Pencarian

Gembong Raja Muda 2

Pendekar Mata Keranjang 11 Gembong Raja Muda Bagian 2


Pendekar Mata Keranjang 108 mengangguk-anggukkan
kepala. Lantas dia berkata.
"Siapa nama muridmu itu?"
"Dia bernama Kunyil!"
"Siapa" Siapa namanya" Ulangi lagi...," kata Pendekar Mata Keranjang senyum-
senyum. Gongging Baladewa menatap Pendekar Mata
Keranjang 108 tajam. Dan melihat pemuda di hada-
pannya senyum-senyum, sepasang matanya melotot
besar. "Kenapa kau senyum-senyum he..." Apa kau kira itu lucu"!" kata Gongging
Baladewa dengan suara agak keras. Mendapati dirinya dibentak, murid Wong
Agung ini bukannya diam, malah tawanya meledak,
membuat Gongging Baladewa semakin mendelik.
"Nama orang.... Eh, muridmu itu. Apa kau yang
memberinya nama" Dari mana kau mendapatkan na-
ma sebagus itu...?" tanya Pendekar Mata Keranjang 108 di sela gelak tawanya.
"Manusia edan! Kau dengar, memang dia se-
butkan nama itu ketika pertama kali datang ke tem-
patku. Kenapa kau ribut masalah nama" Kalau kau
tahu nama asliku, mungkin kau malah jingkrak-
jingkrak!"
"Eh, siapa nama aslimu...?" tanya Aji dengan hentikan tawanya.
"Kutil!" jawab Gongging Baladewa.
"Heh.... Apa" Sekali lagi!" kata Pendekar 108
dengan menahan tawa, hingga bahunya terlihat ber-
guncang-guncang. Kedua tangannya nampak menutup
mulut menahan suara tawanya yang hampir meledak.
"Gendeng! Buka telingamu lebar-lebar. Namaku
Kutil!" kata Gongging Baladewa menuruti permintaan Pendekar Mata Keranjang 108.
Pendekar Mata Keranjang 108 tak dapat mena-
han tawanya. Dia tertawa gelak-gelak hingga tubuhnya menungging. Mula-mula
Gongging Baladewa hanya senyum-senyum namun akhirnya dia juga ikut tertawa
terbahak-bahak.
"Nama guru dan murid sama-sama bagus. Me-
lihat nama kalian berdua, pantas jika kalian dipertemukan jadi seorang guru dan
murid. Hanya sayang,
muridmu tak tahu adat!"
Meski kata-kata Pendekar Mata Keranjang 108
jelas-jelas mengejek, namun Gongging Baladewa tak
menampakkan jengkel, tawanya bahkan makin menja-
di-jadi, membuat lemak di wajahnya berguncang-
guncang keras seakan-akan hendak jatuh.
Setelah keduanya berhenti tertawa, Gongging
Baladewa kembali angkat bicara.
"Kau tahu, pembunuh terhadap tokoh-tokoh
rimba persilatan saat ini, jelas menunjuk pada pukulan ciptaanku itu. Dan tak
ada lain orang yang mem-
punyai ilmu pukulan itu selain Kunyil!"
"Lantas tentang mimpimu...?" tanya Aji.
"Dalam mimpiku, aku didatangi seseorang.
Orang itu berkata dengan segala bencana yang kini
dan akan datang adalah karena kesalahanku. Aku be-
rusaha mengelak dengan alasanku, namun dia tak
mau menerima, karena hal itu kini telah terjadi. Dan pada akhirnya, sebelum
orang itu lenyap, dia berkata bahwa hanya pemuda bergelar Pendekar Mata
Keranjang 108 yang dapat menumpas!"
Pendekar Mata Keranjang 108 terdiam bebera-
pa saat mendengar kisah mimpi Gonggeng Baladewa.
Lalu dia ajukan pertanyaan.
"Bisa sebutkan ciri-ciri muridmu itu!"
"Dia mengenakan pakaian warna merah. Ram-
butnya panjang...," belum habis Gongging Baladewa dengan ucapannya, Aji menyela
perlahan. "Kukira pasti dia seorang gadis cantik dan...."
"Busyet! Benakmu selalu dijejali pikiran perempuan melulu!" maki Gongging
Baladewa. "Jangan menyela sebelum kata-kataku habis!" dia lantas melan-
jutkan "Dia berambut panjang bagian belakang. Bagian depan dan samping dipotong
pendek. Parasnya ditutup dengan bedak tebal, bibirnya merah menyala."
"Benar dugaanku. Pasti dia gadis cantik. Bibirnya merah, menyala lagi!" kata
Pendekar Mata Keranjang 108 dalam hati seraya senyum-senyum dan tarik-
tarik kuncir rambutnya, tangan satunya mengusap-
usap ujung hidungnya.
"Dia adalah seorang perempuan bertubuh pen-
dek, memegang tongkat atau tombak yang pangkalnya
membentuk sekuntum bunga berwarna hitam!" lanjut Gongging Baladewa.
Mendengar keterangan laki-laki tambun di ha-
dapannya, Pendekar Mata Keranjang 108 surutkan
langkah setindak ke belakang. Paras wajahnya beru-
bah, dan sepasang matanya menatap Gongging Bala-
dewa lekat-lekat.
Gongging Baladewa tak mengindahkan peruba-
han pada Pendekar Mata Keranjang 108, karena saat
itu wajahnya sedang tengadah ke atas. Dia lalu melanjutkan ucapannya.
"Dalam rimba persilatan, Kunyil mengganti
namanya dengan Bawuk Raga Ginting!"
"Tepat dugaanku...," batin Pendekar Mata Keranjang 108 dengan raut masih tak
berubah seperti
tadi. "Kau tampak terkejut. Kau takut...?" tanya Gongging Baladewa melihat
perubahan pada diri Aji
sambil tersenyum.
"Tidak. Hanya aku memang punya masalah
dengan orang itu!"
"Hah...?" kini Gongging Baladewa yang terkejut.
"Masalah apa" Kau terlibat cinta dengannya?"
Raut muka Pendekar Mata Keranjang 108 me-
rah padam, namun bibirnya menyunggingkan senyum.
"Benar. Tapi dia menolak cintaku. Dia bilang
masih mencintai seseorang!" kata Pendekar Mata Keranjang 108 dengan muka serius.
Gongging Baladewa sedikit terkejut. Dia buru-
buru mengajukan pertanyaan. "Siapa" Siapa katanya yang dia cintai?"
"Si Kutil!"
Gongging Baladewa hampir saja terlonjak kare-
na terperangah kaget. Dia hentak-hentakkan kedua
tongkatnya ke atas tanah, hingga menimbulkan suara
berdebam-debam.
"Anak kurang ajar!" seru Gongging Baladewa setengah berteriak.
Aji tertawa keras. Sementara Gongging Balade-
wa mau tak mau tersenyum.
"Anak edan! Dalam keadaan begini dia masih
bisa bergurau...," membatin Gongging Baladewa seraya merapikan daging di depan
mulutnya. "Sudah, sudah!" ujar Gongging Baladewa. "Aku mencari untuk minta pertolongan,
karena kaulah satu-satunya orang yang dapat menumpas muridku itu!"
Pendekar 108 mendehem beberapa kali. "Kau
yakin itu?" tanya Pendekar Mata Keranjang. Padahal dalam hatinya dia berkata.
"Meski kau tak minta tolong, aku pasti mencari jejak Bawuk Raga Ginting!"
Gongging Baladewa menyeringai lantas men-
gangguk-angguk. Lantas laki-laki tambun ini berkata.
"Aku percaya bahwa kau bisa mengalahkan
Kunyil. Tapi aku minta tolong padamu ini tidak cuma-cuma!" "Hmm.... Maksudmu?"
"Aku akan memberimu sebuah ilmu agar kau
bisa tahan jika terkena pukulan 'Sapu Bumi' milik Bawuk Raga Ginting, bahkan
pukulan apa pun!" Pendekar Mata Keranjang 108 terkesiap. Belum habis rasa
kagetnya, Gongging Baladewa telah angkat bicara.
"Mendekatlah kemari!"
Aji melangkah lebih dekat. Tiba-tiba Gongging
Baladewa mendengus keras. Bersamaan dengan itu,
kedua tongkat yang menjadi tumpuan tubuhnya berge-
rak amblas masuk ke dalam tanah. Begitu bekas peng-
galan kedua kakinya hampir menyentuh tanah, dia
membuat gerakan berputar. Tatkala pantatnya berada
di atas kedua tangannya cepat beralih dan kini kedua tangan itu menekan tongkat
dengan tubuh terbalik,
kepala di bawah. Sejengkal lagi kedua tongkat itu amblas, Gongging Baladewa
lesatkan diri ke udara. Dan dengan gerakan yang sulit diikuti mata tahu-tahu
tubuh tambun itu kini berada di atas tongkat yang tinggal sejengkal di atas
tanah dengan posisi tidur miring.
