Pencarian

Empu Jangkar Bumi 2

Dewa Arak 95 Empu Jangkar Bumi Bagian 2


mengerti. Sejak tadi, rasa ingin tahu di mana Jembawati be-
rada hampir saja dilontarkannya. Karena disadari ka-
lau pertanyaan mengenai nasib Antasena lebih pantas
diajukan, yang membuat Arya mengajukan pertanyaan
itu. Pertanyaan lainnya menyusul belakangan, telaah
pemuda berambut putih keperakan itu dalam hati.
"Tidak baik terlalu menyalahkan diri sendiri Kang,"
hibur Arya untuk mengurangi beban batin Abiyasa.
"Aku yakin, orang sepertimu tak akan bertindak keliru.
Boleh aku tahu bagaimana ceritanya?"
*** 4 "Seperti yang telah kau tahu, karena pertolongan-mu kami dapat lolos dari
ancaman Tengku Daud dan
Wanita berpakaian hijau itu, Dewa Arak," Abiyasa memulai keterangannya. "Kami
berlari terus, karena khawatir akan adanya pengejaran."
Sampai di sini, lelaki jangkung itu berhenti seje-
nak. Parasnya memperlihatkan penyesalan.
"Setelah beberapa lama berdiri, dan tak terlihat adanya tanda-tanda orang yang
mengejar, kuajak An-
tasena dan Jembawati untuk berhenti. Semula mereka
tak setuju. Tapi aku bersikeras dengan pendirianku
dan kukatakan kalau terus berlari, kami tak akan pernah sampai di tempat tujuan
yang kami harapkan.
Alasan yang kuberikan membuat mereka bimbang.
Dan, untuk lebih menenangkan mereka, kukatakan
untuk memperhatikan sekeliling tempat ini. Jika, ada hal-hal yang membahayakan,
keputusan akan kubatalkan. Mereka setuju. Aku pun naik ke atas pohon
yang paling tinggi agar dapat mengawasi keadaan di
sekitar. Dari ketinggian, aku dapat melihat apa pun
walau jaraknya masih cukup jauh. Bukankah demi-
kian, Dewa Arak"!"
Pemuda berambut putih keperakan itu mengang-
gukkan kepalanya, pertanda menyetujui pendapat Ab-
iyasa. "Sesampainya di puncak pohon, di kejauhan, aku
melihat kerimbunan semak-semak dan pepohonan
bergoyang-goyang keras seakan-akan ada angin besar
yang meniupnya. Karena penasaran, kuperhatikan ke-
rimbunan semak dan pepohonan di arah lainnya.
Hampir tak bergeming. Seketika itu pula aku yakin kalau tak ada angin besar.
Pasti ada sesuatu yang hen-
dak melewati kerimbunan semak dan pepohonan yang
bergoyang-goyang keras itu. Karena khawatir kalau-
kalau yang lewat di situ adalah Tengku Daud atau wa-
nita berpakaian hijau, aku memutuskan untuk turun
dan memberitahu Antasena serta Jembawati," Abiyasa menghela napasnya sejenak,
sebelum melanjutkan bicaranya.
"Saat itu pula, aku mendengar bunyi gerakan yang luar biasa kerasnya. Geraman
yang tak patut keluar
dari mulut manusia, dan membuat sekujur tubuh ku
lemas karena tenagaku sendiri lenyap entah kemana.
Yang lebih menggetarkan hatiku lagi, asal geraman dekat sekali dari tempatku
berada. Sekelebatan aku te-
ringat akan Jembawati dan Antasena. Dan, aku yakin
geraman itu berasal dari tempat di mana kedua orang
itu berada. Setelah berhasil menguasai perasaan, dan memulihkan tenaga, aku
turun dari atas pohon. Ternyata kekhawatiran ku beralasan. Antasena telah tewas
dalam keadaan mengerikan. Sedangkan Jembawa-
ti sama sekali tak kulihat keberadaannya. Entah apa
yang terjadi terhadapnya," keluh Abiyasa, penuh perasaan sesal bercampur sedih.
"Kalau begitu, kemungkinan besar Antasena dan
mayat-mayat cerai-berai yang kulihat tadi adalah korban dari sosok yang
mempunyai kebiasaan menggeram
itu;" pikir Arya, mulai mendapatkan satu titik terang untuk mengungkap masalah
yang dihadapinya.
"Dan..., sepertinya sosok penggeram itu mempu-
nyai ciri serupa. Kemunculannya dari satu arah me-
nimbulkan tanda-tanda yang menyolok di arah lain-
nya. Abiyasa mengalami kejadian yang sama dengan
yang ku alami "
"Kurasa keselamatan Nyi Jembawati tak terlalu
mengkhawatirkan, Kang." timpal Arya penuh keyakinan. "Bahkan aku lebih condong
menduga kalau dirinya selamat, kendati hanya untuk beberapa waktu."
"Mengapa kau demikian yakin kalau Jembawati se-
lamat, Dewa Arak"!" tanya Abiyasa, penuh rasa ingin tahu.
"Kalau Nyi Jembawati hendak dibunuh saat itu ju-ga, mengapa mesti repot-repot
membawanya, Kang"!"
Arya memberikan alasan kuat yang membuat Ab-
iyasa tak kuasa untuk menahan anggukan kepala tan-
da menyetujui. "Dibawanya Nyi Jembawati menjadi pertanda kalau
sosok yang membawanya tak ingin membunuhnya saat
itu. Hanya saja, kita tak tahu kapan pembunuhan itu
dilakukannya," lanjut Arya lagi.
Abiyasa menghela napas berat untuk menekan
kekhawatiran yang mencekam hatinya.
"Khawatir memang wajar saja, Kang," ujar Arya, tanpa bernada menasihati. "Tapi,
terlalu berkhawatir pun tak baik. Biar bagaimanapun juga Nyi Jembawati
belum, nyata-nyata tewas. Jadi kita masih mempunyai
harapan untuk menyelamatkannya. Dan bukan tak
mungkin, si pembunuh kejam itu tak sempat memba-
wanya. Barangkali saja, Nyi Jembawati sempat melari-
kan diri. Tapi kita tetap harus mencarinya. Kalau benar dia terancam, akan kita
usahakan untuk meno-
longnya...,"
"Kita...?" ulang Abiyasa setengah tak percaya seraya menatap wajah Dewa Arak
lekat-lekat. "Jadi, kau mau membantu mencarikan, Dewa Arak"!" tanyanya
lagi. Arya mengangguk dengan senyum tersungging bi-
bir. "Bukankah sudah merupakan kewajiban kita selaku manusia untuk saling
menolong, Kang"!" sahut Dewa Arak tenang.
"Kau benar, Dewa Arak... Kau benar...," sambut Abiyasa, terbata-bata karena
perasaan gembira yang
menggelora. Lelaki itu menyadari, bantuan Arya amat berati ba-
ginya. Kalau penculik Jembawati memiliki kepandaian
setingkatan Tengku Daud, hanya Arya yang menjadi
andalannya. "Aku juga tahu hal itu. Tapi, sama sekali tak ku sangka kalau kau akan bersedia
membantu sampai
masalahku tuntas...," lanjutnya gembira.
"Lupakanlah itu, Kang," kilah Arya halus. "Lagi pu-la saat ini aku sedang tidak
mempunyai urusan, dan
juga tak mempunyai tujuan. Jadi, tak ada sedikit pun halangan bagiku jika
kupergunakan waktu dan kesempatan ini untuk membantumu....."
"Terima kasih, Dewa Arak. Terima kasih.... Aku tak tahu harus berkata apa untuk
mengungkapkan rasa
syukur dan terima kasihku padamu...," ucap Abiyasa suaranya semakin bergetar
karena perasaan haru.
"Kalau begitu, tak usah ucapkan apa-apa, Kang,"
sahut Dewa Arak cepat dengan senyum terkulum. "Untuk apa memaksakan diri untuk
mengatakan hal yang
tak kau ketahui"!" lanjutnya sambil tetap tersenyum.
Abiyasa tersenyum lebar. Sambutan Arya memang
lucu, dan lelaki jangkung itu merasa geli karenanya.
Kalau saja saat itu tidak tengah berduka, Abiyasa pasti sudah tertawa terbahak-
bahak. "Menurutmu..., arah mana yang harus kita tuju,
Dewa Arak?" tanya murid Empu Jangkar Bumi itu, setelah berhasil menekan perasaan
geli yang melanda
hatinya. Arya mengarahkan pandangan berganti-ganti, ke
empat arah mata angin.
"Kalau aku tak salah duga, pembunuh Kakang An-
tasena adalah sosok yang menyergapku secara tiba-
tiba, namun melarikan diri ketika gagal. Sosok itu
memang luar biasa aneh. Aku tak tahu ke mana arah
yang ditujunya. Dan, karena aku tak mempunyai tu-
juan, kukira lebih baik kalau arah yang kita tempuh
sekarang adalah arah yang semula menjadi tujuanmu,
Kang," usul Arya setelah menjelaskannya panjang lebar. "O ya, hampir aku lupa,
boleh kuketahui mengapa Tengku Daud dan Dewi Lanjar begitu memusuhimu"!"
tanya Arya ingin tahu.
"Hhh..."
Abiyasa menghela napas berat
"Aku juga tak mengerti, Dewa Arak. Tengku Daud
dan Dewi Lanjar adalah orang-orang yang mempunyai
hubungan erat dengan datuk-datuk dunia hitam. Un-
tuk apa mereka mengejar-ngejar kami. Padahal, apa
artinya kami bagi orang-orang seperti mereka"! Kepandaian yang kami miliki pun
tak ada artinya bila dibandingkan mereka!" jelas Abiyasa tak mengerti.
"Pasti ada alasan yang membuat mereka mengejar
kau dan rombonganmu, Kang," tandas Arya, yakin.
