Pencarian

Geger Para Iblis 2

Pendekar Mata Keranjang 8 Geger Para Iblis Bagian 2


kilat kedua tangannya
dihantamkan. Dan kali ini yang jadi sasarannya adalah Bayangan Iblis.
"Hih!"
Wesss...! Angin deras bergemuruh dahsyat yang menebar-
kan aroma bunga tujuh warna kembali menggebrak ke
arah perempuan guru dari Malaikat Berdarah Biru.
Bayangan Iblis yang tak menyangka akan men-
dapat serangan sedikit terkejut. Secepat kilat tubuhnya dimiringkan.
Plashhh! "Aaakh...!"
Namun sambaran serangan perempuan tua itu
masih sempat menghantam bahu sebelah kanan
Bayangan Iblis. Disertai keluhan tertahan, Bayangan Iblis terbanting dan
terjengkang jatuh. Jubah hitamnya tampak berlobang dan berbau sangit. Kedua ma-
tanya mendelik dengan napas tersengal-sengal. Namun begitu, Bayangan Iblis tak
mau menyerah begitu saja.
Secepatnya dia bergerak bangkit. Sejenak dipandang-
nya Bayangan Seribu Wajah. Diberinya isyarat dengan angguk-anggukkan kepala
Ratih. Begitu anggukan kepala Bayangan Iblis berhenti,
Bayangan Seribu Wajah mendadak berkelebat. Pada
saat yang hampir bersamaan, Bayangan Iblis berkele-
bat. Sekejap kemudian kedua tokoh sesat ini telah
berdiri berjajar dan langsung menghentakkan kedua
tangan ke depan bersamaan.
Werrr...! Wesss...! Larikan sinar merah hitam menghentak. Sua-
ranya menggemuruh, bagai ombak menggulung. Se-
mentara, perempuan tak bernama itu terbelalak. Dari mulutnya terdengar seruan
tertahan karena tercengang. Rambutnya yang tipis dan awut-awutan tampak
berkibar-kibar. Demikian juga pakaiannya.
Mendapati serangan, perempuan tua ini segera
mengerahkan tenaga dalam sepenuhnya untuk mem-
bendung. Namun bagaimanapun tenaga dalamnya di-
kerahkan, dia hanya bertahan sebentar. Karena....
"Uhhh...!"
Tubuh perempuan tua yang memang masih ter-
luka dalam ini terseret mencelat ke belakang, lalu jatuh terkapar begitu
punggungnya yang bungkuk
menghempas sebatang pohon!
Beberapa lama perempuan tua ini terhenyak
dengan napas sesak. Sekujur tubuhnya terasa tegang
kaku dan remuk redam. Sepasang matanya menger-
jap-ngerjap perih. Telinganya berdengung-dengung
nyeri. Sementara itu Bayangan Seribu Wajah dan
Bayangan Iblis saling berpandangan. Lalu mereka me-
langkah mendekati disertai tawa kemenangan. Se-
dangkan di belakang, Malaikat Berdarah Biru hanya
menyeringai, lalu meludah.
Ketika dekat dengan perempuan tua yang kini
duduk bersila menahan sakit, Bayangan Seribu Wajah
dan Bayangan Iblis menghentikan tawanya. Bayangan
Iblis lantas hendak merengkuh tubuh perempuan tua
ini, bermaksud menyeretnya.
"Hih...!"
Tiba-tiba saja perempuan tua ini melepaskan pu-
kulan yang telah dialiri tenaga dalam tinggi.
Wesss! "Awas serangan!" teriak Bayangan Seribu Wajah memperingati.
Gumpalan asap segera melesat cepat dari telapak
tangan perempuan tak bernama ini mengeluarkan sua-
ra menggidikkan.
Namun karena jaraknya begitu dekat, membuat
Bayangan Iblis tak sempat lagi menghindar. Sehing-
ga.... Desss...!
"Aaakh...!"
Tanpa ampun lagi, serangan perempuan tua ini
telak menghantam dada Bayangan Iblis. Seketika guru Malaikat Berdarah Biru ini
terhumbalang sampai beberapa tombak ke belakang.
Begitu tubuh Bayangan Iblis berhenti dan terka-
par di atas tanah, Bayangan Seribu Wajah serta Malaikat Berdarah Biru
tercengang. Sekujur tubuh Bayan-
gan Iblis tampak telah berubah kebiru-biruan. Dari
mata dan hidungnya keluar darah kehitaman. Pa-
kaiannya telah koyak di sana-sini. Dan dikala mencoba merambat bangkit, tubuhnya
kembali jatuh dan terkapar tak sadarkan diri.
Melihat hal demikian, Bayangan Seribu Wajah
beringsut mundur dua tindak. Tubuhnya sedikit bergetar. Dia sepertinya tahu, tak
akan mampu menghadapi kakak seperguruannya ini sendirian. Meski, kakaknya telah
terluka parah. Berpikir demikian, Bayangan Seribu Wajah ber-
paling pada Malaikat Berdarah Biru. Seakan tahu apa yang ada di benak wanita
ini, pemuda berbaju toga
merah ini segera berpaling dari tubuh gurunya. Wa-
jahnya tampak mengelam dengan pelipis bergerak-
gerak. Dagunya mengembung, dengan sepasang mata
berkilat-kilat menindih hawa amarah yang meluap.
"Heaaa...!"
Disertai bentakan keras, Malaikat Berdarah Biru
berkelebat. Begitu menjejakkan kaki tak jauh dari
tempat perempuan tua, kedua tangannya segera di-
hantamkan, melepaskan dua pukulan sakti. Tangan
kanan melepas pukulan 'Serat Jiwa', sedang tangan ki-ri melepas pukulan 'Badai
Biru'. Wess! Weess! Dua larik sinar merah dan biru yang menebarkan
hawa panas menyengat segera menghajar ke arah pe-
rempuan tua. Sementara dari arah samping, Bayangan
Seribu Wajah tak tinggal diam. Tangannya juga segera menghentak, melepas
pukulan. Wert...! Kini perempuan tua itu terkurung larikan-larikan
sinar yang berhawa maut.
Disadari, jika tak dapat membendung seluruh se-
rangan, maka diputuskan untuk menangkis serangan
Malaikat Berdarah Biru. Karena diduga serangan pe-
muda ini lebih berbahaya.
"Hih...!"
Seketika perempuan tua ini menghantamkan ke-
dua tangannya ke depan. Sementara tubuhnya dimi-
ringkan hampir menyentuh tanah, untuk menghindari
serangan Bayangan Seribu Wajah yang menggebrak
dari samping. Blarr! Blaarr! Puncak Bukit Watu Dakon bagai dilanda gempa
dahsyat. Pohon-pohon di puncak bukit banyak yang
berderak, lalu bertumbangan. Tanah terbongkar hebat dengan berubah menjadi
hitam. Sementara itu tubuh perempuan tua terseret ke
belakang. Sepertinya dia masih bisa bertahan, agar tak terpelanting terkena bias
bentrok pukulannya dengan
pukulan Malaikat Berdarah Biru. Namun gerakannya
untuk bertahan justru membuatnya lupa dengan se-
rangan Bayangan Seribu Wajah yang datang dari
samping. Tatkala dia sadar, datangnya sudah terlam-
bat. Dan.... Desss! Saat itu juga serangan Bayangan Seribu Wajah
menghujam tepat ke dada perempuan tua itu. Tak ter-
dengar suara jeritan dari mulutnya, meski nampak
ternganga lebar! Yang terdengar hanya suara bergede-bukan. Kemudian disusul
tubuhnya yang bergulingan
di tanah. Malaikat Berdarah Biru dan Bayangan Seribu
Wajah seketika membesarkan mata masing-masing.
Mereka hampir tak percaya dengan pandangannya
sendiri. Meski telah terluka parah dan baru saja terhantam telak pukulan
Bayangan Seribu Wajah, pe-
rempuan tua itu masih bisa merambat bangkit. Bah-
kan duduk, walau dengan tubuh lunglai.
Malaikat Berdarah Biru yang serangannya dapat
dibendung perempuan tua itu menggeram marah. Lan-
tas kakinya melangkah lebar-lebar ke arah perempuan tua ini, tanpa lagi
memandang. Dan dua tombak di
hadapan perempuan tua yang sudah nampak tak ber-
daya, langkahnya berhenti. Sejenak matanya meman-
dang tajam, lalu meludah ke tanah. Dan setelah itu ti-ba-tiba kedua tangannya
ditarik ke belakang, siap melepas pukulan.
"Perempuan setan! Kau pantas tewas dengan
membawa kebodohanmu!"
Setelah berkata begitu, Malaikat Berdarah Biru
menghantamkan kedua tangannya ke depan.
Wesss...! Karena tubuhnya telah terluka, perempuan tua
itu tak bisa lagi untuk bergerak menghindar. Dan dia
hanya diam, seolah pasrah menunggu saat kematian.
Namun sedepa lagi hantaman tangan Malaikat
Berdarah Biru menghajar, mendadak berkelebat se-
buah bayangan, lalu berdiri di hadapan perempuan
tua seakan membentengi dari serangan Malaikat Ber-
darah Biru. Anehnya, sosok yang berdiri di depan perempuan
tua itu tak berusaha menangkis. Dia hanya berdiri di-am, sehingga....
