Pencarian

Geger Para Iblis 1

Pendekar Mata Keranjang 8 Geger Para Iblis Bagian 1


PERSEKUTUAN PARA IBLIS Darma Patria Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Cover oleh Henky
Editor: Puji S.
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Darma Patria Pendekar Mata Keranjang 108
dalam episode: Geger Para Iblis
128 hal. 1 Pendekar Mata Keranjang 108 menggenjot se-
mangatnya, untuk lari lebih cepat lagi. Namun demi-
kian, sepasang matanya terus jelalatan ke sekeliling.
Sementara telinganya ditajamkan. Dan saat itu juga
sayup-sayup gendang telinganya menangkap derap
langkah kaki-kaki kuda yang makin lama makin keras.
Dan sepertinya, datang dari arah depan.
Seakan-akan mendapat firasat tidak baik, pemu-
da murid Wong Agung ini segera menghentikan la-
rinya. "Penunggang kuda ini sepertinya tergesa-gesa.
Derapnya demikian cepat dan keras. Dan riuh rendah
suara penunggangnya, mengisyaratkan agar kuda-
kuda itu berlari lebih kencang. Seolah-olah mereka
mengejar sesuatu.... Jangan-jangan mereka...."
Belum sampai Aji alias Pendekar Mata Keranjang
108 meneruskan kata hatinya, derap langkah kaki-
kaki kuda mendadak berhenti. Dan belum sempat dia
berbuat apa-apa, sepasang matanya telah melihat dua ekor kuda telah berdiri
kokoh delapan tombak di hadapannya. Cukup terperanjat juga pemuda ini, menya-
dari kecepatan lari kuda-kuda itu.
Dan lebih terkejut lagi ketika melihat tampang
dua orang penunggang kuda itu. Matanya serentak
mendelik lebar dengan dahi berkerut. Sementara di
depan dua penunggang kuda tampak saling berpan-
dangan, lalu tertawa lepas.
"Yang memakai jubah hitam, wajahnya mirip
tengkorak dengan sepasang mata merah.... Yang satu
lagi mengenakan pakaian hitam. Dagunya kokoh. Ke-
dua tangan dan kaki tampak besar berotot. Padahal,
dia adalah seorang perempuan.... Hm..., aku hanya bi-
sa mengenali yang berjubah hitam dan berwajah mirip tengkorak. Dia adalah tokoh
yang dulu menewaskan
Dewi Kuning di Jurang Guringring. Kalau tak salah
manusia sesat ini berjuluk Tengkorak Berjubah. Se-
mentara yang perempuan, tak bisa ku kenali... Mereka sengaja menghadangku, atau
hanya kebetulan..." Namun melihat tampang. mereka...."
"Dayang Lembah Neraka...!"
Pertanyaan di hati Pendekar Mata Keranjang 108
seketika terputus tatkala dari arah seberang terdengar suara menegur yang cukup
berat dan keras. Jelas
asalnya dari mulut laki-laki berjubah hitam yang tak lain Tengkorak Berjubah.
"Hari ini nasib kita memang sangat mujur. Bu-
ruan kita sengaja datang menyerahkan apa yang kita
inginkan.... Ha... ha... ha...!" lanjut Tengkorak Berjubah. Sambil berkata,
Tengkorak Berjubah melirik penunggang kuda di sampingnya yang tak lain memang
Dayang Lembah Neraka.
Sedangkan Dayang Lembah Neraka hanya men-
gangguk perlahan tanpa menoleh. Sepasang matanya
memandang tajam ke arah Pendekar Mata Keranjang
108 tanpa berkedip.
"Tak disangka! Jadi, inikah manusia yang bergelar Pendekar Mata Keranjang 108"
Hm.... Muda dan
tampan...," kata batin Dayang Lembah Neraka.
Dayang Lembah Neraka selama ini memang
hanya mendengar nama Pendekar Mata Keranjang 108
tanpa pernah bertemu sekali pun. Hingga untuk bebe-
rapa saat, matanya hanya memandang seakan terke-
sima. Dan ini membuat Tengkorak Berjubah agak
jengkel. "Dayang Lembah Neraka!" bentak Tengkorak Berjubah menggerakkan tulang bibirnya
menegur. "Kau
telah tua peot. Tubuhmu sudah melengkung. Apakah
kau masih bergairah jika melihat pemuda tampan..."!
Kau bisa mencicipinya kalau keinginan kita telah ter-capai...."
Dayang Lembah Neraka berpaling pada Tengko-
rak Berjubah dengan dagu semakin membatu. Ma-
tanya melotot, menghujam tajam.
"Tua jelek! Tutup mulut kotormu! Sekarang bu-
kan waktunya untuk bercanda!" dengus Dayang Lembah Neraka.
Mendengar percakapan dua orang di hadapan-
nya, mata Pendekar Mata Keranjang 108 terbelalak.
Darahnya tersirap sejenak.
"Mereka menginginkan sesuatu dariku. Pasti
bumbung bambu atau kipas ini. Aku harus berhati-
hati. Tengkorak Berjubah adalah tokoh berkepandaian tinggi. Dan perempuan yang
bergelar Dayang Lembah
Neraka meski aku belum pernah melihatnya, pasti juga tidak bisa dibuat main-
main...." Selagi Aji berpikir begitu, Tengkorak Berjubah
dan Dayang Lembah Neraka telah berkelebat melayang
dari kuda tunggangan masing-masing. Dan tahu-tahu
mereka telah berdiri terjajar sepuluh langkah di hadapannya.
"Pendekar Mata Keranjang 108! Kau bisa melan-
jutkan perjalanan semaumu. Tapi sebelumnya, ting-
galkan dulu kipas dan bumbung bambu yang ada di
tanganmu!" ujar Tengkorak Berjubah dengan tulang bibir bergerak, menyunggingkan
seringai. Meski Aji telah dapat menduga apa yang diingin-
kan mereka, tapi tak urung terkejut juga. Namun se-
saat kemudian wajahnya berpaling, memandang juru-
san lain. "Nasib kalian hari ini ternyata tidak semujur yang dikira. Kipas dan bumbung itu
telah diambil sepasang
manusia yang bergelar Sepasang Iblis Pendulang Suk-
ma. Jadi, jika kalian menginginkan barang itu, silakan berurusan dengan mereka!"
kilah Aji, enteng.
Tengkorak Berjubah dan Dayang Lembah Neraka
saling beradu pandang. Lalu serentak pula pandangan mata masing-masing segera
beralih pada Pendekar Ma-ta Keranjang 108 dengan sorot mata tak percaya.
"Pendekar Mata Keranjang 108! Kali ini kami tak ingin mendengar gurauan mu!
Cepat serahkan benda-benda itu jika nyawamu masih ingin tetap di raga!" ancam
Dayang Lembah Neraka, membentak.
Pendekar Mata Keranjang 108 bersiul pendek.
Matanya menyengat satu persatu pada Tengkorak Ber-
jubah dan Dayang Lembah Neraka. Sementara bibir-
nya tersenyum-senyum.
"Aku juga tidak ingin bergurau! Apalagi mendengar tawa temanmu yang merdu bagai
bebek pulang kandang. Lebih baik kalian turuti omonganku, atau
segera menyusul Sepasang Iblis Pendulang Sukma...!"
balas Aji, bernada mengejek.
Raut muka yang hanya berupa rangkaian tulang-
tulang tanpa kulit milik Tengkorak Berjubah kontan
bergerak-gerak, tatkala mendengar ejekan pemuda
murid Wong Agung. Segera kedua tangannya ditarik
sedikit ke belakang, siap menghantamkan pukulan ja-
rak jauh. Namun sebelum hal itu terjadi, Dayang Lembah
Neraka maju selangkah. Segera diberinya isyarat agar Tengkorak Berjubah tidak
meneruskan niatnya.
"Tengkorak Berjubah! Jangan terlalu tergesa-
gesa. Kita selidiki dulu kebenaran ucapannya. Agar ki-ta tidak buang-buang waktu
dan tenaga!" ujar Dayang Lembah Neraka.
Meski dengan melenguh sember, akhirnya Teng-
korak Berjubah mengurungkan niat. Namun mata me-
rahnya tetap berputar liar, menatap Aji dengan dada bergetar menahan gejolak
amarah. "Pendekar Mata Keranjang 108! Kalau ucapanmu
benar, kau harus bersedia kami geledah!" ujar Dayang Lembah Neraka sambil
mengerdipkan sebelah matanya.
Tingkah laku Dayang Lembah Neraka membuat
Aji mendelik. Sementara bibirnya menahan tawa.
"Busyet! Bentuk tubuhnya memang seorang pe-
rempuan. Tapi tangannya yang begitu berotot dan be-
sar, di mana nikmatnya jika meraba..." Apalagi jika tangannya memijit
kelerengku. Hiii.... mati aku...!" ka-ta Aji dalam hati seraya menahan bahunya
yang bergidik menindih rasa geli dan ngeri.
"He... "!" teriak Dayang Lembah Neraka. "Wajahmu berubah, sebelum kusentuh.
Apakah kau begitu
perasa" Aku percaya, kau nanti akan ketagihan jika telah merasakan sentuhan
tanganku. Bahkan akan
mencari-cari untuk melakukan sentuhan-sentuhan la-
gi.... Hik... hik... hik...!"