Anehnya, tongkat itu tak amblas!
"Hmm.... Benar-benar sebuah unjuk kebolehan
yang hanya bisa dilakukan oleh orang-orang terten-
tu...," batin Pendekar Mata Keranjang 108 seraya duduk di hadapan Gongging
Baladewa. "Berbalik dan pejamkan mata!" perintah Gongging Baladewa. Pendekar 108 lakukan
apa yang diperin-tahkan Gongging Baladewa. Begitu Aji membalik dan
pejamkan kedua matanya, Gongging Baladewa buka
kedua telapak tangannya dan ditempelkan pada pung-
gung Aji. Aji merasakan sebuah sambaran hawa panas
dan dingin menyengat punggungnya. Mula-mula me-
mang tidak begitu panas dan dingin, namun makin
lama hawa itu semakin panas dan semakin dingin. Ke-
jap itu juga punggungnya terasa jebol, kepalanya bagai
diputar-putar keras, mata setelah kanan terasa panas dan perih, sementara mata
kiri terasa dimasuki es.
Murid Wong Agung ini terdengar memekik tertahan, la-lu pikirannya melambung jauh
dan tidak ingat apa-apa lagi. Saat kedua telapak tangan Gongging Baladewa
diangkat dari punggung Aji, Aji roboh di atas tanah.
Gongging Baladewa mengusap keringat yang
membasahi daging tebal wajahnya. Lalu menghela na-
pas panjang dan dalam-dalam. Setelah batuk berulang kali, laki-laki tambun ini
bergerak cepat, dan tahu-tahu tubuhnya kembali membalik dan kedua tangan-
nya mencabut tongkat yang amblas. Saat kedua tong-
katnya telah tercabut, tanpa memandang ke arah Aji, laki-laki ini melangkah
meninggalkan tempat itu. Di kejauhan debaman-debaman tongkatnya yang menyentuh
tanah terdengar menghentak-hentak.
*** LIMA SETENGAH purnama telah berlalu.... Hentakan
ladam kaki kuda terdengar abadi bersahut-sahutan
menghentak membuncah keheningan pagi buta. Di
langit sebelah timur, cahaya kekuningan serta sisa bu-lan yang hampir lenyap
telah menguak kegelapan ma-
lam, membuat kuda yang menghentak-hentak itu da-
pat memapaki jalanan yang hendak dilalui hingga ku-
da tunggangan itu dapat berlari kencang.
Di atas punggung kuda adalah seorang pemuda
berwajah tampan. Mengenakan pakaian putih bagian
dalam, sementara pakaian luarnya berupa jubah pan-
jang bagian atas warna hitam sedangkan sebagian lagi
berwarna merah. Tubuhnya tegap berotot dengan ram-
but panjang lebat. Sepasang matanya tajam berkilat.
Di leher kudanya terlihat sebuah tombak pendek yang pangkalnya membentuk se-
kuntum bunga berwarna
hitam legam. Sang penunggang kuda tampaknya mengejar
sesuatu. Ini jelas tampak dari sikapnya yang tiada
henti-henti menghujam-hujamkan telapak tangan ka-
nannya ke tubuh binatang tunggangannya, membuat
binatang itu berlari kian kencang seraya meringkih keras-keras.
"Kuda sialan! Apa kau tak mengerti aku punya
masalah penting yang harus segera kuselesaikan. Ayo kerahkan tenagamu!
Heaaai..!" teriak sang penunggang dengan kembali hujamkan telapak tangan
kanannya. Meski hujaman itu dengan menggunakan telapak tan-gan, dan tampak tak begitu keras. Namun, kuda itu
terlihat melonjak kaget lalu meringkik keras seraya mengangkat kaki depannya
sebelum akhirnya menghentak kembali dan berlari makin kencang.
"Sebenarnya aku ingin menikmati tubuh gadis
yang diboyong Guru itu. Namun apa boleh buat. Perjalananku kali ini lebih
penting. Selain meneruskan tindakan Guru dengan membunuh beberapa tokoh yang
dulu pernah menyengahkannya, juga untuk mencari
pemuda bangsat bergelar Pendekar Mata Keranjang
108! Dan Sakawuni.... Hmm.... Sakawuni, aku ingin
akulah orang pertama yang dapat menikmati tubuh te-
lanjangmu! Kau akan kubuat barang mainan! Pende-
kar jahanam itu hanya akan memperoleh sisa! Ya, si-
saku! Ha... ha... ha...!"
Memasuki sebuah perkampungan, pemuda itu
terus memacu kuda tunggangannya, dia seolah tak
peduli dengan caci-maki dan umpatan beberapa orang
di sekitar jalan yang dilaluinya. Bahkan ketika sampai ujung kampung pemuda ini
makin menghentak lari
kudanya. Baru saat memasuki kawasan dataran agak
tinggi yang di tengah-tengahnya terlihat sebuah rumah kayu, pemuda ini seketika
menarik tali kekang kuda
tunggangannya, membuat binatang itu angkat kepa-
lanya dan meringkik keras. Empat kakinya merajut tanah coba berhenti. Hingga
saat itu juga pemandangan agak kabur tertutup buraian debu dan tanah yang
membumbung ke udara.
Demikian kencang lari binatang itu serta demi-
kian tiba-tibanya sang penunggang menarik tali ke-
kangnya, hingga meski kuda itu berhasil berhenti, namun binatang itu tak bisa
menguasai badannya.
Hingga begitu terhenti kaki belakangnya te-
rangkat tinggi ke atas mencampakkan penunggangnya!
Sadar kuda tunggangannya tak bisa menguasai
diri dan sebelum tubuhnya tercampak di atas tanah,
sang penunggang mengambil tombak di leher kuda,
dan berkelebat lenyap dari pandangan. Dan tahu-tahu telah berdiri tiga langkah
di belakang kuda yang kini terseok-seok bangkit.
Begitu kuda tunggangannya bangkit, pemuda
ini langsung menghantamkan kedua tangannya ke
arah sang binatang.
Wesss! Serangkum angin deras menghantam ke arah
kuda tunggangannya!
Binatang malang itu meringkik keras, lalu
menghambur ke depan. Demikian deras hantaman an-
gin yang menyambar itu, membuat kuda itu melabrak
terus ke depan, di mana rumah kayu berada!
Brakkk! Dua penyangga rumah tertabrak dan hancur
berkeping-keping. Rumah itu bergemeretakan lalu ro-
boh bersama dengan masuknya sang kuda ke dalam
rumah! Sejekap lagi rumah kayu itu roboh, dari dalam rumah kayu melesat sesosok
bayangan disertai seruan keras. Setelah membuat gerakan jungkir balik di udara,
bayangan itu mendarat dengan kaki kokoh di atas tanah. "Anak muda! Tak ada hujan
tak ada angin kau tiba-tiba merobohkan rumah tinggalku. Siapa kau?"
tegur sang bayangan yang ternyata adalah seorang perempuan tua. Dia mengenakan
pakaian warna biru ce-


Pendekar Mata Keranjang 11 Gembong Raja Muda di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

rah panjang. Rambutnya telah seluruhnya putih.
Meski sudah nampak lanjut usia, paras perempuan ini kelihatan berseri. Hidungnya
mancung dengan bibir tipis. Walau alis matanya telah putih namun masih teb-al,
sementara bulu matanya terlihat melentik. Jelas pada saat mudanya, perempuan ini
adalah seorang berparas cantik.
Pemuda yang ditanya tidak menjawab teguran
perempuan tua. Sepasang matanya memperhatikan
seksama perempuan di hadapannya.
"Tahi lalat di atas bibir adalah cirinya. Berarti dia!" membatin sang pemuda.
"Meski sudah lanjut, kecantikan wajahnya masih tersirat jelas. Tidak heran ji-ka
Guru menaruh dendam pada perempuan ini. Waktu
mudanya pasti menjadi rebutan pemuda, hingga orang
yang dicintai Guru pun terpikat padanya!"
"Anak muda! Aku tak punya banyak waktu un-
tuk melayani orang bisu macam kau! Lekas dirikan
kembali rumahku dan keluarkan bangkai kudamu!"
bentak perempuan dengan palingkan wajah. Tapi ekor
matanya nyalang melirik.
Sang pemuda dongakkan kepala. Dari mulut-
nya terdengar ledakan tawanya secara tiba-tiba. Na-
mun mendadak pula pemuda ini hentikan tawanya
dan berkata. "Nyai Tandhak Kembang! Permintaanmu tidak
bisa kuturuti, karena sebentar lagi kau tak memerlu-kan rumah. Hanya tanah
berlubang yang kau butuh-
kan!" "Setan alas!" rutuk perempuan tua yang dipanggil Tandhak Kembang. Dia
segera palingkan kem-
bali wajahnya. Kedua alis matanya menukik tajam
dengan geraham menggegat pertanda dadanya telah
dirasuki hawa amarah.
