Pencarian

Pertarungan Di Pulau Api 1

Dewa Arak 50 Pertarungan Di Pulau Api Bagian 1


PERTARUNGAN DI PULAU API
oleh Aji Saka Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting : Tuti S.
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy. ataumemperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Aji Saka Serial Dewa Arak
dalamepisode 050
: Pertarungan di Pulau Api
128 hal. ; 12 x 18 cm.
Scan buku ke djvu : Abu Keisel
Convert : Abu Keisel
Editor : Molan_150
Ebook pdf oleh : Dewi KZ
http://kangzusi.com/ http://dewi-kz.info/
http://kangzusi.info/ http://cerita_silat.cc/
1 "Keparat! Monyet Busuk! Kadal Buntung!"
Sambil mengeluarkan makian-makian kotor
penuh kemarahan, seorang kakek yang mengenakan pakaian terbuat dari benang emas, menyeret
perahunya ke pinggir pantai. Pakaiannya tampak kuning berkilauan. Apalagi, saat itu tertimpa sinar matahari
pagi. Dengan masih mengeluarkan makian, diikatnya perahu itu pada sebuah karang es yang ada di situ. Lalu mengedarkan
pandangannya ke sekeliling tempat itu. Dan yang tampak jelas hanya es!
"Akhirnya berhasil juga aku sampai di sini.
Hhh. .! Selamat bertemu denganku, Pulau Es.
Mudah-mudahan aku tidak kedahuluan Raja
Monyet Muka Hitam. Kalau tidak, dia akan lebih dulu mendapatkan pusaka-pusaka
Pulau Es,"
gumam kakek berpakaian kuning itu khawatir.
Kakek itu mengayunkan langkah, setelah
sesaat mengawasi keadaan
sekitar pulau. Langkahnya tampak hati-hati. Sepasang matanya yang tajam berkilau dan terkadang
mencorong seperti mata seekor harimau dalam gelap,
diedarkan ke sana kemari. Agaknya, kakek
berpakaian kuning itu telah siap siaga menghadapi segala kemungkinan yang akan
terjadi. Mendadak.. .
Blosss! Wusss! "Hei. .!"
Kakek berpakaian kuning berseru kaget ketika tanah ber-es yang diinjaknya
amblas. Apalagi ketika dari rekahan tanah itu menyembur api.
Untung dia telah waspada sejak semula. Sehingga kakek itu dapat menghindar
dengan melompat ke belakang untuk menyelamatkan diri. Api itu
menyembur di depannya.
"Gila!" ujar kakek berpakaian kuning penuh kengerian.
Tarikan wajahnya kelihatan menyiratkan ketegangan. Kejadian itu rupanya telah mengejutkan hatinya.
"Apa aku tidak salah lihat"!" tanya kakek berpakaian kuning. Sepasang matanya
tertuju ke arah api yang menyembur keluar laksana air
mancur! Untuk beberapa saat, kakek itu terpaku di
tempatnya. Rasa tidak percaya terlihat jelas pada wajah dan sorot matanya.
"Aneh. .," untuk yang ke sekian kali ucapan tidak percaya keluar dari mulut
kakek itu. Bahkan, kali ini disertai dengan gelengan
kepalanya. "Sulit kupercaya tempat ini mengandung api alam. Luar biasa! Tak masuk
akal!" Setelah cukup lama tenggelamdalam perasaan
kagum dan telah mampu menguasai diri, kakek
itu kembali melangkah memasuki pulau.
Langkah kakek itu kelihatan lebih berhati-hati dari sebelumnya. Selangkah demi
selangkah, dia berjalan menjauhi pantai. Tapi pemandangan
yang ditemuinya tetap sama. Tanah yang tertutup es, gundukan-gundukan es dan
bukit-bukit es.
Semua es. Di mana-mana es.
"Hm. .!"
Kakek berpakaian kuning menggumam pelan
sambil mengangguk-anggukkan kepala, ketika
melihat dua buah tiang es setinggi dua tombak.
Tiang itu mengapit sebuah jalan sekitar lima tombak
di depannya. Dari bentuk dan keadaannya, agaknya dua buah tiang itu
merupakan pintu gerbang. Tanpa ragu-ragu dan tetap waspada, kakek itu
mengayunkan langkah menghampari. Tapi ketika jarak dirinya dengan kedua tiang es
tinggal dua tombak lagi, mendadak muncul sosok-sosok tubuh berpakaian merah.
Kakek berpakaian kuning tampak tidak
terkejut. Sebab, dia sudah menduga sebelumnya kalau pulau ini berpenghuni.
Dengan tenang, langkahnya terus diayunkan. Demikian pula
sosok-sosok berpakaian merah. Kedua pihak
terlihat saling mengawasi dengan penuh selidik.
Dan kakek itu tidak kelihatan kaget melihat ciri-ciri sosok-sosok berpakaian
merah yang berjumlah lima orang itu. Padahal, ciri-ciri mereka cukup aneh. Kulit
mereka kemerahan!
Begitu jarak antara mereka tinggal tiga
tombak, lima sosok berpakaian merah yang tidak lain para penghuni Pulau Api,
melepaskan lilitan cambuk berduri pada pinggangnya. Jelas, mereka telah siap
bertarung! Tentu maksud orang-orang berpakaian merah
itu telah diketahui kakek berpakaian kuning.
Tapi, dia tidak kelihatan gentar. Dan dengan tetap tenang kakinya diayunkan
seperti tidak terjadiapa-apa.
Sementara itu, kelima penghuni Pulau Api
sudah menyebar. Dalam waktu singkat, kakek
berpakaian kuning telah terkurung di tengah-
tengah. Hingga, terpaksa kakek itu menghentikan langkahnya. Lalu sepasang
matanya yang tajam berkilat
merayapi sosok-sosok tubuh pengeroyoknya. Tampak olehnya, wajah mereka
bersih dari bulu. Tidak ada seorang pun yang berkumis dan berjenggot, apalagi
bercambang! "Siapa kalian" Dan apa maksud kalian
mencegat perjalananku"!"
tanya kakek berpakaian kuning tanpa rasa takut sedikit pun.
Dan jawaban pertanyaannya adalah. .
Ctar, ctar, ctar!
Bunyi keras menggelegar terdengar ketika
lima orang berpakaian merah melecutkan
cambuknya. Dan sebelum gema bunyi itu lenyap, ujung-ujung cambuk itu telah
meluncur ke berbagai bagian berbahaya di tubuh kakek
berpakaian kuning.
"Hih!"
Kakek berpakaian kuning segera menjejakkan
kaki. Dan sesaat kemudian, tubuhnya melayang ke
atas. Hingga, lecutan-lecutan
cambuk mengenai tempat kosong di bawah kakinya.
Jliggg! Mantap dan terlihat gagah kakek itu
mendaratkan kakinya di luar kepungan. Tapi, itu hanya berlangsung sesaat.
Sebentar kemudian, dengan sekari gerak kelima penghuni Pulau Api berhasil
mengurungnya kembali. Kini kakek
berpakaian kuning tidak mau bertindak ceroboh lagi. Cepat dicabutnya senjata
andalannya yang selalu terselip di pinggang. Sebuah suling emas!
Dan secepat itu pula senjatanya diputar di
depan dada. Luar biasa! Terdengar bunyi
berirama. Nikmat didengar telinga. Seakan-akan kakek berpakaian kuning itu
meniupnya. Tapi, kelima
orang berpakaian merah tidak mempedulikannya. Kembali mereka melecutkan
cambuk. Ctar, ctar, ctar!
Kakek berpakaian kuning tidak segera
bertindak. Dengan tenang dibiarkan ujung-ujung cambuk menyambar lebih dekat.
Baru setelah itu, suling di tangannya diputar sedemikian rupa
hingga lenyap bentuknya. Yang terlihat hanya segulungan sinar keemasan yang
mengelilingi sekujur tubuh kakek itu, seperti sebuah benteng yang memancarkan sinar!
Trak, trak, trak!
Terdengar bunyi benturan keras berkali-kali
ketika suling itu berbenturan dengan ujung lima batang cambuk. Akibatnya sungguh
hebat! Tubuh kelima penghuni Pulau Api langsung terhuyung-huyung ke belakang
dengan telapak tangan terasa panas dan pedas. Sementara kakek berpakaian
kuning tidak terpengaruh sedikit pun! Tenaga dalam kakek itu agaknya jauh lebih
unggul dari lawan-lawannya.
Hal ini diketahui para penghuni Pulau Api.
Tapi mereka tidak menjadi gentar. Dengan cepat mereka segera melancarkan
serangan-serangan
susulan. Bunyi meledak-ledak terdengar dari
lecutan cambuk mereka. Serangan itu langsung mendapat
sambutan hangat dari kakek berpakaian kuning. Tak pelak lagi, pertarungan pun kembali berlangsung. Sebuah
pertarungan yang penuh dengan bunyi riuh rendah.
*** Mengetahui kalau kakek berpakaian kuning
itu bukan lawan yang ringan, maka tanpa ragu-ragu
lagi orang-orang berpakaian merah membentuk penyerangan secara teratur. Dengan taktik seperti itu, mereka
kelihatan seperti menjadi satu! Dengan kata lain, seperti seorang yang memiliki
tangan dan kaki lima pasang!
Dan hasilnya langsung dirasakan kakek
berpakaian kurung! Semula dia bersikap memandang rendah, ketika dalam segebrakan
telah membuat kepungan mereka berantakan.
Tapi sekarang" Hasil seperti itu sulit didapatkannya kembali.
Memang, kerja sama yang dilakukan orang-
orang berpakaian merah itu sungguh luar biasa!
Terkadang serangan dilakukan secara bersamaan. Tiga di antara mereka bertindak
sebagai penyerang, sedangkah sisanya bertugas memusnahkan
serangan balasan kakek berpakaian kuning
Tapi, tak jarang serangan

Dewa Arak 50 Pertarungan Di Pulau Api di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dilakukan perorangan. Dengan taktik susul-menyusul tanpa henti seperti gelombang laut.
Yang lebih hebat, model serangan perorangan itu berbeda-beda.
Seorang melakukan serangan dengan lucutan,
yang lain dengan cambuk menegang kaku, dan
sisanya membuat senjata lemas dan mati itu
seperti hidup! Mereka dapat membuat cambuk itu meliuk-liuk dan mematuk-matuk
seperti seekor ular!
Banyaknya model-model serangan, membuat
kakek berpakaian kuning sulit untuk menentukan lanjutan serangan itu. Selain itu juga banyak menguras tenaga dan
pikiran. Baik serangan secara bersamaan atau perorangan,
semua memaksa kakek berpakaian kuning untuk
memusatkan perhatian menghindarinya. Suling
emasnya dikelebatkan ke sana kembari mematahkan setiap serangan, dan sekaligus
melancarkan serangan balasan. Menarik dilihat dan
gaduh di telinga, pertarungan itu berlangsung. Bunyi meledak-ledak dari cambuk, ditingkahi bunyi melengking
nyaring seperti
suling ditiup, senantiasa terdengar.
