Empu Jangkar Bumi 3
Dewa Arak 95 Empu Jangkar Bumi Bagian 3
menyangka teriakan yang ku keluarkan adalah teria-
kan dari lawannya"!" tanya Dewa Arak, tak setuju dengan usul yang diajukan oleh
murid Empu Jangkar
Bumi itu. Pemuda berambut putih keperakan itu kemudian
mengedarkan pandangan ke sekitarnya. Ia dan Abiyasa
berdiri di atas tanah berdebu. Di sekelilingnya, di depan, kanan, dan kirinya
berupa dataran turunan yang
tak rata. Rerumputan, semak-semak, dan pepohonan,
terdapat di segala penjuru.
Abiyasa membiarkan saja pemuda berambut putih
keperakan itu mengerjakan apa yang diinginkannya.
Apalagi ketika dilihatnya Arya memejamkan sepasang
matanya, murid Empu Jangkar Bumi itu sampai-
sampai menahan napas karena khawatir mengganggu
Arya yang tengah memusatkan seluruh perhatian pada
pendengarannya agar dapat menangkap bunyi yang li-
rih sekalipun! "Kudapatkan arahnya, Kang!" seru Arya tiba-tiba.
Abiyasa sampai terjingkat ke belakang saking kagetnya ketika mendengar seruan
Arya yang mendadak itu.
Pemuda berpakaian ungu itu membuka sepasang ma-
tanya dan mengarahkannya ke depan, agak ke sebelah
kiri di mana terdapat dataran naik turun bergelom-
bang dengan ditumbuhi rumput-rumput hijau setinggi
betis. "Kali ini bukan hanya bunyi rintihan, tapi langkah.
Langkah lambat-lambat. Sepertinya, orang itu tengah
menderita luka yang cukup parah," ujar Arya yakin.
Bersamaan dengan itu, secepat kilat Arya melesat
ke arah yang diyakininya. Abiyasa tak mau ketingga-
lan. Pemuda itu agak membatasi kecepatan larinya
agar Abiyasa tak terlalu jauh tertinggal.
Setelah melalui medan naik turun bergelombang
sejauh belasan tombak, Dewa Arak baru melihat kebe-
naran apa yang didengarnya. Di kejauhan dilihatnya
sesosok manusia dengan pakaian coklat tengah berlari terhuyung-huyung ke arah
yang baru saja ia tinggalkan.
Sosok yang belum jelas terlihat oleh Arya itu bebe-
rapa kali hampir terguling. Tapi, berkat tongkat di tangannya yang dijadikan
tempat bertahan dengan mene-
kankannya ke tanah dan bertelekan pada tongkat itu,
tubuhnya tak sampai terguling.
Sosok coklat itu ternyata juga telah melihat kehadi-
ran Arya. Berbeda dengan Arya yang terus melesat, sosok itu menghentikan larinya
dan malah membalikkan
tubuhnya kembali ke tempatnya semula.
Arya tahu kalau sosok itu salah paham. Tapi, dis-
adarinya penjelasannya akan kurang berguna tanpa
disertai tindakan. Maka, kecepatan larinya pun ditambah, sampai akhirnya ia
melewati sosok coklat itu,
membalikkan tubuh dan menghadang larinya.
*** 7 "Tenang, Paman, aku tak bermaksud jahat. Per-
cayalah! Bahkan aku bermaksud menolongmu!" seru Arya cepat ketika melihat sosok
itu yang ternyata adalah seorang lelaki setengah baya yang bermaksud me-
lancarkan serangan dengan tongkatnya.
Lelaki berkumis melintang dan kening lebar itu se-
gera hentikan gerakannya. Meskipun demikian, sikap-
nya masih memperlihatkan kecurigaan besar. Tongkat
bambunya tercekal erat di tangan kanannya.
"Bukankah kau orang yang mendapat julukan si
Tongkat Halilintar, Paman?" tanya Dewa Arak menerka, setelah memperhatikan
pakaian dan tongkatnya
yang berguratkan lukisan kilat. Ia semakin yakin akan, dugaannya ketika menatap
matanya. Sorot mata itu
bagai mata harimau dalam gelap. Arya tahu, murid-
murid si Tongkat Halilintar tak akan mungkin memiliki sinar mata seperti itu.
Karena itulah, dugaannya jatuh pada si Tongkat Halilintar.
"Siapa kau, Anak Muda"! Aku tak mengenalmu,"
bentak lelaki berpakaian coklat itu tak memberikan
jawaban. "Aku Arya, kawan dari murid Empu Jangkar Bumi,
Paman," jelas Arya cepat, karena tak menginginkan terjadinya salah paham. "Nah!
Itu Abiyasa, kawanku, murid dari Empu Jangkar Bumi yang menjadi sahabat
baikmu," lanjut Arya sambil menunjuk Abiyasa yang sedang berlari ke tempat itu.
Lelaki berkumis melintang yang sudah terluka pa-
rah dengan darah kering tampak di sekujur tubuh dan
pakaiannya, menoleh ke belakang. Tapi sedikit pun ia tak mengalihkan
perhatiannya dari Dewa Arak. Rupanya dia merasa khawatir akan dibokong dari
bela- kang oleh pemuda berambut putih keperakan itu.
Tapi Arya memang tak menipu. Di belakang lelaki
berpakaian coklat itu, tampak Abiyasa tengah berlari-lari mendekati mereka.
Sesaat kemudian, murid Empu
Jangkar Bumi sudah berada di dekat keduanya.
"Benarkah kau murid Empu Jangkar Bumi"!"
tanya lelaki berkumis melintang, dengan suara berge-
tar dan penuh harapan.
"Benar. Dan kau sendiri benarkah si Tongkat Halilintar yang menjadi sahabat
guruku"!" Abiyasa balik
bertanya setelah memberitahukan nama asli gurunya
dan nama dirinya sendiri.
"Tidak salah, Abiyasa. Akulah si Tongkat Halilintar yang mempunyai nama asli
Subarnaga," jelas lelaki berpakaian coklat itu bernada gembira.
Abiyasa pun merasa gembira bukan main dengan
pertemuan itu. Kemudian ia memperkenalkannya pada
Arya. Si Tongkat Halilintar kaget bercampur gembira
dan kagum ketika mengetahui siapa sebenarnya si
pemuda berambut putih keperakan itu. Hanya dalam
waktu sebentar saja, mereka bertiga sudah menjadi
akrab. "Apa yang terjadi atas dirimu, Paman, sehingga kau bisa luka-luka begitu?" tanya
Abiyasa, setelah percakapan pembukaan telah usai dan Arya sudah membe-
rikan pertolongan sekadarnya agar luka si Tongkat Halilintar tak bertambah
parah. Dengan pengerahan ha-
wa murninya, Dewa Arak sudah meringankan luka-
luka yang diderita Subarnaga.
"Ceritanya cukup panjang, Abiyasa," sahut Tongkat Halilintar setelah terlebih
dulu menghela napas berat.
Ditatapnya wajah Arya dan Abiyasa berganta ganti.
"Dan, hal ini sekaligus menjawab ketidaktahuan mu mengenai Nawang Wulan."
"Ceritakanlah, Paman, kami siap mendengarnya,!"
sahut Abiyasa antusias, mengingat rahasia mengenai
gurunya akan segera tersingkap
"Beberapa tahun lalu gurumu, Empu Jangkar Bu-
mi datang ke tempatku bersama dengan putrinya, Na-
wang Wulan. Si empu itu menitipkan putrinya padaku,
karena menderita sakit kurang waras. Nawang Wulara
gila...." Abiyasa merasakan dadanya bagai ditabrak seekor
kerbau liar, sesak. Sama sekali tak disangkanya akan
mendengar cerita seperti itu. Kalau bukan si Tongkat Halilintar yang
memberitahukan, dia pasti tak akan
percaya. "Narotama membawa Nawang Wulan padaku untuk
disembuhkan penyakitnya. Memang, aku cukup mahir
dalam ilmu pengobatan. Usahaku ternyata tak sia-sia.
Dalam beberapa bulan gadis itu sudah berhasil sem-
buh. Tapi, tak lama kemudian kambuh lagi, bahkan
lebih parah."
"Kenyataan itu membuatku sadar tak akan mampu
menyembuhkan penyakit Nawang Wulan. Kendati de-
mikian, aku tak putus asa! Kemampuanku dalam ilmu
pengobatan memang terbatas. Tapi, tak demikian den-
gan paman guruku. Hampir tak ada penyakit yang tak
bisa disembuhkannya. Kemampuanku dalam ilmu
pengobatan pun ku peroleh darinya. Sayang, aku
hanya mempelajarinya sebentar...."
"Karena tempat tinggal paman guruku amat jauh.
Lagi pula, aku tak yakin beliau masih di tempatnya
yang kuketahui karena kesukaannya berpindah-
pindah tempat, kuperintahkan sebagian muridku un-
tuk membawa Nawang Wulan pada ayahnya, Empu
Jangkar Bumi. Bisma, putraku, berkeras ikut dalam
rombongan. Aku tak bisa melarangnya. Aku tahu dia
telah jatuh hati pada Nawang Wulan."
"Sepeninggal mereka, aku pergi untuk mencari
paman guruku. Sebelum pergi, kuperintahkan murid-
muridku yang tersisa untuk meninggalkan tempat me-
reka bernaung selama ini. Aku tak ingin terjadi sesua-tu yang tak diinginkan
pada mereka. Tapi, kupesankan pada salah seorang di antara mereka untuk
mengawasi tempat itu...."
Arya dan Abiyasa saling berpandangan. Sekarang
mereka mengerti, mengapa tempat tinggal Tongkat Ha-
lilintar tak berpenghuni sama sekali
"Ternyata aku bukan satu-satunya orang yang
mencari paman guruku. Dan ternyata aku datang ter-
lambat. Seorang tokoh sesat telah lebih dulu menahan beliau. Semula aku tak tahu
maksudnya. Tapi, belakangan kuketahui kalau tokoh itu bermaksud memin-
ta keterangan pada paman guruku mengenai Empu
Jangkar Bumi, yang secara mengejutkan jadi memiliki
kepandaian luar biasa tingginya. Paman guruku itu, di samping memiliki ilmu
pengobatan, juga memiliki ilmu meramal yang mengagumkan! Hanya sayangnya,
kepandaiannya tak setinggi ilmu pengobatan dan mera-
malnya. Aku yang tak ingin beliau celaka, segera me-
nyerang tokoh sesat itu."
"Sayangnya, aku bukan tandingannya. Dia lihai
bukan main. Dalam beberapa puluh jurus aku sudah
dilukainya. Karena yakin tak bakal menang mengha-
dapinya, aku melarikan diri. Tokoh sesat itu tak mengejar, tapi aku yakin kalau
dia akan mencariku."
"Apakah kau mengenalnya, Paman"!" tanya Arya ingin tahu.
"Kenal sih tidak. Tapi, dia memperkenalkan diri sebagai putra dari Setan
Tengkorak Merah."
"Itu pasti Tengku Daud...," gumam Arya dan Abiyasa hampir berbarengan.
"Jadi, orang itu pula yang hampir mencelakaimu
itu, Abiyasa"!" tanya si Tongkat Halilintar ketika teringat akan cerita Abiyasa.
Murid Empu Jangkar Bumi itu memang sudah menceritakan semua kejadian yang
dialaminya. Abiyasa menganggukkan kepala.
"Sama sekali tak kusangka kalau rahasia yang melingkupi masalah pesan Guru
semakin bertambah, bu-
kannya tersingkap. Sekarang, kita mesti mencari tahu
ke mana lenyapnya Nawang Wulan dan Jembawati.
Mungkinkah mereka berdua diculik oleh sosok coklat
yang gemar menggeram itu"!" ujarnya setengah mengeluh. "Maaf, Kang. Apakah kau
tak tersinggung bila ku ajukan sebuah pertanyaan"!" tanya Arya hati-hati sekali.
"Mengapa harus tersinggung, Dewa Arak"!" Abiyasa malah balas bertanya. "Tak usah
ragu-ragu, katakan saja!"
"Begini, Kang, benarkah kau sudah melihat sendiri kalau Empu Jangkar Bumi sudah
tewas"!"
"Tentu saja, Dewa Arak. Bahkan aku telah mengu-
burkannya!" jawab Abiyasa, mantap. "Boleh ku tahu mengapa kau bertanya
demikian"!" tanya Abiyasa heran. "Ucapan Darsakala, Kang," jawab Arya, puas
mendapat jawaban mantap dari murid Empu Jangkar Bu-
mi itu. "Kakek itu sama sekali tak percaya kalau Empu Jangkar Bumi sudah mati.
Aku ingin tahu apa alasannya!"
"Aku yakin tak ada alasan sama sekali, Dewa Arak.
Darsakala mengada-ada sendiri! Dia tak ingin Empu
Jangkar Bumi mati, kecuali oleh tangannya sendiri!
Oleh karena itu, dia berusaha keras untuk membantah
keteranganku! Kematian Empu Jangkar Bumi mem-
buatnya sia-sia melatih diri selama ini! Aku yakin, Kakek itu telah berusaha
mati-matian untuk menambah
kepandaian agar bisa membalaskan kematian pu-
tranya. " Penjelasan panjang lebar Abiyasa memang masuk
akal. Mau tak mau, Arya pun dapat menerima kebena-
ran ucapan itu.
Mendadak sekelebatan dugaan muncul di benak
Dewa Arak. Ia menduga sosok coklat yang gemar
menggeram itu adalah salah satu dari dua orang yang
ada di dekatnya. Masing-masing mereka, mempunyai
dasar untuk dijadikan tertuduh.
Abiyasa berada dekat dengan kejadian di mana
Dewa Arak mendapat penyerangan dari sosok coklat
yang luar biasa itu. Dan, siapa yang bisa menjamin cerita Abiyasa benar" Tak
ada! Di lain pihak, si Tongkat Halilintar mempunyai alasan kuat untuk dijadikan
tertuduh karena pakaian serba coklat yang dikenakan-
nya. Bukankah sosok yang gemar menggeram itu ber-
warna coklat"!
Arya membantah dugaan yang muncul di benaknya
secara sekelebatan. Ia menyadari kalau dugaan itu terlalu mengada-ada. Bukankah
sosok coklat itu berke-
pandaian luar biasa tinggi dan berperawakan besar,
yang sudah pasti jauh lebih besar daripada Abiyasa
atau pun si Tongkat Halilintar!
Tapi bantahan yang muncul itu terbantah lagi keti-
ka Dewa Arak teringat akan pengalamannya. Ia pernah
bertemu dengan tokoh sesat yang mampu mengubah
tubuhnya menjadi jauh lebih besar. Dan, dengan tu-
buh yang membesar itu, tokoh tersebut memiliki ke-
pandaian berlipat. Tokoh itu bernama Samukti, dan
ilmu luar biasa itu 'Urai Raga' (Untuk jelasnya mengenai tokoh Samukti dan
ilmunya silakan baca episode:
"Sengketa Guci Pusaka"). Bukan tak mungkin kalau kejadian seperti Samukti
berulang pada tokoh lainnya.
Di saat dugaan yang muncul sekelebatan itu membuat
batin Arya berperang, terdengar bunyi geraman keras
yang telah akrab di telinga Arya dan Abiyasa. Kedua orang itu sudah pernah
mendengarnya, dan tak
mungkin lupa. Wajah Arya, Abiyasa, dan Tongkat Halilintar beru-
bah seketika. Begitu mendengar geraman itu, Dewa
Arak langsung memaki dirinya sendiri di dalam ha-
tinya. Memaki dirinya karena sudah menduga yang
Dewa Arak 95 Empu Jangkar Bumi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bukan-bukan terhadap Abiyasa dan si Tongkat Halilin-
tar. Bagai sudah disepakati sebelumnya, Dewa Arak,
Abiyasa, dan Tongkat Halilintar melesat ke arah asal geraman itu. Arya yang
memiliki ilmu lari paling tinggi, berada jauh di depan. Abiyasa dan si Tongkat
Halilintar berlari berjajar. Si Tongkat Halilintar sebenarnya memiliki kemampuan
jauh di atas Abiyasa, tapi karena saat itu ia sedang tak berada dalam keadaan
biasanya, gerakannya jadi agak berkurang.
Tak sampai lima puluh tombak, setelah melewati
kerimbunan semak-semak, Dewa Arak melihat sesosok
hitam melompat tinggi ke atas, bersalto beberapa kali di udara. Pada saat yang
bersamaan, terdengar bunyi angin menderu yang luar biasa kerasnya.
Brakkk! Pohon besar berbatang lima pelukan orang dewasa
yang berada di dekat situ hancur berantakan dan ja-
tuh di tanah menimbulkan bunyi berisik disertai bau
hangus terbakar. Dewa Arak yang berada kira-kira tiga tombak dari tempat itu,
sempat terkejut dan melompat ke belakang.
Tapi secepat itu pula Dewa Arak melesat mendekati
tempat asal angin menderu, yang diyakininya merupa-
kan lontaran pukulan jarak jauh seseorang yang me-
miliki tenaga dalam luar biasa dahsyat. Dan, dilihatnya sosok hitam itu melesat
turun seraya mengirimkan serangan berupa tusukan, ke arah sosok yang ada di
bawahnya. Di tangan sosok hitam itu tergenggam sen-
jata, yang meskipun hanya terlihat berupa bayangan
karena gerakannya sangat cepat, Arya tahu kalau itu
adalah rencong! Bahkan Arya kini tahu kalau sosok hitam itu adalah Tengku Daud!
Rupanya putra Setan
Tengkorak Merah itu sudah menyadari kalau lawan
yang dihadapinya amat tangguh, sehingga sampai
mengeluarkan senjata andalannya. Senjata khas dari
daerah kelahirannya, Aceh!
