah tua,
tentunya tak jauh beda denganmu. Hanya ku in-
gatkan, masih pantaskah orang-orang tua seperti kita melakukan hal-hal yang
hanya layak diperbuat oleh anak-anak muda yang penuh gejo-
lak...?" "Bangsat rendah! Kau menyamakan aku dengan anak-anak! Kuhancurkan
mulutmu!" Bersamaan dengan berakhirnya ucapan-
nya, Dadung Rantak sedekapkan tangan. Mulut-
nya memperdengarkan sesuatu yang tak jelas.
Sepasang matanya setengah memejam.
Mendadak tubuh Dadung Rantak bergerak-
gerak, seperti orang kedinginan. Dan perlahan
pula dari sekujur tubuhnya mengepul asap putih.
Semakin lama gerakan-gerakan tubuh Dadung
Rantak semakin keras, asap putih pun semakin
banyak dan kini telah menelan lenyap tubuh Da-
dung Rantak. Begitu tubuh Dadung Rantak lenyap di-
bungkus asap putih, tiba-tiba pelataran Karang Langit bergetar. Angin kencang
berhembus dengan hawa panas luar biasa. Bukan hanya itu, dari tubuh Dadung
Rantak yang dibungkus asap menyambar kilatan-kilatan putih laksana pijar kilat
geledek. Dan bersamaan dengan melesatnya kilatan-kilatan terdengar suara letupan
dahsyat! Plarrr! Plarrr! Plarrr!
Mengetahui suasana berbahaya, Wong
Agung cepat takupkan kedua tangannya. Kedua
bahunya terlihat disentakkan ke bawah. Tiba-tiba tubuhnya melesat ke udara.
Dari atas udara, kedua tangan Wong Agung
digerakkan menyentak ke bawah. Terdengar sua-
ra angin menderu pelan. Namun bersamaan den-
gan keluarnya deruan angin, getaran pelataran
Karang Langit berhenti seketika! Dan saat Wong Agung angkat kedua tangannya dan
diputar-putar di depan dada, hamparan hawa panas perlahan-lahan berubah kembali
menjadi dingin seperti
semula, malah kini hamparan hawa sangat dingin mulai menebar! Dan bukan hanya
sampai di situ saja, masih dengan duduk mengapung di atas ke-
pala. Di kejap itu juga kabut tipis berarak ke arahnya. Membungkus tubuhnya lalu
menelan lenyap. Yang tampak hanyalah samar-samar ge-
rakan kedua tangannya yang diangkat ke samp-
ing kanan dan kiri. Hebatnya begitu tangannya
diangkat ke kanan dan kiri, letupan keras yang ditimbulkan kilatan-kilatan asap
putih Dadung Rantak laksana dibungkam tidak bisa meletup la-gi!
Di seberang, asap putih yang membungkus
Dadung Rantak bergerak-gerak lebih keras, per-
tanda Dadung Rantak lipat gandakan kekuatan
tenaga dalamnya.
Pelataran Karang Langit kembali bergetar,
malah kini makin keras laksana diguncang gempa dahsyat! Gundukan batu-batu
karang yang ta-dinya memang telah pecah bagian dalam meletup
hancur dan hancurannya mengangkasa. Pelata-
ran Karang Langit pun mulai rengkah di sana-
sini, malah sebagian ada yang langsung terbongkar dan membentuk kubangan sedalam
setengah tombak! Hawa dingin pun merambat lenyap ber-
ganti hawa panas! Dan letupan-letupan dahsyat
makin bersahut-sahutan!
Dalam suasana demikian, tiba-tiba Dadung
Rantak keluarkan suara bentakan dari balik
bungkusan asap putih.
Seberkas cahaya hitam membersit keluar
dari bungkusan asap putih. Meski hanya berkas
sinar, namun suara yang menyertainya begitu
menggemuruh dahsyat, bahkan hampir menindih
lenyap suara letupan kilatan-kilatan!
Wong Agung tampaknya tidak terkejut
dengan serangan itu, terbukti begitu getaran dan letupan terjadi serta seberkas
sinar melesat ke arahnya, ia pun segera melayang turun. Kini dia mendarat dengan
kedua kaki terpentang. Anehnya, meski pelataran Karang Langit masih ber-
guncang, pijakan kedua kakinya tak tampak ber-
getar! Bersamaan dengan mendaratnya kaki,
Wong Agung cepat pula dorong kedua tangannya
ke depan, karena saat itu seberkas sinar hitam menggebrak ke arahnya.