Tanpa bicara lagi, Nyai Tandhak Kembang ber-
kelebat, dan tahu-tahu sepasang tangannya telah me-
nyambar deras ke arah kepala sang pemuda.
Yang diserang tak memperlihatkan rasa terke-
jut sama sekali, malah dia tersenyum mengejek. Se-
jengkal lagi kedua tangan Nyai Tandhak Kembang
menghajar kepala sang pemuda, pemuda ini angkat
tangan kirinya dan diputar di atas kepala, sementara kepalanya dia rundukkan
sedikit. Prakkk! Terdengar benturan keras ketika sepasang tan-
gan Nyai Tandhak Kembang beradu dengan putaran
tangan sang pemuda. Nyai Tandhak Kembang tersurut
langkah dua tindak ke belakang dengan meringis me-
rasakan rasa sakit pada kedua tangannya yang baru
saja bentrok. Sementara sang pemuda tetap tak beranjak sedikit pun dari pijakan
tempatnya berdiri.
Dengan menahan rasa marah yang makin me-
luap, Nyai Tandhak Kembang kembali maju dua tindak
dan serta merta kedua tangannya didorong keras ke
depan, kirimkan pukulan jarak jauh mengandung te-
naga dalam tinggi. Hingga saat itu juga segelombang
angin deras menggebrak ke depan dengan keluarkan
suara menggemuruh dahsyat.
Sang pemuda berseru keras. Tubuhnya berke-
lebat dan lenyap dari tempatnya berdiri. Hingga serangan Nyai Tandhak Kembang
yang dialiri tenaga dalam
penuh itu hanya menerabas tempat kosong!
"Anak keparat! Kau tak akan lolos dari tangan-
ku!" seru Nyai Tandhak Kembang begitu melihat serangannya tak menghantam sasaran
bahkan sang la-
wan lenyap bagai ditelan bumi. Perempuan tua ini menyapukan pandangannya
berkeliling. Mendadak dari arah belakangnya terdengar su-
ara. "Ratna Suri! Kau mencariku" Aku di sini!"
Perempuan tua yang wajahnya masih menyi-
ratkan kecantikan itu palingkan wajah ke belakang.
Orang ini tersirat saat mengetahui sang pemuda me-
nyebut nama. "Anak keparat ini siapa sebenarnya" Dari mana
dia tahu nama asliku?" batin Nyai Tandhak Kembang seraya balikkan tubuh dan
memandang tajam pada
pemuda yang kini enam langkah di hadapannya.
"Jahanam! Siapa kau sebenarnya?" teriak Nyai Tandhak Kembang.
Pemuda yang ditanya tengadahkan kepala me-
mandang langit. Lalu dari mulutnya keluar ucapan.
"Hari sudah merangkak siang. Tak ada gunanya
banyak cakap. Dengar baik-baik. Aku adalah Gembong
Raja Muda! Orang yang akan mengantarmu ke liang
lahat!" Perempuan tua itu kernyitkan dahi. Dia selama bertahun-tahun
berkecimpung dalam kancah rimba
persilatan baru pertama kali ini mendengar nama itu.
Perempuan ini yang memang bukan lain adalah Nyai
Tandhak Kembang yang bernama asli Ratna Suri ada-
lah seorang tokoh rimba persilatan yang beberapa tahun silam sempat pula
menggegerkan dunia persila-
tan. Karena selain dikenal sebagai tokoh berilmu tinggi, dia juga terkenal
karena kecantikannya. Hingga wajar saja jika saat itu Ratna Suri menjadi rebutan
beberapa orang pemuda. Di antara pemuda yang terpikat
padanya adalah pemuda bernama Randu Lanang yang
juga terkenal dengan Restu Canggir Rumekso. Dan ka-
rena kecantikannya pula membuat Ratna Suri banyak
mempunyai musuh. Sadari satu musuh utamanya
adalah Kunyil atau dikenal dengan nama Bawuk Raga
Ginting. Bawuk Raga Ginting menaruh dendam pada
Ratna Suri karena Randu Lanang yang diam-diam di-
cintainya menjalin hubungan dengan Ratna Suri. Ma-
lah karena Ratna Surilah, Randu Lanang menghina
Bawuk Raga Ginting.
Karena baru kali ini mendengar nama Gembong
Raja Muda, Nyai Tandhak Kembang memandangnya
dengan sebelah mata. Dia menduga pemuda di hada-
pannya adalah orang yang baru saja muncul dalam
rimba persilatan dengan berbekal ilmu cekak. Namun
demikian perempuan ini masih bertanya-tanya, dari
mana pemuda kemarin sore mengetahui nama aslinya.
"Aku akan mengorek mulut besarnya!" pikir Nyai Tandhak Kembang seraya melesat ke
depan dengan kedua kaki lurus dan bentakan membahana.
Sang pemuda yang menyebut nama Gembong
Raja Muda terkesiap membeliakkan sepasang ma-
tanya. Bukan karena terkejut mendapat serangan na-
mun justru karena menerjang dengan kaki lurus itulah kedua pahanya terlihat
jelas karena pakaian panjang sebelah bawahnya menyingkap.
"Edan! Meski tua, pahanya tetap saja mulus
dan menggairahkan!" membatin Gembong Raja Muda.
Namun dia tak bisa berlama-lama menikmati kemulu-
san paha Nyai Tandhak Kembang, karena saat itu juga kedua kaki perempuan tua
cantik ini telah menyuruk
ke arahnya. Sambil tersenyum menyeringai dan mata melo-
tot, Gembong Raja Muda takupkan sepasang tangan-
nya. Lalu begitu sepasang kaki datang, dia hantamkan menangkis!
Desss! Sepasang tangan dan sepasang kaki beradu di
udara menimbulkan suara keras. Nyai Tandhak Kem-
bang berseru tertahan. Kakinya laksana menghantam
benda keras. Hingga dengan sedikit terkejut, perem-
puan ini menarik tangannya yang sebenarnya waktu
itu hendak dia hantamkan seketika. Di lain pihak,
Gembong Raja Muda semakin tersenyum lebar, malah
sepasang matanya tambah melotot ketika Nyai Tand-
hak Kembang telah mendarat kembali di hadapannya
setelah membuat gerakan salto di udara.
Mendapati pandangan sang pemuda, membuat
Nyai Tandhak Kembang heran. Dan saat dia tercenung
heran, berhembus angin semilir. Nyai Tandhak Kem-
bang mengkerut tatkala dia merasakan pakaian ba-
wahnya berumbai-rumbai ditiup angin, dan kakinya
dingin. Dengan wajah masih diselimuti rasa heran,
Nyai Tandhak Kembang menggerakkan kepalanya
mengikuti arah pandangan sang pemuda yang sendiri
tadi menatap bagian bawahnya. Astaga! Nyai Tandhak
Kembang kontan terperangah begitu kepalanya me-
nunduk. Saat itu ternyata kain sebelah bawahnya te-
lah robek menganga lurus ke atas. Hingga pahanya
yang putih mulus dan masih kencang tampak jelas.
Paras muka Nyai Tandhak Kembang pucat pasi
namun gerahamnya terkatup rapat. Bibirnya saling
menggigit. Tapi hal itu hanya berlangsung sebentar.
Sesaat kemudian, wajahnya kembali seperti semula
bahkan kini bibirnya menyunggingkan senyum lalu di-
buka sedikit. Dadanya yang masih membusung ken-
cang dia busungkan ke depan, sementara matanya dia
pejamkan sedikit.
"Pemuda ini tampaknya berilmu tinggi. Dan
berhasil merobek pakaianku padahal aku tak terasa.
Namun tampaknya dia pemuda doyan perempuan.
Akan kulawan dengan cara lain...," membatin Nyai Tandhak Kembang seraya
melangkah perlahan mendekati Gembong Raja Muda.
Gembong Raja Muda yang rupanya terkesima
tetap tegak dengan mata melotot dan bibir tersenyum.
Selagi pemuda ini menikmati kemulusan paha dan ge-
rak Nyai Tandhak Kembang yang seolah mengundang
itu, mendadak Nyai Tandhak Kembang angkat kaki
kanannya tinggi-tinggi, membuat kainnya menyingkap
hampir ke pangkal pahanya. Namun sesaat kemudian
tubuh perempuan ini berputar dan berkelebat lenyap
dari pandangan Gembong Raja Muda.
Di kejap lain terdengar suara seruan tertahan.
Gembong Raja Muda merasakan sebuah angin me-
nyambar kencang. Dia buru-buru berkelit sambil ke-
batkan tangan kirinya cepat. Namun tak urung juga
pakaian dalamnya sebelah dada terasa dibetot.
Breettt! Nyai Tandhak Kembang tertawa perlahan meli-
hat pemuda di hadapannya menyeringai melihat pa-
kaian sebelah dalamnya robek dengan telapak tangan
membekas membarut di dada.
