Pencarian

Persekutuan Para Iblis 3

Pendekar Mata Keranjang 7 Persekutuan Para Iblis Bagian 3


"Hm.... Jika begitu, aku akan keluar sebentar.
Silakan kalian menyusun rencana...."
Habis berkata, Malaikat Berdarah Biru berba-
lik. Lalu kakinya melangkah ke arah tangga, dan ber-
kelebat keluar.
8 Langit di atas pesisir Pantai Laut Utara tampak
gelap menghitam. Taburan bintang lenyap begitu saja, tertelan arakan awan yang
seolah tak mau bergerak.
Angin pesisir berhembus kencang, menebar hawa din-
gin menusuk. Sementara gelombang laut semakin ber-
golak, mengeluarkan gemuruh menakutkan.
Di suasana demikian, tampak dua sosok tubuh
manusia berkelebat menuju sebuah batu karang. Di
antaranya keduanya tak terdengar suara. Malah kele-
batan mereka begitu sulit dilihat mata. Hal ini jelas menunjukkan bahwa kedua
sosok manusia ini mem-
punyai ilmu meringankan tubuh yang sempurna.
Malam terus merambat perlahan. Dua sosok
yang tadi menyelinap di balik batu karang sejenak saling berpandangan. Wajah
mereka tampak sekali me-
nyimpan suatu ketegangan. Hingga untuk beberapa
saat keduanya masih belum ada yang membuka suara.
Hanya sepasang mata masing-masing tak beranjak,
memandangi sebuah pohon besar yang tak berdaun,
namun di batangnya terdapat sebuah lobang menye-
rupai pintu. Dan dari pohon itu, menebar aroma bunga tujuh warna.
Kedua sosok ini terus memperhatikan, seakan-
akan menunggu. Dan ketika apa yang ditunggu tak ju-
ga menampakkan tanda-tanda keberadaannya, salah
satu sosok terlihat tak sabar. Kepalanya segera berpaling pada temannya.
"Sebaiknya kita langsung menggempurnya,
Bayangan Seribu Wajah! Percuma kita mendekam di
sini menunggu dia keluar!" kata sosok yang sudah tak sabar ini.
"Kau jangan bodoh, Bayangan Iblis! Manusia
satu itu tak bisa dikalahkan jika berada di dalam pohon itu. Kita harus menunggu
sampai dia muncul!"
"Menunggu sampai kapan?" tanya sosok yang
dipanggil Bayangan Iblis.
Sosok yang dipanggil Bayangan Seribu Wajah
menggeleng. Ternyata, memang gadis cantik berpa-
kaian warna merah yang tak lain Bayangan Seribu Wa-
jah. Sementara temannya yang juga seorang perem-
puan bersorban dan jubah warna hitam tak lain
Bayangan Iblis.
Selagi mereka berbincang, pohon yang tak ber-
daun dan menebar aroma bunga tujuh warna terlihat
asap putih mengepul tipis. Dan begitu asap putih le-
nyap, tampaklah sesosok tubuh duduk bersandar.
Sosok yang baru muncul adalah seorang pe-
rempuan tua berpakaian compang-camping. Parasnya
menakutkan, karena di bawah sepasang matanya tidak
tampak sama sekali tonjolan hidung.
"Apa yang kita tunggu akhirnya datang juga!"
sera Bayangan Seribu Wajah, langsung menatap pe-
rempuan tua yang tersandar di pohon yang tak lain
kakak seperguruannya sendiri.
Bayangan Iblis memperhatikan sejenak. Dan
baru saja hendak berkata....
"Rupanya kalian tamu-tamu yang datang ke
tempat yang salah!"
Mereka berdua mendadak dikejutkan sebuah
bentakan dahsyat.
Wesss...! Bersamaan dengan terdengarnya bentakan, dua
gelombang angin kencang melesat menuju batu karang
tempat Bayangan Seribu Wajah dan Bayangan Iblis be-
rada. Dengan mata terbelalak karena terkejut, kedua orang ini segera melesat ke
samping kanan dan kiri
untuk menyelamatkan diri.
Blarrr...! Batu karang tempat kedua tokoh sesat itu be-
rada hancur berkeping-keping, terhantam angin dah-
syat tadi. Kesunyian hanya merayap sesaat. Tak lama
kemudian.... "Ha... ha... ha...!"
Bayangan Iblis tertawa panjang dan keras. Se-
hingga, membuat suara letupan hancurnya batu ka-
rang tertindih lenyap.
"Perempuan edan! Jika kau mengatakan di ma-
na pemuda gondrong berkuncir itu, nyawamu akan
terselamatkan!" bentak Bayangan Iblis, begitu tawanya lenyap. Habis berkata,
Bayangan Iblis mengangguk pa-da Bayangan Seribu Wajah. Mereka lantas berkelebat,
dan sesaat kemudian sudah berdiri tiga tombak di ha-
dapan perempuan tua berpakaian compang-camping.
"Manusia-manusia setan! Meski sudah reot, ka-
lian masih juga serakah! Dengar! Percuma kalian men-
gejar bumbung bambu jelek itu. Karena kalian tak
akan bisa membukanya!" kata perempuan tua berpakaian compang-camping seraya
mengerdip-ngerdipkan
sepasang matanya.
Bayangan Seribu Wajah mendengus. Sedang-
kan Bayangan Iblis menyeringai dan membuang muka
ke samping. "Perempuan edan! Kami tak butuh keterangan.
Jawab saja pertanyaan kami!" bentak Bayangan Seribu Wajah, seraya melangkah
empat tindak. "Begitu" Hm.... Baik. Lihat langit itu. Jika ada yang mampu menggiring awannya,
hingga keadaan tidak begini gelap, kalian akan mendapat apa yang diinginkan!"
ujar perempuan tua itu.
Gerakan mulut Bayangan Iblis yang tak habis-
habisnya itu berhenti seketika. Wajahnya dipalingkan dengan mata mendelik.
"Kakakmu ini rupanya memang ingin segera
pergi ke alam kubur!"
"Kalau perlu, tidak usah dikubur!" sahut
Bayangan Seribu Wajah.
Kedua orang ini lantas sama-sama tertawa ber-
derai. Karena bukan sembarang tawa, maka untuk se-
saat tubuh perempuan tua berpakaian compang-
camping tampak terhuyung-huyung seakan mau roboh
terkena getaran tanah yang didudukinya.
Namun tak berselang lama, tawa kedua tokoh
sesat ini mendadak sontak berhenti. Masing-masing
memegangi perut yang seperti dilanda mulas amat
sangat. Sementara itu perempuan tua berpakaian com-
pang-camping ini tengah meremas-remas tangannya.
Dan ini membuat tubuh Bayangan Seribu Wajah dan
Bayangan Iblis melintir berputar. Kedua mulut orang
ini terbuka, namun tidak sepatah kata pun yang ter-
dengar. Saat perempuan tua melepas tangan dan
menghempaskannya ke bawah, Bayangan Seribu Wa-
jah serta Bayangan Iblis jatuh bergulingan dengan seruan tertahan. Wajah mereka
kebiruan menahan rasa
sakit yang mendera perut. Ketika gulingan tubuh ke-
duanya berhenti, mereka langsung bangkit.
Bayangan Iblis terlebih dahulu berkelebat. Dan
tiba-tiba sekali, kedua tangannya melesat di depan kepala perempuan tua.
Yang diserang seakan tahu, jika Bayangan Iblis
melakukan serangan, maka gerakan tangannya hanya-
lah sebuah tipuan belaka. Sementara serangan se-
sungguhnya akan dilancarkan dengan kaki.
Maka perempuan tua itu tidak berusaha men-
gelak dari sambaran kedua tangan Bayangan Iblis. Ma-
lah kedua tangannya dipalangkan di depan dadanya.
Sementara kedua kakinya yang bersila diluruskan ke
depan. Werrr...!
Satu deruan keras menyambar mengeluarkan
sinar putih biru. Perempuan tua itu menjadi terkesiap sejenak, ketika sinar
putih itu menerobos masuk di antara kedua tangannya. Maka cepat kaki kanannya
di- angkat untuk menghadang. Namun deru yang ternyata
hantaman kaki Bayangan Iblis lebih cepat menghujam.
Sehingga.... Desss...! "Aaakh...!"
Tubuh perempuan tua terhempas, diiringi ke-
luhan tertahan. Punggungnya langsung menerabas
pohon, lalu jatuh bergulingan ke samping. Pada saat
yang sama terdengar gemeretak. Tampak pohon yang
tadi dibuat sandaran perempuan tua itu berderak
tumbang. "Setan!" bentak perempuan tua berpakaian
compang-camping.
Perempuan tua ini meringis menahan rasa se-
sak dadanya yang tampak menghitam. Dikerahkannya
tenaga dalam untuk menyalurkan hawa murni. Namun
baru saja bangkit, Bayangan Seribu Wajah telah berkelebat sambil menghentakkan
kedua tangannya.
