Pencarian

Geger Para Iblis 3

Pendekar Mata Keranjang 8 Geger Para Iblis Bagian 3


menghantam. Serangan
ini sebenarnya hanya untuk mengalihkan perhatian.
Karena begitu lawan menghindari terjangan kaki ki-
rinya, tangan kirinya cepat mengibaskan. Sedangkan
tangan kanan menusuk dengan pangkal kipas.
Namun Bayangan Seribu Wajah rupanya bisa
membaca tipuan ini. Nyatanya, dia tidak berusaha
menghindar. Malah sambil mengeluarkan tawa ngikik,
disambutnya terjangan kaki kiri Aji dengan pentangan tangan di depan dada. Lalu
begitu terjangan itu sampai, kedua tangannya segera diputar. Sehingga, mau
tak mau Aji harus menarik pulang kaki kirinya.
Namun Aji pun tak mau serangannya sia-sia.
Sambil menarik kembali kaki kirinya, kedua tangannya segera bergerak. Tangan
kirinya yang terbuka didorong perlahan ke arah dada. Sedangkan tangan kanan yang
memegang kipas disabetkan melengkung
Wusss...! Desiran angin kencang yang menggemuruh mele-
sat, disusul kemudian sambaran sinar keputihan me-
lengkung. Bayangan Seribu Wajah sadar bahaya sedang
mengancamnya. "Huhhh...!"
Sambil mendengus keras, Bayangan Seribu Wa-
jah langsung berkelebat ke samping, menghindari
sambaran serangan tangan kiri Aji. Lalu, mendadak
tubuhnya terus bergulingan di atas tanah. Pada gulingan kelima, dia berhenti.
Langsung kedua tangannya
dihantamkan, memapasi sinar putih lengkung dari ki-
basan kipas ungu Pendekar Mata Keranjang 108.
Wuttt...! Wusss...! Blarrr...! "Aaakh...!"
Suara desiran-desiran yang sejak tadi melingkupi
akibat bias pukulan Bayangan Seribu Wajah atau Pen-
dekar Mata Keranjang 108, segera punah oleh gelegar dahsyat. Memang begitu keras
hantaman kedua tangan Bayangan Seribu Wajah bentrok dengan sinar pu-
tih melengkung. Bahkan gadis itu sampai menjerit tertahan.
Tampak tubuh Bayangan Seribu Wajah melenting
ke udara, lalu jatuh berdebuk di atas tanah dengan
pakaian berubah warna agak kebiruan.
Sementara Pendekar Mata Keranjang 108 sendiri
terjajar tiga langkah ke belakang. Tubuhnya ter-
huyung-huyung, lantas jatuh terduduk.
"Keparat! Kubunuh kau!" bentak Bayangan Seribu Wajah seraya bangkit.
Dan tiba-tiba saja tubuh gadis itu berputar mele-
sat ke udara, lalu lenyap dari pandangan.
"Gila! Ke mana dia lenyapnya"!" gerutu Aji dalam hati sambil memutar kepalanya,
mencari Bayangan Seribu Wajah.
Sewaktu Aji memutar pandangan, mendadak
menebar hawa dingin yang disertai aroma bunga kam-
boja dari belakang. Seketika tubuhnya berbalik cepat.
Ternyata, Bayangan Seribu Wajah telah berdiri tegak dengan senyum satu langkah
di belakangnya. Dan sebelum sempat Pendekar Mata Keranjang 108 melompat
menjauhkan diri, kedua tangan gadis itu telah terlebih dahulu berkelebat
menyambar ke arah pelipis.
Werrr...! Deru angin kencang melesat mendahului hanta-
man tangan Bayangan Seribu Wajah, membuat Aji ter-
huyung sedikit. Saat demikian itulah hantaman kedua tangan Bayangan Seribu Wajah
datang! Wuttt...! Dengan menindih rasa terkejut, Aji mengerahkan
segenap tenaga untuk melenting ke atas. Namun ju-
stru saat itulah secepat kilat Bayangan Seribu Wajah menarik kembali kedua
tangannya seraya melepas ka-ki kanannya. Dan....
Bukkk! "Aaakh...!"
Pendekar Mata Keranjang 108 seketika merasa-
kan dadanya seperti jebol begitu tendangan Bayangan Seribu Wajah mendarat telak.
Disertai lenguhan pendek, tubuhnya meluncur deras lima tombak, dan baru
terhenti ketika punggungnya menghempas tiang pe-
nyangga kedai. Saat itu juga tiang kedai patah dan
atapnya runtuh, menimpa tubuh Pendekar Mata Ke-
ranjang 108 yang terkapar di bawahnya.
"Jangkrik! Keras benar tendangannya. Dadaku
terasa ambrol, dan sakit bukan alang kepalang. Napas ku sesak. Huhhh...! Mataku
sedikit berkunang-kunang. Benar-benar gila!" keluh Pendekar Mata Keranjang 108.
Untuk beberapa saat lamanya dia hanya
diam tak bergerak.
Namun tatkala matanya melihat Bayangan Seribu
Wajah melangkah mendatangi, Pendekar Mata Keran-
jang 108 segera bangkit dari timbunan atap kedai. Seketika tubuhnya berkelebat
menyongsong langkah ga-
dis itu, sambil melepaskan pukulan 'Bayu Cakra Bua-
na'. Sementara, tangan kanannya lurus mengebutkan
kipasnya. Wuttt...! Wesss...!
Seketika larikan-larikan sinar putih redup meng-
gebrak, mengeluarkan suara deru dahsyat. Di sekejap lain menyusul tebaran angin
dingin menusuk!
Menyadari adanya serangan berbahaya, Bayan-
gan Seribu Wajah cepat menghalau. Kedua tangannya
disentakkan bersiutan terus menerus, membuat kila-
tan-kilatan merah yang menyambar dari kedua tan-
gannya bagai hujan tak henti-hentinya.
"Heh"!"
Namun Bayangan Seribu Wajah menjadi pucat
pasi tatkala mendapati serangannya bagai tertahan
dinding karang. Dan bahkan sedikit demi sedikit le-
nyap ditelan sinar redup putih pukulan sakti 'Bayu
Cakra Buana'. Dan wajahnya semakin pias bagai ka-
fan, ketika matanya menangkap sinar redup putih terus saja menerabas ke arahnya.
"Ah!"
Bayangan Seribu Wajah mengeluarkan seruan
seolah-olah terkejut cemas. Dia hampir tak percaya
dan tak habis pikir, mengapa serangan andalannya begitu mudah hilang lenyap"
Dengan wajah terheran-
heran, tubuhnya direbahkan sejajar tanah. Lalu tiba-tiba kedua tangannya kembali
disentakkan untuk
membendung lesatan sinar putih redup.
Wesss...! "Heh..."!"
Namun usaha Bayangan Seribu Wajah tak ada
hasilnya. Ternyata lesatan sinar sambaran tangan
Pendekar Mata Keranjang 108 tak bisa ditahannya.
Akibatnya.... Plassshh...! "Aaa...!"
Terdengar jeritan melengking dari mulut Bayan-
gan Seribu Wajah tepat ketika tubuhnya melayang.
Tubuh itu meliuk sebentar, lalu roboh ke tanah yang baru saja tersiram air
hujan. Mendapati lawan roboh, Pendekar Mata Keran-
jang 108 segera berkelebat mendekati. Dia khawatir, Bayangan Seribu Wajah masih
mampu bertahan. Namun langkah pendekar murid Wong Agung ini terhenti, ketika
yakin kalau gadis itu tak lagi bangkit dengan sepasang mata terbelalak seperti
menyimpan dendam.
Jelas, dia telah tewas!
Pendekar Mata Keranjang 108 segera berbalik
dan berkelebat ke arah barat, arah Candi Singasari.
Begitu sosok Aji tak lagi tampak, beberapa orang
di kedai yang sedari tadi melihat dengan kagum dan
khawatir, segera menghambur keluar.
Berpasang-pasang mata serentak melotot dengan
mulut menganga, seperti hampir tak percaya. Gadis
cantik berbaju merah yang tadi sempat menyantap
makanan di kedai, tubuhnya perlahan-lahan berubah.
Wajahnya yang tadinya putih dan tampak kencang
dengan dada membusung menantang, berubah menja-
di wajah seorang nenek-nenek. Rautnya keriput dan
kehitaman. Dadanya pun kendor, hampir menyentuh
perut! *** 7 Tidak sulit bagi Pendekar Mata Keranjang 108
untuk menemukan Candi Singasari. Namun begitu su-
asana pelataran candi yang lengang, membuat pera-
saan ragu-ragu menyeruak di hatinya.
