Pencarian

Tenaga Inti Bumi 2

Dewa Arak 48 Tenaga Inti Bumi Bagian 2


kedua tokoh muda itu sama-sama menitikberatkan pada kemampuan ilmu
meringankan tubuh.
Tanpa terasa lima puluh jurus kembali berlalu. Ini berarti
pertarungan antara Dewa Arak dan Gandara telah berlangsung lebih dari
seratus jurus. Namun tetap saja selama itu belum nampak tanda-tanda pihak
yang akan keluar sebagai pemenang. Meskipun memang dalam pandangan
mereka yang belum sempurna kepandaiannya Dewa Arak seperti terdesak.
Karena pemuda berambut putih keperakan itu lebih sering bermain mundur.
"Hiyaaat..!"
Pada jurus keseratus dua belas, dengan serangkaian serangan
bertubi-tubi dan taktik jitu, Gandara berhasil membuat Dewa Arak terpojok!
Saat itulah dilancarkannya sebuah gedoran ke dada Dewa Arak.
Kali ini tak ada jalan lain lagi bagi Dewa Arak kecuali memapak
serangan, tanpa mengkhawatirkan akibatnya. Masalahnya, dalam
penggunakan ilmu 'Belalang Sakti', tenaganya pun bertambah, hingga
mampu mengimbangi tenaga Gandara. Dan hal itu telah dibuktikan
sebelumnya. "Hih!"
Tanpa ragu-ragu, Dewa Arak memapak serangan yang telah
meluncur ke dadanya. Tapi tindakan lanjutan yang dilakukan Gandara
benar-benar membuat Dewa Arak terkejut bukan kepalang. Dilihatnya,
sebelum tangannya berbenturan dengan tangan Gandara, pemuda
berpakaian kuning itu menepakkan tangan kirinya ke bumi. Sebagai seorang
pendekar yang telah malang-melintang di dunia persilatan, dan telah cukup
kenyang pengalaman, Dewa Arak bisa menduga maksud tepakan tangan
Gandara. Pasti pemuda berpakaian kuning itu bermaksud meminjam
kekuatan bumi! Sayangnya, Dewa Arak tak sempat lagi untuk mengurungkan
maksudnya. Maka sesaat kemudian....
Blarrr! Bunyi keras seperti halilintar yang menyambar terdengar tepat
ketika dua buah tangan berbenturan. Dan seperti yang dikhawatirkan Dewa
Arak, tubuhnya melayang ke belakang seperti daun kering terhembus angin
kencang. Darah segar pun mengalir dari mulut dan hidung Dewa Arak,
membasahi tanah sepanjang tubuhnya melayang.
"Kang Arya...!"
5 Melati menjerit melihat kejadian yang menimpa kekasihnya.
Seketika itu pula tubuhnya melesat memburu Dewa Arak yang masih
melayang-layang.
Brukkk! Melati kalah cepat. Tubuh Dewa Arak telah lebih dulu jatuh ke
tanah. Kemudian terguling-guling beberapa tombak sebelum akhirnya
terhenti karena kekuatan yang membuat tubuhnya meluncur telah lenyap.
"Kang...!"
Begitu berada di dekat tubuh Dewa Arak, Melati langsung
berjongkok dan bermaksud memeriksa keadaan kekasihnya. Tapi, Dewa
Arak telah lebih dulu bertindak. Pemuda berambut putih keperakan itu
berusaha bangkit. Walaupun dengan susah payah, dia berhasil berdiri,
meskipun tidak tegak benar. Dewa Arak telah siap untuk bertarung sampai
titik darah terakhir.
"Kang...!" seru Melati tertahan.
Rasa khawatir langsung menyeruak di hati gadis berpakaian putih
itu ketika melihat sikap Dewa Arak. Sebagai orang yang telah mengenal
baik pemuda berambut putih keperakan itu, dia tahu kalau Dewa Arak
bermaksud bertarung sampai mati! Dan Melati tahu, tak akan bisa
mencegah tindakan nekat Dewa Arak.
Bukan tanpa sebab, Dewa Arak bertindak demikian. Pemuda
berambut putih keperakan itu tahu kalau Gandara tak mungkin membiarkan
dirinya hidup. Dan sebagai seorang pendekar yang mempunyai harga diri
tinggi, Dewa Arak tak mau dikasihani. Itulah sebabnya dia berusaha bangkit
dan terus melakukan perlawanan.
Dan dugaan Dewa Arak sama sekali tidak salah. Gandara memang
tidak mau melepaskannya hidup-hidup. Terbukti, meskipun keadaan Dewa
Arak telah payah, pemuda berpakaian kuning itu tetap bermaksud
melancarkan serangan terakhir yang dapat mengirim nyawa lawannya ke
alam baka! "Bersiaplah untuk menerima kematian, Dewa Arak! Arwah guruku
sudah tidak sabar lagi menunggu kedatanganmu!" desis Gandara geram
sambil mengayunkan langkah mendekati Dewa Arak.
Melihat bahaya maut yang tengah mengancam keselamatan
kekasihnya, Melati tidak bisa berdiam diri lagi. Diambilnya keputusan
untuk menghalangi Gandara, meskipun menyadari kalau tindakannya hanya
akan sia-sia Melati tetap nekat melakukannya. Karena, mana mungkin
hanya berdiam diri melihat Dewa Arak dibantai. Maka....
Srattt! Sinar terang berkeredep ketika Melati mencabut pedangnya.
Kemudian kakinya melangkah maju. Dan sekarang tubuhnya telah berdiri di
depan Dewa Arak dengan pedang disilangkan di depan dada.
"Menyingkirlah, Melati!" perintah Dewa Arak dengan susah payah
ketika melihat tindakan yang akan dilakukan kekasihnya.
"Tidak, Kang!" kali ini Melati membantah perintah kekasihnya.
"Keparat sombong itu boleh membunuhmu, tapi harus melangkahi dulu
mayatku." Dewa Arak sama sekali tak menyahuti. Bukan karena dirinya
membolehkan Melati membelanya, tapi karena mulutnya tak kuat lagi untuk
berbicara. Untuk berdiri pun Dewa Arak harus mengerahkan seluruh
kemampuannya. Berbicara hanya akan semakin melemahkan dirinya.
Bukan tak mungkin malah akan membuatnya ambruk di tanah. Itulah
sebabnya dia diam.
Sementara itu, Gandara terus saja melangkah maju.
"Menyingkirlah, Nisanak! Aku tidak punya urusan denganmu.
Tapi kalau kau berkeras membela pembunuh itu, jangan salahkan aku jika
terjadi sesuatu yang tidak menyenangkan atas dirimu!" tandas Gandara
mengingatkan. "Tutup mulutmu, Keparat Sombong! Kau hanya bisa
membunuhnya apabila telah berhasil melangkahi mayatku!" tegas Melati.
"Kalau itu yang kau inginkan, apa boleh buat," sambut Gandara,
datar. Jelas, pemuda berpakaian kuning ini telah bermaksud untuk
merobohkan Melati pula.
Sementara, Melati tidak mau menunggu hingga Gandara semakin
dekat. Pedangnya dikibas-kibaskan di depan dada.
Wunggg! Bunyi menggerung keras seperti ada naga murka terdengar ketika
Melati mulai mengeluarkan 'Ilmu Pedang Seribu Naga' andalannya.
Tapi sebelum gadis berpakaian putih ini melancarkan serangan
perdananya.... "Tahan!"
Bentakan keras menggelegar yang dikeluarkan dengan pengerahan
tenaga dalam tinggi, membuat Melati mengurungkan niatnya. Bahkan
Gandara pun menoleh ke asal suara.
"Ayah...!" seru Gandara penuh rasa heran ketika mengetahui orang
yang telah menahannya.
Prakasa, orang yang mengeluarkan bentakan itu, langsung
menggenjotkan kaki mendekati kancah pertarungan. Hanya dengan sekali
lesatan saja, tubuhnya telah berada di dekat Gandara.
"Biarkan Dewa Arak dan kawannya pergi, Gandara," kata Prakasa
penuh wibawa. "Ayah!" sergah Gandara tak mampu menyembunyikan perasaan
kaget yang melanda hatinya. "Bagaimana mungkin kau dapat mengambil
keputusan seperti itu"! Pendekar keparat itu orang yang telah membunuh
guruku, kawan dekat Ayah! Apa pun yang terjadi, dia tak akan kubiarkan
lolos!" "Kau dengar ucapanku, Gandara"! Biarkan Dewa Arak pergi dari
sini!" tanpa peduli perasaan tidak senang putranya, Prakasa terus menekan.
Bahkan ucapannya kali ini mengandung ketegasan yang tidak bisa dibantah.
"Tapi..., dia pembunuh guruku...! Mana mungkin aku akan
membiarkannya lolos begitu saja. Aku telah bersumpah di depan mayatnya,
Ayah. Dan aku tak mungkin menarik sumpahku kembali!" Gandara masih
mencoba untuk membantah.
"Apakah kau telah demikian lancang berani menentang
keputusanku, Gandara"!" suara Ketua Perguruan Seribu Kepalan itu mulai
dingin. "Bukannya aku bermaksud menentang keputusanmu, Ayah. Tapi...,
keputusan yang Ayah ambil sama sekali tak masuk akal. Bahkan tadi Ayah
pun telah berjanji untuk mencincang hancur tubuh pembunuh guruku. Tapi,
kini mengapa Ayah malah bermaksud membiarkannya lolos"! Apakah Ayah
bermaksud menjilat ludah yang telah dikeluarkan"!" Gandara masih
mencoba untuk merubah keputusan Prakasa.
"Ada alasan kuat yang mendorongku mengambil keputusan seperti
itu, Gandara," jelas Prakasa dengan suara mulai melunak karena teringat
janji yang tadi diucapkannya.
"Beritahukanlah padaku, Ayah. Agar hatiku tidak penasaran," pinta
Gandara. "Hhh...!"
Prakasa menghembuskan napas berat. Jelas, dia pun merasa berat
hati untuk melakukan tindakan seperti itu. Sementara Dewa Arak, Melati,
seluruh murid Perguruan Seribu Kepalan, dan terutama sekali Gandara,
menunggu keluarnya ucapan Prakasa selanjutnya dengan perasaan tak
sabar. "Kau tahu mengapa Dewa Arak dan kawannya berada di sini,
Gandara?" Ketua Perguruan Seribu Kepalan itu memulai alasan yang
mendorongnya membebaskan Dewa Arak, dengan sebuah pertanyaan
terhadap Gandara.
"Aku tidak tahu, Ayah," jawab Gandara cepat. Dan memang,
pemuda berpakaian kuning ini menjawab secara jujur. Jawaban itu
dikeluarkannya tanpa dipikirkan lebih lama lagi, karena Gandara sudah
tidak sabar. Dia ingin segera mengetahui alasan yang membuat ayahnya
melakukan tindakan yang menurutnya tak masuk akal sama sekali.
"Mereka berdua ada di sini untuk memenuhi undanganku. Kau
dengar, Gandara"!" Prakasa sendiri yang menjawab karena Gandara tidak
dapat memberikan jawaban. "Kau tahu apa artinya itu?"