Arya tak kaget melihat keberadaan Tengku Daud,
mau pun serangannya yang dahsyat. Pemuda berpa-
kaian ungu itu justru terpaku ketika melihat sosok
yang menjadi lawan putra Setan Tengkorak Merah itu.
Sosok yang diyakini betul oleh Arya sebagai sosok coklat yang dulu menyerangnya,
dan yang selalu mengge-
ram. Tapi ia sama sekali tak menyangka kalau sosok
itu demikian mengiriskan hati!
Sosok itu berdiri di atas tanah, berjarak tiga tom-
bak dari Arya dan hanya dipisahkan oleh kerimbunan,
semak-semak. Sosok itu tinggi besar, hampir mencapai satu setengah tombak!
Sekujur tubuh sosok itu diselimuti bulu coklat. Sosok yang biasanya terlihat
sebagai bayangan coklat itu ternyata adalah seekor monyet besar! Monyet berbulu
coklat yang kelihatan demikian
ganas dan menakutkan!
Mata Arya tak berkedip ketika ujung rencong Teng-
ku Daud semakin mendekati sasaran, yaitu ulu hati si monyet besar, dengan
kecepatan menakjubkan.
Monyet coklat mengayunkan tangannya ketika ren-
cong semakin mendekat. Terdengar bunyi berderak ke-
tika pergelangan tangan Tengku Daud tertangkap jari-
jari tangan yang luar biasa besarnya itu. Tengku Daud tak kuasa menahan
keluarnya jeritan tertahan, karena terkejut luar biasa.
Tapi Tengku Daud tak tinggal diam. Dengan tangan
yang satunya dan sepasang kakinya, ia ingin melan-
carkan serangan susulan agar dapat membebaskan
tangannya dari cekalan makhluk itu. Tapi Tengku
Daud kalah cepat bertindak. Makhluk yang luar biasa
kuatnya itu menggerakkan tangannya, memutarkan
tubuh pemuda berpakaian hitam itu mengelilingi tu-
buhnya. Putaran itu ditopang oleh tenaganya yang luar bi-
asa kuat. Betapa pun Tengku Daud berusaha mena-
hannya, dia tetap tak mampu. Tubuhnya berputar
dengan cepat. Semula memang tak terlalu berpenga-
ruh. Tapi, beberapa lama kemudian, Tengku Daud mu-
lai merasa pusing dan mual. Belum lagi dengan rasa
sakit yang luar biasa pada pergelangan tangannya
yang dicekal oleh monyet besar itu. Apalagi ketika akhirnya tulang tangan itu
hancur berantakan. Sekujur
wajah dan tubuh Tengku Daud seketika dipenuhi pe-
luh sebesar biji kedelai!
Semakin lama semakin tak ada perlawanan yang
diberikan putra Setan Tengkorak Merah itu. Tenaganya melemah dengan cepat,
karena tindakan makhluk raksasa yang luar biasa itu. Dalam keadaan seperti itu
Tengku Daud masih sempat melihat tangan monyet
yang satunya meluncur ke arahnya.
Putra Setan Tengkorak Merah itu berusaha untuk
mengelak atau menangkis, tapi sia-sia. Ia merasakan
pergelangan tangannya yang sebelah lagi kini tercekal oleh tangan si makhluk
berbulu coklat yang besar itu.
Sesaat kemudian, pemuda itu merasakan tubuhnya
diangkat ke atas dan diayunkan ke bawah.
Arya yang melihat kejadian itu secara jelas, bisa
memperkirakan apa yang akan dilakukan oleh monyet
besar itu ketika tubuh Tengku Daud dengan bagian
punggung lebih dulu, diayunkan menuju salah satu
pahanya yang dipalangkan.
Dewa Arak yang memutuskan untuk menolong
Tengku Daud dan mengirimkan pukulan maut ke arah
monyet coklat itu, mengurungkan maksudnya ketika
melihat keberadaan kakek berpakaian serba putih se-
derhana, bersandar pada batang pohon tak jauh dari
monyet itu. "Inikah paman guru si Tongkat Halilintar"!" pikir Arya dalam hati.
Melihat itu, Arya segera memutuskan untuk me-
nyelamatkan yang lebih penting diselamatkan. Tapi ba-ru saja ia hendak melesat,
sesosok bayangan hijau telah lebih dulu melesat menyambar tubuh si kakek
Kekhawatiran akan keselamatan paman guru
Tongkat Halilintar, membuat Dewa Arak melesat ke-
luar dari tempat persembunyiannya dan menghadang-
nya. Sosok bayangan hijau terperanjat melihat kenya-
taan yang tak diduganya itu. Kendati demikian, ia tak menjadi gugup. Dengan
sebelah tangan dikirimkannya
gedoran ke arah rusuk Dewa Arak!
Arya tak berani memandang rendah serangan yang
tertuju ke arahnya. Apalagi setelah melihat kalau sosok hijau itu adalah Dewi
Lanjar. Maka pemuda be-
rambut putih keperakan itu mengerahkan seluruh te-
naganya, ketika melakukan tangkisan!
Blarrr...! Bersamaan dengan terjadinya benturan itu, ter-
dengar bunyi berderak keras disertai lolong kematian dari mulut Tengku Daud.
Tulang pinggang pemuda
berpakaian hitam itu hancur berantakan ketika ber-
benturan dengan tulang paha monyet besar. Darah
menyembur deras dari mulutnya, dan seketika itu pula Tengku Daud tewas.
Sementara itu tangkisan yang dilakukan oleh Dewa
Arak, membuat tubuhnya dan tubuh Dewi Lanjar ter-
lempar ke belakang. Dewi Lanjar bernasib sial. Lonta-
ran tubuhnya ternyata menuju ke tempat monyet be-
sar berbulu coklat itu berada,
Dewi Lanjar baru menyadari akan adanya ancaman
bahaya ketika tubuhnya yang melayang itu mendadak
berhenti! Ada sepasang tangan kuat, besar, dan berbu-lu yang mencengkeram kedua
bahunya. Keras sekali
sehingga membuatnya kesakitan.
Dewi Lanjar bertindak cepat. Ia berusaha keras
meronta untuk melepaskan diri sambil mengirimkan
tendangan ke belakang dengan sasaran dada monyet
yang mencekalnya. Kedua kaki wanita berpakaian hi-
jau ini memang bebas, tergantung beberapa jengkal
dari permukaan tanah.
Tindakan yang dilakukan Dewi Lanjar ternyata
berbarengan dengan yang dilakukan monyet itu. Bina-
tang raksasa itu mengayunkan tubuh Dewi Lanjar ke
arah pahanya. Rupanya ia ingin membunuh Dewi Lan-
jar dengan cara yang sama seperti ia membinasakan
Tengku Daud! Kesialan yang dialami Dewi Lanjar berlanjut. Kedu-
dukannya kurang menguntungkan. Tambahan lagi te-
naga monyet raksasa jauh lebih besar. Dan, jeritan
menyayat hati pun keluar dari mulutnya ketika tulang-tulangnya hancur
berantakan! Nyawa Dewi Lanjar me-
layang seketika itu juga.
Tanpa mempedulikan mayat Dewi Lanjar lagi, mo-
nyet berbulu coklat itu menatap Dewa Arak yang saat
itu baru berhasil mematahkan kekuatan yang mem-
buat tubuhnya melayang. Binatang raksasa itu mena-
tap Dewa Arak seraya mempertunjukkan giginya yang
runcing dan besar-besar.
Tanpa sadar Dewa Arak melangkah mundur, kare-
na bentuk monyet besar yang sangat mengerikan itu.
Walaupun demikian, pemuda itu tak merasa gentar.
Yang timbul dalam hatinya malah hasrat untuk mele-
nyapkan monyet besar itu agar pembantaian yang me-
rajalela itu dapat berakhir.
"Grrrhhh...!"
Makhluk itu tiba-tiba menggeram keras, membuat
daun-daun berjatuhan dari atas pepohonan. Apalagi
ketika sepasang tangannya yang besar dan terkepal itu dipukulkan bertubi-tubi
pada dadanya, sehingga menimbulkan bunyi berdebuk keras yang membuat ba-
nyak pohon bergoyang-goyang seakan-akan sedang di-
landa gempa! Dewa Arak tahu, bahaya besar sesaat lagi akan
menimpanya. Binatang yang luar biasa kuat itu tam-
paknya ingin melakukan sebuah serangan. Dan Arya
tak ingin didahuluinya. Buru-buru kedua tangannya
dihentakkan dengan mengeluarkan jurus 'Pukulan Be-
lalang'! Menurut perhitungan, seekor binatang, betapa pun
cerdiknya tak akan dapat menguasai tenaga dalamnya.
Namun, apa yang ditunjukkan monyet besar itu ber-
lainan dengan kenyataan yang seharusnya terjadi. Bi-
natang yang mampu berdiri dengan kedua kaki itu, ju-
ga menghentakkan kedua tangannya melakukan tin-
dakan yang sama dengan Dewa Arak.
Dan yang lebih mengejutkan hati lagi, dari kedua
tangan yang jari-jarinya setengah terbuka itu berhembus angin keras yang
mengandung hawa panas luar
biasa. Malah masih lebih panas dari hawa yang me-
mancar dari pukulan jarak jauh Dewa Arak.
Akibatnya, di tempat itu seperti tengah terjadi ke-
bakaran hutan. Hawa yang luar biasa panasnya me-
lingkupi sekitar tempat itu. Semak-semak dan pepoho-
nan, seketika itu pula layu dan hangus. Bahkan seba-
gian di antaranya terbakar. Padahal yang menyebab-
kan hal itu semua hanya pukulan angin. Itu pun tak
telak kenanya, malah menyerempet pun tidak!
Blarrr...! Bumi bagaikan runtuh ketika dua rangkum angin
pukulan dahsyat berbenturan di tengah jalan diiringi bunyi menggelegar keras
seakan-akan sebuah gunung
sedang meletus.
Dewa Arak merasakan seperti menabrak dinding
baja yang luar biasa keras. Ia terpental ke belakang dengan sekujur tubuh
terutama tangan, sakit-sakit
dan ngilu. Dadanya sesak dan agak terguncang. Di
damping itu hawa panas pun merayapi sekujur tubuh-
nya, dengan kadar panas yang melebihi panas tenaga
dalamnya. Luncuran tubuh pemuda berambut putih kepera-
kan itu baru terhenti ketika punggungnya membentur
sebatang pohon besar! Untung saja tenaga dalamnya
langsung menyebar ke sekujur tubuhnya sebelum
menghantam pohon itu. Jika tidak, benturan yang ke-
ras itu akan membuat punggung Arya luka-luka.
Arya masih mampu memperlihatkan kelihayannya
dengan berdiri tegak di atas tanah dengan mempergu-
nakan kedua kakinya. Memang, ia merasa pusing se-
kali. Pandangannya pun berkunang-kunang, karena
pengaruh benturan dan serangan hawa panas di selu-
ruh bagian tubuhnya. Meskipun demikian, ia tetap
memaksakan dirinya untuk melanjutkan pertarungan.
Di lain pihak, monyet besar berbulu coklat itu
tampaknya tidak terpengaruh dengan benturan dua
gundukan tak tampak dari pukulan jarak jauh itu. Bi-
natang yang mengerikan itu mengeluarkan suara ge-
raman bernada kemenangan, dan bersiap mengirim-
kan serangan lanjutan.
Arya merasakan detakan jantungnya mendadak
berpacu lebih cepat. Pemuda itu menyadari akan kea-
daannya yang berbahaya. Ia tak yakin akan mampu
menanggulangi serangan lanjutan makhluk besar yang
luar biasa itu.
Di saat-saat yang menegangkan itulah, terdengar
derap langkah dua pasang kaki. Arya mengerling se-
bentar, sedangkan monyet raksasa itu menoleh sambil
menggeram penuh kemarahan karena merasa tergang-
gu. Tapi mendadak kemarahan monyet besar itu ber-
ganti dengan geraman lirih. Seperti halnya bunyi yang dikeluarkan oleh binatang
yang merasa ketakutan dan
gelisah! Karuan saja tingkah binatang yang luar biasa itu
mengherankan Arya. Padahal, pemilik langkah-
langkah kaki itu adalah Abiyasa dan Tongkat Halilin-
tar! Dua lawan yang boleh dibilang sama sekali tak ada artinya!
Tingkah monyet raksasa itu bahkan semakin
mengherankan. Binatang itu sambil menggeram lirih
memperdengarkan kegentaran dan kebingungannya,
binatang itu melangkah mundur. Di lain pihak, Abiya-
sa dan si Tongkat Halilintar terpaku kaku di tempat-
nya bagai orang kena sihir! Semangat dan nyali mereka seperti lenyap entah ke
mana begitu berpandangan
dengan sosok yang sama sekali tak mereka perkirakan!
Keheranan Arya semakin menjadi-jadi ketika meli-
hat monyet besar itu membalikkan tubuh dan melesat
meninggalkan tempat itu dengan kecepatan yang me-
nakjubkan. Padahal, binatang itu berlari dengan mem-
pergunakan keempat kakinya.
Dewa Arak 95 Empu Jangkar Bumi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dewa Arak, satu-satunya orang yang masih sadar
sepenuhnya baru mengerti akan teka-teki yang selama
ini tak terjawab. Dilihatnya makhluk yang mengerikan
itu melesat menerobos kerimbunan semak-semak di
sebelah kanan. Tapi anehnya, semak-semak dan pepo-
honan yang seakan dilanda badai adalah yang berada
di sebelah kiri. Entah dengan ilmu dan cara bagaimana binatang yang luar biasa
besarnya itu bisa melakukannya, Arya tak mengerti, dan tak bisa menjawabnya.
Yang jelas, keanehan yang dulu membuatnya bingung,
telah terjawab.
"Hhh,..!"
Sambil menghela napas berat dan mengerahkan
hawa murni untuk mengusir hawa panas di sekujur
tubuhnya, pemuda berpakaian ungu itu menghampiri
Abiyasa dan si Tongkat Halilintar yang masih terpaku di tempatnya. Rupanya dua
orang itu benar-benar terkejut ketika melihat monyet coklat yang sangat
menyeramkan dan merindingkan bulu kuduk itu.
"Aku bersyukur sekali kalian berdua datang pada saat yang tepat," ucap Arya
pelan, ketika diyakininya sergapan hawa panas itu sudah hilang dan tak mem-
bahayakannya lagi. Ia telah lolos dari kemungkinan
terluka dalam. Abiyasa dan si Tongkat Halilintar bagaikan orang
tidur diguyur panas, kelabakan dan kebingungan. Arya memang tak hanya sekadar
berbicara. Meski hanya pelan, tapi dengan tenaga dalamnya yang tinggi, pemuda
berpakaian ungu itu mampu mengguncang bagian
otak yang berhubungan dengan kesadaran, sehingga
dua lelaki setengah baya itu tersadar dari keterpa-
kuannya. *** 8 "Ke mana perginya monyet raksasa itu, Dewa
Arak?" tanya Abiyasa tergagap.
Kegagapannya disebabkan karena kesadaran di-
rinya yang dilakukan secara paksa oleh Dewa Arak,
dan juga karena teringat kembali akan monyet besar
berbulu coklat yang dilihatnya.
Murid Empu Jangkar Bumi dan juga si Tongkat
Halilintar mengedarkan pandangan ke sana kemari,
mencari-cari makhluk yang luar biasa besarnya itu.
Tapi sampai lelah bola mata mereka berputar, tak juga menemukan binatang yang
dicarinya. "Binatang itu sudah pergi," jelas Arya. "Binatang itulah yang telah membantai
semua muridmu, Paman.
Dan, bahkan telah membantai Antasena, murid Empu
Jangkar Bumi yang lainnya."
"Tidak masuk di akal, Dewa Arak!" desis si Tongkat Halilintar, tak sependapat.
"Betapapun perkasanya binatang raksasa itu, tapi menghadapi tokoh-tokoh silat
yang terlatih baik, rasanya mustahil menang."
"Tapi itulah kenyataannya, Paman," tegas Arya "Kalau saja Paman dan Kakang
Abiyasa tak segera datang, mungkin aku pun sudah menjadi mayat yang tak utuh
lagi, menyusul Tengku Daud."
"Tokoh sesat sakti itu mati di tangan monyet raksasa"!" tanya si Tongkat
Halilintar tanpa menyembunyikan ketidakpercayaannya. Tapi ia memang tak bisa
untuk tak percaya, karena bukti jelasnya tergolek di depannya. Lagi pula, orang
seperti Dewa Arak mana
mungkin berbohong. "Kalau tak mendengar dari mulutmu, aku tak akan percaya, Dewa
Arak," ujar si Tongkat Halilintar lagi.
"Memang sulit untuk dipercaya, Paman. Aku pun
merasa, tak akan mungkin seekor monyet besar mem-
punyai kemampuan seperti itu. Akan membuat geger
dunia persilatan kalau seekor monyet menjadi jago
nomor satu!" tegas Arya. "Tapi, kemungkinan itu bisa terjadi, tapi dengan satu
syarat." "Apakah syarat itu, Dewa Arak?" tanya Abiyasa angkat bicara.
"Syaratnya atau kemungkinannya, bisa saja mo-
nyet besar yang memang memiliki kemampuan besar
itu adalah bukan binatang sewajarnya."
"Apa maksudmu, Dewa Arak" Aku masih belum
mengerti," tanya Abiyasa lagi penasaran.
"Apakah yang kau maksudkan monyet itu adalah
binatang jejadian, Dewa Arak"!"
Si Tongkat Halilintar yang bisa menangkap maksud
Dewa Arak, langsung mengajukan dugaannya.
"Benar, Paman," jawab Arya sambil menganggukkan kepala.
"Mungkinkah itu..."!" tanya Abiyasa setengah ber-gumam seperti bicara pada
dirinya sendiri.
