Pencarian

Datuk Lembah Neraka 1

Pendekar Mata Keranjang 12 Datuk Lembah Neraka Bagian 1


DATUK LEMBAH NERAKA Darma Patria Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Cover oleh Henky
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Darma Patria Pendekar Mata Keranjang 108
dalam episode: Datuk Lembah Neraka
128 hal. SATU LANGIT di atas Laut Utara tampak diselimuti
awan bergulung-gulung. Gelombang yang abadi meme-
cah lamping-lamping batu karang terdengar bergemu-
ruh menghentak. Angin laut berhembus kencang me-
nambah tercekamnya suasana.
Di saat itu, dua bayangan kuning terlihat berke-
lebat cepat laksana bersitan-bersitan sinar menuju
arah Laut Utara. Begitu sampai pesisir, dua bayangan tersebut hentikan larinya
masing-masing. Seraya mengusap keringat yang membasahi kening masing-
masing, kedua pasang mata dua orang ini memandang
nyalang berkeliling. Saat kedua pasang mata mereka
menangkap julangan batu karang yang berada di ten-
gah-tengah laut, mata keduanya membesar tak kesiap.
Bahkan salah seorang di antaranya menadangkan te-
lapak tangannya di depan kening agar pandangan se-
makin jelas. "Julangan batu karang di tengah laut, mungkin
itu tempat yang kita cari!" berkata orang yang menadangkan telapak tangan dengan
sepasang mata tak be-
ranjak dari gundukan batu karang di tengah laut. Dia adalah seorang laki-laki.
Badannya tinggi besar, mengenakan pakaian panjang warna kuning yang diselem-
pangkan di pundak kiri kanan. Raut mukanya bundar
dengan hidung agak besar, sepasang matanya lebar
dengan kepala plontos.
Untuk beberapa saat lamanya orang yang diajak
bicara masih diam. Hanya pandangannya lurus ke de-
pan, ke arah julangan batu karang di tengah laut. Kedua tangannya saling menakup
dan diangkat se-jajar
dada. Mulutnya berkemik.
Seperti halnya yang mengajak bicara, orang ke-
dua ini juga berpakaian warna kuning. Sepasang ma-
tanya sipit dengan hidung mancung. Tubuhnya tinggi
kurus dengan kepala plontos.
Setelah berkemik-kemik yang tak jelas, akhirnya
orang yang tinggi kurus ini membuka mulut, namun
pandangannya tetap lurus ke depan.
"Bukan mungkin lagi, tapi aku yakin memang
itulah tempat yang kita cari. Kita harus segera ke sana agar urusan ini cepat
selesai!" "Benar! Tapi kita juga harus waspada. Manusia
yang akan kita hadapi adalah seorang tokoh rimba
persilatan yang kenyang pengalaman dan ilmunya sulit diukur. Malah muridnya,
manusia yang berjuluk Pendekar Mata Keranjang 108 saat ini telah menjadi tokoh
yang paling ditakuti oleh momok-momok golongan hitam...!" ujar orang yang
bertubuh tinggi besar sambil berpaling ke samping dan menurunkan telapak
tangannya dari kening.
Orang yang tinggi kurus mendengus keras dan
menoleh. Mereka sejenak saling berpandangan satu
sama lain. Namun mendadak saja yang bertubuh ting-
gi besar tertawa bergelak-gelak melihat sikap orang di sampingnya.
"Kau jangan salah paham dengan ucapanku. Aku
berkata demikian tadi bukannya berarti aku takut!
Hanya sebagai isyarat agar kau tak memandang remeh
orang yang akan kita hadapi. Meremehkan orang tak
jarang menjadi bumerang!"
Orang yang tinggi kurus kembali mengeluarkan
dengusan. Wajahnya kembali dia luruskan ke depan.
Dagunya mengeras dengan pelipis bergerak-gerak.
"Wisnu Paladasa!" panggil orang yang tinggi kurus pada orang di sampingnya tanpa
mengalihkan pandangan. "Kau tak usah khawatirkan diriku. Aku telah tahu siapa adanya Wong
Agung, orang yang akan
kita hadapi itu!"
Orang yang tinggi besar yang tadi dipanggil den-
gan Wisnu Paladasa tersenyum lebar, lalu berkata.
"Bagus! Kita teruskan perjalanan!"
"Tapi kita perlu alat untuk mencapai tempat itu.
Kau lihat...," belum habis kata-kata orang yang tinggi kurus, Wisnu Paladasa
telah berkelebat cepat ke arah dari mana mereka tadi datang. Dan tak lama
kemudian, dia muncul dengan pundak kiri kanan memang-
gul dua batang pohon kelapa, dan enak saja kedua ba-
tang pohon kepala besar itu lantas dilempar ke tengah laut. "Jalu Kembara!"
panggil Wisnu Paladasa pada orang yang tinggi kurus dengan isyarat kepala agar
temannya segera bergerak mengikuti dirinya yang kini telah berkelebat dan kaki
kiri kanan terpentang di atas batangan pohon kepala yang telah mengapung.
Tanpa menunggu lama lagi, Jalu Kembara berge-
rak dan tahu-tahu tubuhnya telah berada tegak kokoh
di belakang Wisnu Paladasa. Dan seolah hampir tidak
bisa dipercaya, begitu kedua orang botak ini telah berada di atas batangan pohon
kelapa, batangan pohon
itu meluncur deras ke depan menerjang gempuran
ombak! Padahal kedua orang ini hanya memutar-
mutar kedua tangan masing-masing ke depan dan ke
belakang. "Kita harus sampai sebelum hujan turun. Karena
hujan akan menghambat perjalanan kita!" berkata Wisnu Paladasa seraya
mempercepat putaran kedua
tangannya yang kemudian diikuti oleh Jalu Kembara.
Batangan pohon kelapa itu melesat lebih kencang ke
depan membedah gulungan ombak.
Tak berselang lama, batangan pohon kelapa itu
telah sampai di batu karang yang berada di tengah-
tengah laut. Dan sebelum batangan itu menyentuh ba-
tu karang, kedua orang itu telah lesatkan diri masing-masing ke batu karang yang
mengelilingi batu karang
tinggi menjulang.
Untuk beberapa lama kedua orang ini tak kesiap
memandang pada batu karang yang tinggi menjulang,
karena selain tinggi ternyata sisi-sisi batu karang itu lurus! Mirip sebuah
tembok bangunan!
"Apa kau yakin jika orang yang kita cari itu berada di sana"!" tanya Wisnu
Paladasa seraya tengadahkan kepala dan arahkan pandangannya ke atas.
"Aku belum bisa memastikan sebelum kita sam-
pai di sana! Tapi melihat tempatnya, aku hampir ya-
kin, inilah tempat orang yang kita cari. Kita harus cepat menyelidik ke sana!"
kata Jalu Kembara dengan menebar pandangan ke sisi-sisi batu karang.
Wisnu Paladasa anggukkan kepala. "Makin cepat
kita menyelidik makin baik, karena urusan ini akan
segera berakhir dan musuh kita tinggal muridnya,
Pendekar 108!"
"Benar! Setelah itu baru kita kuasai rimba persilatan! Jika itu terjadi segala
keinginan kita hanya tinggal tunjuk. Kau tahu, apa yang selama ini kuidam-
idamkan?" berkata Jalu Kembara yang bertubuh tinggi kurus itu, seraya
sunggingkan senyum, membuat matanya yang sipit semakin terpuruk.
Yang ditanya hanya gelengkan kepala perlahan
tanpa menoleh. "Aku ingin tidur dengan tujuh perempuan cantik
dalam satu ranjang selama tiga hari tiga malam. Ha
ha... ha...!"
Wisnu Paladasa yang bertubuh besar ikut-ikutan
tertawa, namun tawanya tiba-tiba dia penggal. Dan
berkata dengan sedikit keras, mengimbangi suara ge-
lak tawa Jalu Kembara.
"Hentikan tawamu! Lihat di atas!"
Serta merta Jalu Kembara hentikan tawanya.
Pandangan matanya dia arahkan pada tempat yang di-
katakan Wisnu Paladasa. Ternyata batu karang yang
tinggi menjulang itu perlahan-lahan sirna tertutup oleh kabut putih yang turun
dari langit. "Apa karena ini maka tempat ini disebut orang
Karang Langit?" bisik Jalu Kembara dengan tak berkedip. "Kita harus segera
mencapai tempat itu sebelum batu karang itu tertutup kabut seluruhnya!" kata
Wisnu Paladasa sambil melangkah dua tindak ke depan.
Kedua tangannya dia takupkan di depan dada, sepa-
sang matanya terpejam dengan bibir bergerak-gerak
mengucapkan sesuatu.
Sementara itu, tahu akan apa yang hendak dila-
kukan oleh Wisnu Paladasa. Jalu Kembara pun maju
dua tindak ke depan dan melakukan seperti apa yang
dilakukan Wisnu Paladasa. Lantas bagai dikomando,
kedua tangan kedua orang ini mereka buka dan mere-
ka luruskan ke depan tubuh masing-masing mereka
putar hingga keduanya kini saling berhadapan dan ke-
dua tangan masing-masing mereka pertemukan. Dan
didahului dengan bentakan dahsyat, kedua orang ini
jejakkan kaki masing-masing.
Serta merta tubuh Wisnu Paladasa dan Jalu
Kembara melejit ke atas, menembus asap putih dan
tak lama kemudian berdiri kokoh di pedataran batu
karang yang tinggi menjulang.
"Aneh! Ternyata kabut putih itu hanya menutupi
sisi-sisi batu karang. Sementara bagian sini terang
benderang!" ujar Wisnu Paladasa begitu sampai di pelataran batu karang yang
tinggi menjulang. Seraya
berkata, sepasang matanya yang lebar menatap jauh
ke depan, di mana tampak sebuah bangunan dari ba-
tu. "Ada bangunan di sana!" Wisnu Paladasa menunjuk. Jalu Kembara mengangguk
perlahan. "Saatnya kita menyelidik!" kata laki-laki tinggi kurus ini. Dan tanpa menunggu
jawaban dari Wisnu
Paladasa, dia telah berkelebat dan tahu-tahu telah
berdiri dua tombak di depan bangunan batu.
"Hmm.... Bangunan ini nampaknya tidak terawat.
Puing-puing bekas hancuran teras depan dibiarkan te-
tap berserakan. Melihat puing-puing yang telah berlu-mut, hal ini terjadi telah
beberapa tahun silam...."
Jalu Kembara terdiam sesaat, sementara sepa-
sang matanya terus menebar ke sekeliling bangunan.
Raut muka Jalu Kembara tiba-tiba berubah. Ma-
tanya yang sipit dia buka lebar-lebar. "Kau tunggu di sini, aku akan menyelidik
ke samping bangunan! Aku
khawatir, tempat ini telah ditinggalkan penghu-
ninya...," kata Jalu Kembara pada Wisnu Paladasa yang ternyata telah berada di
sampingnya. Yang diajak bicara mengangguk perlahan tanpa
palingkan wajah. Dan tak lama kemudian Jalu Kemba-
ra telah kembali. Parasnya makin mengeras.
"Aku hampir yakin, tempat ini telah ditinggalkan penghuninya!" simpul Jalu
Kembara begitu melihat keadaan samping bangunan.
"Kita tak usah buru-buru ambil kesimpulan. Kita belum ke dalam!" berkata Wisnu
Paladasa seraya pentangkan sepasang kakinya. Dan baru saja laki-laki
tinggi besar ini hendak angkat bicara, dia rapatkan
kembali sepasang kakinya, sementara Jalu Kembara
surutkan langkah satu tindak ke belakang!
Tempat mereka berdiri mula-mula terasa bergetar
perlahan, namun makin lama semakin keras. Hingga
membuat kedua orang ini harus mengerahkan sedikit
tenaga dalamnya untuk menahan agar tubuh masing-
masing tak terhuyung-huyung.