"Cobalah ingat-ingat. Barangkali saja ada perkataan mereka yang menunjukkan
alasan mengapa mereka
bersusah payah menghadang perjalanan kalian...!"
Abiyasa mengernyitkan kening sebentar seperti
orang yang tengah berpikir.
"Ada kemungkinan kalau urusan yang tercipta an-
tara kami dan tokoh-tokoh sesat itu disebabkan oleh
guru kami. Jelas-jelas kudengar, mereka menanyakan
apakah kami bertiga merupakan murid-murid dari
Empu Jangkar Bumi. Setelah itu, mereka berminat un-
tuk menangkap kami."
"Apakah antara Empu Jangkar Bumi dan datuk-
datuk kaum sesat itu ada urusan, Kang"!" tanya Arya ingin tahu lebih jelas.
"Entahlah, Dewa Arak, aku tak pernah mengeta-
huinya. Almarhum guruku adalah orang yang tertutup.
Hampir tak pernah menceritakan sesuatu tentang di-
rinya. Kami sendiri, selaku murid-muridnya, tak begitu mengenalnya."
"Almarhum..."!" sentak Dewa Arak, agak kaget.
"Jadi Empu Jangkar Bumi sudah meninggal"!" tanyanya.
"Benar, Dewa Arak, kira-kira seminggu yang lalu.
Aku, Antasena, dan Jembawati pun tak mengetahui
penyebab kematiannya. Beliau tewas secara penuh ra-
hasia," jelas Abiyasa, lebih gamblang.
"Apakah tidak ada pesan-pesan dari Empu Jangkar Bumi sebelum menghembuskan
napasnya yang terakhir?" desak Arya, setelah berpikir sejenak.
"Pesan-pesan sih tidak, Dewa Arak. Tapi, beliau meninggalkan sepucuk surat yang
isinya memerintah-kan kami untuk pergi ke tempat yang tertulis pada
suratnya...."
"Sayang, sebelum sampai tujuan, Tengku Daud
dan Dewi Lanjar telah lebih dulu menghadang. Bukan-
kah begitu, Kang"!" lanjut Arya, ketika melihat Abiyasa tampak agak bimbang
untuk melanjutkan ceritanya.
Dewa Arak tak merasa tersinggung melihat sikap
Abiyasa yang masih belum terlalu percaya padanya.
Dia bisa memakluminya, karena dirinya sendiri pun
mungkin akan bertindak serupa jika berada di pihak
lelaki jangkung itu.
Abiyasa mengangguk, sebagai jawaban atas perta-
nyaan Arya tadi.
"Apakah kau tak keberatan aku ikut serta dalam
perjalananmu, Kang" Percayalah, aku akan tersing-
gung. Aku sudah paham, tiap orang mempunyai raha-
sia yang terkadang orang terdekat pun tak boleh men-
getahuinya. Oleh karena itu, bila ini termasuk rahasia, jangan segan-segan untuk
mengatakannya padaku,"
kata Dewa Arak, terus terang.
"Sama sekali tidak, Dewa Arak," sahut Abiyasa cepat. "Tidak ada hal yang rahasia
sama sekali. Lagi pu-la, bagaimana aku tahu ini rahasia bila aku sendiri
pun belum tahu mengapa aku harus ke sana"! Itu ala-
san pertama. Alasan keduanya, bagaimana mungkin
kau bisa membantuku mencari jejak Jembawati kalau
kau tak ikut"!"
"Bisa saja, Kang," jawab Arya kalem. "Kita melakukan perjalanan sendiri-sendiri.
Dan...." "Kurasa tak perlu seperti itu, Dewa Arak," potong Abiyasa cepat. "Aku lebih suka
kalau kita melakukan perjalanan bersama. Jadi, kau tak perlu merasa tak
enak. Aku minta maaf padamu karena telah bersikap
yang membuatmu merasa tak enak."
"Lupakanlah, Kang, aku bisa memakluminya kok,"
sahut Arya tenang.
"Kalau begitu..., apa lagi yang harus kita tunggu Dewa Arak..."!" cetus Abiyasa,
setengah mengingatkan.
*** Malam telah larut dan bahkan telah mendekati dini
hari, ketika seorang pemuda berambut putih kepera-
kan dan seorang lelaki setengah baya bertubuh jang-
kung, keluar dari pintu sebuah bangunan sederhana
yang hanya terbuat dari papan.
"Hhh...!"
Lelaki jangkung itu menghela napas berat. Paras-
nya yang terlihat lesu, memperlihatkan kekecewaan
hatinya yang besar. Dari wajahnya, tampaknya ia lelah sekali. Bahkan bukan itu
saja, kelelahan yang besar
juga melanda batinnya.
"Bagaimana, Kang"! Semua bangunan yang ada di
sini sudah kita periksa. Apakah ada di antaranya yang memberikan petunjuk
mengenai pesan yang diberikan
gurumu"!" tanya si pemuda yang berambut putih keperakan itu berbasa-basi karena
sudah bisa memper-
kirakan kalau apa yang dicari tak sesuai dengan keinginan.
"Entahlah, Dewa Arak," sahut Abiyasa, si lelaki
jangkung, bernada bingung.
"Heh..."!" Arya tersentak.
Dengan perasaan heran ditatapnya murid Empu
Jangkar Bumi itu tepat pada bola matanya. Pemuda
berambut putih keperakan itu ingin mengetahui ke-
sungguhan jawaban yang diberikan Abiyasa.
"Mengapa bisa begitu, Kang"!" tanyanya.
"Tak terlalu mengherankan, Dewa Arak," jawab lelaki berpakaian coklat itu,
kalem. "Aku sendiri tak ta-hu apa yang tengah kucari di tempat ini, jadi
bagaima-na mungkin bisa menemukannya"!"
Arya melongo. Bingung. Dan, Abiyasa yang bisa
mengetahui perasaan yang bergayut di hati Arya, bu-
ru-buru memberikan keterangan tambahan.
"Sejak semula aku sendiri tak yakin akan keberhasilan dari kepergianku ini, Dewa


Dewa Arak 95 Empu Jangkar Bumi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Arak. Tapi, keinginan untuk menyingkap rahasia, dan kewajibanku sebagai
seorang murid untuk memenuhi pesan sang guru, apa-
lagi yang merupakan pesan terakhir, membuatku ber-
sikeras melakukannya...."
"Maaf, Kang, bukannya aku bermaksud lancang
mencampuri urusanmu, tapi..., sebenarnya apakah
pesan yang ditinggalkan gurumu itu"!" tanya Arya ha-ti-hati.
"Hanya pesan singkat untuk pergi ke tempat ini, Dewa Arak," keluh Abiyasa,
seraya mengeluarkan seca-rik kulit binatang dari bagian dalam pakaiannya dan
mengangsurkannya pada Arya.
Tanpa ragu si pemuda menerima kulit binatang itu.
Dilihatnya, ada tulisan sembarangan di atasnya. Arya membacanya dalam hati.
Pergilah ke Banten. Cari orang yang bernama si
Tongkat Halilintar. Beritahukan kalau kau mendapat
perintah dariku. Kalau dia tak percaya, sebut namaku.
Tongkat Halilintar akan memberitahukan mengenai hal-hal yang selama ini ingin
kau ketahui. Bukankah kau dan yang lain-lain ingin tahu keanehan atas diri
Nawang Wulan" Tongkat Halilintar akan menjelaskan padamu.
Arya mengembalikan kulit binatang itu lagi pada Abiyasa.
"Petunjuk yang kita dapatkan memberitahukan ka-
lau si Tongkat Halilintar bertempat tinggal di sini dan membuka usaha pengawalan
dengan bayaran. Tapi
kenyataannya yang kita temukan sekarang berbeda
jauh, Dewa Arak. Jangankan sekelompok orang yang
seharusnya ada, sepotong manusia pun tak tampak!"
Cetus Abiyasa, tanpa menyembunyikan rasa heran dan
kecewanya. "Menilik dari keadaan tempat ini... aku yakin si Tongkat Halilintar dan
kelompoknya benar tinggal di
sini. Banyaknya bangunan, menandakan jumlah me-
reka yang cukup banyak. Melihat dari tanda-tanda
yang terlihat, ketidakberadaan mereka tampaknya be-
lum lama terjadi. Dengan kata lain, jika benar mereka semua pergi, pasti belum
terlalu lama. Keadaan tempat dan bangunan masih cukup rapi," timpal Dewa Arak
mengajukan pendapatnya.
"Mungkinkah merekah semua tewas dibunuh
orang"!" celetuk Abiyasa, tiba-tiba.
"Meskipun kemungkinan itu ada tapi sangat kecil Kang," bantah Arya. "Jumlah
kelompok si Tongkat Halilintar yang cukup banyak, setidak-tidaknya akan
menimbulkan bekas-bekas, jika terjadi pembunuhan. Se-
dangkan keadaan di sekitar tempat ini kulihat cukup
rapi dan tak memperlihatkan adanya tanda-tanda per-
nah terjadi keributan."
Abiyasa pun diam. Ia menyadari alasan yang dike-
mukakan oleh Dewa Arak memang benar dan masuk
akal. "Selain kau. siapa lagi yang tahu mengenai isi surat itu, Kang?" tanya Arya,
yang berusaha untuk mencari jawabannya.
"Hanya kami bertiga, Dewa Arak. Aku, Antasena,
dan Jembawati. Mereka berdua adalah adik-adik se-
perguruanku, sama-sama murid Empu Jangkar Bumi.
Selain dari mereka berdua dan aku, kurasa tak ada la-gi. Mengapa kau bertanya
demikian"!" Abiyasa malah balas bertanya.