Wesss...! Sementara jika saja saat ini perempuan tua itu
tidak sedang memusatkan tenaga dalamnya, tentu tu-
buhnya akan kembali mencelat menghindar. Maka se-
ketika itu pula kedua tangannya dihentakkan, mema-
pak serangan Bayangan Seribu Wajah.
Wesss...! Prattt! Benturan keras terjadi. Dengan demikian, pe-
rempuan tua itu selamat dari hantaman Bayangan Se-
ribu Wajah. Namun, tak urung telapak tangannya
tampak melepuh merah. Sambil menahan geram, pe-
rempuan tua ini membuka kedua telapak tangannya
dan meluruskannya di depan dada. Mulutnya berke-
mik sebentar, lalu mendadak kedua tangannya ditarik
sedikit ke belakang. Dan seketika kedua telapak tan-
gannya dihantamkan ke depan, ke arah Bayangan Ib-
lis. Wesss...! Seketika keluar sinar-sinar berkilatan dari tela-
pak tangan perempuan tua berpakaian compang-
camping. "Awas serangan!" teriak Bayangan Seribu Wajah.
Tentu saja sebagai adik seperguruan perem-
puan tua itu, Bayangan Seribu Wajah tahu benar ka-
lau kakak seperguruannya telah mengepakkan kedua
tangannya, maka jarang ada lawan yang mampu mem-
bendung. Makanya sambil berteriak memperingatkan,
kedua tangannya dihantamkan untuk memapak kepa-
kan kedua tangan perempuan tua berpakaian com-
pang-camping yang mengarah pada Bayangan Iblis.
Sementara itu, Bayangan Iblis yang mendapati
serangan tersirap. Sama sekali tidak disangka, kalau perempuan tua berpakaian
compang-camping itu masih mampu melakukan balasan. Maka sambil mena-
han rasa kaget, segera dia menjatuhkan diri ke samp-
ing seraya melepaskan pukulan.
Wesss...! Sinar putih biru serta sinar merah meluruk,
menghadang kilatan-kilatan cahaya yang keluar dari
kedua tangan perempuan tua.
Blar! Blar! Gelegar dahsyat terdengar dua kali berurutan.
Tubuh perempuan tua sesaat masih bertahan, tak ber-
geming meski terkena bias sambaran akibat bentrok-
nya pukulan. Tapi cuma sesaat. Begitu gelegar kedua
terdengar, tubuhnya tak bisa bertahan, langsung ter-
pental. Di lain pihak, waktu gelegar pertama terdengar
sosok tubuh Bayangan Seribu Wajah dan Bayangan Ib-
lis telah terbanting. Dan ketika gelegar ke dua terjadi, tubuh mereka terseret.
Dan mereka baru terhenti saat sama-sama meraung keras, mengeluarkan segenap
tenaganya. "Dia terlalu tangguh bila kita hadapi bersa-
maan!" bisik Bayangan Seribu Wajah.
Bayangan Iblis kernyitkan dahi, tak mengerti
maksud Bayangan Seribu Wajah.
"Aku akan memancingnya agar dia lepaskan
pukulan ke depan. Sementara kau menghantam dari
arah belakang. Ingat! Arahkan ke kakinya. Pertahanan setan itu ada di situ!"
ujar Bayangan Seribu Wajah.
Selesai berkata, Bayangan Seribu Wajah bang-
kit. Diusapnya darah di bibirnya, lalu melangkah mendekati perempuan tua yang
kini telah tegak dengan sepasang mata menyipit mengawasi.
"Katakan saja, di mana pemuda itu berada!
Persaudaraan kita akan tetap langgeng!" tekan Bayangan Seribu Wajah, mengerling
pada Bayangan Iblis.
Bayangan Iblis yang mengerti isyarat segera
melangkah ke arah samping, lalu diam menunggu.
Perempuan tua itu tidak buka mulut.
"Kau jangan pura-pura tuli, Setan! Cepat kata-
kan!" ulang Bayangan Seribu Wajah.
"Ratih! Kita telah sama-sama tua, meski kau
tampak muda! Tak ada guna persoalan ini diteruskan.
Ke ujung langit pun berusaha, bumbung bambu itu ti-
dak akan kau dapatkan. Karena seseorang telah ditak-
dirkan memilikinya. Bukan kau atau Bayangan Iblis!
Juga, bukan aku!" tegas perempuan tua itu.
Bayangan Seribu Wajah menyeringai.
"Peduli dengan isapan jempol seperti itu!" desis Bayangan Seribu Wajah yang
bernama asli Ratih.
Sambil berkata kakinya terus melangkah sedikit demi
sedikit mendatangi perempuan tua.
"Ratih! Kau jangan memaksaku. Kita nanti
akan sama-sama menyesal!" ingat perempuan tua berpakaian compang-camping,
perlahan. "Kau yang akan menyesal, bukan aku!"
Sambil berkata, tiba-tiba Bayangan Seribu Wa-
jah melompat. Kaki kirinya menerjang ke perut perem-
puan tua. Sebelum terjangan itu sendiri menggebrak,
sambaran deras yang menebar hawa panas melesat
mendahului.

Pendekar Mata Keranjang 7 Persekutuan Para Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Perempuan tua tak bergeming. Baru ketika ter-
jangan kaki Bayangan Seribu Wajah satu jengkal lagi
menerpa, tubuhnya dimiringkan doyong ke belakang.
Dan bersamaan itu, tangan kanannya melesat cepat
menangkap kaki yang menghantam.
"Tap!"
Begitu kaki itu tertangkap, tangan perempuan
tua ini bergerak memutar, membuat tubuh Bayangan
Seribu Wajah melintir. Namun saat itu juga, Bayangan Seribu Wajah mengangkat
kaki kirinya, dan menghantamkan ke arah kepala.
Wuuut! Karena tubuh perempuan tua ini membungkuk
doyong ke belakang, maka tak ada ruang lagi baginya
untuk bisa menghindar. Namun, dia tidak hilang akal.
Tangan kirinya cepat diangkat dan disodokkan ke arah kaki yang sedang mengarah
ke kepala. Desss! Tubuh Bayangan Seribu Wajah yang kaki ka-
nannya terpegang tangan perempuan tua terbalik. Se-
mentara pada saat yang sama Bayangan Iblis dari arah belakang.
Perempuan berpakaian compang-camping ini
menyadari adanya serangan dari belakang. Dia beru-
saha berkelit. Pegangannya pada kaki Bayangan Seri-
bu Wajah dilepaskan. Kedua telapak tangannya cepat
dibuka dan didorong berputar ke belakang. Namun, te-
tap saja gerakannya terlambat. Dan....
Prak! "Aaakh...!"
Kedua tangan Bayangan Iblis lebih cepat meng-
gebrak kedua kakinya. Akibatnya, tubuh perempuan
tua ini terhuyung ke samping. Saat demikian, Bayan-
gan Seribu Wajah tak menyia-nyiakan kesempatan.
Tubuhnya langsung melesat ke udara, lalu menukik
deras. Bresss! Dua sosok tubuh tampak bentrok, lantas sama-
sama bergulingan di atas tanah. Yang pertama sosok
Bayangan Seribu Wajah yang menggebrakkan tubuh-
nya ke tubuh perempuan tua berpakaian compang-
camping. Dia terkapar, dengan kulit bagian kedua
pundaknya merah. Sedang sosok yang kedua adalah
perempuan tua yang terkapar dengan tulang iga patah.
Sementara dari lobang hidungnya yang tidak menonjol
mengalir genangan darah kehitaman, pertanda tengah
terluka dalam. Hebatnya, meski sudah dalam keadaan terluka,
perempuan tua itu masih mencoba bangkit. Namun
karena kedua kakinya sudah tak bisa lagi digerakkan
akibat hantaman tangan Bayangan Iblis, maka akhir-
nya dia hanya duduk dengan kedua tangan dibuka di
depan dada. Bayangan Seribu Wajah segera bangkit. Ma-
tanya memandang Bayangan Iblis, lalu mengangguk.
Seketika Bayangan Seribu Wajah kembali ber-
kelebat, sambil menghantamkan kedua tangannya.
Sedangkan Bayangan Iblis berkelebat, langsung me-
lancarkan pukulan dari arah belakang.
Karena dalam keadaan duduk maka gerakan
perempuan tua itu tidak bisa lagi secepat kala berdiri.
Kendati demikian dia tetap mencoba menghentakkan
tangannya. Serangan dari Bayangan Seribu Wajah
memang bisa dibendung. Bahkan kini tubuh wanita
bernama Ratih itu ikut tertarik ke depan. Lalu satu
depa lagi tubuh adik seperguruannya ini melabrak, perempuan tua melesatkan kaki
kanannya. Des! "Aaakh...!"
Jeritan melengking keluar dari mulut Bayangan
Seribu Wajah. Tubuhnya mental jauh.
Namun baru saja perempuan tua berpakaian
compang-camping memutar tubuhnya hendak mem-
bendung serangan dari arah belakang, tubuh Bayan-
gan Iblis telah berputar mendahului. Kedua tangannya cepat dihantamkan ke arah
pelipis perempuan tua itu.