Jurus demi jurus
terus berlalu. Kini pertarungan memasuki jurus kedua puluh.
Meskipun demikian, tetap belum bisa dipastikan pihak mana yang akan keluar
sebagai pemenang.
Sebab, pertarungan masih berlangsung sengit.
Rupanya, kenyataan ini membuat kakek
berpakaian kuning murka! Betapa tidak" Tenaga dan ilmu meringankan tubuhnya
berada jauh di atas lawan-lawannya. Tapi, kenyataannya dirinya sulit untuk
merobohkan mereka. Dan semua itu disebabkan oleh kerja sama yang baik dari
lawan-lawannya.
Hingga begitu pertarungan memasuki jurus
kedua puluh lima, namun tetap saja belum
mampu menguasai keadaan, kakek berpakaian
kuning kehilangan kesabaran. Maka diputuskannya untuk menggunakan cara lain.
Padahal, semula dia tidak bermaksud untuk
mengeluarkannya. Sebab, tingkat kemampuan
lawan-lawannya berada jauh dibawahnya.
"Hih!"
Kakek itu melempar tubuhnya ke belakang
dan bersalto beberapa kali. Tampaknya kakek itu hendak menjauhkan diri dari
lawan-lawannya.
Melihat hal itu, lima orang penghuni Pulau Api tidak tinggal diam. Mereka tahu,
hanya ada dua kemungkinan
yang menyebabkan lawan menjauhkan diri. Pertama, melarikan diri. Dan kedua, hendak menggunakan ilmu
andalan! Kedua-duanya tidak dikehendaki mereka. Maka, pengejaran pun langsung dilakukan!
Jangankan melarikan diri, memperbaiki kedudukan pun
tidak akan mereka biarkan!
Tapi karena kakek berpakaian
kuning memiliki ilmu meringankan tubuh jauh di atas orang-orang berpakaian merah, maka
dia berhasil menjauhkan diri dari lawan-lawannya.
Jliggg! Ringan tanpa suara kakek itu mendaratkan
kedua kakinya di tanah. Kemudian segera
menempelkan sulingnya di mulut. Ujung jari-jari tangannya ditutupkan ke lubang-
lubang yang terdapat pada badan suling. Terdengar bunyi
melengking ketika kakek berpakaian kuning
meniupnya. Sedang pada saat itu, lima orang
penghuni Pulau Api tengah meluruk ke arah
kakek itu. Semula suara suling memang cukup nikmat
didengar. Tapi sekejap kemudian nadanya
berubah tinggi. Melengking nyaring. Kelihatannya sepele saja. Tapi akibatnya benar-benar menakjubkan! Lima penghuni
Pulau Api yang tengah meluruk ke arahnya langsung
mengurungkan maksud mereka. Betapa tidak"
Bunyi tiupan suling kakek berpakaian kuning
terasa sakit di telinga dan dada kelima orang itu.
Semakin lama bunyi suling semakin tinggi dan tidak enak didengar telinga! Dan
semakin lama, guncangan pada dada dan rasa sakit yang
melanda telinga makin menjadi-jadi.
Akibatnya, kelima penghuni Pulau Api tidak
bisa melanjutkan perlawanan lagi. Mereka segera duduk
bersila, mengambil sikap semadi. Punggung diluruskan dan kedua tangan dipertemukan di depan dada. Tampaknya kelima orang itu berusaha melawan pengaruh
suara suling dengan pengerahan tenaga dalam. Dengan sendirinya bentuk pertarungan
berubah. Dan kelihatan tidak menarik lagi. Satu pihak berdiri sambil meniup suling, dan
lawannya duduk bersila. Kedua belah pihak sibuk dengan urusan masing-masing dalam jarak satu
tombak! Di awal-awal pertarungan yang menitikberatkan pada kekuatan tenaga dalam itu, belum dapat dipastikan pihak
mana yang akan menang. Tapi sebentar kemudian tanda-tanda
keunggulan mulai terlihat!
Wajah lima orang penghuni Pulau Api tampak
semakin memerah. Bahkan dari atas kepala
mereka mengepul uap putih. Mula-mula tipis, tapi semakin lama semakin banyak dan
tebal. Mereka mengeluarkan tenaga dalam di luar batas
kemampuan mereka. Tidak hanya itu saja yang
terjadi. Dari kedua telinga dan lubang hidung orang-orang berpakaian merah
mengalir darah segar. Jelas, mereka telah terluka dalam! Darah yang keluar tampak semakin
banyak dan deras.
Hingga dapat dipastikan robohnya mereka tinggal menunggu waktu saja. Dan dugaan
itu memang tidak salah! Sesaat kemudian. ..
"Akh!"
Jeritan menyayat hati keluar dari mulut salah seorang penghuni Pulau Api. Tubuh
orang itu mengejang sesaat. Kemudian terkulai lemas!
Orang itu tewas dalam keadaan masih duduk
bersila. Belum lagi gema teriakan orang malang itu lenyap, jeritan menyayat
lainnya segera menyusul. Berturut-turut empat orang berpakaian merah mengalamihasil yang sama.
"Ha ha ha.. !"
Kakek berpakaian kuning tertawa terbahak-
bahak melihat lawan-lawannya terkulai tanpa
nyawa. Masih dengan tawa yang belum putus,
diselipkannya suling itu di pinggang. "Itulah ganjaran bagi orang yang berani
menentang Raja Iblis Baju Emas! Ha ha ha. .!"
Setelah menatap mayat kelima lawannya
sesaat, kakek berpakaian kuning yang ternyata berjuluk Raja Iblis Baju Emas,
mengayunkan langkah untuk meneruskan maksudnya yang
sempat tertunda. Tapi belum jauh ia melangkah, tiba-tiba kakek itu menyelinap ke
celah-celah dinding tebing yang ada di dekatnya. Rupanya, kakek itu mendengar
ada suara orang berbincang-bincang.
"Bodoh! Tolol! Mengapa kalian bisa gagal mendapatkan pusaka-pusaka itu"! Sia-sia
saja aku bersusah payah memancing Sangga Buana
keluar dari sarangnya!"
Terdengar jelas oleh Raja Iblis Baju Emas
ucapan bernada kemarahan itu. Kepalanya
dikeluarkan sedikit dari tempat persembunyiannya untuk melihat pemilik suara itu. Tampak tiga sosok berpakaian
nerah tengah melangkah tergesa-gesa. Dua di antara mereka mengenakan
sabuk lebar merah
menyala. Sedangkan yang seorang lagi, di samping
mengenakan sabuk juga ikat kepala. Dan
berwarna merah pula.
"Maafkan kami, Ketua," jawab salah seorang yang pinggangnya dililit sabuk.
"Kalau tidak terjadi hal-hal di luar dugaan itu, kami mungkin sudah membawa
pusaka-pusaka itu ke hadapan
Ketua." "Benar, Ketua. Sekelompok orang berpakaian hitam yang dipimpin seorang kakek
berwajah hitam dan mirip monyet tiba-tiba datang,"
sambung temannya. "Di samping jumlah mereka banyak, kakek berwajah hitam itu
hebat bukan main. Padahal, saat itu kami tengah direpotkan oleh orang-orang
Pulau Es. .."
"Singkatnya,
kalian gagal mendapatkan
pusaka-pusaka itu kan?" potong kakek berikat kepala merah, yang ternyata
pimpinan orang-orang berpakaian merah.
"Benar, Ketua. Pusaka-pusaka itu dilarikan orang berwajah monyet itu," jelas dua
lelaki berikat pinggang lebar sambil menundukkan
kepala. Tampak jelas kalau mereka merasa
bersalah. "Hhh. .!" kakek berwajah kelimis itu, menghela napas berat "Sia-sia saja aku
susah-payah memancing
Sangga Buana meninggalkan istananya."
Ada nada kekecewaan yang sangat dalam
suara pimpinan orang-orang berpakaian merah
itu. Ucapan itu tidak mendapatkan tanggapan
dari dua orang berikat pinggang merah. Mereka hanya menundukkan kepala.
Sementara, di tempat persembunyiannya Raja
Iblis Baju Emas kelihatan terperanjat. Meskipun hanya
itu pembicaraan yang tertangkap telinganya, karena ketiga orang itu telah semakin jauh meninggalkannya, tapi
kakek itu sudah
mengerti. Banyak keterangan yang didapatkannya dari pembicaraan tiga orang
berpakaian merah itu.
Dan kesimpulan yang berhasil ditarik dari
pembicaraan itu membuatnya terperanjat! Betapa tidak" Ternyata tempat yang
didatanginya ini bukan Pulau Es! Sungguh kenyataan yang
mengagetkan hati!
Kejutan yang kedua adalah pusaka-pusaka
Pulau Es telah dicuri orang! Dan semua itu
mencapai puncaknya ketika mendengar ciri-ciri orang yang berhasil membawa lari
pusaka-pusaka itu. Meskipun hanya mendengar ciri-cirinya, tapi kakek itu
langsung bisa menebak siapa orang itu.
Ya! Raja Monyet Muka Hitam.
Keparat! Tak kusangka Raja Monyet Muka
Hitam berhasil mendahuluiku. ., ucap Raja Iblis Baju
Emas dalam hati. Kecil sekali kemungkinannya aku berhasil merebutnya kembali. Meskipun demikian, apa pun yang
terjadiaku harusberusaha merebutnya. Rupanya, dia dan gerombolannya masih di
Pulau Es. Tunggulah, Raja Monyet! Aku akan datang dan
merebut pusaka-pusaka itu!


Dewa Arak 50 Pertarungan Di Pulau Api di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Setelah mengambil keputusan seperti itu, Raja Iblis Baju
Emas bermaksud kembali ke perahunya. Tapi. . Ah! Aku lupa menyembunyikan mayat kelima
orang tadi. Tiga orang itu pasti akan melihatnya.
Dan mereka akan tahu kalau ada orang yang
telah menyelundup kemari. Lebih baik aku
bersembunyi dulu, ucap Raja Iblis Baju Emas
dalamhati. Dan kakek itu memang tidak perlu menunggu
terlalu lama untuk membuktikan kebenaran
dugaannya. Karena sesaat kemudian, dari
kejauhan terdengar suara pekikan keras penuh kemarahan. Pekikan keras yang
membuat sekitar tempat itu bergetar hebat, keluar dari mulut Pemimpin Pulau Api.
Dan penyebabnya adalah
mayat kelima orang anak buahnya.
"Keparat! Jahanam! Orang gila dari mana yang telah melakukan semua ini"! Dia
akan mendapatkan balasannya! Bonggol! Sangora! Cari orang gila itu! Dan cincang
sampai hancur tubuhnya bila ketemu! Aku yakin dia masih
berada di sini! Lihat, perahunya masih ada!"
perintah Pemimpin Pulau Api pada dua lelaki
berikat pinggang merah.
"Baik, Ketua!" jawab dua orang berikat pinggang merah yang ternyata bernama
Bonggol dan Sangora.