"Aku mempunyai dugaan kalau kita sudah didahu-
lui orang. Dan, aku mempunyai alasan yang kuat un-
tuk itu. Pertama, ada orang atau sekelompok orang
yang mengetahui pesan Empu Jangkar Bumi. Dan
orang atau sekelompok orang itu sudah membunuh
semua orang yang ada di sini dan melenyapkan
mayatnya. Kemungkinan kedua, seisi tempat ini pergi
meninggalkan tempat bernaung mereka. Entah, karena
alasan apa...."
"Dugaan-dugaan yang kau lontarkan beralasan
kuat, Dewa Arak. Aku yakin, salah satu di antaranya
benar. Tapi, kurasa hal itu tak perlu terlalu kita pikir-kan. Yang paling
penting adalah apa yang harus kita
lakukan sekarang"! Satu-satunya petunjuk untuk
mengetahui hal yang tersembunyi dari kematian guru
dan pesannya sudah lenyap. Dan, aku tak tahu harus
memulai dari mana lagi untuk mengungkapnya," keluh murid pertama Empu Jangkar
Bumi itu, putus asa.
Arya terdiam. Pemuda ini menyadari kebenaran
ucapan Abiyasa. Dicobanya untuk memikirkan tinda-
kan mereka selanjutnya. Si lelaki jangkung juga mela-
kukan hal serupa, sehingga keheningan menyelimuti
tempat itu. Yang terdengar sekarang hanya desir angin malam dan bunyi kepak
kelelawar, serta serangga malam lainnya.
Mendadak Dewa Arak merasakan keanehan dalam
dirinya. Ia merasa seakan-akan ada orang yang tengah memperhatikan mereka
berdua. Arya tahu, kalau perasaannya luar biasa peka, terkadang dirinya tak
ubahnya binatang yang mempunyai naluri. Dan, hal
itu terjadi karena belalang raksasa di alam gaib yang telah beberapa kali
merasuk ke dalam dirinya (Untuk
jelasnya silakan baca episode: "Dalam Cengkeraman Biang Iblis," dan "Makhluk
dari Dunia Asing").
Menyadari keadaan dirinya, pemuda berambut pu-
tih keperakan itu segera mengedarkan pandangan ber-
keliling. Dan, ternyata perasaannya tak keliru. Di ping-gir atap salah satu
bangunan, tampak sesosok tubuh
tengah berdiri tegak. Rembulan bulat yang berada te-
pat di belakangnya, membuat sosok itu terlihat pekat.
"Di tempat ini kita tidak hanya berdua, Kang," ujar Arya lirih, tanpa
mengalihkan pandangan dari sosok
hitam yang berjarak sekitar lima tombak darinya. Arya khawatir sewaktu
perhatiannya dialihkan, sosok itu
akan melancarkan serangan.
"Ssss... siapa dia, Dewa Arak...?" tanya Abiyasa dengan suara berdesis dan
bergetar. Penampilan sosok di atap bangunan itu memang mampu menciutkan
keberanian tokoh mana pun.
Arya hanya menggeleng perlahan, karena ia me-
mang belum mengenalnya. Ada kemungkinan sosok itu
dikenalnya. Tapi, keberadaannya yang hanya tampak
bentuk tubuhnya dan sepasang matanya, membuat ia
tak mengenalnya.
Sepasang mata sosok hitam itu terlihat jelas kare-
na mencorong tajam bak mata seekor harimau dalam
gelap. Kelihatan menyeramkan, karena keadaan ma-
lam yang sunyi, hening, dan mencekam. Tambahan la-
gi, sikap sosok hitam itu tampak angker.
Dewa Arak merasakan detak jantungnya berpacu
jauh lebih cepat dari biasanya. Sorot sepasang mata
pendatang gelap itu sudah menunjukkan kepandaian-
nya yang tinggi. Karena, hanya tokoh yang memiliki
tenaga dalam yang sukar diukur, yang bisa mempu-
nyai mata bersorot demikian.
Sesaat kemudian, sosok hitam itu melesat, dalam
keadaan tubuh tegak! Seperti layaknya sebatang bam-
bu! Tak terlihat kakinya ditekuk atau tubuhnya di-
bungkukkan! Tindakan yang dilakukan sosok hitam itu tak
hanya membuat Abiyasa terkejut. Dewa Arak pun di
dalam hatinya memuji kepandaian yang dimiliki pen-
datang gelap itu. Ia mengakui sosok yang masih penuh rahasia itu memiliki
kepandaian yang amat tinggi. Sorot matanya saja sudah menunjukkan kekuatan tena-
ga dalamnya. Dan sekarang, lompatan uniknya mem-
perlihatkan keluarbiasaan ilmu meringankan tubuh-
nya. Tanpa memiliki tingkat ilmu meringankan tubuh
yang sukar diukur, tak mungkin dapat melakukan tin-
dakan seperti yang diperlihatkan sosok hitam itu.
Abiyasa tanpa sadar melangkah mundur ketika so-
sok itu menjejakkan kakinya di tanah. Juga tanpa me-
nekuk kaki atau membungkukkan tubuhnya sewaktu
mendaratkan kakinya di tanah. Ia tak ubahnya seba-
tang kayu atau besi!
"Siapa di antara kalian yang mempunyai hubungan dengan Empu Jangkar Bumi"!"
Bulu kuduk Abiyasa seketika berdiri ketika men-
dengar pertanyaan itu. Bukan hanya karena suara
yang bernada serak, berat, dan bergaung itu. Tapi, karena melihat sosok hitam
itu menatapnya lekat-lekat!
Tindakan orang itu sudah menunjukkan kalau ia
sudah tahu Abiyasalah orang yang mempunyai hu-
bungan dengan Empu Jangkar Bumi.
Bukannya memberikan jawaban, Abiyasa malah
melongo seperti orang melihat hantu di siang hari. Sedangkan Dewa Arak, tidak
memberikan tanggapan ka-
rena merasa dirinya kurang berhak. Lelaki jangkung di belakangnya yang lebih
berhak untuk memberikan jawaban. Pemuda berambut putih keperakan itu malah
mempergunakan kesempatan yang ada untuk mem-
perhatikan sosok kurus kering di depannya.
Sosok hitam yang kedatangannya mendebarkan
jantung itu ternyata kurus kering seperti cecak kelapa-ran. Tulang-tulang
tubuhnya bertonjolan di sana-sini saking kurusnya. Dan, semua itu tampak jelas
karena yang dikenakannya hanya celana panjang hitam! Kea-
daan penutup tubuh ini pun ala kadarnya, karena su-
dah compang-camping di sana-sini.
Sosok kurus kering yang ternyata seorang kakek
yang sudah berusia amat tua itu, merasa tersinggung
karena tak adanya jawaban yang diterima setelah me-
nunggu beberapa saat.
Ia menggeram pelan seperti seekor harimau. Sung-
guh pun demikian, tanah, pohon-pohon, dan bangu-
nannya yang ada di sekitar tempat itu bergetar hebat bagaikan dilanda gempa.
Malah, Abiyasa terhuyung
mundur karena merasakan kedua kakinya mendadak
lemas akibat pengaruh geraman itu.
Tapi Dewa Arak tampaknya tak terpengaruh. Pe-
muda berambut putih keperakan itu buru-buru men-
gerahkan tenaga dalam untuk melawan pengaruh ge-
raman kakek kurus kering, untuk mencegah hal-hal
yang tak diinginkannya. Arya bahkan mampu untuk
bersikap tenang, meskipun sekujur urat-urat sarafnya sudah bersiap-siap untuk
menghadapi segala macam
kemungkinan yang tak diinginkan.
*** 5 Kakek kurus kering itu ternyata tak kuasa mena-
han perasaan marahnya. Begitu geramnya sirna, den-
gannya segera diulurkan. Jari-jari tangannya yang kurus, berkuku panjang, dan
terkembang membentuk
cakar itu meluncur ke arah ubun-ubun Abiyasa. Bunyi
yang menyakitkan telinga mencicit seperti suara tikus mengiringi meluncurnya
serangan itu. Dewa Arak yang sudah bersiap-siap sejak tadi, ti-
dak tinggal diam melihat ancaman maut terhadap mu-
rid Empu Jangkar Bumi itu. Kakinya segera dilang-
kahkan ke kiri, sehingga menghadang serangan si ka-
kek. Pada saat yang bersamaan, tangan kanannya di-
ayunkan untuk menangkis serangan.
Takkk...! Bunyi keras seperti dua batang logam yang saling
berbenturan terdengar ketika dua batang tangan yang
sama-sama dialiri tenaga dalam dahsyat itu saling be-radu. Baik Dewa Arak maupun
lawannya sama-sama
terhuyung selangkah ke belakang.
"Keparat! Siapa kau..."!" tanya kakek kurus kering, setengah membentak seraya
menatap Arya penuh selidik. Si kakek tak melanjutkan penyerangan ketika ke-
kuatan yang membuat tubuhnya terhuyung usai. Ka-
kek itu murka bercampur terkejut melihat seorang
pemuda mampu membuatnya terhuyung dalam bentu-
ran! Padahal, tadi sudah dikerahkan seluruh tenaga
dalamnya. Dan, rasa penasaran pun menggulung di
dalam dadanya. Itulah sebabnya, ia melontarkan per-
tanyaan kepada pemuda berambut putih keperakan
itu. "Namaku Arya Buana. Tapi orang-orang biasa me-manggilku Arya," jawab pemuda
berpakaian ungu itu kalem.
"Hak hak hak...!"
Kakek kurus kering tertawa. Tawa yang aneh kare-
na lebih patut keluar dari mulut binatang daripada
mulut manusia. Tawa yang mengerikan! Tapi, yang le-
bih mengiriskan hati adalah tetap terkatupnya sepasang bibir si kakek. Mulut
yang telah berkeriput itu sama sekali tak bergerak!
