Pencarian

Geger Pulau Es 1

Dewa Arak 49 Geger Pulau Es Bagian 1


GEGER PULAU ES Oleh Aji Saka Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting : Puji S.
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Aji Saka Serial Dewa Arak
dalam episode 49:
Geger Pulau Es 128 hal ; 12 x 18 cm
1 Trang, trang, tring!
Dentang nyaring senjata beradu yang diiringi percikan bunga-bunga api ke udara,
menambah tidak nyaman suasana persada. Memang, saat itu musim kemarau tengah
melanda bumi. Matahari tepat berada di atas kepala, dan menyorotkan sinarnya dengan garang.
Panasnya tak terkira lagi.
Dalam suasana demikian, pertarungan itu berlangsung. Yang lebih gila lagi,
pertarungan itu terjadi di hamparan tanah lapang luas.
Sejauh mata memandang tidak terlihat pe-pohonan, yang ada hanya rerumputan. Itu
pun pendek pendek dan berwarna kuning kecoklatan, terpanggang slnar matahari!
Tidak adanya pohon-pohon menyebabkan sengatan garang sinar matahari langsung me-
nerpa tubuh orang-orang yang tengah bertarung.
Tapi semua itu tidak dipedulikan mereka.
Bahkan, sinar garang sang Surya semakin menambah semangat bertarung mereka.
Suasana riuh rendah pun melingkupi sekitar tempat itu.
Pertarungan itu terjadi antara dua kelompok yang memiliki perbedaan yang
menyolok. Kelompok yang satu adalah sepasukan tentara kerajaan. Ini bisa dilihat dari
pakaian yang dikenakan. Sedangkan lawan mereka se-kelompok orang yang memiliki tindak-tanduk
kasar. Pakaian yang dikenakan pun beraneka ragam.
Rupanya, pertarungan itu sudah berlangsung cukup lama. Wajah-wajah orang yang
terlibat pertarungan telah dibasahi cucuran peluh.
Napas yang keluar dari hidung dan mulut mereka pun terdengar memburu.
Mendadak... Crattt! "Akh!"
Salah seorang anggota pasukan kerajaan menjerit kesakitan ketika senjata lawan
mem-beset pinggangnya. Prajurit sial itu pun men-dekapkan tangannya ke bagian
tubuh yang terluka.
"Permana. .!"
Hampir serempak rekan-rekan prajurit itu menjerit kaget. Tapi hanya sampai di
situ saja. Tidak ada tindakan pertolongan. Keadaan mereka sendiri pun tidak berbeda jauh
dengan Permana. Pasukan prajurit kerajaan rupanya tengah terdesak.
Itu tidak aneh, karena jumlah lawan terlalu banyak untuk mereka. Satu orang
prajurit harus menghadapi tiga orang lawan. Sedangkan tingkat kepandaian mereka
hanya sedikit di atas lawan-lawannya. Akibatnya, pasukan prajurit itu kewalahan.
Hingga mereka tak bisa mem-bantu Permana.
Permana, prajurit bertubuh pendek kekar,
harus berjuang keras untuk menyelamatkan selembar nyawanya. Tubuhnya bergerak ke
sana kemari meng-hindari bahaya maut yang datang dari sambaran senjata lawan.
Untuk beberapa saat lamanya Permana masih berhasil menghindar. Tapi sampai kapan
dia dapat bertahan"
Begitu pun dengan rekan-rekannya. Hanya saja keadaan mereka sedikit lebih baik
dari Permana. Di saat yang amat gawat itu, tiba-tiba berkelebat dua sosok bayangan yang
langsung memasuki kancah pertarungan. Cepat bukan main gerakannya.
Betapa tidak" Dua sosok bayangan ungu dan putih itu mampu menyelinap di antara
kelebatan senjata orang-orang yang tengah bertarung. Kalau saja tidak mempunyai
ilmu meringankan tubuh tinggi, tindakan dua sosok bayangan itu hanya akan
mengakibatkan bahaya! Tubuh mereka akan terkena sabetan senjata-senjata yang
tengah berkelebatan cepat.
Namun, kenyataannya berbeda jauh. Keduanya berhasil mendarat di tengah-tengah
kancah per-tarungan. Sosok bayangan putih melesat ke arah Permana yang berada
dalam bahaya. Laki-laki pendek kekar itu tengah terpojok oleh keroyokan senjata
tiga orang lawannya.
Plak, plak, plakkk!
Bunyi berdetak keras terdengar ketika senjata-senjata itu berbenturan dengan
sepasang tangan sosok bayangan putih! Sosok bayangan putih itu menangkis semua
serangan dengan tangan telanjang. Dapat diperkirakan, betapa besar kekuatan tenaga dalam
yang ter-salur pada kedua tangannya.
Akibatnya, tubuh ketiga orang kasar itu terhuyung huyung ke belakang dengan
tangan terasa sakit. Hal yang sama pun menimpa teman-teman mereka yang
menghadapi sosok bayangan ungu. Melihat kenyataan itu, orang-orang kasar lainnya
segera meninggalkan lawan-lawannya. Kemudian, mereka berkumpul menjadi satu.
"Siapa kalian" Mengapa mencampuri urusan kami"!" bentak salah seorang dari
gerombolan orang kasar yang berjumlah enam belas orang.
Orang itu bertubuh tinggi kurus dan berkepala botak. Menilik sikapnya dia adalah
sang Pemimpin. Golok besar yang tergenggam di tangannya diacung-acungkan. Wajah
orang itu menggambarkan rasa penasaran. Betapa tidak"
Kalau saja tidak ada campur tangan sosok bayangan putih, tentu saat ini dia
telah berhasil memenggal kepala Permana.
Sepasang matanya yang besar dan buiat seperti jengkol, merayapi sekujur tubuh
sosok bayang ungu yang tampak telah berdiri ber-sebelahan. Sementara kedua sosok
itu berdiri tenang, membelakangi pasukan kerajaan yang telah berkumpul mengobati
luka-luka mereka.
"Hi hi hi...!"
Sosok bayangan putih yang ternyata seorang gadis jelita, berpakaian putih dan
berambut panjang, tertawa mengikik. Nadanya meremeh-
kan lawan. "Orang seperti kalian ingin mengetahui siapa kami"! Hi hi hi...! Lucu sekali!"
Wajah laki-laki berkepala botak langsung merah padam. Amarahnya naik ke ubun-
ubun! Kemarahan akibat campur tangan gadis berpakaian putih itu saja belum lenyap,
eh... kini ditambah dengan hinaan itu. Siapa yang tidak kalap"
"Keparat! Mulutmu terlalu kurang ajar, Wanita Sundal! Kau akan menerima
balasannya. Kau akan kami telanjangi dan akan kami perkosa ramai-ramai sampai
mati! Serbu...!"
Usai berkata demikian, laki-laki berkepala botak memberi aba-aba pada kawan-
kawannya untuk menyerang. Disadarinya kalau kedua lawannya bukan orang
sembarangan. Telah dirasakan sendiri kelihaian gadis berpakaian putih. Sedangkan
kawan gadis itu, pemuda berpakaian ungu, meskipun belum dirasakan sendiri
kelihaiannya, tapi bisa diperkirakan.
Hingga dirinya tidak berani bertindak gegabah, dan langsung memerintahkan
penyerangan bersama-sama.
Seketika itu pula, beraneka ragam dan berbagai bentuk senjata meluncur ke arah
sepasang muda-mudi yang berwajah elok itu. Bunyi ber-cericitan mengiringi
meluncurnya senjata-senjata itu.
Tapi, sepasang muda-mudi itu tidak menjadi gugup. Apalagi gadis berpakaian
putih! Bukannya gugup atau gentar, dia malah murka bukan
main. Ucapan pemimpin orang-orang kasar itu telah menyinggung harga dirinya.
Dari mulut gadis itu keluar lengking kemarahan. Dengan amarah berkobar-kobar,
disambutnya serbuan lawan-lawannya.
Tindakan sepasang muda-mudi itu memang patut diacungi jempol. Meskipun belasan
lawan menyerbu dengan menggunakan senjata yang beraneka ragam bentuk dan
jenisnya, mereka tetap tidak mengeluarkan senjata. Serbuan itu disambut mereka
dengan tangan kosong.
Hebat! Tindakan yang diambil sepasang muda-mudi itu bukan didorong oleh ke-
sombongan, tapi karena memang memiliki kemampuan. Lincah laksana kera dan gesit
laksana bayangan, tubuh mereka berkelebat di antara kelebatan senjata-senjata
lawan. Hasilnya, tidak satu pun serangan lawan yang mengenai sasaran.
Sebaliknya, setiap kali tangan atau kaki gadis berpakaian putih dan pemuda
berpakaian ungu bergerak, dapat dipastikan ada sosok tubuh yang terlempar keluar
dari kancah pertarungan dengan diiringi jerit kesakitan.
Dan serbuan belasan orang kasar itu laksana sekumpulan laron menerjang api.
Mereka roboh sebelum berhasil melaksanakan maksudnya.
Jeritan kesakitan terdengar susul-menyusul mengiringi berpentalannya tubuh
orang-orang kasar itu.
Dalam waktu singkat hampir tidak ada lagi rombongan orang kasar yang berdiri
tegak. Semua bergeletakan di tanah, tak mampu melanjutkan pertarungan. Tapi, tak ada
seorang pun di antara mereka yang tewas. Kini yang masih berdiri tegak hanya
lelaki berkepala botak. Hal itu memang disengaja.
"Menyingkirlah, Kakang. Biar aku yang mem-bereskannya. Orang yang mempunyai
mulut dan pikiran kotor seperti dia tidak pantas dibiarkan hldup," kata gadis
berpakaian putih pada rekannya yang berpakaian ungu.
Tanpa berkata apa pun, pemuda berpakaian ungu yang berambut panjang dan berwarna
keperakan itu melangkah mundur. Pemuda itu ingin memberi kesempatan pada
kawannya untuk melaksanakan maksudnya.
Pemuda berambut putih keperakan itu tidak perlu menunggu terlalu lama untuk
menyaksi-kannya. Dengan sorot mata penuh kemarahan, gadis berpakaian putih
menghampiri pemimpin rombongan orang kasar.
