Pencarian

Neraka Asmara 1

Pendekar Mata Keranjang 9 Neraka Asmara Bagian 1


NERAKA ASMARA Darma Patria Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Cover oleh Henky
Editor: Puji S.
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Darma Patria Pendekar Mata Keranjang 108
dalam episode: Neraka Asmara 128 hal. 1 Sebenarnya, sang mentari baru saja merangkak
dari peraduannya. Namun karena bongkahan awan hi-
tam berarak terlihat menggantung di angkasa, diting-kahi lecutan kilat membadai
centang perentang meng-
hajar ujung langit, membuat suasana menakutkan dan
bagai digenggam ujung kebutan. Sebentar kemudian
hujan pun turun dengan derasnya.
Di bawah derasnya hujan, tampak seorang pe-
nunggang kuda melintasi jalanan agak sepi dan berba-tu. Mungkin karena jalanan
di hadapannya mulai agak menukik dan terjal berbatu-batu, si penunggang kuda
agaknya tak berani menghela kuda tunggangannya
agar berlari lebih kencang. Malah sesekali terlihat ku-da tunggangannya
dihentikan sambil memperhatikan
sekeliling. Lalu setelah dapat menyiasati jalan, dia kembali meneruskan
perjalanannya. Namun ketika beberapa langkah memasuki se-
buah lembah, penunggang kuda yang tampak menggi-
gil basah kuyup kedinginan, dikejutkan oleh berde-
singnya suara menyambar. Dengan cepat dia berpal-
ing, dan langsung terperangah kaget. Dalam kegelapan suasana, tampak melesat
sebuah benda berkilau menerabas cepat ke arahnya.
Diiringi rasa terkejut, penunggang kuda ini se-
gera menarik tali kekang. Seketika bahunya sedikit di-geser ke samping.
Sehingga, benda itu melesat satu
jengkal di samping bahunya.
Di bawah pijaran kilat yang sesekali menerpa,
wajah penunggang kuda ini tampak berubah menjadi
merah padam. Rahangnya terangkat membatu. Semen-
tara matanya membelalak merah menahan marah
mendapati dirinya dibokong.
Penunggang kuda ini adalah seorang pemuda
tampan. Badannya gagah, terbalut baju putih. Ram-
butnya panjang sebahu.
Sepasang mata pemuda ini semakin terbeliak
tatkala pijaran kilat yang kembali menjilat, menam-
pakkan benda yang baru saja hampir menghantam tu-
buhnya. "Tombak!" desis pemuda itu dengan seringai sumbang.
Diam-diam dalam hati pemuda tampan ini ter-
bersit juga perasaan takut. Dan hatinya makin ngeri saat untuk beberapa lagi
pijaran kilat memperlihatkan ujud tombak yang ternyata telah menancap ke sebuah
batu hitam besar.
Tombak itu berwarna kuning keemasan. Pang-
kalnya agak menggelembung besar, membentuk se-
kuntum bunga berwarna hitam! Sementara ujungnya
tak kelihatan, karena masuk ke dalam batu hitam.
Namun demikian, pemuda ini bisa segera menduga ba-
gaimana bentuk ujungnya. Karena batu di bawah ba-
dan tombak yang sebagian masuk ke dalamnya, mem-
bentuk lobang segi tiga. Lobang kedua sisinya lebih besar daripada lobang
tengahnya. "Tombak aneh! Pemiliknya tentu orang aneh.
Apakah dia nanti orang yang harus kutemui?" kata pemuda itu dalam hati seraya
menghela napas panjang dan dalam.
Kedua mata pemuda berbaju putih ini segera
nyalang memperhatikan ke sekeliling. Kedua telin-
ganya ditegakkan sedikit ke atas, menajamkan pen-
dengaran. Namun hingga beberapa lama, tak tertang-
kap adanya seseorang. Merasa tidak yakin, dia tetap tegak di tempatnya seolah
menunggu hingga beberapa
lama. Namun penantiannya sia-sia.
Dengan perasaan kecewa, penunggang kuda itu
menghela tunggangannya mendekati batu hitam yang
tertancap tombak. Diperhatikannya dengan seksama
tombak itu. Tangan kanannya lantas bergerak hendak
meraih tombak, namun mendadak ditarik kembali. Ha-
tinya kecut. Segera kuda tunggangannya diundurkan,
berputar melewati samping batu hitam. Lalu bergegas dia meneruskan perjalanan.
Ketika sampai di jalan yang sedikit naik, pemu-
da ini menghentikan kudanya. Ketika berpaling ke belakang, keningnya mengernyit.
Ternyata tombak tadi
telah lenyap, meninggalkan lobang berbentuk seti tiga yang menganga hitam!
Dengan tubuh makin gemetar antara menggigil
kedinginan dan perasaan takut, pemuda penunggang
kuda ini meneruskan langkah kudanya. Namun baru
saja hendak bergerak, dia dikejutkan kembali dengan desingan benda yang menderu
dari arah belakang.
Dengan perasaan takut dan marah, penung-
gang kuda ini serta merta merunduk sejajar punggung, membuat benda yang menderu
dari arah belakangnya
melewati punggung dan kepalanya.
Namun di kejar lain, mendadak kuda itu me-
ringkik keras. Kedua kaki belakangnya bergerak sea-
kan-akan hendak membuat tendangan ke belakang.
Tapi bersamaan dengan itu kedua kaki depannya me-
nekuk. Akibatnya, tak ampun lagi kedua kaki bela-
kangnya terangkat tinggi-tinggi melewati kepala dan terjungkir keras di atas
tanah bebatuan, mencampak-kan penunggangnya hingga jatuh terbanting!
Binatang malang itu untuk beberapa saat tam-
pak melejang-lejang, lalu diam tak bergerak lagi. Mati dengan kepala berlobang
segi tiga! Dan tak jauh dari
kepala kuda, di atas tanah menancap sebuah tombak
yang hanya menyisakan pangkalnya yang berbentuk
sekuntum bunga berwarna hitam!
Dengan mendengus keras menahan gejolak
amarah, pemuda itu merambat bangkit. Pakaiannya
yang telah berwarna kecoklatan terkena tanah berlumpur di kibas-kibaskan.
Sepasang matanya melotot me-
rah. Kepalanya menengadah memapak curahan air hu-
jan. "Siapa pun kau! Jangan berlaku pengecut! Tun-
jukkan dirimu!" teriak pemuda itu.
Hingga agak lama pemuda tampan ini menung-
gu, tidak terdengar sahutan.
"Keluarlah! Atau...."
Pemuda ini tak meneruskan teriakannya, kare-
na dari arah belakang terasa bahunya ditepuk seseo-
rang. Dengan rasa terkejut, secepat kilat dia meloncat dua langkah ke depan.
Tubuhnya cepat berbalik seraya siap menyerang.
Dua puluh langkah di hadapan pemuda itu kini
telah tegak berdiri seorang perempuan berdandan
aneh. Wajahnya memakai bedak tebal. Bibirnya yang
tebal sebelah atas merah menyala. Rambutnya panjang sebahu. Namun potongan
rambut bagian atas dipotong
pendek dan jabrik. Kedua matanya besar dengan hi-
dung mancung tapi bengkok. Sekilas sosok itu seperti anak kecil, karena
tingginya hanya setengah tombak!
Manusia pendek berdandan menyolok itu berdi-
ri dengan sedikit mengangkat kaki kiri, yang disilangkan di betisnya. Sementara
tangan kanannya men-
cengkeram tombak yang pangkalnya membentuk se-
kuntum bunga. Merasa yakin kalau perempuan pendek di ha-
dapannya yang telah menyerang dari belakang, pemu-
da ini menggeram marah dengan mata melotot.
"He...! Siapa kau"! Dan, kenapa menyerangku
secara licik"!" bentak pemuda itu.
Perempuan pendek yang ditegur diam saja. Se-
pasang matanya yang besar malah menyengat galak.
Sementara pegangan tangannya pada tombak menge-
ras, hingga menimbulkan bunyi bergemeretakan.
"He...! Jawab pertanyaanku!" sambung pemuda ini agak jengkel meski hatinya
kecut. Perempuan pendek ini masih tak buka mulut.