Begitu kata-katanya hilang dari pendengaran,
Dayang Lembah Neraka berkelebat cepat. Dan di kejap lain dia telah berdiri dua
langkah di depan Aji disertai senyum mengembang serta dada dibusung-busungkan.
Hal ini tentu saja membuat Pendekar Mata Keranjang 108 semakin tak bisa menahan
tawanya. "Ha... ha... ha...!"
Tak berapa lama kemudian, meledaklah tawa Aji.
"He.... Diam!" bentak Dayang Lembah Neraka dengan mata mendelik.
Ledakan tawa Aji sekonyong-konyong terpenggal.
Kakinya segera beringsut satu langkah ke belakang.
Namun baru saja melangkah, kedua tangan Dayang
Lembah Neraka telah bergerak cepat ke arah pinggang.
Aji terperanjat, namun buru-buru menghindar
dengan menggeser kakinya ke samping. Sehingga, ke-
dua tangan Dayang Lembah Neraka hanya menakup
tempat kosong. Saat itu juga wajah perempuan tua ge-nit ini berubah menjadi
merah padam. "He... he... he...!"
Di pihak lain dari arah belakang terdengar suara
tawa sember Tengkorak Berjubah.
Kalau tidak ingat dengan masalah bumbung
bambu dan kipas, Dayang Lembah Neraka sudah pasti
akan melonjak marah mendengar tawa Tengkorak Ber-
jubah yang bernada mengejek barusan. Matanya
hanya sempat melirik tajam ke arah laki-laki berwajah tengkorak, lalu cepat
beralih menatap Pendekar Mata Keranjang 108.
"Melihat rasa ketakutan di wajahmu, berarti ucapanmu bohong! Sekali lagi
kuperingatkan, lekas se-
rahkan benda itu!" bentak Dayang Lembah Neraka. Pelipisnya sudah bergerak-gerak,
menindih amarah di
dadanya. Sedangkan kedua tangannya segera pula di-
tarik ke samping siap melepaskan pukulan.
"Dayang Lembah Neraka!" sebut Aji dengan sikap menangkis. "Jangan bertindak
bodoh, kalau tak ingin menyesal. Percayai saja ucapanku. Atau kalau kau ingin
bertemu Sepasang Iblis Pendulang Sukma, aku bi-
sa tunjukkan tempatnya!"
"Hmm.... Di mana mereka"!" selak Tengkorak Berjubah sambil meloncat mendekati
Dayang Lembah Neraka. "Di tempat asal temanmu itu!" jawab Aji, seraya mengangkat bahunya mengarah pada
Dayang Lembah Neraka. Tengkorak Berjubah dan Dayang Lembah Neraka
saling berpandangan satu sama lain. Dahi masing-
masing tampak berkerut.
"Apa maksudmu"!" bentak Dayang Lembah Nera-
ka seakan tak sabar ingin penjelasan. "Kau jangan mengada-ada dengan menebar
berita bohong!"
Pendekar Mata Keranjang 108 tersenyum tawar.
"Dayang Lembah Neraka.... Melihat gelar yang
kau sandang, tentu sudah tak asing dengan tempat
mengerikan itu. Dan Sepasang Iblis Pendulang Sukma
mungkin juga sedang bersenang-senang di sana!" jelas Aji, enteng.
"Bajingan! Berarti Sepasang Iblis Pendulang
Sukma telah tewas di tangannya...!" sentak Dayang Lembah Neraka seakan berkata
pada diri sendiri.
"Nah, kalian telah tahu di mana Sepasang Iblis Pendulang Sukma berada. Sekarang
kalian tinggal pi-lih salah satu. Cepat tinggalkan tempat ini, atau tetap di
sini untuk segera menyusul teman-temanmu itu!"
ujar Pendekar Mata Keranjang 108 bernada mengan-
cam. Dayang Lembah Neraka menyeringai. Sementara
Tengkorak Berjubah keluarkan dengusan sengau. Da-
lam hati masing-masing perlahan-lahan menyeruak
perasaan gentar. Namun mereka pantang begitu saja
menyerah. Hingga dengan menekan rasa gentar,
Dayang Lembah Neraka keluarkan tawa pendek seraya
berkata. "Bocah ingusan! Jangan dikira kami akan lari
tunggang langgang mendengar ancaman. Kuperin-
gatkan sekali lagi, jika tak segera menyerahkan barang yang kami inginkan,
kaulah yang akan kukirim ke
kampung halamanku di Lembah Neraka!"
"Begitu?" leceh Pendekar Mata Keranjang 108
sambil mengangakan mulutnya, lalu mengangguk-
angguk. Karena ditunggu agak lama sepertinya Pendekar
Mata Keranjang 108 tidak hendak memberi apa yang
dikehendaki, kesabaran Dayang Lembah Neraka ak-
hirnya mencapai batas. Kedua tangannya secepat kilat di-hantamkan ke arah pemuda
murid Wong Agung ini
disertai tenaga dalam tinggi.
Wesss...! Seketika gelombang angin panas yang menebar
kilatan-kilatan segera menyambar cepat dari kedua
tangan Dayang Lembah Neraka.
"Hup...!"
Pendekar Mata Keranjang 108 melenting ke uda-
ra, menghindar serangan Dayang Lembah Neraka. Dan
hantaman kedua tangan perempuan tua itu hanya


Pendekar Mata Keranjang 8 Geger Para Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menerabas tempat kosong tempat tadi Aji berdiri.
Masih berada di udara, Aji segera melirikan ekor
matanya ke arah Dayang Lembah Neraka. Lalu sekejap
itu juga tubuhnya cepat menukik dengan kaki kanan
lurus. Sementara kedua tangannya bergerak ke sana
ke mari sukar diikuti mata.
Dayang Lembah Neraka terperangah kaget. Dia
masih tak percaya, karena serangannya begitu mudah
dielakkan Pendekar Mata Keranjang 108. Namun ka-
rena telah kenyang pengalaman selama malang melin-
tang dalam rimba persilatan, membuat sikapnya tak
gugup. Meski, diam-diam dalam hati mengutuk habis-
habisan. "Haram jadah. Manusia ini benar-benar sulit di-tebak gerakannya. Tidak mustahil
jika Sepasang Iblis Pendulang Sukma terjungkal di tangannya.... Aku harus
berhati-hati...."
Sambil membatin Dayang Lembah Neraka mema-
langkan kedua tangannya di atas kepala. Sedang kaki kanannya diangkat tinggi
dengan sedikit mendoyong-kan tubuh ke belakang.
Bersamaan dengan gerakan Dayang Lembah Ne-
raka. Serangan Pendekar Mata Keranjang 108 telah
meluncur datang. Dan...
Derr...! Derr...!
Terdengar dua kali benturan keras berturut-
turut. Tubuh Aji tampak mental balik ke udara. Setelah membuat gerakan jungkir
balik dua kali, kakinya mendarat di atas tanah dengan tubuh terhuyung-huyung.
Kedua tangannya yang sempat bentrok den-
gan tangan Dayang Lembah Neraka terasa ngilu bukan
main. Begitu melirik, Aji sedikit tersentak kaget. Ternyata kedua tangannya
telah berubah agak kehitaman.
Di lain pihak, tubuh Dayang Lembah Neraka ter-
pelanting hingga beberapa tombak ke belakang. Na-
mun dia masih bisa menguasai diri, hingga tak sampai jatuh terbanting. Meski
demikian, tak urung pundaknya terasa bagai terpenggal!
"Mengapa aku bodoh! Jelas kedua tangannya
yang begitu berotot dan besar adalah senjata andalannya. Jadi, aku harus
menghindari bentrok dengan ke-
dua tangannya...," kata Aji dalam hati merutuki diri sendiri.
Aji lantas melirik Dayang Lembah Neraka. Pe-
rempuan berdagu menonjol kokoh serta tangan besar
dan berotot ini tampak bersedekap dengan kedua mata sedikit terpejam. Bibirnya
berkemik-kemik seperti
mengucapkan sesuatu.
Belum lama Aji memperhatikan, tiba-tiba saja
Dayang Lembah Neraka melesat ke arah Aji, memper-
dengarkan suara melengking tinggi.
Melihat gelagat Dayang Lembah Neraka yang
menginginkan bentrok langsung, Pendekar Mata Ke-
ranjang 108 segera melompat ke samping berkelit.
Namun Aji dibuat terkesima, karena mendadak tubuh
Dayang Lembah Neraka berbelok dengan kecepatan
luar biasa. Hingga baru saja pemuda ini menjejakkan sepasang kakinya, desir
angin deras disertai dua kelebatan bayangan hitam, yang ternyata kedua tangan
Dayang Lembah Neraka, sudah berada di depan wa-
jahnya! Wess! Wess! Karena tak ada jalan lain untuk bisa menyela-
matkan wajahnya dari gempuran kedua tangan
Dayang Lembah Neraka, maka dengan memusatkan
tenaga dalam Aji menyentakkan kedua tangannya.
Derr...! Derr...!
"Aaakh...!"
Terjadi benturan antara dua pasang tangan. Aji
kontan terpekik tertahan. Dan sebelum lenyap suara
pekikannya, Dayang Lembah Neraka telah pula meng-
hantamkan kaki kiri ke arah dadanya.