"Keparat!" keluar sumpah serapah dari mulut Ja-lu Kembara. "Dia tampaknya telah
mengetahui kedatangan kita!"
"Betul! Kita harus hati-hati!" bisik Wisnu Paladasa. Laki-laki ini lantas
berteriak lantang.
"Wong Agung! Kami tak butuh mainan anak-anak
macam ini! Keluarlah, tunjukkan wujudmu! Songson-
glah hari kematianmu!"
Karena teriakan itu disertai pengerahan tenaga
dalam tingkat tinggi, maka tak heran jika untuk beberapa saat lamanya getaran
yang terasa di pelataran
bangunan batu itu terhenti sejenak! Malah gemuruh
gelombang laut di bawah bagai tertahan!
"Wong Agung! Lekas keluarlah! Takdir kematian-
mu telah datang. Pendekar seperti kau tak layak me-
nyambut tamu dengan sembunyi-sembunyi!" terdengar lagi teriakan membahana. Kali
ini yang keluarkan teriakan adalah Jalu Kembara. Namun sejauh ini tak
ada tanda-tanda sahutan, apa lagi terlihatnya wujud
orang yang diteriaki.
Kedua orang berkepala plontos dan berpakaian
selempang kuning mirip pakaian seorang pendeta itu
sejenak saling berpandangan. Raut wajah ke duanya
telah tampak merah padam. Rahang masing-masing
terangkat ke atas, sementara pelipisnya bergerak-gerak menindih amarah yang
mulai mendera dada masing-masing.
Jalu Kembara yang tampaknya ingin segera me-
nyelesaikan persoalan mendekat ke depan bangunan.
Kedua tangannya dia usap-usapkan pada batok kepa-
lanya lalu dia tarik ke bawah dan dikeplaknya lalu di-adu satu sama lain hingga
mengeluarkan suara bentu-
ran agak keras, lalu mulutnya kembali membuka hen-
dak berteriak. Namun belum sampai Jalu Kembara keluarkan
teriakan, dari delapan penjuru mata angin terdengar
suara. Hebatnya, meski kedua orang ini belum bisa
menentukan dari mana sumber suara, namun suara
itu bagai dikeluarkan di dekat telinga masing-masing dua laki-laki ini, membuat
keduanya serentak undurkan kaki masing-masing.
"Aku sedari tadi telah menyambut kalian di sini!
Hanya kalian saja yang tidak melihat!"
Setelah dapat menentukan sumber suara, seren-
tak kedua orang ini sama-sama balikkan tubuh mas-
ing-masing. "Apa mau kalian mengusik ketenangan tem-
patku"!" tegur seseorang yang kini telah berdiri empat tombak di hadapan Wisnu


Pendekar Mata Keranjang 12 Datuk Lembah Neraka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Paladasa dan Jalu Kembara. Dia adalah seorang laki-laki mengenakan jubah
warna putih. Rambutnya panjang bergerai, demikian
pula jenggotnya. Sepasang matanya tertutup sepotong
kulit yang diikatkan ke belakang kepala, sementara
tangan kanannya tak henti-henti mengelus uraian
jenggotnya yang telah berwarna putih.
Entah karena masih terkejut dan terkesima, atau
mungkin karena belum bisa menguasai diri, kedua
orang yang ditegur ini tidak segera menjawab. Hanya
sepasang mata keduanya tak kesiap memandang ke
depan dengan tatapan nyalang beringas.
"Paladasa! Apakah ini bentuknya orang yang kita cari"!" bisik si tinggi kurus
tanpa berpaling.
"Benar! Dialah Wong Agung, orang yang akan kita kirim ke neraka!" jawab si
tinggi besar juga tanpa palingkan wajahnya.
"Jika kalian tak segera jawab tanyaku, jangan
menyesal bila kalian akan kutinggalkan. Masih banyak pekerjaan yang harus
kuselesaikan!" berkata laki-laki berjubah putih yang bukan lain memang Wong
Agung adanya, guru dari Pendekar Mata Keranjang 108.
Wisnu Paladasa dan Jalu Kembara sama-sama
dongakkan kepala ke atas. Dari mulut masing-masing
tiba-tiba meledak tawa keras yang membahana bersa-
hut-sahutan. Karena gelak tawa mereka dengan penge-
rahan tenaga dalam, membuat suara tawa itu seakan
menusuk gendang telinga orang yang mendengarnya.
Melihat gelagat tidak enak, Wong Agung segera
kerahkan tenaga, lalu kepalanya dia tengadahkan. Da-
ri bibirnya yang sedari tadi menyunggingkan senyum
terdengar suara tawa. Mula-mula pelan, namun makin
lama makin keras dan menggetarkan pelataran bangu-
nan batu serta menyapu lenyap suara tawa dua orang
dihadapannya. Diam-diam kedua orang berkepala
plontos ini jadi terkesiap hati masing-masing. Mereka sadar, orang yang berdiri
di hadapan ini tingkat tenaga dalamnya masih jauh di atas mereka. Namun
demikian, kedua orang ini tidak me-nampakkan rasa takut
sama sekali. Malah keduanya sama-sama melangkah
maju. "Tua bangka! Kau boleh tinggalkan kami, tapi itu hanya namamu! Ragamu akan
tetap di sini karena sebentar lagi akan segera kami kubur!" kata Wisnu Paladasa
dengan bola mata membeliak menusuk.
"Hmm.... Karena mataku tak dapat melihat, kalau
boleh aku tahu, siapa kalian sebenarnya" Rasa-
rasanya kita belum pernah bertemu!" ujar Wong Agung dengan bibir tetap mengulum
senyum. "Tua bangka ini awas juga. Dia dapat membeda-
kan suara orang yang pernah dikenalnya dan suara
orang yang belum pernah bertemu...," membatin Jalu Kembara dengan sepasang mata
memperhatikan lebih
seksama sosok di hadapannya dari ujung kaki hingga
ujung rambut. Memang, Wisnu Paladasa dan Jalu Kembara be-
lum pernah bertemu dengan Wong Agung. Kedua
orang ini sebenarnya adalah seorang pendeta. Namun
dalam perjalanan hidup mereka, keduanya bertemu
dengan seorang pendeta berilmu tinggi. Karena kedua
orang ini ingin memiliki ilmu silat tinggi, keduanya pun berguru. Ternyata, pada
akhirnya ilmu silat telah mengubah jalan pikiran kedua orang ini, ini karena
sang Guru mereka ternyata adalah seorang bekas to-
koh silat dari golongan hitam.
Namun, meski kedua orang ini telah melakukan
hal-hal yang tak pantas dilakukan oleh seorang pende-ta, tapi pakaian dan gaya
mereka masih tak mening-
galkan laksana seorang pendeta.
"Jalu Kembara...!" ujar Wisnu Paladasa seraya menoleh. "Apa perlu kita
perkenalkan diri sebelum mengantarkan nyawanya menuju tempat peristiraha-tan
terakhirnya?"
Jalu Kembara kembali tertawa bergelak. Tiba-tiba
suara tawanya lenyap, kedua tangannya dia angkat ke
atas dengan dada membusung.
Weesss! Serangkum angin deras menyambar dari angka-
tan kedua tangan Jalu Kembara. Merasakan hal ini
Wong Agung segera doyongkan tubuh ke samping ka-
nan. "Untuk yang satu ini, tidak ada salahnya jika kita perkenalkan diri!" kata
Jalu Kembara seraya tersenyum sinis. Wisnu Paladasa busungkan dada, lalu
berkata. "Dengar Wong Agung! Kau tidak perlu tahu siapa
kami. Hanya saja mungkin kau masih ingat dengan
orang yang bernama Dadaka Lanang. Nah, kami ber-
dua adalah utusan Dadaka Lanang!"
"Dadaka Lanang...," gumam Wong Agung mengulangi kata-kata Wisnu Paladasa seraya
dongakkan ke- pala. Dia tampaknya coba mengingat-ingat.
"Hmm.... Dadaka Lanang.... Manusia keji bergelar Datuk Lembah Neraka. Rupanya
dia ingin mengulang
rencana yang gagal pada beberapa puluh tahun silam.
Manusia yang punya ambisi untuk menguasai rimba
persilatan...," batin Wong Agung. Dia lantas berkata.
"Sebenarnya aku sudah menganggap selesai per-
soalan antara aku dengan manusia bergelar Datuk
Lembah Neraka. Jadi jika kalian berdua akan mem-
perpanjang masalah itu, kalian salah alamat! Aku su-
dah lama mengundurkan diri dari gemerisiknya rimba
persilatan. Dengar! Aku sekarang tidak akan lagi
menghalangi segala rencana Datuk Lembah Neraka,
karena untuk hal itu sudah ada orang yang menan-
gangi! Silakan kalian tinggalkan tempat ini!"
Wisnu Paladasa dan Jalu Kembara saling ber-
pandangan sejenak. Lantas keduanya saling mem-
buang muka masing-masing dengan tersenyum ang-
ker. "Jika kau anggap selesai masalahmu dengan Datuk Lembah Neraka, itu adalah
hakmu. Namun satu
hal yang pasti, kepalamu sangat berharga bagi Datuk
Lembah Neraka, untuk itulah kami datang! Dan kami
tak akan tinggalkan tempat ini dengan tangan hampa!"
kata Jalu Kembara. Dia lantas berpaling pada Wisnu
Paladasa dan berkata.
"Paladasa! Kita selesaikan manusia ini!"
Wisnu Paladasa anggukkan kepala. Dan di kejap
lain mendadak kedua manusia berkepala plontos ini
sama-sama berkelebat seraya kirimkan pukulan.
Wuuttt! Wuuuttt!
Empat larikan sinar berwarna kuning redup me-
lesat menyambar ke arah tubuh Wong Agung. Bukan
hanya sampai di situ, begitu empat sinar melesat, dua sosok ini segera berpencar
ke samping kanan dan kiri, dan dari tempatnya ini mereka segera kembali kirimkan
serangan. Kini dari arah depan, samping kanan dan samp-
ing kiri melesat larikan-larikan sinar kuning redup!
Dari sini jelas terlihat bahwa kedua orang ini ingin segera menyelesaikan Wong
Agung saat itu juga!
Meski kedua matanya tertutup, Wong Agung da-
pat merasakan betapa ganasnya serangan yang dilan-
carkan oleh kedua orang di hadapannya. Namun seba-
gai tokoh yang pernah malang melintang menegakkan
kebenaran, penghuni Karang Langit ini segera sambut
serangan lawan dengan lesatkan diri membuat putaran
beberapa kali ke belakang. Pada putaran kelima, ke-
dua tangannya segera dibuka dan didorong ke depan!
Larikan sinar kuning redup yang datang dari
arah samping kanan dan kiri bentrok di udara, hal ini karena Wong Agung telah
terlebih dahulu melesat ke
belakang untuk menghindar. Hingga kejap itu juga
terdengar ledakan dahsyat yang mengguncang pelata-
ran batu karang di tengah laut itu. Namun serangan
larikan yang datang dari arah depan, terus menerabas!
Saat itulah dorongan kedua tangan Wong Agung yang
keluarkan suara menggemuruh bagai gelombang da-
tang memapak! Blarrr! Kembali terdengar ledakan dahsyat. Batu karang
tinggi menjulang di tengah laut itu kembali bergetar.
Malah batu karang di bawah bertemunya tiga serangan
bertenaga dalam tinggi itu terbongkar dan berhambu-
ran menjadi abu.
Begitu dahsyatnya getaran batu karang, hingga
membuat Wisnu Paladasa dan Jalu Kembara ter-
huyung-huyung ke belakang, sementara Wong Agung
surutkan dua tindak kakinya ke belakang.