"Bukan hanya mungkin, tapi memang! Monyet be-
sar itu adalah binatang jejadian!"
Hampir berbarengan Dewa Arak, Abiyasa, dan si
Tongkat Halilintar mengarahkan pandangannya ke
arah asal suara itu. Suara yang terdengar belakangan itu memang bukan keluar
dari mulut salah seorang
dari mereka. Arya dan Abiyasa mengernyitkan keningnya ketika
mereka menoleh ke arah suara itu berasal. Keduanya
merasa seakan-akan sudah pernah mendengar suara
itu sebelumnya. Hanya saja, kapan dan di mana kedu-
anya lupa. Yang jelas, Dewa Arak merasa yakin kalau
pemilik suara itu memiliki kepandaian tinggi. Jika ti-
dak, walau ia sedang bercakap-cakap pun langkah ka-
kinya pasti akan terdengar, bila orang tersebut memiliki tingkat kepandaian di
bawahnya. Sesosok bayangan tiba-tiba berkelebat dan menje-
jakkan kakinya berjarak lima tombak dari kelompok
Dewa Arak. "Kiranya kau, Kala," ucap Arya tenang, setelah melihat jelas sang pemilik suara
tadi. Darsakala, pemilik suara yang baru datang itu
hanya tersenyum hambar.
"Selamat berjumpa lagi, Dewa Arak. Syukur kalau kau sudah sadar akan kekeliruan
mu." "Kekeliruan"!" ulang Arya dengan sepasang alis bertaut "Aku tak mengerti apa
yang, kau maksudkan Kala. Kekeliruan apa yang telah kulakukan"!" tanyanya
kemudian. "Bukankah kau semula percaya kalau Empu Jang-
kar Bumi sudah tewas"! Dan sekarang terbukti apa
yang kukatakan, Empu Jangkar Bumi masih hidup.
Kau sudah membuktikannya sendiri, kan"!" cetus Darsakala penuh kemenangan.
"Kapan aku telah melihat Empu Jangkar Bumi, Ka-
la"! Kau yang keliru!"
"Eh"! Bukankah baru saja kau telah melihat empu sialan itu"! Bahkan kau katakan
tadi hampir mati di
tangannya!" tandas Darsakala lagi, mantap.
Bukan hanya Arya saja yang terkejut mendengar
jawaban yang diberikan Darsakala. Abiyasa dan Tong-
kat Halilintar pun terperanjat. Abiyasa sendiri malah kaget bercampur marah
karena guru yang dihormatinya dan telah wafat itu masih dipermalukan! Darsa-
kala mengira monyet raksasa itu sebagai Empu Jang-
kar Bumi! Sungguh merupakan penghinaan yang luar
biasa besarnya!
"Jadi..., maksudmu... monyet besar tadi adalah
penjelmaan dari Empu Jangkar Bumi"!" tanya Arya, meminta penjelasan.
"Tepat sekali!" jawab Darsakala mantap. "Agar jelasnya mungkin perlu
kuberitahukan sedikit. Empu
yang telah diamuk dendam itu tak mempedulikan jalan
benar dan salah. Agar dendamnya terlampiaskan, dia
bersekutu dengan setan. Oleh karena itulah dalam
waktu singkat, kepandaiannya meningkat luar biasa.
Dan dia berhasil membalas sakit hatinya. Tapi, akibat perjanjiannya dengan setan
itu dia harus menerima
akibatnya, berubah menjadi makhluk yang menjijikkan
itu. Setan yang dipujanya, dalam alam nyata berupa
monyet yang jauh lebih besar lagi. Karena itu, empu
terkutuk itu menjelma menjadi monyet!"
Darsakala mengedarkan pandangan ke sekitarnya.
Dia tak terlihat terkejut, melihat dua sosok bergeletakan di tanah yang
dikenalinya sebagai tokoh-tokoh sesat tingkat tinggi. Sepengetahuannya, kedua
orang itu mempunyai hubungan erat dengan datuk-datuk sesat
persilatan. Tengku Daud adalah putra dari Setan
Tengkorak Merah. Sedangkan Dewi Lanjar adalah mu-
rid terkasih dari Dewi Berambut Wangi!
"Fitnah! Itu fitnahan yang luar biasa keji! Kau manusia terkutuk, Darsakala!
Biar aku mengadu jiwa
denganmu!" teriak Abiyasa karena tak kuat menahan amarahnya lagi. Ia mulai
bersiap-siap untuk menyerang kakek kurus kering itu. Tapi Arya segera menyentuh
pergelangan tangannya dan memberikannya isya-
rat untuk bersabar. Murid Empu Jangkar Bumi itu
pun mengurungkan maksudnya, dan hanya menatap
Darsakala dengan sinar mata seperti mengeluarkan
api! "Boleh ku tahu alasan yang menyebabkan mu
menduga demikian, Kala"! Perlu kau tahu, setiap tu-
duhan harus mempunyai alasan yang jelas!" tanya Arya agar masalahnya menjadi
jelas. "Tentu saja, Dewa Arak. Kau kira aku demikian
sembrono melemparkan tuduhan"! Kau tahu, begitu
berhasil selamat dari tangan maut empu keparat itu
aku mencari tahu mengenai tindakan yang dilakukan-
nya sehingga mempunyai kepandaian yang demikian
tinggi dalam waktu singkat. Akhirnya setelah berbu-
lan-bulan berusaha keras aku dapat mengorek raha-
sianya. Dia bertapa di sebuah pohon beringin angker di sebuah dataran yang dulu
menjadi tempat penyembah-penyembah setan. Di sana dia meminta kesaktian! Pa-
dahal taruhan bagi permintaan di tempat itu teramat
besar! Ketidakberhasilan dalam menghadapi godaan di
sana, akan menimbulkan akibat yang mengerikan
kendati mungkin permintaan yang diinginkan terka-
bul! Si pemuja bisa menjadi gila, separo manusia sepa-ro siluman. Atau makhluk
jejadian seperti yang dialami oleh Empu Jangkar Bumi!"
Arya, Abiyasa, dan si Tongkat Halilintar saling
pandang. Mereka memang telah mendengar berita
simpang-siur mengenai tempat seperti itu. Namun,
sama sekali tak menyangka akan mengetahui adanya
orang yang terlibat.
"Bahkan menurut penduduk desa terdekat, bukan
hanya Empu Jangkar Bumi seorang yang pernah pergi
ke tempat itu. Tapi, masih ada seorang lainnya.
Sayang, mereka tak bisa memberitahukan ciri-cirinya.
Orang kedua ini sepertinya sengaja menyembunyikan
diri agar tak bisa dikenali. Nah! Bukti apa lagi yang kau inginkan, Dewa Arak"!"
"Kau terlalu cepat mengambil kesimpulan, Kala.
Mungkin benar Empu Jangkar Bumi pergi ke tempat
itu dan meminta sesuatu. Tapi, dari mana kau tahu
kalau monyet besar itu adalah Empu Jangkar Bumi"
Apakah kau telah melihatnya waktu berubah wujud"!"
tantang Arya, meminta kepastian.
Darsakala tampak kebingungan. "Aku memang tak
melihat sendiri perubahan wujud Empu Jangkar Bumi
menjadi monyet besar itu. Tapi, aku bersedia mengajak kalian untuk membuktikan
benar tidaknya dugaanku!
Sebagai informasi bagi kalian perlu kuberitahukan kalau aku cukup banyak
mengetahui mengenai hal-hal
seperti itu. Dan, aku sudah banyak melihat hal-hal
ganjil di sini."
"Kuketahui, monyet besar itu selalu mencuri ba-
gian jantung dari korban-korbannya, aku yakin itu ada alasannya. Aku yakin,
monyet raksasa itu ingin kembali ke bentuknya semula sebagai Empu Jangkar Bu-
mi. Dan, jantung-jantung itu sebagai syaratnya."
Arya, Abiyasa, dan si Tongkat Halilintar mulai per-
caya akan keterangan yang diberikan Darsakala. Se-
muanya kelihatan demikian masuk akal. Sejak semula
pun mereka tak yakin kalau monyet raksasa yang me-
reka lihat itu merupakan binatang biasa. Ada kesan
mengerikan dan menyeramkan yang memancar.
Pemberitahuan Darsakala mengenai jantung,
membuat Arya dan rombongannya teringat akan le-
nyapnya putri Empu Jangkar Bumi dan Jembawati.
Mungkinkah kedua wanita itu pun menjadi salah satu
syarat agar monyet raksasa itu dapat berubah bentuk
menjadi manusia kembali, dan orang itu adalah Empu
Jangkar Bumi"!
"Lalu..., apa yang harus kita lakukan sekarang?"
tanya Arya, dengan nada suara mulai lunak.
"Nanti malam adalah malam purnama. Dan, bi-
asanya upacara-upacara yang mempunyai hubungan
dengan setan, terjadi pada malam itu. Di saat upacara ini kita akan menangkap
basah empu sialan itu. Menurut pendapatku, kita harus gagalkan upacara yang
akan dilakukan. Kegagalan upacara akan membuat se-
tan pemberi kekuatan marah karena merasa ditipu.
Kemarahan yang timbul akan membuatnya mengambil
kemampuan yang diberikannya. Bila itu terjadi, amat mudah untuk membunuhnya,
bukan"!"
"Bicara memang mudah, tapi bagaimana kita bisa
mengetahui tempat yang akan dipergunakan untuk
melakukan upacara"!" sergah Abiyasa, tapi dengan suara yang lebih pelan dan
lembut daripada sebelumnya.
"Mengapa harus ditanyakan lagi"! Jawaban perta-
nyaan ini amat mudah. Makhluk yang menjijikkan itu
pasti akan membawa alat-alat upacara dan persemba-
hannya ke tempat di mana dulu dia meminta kekua-
tan!" "Jauhkah tempat itu dari sini, Kala"!" tanya Arya bernada cemas karena khawatir
waktu yang mereka
miliki tak cukup.
"Tak terlalu jauh, Dewa Arak. Aku yakin kita akan dapat tiba di sana saat
upacara belum dimulai. Tentu saja hal ini hanya dapat terjadi kalau waktu yang
tersisa ini tak kita isi dengan percakapan tak berguna, atau dengan perjalanan
yang tidak keras." sindir Darsakala, seenaknya.
"Kalau begitu tunggu apa lagi"!" Arya malah balas mengajukan tantangan.
Tanpa banyak bicara, Darsakala melesat mening-
galkan tempat itu dengan kecepatan menakjubkan.
Arya mengernyitkan alisnya melihat hal ini, karena ta-hu Abiyasa dan si Tongkat
Halilintar akan tertinggal amat jauh, jika dibiarkan berlari sendiri. Dan, bila
itu terjadi, kedua orang itu akan kehilangan jejak.
"Maaf..."
Setelah terlebih dahulu mengucapkan perkataan
demikian, Dewa Arak menyambar tangan Abiyasa dan
si Tongkat Halilintar. Abiyasa dicekal pada pergelangan kirinya, sedangkan si
Tongkat Halilintar pada tangan yang satunya lagi.
Hampir tak berselisih waktu, pemuda berpakaian
ungu itu segera melesat cepat menyusul Darsakala.
Dewa Arak 95 Empu Jangkar Bumi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Cepatnya lari Dewa Arak, membuat Abiyasa dan si
Tongkat Halilintar memejamkan mata karena merasa
ngeri. Angin berciutan nyaring dan keras beberapa
kali, menyambar tubuh mereka. Di lain pihak, Arya,
yang membawa kedua orang itu berlari, kelihatan de-
mikian tenang. Tak lama sepeninggal Dewa Arak dan rombongan,
sosok seorang kakek berpakaian putih keluar dari ba-
lik kerimbunan semak-semak yang lebat. Dia adalah
paman guru Tongkat Halilintar, yang terlempar dari
panggulan Dewi Lanjar, ketika terjadi benturan antara wanita sesat itu dengan
Dewa Arak. Benturan yang terjadi dengan dahsyat membuat tubuh si kakek terlem-
par ke dalam semak-semak dalam keadaan pingsan.
Keberadaan kakek berpakaian putih yang bersem-
bunyi dari pandangan, dan masalah menarik yang di-
perbincangkan oleh Dewa Arak dan yang lain-lain
membuat si kakek terlupakan! Tak seorang pun yang
teringat padanya!
Kakek berpakaian putih mengedarkan pandangan
berkeliling sebentar. Kemudian, dia melesat mening-
galkan tempat itu untuk kembali ke tempat tinggalnya.
*** Malam telah cukup lama menyelimuti bumi. Sang
dewi malam yang kali ini muncul di langit dalam ben-
tuknya yang purnama, memancarkan sinarnya yang
lembut dan kuning keemasan. Saat itu, Darsakala dan
Dewa Arak yang membawa Abiyasa dan si Tongkat Ha-
lilintar, tiba di tempat seperti yang dimaksudkan oleh kakek kurus kering itu.
Arya, Abiyasa, dan si Tongkat Halilintar merasakan
sekujur bulu kuduk mereka berdiri ketika memperha-
tikan sekeliling tempat mereka berada. Saat itu, mere-ka semua sudah berjalan
biasa karena Darsakala pun
demikian. Arya sudah melepas cekalan tangannya dan
mengedarkan pandangan ke sana kemari.
Hanya Darsakala yang bersikap tenang. Kakek itu
kelihatan tak begitu peduli dengan keadaan sekitar-
nya. Kakinya dilangkahkan seenaknya dengan pan-
dangan tertuju lurus ke depan.
"Apakah tempat ini yang kau maksudkan, Kala"!"
Hanya Arya dengan suara yang amat lirih.
"Mengapa kau menduga demikian"! Apakah karena
aku tak mengajak mu berlari lagi seperti sebelum-
nya"!" Darsakala malah balas mengajukan pertanyaan
"Tidak. Hanya aku merasakan adanya kelainan pa-
da tempat ini. Meski yang terlihat hanya bebatuan besar kecil dan tanah lapang
luas dengan sedikit tum-
buh-tumbuhan di sana-sini, aku merasakan adanya
sesuatu yang lain di sini. Tempat ini demikian menyeramkan," ujar Arya.
Darsakala tak memberikan tanggapan. Tapi Dewa
Arak yakin si kakek mendengarnya. Meskipun demi-
kian Arya tak merasa kecil hati sama sekali.
"Kau tahu, mengapa Empu Jangkar Bumi banyak
menarik perhatian tokoh-tokoh sesat besar dunia per-
silatan, ketika terdengar kabar kematiannya"!" tanya Darsakala lagi, tetap
dengan ayunan kakinya menyu-
suri dataran berupa tanah keras, yang pada beberapa
bagian tempat terdapat gundukan-gundukan batu be-
sar kecil. Arya menggelengkan kepala. Bahkan Abiyasa dan
si Tongkat Halilintar yang tak ikut ditanya mengge-
lengkan kepala pula
"Mereka ingin mengetahui kepastian tewasnya em-
pu itu. Karena, seperti juga diriku, mereka tahu kalau Empu Jangkar Bumi sudah
bersekutu dengan setan di
tempat ini. Mereka ingin tahu kebenaran tewasnya
empu sialan itu dan karena apa dia tewas."
"Dari mana mereka tahu mengenai Empu Jangkar
Bumi"!" tanya Arya ingin tahu. "Padahal, menurut yang kuketahui, tokoh itu tak
termasuk orang yang
merajai di dunia persilatan, menonjol di dunia persilatan...."
"Mulanya memang demikian, Dewa Arak," jawab Darsakala bernada keluh. "Tapi,
setelah kejadian yang menimpa putrinya dia menjadi terkenal. Dia jadi seperti
kehilangan akal sehatnya dan membenci semua
tokoh golongan hitam. Begitu memiliki kepandaian
mukjizat, dia menebar bencana di dunia hitam. Tak
terhitung tokoh-tokoh hitam yang tewas di tangannya.
Dan termasuk di antara mereka adalah Setan Tengko-
rak Merah dan Dewi Berambut Wangi!" Darsakala berhenti sejenak mengambil napas
panjang, lalu meng-
hembuskannya perlahan-lahan.
"Setelah dua pentolan kaum sesat ini terbunuh,
baru tindakan semaunya Empu Jangkar Bumi men-
gendur drastis, sampai akhirnya lenyap sama sekali.
Belakangan, tokoh-tokoh yang senantiasa mengikuti
perkembangannya, mendengar kabar bahwa dia tewas.
Tokoh yang ingin mendapat kesaktian seperti yang di-
miliki Empu Jangkar Bumi, berusaha untuk mencari
tahu, bagaimana kakek itu dapat memperoleh kesak-
tian dan setan penunggu tempat ini tanpa terjadi hal-hal yang mengerikan
terhadapnya!" lanjutnya.
"Bisa kau jelaskan mengenai hal-hal yang mengerikan itu, Kala"!" tanya Arya
penasaran. "Macam-macam, Dewa Arak. Ada yang menjadi gi-
la, tak mampu berbicara kecuali mengeluarkan bunyi
binatang dari mulutnya, dan ada juga yang senantiasa mengeluarkan lendir berbau
busuk dari mulut, hidung, dan telinganya. Itu pun masih ditambah dengan
bau bangkai yang menyebar dari sekujur tubuhnya,"
jelas Darsakala panjang lebar. "Malah, ada di antaranya yang mungkin menjadi
binatang jejadian," tambahnya.
Dewa Arak, Abiyasa, dan si Tongkat Halilintar seje-
nak saling berpandangan.
"Jangan ada yang berbicara lagi. Kita sudah berada dekat sekali dengan tempat
tinggal setan penunggu
yang dipuja-puja Empu Jangkar Bumi. Tingkatkan
kewaspadaan kalian.... Kurangi gerak-gerik yang dapat membuat kita diketahui....
