Pencarian

Gembong Raja Muda 3

Pendekar Mata Keranjang 11 Gembong Raja Muda Bagian 3


satu-satunya yang kosong.
Setelah duduk, pemilik kedai segera melangkah
mendekati sambil membungkuk. Lalu menanyakan pe-
sanan sang gadis. Habis itu pemilik kedai kembali ke belakang dan tak lama
kemudian keluar lagi dengan
membawa pesanan sang gadis.
Beberapa mata pengunjung tetap tak beranjak
dari menjilati tubuh sang gadis, malah di antaranya ada yang berbisik-bisik
dengan temannya lalu tertawa tertahan. Sementara lainnya ada yang hanya
memandang dengan tak berkedip, lalu geleng-geleng kepala dengan mulut berdecak-
decak. Kali ini yang dipandangi seolah merasa. Gadis
ini sejenak menyapukan pandangan matanya keliling.
Beberapa mata yang dari tadi memandang segera bera-
lih ke jurusan lain, namun sejenak kemudian melirik tajam. "Dasar mata laki-
laki!" rutuk sang gadis seraya mulai menyantap hidangan yang telah dia pesan.
Selagi gadis ini tengah menyantap makanan-
nya, terdengar langkah-langkah halus memasuki ke-
dai. Beberapa mata segera beralih ke pintu masuk. Ma-ta-mata itu kembali dibuat
tak berkedip. Karena kali ini di pintu kedai terlihat seorang gadis muda
melangkah masuk. Setelah menebar pandangan gadis yang
baru masuk ini hendak keluar lagi, karena dilihatnya seluruh meja sudah terisi.
Sang gadis yang baru masuk ini yang ternyata
juga berparas jelita, mengenakan pakaian warna kun-
ing. Rambutnya panjang dan dibiarkan tergerai. Ma-
tanya bulat bersinar. Bentuk tubuhnya juga membuat
mata sayang untuk dikesiapkan, apalagi pakaian yang dikenakannya begitu ketat
dan tipis. Namun langkah sang gadis berbaju kuning
yang baru masuk segera tertahan begitu dilihatnya gadis berbaju coklat garis-
garis berdiri dan memberi isyarat agar gadis yang baru masuk melangkah ke
arahnya dan duduk di sampingnya.
Gadis berbaju kuning sejenak bimbang. Namun
ketika gadis berbaju coklat tersenyum dan mengang-
guk, gadis berbaju kuning segera melangkah dan setelah balas tersenyum, dia pun
duduk di samping gadis berbaju coklat.
"Tampaknya kita dijadikan bahan pemandan-
gan oleh pengunjung kedai!" gumam gadis berbaju kuning setelah memesan makanan,
dan berpaling pada
gadis di sebelahnya.
Yang diajak bicara hanya tersenyum lalu men-
gangguk perlahan, dan berkata perlahan.
"Jangan hiraukan mereka. Laki-laki di mana
saja memang begitu!"
Gadis berbaju kuning anggukkan kepala, sam-
bil tersenyum dia berkata.
"Terima kasih atas kebaikanmu memberiku
tempat duduk.... Ngg, kalau boleh aku tahu...."
Belum selesai gadis berbaju kuning dengan
ucapannya, gadis berbaju coklat telah mengangguk,
dan seakan tahu arah bicara gadis di sebelahnya dia berkata...
"Namaku Sakawuni...."
"Aku...," gadis berbaju kuning tak meneruskan kata-katanya karena pemilik kedai
melangkah ke arahnya dan menyerahkan pesanan. Setelah pemilik
kedai berlalu, gadis berbaju kuning melanjutkan kata-katanya.
"Aku Putri Tunjung Kuning...."
"Putri Tunjung Kuning?" batin gadis berbaju coklat yang bukan lain adalah
Sakawuni. "Aku rasa-rasanya pernah mendengar nama itu...," Sakawuni memandang
keluar kedai seraya tangannya memasukkan makanan ke mulutnya. "Tapi, aku lupa
siapa yang mengatakannya...."
"Melihat pandangan orang-orang itu, tampak-
nya kau bukan orang daerah sini. Hendak ke mana
kau...?" tanya Putri Tunjung Kuning seraya menyantap makanannya.
Sakawuni tak segera menjawab. Dia berpaling
pada Putri Tunjung Kuning dan menatapnya lekat-
lekat. Setelah menarik napas dalam-dalam dia berkata.
"Aku memang bukan orang sini...!" sejenak Sakawuni menghentikan ucapannya, lalu
melanjutkan. "Untuk sementara ini aku memang belum bisa memutuskan hendak pergi ke mana!"
Putri Tunjung Kuning hentikan kunyahan mu-
lutnya. Dia berpaling pada Sakawuni dan meman-
dangnya dengan pandangan heran. Dan belum sempat
Putri Tunjung Kuning angkat bicara, Sakawuni telah
berkata lagi. "Kau tentunya heran. Tapi itulah adanya. Aku
belum memutuskan harus ke mana pergi...."
"Kau mencari seseorang...?" tanya Putri Tunjung Kuning.
Mendengar pertanyaan Putri Tunjung Kuning
paras Sakawuni sedikit berubah malah tampak terke-
jut. Namun ketika diliriknya Putri Tunjung Kuning
menatap ke arahnya, Sakawuni segera tersenyum me-
nutup rasa terkejutnya.
"Tanpa kau jawab, dugaanku pasti tidak mele-
set. Kau sedang dalam perjalanan mencari seseo-
rang...," kata Putri Tunjung Kuning dengan tak mengalihkan pandangannya pada
paras Sakawuni. Sakawuni
tertawa lebar, meski dalam hati dia membatin.
"Otaknya tajam juga orang ini. Apa aku akan
mengatakan padanya tentang siapa orang yang kucari"
Mungkin dia bisa membantu. Tapi apa tidak janggal
berterus terang pada seseorang yang baru kukenal...?"
Sakawuni menarik napas dalam-dalam. Ram-
butnya yang luruh ke dahi dia sibakkan ke belakang, hingga parasnya kelihatan
makin cantik. "Kau tampaknya melamun. Maaf jika ucapanku
tadi membuat kau bersedih. Aku hanya menduga...."
Sakawuni menggeleng perlahan seraya terse-
nyum. "Aku tidak bersedih. Aku hanya bingung. Tak tahu apa yang harus
kulakukan...," kata Sakawuni perlahan.
"Kita bernasib sama. Tak ubahnya kau, aku
pun sebenarnya sedang bingung, tak bisa melakukan
sebuah kepastian...," Putri Tunjung Kuning akhirnya berkata setelah keduanya
agak lama saling berdiam di-ri. "Kalau boleh tanya, kau sedang mencari siapa?"
Putri Tunjung Kuning melanjutkan ucapannya dengan
berpaling pada Sakawuni.
Mendengar pertanyaan Putri Tunjung Kuning,
Sakawuni palingkan wajahnya, hingga untuk beberapa
saat lamanya kedua gadis ini saling bertatapan. Sakawuni tampak ragu-ragu untuk
menjawab. Namun sete-
lah menimbang-nimbang akhirnya dia berkata.
"Aku memang sedang mencari seseorang. Tapi
orang yang kucari tempatnya tak bisa ditentukan...."
Putri Tunjung Kuning geleng-geleng kepala.
"Mendengar ucapanmu, orang yang kau cari tentunya seorang pesilat. Karena hanya
orang-orang demikian
itulah yang tempatnya sulit ditentukan, apalagi jika dia seorang pendekar...."
"Ah, gadis ini dugaannya selalu benar. Apakah
aku berterus terang saja padanya" Melihat pakaian
dan sikapnya, tampaknya dia juga seorang berilmu...."
Setelah berpikir sejenak, akhirnya Sakawuni
berkata. "Yang kau katakan benar. Aku memang menca-
ri seorang tokoh silat. Apakah kau juga begitu?" Sakawuni balik bertanya.
Kali ini Putri Tunjung Kuning yang tampak ter-
kejut. Dia segera mengalihkan pandangannya keluar
kedai. Saat itulah seorang pemuda berwajah tampan
mengenakan pakaian dalam warna putih yang dilapis
pakaian luar sebuah jubah panjang berwarna hitam
dan merah masuk ke dalam kedai.
"Kosongkan meja ini. Aku ingin makan!"