Blaaammm! Ledakan yang benar-benar dahsyat terden-
gar ketika dua pukulan yang dialiri tenaga dalam tinggi itu bertemu di udara.
Batu karang di bawah tempat bertemunya
dua pukulan kontan hancur dan hancurannya
bertebaran meninggalkan lobang menganga seda-
lam satu tombak! Batu karang di bawah Karang
Langit pun tak luput dari getaran, malah lamping batu-batu karang tampak
berguguran ke dalam
laut! Begitu gema ledakan sirna, baik tubuh Dadung Rantak yang masih dibungkus
asap putih maupun tubuh Wong Agung yang samar-samar
dilapis kabut tipis, tak kelihatan di tempatnya masing-masing.
Dari tempatnya bersembunyi, Ratu Pulau
Merah berulang kali gelengkan kepala seraya kerahkan tenaga dalam. Karena jika
tidak, dia pun akan tersungkur akibat bias pukulan tenaga dalam kedua orang yang
sedang bertempur. Karena
baik Dadung Rantak maupun Wong Agung me-
mang bertempur dengan adu tenaga dalam ting-
kat tinggi. "Gila! Baru kali ini aku melihat pertempuran begitu hebat! Mereka tampaknya
tidak ba- nyak membuat gerakan, tapi akibat yang ditim-
bulkannya sungguh luar biasa! Hmm.... Kalau
aku datang sendirian, aku tidak akan mampu
mengalahkan Wong Agung keparat itu!" membatin Ratu Pulau Merah dengan sepasang
mata masih tak kesiap memandang ke depan, karena saat itu ternyata baik tubuh Dadung Rantak
maupun Wong Agung sama-sama melayang ke belakang
akibat pukulan masing-masing bertemu.
Memang, begitu Wong Agung lancarkan
pukulan untuk menangkis serangan Dadung Ran-
tak dan terjadi ledakan dahsyat, tubuhnya me-
layang hingga beberapa tombak ke belakang. Se-
saat penghuni Karang Langit ini tampak bisa
mendarat dengan kedua kaki di atas batu karang, namun getaran batu karang
tampaknya masih
berguncang, hingga tak lama kemudian, kaki
Wong Agung terlihat bergetar sebelum akhirnya
meliuk dan menekuk membuat tubuhnya melorot
dan jatuh bersimpuh.
Apa yang dialami Dadung Rantak pun tak
jauh berbeda. Saat ledakan dahsyat membuncah,
tubuhnya yang masih dibungkus asap putih me-
lenting lurus ke belakang. Untung laki-laki penghuni Lembah Rawa Buntek ini
cepat kerahkan te-
naga dalamnya, jika tidak, bukan tak mungkin
tubuhnya akan melayang jatuh dari pelataran Karang Langit! Karena saat dia
berhasil menghentikan laju tubuhnya, kaki kanannya telah menjun-
tai di bibir pelataran, hingga mau tak mau membuat laki-laki bertelanjang dada
ini harus sentakkan tubuhnya ke bawah dengan tangan cepat me-
raih gundukan batu karang di dekatnya. Karena
jika tidak tubuhnya akan terus melaju ke bawah!
"Hm.... Bangsat ini rupanya tepat seperti yang kuduga. Meski telah undur diri
dari rimba persilatan, bukan berarti harus berhenti menambah ilmu! Tapi, ke mana
gerangan Kinanti..."
Kembali ke Lembah Rawa Buntek" Atau sengaja
menunggu di bawah" Atau diam-diam naik ke
atas dan...," belum habis Dadung Rantak menduga-duga, Wong Agung yang ini sudah
bangkit angkat bicara. "Dadung Rantak! Kukira tak ada gunanya
semua ini diteruskan! Hanya kesia-siaan yang
akan kita peroleh. Marilah kita bicara baik-baik dengan mengesampingkan
prasangka buruk!"
Sambil bangkit, Dadung Rantak keluarkan
dengusan keras. Bibirnya sunggingkan senyum
seringai. Lantas seraya dongakkan kepala dan keluarkan tawa pendek, dia berkata.
"Wong Agung! Darah tidak cukup hanya di-
tebus dengan kata-kata! Bersiaplah menghadapi
kematianmu!"
Mendengar ucapan Dadung Rantak, Wong
Agung kembali geleng-gelengkan kepala. Dari hidungnya tampak berhembus napas
dalam dan panjang. "Dadung Rantak! Aku...."