Diegkh...! Bukkk! Pendekar Mata Keranjang 108 terbanting dengan
punggung terlebih dahulu menghempas di atas tanah.
Tangannya kini lebih menghitam. Bahkan bagai te-
gang, tak bisa digerakkan. Dadanya bergetar hebat dan sulit bernapas. Hingga
untuk beberapa saat, pemuda
ini nampak tersengal dengan bahu turun naik.
Namun karena Dayang Lembah Neraka terlihat
telah siap kembali dengan serangan, dengan menahan
rasa sakit dan marah, Pendekar Mata Keranjang 108
cepat bangkit. Tapi belum lagi bisa menguasai kea-
daan, kaki kanan Dayang Lembah Neraka melesat ce-
pat menghantam pinggangnya.
Desss...! Bukkk!
Tubuh Pendekar Mata Keranjang 108 sesaat ter-
gontai-gontai, lalu terhempas roboh.
Sementara itu, Dayang Lembah Neraka terse-
nyum puas. Sedangkan dari arah belakang Tengkorak
Berjubah mengeluarkan tawa sember yang menusuk
telinga. Begitu tawanya berhenti Tengkorak Berjubah se-
gera berkelebat. Dan tahu-tahu dia sudah berada lima langkah di samping Pendekar
Mata Keranjang 108,
siap mengirimkan pukulan dengan tenaga dalam pe-
nuh. Padahal, pemuda murid Wong Agung ini masih
tampak menggeliat hendak bangkit.
Di lain pihak, Dayang Lembah Neraka mengira
Tengkorak Berjubah akan mengirimkan pukulan me-
matikan dan merampas kipas serta bumbung bambu
dari tangan Pendekar Mata Keranjang 108. Maka pe-
rempuan tua itu segera pula berkelebat, lalu berdiri tegak menghadang serangan
Tengkorak Berjubah.
"Tua jahanam! Jangan bertindak licik. Aku yang berhasil membuatnya roboh. Jadi
sudah sepantasnya
kipas dan bumbung bambu itu menjadi hakku!" bentak Dayang Lembah Neraka dengan
sepasang mata berkilat-kilat menatap Tengkorak Berjubah.
"Perempuan sundal! Apa kau lupa, kita sama-
sama tak berhak atas kipas dan bumbung bambu itu.
Kita hanya kacung yang bertugas merampas benda itu, dari menyerahkan pada
Malaikat Berdarah Biru!" maki laki-laki berwajah tengkorak ini.
Dayang Lembah Neraka mendongakkan kepala.
Mulutnya membuka, mengeluarkan tawa mengikik.
Tapi tiba-tiba tawanya berhenti. Kepalanya kembali lurus ke depan memandang
sinis pada Tengkorak Berju-
bah. "Tua jahanam! Jangan dikira aku tak tahu, apa yang ada dalam benakmu. Kata-
katamu tadi hanya
untuk menutupi kelicikanmu, bukan" Dan sebenar-
nya, kau ingin menguasai benda itu!" balas Dayang Lembah Neraka sengit
Mendengar kata-kata Dayang Lembah Neraka,
tulang-tulang di wajah Tengkorak Berjubah serentak
bergerak-gerak. Tangannya yang juga hanya merupa-
kan rangkaian tulang tanpa kulit tampak mengepal.
Hatinya geram, bukan karena dihalangi serangannya.
Namun karena apa yang ada dalam benaknya ternyata
bisa dibaca Dayang Lembah Neraka.
"Bedebah! Perempuan ini rupanya tahu rencana-
ku. Dia harus kusingkirkan sekarang juga!"
Namun belum sempat niat Tengkorak Berjubah
terlaksana, kedua matanya membesar. Dan cepat-
cepat tubuhnya berkelebat ke samping.
"Ha... ha... ha...!"
Dayang Lembah Neraka tertawa ngakak, mengira
Tengkorak Berjubah ketakutan. Tapi suara tawanya
kontan lenyap tatkala....
Werrr...! Mendadak saja dari arah belakang terdengar sua-
ra gemuruh dahsyat disertai menyeruaknya hawa pa-
nas menyengat. Begitu berpaling, perempuan tua ini
tercekat dengan wajah sedikit pias. Tubuhnya segera hendak berkelebat, namun
terlambat. Karena ...
Desss...! "Aaa...!"
Sekejap itu juga tubuh Dayang Lembah Neraka
terpelanting jauh disertai jeritan keras. Begitu menyuruk di atas tanah,
mulutnya ternganga. Baju bagian
pundak belakang koyak besar dan hangus. Kulit di balik koyakan itu merah bagai
terebus! Di seberang, tampak Pendekar Mata Keranjang
108 menarik pulang kedua tangannya yang baru saja
melepaskan pukulan sap keempat, yakni 'Segara Geni'
"Keparat! Tak kukira! Ternyata pemuda itu masih bisa bertahan dengan pukulanku.
Hampir tak dapat
kupercaya...," kata batin Dayang Lembah Neraka sambil menatap tajam pada
Pendekar Mata Keranjang 108
yang ternyata telah bangkit. Bahkan telah pula melepaskan pukulan jarak jauh.
Dengan dada panas dan wajah merah membara,
Dayang Lembah Neraka merambat bangkit. Tidak
sampai tegak penuh, tiba-tiba tubuhnya berputar dan hilang dari pandangan.
Tahu apa yang hendak diperbuat lawan, Pende-
kar Mata Keranjang 108 segera pula memutar tubuh-
nya. Kini sosoknya pun lenyap, berubah jadi bayangan yang bergerak cepat sulit
ditangkap mata.
Werrr...! Werrr...! "Heaaa...!"
Sebentar kemudian di tempat itu tampak dua
bayangan yang saling berkelebat, mengeluarkan de-
ruan-deruan angin kencang. Dan sesekali terdengar
suara bentakan membahana tanpa terlihat jelas sosok-sosoknya.
Tak jauh dari situ, Tengkorak Berjubah terlihat
tenang-tenang saja sambil mengawasi. Namun demi-
kian, kedua tangannya tampak tertarik sedikit ke belakang, pertanda tengah
bersikap waspada.
"Lebih baik aku menunggu. Jika perempuan
sundal itu tewas, akan lebih baik lagi. Karena dengan leluasa, aku bisa
menguasai kipas dan bumbung bambu yang katanya berisi lembaran-lembaran jurus
si- lat.... Dan jika pun perempuan sundal itu berhasil
mematahkan Pendekar Mata Keranjang 108, aku ha-
rus dapat merampasnya. Meski, terlebih dahulu harus menyabung nyawa dengan
perempuan sundal itu....
Apa boleh buat" Teman tinggal teman. Urusan benda
pusaka itu di atas segalanya...," kata batin Tengkorak Berjubah, bibirnya
menyunggingkan senyum beringas
dengan kepala mengangguk perlahan.
Selagi Tengkorak Berjubah berpikir begitu....
"Aaa...!"
Mendadak terdengar jeritan tertahan, disusul ter-
jerembabnya sesosok tubuh di atas tanah. Begitu me-
noleh ke arah tubuh yang terjerembab, Tengkorak Berjubah menahan napas. Tapi,
bibirnya tetap tersenyum mengejek.
Sosok yang terjerembab ternyata Dayang Lembah
Neraka. Namun perempuan tua itu segera bangkit.
Sambil memegangi dadanya yang terasa sesak karena
terhantam pukulan jarak jauh Pendekar Mata Keran-
jang 108, matanya melirik ke arah Tengkorak Berju-
bah. "Setan alas! Kenapa dia hanya diam saja tanpa melakukan sesuatu untuk
segera merampas kipas dan
bumbung bambu..."!" maki Dayang Lembah Neraka
bergumam. Dahinya tampak berkerut, menduga-duga.
Sementara pada saat itu, Pendekar Mata Keran-
jang 108 yang telah mendarat kini melangkah tiga tindak ke depan.
"Hmm.... Meski mereka teman, rupanya satu sa-
ma lain dihinggapi sifat serakah saling tak mau mengalah. Hal ini harus ku
manfaatkan...," gumam Aji.
Maka saat itu juga Pendekar Mata Keranjang 108
segera melesat ke udara, membuat gerakan berputar
dua kali. Lalu mantap sekali kakinya mendarat di
Samping Dayang Lembah Neraka. Dan tanpa menung-
gu lama, kedua tangannya segera menghantamkan ke
arah Dayang Lembah Neraka.
"Heh"!"
Disertai rasa kaget, Dayang Lembah Neraka sege-
ra mengerahkan tenaga dalam ke tangan dan kakinya.
Lantas didahului bentakan nyaring kedua tangannya
dihantamkan, memapak serangan Pendekar Mata Ke-
ranjang 108. Tepat pada saat itu, kedua kakinya pun amblas ke dalam tanah.
Dayang Lembah Neraka sengaja mengerahkan
tenaga pada tangan dan kaki. Tujuannya agar tangan-
nya dapat memapak serangan Pendekar Mata Keran-
jang 108. Sementara kakinya dapat menahan tubuh ji-
ka terjadi bentrokan pukulan.
Blarrr! Bentrok pukulan berisi tenaga dalam tinggi yang
sebenarnya tidak diinginkan Dayang Lembah Neraka,
akhirnya tidak dapat dihindarkan lagi.