Laki-laki berkepala botak itu menyadari bahaya yang mengancam. Tapi apa yang
dapat dilakukannya" Lari" Tidak mungkin! Gadis berpakaian putih itu tak akan
membiarkannya. Akhirnya dia bertindak nekat!
"Haaat..!"
Diiringi teriakan menggeledek, golok besar diputar di depan dada. Kemudian,
sambil me-mutar senjata lelaki berkepala botak itu melompat menerjang lawan.
Wuk wuk wuk...!
"Hmh!"
Gadis berpakaian putih mendengus, melihat serangan yang menyambar ke arah dada.
Ditunggunya hingga serangan golok lawan menyambar dekat Lalu tangannya
digerakkan. Cepat bukan main. Tahu-tahu....
Tappp! Mata golok laki-laki berkepala botak berhasil dicekal tangan kanan gadis itu.
Sebelum pemimpin gerombolan itu sempat berbuat sesuatu, gadis berpakaian putih
membalikkan ujung golok ke arah lawan, lalu menyorong-kannya.
Cappp! "Aaakh...!"
Laki-laki berkepala botak menjerit ngeri ketika goloknya menembus perut hingga
ke punggung. Seketika itu pula sepasang matanya membelalak lebar. Darah muncrat
dari luka di perutnya.
Tindakan gadis berpakaian putih tidak hanya sampai di situ, kakinya melayang ke
arah dada. Bukkk! Telak dan keras tendangan itu mendarat di sasarannya, hingga menimbulkan bunyi
gemeretak. Sesaat kemudian, tubuh laki-laki berkepala botak terdorong ke
belakang beberapa tombak. Dan jatuh terbanting ke tanah. Saat itu juga nyawanya
melayang ke alam baka!
"Hhh...!"
Gadis berpakaian putih meghela napas lega.
*** "Ah! Kiranya Gusti Ayu dan Raden...!
Sungguh suatu kebetulan," kata Permana gembira seraya mengayunkan langkah
menghampiri. Gadis berpakaian putih dan pemuda
berambut putih keperakan membalikkan tubuh sambil tersenyum lebar.
"Mengapa Paman semua berada di tempat ini dan terlibat pertarungan dengan
mereka" Dan apa maksud ucapan Paman tadi?" tanya gadis berpakaian putih tenang.
Dari sikap dan nada bicaranya agaknya gadis itu mengenal pasukan kerajaan itu.
"Kami berada di sini untuk memenuhi perintah Yang Mulia Prabu Nalanda, Gusti Ayu
Melati," beritahu seorang prajurit yang bercambang bauk lebat
"Perintah Ayahanda Prabu"!" ulang gadis berpakaian putih yang ternyata Melati.
"Apakah perintah itu, Paman?"
"Gusti Prabu memerintahkan kami untuk mencarimu, Gusti Ayu. Bahkan kalau dapat
sekaligus dengan Raden Arya. Ada masalah penting yang melanda Kerajaan Bojong
Gading." Kali ini Permana yang memberikan jawaban.
(Untuk mengetahui lebih jelas hubungan Melati, Arya, dan Kerajaan Bojong Gading,
silakan baca serial Dewa Arak dalam episode: 'Banjir Darah di Bojong Gading.')
Melati menoleh ke arah pemuda berpakaian ungu yang sejak tadi berdiam diri.
"Bagaimana, Kakang?" tanya Melati pada pemuda berpakaian ungu yang tidak lain
Arya dan lebih dikenal dengan julukan Dewa Arak.
"Karena kita tidak mempunyai keperluan lain, maka tidak ada salahnya kita patuhi
perintah Prabu Nalanda, Melati. Kalau tidak ada masalah penting, Gusti Prabu
tidak akan bersusah-payah menyuruh orang untuk mencari kita," jawab Arya.
"Kau benar, Kakang," Melati mengangguk-angguk menyetujui ucapan kekasihnya.
Kemudian, perhatiannya kembali dialihkan ke arah para prajurit vang ternyata
berasal dari Kerajaan Bojong Gading.
"Apa masalah penting yang melanda Kerajaan Bojong Gading, Paman?" tanya Melati
mencoba mencari tahu.
Bukannya menjawab pertanyaan itu,
Permana malah memasukkan tangannya ke balik baju. Dan ketika dikeluarkan,
tangannya menggenggam segulungan surat. Dengan penuh hormat diberikannya surat
itu pada Melati.
Gadis berpakaian putih itu segera membuka dan membacanya.
*** Melati, putriku....
Bersama surat ini, kuberitahukan padamu bahwa Patih Juminta telah pergi bersama
beberapa orang pasukan khusus Kerajaan Bojong Gading. Beliau menyusul putranya
yang pergi ke Pulau Es. Karena
perjalanan menuju Pulau Es tidak mudah, aku mengkhawatirkan keselamatan mereka.
Oleh karena itu, kutitahkan padamu untuk menyusul mereka.
Kalau bisa tentu saja bersama Dewa Arak. Pergilah Melati. Dan bawa pulang Patih
Juminta beserta putranya.
Ayahmu, Prabu Nalanda Raja Kerajaan Bojong Gading.
"Hhh...!" Melati menghela napas berat.
Perlahan-lahan digulungnya kembali surat itu.
"Sampaikan pada Ayahanda Prabu bahwa kami telah mengetahui perintahnya dan akan
melaksana kannya. Sampaikan pula salam hormat kami padanya," ucap Melati penuh
wibawa. "Baik, Gusti Ayu. Semua perintahmu akan kami sampaikan," jawab Permana sambil
memberi hormat Demikian pula anggota pasukan lainnya. Permana lalu mengalihkan
perhatian ke arah pasukannya.
Tapi baru beberapa tindak Permana dan pasukannya meninggalkan tempat itu, Melati
memanggil mereka. Seketika itu pula langkah pasukan itu terhenti.
"Apa yang dapat kami bantu, Gusti Ayu?"
tanya Permana penuh hormat.
"Hanya sebuah jawaban. Tadi aku telah mengajukan pertanyaan. Tapi kalian belum
menjawabnya. Mengapa kalian bentrok dengan rombongan penjahat kasar itu"!" tanya
Melati sambil menudingkan jari telunjuknya pada sosok-sosok tubuh kasar yang tergolek
di tanah. "O ya, hampir kami lupa. Orang-orang itu hendak membalas dendam atas kematian
sahabat-sahabat mereka di tangan pasukan Kerajaan Bojong Gading dan Gusti Ayu,"
jawab Permana. "Hehhh" Aku"!" tanya Melati setengah tak percaya.
"Benar, Gusti Ayu. Ingatkah Gusti Ayu akan perampok-perampok di Hutan Buaran"!"
"Ya. Aku ingat. Jadi mereka anggota kelompok itu yang berhasil meloloskan diri?"


Dewa Arak 49 Geger Pulau Es di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

(untuk jelasnya, silakan baca serial Dewa Arak dalam episode: 'Kelelawar
Beracun.') "Bukan, Gusti Ayu. Tapi kenalan dan sahabat mereka. Karena tahu tidak mungkin
bisa membalas pada Gusti Ayu, maka mereka melampias-kannya pada pasukan Kerajaan
Bojong Gading. Mungkin mereka telah lama mengetahui kami.
Hanya baru berani bertindak di tempat ini."
"O, begitu" Baiklah. Kalian boleh pergi."
"Hamba mohon pamit, Gusti Ayu."
"Ya," jawab Melati singkat.
Permana dan pasukannya kembali melanjutkan perjalanan.
"Beritahu pada pasukan yang lain bahwa perintah Gusti Prabu telah kita
laksanakan,"
perintah Permana.
Tanpa menunggu perintah dua kali, prajurit yang bertugas menyampaikan
pemberitahuan segera, mengambil busur. Kemudian dipasang
anak panah. Twang...! Diiringi bunyi cukup keras, anak panah itu melesat ke angkasa. Setibanya di
atas, entah dengan cara bagaimana, timbul percikan bunga api berwarna-warni.
Pemberitahuan itu tidak hanya dilakukan satu kali. Sambil tetap melangkah
meninggalkan tempat itu, pelepasan anak panah terus dilakukan. Dan baru berhenti
ketika anak anak panah telah habis. Sementara itu, Melati dan Arya terus
memandangi hingga pasukan prajurit Kerajaan Bojong Gading lenyap di kejauhan.
"Apa yang terjadi, Melati?" tanya Arya kemudian.
Tanpa berkata sepatah pun Melati meng-angsurkan gulungan surat yang masih di-
pegangnya. Arya menerima, lalu membacanya.
Hanya sebentar saja. Sesaat kemudian surat itu digulungnya kembali.
'Pulau Es..."!" ucap Arya dengan dahi berkernyit dalam. "Kau tahu di mana
letaknya, Melati?"
"Hhh...!" Melati menghembuskan napas berat lebih dulu sebelum menjawab
pertanyaan itu.
"Tahu secara pasti, tidak. Tapi aku mempunyai dugaan di mana Pulau Es itu
berada." "Dari mana kau mengetahuinya, Melati?"
kejar Arya. "Kalau aku, jangankan tahu tempatnya... dengar namanya saja baru
kali ini."
"Aku mengetahuinya dari almarhum guruku, Kakang," ucap Melati dengan nada sedih.
Perkataan itu mengingatkannya kembali pada kematian gurunya yang mengenaskan, di
tangan seorang tokoh sesat yang mengiriskan. (Untuk jelasnya silakan baca serial
dewa Arak dalam episode: 'Dendam Tokoh Buangan.')
"Maksudmu..., Ki Julaga?" ulang Arya.
Melati menganggukkan kepala.
"Benar, Kakang. Dari beliaulah aku
mengetahuinya. Bahkan tidak hanya Pulau Es.
Tapi juga Pulau Air dan Pulau Api. Tempat-tempat itu letaknya tersembunyi dan
merupakan tempat keramat. Bahkan, konon ditinggali tokoh-tokoh sakti yang
mengasingkan diri,"
papar Melati. "Aaah...!" desah Arya kaget Tidak disangka-nya akan mendengar cerita itu secara
terperinci. Kedua orang muda itu kemudian terdiam.
Suasana menjadi hening. Masing-masing tenggelam dalam alun pikirannya. Tetapi
keheningan itu tidak beriangsung lama.
"Kau mengenal putra Patih Juminta itu, Melati?" tanya pemuda berambut putih
keperakan membuka pembicaraan.
'Tidak, Kang," Melati menggelengkan kepala.