Lagi-lagi jawaban yang diberikan Gandara hanyalah gelengan
kepala. Memang, saat itu, Gandara sama sekali tak bisa berpikir. Otaknya
seperti beku karena tertutup oleh dendam kesumat
"Artinya mereka berdua tamu-tamuku," lanjut Prakasa lagi. "Dan
saat ini mereka berada di tempat kediamanku. Dengan sendirinya
keselamatan mereka berdua menjadi tanggung jawabku. Apa kata orangorang
persilatan jika mendengar Dewa Arak dan kawannya tewas di
tempatku"! Prakasa tidak bisa melindungi tamunya. Tapi itu masih tidak
mengapa! Tuduhan yang lebih keji lagi dapat tersiar bahwa Prakasa
berpura-pura mengundang Dewa Arak dan kawannya, padahal sebenarnya
bermaksud membunuhnya. Dewa Arak dan kawannya dibunuh secara licik
oleh Prakasa. Kehormatanku pun hancur. Sekarang tentu sudah jelas
mengapa aku tidak menginginkan kau membunuhnya. Dan apabila kau tetap
bersikeras, terpaksa kupertaruhkan nyawaku untuk melindunginya!"
Gandara kontan terdiam. Disadari ada kebenaran mutlak yang tidak
bisa dibantah dalam alasan ayahnya. Seketika itu pula urat syaraf dan otototot
tubuhnya langsung mengendur kembali. Meskipun tidak rela, dia harus
membiarkan Dewa Arak lolos. Apabila bersikeras, ayahnyalah yang akan
menjadi lawan. Lagi pula, ayahnya bukan tak menginginkan Dewa Arak
mendapatkan pembalasan setimpal atas kejahatan yang dilakukannya.
Keadaanlah yang menyebabkannya demikian.
"Hhh...!"
Sambil menghembuskan napas berat Gandara membalikkan tubuh
dan meninggalkan tempat itu. Disadari tidak ada gunanya lagi berada di
tempat itu. "Cepat kau bawa pergi dia dari tempat ini sebelum aku berubah
pikiran," kata Prakasa pada Melati.
Trekkk! Melati kembali menyarungkan pedangnya. Tepat pada saat itu,
Dewa Arak tidak sanggup lagi untuk terus berdiri. Pemuda berambut putih
keperakan itu roboh! Kalau saja Melati tidak keburu menangkapnya,
tubuhnya tentu telah mencium bumi.
Melati langsung memanggulnya dan membawanya kabur
meninggalkan tempat itu. Tak sedikit pun terlontar ucapan terima kasih dari
mulutnya. Gadis berpakaian putih itu tahu tak ada hal yang perlu diberikan
ucapan terima kasih. Karena dia merasa bahwa pertolongan yang diberikan
Prakasa pun tak dilakukan sepenuh hati.
"Hhh...!"
Prakasa menghela napas berat. Kepalanya tertunduk menekuri
lantai. Sementara kedua tangannya memegang dahi. Jelas, ada beban pikiran
yang tengah ditanggungnya.
Sekarang Gandara sudah tidak berada di sini lagi. Dia pergi sehari
setelah kejadian lolosnya Dewa Arak dari maut. Dan sejak perginya
Gandara dari perguruan itu, Ketua Perguruan Seribu Kepalan itu jadi sering
termenung. Dalam batinnya selalu terjadi perang. Benarkah Dewa Arak
yang telah membunuh Tirta Geni" Kalau benar demikian, mengapa"
Sebenarnya sulit bagi Prakasa untuk mempercayainya. Tapi mungkinkah
Gandara atau Tirta Geni berbohong"
Di saat benaknya tengah berputar keras mencari jawaban bagi
masalah itu, didengarnya ada bunyi langkah-langkah kaki mendekati
tempatnya. Tok, tok, tok...!
Terdengar bunyi ketukan di pintu.
"Siapa?" tanya Prakasa tanpa gairah. Tidak seperti biasanya yang
selalu kalap apabila ada orang yang mengganggu ketika dirinya berada di
ruangan khusus.
"Aku, Wiraja, Guru," jawab si pengetuk pintu.
"Mengapa kau demikian berarti menggangguku, Wiraja?" tanya
Prakasa masih tenang tanpa bernada ancaman.
"Ampunkan aku, Guru. Sebenarnya aku tidak bermaksud untuk
mengganggumu. Tapi aku tidak tega membiarkan rekan-rekan yang lain
tewas dibantai dan...!"
"Apa katamu..."! Cepat beritahukan"!"
Ucapan Wiraja langsung terhenti di tengah jalan ketika tahu-tahu
secara mengejutkan daun pintu itu terbuka lebar secara mendadak. Dan di
ambang pintu Prakasa berdiri dengan tarikan wajah menyiratkan kekagetan
hebat. "Ada seorang tokoh sesat mengamuk, Guru. Semula dia ingin
bertemu Guru. Tapi karena tidak diizinkan, dia mengamuk. Kakang Jaladri
dan beberapa orang lainnya tewas di tangannya dan...."
Lagi-lagi Wiraja terpaksa menghentikan ucapannya di tengah jalan
karena Prakasa telah melesat meninggalkan tempat itu sebelum dia
menyelesaikan semua ceritanya.
Hanya dalam beberapa kali lesatan, Prakasa telah bisa melihat
kejadian yang diberitahukan Wiraja. Di dekat pintu gerbang tampak sesosok
tubuh berpakaian hitam tengah dikeroyok belasan murid-muridnya.
Sementara di sekitar tempat itu bergeletakan beberapa sosok tubuh dalam
keadaan menyedihkan.
"Aaakh...!"
Untuk yang kesekian kalinya, dengan diawali jeritan menyayat
hati, salah seorang murid Perguruan Seribu Kepalan terjengkang ke
belakang dan ambruk di tanah. Ubun-ubunnya hancur terkena hantaman
cakar lawannya.
"Keparat!" Prakasa menggeram melihat pemandangan yang
mengerikan di hadapannya. "Minggir semua...!"
Sambil menyerukan perintah demikian, Prakasa langsung melesat
menuju kancah pertarungan.
Seruan yang dikeluarkan dengan pengerahan tenaga dalam tinggi


Dewa Arak 48 Tenaga Inti Bumi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terdengar keras bukan kepalang. Bahkan mampu membuat suasana di
sekitar tempat itu tergetar hebat
Murid-murid Perguruan Seribu Kepalan tentu saja mengenali suara
itu. Mereka segera berlompatan mundur. Sosok hitam itu sama sekali tidak
mengejar mereka. Dia hanya berdiri diam di tempatnya dengan kedua
tangan disedakapkan di depan dada.
"Kiranya kau, Elang Cakar Lima!" ucap Prakasa dengan perasaan
geram ditahan-tahan. "Tidak malukah kau bertarung dengan orang-orang
seperti mereka"!"
"Apa boleh buat"! Mereka tak memperbolehkanku menemuimu.
Jadi..., terpaksa kupergunakan cara ini untuk memancingmu keluar. Dan
kau datang juga!" jawab sosok berpakaian hitam yang ternyata Bang Cakar
Lima, dengan sikap tidak peduli.
"Keparat! Kau harus membayar mahal atas semua kekejian yang
kau lakukan, Elang Cakar Lima!" desis Prakasa penuh ancaman.
"Hak hak hak...! Kau masih saja sombong dan keras kepala seperti
dulu, Prakasa! Dulu saja kau tak mampu membunuhku, apalagi sekarang"!"
sahut Elang Cakar Lima penuh ejekan, dengan suara tawanya yang aneh.
"Jadi..., kau bermaksud melanjutkan pertarungan kita yang dulu"!"
terka Prakasa. "Kau kira untuk apa aku bersusah payah kemari"! Menemani kau
ngobrol"! Hak hak hak...! Lucu! Lucu sekali! Kau ini kelihatannya saja
goblok, padahal sebenarnya dungu, Prakasa!" lagi-lagi Elang Cakar Lima
mengejek. "Keparat! Tak usah banyak cakap, Elang Cakar Lima. Man kita
lanjutkan pertarungan kita yang dulu. Kita buktikan siapa yang lebih
unggul! Aku atau kau!" Prakasa yang kalah bersilat lidah, langsung
memutuskan pertengkaran itu.
"Hak hak hak...! Kuterima tantanganmu, Prakasa!" sambut Elang
Cakar Lima penuh perasaan gembira.
"Hiaaat..!"
Begitu mendengar kesiapan Elang Cakar Lima, tanpa menunggu
lebih lama lagi, Prakasa langsung melancarkan serangan. Kemarahan yang
tengah berkobar membuatnya tidak sabar menunggu lebih lama lagi.
Wuttt! Angin menderu keras ketika serangan Ketua Perguruan Seribu
Kepalan itu meluncur. Tanpa ragu-ragu lagi, karena tahu kalau lawan yang
dihadapinya seorang tokoh amat sakti, Prakasa langsung menggunakan ilmu
andalannya, 'Kepalan Seribu'.
Prakasa membuka serangannya dengan sebuah pukulan lurus ke
dada Elang Cakar Lima.
"Hmh!"
Bang Cakar Lima mendengus penuh ejekan melihat serangan
lawannya. Meskipun demikian, dia tak berani bertindak sembarangan,
karena tahu kedahsyatan yang terkandung dalam serangan perdana Prakasa
itu. Itulah sebabnya, dia tidak berani bertindak gegabah.
"Hih!"
Elang Cakar Lima menjejakkan kaki. Sesaat kemudian tubuhnya
melayang ke atas melewati kepala Prakasa. Sehingga serangan Ketua
Perguruan Seribu Kepalan itu mengenai tempat kosong, lewat di bawah
kaki Bang Cakar Lima.
Tidak hanya sampai di situ saja tindakan Elang Cakar Lima. Ketika
tengah berada di udara, tubuhnya langsung dijungkir balikkan. Kemudian
kedua tangannya dengan kedudukan jari-jari mengembang berbentuk cakar,
langsung disampokkan ke bagian belakang kepala Prakasa.
Tentu saja Prakasa tidak membiarkan kepalanya hancur berantakan
disampok cakar-cakar Bang Cakar Lima. Dengan cepat ditangkisnya
serangan itu dengan kedua tangannya. Untuk melakukan hal ini, Ketua
Perguruan Seribu Kepalan ini terpaksa membalikkan tubuhnya ke belakang,
mulai dari pinggang ke atas.
Prattt! Benturan keras antara dua pasang tangan yang sama-sama
mengandung tenaga dalam kuat itu, tidak terelakkan lagi. Keduanya samasama
terjengkang ke arah yang berlawanan. Uniknya kedua tokoh sakti itu
sama-sama terhuyung ke depan.
Jliggg! Ketika Elang Cakar Lima mendaratkan kedua kakinya di tanah,
Prakasa telah berhasil memperbaiki kedudukannya dan kini keduanya
kembali saling berhadapan dalam jarak tiga tombak.
Tapi hanya sesaat pertarungan itu terhenti. Sesaat kemudian
keduanya telah saling menerjang kembali. Baik Prakasa maupun Bang
Cakar Lima langsung mengeluarkan ilmu andalannya. Prakasa
mengeluarkan ilmu 'Kepalan Seribu'nya, sedangkan Bang Cakar Lima
menggunakan ilmu 'Cakar Elang'nya.
Akibat selanjutnya sudah dapat diterka. Bunyi menderu dan
mencicit yang terjadi setiap kali kedua tokoh tua itu menggerakkan tangan
atau kaki langsung terdengar. Hal itu membuat murid-murid Perguruan
Seribu Kepalan menyaksikan jalannya pertarungan dari jarak yang aman.