"Jadi kau orang sombong yang berjuluk Dewa Arak itu, heh"! Sungguh kebetulan
sekali! Menurut berita
yang kudengar, kau sudah banyak merobohkan lawan.
Bahkan menurut selentingan kabar, kau adalah jagoan
nomor satu di dunia persilatan. Dan kau tak akan bisa dikalahkan orang. Aku
penasaran sekali! Ingin kubuk-tikan sendiri kebenaran berita itu. Sayang, aku
tak pernah beruntung bertemu denganmu! Sama sekali
tak kusangka kalau di saat aku mencari keturunan
dan murid-murid Empu Jangkar Bumi sialan itu ma-
lah bertemu kau! Padahal, sewaktu kucari-cari kau
malah tak kutemukan! Aku gembira sekali, Dewa Arak!
Hak hak hak...!"
"Berita yang tersebar terlalu berlebihan. Kek," kilah Dewa Arak, malu hati.
"Siapa bilang aku tak pernah kalah"! Beberapa kali aku hampir mati ketika
menghadapi lawan! Aku bukan jago nomor satu, Kek."
"Aku tak peduli itu, Dewa Arak! Yang penting kalau sudah bertarung denganmu, aku
puas. Roboh di tanganmu pun bukan merupakan satu hal yang memalu-
kan! Walaupun demikian, jangan mimpi untuk bisa
merobohkanku, Dewa Arak! Aku, Darsakala, belum
pernah dikalahkan orang! Malah, andaikata bertemu
dengan Setan Tengkorak Merah atau Dewi Berambut
Wangi, akan kutunjukkan pada mereka dan dunia per-
silatan, kalau aku jauh lebih unggul daripada mereka!"
seru si kakek sesumbar.
"Sebelum kita bertarung, boleh ku ajukan pertanyaan padamu, Kala"!" tanya Arya,
karena tahu pe-cahnya pertarungan tak akan bisa dihindarkannya la-
gi. "Silakan, Dewa Arak. Selama bisa kujawab, akan kuberikan jawabannya. Anggap
saja kebaikan hatiku
ini karena aku terlalu gembira bisa bertemu dengan-
mu," timpal Darsakala ringan.
"Terima kasih atas penghormatan berlebihan yang kuterima, Kala," Arya tersenyum
samar. "Aku hanya ingin tahu mengapa kau kelihatannya memusuhi kawanku ini"!"
tanyanya ingin tahu.
"Seperti yang kukatakan tadi, Dewa Arak, karena dia mempunyai hubungan dengan
Empu Jangkar Bu-mi. Bahkan kalau aku tak salah terka, orang ini adalah murid
empu sialan si terkutuk itu, kan"!" sahut Darsakala berapi-api.
"Lalu kenapa kalau kawanku ini mempunyai hu-


Dewa Arak 95 Empu Jangkar Bumi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bungan dengan Empu Jangkar Bumi"!" Arya balas,
bertanya bukannya memberikan jawaban.
"Setiap orang yang mempunyai hubungan dengan
si keparat Jangkar Bumi itu akan kubunuh! Karena,
empu sialan itu telah demikian tega hati membunuh
putraku!" tandas Darsakala dengan sinar mata seperti
mengeluarkan api.
"Tidak mungkin!" tukas Abiyasa tak percaya. Lelaki jangkung itu merasa
tersinggung mendengar gurunya
terus-menerus dihina. Sedikit demi sedikit kebera-
niannya timbul. "Itu hanya fitnah belaka!" tambahnya.
"Perlukah gurumu itu untuk memberikan jawaban
yang sama denganku"!" rutuk Darsakala dengan geram. "Dan perlu kau ketahui,
bukan hanya aku saja yang akan memberikan jawaban seperti ini! Kau boleh
tanya pada tokoh-tokoh persilatan lainnya. Lebih je-
lasnya kau boleh tanyakan pada tokoh-tokoh golongan
hitam!" teriak Darsakala dengan suara keras.
Abiyasa hendak memberikan bantahan lagi. Tapi,
keinginan itu ditahannya ketika mengingat beberapa
tokoh-tokoh sesat yang memburunya.
"Benarkah apa yang dikatakan Darsakala itu"!" pikir lelaki jangkung itu,
bimbang. Kesempatan belum adanya tanggapan dari Abiyasa,
dipergunakan sebaik-baiknya oleh Dewa Arak. Pemuda
berpakaian ungu itu merasa gembira karena sudah
mendapatkan sebuah titik terang untuk mengungkap
rahasia tentang Empu Jangkar Bumi dan masalah
yang melibatnya.
"Kita lupakan siapa yang benar dan salah dulu, Ka-la. Masalahnya, kalau
diperdebatkan tak akan ada ha-
bisnya. Yang jelas, setiap ada akibat pasti ada sebab.
Lagi pula, masing-masing pasti menganggap diri dan
pihaknya sendiri yang benar. Tentu saja benar menu-
rut anggapan diri dan pikirannya sendiri," ujar Arya menengahi. "Tapi, mengapa
kau kemari"! Kalau kau mempunyai urusan dengan Empu Jangkar Bumi,
mengapa datang ke tempat ini. Apakah kau tak tahu
kalau sang Empu tak tinggal di sini...?" lanjutnya.
"Aku telah mendatangi tempat tinggalnya, Dewa
Arak!" potong Darsakala, tak sabar. "Tapi, tempat itu sudah kosong! Tak ada satu
orang pun. Karena si
Tongkat Halilintar adalah kawan baik si empu sialan
itu, aku bergegas pergi kemari. Setidak-tidaknya, akan kudapatkan petunjuk
penting di sini."
"Empu Jangkar Bumi sudah meninggal, Kala," ujar Arya tenang.
"Aku pun sudah mendengar berita itu, Dewa Arak!
Dan, kau kira aku percaya dengan lelucon murahan
itu"!" dengus Darsakala, melecehkan.
Arya terkejut. Tapi, di wajahnya tak tampak pera-
saan apa pun. Tetap kelihatan tenang. Pemuda itu
berhasil menguasai perasaannya, sehingga apa yang
bergejolak di hati tak tampak pada wajahnya.
Sikap seperti itu tak tampak pada Abiyasa. Murid
Empu Jangkar Bumi itu kelihatan kaget bercampur
marah. "Tutup mulutmu, Kakek Jahat! Kau memang hanya
menyebarkan ketidakbenaran! Semula kau katakan
guruku membunuh putramu. Tuduhan itu saja sudah
merupakan fitnah! Sekarang, kau tambah lagi dengan
ketidakpercayaanmu akan kematian beliau! Perlu ku
tegaskan sekali lagi padamu. Empu Jangkar Bumi gu-
ruku, sudah tewas beberapa waktu yang lalu! Jelas"!"
serunya penuh kemarahan.
"Aku tak mau bicara dengan orang yang tak men-
gerti apa pun!" sergah Darsakala. "Meskipun demikian, kau tetap tidak akan
selamat dari tanganku. Tunggu
kesempatanmu, Monyet Bodoh! Aku lebih suka untuk
berurusan dengan Dewa Arak lebih dulu! Jelas"! Me-
nyingkirlah kalau kau memang masih sayang dengan
nyawamu!" Abiyasa ingin berbicara lagi. Tapi, segera diurung-
kan ketika melihat Dewa Arak memberinya isyarat un-
tuk menjauhi tempat itu. Ia tahu, kalau tetap berada di tempatnya sekarang ini,
akan celaka! Pertarungan antara dua tokoh sakti itu akan menimbulkan akibat be-
sar pada sekitarnya. Dan, bila dirinya terkena serangan nyasar, maut akan
mengincarnya. *** "Haaat...!"
Dengan didahului teriakan keras menggelegar,
yang anehnya dilakukan tanpa menggerakkan bibir,
Darsakala melompat menerjang Dewa Arak. Begitu be-
rada di tengah jalan, di udara, tubuhnya dibalikkan. Di saat yang sama, kaki
kanannya dikibaskan ke arah pelipis lawan.
Serangan yang dilancarkan Darsakala membuat
Arya yakin kalau kakek itu tak bermain-main. Seran-
gan yang dilancarkan, jangankan mengenai sasaran,
baru menyerempetnya saja sudah cukup untuk mengi-
rim nyawa Arya ke alam baka. Oleh karena itu, ia tak berani bertindak gegabah.
Wukkk...! Kibasan kaki kakek kurus kering itu lewat di atas
kepala ketika Dewa Arak membungkukkan tubuh den-
gan menekuk kedua lututnya. Dan, secepat itu pula
pemuda berpakaian ungu itu mengirimkan serangan
balasan berupa tusukan jari-jari tangan terbuka ke
arah ulu hati Darsakala.
Plakkk! Benturan keras terjadi ketika Darsakala yang tak
mempunyai kesempatan untuk mengelak itu mema-
paknya. Akibatnya, baik Arya maupun Darsakala sa-
ma-sama mundur.
"Kau memang hebat, Dewa Arak. Tapi, jangan ber-
besar hati dulu. Itu masih belum seberapa," ucap Darsakala ketika sudah berhasil
mematahkan kekuatan
lawan yang membuat tubuhnya terhuyung-huyung
Arya yang juga menatap lawannya dan tak lang-
sung membuka pertarungan, hanya tersenyum ham-
bar. "Aku percaya, Kala. Tapi, tidakkah pertarungan ini kita hentikan saja"!
Antara kita berdua tak ada masalah, untuk apa mempertaruhkan nyawa"!" ucap Arya
memberi usul. "Siapa bilang tak ada masalah, Dewa Arak"!" tukas Darsakala. "Saat ini saja kita
sudah berada di pihak yang saling bertentangan. Kalau kau bersedia menyingkir
dan tak membela murid Jangkar Bumi sialan
itu, mungkin kita tak perlu bertarung. Oleh karena itu, kalau kau bersedia
menyingkir dari tempatmu dan
membiarkan aku membunuh monyet buduk itu, den-
gan senang hati kubatalkan maksudku untuk berta-
rung denganmu...."