Dua orang yang duduk di meja serentak saling
berpandangan. Lalu menoleh pada sang pemuda den-
gan senyum mengejek. Salah satu dari kedua orang ini berkata tanpa lagi
memandang. "Ganjaran apa yang pantas bagi manusia tak
tahu adat, Kakang?"
Orang yang dipanggil 'Kakang' tersenyum. Lalu
berkata. "Mulutnya ditampar sampai giginya tanggal!"
Sang pemuda yang mengerti bahwa kata-kata
kedua orang tersebut ditunjuk padanya segera me-
langkah lebih dekat. Bibirnya menyunggingkan se-
nyum aneh. Lalu berkata dengan sibakkan jubahnya.
"Begitu" Baiklah!" bersamaan dengan itu serangkum angin deras menyambar ke arah
dua orang di hadapan sang pemuda. Karena dua orang tersebut tak
menduga, keduanya terkejut, dan buru-buru berdiri
hendak menghindar. Namun sambaran jubah sang
pemuda sudah terlebih dahulu menghantam.
Desss! Desss! Tubuh dua orang yang duduk di atas bangku
itu terhumbalang. Waktu terhumbalang kaki salah sa-
tu orang tersebut tak sengaja melentik ke arah meja, hingga meja yang masih
terdapat makanan dan minuman itu terbalik. Makanan dan minumannya meraupi
kedua orang yang terhumbalang. Sesaat dua orang ini mencak-mencak lalu bangkit
dengan menyumpah panjang pendek.
Sang pemuda tidak tersenyum. Malah sepasang
matanya menatap tajam, membuat dua orang ini kelu-
arkan keringat dingin dan lutut gemetar. Kedua sesaat saling berpandangan, lalu
bagai dikomando keduanya
langsung melangkah cepat hendak pergi.
Sang pemuda cepat gerakkan kakinya ke arah
kaki meja yang terbalik.
Prak! Dua kaki meja serentak patah. Dengan gerakan
cepat patahan kaki meja yang membumbung itu dia
tangkap dan serta merta dia lemparkan ke arah dua
orang yang hendak lari.
Seett! Seettt! Karena kaget dan terkesima, dua orang ini tak
bergerak sedikit pun. Malah mulut masing-masing
menganga lebar. Saat itulah kedua kaki meja melayang deras dan menghajar mulut
dua orang tersebut!
Dua orang ini menjerit keras. Dengan menutupi
masing-masing mulutnya yang tampak mengucurkan
darah, keduanya segera lari keluar kedai.
Melihat apa yang terjadi, beberapa pengunjung
segera berdiri dan seraya beringsut satu persatu keluar. Sang pemuda mengawasi
satu persatu pengun-
jung yang keluar dengan senyum sinis. Dia lantas melangkah menuju sebuah meja
yang telah ditinggalkan
pengunjung. Dengan acuh pemuda ini segera hem-
paskan pantatnya ke bangku.
Pemilik kedai mengkerut di sudut belakang.
Bahkan dia memejamkan kedua matanya dengan lutut
bergetar. Karena lama tidak ada orang yang mendatangi.
Pemuda ini busungkan dadanya dan berkata.
"Kalau tak ingin meja-meja ini hancur, lekas
siapkan makan dan minum! Cepat!"
Mendengar nada ancaman orang ini, dan sebe-
lum orang ini melaksanakan ancamannya, pemilik ke-
dai dengan tubuh gemetaran melangkah mendekat.
"Sial! Aku tak menyuruh kau ke sini. Kau ku-
suruh menyiapkan makanan!" bentak sang pemuda
dengan melirik tajam. Pemilik kedai tergopoh-gopoh
balikkan tubuh dan masuk ke dalam.
"Manusia macam itu, tidak layak lagi diberi hidup!" berkata Putri Tunjung Kuning
dengan memperhatikan sang pemuda lebih seksama. Matanya membe-
sar agak merah menahan marah melihat tingkah sang
pemuda. Di pihak lain Sakawuni tampak tercenung
bengong. Sepasang matanya tak kesiap memandang
dari ujung kaki hingga ujung rambut pada sang pemu-
da. Keningnya terus-menerus mengkerut.
"Apa penglihatanku tak keliru" Ah, tidak! Pasti dia! Tapi kenapa perangainya
jauh berubah" Sebaiknya aku menghindarinya. Kalau Putri Tunjung Kuning
tanya, aku akan beralasan...," batin Sakawuni seraya berpaling pada Putri
Tunjung Kuning.
Putri Tunjung Kuning seolah tahu, dia pun se-
gera menoleh. "Kau takut?" tanya Putri Tunjung Kuning begitu melihat perubahan pada wajah
Sakawuni. Sakawuni menggeleng. Namun matanya melirik
pada sang pemuda yang tampaknya juga sedang meli-
rik ke meja Sakawuni dan Putri Tunjung Kuning. Sang pemuda kernyitkan dahi.
"Sepertinya aku mengenalinya. Ah, betul. Dia
adalah Sakawuni. Hmm.... Sebuah keistimewaan ter-
sendiri bagiku. Tak disangka-sangka, ternyata orang yang kucari kutemukan di
sini! Siapa gerangan yang
bersamanya...?" membatin sang pemuda. Lirikannya kini ditujukan pada Putri
Tunjung Kuning.
"Aku tak bisa mengenalinya! Itu tak penting.
Yang penting dia juga berwajah cantik. Hmmm.... Ma-
lam nanti nampaknya menjadi malam paling berkesan.
Aku ingin menikmati keduanya. Ha... ha... ha...! Tapi akan kubiarkan dahulu dia
meninggalkan tempat ini.
Dengan demikian aku lebih leluasa...," berpikir begitu,
sang pemuda lantas mengalihkan pandangannya ke
jurusan lain, dan seolah acuh.
Di lain pihak, meski hanya selintas, Sakawuni
bisa melihat perubahan pada wajah sang pemuda.
Hingga saat itu juga dia palingkan wajahnya, membuat Putri Tunjung Kuning heran.
"Kau kenal manusia sombong itu?" tanya Putri Tunjung Kuning dengan melirik pada
sang pemuda. Sakawuni tidak menjawab. Malah dia bangkit
dan berkata. "Kita bicarakan nanti di luar. Kita harus cepat tinggalkan tempat ini! Atau
kalau kau tak mau, aku
akan keluar sendiri!"
Habis berkata, tanpa menunggu lagi, Sakawuni
segera bangkit dari tempat duduknya dan melangkah
cepat keluar dari kedai.
Putri Tunjung Kuning sejenak menatap pada
sang pemuda lalu beralih pada Sakawuni.
"Ada apa sebenarnya antara Sakawuni dan pe-
muda congkak ini" Tampaknya mereka saling kenal!
Sebaiknya aku menyusul Sakawuni. Toh nanti masih
bisa kembali ke sini lagi. Kukira pemuda itu masih la-ma di sini. Aku akan


Pendekar Mata Keranjang 11 Gembong Raja Muda di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memberinya pelajaran biar tak
bersikap sombong!" kata Putri Tunjung Kuning dalam hati seraya menyusul
Sakawuni. Di luar Sakawuni segera berkelebat dan berlari
menuju arah selatan. Begitu sampai di tempat agak
sepi, Sakawuni hentikan langkah. Sepasang matanya
sejenak memandang berkeliling.
"Aku hampir tak percaya bahwa dia adalah Ka-
kang Pandu. Tapi, kenapa bisa begitu" Dan tampaknya dia sekarang berilmu tinggi!
Hmm.... Kakang Pandu....
Apa yang membuatmu berubah" Kau dulu begitu arif
pada setiap orang, bahkan kau akan bertindak keras
pada orang yang bersikap kurang santun. Tapi kini"
Apa karena kau telah berilmu tinggi atau...," Sakawuni tidak meneruskan kata
hatinya, karena saat itu juga dari arah belakang terdengar orang memanggil
namanya. Tahu siapa orang yang menyusul, Sakawuni
segera balikkan tubuh. Putri Tunjung Kuning terlihat berkelebat ke arahnya.
"Hmm.... Gadis ini rupanya juga berilmu...,"
membatin Sakawuni seraya menyongsong Putri Tun-
jung Kuning. Begitu sampai Putri Tunjung Kuning
langsung ajukan pertanyaan.
"Katakan siapa adanya pemuda tadi. Tampak-
nya kau mengenalinya...!"