Desss...! "Aaakh...!"
Tak pelak lagi, hantaman tangan Malaikat Berda-
rah Biru menggebrak tubuh sosok hingga terpental.
"Kadarwati...," bisik perempuan tua itu lirih.
Guru dari Ratu Pualam Putih ini mencoba berte-
riak agar sosok yang tak lain memang Kadarwati atau Ratu Pualam Putih itu segera
menghindar. Namun dari mulutnya tak terdengar suara. Hingga hanya sepasang
matanya saja yang terpejam tatkala hantaman tangan
Malaikat Berdarah Biru yang bertenaga dalam tinggi
menghajar tubuh Ratu Pualam Putih.
Ratu Pualam Putih telah terkapar di atas tanah
puncak bukit. Keadaannya sudah sangat mengerikan.
Pakaian yang dikenakannya hangus. Sekujur tubuh-
nya menjadi merah biru. Rambutnya rontok. Matanya
mengalirkan darah!
Jauh sebelum Ratu Pualam Putih membentengi
gurunya dari serangan Malaikat Berdarah Biru, dia telah menyuruh seluruh anak
buahnya meninggalkan
bangunan tempat tinggalnya untuk sementara. Semu-
la, wanita berkepala gundul itu menolak. Tapi karena melihat kesungguhan Ratu
Pualam Putih, mereka tak
berani membantah. Maka dengan berat hati mereka
meninggalkan bangunan di puncak Bukit Watu Dakon.
Sementara itu kini Malaikat Berdarah Biru terse-
nyum puas. Sedangkan, Bayangan Seribu Wajah men-
gerling sebentar, lalu melangkah mendekati perem-
puan tua yang kini juga terkapar terkena bias puku-
lan, Malaikat Berdarah Biru.
Bayangan Seribu Wajah segera memeriksa tubuh
perempuan tua itu.
"Hmm.... Nadi tangannya sudah tidak terasa de-
nyutan. Dadanya juga tak terlihat bergerak. Dia sudah tewas...," gumam Bayangan
Seribu Wajah dalam hati, seraya bangkit dan melangkah ke arah Malaikat Berdarah
Biru. "Bagaimana, Bayangan Seribu Wajah?" tanya Malaikat Berdarah Biru.
Bayangan Seribu Wajah menggeleng perlahan.
"Dua-duanya telah tewas!" jelas wanita ini sambil mengerdipkan sebelah matanya.
Malaikat Berdarah Biru mengangguk, lalu berba-
lik melangkah ke arah Bayangan Iblis yang masih terkapar tak sadarkan diri. Di
belakangnya Bayangan Seribu Wajah mengikuti.
"Kita harus segera membawanya. Dia tampak ter-
luka cukup parah!" ujar Malaikat Berdarah Biru tanpa menoleh pada Bayangan
Seribu Wajah yang kini telah
berdiri menjajari.
Bayangan Seribu Wajah tidak menjawab. Hanya
sepasang matanya memandang ke arah Bayangan Iblis
sebentar, lalu beralih pada Malaikat Berdarah Biru.
Tangannya lalu bergerak melingkar ke pinggang
pemuda ini. "Benar. Kita harus membawanya...," ucap Bayangan Seribu Wajah dengan suara
mendesah. Wajah wanita ini lantas mendongak sedikit, den-
gan tumit terangkat. Dan dengan tiba-tiba dipagutnya bibir Malaikat Berdarah
Biru. Sejenak Malaikat Berdarah Biru terkesima. Na-
mun tak lama kemudian dibalasnya pagutan itu den-
gan semangat. Tapi ketika kedua tangan Bayangan Se-
ribu Wajah mulai bergerak menjalar, tangan kokohnya segera menepisnya.
"Jangan berlaku gila di sini...!" sergah Malaikat Berdarah Biru dengan suara
sedikit bergetar. "Waktu kita masih banyak! Kita urus guru dulu...."
Bayangan Seribu Wajah tak menjawab, seperti
tak mendengar teguran Malaikat Berdarah Biru.
"Kau dengar kata-kataku tadi bukan"!" bentak Malaikat Berdarah Biru. "Kita harus
urus tubuh Guru yang masih memerlukan pertolongan dahulu."
Habis berkata, Malaikat Berdarah Biru mene-
piskan tangan Bayangan Seribu Wajah agak keras.
Lantas kakinya melangkah mendekati tubuh gurunya.
Lalu dengan cepat diangkat dan dipanggulnya di atas pundak.
Sementara Bayangan Seribu Wajah yang gejolak
nafsunya terpenggal, jadi cemberut sambil membuang
muka. Namun tatkala Malaikat Berdarah Biru menja-
jarinya dan berbisik perlahan, wajah Bayangan Seribu Wajah berubah cerah. Lantas
digandengnya tangan
Malaikat Berdarah Biru yang memanggul tubuh
Bayangan Iblis. Mereka kini menuruni Bukit Watu Da-
kon. *** 4 Begitu Pendekar Mata Keranjang 108 menghenti-
kan langkahnya ketika melihat dua sosok tubuh ten-
gah menuruni Bukit Watu Dakon. Setelah mengawasi
dengan seksama dan memasang telinga baik-baik, dia
cepat menyelinap ke balik semak belukar.


Pendekar Mata Keranjang 8 Geger Para Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Gerakan dua sosok itu amat cepat, sehingga se-
bentar saja telah dekat dengan Pendekar Mata Keran-
jang 108. Ketika telah jelas tampang dua sosok yang sedang menuruni bukit,
sepasang mata Aji terbelalak lebar. "Hmm.... Malaikat Berdarah Biru... Bayangan
Seribu Wajah...," gumam Pendekar Mata Keranjang 108
dalam hati. Matanya yang tajam memperhatikan lebih
seksama lagi. "Hmm.... Mereka sepertinya telah saling kenal baik. Bahkan
nampaknya tengah jatuh cinta.
Tapi Malaikat Berdarah Biru membawa seseorang....
Siapa dia" Dan orang itu tampaknya terluka...."
Sambil terus memperhatikan, Pendekar Mata Ke-
ranjang 108 berpikir keras.
"Melihat ada yang terluka, pasti telah terjadi sesuatu di atas sana....
Sebaiknya aku menghindar da-
hulu bertemu dengan mereka. Aku khawatir pada Ratu
Pualam Putih. Jangan-jangan...."
Pendekar Mata Keranjang 108 tidak meneruskan
kata hatinya. Pada saat yang sama Bayangan Seribu
Wajah dan Malaikat Berdarah Biru tepat melintas tak jauh dari tempatnya. Sejenak
ditahannya napas dengan lebih merundukkan kepala.
Hanya beberapa saat setelah mereka melintas,
Pendekar Mata Keranjang 108 segera berkelebat. Dan
dengan ilmu meringankan tubuh yang telah sangat
tinggi, dia berlari kencang mendaki arah puncak bukit.
Sampai di puncak bukit, sepasang mata Aji lang-
sung mendelik dengan raut wajah berubah. Sepasang
kakinya bagai tiang besi terpancang kokoh, berat untuk digerakkan.
"Ratu Pualam Putih!" teriak Pendekar Mata Keranjang 108 keras
Saat itu juga, Aji melompat ke arah tubuh Ratu
Pualam Putih yang tampak terbujur kaku dalam kea-
daan mengenaskan. Diguncang-guncangnya tubuh ka-
ku wanita cantik itu, namun sudah tak lagi bergerak.
Cepat Pendekar Mata Keranjang 108 mencoba menge-
rahkan tenaga dalam, dan menyalurkannya pada dada
Ratu Pualam Putih. Tapi, sia-sia. Wanita ini tetap tak bergeming sedikit pun.
"Apa yang telah terjadi" Pasti ini perbuatan Malaikat Berdarah Biru dan Bayangan
Seribu Wajah! Ke-
parat! Aku tak akan tinggal diam. Aku akan membuat
per-hitungan dengan mereka. Perbuatan mereka sudah
melampaui batas!"
Selagi Pendekar Mata Keranjang 108 berkata pa-
da diri sendiri dengan menahan rasa amarah yang
menggebu, terdengar erangan menyayat. Bagai kilat
tubuhnya segera berkelebat ke arah sumber suara
erangan. Untuk kedua kali pendekar murid Wong Agung
ini dibuat terbeliak tak berkedip. Bahkan sepasang kakinya tampak goyah, karena
bergetar hebat.
Di samping sebuah pohon besar yang tumbang,
tampak tubuh perempuan tua berpakaian compang-
camping terkapar mandi darah. Dadanya yang tak lagi tertutup, naik turun
menghembuskan napas satu-satu
tak beraturan. "Eyang...," teriak Pendekar Mata Keranjang 108
seraya melompat mendekati. "Eyang..., aku Aji. Bertahanlah! Aku akan
menolongmu...."
Dada perempuan tua itu berhenti bergerak.
Erangannya pun sesaat tak lagi terdengar. Kelopak
matanya yang telah cekung dan berdarah, membuka
perlahan. Namun sesaat kemudian kembali memejam.
"Eyang...," panggil Aji lagi.
"Aji...," sebut perempuan tua itu perlahan, hampir tak terdengar. Tangannya
bergerak seakan meng-
gapai. "Kau telah mempelajari isi bumbung bambu itu...?"
Aji mengangguk "Sudah, Eyang...."