Begitu dapat kuasai tubuh masing-masing, Wis-
nu Paladasa kertakan rahang, sedangkan Jalu Kemba-
ra keluarkan dengusan keras. Kedua murid Datuk
Lembah Neraka ini segera merangsek maju. Sementara
di seberang sana Wong Agung hanya berdiri menung-
gu. "Kita hantam dari jarak dekat!" bisik Wisnu Paladasa. Dia lirikkan matanya
pada Jalu Kembara. Dua
orang ini saling beri isyarat dengan anggukkan kepala masing-masing. Lantas
tiba-tiba saja tubuh kedua
orang ini berkelebat lenyap. Dan tahu-tahu kedua so-
soknya menukik dari atas tubuh Wong Agung dengan
kedua tangan masing-masing menekan ke bawah! He-
batnya sebelum tekanan yang bisa menghancurkan
batok kepala itu mencapai sasaran, empat angin deras yang keluarkan suara
menggidikkan melesat mendahului! Wong Agung sejenak terkesiap. Dan sebelum se-
rangan mematikan itu menghantam kepalanya, dia
undurkan kaki satu tindak, lalu tubuhnya dia lorotkan sedikit ke bawah. Dan
dengan didahului bentakan keras, kedua tangannya yang telah mengepal dia angkat
lurus ke atas! Deess! Deess! Deess! Deeesss!
Terdengar empat kali suara beradunya lengan
tangan. Lalu disusul dengan suara pekikan tertahan
dua kali berturut-turut. Tubuh Wisnu Paladasa berpu-
tar balik dan jatuh berkaparan di atas batu, sementara tubuh Jalu Kembara mental
dan menukik ke bawah
tanpa bisa lagi menguasai keadaan, hingga di kejap
kemudian tubuhnya menghempas batu karang.
Jika bibir Wisnu Paladasa langsung keluarkan
darah begitu mengantuk batu karang, tidak demikian
halnya dengan Jalu Kembara. Meski tubuhnya keras
menghantam batu karang, namun dia tampak tidak
mengalami cedera, bahkan di kejap itu juga dia segera bangkit kembali dengan
kedua tangan saling menakup
di depan dada. Mulutnya berkemik-kemik. Dan men-
dadak saja tubuhnya kembali melesat ke depan den-
gan kedua tangan terbuka dan dipukulkan ke arah
Wong Agung. Wong Agung yang baru saja dapat menguasai diri
dari olengan tubuhnya akibat benturan tangan diam-
diam merasa heran. Dia tak menduga jika salah satu
lawannya yang baru saja jatuh berkaparan secepat itu bangkit dan malah kirimkan
serangan! Namun rasa
herannya tak berlangsung lama, karena saat itu juga
dari kedua tangan Jalu Kembara melesat asap hitam
yang membentuk batangan-batangan laksana batan-
gan pohon besar. Hebatnya batang asap itu bukan
hanya lurus, namun salah satu di antaranya berputar
bagai baling-baling dan keluarkan suara mendesis-
desis sementara satunya lagi menyilang lurus!
Wuuusss! Wuuusss!
Wong Agung dengan menahan rasa heran cepat
rebahkan tubuhnya di atas batu karang. Kedua ka-
kinya dia hantamkan ke arah batang asap yang mem-
bentuk baling-baling.
Beek! Beekk! Batangan asap itu, yang ternyata keras bagai ba-
tu mencelat ke atas, dan detik itu juga tubuh Wong
Agung membal dan menyusul lesatan batangan asap
ke atas. Saat tubuhnya melenting ke atas, kedua tan-
gannya segera dia dorongkan ke arah batangan asap
yang membentuk silangan!
Weess! Weeesss!
Batangan asap yang menyilang tiba-tiba terhenti
di udara, dan dengan gerak cepat, kedua kaki Wong
Agung menjejak. Batangan asap itu melayang ke udara
menyusul batangan yang pertama.
Begitu dua batangan asap berada di atas udara,
Wong Agung segera menukik ke bawah, dan begitu
hampir menginjak batu karang, kedua kakinya menje-
jak keras. Tubuhnya kembali melesat ke udara. Dan
dengan gerakan ringan kedua kakinya mendarat rin-
gan di atas dua batangan asap yang kini turun dengan posisi lurus menyamping
Bukan hanya sampai di situ, begitu dua batan-
gan yang dinaiki hampir menyentuh batu karang,
Wong Agung lesatkan diri ke depan, dan serta merta
kedua kakinya menyentil kedua ujung batangan asap!
Hebatnya, meski sentilan kedua kaki itu hanya
perlahan, namun batangan asap itu kini meluncur de-
ras. Satu mengarah pada Wisnu Paladasa yang baru
saja bangkit sementara satunya lagi mengarah pada
Jalu Kembara yang tampaknya masih terkesima den-
gan apa yang diperbuat oleh Wong Agung!
Jalu Kembara yang tahu banyak jika terhantam
batangan asap serangannya sendiri segera berteriak
memberi peringatan pada Wisnu Paladasa.
"Menyingkir! Jangan ditangkis!" seraya berteriak, Jalu Kembara lesatkan diri ke
samping untuk menghindari batangan asap yang menuju ke arahnya. Di
lain pihak, Wisnu Paladasa segera melompat mengikuti petunjuk temannya.
Benar saja, begitu kedua orang pendeta ini ber-
hasil meloloskan diri masing-masing dari hantaman
batangan asap, batangan asap itu meledak di udara
dengan keluarkan kepingan-kepingan yang meng-
hambur ke segala jurusan!
"Setan alas!" kertak Jalu Kembara. "Tampaknya mata batin manusia ini lebih
sempurna dari pengliha-tan mata biasa...."
"Sudahlah! Kalian lekas tinggalkan tempat ini.
Tak ada gunanya masalah ini diteruskan!" berkata Wong Agung dengan bibir
tersenyum. Seolah sepasang
matanya bisa melihat, kepalanya bergerak bergantian
ke arah Wisnu Paladasa dan Jalu Kembara.
"Kami tak akan turun dari sini dengan berhampa


Pendekar Mata Keranjang 12 Datuk Lembah Neraka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tangan!" teriak Wisnu Paladasa dengan air muka merah padam. Lantas laki-laki
tinggi besar ini berkelebat cepat dan tahu-tahu tubuhnya telah menerjang ke
arah Wong Agung dengan sepasang kaki lurus menga-
rah pada dada. Di lain pihak, begitu tahu Wisnu Paladasa meng-
gebrak, Jalu Kembara tak tinggal diam. Dia pun segera melesat ke depan.
Wong Agung segera miringkan tubuh untuk
menghindari terjangan sepasang kaki Wisnu Paladasa,
dan begitu sepasang kaki Wisnu Paladasa lewat se-
jengkal di samping tubuhnya, tangan kanannya segera
berkelebat cepat hendak mencekal. Namun belum
sampai tangan kanannya mencekal, dari arah samping
Jalu Kembara telah datang dengan tangan berputar-
putar dan kaki menggunting!
Bukkk! Bukkk! Wong Agung keluarkan seruan tertahan begitu
kaki Jalu Kembara berhasil menggunting bahunya dan
membantingnya ke samping, membuat guru Pendekar
Mata Keranjang 108 ini tubuhnya terbanting deras
menghantam batu karang!
Wisnu Paladasa dan Jalu Kembara tertawa berge-
lak-gelak. Keduanya lantas melangkah mendekat ke
arah Wong Agung yang merambat bangkit. Dan seakan
ingin segera menyelesaikan persoalan, kedua laki-laki ini segera hantamkan kedua
tangan masing-masing ke
arah Wong Agung!
Wong Agung tak dapat menyembunyikan rasa
terkejutnya, dia tak menduga jika lawan akan lancar-
kan serangan pada saat dia bangkit.
"Hmm.... Apa boleh buat. Aku sebenarnya tidak
menginginkan masalah ini berlarut-larut. Tapi mereka tampaknya memaksa...,"
membatin Wong Agung sambil mengangkat kedua tangannya tinggi-tinggi di atas
kepalanya. Mendadak suasana di pelataran bangunan batu
itu menjadi terang benderang, padahal saat itu awan
bergulung-gulung menutupi langit. Itulah sebuah isyarat jika Wong Agung hendak
kirimkan pukulan anda-
lan. Kedua tangan Wong Agung lantas dipukulkan sa-
tu sama lain di atas kepalanya. Dan kejap itu pula dari kedua tangan guru
Pendekar Mata Keranjang 108 ini
berpencaran beberapa pijaran cahaya yang memapak
serangan kedua tangan Wisnu Paladasa dan Jalu
Kembara. Plarrr! Plaaarrr!
Terdengar beberapa kali letupan. Serangan yang
menyambar dari kedua tangan dua laki-laki di hada-
pan Wong Agung itu hilang lenyap! Malah sebagian pi-
jaran yang melesat dari tangan Wong Agung menera-
bas ke arah Wisnu Paladasa dan Jalu Kembara.
Wisnu Paladasa dan Jalu Kembara sama-sama
keluarkan runtukan. Dan dengan menindih rasa jerih
kedua orang ini segera putar-putar kedua tangan mas-
ing-masing untuk melindungi diri dari hantaman pija-
ran yang mengarah pada mereka dari segala jurusan!
Saat kedua laki-laki ini sibuk menghadapi pija-
ran-pijaran yang ternyata bisa meluluh lantakan batu karang, Wong Agung cepat
rebahkan tubuh ke atas ba-tu karang, dan serta merta tubuhnya menggelinding
cepat. Dan ketika ia bangkit, ternyata tubuhnya telah berada di antara tubuh
Wisnu Paladasa dan Jalu
Kembara. Baik Wisnu Paladasa dan Jalu Kembara sama-
sama terperangah kaget, namun sebelum kedua orang
ini berbuat sesuatu, kedua tangan Wong Agung telah
berkelebat mendahului dan menghantam dada masing-
masing laki-laki di samping kanan dan kirinya.
Wisnu Paladasa meraung keras, tubuhnya ter-
banting ke samping. Dadanya seolah terhantam benda
berat membuat dadanya berdenyut sakit, dan pakaian
bagian dada itu robek! Dari sudut bibirnya mengalir
darah kehitaman pertanda jika dia terluka dalam!
Tak beda dengan Wisnu Paladasa, Jalu Kembara
mengalami nasib yang sama. Hanya dia lebih parah,
karena dia terhantam tangan kanan Wong Agung yang
daya gedornya lebih keras. Hingga darah hitam tidak
hanya keluar dari bibirnya saja, namun juga keluar
dari hidung dan telinganya!
Sambil merambat bangkit, dua lelaki ini saling
berpandangan. Mereka sama-sama meringis menahan
rasa sakit yang mendera dada masing-masing. Malah
begitu Jalu Kembara berhasil bangkit, kaki kanannya
oleng, dan sebentar kemudian tubuhnya kembali terja-
tuh! Merasa lawan telah roboh, Wong Agung melang-
kah mendekati. Bibirnya tetap sunggingkan senyum.
"Kuminta sekali lagi, kalian lekas tinggalkan tempat ini!" kata Wong Agung
dengan suara berwibawa.
Kembali Wisnu Paladasa dan Jalu Kembara sal-
ing berpandangan satu sama lain. Dan entah merasa
di bawah angin atau jerih, kedua laki-laki ini dengan berjalan tertatih-tatih
menjauhi Wong Agung.
Begitu sampai pinggiran batu karang, Jalu Kem-
bara balikkan tubuh menatap Wong Agung yang masih
tampak berdiri seakan melihat kepergian dua lawan-
nya. Dengan memegangi dadanya, Jalu Kembara ang-
kat bicara. "Wong Agung! Tunggulah saatnya, kami pasti
akan kembali!"
Yang diancam lagi-lagi hanya sunggingkan se-
nyum. Lalu berkata seraya balikkan tubuh melangkah
ke arah bangunan batu.