Arya terdiam. Dan, Darsakala yang memang tahu
betul kalau Dewa Arak tak akan membiarkan Abiyasa
terbunuh, tersenyum penuh kemenangan. Alasan yang
diajukannya membuat pemuda berambut putih kepe-
rakan itu mau tak mau harus bertarung dengannya.
"Tidakkah kau memikirkan tindakan yang akan
kau lakukan itu, Kala"!" ujar Arya setelah berpikir sejenak "Mungkin saja urusan
antara kau dan Empu
Jangkar Bumi hanya salah paham belaka" Siapa tahu
ada orang yang bermaksud mengadu domba, memanc-
ing di air keruh"!" kata Arya berpendapat.
"Kau tak mengerti, Dewa Arak. Dan, aku tak mem-
punyai waktu dan kesabaran untuk menjelaskannya
padamu! Yang jelas, tak ada salah paham. Apa yang
kukatakan itu benar! Dan, sebagai tambahan, antara
kita sebenarnya ada urusan. Kau sudah membunuh
sahabat baikku, Arya. Dan, karena alasan itu sudah
cukup untukmu. Jadi, tak ada alasan untuk tak berta-
rung lagi. Jelas"!" ucap Darsakala penuh kemenangan.
Arya menghela napas berat. Disadarinya kalau
niatnya untuk mengurungkan pertarungan itu akan
sia-sia. Tak ada jalan lain, kecuali bertarung dan mengalahkan Darsakala, dengan
sedapat mungkin tanpa
membunuhnya atau melukainya terlalu berat. Di lain
pihak, Darsakala yang sudah tak sabar lagi untuk me-
lanjutkan pertarungan, kembali melompat menerjang.
Untuk kedua kalinya, ketika berada di udara, di ten-
gah perjalanan, kakek itu kembali membalikkan tu-
buh. Kali ini tak hanya sebentar, melainkan terus-
menerus. Darsakala berputar seperti gasing. Inilah il-mu yang menjadi andalan si
kakek, yang diberinya
nama ilmu 'Badai dan Petir'.
Hebat bukan kepalang ilmu 'Badai dan Petir' itu.
Bunyi menderu dan meledak-ledak mengiringi berpu-
tarnya tubuh kakek kurus kering itu. Dan, seiring
dengan itu bertiuplah angin keras membawa debu. Ini
salah satu keistimewaannya. Debu yang bertiup mem-
buat pandangan lawan terhalang, sementara serangan
yang dilancarkan belum tiba.
Dewa Arak kebingungan melihat ilmu lawannya.
Tubuh Darsakala yang berputaran, membuatnya kesu-
litan untuk menjatuhkan serangan. Karena yang terli-
hat hanya segulung bayangan hitam yang berputaran.
Memang, Dewa Arak sudah beberapa kali menghadapi
lawan yang menggunakan ilmu seperti ini. Tapi tetap
saja dia bingung dan mengalami kesulitan untuk
menghadapinya. Dan, belum lagi perasaan bingungnya
lenyap, dari balik putaran itu terjulur sebuah tangan.
Seakan-akan itu tangan hantu yang keluar dari lubang
kuburan. Karena putaran tubuh itu, serangan yang melun-
cur jadi terlihat mendadak. Tambahan lagi, gerakan
Darsakala memang luar biasa cepat. Dewa Arak sendiri hanya melihat sekelebatan
bayangan meluncur jelas ke arah ubun-ubunnya.
Meskipun serangan itu demikian mendadak dan
tak disangka-sangka, namun Arya mampu membukti-
kan kalau dirinya adalah seorang pendekar muda yang
memiliki julukan besar di dunia persilatan dan tak
hanya besar namanya saja. Pemuda berpakaian ungu
ini mampu menyentakkan tangannya untuk menang-
kis serangan lawan.
Tapi, seperti juga munculnya, lenyapnya tangan
Darsakala pun hampir tak terlihat, sewaktu menghin-
darkan tangan Dewa Arak. Tangan itu lenyap begitu
saja ke dalam putaran tubuh kakek kurus kering itu!
Arya tak terlalu terkejut lagi ketika serangan tan-
gannya mengenai tempat kosong. Bahkan ketika dari
tubuh yang berputar itu mencuat kaki yang meluncur
ke arah perutnya, pemuda itu melempar tubuhnya ke
belakang dan bersalto beberapa kali untuk menjauh-
kan diri. Dewa Arak tahu, menghadapi ilmu aneh lawannya
dari arah dekat amat berbahaya. Karena akan menjadi
sasaran empuk lawannya. Sebaliknya, Darsakala amat
sukar untuk diserang, Putaran yang dilakukan mem-
buat lawan sukar untuk mendaratkan serangan kare-
na tak dapat melihat sasaran yang bakal dituju.
Dan sekarang, untuk menghindari kemungkinan
yang tak diinginkan, Dewa Arak menghadapi serbuan
lawan dengan elakan-elakan jauh. Untuk beberapa ju-
rus lamanya, pemuda itu hanya mengelak saja, dan
hanya sesekali melancarkan serangan balasan. Itu pun
hanya pukulan-pukulan jarak jauh, yang beberapa di
antaranya merupakan jurus 'Pukulan Belalang',
Memang hanya berupa pukulan-pukulan jarak
jauh yang bisa dilakukan Dewa Arak. Karena jarak
yang tercipta antara dirinya dengan Darsakala, tak
memungkinkan untuk melakukan serangan-serangan
biasa. Di lain pihak, Darsakala tak kalah cerdik dengan
Dewa Arak. Kakek itu terus-menerus bergerak mende-
kati lawannya dengan tubuh yang terus berputaran.
Pertarungan antara kedua orang itu seperti permainan kejar-kejaran. Di satu
pihak, Dewa Arak terus-menerus menjauh seraya melepaskan pukulan-
pukulan jarak jauh untuk mencegah lawan mendekati,
sekaligus mengirimkan serangan. Di pihak lain, Dar-
sakala yang mengandalkan keanehan ilmunya terus
mendekati Arya.
Abiyasa, satu-satunya orang yang menyaksikan ja-
lannya pertarungan tingkat tinggi itu, merasa khawatir atas keselamatan Dewa
Arak. Memang, sepasang matanya tak mampu melihat mereka dengan jelas. Tapi,
dari bayangan yang terlihat dapat diketahuinya mana
Dewa Arak dan mana lawannya. Karena itu, Abiyasa
tahu kalau Arya mulai terdesak. Arya menyadari kea-
daannya yang tak menguntungkan. Ia juga sadar, ka-
lau keadaan itu terus berlangsung, ia akan celaka di tangan lawannya.
Melancarkan pukulan jarak jauh terus-menerus akan membuatnya cepat lelah. Dan,
bila itu terjadi, Darsaka akan dengan mudah mengalah-
kannya. Sambil memberikan perlawanan, Dewa Arak me-
mutar otaknya, mencari cara untuk menghadapi ilmu
Darsakala yang unik dan aneh. Dan, karena disadari
kalau waktu yang dibutuhkan untuk memecahkan ra-
hasia itu cukup lama, Dewa Arak segera meraih gu-
cinya kemudian meneguknya.
Gluk... gluk... gluk...!
Bunyi tegukan terdengar ketika arak itu melewati
tenggorokannya. Sesaat kemudian, kedua kaki muda
berambut putih keperakan itu sudah tidak menapak
secara tetap lagi di tanah. Itu pertanda kalau ilmu
'Belalang Sakti' sudah siap untuk dipergunakan.
Darsakala tahu kalau Dewa Arak sudah memper-
siapkan ilmu andalannya. Tapi, ia tak merasa gentar
sama sekali. Sekarang, ia mengerti mengapa sebelum-
nya pemuda berambut putih keperakan itu mengirim-
kan serangan jarak jauh bertubi-tubi. Rupanya senga-
ja membuatnya sibuk dan menciptakan kesempatan
untuk mempersiapkan ilmu andalan.
Pertarungan kembali berlangsung, dan lebih seru
daripada sebelumnya. Dengan menggunakan ilmu
'Belalang Sakti', Arya tak hanya menggunakan puku-
lan jarak jauh untuk mengurangi tekanan Darsakala.
Tapi juga kadang dengan semburan araknya, yang ba-


Dewa Arak 95 Empu Jangkar Bumi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hayanya tak kalah dengan serangan senjata rahasia.
Tak terasa, pertarungan sudah menginjak jurus
yang ketujuh puluh. Dan pada saat itu, Arya menemu-
kan cara yang diyakininya dapat dipergunakan untuk
menekan ilmu lawannya. Tanpa menunggu lebih lama
lagi, ia segera mempergunakannya.
Dewa Arak menggertakkan gigi untuk mengerah-
kan seluruh kemampuannya sampai di puncak. Sesaat
kemudian, ia melesat berputar mengelilingi Darsakala yang tengah berputar. Arah
putarannya berlawanan
dengan arah putaran yang dilakukan Darsakala.
Siasat Dewa Arak ternyata tidak terlalu keliru. Be-
gitu cara ini dipergunakan, Darsakala kelabakan. Ge-
rakan Dewa Arak yang berputar mengelilinginya,
membuatnya kesulitan untuk menjatuhkan serangan.
Tetapi keadaannya berbeda dengan Dewa Arak.
Pemuda berambut putih keperakan itu sambil berlari
mengelilingi lawannya terkadang melancarkan seran-
gan balasan. Tak sampai dua puluh jurus, ganti Dar-
sakala yang berada di pihak yang terdesak. Memang
bila diperbandingkan, putaran tubuh Dewa Arak yang
tidak di satu tempat, membuatnya lebih mudah untuk
menyerang daripada diserang.