Pendekar Mata Keranjang 108 berkata agak ke-
ras, khawatir perempuan tua itu tak bisa mendengar
suaranya. Karena, ternyata dari lobang telinganya telah mengalir pula darah
berwarna kehitaman.
Perempuan tua itu menarik napas panjang. Bi-
birnya yang kecil tersenyum meski sepasang matanya
masih tetap terpejam.
"Bagus. Pergunakanlah sebaik-baiknya apa yang
ada padamu. Hanya itu pesanku.... Dan jika aku me-
ninggal, kuharap sudilah kau menyandingkan kubur-
ku dengan kubur Kadarwati.... Dan..., satu lagi....
Kau..., harus cepat bertindak sebelum para iblis itu merajalela...," ujar
perempuan tak bernama.
Habis berkata begitu, bibir perempuan tua itu
terkatup rapat. Nafasnya tak lagi berhembus. Aji coba menyalurkan tenaga dalam.
Namun begitu tangannya
menempel, tubuh perempuan tua itu sudah terasa
dingin. "Eyang...," teriak Aji melengking.
Tubuh Pendekar Mata Keranjang 108 lantas ter-
duduk lemas dengan sepasang mata nanar, meman-
dangi tubuh di depannya. Lalu tatapannya beralih pa-da tubuh Ratu Pualam Putih.
Kedua tangannya men-
gepal dan diangkat ke atas.
"Bayangan Seribu Wajah! Malaikat Berdarah Bi-
ru! Tunggulah saatnya. Kalian tak akan lolos lagi!" desis Pendekar Mata
Keranjang 108. Senja sudah turun melingkupi puncak Bukit Wa-
tu Dakon. Delapan anak buah Ratu Pualam Putih yang
semula diperintahkan menyingkir oleh pimpinan mere-
ka, kini telah kembali dengan wajah tersaput kedu-
kaan dan kekecewaan. Namun mereka tak bisa ber-
buat apa-apa. Karena bagi mereka, pantang untuk
menentang perintah pimpinan.
Dibantu delapan wanita berkepala gundul itu,
Pendekar Mata Keranjang 108 selesai memakamkan
jenazah perempuan tua dan Ratu Pualam Putih. Dan
seperti pesan perempuan tua, kuburan mereka disan-
dingkan. Setelah delapan anak buah Ratu Pualam Putih
masuk ke dalam bangunan, Pendekar Mata Keranjang
108 masih tetap duduk di atas makam yang masih ba-
ru ini dengan wajah muram. Sesekali ditariknya napas dalam-dalam dan
dihembuskannya perlahan-lahan.
Bayangan wajah Ratu Pualam Putih dan perempuan
tua itu terus terbayang di pelupuk matanya.
"Ratu Pualam Putih...," bisik Pendekar Mata Keranjang 108. "Maafkan, aku telah
terlambat menyela-matkanmu. Namun, percayalah. Mereka yang berbuat
kejam padamu akan menerima balasan setimpal. Dan
aku juga minta maaf, karena belum bisa menepati janji ku padamu...."
Aji mengusap wajahnya dengan telapak tangan,
lalu menarik napas panjang dan dalam.
"Ratu Pualam Putin...,"lanjut Aji. "Aku merasa memerlukanmu, begitu kau telah
pergi. Ah! Segalanya memang tak ada gunanya lagi. Tapi bagaimanapun ju-ga, kau
akan tetap kusimpan di hatiku...."
Kenangan pemuda ini lantas beralih pada perem-
puan tua itu. Seorang tua aneh yang telah memberi
bumbung bambu padanya.
"Eyang.... Aku berjanji di depan makammu, akan selalu menuruti kata-kata yang
kau pesankan. Menumpas para iblis keparat itu, dan mengamalkan apa
yang telah ku peroleh untuk kebaikan umat manu-
sia...," desah Pendekar Mata Keranjang 108.
Malam terus beranjak. Namun, rupanya Pende-
kar Mata Keranjang 108 tak hendak beranjak juga dari makam dua wanita yang patut
dihormatinya. Dia tetap duduk merenung. Hingga mungkin karena tubuh dan
pikiran terlalu lelah, akhirnya dia jatuh tertidur.
"Aji...."
Sebuah suara terdengar sayup-sayup memanggil.
Pendekar Mata Keranjang 108 sepertinya tak asing lagi dengan suara itu. Suara
orang yang telah dikenalnya dengan baik. Begitu wajahnya berpaling, tampak Wong
Agung berdiri tak jauh di hadapannya.
"Eyang Wong Agung...," seru Aji, seraya menjura hormat.
Guru Pendekar Mata Keranjang 108 ini terse-
nyum. Kepalanya mengangguk.
"Aji.... Dalam rimba persilatan keadaan memang datang silih berganti. Ada
kalanya keadaan datang
membawa kesenangan, dan tak jarang pula membawa
kedukaan. Sebagai ksatria, kau harus bisa menerima
kenyataan ini. Inilah hidup! Dan sebagai ksatria, pantang juga meneteskan air
mata hanya karena kenya-
taan. Kau harus tegar. Apa pun kenyataan yang terja-di!" kata Wong Agung dengan
suara berat. Sejenak Wong Agung menghentikan ucapannya.
Wajahnya menatap jauh ke depan.
"Aji! Aku melihat burung gagak terbang ke arah utara, dan hinggap di atas tempat
Ageng Panangkaran.
Burung gagak adalah perlambang alam kegelapan. Aku
khawatir, sesuatu terjadi pada paman Ageng Panang-
karan. Pergilah kau ke tempatnya. Dan, harap ingat
ucapanku. Tegarlah menghadapi kenyataan...," lanjut Wong Agung.
Setelah berkata begitu, Wong Agung tersenyum.
Dan perlahan-lahan tubuhnya menghilang dari hada-
pan Pendekar Mata Keranjang 108.
Aji tersentak. Dan dia mendapatkan dirinya ma-
sih duduk di atas makam Ratu Pualam Putih dan pe-
rempuan tua itu.
"Hmm.... Aku bermimpi...," gumam Aji termangu.
Kedua matanya segera dikucek-kucek. Begitu matanya
terang, Pendekar Mata Keranjang 108 sedikit terkejut, Karena, ternyata sinar
matahari sudah mulai mengin-tip dari balik gunung.
Perlahan-lahan Pendekar Mata Keranjang 108
berdiri. Matanya memandang berkeliling, dan berujung pada dua makam di
sampingnya. "Ratu Pualam Putih dan Eyang.....Aku pergi sekarang. Damailah kalian...."
Setelah berucap begitu, Pendekar Mata Keranjang
108 melangkah meninggalkan puncak Bukit Watu Da-
kon. "Mimpi ku tadi malam, adalah sebuah isyarat.
Aku harus segera ke tempat Eyang Ageng Panangka-
ran. Bukan tak mungkin para iblis itu menuju ke sana, untuk mencariku...," gumam
Aji. Pendekar Mata Keranjang 108 terus berkelebat,
dan kini tiba di lereng bukit.
"Kalau aku ke sana, pasti bertemu Sakawuni.
Lantas, bagaimana jika nantinya Eyang Ageng Panang-
karan meminta ku untuk..., ah! Itu urusan nanti. Yang penting, aku menemui Eyang
Ageng Panangkaran...,"
lanjut Aji, Pendekar Mata Keranjang 108 terus melangkah
menuju arah utara, arah tempat Ageng Panangkaran
berada. Yakni, Lembah Baka.
*** Dua penunggang kuda langsung menghentikan
tunggangan masing-masing ketika di depan terhampar
sebuah lembah agak luas. Lembah ini telah banyak dikenal orang. Selain karena
pemandangannya indah, di lembah ini juga hidup seorang tokoh silat berkepandaian
tinggi yang bersifat ramah dan suka menolong.
Dia tak lain tokoh bernama Ageng Panangkaran.
"Inilah Lembah Baka, Malaikat Berdarah Biru!
Tempat orang yang kita cari!" jelas penunggang kuda di sebelah kanan, yang
ternyata seorang gadis berwajah cantik jelita. Rambutnya yang panjang dikuncir
ke atas. Pakaian yang dikenakannya berwarna merah dan
begitu ketat, menampakkan tubuhnya yang memben-
tuk indah. "Tapi, apakah Pendekar Mata Keranjang 108 be-
rada di sini?" tanya penunggang kuda di sebelah kiri yang ternyata Malaikat
Berdarah Biru. "Tujuan kita kemari bukan untuk mencari Pen-
dekar Mata Keranjang 108, namun untuk menghabisi
penghuni Lembah Baka ini. Dengan begitu, Pendekar
Mata Keranjang 108 pasti akan mencari kita. Karena, penghuni tempat ini adalah
salah satu gurunya.... Sekaligus, untuk membalas atas perbuatan Pendekar
Mata Keranjang 108 yang menewaskan para pemban-
tumu!" jawab gadis berbaju merah yang tak lain Bayangan Seribu Wajah sambil
mengerling. Sementara pemuda kekar dengan dagu kokoh ini
hanya menyorot tajam dengan matanya. Dibalasnya
kerlingan itu dengan senyum buas.
"Tapi kita harus berhati-hati. Ageng Panangkaran adalah tokoh tersohor...!"
sambung Bayangan Seribu Wajah.
"Phuih...!"