"Jahanam! Kau telah merusak pakaianku! Tapi
tak apalah, karena aku kini bisa juga melihat dada
menantang.... Ha... ha... ha.... Sayang, wajahmu sudah tak memungkinkan.
Seandainya kau masih muda....
Hmm...," seraya berkata bibir sang pemuda tersenyum-senyum, sedangkan matanya
berkilat-kilat menatap
lurus pada dada Nyai Tandhak Kembang.
Tanpa menunggu lagi, Nyai Tandhak Kembang
segera mengikuti arah pandangan pemuda di hada-
pannya. Serta merta raut mukanya merah padam, dari
mulutnya terdengar makian panjang pendek. Ternyata
pakaian bagian dada Nyai Tandhak Kembang robek
sebelah dada, membuat payudaranya yang masih ken-
cang putih itu menyembul jelas.
"Keparat! Dia seakan hendak menelanjangiku!"
gumam Nyai Tandhak Kembang tanpa berusaha menu-
tup dadanya. Di seberang Gembong Raja Muda sema-
kin terbeliak menyaksikan Nyai Tandhak Kembang tak
bergerak untuk menyibakkan kain di bagian dadanya,
malah dengan tawa cekikikan kedua tangan perem-
puan ini bergerak menyibak kainnya ke atas!
Seettt! Dua buah dada Nyai Tandhak Kembang kini
polos menantang di hadapan sang pemuda.
"Gila! Hampir tak bisa dipercaya, orang seusia dia dadanya masih begitu kencang
menantang....."
Selagi Gembong Raja Muda keheranan, Nyai
Tandhak Kembang cepat tutup kembali matanya dan
serta merta kedua tangannya bergerak menghantam ke
depan. "Perempuan sundal licik!" damprat Gembong Raja Muda sambil memikirkan
pukulan untuk menangkis dengan dorong kedua tangannya.
Blaamm! Tempat itu seakan dibuncah gempa dahsyat.
Tanahnya berserakan dan sebagian lagi membumbung
ke angkasa. Begitu tingginya tenaga dalam yang dikerahkan masing-masing orang
ini, membuat tubuh Nyai
Tandhak Kembang mental ke belakang dan berkaparan
di atas tanah dengan dada berdenyut nyeri. Sementara bahunya ngilu hampir
seperti sempal kala digerakkan kembali. Sedangkan tubuh Gembong Raja Muda
terjengkang ke belakang dan jatuh terduduk.
"Aku harus segera menyelesaikan perempuan
ini. Perjalananku mengejar Pendekar Mata Keranjang
108 dan Wong Agung masih membutuhkan waktu dan
tenaga!" batin sang pemuda. Dia segera bangkit, dan tanpa menunggu diserang
lagi, dia berkelebat dan ta-hu-tahu kedua kakinya bergerak berputar-putar men-
geluarkan suara menderu dahsyat disertai angin deras.
"Hah, aku sepertinya mengenali jurus yang di-
mainkan anak ini!" desis Nyai Tandhak Kembang seraya palingkan sedikit wajahnya
menghindari samba-
ran angin yang datang mendahului serangan kaki.
Dengan berteriak lengking Nyai Tandhak Kem-
bang tekan kakinya ke bawah, sehingga kakinya am-
blas masuk sedalam mata kaki dan kokoh bagai tiang.
Sementara kedua tangannya dia gerakkan bersiutan di atas kepala dan dengan
dadanya. Di atas udara seraya menerjang, Gembong Raja
Muda hantamkan kedua tangannya, hingga saat itu
juga menyambar gelombang warna hitam yang selain
panas juga menghalangi pandangan.
Nyai Tandhak Kembang terkejut. Dan buru-
buru tarik kedua tangannya dan dihantamkan ke de-
pan. Blammm! Terdengar kembali ledakan dahsyat ketika dua
pukulan sakti itu bertemu. Namun mendadak saja di
balik warna hitam yang menutupi pemandangan itu
tubuh Gembong Raja Muda melesat deras dengan kaki
tetap posisi menerjang.
Desss! Nyai Tandhak Kembang menjerit keras. Bahu
kiri kanannya terasa sempal dilanggar kedua kaki
Gembong Raja Muda. Karena saat itu kakinya amblas


Pendekar Mata Keranjang 11 Gembong Raja Muda di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ke dalam tanah, membuat tubuhnya tak terpental,
namun akibatnya bertambah parah. Sebab tubuhnya
terbanting keras ke belakang dengan punggung terle-
bih dahulu! "Jahanam! Apa hubunganmu dengan Bawuk
Raga Ginting"!" tegur Nyai Tandhak Kembang sambil merambat bangkit. Sudut
bibirnya tampak mengalir-kan darah segar. Sementara pakaian di bagian bahu
kanan-kiri hangus!
Gembong Raja Muda menjawab teguran dengan
tawa bergelak, membuat Nyai Tandhak Kembang da-
danya bergetar. Diam-diam dia merasa kecut. Diam-
diam pula angannya menerawang pada beberapa pu-
luh tahun silam. Waktu itu dia memang masih bisa
mengimbangi Bawuk Raga Ginting. Namun saat ini te-
naganya sudah tidak memungkinkan lagi, sementara
lawannya kini masih muda.
"Ratna Suri! Apa hubunganku dengan Bawuk
Raga Ginting tak usah kau urusi! Uruslah dirimu yang hendak masuk tanah!" Agak
lama Gembong Raja Muda akhirnya berkata juga.
"Begitu" Baik! Namun siapa pun kau yang pasti
kau ada hubungan dengan musuhku itu. Dan bisa jadi
kau adalah pemuas nafsu wanita pendek itu!" kata perempuan tua berwajah cantik
ini dengan tersenyum
menjijikkan. "Bangsat! Kuhancurkan mulutmu!" gereng
Gembong. Raja Muda seraya melompat dan kirimkan
serangan dengan dorongan telapak tangan, lantas begi-tu serangan menggebrak, dia
segera menyusul seran-
gannya dengan terjangan sepasang kaki yang mende-
ru-deru dan menyambarnya hawa panas!
Sadar mendapat serangan bahaya. Nyai Tand-
hak Kembang tak tinggal diam. Dia pun segera melom-
pat ke udara memapasi tubuh Gembong Raja Muda se-
raya hantamkan kedua tangannya.
Bummm! Dua tenaga dalam tinggi beradu di udara. Tu-
buh Nyai Tandhak Kembang terpelanting dan me-
layang ke belakang. Sementara Gembong Raja Muda
tubuhnya menukik ke bawah. Hebatnya, begitu menu-
kik, pemuda ini segera kebutkan jubahnya. Tubuhnya
kembali membumbung dan serta merta melesat ke de-
pan menyusul tubuh Nyai Tandhak Kembang!
Dalam keadaan melayang, Nyai Tandhak Kem-
bang masih sempat melihat kelebatnya lawan. Dia ce-
pat dorongkan tangannya. Namun karena dia sedang
berada di udara, lagi pula telah terluka, membuat gerakannya lamban. Hingga
sebelum tangannya mendo-
rong, sepasang kaki telah menghajar dadanya di atas udara! Desss!
Nyai Tandhak Kembang menjerit lengking. Tu-
buhnya kini meluruk deras ke bawah dengan pung-
gung terlebih dahulu. Namun jeritan lengking itu tiba-tiba disusul dengan
erangan dahsyat ketika sejengkal lagi tubuhnya menghantam tanah sepasang kaki,
laki-laki menghajar dadanya.
Desss! Tubuh Nyai Tandhak Kembang kembali mem-
bumbung ke udara. Lalu menukik deras ke bawah.
Hebatnya, meski sudah dalam keadaan demikian, pe-
rempuan ini masih sempat gerakan kedua tangannya
menghantam tanah, hingga tubuhnya kini melayang
lamban. Saat itulah dengan sisa-sisa tenaganya, Nyai Tandhak Kembang melengking
tinggi. Lalu membuat
gerakan berputar di udara dua kali. Sebelum akhirnya menjejak tanah.
Pertama-tama memang terhuyung-huyung, ma-
lah kaki kanannya goyah dan tubuhnya jatuh terdu-
duk. Namun hal ini cukup membuat Gembong Raja
Muda terkesiap. Dia hampir tak percaya jika tendan-
gan 'Sapu Bumi' yang baru saja dilancarkan dan
menghantam telak itu belum mampu membuat Nyai
Tandhak Kembang tumbang.
Selagi Gembong Raja Muda tercenung begitu,
tiba-tiba Nyai Tandhak Kembang bangkit. Dari balik
pakaiannya dia mengeluarkan tiga benda hitam. Se-
raya berkelebat tiga benda tersebut dihempaskan....
Wuttt! Wuttt! Wuttt!
Tiga benda yang ternyata adalah tiga buah
tombak kecil melesat angker dengan keluarkan suara
menggidikkan! Gembong Raja Muda terperangah. Dengan
menggerendeng panjang pendek dia dorong kedua tan-
gannya, lalu tubuhnya melesat hingga tiga tombak ke samping.