Keadaan yang tak menguntungkan itu membuat
Darsakala kehilangan kesabaran. Ia menyadari Dewa
Arak sudah berhasil menemukan celah-celah kelema-
han ilmunya. Terus bertahan tanpa melakukan peru-
bahan, tentu akan merugikan dirinya sendiri. Maka,
rasa tak sabar membuat Darsakala nekat. Dengan
perhitungan matang seorang tokoh tingkat tinggi, ia
melancarkan serangan berbahaya. Serangan yang bo-
leh dibilang sebagai serangan orang yang mengadu
nyawa. Prattt! Plakkk! Desss!
Bunyi keras terdengar berkali-kali ketika Dewa
Arak yang tak mempunyai kesempatan untuk menge-
lak karena Darsakala sudah menghimpitnya sedemi-
kian rupa, balas melancarkan serangan, yang dibaren-
gi dengan tangkisan terhadap serangan-serangan la-
wannya. Beberapa kali tangan dan kaki mereka saling
berbenturan, tapi masing-masing pihak tetap tak dapat mencegah bersarangnya
serangan yang dilancarkan
oleh pihak lawan.
Hampir berbarengan, tubuh Dewa Arak dan Darsa-
kala sama-sama terhuyung beberapa langkah ke bela-
kang. Dari mulut masing-masing mengalir darah segar, walaupun lebih banyak darah
yang keluar dari mulut
Darsakala. Kakek kurus kering itu menerima gedoran tangan
Arya pada dada kanan bagian atasnya. Sedangkan
Dewa Arak terkena tendangan pada pahanya. Maka ja-
lannya pertarungan terhenti seketika.
"Aku mengaku kalah, Kala. Kau memang hebat,!"
ucap Arya sambil mengusap darah yang membasahi
sudut bibirnya. "Dan, kurasa tak ada lagi gunanya pertarungan ini dilanjutkan."
Darsakala tersenyum pahit. Diam-diam perasaan
suka dan kagumnya terhadap Arya semakin membe-
sar. "Kau terlalu rendah hati, Dewa Arak Akulah yang sebenarnya kalah. Tapi, aku
tak penasaran kalah
olehmu. Kau memang pendekar luar biasa. Dan, me-
mandang dirimu, untuk kali ini kulepaskan murid
Empu Jangkar Bumi itu. Tapi, janjiku ini tak berlaku seterusnya. Yang jelas,
selama kau berada dengannya, janjiku berlaku. Di lain keadaan, aku tak menjamin
keselamatannya."
"Kuucapkan terima kasih atas pengertianmu dan
penghargaan yang kau berikan padaku, Kala. Tapi, bi-
sakah kau menceritakan secara jelas penyebab permu-
suhan mu dengan Empu Jangkar Bumi" Dan siapa
pula kawanmu yang tewas olehku, Kala"!" tanya Arya karena merasa belum puas
dengan keterangan yang
didapatnya dari kakek kurus kering itu.
"Aku mendapatkan seorang putra yang kudapatkan
dari hasil perkawinanku. Perkawinan yang membuatku
tersadar dari kotornya dunia hitam yang semula ku ge-luti. Sedikit kuberitahukan
Dewa Arak, dulu, sekitar tiga puluh lima tahun yang lalu, aku adalah tokoh besar
dunia hitam yang ditakuti, pada masa sebelum ke-
datangan Setan Tengkorak Merah dan yang lain-
lainnya." Darsakala menghentikan ceritanya sebentar, men-
gusap darah yang membasahi sebagian mulutnya, ke-
mudian mencari pohon tumbang untuk dijadikan tem-
pat duduknya. Arya pun melakukan hal yang sama.
Begitu juga Abiyasa. Bahkan lelaki jangkung itu kini berani mendekat, dan duduk
di dekat mereka berdua.
Abiyasa ingin mendengar sendiri cerita mengenai se-
pak-terjang gurunya.
"Aku sadar dari dunia hitam karena istriku dan la-hirnya anakku. Aku ingin hidup
tenang, dan tak ingin terlibat lagi dengan kerasnya dunia persilatan. Istriku
yang tak henti-hentinya menasihatiku untuk meninggalkan kotornya dunia hitam,
ditambah lagi dengan
munculnya kesadaran dalam diriku, maka ku boyong
istri dan anakku untuk pergi ke tempat terasing yang jauh dari kerasnya dunia
persilatan. Sayang, masalah datang kembali melibat kehidupan kami, meski kami
sudah hidup tenang selama beberapa tahun."
Arya dan Abiyasa dapat merasakan adanya kepahi-
tan dan kekecewaan besar dalam ucapan Darsakala
kali ini. Tapi, keduanya tak menanyakannya. Mereka
membiarkan saja, dan menunggu kakek kurus kering
itu melanjutkan ceritanya, yang dapat mengungkap
rahasia permusuhannya dengan Empu Jangkar Bumi.
*** 6 "Istriku meninggal karena penyakit yang tak kuketahui. Aku hampir kehilangan
keinginan untuk hidup.
Untungnya, dia sempat berpesan untuk menjaga anak
kami. Maka, ku kuatkan hati dan kupergunakan sisa
hidup untuk mendidik anakku, agar tak menjadi se-
perti diriku. Aku yakin, kematian atas istriku merupakan hukuman dari Tuhan.
Tapi ternyata hukuman itu
tak hanya sampai di situ. Anak yang ku besarkan ter-
nyata menderita kelainan jiwa. Otaknya kurang waras.
Jadi, sampai besar dia tak mengerti sendiri, mana yang baik dan mana buruk."
Abiyasa dan Arya saling berpandangan ketika Dar-
sakala menundukkan kepala karena kesedihan yang
melingkupi hatinya. Mereka sama sekali tak menyang-
ka akan demikian besar serangan batin yang melanda
lelaki tua itu.
"Sekitar setahun yang lalu, saat putraku sudah berusia dua puluh tahun, untuk
menjadi kawan baginya
ku carikan pemuda desa yang tak mempunyai keluar-
ga. Pemuda baik-baik dan kubawa tinggal di tempatku.
Ku didik dia dengan ilmu-ilmu kepandaian agar dia betah. Sama sekali tak
kusangka kalau aku malah men-
ciptakan masalah baru. Setelah lima tahun berlatih,
pemuda itu mengajak putraku yang tak mengerti apa-
apa untuk melakukan kejahatan-kejahatan dengan
mengandalkan kepandaian dariku. Aku tak tahu apa-
apa, karena terlalu percaya pada pemuda desa itu."
Arya menghela napas berat. Diam-diam ia merasa
kasihan pada kakek kurus kering yang tak henti-
hentinya dilanda masalah itu. Arya tahu, Darsakala
bercerita yang sebenarnya. Kebenaran cerita itu bisa Arya rasakan. Paras dan
sinar mata yang memancar
dari wajah Darsakala menyiratkan kesungguhan dan
kebenarannya. Setelah berdiam agak lama, Darsakala kembali me-
lanjutkan ceritanya
"Kenyataan yang menghancurkan hatiku baru aku
ketahui sewaktu aku mendengar bunyi khas pertarun-
gan di sekitar tempatku tinggal. Saat itu aku tengah bersemadi. Rasa ingin tahu
membuatku mendatangi
asal keributan. Dan, kutemui putra dan muridku ten-
gah bertarung dengan seorang kakek sakti yang bela-
kangan kuketahui bernama Empu Jangkar Bumi, gu-
rumu," Darsakala mengalihkan perhatian pada Abiyasa. "Aku tak ingin merendahkan
kepandaian Empu
Jangkar Bumi, dalam cerita ku ini, tapi itu memang
kenyataan sebenarnya. Pertarungan yang berlangsung
itu, kalau berjalan dengan sebenarnya, akan mene-
waskan Empu Jangkar Bumi...."
"Itu tak terlalu aneh! Bukankah beliau menghadapi pengeroyokan"!" bantah Abiyasa
cepat. "Kelihatannya memang demikian. Tapi itu terjadi karena putraku tak melawan
sepenuh hati. Dia mengeroyok, karena tak ingin temannya tewas. Jadi, pen-
groyokan yang dilakukan hanya untuk menyelamatkan
kawannya. Putraku hampir tak pernah melancarkan
serangan, kecuali untuk menolong kawannya. Itu pun
hanya serangan-serangan yang tak terlalu berbahaya.
Abiyasa menggertakkan gigi, geram, mendengar
guru yang dihormatinya direndahkan. Hanya sampai di
situ yang dilakukannya. Karena, ia menyadari kalau
kemampuannya jauh berada di bawah kakek kurus
kering itu. "Asal kalian tahu saja, meski mempunyai kelainan jiwa, bakatnya terhadap ilmu
silat luar biasa besar.
Dalam usia semuda itu semua kepandaianku telah
diserapnya. Bahkan, dia mampu memberikan tamba-
han-tambahan, membuat ilmu-ilmu yang dimilikinya
jauh lebih dahsyat dari semula. Dan, aku tahu pasti
kalau Empu Jangkar Bumi bukan tandingannya," Darsakala terdiam sejenak, sambil
menarik napas panjang
dan menghembuskannya perlahan.
"Meski demikian, aku yakin, bila ku diamkan terus, kemungkinan ada yang terluka.
Maka, sebelum berla-rut-larut kuhentikan pertarungan itu. Dan, secara
baik-baik kutanya Empu Jangkar Bumi apa yang men-
jadi penyebab pertarungan itu. Dan, jawaban yang ku-
terima benar-benar mengejutkan! Murid dan putraku
ternyata telah memperkosa anak Empu Jangkar Bu-
mi!" jelas kakek itu dengan suara meninggi.