"Dengar Wong Agung! Kata-katamu tak
akan dapat membayar darah adikku!" tukas Dadung Rantak. Lalu laki-laki
bertelanjang dada ini cepat jejakkan kedua kakinya. Tubuhnya melesat lenyap! Dan
batu karang yang diinjaknya tampak berderak hancur!
"Apa hendak dikata. Aku harus memperta-
hankan diri...," gumam Wong Agung seraya kelebatkan tubuhnya. Tubuhnya pun tiba-
tiba sirna dari pandangan.
Tiba-tiba terdengar suara benturan keras
di udara. Lalu terlihat dua bayangan saling mental balik. Mungkin karena
kerasnya benturan,
dua bayangan tersebut yang bukan lain Dadung
Rantak dan Wong Agung sama-sama menukik
dengan derasnya. Meski keduanya saling kerah-
kan tenaga dalam untuk coba menghindari terje-
rembabnya tubuh masing-masing di atas batu ka-
rang, namun keduanya sama-sama gagal. Hingga
secara bersamaan keduanya pun jatuh menyong-
song batu karang!
Dadung Rantak terdengar keluarkan se-
ruan perlahan. Tangan kanannya segera bergerak memegangi dadanya yang terasa
nyeri dan bagai
dihimpit batangan benda berat hingga sulit untuk menarik napas. Dari dadanya
yang terbuka tampak warna kebiruan di ulu hati. Sementara kedua tangannya
berubah kemerahan! Namun laki-laki
bertelanjang dada ini segera bangkit lalu duduk bersila dengan mulut komat-
kamit. Jelas Dadung Rantak coba kerahkan tenaga dalam untuk mengatasi nyeri di
dada dan tangannya, sekaligus untuk pulihkan tenaga.
Sepuluh tombak di hadapan Dadung Ran-
tak, Wong Agung tampak tekankan kedua tan-
gannya ke atas batu karang untuk menopang tu-
buhnya yang bangkit. Wajahnya meringis mena-
han sakit yang mendera dada dan juga tangan-
nya. Bahkan jubah bagian dadanya tampak robek
memperlihatkan kulit di baliknya. Sementara kedua tangannya tampak agak
menghitam! Seperti
halnya Dadung Rantak, Wong Agung pun mela-
kukan apa yang seperti dilakukan Dadung Ran-
tak. Melihat kesempatan ini, Ratu Pulau Merah tak sia-siakan begitu saja. Seraya
tetap kerahkan tenaga dalam takut jika sewaktu-waktu terjadi
dua tenaga dalam antara Dadung Rantak dan
Wong Agung yang bisa mengakibatkan pengin-
taiannya diketahui dengan terjerembabnya tu-
buhnya, perempuan berwajah cantik ini melang-
kah perlahan-lahan mendekati bangunan batu ke
arah depan. Sepasang matanya tak berkedip me-
mandangi Dadung Rantak dan Wong Agung. Dan
begitu dirasa suasana memungkinkan, Ratu Pu-
lau Merah cepat berkelebat dan masuk ke bangu-
nan batu yang terasa bagian depannya telah po-
rak poranda dan salah satu penyangganya tum-
bang. "Hmm.... Bila aku berhasil mendapatkan kipas hitam serta bumbung bambu,
untuk sementara aku harus cepat tinggalkan tempat ini.
Perhitungan dengan Wong Agung akan kulakukan
setelah aku berhasil mempelajari isi bumbung


Pendekar Mata Keranjang 15 Badai Di Karang Langit di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bambu, dengan demikian, ilmuku akan bertam-
bah. Untung kalau Wong Agung bisa tewas di
tangan Dadung Rantak...," membatin Ratu Pulau Merah seraya meneliti keadaan
bagian dalam bangunan batu. "Di sini tak ada apa-apa. Bahkan satu pe-
rabot pun! Di sana ada lobang pintu. Akan kuselidiki...." Perempuan ini lantas
berkelebat ke arah lobang yang memang mirip pintu di bagian belakang. Dan tanpa
pikir panjang Ratu Pulau Merah pun segera masuk ke lobang pintu yang ternyata di
baliknya ada sebuah tangga menurun dari ba-tu-batu karang.
TIGA SEBENARNYA Wong Agung samar-samar
dapat menangkap seseorang berkelebat ke arah
bangunan tempat tinggalnya. Namun karena saat
ini dia sedang menghadapi orang yang tak bisa
dianggap remeh, maka dengan terpaksa penghuni
Karang Langit ini tak mau bertindak ayal.