Dua tombak langsung bermentalan, namun
yang satu terus menerabas. Gembong Raja Muda ter-
kesiap. Namun dia buru-buru miringkan tubuh, na-
mun.... Breet...!
Baju Gembong Raja Muda robek bagian pung-
gung, tombak terus berkelebat dan menghujam sebuah
batang pohon. Pohon itu langsung gemeretak, lalu
tumbang dengan batang hangus!
"Jahanam!" rutuk Gembong Raja Muda seraya tebarkan pandangan ke depan. Dia
tercekat. Matanya
membeliak merah. Dagunya terangkat dengan pelipis
bergerak-gerak.
Ternyata, Nyai Tandhak Kembang telah lenyap
dari tempat itu.
"Kali ini kau bisa lolos! Tapi tidak untuk yang kedua kali!" teriak Gembong Raja
Muda seraya balikkan tubuh dan meninggalkan tempat ini.
*** ENAM ANGKASA di atas Lembah Bandar Lor tampak
ditutupi gumpalan-gumpalan awan, membuat senga-
tan sinar bola jagad tak bisa menembus dan memang-
gang mentah-mentah lembah yang sepertinya tak ber-
tuan itu. Seseorang tua renta dengan baju gombrong
panjang yang menutup sekujur tubuhnya terlihat me-
langkah tertatih-tatih melintasi dataran lembah. Sebentar-sebentar nenek tua ini
menghentikan langkah-
nya, merapikan rambutnya yang awut-awutan dan
menyeka keringat yang telah membasahi wajah dan le-
hernya. Setelah itu kembali nenek tua ini meneruskan langkah menelusuri
pedataran lembah. Sepasang mata
sayunya sesekali dikucek-kucek, lalu tangannya yang hanya terlihat sebatang
pergelangan itu bergerak mengusap-usap sekitar bibirnya yang belepotan merah
karena pemerah bibirnya meleleh terkena keringat. Sampai di tengah lembah nenek
ini hentikan langkah. Ma-
tanya berkeliling bersamaan dengan gerakan kepa-
lanya yang bergerak berpaling ke kanan dan ke kiri.
Lantas dari mulut nenek ini meluncur kata-katanya.
"Lembah edan! Sudah demikian jauh melaku-
kan perjalanan namun mataku tidak melihat seekor
nyamuk pun. Apalagi manusia tampan. Hik.... hik...
hik.... Apa lembah ini hanya dihuni setan-setan gentayangan seperti kata-kata
orang selama ini..." Ih, ih, jika demikian halnya aku benar-benar tersesat
jalan. Tapi apa aku harus kembali pulang..." Ah, sungguh si-al nasibku. Sudah renta
peot begini masih harus me-
lakukan perjalanan yang tak tentu ujung juntrungan-
nya... Benar-benar sial! Hik... hik... hik...!"
Sambil berkata, nenek ini kembali sapukan ma-
tanya. Ketika matanya melihat sebuah lubang yang
ada di ujung lembah, nenek ini melangkah tertatih-
tatih menuju ke arah lobang tersebut. Mulutnya mem-
buka dan keluarkan suara mendesis.
"Uhhh...! Siang-siang begini ngantuk, maklum
tubuh sudah bau tanah! Di depan kulihat lobang gua, hm.... Kurasa untuk
sementara bisa kugunakan untuk
tiduran. Siapa tahu bisa mimpi bertemu dengan pe-
muda tampan. Hik... hik... hik.... Lalu pemuda tampan itu mendekapku, mencium
keningku, menci...."
Perempuan tua renta ini tak meneruskan kata-
katanya. Bahkan langkahnya pun terhenti. Karena lo-
bang yang sepertinya sebuah gua itu melesat ke luar sesosok bayangan.
Sang nenek surutkan langkah dan tindakan ke
belakang, tangannya bergerak menutup mulutnya
yang hendak keluarkan jeritan karena terkejut, sementara matanya menyipit
memandang ke depan.
"Walah! Apa karena mataku sudah tua, atau
memang demikian kenyataannya. Di hadapanku ada
manusia kecil tapi kok pandai dandan. Hik... hik...
hik.... Bibir sama merahnya dengan bibirku. Sungguh sayang, yang kuharap bisa
jumpa dengan pemuda
tampan, yang kudapat anak kecil pintar dandan...."
Bayangan di hadapan sosok tua renta ini kelua-
rkan dengusan keras. Matanya yang lebar kian mem-
belalak. Dari mulutnya lantas terdengar bentakan keras.
"Nenek peot! Aku tak perlu berulang kali bicara.
Lekas tinggalkan tempat ini!"
Dibentak begitu, nenek ini bukannya takut. Dia
malah tertawa terbahak-bahak. Seraya tertawa tan-
gannya bergerak merapikan rambutnya yang mengha-
langi pandangan matanya. Lalu begitu tawanya ber-
henti nenek ini tersenyum lebar sambil berkata...
"Anak kecil! Jaga mulutmu jika bicara dengan
orang tua. Kau bisa kualat kejebur sepiteng! Seharusnya aku yang tua ini
menghardikmu agar kau lekas
tinggalkan tempat ini. Anak kecil biasanya hanya suka mengganggu orang tua yang
lagi tidur. Lekas pergi sa-na aku ingin tidur!" Habis berkata, nenek tua ini
men-guap lebar-lebar, lalu hendak melangkah ke arah lo-
bang gua. Sosok di hadapan nenek, yang ternyata adalah
seorang perempuan bertubuh pendek, raut wajahnya
dibedaki pupur tebal serta bibir merah menyala kem-
bali mendengus marah. Matanya berkilat-kilat tajam.
"Orang tua kurang ajar! Selangkah lagi kau te-
ruskan, tubuhmu akan kutekuk jadi dua!" hardik perempuan pendek yang bukan lain
adalah penghuni
Lembah Bandar Lor yakni Bawuk Raga Ginting.
"Ah, kenapa nasibku sial betul" Sudah tak
mendapatkan yang kuharap, malah ketemu anak kecil
judes. Kalau saja aku masih muda.... Tapi tak apalah,
kalau kau tak mengizinkan aku tidur di sana, aku
akan tidur di sini saja...."
Habis berkata, nenek tua ini lantas enak saja
rebahkan tubuhnya di tempatnya dia berdiri. Sebentar tangannya merapikan
pakaiannya, karena demikian
besar pakaian itu, membuat tubuhnya hampir selu-
ruhnya tertutupi.
"He...! Aku bilang tinggalkan tempat ini!" bentak Bawuk Raga Ginting seraya
melangkah mendekat.
Meski kakinya tampak kecil, namun tatkala menginjak tanah terdengar suara
menghentak. Nenek yang kini telah meringkuk di atas tanah
seakan tak mendengar hardikan. Dia tak bergerak se-
dikit pun meski langkah-langkah yang keluarkan sua-
ra menghentak itu semakin dekat ke arahnya. Bahkan
nenek itu telah mendengkur keras.
"Kau membuatku hilang kesabaran! Dan kau
rupanya ingin dihajar!" seraya berkata, Bawuk Raga Ginting sapukan kaki kanannya
ke tubuh sang pendek. Wesss!
Sekejap lagi kaki mungil itu menghajar tubuh
nenek yang lagi meringkuk tidur nenek ini seolah tak sadar gerakkan tubuhnya ke
samping dan bergulingan
dua kali. Hingga kaki Bawuk Raga Ginting menerpa
tempat kosong. "Setan alas!" teriak Baruk Raga Ginting mendapati serangannya begitu mudah
dielakkan sang nenek.
Perempuan pendek ini segera melompat dan kini me-
nerjang dengan kaki kanan dan kiri menyapu deras.
Wess! Wesss! Namun lagi-lagi Bawuk Raga Ginting berseru
marah. Karena seperti tadi sebelum terjangan sepa-
sang kaki Bawuk Raga Ginting menghantam, sang ne-
nek bergerak dan tubuhnya kini menggelinding.
Begitu tubuhnya berhenti, nenek ini tertatih-
tatih bangkit. Mengusap-usap pakaiannya, lalu mera-
pikan rambutnya yang acak-acakan dan berkata.
"Apa kubilang. Anak kecil sukanya mengganggu
orang tua sedang tidur!"
Bawuk Raga Ginting wajahnya menggeram. Dia
segera berkelebat dan berdiri dengan mata menyelidik pada nenek tua di
hadapannya. "Nenek gila! Siapa kau..."!" katanya menelusuri tubuh nenek di hadapannya dan
Bawuk Raga Ginting
hampir saja terlonjak kaget saat kedua matanya men-
dapati jakun di leher orang di hadapannya.
Di lain pihak, melihat raut curiga pada perem-
puan pendek, sang nenek buru-buru bungkukkan tu-
buhnya mengibaskan pakaian bawahnya, padahal ge-
rakkan ini sebenarnya untuk menutupi lehernya.