"Aku hanya mengenal nama dan ciri-cirinya saja. Itu pun dari cerita Patih
Juminta. "Jadi kau belum pernah bertemu dengannya?"
tanya Arya memastikan. Kembali Melati menggelengkan kepala.
"Lalu, bagaimana kita dapat menemukannya?" sergah Arya tidak yakin.
Melati tercenung sejenak.
"Aku yakin tidak sulit, Kang. Toh, aku telah mengetahui nama dan ciri-cirinya.
Di samping itu, andaikata bertemu, aku yakin dia akan mengenali kita. Karena kau
mempunyai ciri-ciri khas," sahut Melati yakin.
"Tidak bisa kubantah akan kekhasan ciri-ciri yang kumiliki, Melati. Tapi yang
menjadi pertanyaan, apakah putra Patih Juminta mengenal diriku?" Arya
mengemukakan pendapatnya.
"Jangan khawatir, Kang. Patih Juminta kagum padamu. Dia amat memujamu. Aku yakin
dia telah menceritakan semua tentangmu pada putranya," lagi-lagi Melati
menyambut dengan nada yang mantap.
"Syukurlah kalau begjtu," Arya terpaksa mengalah. "Tapi, dari tadi aku belum
tahu nama putra Patih Juminta. Dan anehnya, mengapa kau tidak pernah melihatnya"
Ini kan aneh! Atau... dia tidak tinggal di Istana Kerajaan Bojong Gading?"
"Dia memang tidak tinggal di Istana Kerajaan Bojong Gading. Dia ditugaskan oleh
Ayahanda Prabu untuk menjadi salah seorang pengawal khusus Adipati Setyaki Di
Kadipaten Lawung. O
ya, nama putra Patih Juminta adalah Abimanyu."
"Lalu..., dari mana dia tahu mengenai Pulau Es, Melati?" kejar Arya.
"Mana kutahu, Kang," jawab Melati sambil mengangkat bahu. "Bukankah di surat itu
Ayahanda Prabu tidak memberitahukannya"!"
"Kalau begitu .., mengapa kita tidak ke Istana
Kerajaan Bojong Gading dulu untuk mencari keterangan"!"
"Kalau kita ke Istana Kerajaan Bojong Gading dulu, perjalanan ke Pulau Es akan
lebih lama, Kang. Kalau dari tempat ini, tak lama lagi kita akan sampai di tepi
pantai. Nah! Dari situ kita dapat menuju Pulau Es," urai Melati.
Arya mengangguk-angguk. Pemuda berambut putih keperakan itu merasa puas dengan
penjelasan kekasihnya. Hingga tidak memberi sanggahan lagi.
"Bagaimana kalau sekarang juga kita berangkat ke Pulau Es, Kang" Kau setuju?"
usul Melati. "Tentu saja, Melati!" sambut Arya cepat
"Kalau tidak sekarang, kapan lagi"!"
Sesaat kemudian kedua pendekar muda yang berwajah elok itu telah melesat
meninggalkan tempat itu. Sementara tubuh orang-orang kasar masih tergolek tak
berdaya di atas tanah.
*** 2 Sang Surya belum beranjak jauh dari tempat terbitnya, ketika tiga orang laki-
laki bertampang kasar melangkah bergegas mendekati pantai.
Mereka bertubuh tinggi besar dan kekar.
Untaian otot dan urat tubuh ketiganya tampak jelas. Sebab mereka hanya
mengenakan rompi hitam yang tak sampai menutupi dada dan perut. Kelihatan mereka
orang-orang yang menguasai ilmu bela diri. Kesimpulan ini rasanya tidak salah.
Ada sebatang golok besar tergantung di pinggang mereka.
"Menurutmu, perahu mana yang sebaiknya kita gunakan, Kang Bandita?" tanya salah
satu dari mereka yang berkumis tebal dan hitam sambil terus mengayunkan langkah
menjajari langkah dua rekannya.
"Hm..."
Laki-laki yang bercambang lebat tanpa kumis atau jenggot dan bernama Bandita
menggumam. Sepasang matanya disipitkan, agar dapat memperhatikan lebih jelas jajaran perahu
yang terhampar di tepi pantai.
"Kalau menurutku... yang merah, Kang.
Kelihatannya lebih kuat dan kokoh disbanding-kan perahu yang lain," laki-laki
satunya lagi, yang berjenggot lebat tanpa kumis atau cambang mengajukan usul.
"Bagaimana, Kang?"
"Kelihatannya pilihanmu tidak keliru, Reksa,"
jawab Bandita memuji. Laki-laki bercambang lebat itu menyetujui usul rekannya.
Ketiga orang kasar itu segera mengayunkan langkah tanpa berkata-kata lagi. Tak
lama kemudian, hembusan angin laut yang menyebarkan bau khas tercium hidung
mereka. Mereka pun terus melangkah. Arah yang mereka tuju sudah jelas. Tempat
berjejernya perahu-perahu.
Langkah Bandita dan dua rekannya baru berhenti ketika telah sampai di dekat
jajaran perahu-perahu. Seperti telah disepakati, ketiganya langsung mengedarkan
pandangan mengawasi perahu-perahu yang ditambatkan di situ.
"Pilihanku tidak salah kan, Kang" Perahu merah ini jauh lebih kokoh dan kuat
daripada perahu lainnya"!" ujar Reksa dengan bangga.
Ucapan Reksa ditanggapi dengan cibiran bernada ejekan kedua kawannya. Tapi Reksa
tidak mempedulikannya. Dengan sikap tidak peduli, dilangkahkannya kaki menuju
tonggak pengikat perahu. Lelaki itu ingin melepas perahu dari tambatannya. Tapi
baru saja Reksa memegang tali pengikat perahu, terdengar teriakan nyaring dari
kejauhan. "Hey...! Apa yang hendak kalian lakukan dengan perahuku..."!"
Seketika itu pula gerakan tangan Reksa berhenti di tengah jalan. Maksudnya
diurung-kan. Kemudian pandangannya dilayangkan ke arah asal suara. Demikian pula
kedua orang rekannya.
Terlihat oleh ketiga orang itu, sesosok tubuh berlari cepat menuju tempat
mereka. Sementara di belakang sosok itu berlari-lari serombongan orang yang
rata-rata bertubuh kekar. Tak berapa lama kemudian, sang pemilik suara telah
berada di dekat Bandita dan kawan-kawannya.
"Siapa kalian" Dan apa yang hendak kalian lakukan dengan perahuku?" tanya si
pemilik suara terengah-engah.
Bandita dan dua rekannya tidak segera menjawab pertanyaan itu. Dirayapinya
sekujur tubuh si pemilik perahu. Sosok tubuh itu kekar dan berkulit hitam
kecoklatan. Otot dan urat-urat memenuhi sekujur tubuhnya.
"Kaukah pemilik perahu ini?" tanya Reksa sedikit kasar.
"Benar," jawab laki-laki berkulit hitam kecoklatan sambil menganggukkan kepala.
"Apa yang hendak kalian lakukan?"
"Aku hendak mengambil perahumu!" jawab Reksa kasar. "Lalu kau mau apa"!"
Wajah lelaki pemilik perahu langsung memucat. Dia pun sadar tengah berhadapan
dengan orang-orang yang terbiasa menggunakan kekerasan untuk mendapatkan apa
yang diinginkan. Tanpa sadar kakinya melangkah ke belakang.
"Ada apa, Gondo?"
Sebuah pertanyaan bernada ingin tahu membuat lelaki pemilik perahu yang bernama
Gondo menoleh ke belakang. Keberaniannya kembali timbul ketika melihat
keberadaan kawan-
kawannya. "Mereka ingin mengambil perahuku," jawab Gondo bernada meminta bantuan.
"Apa"!" seru kawan-kawan Gondo yang berjumlah sebelas orang setengah kaget.
Betapa tidak" Baru pertama kali ini ada orang yang ingin merampas perahu mereka.
Tentu saja mereka kaget bercampur heran.
Di saat Gondo tengah terlibat perbincangan dengan rekan-rekannya, Reksa kembali
menghampiri tonggak tambatan perahu. Dengan sikap tenang dilepaskannya ikatan
pada tonggak. Sedangkan kedua rekannya telah bersiap untuk mendorong perahu ke
laut "Hentikan!"
Kali ini Gondo tidak bisa menahan ke-sabarannya lagi. Sambil mengeluarkan seruan
melarang, dia meluruk ke arah Reksa.
Wuttt! Tanpa ragu-ragu lagi, Gondo .segera mengayunkan tangannya memukul. Tapi karena
dia memang tidak bermaksud melukai Reksa, pukulan itu ditujukan ke bahu. Gondo
hanya ingin menghentikan perbuatan Reksa. Baik Reksa maupun kedua rekannya
sebenarnya mengetahui serangan itu. Tapi mereka membiarkannya, seakan-akan tidak
mengetahui adanya serangan. Akibatnya....
Bukkk! Telak dan keras sekali pukulan Gondo mendarat di sasaran. Tapi hasilnya benar-
benar di luar dugaan Gondo dan rekan-rekannya. Yang
menjerit-jerit kesakitan ternyata... Gondo!
Lelaki pemilik perahu merah itu mengaduh-aduh kesakitan sambil memegangi
tangannya. Tangan itu terasa sakit bukan main, seakan-akan yang dipukulnya bukan tubuh
manusia yang terdiri dari daging dan tulang, melainkan segundukan baja keras.
Dan, orang yang dipukul enak-enak saja meneruskan kesibukannya.
Melihat kejadian ini, teman-teman Gondo tidak bisa tinggal diam. Serentak mereka
meluruk, menyerbu Reksa dan kawan-kawannya. Mengetahui ketiga orang itu bukan
orang sembarangan, tanpa ragu-ragu lagi mereka mencabut golok yang terselip di
pinggang. Gondo tak mau ketinggalan ikut menyerbu pula meski tangannya masih
terasa sakit. *** Kali ini, Reksa dan dua kawannya tidak bisa tinggal diam. Apalagi para nelayan
telah menggunakan senjata. Bukan tidak mungkin kulit mereka akan sobek bila
tetap berdiam diri.
Mereka sendiri mulai merasa jengkel melihat kebandelan nelayan-nelayan itu. Maka
dengan geram, mereka meninggalkan kesibukannya dan mencabut senjata masing-
masing. Srat, srat, srat!