Hanya dalam hati, penghuni Karang Langit
ini dilanda perasaan cemas.
"Siapa dia" Apa maksudnya secara sem-
bunyi-sembunyi masuk tempat tinggalku" Apa-
kah ini akal licik Dadung Rantak..." Apa yang mereka maksud dengan semua ini?"
tiba-tiba paras muka Wong Agung berubah seakan menampakkan rasa terkejut dan
cemas. "Celaka! Jangan-jangan dia menemukan...,"
Wong Agung tak bisa meneruskan kata hatinya.
Karena saat itu juga Dadung Rantak telah putar tubuhnya. Pada putaran ketiga,
mendadak tubuhnya melesat lurus ke arah Wong Agung den-
gan sepasang kaki ditekuk, sementara kedua tangan tetap menakup di depan dada.
Hebatnya, bersamaan dengan melesatnya tubuh laki-laki bertelanjang dada ini,
entah dari mana asalnya, kabut hitam berarak dan menggelayut di atas Karang
Langit. Hingga cahaya pijar sang rembulan tak bi-sa lagi menembus ke Karang
Langit, membuat ba-
tu karang tinggi menjulang itu digenggam kegelapan. Merasakan adanya perubahan
suasana dan kelebatnya tubuh, Wong Agung segera lipat
gandakan tenaga dalamnya. Tangan kanannya
menyentak ke bawah. Tiba-tiba tubuhnya melesat ke udara. Saat itulah, dari
kegelapan berkelebat sosok Dadung Rantak.
Wong Agung angkat tangannya dengan
geser sedikit pundaknya. Sementara kaki kanan-
nya bergerak menyapu dari bawah!
Prakkk! Prakkk! Desss! Deesss!
Terjadi dua benturan keras, dan terden-
garnya suara pukulan telak menghantam sasa-
ran. Untuk kesekian kalinya tubuh kedua orang ini sama-sama mental ke belakang.
Dari mulut masing-masing terdengar seruan tertahan. Bah-
kan karena kerasnya serangan masing-masing,
baik dada Dadung Rantak maupun dada Wong
Agung yang jubahnya makin menganga, tampak
kehitaman! Sedang tangan Wong Agung tampak
bergetar hebat dan kebiruan. Demikian juga kaki Dadung Rantak.
Sebelum kedua orang ini sama-sama ber-
kaparan di atas batu karang, tampak kedua orang ini sama-sama kerahkan tenaga
dalamnya untuk menahan agar tubuhnya tak jatuh terkapar, na-
mun mungkin karena begitu tingginya tenaga
yang mereka kerahkan saat melakukan serangan
dan tangkisan, maka usaha masing-masing orang
ini tak membawa hasil.
Begitu keduanya sama-sama terkapar, su-
asana kembali terang benderang, karena arakan
kabut hitam sirna.
Dadung Rantak tampak batuk-batuk bebe-
rapa kali, lalu meludah di atas batu karang. Ludah itu berwarna kehitaman. Jelas
bahwa laki- laki dari Lembah Rawa Buntek ini terluka dalam.
Dia tampaknya menyadari hal itu, maka dengan
menyeringai dan melirik ke arah Wong Agung, dia
urut-urut dadanya seraya salurkan tenaga dalam ke arah dadanya.
Di seberang, Wong Agung pun tampak ge-
leng-gelengkan kepala untuk menghilangkan rasa nyeri di kepalanya. Tangan
kirinya tampak bersi-tekan pada batu karang, sementara tangan ka-
nannya mengusap-usap dadanya. Sebagaimana
Dadung Rantak, penghuni Karang Langit ini pun
tampak mengeluarkan ludah berwarna kehita-
man. * * * Sementara Wong Agung dan Dadung Ran-
tak masih sama-sama mengatasi diri masing-
masing, di dalam bangunan batu Ratu Pulau Me-
rah tak henti-hentinya melangkah mondar-
mandir ke sana kemari mengelilingi ruangan.
Namun paras wajah perempuan cantik ini tampak
dibungkus rasa kecewa. Hal ini jelas terlihat dari mulutnya yang tak henti-
hentinya keluarkan makian panjang pendek, malah tak jarang dia kepalkan
tangannya dan menghantam tembok ruangan
yang terbuat dari batu karang itu.