Begitu dua pukulan bertemu, tubuh Pendekar
Mata Keranjang 108 terseret ke belakang. Namun sebelum tubuhnya lebih jauh
tersapu bias pukulan, tenaga dalam-nya segera dikerahkan. Sehingga, mendadak
tubuhnya berhenti meluncur. Malah kini, di bawah sepasang kakinya tampak dua
kubangan yang membuat
tubuhnya bagai terpantek kokoh.
Di lain pihak, tubuh Dayang Lembah Neraka tak
bergeming sedikit pun. Hanya pakaiannya yang berki-
bar-kibar terkena hembusan angin dari pukulan yang
bentrok. Senyap beberapa saat.
Di antara Dayang Lembah Neraka dan Pendekar
Mata Keranjang 108, kini sama-sama saling diam. Sa-
lah satu tidak ada yang bersuara atau memulai serangan. Hanya mata masing-masing
saling menghujam.
Namun sesaat kemudian, tubuh Dayang Lembah Ne-
raka tampak bergetar hebat, seiring bergetarnya tanah yang dipijak. Sekejap lain
dahi perempuan tua ini berubah berkerut-kerut. Sementara sekujur tubuhnya
mulai dibasahi keringat.
"Hsss...!"
Tidak berselang lama, terdengar desisan geram
dari mulut Dayang Lembah Neraka, karena tubuhnya
sedikit demi sedikit mulai bergoyang.
Di depan, Pendekar Mata Keranjang 108 secara
diam-diam menambah tekanan tenaga dalamnya. Se-
hingga tanah di tempat itu bagai dilanda gempa berkekuatan dahsyat.
Melihat keadaan yang tidak menguntungkan,


Pendekar Mata Keranjang 8 Geger Para Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dayang Lembah Neraka segera menjajarkan kedua
tangan di depan dada. Lalu seketika disentakkannya
ke bawah. Maka terjadilah hal yang menakjubkan. Ge-
taran-getaran hebat di sekitarnya mendadak berhenti.
Dan tubuhnya kini kembali kokoh tegak.
Mendapati perempuan tua itu berhasil meredam,
Aji kembali menambah tekanan tenaga dalamnya. Se-
hingga, tanah di sekitar tempat Dayang Lembah Nera-
ka kembali berguncang. Untuk beberapa waktu pe-
rempuan ini memang masih mampu membendung.
Tapi itu tidak lama.
"Heaaa...!"
Ketika Pendekar Mata Keranjang 108 membentak
keras, tubuh Dayang Lembah Neraka oleng. Bahkan
mulai bergerak ke atas, tercabut dari dalam tanah!
"Hih...! Wuuut...!"
Saat demikian itulah, secara tiba-tiba Pendekar
Mata Keranjang 108 menghantamkan kedua tangan-
nya ke depan, melepaskan pukulan jarak jauh.
Wuuss! Wuuuss! Dua rangkum angin menderu menggemuruh dan
bergelombang, menyambar keluar dari kedua tangan
Pendekar Mata Keranjang 108. Sambaran angin itu te-
rus menyapu deras ke arah Dayang Lembah Neraka,
kedua kakinya kini telah terangkat dari dalam tanah.
Namun, sepasang mata Pendekar Mata Keranjang
108 tiba-tiba membeliak besar melihat apa yang terja-di. "Hiaaa...!"
Didahului teriakan bagai merobek langit, satu
depa lagi serangan Pendekar Mata Keranjang 108 yang berisi tenaga dalam tinggi
menghantam, Dayang Lembah Neraka merentangkan kedua tangannya. Dan di
sekejap itu juga, tubuhnya tiba-tiba melenting tinggi ke udara, membuat serangan
Pendekar Mata Keranjang
108 yang berhawa maut hanya menghajar tempat ko-
song! Malah begitu Dayang Lembah Neraka berhasil
berkelit, dari udara tubuhnya berbalik sambil mele-
paskan pukulan tiga kali berturut-turut dengan gerakan aneh, seperti orang
memperagakan tarian patah-
patah. Wuutt! Wuutt! Gumpalan gelombang yang menebar hawa panas
menukik deras dari udara. Hebatnya, belum sampai
gumpalan gelombang itu menggebrak, terdengar letu-
pan perlahan. Di sekejap lain gumpalan gelombang itu pecah berantakan, menyambar
bersiutan ke sana kemari dari segala jurusan. Namun semuanya mengarah
pada satu titik, yakni tubuh Pendekar Mata Keranjang 108! "Jangkrik! Rupanya dia
masih menyimpan ilmu.
Apa boleh buat! Aku terpaksa menggunakan kipas un-
tuk menghalau gelombang yang seperti hujan jahanam
ini...!" rutuk batin Aji, seraya cepat menyabut kipas dari balik bajunya. Dan
secepat kilat pula dikebutkan-nya secara berputar-putar di atas kepala.
Wuutt! Wuutt! Tarrr...!
Pecahan-pecahan gelombang berwarna hitam ser-
ta merta berhamburan mental. Namun di pihak lain,
Dayang Lembah Neraka menambah sentakan-sentakan
tangannya, Akibatnya gelombang berwarna hitam itu
tak henti-hentinya menyambar.
"Busyet! Aku tak bisa bertahan begini terus-
terusan. Karena pecahan gelombang ini bertambah
banyak, sumber penggerak darinya harus dilumpuh-
kan dulu...!"
Berpikir begitu, Pendekar Mata Keranjang 108
segera berkelebat cepat menjauh dari kurungan peca-
han gelombang. Aji tahu, meski gelombang itu hanya
pecahan-pecahan, namun akibat yang ditimbulkannya
sangat hebat. Buktinya tanah di sekitar tempat itu kini banyak membentuk lobang
sebesar satu genggaman
tangan, terhajar pecahan gelombang hitam yang mene-
rabas. Bahkan karena begitu gencarnya sentakan tan-
gan Dayang Lembah Neraka, udara di tempat itu men-
jadi redup! Sebelum kehilangan lawan yang tertutup gumpa-
lan-gumpalan gelombang, dan sebelum pecahan-
pecahan gelombang itu ada yang menghantam, Pende-
kar Mata Keranjang 108 bertindak cepat. Tangan ka-
nannya memutar-mutar kipas lebih cepat, sementara
tangan kiri menghantamkan ke udara.
Wusss...! Tiba-tiba udara redup yang melingkupi tempat
itu terkuak sinar putih, membuat suasana seketika ja-di terang benderang. Inilah
pertanda Pendekar Mata
Keranjang 108 telah melepaskan pukulan sap kelima.
"Bayu Cakra Buana!" sentak Tengkorak Berjubah tanpa sadar dari tempatnya
berdiri, ketika melihat apa yang terjadi.
"Aaa...!"
Belum habis rasa terkejut Tengkorak Berjubah,
terdengar jeritan keras. Bersamaan dengan itu, dari se-la-sela gelombang hitam
yang masih saja menyambar
turun, menukik deras tubuh Dayang Lembah Neraka!
Brak! Keras sekali tubuh Dayang Lembah Neraka ter-
banting di atas tanah, tanpa dapat bergerak lagi. Akibatnya, ketika sambaran
pecahan gelombang dari se-
rangannya sendiri menghajar tubuhnya, dia tidak bisa menghindar.
Darrr...! Darrr...!
"Aaa...!"
Tubuh Dayang Lembah Neraka kontan tersambar
pecahan-pecahan gelombang warna hitam. Terdengar
beberapa kali jeritan. Begitu suaranya terhenti, tubuhnya telah hangus dengan
kulit mengelupas!
Melihat Dayang Lembah Neraka tewas, Tengkorak
Berjubah tersenyum. Dan sebelum senyumnya lenyap,
tubuhnya segera berkelebat sambil menghentakkan
kedua tangannya ke arah Pendekar Mata Keranjang
108. "Hih...!"
Wesss...! Angin deras segera menyapu, mengeluarkan kila-
tan-kilatan menggidikkan. Pada saat yang sama, sosok Tengkorak Berjubah melesat
cepat ke arah samping
sambil menunggu. Bahkan telah siap pula melepaskan
pukulan beruntun.
"Hiaaa...!"
Aji sedari tadi memang telah mewaspadai gerak-
gerik Tengkorak Berjubah. Maka disertai bentakan keras, tubuhnya langsung
menerjang ke samping, me-
nyongsong langkah Tengkorak Berjubah sambil meng-
hindari serangan. Dan seketika tangan kanannya men-
gibaskan kipas ungu. Sementara tangan kiri melepas pukulan Bayu Cakra Buana.
Werrr...! Tengkorak Berjubah menggerutukkan tulang ra-
hangnya. Sinar berkilau keputihan yang melesat me-
nyambar dari tangan kiri Pendekar Mata Keranjang
108, segera disambut dengan hantaman tangan kiri
dan ka-nan. Wuuut! Wuuut...!
Darr! Daarr! Dua kali ledakan segera menggulung sekitarnya.
Tanah yang tadi sudah porak poranda semakin beran-
takan, membubung ke udara menutupi pemandangan.
Saat demikian, Tengkorak Berjubah yang tubuhnya
sempat terhuyung-huyung ke belakang akibat bentro-
kan pukulan, segera melesat ke udara. Begitu berada di udara jubah hitamnya
dikibaskan. Lalu secepat itu pula dibuatnya gerakan salto beberapa kali. Maka,
ti-ba-tiba saja tubuhnya melayang turun menerjang ke
arah Pendekar Mata Keranjang 108!