Karena mereka tahu, sambaran angin serangan Prakasa dan Elang Cakar
Lima cukup dahsyat, mampu mengirim nyawa mereka ke neraka.
Untuk yang kedua kalinya di areal Perguruan Seribu Kepalan
terjadi pertarungan yang menggiriskan hati. Kalau sebelumnya, tokoh-tokoh
muda yang bertarung, kali ini tokoh-tokoh tua saling menyabung nyawa.
Jurus demi jurus berlangsung demikian cepat. Baik Elang Cakar
Lima maupun Prakasa memang memiliki gerakan yang cepat. Tak aneh
kalau murid-murid Perguruan Seribu Kepalan sama sekali tidak bisa melihat
jelas pertarungan yang tengah berlangsung. Yang terlihat hanya sosok
bayangan biru dan hitam yang saling belit satu sama lain. Hanya sesekali
saja kedua sosok bayangan itu saling pisah.
Dalam waktu sebentar saja, lima puluh jurus telah berlalu. Dan
selama itu belum nampak salah satu pihak yang terdesak. Pertarungan
masih berlangsung im-bang. Masing-masing pihak saling berganti
mengirimkan serangan.
Elang Cakar Lima menggertakkan gigi ketika pertarungan telah
berlangsung hampir seratus jurus belum juga mampu mendesak lawannya.
Padahal semula dia begitu yakin akan mampu mengalahkan Prakasa setelah
melihat Macan Terbang Berekor Sembilan berhasil mengalahkan Tirta
Geni. Elang Cakar Lima sama sekali tidak tahu kalau seperti juga dirinya,
Prakasa pun giat berlatih. Hal seperti itu tidak dilakukan oleh Tirta Geni.
Itulah sebabnya, Tirta Geni dapat dikalahkan oleh Macan Terbang Berekor
Sembilan. Ketika seratus lima belas jurus telah berlalu, dan tetap belum
mampu mendesak Prakasa, Elang Cakar Lima mulai kehilangan kesabaran.
Diputuskan menggunakan cara lain untuk merobohkan lawannya. Dan hal
ini memang telah dipersiapkannya jauh-jauh hari.
Dan kesempatan untuk melaksanakan niat itu terbuka di jurus
keseratus dua puluh satu.
"Hih!"
Sambil melempar tubuhnya ke belakang, Elang Cakar Lima
mengibaskan tangannya. Seketika itu pula beberapa buah benda bulat
sebesar telur bebek meluncur ke tubuh Prakasa. Padahal saat itu tubuh
Ketua Perguruan Seribu Kepalan tengah berada di udara dalam usahanya
untuk mengejar Elang Cakar Lima yang menjauhkan diri.
Karuan saja hal itu membuat Prakasa terkejut bukan kepalang.
Kedudukan tubuhnya yang tengah melayang di udara, menyulitkanya untuk
mengelakkan serangan itu. Jalan satu-satunya untuk mematahkan serangan
itu hanya dengan menangkisnya. Dan hal itulah yang kini dilakukan
Prakasa. Srat! Secepat kilat pedang yang tergantung di punggung dicabutnya.
Kemudian secepat itu pula diayunkan untuk memapak benda-benda bulat
yang tengah meluncur ke arahnya.
Darrr! "Akh...!"
Prakasa menjerit ngeri ketika benda bulat itu meledak ketika
membentur mata pedangnya. Kekuatan ledakannya begitu dahsyat sehingga
mampu membuat tubuhnya terjengkang. Tangannya yang menggenggam
pedang pun seperti lumpuh. Sedangkan benda-benda bulat lainnya terus
meluncur. Dan satu di antaranya menuju ke arahnya.
Darrr! "Aaakh...!"
Jeritan menyayat hati keluar dari mulut Prakasa ketika benda bulat
itu menghantam telak dadanya. Dan akibatnya benar-benar menggiriskan.
Tubuh Ketua Perguruan Seribu Kepalan ini langsung tercerai berai menjadi
potongan-potongan daging. Seketika itu pula, nyawanya melayang
meninggalkan raga.
Sementara itu, beberapa benda bulat lainnya meluncur ke tempat
murid-murid Perguruan Seribu Kepalan. Karuan saja kerumunan itu
langsung berantakan. Mereka bergegas berlompatan menjauhkan diri dan
bergulingan di tanah.
Darrr, darrr, darrr...!
Tindakan penyelamatan diri yang dilakukan murid-murid
Perguruan Seribu Kepalan itu tak sia-sia. Mereka semuanya berhasil
selamat. Dengan wajah pucat mereka bangkit. Semuanya bersiap untuk
menghadapi serangan selanjutnya.
"Hak hak hak...!"
Tapi ternyata Elang Cakar Lima tidak berminat untuk membunuh
mereka. Sambil mengeluarkan tawa yang aneh terdengar telinga, tubuhnya
melesat meninggalkan tempat itu.
Sekarang murid-murid Perguruan Seribu Kepalan itu mempunyai
kesempatan melihat keadaan sang Ketua sekaligus guru mereka.
"Guru...!" seru mereka serempak dengan hati pilu melihat keadaan
mayat Prakasa yang demikian menyedihkan. Ketua Perguruan Seribu
Kepalan itu tewas karena tidak menyangka kalau lawannya menggunakan
siasat licik seperti itu. Sungguh tidak disangkanya kalau benda-benda bulat
sebesar telur bebek itu merupakan benda-benda peledak! Hal itu terjadi
karena dia belum pernah bertarung menghadapi lawan yang menggunakan
senjata seperti itu.
Kini suasana kembali hening. Murid-murid Perguruan Seribu
Kepalan nampak sedih menyaksikan kejadian yang sangat mencekam itu.
6 "Keparat! Di mana bersembunyinya jahanam-jahanam itu"! Awas
kalau bertemu akan kuhancurkan kalian, Dewa Arak, Elang Cakar Lima!"
desis Gandara penuh geram sambil mengepalkan kedua tangannya sehingga
menimbulkan bunyi gemeretak keras.
Masih dengan mulut yang tak henti-hentinya mengutuk Dewa Arak
dan Elang Cakar Lima, Gandara mengayunkan langkah. Kepalanya yang
tertunduk menekuri tanah menjadi pertanda adanya beban yang menggayuti
batinnya. "Maafkan aku, Ayah! Kalau aku tidak pergi meninggalkanmu
secepat itu, tak akan mungkin kau akan tewas secara mengerikan di tangan
Elang Cakar Lima. Tapi percayalah, Ayah! Akan kucari Elang Cakar Lima!
Dan akan kulumatkan tubuhnya!" desah Gandara penuh sesal.
Memang, Gandara telah mengetahui nasib yang menimpa ayahnya.
Hal itu didengarnya dari mulut murid-murid Perguruan Seribu Kepalan
yang masih tinggal. Kepulangan Gandara ke Perguruan Seribu Kepalan
sebenarnya untuk meminta maaf pada ayahnya atas kepergiannya yang
tanpa pamit. Sama sekali tak disangkanya kalau ternyata Prakasa telah
tewas secara mengenaskan.
Dan sekarang, peristiwa kematian ayahnya telah berlalu sepuluh
hari. Namun Gandara belum mampu menemukan orang-orang yang
dicarinya, yaitu Dewa Arak dan Elang Cakar Lima!
Tiba-tiba dahi Gandara berkernyit ketika melihat pemandangan di
hadapannya. Betapa tidak" Nampak dari kejauhan serombongan orang
berlari-lari menuju ke arahnya. Melihat gerakan mereka, diketahuinya kalau
orang-orang itu bukan dari golongan persilatan.
Dan keyakinan Gandara akan kebenaran dugaannya semakin
menguat ketika melihat keberadaan wanita dan anak-anak di dalam
rombongan yang tengah berlari-lari itu. Gandara langsung bersikap tanggap.
Dia tahu, kalau tidak terjadi sesuatu, tak mungkin mereka melakukan
tindakan seperti itu. Pasti ada sesuatu yang telah terjadi terhadap mereka.
Sesaat kemudian Gandara telah melesat ke depan. Dia ingin
menghadang rombongan orang yang tengah menuju ke arahnya.
Hanya dalam beberapa kali lesatan saja, Gandara telah berada di
hadapan orang-orang itu.
"Apa yang terjadi, Ki" Mengapa kalian semua ketakutan seperti
itu?" Gandara langsung mengajukan pertanyaan pada orang yang berdiri
paling depan. Seorang laki-laki setengah baya berkulit hitam legam.
Meskipun demikian, pemuda berpakaian kuning itu masih menyempatkan
diri untuk melihat wajah-wajah di sekelilingnya. Nampak tua muda, besar
kecil, laki-laki dan perempuan ada dalam rombongan itu. Seketika itu,
Gandara tahu kalau rombongan orang ini para penduduk desa.
"Ada macan mengamuk, Anak Muda. Seekor macan loreng besar,"
jawab laki-laki berkulit hitam itu dengan napas terengah-engah.
Kemudian tanpa mempedulikan Gandara yang tertegun mendengar
pemberitahuannya, laki-laki berkulit hitam itu terus berlari, diikuti orangorang
di belakangnya.
Sementara itu Gandara masih bertanya-tanya dalam hati. Harimau
loreng besar! Dari mana datang nya" Bukankah Desa Rotan ini jauh dari
hutan" Mungkinkah macan itu tersasar sedemikian jauhnya" Rasanya aneh!
Lagi pula, apakah tidak ada orang yang memiliki kepandaian di Desa Rotan
itu" Rasanya tidak sutit untuk menangkap macan itu jika dilakukan secara
beramai-ramai. Perasaan heran yang melanda membuat Gandara mengambil
keputusan untuk masuk ke Desa Rotan dan melihat sendiri macan yaang
tengah mengamuk itu. Disadari kalau orang-orang itu tengah dilanda rasa
takut dan ingin lari sejauh-jauhnya dari tempat itu. Jadi, Gandara tidak
sampai hati untuk menyuruh salah seorang dari mereka berhenti untuk
dimintai keterangan.
Setelah mantap dengan keputusannya, Gandara langsung melesat
ke Desa Rotan. Di sepanjang perjalanan ditemuinya rombongan penduduk
yang berserabutan berlari keluar dari desa mereka.
Tanpa menemui kesulitan sedikit pun, Gandara berhasil
menemukan apa yang dicarinya. Tak jauh di hadapannya tampak seekor
harimau loreng dan besar tengah menggeragoti tubuh seorang penduduk
yang rupanya tidak sempat melarikan diri.
Bukan hanya satu orang saja yang dilihat Gandara. Di sepanjang
jalan utama desa itu tampak berserakan sosok-sosok tubuh dalam keadaan
mengerikan. Bahkan ada di antara mereka yang mengenakan pakaian silat.
Sementara senjata-senjata tajam berserakan di sana-sini. Berarti,
sebelumnya telah terjadi pertarungan antara para penduduk dengan macan
loreng itu tapi mereka tak mampu menghadapinya.
Harimau itu rupanya mengetahui kehadiran orang lain di dekatnya.
Terbukti, perhatian terhadap mangsanya dialihkan. Kini binatang yang lebih
dikenal dengan julukan raja hutan itu menatap Gandara dengan sinar mata
garang. Tapi Gandara sama sekali tak gentar. Baginya, macan bukan
binatang yang perlu ditakuti. Dengan mudah dia dapat membunuhnya.