Prak! "Aaa...!"
Kepala perempuan tua berpakaian compang-
camping ini berputar. Disertai pekikan. Belum sirna
suara pekikannya, kedua tangan Bayangan Seribu Wa-
jah telah menghantam.
Desss...! "Aaakh...!"
Kali ini hantaman tangan Bayangan Seribu Wa-
jah tepat menggebrak dada. Perempuan tua itu ter-
banting ke samping. Darah muncrat dari mulutnya.
Meski demikian perempuan yang tak dikenal namanya
ini masih mencoba bangkit. Tapi karena tubuhnya te-
lah terluka parah, dia hanya bisa menggerakkan tan-
gannya. Sedang tubuhnya tetap terkapar.
Bayangan Seribu wajah dan Bayangan Iblis se-
jenak saling berpandang. Kemudian mereka berkele-
bat, dan berdiri tegak mengurung perempuan tua yang
tak punya nama ini.
"Perempuan setan!" bentak Bayangan Iblis. "Aj-al sudah di pelupuk mata. Kami
akan menolongmu ji-
ka kau mau jujur menjawab pertanyaan kami!"
Perempuan tua itu hanya diam. Malah kedua
matanya dipejamkan. Sementara bibirnya bergerak-
gerak seolah menggumamkan sesuatu.
"Awasss...!"
Mendapati gelagat, Bayangan Seribu Wajah se-
gera berteriak agar kawannya segera menyingkir. Tapi Bayangan Iblis tidak
menganggap. Malah kedua tangannya disentakkan menghantam.
Wesss...! Sinar putih biru langsung menderu cepat. Na-
mun satu depa lagi sinar itu menghantam, tiba-tiba
asap putih mengepul dari tubuh perempuan tua. Maka
sinar putih biru langsung tertahan. Bahkan hilang lenyap, seakan tertelan asap
putih. Begitu asap putih sirna, sepasang mata Bayan-
gan Iblis terbelalak. Sedangkan Bayangan Seribu Wa-
jah tenang-tenang saja.
"Ilmu Halimun!" kata Bayangan Seribu Wajah, memberitahu Bayangan Iblis.
Bayangan Iblis masih belum percaya. Dia me-
nunggu hingga asap putih benar-benar lenyap. Dan
ketika asap putih sinar sama sekali, tubuh perempuan tua itu memang sudah tidak
ada lagi! Bayangan Iblis memandang Bayangan Seribu
Wajah. "Dia masih ada di sekitar sini. Hanya saja, kita tak bisa melihatnya!
Sementara, dia bisa melihat kita.
Namun, tak kuasa menyerang! Itulah ilmu 'Halimun'!"
"Sekarang apa yang harus kita perbuat?" tanya Bayangan Iblis.
"Sementara waktu kita kembali ke candi sambil
menunggu kabar dari Tengkorak Berjubah, Dayang
Lembah Neraka, serta Sepasang Iblis Pendulang Suk-
ma yang juga bergerak mencari Pendekar Mata Keran-
jang 108...," jawab Bayangan Seribu Wajah seraya berkelebat meninggalkan tempat
itu. Bayangan Iblis untuk beberapa waktu masih
tegak, seraya menyapukan pandangan berputar. Na-
mun ketika matanya tidak menemukan seorang pun,
tubuhnya lantas berkelebat menyusul Bayangan Seri-
bu Wajah. 9 Kesunyian mengungkung sebuah rumah gubuk
di puncak bukit yang sudah tidak berpenghuni lagi.
Tampak semak belukar merambat liar. Ruangan da-
lamnya tak satu pun terlihat perabotan rumah tangga.
Untuk beberapa lama Pendekar Mata Keranjang 108
mengawasi dengan seksama.
"Aku akan menunggu sampai cuaca terang...,"
kata Pendekar Mata Keranjang 108 dalam hati seraya
melangkah mengitari ruangan.
Memang, setelah mendapat kembali bumbung
bambu dari perempuan tua berpakaian compang-
camping, Aji alias Pendekar Mata Keranjang 108 berla-ri ke arah selatan.
Dicarinya tempat yang dirasa aman untuk mempelajari isi yang ada dalam bumbung
bambu, sebagaimana yang dikatakan perempuan tua ber-
pakaian compang-camping yang dipanggil Aji sebagai
Eyang. Pendekar Mata Keranjang 108 menghentikan
langkahnya dipojok gubuk, lalu duduk bersila. Ma-
tanya sesekali masih menebar ke sekeliling. Kewaspa-
daannya ditingkatkan penuh karena khawatir kejadian
di kaki Bukit Watu Dakon akan terulang kembali.
Hingga untuk kali ini, menunggu cuaca terang pagi ha-ri terasa begitu lama
sekali. Malam terus merayap. Pagi hari pun akhirnya
datang. Murid Wong Agung ini sejenak memejamkan
kedua matanya. Begitu kelopak matanya terbuka kem-
bali, kedua tangannya dengan agak gemetar serta dada berdetak kencang
mengeluarkan bumbung bambu dari
balik pakaian hijaunya. Sebentar diawasinya benda
itu. Lalu, matanya berputar ke seluruh ruangan.
"Apakah aku mampu membukanya?"
Sebuah pertanyaan tiba-tiba muncul dalam be-
nak Pendekar Mata Keranjang 108. Dia teringat pe-
rempuan tua berpakaian compang-camping serta
Bayangan Seribu Wajah yang meski telah memegang
bumbung bambu, namun tidak kuasa membukanya.
Raut wajah Aji sedikit panas. Dadanya berde-
bar-debar. Jari telunjuk serta ibu jarinya bergetar hebat, tatkala mulai
bergerak hendak membuka penutup
bumbung bambu yang ternyata hanya terbuat dari
semacam gabus ringan itu.
Ketika jari-jari tangannya mulai membuka, da-
rah Aji tersirap sejenak. Ditegakkannya bumbung
bambu yang kini penutupnya telah terbuka.
Dari dalam bumbung bambu keluar gulungan
kulit lontar berwarna kecoklatan. Dengan tangan tetap gemetar, Aji segera
membuka gulungan lontar. Ternyata gulungan itu hanya berisi dua lembar kulit
lontar. Dengan suara perlahan, Aji membaca lembaran
pertama. Dalam gemuruh bunyi kebenaran,
Suara kegelapan akan terbungkam.
Dalam hiruk-pikuk arakan warna putih,
Jejak-jejak warna hitam akan tertelan musnah
Dua cinta tidak akan pernah bersatu
Cinta Kebenaran dan Cinta Kejahatan.
Pendekar Mata Keranjang 108 berulang-ulang
membaca tulisan yang ada di lembar pertama. Kepa-
lanya mengangguk perlahan, seakan mengerti apa
yang dimaksud dengan tulisan di lembar pertama.
Dengan tenang, Aji kini mulai membuka lembar
kedua. Ternyata pada lembar kedua terdapat gambar-
gambar orang melakukan gerakan-gerakan ilmu silat.
"Hm... Gerakan ini sama dengan yang terdapat
pada dinding batu karang di tempat Eyang Wong
Agung...," kata batin Aji dalam hati.
Kembali Pendekar Mata Keranjang 108 mem-
perhatikan lebih seksama.
"Ah! Yang dua terakhir baru berbeda. Dan, ti-
dak ada di dinding batu karang itu!"
Aji meneruskan kata hatinya. Lantas diama-
tinya baik-baik.
"Jurus ini kuda-kudanya sama dengan jurus
sap ke lima 'Bayu Cakra Buana'. Hanya kedua tangan
membuka di depan dada, sementara tangan kiri yang
memegang kipas...."
Setelah merasa cukup, Pendekar Mata Keran-
jang 108 segera menutup kembali lembaran kulit lon-
tar. Lalu digulung benda ini dan dimasukkan kembali
dalam bumbung bambu yang langsung disimpan ke
balik baju hijaunya kembali.
Dengan menarik napas dalam-dalam, Pendekar
Mata Keranjang 108 mulai memperagakan jurus-jurus
yang ada dalam lembar kedua. Menginjak jurus yang
berbeda dengan apa yang telah dimilikinya, segera di-rubahnya letak kipasnya
yang semula di tangan ka-
nan, kini berada di tangan kiri. Dan kini, kedua tangannya dibuka di depan dada.
Werrr...! Mendadak terdengar deru angin kencang,
membuat pintu gubuk terbuka. Aji menjadi terkesiap.
Namun belum juga rasa terkejutnya sirna, melesat se-
berkas sinar putih berkilau.
Aji berusaha menghindar. Tapi, tubuhnya tiba-
tiba tegang kaku tak bisa digerakkan. Darahnya terasa berhenti mengalir.
Tenggorokannya tercekat. Sepasang matanya tiba-tiba berkunang-kunang, lalu
gelap. Namun semuanya berjalan begitu cepat. Pen-
dekar Mata Keranjang 108 hanya merasakan sesuatu
menerobos telapak tangan, lalu mengalir ke seluruh
tubuhnya. Begitu matanya kembali seperti biasa, tu-
buhnya kembali bisa digerakkan.