Abiyasa tersentak bak disengat kalajengking. Arya
menatapnya tanpa bicara apa pun. Tapi, lelaki jang-
kung itu tahu kalau sinar mata Dewa Arak mengaju-
kan pertanyaan mengenai benar tidaknya Empu Jang-
kar Bumi mempunyai anak. Tanpa bicara, Abiyasa
mengangguk. "Saat itu aku benar-benar bingung untuk membe-
rikan keputusan. Butuh waktu beberapa saat sebelum
akhirnya kuizinkan Empu Jangkar Bumi untuk mem-
balas sakit hatinya. Dia kubiarkan bertarung dengan
muridku yang sejak kedatanganku telah ketakutan se-
tengah mati. Dan, dengan disaksikan anakku yang ke-
bingungan melihat keputusan yang kuambil, pertarun-
gan pun berlangsung. Dan, seperti yang sudah kudu-
ga, Empu Jangkar Bumi berhasil membunuh muridku.
Putraku, seperti yang telah kuperhitungkan sebelum-
nya, kelihatan demikian terpukul. Dia menangis me-
raung-raung, meratapi mayat kawannya. Untung den-
gan wibawa yang masih ada, putraku itu bisa ku te-
nangkan. Aku yang tak menginginkan peristiwa yang lebih ti-
dak menyenangkan itu terjadi lagi, meminta Empu
Jangkar Bumi untuk segera pergi. Kukatakan menge-
nai penyakit putraku, dan permohonan maaf sebesar-
besarnya kepadanya. Dan, aku berjanji untuk lebih
memperhatikan putraku serta menjamin tak akan ada
keonaran lagi, karena tak ada lagi yang memberinya
contoh tak baik. Bahkan, secara diam-diam karena
khawatir diketahui putraku, kukirimkan pesan pa-
danya untuk kembali ke rumah, dan aku akan datang
dan bersedia menerima hukuman darinya. Sayang...."
Detak jantung Abiyasa semakin cepat. Ia memang
tak mendengar cerita seperti ini dari mulut gurunya.
Tapi, ia yakin cerita itu benar. Perlahan-lahan lelaki jangkung itu mulai
mengerti, mengapa Empu Jangkar
Bumi, saat itu mulai berubah menjadi pemurung dan
pendiam! "Kiranya ia sedang menghadapi persoalan," Abiyasa berkata-kata sendiri dalam
hatinya. "Empu Jangkar Bumi rupanya tak mendengar ka-
ta-kataku. Dia ingin persoalan diselesaikan saat itu ju-ga. Putraku ingin
dibunuhnya. Terpaksa kukatakan
kalau akulah yang menggantikannya menerima huku-
man. Dia bersikeras menolak, dan menganggapku
pengecut. Putraku pun dikatakannya pengecut! Karena
tak ada jalan lain, kubiarkan dia memuaskan keingi-
nannya. Pertarungan dengan putraku pun berlang-
sung. Dan, seperti yang ku perkirakan, dia tak ber-
daya. Kalau tak ku cegah, dan hal itu kulakukan den-
gan susah payah, Empu Jangkar Bumi akan tewas di
tangan putraku. Dia berhasil selamat, tapi beberapa
tahun kemudian kembali dan berusaha membunuh
putraku dan juga diriku. Aku berhasil selamat, sampai sekarang. Tapi putraku
tewas..." Keadaan menjadi hening setelah Darsakala meng-
hentikan ceritanya Abiyasa dan Arya sama-sama tak
tahu harus berkata apa saat itu.
"Kurasa sebaiknya aku pergi sekarang, Dewa Arak.
Aku takut berubah pikiran lagi dengan janji yang kuu-
capkan. Selamat tinggal...."
"Selamat jalan Kala..."
Hanya ucapan itu yang diberikan Dewa Arak kare-
na Darsakala telah lebih dulu melesat. Di tempat itu, sekarang yang tinggal
hanya Dewa Arak dan. Abiyasa.
Mereka tenggelam dalam pikirannya masing-masing.
*** "Jadi Empu Jangkar Bumi mempunyai anak,
Kang"!" tanya Arya, setelah terlebih dahulu menghela napas berat.
Abiyasa menganggukkan kepala.
"Lalu..., mengapa hanya kalian bertiga yang melakukan perjalanan ke tempat ini"!
Mengapa putri Empu


Dewa Arak 95 Empu Jangkar Bumi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Jangkar Bumi tak ikut serta"!"
"Dia tak ada di sana, lenyap begitu saja tanpa kami ketahui ke mana perginya
sebelum Guru meninggal.
Bahkan, ketika Guru meninggal pun, dia tak tahu.
Semula aku, Antasena, dan Jembawati tak tahu, men-
gapa dia meninggalkan kediamannya tanpa pamit.
Hhh...! Aku tak pernah mimpi kalau nasib dirinya de-
mikian buruk, Dewa Arak...," desah Abiyasa sedih,
"Tak seorang pun yang tahu nasib yang menim-
panya, Kang. Dan, kita tak bisa menyalahkan keper-
gian putri Empu Jangkar Bumi. Apa yang menimpanya
terlalu mengerikan...," ujar Arya, ikut prihatin.
Abiyasa mengangguk-anggukkan kepala, membe-
narkan ucapan Arya.
"Kurasa tak ada yang bisa kita lakukan atau da-
patkan dl sini, Kang," ujar Arya, setengah mengingatkan.
"Kau benar, Dewa Arak. Tak ada gunanya lagi be-
rada di sini. Lebih baik kalau kita mencari tahu ke
mana perginya orang-orang di tempat ini. Barangkali
saja kita bisa mendapatkan keterangan untuk men-
gungkap masalah ini, Tapi..., apakah kau tidak ingin beristirahat dulu"!" tanya
Abiyasa agak cemas, karena melihat darah yang masih mengalir di sudut mulut
pemuda berpakaian ungu itu.
"Hanya luka kecil, Kang. Dan, ini bisa ku atasi sambil kita mencari keterangan,"
tolak Arya halus.
Abiyasa tak membantah lagi, selain menyetujui.
Lagi pula, menurut pemikirannya, keterangan itu tak
akan terlalu jauh dari tempat ini. Menurut perhitun-
gannya, penduduk daerah ini pun pasti tahu ke mana
perginya kelompok si Tongkat Halilintar. Tapi, justru ingatan itulah yang
membuatnya berpikiran lain
"Kurasa, sebaiknya besok pagi saja kita meninggalkan tempat ini. Arya. Sebentar
lagi matahari akan
muncul, dan para penduduk akan bermunculan.
Mungkin mereka dapat memberitahu kita tentang ke-
jadian di tempat ini."
"Begitu juga boleh, Kang. Biarlah kupergunakan
waktu yang tersisa untuk mengobati luka dalamku dan
memulihkan tenaga," ujar Dewa Arak menyetujui.
*** Abiyasa menguap lebar-lebar, dan mengerjap-
ngerjapkan matanya ketika sang surya mengenai wa-
jahnya. Meski belum panas, tapi cukup membuatnya
merasa silau dan terjaga dari tidur sebentarnya. Di sebelahnya, Dewa Arak pun
sudah membuka matanya.
Pemuda berambut putih keperakan itu menghentikan
semadinya dan menoleh ke arah murid Empu Jangkar
Bumi. "Ada orang yang tengah menuju ke tempat ini...,"
kata Dewa Arak lirih.
"Aku pun mendengarnya, Dewa Arak. Dan, seper-
tinya orang ini tak terlalu berbahaya, langkah kakinya terdengar jelas oleh
telingaku," timpal Abiyasa tenang.
Lelaki jangkung itu tahu, gerak langkah yang ter-
dengar menjadi pertanda kalau ilmu meringankan tu-
buh yang dimiliki orang itu masih rendah. Dan itu menunjukkan kalau tingkat
kepandaian yang dimilikinya
pun tak tinggi. Setidak-tidaknya, Abiyasa yakin kalau akan dapat menandinginya.
"Kurasa sebaiknya kita bersembunyi dulu, Kang,"
saran Arya. "Aku ingin tahu apa yang akan dilakukannya di tempat Ini. Kalau kita
terlihat, kemungkinan besar ia akan membatalkan maksudnya."
Usai berkata begitu, Dewa Arak melesat ke atas
genteng dan mendarat di sana tanpa suara. Hanya
berbeda sesaat saja, Abiyasa ikut menyusulnya. Dan
dari tempat persembunyian itu, keduanya mengintai
ke arah pintu gerbang.
Tak lama menunggu, daun pintu gerbang yang ter-
buat dari kayu tebal dan berat, tiba-tiba bergerak terbuka. Bunyi berderak yang
cukup nyaring dari daun
pintu itu mengiringi langkah masuk seorang lelaki setengah tua berpakaian
sederhana warna coklat.
Arya dan Abiyasa saling berpandangan dengan si-
nar mata kecewa. Dari pakaian yang dikenakan dan
gerak-geriknya, kedua orang itu bisa menduga kalau
lelaki setengah baya yang baru saja masuk bukan
orang yang terbiasa dengan kerasnya kancah dunia
persilatan Keyakinan Arya dan murid Empu Jangkar Bumi
semakin membesar ketika melihat lelaki berpakaian
coklat itu mengambil sapu lidi yang pada bagian pang-kalnya diikatkan pada
sepotong kayu sepanjang seten-
gah tombak. Tambahan kayu itu membuat sapu jadi
lebih panjang. Dan, dengan sapu di tangan, lelaki setengah baya itu mulai
membersihkan halaman!