Itulah sebabnya dia tetap bersikap tenang.
"Auuummm...!"
Diawali auman keras yang menggetarkan jantung, harimau loreng
itu menerkam Gandara. Gerakannya begitu cepat bagaikan luncuran
sebatang anak panah.
Tapi bagi Gandara gerakan harimau itu tidak terlalu cepat. Hanya
dengan melangkahkan kakinya ke kanan sambil mendoyongkan tubuh, dia
telah mampu membuat serangan harimau itu lewat di samping kirinya.
Namun mendadak terjadi sebuah kejadian yang membuat Gandara terkejut
bukan kepalang.
Betapa tidak" Dengan sebuah gerakan yang luar biasa, setelah
serangan perdananya lolos, harimau itu melancarkan serangan susulan


Dewa Arak 48 Tenaga Inti Bumi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ketika tubuhnya melayang di udara. Kaki kiri depannya dengan cepat di
sampokkan ke pelipis Gandara.
Wuttt! Gandara tak berani bertindak gegabah. Disadari kalau sampokan
seekor macan bertubuh sebesar ini pasti mengandung tenaga luar biasa.
Sampokan itu dapat mematahkan tulang leher! Itulah sebabnya buru-buru
dilakukannya lompatan harimau ke depan. Dan dengan bertumpu pada
kedua tangan, tubuhnya digulingkan. Gandara baru bangkit ketika berada
dalam jarak beberapa tombak dari tempat sebelumnya.
Baru saja Gandara membalikkan tubuhnya, serbuan harimau loreng
itu kembali meluncur. Hal ini membuat Gandara terkejut bukan kepalang.
Hatinya mulai sadar kalau harimau ini bukan binatang sembarangan, dan
pasti peliharaan seorang tokoh sakti! Hal itu bisa dilihat dari serangannya
yang seperti mengetahui gerakan ilmu silat!
Namun Gandara tidak merasa kewalahan. Seperti juga sebelumnya,
tanpa kesulitan serangan yang dilan-carkan binatang itu dapat dielakkannya.
Lagi pula, sampai di mana lihainya seekor binatang mempelajari ilmu silat"
"Auuuummm...!"
Untuk yang kesekian kalinya, kembali harimau loreng itu
melompat menerkam Gandara. Kali ini pemuda berpakaian kuning itu pun
ikut menerkam pula. Bahkan dengan gerakan yang sama seperti macan itu.
Namun ketika tubuhnya hampir beradu dengan harimau itu, dengan
sebuah gerakan manis, Gandara bersalto di udara. Dan ketika meluncur
turun ke tubuh harimau yang masih melayang itu, kedudukan tubuhnya
telah berubah. Sekarang kepalanya berada di bawah dan kakinya di atas.
Lalu dengan kedua telapak tangan terbuka dihantamnya sisi kanan kiri
kepala binatang itu.
Prakkk! Terdengar bunyi berderak keras ketika kedua tangan Gandara
mendarat pada sasarannya. Seketika itu pula raja hutan itu hancur
berantakan. Tanpa sempat meraung lagi, harimau loreng besar itu pun mati.
Darah bercampur otak mengalir deras dari kepalanya yang pecah.
Brukkk! Hampir berbarengan dengan jatuhnya tubuh harimau loreng itu,
Gandara mendaratkan kedua kakinya secara manis di tanah. Ditatapnya
sejenak bangkai binatang buas itu. Lalu diayunkan kakinya meninggalkan
tempat itu. Tapi baru beberapa langkah, terdengar suara bentakan penuh
kegeraman dari belakangnya.
"Keparat jahanam! Sungguh berani kau membunuh binatang
kesayanganku!"
*** Seketika itu pula Gandara membalikkan tubuhnya dan bersikap
waspada. Dari bentakan itu bisa diperkirakan kekuatan tenaga dalam
pemiliknya. Bentakan itu keras menggelegar, dikerahkan dengan tenaga
dalam tinggi. Ditambah lagi suaranya yang parau. Bentakan itu pun semakin
terdengar menggiriskan.
Dalam jarak sekitar lima tombak dari Gandara, berdiri seorang
kakek berompi kulit harimau. Siapa lagi kalau bukan Macan Terbang
Berekor Sembilan"!
"Ooo..., rupanya kau pemilik binatang itu"!" tanya Gandara kalem
seakan-akan tidak mempedulikan kemarahan Macan Terbang Berekor
Sembilan "Benar!" sahut Macan Terbang Berekor Sembilan dengan suara
parau. "Dan kau akan mendapat ganjaran atas tindakanmu itu."
"Lalu, bagaimana dengan orang-orang yang menjadi korban
macanmu itu"! Apakah mereka tidak berhak menuntut balas"!" sambut
Gandara, cerdik.
"Apa pedulimu dengan nasib mereka"!" tandas Macan Terbang
Berekor Sembilan, geram.
"Kalau begitu, apa pula peduliku pada nasib harimau itu!" timpal
Gandara dengan berani.
"Keparat! Kucincang kau!"
Usai berkata demikian, Macan Terbang Berekor Sembilan
langsung menerjang Gandara. Kakek berompi kulit harimau ini membuka
serangan dengan sebuah tendangan lurus terarah ke pusar lawan.
Wuttt! Gandara bersikap tenang. Kemenangannya terhadap Dewa Arak
membuatnya yakin akan kemampuan dirinya. Oleh karena itu, tanpa raguragu
dipapaknya tendangan Macan Terbang Berekor Sembilan dengan
telapak tangan kanannya.
"Hiaaat..!"
Plak, plak, plak!
Benturan keras bertubi-tubi terdengar ketika kaki dan tangan yang
sama-sama dialiri tenaga dalam tinggi itu berbenturan. Tidak hanya sekali
saja benturan itu terjadi. Karena begitu serangan pertamanya berhasil
dipatahkan, Macan Terbang Berekor Sembilan melanjutkannya dengan
tendangan miring, masih dengan kaki yang sama. Bahkan tendangan itu
dilakukannya berkali-kali. Namun, semuanya berhasil ditangkis Gandara.
"Keparat! Pantas kau berani bersikap demikian sombong! Rupanya
kau mempunyai sedikit kepandaian, Bangsat Kecil"!"
"Itu belum seberapa, Bangsat Besar! Kau akan melihat yang lebih
daripada ini nanti"!" sambut Gandara yang bermaksud mempermainkan
lawannya. Karuan saja ejekan Gandara membuat kemarahan Macan Terbang
Berekor Sembilan semakin bergelora. Dan dengan amarah meluap-luap
diterjangnya pemuda berpakaian kuning itu.
Terjangan Macan Terbang Berekor Sembilan langsung
mendapatkan sambutan hangat Gandara. Dan pertarungan sengit pun tidak
bisa dielakkan lagi.
Macan Terbang Berekor Sembilan benar-benar bermaksud untuk
membunuh Gandara. Setiap serangan yang dilancarkannya selalu mengarah
pada bagian-bagian yang mematikan. Itu pun masih ditambah lagi dengan
pengerahan seluruh tenaga dalam setiap kali melancarkan serangan.
Sehingga setiap serangannya begitu dahsyat.
Untuk beberapa gebrakan, Gandara agak kewalahan karena dia
berada di pihak yang diserang. Dan serangan Macan Terbang Berekor
Sembilan yang bertubi-tubi membuatnya tak sempat untuk melancarkan
serangan balasan. Yang dapat dilakukannya hanya mengelak dan menangkis
serangan-serangan lawannya.
Tapi baru beberapa jurus menyerang, mendadak Macan Terbang
Berekor Sembilan menghentikan desakannya. Tentu saja hal ini membuat
Gandara heran, dan segera menghentikan gerakannya pula.
"Apa hubunganmu dengan Tirta Geni, Bangsat Kecil"!" tanya
Macan Terbang Berekor Sembilan sambil menatap wajah Gandara penuh
selidik. "Ah! Rupanya kau mengenai guruku, Bangsat Besar"! Tapi, kau
tidak usah takut, guruku tidak ada di sini. Lagi pula aku pun sudah cukup
untuk mengirim nyawamu ke akhirat!" ejek Gandara.
"Ha ha ha...!"
Macan Terbang Berekor Sembilan langsung tertawa bergelak
mendengar jawaban pemuda berpakaian kuning itu. Karuan saja hal itu
membuat Gandara heran. Mengapa kakek berompi kulit harimau ini malah
tertawa" Bahkan terlihat demikian geli" Apakah ada hal yang lucu dalam
ucapannya tadi" Dicobanya untuk mencari apa ada kata-katanya yang
mungkin lucu sehingga membuat kakek berompi kulit harimau itu tertawa.
Tapi tetap saja tidak ditemukannya.
"Mengapa kau tertawa, Bangsat Besar"! Ada yang lucu"!"
Meskipun rasa ingin tahunya demikian besar, Gandara mencoba
bersikap tak peduli. Bahkan pertanyaan itu seperti diajukan sambil lalu.
"Kau lucu sekali, Bangsat Kecil"! Kau kira aku takut pada
gurumu"! Ha ha ha...! Apakah kau tidak tahu kalau gurumu itu sudah
tewas"! Dan tahukah kau, siapa yang telah membunuhnya! Aku! Macan
Terbang Berekor Sembilan! Akulah yang membunuh gurumu! Dan kini
kau, muridnya, berani main gila di hadapanku"! Gurumu sendiri bukan
lawanku, apalagi kau!"
Ucapan ucapan Macan Terbang Berekor Sembilan laksana ledakan
halilintar yang bertubi-tubi menyambar di telinga Gandara. Demikian
mengejutkan dnn bertubi-tubi. Pembunuh gurunya ternyata kakek ini"
Macan Terbang Berekor Sembilan" Lalu mengapa gurunya mengatakan
Dewa Arak pembunuhnya" Mana yang benar di antara mereka" Gurunya
atau Macan Terbang Berekor Sembilan"
Macan Terbang Berekor Sembilan..."! Julukan tokoh ini tidak
asing bagi telinganya. Gurunya banyak bercerita banyak tentang tokoh ini.
Seorang datuk golongan hitam yang belasan tahun lalu hampir tewas di
tangan gurunya kalau tidak keburu melarikan diri dalam keadaan terluka.
"Kau bohong, Macan Terbang!" sentak Gandara, keras.
"Aku bohong"! Ha ha ha...! Kalau kau tidak percaya, temuilah
gurumu. Aku yakin mayatnya masih ada sekarang. Gurumu telah kubunuh,
tahu! Dan sekarang kau yang akan menerima gilirannya!" tandas Macan
Terbang Berekor Sembilan, keras.
"Aku tahu guruku tewas, tapi bukan kau pembunuhnya. Aku tahu
itu!" Dengan terbata-bata, Gandara membantah keterangan Macan
Terbang Berekor Sembilan. Dan hal itu bukan tanpa alasan. Kalau benar
Macan Terbang Berekor Sembilan yang membunuhnya, berarti dia telah
melakukan sebuah kesalahan besar terhadap Dewa Arak! Bukan tidak
mungkin sekarang pemuda berambut putih keperakan itu telah tewas
apabila tidak segera mendapatkan perawatan.