Dalam keadaan bingung, sayup-sayup terden-
gar suara yang seperti datang dari kejauhan. Namun
anehnya, jelas sekali terdengar di telinga Aji.
"Aji, ketahuilah. Tubuhmu baru saja menerima
sinar 'Bayu Kencana' yang tidak bisa gunakan untuk
menyerang. Karena sinar itu hanyalah penyedot keku-
atan yang bisa kau gunakan dalam waktu-waktu ter-
tentu!" Suara itu lantas lenyap dari telinga Pendekar Mata Keranjang 108. Untuk
sesaat pemuda ini masih
duduk terkesima. Dahinya mengerut mengingat sesua-
tu. "Hm.... Aku ingat. Suara itu mirip suara gadis
cantik penunggang kuda yang pernah kutemui, setelah
aku turun dari Karang Langit. Gadis salah satu dari
anak kandung Empu Jaladara...."
Mengingat hal itu, buru-buru Pendekar Mata
Keranjang 108 membungkuk dalam-dalam. Lalu perla-


Pendekar Mata Keranjang 7 Persekutuan Para Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

han-lahan wajahnya diangkat dengan mata menyapu
ke seluruh ruangan.
"Saat bagiku untuk mengejar Malaikat Berda-
rah Biru sebelum terlambat!" Aji lantas bangkit, lalu berkelebat keluar dari
rumah gubuk. 10 Empat penunggang kuda menghentikan tung-
gangan masing-masing di depan sebuah kedai yang
agak besar dan tampak ramai pengunjung di Kadipa-
ten Panjalu ini. Setelah menambatkan kuda masing-
masing, keempat orang itu melangkah dengan pandan-
gan masing-masing nyalang ke seantero halaman ke-
dai. Begitu mereka memasuki kedai, satu persatu
pengunjung beringsut keluar dengan mata tak berani
memandang. Mereka tak tahu, siapa keempat orang
yang baru masuk. Namun melihat tampang-
tampangnya, cukup membuat para pengunjung kedai
bisa menduga-duga. Agaknya keempat orang ini ada-
lah tokoh-tokoh persilatan. Hanya saja, tak satu pun dari mereka yang
menggambarkan keramahan.
Keempat tokoh persilatan ini terdiri dari dua
pasang laki-laki dari perempuan. Pasangan pertama,
yang laki-laki berpakaian putih-putih. Kumisnya lebat
dan bermata satu. Sementara perempuan di samping-
nya bertubuh sintal. Seluruh wajahnya tertutup sepo-
tong kain. Memang mereka tak lain dari Sepasang Iblis Pendulang Sukma.
Sedang pasangan kedua yang laki-laki berjubah
panjang besar berwarna hitam. Sehingga sekujur tu-
buhnya tertutup kecuali muka dan pergelangan tan-
gan. Namun demikian, anggota yang tampak itu sung-
guh menyeramkan. Wajah laki-laki ini tidak dilapisi
kulit sama sekali. Hingga, wajahnya hanya merupakan
tulang-tulang dengan sepasang mata menjorok ke da-
lam cekungan dalam, berwarna merah. Di samping la-
ki-laki bermuka tengkorak ini, seorang perempuan tua bertubuh telah bungkuk.
Tapi yang membuat penam-pilannya tampak angker. Rahangnya begitu kokoh dan
menonjol. Sepasang matanya membeliak lebar. Hi-
dungnya melesak ke dalam, serta mulut moncong ke
depan. Rambutnya putih yang jarang, dipotong cepak.
Dalam rimba persilatan, kedua orang ini me-
mang sudah tidak begitu asing lagi. Mereka adalah
Tengkorak Berjubah dan Dayang Lembah Neraka!
Tengkorak Berjubah yang berada paling bela-
kang sesaat masih berdiri tegak di ambang pintu kedai sambil tersenyum sinis,
memperhatikan beberapa ta-mu yang ketakutan. Lantas kakinya melangkah menu-
ju meja Dayang Lembah Neraka duduk.
Sementara Sepasang Iblis Pendulang Sukma
memilih meja sendiri agak jauh dari keduanya. Seben-
tar-sebentar baik laki-laki bermata satu yang bernama Sangsang, dan perempuan
bercadar bernama Sunti
memandang tajam ke arah Tengkorak Berjubah.
"Kita harus mencari waktu yang tepat untuk
membalasnya, Kakang!" tegas Sunti perlahan, namun nadanya mengisyaratkan
kegeraman. "Benar! Tengkorak Berjubah telah menghina
martabat kita. Kita harus membalasnya. Namun bukan
sekarang waktunya. Saat ini, lebih baik kita berpura-pura melupakan peristiwa
itu. Nanti setelah dapat menemukan Pendekar Mata Keranjang 108 serta meram-
pas kitab dan kipasnya, kita akan laksanakan huku-
man padanya!"
"Bagaimana dengan Malaikat Berdarah Biru?"
tanya Sunti. Sejenak mata satu-satunya milik Sangsang
memandang jauh keluar. Lantas ditariknya napas pan-
jang. "Untuk sementara ini, kita harus berpura-pura menuruti segala perintahnya.
Namun jika kitab dan
kipas itu telah jatuh ke tangan kita, ganti dia yang harus menuruti kehendak
kita!" desis Sangsang.
"Tapi..,, Malaikat Berdarah Biru telah pula me-
megang kitab dan kipas. Apakah kita..."
"Sunti!" potong Sangsang. "Urusan Malaikat Berdarah Biru bisa dibicarakan nanti.
Kita telah tahu, apa kelemahannya. Itu nanti bisa kita manfaatkan.
Sekarang, curahkan perhatian pada Pendekar Mata
Keranjang 108. Kurasa pendekar satu ini sangat cerdik dan sulit ditaklukkan...."
Selagi Sangsang dan Sunti alias Sepasang Iblis
Pendulang Sukma saling berbincang....
"Pelayan! Kalau kau tidak segera kemari, meja-
meja ini akan kuhancurkan!"
Dari arah seberang terdengar Tengkorak Berju-
bah mengeluarkan suara sembernya, membentak.
Mendengar nada ancaman, buru-buru salah
seorang pelayan tergopoh-gopoh dengan tubuh geme-
tar melangkah mendekat
"Sediakan makan serta arak. Cepat!"
Sang pelayan segera berbalik, dan melangkah
ke dalam. Namun baru saja dua tindak melangkah.
"He! Sini!" bentak Sangsang.
Tergopoh-gopoh pelayan itu melangkah ke arah
meja Sangsang dan Sunti.
"Aku ayam panggang dan sebumbung arak!"
Sang pelayan mengangguk beberapa kali, lalu
berbalik menuju ke dalam. Sejenak mata Sangsang
melirik Tengkorak Berjubah. Namun yang dilirik tak
begitu menghiraukan, karena sepasang mata merah-
nya sedang mengawasi seksama perempuan di samp-
ing Sangsang, yang tak lain Sunti.
"Seandainya kita tidak sama-sama menjalan-
kan perintah Malaikat Berdarah Biru, ingin rasanya
aku menikmati kehangatan tubuhmu kembali seperti
dulu! Hm.... Tapi, masih ada waktu...," kata batin Tengkorak Berjubah.
Sementara itu, sang pelayan telah muncul
kembali dengan membawa pesanan Tengkorak Berju-
bah. Belum sampai pelayan berbalik beranjak ke meja
Sangsang, Tengkorak Berjubah telah mengangkat tan-
gannya. Diambilnya teko berisi arak dan diteguknya
dengan lahap. Dayang Lembah Neraka yang berada di sam-
pingnya memandang dengan perasaan mangkel. Na-
mun sejenak kemudian dia telah mulai pula menyan-
tap makanan di hadapannnya.
Sebentar saja makanan dan arak terlahap habis
oleh Tengkorak Berjubah. Kini laki-laki berwajah se-
ram itu mengangguk pada Dayang Lembah Neraka Ke-
duanya lantas berdiri.
Tengkorak Berjubah menuju ambang pintu, se-
dang Dayang Lembah Neraka melangkah mendekati
meja. Tempat Sepasang Iblis Pendulang Sukma berada.
"Sesuai kesepakatan, aku bersama Tengkorak
Berjubah akan bertolak ke arah barat. Kalian ke selatan. Tujuh hari di muka,
kita kembali bertemu di sini!"
ujar Dayang Lembah Neraka seraya memandang Sepa-
sang Iblis Pendulang Sukma.
Yang diajak bicara tak ada yang angkat bicara.
Keduanya hanya mengangkat kepala masing-masing,
memandang pada Dayang Lembah Neraka.
"Jahanam! Setelah urusan ini selesai, mulut
kalian akan kubuat tidak bisa bicara sungguhan!" desis Dayang Lembah Neraka
dalam hati, seraya menge-
palkan kedua tangannya. Sepasang matanya mendelik.