"Di bagian mana bajingan itu mendekam..." Aku
tidak melihat satu bangun pun yang layak untuk dija-dikan sebagai tempat
tinggal." gumam Pendekar Mata Keranjang 108 bertanya dalam hati. Pandangan
matanya yang tidak kesiap diarahkan jauh ke depan,
mengitari pelataran dan sisi candi.
Tapi perasaan ragu-ragu pendekar murid Wong
Agung ini sedikit sirna. Malah matanya segera dipe-
jamkan. Sementara pendengarannya ditajamkan. Begi-
tu matanya dibuka kembali, Pendekar Mata Keranjang
108 segera menyelinap ke balik sebuah pohon.
"Aku merasakan ada getaran-getaran halus yang
tak henti-hentinya...," kata batin Pendekar Mata Keranjang 108. "Hmm.... Ini
getaran-getaran yang diaki-batkan tenaga dalam. Aku harus berhati-hati. Yang
membuat getaran-getaran ini pasti mempunyai ilmu
cukup tinggi. Dan sebaiknya, aku menunggu sebentar
sambil menyelidik sekitar tempat ini...."
Berpikir begitu, Pendekar Mata Keranjang 108
segera berkelebat cepat mengitari pelataran candi. Namun sebegitu jauh sumber
getaran yang kini terasa
mulai agak sirna belum bisa ditemukan.
Dan baru saja Pendekar Mata Keranjang 108
hendak melanjutkan penyelidikikannya, sepasang te-
linganya menangkap suara benda bergesek. Kedua ma-
tanya segera nyalang mencari. Kakinya seketika mun-
dur tiga langkah ke belakang. Sementara matanya tak hentinya mengawasi ke depan.
Tepatnya, ke bagian be-
lakang candi yang sepertinya tak terawat baik.
"Suara itu berasal dari sana...," bisik Pendekar Mata Keranjang 108.
Selagi berpikir begitu, tiba-tiba dari bagian bela-
kang candi melesat sebuah bayangan hitam.
"He... he... he...!"
Kemudian menyusul suara tawa mengekeh. Keti-
ka suara tawa lenyap, tahu-tahu....
"Jangan berani berbuat macam-macam di sini ji-
ka nyawamu masih kau perlukan!"
Terdengar suara bentakan dahsyat seketika Pen-
dekar Mata Keranjang 108 menoleh, melihat satu so-
sok telah berdiri empat tombak di belakang. Dan baru saja Aji berbalik, sosok
itu telah menghentakkan kedua tangannya.
Dua rangkum angin kencang laksana gemuruh
gelombang segera menyapu ke arah Pendekar Mata Ke-
ranjang 108! Aji terperangah. Raut mukanya berubah seketika
dengan mata membesar. Namun dia tak bisa berlama-
lama karena saat itu juga sapuan angin kencang melabrak. Dengan gerakan lincah
Pendekar Mata Keranjang 108 memiringkan sedikit tubuhnya. Sehingga, sambaran
angin itu hanya menghantam tempat kosong satu
jengkal di sampingnya.
"Ha... ha... ha...!"
Terdengar kembali suara tawa keras panjang
berderai-derai. Sepasang mata Pendekar Mata Keran-
jang 108 memperhatikan seksama.
"Hmm.... Siapa manusia ini?" tanya Pendekar Ma-ta Keranjang 108 dalam hati,
seraya memperhatikan
lebih seksama. Di hadapan Aji kini berdiri seorang perempuan
tua berjubah warna hitam dan bersorban. Rambutnya
putih yang panjang dibiarkan bergerai awut-awutan.
Paras wajahnya putih pucat. Namun kulit wajahnya
tebal dengan sepasang mata terpuruk ke dalam. Mu-
lutnya tak henti-hentinya bergerak-gerak, seperti mengunyah sesuatu yang tak
pernah habis. "Siapa kau"!" bentak perempuan tua berjubah hitam itu tiba-tiba.
Dahi Pendekar Mata Keranjang 108 mengernyit.
Matanya memandang tak berkedip. Dia berpikir keras, mengingat-ingat.
"Ah, aku ingat. Manusia ini adalah orang yang
dipanggul Malaikat Berdarah Biru, saat turun dari Bukit Watu Dakon. Hm..., tapi
siapa dia" Sobat Malaikat Berdarah Biru" Atau...?"
"Bocah setan!"
Pendekar Mata Keranjang 108 tidak meneruskan
kata batinnya, karena saat itu terdengar lagi bentakan dari orang di hadapannya.
Dia tak lain guru Malaikat Berdarah Biru, yakni Bayangan Iblis.
"Sebelum kurobek mulutmu, lekas jawab perta-
nyaanku!" lanjut Bayangan Iblis.
Pendekar Mata Keranjang 108 menarik kuncir
rambutnya. Bibirnya tersenyum.
"Orang tua! Namaku Aji Saputra. Aku seorang
pengelana yang tersesat jalan. Bisakah kau menun-
jukkan padaku, ke mana arah menuju tempat pema-
kaman?" jelas Aji, berpura-pura.
Bayangan Iblis tiba-tiba menghentikan gerakan
mulutnya. Sorban di kepalanya bergerak sedikit, mengikuti kerutan dahinya.
Sedangkan matanya melotot, mengawasi pemuda di hadapannya dari ujung kepala
hingga ujung kaki.
"Aneh! Pemuda tersesat jalan yang ditanyakan
tempat orang mati. Siapa kampret ini" Tapi melihat
dengan mudahnya dia menghindari sambaran seran-
ganku, jelas bukanlah orang sembarangan. Lagi pula sikapnya tak menunjukkan rasa
takut sama sekali,
meski ku gertak dengan serangan mendadak. Hmm....
Siapa sebenarnya dia...?" kata batin Bayangan Iblis.
Tatapan Bayangan Iblis menjalan terus, dan ber-
henti pada dua bola mata Aji. Bahkan kini sinar ma-
tanya mencorong tajam, seperti hendak menghujam
jantung pemuda itu.
"Bocah sesat!" kembali Bayangan Iblis membentak. "Kalau itu yang kau tanyakan,
aku bisa tunjukan padamu! Ini jalannya!"
Saat itu juga Bayangan Iblis segera melesat cepat
ke depan. Kedua tangannya yang mengepal menghan-
tamkan ke arah kanan kiri pelipis Pendekar Mata Ke-


Pendekar Mata Keranjang 8 Geger Para Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ranjang 108! Wuuut! Wuuut! Sinar putih biru redup berkilat menghantam ter-
lebih dahulu sebelum dua tangan itu menggebrak.
Pendekar Mata Keranjang 108 bertindak cepat.
Disadari betul meski belum pernah bertemu, namun
melihat serangan dadakan tadi, Pendekar Mata Keran-
jang 108 bisa segera menduga bahwa orang tua di ha-
dapannya mempunyai kepandaian tinggi. Maka sece-
pat kilat kepalanya merunduk menghindari hantaman
tangan. Kemudian kedua tangannya yang berputar di-
dorongkan. Sehingga secara tiba-tiba, tangannya men-julur hendak menangkap dua
pundak Bayangan Iblis.
Namun Pendekar Mata Keranjang 108 terperan-
jat, karena saat itu mendadak pula Bayangan Iblis
memiringkan tubuhnya ke belakang. Tepat ketika Pen-
dekar Mata Keranjang 108 menarik kedua tangannya,
hantaman kaki kanan Bayangan Iblis melesat ke de-
pan. Sehingga gerakan Aji agak terlambat. Dan....
Prakkk! "Aaakh...!"
Terdengar benturan keras. Tangan Pendekar Ma-
ta Keranjang 108 bagai tersengat jilatan api. Tubuhnya segera beringsut mundur
dengan mulut meringis kesakitan. Sementara orang tua renta itu mengeluarkan
seruan perlahan. Wajahnya yang berkulit tebal bergerak-gerak, dan berubah
menjadi mengelam.
"Kurang ajar! Siapa kau sebenarnya..."!" bentak Bayangan Iblis.
"Tadi sudah kukatakan. Apa perlu ku ulangi la-gi?" sahut Pendekar Mata Keranjang
108 masih dengan meringis.
"Orang sesat! Waktuku tidak banyak! Katakan,
apa maksudmu sebenarnya"!"
Pendekar Mata Keranjang 108 memasukkan tan-
gan kiri ke balik pakaian hijaunya. Lalu begitu keluar lagi, dalam genggamannya
terdapat robekan kain berwarna merah. Dengan senyum dikulum, dilemparkan-
nya robekan kain ke hadapan Bayangan Iblis,
Sejenak Bayangan Iblis memperhatikan wajah
Pendekar Mata Keranjang 108 dengan pandangan tak
mengerti. Lalu, matanya beralih pada robekan kain
yang kini tercampak di depannya. Tiba-tiba mata pe-
rempuan tua ini membeliak besar. Hidungnya men-
gendus. Dan sebentar kemudian, dihelanya napas da-
lam-dalam. Tingkahnya seakan-akan ingin meyakin-
kan penciumannya.