Itulah sebabnya, mengapa Gandara berusaha membantah
keterangan Macan Terbang Berekor Sembilan. Rasanya dia lebih ingin agar
Dewa Araklah yang melakukan pembunuhan terhadap gurunya. Agar dia
tidak kesalahan tangan telah melukai orang yang tidak bersalah.
"Kau tahu siapa pembunuh gurumu, Bangsat Kecil"! Apakah kau
melihatnya, hah"!"
Macan Terbang Berekor Sembilan jadi berang bukan kepalang
mendengar omongannya tidak dipercaya. Meskipun dirinya seorang datuk
sesat, pantang baginya untuk berbohong. Dan yang membuatnya
tersinggung bukan kepalang adalah karena kemenangannya terhadap Tirta
Geni, orang yang telah mengalahkannya, tidak dipercaya orang! Bahkan
Gandara menganggap orang lain yang telah membunuh Tirta Geni! Tentu
saja hatinya menjadi kalap!
"Aku memang tidak melihatnya! Tapi aku mengetahui
pembunuhnya dari mulut guruku...," Gandara masih mencoba berkelit dari
kesalahan. "Dari mulut gurumu" Apa yang dikatakan tua bangka gila itu,
heh"!" tanya Macan Terbang Berekor Sembilan ingin tahu. "Apakah dia
tetap tidak mengakui kekalahannya terhadap diriku"!"
"Dia mengatakan kalau pembunuhnya Dewa Arak," makin pelan
suara Gandara karena perasaan khawatir yang melanda hatinya.
"Ha ha ha...! Dewa Arak"! Lucu! Lucu sekali! Apa urusannya
Dewa Arak membunuhnya, Monyet Goblok" Dewa Arak tokoh golongan
putih seperti juga gurumu! Mana mungkin dia membunuhnya"! Lagi pula,
belum tentu Dewa Arak mengenal gurumu! Apalagi tempat tinggalnya!
Dasar, Manusia Berotak Udang! Kau telan mentah-mentah saja ucapan
gurumu" Dasar, Pemuda Dungu! Entah gurumu yang sudah mabuk, atau
kupingmu yang sudah rusak!"
"Diam! Guruku tidak mabuk! Dan telingaku tidak rusak! Kau
dengar itu"!" bentak Gandara keras.
Tapi orang seperti Macan Terbang Berekor Sembilan mana bisa
digertak! Dia terus saja tertawa-tawa mengejek Gandara.
"Ha ha ha...! Luar biasa! Sama sekali tidak kusangka kalau Tirta
Geni demikian sombong! Rupanya dia tidak ingin kekalahannya padaku
diketahui orang hingga dia mengarang cerita bohong! Tapi..., mengapa
Dewa Arak yang harus difitnahnya" Bukankah aku pun ingin membunuh
Dewa Arak pula"!" Macan Terbang Berekor Sembilan pun tenggelam
dalam alam masalah rumit yang mulai membelit.
Dan masalah yang tengah melanda, membuat Gandara dan Macan
Terbang Berekor Sembilan jadi melupakan perkelahian mereka.
"Bisakah kau membuktikan kalau kau adalah pelaku pembunuhan
terhadap guruku"!" tanya Gandara akhirnya.
"Tentu saja bisa, Bangsat Kecil!" sambut Macan Terbang Berekor
Sembilan cepat "Apa"!" desak Gandara tidak sabar.
7 Macan Terbang Berekor Sembilan tak segera menjawab
pertanyaan itu. Disadari kalau Gandara tengah dilanda rasa ingin tahu yang
amat sangat. Dan dia ingin membuat pemuda berpakaian kuning itu jengkel.
Tapi Gandara tidak kalah cerdik. Dia tahu kalau Macan Terbang
Berekor Sembilan sengaja menunda jawaban karena ingin memhuatnya
jengkel. Dan memang, pemuda berpakaian kuning ini mendongkol
karenanya. Namun diusahakan untuk tidak menampakkannya. Bahkan
sebaliknya dilontarkan bantahan yang menyengat telinga Macan Terbang
Berekor Sembilan.
"Nah! Sekarang terbukti bukankah kau hanya membual" Begitu
kutanyakan buktinya, kau hanya diam dan tak mampu membuktikan.
Jangan-jangan kau tengah mencari bualan baru lagi"!"
"Kau memang pandai bersilat lidah, Bangsat Kecil. Baiklah, akan
kuberitahukan buktinya. Kedua tangan gurumu memar-memar. Bagian
perut dan dadanya pun terobek lebar. Itu karena terkena cengkeraman
tanganku. Dan yang perlu kau ketahui, aku sengaja tidak memberikan
serangan terakhir pada gurumu karena aku tahu tanpa diserang lagi pun dia
akan tewas," jelas Macan Terbang Berekor Sembilan panjang lebar.
"Jelas"!
"Jahanam! Jadi kau yang telah membunuh guruku! Bersiaplah
untuk menerima pembalasannya!" geram Gandara dengan sekujur tubuh
bergetar keras menaham amarah.
"Dan periu juga kau ketahui, Bangsat Kecil. Ada saksi yang
melihat aku membunuh gurumu. Dia adalah Elang Cakar Lima! Sebagai
tambahannya perlu juga kuberitahukan kalau aku dan Elang Cakar Lima
tengah berlomba untuk lebih dulu membunuh Dewa Arak! Dan kesepakatan
itu kami ambil di saat gurumu tengah sekarat! Dan untuk memancing
kehadiran Dewa Arak, telah kubuat kekacauan di mana-mana. Begitu pula
di sini!" lanjut Macan Terbang Berekor Sembilan tetap tenang seakan-akan
tidak mengetahui kalau Gandara tengah dilanda amarah.
Deggg! Gandara terkejut bukan kepalang. Ucapan lan-utan Macan Terbang
Berekor Sembilan laksana sambaran halilintar di dekat telinganya.
Benaknya langsung merangkai rentetan kejadian itu, dan dihubungkan
dengan kematian gurunya. Dan sekarang dia baru mengerti maksud ucapan
gurunya. Tirta Geni belum sempat menyelesaikan kata-katanya ketika maut
telah lebih dulu merenggut nyawanya.
Kini bisa ditebak maksud ucapan terakhir gurunya. Ya! Tirta Geni
pasti bermaksud menyuruhnya memberitahukan Dewa Arak akan adanya
ancaman bahaya besar! Namun, karena tidak lengkap, Gandara
mengartikannya lain.
Seketika itu pula timbul rasa menyesal yang amat sangat dalam
hati pemuda berpakaian kuning itu. Dia telah menjatuhkan tangan jahat
pada Dewa Arak. Padahal pendekar muda itu sama sekali tidak bersalah.
Ternyata semua itu akibat perbuatan Macan Terbang Berekor Sembilan.
Sebagai akibatnya, kebencian terhadap Macan Terbang Berekor
Sembilan semakin bertumpuk-tumpuk. Dendam karena Macan Terbang
Berekor Sembilan telah membunuh Tirta Geni, ditambah lagi akibat
perbuatan Macan Terbang Berekor Sembilan itu Dewa Arak yang mendapat
susahnya. "Kubunuh kau...! Hiyaaat..!"
Diawali teriakan nyaring memekakkan telinga, Gandara melompat
menerjang Macan Terbang Berekor Sembilan. Dalam kemarahannya, tanpa
ragu-ragu dikeluarkan ilmu 'Kelabang Seribu' andalannya. Laksana sehelai
daun kering yang ditiup angin, tubuh pemuda berpakaian kuning itu
meluncur ke tubuh Macan Terbang Berekor Sembilan. Dan ketika telah
dekat, jari-jari tangannya meluncur ke arah tenggorokan dan ulu hati lawan.


Dewa Arak 48 Tenaga Inti Bumi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Macan Terbang Berekor Sembilan terkejut bukan kepalang melihat
model serangan Gandara. Sama sekali tidak disangkanya kalau pemuda
berpakaian kuning ini memiliki ilmu yang demikian dahsyat. Bahkan angin
serangannya saja sudah membuat tubuh Macan Terbang Berekor Sembilan
hampir terjungkal.
Sadar akan kedahsyatan ilmu lawan, Macan Terbang Berekor
Sembilan tidak berani bertindak gegabah. Dia belum tahu perkembangan
dan kedahsyatan ilmu lawannya. Adalah merupakan tindakan gegabah kalau
serangan itu ditangkisnya. Itulah sebabnya, Macan Terbang Berekor
Sembilan memutuskan untuk mengelak. Tanpa membuang-buang waktu,
segera tubuhnya dilempar ke belakang dan berjumpatitan di udara.
Gila! Hampir-hampir Macan Terbang Berekor Sembilan tidak
percaya akan pandangan matanya sendiri! Betapa tidak" Menurutnya,
begitu serangannya gagal, Gandara akan mendarat di tanah! Tapi ternyata
tidak. Tubuh pemuda berpakaian kuning itu terus melayang mengikuti ke
mana Macan Terbang Berekor Sembilan mengelak, laksana seekor burung!
Inilah kehebatan ilmu 'Kelabang Seribu'. Mau tak mau Macan Terbang
Berekor Sembilan terus bersalto agar bisa lolos dari serangan maut
Gandara. Tapi seperti bayangan, Gandara terus melayang mengikuti ke mana
Macan Terbang Berekor Sembilan melayang. Sebuah pemandangan yang
aneh pada sebuah pertarungan. Macan Terbang Berekor Sembilan terusmenerus
bersalto, sementara di belakangnya Gandara senantiasa
mengejarnya. Akhirnya Macan Terbang Berekor Sembilan sadar, tak ada
gunanya lagi terus-menerus mengelak. Maka diputuskan untuk menangkis
serangan itu dengan mengerahkan seluruh tenaganya.
Duggg...! Bunyi keras seperti terjadinya benturan antara dua logam terdengar
ketika dua pasang tangan yang sama-sama dialiri tenaga dalam kuat itu
beradu. Akibatnya, tubuh Macan Terbang Berekor Sembilan dan Gandara
sama-sama terjengkang ke belakang. Namun dengan bersalto beberapa kali
di udara, keduanya berhasil mematahkan kekuatan yang membuat tubuh
mereka terhuyung.
Dan secepat kekuatan yang membuat tubuh mereka terhuyung
berhasil dipatahkan, secepat itu pula keduanya saling terjang kembali.
Seperti juga Gandara, tanpa ragu-ragu lagi Macan Terbang Berekor
Sembilan pun mengeluarkan ilmu andalannya, 'Macan Terbang'!
Ilmu 'Macan Terbang' milik Macan Terbang Berekor Sembilan
memang bukan hanya hebat namanya saja. Dalam penggunaan ilmu itu,
Macan Terbang Berekor Sembilan benar-benar bagaikan seekor harimau
bersayap. Begitu ringan dan mudah tubuhnya berlompatan ke sana kemari.
Lompatan dan gerakan-gerakan yang bagaimanapun sulitnya dapat dengan
mudah dilakukannya.
Pertarungan kedua tokoh ini benar-benar menarik. Mereka tak
ubahnya dua ekor burung besar yang saling bertarung. Jarang sekali
keduanya menjejakkan kaki di tanah. Dari sini saja bisa diperkirakan
ketinggian ilmu meringankan tubuh yang dimiliki mereka berdua.
Pertarungan semakin seru dan hebat. Bunyi mencicit, menderu, dan
mengaung yang timbul akibat pergerakan tangan atau kaki kedua tokoh
sakti itu semakin menambah semarak jalannya pertarungan.