"Aku pergi lebih dulu, Bonggol! Kau urus orang gila yang berani mati memasuki
tempat kita dan melakukan
penghinaan ini. Jangan lupa, perintahkan beberapa orang pilihan untuk
menyusulku ke Pulau Es. Barangkali saja tenaga mereka cukup berguna untuk
menghadapi cecoro-cecoro pencuripusaka itu. Kau mengerti"!"
"Mengerti, Ketua. Perintahmu akan segera kami
laksanakan,"
jawab Bonggol, yang mempunyai bibir tebal.
"Bagus! Sekarang aku pergi!"
Lalu tanpa menoleh lagi, Pemimpin Pulau Api
menghanyutkan perahu miliknya ke laut. Sesaat kemudian, perahu itu meluncur
cepat membelah permukaan air. Sebab, kakek bertompel itu
mengerahkan tenaga dalamnya untuk mengayuh
dayung. Bonggol dan Sangora mengawasi hingga perahu pimpinan mereka lenyap.
Setelah itu, baru mereka mengalihkan perhatian ke sekitar tempat itu. Keduanya
sibuk mengira-ngira di mana
pembunuh kawan-kawan mereka berada"
"Kita harus berhati-hati, Sangora," beritahu Bonggol. "Aku yakin orang gila itu
memiliki kepandaian tinggi. Kau lihat mayat lima rekan kita, bukan?"
'Tak perlu mengajariku, Bonggol!" sergah Sangora tidak senang. "Tanpa kau
beritahu pun aku sudah tahu. Kematian rekan-rekan kita telah membuktikan
kekuatan tenaga dalam orang itu!
Tapi, harus kau ingat' Kita tidak sama dengan kelima orang itu! Paham"!"
Tanggapan yang diberikan Bonggol hanya
dengusan. Entah apa maksudnya, hanya dia
sendiriyang tahu!
*** 2 Tentu saja Sangora mengetahui tindakan
rekannya. Tapi dia bersikap tidak peduli.
Pandangannya dilayangkan ke sekitar tempat itu.
Demikian pula dengan Bonggol.
Namun, seketika itu pula keduanya tersentak
kaget Bahkan tanpa sadar melangkah mundur.
Sekitar delapan tombak di hadapan mereka
tampak berdiri seorang kakek berpakaian kuning!
Dengan tenang, kakek yang tidak lain Raja Iblis Baju Emas melangkah menuju ke
arah mereka. "Keparat!"
Makian marah itu keluar dari mulut Bonggol.
Memang sudah sejak tadi, laki-laki berbibir tebal itu merasa geram bukan main
pada orang yang
telah membunuh rekan-rekannya.
"Bangsat!" Sangora tak mau ketinggalan mengumbar kemarahan. "Kaukah yang telah
melakukan semua ini, Kadal Buntung"!"
"Tidak salah!" jawab Raja Iblis Baju Emas lantang, tanpa menghentikan
langkahnya. Sikap kakek berpakaian kuning itu tampaknya demikian tenang. Bahkan juga
terkesan meremehkan. Hingga Bonggol dan
Sangora semakin kalap. Seperti kakek-kakek
kebakaran jenggot.
"Kalau begitu, kau harus menebusnya dengan nyawa busukmu! Hiyaaat. !"
Tanpa menunggu Raja Iblis Baju Emas berada
lebih dekat lagi, Bonggol melompat menerkam.
Tindakannya mengingatkan orang pada seekor
harimau yang menerkam mangsanya.
Raja Iblis Baju Emas tetap bersikap tenang,
meskipun bahaya maut tengah mengancamnya.
Ditunggunya hingga serangan itu dekat Lalu,
kakek itu melakukan lompatan harimau ke
kanan. Dan dengan bertumpu pada kedua tangan, tubuhnya digulingkan. Hasilnya
memang tidak sia-sia. Serangan Bonggol mengenai tempat
kosong. Tapi sebelum Raja Iblis Baju Emas sempat
bangkit Sangora telah meluruk ke arahnya.
Lalu.. . Srattt! Sinar terang memancar ketika golok besar
yang tergantung di pinggang dicabutnya. Dan
secepat itu pula diayunkan ke arah leher Raja Iblis Baju Emas. Agaknya, Sangora
bermaksud memisahkan kepala kakek berpakaian kuning itu dari tubuhnya.
Raja Iblis Baju Emas terkejut bukan main
menerima serangan mendadak itu Apalagi, saat itu dia berada pada kedudukan yang
tak menguntungkan. Meskipun demikian, kakek itu
masih mampu menunjukkan kepiawaiannya
sebagai seorang datuk kaum sesat Dengan
kecepatan gerak yang sulit diikuti mata,
tangannya bergerak ke arah pinggang.
Trakkk! Terdengar bunyi berdetak keras ketika Raja
Iblis Baju Emas menggerakkan tangan memapaki babatan golok besar Sangora.
Akibatnya, tubuh Sangora terhuyung ke belakang.
Kesempatan yang hanya sekejap itu, dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh Raja Iblis Baju Emas. Tubuhnya dilentingkan,
dan berputaran beberapa kali. Lalu mendarat mantap dengan
sikap waspada. Tangan kanannya yang menyilang di depan dada menggenggam sebatang suling.
Rupanya, suling itulah yang dipergunakan
Raja Iblis Baju Emas untuk memapaki babatan
golok Sangora. Senjata andalannya itu diambil dari selipan ikat pinggangnya.
Kakek berpakaian kuning itu tidak perlu
menunggu lama. Dengan diiringi teriakan
menggeledek yang membuat tempat itu bergetar hebat, Bonggol kembali melancarkan
serangan. Kali ini lelaki itu tidak bertangan kosong lagi.
Tangan kanannya menggenggam sebatang golok
besar. Wungngng! Bunyi mengaung keras seperti segerombolan
lebah tengah murka terdengar, ketika Bonggol memutar senjatanya di atas kepala.
Kemudian dengan kecepatan menakjubkan, lelaki itu
mengayunkan goloknya mendatar ke arah batang leher Raja Iblis Baju Emas.
Belum juga serangan itu tiba, serangan
Sangora telah meluncur. Sangora melompat tinggi ke atas. Dan saat tubuhnya
berada tepat di atas Raja Iblis Baju Emas, ia menukik turun dengan ujung golok
mengarah ke kepala bagian atas
kakek itu! Menggiriskan sekali bentuk serangannya. Lagi-lagi Raja Iblis Baju Emas mempertunjukkan sikap tenangnya. Meskipun
dua serangan dahsyat berbau maut tengah
meluncur ke arahnya, kakek itu tidak kelihatan gugup. Otaknya berputar untuk
memusnahkan kedua serangan lawan dengan cara yang paling menguntungkan. Dan hanya dalam
sekejap, kakek berpakaian kuning telah mendapatkannya.
Raja Iblis Baju Emas menarik mundur kaki
kanannya sambil mendoyongkan tubuhnya ke
belakang. Dan mengayunkan sulingnya ke atas
memapaki luncuran golok lawan!
Wurtt! Wusss! Trakkk!
Rentetan kejadian itu berlangsung dalam
waktu sangat singkat Babatan golok Bonggol
menyambar lewat beberapa jari di depannya,
hampir bersamaan dengan berbenturannya suling Raja Iblis Baju Emas dengan golok
Sangora! Kedua serangan penghuni Pulau Api itu berhasil dikandaskan Raja Iblis Baju Emas!
Tapi pertarungan tidak berhenti sampai di
sini. Begitu serangan pertamanya berhasil
dielakkan, Bonggol segera melancarkan serangan susulan dengan sebuah tendangan
kaki kanan ke arah dada kakek itu. Sementara Sangora
terpental ke atas akibat tangkisan suling Raja Iblis Baju Emas. Dengan sebuah
gerakan manis, Sangora bersalto. Kemudian sambil berputar,
goloknya dibabatkan ke kuduk kakek berpakaian kuning itu.
Cepat dan mendadak datangnya kedua
serangan itu. Tapi, Raja Iblis Baju Emas mampu bergerak lebih cepat lagi. Sebab,
kakek itu telah memperhitungkan akan mendapat serangan
susulan. Tendangan Bonggol dipapaki dengan
tendangan kaki kanannya pula. Itu dilakukannya dengan memutar tubuh sambil
merendahkan diri.
Wusss! Blakkk! Untuk yang kedua kalinya, babatan golok
Sangora mengenai tempat kosong! Dan dengan
selisih waktu yang amat singkat terdengar
benturan keras kaki Raja Iblis Baju Emas dengan kaki Bonggol.
Akhirnya memang cukup menakjubkan. Tubuh Bonggol langsung terdorong ke belakang.
Rasa sakit yang sangat mendera kakinya.
Demikian pula Raja Iblis Baju Emas. Hanya jarak dorong kakek berpakaian kuning
itu lebih dekat, dan tidak menderita sakit. Dari sinibisa diketahui kalau
kekuatan tenaga dalam Raja Iblis Baju
Emas berada di atas lawan. Meskipun demikian, baik Bonggol maupun Raja Iblis
Baju Emas berhasil mematahkan kekuatan daya dorong
tubuh mereka. Sesaat kemudian, pertarungan
sengit kembali berlangsung!
Raja Iblis Baju Emas tampaknya harus
menguras seluruh kepandaiannya jika ingin
selamat. Lawan-lawannya ternyata bukan orang sembarangan. Kalau dilihat secara
perorangan, Bonggol
dan Sangora memang memiliki kemampuan di bawahnya. Baik dalam ilmu
meringankan tubuh maupun tenaga dalam. Tapi
karena orang-orang Pulau Api itu menghadapinya secara bersama-sama, maka tak
urung Raja Iblis Baju Emas kerepotan menghadapinya. Tambahan
lagi selisih kepandaian dirinya dengan mereka tidak terlalu jauh.
Akibatnya sudah dapat diduga. Pertarungan
berlangsung sengit dan menggiriskan hati. Betapa tidak" Bunyi mengaung,
mendesing, menderu dan bunyi seperti suling ditiup, selalu terdengar setiap kali
kedua belah pihak melancarkan serangan.
*** Jurus demi jurus berlalu cepat. Hal itu tidak
aneh. Sebab, kedua belah pihak sama-sama
memiliki gerakan cepat Hingga dalam waktu
singkat lima puluh jurus telah berlalu. Dan
selama itu kedudukan masih berimbang. Masing-masing
pihak silih berganti melancarkan serangan. Raja Iblis Baju Emas menggertakkan gigi
karena penasaran bercampur geram. Dirinya
adalah seorang datuk kaum sesat yang telah


Dewa Arak 50 Pertarungan Di Pulau Api di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ratusan kali bertarung, dengan selalu keluar sebagai pemenang. Tapi kali ini,
sampai demikian lamanya belum mampu mendesak lawan.
Kenyataan ini benar-benar memukul hatinya!