"Tolol betul aku. Kenapa leherku tadi tak kututup dengan kain...?" batin sang
nenek dengan angkat sedikit kepalanya dan mata melirik ke depan.
"He...! Siapa kau sebenarnya" Kalau tak kau
jawab, aku tak akan main-main lagi!" membentak Bawuk Raga Ginting.
Yang ditanya tak segera menjawab. Namun be-
gitu dilihat kedua tangan Bawuk Raga Ginting berge-
rak menarik ke belakang, buru-buru sang nenek buka
mulutnya. "Baiklah. Kedua orang tuaku memberi nama
'Tak Tahu'.... Hik... hik... hik.... Nama bagus bukan"
Tentu, tentu bagus. Karena waktu aku muda banyak
pemuda tertarik padaku hanya karena namaku. Hik...
hik... hik.... Bagaimana menurutmu...?"
"Kau memang sengaja ingin membuatku tak
main-main lagi!" sergah Bawuk Raga Ginting seraya
menggegatkan dagunya. Pelipisnya telah bergerak-
gerak, sementara matanya telah merah menahan ma-
rah. "Betul. Betul ucapmu. Aku memang tak ingin kau main-main lagi, agar aku
bisa meneruskan tidur-ku. Nah, sekarang kau tak main-main lagi. Aku akan
tidur!" kata sang nenek dan kembali hendak rebahkan dirinya ke tanah.
Namun belum sampai tubuh nenek ini mene-


Pendekar Mata Keranjang 11 Gembong Raja Muda di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lentang di atas tanah, Bawuk Raga Ginting sentakkan kedua tangannya ke depan.
Kali ini Bawuk Raga Ginting tak dapat menahan lagi marahnya, hingga saat itu
juga dua larik sinar hitam melesat ke arah sang nenek yang hendak rebah.
"Tidurlah di alam akherat!"
Mendapati serangan, nenek ini tak mengisya-
ratkan rasa kejut sama sekali. Dia angkat tubuhnya
sedikit lalu tangannya bergerak mendorong ke depan.
Blaasss! Bentrok dua pukulan di udara seketika, kelua-
rkan suara dahsyat. Bawuk Raga Ginting melengak
kaget dan berseru keras. Untung waktu sentakan tan-
gannya tadi dia mengerahkan seperempat tenaga da-
lamnya, jika tidak mungkin akan terseret oleh bias
tangkisan serangan nenek yang menyebut dirinya den-
gan nama 'Tak Tahu' itu. Dan diam-diam Bawuk Raga
Ginting sadar bahwa si 'Tak Tahu' adalah seorang yang memiliki kepandaian
tinggi. "Siapa orang ini sebenarnya" Dia berkepan-
daian tinggi. Melihat lehernya ditumbuhi jakun, dia adalah laki-laki yang
menyamar perempuan, tapi suaranya, suara seorang perempuan. Persetan dengan itu!
Siapa pun dia adanya, dia telah mempermainkan aku,
dan harus dibunuh!" batin Bawuk Raga Ginting seraya
melesat ke depan. Kedua tangannya berputar-putar,
sementara sepasang kakinya lurus menerjang deras.
Di seberang 'Tak Tahu' hanya dongakkan kepa-
la. Tangan kirinya diangkat ke atas, sementara tangan kanannya disilangkan di
depan dada. Deesss! Deeesss!
Terdengar dua kali bentrokan keras. Tubuh
pendek itu melenting ke udara seraya berseru keras.
Sementara nenek 'Tak Tahu' kernyitkan kening dengan undurkan langkah setindak ke
belakang. Nenek 'Tak
Tahu' merasakan tangannya kesemutan, namun tan-
gan satunya yang menangkis terjangan tangan bagai
dihantam benda keras. Namun nenek ini tak kelua-
rkan suara. "Jahanam busuk! Makanlah tanganku ini!" teriak Bawuk Raga Ginting. Tubuhnya
berkelebat ke de-
pan. Namun begitu sedepa lagi kakinya menghantam,
dan sang nenek sudah siap menangkis, Bawuk Raga
Ginting belokkan tubuhnya ke samping. Dari samping
dia hantamkan pukulan jarak jauh. Bersamaan den-
gan itu tubuhnya melesat pula menghantamkan kedua
kakinya. Sang nenek sedikit terkejut. Dia segera miring-
kan tubuhnya dan dorongkan kedua tangannya. Ter-
dengar bentrok pukulan di udara. Namun belum le-
nyap gema suara bentrokan, tubuh pendek Bawuk Ra-
ga Ginting telah melesat.
"Uhhh, sialan betul ini anak!" seru sang nenek dengan menahan rasa kejut. Dia
segera lesatkan diri ke samping. Namun gerakannya kalah cepat dengan
lesatan tubuh Bawuk Raga Ginting. Hingga tanpa bisa dihindari lagi sepasang kaki
mungil perempuan pendek ini menghajar pundak sang nenek!
Buukkk! Tubuh sang nenek berputar dan terbanting ke
tanah. Namun Bawuk Raga Ginting dibuat ternganga
agak heran, karena nenek ini tak keluarkan seruan kesakitan.
"Untung pundakku yang kena. Kalau sampai
dadaku, bisa celaka. Dia akan segera tahu siapa
aku...," batin sang nenek seraya tertatih bangkit. Baju bagian pundak robek
besar. Namun bukan kulit yang
kelihatan, tapi kain berwarna hijau.
"Heran. Meski kakiku telak menghantam pun-
daknya, dia tak mengeluh!" batin Bawuk Raga Ginting dengan katupkan rahangnya
rapat-rapat. Begitu sang
nenek bangkit, Bawuk Raga Ginting tak menunggu la-
gi. Dengan didahului bentakan garang, dia meloncat
kembali ke depan. Dan entah dari mana dapatnya, di
tangan perempuan pendek ini telah menggenggam se-
buah tombak pendek yang pangkalnya membentuk se-
kuntum bunga berwarna hitam legam.
Di udara, tombak pendek itu dia putar-putar
dan sesekali menusuk ke depan. Begitu cepatnya gerakan tangan yang menggenggam
tombak, hingga saat
itu juga tombak itu laksana berubah jadi banyak dan sulit dilihat mana yang
tombak dan mana yang hanya
bayangannya saja.
Sang nenek nampaknya sedikit kewalahan juga
mendapati hujanan tombak yang bergerak cepat dan
keluarkan suara mendesing-desing itu. Namun dia se-
gera mengimbangi dengan beberapa kali lesatan ke
samping kanan dan kiri, dan sesekali ulurkan tangan untuk menggaet tombak. Namun
gerakan menghindar
sang nenek ini lama-kelamaan bisa dibaca oleh Bawuk Raga Ginting, hingga pada
suatu kesempatan, dia me-nyerbu ke samping, waktu sang nenek menghindar
dengan tangkisan tangan kanan, Bawuk Raga Ginting
rebahkan diri sejajar tanah. Dan serta merta tombaknya dia sapukan ke bagian
bawah pakaian sang nenek.
"Kurang ajar! Mata besarmu ingin lihat pahaku, ya...?" ujar sang nenek sambil
melirik tangannya ke bawah dan kibaskan pakaiannya. Namun lagi-lagi gerakan
tombak Bawuk Raga Ginting lebih cepat. Hingga saat itu juga terdengar suara kain
robek. Brettt! Bukan hanya sampai di situ. Begitu kain ba-
gian bawah sang nenek berhasil terobek, tubuh Bawuk Raga Ginting melenting ke
udara. Dan sekonyong-konyong tangan kirinya menjulur cepat hendak mena-
rik robekan di pundak sang nenek.
Sang nenek yang tahu gelagat cepat miringkan
tubuhnya. Namun ternyata nenek ini tertipu. Begitu
tangan kiri Bawuk Raga Ginting menjulur, tangan ka-
nannya yang memegang tombak berkelebat ke bawah.
Brettt! Robekan pakaian sang nenek bagian bawah le-
bih menganga. Dan kini hampir saja pakaian dalam
sang nenek terlihat sebatas pinggang.
"Celaka! Ternyata memakai pakaian panjang
besar begini menyulitkan gerakan...," gerutu sang nenek seraya balikkan tubuh
dan menutupkan kembali
pakaian bawahnya. Namun baru saja dia balikkan tu-
buh, dari arah belakang Bawuk Raga Ginting telah
kembali lancarkan serangan. Kali ini dengan kaki lurus dan tombak diangkat
tinggi-tinggi ke udara.
Sang nenek cepat palingkan wajah ke belakang
dan serta merta dia membuat gerakan salto. Hebatnya Bawuk Raga Ginting yang
tubuhnya meluncur itu tiba-tiba naik sedikit ke atas menghindari lentikan kaki
nenek yang membuat gerakan salto. Dan begitu berhasil menghindari lentikan kaki
sang nenek tangan kanan
Bawuk Raga Ginting bergerak cepat.