Sinar menyilaukan langsung berkilatan ketika golok-golok besar ketiga orang itu
ter-hunus keluar dari sarungnya.
"Monyet-monyet Dungu tidak tahu diri!" maki
Bandita geram. "Semula kami tidak ingin menimbulkan korban di antara kalian.
Kami sedang tergesa-gesa. Tapi karena kalian me-maksa, terpaksa kami bertindak.
Jangan harap kalian dapat melihat matahari esok pagi!"
Bandita tidak bisa berkata lebih banyak, karena serangan Gondo dan kawan-
kawannya telah meluruk datang. Dia dan dua kawannya segera menyambut serangan
itu dengan tak kalah cepatnya.
Trang trang trang!
Bunga api berpercikan ke sana kemari ketika senjata-senjata itu berbenturan.
Bandita dan dua rekannya berhasil mengandaskan semua serangan yang mengancam
mereka, Tidak Hanya itu saja. Begitu serangan lawan berhasil dipatahkan, secepat
itu pula dikirimkan serangan balasan.
Crat crat crat!
"Akh akh akh...!"
Serangan balasan yang dikirimkan Bandita dan dua rekannya terlalu cepat untuk
bisa diikuti pandang mata Gondo dan rekan-rekannya. Tiga orang dari mereka
langsung terkapar mandi darah terkena sabetan golok.
Kejadian yang menimpa tiga rekannya tidak membuat Gondo dan yang lainnya gentar.
Bahkan sebaliknya! Mereka malah tambah ber-semangat melancarkan serangan untuk
membalas sakit hati rekan-rekan mereka. Serbuan nelayan-nelayan itu semakin
membabi buta. Tapi semua tindakan mereka sia-sia. Bandita
dan dua rekannya memiliki ilmu bela diri yang cukup tinggi. Apalagi mereka telah
terbiasa bertarung. Kecepatan gerak mereka pun berada jauh di atas lawan. Dengan
keunggulan-keunggulan itu, mereka berhasil memusnahkan setiap serbuan lawan.
Dan, mengelakkan setiap serangan yang datang. Sebaliknya, setiap serangan
balasan yang dikirimkan selalu membuahkan hasil. Setiap kali golok di tangan
mereka berkelebat, dapat dipastikan ada lawan yang roboh dengan diiringi jeritan
menyayat. Akhir dari pertarungan itu sudah bisa ditebak, Gondo dan rekan-rekannya akan
roboh di tangan ketiga orang itu. Apalagi sekarang jumlah mereka telah jauh
berkurang. Kini hanya tinggal sembilan orang. Itu pun keadaan mereka sudah
sangat mengkhawatirkan. Tapi rupanya nasib baik masih menyukai para nelayan yang
tidak berdosa. Di saat yang amat gawat itu, terdengar sebuah bentakan keras
menggelegar. "Hentikan pertempuran...!"
Hebat bukan main pengaruh yang ditimbulkan oleh bentakan itu. Semua orang yang
terlibat dalam pertarungan langsung menahan diri dan melompat mundur. Bandita
dan rekan-rekannya saling berpandangan. Tampak jelas sorot keheranan dalam
pandangan mata mereka.
Betapa tidak" Mereka tidak habis mengerti, mengapa mau menuruti perintah itu.
Ada sebuah pengaruh aneh yang membuat mereka mengikutinya. Begitu berhasil
melepaskan dari pengaruh itu, Bandita dan rekan-
rekannya segera mengalihkan perhatian ke arah asal bentakan.
Beberapa tombak di belakang Gondo dan kawan-kawannya tampak berdiri dua sosok
tubuh. Yang seorang pemuda berambut putih keperakan mengenakan pakaian ungu.
Sedangkan yang satunya lagi seorang gadis berpakaian putih. Mereka adalah Dewa
Arak dan Melati!
Dengan tenang, Dewa Arak dan Melati mengayunkan langkah menghampiri tiga orang
kasar berompi hitam itu.


Dewa Arak 49 Geger Pulau Es di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Menyingkirlah, Kisanak. Mereka bukan tandingan kalian. Biar kami yang akan
mengurusnya," ucap Dewa Arak ketika melihat Gondo dan kawan-kawannya masih ingin
melanjutkan pertarungan.
Gondo dan kawan-kawannya menolehkan kepala. Alis mereka berkernyit melihat orang
yang bermaksud menggantikan mereka menghadapi ketiga orang itu! Betapa tidak"
Keduanya terlihat lemah dan tidak memiliki kekuatan.
Mereka yang bertenaga kuat saja bukan tandingan Bandita dan kawan-kawannya.
Apalagi sepasang muda-mudi berwajah elok itu"
Dewa Arak mengerti akan hal itu. Ekor matanya sempat melihat ada kesan tidak
percaya. Pada wajah para nelayan itu. Bahkan mereka tetap mengayunkan langkah
menghampiri Bandita dan kawan-kawannya. Hanya saja mereka berjalan di belakang
dirinya dan Melati. Jarak Dewa Arak dan Melati dengan ketiga orang itu memang
terpisah tiga tombak.
Dewa Arak tidak mau membuang waktu lagi.
Kemampuannya harus segera ditunjukkan untuk meyakinkan nelayan-nelayan itu.
Cepat tenaga dalam dikerahkan pada kedua telapak kaki. Hingga....
Blos blos blos!
Gila! Hamparan pasir pantai tak ubahnya bubur lumpur. Landasan tempat Dewa Arak
berpijak langsung amblas hampir mencapai lutut.
"Hahhh"!"
Bukan hanya Gondo dan kawan-kawannya yang terkejut dengan pertunjukan Dewa Arak.
Bandita dan dua rekannya pun kaget Mereka tidak melihat pemuda berambut putih
keperakan mengerahkan tenaga dalam. Langkahnya terlihat biasa saja. Tapi akibat
yang ditimbulkannya benar-benar menggiriskan hati!
Melihat hal itu, kesembilan nelayan itu langsung melangkah mundur. Sekarang
mereka percaya kalau sepasang muda-mudi berwajah elok itu bukan orang
sembarangan! Begitu pun Bandita dan kedua rekannya.
Meskipun demikian, mereka tidak menjadi gentar. Ketiga orang berompi hitam itu
memang sangat membanggakan kepandaiannya. Mereka sempat mengeluarkan dengusan
mengejek melihat pertunjukan Dewa Arak hingga Melati kalap dibuatnya.
"Kau tidak usah turun tangan, Kang. Biar aku yang menghadapi mereka," ujar
Melati pada kekasihnya.
"Silakan, Melati," sahut Arya mempersilakan gadis berpakaian putih menghadapi
tiga lawannya sendirian.
Dewa Arak tentu tidak bertindak gegabah.
Membiarkan Melati menghadapi Bandita dan rekan-rekannya sendirian bukan tanpa
pemikiran. Pemuda itu tahu tingkat kepandaian lawan belum terlalu tinggi dan
masih terpaut jauh di bawah Melati. Dewa Arak yakin kekasihnya akan dapat
mengalahkan mereka. Itulah sebabnya ketiga orang itu diserahkan pada Melati.
"Pencuri-pencuri tengik! Orang seperti kalian tidak pantas dibiarkan hidup
terlalu lama!" desis Melati marah sambil melangkah mendekati tiga calon
lawannya. "Tutup mulutmu, Wanita Binal! Kau akan menerima ganjaran atas kekurangajaranmu.
Tahukah kau tengah berhadapan dengan siapa"
Kami adalah Tiga Golok Maut. Kau telah berani memaki kami. Sebagai balasannya,
kau akan kami bunuh setelah tubuhmu yang montok dan menggiurkan itu dinikmati!"
ujar Bandita. "Keparat!" Melati menggeram bagai harimau luka. Gadis cantik itu marah bukan
main mendengar omongan kotor Bandita. "Kurobek mulutmu yang kotor itu, Jahanam!
Hiyaaattt...!"
Diawali sebuah teriakan nyaring yang membuat suasana di sekitar tempat itu
bergetar hebat, Melati melancarkan serangan. Dalam kemarahannya, tanpa ragu-ragu
lagi Melati mengeluarkan ilmu andalannya, 'Cakar Naga
Merah'. Hebat bukan main akibat pengerahan ilmu
'Cakar Naga Merah'. Sebatas pergelangan kedua tangan Melati berwarna merah
darah. Dengan kedudukan jari-jari tangan terkembang membentuk cakar naga, Melati
mulai melancarkan serangan. Gadis cantik itu membuka serangan dengan sebuah
sapuan tangan ke arah dagu Bandita yang dilakukannya dengan mengayunkan tangan
dari bawah ke atas.
Cittt! Bunyi berdecit nyaring mengawali tibanya serangan itu. Pertanda kuatnya tenaga
dalam yang terkandung di dalamnya.
Bandita bukan orang bodoh. Dia pun tahu kedahsyatan serangan Melati. Lelaki
bercambang lebat itu tidak berani bertindak sembarangan. Tubuhnya dilemparkan ke
belakang dan bersalto beberapa kali untuk menjauhkan diri.
Melati yang tengah dilanda kemurkaan hebat, tidak mau membiarkan musuh besarnya
lolos begitu saja. Begitu serangan pertama berhasil dikandaskan, gadis itu
segera menyusuli serangannya. Dengan sekali hentak, tubuh Melati melayang
menyusul tubuh Bandita yang masih berjumpalitan di udara.
Bandita terkejut bukan main melihat kecepatan Melati mengirimkan serangan
susulan. Disadarinya bahaya maut yang mengancam. Padahal saat itu tubuhnya
tengah berada di udara. Kedudukan itu membuatnya
sulit untuk mengelak atau menangkis. Tapi....
"Hiyaaat..! Haaat..!"
Wuk wuk Prat prattt! *** 3 Kejadian berlangsung demikian cepat dan sukar diikuti mata. Tubuh Reksa dan
rekannya terjengkang ke belakang, sedangkan serangan Melati kandas. Gadis
berpakaian putih itu mendaratkan kakinya di tanah. Padahal, serangan yang
dikirimkannya belum mengenai sasaran.
Rupanya di saat yang amat gawat itu, sambil berteriak keras, Reksa dan rekannya
menerjang Melati untuk menyelamatkan Bandita. Kedua rekan Bandita itu
meluncurkan goloknya ke bagian berbahaya dari tubuh Melati. Terpaksa gadis
cantik itu segera mengurungkan maksudnya. Dengan tangan kosong, dipapakinya
golok kedua orang itu.