"Keparat! Di mana bangsat itu menyim-
pannya" Mustahil benda itu dibawanya!" gerendeng Ratu Pulau Merah seraya usap-
usap tembok ruangan. Dia khawatir jika tembok ruangan itu menyimpan rahasia ruangan lagi.
Tapi hingga tangannya ngilu dan kesemutan mengusap-usap
tembok ruangan, dia tak mendapatkan apa-apa
dan tak ada tempat yang pantas dicurigai.
"Jahanam! Berarti dia membawanya!
Hmm.... Jika demikian, aku harus ikut berta-
rung!" gumam Ratu Pulau Merah seraya sekali la-gi menyapukan pandangannya ke
seluruh ruan- gan. Tapi tampaknya dia tak menemukan apa
yang dicari. "Anjing sialan!" maki Ratu Pulau Merah seraya banting-bantingkan kaki dan
melangkah ke arah tangga. Sepasang matanya membeliak besar, sementara dadanya yang membusung
tampak turun naik menahan gejolak amarah. Ketika lang-
kahnya sampai tengah ruangan, dia berhenti. Di situ memang terdapat batu besar.
Melihat cekungan pada atas batu, jelas menunjukkan bahwa
batu itu sering digunakan untuk duduk.
Sejenak sepasang mata Ratu Pulau Merah
memperhatikan batu. Namun entah karena ama-
rah yang sudah tidak bisa ditahan lagi, kaki kanannya serta-merta disapukan pada
batu itu. Prakkk! Ratu Pulau Merah terperangah kaget. Batu
besar itu tidak bergeming sama sekali, apalagi hancur! Penasaran, kembali
perempuan ini sapukan kaki kanannya. Kali ini dengan kerahkan tenaga dalam.
Prakkk! Ratu Pulau Merah terpekik kesakitan.
Bahkan kakinya mental balik hingga ke belakang.
Sementara batu besar itu hanya bergerak seben-
tar, lantas diam.
Dahi Ratu Pulau Merah mengernyit. Sepa-
sang matanya mendelik.
"Sialan! Baru kali ini aku menemui batu
seperti ini. Padahal aku tadi telah kerahkan hampir separo dari tenaga dalamku!"
Mungkin karena dirasuki rasa penasaran
dan marah, Ratu Pulau Merah undurkan kakinya
satu tindak ke belakang. Mulutnya komat-kamit
sebentar, sementara matanya memejam. Dan ser-
ta-merta dia maju satu langkah. Kedua kakinya
dijejakkan ke bawah. Tubuhnya terangkat. Lantas seraya membentak pelan, kedua
kakinya dihantamkan pada batu.
Prakkk! Untuk kedua kalinya terdengar pekik kesa-
kitan dari mulut perempuan ini, malah tubuhnya mental balik dan punggungnya
menghajar tembok
ruangan. Namun, sepasang mata Ratu Pulau Me-
rah membelalak seketika, dan tak berkedip hing-ga beberapa lama.
Batu besar yang dihajar sepasang kaki Ra-
tu Pulau Merah tak mental, hanya bergerak ter-
guling. Namun bukan tergulingnya batu ini yang membuat sepasang mata Ratu Pulau
Merah membeliak tak berkesiap. Ternyata di bagian bawah batu tampak lobang yang
memancarkan si-
nar kehitaman! Dengan dahi mengernyit, Ratu Pulau Me-
rah cepat bangkit dan melangkah ke arah batu
yang telah terguling.
"Kalau batu ini batu biasa, tak mungkin
tak hancur kena tendangan tadi! Hmm.... Batu ini menyimpan sesuatu. Dari
pancaran sinar hitam
yang keluar dari lobang bagian bawah, aku yakin
ada apa-apa di dalamnya!" duga perempuan ini seraya jongkok dan mengawasi lobang
pada batu. Namun hingga lama mengawasi, matanya tak
menemukan sesuatu dari dalam lobang batu.
Mungkin merasa belum yakin dengan pen-
glihatannya, tangan kanan Ratu Pulau Merah
bergerak masuk ke lobang batu.
Ratu Pulau Merah tercekat, dan buru-buru
tarik tangannya yang mulai masuk lobang batu.
Karena begitu tangannya mulai masuk, hawa pa-
nas menyengat menghantam tangannya!
"Mungkin benda itu disimpan di sini!
Hmm.... Mudah-mudahan dugaanku tidak mele-
set...!" berpikir begitu, Ratu Pulau Merah segera kerahkan tenaga dalam. Dan
perlahan-lahan pula tangan kanannya dimasukkan kembali pada lobang batu.