Werrr...! Kibasan jubah Tengkorak Berjubah memang bu-
kan kibasan biasa, karena disertai tenaga dalam kuat.
Maka saat itu juga angin kencang segera melesat,
mengarah pada Pendekar Mata Keranjang 108.
Melihat serangan beruntun Tengkorak Berjubah,
Pendekar Mata Keranjang 108 sedikit terkejut. Namun dia segera melompat ke
samping, menghindari sambaran angin jubah hitam. Nyatanya sambaran itu me-
mang hanya lewat disampingnya. Namun baru saja Aji
berhasil menghindar, kaki Tengkorak Berjubah tiba-
tiba sudah menghantam ke arah dadanya.
Bukkk! "Aaakh...!"
Pendekar Mata Keranjang 108 berteriak keras ke-
tika kaki Tengkorak Berjubah mampir di dadanya. Tu-
buhnya mencelat hingga beberapa tombak dan jatuh
berdebuk di tanah. Perlahan Aji merambat bangkit.
Da-rah segar muntah dari mulutnya.
Sementara Tengkorak Berjubah menyeringai. Ka-
kinya lantas melangkah mendekati Pendekar Mata Ke-
ranjang 108. "Bocah! Nyawamu sudah berada di ujung tanduk.
Sebelum tubuhmu hancur, lekas serahkan kipas itu.
Sekalian dengan bumbung bambu yang pasti kau sim-
pan! Jika kau menuruti kehendakku, nyawamu masih
bisa kuampuni!" ujar Tengkorak Berjubah, pongah.
"Tua jahanam! Jangan disangka bisa menda-
patkan kipas ini, sebelum kau benar-benar melihat
mayatku!" teriak Pendekar Mata Keranjang 108 marah seraya bangkit.
Baru saja tubuh Pendekar Mata Keranjang 108
tegak, Tengkorak Berjubah mengeluarkan lenguhan
keras. Lalu tubuhnya melesat. Setelah membuat gera-
kan berputar beberapa kali di udara, sepasang kakinya yang tertutup jubah hitam
menukik deras ke arah
Pendekar Mata Keranjang 108!
Dengan gerakan mengagumkan, Pendekar Mata
Keranjang 108 merebahkan tubuhnya sejajar tanah.
Weess! Weess! Terjangan sepasang kaki Tengkorak Berjubah
hanya menghantam tempat kosong di atas tubuh Aji.
"Keparat!" maki Tengkorak berjubah.
Laki-laki berwajah tengkorak ini segera memutar
tubuhnya. Kini tubuhnya menyusur tanah dengan
kencang. Sepasang kakinya lurus, mengarah ke tubuh
Pendekar Mata Keranjang 108 yang masih telentang.
Karena waktu untuk menghindar tidak ada, den-
gan cepat Aji memiringkan tubuh. Pada saat yang sa-
ma kedua kakinya diangkat dan ditekuk di depan da-
da. Dan begitu terjangan kaki lurus Tengkorak Berjubah satu depa lagi
menghempas, kakinya cepat dilu-
ruskan untuk memapak.
Brakk! Brakk! "Aaa...!"
"Aaakh...!"
Terdengar dua kali benturan keras, disusul ter-
dengarnya seruan dua kali. Ternyata baik Tengkorak
Berjubah maupun Pendekar Mata Keranjang 108 sa-
ma-sama kesakitan.
Sementara itu tubuh Tengkorak Berjubah tam-
pak mental balik. Kuat sekali tubuhnya terjungkal di tanah lalu bergulingan
beberapa kali. Sedangkan tubuh Pendekar Mata Keranjang 108 terbalik dengan ke-
pala lebih dahulu menyuruk tanah.
Tengkorak Berjubah segera bangkit. Sepasang
matanya berkilat membeliak. Tulang pelipisnya bergerak-gerak keras.
"Heangg...!"
Didahului bentakan sengau, tubuh Tengkorak
Berjubah membuat lompatan-lompatan. Dan menda-
dak dia bergulingan di atas tanah dengan cepat. Begitu tiga tom-bak di depan
Pendekar Mata Keranjang 108,
tubuhnya berhenti. Dan dalam keadaan miring, kedua
tangannya dihantamkan.
Weess! Weess! Dua gelombang angin laksana gelombang berge-
muruh langsung menghantam ke depan.
Di lain pihak, Pendekar Mata Keranjang 108 se-
gera menghentakkan kipasnya melengkung di depan
dadanya. Sedangkan tangan kiri melepas pukulan
'Bayu Cakra Buana'.
Wesss...! "Heh"!"
Sepasang mata Tengkorak Berjubah tiba-tiba ter-
belalak lebar dengan wajah mengisyaratkan kecema-
san. Karena serangannya mendadak bagai tertahan
dan mengapung di udara. Sementara itu, lesatan sinar putih bagai tak terbendung
lagi menerobos gelombang angin sentakan tangannya dan terus melesat cepat.
Tengkorak Berjubah berusaha menghindar, na-
mun gerakannya terlambat. Hingga....
Dess...! "Aaakh...!"
Tak ampun lagi tubuh laki-laki berwajah tengko-
rak ini tergeser jauh ke belakang dengan jubah berde-rik robek-robek. Dari
tulang bibirnya mengalir darah kehitaman pertanda terluka dalam amat parah.
Hebatnya, meski keadaannya sudah tak me-
mungkinkan lagi, Tengkorak Berjubah segera bangkit.
Dan dengan sisa-sisa tenaganya. Tubuhnya melesat
sambil mengeluarkan bentakan-bentakan sengau dah-
syat. Karena tenaganya sudah terkuras, membuat
Tengkorak Berjubah hanya mengandalkan sepasang
tangan dan kakinya untuk menghantam sambil menu-
bruk. Diam-diam Pendekar Mata Keranjang 108 yang
telah bangkit pula tercengang. Sungguh tidak disangka jika manusia tanpa kulit
ini memiliki ketahanan tubuh yang sangat tangguh. Karena sampai saat ini, belum
ada seorang pun yang bisa selamat dari pukulan 'Bayu Cakra Buana'.
Maka secepat itu pula Pendekar Mata Keranjang
108 cepat menakupkan kedua tangannya di depan da-
da dengan kipas terkembang. Dan begitu tubuh Teng-
korak Berjubah melabrak, kipasnya disentakkan. Se-
mentara kaki kanannya diangkat ke atas. Lalu....
Dess! Desss! Prak!
"Aaakh...!"
Tulang wajah Tengkorak Berjubah kontan tanggal
berantakan. Namun tak urung juga sepasang tangan-
nya masih sempat menangkap leher Pendekar Mata
Keranjang 108, dan menyentakkannya ke samping.
Hingga sekejap kemudian, tampak dua sosok tubuh
sama-sama terbanting dan terkapar di atas tanah.


Pendekar Mata Keranjang 8 Geger Para Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Yang pertama sosok Tengkorak Berjubah yang
terkapar dengan wajah cerai berai tidak bernyawa lagi.
Sementara sosok satunya, Pendekar Mata Keranjang
108 yang terkapar dengan tangan kiri memegangi le-
hernya yang tampak membiru dan terasa panas!
*** 2 Langit di atas Singasari terhalangi arak-arakan
awan hitam dan tebal. Nun jauh di ujung sebelah ba-
rat, sesekali terdengar gelegar bersahutan diiringi kilatan-kilatan. Sekejap
suasana sedikit terang, namun setelah itu cuaca semakin hitam kelam dan
mencekam. Angin berhembus kencang, membawa udara dingin
menusuk tulang.
Di dalam sebuah ruangan yang terletak di bagian
belakang Candi Singasari, dua sosok tampak berdiri
saling berhadapan. Ruangan ini tampak lengang, ka-
rena hanya berisi sebuah ranjang besar yang tertata rapi dan sebuah penerangan
lampu teplok. Karena
ruangan itu agak besar, membuat sinar lampu tak
mampu menerobos seluruh ruangan. Sehingga suasa-
na tampak remang-remang.
Sebuah tangan kekar sesekali bergerak mengu-
sap-usap dagu yang kokoh, Sementara sepasang ma-
tanya tak berkedip memandang ke depan, dengan so-
rot jalang dan liar penuh nafsu.
Yang memiliki tangan kekar dan dagu kokoh ser-
ta mata jalang adalah seorang pemuda tampan. Tu-
buhnya terbungkus jubah toga hitam merah menyala,
yang di pinggangnya tampak terselip sebuah kipas lipat berwarna hitam. Tubuhnya
tegap. Bibirnya sering mengumbar senyum seringai. Pemuda ini tak lain adalah
Malaikat Berdarah Biru.
Sementara yang di hadapan Malaikat Berdarah
Biru adalah seorang gadis muda berwajah cantik. Tu-
buhnya yang ramping sekal, dibungkus baju warna
merah tanpa lengan. Pakaian bawahnya dibuat mem-
belah di bagian samping. Hingga meski hanya diterangi cahaya temaram, kulit
pahanya yang putih mulus ter-
lihat jelas. Bahkan makin mengundang hasrat. Ram-
butnya yang ikal panjang dikuncir ke atas, menam-
pakkan lehernya yang jenjang. Dadanya kencang
membusung, dengan pinggul besar menantang. Siapa
lagi gadis ini kalau bukan Bayangan Seribu Wajah.