"Kurasa tak ada gunanya lagi kita mengintai lebih jauh, Dewa Arak," ujar
Abiyasa, lirih, "Lelaki itu bukan termasuk orang yang mempunyai urusan seperti
kita. Tapi, setidak-tidaknya dia mempunyai hubungan den-
gan kelompok si Tongkat Halilintar. Mungkin dia bisa memberi keterangan yang
jelas mengenai ketidakberadaan orang-orang di sini," lanjut Abiyasa menambahkan
Arya tersenyum lebar dan menganggukkan kepa-
lanya pertanda setuju. Dan, dengan didahului oleh Abiyasa, kedua orang itu
melompat dan mendarat di ta-
nah. Bunyi yang ditimbulkan kaki Abiyasa, membuat le-
laki berpakaian coklat itu menoleh. Pekerjaannya langsung dihentikan. Tapi,
sebelum lelaki itu bertindak
atau berbicara apa pun, Abiyasa sudah mendahului
"Jangan cemas, Sobat. Kami berdua tak bermak-
sud jahat," ujar Abiyasa ramah.
"Mengapa kalian berada di tempat ini, dan apa
yang kalian inginkan dariku"!" tanya lelaki berpakaian coklat, seraya menatap
Arya dan Abiyasa berganti-panti. Sinar matanya penuh selidik dan kecurigaan.
"Aku dan kawanku ini mendapat perintah dari gu-
ruku untuk bertemu dengan pemilik tempat ini yaitu si Tongkat Halilintar. Guruku
adalah sahabat baik beliau," jelas Abiyasa cepat-cepat agar tak terjadi
peristiwa yang tak diharapkan.
"Boleh ku tahu siapa gurumu Sobat?" tanya lelaki setengah baya lagi tanpa
mengurangi perasaan curi-ganya.
"Perlukah itu?" tanya Abiyasa dengan alis bertaut,
karena kurang setuju
"Perlu sekali karena akulah yang diberikan wewenang dan tanggung jawab penuh
dari si Tongkat Hali-
lintar," jawab lelaki berpakaian coklat dengan nada kaku. "Kalau kau tak mau
memberitahu, silakan angkat kaki dari tempat ini!" serunya gusar.
"Baiklah kalau demikian," keluh Abiyasa sambil menghela napas berat. "Tapi aku
ingin tahu, apakah kau mengenal atau setidak-tidaknya tahu sahabat-sahabat si
Tongkat Halilintar"!" tanya Abiyasa ingin tahu.
"Katakan saja, Sobat. Beliau sudah banyak mengatakan padaku mengenai siapa
sahabat-sahabatnya, te-
rutama yang terbaik," kilah si lelaki setengah baya.
"Aku murid dari Empu Jangkar Bumi," Jawab Abiyasa kalem seraya memperhatikan
wajah lawan bica-
ranya lekat-lekat untuk melihat reaksinya.
Apa yang diharapkan Abiyasa memang terkabul.
Wajah orang yang dipercayakan si Tongkat Halilintar
itu tampak beriak memperlihatkan keterkejutannya.
"Itu belum merupakan jaminan, Sobat," bantah lelaki berbaju coklat itu halus.
"Setiap orang bisa saja menyebut Empu Jangkar Bumi. Dan, hampir setiap
orang tahu kalau empu itu adalah sahabat dari si
Tongkat Halilintar. Kalau kau benar muridnya, kata-
kana siapa nama aslinya," desak lelaki setengah baya itu masih belum percaya.
"Narotama," jawab Abiyasa singkat. "Bagaimana"!
Masih kurang percaya"!"
"Sekarang aku sudah percaya, Abiyasa," ujar wakil si Tongkat Halilintar dengan
suara yang mulai melem-but dan wajah berseri-seri. "Maafkan kalau sambutan-ku
kurang berkenan di hatimu. Tapi, hal itu kulaku-
kan dengan sangat terpaksa. O, ya, panggil saja aku
Sawunggaling," ujar lelaki itu lagi memperkenalkan di-ri. "Tak mengapa, Sawung.
Aku bisa memaklumi
mengapa kau bertindak seperti itu. Sekarang, boleh ku tahu, mengapa tempat ini
sepi"!"
"Mereka semua sudah pergi," jelas Sawunggiling lirih. "Mula-mula rombongan
murid-murid si Tongkat Halilintar yang meninggalkan tempat ini. Mereka
menggunakan kuda dan kereta. Di dalam kereta itu
terdapat seorang wanita muda. Kepergian mereka san-
gat tergesa-gesa, entah mengapa aku sendiri tak tahu.
Lalu beberapa hari kemudian, si Tongkat Halilintar
pun pergi. Dia hanya berpesan padaku, agar setiap ha-ri menengok tempat ini,
menunggu kedatangan utusan
Empu Jangkar Bumi. Syukurlah kau sudah datang,
sehingga amanat yang membebani ku sirna sudah..."
kata Sawunggaling senang.
"Apakah rombongan si Tongkat Halilintar itu berpakaian seragam coklat, Paman"!"
tanya Arya, ketika Sawunggaling sudah menghentikan ceritanya.
Pemuda berambut putih keperakan itu teringat pa-
da mayat-mayat yang tubuhnya tercerai-berai, yang
semula merupakan teka-teki baginya. Ia teringat kem-
bali kalau di antara mayat-mayat itu bergeletakan potongan-potongan tongkat besi
dan kayu yang pada sa-
lah satu potongannya tergurat gambar kilat
"Benar, Anak Muda. Di samping itu mereka semu-
anya bersenjatakan tongkat. Murid-murid yang sudah
mencapai tingkatan lebih tinggi bersenjatakan tongkat kayu, sisanya tongkat
besi. Tapi pada bagian tiap
tongkat terdapat guratan bergambar kilat halilintar."
jelas Sawunggaling cepat. Apakah kau bertemu dengan
mereka"!" tanyanya kemudian penuh harap.
Arya tak segera menjawab pertanyaan itu. Ia malah
menghela napas berat dengan wajah menyiratkan ke-
dukaan. Melihat itu, Sawunggaling yang menunggu ja-
waban dari mulut Arya, dapat menduga telah terjadi
sesuatu yang tak menyenangkan. Sungguh pun demi-
kian sebelum didengarnya sendiri jawaban yang pasti, lelaki setengah baya itu
belum merasa yakin.
"Katakanlah, Anak Muda. Apa yang telah terjadi
atas mereka"! Katakan saja agar hatiku tenang. Per-
cayalah aku telah siap mendengar apa yang akan kau
katakan, sekalipun merupakan berita terburuk," desak Sawunggaling tak sabar.
"Mereka semua telah tewas,' jelas Arya lirih.
Kemudian, secara singkat tapi jelas, pemuda men-
ceritakan semua yang diketahuinya.
Sawunggaling mendengarkan semua cerita Arya.
Tak seluruhnya bisa ditangkap. Sepasang telinganya
memang mendengar, tapi otaknya yang seperti beku
ketika mendengar berita kematian murid-murid Tong-
kat Halilintar itu, membuatnya seperti orang kehilangan akal.
Sampai Arya menyelesaikan ceritanya, Sawunggal-
ing masih terpaku dengan sinar mata kosong. Tampak
jelas perasaan terpukulnya. Melihat kenyataan ini De-wa Arak segera memberikan
isyarat pada Abiyasa.
"Terima kasih atas keterangan yang kau berikan
Sawung. Percayalah, bantuan yang kau berikan besar
artinya buat kami. Sekarang, kami akan pergi untuk
melanjutkan usaha menyingkap rahasia ini. Selamat
tinggal," ujar Abiyasa lambat-lambat dan pelan.
Sawunggaling kelabakan. Ucapan Abiyasa mem-
buatnya tersadar kembali kalau di tempat itu masih
ada orang lain.
"Akulah yang seharusnya mengucapkan terima ka-
sih pada kalian. Dan, harap maafkan sambutan yang
mungkin kurang berkenan. Kudoakan Kalian berhasil
dalam menyingkap rahasia ini," sahut lelaki setengah baya itu terbata-bata.
"Mudah-mudahan, Paman," ujar Arya memberikan tanggapan, sebelum melangkah
meninggalkan tempat
itu diikuti oleh Abiyasa
Tapi, baru beberapa langkah meninggalkan pintu
gerbang, tiba-tiba Dewa Arak menghentikan langkah-
nya. Abiyasa yang berjalan di sebelahnya, mau tak
mau ikut melakukan hal yang sama. Sepasang mata
murid Empu Jangkar Bumi itu menyiratkan sinar pe-
nuh selidik dan keheranan ketika menatap Arya.
"Ada apa, Arya?" tanya Abiyasa tanpa menyembunyikan rasa ingin tahu dan rasa
khawatirnya. Dengan gerak isyarat, Arya meminta Abiyasa untuk
bersabar. Kemudian, tanpa menunggu tanggapan mu-
rid Empu Jangkar Bumi itu, Dewa Arak memusatkan
perhatian pada pendengarannya. Kali ini apa yang tertangkap oleh telinganya,
terdengar lebih jelas.
"Aku mendengar suara orang merintih-rintih.
Sayang, suaranya tak begitu jelas. Mungkin masih
jauh juga dari tempat ini. Aku yakin, ada orang yang membutuhkan pertolongan.
Sayangnya, aku tak bisa
melacak asal suara itu," sesal Arya, setengah memberitahu Abiyasa.
"Mengapa mesti bingung, Dewa Arak"! Serukan sa-
ja pemberitahuan keras, sehingga terdengar sampai
jauh, dan terdengar oleh orang yang terluka. Kau min-ta dia mengeluarkan bunyi-
bunyian sampai kau dapat
melacak arahnya," usul Abiyasa, setelah berpikir sejenak.
"Iya, kalau orang itu percaya kita berniat meno-longnya, Kang. Bagaimana kalau
orang itu malah me-
nyangka kita, yang meneriakkan pemberitahuan itu,
sengaja menjebaknya"! Siapa tahu, orang itu malah
Misteri Kapal Layar Pancawarna 11 Pedang Naga Kemala Karya Kho Ping Hoo Kisah Para Naga Di Pusaran Badai 7
^