"Itu hak kalian! Yang perlu kalian ketahui, aku menganggap hal ini selesai
sampai di sini!"
Begitu gema suaranya lenyap, sosok Wong Agung
telah pula tak kelihatan.
"Bagaimana sekarang...?" tanya Wisnu Paladasa.
"Apa pun resikonya, kita harus menghadap
Guru!" jawab Jalu Kembara seraya pegangi dadanya dan jejakkan kaki. Tubuhnya
lantas melayang turun
dari batu karang tinggi yang menjulang di tengah Laut Utara. Di belakangnya
Wisnu Paladasa menyusul.
*** DUA BUKIT sepi yang terletak di sebelah barat Desa
Sumbersuko masih diselimuti kabut pagi ini. Udara
dingin menusuk masih terasa mendera. Dua sosok
bayangan penunggang kuda serta merta hentikan ku-
da tunggangannya masing-masing begitu ladam kuda
mereka menginjak kaki bukit.
Dua penunggang kuda yang ternyata dua orang
laki-laki mengenakan pakaian warna kuning dan kepa-
la plontos dan bukan lain adalah Wisnu Paladasa dan
Jalu Kembara saling diam tak ada yang buka suara.
Paras mereka jelas mengisyaratkan kekece-waan dan
ketakutan. Malah di suasana yang dingin mencekam
itu, tubuh mereka berdua basah oleh keringat.
"Jalu Kembara!" berkata si tinggi besar Wisnu Paladasa dengan suara bergetar.
"Terus terang, aku khawatir, apakah Datuk Lembah Neraka akan menerima
alasan kita!"
Yang diajak bicara masih diam. Namun tak bera-
pa lama kemudian laki-laki tinggi kurus ini buka mu-
lut. "Mula-mula aku punya perasaan seperti kau, namun setelah kupikir-pikir,
perasaan itu tak harus
ada. Karena dalam masalah ini Datuk Lembah Neraka
mau tak mau masih membutuhkan tenaga kita! Kalau
bisa justru kita harus menuntut padanya agar mau
menurunkan ilmu andalannya! Jika tidak, kita masih
akan terus-terusan menjadi sang Pecundang!"
"Tapi.... Apakah dia mau menuruti permintaan
kita?" tanya si tinggi besar Wisnu Paladasa dengan palingkan wajahnya ke
samping. Si tinggi kurus Jalu Kembara menggeleng perla-
han. "Aku tak bisa menduga. Namun satu hal yang pasti, jika Datuk Lembah Neraka
masih menginginkan
kita untuk membantu, dia harus mau menuruti per-
mintaan kita. Apalagi yang hendak kita hadapi adalah seorang tokoh muda yang
ilmunya mungkin sejajar
dengan Wong Agung!"
"Pendekar Mata Keranjang 108 maksudmu?"
tanya si tinggi besar Wisnu Paladasa.
Si tinggi kurus Jalu Kembara mengangguk. "Me-
nurut berita yang kudengar, dia telah berhasil meron-tokkan beberapa tokoh atas
dari jajaran golongan hi-
tam, malah di antaranya ada yang terbirit-birit terlebih dahulu sebelum sempat
bertemu! Dari sini bisa kita ki-ra-kira ketinggian ilmu yang dimiliki pemuda
mata keranjang itu!"
Si tinggi besar Wisnu Paladasa mendengus perla-
han. Dia lantas berkata.
"Soal Pendekar Mata Keranjang 108, itu urusan
nanti. Sekarang yang perlu kita pikirkan adalah ba-
gaimana caranya menghadapi Datuk Lembah Neraka!"
Si tinggi kurus Jalu Kembara mendehem bebera-
pa kali dengan nada mengejek, membuat raut muka
Wisnu Paladasa merah mengelam.
"Kita katakan terus terang apa yang terjadi! Kita tak usah malu-malu! Justru
Datuk Lembah Neraka
yang seharusnya merasa malu, karena kedua anak di-
diknya tak mampu mengubur Wong Agung!" berkata
Jalu Kembara seraya lirikan sepasang mata sipitnya.
Selagi kedua laki-laki ini berbincang, dari arah
bukit sebelah atas meluncur deras dua buah ranting
yang mengarah pada mereka. Begitu derasnya lesatan
dua ranting itu, hingga yang tampak hanyalah bersitan warna hitam yang keluarkan
suara berdesing!
Singg! Sinngg! Dengan menindih rasa terkejut, kedua laki-laki
ini berseru keras dan serta merta meloncat dari punggung kuda tunggangan masing-
masing selamatkan di-
ri. Di lain pihak, kuda tunggangan mereka tak lagi
sempat menghindar, hingga saat itu juga kaki bukit
sepi itu terbuncah oleh ringkihan kuda. Dan di kejap lain, terdengar suara
bergedebukan. Kuda-kuda malang itu ternyata terbanting ke tanah! Dari moncong
binatang itu membusai darah kental kehitaman! Dan
tak lama kemudian, kedua binatang itu diam tak ber-
gerak lagi! Namun kesepian hanya berlangsung sekejap, se-
saat kemudian, dari atas bukit terdengar kekehan tawa panjang. Hebatnya, suara
tawa itu berselang seling,
bagai dikeluarkan oleh beberapa orang!
"Jalu Kembara!" kata si tinggi besar Wisnu Paladasa dengan tubuh gemetaran.
"Datuk Lembah Neraka tampaknya telah mengetahui kedatangan kita!"
Si tinggi kurus Jalu Kembara anggukan kepala.
Lalu tanpa memandang pada orang di sampingnya, dia
berkata. "Tidak hanya mengetahui kedatangan kita, na-
mun juga mengetahui tentang kegagalan kita! Kau li-
hat sendiri, bagaimana sambutannya tadi! Tapi...," belum selesai kata-kata Jalu
Kembara, kedua orang laki-laki ini kembali dikejutkan oleh suara teguran.
"Murid-murid setan! Kenapa kalian masih berdiri di situ" Apa kalian takut untuk
mempertanggung-jawabkan kesalahan kalian"!"
Wisnu Paladasa dan Jalu Kembara saling ber-
pandangan. Dan baru saja kedua laki-laki ini hendak
melangkah mendaki bukit, kembali terdengar suara.
"Bagus! Ternyata kalian bukan murid-murid pen-
gecut! Kalian siap menerima imbalan atas kegagalan
kalian!" "Peduli setan! Apa yang kita takutkan. Kegagalan ini bukan hanya kesalahan kita.
Tapi juga kesalahan
Datuk Lembah Neraka! Kita naik ke atas!" kata Jalu Kembara seraya berkelebat
yang lantas di-ikuti oleh
Wisnu Paladasa. Dan tak berselang lama kemudian,
keduanya telah berdiri kokoh di puncak bukit. Di situ mereka melihat sesosok
tubuh terbalut pakaian warna
kuning panjang mirip pakaian seorang pendeta. Tan-
gan kanannya memegang sebuah untaian tasbih ber-
warna kuning yang tak henti-hentinya berputar-putar
seiring bergeraknya jari-jari. Tubuhnya begitu jang-
kung. Lebih jangkung dari kedua muridnya. Paras wa-
jahnya telah mengeriput. Kedua pipinya sangat cekung membuat sepasang matanya
yang besar seakan hendak memberojol keluar. Hidungnya mungil dengan mu-
lut sangat lebar. Namun yang membuat laki-laki jang-
kung ini tampak angker adalah mata kanannya yang
menjorok keluar itu juling! Sementara kedua telin-
ganya tak berdaun! Ditingkahi kepalanya yang gundul, laki-laki ini sungguh
menyeramkan! Begitu melihat sosok jangkung ini, Wisnu Palada-
sa dan Jalu Kembara segera melangkah mendatangi
dan serta merta kedua laki-laki ini jatuhkan diri di hadapan sosok jangkung yang
bukan lain adalah Dadaka
Lanang, manusia sadis yang bergelar Datuk Lembah
Neraka. "Guru! Mohon ampunmu. Kami gagal melaksa-
nakan tugas yang kau bebankan pada kami berdua!"
berkata Jalu Kembara tanpa mengangkat kepala. Sua-
ra serak parau dan bergetar.
"Betul! Namun jika masih diberi kesempatan,
kami akan berangkat sekarang juga untuk mencari
Pendekar Mata Keranjang 108! Ini demi untuk mene-
bus kegagalan kami mengubur Wong Agung...," sambung si tinggi besar Wisnu
Paladasa dengan keringat
menetes dari kening dan lehernya.
Datuk Lembah Neraka terdiam sesaat. Pandan-
gannya menyengat tajam silih berganti pada kedua
muridnya. Lantas dia membuang muka dengan dagu
membatu. Dan sekonyong-konyong manusia jangkung
tak berdaun telinga ini angkat tubuhnya seperempat
tombak, lalu kedua kakinya bergerak menyapu ke arah
pundak Jalu Kembara dan Wisnu Paladasa.
Terdengar seruan keras berbarengan. Tubuh
Wisnu Paladasa dan Jalu Kembara mencelat dan sa-
ma-sama berkaparan menggeletak di atas tanah. Pa-
kaian bagian pundak kedua laki-laki ini tampak robek dengan kulit mengelupas!


Pendekar Mata Keranjang 12 Datuk Lembah Neraka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Murid-murid bodoh! Menghabisi Wong Agung sa-
ja tidak sanggup. Sekarang ngomong hendak mencari
Pendekar Mata Keranjang 108, apa kau kira pemuda
itu ilmunya di bawah gurunya?" kata Datuk Lembah Neraka dengan mengusap-usap
kepalanya yang plontos. Wisnu Paladasa dan Jalu Kembara merambat
bangkit dan sama-sama tengadahkan kepala meman-
dang pada sang Guru. Namun demi dilihatnya Datuk
Lembah Neraka melangkah mendatangi, serta merta
kedua orang ini kembali jatuhkan diri hingga kening
keduanya menyentuh tanah!
"Guru!" berkata Jalu Kembara begitu didengarnya langkah-langkah Datuk Lembah
Neraka dekat dengan dirinya. "Kami tak peduli dengan ketinggian il-mu Pendekar 108! Kami akan
menyabung nyawa den-
gannya untuk menebus kegagalan kami!"
Mendengar ucapan Jalu Kembara, Datuk Lembah
Neraka tertawa bergelak-gelak. Suara tawanya berse-
lang-seling bagai suara tawa beberapa orang. Namun
mendadak suara tawanya dia penggal. Lalu dengan
mata kiri membeliak merah dia berkata.
"Kalian rupanya murid-murid dungu yang ingin
cari mati! Daripada membuat malu namaku dengan
tewasnya kalian di tangan pemuda itu, lebih baik ka-
lian bunuh diri di hadapanku sekarang juga!"
"Guru!" kali ini yang angkat bicara Wisnu Paladasa. Tapi sebelum dia meneruskan
ucapannya, Datuk
Lembah Neraka telah berpaling dan menyela dengan
suara membentak garang.
"Tutup mulutmu! Aku tak ingin dengar lagi kata-
kata kalian!"
Sesaat kemudian suasana sepi mencekam Datuk
Lembah Neraka melangkah setindak mendekati Jalu
Kembara. Yang didekati semakin gemetar, seakan tahu
apa yang hendak menimpa dirinya.
Begitu tepat di hadapan Jalu Kembara, Datuk
Lembah Neraka angkat kaki kirinya, ujung jari kakinya dia tempelkan pada kening
muridnya ini. Lalu diangkat, membuat kepala Jalu Kembara ikut terangkat ke
atas. Dan begitu kepala Jalu Kembara tengadah, kaki
kanan Datuk Lembah Neraka bergerak dengan tumit
menghujam kening!
Meski gerakan itu terlihat perlahan, namun kejap
itu juga Jalu Kembara meraung keras dan tubuhnya
terjengkang sampai tiga tombak ke belakang! Kulit di keningnya membiru.