Rahangnya yang menonjol kokoh mengembung mena-
han jengkel. Tapi lantas tubuhnya berbalik ketika terdengar Tengkorak Berjubah
memanggilnya. Sampai di pintu kedai, Dayang Lembah Neraka
masih menoleh pada Sepasang Iblis Pendulang Sukma.
Tapi karena yang dipandang sedang menyantap maka-
nan, sehingga hanya sepasang kakinya yang bisa di-
hentak-hentakkan untuk melepaskan perasaan kece-
wa. Akibatnya kedai itu sedikit bergetar.
Sepasang Iblis Pendulang Sukma ternyata tahu
kelakuan Dayang Lembah Neraka. Dan mereka sama-
sama tersenyum.
"Si tua jelek itu punya nyali juga rupanya!" kata Sangsang, seraya melirik
Sunti. Sunti mengangguk dan balas melirik. "Jahanam
tua itu nanti serahkan saja padaku. Aku ingin mem-
buktikan apakah nama besarnya bukan isapan jempol
belaka!" Kembali mereka melanjutkan makannya. Dan sebentar kemudian, dari luar
kedai terdengar derap
langkah kuda menghentak meninggalkan kedai. Hanya
beberapa saat saja derap langkah kuda berlalu, tam-
pak sesosok tubuh mengenakan baju hijau. Rambut-
nya dikuncir ekor kuda. Sosok yang tak lain Aji alias Pendekar Mata Keranjang
108 ini segera melangkah
pelan menuju kedai.
Di ambang pintu masuk, sepasang kaki Pende-
kar Mata Keranjang 108 seperti terpantek. Dadanya
berdebar keras. Sementara kedua tangannya mengep-
al. Matanya membeliak tak kesiap.
"Sepasang Iblis Pendulang Sukma! Manusia-
manusia keji yang mencederai Eyang Wong Agung! Kali
ini kalian tidak akan lolos dari tanganku!" gumam Aji dalam hati seraya
berbalik. "Kutunggu kalian di luar!"
Pendekar Mata Keranjang 108 langsung berke-
lebat ke arah tempat terdapatnya dua kuda sedang di-
tambatkan. Beberapa orang pelayan yang sempat menang-
kap gerak-gerik Aji segera saling berpandangan. Mere-ka seperti merasakan,
pemuda berambut dikuncir itu
menaruh hawa amarah pada tamu yang kini sedang
menyantap makanan. Dan untungnya, kedua tamu itu
tak melihat sosok yang baru datang. Sementara, para
pelayan tetap saling bicara berbisik, dengan sesekali memandang Sepasang Iblis
Pendulang Sukma.
Bisik-bisik serta pandangan para pelayan ru-
panya tertangkap Sangsang. Karena merasa dirinya di-
bicarakan Sangsang naik pitam. Meja di depannya ser-
ta-merta digebraknya.
Brak! Empat kaki meja masing-masing patah satu
depa. Hebatnya meski kaki empat patah, makanan di
atas meja tak bergeming sama sekali.
"He! Kamu sini!" teriak Sangsang seraya me-lambaikan tangan pada salah seorang.
Orang yang dipanggil sejenak memandang pada
temannya sesama pelayan. Keringat dingin langsung
membasahi seluruh tubuhnya.
"He! Kalau kau tak lekas kemari, kepalamu
akan kuhancurkan!"
Orang yang dipanggil melangkah perlahan,
mendatangi dengan tubuh menggigil ketakutan.
"Apa yang kalian omongkan, he"!" bentak Sangsang dengan mendelikkan satu
matanya. "Ngg.... Anu, Tuan. Ngg..., ada seseorang yang
akan masuk kedai. Namun setelah melihat tuan ber-
dua, orang itu mengurungkan niatnya...," kata pelayan dengan suara seolah
menggantung di tenggorokan.
"Ha... ha... ha...!"
Mendengar keterangan pelayan, serta-merta
tawa Sangsang meledak. Namun tiba-tiba saja ledakan
tawanya berhenti.
"Lantas, apa anehnya kalian terus memandangi
ku seraya bisik-bisik"!"
"Orang itu tampaknya memandang tuan berdua
dengan sinar mata berbeda!" jawab pelayan ini, setelah dapat menguasai jalan
nafasnya. "Kau jangan omong berbelit-belit!" sergah Sunti.
"Apa maksudmu dengan sinar mata berbeda!"
"Pandangan orang itu mengisyaratkan keben-
cian dan kegeraman. Matanya membelalak, serta tan-
gannya mengepal..."
Sangsang dan Sunti menebarkan pandangan
mata masing-masing ke seluruh ruangan kedai hingga
halaman depan. "Katakan, bagaimana orang itu"!" tanya Sangsang dengan mata masih mengawasi.
Sejenak dahi sang pelayan berkernyit seolah
mengingat. "Dia masih muda dan tampan. Bajunya warna
hijau yang dilapis pakaian dalam warna kuning lengan panjang. Rambutnya panjang
dan dikuncir ekor ku-da,..." Serentak Sepasang Iblis Pendulang Sukma saling
berpandangan. Kumis Sangsang bergerak-gerak
pertanda bibir di baliknya menyunggingkan senyum.
Sementara Sunti masih mencoba menduga-duga.
"Pendekar Mata Keranjang 108!" gumam Sang-
sang seraya berkelebat, dan tahu-tahu telah berdiri di depan pintu kedai.
Sunti terlonjak kaget mendengar Sangsang me-
nyebut nama Pendekar Mata Keranjang 108. Hingga
untuk beberapa saat, dia hanya duduk bengong. Na-
mun buru-buru dia berdiri, dan melangkah cepat ke
arah Sangsang yang kini telah berdiri di halaman kedai dengan tubuh berputar.
Matanya nyalang ke sudut-sudut di sekeliling tempat itu.
"Apakah dugaanmu tidak keliru, Kakang?"
tanya Sunti, ikut-ikutan melayangkan pandangan.
"Ciri-ciri itu tak ada duanya! Lagi pula, men-
dengar keterangan pelayan yang katanya pendekar itu
memandang kita dengan perasaan benci, maka tak ada
lain dialah Pendekar Mata Keranjang 108! Dialah yang kita cari!" jawab Sangsang
pula. Namun hingga beberapa lama kedua orang ini
mencari di sekitar tempat itu, tak juga menemukan
apa yang diharapkan.
"Aku akan menyelidik agak jauh sedikit! Kau
tunggu sebentar di sini!"
Sangsang lalu berkelebat dan menghilang dari
halaman kedai Baru saja Sunti hendak melangkah kembali
masuk ke dalam kedai, Sangsang telah kembali mun-
cul di hadapannya dengan raut mengisyaratkan keke-
cewaan. "Aku tak menemukannya! Dia rupanya ketaku-
tan melihat kita, lalu pergi dengan cepat! Kita terlambat.... Berarti kita harus


Pendekar Mata Keranjang 7 Persekutuan Para Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

segera menentukan arah untuk mengejarnya!" jelas Sangsang.
"Tapi, Kakang.... Aku jadi ragu. Mungkin orang
itu bukan Pendekar Mata Keranjang 108. Kalau me-
mang dia, tentunya tak akan lari. Karena bagaimana-
pun juga, kita punya silang sengketa dengannya. Wa-
laupun tak secara langsung. Karena, kita telah berhasil membuat Gurunya cedera!"
sergah Sunti. "Kalau bukan dia, lantas keparat siapa lagi
yang mempunyai ciri-ciri seperti itu"!" kata Sangsang dengan suara keras. Mata
satu-satunya membeliak
merah, menindih rasa geram.
Mendengar nada keras Sangsang, Sunti mena-
rik napas dalam-dalam. Dan Sangsang segera menya-
dari diri Lantas kakinya melangkah mendekati wanita ini.
"Kita harus segera pergi dari sini. Kurasa, keparat itu belum terlalu jauh! Kita
menuju arah selatan sambil bertanya-tanya di jalan yang kita...."
Habis berkata Sangsang melangkah menuju ke
arah kudanya ditambatkan. Begitu sampai, matanya
sontak tercengang. Karena tadi terburu-buru, hingga
dia tidak sempat melihat kuda tunggangannya. Ternya-
ta kuda tunggangan yang ditambatkan tinggal satu!
"Bangsat! Berarti keparat itu mengambil kuda
satunya, dan dibawa untuk melarikan diri!" rutuk Sangsang seraya berpaling pada
Sunti. Tepat ketika kepalanya berpaling, sesosok tu-
buh melesat turun dari atap kedai. Dan tahu-tahu, sosok itu telah berdiri tegak
di halaman kedai sambil
memperdengarkan nyanyian tak karuan. Lantas ma-
tanya memandang tajam ke arah Sangsang.
"Kau mencari binatang mu...!"
"Dia rupanya!" gumam Sunti dengan mata
membelalak tak kesiap.
Sementara Sangsang berkelebat mendekati
Sunti, saat mengetahui siapa pemuda yang kini berdiri di halaman kedai.