Brettt! Kali ini pakaian sang nenek bagian pundaknya
tambah menganga lebar. Dan begitu berhasil merobek
pundak sang nenek, tiba-tiba Bawuk Raga Ginting
jungkir balik dan sepasang kakinya lurus menghajar
dada sang nenek yang baru saja berdiri tegak dari sal-tonya. Desss!
"Jangkrik!" seru sang nenek. Tubuhnya me-
layang ke belakang dan jatuh terduduk dengan mata
terbuka terpejam. Di seberang, Bawuk Raga Ginting
terperangah hampir tak percaya. Sepasang matanya
mengawasi berlama-lama.
"Aneh. Dia tampaknya punya ilmu kebal terha-
dap pukulan kakiku. Hm.....Siapa dia sebenarnya. Pakaian hijau.... Yang pasti
laki-laki, karena kedua kakinya besar...."
Selagi Bawuk Raga Ginting termangu seraya
menduga-duga, sang nenek takupkan kedua tangan-
nya ke wajahnya. Dia tampak sesenggukkan, hingga
kedua bahunya berguncang-guncang.
"Uuhh.... Uuhh.... Uuhh.... Kunyil, Kunyil. Tega nian kau menghajar orang tua.
Apa kau tak takut ba-lak" Uhh.... Uhh.... Uhh...," kata sang nenek di sela se-
senggukannya. Bawuk Raga Ginting hampir melonjak saking
terkejutnya mendengar kata-kata sang nenek. Matanya membeliak. Namun diam-diam
perempuan pendek ini
kecut juga. Karena selain mengetahui siapa nama as-
linya, sang nenek tampaknya tak mengalami cedera
parah meski telak terhajar pukulan kakinya yang mengerahkan pukulan 'Sapu Bumi'.
Ketika Bawuk Raga Ginting masih terlengak be-
gitu rupa, sang nenek buka telapak tangannya. Ter-
nyata waktu menakupkan kedua tangannya tadi, per-
lahan-lahan nenek ini membuka topeng tipis di wajahnya. Dan dengan cekatan pula
tangannya bergerak ke
sana kemari menanggalkan pakaian besarnya. Dan se-
kali loncat pakaian gombrong itu telah terpuruk di atas tanah. Sepasang mata
Bawuk Raga Ginting kini semakin melotot besar melihat adanya orang yang menya-
mar menjadi nenek-nenek itu. Ternyata dia adalah seorang pemuda berwajah tampan
dengan tubuh tegap.
Pakaiannya berwarna hijau yang dilapis dengan pa-
kaian warna kuning lengan panjang.
"Bajingan! Ternyata dia!" seru Bawuk Raga Ginting dengan surutkan satu langkah
ke belakang. "Kunyil! Kuharap kau tak lupa denganku. Ha...
ha... ha...," kata orang muda yang kini memandang tajam pada Bawuk Raga Ginting
dengan senyum- senyum. Suaranya kini berubah, demikian juga suara
tawanya. Untuk menutupi rasa terkejutnya, Bawuk Raga
Ginting yang bernama asli Kunyil tertawa lebar. Lalu berkata sambil kebatkan
tombaknya ke atas tanah.
Cleeep! Tanah itu terbongkar dengan kepulkan asap.
"Rupanya kau kekasih yang setia. Mau bertan-
dang jauh-jauh ke tempatku demi seorang gadis....
Hmm.... Tapi sayang, kedatanganmu hanya akan men-
gantarkan nyawa. Hik... hik... hik...!"
"Kau keliru. Kedatanganku bukan hanya demi
gadis itu. Namun aku juga membawa pesan dan salam
dari seseorang. Kau tentunya gembira jika mendengarnya!" kata sang pemuda yang
bukan lain adalah Aji Saputra alias Pendekar Mata Keranjang 108.
Seraya berkata, dalam hati Aji membatin. "Un-
tung Gongging Baladewa meninggalkan tulisan di atas tubuhku sewaktu aku pingsan,
yang menunjukkan di
mana beradanya perempuan cebol ini...."
"Sebelum kau minggat ke akherat, coba kata-
kan siapa orangnya!" berkata Bawuk Raga Ginting dengan mimik sedikit terkejut.
Pendekar 108 tak segera menjawab ucapan
tanya Bawuk Raga Ginting. Dia merapikan rambutnya
dan dikuncir ekor kuda, lalu usap-usap ujung hidungnya dengan mata melirik ke
depan. Karena dilihat Pendekar Mata Keranjang 108
hanya melirik tanpa segera menjawab, Bawuk Raga
Ginting berkelebat dan tahu-tahu telah berdiri empat langkah di hadapan Pendekar
Mata Keranjang dengan
tombak kembali di tangan kanan.
"Lekas katakan! Siapa orangnya!" ulang Bawuk Raga Ginting dengan membentak
keras. Tombaknya
dia baling-balingkan di depan dadanya. Hingga di kejap itu juga tubuhnya bagai
dibungkus kilatan bayang-bayang tombak yang menderu-deru.
"Orang itu.... Hmm.... Si Kutil!" kata Aji perlahan, namun cukup jelas didengar
Bawuk Raga Gint-
ing. Mendengar nama disebut orang, Bawuk Raga
Ginting hentikan baling baling tombaknya. Langkah-
nya mundur dua tindak. Matanya menyipit dengan da-
hi mengernyit. "Ah, dugaanku ternyata meleset. Kau bukannya
suka ria mendengar ucapanku, malah tampak terkejut
besar. Apa aku salah omong atau mataku yang salah
sangka?" kata Pendekar Mata Keranjang 108 dengan air muka seolah heran. Meski
bibirnya melebar sung-gingkan sebuah senyum.
"Bangsa kecil! Kau apanya si Tambun itu, he"!"
hardik Bawuk Raga Ginting dengan maju kembali dua
langkah. "Soal itu biarlah menjadi pekerjaan rumah
buatmu. Yang perlu kau tahu, dia menginginkan ka-
kinya kembali. Kalau tidak, dia menginginkan bibirmu yang menggairahkan itu! Kau
tinggal pilih salah satu.
Atau kedua-duanya boleh!"
"Keparat! Nasibmu sungguh-sungguh jelek
Pendekar 108! Bersiaplah untuk mampus!"
"Hah, kau punya kuasa apa untuk menentukan
kematian orang" Apa kau utusan sang Pencabut Nya-
wa yang gentayangan di bumi?"
"Tak perlu kau pusingkan hal itu. Yang pasti
kau akan mati di tanganku! Sekarang juga!"
Habis berkata begitu, Bawuk Raga Ginting ke-
luarkan seruan keras. Tubuhnya melesat ke udara dan tiba-tiba lenyap. Kejap lain
tiba-tiba sepasang kakinya telah menerjang dengan keluarkan deruan keras ke
arah dada Pendekar Mata Keranjang 108.
Karena tadi telah dapat melihat kecepatan Ba-
wuk Raga Ginting, kini Aji tak mau lagi setengah-
setengah. Dia segera memiringkan tubuhnya ke samp-
ing, bersamaan dengan itu tangannya cepat menarik
kipas dari balik bajunya dan segera pula dikibaskan ke arah Bawuk Raga Ginting.
Blaasss! Terjangan sepasang kaki Bawuk Raga Ginting
meleset dan menerpa tempat kosong sejengkal di
samping tubuh Pendekar Mata Keranjang 108. Di lain
kejap, dia segera pula hantamkan kedua tangannya
memapasi kibasan kipas!
Wesss! Tiba-tiba Bawuk Raga Ginting kerutkan dahi,
matanya melotot besar karena serangannya kali ini bagai membentur dinding kasat
mata mental balik meng-
gebrak ke arahnya!
Didahului bentakan, Bawuk Raga Ginting ber-
kelebat ke samping menghindari mentalan serangan-
nya sendiri. Dan dari tempatnya yang baru ini, dia segera sentakkan kedua
tangannya. Beberapa benda hitam melesat. Anehnya begitu
di atas udara benda-benda yang ternyata adalah kun-
tum bunga berwarna hitam itu berpencaran dan serta


Pendekar Mata Keranjang 11 Gembong Raja Muda di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

merta menukik ke arah Pendekar Mata Keranjang 108
dari segala jurusan.
Mendapati hujanan bunga yang ternyata selain
menyambar kencang juga keluarkan hawa panas, Pen-
dekar Mata Keranjang lesatkan dirinya ke atas. Dari udara seraya berputar, dia
kibaskan kipasnya melengkung di depan tubuhnya seolah melindungi tubuhnya.
Bunga-bunga hitam itu telah hancur berham-
buran sebelum sempat meluruk. Namun sebuah bunga
yang menyambar dari atas lolos dan menukik deras!
Beeettt! Pendekar 108 berkelit ke kiri, anehnya kuntum
bunga hitam itu laksana punya ujung mata. Bunga itu ikut melenceng ke kiri.