Kalau menghadapi dua orang ini saja dia tidak mampu menang, bagaimana bisa
keluar dari pulau ini dengan selamat" Sebab, di pulau ini masih banyak orang-orang berbaju
merah lainnya. Rasa penasaran itu membuat Raja Iblis Baju
Emas semakin meningkatkan serangan. Hingga
serangan-serangan yang dilancarkannya pun
semakin dahsyat! Meskipun demikian, hasil yang dicapai tetap sama. Kakek itu
belum juga mampu mendesak lawan-lawannya. Sejujurnya kakek
berpakaian kuning ini harus mengakui kalau
kedua lawannya memang orang-orang yang
tangguh. Hal yang menyulitkan Raja Iblis Baju Emas
untuk merobohkan Sangora dan Bonggol adalah
kemampuan kedua orang itu untuk bekerja sama.
Dua orang Pulau Api itu mampu saling bantu.
Mereka saling mengisi dalam penyerangan
maupun pertahanan. Dalam kerja sama itu,
Sangora dan Bonggol seperti dua orang yang
dikendalikan oleh satu otak. Hingga Raja Iblis Baju
Emas mengalami kesulitan untuk merobohkan mereka.
Meskipun demikian, bukan berarti dua orang
Pulau Api itu dapat dengan mudah merobohkan
Raja Iblis Baju Emas. Sama sekali tidak! Kakek itu terlalu tangguh untuk dapat
dikalahkan dengan mudah! Itulah sebabnya pertarungan
berlangsung sengit dan menarik
Karena terlau memusatkan perhatian pada
pertarungan, kedua belah pihak tampak tidak
sadar kalau pertarungan telah bergeser jauh dari tempat semula. Yang ada di
benak mereka adalah menyelesaikan pertarungan sedapat mungkin.
Tidak hanya senjata di tangan saja yang
dipergunakan, pukulan-pukulan jarak jauh pun dikeluarkan.
"Hih!"
Pada jurus kesembilan puluh tiga, di saat
memperoleh sebuah kesempatan, Raja Iblis Baju Emas melepaskan pukulan jarak
jauh. Tidak hanya sekali, tapi berkali-kali. Dan sasaran yang dituju tidak hanya Sangora.
Bonggol pun dikirimkan pula.
Tapi seperti juga kejadian sebelumnya, dua
penghuni Pulau Api itu mampu menunjukkan
kalau mereka bukan orang-orang yang dapat
dengan mudah dipecundangi! Tanpa menemui
kesulitan, Sangora dan Bonggol berhasil mengelakkan serangan-serangan itu. Hingga
pukulan jarak jauh kakek itu menghantam
sasaran yang tidak diharapkan, tanah!
Blarrr! Wusss! Batu-batu es berpentalan ke sana kemari
terhantam pukulan jarak jauh Raja Iblis Baju Emas. Dan kejadian selanjutnya
benar-benar tidak sesuai dengan yang diharapkan. Dari dalam lubang yang terbentuk akibat
serangan nyasar itu, memancarkan api! Dan tidak hanya satu,
sebab lubang yang terbentuk lebih dari itu.
Seketika itu pula pertarungan terhenti. Kedua belah pihak sama-sama terkejut.
Pandangan mata mereka tertuju ke arah api yang menyembur
tinggi ke udara. Tapi kelakuan mereka tidak
berlangsung lama. Ketiganya segera tersadar, dan melanjutkan pertarungan lagi.
Suasana hiruk-pikuk kembali menyemarakkan kancah pertarungan. Tapi, kali ini kedua belah pihak tidak bisa
bertarung seperti sebelumnya. Dari kejauhan tampak menghampiri tujuh
sosok berpakaian merah. Rupanya kegaduhan itu telah sampai ke telinga mereka.
Dalam beberapa kali lesatan, tujuh sosok
berpakaian merah itu telah berada dalam jarah sepuluh tombak dari kancah
pertarungan. Mereka tidak berani bergerak lebih dekat lagi, takut terkena
serangan nyasar. Kedatangan tujuh sosok berpakaian merah itu agaknya diketahui
pihak-pihak yang telah bertarung. Tapi mereka tidak peduli, dan terus memusatkan
perhatian pada lawan masing-masing.
Ketujuh sosok berpakaian merah itu berkulit
kemerahan. Wajah mereka kelimis. Tapi ada ciri-ciri khusus yang memisahkan
mereka menjadi dua kelompok kecil! Empat di antara mereka,
paha kanannya terbelit kain merah. Sedangkan sisanya kedua paha mereka dilibat
kain merah. Ciri-ciri itu tidak luput dari pandangan Raja Iblis Baju Emas. Seketika itu
pula, sebagai seorang datuk yang telah luas pengalamannya, dia langsung tahu kalau keberadaan
kain merah itu mempunyai arti tersendiri. Dengan kata lain, letak kain merah itu
menjadi tanda tingkatan orang yang bersangkutan. Tapi hanya sebentar saja, Raja
Iblis Baju Emas membiarkan
pikirannya mengembara ke arah itu. Selanjutnya, ia memusatkan seluruh
perhatiannya pada
pertarungan yang dihadapinya.
Tak terasa lima puluh jurus telah berlalu.
Dengan demikian, kedua belah pihak telah
bertarung hampir seratus lima puluh jurus. Dan selama itu belum tampak ada
tanda-tanda pihak yang akan keluar sebagai pemenang. Bahkan,
tanda-tanda yang akan terdesak pun belum
terlihat Melihat kenyataan ini, Bonggol dan Sangora
sadar kalau tidak ada perubahan pertarungan
akan sulit berakhir. Dan andaikata berakhir pun akan
membutuhkan waktu yang lama., Sedangkan saat itu mereka masih mempunyai
urusan lain. Pemimpin Pulau Api tadi menyuruh mereka untuk segera menyusul bila
Raja Iblis Baju Emas sudah berhasil diringkus! Bukan tidak mungkin
saat ini ketua mereka tengah menunggu-nunggu.
Pikiran itu membuat Sangora memutuskan
untuk secepatnya melakukan perubahan. Bagaimana caranya tidak menjadi soal. Yang
penting, Raja Iblis Baju Emas harus secepatnya diringkus. Setelah mantap dengan
keputusan itu, Sangora. melempar tubuhnya ke belakang
menjauhi kancah pertarungan. Tubuhnya berputaran beberapa kali di udara.
Jliggg! Ringan laksana daun kering, Sangora mendarat di tanah. Mantap, tak goyah sedikit pun. Lalu tanpa menunggu lebih
lama, kepalanya ditolehkan ke arah tujuh orang rekannya.
"Apa lagi yang kalian tunggu"! Cepat bantu kami meringkusnya! Dia telah membunuh
lima orang rekan kita!" seru Sangora dengan
mengerahkan tenaga dalam, hingga suaranya
terdengar menggeledek.
Usai berkata demikian, Sangora kembali
melesat memasuki kancah pertarungan. Sebab
begitu dia menjauh, Bonggol langsung kewalahan.
Kawannya itu terus-menerus bergerak mundur
menghadapi cecaran serangan Raja Iblis Baju
Emas. "Haaat..!"
Diiringi teriakan menggeledek, Sangora menyeruak ke dalam arena pertempuran. Begitu tiba, serangan dahsyat dan bertubi-
tubi langsung dikirimnya ke arah Raja Iblis Baju Emas. Mau tidak mau kakek
berpakaian kuning itu
mengendurkan desakannya pada Bonggol, kalau
tidak ingin celaka tersambar golok besar Sangora.
Kesempatan itu dipergunakan sebaik-baiknya
oleh Bonggol untuk memperbaiki kedudukan.
Sesaat kemudian,
lelaki itu telah dapat membantu Sangora. Hingga, Raja Iblis Baju Emas harus kembali berjuang keras
menghadapi kerjasama kedua orang itu. Tapi, tidak hanya mereka saja yang harus di hadapi.
Ketujuh orang Pulau Api yang tadi hanya sebagai penonton, kini ikutbertarung.
Begitu ketujuh orang itu memasuki arena
pertempuran, keadaan langsung berubah total
Raja Iblis Baju Emas segera terdesak. Hanya
dalam beberapa gebrakan, kakek itu dibuat
pontang-panting
ke sana kemari untuk menyelamatkan selembar nyawanya. Sekarang
kakek itu hanya mampu bermain mundur.
Memang tidak tanggung-tanggung pertolongan
yang diterima Sangora dan Bonggol. Ketujuh
orang itu, seperti juga Sangora dan Bonggol, ternyata juga mampu bekerjasama.
Mereka memecah menjadi dua kelompok. Yang satu
beranggotakan empat orang, sedangkan sisanya tiga. Masing-masing kelompok ini
menggunakan kerjasama yang berlainan dengan kelompok
lainnya. Meskipun demikian, antara kelompok itu bisa saling bantu dan isi.
Itu yang menyebabkan Raja Iblis Baju Emas
tidak berdaya dalam beberapa gebrakan saja.
Kakek itu bingung. Ia harus menghadapi
keroyokan tiga kelompok yang menggunakan
kerjasama berbeda. Dirasakan betapa berat
gelombang serangan mereka. Susul-menyusul,
dan berat laksana hantaman gelombang laut.
Sebagai datuk yang telah berpengalaman luas, Raja Iblis Baju Emas tahu kalau
keadaan itu tidak menguntungkan dirinya. Kalau dia memaksakan diri terus mengadakan perlawanan, sudah dapat dipastikan nyawanya
akan melayang Padahal, saat ini Raja Iblis Baju Emas belum ingin mati. Jalan
satu-satunya agar tetap hidup adalah melarikan diri!
Saat itu, keadaan Raja Iblis Baju Emas
memang amat mengkhawatirkan. Betapa tidak"
Serangan-serangan yang datang terlalu bertubi-tubi. Belum juga serangan yang
satu diatasi, serangan lainnya datang menyusul. Demikian
seterusnya. Hingga, kakek berpakaian kuning itu tidak
mempunyai kesempatan untuk melancarkan serangan balasan. Dia telah disibukkan dengan mengelak dan menangkis
serangan yang tidak kunjung habis.
Jadi, bukan tindakan keliru kalau Raja Iblis Baju Emas memutuskan untuk
meninggalkan kancah pertarungan. Sambil terus mengelak dan menangkis serangan lawan, otaknya
berputar keras mencari kesempatan untk melarikan diri.
Raja Iblis Baju Emas tidak mau bertindak
sembarangan. Dengan sabar, ditunggunya kesempatan untuk kabur sebab dia tahu kalau
sekali usahanya gagal, maka akan sulit baginya untuk mendapatkan kesempatan
kedua, karena lawan akan lebih waspada.
Akhirnya, kesempatan yang ditunggu-tunggu
Raja Iblis Baju Emas datang juga. Dengan sebuah hentakan tubuhnya melambung ke
udara. Dan sambil bersalto beberapa kali, suling, tangan, dan kedua kakinya dipergunakan
untuk mengirimkan serangan-serangan yang dapat menghambat
lawan. "Hei!"