"Sunti! Kita harus hati-hati! Bukan mustahil
dia kini lebih hebat, dibanding saat kita melawannya di Jurang Guringring! Kita
langsung menggebraknya dengan jurus pamungkas, agar tidak berlama-lama!"
Sunti mengangguk perlahan dengan pandangan
lurus ke arah Pendekar Mata Keranjang 108.
"Pendekar Mata Keranjang 108! Kalau kau ber-
sedia menyerahkan kipas serta bumbung bambu yang
ada di tanganmu, kau bisa pergi leluasa!" kata Sunti, pongah.
"Ha... ha... ha...!"
Aji tertawa ngakak. Matanya menyengat satu
persatu pada Sangsang dan Sunti.
"Kalian dengar baik-baik! Aku memang telah
lama mencari kalian. Tentunya, kalian tahu kalau ma-
sih punya hutang padaku!" sahut Pendekar Mata Keranjang 108, kalem.
"Ha... ha... ha...!"
Kini balik Sangsang dan Sunti yang keluarkan
tawa panjang. "Sunti...!" kata Sangsang tanpa menoleh pada Sunti. "Kau dengar kata-katanya"
Rupanya anak ini ingin balas budi terhadap gurunya...!"
"Hai, Anak Tampan! Jika mau belajar dengan
nasib yang menimpa Gurumu, kau akan segera me-
nyerahkan apa yang kami minta! Jika tidak, kau akan
mengalami nasib yang sama. Bahkan akan lebih parah
lagi!" timpal Sunti.
"Kau telah tahu kesalahan kalian. Sebaiknya,
kalian cepat sadar dan segera bersujud di hadapanku!"
"Keparat! Kaulah yang harus menjilat kakiku!"
bentak Sangsang, seraya menghantamkan kedua tan-
gannya. Wesss...!
Seberkas cahaya hitam langsung bergulung-
gulung melesat ke arah Aji, disertai suara gemuruh
dahsyat serta menebarkan hawa panas.
Pendekar Mata Keranjang 108 tak tinggal diam.
Cepat tubuhnya direbahkan ke samping. Sambil ber-
gulingan di atas tanah halaman kedai, dilepaskannya
pukulan jarak jauh untuk memapak serangan.
Wuuut! Darrr! Dentuman keras segera mengguncang tempat
itu. Hawa panas menyengat menerabas, membuat
daun-daun pohon di sekitar tempat ini berguguran lu-
ruh dengan keadaan hangus!
Tubuh Sangsang terjajar beberapa tindak ke
belakang. Sementara tubuh Aji terus bergulingan. Be-
gitu tubuhnya berhenti, Pendekar Mata Keranjang 108
cepat bangkit dan cepat pula berkelebat ke arah Sunti.
Sunti yang tidak menyangka, jadi terkejut bu-
kan main. Namun buru-buru tubuhnya diputar, dan
tahu-tahu menukik deras ke arah Aji dengan sepasang
kaki lurus mengarah dada. Sementara kedua tangan-
nya bersiutan, membentuk beberapa gerakan yang su-
lit diikuti mata.
Wut! Wut! Pendekar Mata Keranjang 108 berdiri tegak
menunggu. Begitu sejengkal lagi sepasang kaki dan
tangan Sunti menerabas, tubuhnya direbahkan ke be-
lakang. Kedua kakinya lantas diangkat tinggi, seakan membuat gerakan berbalik.
Lalu.... Des! Des! "Aaakh! Aaakh...!"
Terdengar dua kali berurutan benturan keras.
Tampak tubuh Sunti melayang mental, lalu terbanting
di atas tanah. Sementara tubuh Aji hanya terkapar, setelah bergulingan beberapa
kali. Namun baru saja Aji bangkit....
Wesss! Serangkum angin keras menyambar dari arah
belakang Pendekar Mata Keranjang 108. Begitu berpal-
ing, Aji terpaku. Larikan gelombang hitam bergerak cepat ke arahnya. Dia
berusaha menghindari namun ter-
lambat. Hingga...
Desss! "Aaakh...!"
Tanpa ampun lagi larikan gelombang hitam
yang ternyata serangan Sangsang menerabas tubuh
Pendekar Mata Keranjang 108. Aji berseru tertahan.
Tubuhnya terpental, dan jatuh bergedebukan di atas
tanah. Bibirnya pecah mengeluarkan darah. Dadanya
seakan terburai barang berat. Sehingga untuk sesaat
nafasnya tersengal-sengal.
Melihat lawan tak berdaya, seakan diberi aba-
aba, Sepasang Iblis Pendulang Sukma segera berkele-
bat bersamaan. Tubuh mereka lantas saling merapat.
Dan kejap itu juga, mereka menghentakkan tangan
masing-masing. Wusss...! Empat larikan gelombang hitam melesat ken-
cang, mengarah pada Pendekar Mata Keranjang 108
yang sedang bangkit.
Mendapati hujan serangan, Pendekar Mata Ke-
ranjang 108 segera menarik kipas dari balik bajunya
dan segera merentangkannya di depan dada. Dan se-
depa lagi larikan gelombang hitam itu menghantam,
kipasnya secara melingkar ke depan dikebutkan.
Werrr! Terdengar suara kipas menderu. Bersamaan
dengan itu, menebar cahaya putih lengkung.
Bagai gelombang dahsyat, cahaya putih yang
menebar dari kipas Pendekar Mata Keranjang 108 me-
nelan lenyap larikan gelombang hitam serangan Sepa-
sang Iblis Pendulang Sukma. Di lain kejap....
Blarrr...! Terdengar benturan membahana. Sepasang Ib-
lis Pendulang Sukma merasakan tubuhnya bagai ter-
hembus gelombang dahsyat. Mereka cepat mengerah-
kan tenaga untuk bertahan agar tidak terpental. Na-
mun hembusan gelombang yang tak terlihat seakan
tak mudah ditaklukkan.
"Hiaaa...!"
Disertai bentakan, Sepasang Iblis Pendulang
Sukma segera melesat ke samping dengan membuat
gerakan bersalto.
Begitu mendarat, Sangsang keluarkan dengu-
san keras. Mata satu-satunya merah menyala.
"Heaaa...!"
Didahului bentakan, tubuh satu dari Sepasang
Iblis Pendulang Sukma melesat hilang dari pandangan.
Sementara itu, Aji yang kini telah bangkit sege-
ra menengadahkan kepalanya mencari tahu arah ma-
na lawan berada. Tapi baru saja kepalanya bergerak
dari arah belakang menyambar deruan angin kencang.
Menyangka serangan datang dari belakang,
Pendekar Mata Keranjang 108 cepat berbalik. Tapi, Aji tertipu. Sambaran itu
ternyata hanya sebuah tipuan
untuk mengalihkan perhatiannya. Karena serangan
sesungguhnya datang dari arah depan.
Merasa tertipu, Aji segera pula berbalik kemba-
li. Tapi gerakannya telah didahului oleh menukiknya
tubuh Sangsang. Dan....
Des! Des! "Aaakh...!"
Tubuh Pendekar Mata Keranjang 108 sebentar
terhuyung-huyung. Namun tak berselang lama tubuh-
nya tersungkur di atas tanah. Baju bagian dadanya
terlihat berwarna biru kehitaman. Bibir dan hidungnya keluarkan darah.
Di saat yang demikian, tiba-tiba Sunti meluruk.
Langsung dikirimkannya hantaman tangan terbuka ke
arah tubuh Aji yang masih terkapar di atas tanah.
Wesss...! Aji tercekat. Dan begitu sadar akan bahaya
yang mengintai, kedua kakinya segera dihantamkan.
Sedangkan tangan kanannya menghentakan kipas,
dan tangan kiri melepas pukulan.
Wut! Wusss...! Empat sambaran menggebrak. Dua dari tan-
gan, dan dua lagi dari kaki Pendekar Mata Keranjang
108! Sunti yang tidak mengira akan balasan seran-
gan seperti itu jadi kalang kabut. Tangannya yang tadi buat menghantam segera
ditarik sedikit ke belakang.
Sedang kakinya deras melaju mendahului. Tapi....
Des! Des! Blarrr!
"Aaakh...!"
Sunti berteriak keras. Benturan antara kedua
kakinya dengan kaki Pendekar Mata Keranjang 108,
membuat tubuhnya mental balik. Namun sebelum tu-
buhnya terpental, kedua tangannya masih sempat
menghantam, memapak sentakan kipas.
Blarrr! Di lain kejap, terdengar suara gelegar keras.
Tubuh Sunti melayang, lalu terpuruk di samp-
ing Sangsang yang kini telah siap hendak menyerang.