Sakawuni menatap Putri Tunjung Kuning lekat-
lekat. Raut wajahnya jelas menyembunyikan kebim-
bangan. Setelah menarik napas dalam-dalam, dia ber-
kata. "Aku rasa-rasanya memang mengenalnya, tapi aku belum yakin benar, karena
tiga tahun yang lalu
dia tidak begitu. Tapi entahlah.... Mungkin benar dia orangnya atau bukan...."
"Tapi bukan diakan yang kau cari?" tanya Putri Tunjung Kuning seraya balas
tatapan Sakawuni. Sakawuni menggeleng sambil tersenyum. Namun se-
nyumnya serasa dipaksakan.
"Kalau benar dia orang yang kau kenal, siapa
dia?" sambung Putri Tunjung Kuning.
"Kakak seperguruanku. Namanya Pandu. Kami
berdua pernah berguru bersama-sama. Namun setelah
Guru meninggal dunia kami mencari jalan sendiri-
sendiri...," Sakawuni berkata sambil tengadahkan kepala. Suaranya sedikit
tersendat dan bergetar.
"Tapi kenapa kau tampaknya ketakutan. Kalian
punya masalah?"
"Ah, pertanyaan gadis ini tak mungkin kuja-
wab. Ku ingin masalah ini hanya aku yang tahu...," setelah tercenung sebentar
Sakawuni berkata.
"Aku tak pernah takut menghadapi siapa pun
juga. Hanya untuk sementara ini memang tak mengin-
ginkan bertemu dengannya...."
Meski Putri Tunjung Kuning tahu bahwa Saka-
wuni menyembunyikan sesuatu, namun dia tak hen-
dak menanyakan lebih jauh.
"Hmm.... Siapa pun dia adanya, dia pantas di-
beri pelajaran. Aku akan kembali ke kedai...."
Berpikir begitu, Putri Tunjung Kuning segera
balikkan tubuh hendak berkelebat ke arah dari mana
dia datang. "Kau tunggu di sini sebentar...."
"Putri Tunjung Kuning! Kuharap kau tak kem-
bali ke kedai. Itu hanya akan menambah masalah!"
ujar Sakawuni sambil melangkah mendekat. Namun
Putri Tunjung Kuning sepertinya tidak mendengar ka-
ta-kata Sakawuni. Begitu Sakawuni melangkah ke
arahnya, Putri Tunjung Kuning berkelebat.
"Aku tak akan mencampuri urusan di antara
kalian. Aku hanya ingin memberi pelajaran padanya
agar dia tidak bersikap sombong pada orang!" terdengar suara Putri Tunjung
Kuning meski tubuhnya su-
dah lenyap dari pandangan Sakawuni.
"Gadis keras hati. Semoga saja yang di kedai
tadi bukan Kakang Pandu adanya. Meski Kakang Pan-
du mungkin masih menyimpan rasa jengkel dan sakit
hati padaku, namun bagaimanapun juga dia masih
kakakku. Ah, seandainya tidak muncul Pendekar 108,
mungkin masalah ini tak terjadi. Hmm..., Pendekar
Mata Keranjang 108, ke mana dia perginya" Kenapa
aku tak bisa melupakannya" Meski hatiku sakit meli-
hat dirinya sewaktu bersama gadis di Kampung Blum-
bang. Apakah ini yang namanya cinta" Benci namun
rindu untuk jumpa" Dan seandainya waktu itu tak ke-
pergok Gongging Baladewa, mungkin dia sudah dapat
kutemukan.... Sekarang ke mana aku harus menca-
rinya" Mencari orang seperti dia layaknya mencari
permata di tengah padang pasir. Tapi.... Aku harus
mencarinya...."
Setelah merenung sejenak, Sakawuni segera
balikkan tubuh hendak pergi. Namun sebuah bayan-
gan mendadak berkelebat dan tahu-tahu telah berdiri di depannya. Gadis ini cepat
miringkan tubuhnya, karena bersamaan dengan berkelebatnya sang bayangan,
angin deras menderu menyambar.
Sakawuni serta merta membelalakkan sepa-
sang matanya, dahinya berkerut, sementara secara tak sadar langkahnya tersurut
dua tindak ke belakang.
"Ah, rupanya dia!" gumam Sakawuni dengan
bibir mengatup.
*** DELAPAN DI hadapan Sakawuni berdiri seorang pemuda
berwajah tampan. Mengenakan jubah panjang warna
belang merah dan hitam. Rambutnya panjang sebahu.
Sepasang matanya menyorot tajam. Pemuda yang bu-
kan lain memang Pandu atau yang kini menjuluki
dengan Gembong Raja Muda sejenak mengawasi Sa-
kawuni dengan tatapan dingin. Bibirnya tersenyum
tawar. "Sakawuni.... Kau tampaknya makin cantik sa-
ja, membuatku ingin segera dapat menikmati tubuh-
mu.... Hmm.... Yang seorang lagi kulihat kembali ke kedai, ini kesempatan bagus.
Setelah kau dapat kutak-lukkan, gadis itu pasti akan kembali ke sini. Hmm....
Malam ini tampaknya aku akan menikmati dua tubuh
yang sama-sama menjanjikan kehangatan...," membatin Pandu dengan tatapan tidak
beranjak dari tubuh
Sakawuni. "Kau..." Bukankah kau Kakang Pandu...?" Sakawuni angkat bicara. Namun jelas
sekali suaranya
bergetar. Pandangannya beralih pada jurusan lain
meski sesekali melirik.
Yang ditanya tidak cepat menjawab. Malah bi-
birnya menyunggingkan senyum. Senyum aneh yang
sulit diartikan. Sementara sepasang matanya tak juga habis-habisnya menjilati
dada dan pinggul gadis di hadapannya.
"Hmm.... Kenapa dia jadi berubah begini" Lan-
tas apa yang harus kuperbuat sekarang?" membatin Sakawuni setelah dapat
meyakinkan diri bahwa pemuda di hadapannya kini adalah Pandu alias Gembong
Raja Muda, kakak seperguruannya.
Selagi Sakawuni dilanda kebingungan tak tahu
harus berbuat apa, Pandu melangkah maju setindak
sambil berkata.
"Sakawuni! Apa kau sudah lupa padaku hingga
mengajukan pertanyaan yang seharusnya tidak kau
ucapkan" Bagaimana keadaanmu" Mana kekasihmu,
he...?" Mendengar kata-kata Pandu, paras Sakawuni berubah mengelam. Dia segera
palingkan wajah dan
menatap tajam menusuk bola mata pemuda di hada-
pannya. "Kakang Pandu. Aku layak bertanya padamu,
karena kau sekarang telah jauh berubah dengan Ka-
kang Pandu yang kukenal selama ini!"
Pandu tertawa bergelak-gelak mendengar per-
nyataan Sakawuni. Namun tiba-tiba dia hentikan ta-
wanya dan berkata.
"Dengar Sakawuni! Aku sekarang bukanlah
Pandu. Aku adalah Gembong Raja Muda!"
"Hmm.... Gelar bagus!" puji Sakawuni dengan senyum sinis. "Kalau boleh aku tahu,
ke mana saja Kakang selama ini?"
Gembong Raja Muda tak segera menyahut. Dia
dongakkan kepala. Bibirnya menyeruakkan senyuman.
Namun senyum itu tiba-tiba pupus tatkala dia kembali luruskan pandangannya dan
berkata, "Aku tak bisa mengatakannya padamu. Yang
perlu kau tahu, saat ini aku sedang mencari kekasih-mu! Pendekar Mata Bongsang!
Tak usah kau tanya,
kau tentunya tahu apa masalahnya!"
"Tapi Kakang.... Sebaiknya kau...," belum habis kata-kata Sakawuni, Pandu telah
menyela. Wajahnya
merah padam dengan rahang terangkat.
"Sakawuni! Aku tak butuh nasihatmu!"
"Begitu" Apa kau lupa, bahwa aku adalah adik
seperguruanmu yang tidak ada jeleknya jika memberi
saran" Apa kau lupa ucapan mendiang Guru?"
Pandu kembali tertawa bergelak-gelak. "Saka-
wuni! Kau tak usah mengingat hal-hal seperti itu, karena aku sudah membuangnya
jauh-jauh! Di antara
kita sekarang tak ada lagi pertalian saudara seperguruan. Yang ada hanyalah dua
manusia lain jenis!"
"Apa maksudmu, Kakang?"