Karena Gandara dan Macan Terbang Berekor Sembilan
mempunyai gerakan sama-sama cepat, tidak aneh kalau pertarungan pun
berlangsung cepat. Dalam sekejap enam puluh jurus telah berlalu. Dan
selama itu belum nampak ada yang terdesak. Pertarungan masih
berlangsung imbang.
Tapi memasuki jurus kesembilan puluh, mulai tampak keunggulan
Macan Terbang Berekor Sembilan. Dengan berbekal pada pengalaman
bertarungnya yang tidak sedikit, secara perlahan-lahan Macan Terbang
Berekor Sembilan mulai mampu menekan perlawanan Gandara.
Memang dalam hal tenaga dalam dan ilmu meringankan tubuh,
kedua tokoh yang berbeda usia dan aliran ini berimbang. Tapi dalm
pengalaman bertarung Gandara kalah jauh. Dan dengan keunggulan ini
Macan Terbang Berekor Sembilan berusaha mendesak terus.
Seiring dengan semakin lamanya pertarungan, keadaan Gandara
semakin terdesak. Kini dia mulai bermain mundur. Dan hal ini membuat
Macan Terbang Berekor Sembilan semakin bersemangat untuk secepat
mungkin merobohkan lawannya.
Gandara menggertakkan gigi menahan geram. Sama sekali tidak
disangkanya kalau Macan Terbang Berekor Sembilan akan selihai ini.
Pantas saja gurunya tewas. Dia saja yang oleh gurunya dikatakan sudah
memiliki kepandaian di atas gurunya, dibuat kewalahan, apalagi Tirta Geni!
Namun Gandara tak putus asa. Bahkan keadaannya yang semakin
terhimpit dijadikan kesempatan untuk merobohkan lawannya. Dan hal itu
bukan tanpa alasan. Gandara mempunyai sebuah senjata yang sangat
ampuh. Betapa tidak" Gandara dapat meminjam tenaga dari bumi yang
dapat digunakannya sewaktu-waktu. Tirta Geni menamakannya 'Tenaga Inti
Bumi'. Dan tenaga itu didapatkan Gandara karena pemusatan pikirannya
setiap kali bersemadi.
Dan Gandara telah membuktikan sendiri kedahsyatan tenaga itu.
Korban pertama kedahsyatan 'Tenaga Inti Bumi' adalah Dewa Arak! Hanya
dengan sekali gebrak saja pendekar muda yang menggemparkan dunia
persilatan itu dapat dirobohkannya. Sekarang Gandara akan melakukannya
kembali. Dan calon korbannya kali ini adalah Macan Terbang Berekor
Sembilan. Meskipun demikian, Gandara tidak terlalu terburu nafsu. Dia tahu,
sekali saja percobaannya ini gagal, sulit baginya untuk mendapatkan
kesempatan kedua. Karena sudah pasti lawan akan berhati-hati. Itulah
sebabnya, Gandara menunggu kesempatan yang baik.
Dan kesempatan seperti itu akhirnya tiba! Itu terjadi pada jurus
keseratus tiga belas. Dengan sebuah siasat jitu, Gandara berhasil membuat
keadaannya terpojok. Tubuhnya jatuh telentang di tanah akibat desakan
lawan yang terlaiu bertubi-tubi.
Macan Terbang Berekor Sembilan yang sudah sangat bernafsu
untuk merobohkan lawannya, tidak memberikan kesempatan pada Gandara
untuk memperbaiki kedudukannya. Buru-buru diterjangnya dada Gandara
dengan gedoran tangan kanan
Wuttt! Saat itulah yang dinanti-nantikan Gandara. Begitu serangan Macan
Terbang Berekor Sembilan meluncur dekat, buru-buru tangan kirinya
ditepakkan ke bumi. Dalam tepakan ini, Gandara mengambil tenaga dari
bumi. Setelah itu dipapaknya serangan Macan Terbang Berekor Sembilan
dengan tangan kanannya.
Wusss! Hembusan angin dahsyat ketuar dari tangan Gandara. Karuan saja
hal ini membuat Macan Terbang Berekor Sembilan terkejut bukan
kepalang. Sebagai seorang datuk yang telah penuh pengalaman, dia
langsung tahu, Gandara mempunyai kekuatan berlipat ganda. Sadar akan
adanya bahaya besar yang tengah mengancamnya, Macan Terbang Berekor
Sembilan berusaha menarik kembali serangannya. Tapi....
Wuttt! Begitu serangan datuk sesat itu sudah dekat, tangan kiri
Gandara segera menepak ke bumi.
Wusss! Tiba-tiba angin yang sangat dahsyat berhembus keras dari
tangan kanan Gandara. Merasakan adanya bahaya besar, datuk sesat itu
ingin menarik kembali serangannya. Tapi sudah terlambat...
Blarrr! Blarrr! "Aaakh...!"
Jeritan menyayat hati keluar dari mulut Macan Terbang Berekor
Sembilan seiring dengan luncuran tubuhnya ke belakang. Keadaan kakek
berompi kulit harimau ini laksana sehelai daun kering tertiup angin keras.
Tubuhnya melayang-layang jauh. Dari mulut, hidung, dan telinganya keiuar
darah segar. Brukkk! Bunyi berdebuk keras terdengar ketika tubuh Macan Terbang
Berekor Sembilan jatuh di tanah setelah melayang-layang sejauh beberapa
tombak. Tapi, kakek berompi kulit harimau ini memang bukan tokoh
sembarangan. Dalam keadaan terluka parah seperti itu dia masih berusaha
untuk bangkit meskipun dengan susah-payah.
Namun sebelum usahanya berhasil, tahu-tahu di sebelah kirinya
telah berdiri Gandara.
"Bersiap-siaplah, Macan Terbang. Sekarang saatnya kau menerima
pembalasan dariku atas kekejianmu terhadap guruku!" terdengar dingin
ucapan Gandara.
Usai berkata demildan, pemuda berpakaian kuning itu lalu
meletakkan kakinya di atas dada Macan Terbang Berekor Sembilan. Dan
sekali kaki itu bergerak menekan, terdengar bunyi gemeretak keras tulangbelulang
yang hancur berantakan. Seketika itu pula kepala Macan Terbang
Berekor Sembilan terkulai. Saat itu pula nyawanya melayang.
*** "Guru...! Tenanglah kau di alam baka. Orang yang membunuhmu
telah berhasil kulenyapkan. Sakit hatimu telah berhasil kubalaskan," ucap
Gandara dalam hati sambil mendongakkan kepalanya ke langit. Seakanakan
di sana ada gurunya.
"Hak hak hak...! Luar biasa! Sungguh tidak bisa kupercaya Macan
Terbang Berekor Sembilan bisa tewas. Apalagi oleh seorang tokoh muda
yang tidak terkenal. Siapakah dirimu, Anak Muda"!"
Seketika itu pula Gandara membalikkan tubuhnya. Dan langsung
bersikap waspada. Ucapan keras penuh pengerahan tenaga dalam tinggi itu
telah membuatnya terkejut dan menolehkan kepala. Sama sekali kedatangan
orang itu tidak didengarnya. Apakah sudah sejak tadi dia berada di sini"
Kalau benar demikian, berarti orang itu menyaksikan pertarungannya
menghadapi Macan Terbang Berekor Sembilan.
"Siapa kau" Dan apa maksud ucapanmu itu"!" tanya Gandara tanpa
perasaan hormat sama sekali.
Sikap itu sengaja dipertunjukkan Gandara. Karena hanya dengan
melihat penampilannya, sudah bisa diketahui kalau sosok itu bukan dari
golongan putih.
"Hak hak hak....!"
Lagi-lagi sosok yang mengenakan pakaian serba hitam itu tertawa
terbahak-bahak. Sama sekali tidak dipedulikannya pertanyaan yang
diajukan Gandara.
Gandara merasa tersinggung bukan kepalang. Tapi dicobanya
untuk menguatkan hati. Ditatapnya sekujur tubuh sosok hitam itu lekatlekat.
Dan seketika itu pula dia terperanjat. Ciri-ciri sosok hitam itu amat
mirip dengan orang yang diceritakan murid Perguruan Seribu Kepalan
sebagai orang yang membunuh ayahnya secara licik.
Diperhatikan lagi secara seksama ciri-ciri sosok hitam itu.
Hidungnya yang mirip paruh burung, pakaiannya yang serba hitam, dan
tawanya yang mirip suara burung. Tidak salah lagi! Pasti sosok hitam ini
orang yang telah membunuh ayahnya. Ya! Dia pasti Elang Cakar Lima!
"Kaukah orang yang berjuluk Elang Cakar Lima itu, Manusia
Burung"!" tanya Gandara kasar.
Rupanya makian Gandara mengenai sasarannya. Buktinya tawa
sosok hitam yang tak lain adalah Elang Cakar Lima itu terhenti. Memang,
Elang Cakar Lima paling benci apabila ada orang yang mengejek hidungnya
yang berbentuk aneh itu. Dan kini Gandara telah mengejeknya dengan
makian itu. Maka hatinya pun kalap!
"Rupanya kau merasa paling sakti setelah berhasil mengalahkan
Macan Terbang Berekor Sembilan, Monyet Buduk! Kau harus membayar
mahal atas makianmu itu!" desis Elang Cakar Lima penuh geram.
"Kau salah, Manusia burung! Kaulah yang harus membayar mahal
atas perbuatan kejimu!" bantah Gandara tetap menggunakan makian itu.
"Kau ingat pada Ketua Perguruan Seribu Kepalan yang kau tewaskan secara
licik itu"! Nah! Kau dengar baik-baik, Manusia Burung! Akulah putranya!"
"Ooo..., begitu kiranya, Monyet Buduk! Kalau begitu, biarlah
kurampungkan tugasku! Bersiaplah menyusul ayahmu...!"
"Kaulah yang akan kulenyapkan, Manusia Burung!" tenak Gandara
tak mau kalah gertak.
"Tutup mulutmu, Monyet Buduk! Hiyaaa...!"
Diawali teriakan melengking nyaring, Elang Cakar Lima
melancarkan serangan terhadap Gandara. Jari-jari kedua tangannya
terkembang membentuk cakar burung. Dan Elang Cakar Lima membuka
serangannya dengan melompat tinggi ke udara. Dari atas, tubuhnya
menukik laksana seekor burung elang hendak menyambar mangsa. Kedua
cakarnya meluncur ke arah kepala dan ubun-ubun Gandara.
Gandara yang telah merasa yakin akan kemampuan dirinya, sama
sekali tidak mengelakkan serangan itu. Kemenangan demi kemenangan
yang diperoleh semakin menambah rasa yakin akan kemampuan dirinya.
Oleh karena itu tanpa ragu-ragu dipapaknya serangan Elang Cakar Lima!
Prattt! "Akh!"
Pemuda berpakaian kuning itu menjerit tertahan ketika merasakan
tangannya tergetar hebat akibat benturan itu. Bahkan tanpa dapat ditahannya
lagi, tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang. Gandara sama sekali tidak
memperhitungkan kalau dirinya baru saja bertarung mati-matian melawan
Macan Terbang Berekor Sembilan. Setidak-tidaknya hal itu membuat
tenaganya terkuras. Tidak aneh kalau dalam benturan tadi dia merasakan
akibatnya. Dan sebelum Gandara sempat berbuat sesuatu, lawannya telah
mengirimkan serangan susulan. Masih dalam keadaan tubuh berada di
udara, Elang Cakar Lima meluncurkan kakinya ke dada Gandara.