"Sialan! Aku harus menunggunya lebih de-
kat...," pikir Pendekar Mata Keranjang. Begitu bunga itu sejengkal lagi
melabrak, Aji segera doyongkan tubuh ke depan. Bunga itu lurus ke bawah dan....
Seeettt! Rambut bagian belakang Pendekar Mata Keran-
jang 108 tersambar, membuat rambut itu terpangkas
ujung belakangnya. Kejap itu juga tercium bau sangit!
Meski hanya tersambar rambutnya namun Pendekar
Mata Keranjang 108 merasakan batok kepalanya pa-
nas bukan main!
Melihat serangan bunga-bunganya hanya bisa
menyambar dan memangkas sedikit rambut lawan,
Bawuk Raga Ginting segera berkelebat kembali. Dan
kini tubuhnya terlihat hanya bayang-bayangnya saja
dan berputar-putar mengitari tubuh Pendekar Mata
Keranjang 108. Pendekar Mata Keranjang 108 coba berkali-kali
menusukkan ujung kipasnya ke depan dan ke samp-
ing, namun selalu menghantam tempat kosong, mem-
buat murid Wong Agung ini segera kerahkan tenaga
untuk lepaskan pukulan 'Bayu Cakra Buana'. Tapi
Bawuk Raga Ginting seolah tahu. Sebelum Pendekar
Mata Keranjang sempat kirimkan pukulan, perempuan
pendek ini lesatkan diri ke atas. Dan dengan gerakan yang sukar diikuti
pandangan mata, tiba-tiba tubuh
Bawuk Raga Ginting menukik ke bawah dengan te-
baskan tombaknya. Saat itu juga terlihat membersit-
nya cahaya hitam berkilau dari atas ke bawah seakanakan hendak membedah separo
tubuh Pendekar Mata
Keranjang 108! Pendekar Mata Keranjang 108 cepat langkah-
kan kakinya satu tindak ke samping. Bersamaan den-
gan itu kedua tangannya bergerak. Tangan kanan
menghantamkan kipasnya sementara tangan kiri le-
paskan pukulan 'Bayu Cakra Buana'.
Weeesss! Weeesss!
Seberkas sinar putih lengkung serta sinar putih
berkilau melesat ke samping dan ke depan. Cahaya hitam yang membersit dari
tangan Bawuk Raga Ginting
yang ternyata adalah tombaknya, hancur begitu terpapasi sinar putih yang keluar
dari hantaman tangan
Pendekar Mata Keranjang 108. Namun dugaan Pende-
kar Mata Keranjang 108, yang mengira tubuh Bawuk
Raga Ginting ikut melayang ke bawah meleset. Karena begitu tombaknya menukik ke
bawah, Bawuk Raga
Ginting tahan sebentar tubuhnya di udara. Dan begitu Pendekar Mata Keranjang 108
sudah lepaskan pukulan, Bawuk Raga Ginting melayang ke bawah!
Desss! Kaki kanan Bawuk Raga Ginting berkelebat dan
menghantam pelipis Pendekar Mata Keranjang! Tubuh
Pendekar Mata Keranjang terhuyung ke samping, dan
jatuh terduduk.
Anehnya, Aji tak merasakan sakit sama sekali,
hanya kepalanya seperti berputar-putar dan mata ber-kunang-kunang.
"Hmm.... Apa yang dilakukan Gongging Bala-
dewa ternyata ada gunanya! Kalau tidak, mungkin ke-
palaku sudah pecah...," membatin Pendekar Mata Keranjang 108 seraya merambat
bangkit. Di seberang, Bawuk Raga Ginting tak habis pi-
kir. Dia terheran-heran.
"Hmm.... Dia tampaknya mempunyai penangkal
pukulan 'Sapu Bumi'. Kurang ajar! Terpaksa untuk
sementara aku harus menyingkir dahulu!" membatin Bawuk Raga Ginting. Perempuan
pendek ini segera
melompat ke depan seraya hantamkan kedua tangan-
nya. Weeesss! Segelombang sinar hitam yang menebar hawa
panas segera melesat.
Pendekar Mata Keranjang 108 segera pula le-
paskan kembali 'Bayu Cakra Buana'.
Blaaarrr! Satu ledakan dahsyat segera mengguncang
tempat itu. Pendekar Mata Keranjang 108 terhuyung-
huyung ke belakang seraya salurkan tenaga dalam ke
tangan kanan karena pegangan pada kipasnya terasa
goyah. Hal ini membuatnya tak bisa kuasai diri lagi, hingga kakinya yang coba
menahan gerak tubuhnya
tak kuasa bertahan. Akhirnya pendekar murid Wong
Agung ini jatuh terduduk dengan tangan ngilu!
Di lain pihak, tubuh Bawuk Raga Ginting ter-
guling di atas tanah dan menggelundung. Namun kea-
daan seperti ini digunakan oleh Bawuk Raga Ginting.
Dia tak berusaha menahan gelundungan tubuhnya,
malah dia kerahkan tenaga agar tubuhnya menggelun-
dung lebih cepat dan lebih menjauh.
Begitu jaraknya lima tombak, Bawuk Raga
Ginting cepat bangkit. Lalu dengan membentak ga-
rang, dia lepaskan lagi pukulan jarak jauh! Habis lepaskan pukulan tubuhnya
segera berkelebat dan le-
nyap. Di seberang, Pendekar Mata Keranjang 108 se-
gera menangkis dengan kibasan kipasnya, sementara
tangan kirinya menunggu.
Begitu serangan Bawuk Raga Ginting yang ke-
luarkan larikan-larikan sinar hitam terbendung sam-
baran kipas, tangan kiri murid Wong Agung ini segera menghantam!
Wesss! Namun Pendekar Mata Keranjang 108 terperan-
jat. Karena pukulannya menghantam tempat kosong.
"Keparat! Ke mana dia?" gumam Pendekar Mata Keranjang 108 seraya menebarkan
pandangannya ke
sekitar lembah. Namun hingga agak lama nyalangkan
mata, dia tak menemukan batang hidung Bawuk Raga
Ginting. "Kali ini dia lolos lagi. Namun sekali lagi bertemu, dia tak akan bisa melarikan
diri lagi...," ujar Pen-
dekar Mata Keranjang sambil sekali lagi putar tubuh dan kepalanya, seakan ingin
meyakinkan. Yakin bahwa Bawuk Raga Ginting tak berada di
sekitar lembah, Pendekar Mata Keranjang 108 segera
berkelebat ke arah lobang gua.
"Semoga Ratu Sekar Langit tidak mengalami hal
buruk...."
Ternyata gua itu tidak begitu besar. Dan di se-
belah ujung tampak tangga menurun.
"Ratu Sekar Langit!" teriak Pendekar Mata Keranjang 108 begitu tak melihat orang
yang dicari di dalam gua. Tapi teriakannya tak ada yang menyahut.
"Aku akan menyelidik ke bawah...." Dia lantas berkelebat dan menuruni tangga ke
bawah. Gua sebelah bawah ini agak besar dibanding
dengan yang sebelah atas. Namun di tempat ini Ratu
Sekar Langit yang dicarinya tak juga ditemukan. Beberapa kali Pendekar Mata
Keranjang 108 berteriak me-
manggil. Namun tak ada jawaban.
"Keparat! Di mana Ratu Sekar Langit dia sem-
bunyikan...?" gumam Pendekar Mata Keranjang 108
dengan raut merah padam dan dagu membatu mena-
han marah. Sekali lagi murid Wong Agung ini berte-
riak. Dan ketika tak ada jawaban, tangan kiri-
kanannya segera bergerak dan dihantamkan ke dind-
ing gua, melepaskan rasa dongkol.
Dinding gua itu terbongkar. Bersamaan dengan
itu Aji seraya melesat ke atas. Lalu bergegas keluar gua. "Kunyil! Ke mana pun
langkahmu, kau pasti kukejar!" teriak Pendekar Mata Keranjang 108 seraya
berkelebat meninggalkan pedataran Lembah Bandar
Lor. TUJUH SEORANG gadis muda berparas cantik dan
bermata bulat serta rambut sebahu dan dikuncir agak tinggi terlihat melangkah
perlahan memasuki kedai
yang sarat pengunjung.
Begitu masuk, beberapa mata pengunjung ke-
dai segera berpaling dan memandang sang gadis den-
gan pandangan sulit diartikan. Pandangan antara ka-
gum dan nafsu. Hal ini bisa dimengerti, karena selain berparas cantik, ternyata
gadis ini mempunyai bentuk tubuh bagus. Dadanya tampak kencang membusung
di balik pakaian warna coklat bergaris-garis, kulitnya putih dengan pinggul
besar dan padat.
Namun di lain pihak, dipandangi begitu rupa
oleh beberapa mata, gadis ini segera tak mengacuh-
kan. Dia tetap melangkah tanpa sedikit pun merasa
kikuk atau jengah. Dia mendekati meja yang tinggal
Pendekar Kidal 19 Joko Sableng 12 Warisan Laknat Gadis Penyelamat Bumi 2
^