"Malaikat Berdarah Biru!" panggil Bayangan Seribu Wajah, setelah lama mereka
terkekang kebisuan.
"Tadi aku sudah menceritakan tentang perjalananku dengan Bayangan Iblis, gurumu.
Memang itulah ke-nyataannya. Kami berdua tak bisa mengorek keteran-
gan dari mulut perempuan setan kakak sepergurua-
nku tentang di mana Pendekar Mata Keranjang 108
berada. Jadi, terpaksa kita harus melacaknya sendiri!"
Senyum seringai Malaikat Berdarah Biru menye-
ruak keluar. Namun matanya tak juga beranjak dari
lekuk-lekuk tubuh gadis di depannya.
"Bayangan Iblis dan Bayangan Seribu Wajah nya-
tanya hanya besar gelar! Mengorek keterangan saja tak berhasil...!" rutuk batin
Malaikat Berdarah Biru.
Setelah puas menatap tubuh, kini mata Malaikat
Berdarah Biru beralih ke wajah Bayangan Seribu Wa-
jah. "Bayangan Seribu Wajah...," panggil pemuda murid Bayangan Iblis. "Benar apa
katamu. Kita harus melacak sendiri Pendekar Mata Keranjang 108. Karena
aku juga sudah cemas, Sepasang Iblis Pendulang
Sukma, Tengkorak Berjubah, Dayang Lembah Neraka,
serta Putri Tunjung Kuning seharusnya telah kembali ke sini.... Apakah mungkin
mereka menipuku!"
Bayangan Seribu Wajah tersenyum seraya me-
renggangkan kedua kakinya, membuat sepasang pa-
hanya lebih terlihat: Seketika mata Malaikat Berdarah Biru beralih menjilati
paha yang putih menantang itu, hingga makin terbeliak.
"Malaikat Berdarah Biru...! Persoalan menghada-
pi Pendekar Mata Keranjang 108, seharusnya kau ti-
dak menyerahkan begitu saja pada mereka-mereka.
Meski kemampuan mereka tak diragukan lagi, namun
untuk menghadapi manusia berjuluk Pendekar Mata
Keranjang 108, kurasa tidak bakal mampu. Bahkan....
" "Bayangan Seribu Wajah...!"
Belum habis Bayangan Seribu Wajah bicara, Ma-
laikat Berdarah Biru sudah mengelak sambil mema-
lingkan wajahnya.
"Dalam masalah ini, aku lebih tahu daripada kau!
Harap kau jangan menggurui ku!" lanjut Malaikat Berdarah Biru.
Air muka Bayangan Seribu Wajah merah padam.
"Anak ini angkuh dan bermulut besar. Sean-
dainya bukan murid dari Bayangan Iblis, sudah ku-
tampar mulutnya. Namun demikian, di balik itu dia
memang pemuda yang menggoda. Tubuhnya tegap ke-
kar dengan tangan kokoh. Hmm.... Di atas tempat ti-
dur pastilah mengasyikkan...," desah batin Bayangan Seribu Wajah.
Membayangkan hal-hal yang memabukkannya,
raut wajah Bayangan Seribu Wajah tiba-tiba berubah.
Senyumnya mengembang. Dadanya sengaja dibusung-
kan. "Malaikat Berdarah Biru.... Aku tak berniat menggurui mu. Namun, aku hanya
mengingatkan mu.
Kau terima boleh, tidak pun tidak apa-apa. Ngg..., kalau sudah tak ada yang
perlu dibicarakan lagi, aku
akan menemui gurumu untuk membicarakan langkah
apa selanjutnya...," kata gadis cantik ini dengan suara perlahan, se-olah-olah
mendesah. Sebelum berbalik, Bayangan Seribu Wajah men-
gerling. Lalu kakinya melangkah hendak pergi. Tapi
langkahnya tertahan, tatkala tangan kokoh Malaikat
Berdarah Biru terasa memegang pundaknya dari bela-
kang. "Tunggu...," ujar Malaikat Berdarah Biru seraya memperkeras cekalannya
pada pundak Bayangan Seribu Wajah.
"Auuuww...!"
Bayangan Seribu Wajah menjerit tertahan, na-
mun berkesan manja.
"Bayangan Seribu Wajah.... Soal itu, bisa dibicarakan nanti. Kalau boleh aku
tahu, benarkah ucapan-
mu tentang bumbung bambu yang kini berada di tan-
gan Pendekar Mata Keranjang 108 itu berisi jurus-
jurus hebat?" tanya Malaikat Berdarah Biru.
Bayangan Seribu Wajah berpaling. Sejenak sepa-
sang matanya menusuk tajam ke bola mata Malaikat
Berdarah Biru yang tampak berkilat meredam amukan
nafsu. Disertai senyum, kepalanya lantas mengangguk perlahan.
Malaikat Berdarah Biru melepaskan cekalan pada
pundak Bayangan Seribu Wajah. Tangannya diangkat,
lalu diusap-usapnya pada ujung dagu gadis itu. Se-
mentara, matanya menyengat tajam ke dada montok
menantang di depannya.
"Jika demikian, besok pagi aku akan mencari jejak Pendekar Mata Keranjang 108.
Aku hanya memer-
lukan kipasnya. Bumbung bambu akan kuserahkan
padamu...," kata Malaikat Berdarah Biru.
Gadis di hadapan Malaikat Berdarah Biru mem-
belalakkan matanya, seakan terkejut tak percaya.
"Kau akan merebut bumbung bambu...?" tanya Bayangan Seribu Wajah.
"Benar. Aku akan merebutnya dari tangan mu-
suhku untukmu!" tegas Malaikat Berdarah Biru disertai anggukkan kepala.
Wajah Bayangan Seribu Wajah makin cerah. Se-
bagai luapan kegembiraan, tiba-tiba saja Bayangan Seribu Wajah memeluk Malaikat
Berdarah Biru. Wajah-
nya langsung direbahkan di dada bidang pemuda ini.
Dadanya yang kencang menantang ditekankan rapat-
rapat, membuat hasrat kelaki-lakian Malaikat Berda-
rah Biru semakin menggelegak.
"Kau tidak berdusta...?" desah Bayangan Seribu Wajah mengusap punggung Malaikat
Berdarah Biru. Malaikat Berdarah Biru tidak buka mulut. Seba-
gai jawaban kedua tangannya dikatupkan ke pung-
gung Bayangan Seribu Wajah. Sementara wajahnya
bergerak turun ke kuduk gadis dalam rangkulannya
kini. Lalu dengan napas menghembus panjang, kuduk
gadis ini diciuminya.
Bayangan Seribu Wajah menggelinjang seraya
menengadahkan wajahnya. Saat itulah wajah Malaikat
Berdarah Biru segera menyergap, memagut bibir me-
rah menantang milik gadis ini.
Malaikat Berdarah Biru dan Bayangan Seribu
Wajah cukup lama tenggelam dalam amukan samude-
ra asmara. Apalagi didukung oleh suasana temaran
dan malam dingin yang berhembus menusuk. Sehing-
ga, membuat keduanya seakan segan untuk mele-
paskan pelukan satu sama lain. Hingga tatkala sang
surya sudah menampakkan diri dari ufuk timur, me-
reka masih terlelap kelelahan setelah mengarungi sa-mudera asmara.
Namun, mendadak terasa getaran-getaran di
ruangan itu. Sebagai orang yang berilmu tinggi, Malaikat Berdarah Biru cepat
membuka sepasang matanya.
Lalu, secepat kilat pakaian yang berserakan disambarnya. Cepat kipasnya
dilepitkan. Saat itu juga tubuhnya berkelebat keluar dari ruangan.
Tapi mendadak langkah Malaikat Berdarah Biru
berhenti. Matanya terbelalak besar, dengan senyum se-
ringai tak senang.
"Setan buntung! Mengganggu kesenangan saja!"
rutuk Malaikat Berdarah Biru begitu tahu apa yang
menyebabkan getaran-getaran tadi terjadi.
Ternyata, di ruangan tengah tampak Bayangan
Iblis, guru Malaikat Berdarah Biru sendiri. Perempuan tua itu tengah duduk
bersila dengan kedua tangan
menakup di depan dada. Matanya yang cekung menga-
tup rapat. Sementara bibirnya bergerak-gerak seperti mengucapkan sesuatu.
Malaikat Berdarah Biru melangkah mendekat.
Dan baru saja mulutnya membuka hendak berkata,
sang guru telah membuka kelopak matanya. Diberinya
isyarat agar sang murid tidak meneruskan niatnya.
Malaikat Berdarah Biru yang telah tahu apa yang
sedang dilakukan gurunya segera mengatupkan kem-
bali mulutnya. Padahal, dalam hati dia mengutuk ha-
bis-habisan. Wajahnya cepat dipalingkan, memandang
jurusan lain sambil menunggu dengan perasaan tak
senang. "Apa lagi yang diperoleh dalam semadinya kali
ini..." Tapi, baiklah. Akan kutunggu saja...," kata batin Malaikat Berdarah Biru
seraya kembali memandang
pada Bayangan Iblis.