Namun serangan dahsyat itu tidak sempat merugikan Gandara.
Pemuda berpakaian kuning itu malah sempat mengelakkan serangan itu
dengan cara melompat ke belakang. Tapi Elang Cakar Lima tidak tinggal
diam. Melihat serangannya kembali berhasil dipatahkan, dia tidak merasa
kesal. Dikirimkan serangan susulan bertubi-tubi ke tubuh Gandara.
Kesudahannya, dua jago yang berbeda usia dan aliran itu telah terlibat
dalam pertarungan yang semakin seru.
Elang Cakar Lima benar-benar bernafsu untuk menewaskan
Gandara. Serangan yang dilancarkan susul-menyusul tak henti-hentinya
laksana gelombang laut. Hebatnya, setiap serangan yang dikirimkan begitu
dahsyat dan mampu mengirimkan nyawa Gandara ke alam baka.
Keinginan yang sama pun ada di benak Gandara. Bahkan mungkin
bila dibandingkan, hasrat yang dimilikinya jauh lebih besar. Hanya
sayangnya, saat itu Gandara tidak berada dalam kemampuan tertingginya.
Karena baru saja bertarung mati-matian menghadapi Macan Terbang
Berekor Sembilan. Sehingga kemampuannya telah merosot. Tenaga dalam
maupun kecepatan gerakannya sudah berkurang. Tak aneh kalau Elang
Cakar Lima mampu membaca gerakannya.
Apa lagi dalam keadaan seperti itu Gandara tak berani
menggunakan ilmu 'Kelabang Seribu'nya. Maka kesialan yang diterimanya
pun lengkap. Tak sampai lima puluh jurus bertarung, dia sudah dibuat
terpontang panting ke sana kemari oleh lawannya.
Keadaan Gandara memang mengkhawatirkan. Jarang sekali dia
melancarkan serangan balasan. Tindakan yang dilakukan sebagian besar
hanya mengelak dan menjauhkan diri. Menangkis, apalagi melancarkan
serangan balasan hanya sesekali saja dilakukan. Itu pun apabila keadaan
sangat memaksa. Dan setiap kali terjadi benturan, Gandara pasti terhuyunghuyung.
Menilik dari keadaan ini, sudah dapat dipastikan knhu Gandara
akan roboh di tangan Elang Cakar Lima. Dan melihat dari kedudukan
Gandara yang sangat terhimpit, robohnya Gandara tidak akan lama lagi.
"Hih!"
Takkk! "Akh!"
Gandara mengeluarkan jerit tertahan ketika Elang Cakar Lima
berhasil menyapu kakinya. Begitu keras serangan itu hingga membuat
Gandara terpelanting latuh ke tanah.
Kesempatan baik itu tidak disia-siakan oleh Elang Cakar Lima.
Dengan cepat kakinya dijejakkan ke dada Gandara.
Bresss!

Dewa Arak 48 Tenaga Inti Bumi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tanah langsung amblas sebatas betis, ketika jejakan kaki Elang
Cakar Lima tak mengenai sasaran karena Gandara telah lebih dulu
menggulingkan tubuhnya.
Karuan saja hal itu membuat Elang Cakar Lima semakin
penasaran. Dikejarnya Gandara yang tengah bergulingan, dan kembali
kakinya dijejakkan untuk menghancurkan dada Gandara. Tapi lagi-lagi
Gandara berhasil meloloskan diri dengan cara bergulingan. Elang Cakar
Lima mengejarnya lagi dengan maksud yang sama.
Maka untuk yang kesekian kalinya terlihat pemandangan yang
unik. Elang Cakar Lima yang terus-menerus mengejar sambil menunggu
saat tepat untuk menjejakkan kaki, dan Gandara yang senantiasa berguling
untuk menyelamatkan nyawanya.
Gandara tahu keadaannya sangat berbahaya. Disadari kalau
keadaan terus seperti itu, cepat atau lambat dirinya akan tewas. Harus
ditemukannya cara untuk membebaskan diri dari keadaan seperti itu.
Namun Elang Cakar Lima pun tahu maksud yang terkandung di
hati Gandara. Dia tak menginginkan hal itu terjadi. Maka sedikit pun tidak
diberikannya kesempatan pada pemuda berpakaian kuning itu untuk melaksanakan
niatnya. Terus diburunya Gandara, dan dicecarnya dengan
jejakan-jejakan kaki. Elang Cakar Lima yakin, usahanya pasti akan berhasil.
Tapi sebelum maksud Elang Cakar Lima tercapai....
8 Wusss! Tiba-tiba segumpal angin berhawa panas menyengat, meluruk
begitu kencang ke tubuh Elang Cakar Lima.
Sadar akan kedahsyatan serangan ini. Elang Cakar Lima tak berani
bertindak gegabah. Buru-buru pengejarannya terhadap Gandara dihentikan.
Lalu tubuhnya dilempar ke belakang, berjumpalitan beberapa kali di usara
sebelum akhirnya hinggap berjarak beberapa tombak dari tempat semula.
Kesempatan itu digunakan sebaik-baiknya oleh Gandara untuk
bangkit. Lalu hampir bersamaan waktunya dengan Elang Cakar Lima,
Gandara mengarahkan pandangan ke arah orang yang telah menolongnya
dengan cara melemparkan serangan jarak jauh itu.
"Dewa Arak...!" desis Gandara kaget
Orang yang menyelamatkan Gandara memang Dewa Arak.
Dengan sikap tenang, pemuda berambut putih keperakan itu berdiri. Di
sebelahnya tampak Melati. Juga dengan sikap yang sama tenangnya.
"Ooo..., jadi kau rupanya orang yang berjuluk Dewa Arak itu"!"
tanya Elang Cakar Lima sambil merayapi sekujur tubuh Dewa Arak dengan
pandang mata penuh selidik.
"Benar," jawab Dewa Arak singkat
"Hak hak hak...! Pucuk dicinta ulam tiba! Sama sekali tak
kusangka akan bertemu denganmu di sini, Dewa Arak! Tak sia-sia aku
mencarimu! Sekarang bersiaplah kau, Dewa Arak!"
"Sejak tadi pun aku sudah siap!" tandas Dewa Arak mantap.
"Bagus! Hiyaaat..!"
Tanpa menunggu lebih lama lagi, Elang Cakar Lima langsung
melancarkan serangan terhadap Dewa Arak. Sadar kalau lawan yang
dihadapinya merupakan tokoh tangguh, tanpa ragu-ragu ilmu andalannya
segera dikeluarkan.
Dewa Arak tahu kalau lawan telah menggunakan ilmu andalan,
dan tanpa ragu-ragu lagi guci araknya yang tergantung di punggungnya
diambil, kemudian dituangkan ke mulutnya.
Gluk..., gluk..., gluk...!
Bunyi tegukan terdengar ketika arak itu melewati tenggorokan,
dalam perjalanan menuju ke perut Sesaat kemudian, hawa hangat pun
berputaran di ba-wah perutnya. Lalu perlahan-lahan hawa itu merayap naik
ke atas. Seketika itu pula kedudukan kaki Dewa Arak sempoyongan ke sana
kemari. Ini menjadi pertanda kalau pemuda berambut putih keperakan itu
telah siap dengan penggunaan ilmu 'Belalang Sakti' andalannya.
Ketika tubuh Dewa Arak oleng ke sana kemari itulah, serangan
Elang Cakar Lima meluncur. Dan seperti biasanya, datuk sesat yang
memiliki ciri-ciri mirip burung itu membuka serangannya dengan sebuah
lompatan ke udara. Dan ketika tubuhnya telah berada di atas, langsung
menukik sambil melancarkan serangan cakarnya menuju kepala dan ubunubun
lawan. Dewa Arak tidak berani bertindak gegabah. Disadari kalau
kedahsyatan dan perkembangan ilmu lawan belum diketahuinya. Oleh
karena itu, dia tidak berani menangkis. Yang dilakukannya saat itu adalah
mengelak. Bahkan elakan yang dilakukan hanya mengelak sambil menjauhi
tempat lawan. Dewa Arak melompat jauh ke belakang sehingga serangan Elang
Cakar Lima tidak mengenai sasaran. Tapi seperti kejadian yang sudahsudah,
melihat serangannya berhasil dielakkan lawan, Elang Cakar Lima
tidak berdiam diri. Segera dikirimkan serangan susulan begitu kakinya telah
mendarat di tanah.
Sana seperti tindakan yang dilakukan sebelumnya, menghadapi
serangan susulan itu pun Dewa Arak tetap tidak melakukan tangkisan. Yang
dilakukannya hanya mengelakkan serangan itu. Hal yang sama pun
dilakukannya ketika menghadapi serangan-serangan selanjutnya. Dewa
Arak bermaksud melihat kedahsyatan perkembangan ilmu lawan sebelum
mulai melakukan perlawanan.
Karuan saja tindakan Dewa Arak membuat Elang Cakar Lima
murka. Dia tersinggung karena mengira Dewa Arak merendahkannya.
Akibatnya, serangan-serangan yang dilancarkannya pun semakin dahsyat.
Selama hampir tiga jurus hanya itu yang dilakukan Dewa Arak.
Mengelak dan mengelak. Baru pada jurus keempat, setelah cukup
mengetahui kedahsyatan dan perkembangan ilmu lawannya, Dewa Arak
mulai melancarkan serangan balasan.
Dan ketika Dewa Arak melancarkan serangan balasan, terasa oleh
Elang Cakar Lima betapa beratnya daya serang Dewa Arak. Serangan
pemuda berambut putih keperakan itu mengingatkannya akan gelombang
laut. Begitu kuat dan penuh dengan tekanan.
Elang Cakar Lima tak tahu kalau itulah jurus 'Belalang Sakti'.
Setiap kali Dewa Arak melakukan penyerangan terasa beratnya oleh Elang
Cakar Lima. Sebaliknya, setiap kali serangan balasan dilancarkan, dengan
mudah pemuda berambut putih keperakan itu memunahkannya dengan
elakan yang aneh. Betapa tidak" Tak jarang Dewa Arak mengelak sambil
menenggak araknya. Demikian pula ketika melakukan penyerangan.
Yang lebih membuat hati Elang Cakar Lima takjub bercampur
heran, ketika melihat Dewa Arak malah seperti memapak datangnya
serangan yang tengah meluncur ke tubuhnya. Namun anehnya, justru
dengan melakukan tindakan seperti itu serangan yang dilancarkannya selalu
meleset dari sasaran.
Elang Cakar Lima benar-benar dibuat kelabakan. Ilmu yang
dimiliki Dewa Arak benar-benar sulit diduga perubahannya. Kadangkadang
keras penuh kekuatan, tapi tak jarang lemas seperti tidak
mengandung tenaga sama sekali. Perubahan dari keras ke lembut itu
berlangsung demikian mendadak sehingga tak bisa diduga.