Bahkan matanya melotot makin liar saja.
"Manusia satu ini aneh! Apakah dia orang yang
harus kutemui" Hm.... Sayang sekali, petunjuk yang
tertera dalam buku milik guru yang berhasil ku curi, tak menyebutkan ciri-ciri
orangnya.... Namun melihat kelebatannya yang menepuk-nepuk bahu ku, padahal
orangnya jauh di belakangku, pasti mempunyai ilmu
sangat tinggi. Jangan-jangan memang dia orangnya
yang kucari...."
Selagi pemuda ini membatin, tiba-tiba manusia
pendek di hadapannya bergerak. Tubuhnya seketika
lenyap dari pandangan. Namun di kejap lain, tahu-
tahu dia telah berdiri lima langkah di hadapan pemuda itu. "Manusia! Siapa kau!
Dan, apa tujuanmu ke si-ni"!" tegur perempuan pendek berdandan menor.
Suara perempuan ini demikian keras. Padahal,
mulutnya hanya terbuka sedikit. Tombak di tangannya terayun sebentar. Lalu....
Clep! Tombak itu menancap hingga setengahnya ke
dalam tanah bebatuan. Bersamaan dengan itu, me-
nyambar serangkum angin yang membuat pemuda di
hadapannya terhuyung-huyung hampir jatuh.
Begitu dapat menguasai diri, sang pemuda be-
ringsut mundur dua langkah ke belakang. Dia barusan menahan rasa terkejut,
sambil memiringkan tubuh
menghindari deruan angin yang masih terasa me-
nyambar. "Namaku, Pandu. Aku ke sini untuk menemui
seseorang yang bernama Bawuk Raga Ginting...," jawab pemuda tampan ini, parau
dan tersendat. Perempuan pendek ini mendongakkan kepala,
lalu tertawa aneh. Hebatnya, curahan air hujan yang masih membadai menyibak
bagai menerpa dinding tak
nampak di atas kepalanya. Sehingga membuat dirinya
tak terpercik air sedikit pun.
"Hm.... Pandu...," sebut perempuan pendek, mengulang nama pemuda di hadapannya.
"Lekas tinggalkan tempat ini! Kau datang ke tempat yang salah!"
Pemuda berwajah tampan bernama Pandu itu
tersenyum kecut.
"Tidak mungkin! Tidak mungkin aku salah
membaca apa yang tertulis dalam buku milik guruku.
Tempat yang tertulis di situ adalah tempat ini, Bandar Lor. Dan orang yang harus
kutemui adalah Bawuk Ra-ga Ginting...," gumam Pandu sambil menatap perempuan
pendek di hadapannya.
Mendengar gumaman Pandu, perempuan pen-
dek ini segera berpaling. Bibirnya menyunggingkan seringai ganas.
"Di kolong langit ini, hanya dua orang yang
mengetahui nama dan tempat tinggalku. Hanya saja,
belum waktunya aku membuat perhitungan dengan
kedua orang itu. Padahal, sebenarnya tanganku sudah gatal ingin mencabik-cabik
tubuh dua keparat itu!
Hmmm.... Apakah kedua bangsat itu yang memberi ta-
hu pemuda ini"!" kata batin perempuan pendek ini.
Kembali perempuan itu memperhatikan lebih
seksama pemuda di hadapannya.
"Dari siapa kau tahu nama Lembah Bandar Lor
dan nama Bawuk Raga Ginting"!"
Sambil membentak, perempuan pendek ini
mengangkat kaki kirinya dan menyilangkannya di de-
pan kaki kanan. Hebatnya bersamaan dengan itu dari
bawah serangkum angin keras menyambar, membuat
pakaian pemuda di hadapannya berkibar-kibar seben-
tar. "Ngg.... Dari Ageng Panangkaran!" jawab Pandu singkat. "Keparat!"
Tiba-tiba perempuan pendek itu menekankan
tombaknya, hingga amblas masuk. Tanah pun seketika
bergetar. "Benar dugaanku. Bangsat itu rupanya yang
mengatakannya...," gumam perempuan pendek dengan mata melotot merah. Tubuhnya
bergetar menahan
amarah. "Manusia! Kau bernyali besar rupanya, hingga berani datang ke Bandar Lor
ini! Tapi, dengar! Ini adalah tempat kematianmu!"
Dan tanpa mempedulikan Pandu yang buka
mulut hendak mengatakan sesuatu, perempuan pen-
dek ini menghentakkan kaki kirinya ke tanah, tiga kali berturut-turut.
Lembah berbatu ini mendadak bagai dilanda
gempa hebat. Tanah bergetar dengan batu-batu beter-
bangan. Pandu terkejut. Buru-buru tenaga dalamnya
dikerahkan untuk menahan gerakan tubuhnya yang
terhuyung-huyung hendak jatuh. Namun tenaga yang
dikerahkannya sia-sia. Getaran lembah itu begitu hebatnya. Hingga tak lama
kemudian, tubuhnya oleng
dan terbanting keras di tanah lembah berbatu.
Sementara, perempuan pendek berdandan me-
nor ini tertawa tergelak-gelak.
"Ageng Panangkaran keparat! Rupanya kau
mengirim utusan yang cekakilmu! Hik... hik... hik...!"
teriak perempuan pendek itu, jumawa.
Paras Pandu berubah mengelam. Dia mencoba
bangkit. Namun baru saja berdiri, tubuhnya kembali
oleng dan terbanting kembali ke atas tanah.
"Hmm.... Mendengar kata-katanya yang begitu
menaruh dendam kesumat pada Ageng Panangkaran,
pasti dia orang yang kucari. Dialah manusia yang me-namai diri Bawuk Raga
Ginting. Hmm.... Rupanya per-
jalananku tidak percuma. Bila saja aku berhasil berguru padanya.... Kau,
Pendekar Mata Keranjang 108!
Tunggulah saatnya!" desis batin Pandu dengan mata bersinar-sinar.
Setelah merasa tanah yang dipijaknya tidak lagi


Pendekar Mata Keranjang 9 Neraka Asmara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bergetar, Pandu bangkit dan berdiri. Namun belum
sempat berkata....
"Manusia! Kau rupanya makhluk yang tidak be-
runtung!" bentak perempuan pendek itu garang.
"Apa maksudmu..."!" sahut Pandu dengan sua-ra menggantung di tenggorokan.
Wajahnya masih pu-
cat pasi dengan tubuh gemetar.
Manusia pendek kembali tertawa nyaring.
"Kau jangan berlagak bodoh! Bukankah kau da-
tang ke Lembah Bandar Lor ini atas suruhan si tua
keparat Ageng Panangkaran"!"
Habis berkata, perempuan pendek itu melon-
cat-loncat setinggi setengah tombak dengan menghen-
tak-hentakkan sepasang kakinya. Dan kejap itu juga, kembali lembah itu bergetar
hebat. "Tunggu!" teriak Pandu dengan tubuh ter-
huyung-huyung. "Kedatanganku ke sini tanpa ada yang menyuruh!"
"Jangan dikira aku bisa dikelabui, Manusia Ja-
hanam!" bentak perempuan pendek ini seraya mendorongkan tangannya ke depan
perlahan. Saat itu juga Pandu mendengar suara menderu,
tanpa merasakan adanya sambaran angin deras.
Anehnya di kejap itu juga dia merasakan sebuah ke-
kuatan dahsyat yang tak tertangkap pandangan mata
menghantam tubuhnya!
Raut muka Pandu berubah putih pucat. Den-
gan bentakan sengau, tenaga dalam yang dimilikinya
dikerahkan untuk mencoba menahan serangan. Na-
mun begitu, hempasan yang tidak dapat ditangkap
pandangan mata terasa semakin hebat menghantam!
Perlahan-lahan perempuan pendek ini menarik
tangannya ke belakang. Dan saat itu juga, tubuh Pan-du melayang dan terbanting
ke atas tanah. Begitu
bangkit, duduk dari sudut bibir dan hidung pemuda
ini mengalir darah segar. Kulitnya lecet-lecet serta ma-ta berkunang-kunang.