Di gundukan batu besar itu kita berhenti," pesan Darsakala pada ketiga orang
itu. Tidak ada jawaban atas ucapan Darsakala. Tapi si
kakek sama sekali tak berkecil hati. Ia menyadari kalau perkataannya cukup jelas
untuk dapat terdengar
dan dimengerti. Oleh karena itu dia bersikap tak pedu-li. Kakek kurus kering itu
baru menghentikan lang-
kahnya ketika sudah berada di gundukan batu besar
yang dimaksudkannya. Dan dari balik batu diarahkan
pandangannya ke depan. Arya, Abiyasa, dan si Tongkat Halilintar pun melakukan
hal yang sama dari gundukan batu lainnya.
Terlihat oleh mereka sosok besar yang berbulu cok-
lat sedang berlutut di depan sebuah pohon yang luar
biasa besarnya dan tampak menyeramkan. Arya, Ab-
iyasa, dan si Tongkat Halilintar, dan bahkan Darsakala sendiri, merasakan
sekujur bulu di sekujur tubuh mereka berdiri ketika menatap pohon itu. Perasaan
takut muncul begitu saja tanpa dapat dicegah atau dikuasai!
Di sebelah kanan dan kiri monyet raksasa itu ter-
golek dua sosok ramping. Arya mengenali salah satu
sosok itu sebagai Jembawati. Sedangkan si Tongkat
Halilintar mengenali kedua sosok itu. Sosok yang sa-
tunya adalah putri Empu Jangkar Bumi, Nawang Wu-
lan. Apa yang dikatakan Darsakala ternyata memang
tak keliru! "Apa yang harus kita lakukan, Kala?" tanya Arya dengan menggunakan ilmu pengirim
suara dari jauh.
"Kita harus cegah terjadinya upacara itu. Makhluk itu memang terlalu lihai untuk
dihadapi sendiri-sendiri. Tapi aku yakin, bila dihadapi berdua kita akan dapati
menahannya. Asal kau dan aku mampu bertahan hingga matahari muncul, makhluk itu
akan tewas. Upacara yang tak terlaksana yang menjadi penyebab-
nya," jelas Darsakala, juga dengan menggunakan ilmu pengiriman suara dari jarak
jauh. "Dan untuk melakukan hal itu, tunggu saja isyarat dariku," lanjutnya.
Arya memberitahukan apa yang dikatakan Darsa-
kala pada Abiyasa dan si Tongkat Halilintar.
Keempat tokoh persilatan itu terus memperhatikan
semua gerak-gerik binatang berbulu coklat di hadapan mereka yang berjarak kira-
kira sepuluh tombak. Terdengar oleh telinga mereka masing-masing suara ge-
raman-geraman yang keluar dari mulut monyet besar
itu. *** "Sekarang, Dewa Arak...!"
Perintah yang dikirim Darsakala melalui penggu-
naan ilmu pengirim suara dari jauh itu, membuat De-
wa Arak melesat dari tempatnya. Di saat yang hampir
bersamaan itu Darsakala melesat lebih dulu.
Darsakala dan Dewa Arak mengeluarkan seluruh
ilmu lari cepatnya untuk mendekati tempat monyet be-
sar itu berada secepat mungkin. Sambil berlari, Arya pun tak lupa menenggak arak
dari gucinya, agar dapat segera mempergunakan ilmu 'Belalang Sakti' yang
menjadi andalannya.
Beberapa tombak lagi jarak antara Darsakala dan
Dewa Arak dari monyet raksasa, binatang berbulu cok-
lat itu sudah mengetahui kedatangan tamu-tamu yang
tak diundang itu. Sambil mengeluarkan geraman yang
mampu membuat sekitar tempat itu bergetar hebat,
monyet besar itu membalikkan tubuhnya.
Dewa Arak dan Darsakala langsung menghentikan
larinya ketika dilihatnya monyet raksasa itu sudah
berdiri menghadap mereka. Sepasang mata binatang
itu tampak menyimpan kemarahan dan kebencian
yang besar. Sepasang matanya yang merah membara,
seperti mengeluarkan api.
Arya dan Darsakala kini berpencar ke kiri dan ke
kanan, agar dapat menghadapi makhluk itu dari dua
arah. "Bila kami sudah terlibat dalam pertarungan, cepat bawa dan selamatkan kedua
tawanan itu, Kang," ujar Arya pada Abiyasa dengan menggunakan ilmu pengirim
suara dari jarak jauh.
Baru saja berkata begitu, monyet raksasa itu su-
dah melompat menerkam Dewa Arak, laksana seekor
harimau menerkam mangsanya. Diiringi oleh suara ge-
raman yang keras keluar dari mulut binatang itu.
Dewa Arak yang memang sudah sering berhadapan
dengan bahaya maut, dan bahkan nyawanya tak ja-
rang berada di ujung tanduk, selalu mampu bersikap
tenang. Tapi kali ini sikap seperti itu tak mampu dilakukannya lagi.
Serangan monyet besar itu ternyata tak hanya
mengandung kekuatan nyata, tapi juga kekuatan gaib!
Dan, Arya dapat merasakan pengaruhnya. Angin yang
berhembus ternyata mampu membuat sekujur tubuh-
nya kaku, tak bisa digerakkan. Bahkan isi kepalanya
pun buntu, tak dapat dipergunakan untuk berpikir.
Hanya ada sekelebatan pikiran samar yang mem-
beritahukannya kalau nyawanya tengah terancam. Ta-
pi tak ada sesuatu pun yang dapat dilakukannya. Pe-
muda berambut putih keperakan itu seperti pasrah
menunggu datangnya maut!
Wuttt...! Terkaman monyet raksasa hanya mengenai tempat
kosong, karena tubuh Dewa Arak sudah tak berada di
situ lagi. Di saat-saat yang menentukan, Darsakala
bertindak cepat. Kakek itu mendorongkan kedua tan-
gannya, menimbulkan deru angin keras yang mampu
membuat tubuh Dewa Arak terpental dan terguling-
guling namun tanpa terluka sama sekali! Tindakan
yang dilakukan Darsakala hanya untuk membuat De-
wa Arak pindah dari tempatnya sehingga lolos dari
maut Tindakan yang diperbuat Darsakala ternyata tak
hanya memindahkan tubuh Dewa Arak. Tapi juga
membuat pemuda berambut putih keperakan itu kem-
bali dapat berpikir jernih. Dan, di saat tubuhnya tengah terguling-guling, Arya
memusatkan perhatian un-
tuk mengerahkan tenaga dalamnya di pusar. Begitu
tenaga itu timbul, Arya segera mengerahkan dan men-
galirkannya ke berbagai bagian tubuhnya. Dan ketika
berhasil bangkit kembali, ia sudah siap untuk berta-
rung! Tetapi Dewa Arak ketinggalan! Monyet raksasa itu
sudah sibuk bertarung dengan Darsakala. Memang,
ketika terkamannya berhasil digagalkan kakek kurus
kering itu, si monyet besar segera mengalihkan serangannya pada Darsakala.
Darsakala terpaksa berjuang
keras agar tak kehilangan nyawanya. Dan kini tam-
paknya ia mulai terdesak. Monyet raksasa itu memang
benar-benar menakjubkan!
Di saat Dewa Arak melesat ke dalam kancah perta-
rungan untuk membantu Darsakala, si monyet raksa-
sa tengah mengirimkan pukulan keras ke arah pelipis
kakek kurus kering itu.
Plakkk! Darsakala yang tak mempunyai pilihan lagi hanya
dapat menangkis serangan itu. Akibatnya, tubuhnya
terbanting ke samping terbawa ayunan serangan la-
wannya. Ia merasakan sekujur tangannya lumpuh dan
dadanya sesak. Monyet Raksasa tak memberikan kesempatan dan
melesat dengan kecepatan menakjubkan untuk meng-
habisi nyawa Darsakala. Di saat yang genting, Dewa
Arak segera bertindak. Pemuda itu menghentakkan
kedua tangannya mengirimkan pukulan jarak jauh
dengan mempergunakan jurus 'Pukulan Belalang'
Deru angin keras berhawa panas seketika menyen-
gat, menyadarkan monyet besar akan adanya ancaman
bahaya terhadapnya. Tubuhnya segera dibalikkan se-
raya kedua tangannya dihentakkan untuk menangkis
serangan itu. Untuk kedua kalinya terdengar deru an-
gin keras, dan ketika akhirnya terjadi benturan di tengah jalan menimbulkan
bunyi menggelegar serta seki-
tar tempat itu bergetar. Tubuh Dewa Arak melayang
jauh ke belakang bagaikan daun kering diterbangkan
angin. Sementara monyet raksasa itu sendiri, tak bergeming sama sekali.
Setelah melayang-layang sejauh beberapa tombak
dan terbanting keras di atas tanah, Arya bangkit berdiri dengan susah payah.
Dewa Arak 95 Empu Jangkar Bumi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Getaran yang timbul akibat
benturan itu, membuat dadanya sesak bukan main.
Meskipun demikian, pemuda itu merasa gembira kare-
na, Darsakala berhasil diselamatkannya.
Dewa Arak mengerahkan tenaga dalamnya untuk
mengusir rasa sesak di dada agar tak menyebabkan
terjadinya luka dalam. Hanya sebentar hal itu dilakukannya, kemampuannya pun
pulih kembali. Dan dia
segera melesat kembali ke dalam kancah pertarungan
membantu Darsakala yang sudah mulai terdesak.
Untuk pertama kalinya terjadi, seekor binatang di-
keroyok oleh dua tokoh besar dunia persilatan. Dan
yang mengherankan, binatang itu sama sekali tak ter-
desak! Malah, Dewa Arak dan Darsakala yang dibuat
pontang-panting ke sana kemari untuk menyela-
matkan nyawanya.
Untungnya, walau tak pernah bertarung bersama-
sama menghadapi lawan, Dewa Arak dan Darsakala
mampu bekerja sama secara baik. Kerja sama untuk
saling memperdahsyat serangan dan memperkuat per-
tahanan. Dan, berkat pengalaman mereka masing-
masing, kedua tokoh itu memutuskan untuk menitik-
beratkan pada pertahanan agar pertarungan berlang-
sung lama. Jurus demi jurus sudah berlangsung dengan cepat.
Dan sekarang pertarungan sudah berlangsung seratus
lima puluh jurus lebih. Selama itu tak terhitung sudah Dewa Arak maupun
Darsakala terpental dan terguling
akibat benturan tangan atau kaki si monyet besar.
Namun demikian, serangan kedua tokoh ini pun bebe-
rapa kali mengenai berbagai bagian tubuh lawannya.
Tapi, makhluk yang mengerikan itu ternyata tak ter-
pengaruh sama sekali.
Bunyi mencicit, menderu dan mengaung mengiringi
jalannya pertarungan itu. Belum lagi ditambah dengan suara-suara berupa gerengan
dan geraman dari mulut
si monyet besar. Keriuhan yang terjadi membuat tem-
pat itu bagai dilanda badai, porak poranda.
Semakin bertambah jumlah jurus pertarungan,
monyet raksasa tampak semakin kalap. Serangan-
serangannya semakin dahsyat dan mengerikan, karena
malam semakin mendekati dini hari! Dengan nalu-
rinya, binatang itu tahu kalau keadaan sudah memba-
hayakan dirinya.
Di lain pihak, Arya dan Darsakala yang memang
bermaksud mengulur-ulur waktu hingga terbit mata-
hari, semakin berbesar hati. Kelelahan yang mendera
seperti lenyap begitu saja apalagi ketika di ufuk timur sana tampak bias
kemerahan mulai tampak.
"Arrrggghhh...!"
Monyet raksasa meraung keras bagaikan hendak
mengguncangkan isi bumi. Sekitar tempat itu bergetar hebat. Bahkan Arya dan
Darsakala sendiri sampai jatuh, dan berdiri dengan mempergunakan kedua lutut-
nya. Sang surya muncul di kaki langit sebelah timur
dan memancarkan sinarnya yang lembut. Sinar yang
membuat monyet besar meraung-raung dan menggele-
par-gelepar seperti ayam disembelih. Semua kejadian
itu disaksikan oleh Arya, Darsakala, si Tongkat Halilintar, dan Abiyasa dengan
penuh perasaan ngeri.
Diiringi bunyi berdebuk keras tubuh monyet besar
itu jatuh ke tanah. Sesaat kemudian, terjadi peruba-
han pada wajah dan sebelah tangannya bagian kanan.
Menjadi wajah dan tangan manusia!
Hampir berbarengan keempat orang itu melesat
menghampiri. Mereka semua ingin tahu orang yang te-
lah menjadi monyet jejadian itu. Jantung mereka mas-
ing-masing dirasakan berdetak jauh lebih cepat karena perasaan tegang untuk
mengetahui orang yang berada
di balik semua kejadian mengerikan ini.
Tapi, ketika melihat wajah yang berada di atas tu-
buh monyet besar itu, Darsakala mengeluarkan seruan
heran. Arya menatap Abiyasa. Dan dilihatnya pada wa-
jah lelaki itu tak tampak perasaan apa pun, kecuali
senyum kemenangan yang ditujukan pada Darsakala.
"Masih tak percayakah kau kalau kukatakan guru-
ku sudah meninggal"!" ejek Abiyasa penuh perasaan menang.
Semua yang berada di situ tahu, manusia bertu-
buh monyet itu belum mati. Tapi mereka pun sadar
kalau binatang jejadian itu tak mampu berbuat apa
pun lagi. Makhluk itu sudah sekarat dan hanya tinggal menunggu ajal saja!
"Bisma.... Bisma...! Apa yang terjadi..."! Mengapa kau bisa jadi begini..."!
Mengapa, Anakku..."!"
Ratapan yang keluar dari mulut si Tongkat Halilin-
tar secara tiba-tiba membuat Dewa Arak, Abiyasa, dan Darsakala terjingkat
bagaikan mendengar bunyi halilintar di dekat situ. Dengan mata membelalak lebar
dan mulut keluar karena kaget, ketiga orang itu menatap si Tongkat Halilintar.
"Maafkan aku, Ayah," sahut monyet berkepala manusia yang bernama Bisma, terbata-
bata dan lirih.
"Aku terpaksa melakukan hal ini agar Nawang Wulan kembali menjadi perawan dan
sembuh dari penyakit-
nya...." "Dari mana kau tahu tempat ini"!" tanya si Tongkat Halilintar dengan wajah,
suara, dan sorot mata menyiratkan kedukaan yang besar.
"Empu Jangkar Bumi, Ayah. Tapi, beliau menjadi
sakti tanpa ada masalah sepertiku karena berhasil lulus dalam ujian-ujian
mengerikan ketika bertapa. Dia meninggal sebagaimana manusia umumnya. Aku sial,
Ayah. Aku gagal dalam ujian ketika bertapa."
"Mengapa kau lakukan hal bodoh seperti ini, Bis-ma"!" tanya Tongkat Halilintar,
setengah mengeluh.
Suaranya terdengar parau. "Apakah Empu Jangkar
Bumi yang menyuruhmu"!" tanya Tongkat Halilintar.
"Tidak, Ayah! Bahkan beliau berusaha melarangku.
Tapi, aku bersikeras! Aku mencintai Nawang Wulan,
Ayah. Aku ingin mengawininya."
Napas Bisma mulai tersengal-sengal. Ucapannya
pun mulai terbata-bata, pelan dan hampir tak terden-
gar. Tongkat Halilintar menatapnya dengan wajah se-
pucat mayat! Lelaki itu tahu, ajal putranya sudah dekat "Empu Jangkar Bumi
mengingatkan ku akan akibat mengerikan yang akan menimpa ku, Ayah. Tapi,
aku tetap bersikeras. Kekhawatirannya ternyata benar!
Aku gagal, dan berubah menjadi makhluk seperti ini!
Akal sehatku pun hampir sepenuhnya hilang, berganti
dengan keinginan membunuh seperti seekor binatang
buas yang haus darah!" Bisma terdiam sejenak menahan sakit di sekujur tubuhnya.
Lalu dengan terbata-
bata dia melanjutkan lagi. "Aku hampir putus asa, Ayah. Tapi, penunggu pohon ini
mengatakan aku akan
kembali menjadi manusia, dan Nawang Wulan akan
sembuh dari penyakitnya, asal memenuhi persyara-
tannya. Kalau saja akal sehatku dapat bekerja dengan
baik, tak akan ku penuhi syarat ini. Akan kucari cara lainnya. Syarat itu
terlalu mengerikan, Ayah. Aku harus mempersambahkan seorang wanita dan tiga
belas jantung manusia. Maka, kupersembahkan Nyi Jemba-
wati. Menurut penunggu pohon itu, setelah upacara
persembahan ini Nawang Wulan akan menjadi pera-
wan kembali dan sembuh dari penyakit gilanya. Dan,
aku kembali menjadi manusia serta sakti. Tapi...
akh...!" "Bisma...!" seru si Tongkat Halilintar, kaget bercampur pilu. Dan, karena
guncangan batinnya yang
demikian besar, lelaki ini jatuh pingsan!
Dewa Arak, Abiyasa, dan Darsakala saling berpan-
dangan melihat hasil akhir dari peristiwa berdarah itu.
Tanpa bicara apa pun, Darsakala meninggalkan tem-
pat itu diikuti Dewa Arak. Sementara Abiyasa meng-
hampiri Jembawati dan Nawang Wulan yang masih tak
sadarkan diri. Angin berhembus pelan, seakan ikut merasa ber-
duka dengan apa yang tengah terjadi. Sang surya pun
mulai meredup sinarnya ketika kelompok awan gelap
yang ditiup angin menutupi sinarnya. Alam seperti ikut berduka.