Hawa panas menyengat memang menerpa
tangannya, namun karena perempuan ini telah
kerahkan tenaga dalam, maka sengatan panas itu tak begitu terasa.
Untuk beberapa lama tangan Ratu Pulau
Merah meraba-raba di dalam lobang dan dia ter-
peranjat saat tangannya menyentak sesuatu.
Dengan hati berdegup kencang, sesuatu itu di-
ambilnya. Dan perempuan ini terpekik saat merasakan apa yang ada dalam
genggamannya. "Aku berhasil mendapatkan kipas itu! Aku
berhasil mendapatkannya!" katanya berulangulang seraya tarik tangannya dari
dalam batu. Memang, ketika tangan kanan itu keluar
dari batu, tampaklah di genggaman perempuan
ini sebuah kipas lipat berwarna hitam yang ujung sebelahnya terpangkas sedikit.
Dengan tangan dan tubuh bergetar, Ratu
Pulau Merah pandangi kipas lipat hitam di tan-
gannya. Lalu dengan perlahan pula dikembang-
kan. "Ya, memang ini benda yang kucari! Aku berhasil!" seru Ratu Pulau Merah
dengan senyum lebar. Untuk beberapa lama, sepasang matanya
tak berkesiap memandangi kipas yang telah terpentang.
Setelah puas memandangi, kipas hitam itu
kembali dilipat. Lalu disimpannya di balik pa-
kaiannya. Sepasang matanya kembali mengawasi
ke dalam lobang batu.
"Kalau kipas ini disimpan di sini, berarti bumbung bambu itu pun ada di sini!"
Perempuan ini lantas gerakkan tangannya kembali memasuki lobang, dan untuk
beberapa lama tangannya
mencari-cari di dalam batu.
Dan untuk kedua kalinya Ratu Pulau Me-
rah menjerit. Wajahnya tampak berseri-seri. Malah tak lama kemudian tawanya
terdengar keluar dari mulutnya.
"Aku juga berhasil mendapatkan bumbung
bambu itu!" seru Ratu Pulau Merah seraya tarik tangannya dari dalam batu. Di
tangannya memang tampak sebuah bumbung dari bambu kecil.
Warnanya kuning kehitaman. Kedua ujungnya
tampak ditutup dengan kayu gabus.
"Hmm.... Perjalananku ternyata tidak sia-
sia! Aku harus cepat tinggalkan tempat ini! Biar
mereka berdua meneruskan pertarungan! Kalau
bisa biar mereka berdua sama-sama mampus!
Dadung Rantak! Kau manusia bodoh! Mampuslah
kau dalam kebodohanmu! Siapa sudi berhangat-
hangat dengan orang tua dekil sepertimu! Aku
masih bisa cari pemuda yang bisa membuatku
berbasah-basah! Hik... hik... hik...!"
Setelah menyimpan bumbung bambu di
balik pakaiannya, Ratu Pulau Merah cepat berkelebat ke ruangan atas. Lalu dengan
mengendap- endap, serta sepasang mata mengarah ke tempat
pelataran di mana Dadung Rantak dan Wong
Agung bertarung, perempuan ini melangkah per-
lahan ke arah pintu.
Untuk beberapa saat lamanya, Ratu Pulau
Merah memandang ke arah Wong Agung dan Da-
dung Rantak. Dan begitu dirasa keadaan aman,
perempuan ini pejamkan sepasang matanya. Ke-
dua tangannya ditakupkan sejajar dada. Mulut-
nya berkemik-kemik. Dan serta-merta sepasang
matanya dibuka, kakinya menjejak lantai ruan-
gan. Mendadak tubuh perempuan ini melesat
dan lenyap dari pandangan. Hanya suara deru kelebatnya yang terdengar. Dan tahu-
tahu sosok Ratu Pulau Merah telah berada di sisi pelataran Karang Langit.
Di bawah cahaya rembulan, tampak bibir
Ratu Pulau Merah tersenyum. Lalu masih dengan
senyum menyungging, kepalanya berpaling pada
Dadung Rantak dan Wong Agung yang ternyata
sedang sama-sama duduk bersila berhadap-
hadapan. "Mampuslah kalian berdua! Dadung Ran-
tak selamat tinggal!"gumam Ratu Pulau Merah pelan. Lalu tubuhnya berkelebat
melayang turun dari pelataran Karang Langit.