Perempuan pendek ini melangkah perlahan
mendekati pemuda yang kini telah duduk itu. Semen-
tara Pandu menatap manusia di hadapannya dengan
tatapan nanar. Namun, mendadak dia jatuhkan diri
hingga hidungnya menyentuh tanah.
"Maafkan aku jika berlaku kurang hormat pa-
damu. Namun perlu kau ketahui, kedatanganku ke si-
ni bukan utusan Ageng Panangkaran! Aku datang ka-
rena kemauanku sendiri!" ucap Pandu, mantap.
"Penipu busuk!" hardik perempuan pendek itu dengan suara lantang, membuat
gendang telinga Pandu berdengung sakit. "Dengar, Manusia Dungu! Di ja-gad raya
ini hanya dua orang yang tahu tempat dan
namaku! Bangsat-bangsat itu adalah Ageng Panangka-
ran dan Junjungan Balaga. Kau tidak mungkin datang
ke sini, kalau tidak jadi kacung dua manusia keparat itu! Karena, mereka berdua
takut datang sendiri
menghadapiku. Hik... hik... hik...! Mereka jerih menghadapi Bawuk Raga Ginting!"
"Dugaanku tidak meleset! Jadi ini orangnya
yang kucari!" kata Pandu dalam hati, sambil masih bersujud mencium tanah.
"Manusia! Kenapa mereka tidak datang sendiri,
he..."!" tanya perempuan pendek itu.
"Mereka sudah tidak mungkin lagi datang ke-
mari. Karena...."
"Karena ketakutan menghadapiku, bukan..."!"
potong perempuan itu.
"Bukan! Bukan karena itu. Tapi...."
"Setan alas! Kau jangan banyak bacot membela
mereka di hadapanku!"
"Ngg.... Aku tidak membela. Dan aku bicara apa adanya. Mereka berdua sebenarnya
telah meninggal
dunia!" Manusia pendek yang memang orang yang me-
namai diri dengan Bawuk Raga Ginting itu menga-
tupkan bibirnya rapat-rapat. Dahinya berkernyit,
membuat bedak tebal di wajahnya merekat. Sepasang
matanya mendelik, mengawasi punggung Pandu yang
tampak bergetar.
"Manusia! Kau jangan bicara yang bukan-
bukan!" desak Bawuk Raga Ginting.
"Aku tidak mengada-ada. Karena, sebenarnya
aku adalah murid Ageng Panangkaran...," sergah Pandu.
Mendengar kata-kata Pandu, perempuan pen-
dek itu menyeringai seraya mendengus.
"Lantas, kau datang mewakili mereka untuk
menyelesaikan dendam lama itu" Hmm..., bagus!
Meski belum percaya dengan segala ocehanmu tentang
mereka, namun aku tak akan menyia-nyiakan keda-
tanganmu! Bangkitlah. Mari kita selesaikan dendam
lama itu!" tantang Bawuk Raga Ginting.
"Bawuk Raga Ginting! Kedatanganku bukan
untuk menyelesaikan dendam. Karena, aku tidak tahu
menahu dendam di antara kalian. Aku datang..., ber-
harap kau sudi mengambilku sebagai murid!" jelas Pandu, sempat ciut nyalinya.
Bawuk Raga Ginting menghentak-hentakkan
sepasang kakinya, membuat tubuh Pandu melambung
setengah tombak ke udara. Namun begitu kembali
mendarat di atas tanah, tanpa mempedulikan Bawuk
Raga Ginting yang masih mencak-mencak, pemuda ini
kembali menjatuhkan diri dengan keadaan menyem-
bah. "Manusia busuk! Kau mau berguru padaku"!
Bukan mustahil nantinya ilmuku akan kau gunakan
untuk melawanku. Begitu bukan" Hik... hik... hik....
Kau akan menjadi musuh dalam selimut. Jangan diki-
ra aku bodoh, tak tahu apa rencanamu!"
"Guru...!" sembah Pandu tiba-tiba.
Tapi sebelum pemuda itu meneruskan kata-
katanya.... "Jaga mulutmu! Siapa yang kau panggil guru"
Aku tak pernah mengangkatmu sebagai murid! Dan
tak akan pernah. Apalagi, murid bekas musuh besar-
ku!" potong Bawuk Raga Ginting, membentak.
Pandu mengangkat kepalanya, menatap Bawuk
Raga Ginting dengan sinar mata redup.
"Kau boleh menaruh curiga padaku. Namun,
aku lebih baik mati daripada meninggalkan tempat ini.
Karena, hidupku sudah tak ada gunanya lagi. Kalau
kau tidak sudi mengangkat ku sebagai seorang murid, bunuhlah aku! Bunuh!" ratap
Pandu perlahan.
Bawuk Raga Ginting mengundurkan kakinya
dua langkah ke belakang. Sejenak ditatapnya wajah
pemuda di hadapannya, seakan ingin meyakinkan.
"Pemuda ini tampaknya bersungguh-sungguh.
Apa sebenarnya yang dialami" Hm.... Aku kecewa, ka-
rena penantian ku selama ini berakhir sia-sia. Ilmu yang ku perdalam selama
berpuluh-puluh tahun, tak ada gunanya lagi. Karena, musuhku telah tewas terlebih
dahulu. Aku menyesal! Menyesal kenapa mereka
tewas bukan di tanganku" Kenapa mereka tak bisa
kupermalukan, sebagaimana mereka membuat aku
malu beberapa puluh tahun silam" Sialan benar!" rutuk batin Bawuk Raga Ginting
sambil menggelengkan
kepalanya. "Cepat, bunuhlah aku!" teriak Pandu menya-darkan lamunan Bawuk Raga Ginting.
"Manusia! Ceritakan padaku, apa sebenarnya
yang telah menimpa dirimu!" ujar Bawuk Raga Ginting dengan suara masih
membentak. "Bertahun-tahun aku berguru pada Ageng Pa-
nangkaran. Namun, dia sepertinya terlalu pelit menurunkan ilmunya. Hingga sampai
beberapa tahun, aku
masih tetap begini-begini saja tanpa ada kemajuan.
Dan lebih dari itu, sebenarnya aku mempunyai seo-
rang adik seperguruan. Dia seorang gadis cantik. Aku mencintainya. Namun, adik
seperguruanku menolak
cintaku. Rupanya, dia jatuh cinta pada seorang pemu-da berilmu tinggi yang
bergelar Pendekar Mata Keranjang 108. Aku kecewa dan sakit hati, karena merasa
tidak mampu mengalahkan pemuda itu!" jelas Pandu, panjang lebar.
Bawuk Raga Ginting batuk-batuk kecil bebera-
pa kali. Lalu bibirnya tersenyum mengejek.
"Cinta. Rupanya kau manusia konyol yang ma-
sih mempertaruhkan segalanya demi cinta. Apa yang
akan kau peroleh dari cinta, he..."! Kebahagiaan" Ke-puasan" Kenikmatan" Hik...
hik... hik...! Hanya manusia dungu yang masih punya pikiran begitu. Dengar!
Cinta hanya akan membawa manusia dalam belenggu
dan akan membuat manusia dirundung kecewa!" kata Bawuk Raga Ginting, tanpa
memandang pemuda itu.
"Tapi...."
"Tak ada tapi!" potong Bawuk Raga Ginting.
"Cinta hanyalah tabir kelabu yang membimbing manusia makin terperosok jauh!"
"Ngg... Apakah kau pernah mengalaminya?"
tanya Pandu, seakan tak sadar dengan siapa kini berhadapan.
Bawuk Raga Ginting mendongakkan kepala
mendengar pertanyaan Pandu. Wajahnya member-
sitkan ketidaksenangan. Sinar matanya tampak mere-
dup. "Aku hidup begini juga karena cinta. Hmm....
Rupanya, nasib pemuda ini malang seperti diriku dulu.