"Hmm.... Aku mencium aroma Bunga Kamboja.
Astaga! Berarti ini robekan kain pakaian Bayangan Seribu Wajah!" sentak Bayangan
Iblis. Dan sekonyong-konyong, air muka Bayangan Ib-
lis tambah memerah. Pelipisnya bergerak-gerak per-
tanda menahan amarah.
"Kurasa kau sudah tahu. Sekarang giliranmu un-
tuk menyusul temanmu itu!" usik Pendekar Mata Keranjang 108 sebelum Bayangan
Iblis bersuara. Wajah-
nya kini telah berubah. Tak ada senyum di bibirnya.
"Keparat! Kau apakan temanku itu, heh"!"
"Pertanyaan bodoh. Tapi karena orang tua yang
bertanya, aku maklum. Dengar baik-baik, biar aku tak usah mengulangi. Temanmu
yang bergelar Bayangan
Seribu Wajah, telah kukirim ke tempat pemakaman!"
jelas Pendekar Mata Keranjang 108 enteng.
Bayangan Iblis melengak kaget. Tanpa terasa dia
menelan liurnya sendiri. Mulutnya bergerak-gerak lebih cepat dan keras, seraya
menggumam sesuatu yang
tidak jelas. Lantas kakinya mundur dua langkah. Ke-
palanya mendongak ke atas.
"Pemuda jahanam! Pasang telingamu baik-baik.
Kau saat ini sedang berhadapan dengan tokoh rimba
persilatan yang berjuluk Bayangan Iblis. Dan melihat tampang dari ciri-cirimu,
serta dendam yang kau tum-pahkan pada Bayangan Seribu Wajah, aku yakin kau
pasti pemuda yang bergelar Pendekar Mata Keranjang
108!" "Bagus! Dan untung kau telah dapat mengenali-ku, hingga aku tak perlu
susah-susah lagi menerang-
kan...!" "Hmm... begitu?" kata Bayangan Iblis sambil tertawa panjang. "Pendekar Mata
Keranjang 108! Dengar!
Jika kau bersedia menyerahkan kipas dan bumbung
bambu yang ada padamu, aku tidak akan menuntut
ke-matian Bayangan Seribu Wajah. Bahkan aku akan
menggantinya dengan perawan sebanyak yang kau
minta!" "Ha... ha... ha...!"
Pendekar Mata Keranjang 108 malah tertawa ter-
bahak-bahak. "Sayang sekali kau terlambat, Orang Tua! Aku
sebenarnya tertarik sekali dengan tawaranmu yang
membuat dadaku bergetar. Namun seperti yang kuka-
takan tadi, kau terlambat. Bayangan Seribu Wajah telah merampas kipas dan
bumbung bambu itu. Kalau
kau benar-benar menginginkannya, aku bisa mengan-
tarmu ke tempat Bayangan Seribu Wajah. Sekarang
juga!" balas Pendekar Mata Keranjang l08, enteng.
Bayangan Iblis menggeram. Tubuhnya yang renta
bergetar hebat. Lalu....
"Heaaa...!"
Didahului bentakan nyaring, tubuh perempuan
tua itu berputar hebat, dan bergulingan di pelataran candi dua kali. Pada
gulingan ketiga, tiba-tiba tubuhnya melesat ke udara dan langsung melemparkan ta-
nah yang ternyata telah tergenggam di tangannya.
Wuuuss! Wuuuss!
Pemandangan tiba-tiba redup terhalang taburan
tanah yang ternyata kini telah pula menebarkan hawa panas menyengat. Dan sebelum
taburan tanah itu
menghambur kembali ke bawah, Bayangan Iblis segera
men-dorong kedua tangannya.
Wusss...! Taburan tanah itu seketika tertahan di udara.
Dan sekejap kemudian, bergerak cepat ke arah Pende-
kar Mata Keranjang 108 laksana kabut hitam!
Pendekar Mata Keranjang 108 tercekat sebentar.
Namun seketika kedua tangannya segera dipentang-
kan, lalu digerakkan ke depan. Jelas terlihat kalau murid Wong Agung ini
ternyata telah melepas pukulan
'Ombak Membelah Karang'.
Wuttt! "Heh"!"
Namun mata Pendekar Mata Keranjang 108 jadi
terkesiap. Ternyata kabut hitam hamparan tanah itu
tak mempan oleh pukulan yang telah dilepaskannya.
Malah kabut hitam berhawa panas itu lebih cepat lagi bergerak!
"Edan! Pukulan 'Ombak Membelah Karang' tak
mampu membendungnya. Akan ku tahan dengan
'Bayu Cakra Buana'!"
Pendekar Mata Keranjang 108 menarik tangan ki-
rinya. Sementara tangan kanannya cepat menyelinap
ke balik baju, mengambil kipasnya. Di sekejap lain, tangan kiri dan kanannya
segera menghentak ke atas.
Wuttt! Werrr...! Hamparan tanah yang menghampar panas kon-
tan tersapu, dan berhamburan mental lalu lenyap!
"Hei"!"
Bayangan Iblis yang baru saja mendarat terkejut
bukan kepalang. Sambil menyeringai buas, dia cepat
melompat ke samping.
"Hiaaat...!"
Lalu dengan bentakan dahsyat perempuan tua
itu mengirimkan serangan dengan terjangan kaki lu-
rus. Begitu cepat terjangan kaki itu. Sehingga belum sempat Pendekar Mata
Keranjang 108 mengetahui apa
yang hendak dilakukan lawan, terjangan kaki itu telah datang menghantam.
"Celaka! Aku hampir tak percaya kalau gerakan
perempuan setua dia masih begitu cepat. Hmm.... Tak percuma jika rimba
persilatan menjulukinya Bayangan Iblis!" desis Pendekar Mata Keranjang 108 dalam
hati. Dan... Desss! Desss!
"Aaakh...!"
Pendekar Mata Keranjang 108 merasakan tubuh-
nya bagai terhantam beban berkati-kati. Kedua ka-
kinya terasa goyah, lalu tubuhnya melayang ringan
disertai keluhan panjang. Begitu membuka mata, tu-
buhnya telah terkapar di pelataran candi dengan darah
merembes dari sudut bibir.
Melihat pemuda itu terjengkang roboh, Bayangan
Iblis tak menyia-nyiakan kesempatan. Tubuhnya cepat dilorot hingga hampir
jongkok. Dan sekonyong-konyong, tubuhnya melesat ke udara. Satu tombak di
atas udara, tiba-tiba dia menukik deras dengan tangan kanan kiri terpentang siap
memukul. Sementara, kaki kanan dan kiri siap menerjang!
Aji hanya menyeringai. Tubuhnya segera bangkit
seraya mengibas-ngibaskan bajunya yang penuh den-
gan lumuran tanah. Lalu sambil menggeram disong-
songnya serangan Bayangan Iblis. Dilepaskannya satu pukulan tangan kiri. Sedang
tangan kanannya menusuk menggunakan kipas ungu.
"Hih...!"
Desss! Desss! Prakkk! "Aaakh...!"
Terdengar benturan dua kali berturut-turut. Di
lain sekejap terdengar pula bunyi patah. Sementara, perempuan renta berjuluk
Bayangan Iblis yang semula merasa di atas angin kini mengeluarkan pekikan
beberapa kali. Tangan kanan kirinya yang siap menghan-
tam ke arah kepala Pendekar Mata Keranjang 108
bermentalan. Sedangkan sepasang kakinya terhumba-
lang ke atas, membuat tubuhnya terjungkir dan me-
nyusup tanah! Di lain pihak, Aji tak bergeming sedikit pun. Na-
mun tubuhnya sebentar kemudian tampak oleng dan
jatuh terduduk.
Untuk beberapa saat perempuan tua renta guru
Malaikat Berdarah Biru itu terhenyak nanar dengan
wajah meringis menahan sakit. Dari sela bibirnya
mengalir darah kehitaman, pertanda terluka dalam.
Hebatnya, meski telah terluka Bayangan Iblis ba-
gai tak merasakannya. Dia segera bangkit.
"Heaaagh...!"
Sambil meraung keras, perempuan tua itu me-
lompat seraya mengirimkan jotosan yang telah dialiri tenaga dalam penuh.
Seett! Seeett! Pendekar Mata Keranjang 108 cepat mengem-
bangkan kipasnya dan langsung dikebut-kebutkan di
depan dada. Tubuhnya diputar hingga miring. Sepa-
sang matanya melirik ke kanan, ke arah serangan
Bayangan Iblis datang.