Dewa Arak 50 Pertarungan Di Pulau Api di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sangora dan Bonggol yang baru menyadari
maksud lawannya menjerit kaget. Tapi semua
sudah terlambat. Karena. ..
Jliggg! Dengan susah payah, akhirnya Raja Iblis Baju Emas berhasil keluar dari kepungan.
Tanpa membuang-buang waktu lagi, kakek itu melesat meninggalkan tempat itu. Karena
untuk menuju pantai tak dapat dilakukan, sebab lawan-lawannya
menghalangi, terpaksa kakek berpakaian kuning itu melesat masuk ke dalam pulau.
"Kejar dia! Jangan sampai lolos!" seru Sangora dan
Bonggol bersamaan, sambil melesat mengejar. Tanpa menunggu perintah dua kali, tujuh
rekannya segera ikut mengejar. Kejar-kejaran pun tidak dapat dielakkan lagi.
Tapi, mana mampu orang-orang Pulau Api itu mengejar Raja Iblis Baju Emas. Kakek
itu memiliki kecepatan lari yang berada jauh di aras mereka. Hingga, tidak heran
jika jarak antara mereka semakin jauh.
Meskipun demikian, para penghuni Pulau Api
itu tidak berputus asa. Mereka terus melakukan pengejaran. Sangora dan Bonggol
berada paling depan. Disusul kelompok yang berjumlah tiga
orang. Sedangkan kelompok yang berjumlah
empat, berada paling belakang. Mereka memang memiliki kemampuan paling rendah.
Sangora dan Bonggol tampak penasaran
bukan main. Sudah berturut-turut mereka
bertemu dengan tokoh yang tidak dapat mereka kalahkan. Pertama, Raja Monyet Muka
Hitam. Dan yang kedua, Raja Iblis Baju Emas! Bahkan sewaktu menghadapi Raja Monyet Muka
Hitam, yang datang bersama rombongannya, beberapa
anak buahnya tewas. Padahal, saat itu lima orang rekannya telah datang membantu
setelah mendapat panggilan darinya. (Untuk lebih
jelasnya, silakan baca serial Dewa Arak dalam episode: 'Geger. Pulau Es').
*** 3 Dengan agak tergesa-gesa, dua sosok berpakaian putih dan ungu mengayunkan
langkah. Yang berpakaian ungu seorang pemuda tampan berambut putih keperakan.
Sebuah guci arak
terbuat dari perak mengganduli punggungnya. Sedangkan yang seorang lagi
seorang wanita berpakaian putih. Wajahnya
cantik jelita. Apalagi, dengan rambut yang
dibiarkan tergerai lepas.
Sekarang sudah dapat diduga, siapa pasangan
muda berwajah elok itu. Ya! Mereka adalah Arya, yang lebih dikenal dengan
julukan Dewa Arak.
Sedangkan gadis cantik itu Melati. Saat ini, Dewa Arak dan Melati tengah
terburu-buru menuju
pantai! (Untuk jelasnya, silakan baca serial Dewa Arak dalam episode: 'Geger
Pulau Es'). "Mengapa harus menuju pantai, Kang?" tanya Melati, memecah keheningan. "Kau
yakin mereka telah meninggalkan pulau ini?"
Arya langsung menghentikan langkah. Hingga
Melati jadi ikut-ikutan menghentikan langkahnya. Kemudian gadis itu membalas
tatapan Arya. "Sebenarnya, aku sendiri tidak yakin orang-orang itu telah meninggalkan pulau
Tapi demi keamanan, kuputuskan untuk melihat pantai
lebih dulu. Siapa tahu mereka tengah berkemas-kemas untuk meninggalkan tempat
ini?" sahut Arya mengemukakan alasannya.
'Tapi.. , cara itu membutuhkan waktu yang
lama dan terlalu membuang tenaga, Kang!
Apakah kita harus mengelilingi pulau yang tidak kecil
ini untuk membuktikan kebenaran dugaanmu?"
"Jangan khawatir, Melati. Hal itu telah aku pikirkan. Kita tidak perlu
mengelilingi pulau ini.
Kita hanya menuju pantai yang dekat dari sini.
Itu pun hanya untuk memastikan saja. Bila
perahu mereka tidak kita temukan, maka kita
akan pergi ke Pulau Api untuk meminta
pertanggungjawaban atas semua yang terjadi di Pulau Es ini!" mantap dan tegas
kata-kata yang keluar dari mulut Arya.
Melati langsung diam, tidak membantah lagi.
Gadis itu mendengar ada tekanan yang tidak
ingin dibantah lagi dalam ucapan kekasihnya.
Walaupun belum melihat ada kebenaran di
dalamnya, Melati tidak memberikan bantahan.
Dan karena Arya tidak berkata-kata lagi, suasana pun menjadi hening. Tapi
keadaan itu hanya
berlangsung beberapa saat. Karena. .
"Kakang! Mengapa kita demikian pelupa"!"
tanya Melati kaget, setengah mengingatkan.
"Apa maksudmu, Melati" Aku tidak mengerti"!" tanya Arya, tanpa menyembunyikan rasa heran dan ingin tahunya.
Ucapan Melari yang tiba-tiba, dan sikap gadis itu
yang demikian bersungguh-sungguh,
membuat hari Arya agak berdebar. Apa gerangan yang dimaksudkan Melati"
"Akh! Kiranya kau benar-benar telah lupa, Kang! Luar biasa!"
'Tidak usah berteka-teki, Melati. Cepat
katakan maksudmu," desak Arya, tidak sabar melihat tanggapan kekasihnya.
"Baiklah, Kang," Melati terpaksa mengalah.
"Sungguh tidak kusangka kau bisa lupa. Padahal, hal itulah yang menjadi alasan
kita mendatangi Pulau Es ini."
"Ahhh. .!" desah Arya kaget. "Kau benar, Melati. Rupanya aku telah pikun!
Mengapa aku bisa melupakannya"!"
"Sekarang kau ingat, Kang"!"
"Ya." Dewa Arak menganggukkan kepala.
"Mencari Abimanyu dan Patih Juminta beserta rombongannya kan"!"
"Tepat!" sambut Melati cepat.
"Kalau begitu. ., sekarang tugas kita bertam-bah. Di samping mencari pusaka
Pulau Es yang ada di tangan Raja Monyet Muka Hitam dan
mencari orang-orang Pulau Api, kita juga harus menemukan Patih Juminta dan
rombongannya, serta Abimanyu," putus Arya, mengambil jalan tengah. "Bagaimana" Setuju?"
Melati mengernyitkan alisnya yang melengkung indah. Tampak jelas gadis itu tengah mempertimbangkan ucapan Arya.
Dan sesaat kemudian, suaranya yang nyaring dan melengking terdengar menyeruak keheningan.
"Aku setuju saja, Kang. Tapi perasaanku mengatakan mereka tidak berada di sini."
"Hehhh"! Apa maksudmu, Melati" Omongan
macam apa itu"! Bukankah Gusti Prabu Nalanda yang telah memberitahukan kepergian
Abimanyu, Patih Juminta serta rombongan prajurit Kerajaan Bojong Gading"!"
bantah Arya penasaran.
"Ucapanmu memang tidak salah, Kang,"
sambut Melati. 'Tapi.. , kau yakin mereka berhasil tiba di Pulau Es"!"
Kata-kata Melati membuat Dewa Arak
mengangguk-anggukkan kepala. Disadari ada
kebenaran yang tidak bisa dibantah dalam
ucapan gadis itu. Benar! Bukan tidak mungkin mereka tidak pernah tiba di Pulau
Es! Melihat pemuda berambat putih keperakan
tercenung dengan kepala terangguk-angguk,
Melati kembali melanjutkan ucapannya yang
belum selesai. "Bagaimana, Kang" Apakah kita
perlu menanyakannya pada Kakek Sangga Buana"!"
usul Melatihati-hati.
"Saranmu baik juga, Melari," puji Arya sejujur-nya. "Nanti kita tanyakan pada
Kakek Sangga Buana. Sekarang, lebih baik kita lanjutkan
pekerjaan kita. Setelah itu, baru kita temui Kakek Sangga Buana untuk
menanyakannya."
"Begitu pun baik, Kang," sambut Melari, gembira mengetahui usulnya diterima.
Sepasang muda-mudi berwajah elok itu
kembali meneruskan perjalanannya menuju
pantai. Tentu saja dengan kepala ditolehkan ke sana kemari. Harapan mereka,
mudah-mudahan dapat melihat orang-orang yang tengah mereka cari. Tapi harapan itu tidak
terkabulkan. Tidak ada sesosok tubuh pun yang mereka lihat selain kesunyian.
Yang mereka temui hanya gundukan-gundukan es dan bukit es. Segalanya serba es.
Tak berapa lama kemudian, pantai telah
tampak terbentang di hadapan sepasang muda-
mudi berwajah elok itu. Malah bukan hanya
pantai mereka lihat Tapi. .
"Kau lihat itu, Melati"!" tanya Arya setengah memberitahu. Jari telunjuk tangan
kanannya ditudingkan ke depan.
"Sebuah perahu layar besar, Kang," jawab Melati dengan suara berdesah.
"Benar." Arya menganggukkan kepala. "Kau lihat bendera yang berkibar di tiang
perahu itu, Melati"!"
"Mereka. ., komplotan bajak laut, Kang"!"
tanya Melati, meminta kepastian ketika melihat bendera yang berkibar gagah di
tiang perahu. Tentu saja bukan bendera itu yang dimaksud-
kan Arya. Tetapi, gambar yang tertera di atasnya.
Gambar tulang tengkorak manusia yang terletak di atas dua potong tulang saling
menyilang. "Tepat!" jawab Arya mantap.
"Kalau begitu, mari kita usir mereka dari pulau ini, Kang. Aku yakin, kedatangan
mereka kemari untuk mendapatkan pusaka-pusaka
leluhurmu!"ujar Melatipenuh semangat.
"Kau benar. Melati," ucapan Arya hanya sampai di situ.
Sebab, Melati telah meluruk untuk menyambut kedatangan rombongan bajak laut
itu. Dan pemuda berambut putih keperakan itu tidak ingin membiarkan kekasihnya
menghadapi gerombolan bajak laut seorang diri. Bila gadis berpakaian putih itu
tidak ingin dibantu, setidak-tidaknya keberadaannya di dekat Melati akan
lebih mudah dan cepat untuk memberikan
bantuan. Dalam beberapa kali lesatan, Dewa Arak dan
Melati telah berada dalam jarak lima tombak
dengan pantai. Kehadiran mereka tampaknya
bertepatan dengan berlompatannya keluar rombongan bajak laut itu dariatas perahu.
Jliggg! Jliggg!
Berturut-turut rombongan bajak laut itu
mendaratkan kaki di tanah yang tertutup es.
Seperti sudah diduga Arya dan Melati, rombongan itu terdiri dari orang-orang
yang berperangai kasar. Dalam waktu tak lama, tidak ada lagi
anggota rombongan bajak laut yang melompat
turun. Pertanda jumlah mereka hanya itu saja.