Seandainya aku dahulu mempunyai ilmu seperti seka-
rang, tak mungkin dienyahkan, dihina, dan disingkirkan orang! Bahkan oleh orang
yang secara diam-diam
kucintai! Sekarang, aku mempunyai ilmu yang tidak
mungkin ada yang bisa menyingkirkan dan menge-
nyahkan ku! Aku akan memuaskan segala yang dahu-
lu tidak ku peroleh. Yah! Sekaranglah saatnya. Namun, aku..., perlu juga seorang
pembantu. Hmm..., nasib
pemuda ini hampir seperti diriku. Apa salahnya jika dia kuangkat sebagai murid,
sekaligus pembantuku?"
kata batin Bawuk Raga Ginting mengingat masa lam-
paunya. Konon, berpuluh tahun yang silam, Bawuk Ra-
ga Ginting yang bernama asli Kunyil memang dilahir-
kan dan dibesarkan dalam keadaan tidak sempurna.
Tubuhnya pendek serta berwajah buruk. Namun seba-
gai manusia, menginjak dewasa Kunyil jatuh cinta pa-da seorang pemuda. Hanya
sayang, cintanya tanpa se-
pengetahuan pemuda itu sendiri. Namun, apa lacur"
Setelah tahu, pemuda itu menghina Kunyil. Gadis ini jadi sangat sakit hati.
Lantas dia pergi mengembara, dan pada akhirnya berguru pada seseorang. Sayang,
gurunya adalah seorang tokoh sesat. Sehingga tatkala Kunyil turun gunung dan
memakai nama Bawuk Raga
Ginting, perangainya jadi berubah.
Bawuk Raga Ginting sempat malang melintang
dalam kerasnya kancah dunia persilatan seraya mele-
pas segala dendamnya. Namanya disegani orang, dan
menjadi salah seorang dari tokoh hitam yang paling di-takuti. Hanya saja, suatu
ketika tatkala bertemu Junjung Balaga dan Ageng Panangkaran, Bawuk Raga
Ginting takluk. Untuk kedua kalinya tokoh ini pergi membawa rasa dendam. Dia
lantas menyendiri mem-perdalam ilmu di Lembah Bandar Lor.
"Aku mohon padamu, sudilah mengangkat ku
sebagai murid! Apa pun perintahmu akan kujalankan!"
pinta Pandu memenggal lamunan Bawuk Raga Ginting.
Bawuk Raga Ginting menatap nyalang pada
Pandu seraya manggut-manggut.
"Hanya karena persamaan nasib saja yang
membuatmu beruntung, Bocah! Kau akan kuangkat
menjadi muridku. Namun sebelum itu, untuk mem-
buktikan kebenaran ucapanmu tentang dua musuhku,
kau harus membawa ke sini dahulu kepala Junjung
Balaga dan Ageng Panangkaran! Hidup atau mati!"
Wajah Pandu berbinar-binar. Dan segera men-
jura beberapa kali.
"Segala perintahmu akan kujalankan! Sekarang
aku mohon diri!"
Habis berkata, Pandu menjura sekali lagi. Lalu
tubuhnya berbalik dan melangkah meninggalkan Lem-
bah Bandar Lor.
"Hik... hik... hik...! Nama Bawuk Raga Ginting akan kembali menjadi buah bibir.
Ditakuti dan disan-jung. Hik... hik... hik...!"
2 Pandu terus berlari. Baru begitu tiba di tempat
yang agak sepi di pinggiran sebuah sungai, larinya dihentikan. Kakinya kemudian
melangkah perlahan,
mendekati sebuah gubuk reot yang sudah tak dipakai.
Matanya sejenak memandang ke sekeliling. Pemuda itu lantas duduk di depan gubuk
dengan pandangan menatap jauh ke depan.
"Sakawuni! Sebenarnya aku tak menginginkan
kita berpisah. Namun, apa boleh buat" Kau tampaknya begitu tertarik pada pemuda
bergelar Pendekar Mata
Ke-ranjang 108. Bahkan mengenyahkan cintaku yang
telah lama ku pupuk dan kupendam" kata Pandu dalam hati.
Wajah pemuda ini tampak murung. Ingatannya
lantas melayang, kejadian yang dialami sebelum me-
nentukan pergi ke Lembah Bandar Lor terbayang kem-
bali. Waktu itu, Pandu dan Sakawuni baru saja selesai memakamkan jenazah Ageng
Panangkaran, guru
mereka. "Sakawuni...," bisik Pandu perlahan, seraya berpaling ke arah Sakawuni yang
tampak jongkok di
samping makam Ageng Panangkaran dengan terisak-
isak. Kedua tangannya tampak menakup menutupi
wajahnya. Sakawuni sepertinya tak mendengar panggilan
Pandu. Bahkan isakannya semakin keras. Bahunya
terlihat berguncang-guncang.
"Sakawuni...," ulang Pandu sambil mencekal bahu adik seperguruannya.
Perlahan-lahan Sakawuni meluruhkan kedua
telapak tangannya yang menutupi wajahnya, lalu ber-
paling memandang pada Pandu.
Pandu tersenyum. Namun, Sakawuni tak mem-
balas. Wajahnya dipalingkan kembali memandangi
gundukan tanah merah di depannya. Dan ini membuat
Pandu menggelengkan kepala perlahan.
"Sakawuni.... Suka dan duka adalah sesuatu
yang tak bisa dipisahkan dari bagian hidup manusia.
Kehilangan orang yang kita cintai merupakan sesuatu yang pasti terjadi dan tak
bisa dipungkiri. Itu sudah hukum alam yang harus kita terima menjadi kenyataan.
Apakah kita akan larut dalam lembah duka ber-
kepanjangan?" Sakawuni masih menekuri tanah merah. Cukup lama dia berbuat


Pendekar Mata Keranjang 9 Neraka Asmara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

begitu. "Kakang Pandu...," kata Sakawuni tanpa memandang pada kakak seperguruannya.
"Ucapanmu betul. Namun perasaan tidak semudah itu bisa ikut da-
lam hukum alam. Perasaan adalah sesuatu yang hi-
dup. Sedangkan hukum alam adalah sesuatu yang ma-
ti. Aku memang harus berani menerima kenyataan ini.
Tapi untuk menghilangkan perasaan merasa kehilan-
gan aku membutuhkan waktu...."
Mendengar kata-kata Sakawuni, Pandu terse-
nyum rawan. "Sakawuni.... Hari sudah petang. Sebaiknya, ki-ta tinggalkan tempat ini. Besok
kan masih ada wak-
tu...!" bujuk Pandu.
"Kakang Pandu. Kalau kau ingin pergi duluan,
pergilah! Aku masih ingin di sini!" tolak gadis itu halus.
Meski Pandu agak jengkel, namun juga tak be-
ranjak dari depan makam Ageng Panangkaran.
"Sakawuni.... Kuharap kau tak terlalu larut dalam kesedihan ini. Karena kita
masih mempunyai tu-
gas yang lebih penting daripada hanya meratapi kepergian guru!" bujuk Pandu
lagi. "Aku tak mengerti jalan pikiranmu, Kakang...."
"Sakawuni..,. Kita telah sama-sama kehilangan
orang yang kita kasihi. Meski itu merupakan hal yang tak bisa dihindari, namun
kepergian guru karena perbuatan keji seseorang! Untuk ini, kita tidak bisa
tinggal diam. Kita harus membalas perbuatan orang itu!"
"Benar, Kakang. Tapi, kita juga butuh waktu
untuk menyelidiki siapa sebenarnya orang yang ber-
buat keji pada guru!".
Pandu tersenyum sinis. Wajahnya berpaling,
memandang jurusan lain.
"Kita tak membutuhkan waktu. Karena, kita
sama-sama tahu siapa orangnya yang berbuat keji itu!"
desis Pandu. "Maksudmu, Pendekar Mata Keranjang?" tanya Sakawuni dengan suara agak bergetar.
Pandu mengangguk perlahan. Lalu wajahnya
berpaling kembali memandang lekat-lekat wajah adik
seperguruannya. Yang dipandang tampak menghela
napas dalam-dalam. Raut mukanya menyembunyikan
sesuatu yang sukar diartikan.
"Kau terlihat bimbang. Apa ada hal lain yang
membuatmu ragu-ragu"!" panting Pandu.
Sakawuni tidak segera menjawab. Pandangan
kedua matanya jauh ke depan.
"Apakah benar Pendekar Mata Keranjang yang
melakukan perbuatan terkutuk itu" Waktu bertemu
dahulu, aku tak menangkap hal-hal yang mengarah
pada perbuatan itu. Aku tidak percaya jika dia yang melakukan," sergah batin
Sakawuni. Perlahan-lahan, Sakawuni menggelengkan ke-
palanya perlahan.