Malaikat Berdarah Biru berpaling, langsung me-
ludah ke tanah mendengar kata-kata gadis di sam-
pingnya. Wajahnya berubah merah padam. Pelipisnya
bergerak-gerak dengan dagu semakin mengembang.
"Malaikat Berdarah Biru! Kau jangan terburu marah," sambung Bayangan Seribu
Wajah perlahan, begitu melihat gelagat tak baik. "Aku percaya, meski Ageng
Panangkaran mempunyai nama besar, namun diband-ing dirimu, dia tidak ada apa-
apanya!" "Hmm...."
Hanya itu yang kemudian terdengar dari mulut
Malaikat Berdarah Biru. Kembali kepalanya berpaling pada Bayangan Seribu Wajah.
"Ayo kita teruskan perjalanan. Akan kubuktikan bahwa nama besar Ageng
Panangkaran tidak berarti
banyak bagi Malaikat Berdarah Biru, calon pemimpin
rimba persilatan!" ajak Malaikat Berdarah Biru dengan sikap jumawa.
Mereka lantas menghela kuda tunggangan mas-
ing-masing, menuju ke Lembah Baka. Namun baru sa-
ja mencapai tengah lembah....
"Jika kalian berniat tidak baik, kuharap lekas tinggalkan tempat ini!"
Mereka berdua dikejutkan suara teguran yang ti-
ba-tiba saja bergaung.
Malaikat Berdarah Biru dan Bayangan Seribu
Wajah sekonyong-konyong menghentikan kuda tung-
gangan masing-masing. Mereka saling berpandangan.
Bayangan Seribu Wajah nampak terkejut besar. Se-
mentara Malaikat Berdarah Biru tetap berlaku tenang.
Malah kepalanya segera mendongak.
"Jahanam! Perlihatkan bentuk mu! Jangan hanya
berkata dari balik tempat persembunyian seperti seorang pengecut!" bentak
Malaikat Berdarah Biru, keras.
Bentakan Malaikat Berdarah Biru dilanjutkan
dengan tawa mengekeh. Namun tiba-tiba saja kekehan
tawanya berhenti. Suasana hening sejenak.


Pendekar Mata Keranjang 8 Geger Para Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"He...! Cepat tunjukkan dirimu! Mari kita buktikan siapa di antara kita yang
patut menyandang nama
besar!" lanjut Malaikat Berdarah Biru kembali.
"Ha... ha... ha...!"
Terdengar suara tawa membahana panjang, lalu
gema suara itu lenyap.
"Rupanya kalian datang menginginkan nama be-
sar. Ah! Sungguh sayang sekali. Hari ini aku tak menjual nama besar itu. Maka
dari itu, lekaslah tinggalkan tempat ini. Kalian salah alamat jika datang ke
sini dengan menginginkan nama besar...!" lanjut suara itu.
"Setan alas!" desis Malaikat Berdarah Biru dengan raut mengelam. Kedua tangannya
mengepal. Alis matanya menukik saling bertautan. Gerahamnya ge-
meletak menekan rasa geram.
"Kulihat kalian tidak tuli. Lantas kenapa masih berdiri di situ?" terdengar lagi
suara tanpa terlihat sosok yang berucap.
Suasana hening seketika. Ekor mata Malaikat
Berdarah Biru melirik sebentar, lalu tiba-tiba tubuhnya berkelebat cepat.
Gerakannya diikuti oleh Bayangan Seribu Wajah. Dan tahu-tahu mereka telah
berdiri sambil berkacak pinggang di sebelah sebuah batu besar. Sepasang matanya
menyapu berkeliling, namun
tak menemukan siapa-siapa.
"Jahanam busuk! Rupanya kau takut menghada-
piku...!" maki Malaikat Berdarah Biru.
"Apa yang perlu ditakutkan?"
Tiba-tiba saja terdengar sahutan, membuat Ma-
laikat Berdarah Biru segera berpaling. Demikian juga Bayangan Seribu Wajah.
Kedua orang ini sama-sama terperangah. Di de-
kat kuda mereka berdua tadi, tampak berdiri tegak seseorang sambil mengulas
senyum. Dia adalah seorang
laki-laki berusia lanjut. Rambutnya panjang sudah
memutih. Demikian pula jenggotnya. Meski telah be-
rumur, namun bekas ketampanan masih tergambar je-
las di wajahnya.
"Siapa kau"!" bentak Malaikat Berdarah Biru, mengawasi tanpa berkedip.
Yang ditanya hanya tersenyum, tanpa membuka
mulut. Dan ini membuat amarah Malaikat Berdarah
Biru. Segera jubah toganya dikibaskan.
Wuuut! Wuuuttt!
Dua hempasan angin kencang dari kibasan jubah
toga Malaikat Berdarah Biru menggebrak cepat. Na-
mun hanya dengan sedikit memiringkan tubuhnya
tanpa me-rubah kedua kakinya, sambaran angin itu
hanya lewat satu depan di samping laki-laki berusia lanjut ini.
"Sebelum kau menyesal, lekas jawab pertanyaan-
ku!" bentak Malaikat Berdarah Biru kembali.
"Sebagai tuan rumah, mestinya aku yang layak
bertanya pada kalian. Siapa kalian sebenarnya"! Dan, apa maksudmu datang ke
sini!" Malaikat Berdarah Biru mendengus keras. Wa-
jahnya dipalingkan ke samping. Sementara Bayangan
Seribu Wajah tertawa perlahan bernada mengejek.
"Dengar, Orang Tua! Aku adalah Bayangan Seri-
bu Wajah. Sedang temanku itu adalah calon pemimpin
tunggal rimba persilatan, yang sudah mempunyai na-
ma besar. Orang-orang dunia persilatan menggelarinya sebagai Malaikat Berdarah
Biru!" Laki-laki berusia lanjut yang tak lain Ki Ageng
Panangkaran terperangah kaget. Kedua kakinya be-
ringsut mundur satu tindak ke belakang. Dia memang
belum pernah bertemu Bayangan Seribu Wajah dan
Malaikat Berdarah Biru. Namun sebagai seorang tokoh yang pernah malang melintang
dalam rimba persilatan, nama-nama tokoh yang kini ada di hadapannya pernah
didengarnya. Dia juga telah mendengar bahwa me-
reka adalah tokoh sesat yang bengis dan licik.
Melihat laki-laki di hadapannya beringsut mun-
dur, Malaikat Berdarah Biru tersenyum menyeringai
penuh ejekan. Sedangkan Bayangan Seribu Wajah se-
makin keras tawanya.
"Malaikat Berdarah Biru...!" kata Bayangan Seribu Wajah. "Si tua inilah yang
kita cari!"
"Aku sudah tahu!" jawab Malaikat Berdarah Biru tanpa menoleh. Sepasang matanya
lurus menatap tajam Ki Ageng Panangkaran.
"Apa perlu mereka mencariku..." Apa ada hubun-
gannya dengan Aji?" kata batin Ki Ageng Panangkaran.
Laki-laki tua ini memandang satu persatu pada
dua orang di hadapannya.
"Aku sudah dengar nama-nama kalian. Dan aku
sangat gembira bisa bertemu orang-orang hebat seperti kalian. Tapi kalau aku
boleh tahu, ada urusan apakah yang membuat orang-orang besar seperti kalian
datang ke tempat sunyi seperti ini"!" tanya Ki Ageng Panangkaran.
"Aku menginginkan nyawamu!" serobot Bayangan Seribu Wajah dengan mendelik.
"Benar! Kami ingin nyawamu. Namun, itu bisa di-tangguhkan jika kau mengatakan
dimana Pendekar
Mata Keranjang 108!" timpal Malaikat Berdarah Biru sambil melangkah mendekati Ki
Ageng Panangkaran.
Mendengar kata-kata dua orang di hadapannya,
Ki Ageng Panangkaran tersenyum. Sementara diam-
diam, dalam hatinya terselip perasaan sedikit gentar.
"Kalian datang ke tempat yang salah jika mena-
nyakan keberadaan Pendekar Mata Keranjang 108!
Aku sudah tua, dan sudah tak pernah ikut campur lagi segala macam persoalan
dunia persilatan. Jadi, hara-pan kalian mungkin tak bisa aku penuhi. Dan di satu
sisi aku pun tak mau dipaksa demikian rupa dengan
segala macam ancaman!" sahut Ki Ageng Panangkaran,
berusaha menindih rasa gentarnya.
"Jangan berdusta di hadapan kami. Dan, ingat!
Ancaman kami tidak main-main. Sekarang katakan sa-
ja, di mana Pendekar Mata Keranjang 108. Maka nya-
wamu akan selamat!" desak Bayangan Seribu Wajah seraya melangkah menjajari
Malaikat Berdarah Biru.
"Sayang sekali, aku tak bisa menjawabnya!" sahut Ki Ageng Panangkaran dengan
sikap waspada. Dia
merasa ancaman Malaikat Berdarah Biru dan Bayan-
gan Seribu Wajah tidak hanya sekadar gertakan.
Mendengar jawaban Ki Ageng Panangkaran, Ma-
laikat Berdarah Biru tertawa tergelak-gelak.
"Kau layak segera masuk liang kubur!" kata Malaikat Berdarah Biru ketika tawanya
berhenti. Seketika Malaikat Berdarah Biru mendorongkan
kedua telapak tangannya ke depan. Dorongan itu se-
pertinya pelan. Namun hebatnya....