Arya dan Melati menghitung dengan pandang-
an mata. Dua puluh enam orang. Jumlah yang
cukup banyak. Berdiri paling depan seorang laki-laki tinggi besar yang mempunyai
rajahan tengkorak manusia di dada. Tampak jelas, sebab orang itu tidak berbaju.
"Ha ha ha. .! Tidak salahkan penglihatanku"!
Benarkah di hadapan kita ada seorang bidadari"!"
ujar lelaki bertato dengan suara mengguntur.
Ada sifat kasar dalam suara dan tindak-
tanduknya. Malah sambil mengajukan pertanyaan itu, telunjuknya ditudingkan ke
depan. "Ha ha ha.. !"
Suasana di sekitar tempat itu menjadi riuh
rendah, ketika sosok-sosok tubuh kasar yang
berdiri di belakang lelakibertato ikut tertawa.
"Kau bisa saja, Tuan Besar. Tapi, ucapan Tuan Besar memang tidak salah. Di depan
kita ada bidadari," timpal seorang lelaki kasar yang berkepala botak.
Sementara itu, Arya dan Melati tidak
melakukan tindakan apa pun.

Dewa Arak 50 Pertarungan Di Pulau Api di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Meskipun mendengar pembicaraan yang berlangsung di
depan mereka, tapi dibiarkan saja. Yang mereka lakukan hanya mengamati. Dari
pengamatan itu, Dewa Arak dan Melari tahu kalau lelaki bertato itu adalah
pemimpin gerombolan bajak laut.
*** Mendadak, lelaki bertato mengangkat tangannya ke atas. Seketika itu pula kegaduhan langsung lenyap. Tawa mereka
segera terhenti.
Agaknya, rombongan orang kasar itu amat
menghargai lelaki bertato itu.
Begitu kegaduhan lenyap, lelaki bertato
menghampiri Dewa Arak dan Melati. Sikap
sepasang pendekar muda berwajah elok itu
terlihat tenang. Tidak nampak ada perasaan
gentar atau ngeri. Tarikan wajah mereka
kelihatan biasa saja.
"Siapa kalian, Anak Muda" Mengapa berada dii sini" Kau! Cepat tinggakan tempat
ini sebelum aku kehilangan kesabaran!" ujar lelaki bertato dengan suara keras.
Ucapan itu ditujukan pada Dewa Arak.
"Siapa sebenarnya kami, kau tidak perlu tahu, Kisanak. Tapi agar kau tidak
penasaran, biar kami beritahukan sedikit. Kami adalah pemilik pulau
ini. Jadi, tidak mungkin kami meningggalkan tempat ini. Lebih baik kalian yang cepat pergi dari sini sebelum
terlambat!" balas Arya tak kalah berwibawa.
"Apa kau bilang"!" tanya lelaki bertato tidak percaya. "Coba ulangi. Aku ingin
tahu, apakah telingaku tidak salah dengar"!"
Dewa Arak tersenyum getir. Pemuda itu tahu,
mengapa lelaki bertato bersikap demikian. Orang itu terlalu membanggakan
kepandaiannya, dan
menganggap remeh lawan. Hingga, dia merasa
tidak yakin dengan
pendengarannya saat mendengar ucapan yang berbau tantangan atau
ancaman. Kalau Arya tidak terpengaruh dengan ucapan
lelaki bertato, tidak demikian halnya dengan Melati. Gadis berpakaian putih itu
kelihatan jengkel.
"Kawanku bilang, kau dan gerombolanmu
harus segera meninggalkan tempat ini, Kalau
tidak, jangan salahkan dia jika bertindak kasar terhadap kalian."
"Ha ha ha.. !"
Seketika, meledaklah tawa gerombolan orang
kasar itu. Tak terkecuali lelaki bertato. Bahkan, tawanya jauh lebih keras
dibanding yang lain.
Menggelegar sepertihalilintar.
Dan, lagi-lagi tawa itu segera lenyap ketika lelaki bertato mengangkat tangannya
ke atas sambil menghentikan tawa. Wajahnya kini
tampak beringas. Sepasang matanya yang besar dan kemerahan menyorot marah!
Pandangan itu tertuju pada Arya.
"Sungguh berani kau mengucapkan kata-kata seperti itu padaku, Anjing Buduk"! Kau
tahu tengah berhadapan dengan siapa sekarang"! Aku Panggala! Pemimpin Gerombolan Ular
Laut! Kelancangan itu harus kau tebus mahal!" seru lelaki bertato yang ternyata
bernama Panggala dengan suara mengguntur.
"Sayang sekali. Aku belum pernah mendengar namamu atau nama gerombolanmu. Lagi
pula andaikata kukenal pun kami akan meneruskan
maksud semula, yaitu mengusir kalian pergi dari sini. Dan. ."
"Diam!" potong Panggala tidak kuat menahan amarah lagi. Pandangannya kemudian
dialihkan pada anak buahnya yang berada di belakangnya.
"Cincang dia!"
Tanpa menunggu perintah dua kali. Gerombolan Ular Laut menyerbu Dewa Arak
dengan diiringi teriakan keras. Sesaat kemudian, puluhan senjata tajamyang
terdiri dari bermacam jenis dan ukuran meluncur ke arah Dewa Arak.
'Terimalah kematianmu, Anjing Buduk! Ha ha
ha. .!" Di sela-sela melunaknya serbuan anak
buahnya, Panggala melepaskan ucapan dan tawa gembira. Tampaknya, lelaki itu
merasa yakin pemuda berambut putih keperakan yang membuatnya murka itu akan habisdicincang.
Sementara, Dewa Arak tetap bersikap tenang,
Meskipun maut tengah melunak ke arahnya, tapi pemuda itu tidak menjadi gentar.
Ditunggunya hingga lawan-lawannya dekat. Sedangkan Melari sudah sejak tadi
menjauh, begitu mendapat
isyarat Arya. Dengan sendirinya, hanya Arya yang menyambut serbuan Gerombolan Ular Laut.
Begitu serangan-serangan itu meluncur dekat, pemuda berambut putih keperakan itu
segera bertindak. Tanpa menemui kesulitan, tubuhnya menyelinap di antara kelebatan
senjata-senjata lawan. Terlihat lincah laksana bayangan dan gesit tak ubahnya
gerakan kera. Dan tindakannya tidak hanya sampai di situ.
Begitu serangan-serangan
lawan berhasil dielakkan, serangan susulannya meluncur. Hasilnya langsung terlihat. Jeritan kesakitan terdengar silih berganti.
Diiringi dengan berpentalannya tubuh Gerombolan Ular Laut keluar dari kancah
pertarungan. Brukkk, brukkk!
Berturut-turut tubuh anak buah Panggala
berjatuhan, tidak bangkit lagi. Tapi tak mari, pingsan!
Kejadian ini tidak membuat anggota Gerombolan Ular Laut yang lain menjadi gentar.
Bahkan sebaliknya. Serangan yang mereka
lancarkan semakin bertubi-tubi. Di samping
karena rasa penasaran, mereka juga ingin
membalas penderitaan yang dialami rekan-rekan mereka.
Tapi keinginan mereka lebih mudah untuk di-
pikirkan dan dikatakan daripada dilaksanakan.
Dewa Arak bukan orang yang dapat mereka
taklukan dengan mudah. Semua serangan
mereka selalu kandas. Tak satu pun mengenai
sasaran. Sebuah keuntungan sebenarnya berada di pi-
hak Gerombolan Ular Laut Dewa Arak tidak
bersungguh-sungguh menghadapi mereka. Di
samping pemuda berambut putih keperakan itu
tidak mengeluarkan
ilmu 'Belalang Sakti' andalannya, kemampuannya pun tidak dikerahkan seluruhnya. Pemuda itu lebih banyak mengelak
daripada melancarkan serangan. Andaikata sebuah serangan dilancarkan pun
hanya mengerahkan sebagian kecil tenaganya.
Dewa Arak tidak ingin membuat lawannya tewas atau terluka berat.
Memang, Dewa Arak tidak bermaksud
membunuh mereka. Sebab, pemuda itu belum
menyaksikan kekejaman mereka. Jadi, tidak ada alasan yang kuat untuk membunuh
mereka. Maka, pemuda berambut putih keperakan itu
bermaksud memberi peringatan pada Gerombolan Ular Laut!
Hingga, dapat dibayangkan, betapa mendongkolnya hati Dewa Arak ketika melihat
lawan-lawannya tetap melancarkan serangan.
Bahkan jauh lebih menggebu-gebu dari sebelumnya. Tidakkah mereka tahu kalau dirinya telah bersikap mengalah"
"Akh, akh. .!"
Dua jeritan menyayat kembali terdengar,
ketika dua anggota Gerombolan Ular Laut
terlempar keluar kancah pertarungan. Mereka
terkena kibasan tangan Dewa Arak Dan seperti rekan-rekan mereka sebelumnya,
kedua orang itu langsung jatuh pingsan! Tapi seperti yang sudah-sudah, sisa
Gerombolan Ular Laut masih tegak berdiri tetap tak menjadi gentar. Bahkan
serangan mereka makin dahsyat!
Kini, kesabaran Arya habis. Disadari kalau
tindakannya tak membuahkan hasil yang
diharapkan. Maka, segera diputuskan melakukan tindakan
yang lebih menunjukkan kepandaiannya. Barangkali, bila hal itu dilakukannya mereka akan gentar dan menghentikan pertarungan. Setelah merasa pasti dengan
keputusan itu, Arya segera melaksanakannya.
"Hih!"
Pemuda berambut putih keperakan itu
menjejakkan kaki. Sesaat kemudian, tubuhnya
melayang ke belakang. Dewa Arak bersalto
beberapa kali sebelum mendarat di tanah.
Jliggg! Ringan tanpa suara laksana jatuhnya sehelai
daun kering, kedua kaki Dewa Arak hinggap di tanah. Tapi, hanya sampai di situ
saja tindakannya. Dewa Arak berdiri di tempatnya
sambil melipat kedua tangan di depan dada!
Hingga membuat Gerombolan Ular Laut
merasa heran. Mereka saling pandang sesaat
dengan raut wajah bingung. Dan begitu rasa
kaget yang melanda lenyap, mereka kembali
meluruk ke arah pemuda berambut putih
keperakan itu. Wuttt, wuttt, singngng!
Untuk kesekian kalinya, senjata-senjata yang terdiri-dari beraneka ragam jenis
dan ukuran itu, berkelebatan ke berbagai bagian tubuh Dewa
Arak. Namun pemuda berambut putih keperakan
itu tetap berdiri dengan sikap semula. Tidak nampak tanda-tanda akan melakukan
suatu tindakan, baik elakan maupun tangkisan.
Dan memang, Dewa Arak tidak melakukan
tindakan apa pun hingga senjata-senjata itu
meluncur mendekati sasaran. Akibatnya.. .
Takkk, takkk, bukkk!
Bertubi-tubi terus hujan pedang, golok,
tombak, tongkat, trisula, ruyung, dan pisau
mengenai seluruh bagian tubuh Dewa Arak.