"Kakang, aku belum...."
Sakawuni tak meneruskan kata-katanya.
"Hm.... Kau dilanda keraguan tentang perbua-
tan pemuda berjuluk Pendekar Mata Keranjang itu.
Apakah kau tertarik padanya..."!"
Paras Sakawuni kontan berubah merah padam.
Mulutnya menggumamkan sesuatu yang tak bisa di-
tangkap pendengaran Pandu.
Melihat perubahan wajah Sakawuni, meski
hanya sekejap, telah cukup membuat hati Pandu bagai terhempas. Segera
dipandangnya gundukan di depannya, coba menyingkirkan rasa cemburu yang mendera
dadanya. Sejenak suasana hening terjadi ketika tak ada
yang membuka suara.
"Kau tertarik dengan pemuda pembunuh guru
kita, Sakawuni?" tanya Pandu, memecah keheningan.
Sakawuni tidak menjawab. Wajahnya semakin
merah padam. Dadanya berdetak lebih kencang. Di co-
banya untuk dapat menguasai diri.
"Kakang Pandu, sekarang bukan saat yang te-
pat untuk membicarakan persoalan itu. Kita masih da-
lam suasana berkabung!" ujar Sakawuni, perlahan.
Pandu mendehem beberapa kali dengan se-
nyum mengejek. "Kau keliru, Sakawuni. Justru hal itu harus segera dibicarakan. Dan kita harus
segera mengambil
keputusan. Karena, ini menyangkut masa depan kita
bersama...," sergah Pandu.
"Masa depan kita bersama...?" ulang Sakawuni, tak mengerti arah ucapan kakak
seperguruannya.
"Ya! Masa depan kita bersama, Sakawuni. Ka-
rena sebenarnya aku menyayangi mu!" tandas Pandu.
"Terima kasih, Kakang. Memang sudah se-
layaknya kau menyayangi ku. Karena, aku adalah adik seperguruanmu!"
"Bukan itu maksudku, Sakawuni. Aku me-
nyayangi mu lebih dari perasaan kakak terhadap
adik...." "Kakang! Apa arti ucapanmu..."!" tanya Sakawuni dengan suara agak
keras. Dalam hati, dia berharap agar apa yang diduga tak benar-benar terjadi.
"Sakawuni, aku mencintaimu...."
Gadis cantik di samping Pandu kontan berseru
tertahan. Dia terhenyak meski tadi sudah dapat men-
duga arah pembicaraan Pandu. Namun, begitu men-
dengar sendiri dari mulut pemuda ini, mau tak mau
membuatnya terperangah. Dia hampir tak percaya
dengan pendengarannya.
"Kau jangan bergurau, Kakang!" ujar Sakawuni, seakan ingin meyakinkan.
"Aku sungguh-sungguh, Sakawuni. Aku men-
cintaimu...," tegas Pandu.
Air muka Sakawuni semakin memerah. Da-
danya bergetar. Hatinya diselimuti berbagai perasaan.
Tak percaya, bingung, dan jengkel. Perlahan-lahan di-
pandangnya paras kakak seperguruannya.
"Bagaimana ini" Ah, Kakang Pandu! Kau ter-
lambat. Hatiku telah terpaut pada seseorang. Lagi pu-la, aku tak mungkin
menerima cinta mu. Karena, kau
sudah ku-anggap sebagai kakakku sendiri.... Kuharap kau mau mengerti...," desah
Sakawuni dalam hati.
"Sakawuni...," panggil Pandu perlahan seraya tersenyum. "Aku tidak menginginkan
pernyataan mu sekarang. Kau mungkin masih memerlukan waktu.
Namun perlu kau ketahui, itulah perasaan yang ku-
pendam selama ini padamu. Aku berharap kau tidak
mengecewakanku...."
"Kakang...!" seru Sakawuni.
Namun gadis itu tak meneruskan kata-katanya
saat melihat Pandu memberi isyarat agar tak mene-
ruskan kata-katanya.
"Sakawuni, dengar. Aku tak menginginkan per-
nyataan mu sekarang. Kau perlu istirahat...."
Sakawuni benar-benar bingung sekarang. Apa-
kah dia harus berkata terus terang, jika sebenarnya tertarik pada Pendekar Mata
Keranjang" Apakah Pandu nanti tidak akan tersinggung" Tapi..., tidak! Sakawuni
memang harus mengatakan apa adanya, agar hal
itu tidak menambah beban dalam hati. Yang lebih
penting agar Pandu tidak terlalu kecewa nantinya!
"Kakang.... Maafkan aku. Aku..., aku tidak bisa menerima kata-kata suci mu tadi.
Karena aku telah...."
"Kau telah jatuh cinta pada seseorang. Begitu
bukan?" potong Pandu dengan raut wajah merah padam. Lantas pemuda ini membuang
muka. Lidah Sakawuni kelu seketika. Dia hendak
mengatakan sesuatu, namun tak kuasa dikeluarkan.
Hingga dengan perasaan berat, akhirnya kepalanya
hanya mengangguk perlahan.
"Aku tidak menyalahkanmu jika tertarik pada
pemuda itu. Karena, dia memang lebih segalanya di-
banding aku. Hanya kuharap, nantinya kau tidak akan menyesal. Karena
bagaimanapun juga, dia dan siapa
pun dia adanya, aku akan tetap mencari dan membuat
perhitungan dengannya. Sebab, dialah yang telah
membunuh guru kita!"
Habis berkata begitu, Pandu bangkit dan berba-
lik. Dia hendak berlalu, pergi dari tempat ini.
"Kakang, tunggu!" cegah Sakawuni seraya ikut bangkit. Dipandanginya wajah pemuda
di depannya. "Kakang, maafkan aku. Bukan maksudku menyakiti hatimu. Namun, rasanya lucu jika
kita terlibat dalam satu lingkaran cinta. Karena kau telah kuanggap sebagai
kakak kandungku sendiri!"
Pandu tersenyum kecut. Dan di mata Sakawuni
senyum itu memang begitu tidak mengenakkan.
"Sakawuni. Cinta tak pandang siapa saja. Ta-
pi..., ah! Percuma hal itu dibicarakan lagi. Aku harus pergi sekarang!"
Pandu lantas melangkah perlahan meninggal-
kan Sakawuni yang masih tampak tegak tertegun den-
gan raut cemas dan bingung.
"Kakang! Kau hendak ke mana...?" tanya Sakawuni ragu-ragu.
Sebentar Pandu berhenti, dan berbalik.
"Apakah itu masih penting buatmu" Kita bersa-
tu di sini, karena sama-sama menuntut ilmu pada
Ageng Panangkaran. Setelah Ageng Panangkaran tiada, kita boleh memilih jalan
sendiri-sendiri. Dan aku telah memutuskan hal itu!" kata Pandu,
Sakawuni segera berkelebat, dan berdiri di de-
pan Pandu dengan tatapan menusuk.
"Kakang! Kalau kau telah memutuskan untuk
pergi dan memilih jalan sendiri-sendiri, silakan! Namun, sebelumnya dengar dulu
ucapanku!" ujar Sakawuni masih dengan pandangan menusuk. Sebuah se-
nyum aneh menyeruak di bibirnya. "Kakang.... Persau-daraan lebih sekadar dari
cinta. Maka dari itu, meski nantinya kita jalan sendiri-sendiri, kuharap hal ini
bukan karena persoalan cinta. Dan, percayalah. Aku tetap akan menyelidiki, siapa
pembunuh guru!"
Pandu tidak menyahut. Dia hanya memandang
dengan tersenyum dingin.
"Kakang...," sambung Sakawuni. "Jika nantinya aku berhasil menemukan siapa
pembunuh guru kita,
meski dia orang yang kucintai, aku akan tetap mem-
buat perhitungan!"
Pandu masih tetap diam. Namun demi melihat
Sakawuni tak lagi bicara, dia tersenyum mengejek.