Jotosan-jotosan Bayangan Iblis begitu cepat dan
susul menyusul. Sehingga yang tampak hanya bayang-
bayang hitam yang melesat kian kemari mengeluarkan
sinar biru redup. Dahsyatnya, setiap kelebatan tan-
gannya yang belum menghantam sasaran, sinar putih
biru telah terlebih dahulu melesat mendahului!
Begitu sinar putih biru yang datangnya menda-
hului serangan sesungguhnya datang, Pendekar Mata
Keranjang 108 cepat menghentakkan kipasnya dari
bawah melengkung ke atas.
Weeesss! Weeesss!
Blap! Larikan-larikan sinar putih segera melingkupi,
membuat deruan sinar putih biru tertahan.
"Heh"!"
Bayangan Iblis terperangah kaget. Namun karena
tubuhnya telah telanjur maju, hingga tak ada waktu
untuk mengurungkan serangan. Maka mau tak mau
sambil menindih rasa jera yang mulai mengusik da-
danya, jotosan-jotosan tangannya diteruskan.
Wuutt...! Wuutt...!
Murid Wong Agung segera merunduk, menghin-
dari jotosan-jotosan tangan Bayangan Iblis. Dan bersamaan dengan itu tangan
kirinya dihantamkan sam-
bil memutar tubuhnya.
Sinar putih redup disertai kepalan tangan Pende-
kar Mata Keranjang 108 yang keras bukan main tidak
bila lagi dibendung. Akibatnya, langsung menghantam telak dada Bayangan Iblis.
Desss...! "Aaakh...!"
Orang tua ini meraung keras. Tubuhnya mence-
lat sampai delapan tombak. Saat tubuhnya melayang,
dia masih bisa menyadari keadaan. Maka tenaga da-
lamnya coba dikerahan untuk menahan luncuran tu-
buhnya. "Hei"!"
Namun Bayangan Iblis jadi terkejut. Semakin co-
ba menahan, semakin cepat luncuran tubuhnya. Hing-
ga tanpa bisa lagi berpikir apa yang harus diperbuat, tubuhnya telah menghantam
pintu masuk candi yang
terbuat dari batu hitam.
Brakkk...! Sekujur tubuh Bayangan Iblis telah merah ber-
mandi darah yang keluar dari lobang-lobang di seluruh tubuhnya. Begitu banyaknya
darah yang keluar, membuatnya tak mampu menggerakkan anggota tubuhnya.
Jubah hitam yang dikenakan telah terkoyak tak ka-
ruan. Rambutnya yang semula putih kini berubah
menjadi hitam berbau sangit!
Pendekar Mata Keranjang 108 yang sempat juga
terkapar, segera bangkit. Lalu kakinya melangkah,
mendekati Bayangan Iblis sambil berkipas-kipas.
"Bayangan Iblis!" panggil Pendekar Mata Keranjang 108 begitu dekat. "Tunjukkan,
di mana manusia laknat yang menggelari diri dengan Malaikat Berdarah Biru
itu...!" Yang diajak bicara hanya diam saja. Hanya sepa-
sang matanya tampak mengerjap-ngerjap, membuat
Pendekar Mata Keranjang 108 naik pitam. Aji lantas
berjongkok. Janggut Bayangan Iblis disentuh dan di-
tengadahkan ke atas. Sementara kipasnya disentakkan melipat, dan ditekankan ke


Pendekar Mata Keranjang 8 Geger Para Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pipi Bayangan Iblis.
"Jika kau tidak mau menjawab, jangan menyesal
bila pipimu akan kubuat berlobang dengan ujung ki-
pas ini!" gertak Pendekar Mata Keranjang 108 dengan mata berkilat-kilat.
Bayangan Iblis yang nampak ketakutan coba
membuka mulutnya. Namun, tak ada suara yang ter-
dengar keluar. "Sialan! Kau benar-benar ingin pipimu berlo-
bang...!" kembali Pendekar Mata Keranjang 108 menggertak.
Dan baru saja hendak membuka mulutnya....
"Kau tidak usah berlaku kasar pada orang tua ji-ka aku yang kau cari!"
Mendadak Pendekar Mata Keranjang 108 dike-
jutkan suara yang datang dari arah belakangnya. Ce-
pat Aji berpaling dan kontan terperangah....
*** 8 Seorang pemuda bertubuh kekar terbungkus ju-
bah toga warna merah menyala tahu-tahu telah berdiri tegak. Di telinga kirinya
tampak sebuah anting-anting sambil berdiri demikian, tangannya tak henti-
hentinya mengipas. Setiap kibasan kipasnya tampak menyambar sinar hitam. Setelah
sejenak mengawasi, pemuda
berjubah toga merah yang tak lain Malaikat Berdarah Biru berpaling dan meludah
ke tanah. "Phuih...!"
Pendekar Mata Keranjang 108 cepat bangkit,
memandang tajam ke depan. Sepasang matanya me-
nyipit dengan dahi membentuk beberapa kerutan. Se-
mentara tangan kirinya mengepal.
"Sialan! Dia memang benar-benar telah berhasil mendapatkan benda pusaka itu! Aku
harus berhati-hati. Dia mungkin akan jauh lebih hebat daripada beberapa tahun
silam...," rutuk batin Pendekar Mata Keranjang 108 seraya melangkah ke tengah
pelataran candi. Begitu Malaikat Berdarah Biru memalingkan wajahnya kembali, pelipisnya
bergerak-gerak. Dagunya yang kokoh mengembung dengan sepasang mata
membeliak. "Guru!" teriak Malaikat Berdarah Biru seraya menghambur ke arah Bayangan Iblis.
Pendekar Mata Keranjang 108 kaget. Sungguh
tak disangka kalau Bayangan Iblis adalah guru Malaikat Berdarah Biru.
"Hmm.... Jadi dia gurunya...!" gumam Pendekar Mata Keranjang 108 sambil
mengangguk-angguk.
"Guru! Akan ku kuliti bangsat itu!" geram Malaikat Berdarah Biru seraya menoleh
ke arah Pendekar
Mata Keranjang 108.
"Anak Agung...," panggil Bayangan Iblis perlahan dengan suara agak tersendat.
"Kau harus berhati-hati menghadapinya. Dia ternyata hebat!"
Mendengar ucapan gurunya, Malaikat Berdarah
Biru mengatupkan rahangnya rapat-rapat. Bibirnya
menyeringai, lalu mendengus keras.
"Guru! Kau tidak pantas mengeluarkan kata-kata itu di hadapanku! Kau boleh
mengakui kehebatannya.
Namun pantang bagi Malaikat Berdarah Biru."
"Anak Agung...," kata Bayangan Iblis, memanggil nama asli Malaikat Berdarah
Biru. "Kau berhak men-
gatakan itu. Tapi...."
"Cukup!" sentak Malaikat Berdarah Biru, menyela kata-kata gurunya. "Aku tak mau
mendengar lagi ucapanmu! Lihat saja nanti, siapa yang terlebih dahulu menjadi
penghuni liang kubur!"
Saat itu juga Malaikat Berdarah Biru melangkah
ke tengah pelataran candi. Matanya menyengat tajam, seakan ingin mengelupas
batok kepala Pendekar Mata
Keranjang 108. "Perbuatanmu sudah melampaui batas. Hari ini
adalah hari akhir penundaan nyawamu yang dahulu
masih kuampuni!" desis Pendekar Mata Keranjang 108. Malaikat Berdarah Biru hanya
mendongak ke atas. Bibirnya menyeruakkan senyum bernada menge-
jek. "Pendekar Mata Keranjang 108! Orang yang akan menemui ajal memang biasanya
suka mengungkit-ungkit masa lalu. Kau tahu" Ajalmu rupanya harus ditentukan
tanganku! Tangan Malaikat Berdarah Biru.
Ha... ha... ha...!" balas Malaikat Berdarah Biru pongah!
"Manusia angkuh! Seharusnya kau belajar dari
kematian gurumu si Bidadari Telapak Setan, serta
guru barumu yang kini tinggal menunggu jemputan!"
Malaikat Berdarah Biru kembali menyunggingkan
senyum mengejek. Matanya melirik pada gurunya si
Bayangan Iblis.
"Pendekar Mata Keranjang 108! Kau keliru jika
menyuruhku belajar dari mereka. Karena, mereka-
mereka adalah orang bodoh yang tak sanggup mengan-
tarmu ke liang kubur!" kata Malaikat Berdarah Biru, makin pongah. Saking
pongahnya, para gurunya dianggap orang bodoh,
"Hmm.... Rupanya kini kau tak membutuhkan
guru lagi. Apakah berarti ilmumu telah demikian ting-
gi" Bagaimana kalau kau ajarkan padaku barang seju-
rus dua jurus?" ujar Pendekar Mata Keranjang 108, bernada menantang.