Bunyi riuh seperti logam keras berbenturan
terdengar, ketika senjata-senjata itu mendarat di sasaran.
Dan, akibatnya sungguh mengejutkan! Bukan
hanya Gerombolan Ular Laut yang kaget,
Panggala pun demikian. Semula, begitu melihat Dewa Arak tidak melakukan tindakan
apa pun, Panggala sudah membayangkan tubuh pemuda
berambut putih keperakan itu akan luluh-lantak.
Tapi, ternyata. .. Dapat dibayangkan, betapa kaget lelaki itu melihat kenyataan


Dewa Arak 50 Pertarungan Di Pulau Api di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang membentang di depan matanya.
Dewa Arak tidak tewas. Apalagi dengan
sekujur tubuh hancur! Terluka sedikit pun tidak!
Tokoh muda yang menggemparkan itu tetap
berdiri seperti semula. Tarikan wajahnya pun tetap biasa. Tidak terlihat tanda-
tanda pemuda itu merasa kasakitan.
Malah sebaliknya, tubuh Gerombolan Ular
Laut yang terhuyung-huyung ke belakang.
Tangan mereka terasa sakit bukan main. Seperti bukan tubuh manusia yang terdiri
dari daging dan tulang yang mereka jadikan sasaran,
melainkan gundukan baja kuat!
*** 4 "Bagaimana" Sudah puas" Kalau belum,
kalian boleh mencoba lagi. Percayalah, aku tidak akan membalas! Kalian boleh
pilih bagian yang paling empuk!" ucap Dewa Arak sambil menatap wajah Gerombolan
Ular Laut satu persatu.
Jelas, ada tantangan dalam ucapan itu. Tapi
Gerombolan Ular Laut tidak bergeming dari
tempatnya. Mereka saling pandang satu sama
lain, seakan tengah meminta pendapat rekannya yang menjadi sasaran pandangan.
Tapi, tidak ada jawaban. Mereka tengah dilanda perasaan yang sama. Bingung!
Yang memberikan tanggapan atas tantangan
Dewa Arak adalah. . Panggala! Dengan wajah
merah padam karena marah mendengar tantangan Dewa Arak, lelaki bertato itu
melangkah maju.
"Apakah tantanganmu berlaku untukku,
Anjing Buduk"!"
tanya Panggala sambil mengamang-amangkan senjatanya di atas kepala.
Senjata lelaki bertato itu memang tampak
mengerikan! Sebuah kapak besar dengan gagang tongkatbaja putih sepanjang
setengah tombak!
Dewa Arak tidak segera menjawab pertanyaan
bernada tantangan itu. Arya tidak berani
bertindak ceroboh! Terhadap Gerombolan Ular
Laut dia berani bertindak seperti itu, karena telah diketahui kekuatan tenaga
dalam mereka. Sedangkan Panggala tidak! Dia pemimpin
gerombolan, tentu tenaga dalamnya jauh lebih kuat. Apalagi dengan senjata yang
terlihat demikian dahsyat dan mengerikan! Maka,
pemuda berambut putih keperakan itu membutuhkan waktu untuk memutuskan. Dan
Dewa Arak tidak berlama-lama mengambil
keputusan. Sejenak, pemuda itu memperhatikan Panggala. Lalu. .
'Tentu, Babi Busuk! Kau pun boleh memilih
bagian yang paling empuk!" tandas Dewa Arak.
"Bagus! Sekarang terimalah kemarianmu,
Anjing Buduk! Hih.. !"
Wukkk, wuk, wuk!
Panggala memutar kapak panjangnya dengan
segenap tenaga. Hasilnya memang mengagumkan! Bunyi mengaung keras terdengar
ketika kapak itu berputaran. Cepat bukan main.
Bahkan, mampu membuat bentuk senjata itu
lenyap! Yang terlihat hanya kelebatan sinar putih berkilauan, yang membungkus
tubuh lelaki bertato itu, seperti benteng sinar.
Melihat pemandangan itu, Gerombolan Ular
Laut yang tinggal dua belas orang melangkah
mundur. Mereka khawatir terkena sabetan kapak pimpinan mereka. Walaupun itu
tidak mungkin, tapi mereka tetap khawatir.
Berbeda dengan mereka, Dewa Arak tetap
bersikap tenang. Meskipun demikian, bukan
berarti pemuda berambut putih keperakan itu
berdiam diri melihat maut tengah mengancamnya. Tenaga dalamnya dikeluarkan
semua. Dan dialirkan ke seluruh tubuhnya. Dewa Arak siap menghadapi serangan
Panggala! "Hiyaaat.. !"
Wukkk! Diawali teriakan keras mengguntur yang
menggetarkan tempat itu Panggala mengayunkan kapaknya ke arah leher Dewa Arak.
Sudah dapat diduga maksudnya. Lelaki bertato itu ingin
memenggal kepala Arya. Dan. .
Takkk! Terdengar keras seperti beradunya dua logam
keras, ketika mata kapak Panggala berbenturan dengan kulit leher Dewa Arak yang
telah dilindungi tenaga dalam. Panggala memekik
kesakitan! Ayunan kapaknya membalik. Tangan
yang menggenggam kapak itu terasa sakit bukan main.
Tapi sebagai pemimpin gerombolan, Panggala
segera dapat memperbaiki keadaan. Hanya
dengan sebuah gerakan sederhana, lelaki itu
berhasil mematahkan kekuatan daya dorong
tubuhnya. Panggala bukan orang bodoh! Disadarinya kalau pemuda berambut putih
keperakan itu bukan orang sembarangan. Kalau pemuda itu mau, dirinya dan anak
buahnya mungkin hanya tinggal nama sekarang. Jelas,
pemuda itu telah banyak mengalah.
Kesadaran ini membuat Panggala bimbang.
Haruskah dia bertindak nekat dan terus
melancarkan serangan" Bagaimana kalau hal itu membuat pemuda itu habis
kesabarannya" Bila
itu terjadi, Panggala yakin dia dan anak buahnya tidak akan selamat! Kehebatan
pemuda berambut putih keperakan itu telah disaksikannya sendiri!
Pertimbangan-pertimbangan
itu membuat Panggala tertegun. Hingga anak buahnya menjadi heran.
Mereka tidak mengerti, mengapa pimpinannya bersikap seperti itu" Berbeda
dengan mereka, Arya mengetahui penyebab
Panggala tertegun. Maka, kesempatan ini segera dipergunakan sebaik-baiknya.
"Aku masih memberi kesempatan padamu dan anak buahmu, Panggala! Tapi, kau pun
tahu kesabaran ada batasnya! Pemberitahuan ini
adalah peringatan terakhir. Kalau tetap kau
abaikan, jangan salahkan aku bila bertindak
keras terhadap kalian!" ujar Dewa Arak dengan suara dan raut wajah garang.
Panggala tidak segera menanggapi pertanyaan
itu. Lelaki bertato itu tercenung memikirkan ancaman Dewa Arak. Kemudian,
pandangannya diedarkan ke arah dua belas anak buahnya. Rasa bimbang menyelimutihati lelaki
ini. Dewa Arak tahu ancamannya mulai mengena.
Maka, diputuskan untuk melancarkan ancaman
terakhir. Pemuda itu ingin mengetahui, apakah Panggala menerima atau menolak
tawarannya! "Kuberi kau kesempatan berpikir sampai pada hitungan ketiga, Panggala! Bila
sampai hitungan berakhir kau belum memberikan jawaban, maka
kuanggap kau menolak usulku. Itu berarti telah tiba waktunya bagiku untuk
menggempur gerombolanmu! Bersiaplah, Panggala! Sekarang aku akan mulai menghitung Satu. .!"
Perasaan bingung yang melanda Panggala
semakin menjadi-jadi. Pandangannya berganti-
ganti tertuju ke arah Dewa Arak dan anak
buahnya. Tapi, baik Dewa Arak maupun anak
buahnya tidak memberikan tanggapan. Dewa
Arak terus saja menghitung sedangkan anak
buahnya tidak berani mencampuri keputusan
yang akam diambil pemimpin mereka.
"Dua. .!"
Hitungan telah mendekati batas yang
ditentukan Dewa Arak, hingga Panggala semakin gugup.
Lelaki itu belum bisa mengambil keputusan!
Di dalam hatinya berkecamuk dua keputusan.
Menerima atau menolak tawaran yang diajukan
Dewa Arak. Menolak, berarti dia dan anak
buahnya akan hancur di tangan Dewa Arak. Tapi menerima pun berat, berarti ia
membiarkan nama besar Gerombolan Ular Laut hancur di tangan
seorang pemuda! Panggala bagai berhadapan
dengan buah simalakama. Bila dimakan bapak
mati, tidak dimakan ibu mati!
Dewa Arak agaknya tahu akan kegalauan hati
Panggala. Tapi pemuda itu bersikap tidak peduli.
Dengan raut wajah dingin hitungannya dilanjutkan. "Ti...."
"Tunggu!" potong Panggala cepat sambil mengangkat tangan kanan ke atas.
Seruan ini membuat Dewa Arak menghentikan hitungannya.
"Bagaimana, Panggala" Kau telah mengambil keputusan"!" tanya Arya dingin.
Tak ada riak sedikit pun di wajah pemuda
berambut putih keperakan itu. Seakan pilihan apa pun yang diambil Panggala tidak
menjadi masalah baginya.
"Benar," jawab Panggala seraya mengangguk.
Setelah lebih dulu menelan liur untuk melancarkan ucapan yang akan keluar dari
mulutnya. "Hm.. ." Dewa Arak menggumam pelan.
"Lalu.. ."
"Aku telah mengambil keputusan untuk. . menerima tawaranrnu, Anak Muda.. ," ujar
Panggala agak terbata-bata.
"Bagus! Kuhargai pilihanmu, Panggala! Kalau begitu, sekarang kuharap kau segera
tinggalkan tempat ini!" perintah Dewa Arak penuh wibawa.
"Hhh. .!"
Panggala menghela napas berat. Kemudian
berbalik menghadap anak buahnya. "Urus kawan-kawan yang terluka, dan tinggalkan
tempat ini! Cepat!" "Baik, Ketua," jawab Gerombolan Ular Laut serempak seraya menganggukkan kepala.
Kemudian, tanpa membantah dua belas orang
itu mengurus rekan-rekan mereka yang terluka.
Sementara Panggala, seusai memberi perintah, membalikkan tubuhnya menghadap Dewa
Arak. Di samping pemuda berambut putih keperakan
itu telah berdiri Melati.
"Sebelum aku pergi, boleh kutahu siapa
sebenarnya dirimu, Anak Muda?" tanya Pemimpin Gerombolan Ular Laut pelan.
"Aku adalah ahli waris tunggal pulau ini. Dan aku bertekad tidak akan membiarkan
seorang pun mengotorinya!" tandas Arya mantap.