SELESAI Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
http://duniaabukeisel.blogspot.com
https://www.facebook.com/pages/Dunia-
Abu-Keisel/511652568860978
Suling Naga 6 Boma Gendeng 6 Tenda Biru Candi Mendut Istana Yang Suram 9
menyangka teriakan yang ku keluarkan adalah teria-
kan dari lawannya"!" tanya Dewa Arak, tak setuju dengan usul yang diajukan oleh
murid Empu Jangkar
Bumi itu. Pemuda berambut putih keperakan itu kemudian
mengedarkan pandangan ke sekitarnya. Ia dan Abiyasa
berdiri di atas tanah berdebu. Di sekelilingnya, di depan, kanan, dan kirinya
berupa dataran turunan yang
tak rata. Rerumputan, semak-semak, dan pepohonan,
terdapat di segala penjuru.
Abiyasa membiarkan saja pemuda berambut putih
keperakan itu mengerjakan apa yang diinginkannya.
Apalagi ketika dilihatnya Arya memejamkan sepasang
matanya, murid Empu Jangkar Bumi itu sampai-
sampai menahan napas karena khawatir mengganggu
Arya yang tengah memusatkan seluruh perhatian pada
pendengarannya agar dapat menangkap bunyi yang li-
rih sekalipun! "Kudapatkan arahnya, Kang!" seru Arya tiba-tiba.
Abiyasa sampai terjingkat ke belakang saking kagetnya ketika mendengar seruan
Arya yang mendadak itu.
Pemuda berpakaian ungu itu membuka sepasang ma-
tanya dan mengarahkannya ke depan, agak ke sebelah
kiri di mana terdapat dataran naik turun bergelom-
bang dengan ditumbuhi rumput-rumput hijau setinggi
betis. "Kali ini bukan hanya bunyi rintihan, tapi langkah.
Langkah lambat-lambat. Sepertinya, orang itu tengah
menderita luka yang cukup parah," ujar Arya yakin.
Bersamaan dengan itu, secepat kilat Arya melesat
ke arah yang diyakininya. Abiyasa tak mau ketingga-
lan. Pemuda itu agak membatasi kecepatan larinya
agar Abiyasa tak terlalu jauh tertinggal.
Setelah melalui medan naik turun bergelombang
sejauh belasan tombak, Dewa Arak baru melihat kebe-
naran apa yang didengarnya. Di kejauhan dilihatnya
sesosok manusia dengan pakaian coklat tengah berlari terhuyung-huyung ke arah
yang baru saja ia tinggalkan.
Sosok yang belum jelas terlihat oleh Arya itu bebe-
rapa kali hampir terguling. Tapi, berkat tongkat di tangannya yang dijadikan
tempat bertahan dengan mene-
kankannya ke tanah dan bertelekan pada tongkat itu,
tubuhnya tak sampai terguling.
Sosok coklat itu ternyata juga telah melihat kehadi-
ran Arya. Berbeda dengan Arya yang terus melesat, sosok itu menghentikan larinya
dan malah membalikkan
tubuhnya kembali ke tempatnya semula.
Arya tahu kalau sosok itu salah paham. Tapi, dis-
adarinya penjelasannya akan kurang berguna tanpa
disertai tindakan. Maka, kecepatan larinya pun ditambah, sampai akhirnya ia
melewati sosok coklat itu,
membalikkan tubuh dan menghadang larinya.
*** 7 "Tenang, Paman, aku tak bermaksud jahat. Per-
cayalah! Bahkan aku bermaksud menolongmu!" seru Arya cepat ketika melihat sosok
itu yang ternyata adalah seorang lelaki setengah baya yang bermaksud me-
lancarkan serangan dengan tongkatnya.
Lelaki berkumis melintang dan kening lebar itu se-
gera hentikan gerakannya. Meskipun demikian, sikap-
nya masih memperlihatkan kecurigaan besar. Tongkat
bambunya tercekal erat di tangan kanannya.
"Bukankah kau orang yang mendapat julukan si
Tongkat Halilintar, Paman?" tanya Dewa Arak menerka, setelah memperhatikan
pakaian dan tongkatnya
yang berguratkan lukisan kilat. Ia semakin yakin akan, dugaannya ketika menatap
matanya. Sorot mata itu
bagai mata harimau dalam gelap. Arya tahu, murid-
murid si Tongkat Halilintar tak akan mungkin memiliki sinar mata seperti itu.
Karena itulah, dugaannya jatuh pada si Tongkat Halilintar.
"Siapa kau, Anak Muda"! Aku tak mengenalmu,"
bentak lelaki berpakaian coklat itu tak memberikan
jawaban. "Aku Arya, kawan dari murid Empu Jangkar Bumi,
Paman," jelas Arya cepat, karena tak menginginkan terjadinya salah paham. "Nah!
Itu Abiyasa, kawanku, murid dari Empu Jangkar Bumi yang menjadi sahabat
baikmu," lanjut Arya sambil menunjuk Abiyasa yang sedang berlari ke tempat itu.
Lelaki berkumis melintang yang sudah terluka pa-
rah dengan darah kering tampak di sekujur tubuh dan
pakaiannya, menoleh ke belakang. Tapi sedikit pun ia tak mengalihkan
perhatiannya dari Dewa Arak. Rupanya dia merasa khawatir akan dibokong dari
bela- kang oleh pemuda berambut putih keperakan itu.
Tapi Arya memang tak menipu. Di belakang lelaki
berpakaian coklat itu, tampak Abiyasa tengah berlari-lari mendekati mereka.
Sesaat kemudian, murid Empu
Jangkar Bumi sudah berada di dekat keduanya.
"Benarkah kau murid Empu Jangkar Bumi"!"
tanya lelaki berkumis melintang, dengan suara berge-
tar dan penuh harapan.
"Benar. Dan kau sendiri benarkah si Tongkat Halilintar yang menjadi sahabat
guruku"!" Abiyasa balik
bertanya setelah memberitahukan nama asli gurunya
dan nama dirinya sendiri.
"Tidak salah, Abiyasa. Akulah si Tongkat Halilintar yang mempunyai nama asli
Subarnaga," jelas lelaki berpakaian coklat itu bernada gembira.
Abiyasa pun merasa gembira bukan main dengan
pertemuan itu. Kemudian ia memperkenalkannya pada
Arya. Si Tongkat Halilintar kaget bercampur gembira
dan kagum ketika mengetahui siapa sebenarnya si
pemuda berambut putih keperakan itu. Hanya dalam
waktu sebentar saja, mereka bertiga sudah menjadi
akrab. "Apa yang terjadi atas dirimu, Paman, sehingga kau bisa luka-luka begitu?" tanya
Abiyasa, setelah percakapan pembukaan telah usai dan Arya sudah membe-
rikan pertolongan sekadarnya agar luka si Tongkat Halilintar tak bertambah
parah. Dengan pengerahan ha-
wa murninya, Dewa Arak sudah meringankan luka-
luka yang diderita Subarnaga.
"Ceritanya cukup panjang, Abiyasa," sahut Tongkat Halilintar setelah terlebih
dulu menghela napas berat.
Ditatapnya wajah Arya dan Abiyasa berganta ganti.
"Dan, hal ini sekaligus menjawab ketidaktahuan mu mengenai Nawang Wulan."
"Ceritakanlah, Paman, kami siap mendengarnya,!"
sahut Abiyasa antusias, mengingat rahasia mengenai
gurunya akan segera tersingkap
"Beberapa tahun lalu gurumu, Empu Jangkar Bu-
mi datang ke tempatku bersama dengan putrinya, Na-
wang Wulan. Si empu itu menitipkan putrinya padaku,
karena menderita sakit kurang waras. Nawang Wulara
gila...." Abiyasa merasakan dadanya bagai ditabrak seekor
kerbau liar, sesak. Sama sekali tak disangkanya akan
mendengar cerita seperti itu. Kalau bukan si Tongkat Halilintar yang
memberitahukan, dia pasti tak akan
percaya. "Narotama membawa Nawang Wulan padaku untuk
disembuhkan penyakitnya. Memang, aku cukup mahir
dalam ilmu pengobatan. Usahaku ternyata tak sia-sia.
Dalam beberapa bulan gadis itu sudah berhasil sem-
buh. Tapi, tak lama kemudian kambuh lagi, bahkan
lebih parah."
"Kenyataan itu membuatku sadar tak akan mampu
menyembuhkan penyakit Nawang Wulan. Kendati de-
mikian, aku tak putus asa! Kemampuanku dalam ilmu
pengobatan memang terbatas. Tapi, tak demikian den-
gan paman guruku. Hampir tak ada penyakit yang tak
bisa disembuhkannya. Kemampuanku dalam ilmu
pengobatan pun ku peroleh darinya. Sayang, aku
hanya mempelajarinya sebentar...."
"Karena tempat tinggal paman guruku amat jauh.
Lagi pula, aku tak yakin beliau masih di tempatnya
yang kuketahui karena kesukaannya berpindah-
pindah tempat, kuperintahkan sebagian muridku un-
tuk membawa Nawang Wulan pada ayahnya, Empu
Jangkar Bumi. Bisma, putraku, berkeras ikut dalam
rombongan. Aku tak bisa melarangnya. Aku tahu dia
telah jatuh hati pada Nawang Wulan."
"Sepeninggal mereka, aku pergi untuk mencari
paman guruku. Sebelum pergi, kuperintahkan murid-
muridku yang tersisa untuk meninggalkan tempat me-
reka bernaung selama ini. Aku tak ingin terjadi sesua-tu yang tak diinginkan
pada mereka. Tapi, kupesankan pada salah seorang di antara mereka untuk
mengawasi tempat itu...."
Arya dan Abiyasa saling berpandangan. Sekarang
mereka mengerti, mengapa tempat tinggal Tongkat Ha-
lilintar tak berpenghuni sama sekali
"Ternyata aku bukan satu-satunya orang yang
mencari paman guruku. Dan ternyata aku datang ter-
lambat. Seorang tokoh sesat telah lebih dulu menahan beliau. Semula aku tak tahu
maksudnya. Tapi, belakangan kuketahui kalau tokoh itu bermaksud memin-
ta keterangan pada paman guruku mengenai Empu
Jangkar Bumi, yang secara mengejutkan jadi memiliki
kepandaian luar biasa tingginya. Paman guruku itu, di samping memiliki ilmu
pengobatan, juga memiliki ilmu meramal yang mengagumkan! Hanya sayangnya,
kepandaiannya tak setinggi ilmu pengobatan dan mera-
malnya. Aku yang tak ingin beliau celaka, segera me-
nyerang tokoh sesat itu."
"Sayangnya, aku bukan tandingannya. Dia lihai
bukan main. Dalam beberapa puluh jurus aku sudah
dilukainya. Karena yakin tak bakal menang mengha-
dapinya, aku melarikan diri. Tokoh sesat itu tak mengejar, tapi aku yakin kalau
dia akan mencariku."
"Apakah kau mengenalnya, Paman"!" tanya Arya ingin tahu.
"Kenal sih tidak. Tapi, dia memperkenalkan diri sebagai putra dari Setan
Tengkorak Merah."
"Itu pasti Tengku Daud...," gumam Arya dan Abiyasa hampir berbarengan.
"Jadi, orang itu pula yang hampir mencelakaimu
itu, Abiyasa"!" tanya si Tongkat Halilintar ketika teringat akan cerita Abiyasa.
Murid Empu Jangkar Bumi itu memang sudah menceritakan semua kejadian yang
dialaminya. Abiyasa menganggukkan kepala.
"Sama sekali tak kusangka kalau rahasia yang melingkupi masalah pesan Guru
semakin bertambah, bu-
kannya tersingkap. Sekarang, kita mesti mencari tahu
ke mana lenyapnya Nawang Wulan dan Jembawati.
Mungkinkah mereka berdua diculik oleh sosok coklat
yang gemar menggeram itu"!" ujarnya setengah mengeluh. "Maaf, Kang. Apakah kau
tak tersinggung bila ku ajukan sebuah pertanyaan"!" tanya Arya hati-hati sekali.
"Mengapa harus tersinggung, Dewa Arak"!" Abiyasa malah balas bertanya. "Tak usah
ragu-ragu, katakan saja!"
"Begini, Kang, benarkah kau sudah melihat sendiri kalau Empu Jangkar Bumi sudah
tewas"!"
"Tentu saja, Dewa Arak. Bahkan aku telah mengu-
burkannya!" jawab Abiyasa, mantap. "Boleh ku tahu mengapa kau bertanya
demikian"!" tanya Abiyasa heran. "Ucapan Darsakala, Kang," jawab Arya, puas
mendapat jawaban mantap dari murid Empu Jangkar Bu-
mi itu. "Kakek itu sama sekali tak percaya kalau Empu Jangkar Bumi sudah mati.
Aku ingin tahu apa alasannya!"
"Aku yakin tak ada alasan sama sekali, Dewa Arak.
Darsakala mengada-ada sendiri! Dia tak ingin Empu
Jangkar Bumi mati, kecuali oleh tangannya sendiri!
Oleh karena itu, dia berusaha keras untuk membantah
keteranganku! Kematian Empu Jangkar Bumi mem-
buatnya sia-sia melatih diri selama ini! Aku yakin, Kakek itu telah berusaha
mati-matian untuk menambah
kepandaian agar bisa membalaskan kematian pu-
tranya. " Penjelasan panjang lebar Abiyasa memang masuk
akal. Mau tak mau, Arya pun dapat menerima kebena-
ran ucapan itu.
Mendadak sekelebatan dugaan muncul di benak
Dewa Arak. Ia menduga sosok coklat yang gemar
menggeram itu adalah salah satu dari dua orang yang
ada di dekatnya. Masing-masing mereka, mempunyai
dasar untuk dijadikan tertuduh.
Abiyasa berada dekat dengan kejadian di mana
Dewa Arak mendapat penyerangan dari sosok coklat
yang luar biasa itu. Dan, siapa yang bisa menjamin cerita Abiyasa benar" Tak
ada! Di lain pihak, si Tongkat Halilintar mempunyai alasan kuat untuk dijadikan
tertuduh karena pakaian serba coklat yang dikenakan-
nya. Bukankah sosok yang gemar menggeram itu ber-
warna coklat"!
Arya membantah dugaan yang muncul di benaknya
secara sekelebatan. Ia menyadari kalau dugaan itu terlalu mengada-ada. Bukankah
sosok coklat itu berke-
pandaian luar biasa tinggi dan berperawakan besar,
yang sudah pasti jauh lebih besar daripada Abiyasa
atau pun si Tongkat Halilintar!
Tapi bantahan yang muncul itu terbantah lagi keti-
ka Dewa Arak teringat akan pengalamannya. Ia pernah
bertemu dengan tokoh sesat yang mampu mengubah
tubuhnya menjadi jauh lebih besar. Dan, dengan tu-
buh yang membesar itu, tokoh tersebut memiliki ke-
pandaian berlipat. Tokoh itu bernama Samukti, dan
ilmu luar biasa itu 'Urai Raga' (Untuk jelasnya mengenai tokoh Samukti dan
ilmunya silakan baca episode:
"Sengketa Guci Pusaka"). Bukan tak mungkin kalau kejadian seperti Samukti
berulang pada tokoh lainnya.
Di saat dugaan yang muncul sekelebatan itu membuat
batin Arya berperang, terdengar bunyi geraman keras
yang telah akrab di telinga Arya dan Abiyasa. Kedua orang itu sudah pernah
mendengarnya, dan tak
mungkin lupa. Wajah Arya, Abiyasa, dan Tongkat Halilintar beru-
bah seketika. Begitu mendengar geraman itu, Dewa
Arak langsung memaki dirinya sendiri di dalam ha-
tinya. Memaki dirinya karena sudah menduga yang
Dewa Arak 95 Empu Jangkar Bumi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bukan-bukan terhadap Abiyasa dan si Tongkat Halilin-
tar. Bagai sudah disepakati sebelumnya, Dewa Arak,
Abiyasa, dan Tongkat Halilintar melesat ke arah asal geraman itu. Arya yang
memiliki ilmu lari paling tinggi, berada jauh di depan. Abiyasa dan si Tongkat
Halilintar berlari berjajar. Si Tongkat Halilintar sebenarnya memiliki kemampuan
jauh di atas Abiyasa, tapi karena saat itu ia sedang tak berada dalam keadaan
biasanya, gerakannya jadi agak berkurang.
Tak sampai lima puluh tombak, setelah melewati
kerimbunan semak-semak, Dewa Arak melihat sesosok
hitam melompat tinggi ke atas, bersalto beberapa kali di udara. Pada saat yang
bersamaan, terdengar bunyi angin menderu yang luar biasa kerasnya.
Brakkk! Pohon besar berbatang lima pelukan orang dewasa
yang berada di dekat situ hancur berantakan dan ja-
tuh di tanah menimbulkan bunyi berisik disertai bau
hangus terbakar. Dewa Arak yang berada kira-kira tiga tombak dari tempat itu,
sempat terkejut dan melompat ke belakang.
Tapi secepat itu pula Dewa Arak melesat mendekati
tempat asal angin menderu, yang diyakininya merupa-
kan lontaran pukulan jarak jauh seseorang yang me-
miliki tenaga dalam luar biasa dahsyat. Dan, dilihatnya sosok hitam itu melesat
turun seraya mengirimkan serangan berupa tusukan, ke arah sosok yang ada di
bawahnya. Di tangan sosok hitam itu tergenggam sen-
jata, yang meskipun hanya terlihat berupa bayangan
karena gerakannya sangat cepat, Arya tahu kalau itu
adalah rencong! Bahkan Arya kini tahu kalau sosok hitam itu adalah Tengku Daud!
Rupanya putra Setan
Tengkorak Merah itu sudah menyadari kalau lawan
yang dihadapinya amat tangguh, sehingga sampai
mengeluarkan senjata andalannya. Senjata khas dari
daerah kelahirannya, Aceh!