Padahal Elang Cakar Lima pernah bertarung dengan tokoh sakti
seperti Prakasa. Namun tetap saja harus diakuinya kalau tekanan serangan
Ketua Perguruan Seribu Kepalan itu tak seberat tekanan serangan Dewa
Arak. Bahkan biasanya dia mengetahui ke mana serangan selanjutnya akan
ditujukan. Hal seperti itu tidak pernah bisa dilakukannya terhadap Dewa
Arak. Perkembangan gerakan Dewa Arak sama sekali tak bisa diduganya.
Padahal dalam hal tenaga dalam dan kecepatan gerak, Dewa Arak
belum tentu berada di atas Prakasa. Tapi harus diakuinya kalau pemuda
berambut putih keperakan itu memiliki sebuah ilmu yang mempunyai mutu
amat tinggi. Lebih patut kalau disebut mukjizat!
Pertarungan pun semakin seru dan begitu menarik. Apalagi mereka
bertarung dengan kecepatan tinggi sehingga yang terlihat hanyalah
kelebatan bayangan ungu dan hitam yang saling belit. Hanya kadangkadang
kedua bayangan itu saling pisah. Itu pun berlangsung sebentar saja.
Karena sesaat kemudian, telah saling belit kembali.
"Hiaaat..!"
"Yeaaat...!"
Wuuttt! Bunyi angin menderu, mencicit, dan mengaung menyemaraki
pertarungan yang tengah berlangsung. Itu pun masih ditambah lagi dengan
bunyi tegukan Dewa Arak menenggak araknya. Masing-masing pihak
memang mengerahkan seluruh kemampuan yang dimiliki.
Kini pertarungan telah menginjak enam puluh jurus, dan selama itu
belum terlihat ada pihak yang mulai terdesak. Pertarungan masih berjalan
seimbang.Tapi lambat laun Dewa Arak nampak mulai mampu menguasai
keadaan pertarungan. Tangan dan kaki, guci, dan semburan-semburan
araknya merupakan satu kesatuan yang mampu menggilas habis semua
pertahanan musuh. Dan hal itu dirasakan sendiri oleh Elang Cakar Lima.
Padahal saat itu, Elang Cakar Lima telah menghunus senjatanya. Sebuah
keris hitam legam yang mempunyai tujuh luk.
Dan menginjak jurus keseratus, tanda-tanda kemenangan untuk
Dewa Arak mulai tampak. Serangan-serangan yang dilancarkan Elang
Cakar Lima mulai mengendur. Gerakan yang dilakukannya lebih banyak
untuk menghindar dan menjauhkan diri dari serangan Dewa Arak
Hal yang sebaliknya dialami Dewa Arak. Serangan yang
dilancarkannya semakin meningkat. Yang lebih gila lagi, kekuatan yang
terkandung dalam serangan itu sama sekali tak berkurang. Masih tetap
sedahsyat semula. Seakan-akan Dewa Arak mempunyai sumber tenaga
cadangan. Dan hal itu memang benar! Pemuda berambut putih keperakan
itu memang mempunyai sumber tenaga cadangan, dari arak dalam gucinya.
Setiap kali araknya diminum, seketika itu pula kekuatannya pulih kembali
seperti sediakala.
Keadaan seperti itu berjalan terus selama pertarungan. Elang Cakar
Lima semakin terdesak dan kewalahan. Apalagi ketika Dewa Arak dengan
cepat terus mendesaknya.
Namun, Elang Cakar Lima bukan orang bodoh. Dia tahu kalau
keadaan seperti itu berlangsung terus, kekalahan sudah jelas akan
dideritanya. Dan bukan mustahil dirinya akan tewas di tangan pendekar
muda yang sakti itu. Maka diputuskan menggunakan cara lain nntuk
mencapai kemenangan. Dengan sabar, ditunggunya kesempatan untuk
menggunakan taktik itu.
Dan kesempatan yang ditunggunya tiba, ketika pada jurus
keseratus dua puluh tiga Dewa Arak melancarkan sapuan kaki kanan.
Wusss! Dengan sebuah lompatan yang dilanjutkan dengan bantingan tubuh
di tanah untuk kemudian bergulingan, Elang Cakar Lima melancarkan
siasatnya. Tangannya masuk ke balik baju, lalu secepat kilat dikibaskan ke
arah Dewa Arak.
Siut, siut..! Seketika itu pula beberapa buah benda bulat sebesar telur bebek
meluncur ke tubuh Dewa Arak.
Dewa Arak terkejut bukan kepalang melihat serangan yang sama
sekali tak disangka-sangka itu. Namun, ketika melihat jenis benda itu, dia
langsung tahu. Karena pemuda berambut putih keperakan itu telah pernah
bentrok dengan tokoh yang mempunyai senjata seperti itu. Oleh karena itu,
Dewa Arak tak berani bertindak gegabah. Dengan cepat tubuhnya dibanting
ke tanah, lalu bergulingan. Sehingga benda-benda bulat itu menyambar
lewat jauh di atas kepalanya.
Tindakan Dewa Arak tidak hanya berhenti sampai di situ. Sambil
menggulingkan tubuh, dilancarkannya serangan balasan ke arah Elang
Cakar Lima. Kedua tangannya beberapa kali menghentak kuat
Wusss! Gumpalan angin kencang berhawa panas menyengat, meluruk ke
arah Elang Cakar Lima. Bertubi-tubi serangan itu dilancarkan. Maka Elang
Cakar Lima pun kelabakan bukan kepalang. Dengan susah payah, tubuhnya
melompat ke sana kemari mengelakkan setiap serangan Dewa Arak.
Usaha Elang Cakar Lima tidak sia-sia. Serangan-serangan Dewa
Arak berhasil dielakkan semua. Bahkan dia masih sanggup mengirimkan
serangan balasan dengan lontaran benda-benda bulatnya. Kekeras kepalaan
sikap Elang Cakar Lima membuat Dewa Arak kehilangan kesabaran. Maka
dipapaknya benda-benda bulat itu dengan pukulan jarak jauhnya, jurus
'Pukulan Belalang'.
Glarrr! Glarrr...!
Bunyi-bunyi keras menggelegar terdengar ketika angin pukulan
Dewa Arak membentur benda-benda bulat itu, sehingga menimbulkan
ledakan. Sampai akhirnya semua benda bulat yang diluncurkan Elang Cakar
Lima habis dihancurkan Dewa Arak.
Melihat Elang Cakar Lima kehabisan senjata andalannya, Dewa
Arak kembali meluruk ke arahnya. Maka pertarungan pun berlangsung
kembali. Tapi hanya dalam beberapa gebrakan Elang Cakar Lima telah
terjepit, seperti pada jurus-jurus sebelumnya. Meskipun demikian, Elang
Cakar Lima tetap melakukan perlawanan mati-matian.
"Hih!"
Meskipun keadaannya sudah terjepit, Elang Cakar Lima yang keras
hati memaksakan diri melancarkan sebuah serangan. Tangan kanannya
membabatkan keras ke leher Dewa Arak.
Wuttt! Sabetan keris itu menyambar lewat di atas kepala, ketika Dewa
Arak menundukkan tubuhnya. Ketika itu juga Dewa Arak menghantamkan
gucinya ke dada Elang Cakar Lima.
Bukkk! "Hugh!"
Keluhan tertahan terdengar dari mulut Elang Cakar Lima ketika
guci Dewa Arak menghantam telak dadanya. Tubuhnya terjengkang ke
belakang dengan darah mengalir deras dari mulutnya. Jelas, Elang Cakar
Lima mengalami luka dalam yang parah.
Dan seperti telah diatur, terhuyungnya tubuh Elang Cakar Lima
justru mendekati Gandara. Tanpa membuang-buang waktu lagi, Gandara
langsung menghentakkan kedua tangannya ke depan.
Bukkk! "Hugh!"
Untuk yang kedua kalinya terdengar kehihan tertahan. Hentakan
kedua tangan terbuka Gandara telak dan keras sekali menghantam
punggung Elang Cakar Lima. Seketika itu pula tubuhnya melayang deras.
Dan.... Brukkk! Setelah melayang-layang sejauh beberapa tombak, akhirnya tubuh
Elang Cakar Lima ambruk di tanah diiringi bunyi berdebuk keras. Sesaat
lamanya datuk sesat yang memiliki ciri-ciri mirip burung itu menggelepargelepar.
Kemudian diam tak berkutik lagi bersama nyawanya yang
melayang. "Hhh...!"
Hampir berbareng dari mulut Dewa Arak dan Gandara keluar
helaan napas lega. Hanya saja Gandara lalu menengadahkan kepalanya ke
langit "Kau lihat. Ayah. Orang yang telah membunuhmu secara keji
berhasil kutumpas. Sakit hatimu telah kubalaskan. Tenanglah kau di alam
baka, Ayah," ujar Gandara pelan.
Setelah itu, Gandara mengalihkan perhatian ke Dewa Arak.
"Sekarang mari kita selesaikan urusan di antara kita Gandara.
Bukankah kau hendak membalas dendam atas kematian gurumu padaku"!"
langsung saja Dewa Arak menanyakannya.
"Hhh...!" Gandara menghembuskan napas berat sebelum akhirnya
menggelengkan kepala sambil tersenyum malu. "Maafkan atas tindakan
cerobohku, Dewa Arak! Sekarang aku tahu, bukan kau pembunuh guruku,
melainkan Macan Terbang Berekor Sembilan. Jadi tak ada gunanya lagi kita
bertarung. Tapi, kalau kau hendak membalas dendam atas perlakuanku yang
tak pantas padamu, silakan! Percayalah, aku tak akan melawan!"
Dewa Arak dan Melati saling pandang menerima sambutan yang sama sekali tidak
disangka-sangka. Keduanya merasa terkejut bukan kepalang. Terutama sekali


Dewa Arak 48 Tenaga Inti Bumi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Melati. Sama sekali tidak diduga kalau masalah itu telah menjadi jelas sendiri.
"Makanya jangan sombong, mentang-mentang memiliki kepandaian lalu bertindak
semaunya tanpa memperdulikan ucapan orang lain," omel Melati.
Rupanya gadis berpakaian putih itu masih dongkol atas kejadian dulu. Meskipun
Gandara telah meminta maaf, tetap saja belum semua rasa tidak senangnya menguap.
"Lupakanlah, Gandara! Tak ada hal yang perlu dimaafkan.
Kejadian waktu itu hanya salah paham belaka. Dan aku tak merasa dendam. O, ya.
Kuharap kau tak tersinggung atas ucapan kawanku ini," ujar Dewa Arak.
"Tentu saja tidak, Dewa Arak," sahut Gandara sambilmengembangkan senyum lebar.
Dan sesaat kemudian, tiga orang muda yang sama-sama memiliki kepandaian tinggi
itu terlibat dalam percakapan di tengah suasana sepi Desa Rotan. Semua penduduk
desa itu telah pergi karena ketakutan oleh seekor harimau loreng yang mengamuk.
Matahari kini telah mulai tenggelam di barat. Sebentar lagi hari pun akan
berubah gelap, karena malam segera turun menyelimuti persada.
SELESAI Pembuat Ebook :
Scan buku ke djvu : Abu Keisel
Convert : Abu Keisel
Editor Fuji Ebook oleh : Dewi KZ
http://kangzusi.com/ http://dewikz.byethost22.com/
http://kangzusianfo/ http://ebook-dewikz.com/
Kembalinya Sang Pendekar Rajawali 40 Jaka Sembung 1 Bajing Ireng Maling Budiman Pendekar Penyebar Maut 18
^