"Ha... ha... ha...!"
Malaikat Berdarah Biru tertawa bergelak-gelak.
"Aku bukan hanya akan mengajarimu jurus-
jurus. Namun juga akan menunjukkan, bagaimana ca-
ranya menikmati kematian!" lanjut pemuda bernama Anak Agung ini.
Saat itu juga Malaikat Berdarah Biru segera me-
luruk ke depan sambil menghantamkan tangan kiri.
Sedangkan tangan kanan tetap mengipas-ngipas.
Wusss...! Selarik sinar biru redup melesat cepat ke arah
Pendekar Mata Keranjang 108. Rupanya Malaikat Ber-
darah Biru langsung memulai serangan dengan mele-
paskan pukulan sakti 'Badai Biru'.
Aji sadar, serangan ini amat berbahaya. Maka se-
gera kakinya bergeser ke samping, menghindari serangan Malaikat Berdarah Biru.
Maka pukulan pembuka
Anak Agung hanya menghajar tempat kosong di samp-
ing kanannya. Wajah Malaikat Berdarah Biru makin geram, me-
lihat serangan pembukanya begitu mudah dihindari.
Gigi-giginya saling beradu bergemeletak.
"Heaaa...!"
Didahului bentakan garang, Anak Agung melom-
pat sambil mengibaskan kipasnya. Sementara tangan
kirinya melepas pukulan 'Badai Biru'.
Wusss...! Wesss...! Sinar hitam, merah, dan biru bergemuruh segera
menggebrak. Sadar kalau serangan ini tak cukup hanya dihin-
dari, Pendekar Mata Keranjang 108 segera bertindak
cepat. Tangan kanannya cepat mengebutkan kipasnya,
sementara tangan kiri mendorong ke depan.
Wusss...! Werrr...! Segurat sinar putih dan berlarik-larik sinar putih
redup menyambar ke depan, memapak serangan Ma-
laikat Berdarah Biru. Lalu....
Blaarr! Blaaarrr!
Gelegar dahsyat segera memecah tempat itu. Ta-
nah pelataran candi nampak porak poranda dan ber-
hamburan ke udara. Suasana menjadi gelap seketika.
Saat demikian, Malaikat Berdarah Biru segera
mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya. Seketika
tubuhnya berputaran, dan mendadak lenyap bagai di-
telan suasana gelap. Namun di kejap lain, tahu-tahu Anak Agung telah lima
langkah di samping Pendekar
Mata Keranjang 108. Langsung tangan kirinya meng-
hantam. Sedangkan tangan kanannya bergerak menu-
sukkan kipas yang terlipat.
"Heh"!"
Pendekar Mata Keranjang 108 berseru terkejut,
tak mengira jika Malaikat Berdarah Biru dapat melihat keberadaannya dalam
suasana demikian. Padahal saat
itu, tubuhnya sudah berkelebat ke samping untuk
menghindar dari sesuatu yang tak diduga.
Sambil menekan rasa terkejut, Pendekar Mata
Keranjang 108 cepat merebahkan diri di atas tanah.
Namun tak disangka, Malaikat Berdarah Biru menya-
pukan sepasang kaki ke bahunya yang terbuka! Dan....
Desss! "Aaakh...!"
Tubuh Pendekar Mata Keranjang 108 berputar
disertai keluhan pendek. Saat itulah Malaikat Berdarah Biru menyapukan kembali
kakinya dari arah ber-
lawanan putaran tubuh Pendekar Mata Keranjang 108!
Desss! Aaakh...!"
Dari mulut Pendekar Mata Keranjang 108 kemba-
li terdengar pekikan tertahan begitu sapuan Anak
Agung menemui sasaran. Tubuhnya melayang jauh
sampai tiga tombak, lalu terkapar di tanah dengan pakaian koyak dan kulit merah
melepuh. Begitu Pendekar Mata Keranjang 108 jatuh ter-
kapar, Malaikat Berdarah Biru tertawa tergelak-gelak.
Lantas kakinya melangkah dua tindak ke depan. Den-
gan mata terpejam, bibirnya berkemik-kemik mengu-
capkan sesuatu yang tidak jelas. Saat Pendekar Mata Keranjang 108 murid Wong
Agung bangkit, Malaikat
Berdarah Biru segera berkelebat sambil mengirimkan
serangan. Wuuuttt! Wuuuttt!
Serangkum angin deras disertai melesatnya sinar
merah, biru, dan hitam meluruk ke arah Pendekar Ma-
ta Keranjang 108 yang baru saja bangkit berdiri.
"Celaka!" keluh Pendekar Mata Keranjang 108 dalam hati.
Dengan raut muka tercengang, Aji segera pula
menghentakkan tangannya. Sementara, tangan sa-
tunya mengibaskan kipas.
Wuuut...! Udara yang semula agak redup karena bias se-
rangan pukulan Malaikat Berdarah Biru kontan saja
menguak benderang. Di kejap lain....
Blarrr...! Blarrr...! Terdengar suara gelegar dua kali. Karena saat
melepaskan serangan keadaan tubuhnya belum begitu
sempurna, tubuh Pendekar Mata Keranjang 108 ter-
huyung-huyung. Namun sebelum jatuh terkapar kem-
bali, tenaga dalamnya segera dikerahkan untuk mena-
han tubuhnya. Wusss...! "Heh"!"
Tapi Pendekar Mata Keranjang 108 terkejut. Ka-
rena begitu berhasil menahan tubuhnya agar tidak terjatuh, dari arah samping
menyambar angin keras. Akibatnya lututnya yang mulai tampak goyah dan berge-
tar hebat. Aji sadar betul adanya bahaya. Maka tekanan tenaga dalamnya ditambah
agar tubuhnya tidak
tersapu. Hingga tak lama kemudian, tubuhnya kembali tegak kokoh.
Sementara itu Malaikat Berdarah Biru yang tadi
menghantamkan pukulan jarak jauh dengan setengah
tenaganya, merasa sangat penasaran. Ternyata seran-
gannya masih bisa dibendung. Maka segera tenaganya
dilipatgandakan.
Kini di pelataran candi tampak dua orang tokoh
tingkat tinggi sedang berdiri dengan tangan masing-
masing mendorong ke depan. Tubuh-tubuh mereka
mulai tampak dibasahi keringat. Sesekali tubuh mere-ka terlihat goyah, namun
sejenak kemudian telah
kembali kokoh. Untuk beberapa saat kedua orang ini masih bisa
bertahan dengan membendung serangan satu sama
lain. "Hiaaa...!"
Mendadak Pendekar Mata Keranjang 108 mem-
bentak garang sambil melipatgandakan tenaga dalam.
Sedangkan Malaikat Berdarah Biru tampak terkejut,
karena kedua kakinya tiba-tiba goyah. Tanah yang dipijak bergetar hebat, membuat
tubuhnya perlahan-
lahan terhuyung-huyung hendak roboh.
"Heaaa...!"
Malaikat Berdarah Biru juga mengeluarkan ben-
takan membahana, sambil menghentakkan kedua tan-
gannya mengirimkan pukulan 'Serat Jiwa' dan 'Badai
Biru'. Wusss...!
Wesss...! Sinar merah dan biru menggebrak ke depan ke
arah Pendekar Mata Keranjang 108 yang masih berdiri kokoh.
Mendapati serangan ini Pendekar Mata Keranjang
108 tidak berani bertindak ceroboh. Kedua tangannya segera pula disetakkan ke
depan. Wesss...! Blarrr...! Terdengar dentuman dahsyat. Pelataran candi
bagai diguncang gempa maha dahsyat. Pohon-pohon
yang ada di sekitarnya berderak bertumbangan.
Tampak Malaikat Berdarah Biru goyah, tak bisa
menguasai diri lagi. Saat itu juga, tubuhnya jatuh bergulingan di atas tanah.
Dicobanya bangkit, namun terhuyung kembali dan jatuh lagi. Maka segera tenaga
dalamnya dipusatkan, lalu perlahan-lahan bangkit dan duduk bersila.
Di lain pihak, tubuh Pendekar Mata Keranjang
108 tampak bergetar hebat ketika terjadi bentrokan
barusan. Kakinya sedikit demi sedikit bagai tersedot dan masuk ke dalam tanah.
Begitu kakinya masuk, lututnya goyah. Lalu, tak lama kemudian tubuhnya ja-
tuh terduduk dengan kaki masuk ke dalam tanah! Se-
perti Malaikat Berdarah Biru, saat jatuh terduduk, segera pula kakinya ditarik.
Lalu dia duduk bersila men-gembalikan tenaganya.