Pandu mengarahkan pandangan matanya pada
dada dan pinggul Sakawuni bergantian dengan se-
nyum, membuat gadis yang dipandangi merasa teng-
kuknya dingin dan mengumpat habis-habisan dalam
hati. "Kau tak usah tanya apa maksudku. Yang pasti kau sekarang harus ikut
denganku! Percayalah, aku
tak akan menyakitimu, malah aku akan memberimu
kenikmatan! Ha... ha... ha...!"
"Mulutmu kotor, Kakang! Sadarlah Kakang!
Kau selama ini hanya dibakar perasaan dendam dan
cemburu, padahal jika kau mau berpikir jernih, tak
mungkin semua ini terjadi!"
"Tutup mulutmu, Sakawuni! Dengar. Kaulah
yang harus sadar! Kau bisa-bisanya melupakan masa-
lah pembunuh gurumu hanya karena orang yang
membunuh adalah orang yang kau cintai!" bentak Pandu dengan suara menggeledek.
"Kau tolol Sakawuni! Mengenyahkan masalah besar hanya karena cinta!"
"Kau keliru, Kakang! Kaulah yang memperbesar
masalah karena dibakar cemburu!"
Pandu tersenyum sinis. Dia lantas melangkah
lagi dua tindak ke depan.
"Sakawuni! Aku telah melupakan urusan cinta
dan cemburu. Aku sekarang tak butuh lagi cinta, ka-
rena aku bisa mendapatkan di mana-mana! Bahkan
darimu!" Habis berkata, Pandu segera berkelebat. Ber-
samaan dengan kelebatnya tubuh Pandu, serangkum
angin menyambar kencang dari mengibasnya jubah
yang dikenakannya.
Sakawuni yang masih tercenung mendengar
kata-kata Pandu segera menyisih ke samping. Wajah-
nya jelas mengisyaratkan keterkejutan besar. Dan belum lenyap rasa terkejutnya,
dari arah samping men-
deru angin deras.
"Kakang! Apa maumu dengan semua ini"!" teriak Sakawuni seraya meloncat tiga
langkah ke bela-
kang. "Ha... ha... ha...! Kau ternyata benar-benar bo-doh! Tubuhmu perlu diberi
kenikmatan agar otakmu
bisa menangkap bicara orang!"
"Ingat, Kakang! Aku adalah adikmu. Tak pantas
kau bicara begitu!"
"Adik tinggal adik. Kenikmatan tak memper-
soalkan itu! Kalau kenikmatan itu ada pada sang adik, apakah harus mencari orang
lain"!"
"Gila! Tampaknya untuk membalas sakit ha-
tinya karena kutolak cintanya, dia sekarang mengin-
ginkan tubuhku! Hmm.... Jangan dikira aku akan me-
nyerah begitu saja, meski aku tahu, kau sekarang ber-kepandaian tinggi...,"
membatin Sakawuni seraya melirik tajam pada Pandu yang kini lima langkah di sam-
pingnya dan memandangi dirinya dengan senyum-
senyum dan jakun bergerak turun naik.
"Sakawuni! Menyerahlah kau padaku dengan
baik-baik. Dengan demikian kita bisa menikmati ke-
bersaman ini lebih asyik!"
Mendengar kata-kata Pandu, kemarahan Saka-
wuni yang sedari tadi ditahan-tahan meledak. Seraya mendengus geram, dia
melompat ke depan dan berkata.
"Otakmu yang kotor itu sudah layak diberi pe-
nyegaran!"
Weesss! Serangkum angin kencang segera melesat me-
nyambar ke arah Pandu. Namun yang diserang tak be-
rusaha mengelak. Pandu malah dongakkan kepala dan
tertawa ngakak.
"Betul. Penyegaran itu adalah tubuhmu. Ha...
ha... ha...!"
Sejengkal lagi serangan Sakawuni menghantam
tubuh Pandu, pemuda ini segera doyongkan tubuhnya
ke samping. Serangan Sakawuni menyisih dan meng-
hantam tempat kosong. Di kejap itu, Pandu sibakkan
jubahnya, dan tubuhnya berkelebat lenyap.
Di kejap lain, terdengar seruan tertahan dari
mulut Sakawuni. Dia terhuyung ke belakang dua tin-
dak seraya memegangi kain bawahnya yang terasa ter-
sambar benda tajam. Begitu menunduk, gadis cantik
ini pucat pasi. Ternyata kain bawahnya bagian paha
robek menganga, membuat pahanya jelas terlihat!
Enam langkah di hadapan Sakawuni, Pandu
tegak dengan tersenyum. Matanya menyengat tajam
pada paha Sakawuni.
"Sakawuni! Tawaranku masih berlaku! Bagai-
mana..."l"
"Manusia kotor!" hardik Sakawuni. Gadis ini segera meloncat ke depan, kedua
tangannya berkelebat cepat menghantam kepala Pandu. Lagi-lagi yang diserang tak
bergerak menghindar. Baru saat kedua tan-
gan itu hampir menemui sasaran, sang pemuda run-
dukkan kepalanya, dan tangannya bergerak cepat dari bawah menyamping.


Pendekar Mata Keranjang 11 Gembong Raja Muda di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Breett! Kain bagian dada Sakawuni robek besar. Bu-
kan hanya sampai di situ, begitu berhasil merobek pakaian bagian dada, tangan
Pandu bergerak ke samp-
ing, dan.... Breett! Kain bagian pinggang kanan juga robek.
Sakawuni menjerit tinggi. Dia segera tarik pu-
lang kedua tangannya, dan serta merta undurkan kaki dua langkah ke belakang,
lalu dihantamkannya ke de-
pan. Tangan kiri Pandu coba menyabet kaki Saka-
wuni, namun Pandu tertipu, karena Sakawuni cepat
tarik pulang kakinya sebelum kaki itu lurus menghantam, dan begitu tangan kiri
Pandu bergerak, tubuh
Sakawuni doyong sedikit ke depan, tangannya pun
bergerak cepat.
Desss! Pundak Pandu telak terhantam pukulan tangan
Sakawuni. Namun Sakawuni terlengak. Pandu tidak
keluarkan seruan, malah tubuhnya tidak sedikit pun
bergeming. Padahal saat pukulkan tangan, Sakawuni
telah kerahkan setengah dari tenaga dalamnya.
"Sakawuni! Kau bisa memilih bagian tubuhku
yang kau suka! Keluarkan ilmu yang kau pelajari dari Ageng Panangkaran! Ha...
ha... ha...!"
"Ilmu ternyata telah merubah dirimu, Kakang!
Tapi jangan kau kira aku akan menyerah!"
"Bagus! Itu akan menambah gairahku!" jawab Pandu dengan usap-usap dagunya.
Sementara matanya tak kesiap memandangi dua buah dada Saka-
wuni yang menyembul dari balik pakaiannya yang ro-
bek. Meski diam-diam Sakawuni merinding, namun
dia tak hendak menyerahkan diri. Dengan berteriak
lengking gadis ini kembali menyerang. Dua tangannya dipukulkan ke depan. Dua
larik sinar redup segera
menyambar. Itulah pukulan 'Kilat Halilintar'.
"Kilat Halilintar. Apa hebatnya?" ujar Pandu dengan menyeringai. Dia segera
lesatkan diri ke udara, membuat serangan yang dilancarkan Sakawuni lagi-lagi
menghantam angin.
Dari atas udara, Pandu sibakkan jubahnya.
Angin kencang menderu. Bersamaan dengan itu tu-
buhnya melayang ke bawah dengan kaki kanan lurus!
Sakawuni sesaat jadi tercenung. Dia merasa tak
ada apa-apanya dibanding dengan bekas kakak seper-
guruannya ini. Namun dirinya juga tak mau pasrah.
Apalagi mengingat ungkapan kotor dari mulut Pandu.
Maka ketika sambaran jubah Pandu menggebrak, ga-
dis ini segera menyambutnya dengan kirimkan kembali pukulan 'Kilat Halilintar'.
Hebatnya meski serangan yang dilancarkan
Pandu hanya dengan mengandalkan sibakan jubah-
nya, namun hal itu mampu membendung tangkisan
Sakawuni. Hingga saat itu juga terdengar benturan
dahsyat yang keluarkan suara berdebam.
Sakawuni terjajar satu langkah ke samping.