"Hiyaaat..!"
Bandita langsung melancarkan serangan ketika Melati baru saja mendaratkan kedua
kakinya. Golok besarnya disabetkan ke leher gadis itu dengan gerakan mendatar.
Cepat serangan Bandita. Tapi masih lebih cepat gerakan Melati. Dengan sebuah
jejakan kaki pada tanah, tubuh Melati seperti meng-ambang. Tubuhnya melayang di
udara dengan kedudukan tengkurap. Akibatnya, babatan golok Bandita lewat di
bawah tubuhnya. Inilah jurus
'Naga Merah Mengangkat Ekor' yang me-
rupakan salah satu jurus ilmu 'Cakar Naga Merah'. Tindakan Melati tidak berhenti
sampai di situ. Dalam keadaan tubuh masih meng-ambang, tangannya dihentakkan ke
depan. Wuttt! Bandita menyadari bahaya maut yang tengah mengancamnya. Cakar tangan Melati
meluncur deras ke arah wajah. Bergegas kaki kanannya ditarik mundur. Dan,
tubuhnya dicondongkan ke belakang.
Betapa kaget hati Bandita ketika melihat cakar Melati tetap mengejarnya. Lelaki
bercambang lebat itu tidak mengerti, mengapa hal itu bisa terjadi. Bukankah dia
telah mengelak, tapi mengapa jarak wajahnya dengan tangan Melati seperti tidak
berubah" Tangan itu tetap meluruk ke wajahnya.
Tidak ada tindakan apa pun yang dapat dilakukan Bandita. Di samping kedudukannya
tidak memungkinkan, dia pun telah demikian gugup. Akibatnya....
Crokkk! "Aaakh...!"
Bandita mengeluarkan jeritan menyayat ketika jari-jari tangan Melati menembus
ubun-ubun dan sebagian wajahnya. Darah bercampur otak bermuncratan dari kepala
Bandita yang bolong-bolong.
Jliggg! Melati mendaratkan kedua kakinya di tanah, setelah menarik kembali tangannya
dari batok kepala Bandita. Buru-buru dibersihkannya noda
darah dan otak yang melekat di jari tangannya.
Sementara itu, tubuh Bandita ambruk ke tanah.
Tidak bergerak lagi untuk selamanya. Mati!
"Kakang Bandita...!"
Dua rekan Bandita menjerit keras melihat kematian rekannya itu. Keduanya berdiri
terpaku dengan pandangan tertuju pada tubuh Bandita. Sorot mata keduanya
memancarkan rasa tidak percaya yang sangat, akan pemandangan yang terpampang di
hadapan mereka.
Peristiwa itu demikian cepat terjadi, sehingga Reksa dan rekannya tidak sempat
berbuat sesuatu untuk memberikan pertolongan.
Apalagi, saat itu mereka tengah sibuk memperbaiki kedudukan setelah memapaki
serangan Melati.
"Kakang Bandita...!"
Diiringi teriakan keras menggelegar, Reksa dan rekannya meluruk ke arah tubuh
Bandita yang tergolek di tanah. Keduanya langsung berjongkok di dekat mayat
Bandita. Semua kejadian itu tidak lepas dari perhatian Dewa Arak, Melati serta
Gondo dan kawan-kawannya.
Meskipun saat itu nelayan-nelayan itu tengah sibuk mengurus kawan-kawan mereka.
"Hhh...!"
Dewa Arak menghela napas berat. Diam-diam hati pemuda berambut putih keperakan
itu menyesal melihat kematian Bandita yang demikian tragis. Tapi Dewa Arak tidak
menegur Melati. Disadarinya kalau kekasihnya melaku-
kan semua itu dalam luapan emosi yang menggelegak. Dan saat ini mungkin Melati
tengah menyesali tindakannya. Dugaan Arya agaknya tidak salah. Gadis berpakaian
putih itu tampak termenung.
"Kau harus menerima balasan atas ke-kejianmu ini, Wanita Sundal!" geram Reksa
penuh kemarahan setelah berhasil menghalau perasaan sedihnya.
"Ya! Kau harus mati!" sambut lelaki berkumis tebal tak kalah geram.
Kemudian, kedua orang berompi hitam ini bangkit. Sepasang mata mereka
menyorotkan dendam kesumat, tertuju lurus pada Melati.
Keduanya merasa sangat menyesal karena tidak sempat menolong Bandita. Lelaki
bercambang lebat itu tewas dengan membawa rasa penasaran. Mengapa tangan Melati
tetap mengenainya, padahal dirinya telah mengelak"
Pertanyaan yang menggayuti hati Bandita tidak melanda hati Reksa dan rekannya.
Mereka melihat jelas tangan Melati mendadak mulur!
Tangan gadis berpakaian putih itu memanjang lebih dari satu setengah kali
panjang tangan aslinya! Itulah jurus 'Cakar Naga Merah' milik Melati.
Sementara itu Melati tetap bersikap tenang.
Tanpa gentar, dibalasnya tatapan kedua rekan Bandita.
"Kawan kalian memang lebih baik mati, daripada hidup di dunia cuma menyebarkan
mala-petaka bagi orang lain," jawab gadis berpakaian
putih tenang. Dalam ucapan Melati tersirat alasan membunuh Bandita. Di lubuk hati gadis
berpakaian putih itu ada rasa bersalah, telah membunuh lelaki bercambang lebat
itu dengan cara yang demikian mengerikan.
Tapi Reksa dan rekannya tak mau mendengar alasan Melati. Yang mereka tahu,
Bandita telah mati. Dan itu diakibatkan oleh tangan Melati.
Sekarang, yang ada di benak mereka adalah membalas dendam kematian rekannya.
Mereka berpencar untuk melakukan penyerangan dari dua arah! Lalu....
"Tutup mulutmu, Wanita Sundal! Hiyaaat..!"
teriak Reksa sambil melompat menerjang.
Goloknya ditusukkan ke arah perut Melati.
"Haaat...!"
Pada saat yang bersamaan rekan Reksa pun melancarkan serangan. Laki-laki
berkumis tebal itu melompat ke atas. Begitu tubuhnya berada di udara, goloknya
dikelebatkan ke arah leher!
Wuttt! Kedua serangan itu hampir tiba bersamaan.
Melati menjejakkan kakinya dan melempar tubuhnya ke belakang. Gadis cantik itu
berhasil membuat serangan itu mengenai tempat kosong, belasan jengkal di depan
Melati. Tapi dua orang berompi hitam itu tidak putus asa, meskipun serangannya berhasil
dipunahkan. Begitu kedudukannya berhasil diperbaiki, serangan susulannya segera
meluncur. Bahkan serangan-serangan mereka lebih dahsyat dari
semula. Namun hasilnya tetap sia-sia! Tingkat kepandaian Melati berada jauh di atas
lawan-lawannya. Baik di dalam tenaga dalam maupun ilmu meringankan tubuh,
kemampuannya berada di atas Reksa dan kawannya. Dengan keunggulan itu, mudah
bagi Melati untuk menggagalkan serangan lawan.
Untungnya, Melati tidak bermaksud membunuh mereka. Hingga Melati tidak melakukan
perlawanan. Gadis itu hanya mengelakkan serangan demi serangan yang dilancarkan
lawan. Lincah laksana kera dan gesit laksana bayangan, tubuh Melati menyelinap
di antara kelebatan senjata lawan.
Kenyataan itu membuat Reksa dan kawannya penasaran bercampur geram. Telah lebih
dari sepuluh jurus mereka melancarkan serangan, tapi tak satu pun yang mengenai
sasaran. Padahal, Melati tidak melakukan perlawanan dan hanya mengelak.
Menginjak jurus kedua belas, Melati merasa sudah waktunya melancarkan serangan
balasan. Bila dibiarkan terus-menerus Reksa dan rekannya tidak akan mempunyai pikiran dan
menyadari kalau Melati telah bersikap mengalah. Hingga Melati memutuskan untuk
mengadakan perlawanan.
"Hih...!"
Sambil menggertakkan gigi, Melati meng-genjotkan kedua kakinya hingga tubuhnya
melayang ke atas melewati kepala lawan.
Sedangkan pada saat itu, Reksa dan rekannya tengah meluruk ke arahnya sambil
melancarkan serangan. Ketika telah berada di atas kepala keduanya, Melati
membalikkan tubuh. Dan, kedua tangannya ditepukkan. Kelihatannya pelan dan tanpa
pengerahan tenaga dalam. Tapi hasilnya tidak seperti yang diduga.
Plak plak! "Hukh! Hukh!"
Dua orang kasar berompi hitam itu langsung terbatuk. Tubuh mereka terjerembab
deras ke depan seperti ditubruk kerbau liar. Darah segar keluar dari mulut
mereka. Agaknya, keduanya terluka dalam.
Jliggg! Pada saat yang bersamaan Melati mendaratkan kakinya. Kemudian gadis berpakaian
putih itu berbalik dan memperhatikan kedua lawannya yang tergoiek tanpa daya di
tanah. Mereka tidak mampu bangkit lagi karena luka dalamnya yang parah.
Arya yang sejak tadi hanya sebagai penonton, bergegas mengayunkan kaki mendekati
Melati. Begitu pula Gondo dan kawan-kawannya. Begitu melihat rekan-rekan Bandita
berhasil diroboh-kan, mereka langsung menghampiri Melati.
Setelah mengurus kawan-kawan mereka yang tewas atau terluka.
"Terima kasih atas pertolonganmu, Nisanak Kalau tidak ada kau dan kawanmu ini,
mungkin kami semua telah tewas di tangan tiga orang jahat itu," ucap Gondo
mewakili kawan-
kawannya, kemudian kawan-kawannya mengangguk membenarkan ucapan Gondo.
"Jangan berterima kasih kepada kami, Kisanak. Tapi berterima kasihlah pada
Allah. Atas izin-Nya langkah kaki kami tertuju kemari," elak Melati merendahkan diri.
"O ya, ngomong-ngomong mengapa kalian terlibat pertarungan dengan mereka?"
"Ketiga orang itu hendak mencuri perahu kami," jawab Gondo. 'Tentu saja kami
mencegahnya. Karena mereka berkeras, maka pertarungan pun terjadi."