EMPAT KETIKA Ratu Pulau Merah berkelebat tu-
run, Wong Agung tampak palingkan wajah ke
arahnya. Namun belum sampai penghuni Karang
Langit ini dapat mengetahui siapa adanya orang, itu, Dadung Rantak telah tarik
kedua tangannya ke belakang. Lalu sekonyong-konyong seraya lesatkan tubuhnya ke
depan, kedua tangannya di-


Pendekar Mata Keranjang 15 Badai Di Karang Langit di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hantamkan ke arah Wong Agung.
Wuuuttt! Tak ada suara yang terdengar. Hanya seki-
las tampak memancar sinar hitam melesat dari
kedua telapak tangan Dadung Rantak. Namun
begitu menyambar, sinar hitam tersebut hilang
lenyap! Dan bersamaan lenyapnya sinar hitam,
suasana berubah dingin menusuk! Angin meng-
hampar sangat kencang dan kabut menutupi
tempat itu. Di seberang, Wong Agung tampak tenga-
dahkan kepala. Tiba-tiba tubuhnya bergetar hebat. Dan saat itu juga tubuhnya
lantas melesat ke depan. Bersamaan itu, kedua tangannya pun
menghentak! Wuuuttt! Dua larik sinar putih samar terlihat keluar
dari kedua tangan penghuni Karang Langit ini.
Bersamaan dengan melariknya sinar putih, pela-
taran Karang Langit bergetar hebat! Dan....
Blaarrr! Dentuman dahsyat terdengar menggun-
cang pelataran Karang Langit. Gundukan-
gundukan batu karang yang banyak di tempat itu rengkah lalu hancur berkeping-
keping. Hebatnya begitu terdengar dentuman, baik sosok Dadung
Rantak maupun sosok Wong Agung terus melun-
cur ke depan! Mereka berdua seakan tak terpen-
garuh dengan dentuman akibat pukulan kasat-
mata Dadung Rantak bentrok dengan pukulan
yang dilancarkan Wong Agung.
Begitu keduanya hampir bertemu di udara,
kedua orang ini tampak saling angkat masing-
masing tangannya dan dibuka. Karena cepatnya
luncuran sosok keduanya, hingga tak bisa dilihat dengan mata biasa. Yang
terlihat kemudian adalah saling menempelnya telapak tangan keduanya di udara!
Sementara tubuh masing-masing tampak lurus datar dan mengapung di udara!
Dadung Rantak tampak membeliakkan ma-
tanya. Keringat mulai membasahi wajah dan tu-
buhnya. Tubuhnya pun mulai bergetar dan tela-
pak tangannya yang masih menempel dengan te-
lapak tangan Wong Agung tampak mengepul dan
berubah jadi agak kemerahan.
Tak jauh beda dengan Dadung Rantak,
Wong Agung pun tampak tubuhnya bergetar. Ju-
bah putihnya berkibar-kibar keluarkan suara
menderu-deru. Sementara telapak tangannya
yang menempel pada telapak tangan Dadung
Rantak juga nampak mengepulkan asap.
Untuk sesaat lamanya kedua orang ini sal-
ing adu tenaga dalam lewat tangannya. Namun ti-ba-tiba saja Dadung Rantak
keluarkan bentakan
keras. Tenaga dalamnya dilipatgandakan.
Mendadak tubuh Wong Agung nampak te-
rangkat. Tubuhnya makin bergetar.
Merasakan hal ini, Wong Agung pun lantas
tambah tenaga dalamnya, hingga sesaat kemu-
dian tubuhnya kembali turun dan kini kembali
sejajar dengan tubuh Dadung Rantak.
Beberapa saat berlalu. Kedua orang yang
namanya pernah menggegerkan dunia persilatan
pada beberapa puluh tahun yang silam ini kelihatannya sama-sama sanggup bertahan
dari gem- puran tenaga dalam lawan masing-masing. Tapi
sesaat kemudian terjadilah sesuatu. Tubuh Da-
dung Rantak makin keras bergetar, keningnya
makin mengeriput, sementara dari lobang hidung dan sudut bibirnya samar-samar
terlihat darah kehitaman mulai meleleh! Bahkan tatkala Wong
Agung genjot lagi tenaga dalamnya, dari lobang kecil-kecil di sekujur tubuh
Dadung Rantak mulai keluarkan keringat bercampur darah! Demikian
pula dari sudut mata dan lobang telinganya.