"Kau tidak usah mengatakan demikian, Saka-
wuni," ujar Pandu. "Kau harus ingat. Cinta itu tak bermata. Tia-da dinding
setebal apa pun yang sanggup menghadangnya. Jadi, ucapanmu ku ragukan akan
menjadi kenyataan. Sekarang, kau bisa saja mengata-
kan akan membuat perhitungan meski dengan orang
yang kau cintai. Namun, ingat kata-kataku! Cinta akan melenyapkan perhitungan
itu!" sergah Pandu.
"Hm.... Begitu!" Kalau umur kita sama-sama
panjang, aku ingin menunjukkan padamu jika kata-
katamu tidak benar!"
"Persetan dengan ucapanmu! Tapi, ada satu hal
yang harus kau ketahui. Aku sudah memastikan bah-
wa pemuda yang kau cintai adalah orang yang mem-
bunuh guru. Maka, jangan menyesal jika suatu hari
kelak pemuda berjuluk Pendekar Mata Keranjang akan
kupenggal kepalanya!"
Kata-kata Pandu membuat Sakawuni sedikit
terperangah kaget. Dia tak menyangka jika Pandu su-
dah demikian jauh berprasangka buruk.
"Kakang...!" panggil Sakawuni.
Namun Sakawuni tidak meneruskan ucapan-
nya, karena saat itu juga Pandu berkelebat meninggalkan tempat ini.
"Semoga bukan Pendekar Mata Keranjang yang
melakukan pembunuhan itu...," bisik Sakawuni, seraya memandangi kepergian kakak
seperguruannya.
"Pendekar Mata Keranjang! Hm..., dia mengatakan pergi ke Kampung Blumbang. Ah,
sebaiknya aku ke sana.
Aku ingin dengar ceritanya tentang guru!"
3 Seorang pemuda tampan berpakaian hijau yang
dilapis pakaian lengan panjang kuning dengan rambut dikuncir ekor kuda tampak
melintas di jalan setapak.
Kedua tangannya membopong sesosok tubuh seorang
gadis berbaju kuning yang tampaknya mengalami luka
parah dan dalam keadaan pingsan.
Sampai di tempat yang agak lapang pemuda
yang tak lain Aji Saputra alias Pendekar Mata Keranjang 108 menurunkan gadis di
bopongan dan direbah-
kannya di atas tanah.
Kedua kelopak mata gadis yang ternyata berpa-
ras cantik itu tampak terpejam rapat. Bibirnya membi-ru dan sedikit terbuka. Air
mukanya pucat bagai orang kehabisan darah.
Pendekar Mata Keranjang menatap wajah gadis
ini sebentar. Lantas ditariknya napas dalam-dalam.
Diambilnya tangan kanan gadis itu lalu denyut na-
dinya diperiksa.
"Hmm.... Nadi tangannya masih berdenyut. Be-
rarti, dia masih hidup. Semoga tenagaku dapat sedikit membantu, sebelum aku
dapat menemukan orang
yang bisa menolong...," gumam Aji.
Pendekar Mata Keranjang segera mengerahkan
tenaga dalamnya dan menyalurkannya pada gadis di
sisinya yang tak lain Putri Tunjung Kuning.
Hawa panas segera mengalir ke tubuh Putri
Tunjung Kuning. Sebentar tubuh gadis itu bergetar.
Lalu, tak lama kemudian terdengar erangan disertai gumaman perlahan.
"Percuma.... Percuma kau melakukan pertolon-
gan. Aku merasa sudah tidak bisa lagi ditolong...," desah Putri Tunjung Kuning.
"Putri Tunjung Kuning.... Kau jangan putus
asa. Kau harus bertahan. Jangan bicara soal nasib. Itu bukan urusan kita...!"
"Pendekar Mata Keranjang! Jangan memberi
impian-impian yang tidak mungkin padaku! Pukulan
Malaikat Berdarah Biru kurasa belum pernah ada seo-
rang pun yang sanggup menahannya. Dan..., coba li-
hat! Aku melihat kerumunan orang berpakaian putih-
putih tengah melangkah mendekatiku. Pendekar Mata
Keranjang.... Aku..., mohon maaf padamu.... Karena, selama ini aku memendam bara
dendam padamu. Bahkan berusaha mencari jalan untuk membunuh-
mu.... Aku..., aku berdosa padamu...! Akh...," ucap Putri Tunjung Kuning,
terbata-bata. "Putri Tunjung Kuning.... Lupakan semua itu.


Pendekar Mata Keranjang 9 Neraka Asmara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sekarang coba bertahanlah. Aku akan berusaha me-
nyelamatkan jiwamu. Aku akan mengurangi rasa sa-
kitmu dengan penyaluran hawa murni...."
Putri Tunjung Kuning membuka kelopak ma-
tanya. Dia mengerjap-ngerjap sebentar, lalu menatap redup pada Pendekar Mata
Keranjang. Sesaat kemudian kepalanya tampak menggeleng perlahan.
"Aku sudah tidak tahan lagi...," desah Putri Tunjung Kuning seraya menggenggam
erat-erat tangan
Pendekar Mata Keranjang.
Aji mula-mula merasakan tangan Putri Tunjung
Kuning hangat. Namun, lambat laun tangan itu beru-
bah dingin. Dan bersamaan dengan itu, kedua mata
gadis ini memejam. Mulutnya mengatup rapat. Semen-
tara pegangan tangannya mengendor, sebelum akhir-
nya terlepas. "Hm.... Dia pingsan lagi...," gumam Pendekar Mata Keranjang seraya menatap wajah
Putri Tunjung Kuning. "Sayang sekali, aku tak berpengalaman dalam hal pengobatan. Kalau kubawa
ke Karang Langit, apakah dia akan bisa bertahan" Aku khawatir di tengah
jalan...."
"Uhugkh..... Uhugkh...!"
Selagi Aji dalam keadaan bingung, terdengar
orang batuk-batuk beberapa kali, Seketika Pendekar
Mata Keranjang berpaling. Kedua tangannya yang ma-
sih tampak memeriksa tangan Putri Tunjung Kuning
segera ditarik. Alis Aji bertautan ketika melihat seorang laki-laki tua telah
berdiri tak jauh darinya.
Sejenak Pendekar Mata Keranjang memperhati-
kan baik-baik laki-laki tua yang kini melangkah sambil tersenyum ke arahnya.
"Siapa dia..." Aku seperti baru kali ini berte-mu...?" tanya Pendekar Mata
Keranjang dalam hati seraya memperhatikan lebih seksama.
Laki-laki tua berjubah panjang warna putih ku-
sam itu tetap tersenyum. Jenggotnya panjang dan su-
dah memutih. Dia mengenakan caping lebar dari daun
pandan, sehingga wajahnya hanya terlihat sebagian.
Tubuhnya sudah sangat renta, namun langkahnya
masih tampak tegar.
"Anak muda.... Temanmu itu sepertinya dalam
keadaan terluka parah. Kalau kau tidak keberatan, bagaimana jika aku mencoba
menolongnya...?" sapa laki-laki tua bercaping seraya menatap lekat-lekat Putri
Tunjung Kuning.
"Aku belum pernah mengenal orang tua ini.
Apakah dia bisa dipercaya?" tanya batin Aji lagi seraya memandang tak berkedip
pada orang tua yang kini
berhenti tiga langkah di depannya.
"Pendekar Mata Keranjang!" panggil orang tua bercaping.
Aji terkejut, menyadari kalau orang tua itu tahu
siapa dirinya. Sebaliknya, orang tua bercaping itu tersenyum dan mendehem
beberapa kali. "Kau meragukan uluran tanganku..."!" sam-
bung orang tua bercaping itu perlahan. Matanya tak
memandang pada Pendekar Mata Keranjang, namun
terus menatap Putri Tunjung Kuning.
Mendengar pertanyaan orang tua di hadapan-
nya, Pendekar Mata Keranjang tidak segera menyahut.
Semenjak tertipu Bayangan Seribu Wajah, Aji memang
selalu bertindak hati-hati. Terutama, pada orang yang baru saja dikenalnya. Tak
heran kalau sekarang dia
harus berhati-hati, karena pusaka hitam serta bum-
bung bambu yang berisi jurus-jurus pemusnah berada
di tangannya. "Orang tua! Aku tidak meragukan kebaikanmu.