Werrr...! Satu gelombang pusaran angin deras yang berde-
rak-derak keras menyambar cepat ke arah Ki Ageng
Panangkaran. "Hup!"
Ki Ageng Panangkaran yang sudah waspada sege-
ra melesat cepat ke arah samping untuk menghindar.
Lalu seketika dia balas menggempur dengan menghen-
takkan kedua tangannya.
"Hih...!"
Werrr...! Serangkum angin menggemuruh dahsyat yang
menebarkan hawa dingin menusuk melesat ke arah
Malaikat Berdarah Biru.
Mendapati serangan, manusia kejam yang diken-
al suka perempuan dan berilmu tinggi ini mendongak-
kan kepala sambil mendengus. Dia tidak berusaha
menghindar dari serangan. Bahkan sepertinya tidak
menganggap bahaya serangan Ki Ageng Panangkaran.
Baru ketika satu depa lagi serangan laki-laki tua
itu menggebrak, Malaikat Berdarah Biru menarik ke-
dua tangannya ke belakang. Dan seketika dihampar-
kannya ke depan.
Wusss...! Angin kencang berhawa dingin yang menyambar
dari telapak tangan Ki Ageng Panangkaran langsung
menghilang musnah, tersapu sambaran angin yang ke-
luar dari sentakan tangan Malaikat Berdarah Biru.
Dan sekejap itu juga, tubuh pemuda murid Bayangan
Iblis ini berputar cepat. Lalu didahului bentakan ram-pak, kedua tangannya
menghentak hampir berbaren-
gan. Wesss...! Wusss...! Larikan sinar merah dan biru dari pukulan sakti
'Serat Jiwa' dan 'Badai Biru' menghempas ke arah Ki Ageng Panangkaran.
Werrr...! Sementara pada saat yang sama, Bayangan Seri-
bu Wajah yang dari tadi hanya diam memperhatikan,
kini juga ikut-ikutan mengirimkan serangan. Mereka
berdua sepertinya ingin segera menyudahi Ki Ageng
Panangkaran. Seketika Ki Ageng Panangkaran tercekat kaget.
Dia tak menduga jika akan dikeroyok demikian rupa.
Namun, laki-laki tua ini tak bisa berpikir lebih lama lagi. Karena, larikan-
larikan sinar merah dan biru, serta gelombang angin sentakan Bayangan Seribu
Wajah, telah merambah ke arahnya dari empat jurusan!
Ki Ageng Panangkaran cepat menakupkan kedua
tangannya di depan wajah. Matanya langsung dipejam
rapat-rapat. Dan mendadak kedua tangannya dibuka
didorong ke depan sambil diputar-putar.
Malaikat Berdarah Biru dan Bayangan Seribu
Wajah tidak merasakan adanya sambaran angin ken-
cang. Mereka hanya mendengar suara perlahan seperti desisan. Namun kedua orang
berilmu tinggi ini dibuat tak percaya dengan apa yang terjadi. Ternyata serangan
hebat keduanya seperti terkena kekuatan dahsyat dan berhenti secara tiba-tiba!
Malaikat Berdarah Biru membanting-banting ke-
dua kakinya, menahan geram. Sedang Bayangan Seri-
bu Wajah terbeliak marah.
"Heaa...!"
Mereka sama-sama mengeluarkan bentakan
menggemuruh, dan serentak pula kembali mengirim-
kan serangan susulan.
Wesss...! Wusss...! Tapi untuk kedua kali kedua orang ini dibuat
terkejut. Serangan mereka ternyata tak bisa menerobos pertahanan lawan. Malah
ketiga Ki Ageng Panangkaran mengibaskan kedua tangannya ke depan, mereka
terkesima. Karena, serangan mereka mental balik. Bah-
kan melesat ke arah mereka sendiri.
Werrr...! "Menyingkir!" seru Malaikat Berdarah Biru memperingati Bayangan Seribu Wajah
seraya melompat
menghindar. Namun, peringatan itu datangnya terlambat.
Bayangan Seribu Wajah yang seperti tercengang tak
percaya, lamban untuk berkelit. Akibatnya...
Prasss...! "Aaakh...!"
Tak ampun lagi tubuh wanita itu terterabas se-
rangannya sendiri. Seketika tubuhnya mencelat diirin-gi jeritan dari mulutnya.
Begitu menghempas di atas tanah, Bayangan Se-
ribu Wajah melotot tajam. Wajahnya merah padam
dengan bibir mengembung. Gadis ini lantas bangkit,
dan meludah. Tampak cairan berwarna merah keluar
dari mulutnya yang mengembung.
"Keparat edan! Kubunuh kau!" maki Bayangan Seribu Wajah seraya berkelebat cepat
sambil mengirimkan pukulan.
Sementara Malaikat Berdarah Biru menggertak-
kan rahang. Hatinya panas melihat dua kali serangannya dapat dibendung dengan
mudah. "Waktunya ku coba ilmu dari kitab hitam...!" kata batin Malaikat Berdarah Biru.
Pemuda ini segera memalangkan kedua tangan-
nya di depan dada. Lantas tangan kanannya menyu-
sup ke balik baju. Dan sebentar kemudian di tangan
kanannya telah tergenggam kipas berwarna hitam yang ujung sebelahnya terkikis.
Sementara itu Ki Ageng Panangkaran tampak
berkelebat menjauh, menghindari serangan Bayangan
Seribu Wajah. Sampai saat ini pun serangan yang di-
lancarkan Bayangan Seribu Wajah hanya menghantam
tempat kosong. Saat itulah Malaikat Berdarah Biru segera men-
dorong tangan kirinya. Sementara tangan kanan men-
gibaskan kipas hitamnya.
Wuuut...! Blarrr....! Suasana mendadak redup hitam, dan disusul
oleh terdengarnya suara menggemuruh bagai gelom-
bang dahsyat yang disertai kilatan-kilatan mena-
kutkan! Inilah jurus kelima dari kitab hitam ciptaan Empu Jaladara, yakni
pukulan 'Bayu Sukma'.
Ki Ageng Panangkaran yang baru saja menjejak-
kan kedua kakinya setelah berhasil menghindarkan di-ri dari pukulan Bayangan
Seribu Wajah kontan terpe-
rangah. Dia hampir tidak percaya. Dahinya berkerut
dengan mata menyipit dan terbelalak.
"Celaka! Jadi dia yang telah berhasil menda-
patkan kitab dan kipas pusaka kedua milik Empu Ja-
ladara! Ah!, Semoga saja Aji telah pula berhasil mendapatkan jurus pemusnahnya.
Karena jika tidak, du-
nia persilatan akan mengalami sebuah sejarah hi-
tam...," desis Ki Ageng Panangkaran.
Ki Ageng Panangkaran tidak bisa lagi mene-
ruskan kata batin. Karena, pukulan sakti Malaikat
Berdarah Biru telah berarak menuju ke arahnya. Den-
gan segenap tenaga, dia menghempaskan diri bergu-
lingan di atas tanah. Dan bersamaan dengan itu, dilepaskannya satu pukulan untuk
menghadang. Blarrr! "Aaakh...!"
Lembah Baka bagai diguncang gempa dahsyat.
Gelegarnya mampu membuat tanah di tempat itu ter-
bongkar dan rengkah-rengkah hitam. Sementara tu-
buh Ki Ageng Panangkaran terlempar deras sampai ti-
ga tombak disertai kekehan tertahan. Kedua tangan-
nya yang digunakan untuk menghadang serangan Ma-
laikat Berdarah Biru lunglai tak bisa digerakkan. Dadanya berdebar nyeri dengan
kedua kaki bergetar he-


Pendekar Mata Keranjang 8 Geger Para Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bat. Sementara jubah yang dikenakan tampak koyak di sana-sini.
"Ha... ha... ha...!"
Malaikat Berdarah Biru yang tidak bergeming
sama sekali mengeluarkan tawa bergerai-gerai.
"Hmm.... Luar biasa! Aku tak mengira jika ilmu ini demikian hebatnya!" seru
batin Malaikat Berdarah Biru sambil tersenyum puas.
Namun senyum pemuda itu mendadak berganti
seringai, tatkala Ki Ageng Panangkaran terlihat bangkit berdiri seraya siap
melepaskan pukulan jarak jauh.
"Orang tua ini hebat juga pertahanan tubuhnya!
Akan ku coba sekali lagi, apakah dia masih bisa menahan pukulan 'Bayu Sukma'!"
kata Malaikat Berdarah Biru dalam hati, seraya melangkah ke arah Ki Ageng
Panangkaran. Sementara itu, Bayangan Seribu Wajah cepat
mundur dari gelanggang pertarungan. Dan kini dia
hanya melihat dari jarak agak jauh.
"Tua bangka bau kubur! Umurmu tinggal lima
kejapan mata. Jika kau bisa tunjukkan di mana Pen-
dekar Mata Keranjang 108, umurmu akan ku perpan-
jang!" kata Malaikat Berdarah Biru dengan jumawa sambil berkipas-kipas.
Ki Ageng Panangkaran yang tampaknya telah ter-
luka, tersenyum ramah menyembunyikan rasa nyeri
yang mendera dada serta kedua tangannya. Namun
matanya tak hendak berpaling dari bola mata Malaikat Berdarah Biru.