Saat itulah, tubuh Pandu menukik ke arahnya. Meski
Sakawuni coba menghindar dengan meloncat lagi ke
samping, namun gerakan Pandu ternyata telah menge-
tahui langkah Sakawuni. Hingga tubuhnya pun segera
menerabas ke samping. Namun Sakawuni dibuat ter-
kejut, karena Pandu tidak kirimkan serangan. Dan selagi Sakawuni dilanda bingung
mendapati sikap Pan-
du, pemuda ini gerakkan kedua tangannya.
Sakawuni berserikeras. Dia hendak melangkah
maju, karena saat itu Pandu berada di belakangnya.
Namun Sakawuni tercengang kaget. Wajahnya beru-
bah pias. Ternyata tubuhnya tak bisa digerakkan!
Pandu tertawa terbahak-bahak. Pemuda ini
ternyata telah menggerakkan kedua tangannya meno-
tok punggung dan leher Sakawuni, membuat gadis ini
tegang kaku. Hanya bisa buka suara tanpa bisa meng-
gerakkan anggota tubuhnya. Lantas masih dengan ter-
tawa terbahak-bahak, Pandu menyergap tubuh Saka-
wuni, dan dengan gerakan cepat tubuh itu dibopong-
nya. "Manusia kotor! Lepaskan aku!" Sakawuni menjerit keras di bopongan Pandu yang
kini melangkah perlahan ke balik pohon besar. Lalu terdengar suara kain terobek dengan paksa,
dan bersamaan itu juga
terdengar umpatan panjang pendek yang disahuti den-
gan tawa gelak-gelak.
"Berteriaklah setinggi langit, Sakawuni! Itu
akan menambah nafsuku. Ha... ha... ha...!"
Sesaat lagi Pandu alias Gembong Raja Muda
berhasil melampiskan nafsu bejatnya pada Sakawuni,
tiba-tiba serangkum angin deras menyambar. Karena
saat itu Pandu dalam keadaan diamuk nafsu, mem-
buat kewaspadaannya jauh berkurang, hingga meski
sambaran itu hanya perlahan, dia tak sanggup untuk
mengelak. Tubuh Pandu yang tadi terlihat hendak menin-
dih tubuh Sakawuni serentak terbanting keras ke
samping. Dan bersamaan dengan itu sebuah kilatan
berwarna kuning segera menggebrak!.
Pandu yang masih terkejut lagi-lagi kalah cepat
untuk menghindar. Hingga tak ampun lagi kilatan
warna kuning itu menerabas tubuhnya. Tubuhnya
kembali terbanting. Dari hidungnya mengucur darah
segar dan bibirnya nampak pecah-pecah!
Seraya menggereng marah, Pandu cepat le-
satkan diri ke samping. Dan siap kirimkan serangan.
Namun dia urungkan niat tatkala dia melihat siapa
adanya orang yang sepuluh langkah di hadapannya.
SEMBILAN TERNYATA dia adalah seorang gadis cantik jeli-
ta mengenakan pakaian warna kuning, dan bukan lain
adalah Putri Tunjung Kuning.
"Jahanam busuk! Laki-laki tak tahu malu!
Apakah pantas perbuatan ini kau lakukan pada sau-
dara seperguruanmu" Orang macam kau jika dibiar-
kan bisa merendahkan harkat perempuan. Mampus
adalah imbalan setimpal untuk laki-laki sepertimu!"
Putri Tunjung Kuning berkata seraya memandang ta-
jam pada Pandu.
Seraya mengusap-upas bibirnya Pandu kelua-
rkan dengusan. Mulutnya dia kembungkan lalu melu-
dah ke tanah. Sejenak kepalanya berpaling pada Sa-
kawuni yang masih telentang dengan pakaian tak ka-
ruan. Lalu beralih pada Putri Tunjung Kuning.
"Perempuan macam dia harkatnya memang
pantas untuk direndahkan agar dia bisa berpikir seca-ra jernih! Lalu, apakah kau
juga ingin menikmati ke-senangan seperti ini?"
Paras Putri Tunjung Kuning berubah merah
padam. Tangannya mengepal dengan mata berkilat
menusuk. "Dengar laki-laki kotor! Yang ku ingin adalah menanggalkan kepalamu!"
Pandu tertawa gelak-gelak. Kedua tangannya
bergerak merapikan jubah lorengnya, lalu melangkah
maju, dan berkata.
"Kau ingin menanggalkan kepalaku. Hmm....
Aku ingin menanggalkan pakaianmu! Ha... ha... ha...!"
"Setan alas!" sergah Putri Tunjung Kuning seraya melompat ke depan dan hantamkan
kedua tan- gannya. Kali ini dia kerahkan setengah dari tenaga dalamnya. Hingga saat itu
juga berlarik-larik sinar kuning melesat ke arah Pandu alias Gembong Raja Muda.
Dari kilatan yang redup dan berhawa panas
yang menyertai sentakan tangan Pandu, Pandu sadar
jika serangan itu tidak bisa dipandang enteng. Sambil sibakkan jubahnya, Pandu
menghindar ke samping.
Dari arah samping pemuda ini segera pukulkan kedua
tangannya memapak serangan Pandu.
Bummm! Terdengar ledakan dahsyat tatkala dua pukulan
itu bertemu di udara. Tempat itu bergetar hebat. Tubuh Sakawuni yang tak jauh
dari tempat bertemunya
serangan itu terguling dengan keluarkan seruan tertahan. Sementara, Putri
Tunjung Kuning terlihat su-
rutkan langkah ke belakang dengan memegangi da-
danya. Dia segera salurkan hawa murni ke dada untuk mengurangi rasa nyeri yang
mendera dadanya. Di lain pihak, Pandu tak bergerak dari tempatnya semula. Da-ri
kejadian ini Putri Tunjung Kuning sadar jika pemuda di hadapannya tidak bisa
dipandang sebelah mata.
Menyadari hal itu, Putri Tunjung Kuning segera ta-
kupkan kedua tangannya sejajar dada. Matanya me-
mejam dengan mulut berkemik. Tampaknya dia akan
melakukan serangan andalan. Hal ini bisa dimengerti, karena jika dia menunggu
diserang, bukan tidak
mungkin dia akan segera dapat ditaklukkan lawan.
"Laki-laki busuk! Terimalah kematianmu!"
Bersamaan dengan makian itu Putri Tunjung
Kuning buka kedua tangannya dan serta merta dihan-
tamkan ke arah Pandu yang tampaknya menunggu.
Segelombang angin deras yang mengeluarkan
suara menggeledek dan kilatan-kilatan kuning meng-
gebrak ke depan.
Satu depa lagi gelombang itu menghajar tubuh
Pandu, pemuda ini lesatkan diri ke udara. Dari udara kedua tangannya disentakkan
ke bawah. Blarrr! Tanah terbongkar dengan meninggalkan lobang
menganga sedalam setengah tombak. Putri Tunjung
Kuning tampak terhuyung-huyung ke belakang. Dia
coba menahan gerak tubuhnya, namun kakinya goyah,
hingga saat itu juga tubuhnya jatuh terduduk dengan kaki menekuk!
Di atas udara, setelah hantamkan kedua tan-
gannya, Pandu kibaskan tangan kirinya.
Weeettt! Tiga benda hitam melesat ke arah Putri Tun-
jung Kuning yang berusaha bangkit. Anehnya, tiga
benda hitam yang ternyata adalah tiga kuntum bunga
hitam itu menebar dan menukik dengan mengarah da-
ri tiga jurusan.
Putri Tunjung Kuning terkejut. Mula-mula dia
hanya melihat kuntum bunga itu lurus ke arahnya,
namun ketika tiba-tiba kuntum bunga itu menebar
malah menyambar dari depan, samping kanan, dan
samping kiri gadis ini terlihat gugup. Dia segera berseru keras, tubuhnya dia
rebahkan ke samping kanan,
lalu tangannya dia hantamkan ke depan dan samping
kiri. Taasss! Taaasss!
Dua kuntum bunga yang menyambar dari arah
depan dan samping kiri hancur berhamburan. Namun
bunga yang datang dari arah kanan lolos dari serga-
pannya meski saat itu kaki kanannya telah dia angkat dan dijejakkan menyilang.
Hingga tanpa ampun lagi,
kuntum bunga itu menerabas cepat ke pundaknya!
Putri Tunjung Kuning menjerit lengking. Meski
hanya sekuntum bunga, namun nyatanya bunga itu
mampu merobek pakaiannya, bahkan kulit di balik
pakaian itu merah bagai kulit dipanggang.