Lalu dengan langkah-langkah lebar, Datuk Lem-
bah Neraka mendekati Wisnu Paladasa. Yang didekati
sudah olengkan tubuhnya, matanya yang menyuruk
tanah terpejam rapat-rapat, bibirnya saling mengatup.
Dan tanpa berkata-kata lagi Datuk Lembah Neraka
melakukan hal yang sama dengan yang dilakukan pa-
da Jalu Kembara.
Karena tubuh Wisnu Paladasa oleng terlebih da-
hulu, membuat terjangan tumit Datuk Lembah Neraka
menghantam lebih deras hingga tubuhnya mencelat ke
belakang lebih deras dan lebih jauh!
Begitu merambat bangkit, dua murid Lembah Ne-
raka ini saling berpandangan. Lalu secara serentak
mereka mengalihkan pandangan masing-masing ke
arah Datuk Lembah Neraka.
"Hmm.... Daripada mati konyol, lebih baik aku
melarikan diri! Menjadi murid Datuk Lembah Neraka
sekian tahun, aku tak memperoleh apa-apa. Mencicipi
tubuh perempuan pun harus dengan jalan men-curi-
curi. Kalau aku terbebas dari tangan Datuk Lembah
Neraka, mungkin lebih banyak waktu bagiku untuk
merasakan hangatnya tubuh-tubuh bahenol....
Hmm...," membatin Jalu Kembara dengan menebarkan pandangan berkeliling.
Di pihak lain, diam-diam Wisnu Paladasa mem-
punyai niat yang sama. Namun dia tak berani melihat
sekeliling. Pandangannya tertuju pada tanah di hada-
pannya dengan kepala tertunduk.
Selagi kedua orang ini membatin, tiba-tiba Datuk
Lembah Neraka berkelebat dan tahu-tahu telah berdiri dua langkah di hadapan Jalu
Kembara. Jalu Kembara
beringsut mundur, malah diam-diam dia siapkan pu-
kulan jika sewaktu-waktu tanpa diduga Datuk Lembah
Neraka menghantam. Sementara itu Wisnu Paladasa
tidak berani menoleh!
Tapi, Jalu Kembara segera tarik niatnya kembali
begitu Datuk Lembah Neraka berkata. Suaranya sudah
agak melemah meski tetap mengandung ancaman.
"Kali ini kalian kuampuni. Namun jika untuk ke-
dua kalinya nanti kalian gagal, kalian tahu apa imba-
lannya!" "Tapi, Guru! Kalau kau tak menurunkan ilmu
yang lebih tinggi dari yang kami miliki sekarang, mustahil kami dapat
menjalankan perintahmu!" kata Jalu Kembara yang kini telah berani memandang pada
gurunya. Datuk Lembah Neraka mendehem beberapa kali,
lalu mengangguk dan berkata.
"Hmm.... Begitu" Baiklah. Demi cita-cita kita bersama aku akan menurunkan ilmu
yang lebih tinggi
pada kalian. Namun perlu kalian ketahui, jika kalian ingin mempelajari ilmu yang
hendak aku turunkan,
ada satu yang harus kalian hindari!"
Baik Jalu Kembara dan Wisnu Paladasa wajah-
nya berseri cerah. Kedua laki-laki ini tersenyum. Dan buru-buru Jalu Kembara
berkata. "Katakan, apa yang harus kami hindari!"
Untuk sesaat Datuk Lembah Neraka tak segera
menjawab. Dia pandangi muridnya silih berganti. Pada akhirnya dia pun lantas
berkata. "Jika kalian ingin mempelajarinya, kalian harus jauhkan diri dari perempuan!
Bila kalian mendekati
perempuan dan menidurinya, ilmu kalian akan le-
nyap!" Jalu Kembara membeliakkan sepasang matanya.
Dalam hati dia merutuk habis-habisan. Dia sama se-
kali tak menduga, jika syarat yang diajukan Datuk
Lembah Neraka demikian berat baginya, karena pada
dasarnya, dia adalah seorang laki-laki yang paling su-ka pada perempuan!
Di lain pihak, Wisnu Paladasa pun mengumpat
panjang pendek dalam hati.
"Edan! Syarat yang diajukannya seakan-akan di-
buat-buat agar aku tak dapat menikmati kesukaanku!
Tapi apa boleh buat, syarat yang diajukannya harus
kuterima. Bukan tidak mungkin syarat itu hanya un-
tuk mencegah agar aku tidak keluyuran setiap ma-
lam...." Melihat kedua muridnya agak terkejut dan tak
ada yang buka mulut, Datuk Lembah Neraka terse-
nyum lebar. Lalu berkata dengan tanpa memandang.
"Bagaimana" Apa kalian sanggup"!"
Wisnu Paladasa dan Jalu Kembara kembali saling
berpandangan. Keduanya saling memberi isyarat den-
gan anggukkan kepala masing-masing.
"Baik, Guru. Kami sanggup!" kata Jalu Kembara yang kemudian disambung oleh Wisnu
Paladasa. "Ka-mi siap, apa pun syaratnya"
Datuk Lembah Neraka tertawa keras.
"Bagus! Kalian ternyata murid-murid yang tabah!
Ikuti aku!" berkata Datuk Lembah Neraka seraya berkelebat ke sebuah gubuk yang
berada di puncak bukit.
Begitu Datuk Lembah Neraka lenyap dari pan-
dangan kedua muridnya, kedua laki-laki murid Datuk
Lembah Neraka ini saling melangkah mendekat.
"Aku yakin, syarat itu hanya buatan Guru!" bisik Jalu Kembara begitu dekat
dengan Wisnu Paladasa.
Wisnu Paladasa sejenak menebar pandangan ke seke-
liling. Dan merasa tak ada orang lain, dia pun berkata perlahan.
"Aku pun sudah menduga demikian. Namun se-
mentara ini kita harus mematuhi syarat itu. Jika Pendekar Mata Keranjang 108 dan
Wong Agung telah da-
pat kita patahkan, kita akan buktikan kata-kata Datuk Lembah Neraka...."
Si tinggi kurus Jalu Kembara, lalu mengangguk.
Lantas kedua murid Datuk Lembah Neraka ini
berkelebat cepat ke arah berkelebatnya Datuk Lembah
Neraka. *** TIGA SEORANG pemuda berbadan tegap dan berwajah
tampan, mengenakan pakaian hijau yang dilapis den-
gan baju lengan panjang warna kuning, rambut pan-
jang dan dikuncir ekor kuda tampak berjalan perlahan saat hampir memasuki sebuah
dusun yang tak jauh di
depannya. Sambil berjalan, sepasang mata pemuda ini jela-
latan menyapu ke sana kemari. Dari mulutnya terden-
gar dendang nyanyian yang tak habis-habisnya dan
tak dapat ditangkap artinya. Tangan kanannya meme-
gang sebuah kipas warna ungu yang dikipas-kipaskan
di depan dadanya. Hebatnya, meski kipasan-kipasan
itu hanya perlahan, namun rimbunan daun-daun po-
hon yang dilewatinya tampak berkibar-kibar bahkan
tak jarang banyak yang langsung berguguran.
"Aku tak habis pikir. Sudah dua desa yang kula-
lui dan semuanya dalam keadaan porak poranda berat.
Siapa gerangan pembuat ulah keji ini?" Pemuda ini tak meneruskan kata hatinya.
Malah langkahnya dia hentikan dengan tiba-tiba. Meski demikian suara dendang
nyanyian dari mulutnya tak berhenti. Sejenak kepala
pemuda ini bergerak ke kanan dan ke kiri. Tapi begitu sepasang matanya tak
menangkap seseorang, pemuda
ini meneruskan langkahnya. Dan kembali dia mene-
ruskan kata hatinya. "Siapa pun pelakunya, yang pasti dia berkepandaian tinggi.
Karena seluruh penduduk
yang dibantai dalam keadaan mengenaskan! Dan dada
mereka membekas sebuah telapak tangan.... Heran-
nya, meski banyak gadis cantik yang ikut terbunuh,
tak satu pun di antaranya yang mengalami perkosaan.
Pakaiannya tetap utuh. Hmm.... Apakah yang mem-
buat ulah ini seorang perempuan" Kalau...." Pemuda ini putuskan kata hatinya
kembali. Di depan sana, terdengar suara jeritan lengking.
Tanpa menunggu lebih lama lagi, pemuda ini se-
gera berkelebat menuju dusun yang tak jauh di de-
pannya, karena suara jeritan tadi berasal dari sana.
Begitu sampai, sepasang mata pemuda berbaju
hijau ini membeliak besar. Di pelataran setiap rumah, tampak bergeletakan
beberapa sosok tubuh yang sudah tak bergerak-gerak lagi.
"Sialan! Hal ini tak bisa dibiarkan terus-terusan!"
Ujar sang pemuda dengan menyapukan pandangannya
ke setiap sudut rumah. Paras muka pemuda ini telah
mengelam, matanya merah dengan kedua tangan men-
gepal. Dia lantas melangkah mendekati beberapa orang yang menggeletak dan
memeriksanya. "Hmm.... Pelakunya adalah orang yang sama.
Dada orang-orang ini membekas sebuah telapak tan-
gan. Tapi ini dilakukan oleh dua orang! Bekas telapak tangan yang membekas di
dada tak sama besarnya...."
Perhatian sang pemuda pada dada orang-orang
yang menggeletak mendadak terpenggal oleh suara
erangan halus yang berasal dari sebuah rumah paling
sudut. Dengan cepat pemuda ini lesatkan diri ke ru-
mah yang paling sudut. Dan apa yang ditemukan sang
pemuda di rumah itu, membuat pemuda ini terkesiap.
Di rumah ini sang pemuda menemukan beberapa
orang digantung dengan menggunakan robekan kain.
Selagi pemuda ini memperhatikan, salah seorang
yang digantung tampak bergerak-gerak, dan dari mu-
lutnya terdengar suara erangan menyayat.
Dengan cepat sang pemuda berbaju hijau ki-
baskan tangan kanannya. Robekan kain yang dipergu-
nakan orang untuk menggantung serta merta putus.
Dan dengan cekatan pula, pemuda ini menangkap tu-
buh orang yang meluncur ke bawah.
"Katakan, apa yang terjadi, Dan siapa yang mem-
buat ulah begini!" kata sang pemuda begitu tubuh orang yang tadi digantung telah
ditelentangkan di atas tanah di dalam rumah.
Orang yang ditanya, yang ternyata adalah seo-
rang laki-laki setengah baya untuk beberapa saat la-
manya tak menjawab. Dia masih mencoba berjuang
dengan mengurut-urut tenggorokannya. Sementara
tangan satunya memegangi dadanya yang tampak
membekas sebuah telapak tangan.
Sesaat orang ini batuk-batuk beberapa kali.
Sudut bibirnya terlihat genangan darah hitam,
sementara sepasang matanya memejam,
"Katakan. Siapa pembuat malapetaka ini"!" ulang sang pemuda dengan mendekatkan
mulutnya pada telinga orang di hadapannya.
Begitu terlihat mulut orang yang ditanya berge-
rak-gerak, pemuda ini dekatkan telinganya.
"Dua orang.... Ber..., pakaian..., mirip seorang..., pen..., de..., ta...," kata
laki-laki setengah baya lirih hampir tak terdengar.
Setelah mengucapkan kata-kata itu, laki-laki ini
katupkan mulutnya. Tangannya terkulai. Dan nafas-
nya terhenti! "Dua orang berpakaian mirip pendeta.... Hm....
Siapa mereka" Dalam kancah rimba persilatan, baru
kali ini aku mendengar pendeta membantai penduduk.
Apa maksud mereka" Dan siapa mereka sebenar-
nya...?" gumam sang pemuda yang bukan lain adalah Aji Saputra alias Pendekar
Mata Keranjang 108.