"Kau bukan penentu umur manusia. Lebih baik
mati bagiku, daripada hidup menebar kekejian seperti kau!" tegas Ki Ageng
Panangkaran. "Jahanam!" maki Malaikat Berdarah Biru.
Segera pemuda itu mendorong tangan kirinya ke
depan. Sedang tangan kanannya memutar kipas den-
gan cepat. Wesss...! Werrr...! Di lain pihak, meski Ki Ageng Panangkaran mera-
sa tak bisa menandingi pukulan sakti Malaikat Berdarah Biru, namun tak mau
menyerah begitu saja. Sege-
ra pula seluruh tenaga dalamnya dikerahkan pada ke-
dua tangannya. "Heaaa...!"
Disertai bentakan keras Ki Ageng Panangkaran
menghantamkan kedua tangannya, memapak seran-
gan Malaikat Berdarah Biru.
Werrr! Glarrr! Brattt...! Terdengar gelegar hebat, disusul melayangnya
tubuh Ki Ageng Panangkaran. Begitu terkapar di atas tanah, pakaian laki-laki tua
ini tak karuan. Sekujur badannya bermandikan darah. Sebentar tubuh itu masih
bergerak-gerak, namun tak lama diam tak berkutik lagi. Sebentar Malaikat
Berdarah Biru memandangi
mayat Ki Ageng Panangkaran. Dan ketika telinganya
mendengar suara langkah kaki, dia menoleh. Ternyata Bayangan Seribu Wajah telah
setengah tombak di de-katnya.
"Kau pantas memimpin dunia persilatan! Dan se-
karang aku merasa pasti, kau kelak pasti dapat men-
galahkan Pendekar Mata Keranjang 108...," puji Bayangan Seribu Wajah.
Yang, dipuji mengembangkan cuping hidungnya.
Ekor matanya melirik ke arah dada Bayangan Seribu
Wajah yang sepertinya nampak sengaja dibusungkan.
"Hmmm.... Ayo kita pulang!" ajak Malaikat Berdarah Biru.
"Tapi...."
Bayangan Seribu Wajah tidak meneruskan kata-
katanya, karena saat itu juga Malaikat Berdarah Biru telah meraih tubuhnya.
Seketika dipanggulnya tubuh
ramping itu meninggalkan tengah lembah menuju ku-
da tunggangan mereka.
*** 5 "Burung gagak adalah perlambang alam kegela-
pan...." Kata-kata Wong Agung dalam mimpi terngiang-
ngiang di telinga Pendekar Mata Keranjang 108.
"Hmm.... Alam kegelapan.... Apa maksudnya?"
gumam Aji saat dalam perjalanan ke Lembah Baka,
tempat tinggal Ki Ageng Panangkaran. "Alam kegelapan.... Alam kegelapan tak ada
lain, kecuali alam kubur. Eyang Wong Agung melihat alam kegelapan di
tempat tinggal Ki Ageng Panangkaran. Berarti beliau sedang dalam keadaan...."
Pendekar Mata Keranjang 108 tak meneruskan.
Larinya makin dipercepat disertai ilmu meringankan
tubuh yang sudah sangat tinggi.
Begitu menginjak Lembah Baka, Pendekar Mata
Keranjang 108 agak mengurangi kecepatan larinya.
"Semoga tak terjadi apa-apa pada Eyang Ageng
Panangkaran...," bisik Aji sambil terus melangkah dengan sepasang mata terus
menebar ke sekeliling.
Mencapai tengah lembah, dada Aji bergetar. Se-
pasang mata dan telinganya lebih dipertajam. Di tempat itu pemuda ini melihat
tanahnya porak poranda
seperti habis terjadi perkelahian. Dan kepalanya bagai tak bisa digerakkan lagi,
tatkala sepasang matanya ter-tumbuk pada sosok berjubah koyak-koyak bermandi
darah. "Eyang...," jerit Pendekar Mata Keranjang 108, seraya cepat menghambur.
Yang dipanggil diam saja. Bahkan tatkala Pende-
kar Mata Keranjang 108 mendekat dan mencoba
mengguncang tubuhnya, sosok yang tak lain Ki Ageng
Panangkaran tetap diam:
Pendekar Mata Keranjang 108 menengadahkan
kepalanya memandang langit. Dadanya bergetar hebat.
Tangannya mengepal dengan otot-otot menggurat jelas.
Jakunnya naik turun tak beraturan. Matanya meme-
jam dengan bibir saling menggigit.
"Mereka benar-benar kejam! Apa yang mereka in-
ginkan hingga sampai hati berbuat keji pada orang
yang tak bersalah" Kalau mereka mencariku, kenapa
mesti berbuat kejam pada orang yang telah kuanggap
sebagai guru-guruku?" desis Pendekar Mata Keranjang 108 dalam hati.
Pendekar Mata Keranjang 108 lantas duduk ber-
simpuh di samping tubuh Ki Ageng Panangkaran. Di-
pandanginya tubuh bermandi darah di hadapannya.
Tiba-tiba mata Pendekar Mata Keranjang 108
membesar, ketika melihat di saku jubah Ki Ageng Pa-
nangkaran yang sudah tak karuan terdapat robekan
kain berwarna merah. Dengan tangan gemetar, dipun-
gutnya robekan kain itu. Dan dadanya semakin meng-
hentak keras, tatkala melihat tulisan di robekan kain itu. Jika ingin tahu apa
yang terjadi, datang ke Candi Singasari
Pendekar Mata Keranjang 108 mengangguk-
angguk, setelah membaca isi tulisan itu.
"Hmm.... Iblis-iblis itu rupanya mendekam di sa-na! Aku akan cepat melacak ke
sana! Sebelum kekeja-
man itu merambat ke mana-mana!" desis Pendekar Mata Keranjang 108 dengan dada
bergemuruh dan gigi
bergemerutuk menahan amarah.
Selagi Pendekar Mata Keranjang 108 berpikir be-
gitu, terdengar hentakan ladam kaki-kaki kuda menu-
ju Lembah Baka. Dan sebelum sempat menduga siapa
adanya para penunggang, hentakan ladam kuda le-
nyap. Dan bersamaan dengan itu, tiba-tiba sepuluh
langkah di hadapan Pendekar Mata Keranjang 108
berdiri dua orang dengan sikap curiga. Malah sepasang mata mereka membesar
berkilat merah, tatkala melihat keadaan Ki Ageng Panangkaran.
Pendekar Mata Keranjang 108 luruskan pandan-
gan, melihat satu persatu pada dua orang yang kini
berdiri. Seulas senyum segera mengembang dari bibirnya begitu mengenali, siapa
dua orang tersebut.
Namun senyum Pendekar Mata Keranjang 108
serentak terpotong, tatkala dua orang di hadapannya malah saling pandang satu
sama lain tanpa senyum.
Tentu saja Pendekar Mata Keranjang 108 murid Wong
Agung ini jadi tidak enak hati.
"Pendekar Mata Keranjang 108! Apa yang telah
kau perbuat pada Guru!"
Mata Pendekar Mata Keranjang 108 mendelik
hampir tak percaya, ketika terdengar suara teguran dari salah seorang yang ada
di sebelah kiri. Dia adalah seorang pemuda tampan dengan sepasang trisula
terselip di pinggang.
Aji tidak menjawab. Ditahannya hawa amarah
yang mulai menjalari dadanya.
"Sialan! Rupanya mereka mencurigai aku!"
Melihat suasana kaku dan gelagat tidak baik,
Pendekar Mata Keranjang 108 segera bangkit. Ditatapnya kembali dua orang di
hadapannya dengan sorot tajam. "Kakang Pandu! Tapi, apakah mungkin...," bisik
salah sosok yang berdiri di sebelah kiri. Dia ternyata seorang gadis berwajah
manis dengan mata sayu.
Pemuda yang dipanggil Pandu berpaling.
"Sakawuni! Kau lihat sendiri tadi, bagaimana dia bertingkah di hadapan tubuh
Guru. Pasti dia yang
berbuat keji pada Guru!" sergah pemuda bersenjata trisula.
"Pandu, Sakawuni! Jangan berprasangka pada-
ku. Waktu aku datang, keadaan Eyang Ageng Panang-
karan sudah meninggal. Dan aku sendiri tak tahu, sia-pa yang berbuat kejam
seperti ini!" tegas Aji dengan tatapan meyakinkan.
Dua orang yang memang Pandu dan Sakawuni,
murid Ki Ageng Panangkaran sejenak saling tukar
pandangan. Sementara mengetahui gurunya telah me-
ninggal, wajah Sakawuni langsung berubah mendung.
"Hmm.... Begitu" Pendekar Mata Keranjang 108!
Apa ucapanmu bisa dipercaya"! Kita sudah saling ken-al. Maka lebih baik terus
teranglah!" kata Pandu dengan tatapan masih curiga.
Aji semakin mendelikkan matanya. Sementara
Pandu dan Sakawuni mulai bergerak melangkah men-
dekati. "Kalau bukan kau yang mengatakan, pasti sudah
kurobek-robek mulutmu!" desis Aji, geram.
Pandu tersenyum sinis.
"Pendekar Mata Keranjang 108! Kami tahu, kau
adalah manusia berkepandaian tinggi. Namun, aku tak takut! Apalagi jika
masalahnya berhubungan nyawa
Guru! Menyingkirlah...!"