Arya tak kaget melihat keberadaan Tengku Daud,
mau pun serangannya yang dahsyat. Pemuda berpa-
kaian ungu itu justru terpaku ketika melihat sosok
yang menjadi lawan putra Setan Tengkorak Merah itu.
Sosok yang diyakini betul oleh Arya sebagai sosok coklat yang dulu menyerangnya,
dan yang selalu mengge-
ram. Tapi ia sama sekali tak menyangka kalau sosok
itu demikian mengiriskan hati!
Sosok itu berdiri di atas tanah, berjarak tiga tom-
bak dari Arya dan hanya dipisahkan oleh kerimbunan,
semak-semak. Sosok itu tinggi besar, hampir mencapai satu setengah tombak!
Sekujur tubuh sosok itu diselimuti bulu coklat. Sosok yang biasanya terlihat
sebagai bayangan coklat itu ternyata adalah seekor monyet besar! Monyet berbulu
coklat yang kelihatan demikian
ganas dan menakutkan!
Mata Arya tak berkedip ketika ujung rencong Teng-
ku Daud semakin mendekati sasaran, yaitu ulu hati si monyet besar, dengan
kecepatan menakjubkan.
Monyet coklat mengayunkan tangannya ketika ren-
cong semakin mendekat. Terdengar bunyi berderak ke-
tika pergelangan tangan Tengku Daud tertangkap jari-
jari tangan yang luar biasa besarnya itu. Tengku Daud tak kuasa menahan
keluarnya jeritan tertahan, karena terkejut luar biasa.
Tapi Tengku Daud tak tinggal diam. Dengan tangan
yang satunya dan sepasang kakinya, ia ingin melan-
carkan serangan susulan agar dapat membebaskan
tangannya dari cekalan makhluk itu. Tapi Tengku
Daud kalah cepat bertindak. Makhluk yang luar biasa
kuatnya itu menggerakkan tangannya, memutarkan
tubuh pemuda berpakaian hitam itu mengelilingi tu-
buhnya. Putaran itu ditopang oleh tenaganya yang luar bi-
asa kuat. Betapa pun Tengku Daud berusaha mena-
hannya, dia tetap tak mampu. Tubuhnya berputar
dengan cepat. Semula memang tak terlalu berpenga-
ruh. Tapi, beberapa lama kemudian, Tengku Daud mu-
lai merasa pusing dan mual. Belum lagi dengan rasa
sakit yang luar biasa pada pergelangan tangannya
yang dicekal oleh monyet besar itu. Apalagi ketika akhirnya tulang tangan itu
hancur berantakan. Sekujur
wajah dan tubuh Tengku Daud seketika dipenuhi pe-
luh sebesar biji kedelai!
Semakin lama semakin tak ada perlawanan yang
diberikan putra Setan Tengkorak Merah itu. Tenaganya melemah dengan cepat,
karena tindakan makhluk raksasa yang luar biasa itu. Dalam keadaan seperti itu
Tengku Daud masih sempat melihat tangan monyet
yang satunya meluncur ke arahnya.
Putra Setan Tengkorak Merah itu berusaha untuk
mengelak atau menangkis, tapi sia-sia. Ia merasakan
pergelangan tangannya yang sebelah lagi kini tercekal oleh tangan si makhluk
berbulu coklat yang besar itu.
Sesaat kemudian, pemuda itu merasakan tubuhnya
diangkat ke atas dan diayunkan ke bawah.
Arya yang melihat kejadian itu secara jelas, bisa
memperkirakan apa yang akan dilakukan oleh monyet
besar itu ketika tubuh Tengku Daud dengan bagian
punggung lebih dulu, diayunkan menuju salah satu
pahanya yang dipalangkan.
Dewa Arak yang memutuskan untuk menolong
Tengku Daud dan mengirimkan pukulan maut ke arah
monyet coklat itu, mengurungkan maksudnya ketika
melihat keberadaan kakek berpakaian serba putih se-
derhana, bersandar pada batang pohon tak jauh dari
monyet itu. "Inikah paman guru si Tongkat Halilintar"!" pikir Arya dalam hati.
Melihat itu, Arya segera memutuskan untuk me-
nyelamatkan yang lebih penting diselamatkan. Tapi ba-ru saja ia hendak melesat,
sesosok bayangan hijau telah lebih dulu melesat menyambar tubuh si kakek
Kekhawatiran akan keselamatan paman guru
Tongkat Halilintar, membuat Dewa Arak melesat ke-
luar dari tempat persembunyiannya dan menghadang-
nya. Sosok bayangan hijau terperanjat melihat kenya-
taan yang tak diduganya itu. Kendati demikian, ia tak menjadi gugup. Dengan
sebelah tangan dikirimkannya
gedoran ke arah rusuk Dewa Arak!
Arya tak berani memandang rendah serangan yang
tertuju ke arahnya. Apalagi setelah melihat kalau sosok hijau itu adalah Dewi
Lanjar. Maka pemuda be-
rambut putih keperakan itu mengerahkan seluruh te-
naganya, ketika melakukan tangkisan!
Blarrr...! Bersamaan dengan terjadinya benturan itu, ter-
dengar bunyi berderak keras disertai lolong kematian dari mulut Tengku Daud.
Tulang pinggang pemuda
berpakaian hitam itu hancur berantakan ketika ber-
benturan dengan tulang paha monyet besar. Darah
menyembur deras dari mulutnya, dan seketika itu pula Tengku Daud tewas.
Sementara itu tangkisan yang dilakukan oleh Dewa
Arak, membuat tubuhnya dan tubuh Dewi Lanjar ter-
lempar ke belakang. Dewi Lanjar bernasib sial. Lonta-
ran tubuhnya ternyata menuju ke tempat monyet be-
sar berbulu coklat itu berada,
Dewi Lanjar baru menyadari akan adanya ancaman
bahaya ketika tubuhnya yang melayang itu mendadak
berhenti! Ada sepasang tangan kuat, besar, dan berbu-lu yang mencengkeram kedua
bahunya. Keras sekali
sehingga membuatnya kesakitan.
Dewi Lanjar bertindak cepat. Ia berusaha keras
meronta untuk melepaskan diri sambil mengirimkan
tendangan ke belakang dengan sasaran dada monyet
yang mencekalnya. Kedua kaki wanita berpakaian hi-
jau ini memang bebas, tergantung beberapa jengkal
dari permukaan tanah.
Tindakan yang dilakukan Dewi Lanjar ternyata
berbarengan dengan yang dilakukan monyet itu. Bina-
tang raksasa itu mengayunkan tubuh Dewi Lanjar ke
arah pahanya. Rupanya ia ingin membunuh Dewi Lan-
jar dengan cara yang sama seperti ia membinasakan
Tengku Daud! Kesialan yang dialami Dewi Lanjar berlanjut. Kedu-
dukannya kurang menguntungkan. Tambahan lagi te-
naga monyet raksasa jauh lebih besar. Dan, jeritan
menyayat hati pun keluar dari mulutnya ketika tulang-tulangnya hancur
berantakan! Nyawa Dewi Lanjar me-
layang seketika itu juga.
Tanpa mempedulikan mayat Dewi Lanjar lagi, mo-
nyet berbulu coklat itu menatap Dewa Arak yang saat
itu baru berhasil mematahkan kekuatan yang mem-
buat tubuhnya melayang. Binatang raksasa itu mena-
tap Dewa Arak seraya mempertunjukkan giginya yang
runcing dan besar-besar.
Tanpa sadar Dewa Arak melangkah mundur, kare-
na bentuk monyet besar yang sangat mengerikan itu.
Walaupun demikian, pemuda itu tak merasa gentar.
Yang timbul dalam hatinya malah hasrat untuk mele-
nyapkan monyet besar itu agar pembantaian yang me-
rajalela itu dapat berakhir.
"Grrrhhh...!"
Makhluk itu tiba-tiba menggeram keras, membuat
daun-daun berjatuhan dari atas pepohonan. Apalagi
ketika sepasang tangannya yang besar dan terkepal itu dipukulkan bertubi-tubi
pada dadanya, sehingga menimbulkan bunyi berdebuk keras yang membuat ba-
nyak pohon bergoyang-goyang seakan-akan sedang di-
landa gempa! Dewa Arak tahu, bahaya besar sesaat lagi akan
menimpanya. Binatang yang luar biasa kuat itu tam-
paknya ingin melakukan sebuah serangan. Dan Arya
tak ingin didahuluinya. Buru-buru kedua tangannya
dihentakkan dengan mengeluarkan jurus 'Pukulan Be-
lalang'! Menurut perhitungan, seekor binatang, betapa pun
cerdiknya tak akan dapat menguasai tenaga dalamnya.
Namun, apa yang ditunjukkan monyet besar itu ber-
lainan dengan kenyataan yang seharusnya terjadi. Bi-
natang yang mampu berdiri dengan kedua kaki itu, ju-
ga menghentakkan kedua tangannya melakukan tin-
dakan yang sama dengan Dewa Arak.
Dan yang lebih mengejutkan hati lagi, dari kedua
tangan yang jari-jarinya setengah terbuka itu berhembus angin keras yang
mengandung hawa panas luar
biasa. Malah masih lebih panas dari hawa yang me-
mancar dari pukulan jarak jauh Dewa Arak.
Akibatnya, di tempat itu seperti tengah terjadi ke-
bakaran hutan. Hawa yang luar biasa panasnya me-
lingkupi sekitar tempat itu. Semak-semak dan pepoho-
nan, seketika itu pula layu dan hangus. Bahkan seba-
gian di antaranya terbakar. Padahal yang menyebab-
kan hal itu semua hanya pukulan angin. Itu pun tak
telak kenanya, malah menyerempet pun tidak!
Blarrr...! Bumi bagaikan runtuh ketika dua rangkum angin
pukulan dahsyat berbenturan di tengah jalan diiringi bunyi menggelegar keras
seakan-akan sebuah gunung
sedang meletus.
Dewa Arak merasakan seperti menabrak dinding
baja yang luar biasa keras. Ia terpental ke belakang dengan sekujur tubuh
terutama tangan, sakit-sakit
dan ngilu. Dadanya sesak dan agak terguncang. Di
damping itu hawa panas pun merayapi sekujur tubuh-
nya, dengan kadar panas yang melebihi panas tenaga
dalamnya. Luncuran tubuh pemuda berambut putih kepera-
kan itu baru terhenti ketika punggungnya membentur
sebatang pohon besar! Untung saja tenaga dalamnya
langsung menyebar ke sekujur tubuhnya sebelum
menghantam pohon itu. Jika tidak, benturan yang ke-
ras itu akan membuat punggung Arya luka-luka.
Arya masih mampu memperlihatkan kelihayannya
dengan berdiri tegak di atas tanah dengan mempergu-
nakan kedua kakinya. Memang, ia merasa pusing se-
kali. Pandangannya pun berkunang-kunang, karena
pengaruh benturan dan serangan hawa panas di selu-
ruh bagian tubuhnya. Meskipun demikian, ia tetap
memaksakan dirinya untuk melanjutkan pertarungan.
Di lain pihak, monyet besar berbulu coklat itu
tampaknya tidak terpengaruh dengan benturan dua
gundukan tak tampak dari pukulan jarak jauh itu. Bi-
natang yang mengerikan itu mengeluarkan suara ge-
raman bernada kemenangan, dan bersiap mengirim-
kan serangan lanjutan.
Arya merasakan detakan jantungnya mendadak
berpacu lebih cepat. Pemuda itu menyadari akan kea-
daannya yang berbahaya. Ia tak yakin akan mampu
menanggulangi serangan lanjutan makhluk besar yang
luar biasa itu.
Di saat-saat yang menegangkan itulah, terdengar
derap langkah dua pasang kaki. Arya mengerling se-
bentar, sedangkan monyet raksasa itu menoleh sambil
menggeram penuh kemarahan karena merasa tergang-
gu. Tapi mendadak kemarahan monyet besar itu ber-
ganti dengan geraman lirih. Seperti halnya bunyi yang dikeluarkan oleh binatang
yang merasa ketakutan dan
gelisah! Karuan saja tingkah binatang yang luar biasa itu
mengherankan Arya. Padahal, pemilik langkah-
langkah kaki itu adalah Abiyasa dan Tongkat Halilin-
tar! Dua lawan yang boleh dibilang sama sekali tak ada artinya!
Tingkah monyet raksasa itu bahkan semakin
mengherankan. Binatang itu sambil menggeram lirih
memperdengarkan kegentaran dan kebingungannya,
binatang itu melangkah mundur. Di lain pihak, Abiya-
sa dan si Tongkat Halilintar terpaku kaku di tempat-
nya bagai orang kena sihir! Semangat dan nyali mereka seperti lenyap entah ke
mana begitu berpandangan
dengan sosok yang sama sekali tak mereka perkirakan!
Keheranan Arya semakin menjadi-jadi ketika meli-
hat monyet besar itu membalikkan tubuh dan melesat
meninggalkan tempat itu dengan kecepatan yang me-
nakjubkan. Padahal, binatang itu berlari dengan mem-
pergunakan keempat kakinya.
Dewa Arak 95 Empu Jangkar Bumi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dewa Arak, satu-satunya orang yang masih sadar
sepenuhnya baru mengerti akan teka-teki yang selama
ini tak terjawab. Dilihatnya makhluk yang mengerikan
itu melesat menerobos kerimbunan semak-semak di
sebelah kanan. Tapi anehnya, semak-semak dan pepo-
honan yang seakan dilanda badai adalah yang berada
di sebelah kiri. Entah dengan ilmu dan cara bagaimana binatang yang luar biasa
besarnya itu bisa melakukannya, Arya tak mengerti, dan tak bisa menjawabnya.
Yang jelas, keanehan yang dulu membuatnya bingung,
telah terjawab.
"Hhh,..!"
Sambil menghela napas berat dan mengerahkan
hawa murni untuk mengusir hawa panas di sekujur
tubuhnya, pemuda berpakaian ungu itu menghampiri
Abiyasa dan si Tongkat Halilintar yang masih terpaku di tempatnya. Rupanya dua
orang itu benar-benar terkejut ketika melihat monyet coklat yang sangat
menyeramkan dan merindingkan bulu kuduk itu.
"Aku bersyukur sekali kalian berdua datang pada saat yang tepat," ucap Arya
pelan, ketika diyakininya sergapan hawa panas itu sudah hilang dan tak mem-
bahayakannya lagi. Ia telah lolos dari kemungkinan
terluka dalam. Abiyasa dan si Tongkat Halilintar bagaikan orang
tidur diguyur panas, kelabakan dan kebingungan. Arya memang tak hanya sekadar
berbicara. Meski hanya pelan, tapi dengan tenaga dalamnya yang tinggi, pemuda
berpakaian ungu itu mampu mengguncang bagian
otak yang berhubungan dengan kesadaran, sehingga
dua lelaki setengah baya itu tersadar dari keterpa-
kuannya. *** 8 "Ke mana perginya monyet raksasa itu, Dewa
Arak?" tanya Abiyasa tergagap.
Kegagapannya disebabkan karena kesadaran di-
rinya yang dilakukan secara paksa oleh Dewa Arak,
dan juga karena teringat kembali akan monyet besar
berbulu coklat yang dilihatnya.
Murid Empu Jangkar Bumi dan juga si Tongkat
Halilintar mengedarkan pandangan ke sana kemari,
mencari-cari makhluk yang luar biasa besarnya itu.
Tapi sampai lelah bola mata mereka berputar, tak juga menemukan binatang yang
dicarinya. "Binatang itu sudah pergi," jelas Arya. "Binatang itulah yang telah membantai
semua muridmu, Paman.
Dan, bahkan telah membantai Antasena, murid Empu
Jangkar Bumi yang lainnya."
"Tidak masuk di akal, Dewa Arak!" desis si Tongkat Halilintar, tak sependapat.
"Betapapun perkasanya binatang raksasa itu, tapi menghadapi tokoh-tokoh silat
yang terlatih baik, rasanya mustahil menang."
"Tapi itulah kenyataannya, Paman," tegas Arya "Kalau saja Paman dan Kakang
Abiyasa tak segera datang, mungkin aku pun sudah menjadi mayat yang tak utuh
lagi, menyusul Tengku Daud."
"Tokoh sesat sakti itu mati di tangan monyet raksasa"!" tanya si Tongkat
Halilintar tanpa menyembunyikan ketidakpercayaannya. Tapi ia memang tak bisa
untuk tak percaya, karena bukti jelasnya tergolek di depannya. Lagi pula, orang
seperti Dewa Arak mana
mungkin berbohong. "Kalau tak mendengar dari mulutmu, aku tak akan percaya, Dewa
Arak," ujar si Tongkat Halilintar lagi.
"Memang sulit untuk dipercaya, Paman. Aku pun
merasa, tak akan mungkin seekor monyet besar mem-
punyai kemampuan seperti itu. Akan membuat geger
dunia persilatan kalau seekor monyet menjadi jago
nomor satu!" tegas Arya. "Tapi, kemungkinan itu bisa terjadi, tapi dengan satu
syarat." "Apakah syarat itu, Dewa Arak?" tanya Abiyasa angkat bicara.
"Syaratnya atau kemungkinannya, bisa saja mo-
nyet besar yang memang memiliki kemampuan besar
itu adalah bukan binatang sewajarnya."
"Apa maksudmu, Dewa Arak" Aku masih belum
mengerti," tanya Abiyasa lagi penasaran.
"Apakah yang kau maksudkan monyet itu adalah
binatang jejadian, Dewa Arak"!"
Si Tongkat Halilintar yang bisa menangkap maksud
Dewa Arak, langsung mengajukan dugaannya.
"Benar, Paman," jawab Arya sambil menganggukkan kepala.
"Mungkinkah itu..."!" tanya Abiyasa setengah ber-gumam seperti bicara pada
dirinya sendiri.