Namun kalau boleh tahu, siapa kakek adanya...?"
tanya Pendekar Mata Keranjang, seraya menyembu-
nyikan kecurigaannya.
Orang tua bercaping tersenyum. Tangan kirinya
bergerak, mengangkat ujung caping lebarnya. Sehing-
ga, seluruh wajahnya terlihat jelas. Dahi Aji berkerut mencoba mengingat-ingat
raut wajah di hadapannya.
Namun kepalanya lantas menggeleng-geleng.
"Aku tidak bisa mengenali siapa dia.... Dan aku yakin, baru pertama kali ini
berjumpa dengannya...,"
gumam Pendekar Mata Keranjang, dalam hati.
Aji mengangkat wajahnya, menatap orang tua
di depannya. "Orang tua...," panggil Pendekar Mata Keranjang, begitu yakin tidak mengetahui
orang di hadapannya. "Aku merasa belum pernah bertemu denganmu.
Jadi, kuharap kau sebutkan saja siapa dirimu...."
"Kau benar, Pendekar Mata Keranjang-108. Kita
memang belum pernah bertemu. Dan sebenarnya. aku
sungkan untuk menyebutkan nama. Tapi, tak apalah
jika kau yang meminta. Orang-orang memanggilku
Restu Canggir Rumekso."
Mendengar nama yang disebut orang tua di ha-
dapannya, Pendekar Mata Keranjang sedikit terkejut.
Dia memang pernah mendengar nama Restu Canggir
Rumekso, seorang tokoh yang pandai dalam bidang
pengobatan. Bahkan kepandaiannya tak bisa disangsi-
kan lagi. "Oh! Kiranya kakekkah orangnya..."! Hmm....
Nama kakek memang telah tersohor, Aku sangat gem-
bira dapat berjumpa orang tersohor seperti kakek,
Maafkan aku yang buta ini masih meragukan uluran
kebaikanmu untuk menolong temanku...," ucap Pendekar Mata Keranjang.
Orang tua bercaping yang menyebutkan nama
dirinya Restu Canggir Rumekso tersenyum lebar. Lan-
tas ditariknya napas dalam-dalam.
"Jangan berkata begitu, Anak Muda. Mana ada
tempat bagi namaku dibanding nama besar Pendekar
Mata Keranjang 108" Seorang pendekar gagah pembela
kebenaran yang digandrungi banyak gadis cantik....
He... he... he...!" seloroh Restu Canggir Rumekso.
Wajah Aji kontan berubah merah padam, men-
dengar selorohan orang tua ini. Dia merutuk dalam ha-ti, menyumpahi Restu
Canggir Rumekso yang tahu
tentang dirinya.
"Kakek Restu Canggir Rumekso, sudahlah. Kau
jangan memuji begitu. Pujian bisa membuat orang ter-sesat. Sekarang, kuharap kau
sudi mengulurkan tan-
gan untuk menolong sahabatku ini...," pinta Pendekar Mata Keranjang, seraya
menjura hormat.
Sementara Restu Canggir Rumekso tampak
menggelengkan kepala perlahan. Lantas kakinya me-
langkah mendekati Putri Tunjung Kuning.
"Hm.... Sahabat atau kekasih...?" tanya Restu Canggir Rumekso sambil lalu. Ekor
matanya yang sayu melirik sekilas.
Mendengar pertanyaan Restu Canggir Rumek-
so, mata Pendekar Mata Keranjang membesar. Namun,
bibirnya menyunggingkan senyum.
"Apa ada bedanya...?" Pendekar Mata Keranjang balik bertanya.
"Oh, tentu!" jawab orang tua bercaping ini cepat, seraya mulai memeriksa tubuh
Putri Tunjung Kuning. "Kau tak keberatan mengatakan perbedaannya...?" Sejenak sepasang mata
Restu Canggir Rumekso memandang Pendekar Mata Keranjang. Bibirnya menyunggingkan
senyum tipis. Kepalanya lantas men-
gangguk perlahan.
"Dengar! Sahabat adalah hubungan kawan an-
tara seseorang tanpa didasari asmara. Sebaliknya kekasih, penuh dengan cinta dan
asmara. Namun antara
sahabat dengan kekasih terdapat benang tipis yang
membatasi. Dan bila pembatas itu lenyap, maka entah apa jadinya...?"
"Aku belum paham kata-katamu...?" gumam
Pendekar Mata Keranjang seraya mengusap-usap
ujung hidungnya. Sementara, tangan satunya mena-
rik-narik kuncir rambutnya.
Restu Canggir Rumekso menengadah sebentar,
lalu tangannya mengibas di depan wajahnya.
"Terlalu benar kau ini. Camkan baik-baik. Jika dua orang sedang terlibat asmara,
pasti satu sama lain akan saling menyembunyikan sesuatu yang dianggap
buruk di mata kekasihnya. Namun jika suatu hari cin-ta asmara mereka berakhir di
tengah jalan, sesuatu
yang tadinya disembunyikan akan tampak! Wah.... Ki-
ta sudah ngomong terlalu jauh. Sahabat atau kekasih itu bukan urusanku. Kenapa
ya, aku tadi lancang bertanya padamu...?" tepis Restu Canggir Rumekso seperti
bertanya pada diri sendiri.
Laki-laki tua ini lantas meneruskan memeriksa
Putri Tunjung Kuning. Kedua tangannya ditempelkan
di dada dan perut gadis itu seraya menarik napas dalam-dalam. Seperti tidak
percaya, orang tua ini me-
nempelkan kedua telapak tangannya pada perut Putri
Tunjung Kuning. Bahkan kali ini agak lama. Begitu
tangannya ditarik, sepasang matanya langsung mena-
tap tajam Pendekar Mata Keranjang dengan sinar mata menyelidik. Namun tak lama
kemudian kepalanya
manggut-manggut dengan bibir tersenyum, membuat
Aji tak enak hati. Keningnya berkernyit mencoba menduga-duga.
"Pendekar Mata Keranjang! Kali ini kau harus
jujur menjawab pertanyaanku!" ujar Restu Canggir Rumekso, membuat Pendekar Mata
Keranjang semakin
keheranan. "Apa hubunganmu dengan gadis ini" Kekasih atau hanya sahabat...?"
"Edan! Orang tua ini senang juga bergurau....
Dalam keadaan memeriksa orang terluka pun, masih
sempat...," kata batin Pendekar Mata Keranjang tanpa menjawab pertanyaan Restu
Canggir Rumekso.
"Pendekar Mata Keranjang! Kau mendengar
pertanyaanku, bukan"!" tegur Restu Canggir Rumekso, agak keras.
Sepasang mata Aji membelalak lebar. Bibirnya
tak menyungging senyum sama sekali. Hatinya merasa
jengkel dibentak begitu rupa.
"Orang tua! Apakah hubungan ku dengan gadis
ini menjadi penting dalam pengobatan mu" Atau, kau
hanya mencari-cari alasan untuk mengulur-ulur wak-
tu agar nyawa gadis ini tidak tertolong...".'" tukas Pendekar Mata Keranjang,
lantang. Restu Canggir Rumekso menarik napas dalam-
dalam. Hatinya sebenarnya panas juga mendengar ka-
ta-kata Pendekar Mata Keranjang yang sepertinya me-
nuduh. Namun semua ini coba ditindihnya dengan ter-
senyum. "Tak baik berprasangka buruk, Anak Muda. Ke-
tahuilah. Aku bertanya begitu, karena dia...."
Restu Canggir Rumekso tak meneruskan kata-
katanya. "Kenapa dia..."!" terabas Pendekar Mata Keranjang cepat.
Namun melihat ulah Pendekar Mata Keranjang,
Restu Canggir Rumekso malah tersenyum.
"Katakan! Kenapa gadis ini"!" ulang Pendekar Mata Keranjang.
"Dia hamil!" sahut Restu Canggir Rumekso, perlahan. Namun kata-kata perlahan
Restu Canggir Ru-
mekso laksana geledek di telinga Pendekar Mata Ke-
ranjang. "Apa dia tidak pernah mengatakannya padamu"! Sebab, usia kandungannya
telah menginjak tiga
bulan...," sambung Restu Canggir Rumekso, tanpa memandang lagi pada Pendekar
Mata Keranjang.