*** Begitu keadaannya pulih, Malaikat Berdarah Biru
segera berkelebat, lalu berdiri di tengah pelataran can-
di dengan tangan kiri berkacak pinggang. Sementara
tangan kanan mengipas-ngipas. Sepasang matanya
tampak merah membeliak dengan dagu mengembung.
"Pendekar Mata Perempuan!" bentak Malaikat Berdarah Biru sambil memalingkan
wajahnya dan meludah. "Kau telah keluarkan pukulan 'Bayu Cakra Buana! Dan kau
sendiri lihat, aku tidak apa-apa. Sekarang, terimalah pukulan 'Bayu Sukma'!"


Pendekar Mata Keranjang 8 Geger Para Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pendekar Mata Keranjang 108 terkejut. Dia telah
tahu, pukulan 'Bayu Sukma' adalah pukulan sap keli-
ma dari kitab hitam, seperti apa yang pernah didengar dari gurunya. Namun
pendekar murid Wong Agung ini
tetap tenang, tidak memperlihatkan raut terkejut,
meski diam-diam dalam hati khawatir juga.
Merasa gelagat tidak baik, sebelum Malaikat Ber-
darah Biru melepaskan pukulan, Pendekar Mata Ke-
ranjang 108 segera mendahului dengan menghentak-
kan kedua tangannya. Dilepaskannya kembali 'Bayu
Cakra Buana'. Wusss...! Malaikat Berdarah Biru yang sepertinya bisa
membaca benak Pendekar Mata Keranjang 108 segera
melesat jauh ke samping sambil mengibaskan kipas-
nya. Akibatnya serangan Pendekar Mata Keranjang
108 membelok, menghantam angin.
Saat itulah dari arah samping, sambil membuat
gerakan dua kali putaran di udara Malaikat Berdarah Biru melepaskan pukulan
'Bayu Sukma'. Wuttt...! Pelataran candi Singasari mendadak menghitam.
Di lain kejap...
Blarrr...! Terdengar suara menggemuruh bagai gelombang
dahsyat, disertai kilatan-kilatan menakutkan. Inilah pukulan sakti sap kelima
dari kitab hitam yakni puku-
lan 'Bayu Sukma'!
Pendekar Mata Keranjang 108 tak mau terseret
dalam rasa terkejut. Maka segera dilepaskannya pukulan 'Bayu Cakra Buana' untuk
membendung pukulan
sakti 'Bayu Sukma'.
Werrr...! "Heh"!"
Mau tak mau Pendekar Mata Keranjang 108 ha-
rus menerima kenyataan. Ternyata sinar putih yang
menyambar dari kipas dan tangan kirinya tak mampu
melabrak habis sinar hitam yang menyambar dari tan-
gan Malaikat Berdarah Biru. Bahkan sinar hitam itu
pecah, melebar membentuk kilatan-kilatan semakin
banyak dan mengarah padanya.
Pendekar Mata Keranjang 108 cepat melesat ke
belakang. Begitu mendarat kembali, tenaga dalamnya
dikerahkan sambil mengirimkan pukulan.
"Hih!"
Wesss...! Namun pukulan Pendekar Mata Keranjang 108
yang kedua kali ini pun rupanya tak membawa hasil
banyak. Malah, membuat pecahan-pecahan sinar hi-
tam semakin banyak, dan semakin cepat melesat ke
arahnya! "Sialan! Celaka tiga belas!" gerutu Pendekar Mata Keranjang 108 seperti
kehilangan akal.
Sementara, Malaikat Berdarah Biru semakin ga-
rang, sambil tak henti-hentinya menghantamkan ke-
dua tangannya. "Hmm.... Saatnya aku menggunakan jurus 'Bayu
Kencana' dalam bumbung bambu...," kata Pendekar Mata Keranjang 108 dalam hati.
Dengan gerakan cepat, Aji mengalihkan kipasnya
ke tangan kiri. Sementara tangan kanan dibuka di depan dada.
Namun baru saja Pendekar Mata Keranjang 108
hendak menggunakan pukulan 'Bayu Kencana', seran-
gan Malaikat Berdarah Biru telah meluncur dekat.
Dan..., Desss! "Aaakh...!"
Disertai keluhan tertahan tubuh Pendekar Mata
Keranjang 108 terpelanting begitu serangan Anak
Agung menerabas bahu kirinya. Tubuhnya kontan me-
layang dan jatuh terkapar di tanah. Tubuh sebelah kirinya bagai ngilu tak bisa
digerakkan. Tangan kirinya lumpuh lunglai. Sementara hawa panas menjilat, mulai
menjalari seluruh tubuhnya.
Pendekar Mata Keranjang 108 bangkit. Tapi
mendadak, wajahnya pucat pasi. Karena, tubuhnya
bagai tegang kaku tak bisa digerakkan. Hingga untuk beberapa saat, Aji hanya
diam sambil mengawasi Malaikat Berdarah Biru yang tampak mulai melangkah ke
arahnya disertai tawa bergelak-gelak.
"Jangkrik! Aku memerlukan waktu agak lama un-
tuk memulihkan tenagaku. Tapi, bagaimana" Bajingan
itu telah mendatangi...," kata batin Pendekar Mata Keranjang 108 Seraya memutar
otak untuk mengalihkan
perhatian Malaikat Berdarah Biru.
Sebelum Pendekar Mata Keranjang 108 tuntas
berpikir, tiba-tiba Malaikat Berdarah Biru telah berkelebat. Dan tahu-tahu dia
berdiri sepuluh langkah di hadapannya, dengan sepasang mata menyengat tajam.
Sementara bibirnya menyeringai mengejek.
"Akhirnya ajalmu hanya tinggal seperti memba-
likkan tangan saja! Ha... ha... ha...!" ejek Malaikat Berdarah Biru sambil
memutar-mutar kipasnya.
"Jahanam! Mulutmu terlalu besar berkoar! Kau
tak bisa menentukan ajal!" bentak Pendekar Mata Keranjang 108. Diam-diam, tenaga
dalamnya dikerahkan
untuk memulihkan tubuhnya.
Malaikat Berdarah Biru mengertakkan rahang.
Kepalanya berpaling. Lalu dari mulutnya mengumbar
senyum buas. "Kau bisa bicara seenakmu. Tapi aku akan mem-
buktikannya!" desis Malaikat Berdarah Biru sambil melangkah mundur dua tindak ke
belakang. Tangan
kirinya di-tarik sedikit ke belakang. Sementara kipasnya dipalangkan di bawah
dagu. "Busyet! Dia benar-benar ingin segera menghabisi ku.... Setan! Tubuhku belum
sepenuhnya pulih. Jika
langsung melepaskan 'Bayu Kencana' pasti akan sia-
sia.... Padahal hanya itu satu-satunya jalan untuk menangkis serangannya...,"
gerutu Aji. Sewaktu Pendekar Mata Keranjang 108 dilanda
kebimbangan, Malaikat Berdarah Biru telah mele-
paskan pukulan 'Bayu Sukma'.
"Apa boleh buat" Terpaksa aku akan mengha-
dangnya dengan 'Bayu Kencana'!" kata Pendekar Mata Keranjang 108 dalam hati.
Saat itu juga Aji membuka tangan kanannya di
depan dada. Sementara tangan kirinya memutar-mutar
kipas dengan gerakan perlahan.
Wusss...! Sinar hitam melesat, membuat pemandangan tak
bisa menembus kepekatan. Pendekar Mata Keranjang
108 telah siap menangkis. Namun satu tombak lagi serangan Malaikat Berdarah Biru
menghajar.... Wesss...! Wesss...!
Entah dari mana, berlarik-larik sinar kuning tiba-
tiba menghadang, membuat suasana sedikit terang.
Saat demikian itulah Pendekar Mata Keranjang 108
melesat jauh ke samping untuk menghindari serangan
sinar hitam. Meski sinar kuning itu hanya sejenak mampu
membendung, dan kemudian lenyap ditelan sinar hi-
tam, namun dalam waktu yang sekejap itu Pendekar
Mata Keranjang 108 bisa meloloskan diri dari serangan berbahaya. Hingga tak ayal
lagi, sinar hitam pukulan Malaikat Berdarah Biru hanya menerpa tempat kosong!
"Jahanam bedebah! Siapa berani ikut campur masalah ini, he..."!" bentak Malaikat
Berdarah Biru. Saat itu juga, Anak Agung memalingkan wajah-
nya ke samping. Di tempat lain Pendekar Mata Keran-
jang 108 pun ikut-ikutan mencari tahu, siapa orang
yang menyelamatkan jiwanya.