"Bukan hanya mungkin, tapi memang! Monyet be-
sar itu adalah binatang jejadian!"
Hampir berbarengan Dewa Arak, Abiyasa, dan si
Tongkat Halilintar mengarahkan pandangannya ke
arah asal suara itu. Suara yang terdengar belakangan itu memang bukan keluar
dari mulut salah seorang
dari mereka. Arya dan Abiyasa mengernyitkan keningnya ketika
mereka menoleh ke arah suara itu berasal. Keduanya
merasa seakan-akan sudah pernah mendengar suara
itu sebelumnya. Hanya saja, kapan dan di mana kedu-
anya lupa. Yang jelas, Dewa Arak merasa yakin kalau
pemilik suara itu memiliki kepandaian tinggi. Jika ti-
dak, walau ia sedang bercakap-cakap pun langkah ka-
kinya pasti akan terdengar, bila orang tersebut memiliki tingkat kepandaian di
bawahnya. Sesosok bayangan tiba-tiba berkelebat dan menje-
jakkan kakinya berjarak lima tombak dari kelompok
Dewa Arak. "Kiranya kau, Kala," ucap Arya tenang, setelah melihat jelas sang pemilik suara
tadi. Darsakala, pemilik suara yang baru datang itu
hanya tersenyum hambar.
"Selamat berjumpa lagi, Dewa Arak. Syukur kalau kau sudah sadar akan kekeliruan
mu." "Kekeliruan"!" ulang Arya dengan sepasang alis bertaut "Aku tak mengerti apa
yang, kau maksudkan Kala. Kekeliruan apa yang telah kulakukan"!" tanyanya
kemudian. "Bukankah kau semula percaya kalau Empu Jang-
kar Bumi sudah tewas"! Dan sekarang terbukti apa
yang kukatakan, Empu Jangkar Bumi masih hidup.
Kau sudah membuktikannya sendiri, kan"!" cetus Darsakala penuh kemenangan.
"Kapan aku telah melihat Empu Jangkar Bumi, Ka-
la"! Kau yang keliru!"
"Eh"! Bukankah baru saja kau telah melihat empu sialan itu"! Bahkan kau katakan
tadi hampir mati di
tangannya!" tandas Darsakala lagi, mantap.
Bukan hanya Arya saja yang terkejut mendengar
jawaban yang diberikan Darsakala. Abiyasa dan Tong-
kat Halilintar pun terperanjat. Abiyasa sendiri malah kaget bercampur marah
karena guru yang dihormatinya dan telah wafat itu masih dipermalukan! Darsa-
kala mengira monyet raksasa itu sebagai Empu Jang-
kar Bumi! Sungguh merupakan penghinaan yang luar
biasa besarnya!
"Jadi..., maksudmu... monyet besar tadi adalah
penjelmaan dari Empu Jangkar Bumi"!" tanya Arya, meminta penjelasan.
"Tepat sekali!" jawab Darsakala mantap. "Agar jelasnya mungkin perlu
kuberitahukan sedikit. Empu
yang telah diamuk dendam itu tak mempedulikan jalan
benar dan salah. Agar dendamnya terlampiaskan, dia
bersekutu dengan setan. Oleh karena itulah dalam
waktu singkat, kepandaiannya meningkat luar biasa.
Dan dia berhasil membalas sakit hatinya. Tapi, akibat perjanjiannya dengan setan
itu dia harus menerima
akibatnya, berubah menjadi makhluk yang menjijikkan
itu. Setan yang dipujanya, dalam alam nyata berupa
monyet yang jauh lebih besar lagi. Karena itu, empu
terkutuk itu menjelma menjadi monyet!"
Darsakala mengedarkan pandangan ke sekitarnya.
Dia tak terlihat terkejut, melihat dua sosok bergeletakan di tanah yang
dikenalinya sebagai tokoh-tokoh sesat tingkat tinggi. Sepengetahuannya, kedua
orang itu mempunyai hubungan erat dengan datuk-datuk sesat
persilatan. Tengku Daud adalah putra dari Setan
Tengkorak Merah. Sedangkan Dewi Lanjar adalah mu-
rid terkasih dari Dewi Berambut Wangi!
"Fitnah! Itu fitnahan yang luar biasa keji! Kau manusia terkutuk, Darsakala!
Biar aku mengadu jiwa
denganmu!" teriak Abiyasa karena tak kuat menahan amarahnya lagi. Ia mulai
bersiap-siap untuk menyerang kakek kurus kering itu. Tapi Arya segera menyentuh
pergelangan tangannya dan memberikannya isya-
rat untuk bersabar. Murid Empu Jangkar Bumi itu
pun mengurungkan maksudnya, dan hanya menatap
Darsakala dengan sinar mata seperti mengeluarkan
api! "Boleh ku tahu alasan yang menyebabkan mu
menduga demikian, Kala"! Perlu kau tahu, setiap tu-
duhan harus mempunyai alasan yang jelas!" tanya Arya agar masalahnya menjadi
jelas. "Tentu saja, Dewa Arak. Kau kira aku demikian
sembrono melemparkan tuduhan"! Kau tahu, begitu
berhasil selamat dari tangan maut empu keparat itu
aku mencari tahu mengenai tindakan yang dilakukan-
nya sehingga mempunyai kepandaian yang demikian
tinggi dalam waktu singkat. Akhirnya setelah berbu-
lan-bulan berusaha keras aku dapat mengorek raha-
sianya. Dia bertapa di sebuah pohon beringin angker di sebuah dataran yang dulu
menjadi tempat penyembah-penyembah setan. Di sana dia meminta kesaktian! Pa-
dahal taruhan bagi permintaan di tempat itu teramat
besar! Ketidakberhasilan dalam menghadapi godaan di
sana, akan menimbulkan akibat yang mengerikan
kendati mungkin permintaan yang diinginkan terka-
bul! Si pemuja bisa menjadi gila, separo manusia sepa-ro siluman. Atau makhluk
jejadian seperti yang dialami oleh Empu Jangkar Bumi!"
Arya, Abiyasa, dan si Tongkat Halilintar saling
pandang. Mereka memang telah mendengar berita
simpang-siur mengenai tempat seperti itu. Namun,
sama sekali tak menyangka akan mengetahui adanya
orang yang terlibat.
"Bahkan menurut penduduk desa terdekat, bukan
hanya Empu Jangkar Bumi seorang yang pernah pergi
ke tempat itu. Tapi, masih ada seorang lainnya.
Sayang, mereka tak bisa memberitahukan ciri-cirinya.
Orang kedua ini sepertinya sengaja menyembunyikan
diri agar tak bisa dikenali. Nah! Bukti apa lagi yang kau inginkan, Dewa Arak"!"
"Kau terlalu cepat mengambil kesimpulan, Kala.
Mungkin benar Empu Jangkar Bumi pergi ke tempat
itu dan meminta sesuatu. Tapi, dari mana kau tahu
kalau monyet besar itu adalah Empu Jangkar Bumi"
Apakah kau telah melihatnya waktu berubah wujud"!"
tantang Arya, meminta kepastian.
Darsakala tampak kebingungan. "Aku memang tak
melihat sendiri perubahan wujud Empu Jangkar Bumi
menjadi monyet besar itu. Tapi, aku bersedia mengajak kalian untuk membuktikan
benar tidaknya dugaanku!
Sebagai informasi bagi kalian perlu kuberitahukan kalau aku cukup banyak
mengetahui mengenai hal-hal
seperti itu. Dan, aku sudah banyak melihat hal-hal
ganjil di sini."
"Kuketahui, monyet besar itu selalu mencuri ba-
gian jantung dari korban-korbannya, aku yakin itu ada alasannya. Aku yakin,
monyet raksasa itu ingin kembali ke bentuknya semula sebagai Empu Jangkar Bu-
mi. Dan, jantung-jantung itu sebagai syaratnya."
Arya, Abiyasa, dan si Tongkat Halilintar mulai per-
caya akan keterangan yang diberikan Darsakala. Se-
muanya kelihatan demikian masuk akal. Sejak semula
pun mereka tak yakin kalau monyet raksasa yang me-
reka lihat itu merupakan binatang biasa. Ada kesan
mengerikan dan menyeramkan yang memancar.
Pemberitahuan Darsakala mengenai jantung,
membuat Arya dan rombongannya teringat akan le-
nyapnya putri Empu Jangkar Bumi dan Jembawati.
Mungkinkah kedua wanita itu pun menjadi salah satu
syarat agar monyet raksasa itu dapat berubah bentuk
menjadi manusia kembali, dan orang itu adalah Empu
Jangkar Bumi"!
"Lalu..., apa yang harus kita lakukan sekarang?"
tanya Arya, dengan nada suara mulai lunak.
"Nanti malam adalah malam purnama. Dan, bi-
asanya upacara-upacara yang mempunyai hubungan
dengan setan, terjadi pada malam itu. Di saat upacara ini kita akan menangkap
basah empu sialan itu. Menurut pendapatku, kita harus gagalkan upacara yang
akan dilakukan. Kegagalan upacara akan membuat se-
tan pemberi kekuatan marah karena merasa ditipu.
Kemarahan yang timbul akan membuatnya mengambil
kemampuan yang diberikannya. Bila itu terjadi, amat mudah untuk membunuhnya,
bukan"!"
"Bicara memang mudah, tapi bagaimana kita bisa
mengetahui tempat yang akan dipergunakan untuk
melakukan upacara"!" sergah Abiyasa, tapi dengan suara yang lebih pelan dan
lembut daripada sebelumnya.
"Mengapa harus ditanyakan lagi"! Jawaban perta-
nyaan ini amat mudah. Makhluk yang menjijikkan itu
pasti akan membawa alat-alat upacara dan persemba-
hannya ke tempat di mana dulu dia meminta kekua-
tan!" "Jauhkah tempat itu dari sini, Kala"!" tanya Arya bernada cemas karena khawatir
waktu yang mereka
miliki tak cukup.
"Tak terlalu jauh, Dewa Arak. Aku yakin kita akan dapat tiba di sana saat
upacara belum dimulai. Tentu saja hal ini hanya dapat terjadi kalau waktu yang
tersisa ini tak kita isi dengan percakapan tak berguna, atau dengan perjalanan
yang tidak keras." sindir Darsakala, seenaknya.
"Kalau begitu tunggu apa lagi"!" Arya malah balas mengajukan tantangan.
Tanpa banyak bicara, Darsakala melesat mening-
galkan tempat itu dengan kecepatan menakjubkan.
Arya mengernyitkan alisnya melihat hal ini, karena ta-hu Abiyasa dan si Tongkat
Halilintar akan tertinggal amat jauh, jika dibiarkan berlari sendiri. Dan, bila
itu terjadi, kedua orang itu akan kehilangan jejak.
"Maaf..."
Setelah terlebih dahulu mengucapkan perkataan
demikian, Dewa Arak menyambar tangan Abiyasa dan
si Tongkat Halilintar. Abiyasa dicekal pada pergelangan kirinya, sedangkan si
Tongkat Halilintar pada tangan yang satunya lagi.
Hampir tak berselisih waktu, pemuda berpakaian
ungu itu segera melesat cepat menyusul Darsakala.
Dewa Arak 95 Empu Jangkar Bumi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Cepatnya lari Dewa Arak, membuat Abiyasa dan si
Tongkat Halilintar memejamkan mata karena merasa
ngeri. Angin berciutan nyaring dan keras beberapa
kali, menyambar tubuh mereka. Di lain pihak, Arya,
yang membawa kedua orang itu berlari, kelihatan de-
mikian tenang. Tak lama sepeninggal Dewa Arak dan rombongan,
sosok seorang kakek berpakaian putih keluar dari ba-
lik kerimbunan semak-semak yang lebat. Dia adalah
paman guru Tongkat Halilintar, yang terlempar dari
panggulan Dewi Lanjar, ketika terjadi benturan antara wanita sesat itu dengan
Dewa Arak. Benturan yang terjadi dengan dahsyat membuat tubuh si kakek terlem-
par ke dalam semak-semak dalam keadaan pingsan.
Keberadaan kakek berpakaian putih yang bersem-
bunyi dari pandangan, dan masalah menarik yang di-
perbincangkan oleh Dewa Arak dan yang lain-lain
membuat si kakek terlupakan! Tak seorang pun yang
teringat padanya!
Kakek berpakaian putih mengedarkan pandangan
berkeliling sebentar. Kemudian, dia melesat mening-
galkan tempat itu untuk kembali ke tempat tinggalnya.
*** Malam telah cukup lama menyelimuti bumi. Sang
dewi malam yang kali ini muncul di langit dalam ben-
tuknya yang purnama, memancarkan sinarnya yang
lembut dan kuning keemasan. Saat itu, Darsakala dan
Dewa Arak yang membawa Abiyasa dan si Tongkat Ha-
lilintar, tiba di tempat seperti yang dimaksudkan oleh kakek kurus kering itu.
Arya, Abiyasa, dan si Tongkat Halilintar merasakan
sekujur bulu kuduk mereka berdiri ketika memperha-
tikan sekeliling tempat mereka berada. Saat itu, mere-ka semua sudah berjalan
biasa karena Darsakala pun
demikian. Arya sudah melepas cekalan tangannya dan
mengedarkan pandangan ke sana kemari.
Hanya Darsakala yang bersikap tenang. Kakek itu
kelihatan tak begitu peduli dengan keadaan sekitar-
nya. Kakinya dilangkahkan seenaknya dengan pan-
dangan tertuju lurus ke depan.
"Apakah tempat ini yang kau maksudkan, Kala"!"
Hanya Arya dengan suara yang amat lirih.
"Mengapa kau menduga demikian"! Apakah karena
aku tak mengajak mu berlari lagi seperti sebelum-
nya"!" Darsakala malah balas mengajukan pertanyaan
"Tidak. Hanya aku merasakan adanya kelainan pa-
da tempat ini. Meski yang terlihat hanya bebatuan besar kecil dan tanah lapang
luas dengan sedikit tum-
buh-tumbuhan di sana-sini, aku merasakan adanya
sesuatu yang lain di sini. Tempat ini demikian menyeramkan," ujar Arya.
Darsakala tak memberikan tanggapan. Tapi Dewa
Arak yakin si kakek mendengarnya. Meskipun demi-
kian Arya tak merasa kecil hati sama sekali.
"Kau tahu, mengapa Empu Jangkar Bumi banyak
menarik perhatian tokoh-tokoh sesat besar dunia per-
silatan, ketika terdengar kabar kematiannya"!" tanya Darsakala lagi, tetap
dengan ayunan kakinya menyu-
suri dataran berupa tanah keras, yang pada beberapa
bagian tempat terdapat gundukan-gundukan batu be-
sar kecil. Arya menggelengkan kepala. Bahkan Abiyasa dan
si Tongkat Halilintar yang tak ikut ditanya mengge-
lengkan kepala pula
"Mereka ingin mengetahui kepastian tewasnya em-
pu itu. Karena, seperti juga diriku, mereka tahu kalau Empu Jangkar Bumi sudah
bersekutu dengan setan di
tempat ini. Mereka ingin tahu kebenaran tewasnya
empu sialan itu dan karena apa dia tewas."
"Dari mana mereka tahu mengenai Empu Jangkar
Bumi"!" tanya Arya ingin tahu. "Padahal, menurut yang kuketahui, tokoh itu tak
termasuk orang yang
merajai di dunia persilatan, menonjol di dunia persilatan...."
"Mulanya memang demikian, Dewa Arak," jawab Darsakala bernada keluh. "Tapi,
setelah kejadian yang menimpa putrinya dia menjadi terkenal. Dia jadi seperti
kehilangan akal sehatnya dan membenci semua
tokoh golongan hitam. Begitu memiliki kepandaian
mukjizat, dia menebar bencana di dunia hitam. Tak
terhitung tokoh-tokoh hitam yang tewas di tangannya.
Dan termasuk di antara mereka adalah Setan Tengko-
rak Merah dan Dewi Berambut Wangi!" Darsakala berhenti sejenak mengambil napas
panjang, lalu meng-
hembuskannya perlahan-lahan.
"Setelah dua pentolan kaum sesat ini terbunuh,
baru tindakan semaunya Empu Jangkar Bumi men-
gendur drastis, sampai akhirnya lenyap sama sekali.
Belakangan, tokoh-tokoh yang senantiasa mengikuti
perkembangannya, mendengar kabar bahwa dia tewas.
Tokoh yang ingin mendapat kesaktian seperti yang di-
miliki Empu Jangkar Bumi, berusaha untuk mencari
tahu, bagaimana kakek itu dapat memperoleh kesak-
tian dan setan penunggu tempat ini tanpa terjadi hal-hal yang mengerikan
terhadapnya!" lanjutnya.
"Bisa kau jelaskan mengenai hal-hal yang mengerikan itu, Kala"!" tanya Arya
penasaran. "Macam-macam, Dewa Arak. Ada yang menjadi gi-
la, tak mampu berbicara kecuali mengeluarkan bunyi
binatang dari mulutnya, dan ada juga yang senantiasa mengeluarkan lendir berbau
busuk dari mulut, hidung, dan telinganya. Itu pun masih ditambah dengan
bau bangkai yang menyebar dari sekujur tubuhnya,"
jelas Darsakala panjang lebar. "Malah, ada di antaranya yang mungkin menjadi
binatang jejadian," tambahnya.
Dewa Arak, Abiyasa, dan si Tongkat Halilintar seje-
nak saling berpandangan.
"Jangan ada yang berbicara lagi. Kita sudah berada dekat sekali dengan tempat
tinggal setan penunggu
yang dipuja-puja Empu Jangkar Bumi. Tingkatkan
kewaspadaan kalian.... Kurangi gerak-gerik yang dapat membuat kita diketahui....