Tampaknya Dadung Rantak sadar jika di-
rinya dalam keadaan bahaya. Maka sebelum hal
yang tidak ia inginkan terjadi, laki-laki bertelanjang dada ini cepat pejamkan
sepasang matanya.
Dari mulutnya terdengar suara bentakan keras.
Bersamaan bentakan Dadung Rantak, ke-
dua tangannya berubah warna menjadi hitam.
Anehnya, warna hitam itu merambat dengan ce-
pat. Dan ini menjalar pula pada kedua tangan
Wong Agung yang masih menempel dengan tan-
gannya. Wong Agung tampak meringis tatkala tan-
gannya mulai dirambati warna hitam. Bahkan tak lama kemudian tubuhnya makin
keras bergetar.
Dan dari sekujur tubuhnya keluar asap hitam!
Wong Agung keluarkan seruan pelan terta-
han. Karena dari mulut serta hidung dan juga telinganya, terlihat pula darah
mulai mengalir! Malah tak lama kemudian, jubah putihnya telah berubah warna
menjadi merah muda tanda seluruh
pori-pori tubuhnya telah mengeluarkan darah pu-la!
Tampaknya kedua orang ini pantang me-
nyerah begitu saja, walau telah jelas bahwa keduanya telah sama-sama terluka
bagian dalam. Ini terlihat ketika Dadung Rantak lipat gandakan tenaga dalamnya,
dan tampaknya ini adalah kekua-
tan terakhirnya.
Melihat hal ini, Wong Agung pun tak ting-
gal diam. Ia kerahkan pula sisa tenaga dalamnya.
Ketika kedua orang ini sama-sama kelua-
rkan tenaga dalam terakhirnya, tiba-tiba tubuh keduanya makin membumbung ke
udara, namun tangan keduanya tetap saling menempel dan
mendorong! Saat itulah, entah naluri mereka yang
mengatakan atau suatu kebetulan, kedua kaki
masing-masing menghantam ke depan!
Bresss! Breesss!
Terdengar benturan keras tatkala kedua
kaki masing-masing menghantam lawan. Bersa-
maan dengan terjadinya benturan, kedua tangan
mereka yang saling menempel terpisah! Dan tu-
buh keduanya saling bermentalan ke belakang!
Wong Agung memperdengarkan keluhan
keras tatkala tubuhnya harus terjerembab di atas batu karang setelah terlebih
dahulu menghantam tembok bagian depan bangunan batu tempat
tinggalnya. Sedangkan Dadung Rantak terdengar
keluarkan pekikan keras tatkala punggungnya
harus menghajar batu karang terlebih dahulu sebelum tubuhnya terkapar dan
bergulingan. Beberapa saat kedua orang berilmu tinggi
ini sama-sama diam tak bergerak di tempat mere-ka roboh.
"Tampaknya aku harus memperdalam ilmu
lagi untuk dapat menaklukkannya. Apa boleh
buat. Aku telah kerahkan segala tenaga dalam
dan ilmuku, namun tampaknya belum mampu.
Aku harus pergi dari sini! Kalau ada umur pan-
jang tentu aku masih bisa membuat perhitungan
lagi!" membatin Dadung Rantak seraya perlahan bangkit.
Di bawah cahaya sang rembulan, jelas se-
kali terlihat bahwa sekujur tubuh Dadung Rantak telah mandi darah. Malah untuk
mengangkat tubuhnya agar bisa bangkit, ia menekankan kedua
tangannya ke atas batu karang.
"Hmm.... Ilmunya demikian maju pesat.
Aku tak menduganya. Rupanya ia telah memper-
siapkan diri jauh sebelumnya...," Wong Agung berkata dalam hati seraya cari
pegangan untuk bangkit. Pakaian yang dikenakan penghuni Ka-
rang Langit ini pun tampak robek di sana-sini.
"Heran.... Ke mana perginya Kinanti" Kalau saja ia berada di sini, kukira
masalah ini akan selesai, karena saat ini Wong Agung telah tak ber-daya! Apakah
dia keder lalu pulang..." Tapi samar-samar tadi kulihat ada bayangan berkelebat
di dekat bangunan batu itu. Apa Kinanti..." Atau murid Wong Agung yang
menyembunyikan diri..."
Ah, lebih baik aku meninggalkan tempat ini. Setelah kesehatanku pulih, aku akan
Ilmu Ulat Sutera 17 Pendekar Asmara Tangan Iblis Karya Lovely Dear Walet Emas Perak 8
^