'Tapi, sepengetahuanku pemilik pulau ini
adalah Sangga Buana," ujar Panggala mengingatkan. "Ucapanmu tidak salah, Panggala! Tapi perlu kau ketahui, dia adalah kakekku!"
beritahu Dewa Arak.
Panggala mengangguk-angguk mengerti.
"Sebagai tambahan, perlu kau ketahui juga, Panggala," celetuk Melati. "Di
daratan, kawanku ini seorang pendekar hebat yang ditakuti lawan dan disegani
kawan!" "Melati," tegur Dewa Arak halus.
Tapi Melati tidak mempedulikannya. Apalagi,
ketika gadis berpakaian putih itu melihat


Dewa Arak 50 Pertarungan Di Pulau Api di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Panggala tertarik. Itu terbukti dengan pertanyaan yang dilontarkan lelaki
bertato itu. "Benarkah itu" Boleh kutahu julukannya?"
'Tentu saja!" tandas Melati. "Bukan hanya boleh, tapi harus! Kawanku ini
berjuluk Dewa Arak!"
"Hahhh"!"
Seruan kaget itu bukan hanya keluar dari
mulut Panggala. Tapi juga semua anak buahnya.
Saking kagetnya, mereka menghentikan pekerjaan yang tengah dilakukan. Betapa tidak"
Mereka telah mendengar kabar akan kehebatan
dan keperkasaan tokoh muda yang berjuluk Dewa Arak. Meskipun demikian, mereka
tidak pernah mimpi akan bertemu orangnya. Apalagi berjumpa sebagai lawan! Maka,
tak aneh jika mereka
sangat terkejut.
'Ya, ya. . Mengapa aku begini bodoh"!" ucap Panggala terbata-bata. "Mengapa
tidak kulihat ciri-ciri yang kau miliki" Ya. Tidak salah lagi.
Kaulah tokoh yang berjuluk Dewa Arak. Warna
pakaian, rambut, kepandaian, dan gucimu., ya!
Kaulah Dewa Arak.. !"
Sementara itu, Dewa Arak yang tidak
menyangka akan seperti ini jadinya kelihatan agak gugup. Tapi hanya sebentar.
Sesaat kemudian, pemuda itu telah dapat menguasai
perasaannya. "Jadi.. , kalian telah mengenal julukanku?"
"Bukan hanya kenal," jawab Panggala sambil mengembangkan senyum pahit. 'Tapi
amat kenal. Meskipun tidak pernah berjumpa, tapi kami tahu banyak tentang dirimu. Semua itu
kami dapatkan dari kawan-kawan."
"Apa saja yang kalian ketahui mengenai
diriku?" tanya Arya ingin tahu.
"Banyak,"
jawab Panggala cepat. "Di antaranya, dikatakan kalau kau mempunyai
kepandaian yang sangat tinggi. Tak terhitung lagi banyaknya orang yang tewas di
tanganmu. Semua tokoh-tokoh golongan hitam. Kau
seorang pendekar pembela kebenaran. Begitu berita yang kudengar."
Dewa Arak dan Melati saling berpandangan.
Senyuman lebar terlukisdi bibir mereka.
"Lalu.. , kalau kalian telah mengetahui aku De-wa Arak. Apa yang hendak kalian
kakukan"!"
tanya Arya "Melaksanakan perintah yang kau berikan,"
jawab Panggala segera. "Sebab kami sadar bahwa kemampuan kami tidak ada artinya
bagimu. Kamipergi dulu, Dewa Arak."
"Silakan," jawab Dewa Arak dan Melati hampir bersamaan.
Setelah mendengar jawaban itu, tanpa berani
membuang waktu lebih lama Pemimpin Gerombolan Ular Laut itu berbalik. Kemudian, memberikan isyarat pada anak
buahnya untuk meninggalkan tempat itu.
Dewa Arak dan Melati bertukar pandang
dengan perasaan lega. Keduanya merasa gembira telah berhasil mengusir Gerombolan
Ular Laut, tanpa ada pertumpahan darah. Dengan sorot
mata berbinar-binar, mereka menatap kepergian rombongan bajak laut itu. Sampai
rombongan tersebut bertolak meninggalkan tempat itu. Dan, sepasang muda-mudi berwajah elok
itu tetap menatap. Hingga perahu besar Gerombolan Ular Laut lenyap di kejauhan. Setelah
itu, mereka baru mengalihkan pandang sambil menghembuskan
napas lega. "Aku bersyukur mereka mau berpikir sehat. ,"
ujar Arya dengan berdesah. "Dengan demikian, pertumpahan darah dapat dicegah."
Melati tidak menyahuti ucapan pemuda
berambut putih keperakan itu. Gadis berpakaian putih itu hanya mengembangkan
senyum manis. "Ah! Hampir saja aku lupa!" seru Arya setengah kaget
"Apa itu, Kang?" tanya Melari ingin tahu.
"Bukankah kita ingin mengetahui, apakah Raja Monyet Muka Hitam telah
meninggalkan pantai atau belum"!"
"O, iya, Kang. Aku juga hampir lupa," sahut Melati terkejut
"Kalau begitu.. , mari kita lanjutkan tugas yang tertunda itu, Melati," ajak
Arya. "Tentu, Kang. Tapi.. , apa yang harus kita lakukan?"
"Menyusuri pinggir pantai ini."
"Hahhh"! Sampai kapan pekerjaan ini akan selesai, Kang. Pulau ini tidak kecil.
Sampai kapan kita
mengelilinginya"!"
sahut Melati mengingatkan. 'Tentu saja tidak semuanya, Melati. Menurut
kakek, banyak bagian pulau ini yang pantainya tidak bisa dipergunakan perahu
untuk mendarat.
Contohnya, pantai-pantai sebelah kanan tempat ini. Kira-kira lima puluh tombak
dari sini, dan terus ke sana," jelas Arya sambil menudingkan jari telunjuknya.
"Aku mengerti sekarang, Kang," ujar Melati gembira. "Kita akan menuju ke sana,"
sambil berkata demikian, Melati menudingkan jari
telunjuknya ke sebelah kanan.
"Kau memang pintar, Melati," puji Arya.
Sambutan Melari hanya cibiran bibir. Tapi,
sorot mata gadis cantik itu
tidak bisa menyembunyikan perasaan gembiranya mendapat pujian seperti itu. Sepasang mata itu berbinar-binar!
Kini sepasang muda-mudi berwajah elok itu
mengayunkan langkah, menyusuri pantai sebelah kanan mereka.
*** 5 "Kakang.. ! Lihat.. !" seru Melari menudingkan telunjuk kanannya ke tengah laut.
Sebetulnya gadis berpakaian putih itu tidak
perlu berseru demikian. Arya juga telah
melihatnya. Di kejauhan tampak sebuah perahu kecil yang ditumpangi seorang kakek
berpakaian dan berikat kepala merah, melesat cepat
membelah permukaan air laut Dari laju
perahunya, bisa diketahui kekuatan tenaga dalam yang dimiliki pemilik perahu
itu. Tanpa disertai pengerahan tenaga dalam kuat, perahu itu . tidak akan
meluncur demikian cepat. Tentu saja hal itu tidak luput dari pengamatan Dewa
Arak dan Melati. 'Tampaknya dia bukan orang sembarangan,
Kang. Maksudku. ., dia tidak dapat disamakan dengan orang-orang semacam
Panggala," ucap Melati memberi penilaian.
"Memang tidak, Melati," jawab Arya seraya mengangguk. "Orang yang baru datang
ini bukan orang sembarangan. Dia seorang tokoh yang amat pandai.
Bukan tidak mungkin tingkat kepandaiannya berada di atas kita."
"Hehhh.. "!" Melati terperanjat kaget, hingga sampai
mengalihkan pandang. "Apakah ucapanmu tidak terlalu berlebihan, Kang"!"
'Tidak, Melati," jawab Arya menatap. "Kau tidak ingat cerita kakekku"!"
"Kakek Sangga Buana maksudmu, Kang"!"
Melati meminta ketegasan.
"Benar," sahut Arya singkat.
Melati tercenung sejenak. Dicobanya mengingat-ingat pembicaraan Kakek Sangga
Buana, pemilik Pulau Es. Sebab, Arya tidak
menjelaskannya lebih jauh "Ucapan Kakek Sangga Buana yang mana, Kang"!" tanya
Melati, tidak sabar ingin segera mengetahui jawabannya.
Gadis itu agaknya malas berpikir, mengingat-
ingat dan menerka.
'Tentu saja mengenai orang-orang berpakaian
merah, Melati," ucap Arya. "Bukankah orang yang berada di perahu itu mengenakan
pakaian merah"!"
Melati mengalihkan pandangannya kembali ke
arah laut. Perahu itu kini tampak semakin jelas.
Demikian pula orang yang tengah mengayuhnya.
"Aku tahu, Kang!" sentak Melati gembira, merasa telah dapat menerka cerita Kakek
Sangga Buana yang dimaksudkan kekasihnya. "Bukankah cerita yang kau maksud mengenai orang-orang Pulau Api"!"
'Tepat! Bukankah kakekku telah menceritakan cukup lengkap tentang mereka"!"
Arya balas mengajukan pertanyaan.
"Benar, Kang. Menurut beliau, orang-orang Pulau Api rata-rata berkepandaian
tinggi. Di samping itu mereka ahli menggunakan racun dan memiliki daya tahan
tubuh yang menggiriskan.
Yang aneh, perbedaan tingkat di antara mereka dapat kita lihat dari hiasan yang
dikenakan pada anggota tubuh atau pakaian mereka," urai Melati panjang lebar.
'Tepat sekali!" puji Arya. "Kau masih ingat hiasan masing-masing tingkat itu,
Melati"!"
"Masih, Kang," jawab gadis berpakaian putih sambil menganggukkan kepala. "Orang
terendah tidak memiliki tanda apa pun selain pakaian yang dikenakan. Tanda itu
baru muncul pada orang
yang setingkat di atas mereka, berupa sebuah belitan sabuk pada salah satu paha
mereka. Tingkatan yang lebih tinggi lagi, mempunyai
belitan sabuk pada masing-masing paha. Kemudian, tingkatan selanjutnya adalah orang-orang kepercayaan sang Pemimpin.
Mereka mengenakan sabuk lebar yang membelit pinggang. Sedangkan sang Ketua sendiri mempunyai tanda berupa belitan kain merah di kepala. Dan.. , ah!"
Mendadak Melati menghentikan ucapannya di
tengah jalan. Tentu saja hal itu menarik
perhatian Arya.
"Apa yang terjadi, Melati"! Mengapa kau kelihatan begitu kaget"!"
"Ng.. , ti. . tidak apa-apa, Kang. Hanya aku baru mengerti, mengapa kau
mengatakan orang
yang tengah berperahu itu seorang tokoh yang amat pandai,"ujar Melati lirih.
"Sekarang kau ingat, Melati"!" tanya Arya tenang.
Lembah Nirmala 21 Anak Pendekar Mu Ye Liu Xing Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen Tapak Tapak Jejak Gajahmada 6
^