Di gundukan batu besar itu kita berhenti," pesan Darsakala pada ketiga orang
itu. Tidak ada jawaban atas ucapan Darsakala. Tapi si
kakek sama sekali tak berkecil hati. Ia menyadari kalau perkataannya cukup jelas
untuk dapat terdengar
dan dimengerti. Oleh karena itu dia bersikap tak pedu-li. Kakek kurus kering itu
baru menghentikan lang-
kahnya ketika sudah berada di gundukan batu besar
yang dimaksudkannya. Dan dari balik batu diarahkan
pandangannya ke depan. Arya, Abiyasa, dan si Tongkat Halilintar pun melakukan
hal yang sama dari gundukan batu lainnya.
Terlihat oleh mereka sosok besar yang berbulu cok-
lat sedang berlutut di depan sebuah pohon yang luar
biasa besarnya dan tampak menyeramkan. Arya, Ab-
iyasa, dan si Tongkat Halilintar, dan bahkan Darsakala sendiri, merasakan
sekujur bulu di sekujur tubuh mereka berdiri ketika menatap pohon itu. Perasaan
takut muncul begitu saja tanpa dapat dicegah atau dikuasai!
Di sebelah kanan dan kiri monyet raksasa itu ter-
golek dua sosok ramping. Arya mengenali salah satu
sosok itu sebagai Jembawati. Sedangkan si Tongkat
Halilintar mengenali kedua sosok itu. Sosok yang sa-
tunya adalah putri Empu Jangkar Bumi, Nawang Wu-
lan. Apa yang dikatakan Darsakala ternyata memang
tak keliru! "Apa yang harus kita lakukan, Kala?" tanya Arya dengan menggunakan ilmu pengirim
suara dari jauh.
"Kita harus cegah terjadinya upacara itu. Makhluk itu memang terlalu lihai untuk
dihadapi sendiri-sendiri. Tapi aku yakin, bila dihadapi berdua kita akan dapati
menahannya. Asal kau dan aku mampu bertahan hingga matahari muncul, makhluk itu
akan tewas. Upacara yang tak terlaksana yang menjadi penyebab-
nya," jelas Darsakala, juga dengan menggunakan ilmu pengiriman suara dari jarak
jauh. "Dan untuk melakukan hal itu, tunggu saja isyarat dariku," lanjutnya.
Arya memberitahukan apa yang dikatakan Darsa-
kala pada Abiyasa dan si Tongkat Halilintar.
Keempat tokoh persilatan itu terus memperhatikan
semua gerak-gerik binatang berbulu coklat di hadapan mereka yang berjarak kira-
kira sepuluh tombak. Terdengar oleh telinga mereka masing-masing suara ge-
raman-geraman yang keluar dari mulut monyet besar
itu. *** "Sekarang, Dewa Arak...!"
Perintah yang dikirim Darsakala melalui penggu-
naan ilmu pengirim suara dari jauh itu, membuat De-
wa Arak melesat dari tempatnya. Di saat yang hampir
bersamaan itu Darsakala melesat lebih dulu.
Darsakala dan Dewa Arak mengeluarkan seluruh
ilmu lari cepatnya untuk mendekati tempat monyet be-
sar itu berada secepat mungkin. Sambil berlari, Arya pun tak lupa menenggak arak
dari gucinya, agar dapat segera mempergunakan ilmu 'Belalang Sakti' yang
menjadi andalannya.
Beberapa tombak lagi jarak antara Darsakala dan
Dewa Arak dari monyet raksasa, binatang berbulu cok-
lat itu sudah mengetahui kedatangan tamu-tamu yang
tak diundang itu. Sambil mengeluarkan geraman yang
mampu membuat sekitar tempat itu bergetar hebat,
monyet besar itu membalikkan tubuhnya.
Dewa Arak dan Darsakala langsung menghentikan
larinya ketika dilihatnya monyet raksasa itu sudah
berdiri menghadap mereka. Sepasang mata binatang
itu tampak menyimpan kemarahan dan kebencian
yang besar. Sepasang matanya yang merah membara,
seperti mengeluarkan api.
Arya dan Darsakala kini berpencar ke kiri dan ke
kanan, agar dapat menghadapi makhluk itu dari dua
arah. "Bila kami sudah terlibat dalam pertarungan, cepat bawa dan selamatkan kedua
tawanan itu, Kang," ujar Arya pada Abiyasa dengan menggunakan ilmu pengirim
suara dari jarak jauh.
Baru saja berkata begitu, monyet raksasa itu su-
dah melompat menerkam Dewa Arak, laksana seekor
harimau menerkam mangsanya. Diiringi oleh suara ge-
raman yang keras keluar dari mulut binatang itu.
Dewa Arak yang memang sudah sering berhadapan
dengan bahaya maut, dan bahkan nyawanya tak ja-
rang berada di ujung tanduk, selalu mampu bersikap
tenang. Tapi kali ini sikap seperti itu tak mampu dilakukannya lagi.
Serangan monyet besar itu ternyata tak hanya
mengandung kekuatan nyata, tapi juga kekuatan gaib!
Dan, Arya dapat merasakan pengaruhnya. Angin yang
berhembus ternyata mampu membuat sekujur tubuh-
nya kaku, tak bisa digerakkan. Bahkan isi kepalanya
pun buntu, tak dapat dipergunakan untuk berpikir.
Hanya ada sekelebatan pikiran samar yang mem-
beritahukannya kalau nyawanya tengah terancam. Ta-
pi tak ada sesuatu pun yang dapat dilakukannya. Pe-
muda berambut putih keperakan itu seperti pasrah
menunggu datangnya maut!
Wuttt...! Terkaman monyet raksasa hanya mengenai tempat
kosong, karena tubuh Dewa Arak sudah tak berada di
situ lagi. Di saat-saat yang menentukan, Darsakala
bertindak cepat. Kakek itu mendorongkan kedua tan-
gannya, menimbulkan deru angin keras yang mampu
membuat tubuh Dewa Arak terpental dan terguling-
guling namun tanpa terluka sama sekali! Tindakan
yang dilakukan Darsakala hanya untuk membuat De-
wa Arak pindah dari tempatnya sehingga lolos dari
maut Tindakan yang diperbuat Darsakala ternyata tak
hanya memindahkan tubuh Dewa Arak. Tapi juga
membuat pemuda berambut putih keperakan itu kem-
bali dapat berpikir jernih. Dan, di saat tubuhnya tengah terguling-guling, Arya
memusatkan perhatian un-
tuk mengerahkan tenaga dalamnya di pusar. Begitu
tenaga itu timbul, Arya segera mengerahkan dan men-
galirkannya ke berbagai bagian tubuhnya. Dan ketika
berhasil bangkit kembali, ia sudah siap untuk berta-
rung! Tetapi Dewa Arak ketinggalan! Monyet raksasa itu
sudah sibuk bertarung dengan Darsakala. Memang,
ketika terkamannya berhasil digagalkan kakek kurus
kering itu, si monyet besar segera mengalihkan serangannya pada Darsakala.
Darsakala terpaksa berjuang
keras agar tak kehilangan nyawanya. Dan kini tam-
paknya ia mulai terdesak. Monyet raksasa itu memang
benar-benar menakjubkan!
Di saat Dewa Arak melesat ke dalam kancah perta-
rungan untuk membantu Darsakala, si monyet raksa-
sa tengah mengirimkan pukulan keras ke arah pelipis
kakek kurus kering itu.
Plakkk! Darsakala yang tak mempunyai pilihan lagi hanya
dapat menangkis serangan itu. Akibatnya, tubuhnya
terbanting ke samping terbawa ayunan serangan la-
wannya. Ia merasakan sekujur tangannya lumpuh dan
dadanya sesak. Monyet Raksasa tak memberikan kesempatan dan
melesat dengan kecepatan menakjubkan untuk meng-
habisi nyawa Darsakala. Di saat yang genting, Dewa
Arak segera bertindak. Pemuda itu menghentakkan
kedua tangannya mengirimkan pukulan jarak jauh
dengan mempergunakan jurus 'Pukulan Belalang'
Deru angin keras berhawa panas seketika menyen-
gat, menyadarkan monyet besar akan adanya ancaman
bahaya terhadapnya. Tubuhnya segera dibalikkan se-
raya kedua tangannya dihentakkan untuk menangkis
serangan itu. Untuk kedua kalinya terdengar deru an-
gin keras, dan ketika akhirnya terjadi benturan di tengah jalan menimbulkan
bunyi menggelegar serta seki-
tar tempat itu bergetar. Tubuh Dewa Arak melayang
jauh ke belakang bagaikan daun kering diterbangkan
angin. Sementara monyet raksasa itu sendiri, tak bergeming sama sekali.
Setelah melayang-layang sejauh beberapa tombak
dan terbanting keras di atas tanah, Arya bangkit berdiri dengan susah payah.
Dewa Arak 95 Empu Jangkar Bumi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Getaran yang timbul akibat
benturan itu, membuat dadanya sesak bukan main.
Meskipun demikian, pemuda itu merasa gembira kare-
na, Darsakala berhasil diselamatkannya.
Dewa Arak mengerahkan tenaga dalamnya untuk
mengusir rasa sesak di dada agar tak menyebabkan
terjadinya luka dalam. Hanya sebentar hal itu dilakukannya, kemampuannya pun
pulih kembali. Dan dia
segera melesat kembali ke dalam kancah pertarungan
membantu Darsakala yang sudah mulai terdesak.
Untuk pertama kalinya terjadi, seekor binatang di-
keroyok oleh dua tokoh besar dunia persilatan. Dan
yang mengherankan, binatang itu sama sekali tak ter-
desak! Malah, Dewa Arak dan Darsakala yang dibuat
pontang-panting ke sana kemari untuk menyela-
matkan nyawanya.
Untungnya, walau tak pernah bertarung bersama-
sama menghadapi lawan, Dewa Arak dan Darsakala
mampu bekerja sama secara baik. Kerja sama untuk
saling memperdahsyat serangan dan memperkuat per-
tahanan. Dan, berkat pengalaman mereka masing-
masing, kedua tokoh itu memutuskan untuk menitik-
beratkan pada pertahanan agar pertarungan berlang-
sung lama. Jurus demi jurus sudah berlangsung dengan cepat.
Dan sekarang pertarungan sudah berlangsung seratus
lima puluh jurus lebih. Selama itu tak terhitung sudah Dewa Arak maupun
Darsakala terpental dan terguling
akibat benturan tangan atau kaki si monyet besar.
Namun demikian, serangan kedua tokoh ini pun bebe-
rapa kali mengenai berbagai bagian tubuh lawannya.
Tapi, makhluk yang mengerikan itu ternyata tak ter-
pengaruh sama sekali.
Bunyi mencicit, menderu dan mengaung mengiringi
jalannya pertarungan itu. Belum lagi ditambah dengan suara-suara berupa gerengan
dan geraman dari mulut
si monyet besar. Keriuhan yang terjadi membuat tem-
pat itu bagai dilanda badai, porak poranda.
Semakin bertambah jumlah jurus pertarungan,
monyet raksasa tampak semakin kalap. Serangan-
serangannya semakin dahsyat dan mengerikan, karena
malam semakin mendekati dini hari! Dengan nalu-
rinya, binatang itu tahu kalau keadaan sudah memba-
hayakan dirinya.
Di lain pihak, Arya dan Darsakala yang memang
bermaksud mengulur-ulur waktu hingga terbit mata-
hari, semakin berbesar hati. Kelelahan yang mendera
seperti lenyap begitu saja apalagi ketika di ufuk timur sana tampak bias
kemerahan mulai tampak.
"Arrrggghhh...!"
Monyet raksasa meraung keras bagaikan hendak
mengguncangkan isi bumi. Sekitar tempat itu bergetar hebat. Bahkan Arya dan
Darsakala sendiri sampai jatuh, dan berdiri dengan mempergunakan kedua lutut-
nya. Sang surya muncul di kaki langit sebelah timur
dan memancarkan sinarnya yang lembut. Sinar yang
membuat monyet besar meraung-raung dan menggele-
par-gelepar seperti ayam disembelih. Semua kejadian
itu disaksikan oleh Arya, Darsakala, si Tongkat Halilintar, dan Abiyasa dengan
penuh perasaan ngeri.
Diiringi bunyi berdebuk keras tubuh monyet besar
itu jatuh ke tanah. Sesaat kemudian, terjadi peruba-
han pada wajah dan sebelah tangannya bagian kanan.
Menjadi wajah dan tangan manusia!
Hampir berbarengan keempat orang itu melesat
menghampiri. Mereka semua ingin tahu orang yang te-
lah menjadi monyet jejadian itu. Jantung mereka mas-
ing-masing dirasakan berdetak jauh lebih cepat karena perasaan tegang untuk
mengetahui orang yang berada
di balik semua kejadian mengerikan ini.
Tapi, ketika melihat wajah yang berada di atas tu-
buh monyet besar itu, Darsakala mengeluarkan seruan
heran. Arya menatap Abiyasa. Dan dilihatnya pada wa-
jah lelaki itu tak tampak perasaan apa pun, kecuali
senyum kemenangan yang ditujukan pada Darsakala.
"Masih tak percayakah kau kalau kukatakan guru-
ku sudah meninggal"!" ejek Abiyasa penuh perasaan menang.
Semua yang berada di situ tahu, manusia bertu-
buh monyet itu belum mati. Tapi mereka pun sadar
kalau binatang jejadian itu tak mampu berbuat apa
pun lagi. Makhluk itu sudah sekarat dan hanya tinggal menunggu ajal saja!
"Bisma.... Bisma...! Apa yang terjadi..."! Mengapa kau bisa jadi begini..."!
Mengapa, Anakku..."!"
Ratapan yang keluar dari mulut si Tongkat Halilin-
tar secara tiba-tiba membuat Dewa Arak, Abiyasa, dan Darsakala terjingkat
bagaikan mendengar bunyi halilintar di dekat situ. Dengan mata membelalak lebar
dan mulut keluar karena kaget, ketiga orang itu menatap si Tongkat Halilintar.
"Maafkan aku, Ayah," sahut monyet berkepala manusia yang bernama Bisma, terbata-
bata dan lirih.
"Aku terpaksa melakukan hal ini agar Nawang Wulan kembali menjadi perawan dan
sembuh dari penyakit-
nya...." "Dari mana kau tahu tempat ini"!" tanya si Tongkat Halilintar dengan wajah,
suara, dan sorot mata menyiratkan kedukaan yang besar.
"Empu Jangkar Bumi, Ayah. Tapi, beliau menjadi
sakti tanpa ada masalah sepertiku karena berhasil lulus dalam ujian-ujian
mengerikan ketika bertapa. Dia meninggal sebagaimana manusia umumnya. Aku sial,
Ayah. Aku gagal dalam ujian ketika bertapa."
"Mengapa kau lakukan hal bodoh seperti ini, Bis-ma"!" tanya Tongkat Halilintar,
setengah mengeluh.
Suaranya terdengar parau. "Apakah Empu Jangkar
Bumi yang menyuruhmu"!" tanya Tongkat Halilintar.
"Tidak, Ayah! Bahkan beliau berusaha melarangku.
Tapi, aku bersikeras! Aku mencintai Nawang Wulan,
Ayah. Aku ingin mengawininya."
Napas Bisma mulai tersengal-sengal. Ucapannya
pun mulai terbata-bata, pelan dan hampir tak terden-
gar. Tongkat Halilintar menatapnya dengan wajah se-
pucat mayat! Lelaki itu tahu, ajal putranya sudah dekat "Empu Jangkar Bumi
mengingatkan ku akan akibat mengerikan yang akan menimpa ku, Ayah. Tapi,
aku tetap bersikeras. Kekhawatirannya ternyata benar!
Aku gagal, dan berubah menjadi makhluk seperti ini!
Akal sehatku pun hampir sepenuhnya hilang, berganti
dengan keinginan membunuh seperti seekor binatang
buas yang haus darah!" Bisma terdiam sejenak menahan sakit di sekujur tubuhnya.
Lalu dengan terbata-
bata dia melanjutkan lagi. "Aku hampir putus asa, Ayah. Tapi, penunggu pohon ini
mengatakan aku akan
kembali menjadi manusia, dan Nawang Wulan akan
sembuh dari penyakitnya, asal memenuhi persyara-
tannya. Kalau saja akal sehatku dapat bekerja dengan
baik, tak akan ku penuhi syarat ini. Akan kucari cara lainnya. Syarat itu
terlalu mengerikan, Ayah. Aku harus mempersambahkan seorang wanita dan tiga
belas jantung manusia. Maka, kupersembahkan Nyi Jemba-
wati. Menurut penunggu pohon itu, setelah upacara
persembahan ini Nawang Wulan akan menjadi pera-
wan kembali dan sembuh dari penyakit gilanya. Dan,
aku kembali menjadi manusia serta sakti. Tapi...
akh...!" "Bisma...!" seru si Tongkat Halilintar, kaget bercampur pilu. Dan, karena
guncangan batinnya yang
demikian besar, lelaki ini jatuh pingsan!
Dewa Arak, Abiyasa, dan Darsakala saling berpan-
dangan melihat hasil akhir dari peristiwa berdarah itu.
Tanpa bicara apa pun, Darsakala meninggalkan tem-
pat itu diikuti Dewa Arak. Sementara Abiyasa meng-
hampiri Jembawati dan Nawang Wulan yang masih tak
sadarkan diri. Angin berhembus pelan, seakan ikut merasa ber-
duka dengan apa yang tengah terjadi. Sang surya pun
mulai meredup sinarnya ketika kelompok awan gelap
yang ditiup angin menutupi sinarnya. Alam seperti ikut berduka.
SELESAI Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
http://duniaabukeisel.blogspot.com
https://www.facebook.com/pages/Dunia-
Abu-Keisel/511652568860978
Suling Naga 6 Boma Gendeng 6 Tenda Biru Candi Mendut Istana Yang Suram 9