Tapi laki-laki ini segera mengurungkan serangan
tatkala melihat tubuh Sunti yang terkapar menggeliat-geliat. Sambil melirik
tajam ke arah Aji, Sangsang
memapah Sunti bangkit duduk. Saat itulah Pendekar
Mata Keranjang 108 menjadi terperangah. Karena
sambaran kipas dan pukulan tangannya tadi sempat
menghempas bagian muka Sunti. Akibatnya, kain pe-
nutup wajah wanita itu robek dan luruh. Kini wajah
Sunti jelas terlihat
"Gila!" rutuk Aji sambil memegangi dadanya yang masih terasa nyeri akibat
tendangan kaki Sangsang. "Meski tubuhnya demikian bagus bahkan menggiurkan,
ternyata wajahnya begitu menakutkan! Hm..., selera laki-laki memang akan segera
lenyap jika memandang wajahnya. Makanya dia tak pernah melepas
kain penutup wajahnya...."
Aji terus menatap ke arah Sunti yang meski da-
lam keadaan terluka parah, namun masih mencoba
menutupi wajahnya dengan kedua telapak tangan.
"Sunti...! Kau terluka. Kumpulkan tenaga da-
lammu. Aku akan menyalurkan hawa murni ke tu-
buhmu!" bisik Sangsang, melangkah ke belakang Sunti.
"Kakang, jangan hiraukan aku. Selesaikan da-
hulu keparat itu!" kata Sunti. Suaranya tersendat.
Namun Sangsang tak mempedulikan kata-kata
wanita kekasihnya itu. Dia malah segera duduk di be-
lakangnya, dan menempelkan kedua tangan ke pung-
gung Sunti. "Aaakh...!"
Sesaat terdengar suara seruan tertahan dari
mulut Sunti, tatkala kedua tangan Sangsang mulai
memasukkan hawa murni. Bersamaan dengan itu,
asap hitam keluar dari telapak tangan Sangsang. Se-
dangkan tubuh Sunti tampak bergetar hebat. Dan tak
lama kemudian, pakaian Sunti tampak mulai hangus.
Lalu sedikit demi sedikit luruh bagai kain terbakar.
"Akan kubiarkan dulu dia menolong kawannya.
Tidak pantas rasanya menyerang orang yang dalam
keadaan begitu...," kata batin Aji, seraya duduk bersila. Segera dikumpulkannya
segenap tenaga untuk
mengatasi getaran dada yang masih terasa sakit jika
dibuat bernapas.
"Aaa...!" Tiba-tiba terdengar jeritan melengking, membuat Aji membuka kelopak
matanya. Di seberang,
nampak tubuh Sunti melejang-lejang sambil menjerit-
jerit. Sedangkan Sangsang masih tampak menyalurkan
hawa dari belakang. Sekujur tubuh laki-laki bermata
satu ini telah basah kuyup. Tubuhnya ikut bergetar.
Dan rambutnya yang riap-riapan, bagai terkena hem-
busan angin kencang.
Kelopak mata Aji yang memandang tak segera
beralih. Bahkan sejenak membeliak. Karena pakaian
Sunti bagian atas telah luruh, hingga membuat sepa-
sang payudaranya yang kencang dan putih terlihat je-
las. "Edan! Dadanya benar-benar mempesona. Jika saja wajahnya tidak demikian
menakutkan, perempuan itu betul-betul sempurna...," rutuk batin Aji tanpa
mengalihkan pandangan.
Selagi Aji terpesona dengan pemandangan ba-


Pendekar Mata Keranjang 7 Persekutuan Para Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

gus itu, tiba-tiba Sangsang bangkit. Matanya meman-
dang tajam pada Pendekar Mata Keranjang 108 sea-
kan-akan ingin memutus habis kepalanya.
"Keparat setan! Kau telah melukai kekasihku.
Tak ada balasan yang setimpal, selain tercabutnya
nyawamu!" teriak Sangsang sambil melangkah maju.
Melihat gelagat, Pendekar Mata Keranjang 108
segera pula bangkit. Matanya balas menyengat ke arah bola mata Sangsang.
"Tidak usah banyak bicara! Kau dahulu telah
menanam benih. Sekarang waktunya kau peroleh ha-
silnya!" balas Aji, datar.
"Setan jahanam! Mampus kau!" bentan Sang-
sang. Tubuh laki-laki ini segera bergerak berputar
jungkir balik, lalu mendarat lima langkah di hadapan Aji sambil mendorongkan
kedua tangannya ke depan.
Wesss...! Serangkum gelombang angin panas dan cahaya
hitam yang mengeluarkan suara deru dahsyat me-
nyambar. Namun Pendekar Mata Keranjang 108 segera
mengibaskan kipasnya. Bersamaan dengan itu tubuh-
nya melompat ke samping, menghindari serangan
Sangsang. Segera pula dikirimkannya.
Blarrr...! Bentrok pukulan yang terisi tenaga dalam sege-
ra mengguncang. Tubuh Sangsang terhuyung. Namun
sungguh tidak disangka datang serangan Pendekar
Mata Keranjang 108 dari arah samping berupa tusu-
kan pangkal kipas. Sangsang terkejut bukan alang ke-
palang. Dia berusaha melesat untuk menghindar, tapi
tusukan kipas itu lebih cepat menghadang lesatan tu-
buhnya. Hingga....
Tanpa ampun lagi, kipas itu tak terbendung
menerobos perut Sangsang. Maka satu jeritan lengking menggema di tempat itu.
Perut Sangsang nampak
mengucurkan darah. Hebatnya dalam keadaan yang
demikian, laki-laki bermata satu ini masih sempat me-nekuk tubuhnya, hingga
hampir duduk. "Heaaa...!"
Dengan bentakan tersendat, Sangsang melent-
ing ke udara. Darah segar nampak berhamburan keti-
ka tubuhnya membumbung.
Seakan tak percaya melihat kejadian di depan
matanya, Aji sesaat ternganga. Belum hilang rasa he-
rannya, tubuh Sangsang telah menukik turun dengan
kaki dan tangan sama-sama menghantam.
"Bayu Cakra Buana, terpaksa akan kule-
paskan!" gumam Pendekar Mata Keranjang 108.
Seketika Aji cepat mengebutkan kipasnya. Se-
dangkan tangan kirinya siap menghantam.
Wut! Tubuh Sangsang yang kini menukik deras
mendadak bagai tertahan tenaga yang tak terlihat.
Hingga, tubuhnya untuk beberapa lama terapung di
udara. Dan bersamaan dengan itu, hantaman tangan
Aji menerjang keras.
Des! "Aaa...!"
Untuk kedua kalinya, laki-laki bermata satu sa-
lah seorang dari manusia yang berjuluk Sepasang Iblis Pendulang Sukma menjerit
keras. Tubuhnya terpental.
Ketika jatuh di atas tanah, keadaannya begitu menge-
naskan. Perutnya berlobang dan mengalirkan darah.
Sementara dadanya kebiru-biruan. Pakaiannya sudah
terkoyak-koyak!
Sesaat tubuh Sangsang masih tampak berge-
rak-gerak disertai erangan. Namun sebentar kemudian
tubuhnya diam kaku dengan mulut menganga tanpa
bersuara lagi! 11 Sunti menjerit keras, menyaksikan kekasihnya
terkapar dan tewas begitu mengenaskan. Tanpa meng-
hiraukan lagi keadaan dirinya yang sedang terluka parah, wanita ini bangkit
dengan sepasang mata me-
nyengat tajam. Wajahnya yang ternyata lurus bagai
papan merah padam. Mulutnya yang tampak sangat
lebar, mengeluarkan ludah.
"Anjing kudis! Hidupku tak akan tenang sebe-
lum memenggal kepala dan mengunyah jantungmu!"
bentak Sunti. Sehabis berkata, Sunti melompat. Begitu berdiri
tegak satu tombak di hadapan Pendekar Mata Keran-
jang 108, tangan kanannya diangkat tinggi-tinggi di
atas kepala. Sementara tangan kirinya membuka di
depan dada. Seluruh tenaga luar dan dalam dikerah-
kan. "Hiaaa...!"
Didahului bentakan melengking, Sunti mendo-
rong tangan kirinya ke depan, ke arah Aji yang telah pula menyiapkan kipasnya di
depan dada pada tangan
kanan. Sedang tangan kiri mendorong perlahan ke de-
pan. Werrr...! Deru angin yang membawa suara bagai ombak
menghantam Pendekar Mata Keranjang 108 yang men-
getahui keadaan lawan, tidak segera melepaskan pu-
kulan. Tenaga dalamnya dikerahkan, dan dipusatkan
pada sepasang kakinya. Hingga kedua kaki Aji bagai
terpantek, dan membuat tubuhnya tak bergeming sa-
ma sekali oleh hembusan angin keras yang menyam-
bar dari tangan Sunti.
Melihat lawan bertahan, Sunti menambah te-
naga dorongnya. Namun karena keadaan tubuhnya te-
lah tak memungkinkan, membuat dorongan tangannya
tak lagi bertenaga kuat. Hingga saat Pendekar Mata
Keranjang 108 mulai menggerakkan tangan kiri men-
dorong ke depan, serta-merta tubuh perempuan sintal
berwajah menakutkan ini tampak bergetar. Namun dia
masih tak bergeming.
Pendekar Mata Keranjang 108 menambah te-
kanan. Pakaian Sunti mulai terlihat robek-robek, ter-sambar hawa panas dan angin
keras dari tangannya.