Meski dengan menahan perasaan dongkol, ma-
rah, panas, Pendekar Mata Keranjang 108 akhirnya
menjauh dari sisi tubuh Ki Ageng Panangkaran.
Begitu dekat dengan tubuh gurunya, Sakawuni
langsung menghambur dan memeluk tubuh Ki Ageng
Panangkaran yang sudah kaku dan dingin. Tangisnya
yang sejak tadi ditahan-tahan akhirnya meledak. Se-
mentara Pandu yang mengikuti langkah Sakawuni te-
rus mengawasi tubuh gurunya dengan seksama. Sese-
kali wajahnya diusap lalu menarik napas dalam-dalam.
"Guru! Aku bersumpah, akan kucincang orang
yang membuatmu seperti ini!" ucap Sakawuni di sela-
sela isak tangisnya.
"Dan akan kubawa penggalan kepala orang yang
berbuat keji padamu!" timpal Pandu dengan suara bergetar dan berapi-api.
Untuk beberapa saat mereka tenggelam dalam
kesedihan yang mendalam. Namun begitu sadar ada
orang lain di tempat ini, serentak mereka menghentikan ratapan serta isak
tangisnya. Keduanya berpaling ke tempat tadi Pendekar Mata Keranjang 108
berdiri. Dan mereka jadi melengak kaget, tatkala mengetahui
Aji sudah tidak ada di tempatnya semula.
"Dia ketakutan! Berarti dialah yang berbuat ini!"
desis Pandu seraya menyapukan pandangannya ber-
putar, namun tidak menemukan orang yang dicari.
"Sakawuni! Kau ke arah barat. Dan aku ke arah timur!" Pandu cepat berbalik dan
berkelebat ke arah timur. Dan tak menunggu lama, Sakawuni pun berkele-
bat ke arah barat.
"Hmm.... Apakah mungkin Pendekar Mata Keran-
jang 108 yang melakukan perbuatan keji itu"!" gumam Sakawuni dalam hati sambil
terus berkelebat mengejar Pendekar Mata Keranjang 108. "Seandainya bukan dia,
lantas siapa" Selama ini, Guru tak pernah lagi berurusan dengan orang-orang
rimba persilatan. Tapi siapa pun orangnya, dia pasti berilmu tinggi. Jangan-
jangan memang dia. Kalau dia, apa masalahnya" Bukankah
antara Pendekar Mata Keranjang 108 dengan Guru
sudah saling kenal baik. Malah menurut cerita Guru, Pendekar Mata Keranjang 108
pernah menolongnya.
Ah! Tapi manusia kerap kali berubah pikiran, tak ter-kecuali Pendekar Mata
Keranjang 108. Dan kalau me-
mang dia yang melakukan, aku pun tak akan tinggal
diam, meski sebenarnya aku begitu merindukan di-
rinya sejak pertama kali bertemu.... Ah! Kenapa aku bisa bertemu dengannya dalam
keadaan sulit begini...?" Tiba-tiba Sakawuni menghentikan larinya. Kepalanya
langsung menoleh ke belakang. Sepasang ma-
tanya memandang menyelidik.
"Aku merasakan sedang diikuti seseorang. Bukan Kakang Pandu. Hmm.... Dia
tampaknya berkepandaian
tinggi. Karena begitu saja lenyap bagai ditelan perut bumi.... Aku akan
membuatnya menampakkan diri...,"
gumam Sakawuni.
Sakawuni lantas melanjutkan larinya. Namun
kali ini ekor matanya tak henti-hentinya berputar liar.
Sementara telinganya dipasang baik-baik.
Agak jauh, gadis itu kembali merasakan orang
mengikuti langkahnya. Namun, dia seperti tak acuh.
Dan begitu merasa orang yang mengikuti tak berada
jauh, dan dapat menentukan arah adanya, tubuhnya
mendadak berbalik. Saat itu juga kedua tangannya dihantamkan ke tempat yang
diduga menjadi persembu-
nyian orang yang mengikuti langkahnya.
Wuuuttt! Serangkum angin berdesir kencang dari kedua te-
lapak tangan Sakawuni segera melesat, mengeluarkan
suara bagai gelombang dahsyat.
Brakkk...! Ternyata Sakawuni hanya mendengar suara ber-
deraknya pohon tumbang, tanpa jeritan atau dengusan seperti yang diharapkan.
Dengan menggeram marah
tubuhnya lantas berbalik kembali, dan melesat mene-
ruskan perjalanan ke arah barat. Namun baru saja kakinya melangkah hendak
bergerak berkelebat, dari


Pendekar Mata Keranjang 8 Geger Para Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

arah samping terdengar suara gemerisik. Cepat gadis itu berpaling ke kiri.
Sakawuni tercekat. Ternyata lima langkah dari
tempatnya berdiri, semak belukar menguak. Lalu,
muncul Pendekar Mata Keranjang 108.
Sebentar Sakawuni terkesima. Namun tak lama
kemudian, dia telah dapat menguasai diri.
"Manusia satu ini benar-benar berilmu tinggi.
Aku bisa dikecohnya. Aku sebenarnya masih meragu-
kan dugaan kakang Pandu. Tapi...."
Belum selesai Sakawuni membatin, Aji telah me-
langkah mendekati tanpa senyum. Malah sepasang
matanya tajam berkilat, mengawasi gadis itu.
Tak tahan ditatap demikian, Sakawuni menun-
duk. Bukan karena takut, namun karena mata itu se-
perti memendam keanehan yang membuat dadanya
berdebar lebih cepat. Dan ini membuat dia ingin berlama-lama di situ, meski
tanpa memandang.
"Sakawuni!" tegur Aji dengan suara perlahan.
"Aku meninggalkan kalian jangan dianggap karena takut atau pengecut. Tapi, itu
kulakukan karena aku tak ingin menambah kepedihan hatiku. Dan aku tak ingin
membuat keributan di depan jenazah Eyang Ageng Pa-
nangkaran!"
Sakawuni diam saja. Wajahnya dipalingkan. Na-
mun ekor matanya sesekali mencuri pandang.
"Percayalah, bukan aku yang melakukannya...,"
sambung Aji dengan kedua mata tetap memandang
Sakawuni. Sementara yang diajak bercakap masih saja tak
buka suara. "Sakawuni! Sebenarnya aku ingin lebih lama bertemu denganmu. Namun kali ini
rupanya kau tak begi-
tu berkenan. Baiklah.... Aku pun masih punya sesuatu yang harus segera
kuselesaikan. Jaga dirimu baik-baik!" lanjut Aji.
Habis berkata, Pendekar Mata Keranjang 108
berbalik dan melangkah pergi. Namun baru tiga lang-
kah, gerakan kakinya dihentikan tatkala....
"Pendekar Mata Keranjang 108!" panggil Sakawuni. "Kau tak perlu bicara soal
kematian Guru. Karena hal itu masih kuselidiki. Jika nantinya memang kau yang
melakukannya, sumpahku terhadap Guru masih
berlaku! Dan, jangan harap kau bisa lolos dari tanganku. Tubuhmu akan kucincang
dan kepalamu akan ku-
bawa ke makam Guru!"
Pendekar Mata Keranjang 108 berbalik, meman-
dang Sakawuni dengan senyum tersungging.
"Bagus! Itu memang hal yang patut dilakukan
seorang murid yang baik. Kutunggu kedatanganmu di
Kampung Blumbang. Namun, percayalah. Kedatan-
ganmu nantinya kuharap tidak membawa amarah.
Apalagi berniat memenggal kepalaku. Kuharap, keda-
tanganmu dengan senyum yang selama ini selalu ku
rindukan dan mata yang selalu ku impikan...," tegas Pendekar Mata Keranjang 108.
Wajah Sakawuni berubah merah padam. Da-
danya berdebar-debar.
"Ah! Kenapa aku tadi bicara begitu keras" Dia ta-di mengatakan senyum ku selalu
dirindukan.... Apa-
kah dia selama ini juga merasakan seperti apa yang ku rasakan... " Hmm....
Betapa bahagianya jika dia benar-benar selalu mengimpikan diriku. Aku akan
datang kelak ke Kampung Blumbang, membawa seperti apa yang
dikatakannya tadi...," rutuk Sakawuni dalam hati.
"Sakawuni.... Kau temukan dia"!"
Sebuah suara tiba-tiba menyadarkan Sakawuni.
Begitu berpaling gadis ini terperanjat. Ternyata Pandu telah berdiri tak jauh
darinya dengan dahi mengernyit.
Sedangkan matanya memandang dengan menyipit dan
membesar. Sebentar Sakawuni mengerjap-ngerjapkan sepa-
sang matanya yang sayu. Lantas pandangannya berpu-
tar ke sekeliling.
"Hmm.... Pendekar Mata Keranjang 108 telah
pergi. Aku harus menyembunyikan pertemuan tadi,
karena kurasa kakang Pandu masih curiga pada Pen-
dekar Mata Keranjang 108...," gumam gadis itu dalam hati. "Sakawuni.... Ada apa
denganmu?" tanya Pandu sambil menggeleng-geleng penuh keheranan.
Sakawuni tersenyum, lalu melangkah mendekati
kakak seperguruannya.