Pada saat itulah Bayangan Iblis melambaikan
tangan, memberi isyarat agar Malaikat Berdarah Biru mendekat. Dengan langkah
berat pemuda ini menuruti
isyarat itu dan duduk di hadapan gurunya.
"Muridku.... Kau jangan kecewa jika aku menga-
takan sesuatu yang tak berkenan di hatimu...," ujar Bayangan Iblis.
Sebentar perempuan tua itu menghentikan uca-
pannya. Ditariknya napas dalam-dalam dan dihem-
buskannya kuat-kuat.
Malaikat Berdarah Biru mengeluarkan gumaman
tak jelas. Dahinya berkerut, seakan-akan menduga-
duga. "Jangan berbelit-belit. Katakan saja...!" ujar Malaikat Berdarah Biru agak
keras, seolah-olah tidak berada di hadapan gurunya.
Bayangan Iblis menatap tajam muridnya seben-
tar. "Orang-orang yang kau tugaskan untuk memburu Pendekar Mata Keranjang 108,
rupanya sedang mengalami nasib jelek. Mereka tak berhasil. Malah sekarang hanya tinggal Putri
Tunjung Kuning yang ma-
sih membawa nyawa di hadapannya!" jelas Bayangan Iblis. Meski terkejut bukan
alang kepalang, namun Malaikat Berdarah Biru mencoba menahannya dengan
senyum. Dia diam untuk beberapa lama, menampak-
kan sikap biasa-biasa saja.
"Muridku...!" lanjut Bayangan Iblis. "Dalam mata batin ku, aku mendapat firasat
jelek...."
"Guru!" selak Malaikat Berdarah Biru. "Apa hidup ini hanya akan ditentukan oleh
firasat-firasat yang belum tentu benar" Hal itu hanya akan membuat kita
bodoh, dan takut berbuat sesuatu. Kitab dan kipas
pusaka telah berada di tanganku. Dan aku tak akan
percaya dengan segala macam firasat!"
Bayangan Iblis batuk beberapa kali. Lalu kepa-
lanya mendongak menghadapkan wajahnya ke langit-
langit ruangan.
"Kau benar, Muridku. Namun, satu hal yang per-
lu kau ketahui. Selama hidupku yang sudah hampir
seratus tahun ini, firasat ku tak pernah meleset! Den-garlah! Ingat! Kau hanya
perlu mendengar. Soal per-
caya atau tidak, itu urusan nanti...!" tegas Bayangan Iblis sambil tetap
memandangi langit-langit.
Malaikat Berdarah Biru mengangkat bahunya,
menyembunyikan rasa jengkel dan geram. Namun de-
mikian, dia tak hendak membantah. Seakan disadari,
bahwa ucapan orang tua di hadapannya memang ada
benar-nya. "Muridku...," lanjut Bayangan Iblis setelah melihat muridnya menyadari arti
ucapannya. "Kau melihat arak-arakan awan hitam bergelombang, melingkupi
langit. Sehingga, suasana bumi menjadi hitam pekat.
Namun tiba-tiba saja arakan awan hitam itu menguak, dengan menerobosnya sebuah
larikan-larikan kilatan
putih. Bahkan tak lama kemudian, arakan awan hitam
itu lenyap bagai tertelan kilatan-kilatan putih. Saat demikian itulah, aku
melihat jelas sosok manusia duduk di atas arakan awan hitam yang mulai menipis
pudar...."
"Siapa manusia itu, Guru..."!" desak Malaikat Berdarah Biru tak sabar.
Perempuan tua itu tidak segera menjawab. Wa-
jahnya kini berpaling, memandang muridnya.
"Aku sebenarnya hampir tak percaya, kalau dia
yang duduk...," jawab Bayangan Iblis.
"Guru! Siapa orangnya" Apakah musuhku, Pen-
dekar Mata Keranjang 108?" desak Malaikat Berdarah Biru lagi.
Bayangan Iblis menggeleng perlahan.
"Dia adalah kakak seperguruan Bayangan Seribu
Wajah! Perempuan tua aneh yang tak mau menye-
butkan namanya sendiri. Dan perempuan tua yang te-


Pendekar Mata Keranjang 8 Geger Para Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lah menyerahkan bumbung bambu pada Pendekar Ma-
ta Keranjang 108!" jelas Bayangan Iblis.
Malaikat Berdarah Biru kepalkan kedua tangan-
nya. Lalu dipukulkannya tangan itu satu sama lain,
menumpahkan rasa marah. Dagunya yang kokoh se-
makin kencang dengan pelipis bergerak-gerak.
"Muridku.... Kau telah tahu. Meski aku dan
Bayangan Seribu Wajah telah berhasil mengalahkan
perempuan tua itu, namun kami berdua tak berhasil
menewaskannya...," kata Bayangan Iblis lagi.
"Hmm.... Apakah ucapanmu sebagai ungkapan
bahwa aku harus mencari sekaligus membuatnya jadi
mayat"!" tukas Malaikat Berdarah Biru dengan nada tinggi.
Bayangan Iblis tersenyum. Mulutnya yang selalu
bergerak-gerak seakan-akan mengunyah sesuatu yang
tak habis-habisnya, mendadak berhenti.
"Sebenarnya tidak ada artinya membunuh pe-
rempuan tua itu. Dia hanyalah perlambang, bahwa
benda dari dirinyalah yang membuat keadaan hitam
pekat itu menjadi terang kembali...."
"Apa maksudmu, Guru"!"
"Bumbung bambu yang diberikannya pada Pen-
dekar Mata Keranjang 108, itulah yang sebenarnya
pangkal dari cahaya putih itu!" jelas Bayangan Iblis.
Saat itu juga, Malaikat Berdarah Biru terdiam.
Kali ini perasaan cemas dan khawatir tak bisa disembunyikan dan terpancar jelas
dari raut wajahnya.
"Lantas apa yang harus kita lakukan sekarang,
Guru"!" tanya Malaikat Berdarah Biru dengan suara bergetar.
"Kita korek kembali keterangan dari mulut pe-
rempuan tua itu! Aku merasa dia masih menyimpan
sesuatu. Dan lain dari itu, firasat ku mengatakan Pendekar Mata Keranjang 108
juga akan menemuinya...,"
sahut Bayangan Iblis.
"Tapi di mana kita akan menemukannya" Bu-
kankah tempatnya telah kau hancurkan?" tanya Malaikat Berdarah Biru lagi.
"Hmm.... Soal di mana tempatnya, Bayangan Se-
ribu Wajah yang pasti tahu. Bangunkan dia. Kita be-
rangkat sekarang juga! Tapi, kau harus keramas dahu-
lu. Baumu bukan seperti biasanya...."
Wajah Malaikat Berdarah Biru merah padam. Dia
cepat berdiri, lalu segera berkelebat meninggalkan
Bayangan Iblis. Sementara perempuan tua ini terse-
nyum sambil menggeleng-geleng.
*** 3 Puncak Bukit Watu Dakon terbungkus kabut ti-
pis pagi hari. Bangunan batu yang berdiri kokoh di
puncaknya sepi bagai tak berpenghuni. Padahal, di dalamnya tampak beberapa orang
perempuan gundul
berpakaian hijau-hijau tengah hilir mudik. Raut muka mereka menampakkan rasa
kecemasan. Di sebuah ruangan dalam, tampak seorang gadis
muda berwajah cantik tengah duduk dengan wajah re-
dup. Rambutnya panjang. Kulitnya yang putih ter-
bungkus pakaian tipis berwarna putih. Begitu tipisnya, membuat lekuk tubuhnya
yang membentuk indah terlihat sangat mempesonakan. Namun ada satu kejang-
galan. Meski raut wajahnya cantik, kedua tangannya
ternyata hitam legam dan berbulu.
Sepasang mata gadis ini tak henti-hentinya me-
mandang ke depan, ke arah ranjang besar yang di
atasnya tergolek sesosok tubuh yang ternyata seorang perempuan tua. Pakaiannya
compang-camping. Raut
wajahnya menakutkan. Karena, di bawah sepasang
matanya tak terlihat tonjolan hidung. Rambutnya pu-
tih dan awut-awutan. Sekujur tubuhnya tampak
membiru dengan darah mengering terlihat di sekitar
telinga dan mulutnya yang tipis. Napas perempuan ini berhembus pelan-pelan, dan
sesekali terdengar batuk-
batuk kecil. Melihat keadaannya, dia sedang terluka parah.
Gadis cantik yang bertangan hitam dan berbulu
itu tak lain adalah Ratu Pualam Putih. Dia melangkah mendekati ranjang. Sepasang
matanya yang bulat berbinar, berkaca-kaca. Sementara bahunya tak jarang
naik turun menahan isak.
Mendengar langkah-langkah halus dan isakan
tertahan, perempuan tua di atas ranjang yang tak lain perempuan tak bernama itu
membuka kelopak matanya. Sejenak mata perempuan tua guru Ratu Pualam
Putih ini memandang ke atas. Lalu matanya beralih ke samping, tempat gadis itu
berdiri. (Tentang Ratu Pualam Putih, silakan baca serial Pendekar Mata Keran-
jang 108 dalam episode: "Persekutuan Para Iblis").
"Guru...," sebut Ratu Pualam Putih perlahan.