"Melihat orang ini masih bertahan, pasti dua
orang tersebut masih belum jauh dari sini! Aku akan menyusulnya...." ujar Aji
seraya bangkit. Namun baru saja dia hendak melangkah meninggalkan rumah itu,
sebuah suara mengejutkannya.
"Tidak semudah itu kau bisa meninggalkan tem-
pat ini!" Secepat kilat Aji palingkan wajah memandang ke-
luar melalui pintu yang tidak tertutup. Di depan ru-
mah, tampak seorang gadis muda. Parasnya cantik je-
lita. Mengenakan pakaian tipis warna hijau. Rambut-
nya panjang sebahu dengan sepasang mata bulat. Da-


Pendekar Mata Keranjang 12 Datuk Lembah Neraka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

danya membusung kencang menantang.
"Aku banyak bertemu dengan beberapa gadis
cantik. Namun yang satu ini sungguh mempesona....
Mata dan bibirnya begitu menggoda...," kata Aji seraya melangkah ke arah sang
gadis. Bibirnya mengulaskan
sebuah senyum, sementara mata kirinya dia kedipkan.
"Berhenti! Selangkah lagi kau melangkah maju,
kau akan kubunuh!" teriak sang gadis dengan undurkan kakinya dua langkah ke
belakang. Aji hentikan langkahnya. Dia menunggu dengan
sepasang mata tak kesiap memandang pada sang ga-
dis. Bibirnya terus mengumbar senyum. Malah kini
dari mulutnya terdengar suara dendang nyanyian,
membuat gadis di seberang membelalakkan sepasang
mata bulatnya. "Hmm.... Siapa pemuda ini" Apa dia yang telah
melakukan pembantaian akhir-akhir ini di mana-
mana" Aku akan mengorek dirinya!" kata sang gadis dalam hati. Lalu dia berseru
lantang. "Siapa kau" Dan apa maksudmu dengan perbua-
tan ini"!"
"Ah...!" Aji alias Pendekar Mata Keranjang 108
seakan-akan terkejut mendengar teriakan lantang sang gadis. Namun sebentar
kemudian, bibirnya telah kembali tersenyum. Tapi dari mulutnya tak keluar ucapan
untuk menjawab pertanyaan sang gadis, membuat gadis cantik itu mengulangi kata-
katanya dengan suara
tinggi. Matanya yang bulat membesar.
"Edan! Gadis ini semakin cantik jika marah...,"
kata Aji dalam hati seraya pandangi sang gadis. Lalu dengan kerdipkan sebelah
matanya, dia berkata.
"Namaku Aji Saputra. Dan kuharap kau tidak sa-
lah paham. Ketika aku datang keadaan sudah begini!"
"Kau berdusta!" kertak sang gadis seraya palingkan wajah, karena dilihatnya
pemuda di hadapannya
terus menerus memandang.
"Tak ada untungnya aku berkata dusta!"
"Ungkapan klasik yang sering dikumandangkan
orang untuk menutupi perbuatannya!" sahut sang gadis dengan hadapkan kembali
wajahnya. Sepasang ma-
tanya menatap tajam.
"Gadis cantik. Kau telah tahu siapa aku, kalau
tak keberatan boleh aku tahu siapa kau...?"
Sang gadis sejenak termangu. Wajahnya merah
saga disebut gadis cantik oleh pemuda di hadapannya.
"Aku cantik...?" kata sang gadis dalam hati.
Mungkin karena masih memikirkan kata-kata Aji,
hingga untuk beberapa lamanya gadis ini tidak segera menjawab.
"Sudahlah.... Kalau kau keberatan sebutkan na-
ma, aku tak memaksa. Aku harus pergi sekarang...."
Habis berkata begitu, Aji balikkan tubuh dan
hendak melangkah pergi. Namun langkahnya tertahan
tatkala tiba-tiba sang gadis berkata.
"Tunggu!"
Aji palingkan wajahnya memandang sang gadis.
Namun setelah ditunggu agak lama gadis itu tak mene-
ruskan kata-katanya, Aji teruskan langkah.
"Aku harus cepat mengejar si pembuat ulah ini!
Mereka mungkin belum jauh dari sini!" kata Aji dalam hati sambil terus
melangkah. "Seandainya saja aku tak mengejar pembuat ulah keji ini, aku masih
ingin berlama-lama dengan gadis cantik itu...."
"Tampaknya pemuda itu kata-katanya bisa diper-
caya. Bekas telapak tangan itu menandakan bahwa
yang melakukan perbuatan ini adalah dua orang....
Tapi apa peduliku dengan semua ini" Ada tugas pent-
ing yang harus kuselesaikan. Pemuda itu, melihat pa-
kaiannya tampaknya seorang pesilat. Akan kutanya-
kan padanya, barangkali dia tahu tentang orang yang
kucari...," membatin gadis ini seraya berkelebat dan tahu-tahu telah berdiri
menghadang di depan Aji.
"Apa maksud sebenarnya gadis ini" Ditanya tak
mau jawab. Ditinggal mengikuti! Dasar perempuan!"
kata Aji dalam hati. Dia lalu berkata.
"Ada yang hendak kau katakan?" tanya Aji saat dilihatnya gadis di hadapannya
hendak buka mulut.
"Apa kau tahu, di mana letak Karang Langit?"
tanya sang gadis.
Aji terkejut bukan main mendengar pertanyaan
sang gadis. Namun dia cepat menekan rasa terkejut-
nya dengan tersenyum lebar.
"Ada apa gadis ini mencari tempatnya Eyang
Wong Agung" Melihat nada tanyanya, dia tampaknya
mempunyai keperluan yang sangat penting...," membatin Aji. Lalu dengan masih
tersenyum yang dipaksa-
kan, Aji bertanya.
"Untuk apa kau ke sana...?"
"Aku tak bisa mengatakannya padamu untuk apa
aku ke sana. Hanya bagaimanapun juga, aku harus
menemukan tempat itu. Kau tahu, arah mana yang
harus kuambil jika aku ingin ke sana...?"
Aji kernyitkan kening. Dia seolah-olah berpikir
keras, membuat gadis di hadapannya menunggu se-
raya memandanginya dengan pandangan aneh.
"Karang Langit...," gumam Aji, membuat gadis itu melangkah makin mendekat.
"Benar, Karang Langit. Kau tahu di mana letak-
nya bukan...?" kata sang gadis.
Aji menggeleng perlahan. "Aku memang pernah
mendengar nama itu. Namun, aku tak tahu di mana
letaknya. Hanya menurut kabar yang pernah kuden-
gar, tempat itu dihuni oleh...."
"Keparat Wong Agung!" sahut sang gadis dengan wajah berubah merah padam.
Sepasang matanya makin membesar dengan bibir saling menggegat menahan
marah. "Benar katamu. Tempat itu dihuni oleh orang
yang bernama Wong Agung. Tampaknya kau punya si-
lang sengketa dengan orang itu. Betul?" kata Aji memancing.
Gadis di hadapan Aji tidak mengangguk dan juga
tidak menggeleng. Malah dia arahkan pandangannya
pada jurusan lain. Dari mulutnya terdengar ucapan.
"Jangan harap kau akan mendapat jawaban jika
itu yang kau tanyakan! Aku tidak akan terpancing
dengan kata-katamu!"
Aji kembali dibuat terperangah kaget.
Gadis ini selain cantik, otaknya juga cerdik. Syu-
kur dia tak mengenaliku...," membatin murid Wong Agung ini. Lantas dengan
tersenyum tawar, dia berkata.
"Maaf. Aku tidak memancingmu agar mengata-
kan ada apa di antara kau dengan Wong Agung. Aku
hanya menduga dari paras wajahmu yang tiba-tiba be-
rubah saat menyebut nama Wong Agung. Bahkan
seandainya aku tahu, itu tak akan ada artinya buatku.
Aku hanya seorang gelandangan yang tak punya jun-
trung. Hanya saja, seandainya aku tahu di mana le-
taknya tempat itu, aku akan dengan senang hati men-
gantarmu!"
Gadis di hadapan Pendekar Mata Keranjang 108
ini tampak terdiam sesaat. Wajahnya dia hadapkan lu-
rus pada Aji, membuat jantung murid Wong Agung ini
berdegup agak kencang.
"Terima kasih atas tawaranmu. Aku bisa pergi
sendirian.... Hmm.... Kau sendiri hendak ke mana?"
"Tadi sudah kukatakan. Aku salah seorang pen-
gelana yang tak punya juntrung. Jadi aku akan pergi
ke mana saja kakiku melangkah...."
Gadis di hadapan Aji kerutkan dahi. Dia pandan-
gi pemuda di hadapannya dari ujung kaki sampai
ujung rambut. "Untuk yang ini, perkataannya mungkin berdus-
ta. Aku tak percaya jika pemuda seperti dia tak punya juntrung. Tapi apa
peduliku memikirkan dia sampai
sejauh itu...?" kata sang gadis dalam hati seraya tersenyum sendiri. Lalu dia
berkata lirih. "Karena aku masih ada keperluan, aku pergi da-
hulu!" "Hai, tunggu!" seru Aji menahan kelebatan sang gadis. Namun seruan Aji
seakan tak didengar. Gadis
berbaju hijau tipis itu terus berkelebat dan lenyap dari pandangan Aji.
"Bagaimana ini" Hmm.... Sebaiknya aku menun-
da mengejar dua orang si pembuat malapetaka itu.
Aku akan mengikuti perjalanan gadis tadi. Aku khawa-
tir akan keselamatan Eyang Wong Agung...."
Memikir sampai di situ, pendekar murid Wong
Agung ini lantas berkelebat ke arah berkelebatnya sang gadis baju hijau.
*** EMPAT TAMPAKNYA gadis ini menuju arah yang benar.
Berarti pertanyaannya tadi hanyalah pura-pura...,"
membatin Aji seraya terus mengikuti berkelebatnya
gadis berbaju hijau tipis. "Melihat kecepatan larinya, gadis ini tidak bisa
dipandang enteng.... Siapa sebenarnya gadis cantik ini" Dan ada urusan apa
dengan Eyang Wong Agung...?"
Selagi Aji menguntit seraya merenung dan men-
duga-duga demikian, mendadak gadis yang diikutinya
berkelebat lenyap di sebuah hutan kecil.
"Edan. Ke mana lenyapnya dia?" gumam Aji seraya pasang telinga dan menebar
pandangan berkelil-
ing. Namun hingga matanya lelah menebar dan kepa-
lanya kelu berpaling ke sana kemari, orang yang dicari tak juga terlihat batang
hidungnya. "Kalau dia tak kutemukan di sini, dia akan ku
hadang di dekat Pesisir Laut Utara. Aku harus cepat ke sana sebelum
kedahuluan.... Tapi apakah...."
Tiba-tiba sayup-sayup terdengar suara nyanyian
dari tempat yang tidak begitu jauh.
"Suaranya seorang perempuan. Jangan-jangan
dia...," berpikir sampai di situ, murid Wong Agung ini segera berkelebat menuju
sumber suara. Sampai di tempat sumber suara nyanyian, yang
ternyata sebuah sendang berair jernih, Aji menjadi terkesiap. Sepasang matanya
melotot besar dengan jakun
bergerak turun naik tak beraturan, sementara dadanya berdetak kencang.
Gadis yang dia ikuti, ternyata sedang mandi se-
raya mendendangkan nyanyian. Mungkin karena tidak
merasa dilihat orang, gadis ini dengan leluasa ber-
main-main di air sendang. Malah sesekali tubuhnya
dia angkat ke atas, menampakkan sepasang dadanya
yang membusung kencang, membuat Aji semakin
membeliak. "Gila! Benar-benar aduhai...," bisik Aji seraya melangkah perlahan menuju tempat
yang agak terlin-
dung. Prakkk! Karena waktu melangkah pandangan mata Aji
tertuju pada sang gadis, maka tanpa sengaja kaki ka-
nannya menginjak sebuah ranting kering. Hingga me-
nimbulkan bunyi agak keras.