"Mencuri perahu?" Melati dan Arya saling pandang.
Dalam adu pandang itu, sepasang muda-mudi itu menemukan jawabannya. Mungkinkah
rombongan Bandita ingin menuju Pulau Es"
Kalau benar demikian, berarti berita tentang pulau keramat itu telah tersebar
luas di dunia persilatan . Kalau orang-orang kasar seperti mereka saja tahu dan
bermaksud men-datanginya, apalagi tokoh-tokoh tingkat atas"
"Kisanak tahu, mengapa mereka hendak mencuri perahu?" kali ini Arya yang
mengajukan pertanyaan.
Gondo menggelengkan kepala.
"Sayang sekali aku tidak mengetahuinya.
Mereka hanya mengatakan tengah tergesa-gesa. Itu saja. Tapi..., o ya aku
ingat... beberapa hari ini banyak orang-orang yang menuju ke laut. Entah apa
yang mereka cari. Kalau melihat gerak-gerik dan ciri-cirinya, mereka adalah
tokoh-tokoh persilatan ," jelas Gondo.
Melati dan Arya kembali saling pandang. Kini mereka semakin yakin akan kebenaran
dugaan semula. Ya! Pasti orang-orang yang diceritakan Gondo tengah menuju Pulau
Es! Dugaan itu tidak mungkin salah!
"Terima kasih atas pemberitahuanmu, Kisanak. Kami ingin menanyakannya pada


Dewa Arak 49 Geger Pulau Es di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

orang-orang itu."
Usai berkata demikian, Arya menghampiri Reksa dan rekannya yang masih tergolek
tak berdaya. Melati mengikuti di belakang.
"Aku ingin mengajukan pertanyaan. Kuharap kalian bersedia menjawabnya dengan
benar," ujar Arya tenang.
"Cuhhh!"
Jawaban yang diterima Dewa Arak adalah semburan ludah Reksa. Memang tidak
mengenai Arya, karena lelaki berjenggot lebat itu tidak mampu menggerakkan
kepala. Wajahnya sendiri tak menghadap ke atas.
"Keparat!" Melati tersinggung melihat tanggapan Reksa. "Rupanya kau sudah bosan
hidup, hahhh"! Kau ingin menerima nasib seperti kawanmu itu"!" Melati menuding
mayat Bandita. Reksa langsung terdiam. Meskipun dendam, tapi keadaannya tidak menguntungkan.
Jika menuruti perasaan hati, dia sendiri yang akan rugi.
"Tenanglah, Melati," Arya yang tidak ingin Melati kelepasan tangan kembali,
buru-buru menengahi. "Biar aku yang mengurusnya."
Melati tidak membantah. Gadis berpakaian putih itu langsung diam. Dibiarkannya
pemuda berambut putih keperakan itu yang mengurusnya. Gadis itu hanya
memperhatikan semua tindakan yang dilakukan kekasihnya.
"Sebenarnya, tanpa kalian jawab pun aku telah tahu ke mana kalian hendak pergi.
Pulau Es, kan"!" lebak Arya langsung, untuk melihat tanggapan Reksa dan
kawannya. Seketika itu pula, raut wajah dua orang berompi hitam itu berubah. Dugaan Dewa
Arak tidak salah! Mereka memang ingin menuju Pulau Es! Sungguh tidak disangka
kalau Arya dan Melati mengetahui perihal pulau keramat itu. Reksa dan rekannya
memperhatikan sepasang muda-mudi itu dengan pandangan menyelidik. Terutama
terhadap Arya yang berperawakan lebih angker dibanding Melati.
Keduanya memperhatikan dengan sungguh-sungguh. Sepasang mata mereka menelusuri
sekujur tubuh Arya mulai dari rambut sampai ujung kaki. Hasil yang mereka
dapatkan sungguh mengejutkan. Ciri-ciri yang dimiliki Arya amat mirip dengan
pendekar muda yang julukannya saat ini tengah menggemparkan dunia persilatan!
"Kau..., apakah kau Dewa Arak"!" tanya Reksa gagap. Dengan harap-harap cemas,
ditunggunya jawaban. Demikian pula lelaki berkumis lebat.
"Benar. Dia Dewa Arak. Namanya adalah
Arya Buana!" Melati mendahului menjawab dengan penuh kebanggaan. "Apakah
sekarang kalian masih berani macam-macam"!"
Reksa dan kawannya menelan ludah dengan susah payah. Tenggorokan mereka seperti
tersumbat begitu mendengar jawaban Melati.
"Dan kalau kalian ingin tahu siapa aku, akan kuperkenalkan. Kalian pernah
mendengar julukan Dewi Penyebar Maut"!"
Dengan gugup kedua orang berompi hitam itu menganggukkan kepala. Mereka memang,
pernah mendengar julukan Dewi Penyebar Maut. Bahkan tokoh itu jauh lebih
ditakuti dari Dewa Arak! Karena Dewi Penyebar Maut mempunyai watak telengas.
Tapi, hanya sebentar saja dunia persilatan digemparkan oleh Dewi Penyebar Maut,
dengan tindakan-tindakannya yang menggiriskan hati.
Setelah itu, tokoh itu lenyap tanpa bekas bagai ditelan bumi. Hingga Reksa dan
rekannya merasa heran mendapat pertanyaan tentang tokoh itu.
"Nah! Akulah Dewi Penyebar Maut," jawab Melati dengan sikap dibuat seram.
"Hekh!"
Meskipun ucapan Melati sudah dapat diduga, tapi tak urung Reksa dan kawannya
terkejut juga. "Nah! Kalau kalian tidak ingin mati secara menyakitkan, ceritakan dari mana
kalian tahu mengenai Pulau Es. Dan mengapa kalian pergi ke sana" Ingat! Jangan
coba-coba untuk ber-
bohong. Akibatnya sangat berat. Asal kalian tahu saja, aku tahu banyak mengenai
pulau itu bahkan beberapa pulau keramat lainnya!"
ancam Melati dengan bengis.
Mau tidak mau Arya hanya bertindak sebagai penonton. Disadarinya kalau sesekali
tindakan keras itu perlu dilakukan. Maka, dibiarkannya Melati menggertak kedua
orang itu. "Baik...! Baik...! Kami akan beritahu semuanya," ucap Reksa terbata-bata, karena
rasa takut yang menggelegak.
"Bagus! Nah, ceritakanlah...!" sahut Melati.
*** 4 "Kami bertiga hendak pergi ke Pulau Es," ujar Reksa memulai keterangannya.
"Dari mana kalian mendengar berita tentang Pulau Es"! Dan untuk apa kalian ke
sana"!"
tanya Melati tak sabar melihat lelaki berjenggot lebat itu menghentikan
ucapannya. "Dari mana tepatnya, kami tidak tahu. Yang jelas, berita mengenai pulau itu
tiba-tiba meng-gaung di dunia persilatan. Sewaktu pertama kali mendengamya, kami
sendiri merasa heran. Apa lagi, ketika mendengar cerita selanjutnya,"
Reksa menghentikan ucapannya sebentar untuk mengambil napas. Sementara Melati
dan Arya terus mendengarkan penuh perhatian. Kali ini Melati tidak memotong
cerita Reksa. Dengan sabar, ditunggunya lelaki ber-jenggot lebat itu melanjutkan
ceritanya. "Menurut berita yang kami dapat... pulau itu memang terbuat dari es! Baik
daratan maupun bukit-bukitnya semua terdiri dari es! Cerita itu membuat kami
tertarik untuk menyaksikan pulau itu dengan mata kepala sendiri."
Lagi-lagi Reksa menghentikan ceritanya.
Lelaki itu menelan ludah untuk membasahi tenggerokannya yang kering.
"Rasa tertarik kami semakin besar ketika beberapa waktu kemudian mendapat berita
yang lebih terperinci," lanjut Reksa. "Menurut berita yang kami dapat, pulau itu
ditinggali tokoh-tokoh yang berkepandaian tinggi. Tokoh-tokoh itu meninggal
karena usia tua, tanpa mempunyai keturunan. Dengan sendirinya, pusaka-pusaka dan
kitab-kitab yang tersimpan di sana tidak mempunyai majikan lagi. Hal terakhir
inilah yang membangkitkan semangat kami untuk mendatangi Pulau Es. Kami ingin
mendapatkan pusaka dan kitab-kitab yang ada di sana," papar Reksa mengakhiri
ceritanya. Lelaki berjenggot lebat itu kemudian menatap Arya dan Melati, ingin melihat
tanggapan mereka atas ceritanya. Reksa tidak perlu menunggu terlalu lama untuk
mengetahuinya. Begitu ceritanya selesai, sepasang muda-mudi berwajah elok itu saling pandang.
Sayang, Reksa tidak mengetahui apa yang menyebabkan Melati dan Dewa Arak berbuat
demikian. Wajah sepasang pendekar muda itu tidak menunjukkan perasaan apa pun.
Sebaliknya, Dewa Arak dan Melati tahu pasti perasaan yang bergulat di hati
masing-masing. Mulut mereka memang tidak mengatakan sesuatu. Tapi mata mereka telah
mengatakannya secara gamblang. Antara Dewa Arak dan Melati seperti ada tali
batin. Masing-masing dapat mengetahui apa yang dipikirkan, meskipun yang
bersangkutan tidak mengatakannya.
Dewa Arak dan Melati ternyata mempunyai tanggapan yang sama atas cerita Reksa!
Keduanya terkejut dan khawatir. Betapa tidak"
Kalau semua yang diceritakan Reksa betul, berarti keadaan benar-benar gawat!
Per-tumpahan darah akan terjadi untuk mem-perebutkan pusaka dan kitab-kitab yang
ada di Pulau Es! Dan andaikata pusaka dan kitab-kitab itu jatuh ke tangan tokoh
sesat, akan terjadi bencana dalam dunia persilatan. Dewa Arak dan Melati tidak
menginginkan hal itu terjadi.
Mereka harus mencegahnya. Untuk melaksanakan tugas itu mereka harus menuju Pulau
Es secepatnya. "O ya, ada sedikit tambahan," selak Reksa ketika melihat Dewa Arak dan Melati
masih tercenung.
Melati dan Dewa Arak segera mengalihkan pandangan. Mereka ingin mendengar
tambahan cerita Reksa.