Begitu mengetahui siapa orang yang menghadang
serangan, baik Malaikat Berdarah Biru atau Pendekar Mata Keranjang 108 sama-sama
melengak! *** 9 Sepuluh langkah di samping Malaikat Berdarah
Biru, tampak tegak berdiri seorang gadis cantik. Kulitnya putih mulus dengan
dada membusung kencang
menantang. Pakaiannya warna kuning. Rambutnya
panjang tergerai. Matanya bulat berbinar.
"Putri Tunjung Kuning!" seru Pendekar Mata Keranjang 108 tertahan hampir tak
percaya. Sementara itu begitu melihat siapa orang yang
menghalau serangannya, mata Malaikat Berdarah Biru
kontan membeliak besar. Tangannya bergetar dan ber-
geretakan mengepal. Pelipisnya bergerak-gerak dengan dahi mengernyit. Sedangkan
bibirnya menyeringai
buas. "Perempuan sundal! Rupanya kau ular kepala
dua. Musuh dalam selimut! Perbuatanmu harus di-
bayar mahal dengan nyawamu!" dengus Malaikat Berdarah Biru sambil melangkah
mendekat. Gadis berpakaian kuning yang memang Putri
Tunjung Kuning hanya tersenyum ramah.
"Manusia licik! Kaulah yang harus menyerahkan
nyawa busukmu padaku!" teriak Putri Tunjung Kuning sambil siap melepas pukulan.
"Ha... ha... ha...!"
Mendengar ucapan Putri Tunjung Kuning, Malai-
kat Berdarah Biru tertawa keras. Namun tiba-tiba saja tawanya terpenggal.
Wajahnya dipalingkan ke samping. "Phuih! Phuih!"
Setelah meludah dua kali, Malaikat Berdarah Bi-
ru mendongak. "Perempuan tak tahu diri! Bersiaplah menghada-
pi kematianmu!"
Saat itu juga Malaikat Berdarah Biru menghen-
takkan kedua tangannya ke depan. Karena merasa
dikhianati, kali ini tanpa pikir panjang lagi langsung dilepaskannya pukulan
'Bayu Sukma'. Wesss! Saat itu juga udara di pelataran candi kembali hi-
tam redup. Di kejap lain, sinar hitam segera menggebrak ke arah Putri Tunjung
Kuning. "Hiaaat...!"
Didahului jeritan melengking, tangan kiri dan
kanan Putri Tunjung Kuning segera bergerak meng-
hantamkan pukulan.
Wuttt! "Heh"!"
Paras Putri Tunjung Kuning mendadak meredup
pucat, tatkala tangkisan yang dilancarkannya hanya
sejenak membendung serangan Malaikat Berdarah Bi-
ru. Tak lama kemudian, sinar hitam itu bagai tak terhalang lagi, menerabas cepat
ke arahnya. "Lekas menyingkir!" teriak Pendekar Mata Keranjang 108, memperingati Putri
Tunjung Kuning.
Namun, Putri Tunjung Kuning sepertinya tak
acuh dengan peringatan barusan. Malah kembali dile-
paskannya satu pukulan.
Wesss...! Tapi seperti semula, serangan gadis itu tak mam-
pu menahan gerak sinar hitam yang terus meluruk.
Sehingga.... Desss...! "Aaakh...!"
Tanpa ampun lagi terdengar suara jeritan lengk-
ing yang menyayat dari mulut Putri Tunjung Kuning.
Begitu gema jeritannya lenyap, tampak tubuh gadis ini telah telentang di atas
pelataran candi dengan pakaian hangus tak karuan. Kulitnya yang semula putih
mulus, berubah menjadi kebiruan. Dari sudut bibirnya
mengalir darah hitam kental. Matanya merah dan
rambut mengelinting!
Pendekar Mata Keranjang 108 laksana disengat
kalajengking melihat keadaan Putri Tunjung Kuning.
Meski tahu kalau gadis itu menginginkan sesuatu da-
rinya, dan bahkan tak mustahil menginginkan kema-
tiannya, namun jasa dalam menyelamatkan dirinya da-
ri serangan Malaikat Berdarah Biru, membuatnya me-
lupakan semuanya. Hingga tatkala Malaikat Berdarah Biru mulai melangkah
mendekati Putri Tunjung Kuning yang sudah lemah tak berdaya, Pendekar Mata Ke-
ranjang 108 segera melesat dan tegak berdiri menghadang Malaikat Berdarah Biru.
"Malaikat Tengik! Seharusnya kau-malu mengha-
jar orang yang sudah tidak berdaya! Hadapilah aku!"
tantang Pendekar Mata Keranjang 108.
Sejenak mata Malaikat Berdarah Biru menatap
tajam Pendekar Mata Keranjang 108.
"Ha... ha... ha...!"
"Pendekar Bodoh! Dengar! Kejahatan memang ti-
dak adil dan tidak pernah mengenal adat. Karena itulah kejahatan pasti menang!"
tukas Malaikat Berdarah Biru, pongah.
"Hmmm.... Begitu?" gumam Pendekar Mata Keranjang 108 sambil tersenyum dingin.
"Otakmu memang perlu dicuci. Akan kutunjukkan padamu tempat
yang baik untuk mencuci otak. Bersiaplah berangkat!"
"Ha... ha... ha...! Malaikat Berdarah Biru pantang minta petunjuk pendekar
perempuan!"
Seketika bibir Malaikat Berdarah Biru berkemik.
Lalu sesaat kemudian, tangan kiri kanannya telah bergerak melepas pukulan.
Wusss...! Kali ini Pendekar Mata Keranjang 108 tidak beru-
saha mengelak atau menangkis. Dan ini membuat Ma-
laikat Berdarah Biru gusar.
Begitu sinar hitam satu depa lagi menghajar,
Pendekar Mata Keranjang 108 mendorong telapak tan-
gan kanannya ke depan dada. Sedangkan tangan kiri
yang memegang kipas dipentangkan ke samping.
Wesss...! "Heh"!"
Malaikat Berdarah Biru tertegun hampir tak
mempercayai penglihatannya. Sinar hitam pukulan
'Bayu Sukma' yang dilancarkannya ternyata tersedot
tangan Pendekar Mata Keranjang 108! Bahkan seben-
tar kemudian, sinar itu lenyap!
Saat demikian itulah, Pendekar Mata Keranjang
108 segera mengibaskan kipasnya ke depan.
Wuttt...!

Pendekar Mata Keranjang 8 Geger Para Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Karena masih terkesima melihat apa yang baru
saja terjadi, Malaikat Berdarah Biru tak sempat lagi menghindar. Akibatnya....
Desss...! "Aaakh...!"
Tanpa ampun lagi, tubuh Anak Agung terhumba-
lang ke belakang sejauh lima tombak disertai keluhan tertahan. Begitu kerasnya
sambaran angin yang keluar dari kibasan kipas Pendekar Mata Keranjang 108,
membuat tangan Malaikat Berdarah Biru yang meme-
gang kipas bergetar hebat. Dan tak lama kemudian,
tampak kipas di tangan kanannya terpental jatuh!
Malaikat Berdarah Biru menggereng keras. Ma-
tanya nanar, mencari kipasnya. Begitu sepasang ma-
tanya melihat kipasnya, dia cepat bangkit hendak
mengambil. Namun baru saja tubuhnya berdiri hendak
berkelebat, Pendekar Mata Keranjang 108 telah mele-
paskan pukulan 'Bayu Cakra Buana'.
Wuuuttt! "Heh"!"
Malaikat Berdarah Biru kaget. Namun tubuhnya
masih berusaha berkelit dengan menjatuhkan diri ke
samping sejajar tanah. Tapi, tanpa diduga sama sekali, Pendekar Mata Keranjang
108 cepat melesat. Dan begitu murid Bayangan Iblis ini akan bangkit, kedua
tangan Aji telah memapak kepalanya!
Prak! Prakkk! "Aaakh,..!"
Malaikat Berdarah Biru kontan menjerit tertahan
merasakan kepalanya seperti terpenggal. Matanya
mendadak menghitam, tak bisa melihat. Sementara
darah segar telah muncrat dari mulut dan hidungnya.
Hebatnya, meski sudah dalam keadaan begitu,
Malaikat Berdarah Biru segera merambat bangkit. Dan tanpa melihat di mana
lawannya berada, kedua tan-
gannya segera disentakkan.
Wusss...! Wesss...! Sejenak kemudian di pelataran candi melesat be-
berapa sinar merah biru dari tangan kiri dan kanan
Malaikat Berdarah Biru yang melepaskan pukulan
'Serat Jiwa' dan 'Badai Biru'.
Sementara Pendekar Mata Keranjang 108 segera
meloncat ke sana kemari untuk menghindar.
Namun tak demikian halnya Putri Tunjung Kun-
ing dan Bayangan Iblis. Karena sedang terluka dalam, membuat mereka tak bisa
lagi bergerak menghindar.