Gadis cantik yang sedang mandi itu cepat berpal-
ing. Dia hanya selintas melihat berkelebatnya sebuah bayangan. Dengan menahan
rasa kejut dan marah gadis ini segera menyelam satu kali, lantas tiba-tiba
muncul dengan kedua tangan dihantamkan pada arah
berkelebatnya bayangan.
Serangkum angin deras menyambar dengan
membawa hawa panas. Sebuah pohon besar tempat
bersembunyinya sang bayangan tumbang dengan ba-
tang patah. Semak belukar di sekitarnya diterabas
musnah dengan mengepulkan asap dan hangus!
Dan, begitu habis lancarkan pukulan, gadis ini
dengan tubuh polos naik dari sendang dan melangkah
cepat ke tempat dia meletakkan pakaiannya.
Setelah mengenakan pakaiannya, dia segera ber-
kelebat ke arah pohon yang tumbang, di mana tadi di-
lihatnya sang bayangan menyelinap pergi.
"Tukang intip busuk! Kukorek kedua biji mata-
mu!" kata sang gadis setengah berteriak sambil hantamkan kembali kedua
tangannya. Sebongkah sinar hitam berkilat melesat me-
nyambar keluar dari kedua tangan sang gadis. Suara
laksana gelombang dahsyat melingkupi tempat itu.
Hawa panas menyengat menebar.
Kejap itu juga kembali dua pohon besar gemere-
tak tumbang, semak belukar terbongkar hingga akar-
akarnya. Tanah bongkaran semak itu mengangkasa
membuat tempat itu sejenak redup pekat.
Namun hingga tanah itu turun kembali ke ba-
wah, dan tempat itu kembali terang benderang, sang
gadis tak menemukan bayangan yang dicarinya. Den-
gan muka merah padam menahan marah, gadis ini
lantas melangkah meninggalkan sendang.
Tak jauh dari tempat sang gadis, Aji terperangah
kaget melihat pukulan gadis cantik yang diikutinya.
"Untung aku segera menyingkir. Jika tidak, aku
akan hangus seperti batang pohon itu...," batin Aji sambil mengawasi sang gadis
yang mulai melangkah
menuju arah utara.
Hampir sampai Pesisir Laut Utara, mendadak ga-
dis ini hentikan larinya, membuat Aji mau tak mau ju-ga hentikan larinya dan
segera menyelinap ke balik
semak belukar. Pada saat itulah terdengar suara langkah-
langkah pelan mendatangi dari arah depan sang gadis.
Sepasang mata Aji terbeliak lebar begitu melihat siapa gerangan orang yang
melangkah menuju arah sang gadis. Dia adalah seorang laki-laki mengenakan jubah
putih panjang. Rambutnya panjang demikian juga
jenggotnya. Kedua matanya ditutup oleh sepotong kulit yang diikatkan ke belakang
kepala. "Eyang Wong Agung...," gumam Aji perlahan
sambil memperlihatkan dengan seksama.
Gadis berbaju hijau tipis sejenak memandangi
orang yang melangkah ke arahnya. Dahinya berkerut
dengan bibir tersenyum sinis.
"Hmm.... Ternyata dia kutemukan di sini... Kebe-tulan sekali!" gumam si gadis
ketika mengenali siapa adanya orang yang kini semakin dekat dengan tempatnya


Pendekar Mata Keranjang 12 Datuk Lembah Neraka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berdiri. Begitu delapan langkah lagi sampai, gadis berbaju hijau ini angkat
bicara. "Tua bangka! Terimalah ajal kematianmu hari
ini!" Laki-laki berjubah putih dan bukan lain memang Wong Agung adanya serta
merta hentikan langkahnya.
Kepalanya dia luruskan ke depan seakan-akan kedua
matanya memandang gadis di hadapannya. Bibirnya
lantas menyunggingkan senyum dan dengan suara
perlahan guru Pendekar Mata Keranjang 108 ini berka-
ta. "Gadis cantik. Kukira ajal kematian tidak diten-tukan oleh seseorang. Tapi
jika memang hari ini adalah saatnya, aku sudah siap! Hmm.... Siapa kau
sebenarnya" Apa kau memang ingin menemuiku" Rasa-
rasanya aku belum pernah bertemu dengan kau...."
"Orang tua! Dengar baik-baik. Aku Ratih Purna-
masari, murid I Gusti Ayu Wayan Rikmasari dari pun-
cak Gunung Larantuka. Guruku menugaskan untuk
mencari sekaligus membunuh!"
Dari tempat persembunyiannya, Pendekar Mata
Keranjang 108 terkejut bukan alang kepalang menden-
gar pernyataan sang gadis. Sedari tadi dia memang te-
lah curiga ada masalah antara gadis itu dengan gu-
runya, namun dugaannya tidaklah sejauh itu. Murid
Wong Agung ini segera saja hendak keluar dari tempat persembunyiannya, namun
niatnya dia urungkan
tatkala dilihatnya Wong Agung tersenyum seraya ber-
kata. "Gadis cantik! Agar masalah ini menjadi jernih, marilah kita bicara baik-
baik!" Gadis berbaju hijau tipis yang tadi menyebutkan
nama Ratih Purnamasari tertawa bergelak mendengar
perkataan Wong Agung. Namun secara tiba-tiba ta-
wanya dia putus, lalu dia berkata dengan tanpa me-
mandang. "Kau tak perlu mengulur-ulur waktu. Semuanya
sudah jelas bagiku! Yang kuperlukan sekarang adalah
kepalamu!"
Kembali Wong Agung hanya tersenyum menden-
gar ucapan gadis di hadapannya. Malah sesekali kepa-
lanya digeleng-gelengkan. Dia melangkah maju seraya
berkata. "Anak gadis! Sebelum kau menyelidiki benar ti-
daknya, kuharap kau tak ikut hanyut dalam deru per-
kataan orang, meski orang itu adalah gurumu sendiri.
Karena jika tidak, kau akan ikut tenggelam dalam
arus!" Ratih Purnamasari mendengus keras seraya palingkan wajah, membuat kepala
Wong Agung bergerak
mengikuti arah berpalingnya Ratih Purnamasari.
"Orang tua! Jangan mimpi kau bisa mengalihkan
niatku dengan segala kata-kata manismu! Aku telah
tahu siapa kau dari kecil hingga tua bangka!"
Raut wajah Wong Agung sesaat berubah. Kening-
nya bertambah kerutan pertanda berpikir keras. Dia
lalu sedikit mendongakkan kepalanya seraya digoyang-
goyangkan perlahan ke kiri dan ke kanan.
"Kau mungkin dengar cerita tentang diriku dari
gurumu. Benar?"
Ratih Purnamasari tidak menjawab. Dia hanya
luruskan pandangannya dengan sepasang mata melo-
tot. Sementara kedua tangannya telah mengepal den-
gan kaki sedikit dipentangkan.
"Meski kau tak jawab tanyaku, aku tahu pasti.
Lantas apakah pernah terlintas dalam benakmu, bah-
wa gurumu mengatakan apa adanya tanpa mengurangi
dan menambahi?" sambung Wong Agung begitu di-
tunggu agak lama Ratih Purnamasari tidak membuka
mulut untuk menjawab pertanyaannya.
"Kau jangan menambah dosamu dengan menu-
duh guruku menambah atau mengurangi cerita ten-
tang dirimu!"
Wong Agung tertawa pendek, lantas kembali ge-
leng-gelengkan kepala.
"Aku tidak menuduh gurumu. Hanya aku ber-
tanya padamu. Karena tatkala peristiwa antara aku
dan gurumu terjadi, kau tentunya masih belum ada.
Bukan tidak mungkin, gurumu sengaja menceritakan
apa yang tidak terjadi dan tidak menceritakan apa
yang terjadi!" Wong Agung terdiam sesaat, lalu me-nyambung dengan suara makin
perlahan. "Sudahlah.... Urusan ini biar nanti kuselesaikan dengan gurumu! Katakan di mana
sekarang gurumu
berada!" Ratih Purnamasari kembali keluarkan dengusan
keras. "Kau tak perlu tahu di mana guruku berada!
Yang pasti, dia menantikan kedatanganku dengan
penggalan kepalamu!"
"Kurang ajar! Gadis itu benar-benar mulutnya
minta dirobek!" gumam Aji dari tempatnya mengintip.
Namun dia masih belum berniat untuk keluar, karena
masih ingin melihat apa yang bakal terjadi.
"Anak gadis!" kata Wong Agung. "Dengarkan.
Akan kujelaskan masalahku dengan gurumu. Setelah
itu silakan kau ambil kesimpulan! Kalau...."
Belum sampai Wong Agung meneruskan kata-
katanya, Ratih Purnamasari telah menyela dengan su-
ara keras meradang.
"Aku tak butuh ceritamu! Yang kubutuhkan ada-
lah kepalamu!"
Habis berkata begitu, Ratih Purnamasari segera
berkelebat dan tahu-tahu telah kirimkan serangan
dengan pukulan kedua tangannya ke arah Wong
Agung yang masih tampak tercekat kaget mendengar
kata-kata Ratih Purnamasari.
Sebongkah sinar hitam melesat keluar dari kedua
tangan Ratih Purnamasari. Keluarkan suara gemuruh
dahsyat bak gelombang laut serta hawa panas me-
nyengat! Dengan masih menahan rasa kejut, guru Pende-
kar Mata Keranjang 108 ini segera lesatkan diri ke
udara. Namun ternyata pukulan Ratih Purnamasari ini
sungguh luar biasa. Karena sebelum bongkahan hitam
itu menghantam sasaran, serangkum angin dahsyat
mendahului menyambar, hingga meski Wong Agung
cepat lesatkan dirinya ke udara, tak urung bias angin itu menerpa tubuhnya,
membuat lesatan tubuhnya sedikit melenceng.
"Pukulan bagus...," puji Wong Agung dari atas udara.
Ratih Purnamasari kertakkan rahang karena se-
rangannya dengan mudah dapat dielakkan oleh lawan,
padahal lawan tidak bisa melihat! Diam-diam perasaan
keder mulai timbul di hati gadis cantik murid I Gusti Ayu Wayan Rikmasari ini.
Namun dia tak menunjukkan rasa itu, malah yang tampak adalah raut wajah-
nya yang merah mengelam dengan dagu membatu.
"Anak gadis!" kata Wong Agung begitu kedua kakinya telah menjejak kembali di
atas tanah. "Marilah kita bicara dari hati ke hati, agar masalah ini tidak
berlarut-larut dan menimbulkan sesuatu yang tidak ki-ta inginkan!"
"Teruslah kau bicara! Aku tak akan goyah dengan niatanku! Aku tidak sudi pulang
berhampa tangan!"
teriak Ratih Purnamasari lantang. Dia cepat lesatkan dirinya ke depan. Kedua
tangannya dibuka dan sepasang kakinya ditekuk sebatas lutut. Begitu lesatan tubuhnya satu tombak
lagi menyambar tubuh Wong
Agung, Ratih Purnamasari dorongkan kedua tangan-
nya sementara kakinya dia luruskan!
Wong Agung yang mendapat serangan dahsyat ini
segera miringkan tubuhnya ke samping kanan, seraya
rundukkan kepalanya. Terjangan sepasang kaki Ratih
Purnamasari sejengkal menghantam angin di samping
tubuh Wong Agung, sementara sambaran angin dah-
syat yang melesat dari dorongan tangannya hanya
mampu membuat tubuh Wong Agung terhuyung-
huyung sebentar, lalu kembali berdiri kokoh dengan
senyum masih tersungging.