Dengan meraba pundaknya, Gadis ini bangkit,
dan sekonyong-konyong tubuhnya melesat ke depan,
saat mana Pandu baru saja mendarat dengan terse-
nyum-senyum. Pandu hanya melihat dua kilatan benda hitam
yang mendesir. Tahu-tahu kedua tangan Putri Tunjung Kuning telah meluruk di
depan kepalanya!
Meski sempat terkejut, namun pemuda ini tak
berbuat ayal. Dia segera angkat kedua tangannya dan diputar di atas kepalanya.
Dengan demikian selain melindungi kepala, dia juga menangkis.
Prakkk! Prakkk!
Dua pasang tangan bentrok di atas kepala Pan-
du. Putri Tunjung Kuning memekik kesakitan. Dia se-
gera undurkan kakinya dua tindak lalu kaki kanannya dia hantamkan ke depan.
Tapi yang diserang tampaknya telah dapat
membaca arah serangan. Hingga begitu kaki kanan
Putri Tunjung Kuning melejang ke depan, Pandu run-
dukkan tubuhnya dan kaki kirinya menyapu ke arah
kaki kiri Putri Tunjung Kuning yang digunakan sebagai tumpuan tubuhnya.
Meski pun segera menarik pulang kaki kanan-
nya untuk mengimbangi tubuhnya yang hendak ter-
banting, namun terlambat. Karena saat itu juga tangan kanan Pandu bergerak cepat
dan menotok kaki serta
pundaknya! Karena tubuhnya tertotok sebelum roboh,
maka mau tak mau gadis ini tak bisa menghindar diri dari gerakan tubuhnya yang
hendak terbanting. Hingga kejap itu juga terdengar suara bergedebukan.
Pandu tertawa lalu melangkah ke arah Putri
Tunjung Kuning yang kini telah terkapar tanpa bisa
menggerakkan anggota tubuhnya. Namun mendadak
pemuda ini hentikan langkahnya. Seraya berpaling pa-da Sakawuni yang juga
terkapar, dia berkata.
"Gadis cantik! Tunggulah sebentar di sini. Lebih nikmat rasanya menikmati tubuh
gadis cantik di hadapan gadis cantik lain! Ha... ha... ha...!" Pandu balikkan
tubuh dan melangkah ke arah Sakawuni.
"Jahanam! Ternyata kau adalah laki-laki bang-
sat yang hanya berani dengan perempuan-perempuan
tak berdaya! Aku bersumpah akan menguliti tubuhmu
jika kau masih bertindak tak senonoh!" kata Sakawuni dengan mata merah berkilat-
kilat. Pandu tidak mendengarkan kata-kata Sakawu-
ni meski telinganya tampak merah. Dia segera mem-
bungkuk dan dengan cekatan tangannya bergerak. Ta-
hu-tahu tubuh Sakawuni telah berada di gendongan-
nya. "Gadis liar! Nampaknya kau belum pernah merasakan nikmatnya kebersamaan.
Jika tahu, kau ten-
tunya tak akan merendeng begini rupa. Bahkan seba-
liknya kau akan terpejam-pejam sambil minta sekali
lagi! Ha... ha... ha...!"
Pandu seraya tertawa melangkah ke arah Putri
Tunjung Kuning. Lalu membaringkan tubuh Sakawuni
di samping Putri Tunjung Kuning. Matanya sejenak
memandangi dua gadis di hadapannya yang telentang


Pendekar Mata Keranjang 11 Gembong Raja Muda di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tanpa daya. Bibirnya mengeluarkan kata-kata perla-
han yang tak bisa ditangkap pendengaran. Sepasang
matanya lantas menebar berkeliling.
"Hmm.... Dari pada mencari tempat lain, di sini pun tak apa...." Berpikir
begitu, Pandu lantas tengadahkan kepala dan berkata.
"Di antara kalian, siapa yang minta duluan"!"
Sakawuni dan Putri Tunjung Kuning saling
berpandangan. Paras keduanya telah pucat pasi. Ke-
dua gadis ini tak ada yang angkat bicara.
"Baik. Jika kalian tak ada yang jawab, biarlah
aku sendiri yang menentukan siapa orang yang akan
menikmati terlebih dahulu!" Pandu lantas melangkah setindak ke dekat Putri
Tunjung Kuning. Yang didatangi membelalakkan mata dengan bibir mengatup ra-
pat. Dan tanpa berkata lagi, Pandu bungkukkan tu-
buhnya, tangannya bergerak.
Brettt! Breett!
Pakaian bawah Putri Tunjung Kuning robek be-
sar, menampakkan pahanya yang putih mulus. Gadis
ini menjerit. Dari mulutnya keluar makian panjang
pendek. Sementara Sakawuni tak berani berpaling. Dia memejamkan sepasang matanya
dengan bibir bergetar.
Pandu menggerakkan kedua tangannya, tangan
kanan mengusap-usap janggutnya, sementara tangan
kiri membuka satu persatu kancing jubahnya. Meski
Putri Tunjung Kuning memaki terus menerus, namun
Pandu seolah tak ambil peduli.
Begitu semua kancing jubahnya telah terbuka,
Pandu keluarkan tawa tergelak-gelak. Namun tiba-tiba dia melompat ke samping,
dan berdiri dengan rentangkan kakinya di atas tubuh Sakawuni.
Sakawuni yang sedari tadi memejamkan mata
segera membuka kelopak matanya begitu terasa ada
angin berdesir di atas tubuhnya. Gadis ini kontan
menjerit dengan bibir gagu! Di atas tubuhnya, Pandu tertawa. sambil memandangi
dada Sakawuni yang
nampak naik turun.
Dengan tetap tertawa, perlahan-lahan Pandu
gerakkan tubuhnya membungkuk, sementara tangan-
nya pun bergerak hendak menyentuh dada Sakawuni.
Saat itulah mendadak terdengar orang berseru.
"Sobatku ini tampaknya orang serakah. Bagai-
mana kalau yang satunya untukku saja"!"
Bersamaan dengan terdengarnya seruan, angin
kencang menderu dengan keluarkan suara menggemu-
ruh dahsyat. "Keparat! Siapa berani mengganggu orang ingin
bersenang-senang"!" kata Pandu seraya melompat ke samping menghindari terjangan
angin. Dari sini Pandu segera balikkan tubuh ingin tahu siapa adanya orang yang
menghalangi hasratnya.
Di hadapan Pandu saat itu telah berdiri seorang
pemuda tegap. Wajahnya tampan dengan rambut di-
kuncir ekor kuda. Pemuda ini mengenakan pakaian
warna hijau yang dilapis dengan pakaian kuning len-
gan panjang. "Nampaknya hari ini adalah hari bersejarah ba-
giku. Sekali jalan bisa menemukan orang yang lama
kucari!" Sepasang mata Pandu mendelik besar. Rahangnya mengembang kaku dengan
tangan mengepal.
"Mata Keranjang 108. Perhitungan kita nam-
paknya akan selesai hari ini. Sebelum pergi untuk se-lamanya, apakah kau tak
ingin meninggalkan pesan
pada gadismu ini?" sambil berkata, pundak Pandu bergerak seakan menunjuk ke arah
Sakawuni. Di seberang, pemuda berbaju hijau dan bukan
lain memang Pendekar Mata Keranjang 108 mendadak
memenggal senyumnya tatkala mengetahui siapa
adanya pemuda yang hendak berbuat tidak senonoh.
Dan dadanya bergetar saat mendapati siapa adanya
dua gadis yang telentang.
"Sakawuni, Putri Tunjung Kuning! Kenapa ka-
lian bisa berurusan dengan pemuda ini..." Bagaimana kalian bisa bersamaan..."
Hmm.... Itu bisa kutanyakan nanti. Sekarang aku harus memberi pelajaran pada
pemuda ini. Hmm.... Tampaknya dia telah berubah.
Nada suaranya mengandung tenaga dalam kuat. Aku
tak boleh memandangnya sebelah mata...," membatin
Pendekar 108. Di lain pihak, begitu mengetahui siapa adanya
orang menggagalkan niat Pandu, baik Sakawuni atau
Putri Tunjung Kuning sama-sama mengeluarkan gu-
maman. "Ah, rupanya dia!" seru Sakawuni seraya memandang tajam pada Pendekar Mata
Keranjang 108. Bibirnya menyunggingkan senyum aneh.