Pendekar Mata Keranjang terhenyak. Dan sebe-
lum berbuat sesuatu, Restu Canggir Rumekso men-
gangkat tubuh Putri Tunjung Kuning.
"Pendekar Mata Keranjang, gadis ini dalam
keadaan terluka parah dan memerlukan perawatan.
Jadi tidak bisa diobati di sini. Namun sebelum aku
pergi, sebutkan dulu tempat tinggalmu. Biar kelak gadis ini tidak sulit
menemukanmu. Bukankah kau ba-
pak jabang bayi yang ada dalam kandungan gadis
ini"!" kata orang tua ini, ceplas-ceplos.
Aji benar-benar sewot. Kalau bukan orang tua
yang mengatakannya, tentu sudah ditamparnya mulut
Restu Canggir Rumekso.
"Orang tua! Jangan ceroboh berkata-kata. Aku
memang bukan pemuda baik-baik. Namun selama ini,
aku belum pernah menggauli seseorang. Apalagi gadis yang belum resmi jadi
istriku!" Aji setengah menegur.
"Hmm.... Begitu" Lantas siapa bapaknya...?"
"Tanyakan saja padanya jika sudah bisa bica-
ra!" ujar Pendekar Mata Keranjang sengit, saking jeng-kelnya. "Kau sendiri
tinggal di mana..."!"
Orang tua bercaping yang kini tampak hendak
siap pergi itu mengurungkan niatnya. Tubuhnya dipu-
tar menghadap Pendekar Mata Keranjang. Sejenak di-
tatapnya paras pemuda di hadapannya,
"Kalau kau ingin tahu, dari sini berjalanlah ke
arah timur. Di lereng Gunung Mahameru, tepatnya di
Dusun Amadanom, kau akan menemukan tempatku.
Nah, selamat tinggal...."
Habis berpikir, Restu Canggir Rumekso berba-
lik dan berkelebat sambil membopong tubuh Putri
Tunjung Kuning. Ditinggalkannya Pendekar Mata Ke-
ranjang yang masih tegak terkesima mendengar kete-
rangan Restu Canggir Rumekso.
"Hm.... Putri Tunjung Kuning hamil. Hampir
tak ku percaya keterangan itu. Apa dia telah mempu-
nyai suami" Tapi waktu pertama kali kuselamatkan,
dia menyatakan menyintai ku terus terang.... Hmm....
Aku jadi tak mengerti semua ini. Namun, aku bersyu-
kur masih sempat dibawa Restu Canggir Rumekso. Ka-
rena menurut berita yang tersiar selama ini, dia adalah seorang tabib pandai.
Hmm.... Semoga saja dia bisa
diselamatkan. Dan sebaiknya, aku meneruskan perja-
lanan ke Karang Langit, menemui Eyang Guru...."
Berpikir begitu, Pendekar Mata Keranjang 108
cepat berkelebat meninggalkan tempat ini.
4 Dalam perjalanan menuju Karang Langit, Pen-
dekar Mata Keranjang 108 tak henti-hentinya memi-
kirkan Putri Tunjung Kuning. Hingga karena begitu la-rutnya, tanpa sadar kalau
sejak tadi dirinya diikuti seseorang yang berkelebat mengendap-endap.
"Putri Tunjung Kuning.... Tak dapat dipungkiri, dia memang seorang gadis cantik
jelita. Bentuk tubuhnya bagus, membuat semua mata yang memandang
enggan untuk melepaskannya. Hmm... Ingat dia,
membuatku teringat pada Ajeng Roro. Di mana dia se-
karang...?" kata batin Aji seraya menghentikan langkahnya dan menyeka keringat


Pendekar Mata Keranjang 9 Neraka Asmara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

di lehernya. Pendekar Mata Keranjang menengadah me-
mandang langit. Saat itu matahari masih baru saja
tergelincir dari titik pusarnya. Kakinya lantas melangkah mendekati sebuah pohon
dan bersandar. Tatapan
matanya jauh memandang ke depan. Tiba-tiba pera-
saannya gundah. Perasaan yang sebelumnya tidak
pernah dialami. Memang, pada saat-saat sendiri seper-ti ini, bayangan Ajeng Roro
selalu melintas dalam pikirannya. Aji benar-benar merindukan bertemu dara
cantik murid Eyang Selaksa itu.
"Ajeng Roro...," gumam Pendekar Mata Keranjang lirih. "Di mana kau saat ini..."
Tidakkah kau merasa seperti yang ku rasakan saat ini" Selalu dan selalu ingin
bertemu denganmu...?"
Pendekar Mata Keranjang mengusap kening
dengan tangan kanannya. Pandangannya masih jauh
menatap ke depan. Lalu ditariknya napas dalam-
dalam, kemudian dihembuskannya perlahan-lahan.
"Aku memang banyak bertemu gadis cantik.
Namun, aku tidak dapat melupakanmu. Apakah aku
telah jatuh cinta...?" desah Pendekar Mata Keranjang perlahan, seraya tersenyum-
senyum sendiri. "Kalau betul, kenapa perasaan itu tiba-tiba lenyap begitu saja
ketika aku berdekatan dengan gadis lain..," Heran!
Aku hampir tak percaya dan tak mengerti dengan pe-
rasaanku sendiri.... Benar-benar edan!"
Selagi Pendekar Mata Keranjang merutuki diri
sendiri, tiba-tiba terdengar suara tawa perlahan. Dalam keadaan tersentak kaget,
wajahnya segera dipa-
lingkan ke arah datangnya suara. Dan sepasang ma-
tanya membelalak seketika. Dahinya membentuk bebe-
rapa kerutan. Lantas, jidatnya sendiri ditepuk.
"Ah, rupanya dia...," gumam Pendekar Mata Keranjang, begitu mengenali siapa
orang yang mengeluarkan suara tawa.
Tak jauh dari tempat Pendekar Mata Keranjang
bersandar di pohon, berdiri tegak seorang gadis cantik berpakaian ketat warna
putih-putih, membuat bayang
lekukan tubuhnya terpampang jelas. Rambutnya pan-
jang terurai. Sepasang matanya bulat berbinar, diting-kahi bulu mata lentik dan
panjang. Di lehernya me-
lingkar untaian kalung dari bunga-bunga berwarna hitam. Di atas telinga kirinya
juga tampak menyelip sekuntum bunga berwarna hitam.
Dara jelita berpakaian putih-putih ini me-
nyunggingkan senyum lebar, menampakkan gigi-
giginya yang putih berkilat. Namun mendadak saja senyumnya lenyap, berganti
tatapan mata menyengat tak berkedip.
"Ratu Sekar Langit...," sebut Pendekar Mata Keranjang seraya melangkah maju
disertai senyum men-
gembang. "Bagaimana keadaanmu selama ini...?"
"Pendekar Pembual! Kau harus bayar janjimu
padaku dengan sebelah tanganmu!" sentak dara jelita yang memang Ratu Sekar
Langit. Senyum di bibir Pendekar Mata Keranjang ikut-
ikutan sirna mendadak. Langkahnya dihentikan dan
malah tampak beringsut mundur dua langkah. Seje-
nak ditatapnya gadis di hadapannya dengan sinar ma-
ta heran bercampur bingung. Namun mengira Ratu
Sekar Langit bergurau, Pendekar Mata Keranjang
kembali tersenyum sambil mengusap-usap cuping hi-
dungnya. Bahkan sebelah matanya mengerdip.
"Pendekar Mata Keranjang! Kau jangan se-
nyam-senyum. Telah lama aku mencarimu!" bentak
Ratu Sekar Langit, tampak sungguh-sungguh.
"Mencariku...?" ulang Pendekar Mata Keranjang dengan kepala mengangguk-angguk.
"Benar. Untuk menebas sebelah tanganmu dan
menyumpal mulutmu!" sahut Ratu Sekar Langit, mantap. "Aneh. Kita lama tidak
Pendekar Pedang Dari Bu Tong 15 Gento Guyon 27 Sengkala Angin Darah Liang Maut Di Bukit Kalingga 2
^