"Kami dengar, dua tokoh tingkat tinggi kaum sesat pun ikut dalam perburuan
pusaka Pulau Es," jelas lelaki berjenggot lebat itu.
"Dua tokoh tingkat tinggi kaum sesat"!"
Melati mengernyitkan dahi. Gadis itu belum mengetahui tokoh-tokoh yang dimaksud.
"Benar," Reksa menganggukkan kepala.
"Apakah kalian belum pernah mendengar julukan mereka"!"
Dewa Arak dan Melati saling bertukar pandang sesaat
"Kami memang pernah mendengar tentang tokoh-tokoh yang kau maksudkan. Sepanjang
yang kami dengar, mereka telah puluhan tahun
merajai dunia persilatan tanpa terkalahkan.
Bukankah demikian"!" Arya yang memberikan sambutan.
"Benar," Lagi-lagi Reksa menganggukkan kepala. "Kedua datuk sesat itu memang
belum terkalahkan. Padahal, keduanya telah ratusan kali bertarung. Tak terhitung
sudah berapa orang yang tewas di tangan mereka, baik dari aliran hitam maupun
putih. Kalian juga mengetahuinya"!"
"Kami hanya mendengar beritanya saja,"
jawab Arya. "Bukankah mereka yang berjuluk Raja Iblis Baju Emas dan Raja Kera
Muka Hitam"!"
Reksa mengangguk.
"Raja Iblis Baju Emas merajai daerah utara.
Sedangkan daerah selatan dikuasai Raja Kera Muka Hitam," jelas lelaki berjenggot
lebat itu. Dewa Arak mengangguk, membenarkan
ucapan Reksa. "Bila datuk-datuk sesat itu ikut mem-perebutkan pusaka Pulau Es, berarti keadaan
sudah sangat gawat," ucap Arya pelan, seperti berbicara pada diri sendiri.
"Kalau begitu..., tunggu apalagi, Kang"! Mari kita segera ke sana!" usul Melati.
"Kau benar, Melati," sambut Arya cepat sebelum Melati memberikan tanggapan,
Gondo telah memotong pembicaraan. Sejak tadi, dia dan rekan-rekannya
mendengarkan semua per-cakapan itu.
"Jadi..., kalian berdua juga membutuhkan
perahu"!" tanya Gondo penuh rasa ingin tahu.
Karena memang membutuhkan perahu untuk menuju Pulau Es, Arya menganggukkan
kepala mengiyakan pertanyaan itu.
"Kalau begitu, silakan pakai perahuku. Itu yang merah," ucap Gondo menawarkan
jasa. Arya dan Melati saling pandang.
"Maafkan kami, Kisanak. Bukannya ingin menolak... tapi sebelumnya kami memang
ingin membeli perahu. Dan...."
"Tidak usah kau beli, Tuan Pendekar," potong Gondo cepat sambil merubah
panggilan. "Ambil saja perahu yang Tuan dan Nona Pendekar inginkan. Tidak usah
bayar. Percayalah. Kami ikhlas memberikannya. Bukankah demikian, kawan-kawan"!"
"Benar, Tuan Pendekar," sahut rombongan nelayan serempak bagai diberi perintah.
Kepala mereka dianggukkan pertanda menyetujui keputusan Gondo.
'Tapi...," Arya masih mencoba membantah.
"Kami harap Tuan dan Nona Pendekar tidak menolak pemberian ini. Andaikata tidak
ada kalian berdua, bukan hanya perahu-perahu saja yang lenyap, tapi juga diri
kami," Gondo terus mendesak
Melihat kekerasan hati Gondo, Arya tidak bisa mengelak lagi.
"Baiklah kalau begitu, Kisanak. Kami terima pemberian kalian. Tapi percayalah.
Kami akan berusaha menjaga perahu ini sebaik-baiknya.
Jadi, andaikata kami kembali, perahu ini bisa
kami kembalikan.
'Terserah Tuan dan Nona Pendekar sajalah.
Kami setuju saja dengan keputusan kalian berdua," ujar Gondo pasrah.
"Kami hanya menyatakan terima kasih atas kebaikan hatimu, Kisanak Maaf, kami
tidak bisa berlama-lama di sini. Urusan ini sangat mendesak," ucap Arya,
berusaha untuk tidak berpanjang kata.
"Kami mengerti. Selamat jalan, Tuan dan Nona Pendekar. Terima kasih atas
pertolongan yang kalian berikan."
Dewa Arak dan Melati mengangguk sambil mengulas senyum. Lalu mereka mengayunkan
langkah meninggalkan tempat itu. Gondo dan kawan-kawannya melepas kepergian
mereka dengan pandangan penuh kekaguman dan terima kasih yang mendalam.
*** "Ke mana arah yang harus kita tempuh, Melati?" tanya Arya sambil tetap mengayuh
dayung. Sepasang pendekar muda yang berwajah elok itu kini telah berada di tengah laut
Sejauh mata memandang yang terlihat hanya air. Sedangkan perahu merah yang
mereka tumpangi melesat cepat membelah permukaan air. Dewa Arak dan Melati
mengerahkan tenaga dalam untuk mengayuhnya. Hingga meskipun hanya dua pasang
tangan yang mengayuh, perahu itu
melaju cepat seperti dikayuh puluhan tangan nelayan bertenaga kuat
"Ke utara, Kang," jawab Melati tanpa menghentikan kayuhannya.
"Kau sudah pernah pergi ke sana, Melati?"
"Maksudmu... ke Pulau Es, Kang?"
"Benar," Arya menganggukkan kepala.
"Pernah"!"
"Belum, Kang," sahut gadis berpakaian putih itu sambil menggeleng.
"Lalu..., bagaimana kau bisa tahu arah yang harus kita tuju" Ah, ya! Pasti dari
Ki Julaga, kan"!" Arya sendiri yang menjawab pertanyaan itu.
"Benar, Kang. Dari gurulah aku tahu arah yang harus dituju. Kebetulan pantai
yang menjadi patokan keberangkatan itu adalah pantai yang kita tinggalkan tadi.
Jadi.., kita tidak repot-repot lagi memikirkan arah yang harus kita tempuh,"
urai Melati. Arya terdiam. Melati pun tidak melanjutkan ucapannya, hingga keheningan
menyelimuti mereka. Yang terdengar hanya bunyi dayung mengoyak-ngoyak permukaan
air. Waktu berlalu tanpa dapat dicegah. Sang Surya terus berputar sesuai aturannya.
Bola raksasa itu kini telah condong ke barat Tapi, Arya dan Melati tidak peduli.
Dayung di tangannya terus dikayuh, menempuh arah yang mereka tuju.
Nasib baik menyertai pasangan pendekar muda itu. Laut tetap tenang. Dan, ombak
yang bergulung-gulung tidak terlalu besar. Hingga, mereka tidak mengalami hambatan
yang berarti. Perahu yang mereka kemudikan dengan lincah membelah gulungan ombak
kecil-kecil yang datang melanda.
Tak lama kemudian, sang Surya tenggelam di ufuk barat. Pemandangan yang
terbentang terlihat demikian indah. Bola raksasa berwama merah itu seperti
tenggelam ke dalam laut.
Indah bukan main. Langit di sekitarnya dipenuhi bias-bias kemerahan.
Kini hanya Arya yang mengemudikan perahu.
Melati sedang beristirahat untuk memulihkan tenaga, dan menyantap makanan yang
telah mereka siapkan. Ketika malam telah larut dan Melati sudah bangun dari
tidurnya, Arya pun beristirahat. Gadis berpakaian putih itu menggantikan tugas
kekasihnya mendayung.
Waktu terus berlalu. Dan ketika perjalanan Arya dan Melati memasuki hari ketiga,
sebuah pemandangan yang mendebarkan hati terlihat di kejauhan.
"Kakang! Lihat..!" teriakan Melati sambil menudingkan jari telunjuknya ke depan.
Arya melayangkan pandangan ke arah yang ditunjuk gadis berpakaian putih itu.
Sebenarnya, tanpa diberitahu dia telah melihatnya.
Pemandangan yang membuat sepasang matanya membelalak.
Di kejauhan, tampak sebuah daratan berwarna putih berkilauan. Kelihatan
berkilat-kilat. Sekali lihat saja, pasangan pendekar muda
itu tahu pulau yang mereka lihat berbeda dengan pulau pada umumnya. Itukah Pulau
Es yang tengah ramai diperbincangkan orang.
Tanpa dapat dicegah, jantung Arya dan Melati berdetak kencang. Perasaan tegang
menyelimuti hati sepasang pendekar muda itu.
Mereka teringat akan cerita Ki Julaga dan Reksa, yang mengatakan bahwa Pulau Es
dihuni tokoh-tokoh berkepandaian tinggi. Penampilan daratan Pulau Es menimbulkan
rasa kagum di hati Arya dan Melati terhadap tokoh-tokoh yang menghuninya.
"Itukah Pulau Es..."!" tanya Arya dengan suara agak bergetar.
"Kalau melihat ciri-ciri daratan itu... rasanya kita tidak salah, Kang. Tapi...
memang ada yang kurang...."
"Aku belum mengerti apa yang kau maksudkan, Melati?" tanya Arya dengan alis
berkerut. Melati tidak segera menjawab. Gadis cantik itu tercenung. Kemudian menghembuskan
napas berat "Menurut cerita yang kudapat dari guru...
sebelum mencapai Pulau Es kita akan dihadang oleh angin topan. Tapi, nyatanya
kita tidak menemukannya," jelas Melati.
"Jadi..., kita tidak yakin daratan yang kita lihat itu Pulau Es, Melati?" tanya
Arya penasaran.
"Bukannya tidak yakin, Kang. Tapi kurang yakin," ulang Melati setengah


Dewa Arak 49 Geger Pulau Es di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memperbaiki kata-kata Arya. "Kau sendiri bagaimana?"
"Aku yakin daratan yang kita lihat Pulau Es!"
jawab Arya mantap. "Mengenai angin topan yang kau ceritakan, anggaplah nasib
baik tengah berpihak pada kita. Dengan kata lain, kedatangan kita tidak pada
waktu angin itu muncul."
"Mungkin kau benar, Kang," sahut Melati setelah tercenung beberapa saat .
"Menurutku, lebih baik, kita tidak usah meributkan kebenarannya sekarang. Lebih
baik kita datangi dan buktikan sendiri, benar tidak daratan itu Pulau Es.