"Bagaimana keadaanmu...?"
Setelah mengatur napas dan batuk kecil berulang
kali, perempuan tua itu tersenyum. Padahal, tampak
benar kalau senyum itu sangat dipaksakan.
"Kadarwati...," kata perempuan tua itu memanggil nama asli Ratu Pualam Putih.
"Kau tidak usah cemas begitu rupa. Keadaanku sudah membaik. Dan se-
cepatnya aku akan meninggalkan tempatmu ini...."
"Tapi, Guru...."
Belum selesai Ratu Pualam Putih meneruskan
ucapannya, perempuan tua itu menggeleng perlahan.
"Sudah kukatakan, keadaanku sudah baik. Aku
tak mau membuatmu repot. Lagi pula, orang yang
mencelakai ku pasti akan terus memburu ku. Dan itu
berarti, kau...."
"Perempuan setan! Aku tahu kau ada di dalam.
Lekas keluar! Jika tidak, tempat ini akan kami han-
curkan!" Perempuan tua itu menghentikan kata-katanya.
Karena dari arah luar terdengar bentakan keras men-
gancam. Jelas, ucapan bernada ancaman itu dikeluarkan
dari jarak jauh. Namun karena dikerahkan lewat tena-ga dalam, maka suaranya
menggema dan mengiang di
telinga setiap orang yang ada di dalam bangunan.
Beberapa anak buah Ratu Pualam Putih yang ada
dalam ruangan ini segera membentuk barisan, siap
hendak menyongsong keluar. Namun belum sampai
mereka bergerak, Ratu Pualam Putih telah memberi
isyarat pada anak buahnya untuk mengurungkan niat.
Gadis ini lantas berpaling ke belakang, memandang lekat-lekat pada gurunya yang
telah berdiri dan mulai melangkah hendak keluar.
"Kadarwati.... Jangan ikut campur masalah ini.
Biar aku sendiri yang menyelesaikan...!" ujar perempuan tak bernama setelah
dekat dengan Ratu Pualam
Putih. Ratu Pualam Putih menarik napas panjang, seakan melepaskan beban berat
yang menindih dadanya.
Wajahnya tampak menyiratkan kekecewaan.
"Guru! Bertahun-tahun aku kau didik. Budi ja-
samu padaku tidak bisa lagi dihitung. Sekarang, ku mohon berilah kesempatan
padaku untuk sedikit
membalas budi-mu!" ucap Kadarwati alias Ratu Pualam Putih.
Perempuan tua berpakaian compang-camping ini
tersenyum kecut, lalu menggeleng.
"Muridku, aku bukannya tak mau dibantu. Na-
mun bukan sekarang waktunya!" tolak perempuan tua itu. "Aku tak mengerti
maksudmu...."
"Sekarang mundurlah. Biar aku yang menghada-
pi mereka. Lagi pula, orang-orang di luar ini bukan tandingan mu...," ujar
perempuan tua ini.
Setelah berkata, perempuan tua berpakaian
compang-camping itu melesat keluar, diiringi tatapan kosong Ratu Pualam Putih.
Sedangkan gadis berwajah
cantik jelita ini masih tegak termangu agak lama. Tapi perasaan khawatir yang
begitu dalam terhadap gurunya membuat kakinya perlahan-lahan melangkah
keluar. Sementara itu, begitu perempuan tak bernama
menjejakkan kakinya di luar, tiga sosok manusia langsung mengurungnya. Sejenak
matanya menyapu den-
gan tajam pada tiga orang yang mengurungnya. Nam-
paknya yang dikenalnya hanya dua orang. Yakni, pe-
rempuan tua berjubah dengan sorban hitam, yang mu-
lutnya tak henti-hentinya bergerak. Dia tak lain adalah Bayangan Iblis. Seorang
lagi adalah gadis berparas jelita. Pakaiannya warna merah. Dan dia tak lain adik
seperguruannya sendiri yakni Bayangan Seribu Wajah.
Sedang yang tak dikenali adalah seorang pemuda
berwajah tampan. Badannya kekar, terbungkus jubah
toga merah menyala. Sesekali bibirnya mengembang-
kan senyum. "Perempuan setan!" bentak Bayangan Iblis dengan mata membelalak. "Kali ini kau
tak akan bisa lolos lagi. Tapi hal itu masih bisa diatur, asalkan kau mau
mengatakan di mana pemuda berjuluk Pendekar Mata
Keranjang 108 itu!"
Wajah perempuan tak bernama berubah merah
padam. "He... he... he...!"
Aneh! Meski baru saja diejek dengan sebutan
'perempuan setan', sesaat kemudian perempuan tua
ini malah tertawa mengekeh panjang.
Ternyata kekehan tawa itu bukan tawa biasa.
Buktinya sesaat kemudian tampak Bayangan Iblis dan
Bayangan Seribu Wajah memejamkan mata masing-
masing sesaat, untuk mengerahkan tenaga dalam. Me-
reka berusaha menangkis suara mengiang keras yang
menusuk-nusuk gendang telinga. Sementara pemuda
berjubah toga merah yang tak lain Malaikat Berdarah Biru tampak tenang. Bahkan
tersenyum mengejek.
Begitu kekehan tawa perempuan tua itu terhenti,
Bayangan Iblis dan Bayangan Seribu Wajah saling berpandangan. Mereka benar-benar
sadar kalau lawan
dihadapi benar-benar tangguh. Belum lama ini, mere-
ka berdua telah berhasil membuat perempuan tak ber-
nama ini terluka parah. Tapi nyatanya, perempuan tua itu masih mampu mengerahkan
tenaga dalam tinggi.
Di pihak lain, perempuan tua juga sedikit terke-
jut. Karena dia sempat melihat kalau Malaikat Berdarah Biru tak terpengaruh sama
sekali oleh tawanya.
"Hmm.... Siapa gerangan pemuda ini" Melihat sikapnya, ilmunya jelas lebih tinggi
daripada Bayangan Iblis dan Bayangan Seribu Wajah. Buktinya dia tak
terpengaruh sama sekali oleh tenaga dalam yang ku
keluarkan...," kata batin perempuan tua itu seraya menatap Malaikat Berdarah
Biru dengan sorot mata
menyelidik. Pada saat yang sama, tiba-tiba Bayangan Iblis te-
lah berkelebat. Dan tahu-tahu dia telah berdiri tegak lima langkah di hadapan
perempuan tua itu.
"Kau jangan memaksaku, Bayangan Iblis! Sudah
kukatakan, aku tak tahu ke mana perginya pemuda
yang kau cari!" tegas perempuan tua itu, mendahului.
"Setan alas! Kau memang ingin mampus!" gertak Bayangan Iblis.
Begitu tuntas kata-katanya, Bayangan Iblis lang-
sung meloncat sambil menghentakkan kedua tangan-
nya ke arah kepala perempuan tua itu.
Wesss...! Begitu tiba-tiba dan cepat serangan Bayangan Ib-
lis, namun perempuan tak bernama masih sempat
menghindar dengan menarik kepalanya ke samping.
Dan belum sampai perempuan tua itu kembali bersiap, mendadak saja Bayangan Iblis
menyusuli serangan
dengan terjangan kaki ke dada. Lalu....
Desss! "Aaakh..,!"
Perempuan tak bernama itu berseru tertahan
dengan tubuh mencelat dua tombak ke belakang. Cu-
kup keras tubuhnya mencium tanah. Dan baru saja
dia hendak bangkit, Bayangan Seribu Wajah telah berkelebat. Lalu, tahu-tahu
sudah berdiri di sampingnya.
"Ratih!" seru perempuan tua itu setelah benar-benar berdiri, menyebut nama asli
Bayangan Seribu
Wajah. "Sadarlah. Meski kau runtuhkan langit dan ke-ringkan lautan, bumbung
bambu itu tak mungkin kau
dapatkan!"
Ratih atau Bayangan Seribu Wajah menyeringai.
Dan tanpa berkata-kata lagi kedua tangannya segera
dihantamkan ke arah perempuan tua.
Wesss...! Wesss...!.
Dua rangkum sinar merah segera meluncur dari
tangan Ratih, menggebrak kakak seperguruannya.
"Hiaaa...!"
Didahului bentakan melengking keras, perem-
puan tua itu cepat mengepakkan kedua tangannya.
Saat itu juga gumpalan asap putih yang menebar aro-
ma bunga tujuh warna segera mengepul. Namun se-
saat kemudian, kepulan asap itu mengeras. Bahkan ti-ba-tiba saja melesat ke
depan, memapak serangan la-
wannya. Blarrr! Seketika terdengar ledakan dahsyat. Tubuh
Bayangan Seribu Wajah tampak terpelanting dan jatuh tersuruk di tanah. Namun
sesaat kemudian dia telah
bangkit, meski mulutnya keluarkan caci maki tak ka-
ruan. Sudut bibirnya tampak menggenang darah. Tan-
gan kanannya merah melepuh. Dan nafasnya berhem-
bus tersengal. Sementara perempuan tak bernama itu hanya
terseret dua langkah ke belakang dengan tubuh tetap tegak kokoh. Bahkan secepat
Darah Dan Cinta Di Kota Medang 8 Sang Fajar Bersinar Di Bumi Singasari Karya Arief Sujana Pendekar Pengejar Nyawa 11
^