Sehingga tatkala sentakan tangan Malaikat Berdarah
Biru yang menghempas ke sana kemari meluncur ke
arah mereka....
Desss! Desss! "Aaakh...!"
"Aaa...!"
Seketika terdengar dua lengkingan keras dari
mulut Putri Tunjung Kuning dan Bayangan Iblis!
Sebenarnya, waktu itu Pendekar Mata Keranjang
108 hendak menyelamatkan Putri Tunjung Kuning.
Namun karena begitu gencarnya serangan Malaikat
Berdarah Biru yang tak bisa ditentukan arahnya,
membuat gerakannya terlambat untuk bertindak.
Melihat Putri Tunjung Kuning bergulingan di atas
tanah, Pendekar Mata Keranjang 108 segera berkelebat menghambur.
"Putri Tunjung Kuning!" seru Pendekar Mata Keranjang 108.
Putri Tunjung Kuning membuka kelopak ma-
tanya. Dipandanginya Pendekar Mata Keranjang 108
dengan tatapan aneh. Bibirnya berusaha dibuka hen-
dak mengucapkan sesuatu.
"Putri Tunjung Kuning.... Bertahanlah.... Aku
akan menolongmu!" ujar Pendekar Mata Keranjang 108
lirih sambil mengangkat kepala gadis ini.
Putri Tunjung Kuning tersenyum. Kepalanya
yang telah lunglai digelengkan perlahan.
"Pendekar Mata.... Keranjang 108.... Maafkanlah segala kesalahanku selama
ini...," ucap Putri Tunjung Kuning perlahan dan tersendat-sendat.
Pendekar Mata Keranjang 108 menempelkan te-
lunjuknya di depan mulut, memberi isyarat agar Putri Tunjung Kuning tak
meneruskan ucapannya.
"Pendekar.... Aku..., aku sebenarnya.... Men..., mencintaimu...."
Habis berkata, kelopak mata Putri Tunjung Kun-
ing mengatup. Lalu kepalanya lunglai ke samping.
Pingsan! "Putri Tunjung Kuning!" teriak Pendekar Mata Keranjang 108 keras, membuat
Malaikat Berdarah Bi-ru cepat palingkan wajahnya ke arah sumber suara.
Karena pandangan Malaikat Berdarah Biru saat
itu masih belum bisa digunakan, membuat dirinya
hanya mengandalkan telinga untuk mengetahui tem-
pat beradanya Pendekar Mata Keranjang 108.
Demi mendengar teriakan Pendekar Mata Keran-
jang 108, tanpa membuang-buang waktu lagi Malaikat
Berdarah Biru segera mengirimkan serangan kedua
tangannya menghentak melepas pukulan 'Serat Jiwa'
dan 'Badai Biru'.
Wesss...! Wusss...!
Berlarik-larik sinar berwarna merah biru yang
bergemuruh dahsyat menyambar cepat ke arah Pende-
kar Mata Keranjang 108!
Secepat kilat, Pendekar Mata Keranjang 108
bangkit dari sisi Putri Tunjung Kuning. Segera tubuhnya diputar hingga miring.
Lalu tiba-tiba kipasnya dikibaskan.
Wuuuttt! Wesss! Sinar berwarna keputihan menebar, memapak
serangan. Dan mendadak saja, serangan Malaikat Ber-
darah Biru bagai menghantam dinding tebal kasat ma-
ta. Dan lebih dahsyat lagi serangan yang menyambar
berwarna merah biru itu mental balik.
Wesss...! Karena tak bisa lagi melihat, akibatnya Malaikat
Berdarah Biru tak mengetahui jika pukulannya kini
melesat ke arahnya. Telinganya sejenak hanya men-
dengar suara gemuruh menyambar ke arahnya.
"Heh"!"
Anak Agung terperangah dengan mulut menden-
gus. Dia coba menduga-duga. Namun begitu sadar,
pukulannya sendiri yang mental telah sedepa lagi
menghajar tubuhnya. Meski begitu, tak kehabisan ak-
al. "Hup!"
Dengan sisa-sisa tenaganya, Malaikat Berdarah
Biru bergerak berkelit. Namun, terlambat. Karena....
Dess! Desss! "Aaa...!"
Serangan yang mental itu ternyata lebih cepat
menghajar, sebelum Malaikat Berdarah Biru bergerak.
Hingga tanpa ampun lagi pukulan 'Serat Jiwa' dan
'Badai Biru' menggebrak pemiliknya sendiri!
Langit bagai dirobek jeritan yang keluar dari mu-
lut Malaikat Berdarah Biru. Tubuhnya melayang, dan jatuh terpuruk di atas tanah
dengan baju toga merah-nya hangus dan centang perentang. Raut mukanya
membiru. Sementara dari lobang-lobang di sekujur tubuhnya mengalir darah
kehitaman, pertanda terluka
amat dalam! Namun Pendekar Mata Keranjang 108 hampir sa-
ja tak mempercayai penglihatan matanya. Dalam kea-
daan terluka dalam, ternyata Malaikat Berdarah Biru mampu bergerak-gerak
bangkit. Dan tanpa diduga sama sekali, begitu telah
bangkit Malaikat Berdarah Biru cepat memutar tu-
buhnya. Lalu secepat kilat pula berkelebat meninggalkan pelataran candi.
Pendekar Mata Keranjang 108 tidak mau begitu
saja melepaskan orang yang telah menewaskan orang
tua aneh serta Ki Ageng Panangkaran. Tubuhnya cepat pula berkelebat menyusul.
Namun baru saja bergerak, terdengar erangan menyayat dari mulut Putri Tunjung
Kuning. Pendekar Mata Keranjang 108 tampak ragu-ragu.
Padahal, semula disangka Putri Tunjung Kuning telah tewas.
Karena didorong keingintahuannya, Pendekar
Mata Keranjang 108 mengurungkan niat untuk me-
nyusul Malaikat Berdarah Biru. Kepalanya lantas berpaling ke arah Putri Tunjung
Kuning. Dan begitu melihat mulut gadis itu bergerak-gerak mengerang, tubuhnya
segera berkelebat.
Sejenak Pendekar Mata Keranjang 108 meman-
dangi gadis yang kini tampak mengerang dengan mata
redup sayu. "Putri Tunjung Kuning...," sebut Aji pelan.
Putri Tunjung Kuning terlihat berusaha kelua-
rkan suara. Namun hingga agak lama, tak juga terdengar apa-apa dari mulutnya.
Bahkan kedua kelopak
matanya kembali meredup pelan-pelan dan memejam.
Perlahan-lahan Aji menarik nadi tangan Putri
Tunjung Kuning.
"Hmm.... Masih terasa denyutan.... Berarti dia masih hidup. Aku harus segera
mencari orang yang
dapat mengobatinya...," gumam Pendekar Mata Keran-
jang Saat itu juga Pendekar Mata Keranjang 108 sege-ra menyapukan pandangan ke
arah Malaikat Berdarah
Biru berkelebat. Namun, sosok tokoh sesat itu telah lenyap. Kemudian Aji bangkit
berdiri. "Untuk kedua kalinya dia bisa lolos. Namun un-
tuk ketiga kali nanti, jangan harap bisa kabur lagi!"
gumam Pendekar Mata Keranjang 108 seraya melang-
kah ke tengah pelataran candi. Dipungutnya kipas hitam milik Malaikat Berdarah
Biru yang terjatuh. Se-
saat ditimang-timangnya, lalu dijajarkan dengan kipas ungu miliknya.
Kedua kipas itu memang nyaris serupa, baik
ukuran maupun bahannya. Yang membedakan adalah
warna, serta ujung sebelah kipas. Jika ujung kipas
ungu milik Pendekar Mata Keranjang 108 utuh, maka
ujung kipas hitam Malaikat Berdarah Biru tampak terkikis sedikit. Sepertinya si
pencipta belum selesai membuatnya.
"Meski kipas ini dibuat satu tangan, namun nyatanya pengaruh yang dipancarkannya
berbeda...," bisik Pendekar Mata Keranjang 108, sambil melipat kedua
kipas dan memasukkannya ke dalam balik jubahnya.
Pendekar Mata Keranjang 108 melangkah ke arah
Putri Tunjung Kuning kembali. Begitu dekat, dengan
cekatan tubuh Putri Tunjung Kuning segera diangkat
dan dibawanya meninggalkan pelataran Candi Singa-
sari yang sudah lengang.
SELESAI Tunggu serial Pendekar Mata Keranjang 108
selanjutnya: NERAKA ASMARA Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
Pedang Dan Kitab Suci 2 Pedang Naga Kemala Karya Kho Ping Hoo Makam Bunga Mawar 29
^