"Kakang.... Aku tidak menemukan dia...," sahut Sakawuni perlahan.
"Tapi sepertinya kau tadi termenung. Jangan-
jangan kau...."
"Kakang Pandu!" potong Sakawuni dengan wajah cemberut. "Kita baru saja
ditinggalkan orang yang selama ini mengasuh dan mendidik kita. Aku sedang me-
renungkan Guru!"
Pandu sedikit tersentak, dan seperti baru sadar.
Lantas kepalanya mengangguk.
"Maafkan aku, Sakawuni.... Aku..., aku terlalu berprasangka padamu! Ini gara-
gara Pendekar Mata
Keranjang 108! Hmm...," ucap Pandu.
Sakawuni sesaat menatap Pandu, lalu terse-
nyum. "Kakang! Kita harus cepat kembali dan mengurus jenazah Guru.... Soal lainnya,
kita bicarakan nanti setelah pemakaman Guru selesai...."
Pandu mengangguk. ***
6 Guntur menggelegar membelah angkasa. Langit
menghitam tertutup bongkahan-bongkahan awan yang
sepertinya enggan beranjak. Saat itu juga hujan deras mengguyur bumi,
mengeluarkan desahan yang menggidikkan bulu roma. Padahal sebenarnya matahari
ba- ru saja merayap bangun dari titik timur.
Pendekar Mata Keranjang 108 berkelebat membe-
lah derasnya hujan. Tubuhnya tampak bergetar meng-
gigil kedinginan. Sementara gigi-giginya saling beradu satu sama lain
mengeluarkan suara bergeletak.
Ketika mencapai ujung desa yang berbatasan
dengan Singasari, Pendekar Mata Keranjang 108
menghentikan larinya. Dan tatkala melihat sebuah kedai, tanpa pikir panjang lagi
tubuhnya langsung berkelebat. Namun baru saja Pendekar Mata Keranjang 108
memasuki kedai, langkahnya terhenti seketika. Sepa-
sang matanya sesaat membeliak tak berkedip. Da-
danya berdebar kencang dengan tubuh semakin berge-
tar. Kedua tangannya kontan membentuk kepalan.
Pemilik kedai yang mengetahui tingkah Pendekar
Mata Keranjang 108 serentak mengawasi dengan sinar
mata curiga. Dengan tatapan nyalang. Kakinya me-
langkah mendekati Pendekar Mata Keranjang 108 yang
masih tampak berdiri di ambang pintu kedai.
"Silakan, Den. Mari masuk...," sapa pemilik kedai dengan senyum yang dipaksa-
paksakan. Namun Pendekar Mata Keranjang 108 sepertinya
tidak mendengar sapaan ramah itu. Sepasang matanya
tetap mengawasi dengan pandangan amarah pada seo-
rang gadis yang duduk di pinggir dinding kedai.
Gadis yang dipandangi Pendekar Mata Keranjang
108 berwajah cantik jelita. Kulitnya putih, dibalut pakaian ketat warna merah.
Rambutnya panjang ikal dan dikuncir agak ke atas.
"Bayangan Seribu Wajah! Kali ini kau tak akan
kulepaskan lagi!" desis Pendekar Mata Keranjang 108
dengan geram. Aji lantas berbalik dan melangkah keluar dari ke-
dai. Tindakannya membuat pemilik kedai makin heran.
Sejenak diawasi kepergian Pendekar Mata Keranjang
108, lalu beralih pada gadis berbaju merah.
"Anak muda, jika melihat gadis cantik tingkahnya aneh-aneh...," bisik pemilik
kedai sambil menggeleng dan melangkah kembali ke dalam.
Sampai di meja gadis berbaju merah itu berada,
pemilik kedai sejenak menghentikan kakinya. Matanya yang sudah redup dimakan
usia sedikit membesar
memperhatikan. "Hmm.... Tak dapat disangkal! Gadis ini memang benar-benar cantik. Apalagi
potongan tubuhnya indah.
Dan pakaiannya pun dibuat demikian rupa. Hm....
Seandainya masih muda, aku tentu tak mau kalah
saing dengan pemuda tadi...," kata batin pemilik kedai.
Namun pemilik kedai ini segera memalingkan wa-
jahnya tatkala gadis berbaju merah serta merta me-
mandang ke arahnya.
"Tua-tua masih juga suka mencuri pandang. Da-
sar laki-laki!" gumam gadis yang tak lain Bayangan Seribu Wajah seraya
mengalihkan pandangan ke jurusan
lain. Saat itulah sepasang mata Bayangan Seribu Wajah menangkap sesosok tubuh
berpakaian hijau den-
gan baju dalam warna kuning lengan panjang sedang
duduk jongkok di tiang kedai.
"Hm.... Rupanya dia datang lebih awal dari du-
gaan.... Dia pasti telah melihatku. Ini kesempatan
baik...," gumam Bayangan Seribu Wajah.
Gadis cantik berbaju merah itu tetap tenang me-
neruskan santap makanannya. Namun ekor matanya
tak henti-hentinya melirik.
Setelah menyelesaikan makan, Bayangan Seribu
Wajah berdiri. Kakinya melangkah tenang ke dalam,
membayar harga makanannya. Lalu dengan tenang dia
melangkah keluar.
Di ambang pintu, Bayangan Seribu Wajah meng-
hentikan langkahnya. Dahinya berkerut dengan mata
berputar ke sekeliling halaman kedai yang baru saja diguyur hujan. Dahinya makin
mengernyit, tatkala sepasang matanya tak menemukan orang yang dicari.
"Hmm.... Aku tadi pasti tidak salah lihat. Me-
mang dia, Pendekar Mata Keranjang 108 yang tadi
jongkok di sini. Tapi, ke mana dia sekarang..." Apa langsung menuju
Singasari..." Hmm.... Berarti dia telah mengetahui kejadian di Lembah Baka,"
kata Bayangan Seribu Wajah dalam hati.
"Sebaiknya aku cepat ke Candi Singasari."
Bayangan Seribu Wajah segera melangkah keluar
dari kedai sambil memperhatikan berkeliling. Namun
orang yang dicari memang tidak ada. Maka segera
menghempos kekuatannya hendak berkelebat. Namun
gerakan tubuhnya tiba-tiba dibatalkan ketika telin-
ganya menangkap sebuah nyanyian tak karuan, di-
tingkah siulan pendek-pendek. Perlahan memang. Na-
mun hebatnya, mampu membuat telinga yang men-
dengarnya bagai ditusuk-tusuk
"Dia masih berada di sini. Rupanya dia sengaja menungguku...."
Bayangan Seribu Wajah segera memalingkan wa-
jah ke arah sumber suara nyanyian. Hatinya sedikit
terkejut. Karena saat berpaling....
Wesss...! Mendadak terasa serangkum angin menyambar
ke arah gadis ini.
Bayangan Seribu Wajah segera berbalik cepat
sambil menghantamkan kedua tangannya.
Wusss...! Prasss...! Namun kembali gadis itu dibuat terkejut. Karena
serangan yang dilancarkannya mendadak mental balik, dan melesat ke arah dirinya
sendiri. "Hiaaa...!"
Disertai teriakan nyaring, Bayangan Seribu Wa-
jah cepat melesat ke samping, menghindari serangan-
nya sendiri. "Heh"!"
Begitu menjejak tanah di samping, Bayangan Se-
ribu Wajah membelalak mata hampir tak percaya. Ter-
nyata sambaran angin yang mengarah padanya dan
serangannya yang berbalik akibat kipasan-kipasan
Pendekar Mata Keranjang 108 yang sepertinya tidak
disengaja. Memang saat itu Aji tengah berkipas-kipas bagai
menghilangkan rasa gerah yang mendera sekujur tu-
buhnya. Selagi Bayangan Seribu Wajah terlolong kehera-
nan, Pendekar Mata Keranjang 108 segera berkelebat
"Bayangan Seribu Wajah! Hari ini kau tidak akan bisa lari dari tanganku!
Berdoalah sebelum ajal men-jemput mu!" bentak Pendekar Mata Keranjang 108
yang tahu-tahu telah berdiri tujuh langkah di depan Bayangan Seribu Wajah.
Dengan menekan rasa terkejut, gadis itu menatap
nyalang pada murid Wong Agung ini. Bersamaan den-
gan itu senyumnya segera menyeruak di bibirnya yang tampak membentuk indah.
"Kau terlalu sembrono bicara. Kaulah yang terle-
bih dahulu akan kukirim menyusul nenek moyangmu!"
balas Bayangan Seribu Wajah, jumawa.
Saat itu juga Bayangan Seribu Wajah segera me-
nyongsong Pendekar Mata Keranjang 108 dengan hen-
takan kedua tangannya ke arah kepala.
"Heaaa...!"
Didahului bentakan keras, Aji cepat melesat ke
udara, sehingga hantaman tangan Bayangan Seribu
Wajah yang langsung mengarah pada salah satu ba-
gian me-matikan lolos menerabas angin.
Aji yang kali ini bertekad menaklukkan Bayangan
Seribu Wajah, tak lagi menyia-nyiakan kesempatan.
Saat itu juga, dari udara tubuhnya mendadak menukik deras dengan kaki kiri lurus
Pedang Angin Berbisik 10 Rahasia Kampung Garuda Karya Khu Lung Pedang Asmara 2
^