Putri Tunjung Kuning yang mendengar seruan
Sakawuni segera berpaling, dan terheran-heran meli-
hat perubahan pada paras gadis di sebelahnya. "Rupanya dia mengenali Pendekar
Mata Keranjang 108.
Hmm.... Pendekar satu ini memang banyak disukai ga-
dis-gadis. Pandangan mata serta senyum Sakawuni ti-
dak bisa menyembunyikan rasa suka itu. Ah, sean-
dainya aku tidak mengalami nasib sial...," batin Putri Tunjung Kuning seraya
berpaling pada Sakawuni dan
berkata perlahan.
"Kau mengenali pemuda itu!"
Sakawuni seolah tak mendengar kata-kata Pu-
tri Tunjung Kuning. Matanya tetap menatap lurus pa-
da Pendekar Mata Keranjang.
"Kau kenal dengan pemuda itu?" ulang Putri Tunjung Kuning agak keras.
Sakawuni berpaling. Senyum di bibirnya masih
tampak. Dia menatap pada Putri Tunjung Kuning ber-
lama-lama, namun dari mulutnya tak terdengar uca-
pan. Baru ketika Putri Tunjung Kuning memperli-
hatkan rasa heran, Sakawuni anggukkan kepalanya.
Dan entah karena gembira atau tak sadar, Sakawuni
berkata. "Orang itulah yang sebenarnya kucari!"
Kini Putri Tunjung Kuning yang balik terkejut,
membuat Sakawuni menjadi terheran-heran. Namun
keduanya segera luruskan pandangannya ke depan ke-
tika didengarnya Aji alias Pendekar Mata Keranjang
108 berkata lantang.
"Pandu! Sebenarnya! masalah di antara kita ku
anggap selesai. Namun kulihat ulahmu, kau terlalu
enak jika dibiarkan menikmati hidup!"
Pandu tertawa mendengar kata-kata Pendekar
Mata Keranjang 108. Tapi tiba-tiba dia menghentikan tawanya dan berkata dengan
kedua tangan dia tarik ke belakang.
"Kau tak usah banyak ucap, Bangsat!"
Belum habis kata-katanya, Pandu telah berke-
lebat seraya hantamkan tangannya. Begitu angin deras menyambar keluar dari
tangannya, Pandu pun segera
melejit ke udara.
Di seberang, Aji cepat rebahkan diri ke samp-
ing, lalu dengan memutar tubuh menyusur tanah, ke-
dua tangannya bergerak memukul ke depan.
Bummm! Satu ledakan segera menyentak di tempat ini.
Tapi belum lenyap suara ledakan, tubuh Pandu telah
menukik dengan sepasang kaki menghujam ke arah
kepala Aji. Aji sedikit terkejut mendapati gerak cepat la-
wan. Dari sini Aji merasa yakin jika Pandu yang sekarang di hadapannya bukanlah
Pandu yang dahulu.
Murid Wong Agung ini segera tegakkan tubuh dan ke-
dua tangannya dia palangkan di atas kepala.
Prakk! Prakkk! Bentrok sepasang kaki dan tangan tak bisa di-
hindarkan lagi. Tubuh Aji tersurut dua langkah ke belakang. Sementara Pandu
membuat gerakan berputar
sekali lalu mendarat dengan kaki terlebih dahulu. Namun tampaknya Pandu tak
ingin berlama-lama. Begitu
mendarat dia segera melompat dengan lancarkan ten-
dangan ke arah dada Pendekar 108!
Wuuuttt! Secepat kilat Aji menarik kipas dari balik ba-
junya dan dikibaskan melengkung di depan dada. Na-
mun murid Wong Agung ini terkejut. Tendangan Pandu
seolah tak terbendung oleh sambaran kipasnya yang
mengeluarkan desiran angin dahsyat. Hingga dengan
menindih rasa terkejut, Aji cepat miringkan tubuh.
Tendangan kaki Pandu lewat sejengkal di bahunya,
namun kejap itu juga Pandu cepat tarik pulang ka-
kinya dan berputar. Kini kaki kirinya menggebrak!
Karena waktu itu Aji menghindar ke samping
kanan, sementara kaki Pandu menggebrak dari arah
kanan, membuat murid Wong Agung ini sedikit gugup.
Dia tarik kembali tubuhnya agar tegak, namun kaki
Pandu melesat lebih cepat.
Desss! Dada Pendekar Mata Keranjang 108 mentah-
mentah terhantam tendangan kaki kiri Pandu. Dia
mencelat hingga dua tombak ke belakang. Darah tam-
pak memercik dari hidung dan mulutnya.
"Hmm.... Rasa-rasanya aku pernah melihat ju-
rus yang dimainkannya...," Pendekar Mata Keranjang bangkit seraya mengusap
hidung dan mulutnya.
"Pandu! Apa hubunganmu dengan manusia
bernama Kunyil"!" kata Aji dengan menatap lurus.
Namun ekor matanya sekilas melirik pada Sakawuni
dan Putri Tunjung Kuning.
Mendengar pertanyaan Aji, paras Pandu beru-
bah. Namun hanya sekejap. Sesaat kemudian, senyum
telah menghiasi bibirnya. Lalu mulutnya membuka.
"Untuk mengantarmu menuju kematian, apa-
kah perlu menjawab soal hubungan segala?"
Pendekar Mata Keranjang 108 kertakkan ra-
hang. Tapi sebelum dia bergerak, Pandu telah menda-
hului melompat. Kedua tangannya lurus ke depan,
sementara kedua kakinya berputar-putar mengelua-
rkan suara dahsyat.
"Ilmu 'Sapu Bumi'!" gumam Aji seraya gulingkan tubuhnya ke atas tanah. Tapi
gerakan Aji kali ini tampaknya kurang cepat, karena meski tubuhnya dapat
terhindar dari terjangan sepasang kaki Pandu,
sambaran angin deras yang keluar dari tangan Pandu
menyapu tubuhnya. Hingga tak ampun lagi tubuh mu-
rid Wong Agung ini melayang dan jatuh terkapar di
atas tanah. Pandu tak sia-siakan kesempatan, dia segera
memburu. Dan begitu Pendekar Mata Keranjang 108
merambat bangkit, Pandu telah membentak garang se-
raya kirimkan tendangan dengan dua kaki!
Mendapati serangan bahaya, Aji cepat tarik ki-
pasnya sedikit ke belakang sementara tangan kirinya mengepal. Begitu tendangan
Pandu datang, kedua tangan Aji secara bersamaan menyentak ke depan.
Prakkk! Prakkk!
Terdengar dua kali bentrokan. Pandu keluarkan
seruan keras. Namun hebatnya dia segera dapat men-
guasai tubuhnya yang mencelat ke belakang, bahkan
dengan pengerahan tenaga dalam penuh, Pandu me-
mutar tubuhnya yang masih berada di atas udara dan
tiba-tiba tubuhnya kembali melesat ke depan.
Melihat lawan kembali melakukan serangan, Aji
yang masih terhuyung-huyung segera kibaskan kipas-
nya sementara tangan kirinya menghantam ke depan.
Sinar putih segera membersit dengan mengelu-
arkan suara menggidikkan. Murid Wong Agung tam-
paknya telah lepaskan pukulan 'Bayu Cakra Buana'.
Pandu merasakan tubuhnya bagai tertahan.
Dan dikejap lain sengatan hawa panas yang keluarkan suara bagai gelombang
menghantam tubuhnya yang
sedang menerjang ke arah Pendekar Mata Keranjang
108! Pandu masih mencoba menahan dengan pu-
kulkan kedua tangannya. Namun pukulannya bagai
tertahan hingga tak mampu menahan gerak laju tu-
buhnya yang melayang ke belakang.
Tubuh Pandu menyuruk tanah. Jubah loreng-
nya tampak hangus dan robek di sana-sini. Dari sudut bibirnya keluar darah
kehitaman, pertanda terluka dalam cukup parah.
"Jahanam!" rutuk Pandu sambil merambat
bangkit. Tangan kanannya memegangi dadanya yang
berdenyut sakit. Namun sekonyong-konyong tubuhnya
melesat cepat dan lenyap dari pandangan.
Pendekar 108 yang tahu gelagat segera putar-
putar kipasnya. Sinar keputihan segera bergulung-
gulung seakan membungkus dirinya.