Setuju"!" usul Arya.
"Aku setuju, Kang!" mantap dan tegas jawaban Melati.
"Bagus! Nah! Mari kita bergegas!"
Arya dan Melati kelihatan makin ber-semangat untuk segera tiba di daratan itu.
Mereka mendayung dengan sebuah tenaga, hingga laju perahu semakin cepat Jarak
antara sepasang pendekar muda itu dengan daratan yang terlihat putih berkilauan,
semakin lama bertambah dekat. Pemandangan yang terlihat pun tampak semakin
jelas. "Kau benar, Kang. Tidak salah lagi. Ini pasti Pulau Es," ucap Melati ketika
melihat dengan jelas.
Arya hanya mengangguk menanggapi pernyataan Melati. Seluruh perhatian pemuda itu
tengah tertuju pada daratan yang terpampang di depan mereka. Sorot mata dan
tarikan wajah Arya menyiratkan kekaguman yang sangat
"Kalau tidak melihat sendiri rasanya sulit
kupercaya, Melati," kata Arya takjub. "Di tengah-tengah lautan luas seperti ini,
terdapat Pulau Es. Benar-benar menakjubkan! Yang membuatku heran, mengapa esnya
tidak mencair?"
Melati tidak menanggapi pernyataan Arya.
Gadis berpakaian putih itu pun tengah dilibat-kan pertanyaan yang sama. Dia pun
bingung. "Kalau benar seluruh pulau ini terdiri dari batu-batu es, tentu bagian bawahnya
akan mencair. Ataukah pulau ini hanya merupakan pulau terapung" Bila benar
demikian, tempatnya pasti berpindah-pindah. Atau...."
"Lebih baik tidak usah dipikirkan mengenai hal itu, Kang. Bukan hanya kau yang
akan pusing, tapi aku juga. Menurutku, lebih baik kau buang pertanyaan-
pertanyaan yang tidak mungkin terjawab itu. Yakinkan saja dalam hatimu, bahwa
bagi Allah tidak ada hal yang tidak mungkin. Dengan kata lain, meskipun menurut
pemikiran kita tidak mungkin, tapi bagi Allah merupakan hal yang sepele. Mudah
kan"!" potong Melati.
"Kau benar, Melati. Mengapa aku harus pusing-pusing memikirkannya" Mungkin ini
merupakan salah satu keajaiban. Dan lagi ada yang lebih penting bagi kita,
secepatnya mendarat di sana. Bukankah demikian"!" Arya membuang jauh-jauh
pertanyaan yang memenuhi kepalanya. Tak berapa lama kemudian, perahu yang
ditumpangi mereka menepi.
"Hup!"
Arya dan Melati segera melompat dari perahu. Kemudian, Arya menambatkan perahu
pada salah satu karang es yang ada di tepi pantai.
"Luar biasa...! Betul-betul menakjubkan...!"
Seruan bernada kekaguman keluar hampir bersamaan dari mulut Arya dan Melati.
Keduanya berdiri terpaku memandang ke sekeliling mereka. Pemandangan yang
terlihat memang sungguh mengagumkan. Sejauh mata memandang yang terlihat hanya
warna putih berkilauan. Baik itu daratan maupun bukit-bukitnya.
"Hawanya dingin ya, Kang?" celetuk Melati.
"Benar, Melati. Kita harus mengerahkan tenaga dalam untuk melawannya," ujar
Arya. Sebenarnya, pemberitahuan Dewa Arak tidak perlu. Begitu merasakan dingin, dengan
sendirinya tenaga dalam yang mereka miliki bergolak melawan. Tapi, yah...
begltulah. Karena seluruh pikiran pemuda itu tengah terpusat pada masalah yang dihadapi,
maka jawaban-jawaban yang diberikan Arya ter-kadang keluar tanpa dipikir lagi.
"Mari kita kelilingi pulau ini, Melati. Akan kita buktikan, benarkah tempat
seperti ini ditinggali manusia. Bila hal itu benar, pasti ada sebuah tempat
tinggal di sini."
Tanpa berkata apa-apa, Melati mengayunkan langkah mengikuti Arya yang telah
lebih dulu menindakkan kaki. Hati-hati sekali, pasangan pendekar muda itu
melangkah. Tempat itu
memang masih sangat asing bagi mereka.
Hingga Dewa Arak dan Melati tidak berani bertindak gegabah. Sekujur urat syaraf
dan otot-otot tubuh mereka menegang penuh kesiagaan, bersiap-siap menghadapi
segala kemungkinan yang akan terjadi.
Selangkah demi selangkah Dewa Arak dan Melati meninggalkan pantai. Kaki-kaki
mereka terus diayunkan, hingga tanpa disadari tempat mendarat mereka telah
tertinggal jauh.
Mendadak kedua pendekar muda itu saling pandang.
"Kau dengar suara-suara itu, Melati?" tanya Arya sambil menghentikan langkah.
Sepasang matanya menatap kekasihnya penuh rasa ingin tahu.
Melati tidak segera menjawab. Kepalanya digelengkan, dan perhatiannya dipusatkan
untuk mendengar suara yang dimaksudkan Arya.
"Kau benar, Kang. Ada suara-suara gaduh seperti tengah terjadi keributan. Tapi
aku tidak bisa mengetahui dari mana asalnya," jawab gadis berpakaian putih itu.
"Arahnya dari sana, Melati," jawab Dewa Arak sambil menunjuk ke depan.
"Kalau begitu..., mari kita ke sana, Kang!"
Tanpa menunggu jawaban Dewa Arak, Melati langsung melesat dengan mengarahkan
seluruh ilmu meringankan tubuhnya. Dalam sekejap tubuh gadis itu telah berada
belasan tombak di depannya. Mau tidak mau, Dewa Arak pun
melakukan hal yang sama. Dia tidak akan membiarkan kekasihnya menuju tempat itu
seorang diri. Hanya dengan beberapa kali lesatan, pemuda berambut putih
keperakan itu berhasil menyusul Melati. Sekarang keduanya berlari bersisian
menuju asal suara yang mereka dengar.
*** 5 Begitu melewati bukit es yang cukup besar, Dewa Arak dan Melati baru mengetahui
asal suara riuh rendah itu. Dugaan mereka tidak salah. Suara-suara itu
disebabkan oleh pertarungan. Dewa Arak dan Melati menghentikan lari dalam jarak
tujuh tombak dari pertarungan yang tengah berlangsung. Keduanya memperhatikan
jalannya pertarungan.
Memang tidak aneh kalau pertarungan yang terjadi demikian riuh rendah. Yang
terlibat dalam pertarungan itu tidak satu atau dua orang melainkan belasan!
Pertarungan itu lebih tepat disebut pertarungan antar kelompok.
Betapa tidak" Orang-orang yang terlibat dalam pertarungan, mengenakan pakaian
seragam. Satu kelompok berseragam serba merah, sedangkan kelompok lainnya berseragam
serba hitam. Beberapa saat lamanya pasangan pendekar muda itu hanya memperhatikan pertarungan
yang tengah berlangsung. Keduanya tidak tahu mengapa kedua kelompok itu
bertarung. Siapa yang benar dan yang salah tidak diketahui. Itu sebabnya, Dewa
Arak dan Melati tidak ikut campur.
"Kau mengenal mereka, Kang?" tanya Melati pelan mirip bisikan.
"Ya. Tapi hanya kelompok yang berseragam hitam. Kau lihat gambar cakar burung di
dada kiri mereka" Nah! Mereka adalah orang-orang Perkumpulan Garuda Hitam.
Sebuah per-kumpulan beraliran sesat yang cukup terkenal.
Sedangkan kelompok yang berseragam merah, aku tidak tahu. Entah kelompok dari
mana mereka. Ciri-ciri yang mereka miliki sangat aneh," jawab Arya.
Melati mengangguk-angguk. Ucapan Dewa Arak memang tidak salah. Kelompok orang
berpakaian merah itu mempunyai ciri-ciri aneh.
Kulit tubuh mereka kemerahan. Berambut tipis dan kekuningan seperti rambut
jagung. Yang mengerikan adalah matanya. Mata itu tidak hitam seperti mata pada
umumnya, tapi kebiruan!
"Mungkinkah mereka para penghuni pulau ini, Melati?" duga Arya.
Melati langsung terperanjat, dan memaki-maki dirinya. Mengapa dia begitu bodoh"
Ya! Orang-orang berpakaian merah itu pasti para penghuni pulau ini.
"Aku rasa begitu, Kang. Ya! Mereka pasti penghuni pulau ini. Sekarang sudah bisa
diketahui penyebab pertarungan itu. Mereka ingin mengusir orang-orang itu dari
tempat kediaman mereka."
Arya mengangguk-angguk menyetujui pendapat Melati. Sementara pandangannya tetap
terarah ke arena pertarungan yang terlihat semakin menarik. Meskipun orang-orang
ber- seragam merah itu hanya berjumlah lima orang, sedangkan lawannya berjumlah lima
belas orang, namun mereka mampu mengadakan perlawanan sengit, hingga pertarungan
berjalan seimbang.
"Hm...," Arya menggumam pelan. "Untunglah orang-orang Perkumpulan Garuda Hitam
bertindak cerdik dengan melakukan pertarungan bersama. Kalau tidak, orang-orang
berseragam merah pasti mampu menggilas mereka dengan mudah."
Melati mengangguk. Gadis cantik itu melihat kebenaran ucapan kekasihnya.
Kemampuan perorangan orang-orang berseragam merah memang berada di atas orang-
orang Perkumpulan Garuda Hitam. Taktik pertarungan kelompok Perkumpulan Garuda
Hitam itu membuat pertarungan berlangsung sengit
"Kakang...," sapaan Melati mengalihkan perhatian Arya.
"Ada apa, Melati?" tanya pemuda berambut putih keperakan itu.
"Kalau benar orang-orang berpakaian merah itu para penghuni Pulau Es, rasanya
tempat ini tidak cocok untuk mereka..."
"Aku belum mengerti maksudmu, Melati?"
Arya mengeryitkan dahi.
'Tindakan mereka terlalu kasar, Kang.
Kulihat setiap serangan mereka mengandung ancaman maut. Apa kau tidak melihat
Musuh Dalam Selimut 1 Tokoh Besar Karya Khu Lung Jago Kelana 7
^