Dari balik pakaiannya yang koyak, tampak mulai terlihat darah mengalir dari
sebagian tubuhnya. Demikian
juga dari lobang hidung dan sudut bibirnya. Tampak
darah berwarna kehitaman mengalir.
Merasa dirinya dalam bahaya, dengan segenap
tenaga terakhirnya Sunti melesat ke depan. Tubuhnya
langsung bergulingan cepat di atas tanah. Dan....
Bret! Pakaian Pendekar Mata Keranjang 108 bagian
selangkangan robek lebar hingga ke dalam. Namun
bersamaan dengan itu, kipas ungu pendekar digdaya
ini menyentak keras dan ujungnya menerabas pung-
gung Sunti. Crasss! "Aaa...!"
Mulut Sunti menjerit keras. Tubuhnya terus
bergulingan, dan baru terhenti saat melabrak tubuh
Sangsang yang telah kaku menjadi mayat. Sebentar
sepasang mata wanita ini memandang sayu pada Pen-
dekar Mata Keranjang 108, lalu beralih pada tubuh di
sampingnya. "Kakang...."
Hanya itu suara yang terdengar dari mulut
Sunti. Sepasang matanya lantas meredup. Dan tak la-
ma kemudian, terpejam rapat. Wanita ini tewas dengan tangan merangkul tubuh
kekasihnya. Pendekar Mata Keranjang 108 melipat kipas
dan menyimpannya ke balik pakaian hijau. Matanya
memandang ke sekeliling. Ternyata di tempat itu kini telah banyak orang.
"Aku harus cepat menyingkir dari tempat ini...,"
kata batin Aji, seraya hendak melangkah meninggal-
kan tempat ini. Namun langkahnya tertahan ketika....
"Pendekar Mata Keranjang 108! Tunggu...!"
Dari arah belakang terdengar suara memanggil.
Murid Wong Agung dari Karang Langit ini me-
nolehkan kepalanya ke belakang.
"Ratu Pualam Putih!" seru Aji saat mengetahui siapa orang yang memanggilnya. Dan
kini sosok itu telah berdiri tegak sepuluh langkah di hadapannya.
Di situ, kini memang berdiri seorang gadis can-
tik berpakaian tebal warna putih. Rambutnya panjang
tergerai. Dan dia tak lain dari Ratu Pualam Putih.
Sebentar Aji memperhatikan. Dahinya menger-
nyit. "Hm.... Dia memakai pakaian tebal dengan lengan begitu besar panjang,
sampai menutupi seluruh
anggota tangannya. Kasihan, kau. Gara-gara aku, ke-
dua tanganmu harus disembunyikan...," kata batin Aji.
Pendekar Mata Keranjang 108 melangkah men-
dekat. "Ratu.... Sedang apa kau di sini...?" tanya Aji, agak tersendat.
Ratu Pualam Putih tersenyum, memperlihatkan
deretan giginya yang putih berkilat. Namun tiba-tiba senyumnya lenyap dengan
wajah redup. "Pendekar Mata Keranjang 108! Kau harus se-
gera ke tempatku!" ujar wanita ini.
Pendekar Mata Keranjang 108 tersentak kaget.
Tubuhnya bergetar. Dia langsung teringat akan janji
yang telah diucapkan pada Ratu Pualam Putih, serta
keterangan perempuan tua berpakaian compang-
camping yang dipanggilnya dengan sebutan Eyang.
"Sialan! Bagaimana ini" Aku telah berjanji pa-
danya untuk menolong. Sementara untuk menolong-
nya, menurut penuturan perempuan tua itu, aku ha-
rus menjalani Anggoro Pati.... Malang benar nasibku!"
Melihat gerak-gerik Aji, sepasang mata Ratu
Pualam Putih melebar. Dahinya berkerut.
"Ada apa dengan dirimu, Pendekar...?" tanya Ratu Pualam Putih. Suaranya merdu,
seperti meluncur
dari bibirnya yang merah merekah.
Aji tampak gelagapan dengan pertanyaan gadis
di hadapannya. "Hm.... Nampaknya kau ketakutan. Apa kau ta-
kut jika aku menagih janji padaku...?" tukas Ratu Pualam Putih.
Paras Aji seketika berubah merah padam. Dia
mengeluarkan gumaman tidak jelas, sementara pan-
dangan matanya ke arah lain.
Ratu Pualam Putih tersenyum.
"Pendekar Mata Keranjang 108! Kau tak usah
khawatir. Aku tidak akan menagih janjimu, meski kau
sendiri yang mengucapkan janji itu. Aku sudah tahu,
jika kau tidak akan mampu melaksanakan janjimu!
Namun bukan itu masalahnya aku mengajak mu ke
tempatku...!" kata Ratu Pualam Putih, perlahan.
Mendengar keterangan Ratu Pualam Putih, Aji
segera mengalihkan pandangannya pada gadis cantik
di hadapannya. Tapi sebelum dia sempat bertanya....
"Kita tak bisa bicara di sini. Lihat! Beberapa
orang dari tadi terus mengawasi mu...," kata Ratu Pualam Putih mendahului,
seraya memandang ke sekelil-
ing. Pendekar Mata Keranjang 108 ikut-ikutan me-
mandang ke sekeliling. Beberapa orang memang tam-
pak terus mengawasinya. Malah mereka memandang
dengan tawa ditahan-tahan.
Aji semakin tak mengerti ketika saat itu tiba-
tiba saja Ratu Pualam Putih mengalihkan pandangan
jauh-jauh dari tubuhnya. Wajahnya tampak disembu-
nyikan. "Aneh! Apa yang Ratu lihat hingga bersikap demikian. Dan juga orang-
orang itu memandangku sepertinya mengejek menertawakan ku. Ada apa ini?"
Setelah menebar pandangan ke sekeliling, Pen-
dekar Mata Keranjang 108 menghujamkan pandan-
gannya pada Ratu Pualam Putih.
"Ratu! Ada apa sebenarnya..."!" Yang diajak bicara tidak menjawab. Malah
wajahnya dipalingkan
dengan bahu terguncang. Merasa jengkel, Aji segera
melangkah mendekati seseorang yang sedari tadi dili-
hatnya cengar-cengir.
Melihat Aji melangkah mendekati, beberapa
orang di situ tampak tambah tertawa tertahan-tahan.
Dan ini membuat Aji semakin jengkel.
Dengan sekali berkelebat, Pendekar Mata Ke-
ranjang 108 tahu-tahu berdiri di depan seseorang. Ba-ju orang itu serta-merta
ditariknya, hingga terangkat.
"Dengar! Jika tak ingin kepalamu copot, kata-
kan apa yang membuatmu tertawa seperti menghina!"
dengus Aji dengan suara agak dikeraskan.
Sebenarnya, Pendekar Mata Keranjang 108
berbuat demikian hanya menakut-nakuti agar orang
ini mau bicara.
Dan orang yang diancam ciut juga nyalinya.
Namun, dia sepertinya tak bisa segera mengutarakan
apa yang ada di tenggorokan. Hingga dia hanya bisa
mengarahkan telunjuk ke bawah, memberi isyarat.
Mata Aji terbeliak ke bawah. Namun dia tak
menemukan yang membuatnya lucu.
"He! Kau jangan main-main! Katakan saja, tak
usah main tunjuk-tunjuk segala!" bentak Aji dengan mata sengaja dipelototkan.
"Anu.... Anu Pendekar...!" kata orang yang ditanya tersendat. "Ngg.... Kelereng
milik Pendekar...."
Sebelum orang ini meneruskan kata-katanya,
Pendekar Mata Keranjang 108 segera menurunkan
tangannya dari bajunya. Lalu dengan perlahan-lahan
matanya melirik ke bawah.
Sekonyong-konyong wajah Pendekar Mata Ke-
ranjang 108 bagai terbakar. Ternyata pakaian bagian
selangkangannya robek lebar, akibat sambaran tangan
Sunti. Sehingga, membuat dua kelereng yang meng-
gandul miliknya terlihat jelas.
"Jangkrik! Sial!" maki Pendekar Mata Keranjang 108, langsung cepat berkelebat
sambil menutupi bu-rung dan kelerengnya.
Karena Ratu Pualam Putih sudah mendahului,
Pendekar Mata Keranjang 108 pun lantas menyusul


Pendekar Mata Keranjang 7 Persekutuan Para Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dari belakang dengan langkah lebar-lebar.
Sementara beberapa orang yang menyaksikan
kejadian itu makin tertawa tertahan-tahan. Dan tawa
mereka baru meledak, ketika Pendekar Mata Keranjang
108 sudah tidak terlihat lagi.
SELESAI Tunggu Serial Pendekar Mata Keranjang 108 selanjut-
nya: GEGER PARA IBLIS
Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
Misteri Dewi Pembalasan 2 Serba Hijau Serial Oey Eng Si Burung Kenari Karya Xiao Ping Wanita Gagah Perkasa 13
^