"Terimalah kematianmu!" terdengar seruan dari udara. Ternyata tahu-tahu Pandu
telah menukik dari
atas dengan sepasang kaki lurus mengarah pada kepa-
la Pendekar Mata Keranjang 108! Namun Pandu ter-
pengarah, karena terjangan kakinya mental balik, malah dia merasakan satu
kekuatan dahsyat mendorong
tubuhnya dari bawah, membuat tubuh merasakan sa-
tu kekuatan balik ke udara.
Saat itulah Pendekar Mata Keranjang hentikan
putaran kipasnya dan lesatkan diri ke udara menyusul Pandu. Pandu terkejut, dia
segera hantamkan tangan
kiri-kanan, namun karena waktu menghantam dia tak
bisa kuasai tubuhnya, membuat hantaman kedua tan-
gannya melenceng menghantam tempat kosong. Di lain
pihak, Aji segera pukulkan tangan kirinya sedikit ke bawah, karena waktu itu
tubuh Pandu sedang menukik.
Paras Pandu menjadi pucat past. Dia masih be-
rusaha menghindar, namun gerakannya lambat. Hing-
ga tanpa ampun lagi pukulan tangan jarak jauh yang
dilepaskan Aji telak menghajar bahunya.
Desss! Pandu keluarkan jeritan tertahan. Bersamaan
dengan itu, tubuhnya menyongsong tanah dengan ba-
hu terlebih dahulu. Tertatih-tatih Pandu coba bangkit, namun begitu berdiri,
kakinya goyah. Hingga tak lama kemudian tubuhnya kembali roboh.
Setelah mendarat dan memasukkan kipas un-


Pendekar Mata Keranjang 11 Gembong Raja Muda di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

gunya, Pendekar Mata Keranjang melangkah mende-
kat. Namun langkahnya tertahan tatkala dari arah
samping berkelebat sebuah bayangan dan berdiri tak
jauh dari Pandu.
"Sekali lagi melangkah, gadismu tidak akan se-
lamat!" berkata bayangan yang baru datang.
Berpaling, murid Wong Agung ini terkejut. De-
mikian pula Sakawuni dan Putri Tunjung Kuning. Ke-
dua gadis ini malah katupkan mulut masing-masing
agar tak keluarkan seruan. Di lain pihak, Pandu me-
mandangi dengan tatapan dingin pada orang yang ba-
ru datang. Saat itu di tempat itu berdiri sesosok tubuh
pendek. Raut wajahnya dilapis bedak tebal. Sementara bibirnya yang tebal sebelah
atas berwarna merah menyala. Sepasang matanya lebar dengan hidung agak
bengkok. Rambut sebelah belakang panjang, sedang
bagian atas dan samping dipotong pendek. Dia bukan
lain adalah Bawuk Raga Ginting, guru Pandu.
Pendekar Mata Keranjang 108 seolah tak
menghiraukan kata-kata Bawuk Raga Ginting. Dia te-
rus melangkah hendak mendekati Pandu.
"Pendekar Mata Keranjang 108! Nyawa keka-
sihmu masih berada di tanganku. Kalau kau teruskan
langkah, nyawa kekasihmu tak akan tertolong!" kata Bawuk Raga Ginting agak
keras. Pendekar Mata Keranjang 108 hentikan lang-
kah. Memandang lekat-lekat pada Bawuk Raga Gint-
ing. "Hmm.... Ternyata Pandu, adalah murid orang
edan ini. Aku bisa saja mengirim keduanya ke akherat saat ini juga. Tapi
bagaimana nasib Ratu Sekar Langit yang kini masih di tangan Bawuk Raga
Ginting...?"
membatin Aji. Lantas berkata.
"Apa maksudmu"!"
Bawuk Raga Ginting tersenyum dingin.
"Biarkan dia pergi bersamaku...!" sambil berkata, Bawuk Raga Ginting palingkan
wajahnya pada Pandu. Lalu melanjutkan ucapannya. "Dan kau akan memperoleh kekasihmu kembali!"
Mendengar ucapan Bawuk Raga Ginting, Saka-
wuni dan Putri Tunjung Kuning sama-sama terkejut.
Seolah tak sadar keduanya sama-sama berpaling dan
saling berpandangan satu sama lain dengan raut sukar diartikan.
Pendekar Mata Keranjang 108 sendiri tampak-
nya dilanda bimbang.
"Apakah ucapannya bisa dipercaya?"
"Kau terlihat ragu-ragu. Tapi itu urusanmu.
Sekarang kau tinggal pilih, membiarkan dia pergi bersamaku, atau kekasihmu
menemui ajal!" kata Bawuk Raga Ginting seraya mendekati Pandu.
"Di mana dia sekarang"!"
"Kau setuju dengan tawaranku?" tanya Bawuk
Raga Ginting seraya memandangi silih berganti pada
Sakawuni dan Putri Tunjung Kuning.
"Kau tak usah banyak bicara. Katakan di mana
dia sekarang!" kata Aji tanpa mempedulikan pandangan heran Sakawuni dan Putri
Tunjung Kuning.
"Kau tentunya telah tahu tempatku. Kembalilah
kau ke sana. Pada ruang gua kedua, sebelah pojok kanan kau akan menemukan lantai
batu persegi empat.
Sekali jejak, batu itu akan terbuka, dan kau akan menemukan kekasihmu!"
Habis berkata, Bawuk Raga Ginting meloncat
ke arah Pandu, dan secepat kilat tangannya meraih
tubuh Pandu dan ditaruh di atas pundaknya. Lalu
tanpa menoleh lagi dia berkelebat meninggalkan tem-
pat itu. "Kalau kata-katamu dusta, ke mana pun kalian pergi, kalian akan
kukejar!" kata Pendekar 108 seraya pandangi kepergian Bawuk Raga Ginting dan
Pandu. Begitu Bawuk Raga Ginting dan Pandu berlalu,
Aji segera mendatangi Sakawuni dan Putri Tunjung
Kuning. Sejenak murid Wong Agung ini dibuat tak ke-
siap. Karena saat itu keadaan kedua gadis ini tak karuan. Pakaian keduanya robek
di sana-sini menam-
pakkan auratnya.
"He..." Kenapa kau tak segera bebaskan kami?"
teriak Putri Tunjung Kuning. Sementara Sakawuni
hanya menggegat bibir tak berani memandang.
Dengan usap-usap ujung hidungnya, Pendekar
Mata Keranjang 108 melangkah mendekat. Dengan
alihkan pandangan, meski sekilas melirik Aji segera membebaskan Putri Tunjung
Kuning dan Sakawuni
dari totokan yang membuat keduanya tak bisa berge-
rak, Begitu terbebas, kedua gadis ini segera bangkit
dan balikkan tubuh masing-masing membelakangi
Pendekar Mata Keranjang 108. Paras kedua gadis ini
merah padam. Sementara di belakang mereka, Aji cen-
gar-cengir seraya memandangi punggung Sakawuni
dan Putri Tunjung Kuning. Tapi dia segera teringat pa-da Ratu Sekar Langit.
"Aku harus cepat membebaskan Ratu Sekar
Langit...," murid Wong Agung ini lantas berkata perlahan. "Aku sebenarnya masih
ingin berlama-lama ngobrol dengan kalian. Namun karena masih ada urusan yang
harus kuselesaikan, aku harus pergi!"
"Tunggu!" secara bersamaan Sakawuni dan Putri Tunjung Kuning berseru. Namun Aji
seolah tak mendengarkan seruan. Dia segera berkelebat mening-
galkan tempat itu.
Begitu berkelebat, Sakawuni dan Putri Tunjung
Kuning sama-sama balikkan tubuh, namun Pendekar
Mata Keranjang 108 telah lenyap.
Sejenak kedua gadis ini saling berpandangan.
Namun sebentar kemudian, Sakawuni tampak ta-
kupkan kedua tangannya ke wajah. Lalu melangkah ke
arah utara tanpa menghiraukan Putri Tunjung Kuning.
Putri Tunjung Kuning sendiri tampak menggi-
gihkan bibirnya satu sama lain. Lalu balikkan tubuh dan berkelebat ke jurusan
selatan. Di sudut kedua matanya tampak guliran air bening jatuh!
SELESAI Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
Misteri Pulau Neraka 5 Pedang Kilat Membasmi Iblis Karya Kho Ping Hoo Hati Budha Tangan Berbisa 9
^