"Keparat!" rutuk Ratih Purnamasari merasa di-permainkan, karena sejauh ini Wong
Agung hanya menghindar tanpa lancarkan serangan balasan, pa-
dahal jika mau kesempatan membalas pukulan itu
ada. "Tua Bangka! Balaslah menyerang. Jangan hanya menghindar seperti manusia
tolol! Tunjukkan cerita
nama besarmu!" teriak Ratih Purnamasari dengan se-
nyum sinis. Wong Agung tersenyum ramah. Kepalanya meng-
geleng perlahan.
"Orang tua seperti aku ini, sudah tidak layak ki-ranya menunjukkan kehebatan
ilmu silat. Justru ka-
lau kau tak keberatan, berilah aku jalan. Aku akan
meneruskan perjalanan...."
Ratih Purnamasari merengut dengan buang mu-
ka. Dia tampaknya semakin jengkel mendapatkan per-
lakuan demikian. Maka dengan tanpa memandang dia
berkata. "Baiklah! Kau telah kuberi kesempatan untuk
membalas serangan. Dan hal itu tak kau gunakan,
maka jangan menyesal jika nantinya kau celaka tanpa
bisa membalas!"
Habis berkata begitu, Ratih Purnamasari berkele-
bat. Dan mendadak sosoknya lenyap dari pandangan.
Namun dikejap lain, tiba-tiba sosoknya menukik tajam dengan kaki menggunting ke
arah kepala Wong Agung,
sementara kedua tangannya memukul bertubi-tubi ke
depan. Bongkahan-bongkahan sinar hitam yang menge-
luarkan suara menggemuruh serta membawa hawa
panas yang menyengat melesat bersusul-susulan.
Wong Agung yang tampaknya sudah waspada se-
gera buka kedua telapak tangannya dan didorong
kuat-kuat ke depan.
Seberkas sinar putih menggebrak ke depan, me-
mapak serangan Ratih Purnamasari.
Blarrr! Blarrr!
Terdengar beberapa kali letupan dahsyat tatkala
kedua pukulan sakti itu bertemu di udara. Tempat itu bergetar hebat. Namun
sejauh ini tubuh Wong Agung
tidak bergeming sama sekali. Sementara di lain pihak,
tubuh Ratih Purnamasari terus meluncur di atas uda-
ra dengan kaki menggunting ke arah kepala Wong
Agung. Melihat luncuran tubuh lawan, Wong Agung se-
gera angkat kedua tangannya ke atas melindungi kepa-
lanya. Namun anehnya, begitu luncuran tubuh gadis
ini hampir menghantam, gadis ini sentakkan pundak-
nya. Tubuhnya yang tadi lurus kini membumbung ke
atas. Dari atas dengan gerak cepat dia membuat gera-
kan jungkir balik beberapa kali. Dan tiba-tiba saja sepasang kakinya menghantam
ke arah dada dan pung-
gung Wong Agung!
Wong Agung yang mengangkat kedua tangannya
untuk melindungi kepala tersipu. Namun dia cepat ki-
baskan kembali kedua tangannya ke bawah, begitu
merasa angin deras menyambar ke arah dada dan
punggungnya. Prakkk! Prakkk!
Terdengar dua kali benturan keras. Ketika kedua
tangan Wong Agung bentrok dengan kedua kaki Ratih
Purnamasari. Gadis cantik ini keluarkan jeritan tertahan. Tu-
buhnya mental balik dan melayang jauh ke belakang
sampai tiga tombak dan berputaran di atas tanah.
Sementara Wong Agung sendiri hanya tersurut
satu tindak ke belakang. Seraya menyunggingkan se-
nyum, Wong Agung melangkah perlahan ke arah Ratih
Purnamasari yang saat ini merambat bangkit dengan
memandang tak berkedip ke arah Wong Agung.
Melihat kejadian ini, Aji segera berkelebat keluar
dari tempat persembunyiannya seraya berseru.
"Eyang....!"
Ratih Purnamasari palingkan wajah dan kelua-
rkan seruan tertahan ketika mengetahui siapa adanya
orang yang berseru. Di lain pihak, Aji tak menghiraukan pandangan heran Ratih
Purnamasari. Dia mende-
kat ke arah Wong Agung dan menjura hormat.
"Jahanam! Apa hubungannya antara pemuda itu
dengan keparat tua bangka itu" Apakah dia muridnya"
Jika benar, berarti dialah pemuda yang bergelar Pen-
dekar Mata Keranjang 108.... Keparat benar! Dia telah menipuku!" batin Ratih
Purnamasari seraya terus mengawasi Aji tanpa kesiap!
"Eyang... Kenapa kau diamkan saja gadis liar itu menghantammu?" berkata Aji
seraya lirikkan sepasang matanya pada Ratih Purnamasari.
Wong Agung tersenyum.
"Aji.... Jika aku melawannya, mana perbedaan
antara orang tua dan anak muda" Lagi pula masalah
ini hanyalah salah paham. Dia termakan kata-kata
orang yang menjelek-jelekkan diriku...."
"Tapi tingkahnya bisa mencelakakan jiwamu!" ka-ta Aji seraya palingkan wajahnya
pada Ratih Purnama-
sari. Sepasang mata Pendekar Mata Keranjang 108
berkilat merah. Dia melangkah maju. Namun baru dua
langkahan kaki, gadis berbaju hijau telah angkat bica-ra. "Laki-laki pembual!
Ternyata kau kaki tangan tua bangka itu. Bagus...! Bersiaplah kalian berdua
untuk mati satu kubur bersama!" teriak Ratih Purnamasari seraya hantamkan kedua
tangannya ke arah Aji.
"Aji.... Jangan dilawan. Hindari saja! Dia sedang emosi...," bisik Wong Agung
perlahan. Sebenarnya Aji tak tahan dengan perlakuan gadis
di hadapannya, namun karena gurunya menyarankan
untuk menghindar, mau tak mau Aji menuruti. Dia
lantas berkelebat ke samping kiri begitu bongkahan
asap hitam menggebrak ke arahnya.
Bongkahan asap hitam itu menghajar tempat ko-
song, membuat Ratih Purnamasari semakin merah
mengelam wajahnya.
"Hmm.... Orang yang mengintipiku saat mandi di
sendang, mungkin saja pemuda ini.... Buktinya, dia telah berada di sini. Berarti
dia mengikuti perjalanan-ku.... Kurang ajar!" kata Ratih Purnamasari dalam hati


Pendekar Mata Keranjang 12 Datuk Lembah Neraka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

seraya menatap tajam pada Pendekar 108 dengan tatapan lain. Di seberang, murid
Wong Agung ini juga
memandangi gadis berbaju hijau dengan pandangan
aneh. Malah sebentar kemudian bibir murid Wong
Agung ini sunggingkan senyum, membuat Ratih Pur-
namasari jadi jengah sendiri. Dia merasa yakin, bahwa orang yang mengintipnya
sewaktu mandi di sendang
adalah pemuda di hadapannya ini.
Entah merasa malu atau jengkel, gadis yang
mengaku sebagai murid I Gusti Ayu Wayan Rikmasari
ini cepat palingkan wajahnya memandang jurusan
lain. Sekilas Aji dapat menangkap rona merah di pipi sang gadis.
Lalu tanpa berkata apa-apa, gadis berbaju hijau
ini balikkan tubuh dan melangkah pergi.
"He.... Tunggu!" tahan Aji sambil melangkah hendak menyusul. Namun pundaknya
segera dicekal oleh
Wong Agung. "Untuk sementara ini biarkan dia pergi. Suatu
waktu nanti kau pasti akan bertemu dengannya la-
gi...." "Eyang.... Siapakah dia sebenarnya" Dan ada masalah apa sebenarnya?"
Untuk beberapa saat lamanya Wong Agung tidak
segera menjawab. Dia hanya batuk-batuk seraya men-
gelus jenggotnya dan mengencangkan ikatan potongan
kulit di belakang kepalanya. Setelah agak lama baru
dia menjawab. "Kalau mendengar kata-katanya, dia mengaku
murid I Gusti Ayu Wayan Rikmasari. Seorang tokoh si-
lat dari daratan pulau Dewata yang dahulu pernah ma-
lang melintang di pulau Jawa. Dia sebenarnya seorang tokoh netral. Tidak
berpihak pada golongan putih juga pada golongan hitam. Seperti halnya tokoh-
tokoh masa lalu, I Gusti Ayu Wayan Rikmasari datang ke pulau
Jawa untuk menambah pengalaman juga untuk men-
cari jejak kekasihnya. Sayangnya dia terlambat datang.
Karena sewaktu dia datang, kekasihnya telah tewas.
Kekasihnya tewas di tanganku, karena kekasih perem-
puan itu adalah seorang tokoh golongan hitam yang
menyamar sebagai seorang pendeta...." Sejenak Wong Agung hentikan keterangannya.
Setelah batuk-batuk
tiga kali, dia melanjutkan ucapannya.
"Hanya saja, beberapa waktu yang lalu aku keda-
tangan dua orang. Aku benar-benar hampir tak per-
caya, karena dua orang tersebut mengaku utusan se-
seorang yang bernama Dadaka Lanang...."
"Dadaka Lanang?" ulang Aji. "Siapa dia...?"
"Dialah kekasih I Gusti Ayu Wayan Rimaksari..."
"Jadi dia belum tewas...?" simpul Aji agak heran.
"Begitulah. Mungkin saat itu aku salah lihat. Karena kukira Dadaka Lanang telah
tewas. Dan menilik
pukulan yang dimiliki dua utusan yang mengaku mu-
rid Dadaka Lanang, aku yakin Dadaka Lanang me-
mang masih hidup!"
"Berarti ada hubungannya antara kejadian akhir-
akhir ini dengan peristiwa beberapa tahun silam itu...,"
gumam Aji perlahan seakan berkata pada diri sendiri.
"Maksudmu...?" tanya Wong Agung sedikit heran.
"Dalam perjalananku, di beberapa tempat aku
mendapati pembantaian. Dan menurut seorang yang
sempat berkata sebelum mati, dia mengatakan bahwa
yang melakukan pembantaian itu adalah dua orang
yang berpakaian mirip pendeta...."
Wong Agung sedikit tersentak kaget. Dia lantas
melangkah mendekati sebuah pohon, yang kemudian
diikuti oleh Aji. Setelah duduk berhadapan di bawah
pohon, Wong Agung berkata.
"Kau tak boleh menuduh begitu saja sebelum ta-
hu buktinya.... Mungkin saja orang yang mengatakan
itu salah ucap karena dalam keadaan meregang nya-
wa. Atau kau memang punya bukti-bukti kuat?"
"Di dada tiap-tiap orang yang terbantai, terdapat bekas telapak tangan, dan aku
dapat memastikan hal
itu dilakukan oleh dua orang, karena antara telapak
tangan satu dengan lainnya besarnya tidak sama...."
"Tapak Geni!" ujar Wong Agung setelah mendengar keterangan Aji.
"Hmm.... Kini aku yakin. Bahwa dua orang yang
kemari itulah yang melakukan pembantaian itu. Dan
aku percaya, mereka berdua adalah murid Datuk
Lembah Neraka. Karena yang mempunyai pukulan itu
hanyalah dia!"
"Datuk Lembah Neraka...?"
"Ya. Datuk Lembah Neraka adalah gelar daripada
Dadaka Lanang...!"
"Tapi, apa maksudnya dengan pembantaian
itu...?" tanya Aji dengan menatap tajam pada gurunya.
"Aku belum bisa menduga. Hanya saja, satu hal
yang pasti, perbuatan mereka harus secepatnya dihen-
tikan! Dan itu menjadi tugasmu!"
Murid Wong Agung ini mengangguk perlahan.
Sementara Wong Agung tengadahkan kepalanya sea-
Jaka Lola 3 Sepasang Pendekar Daerah Perbatasan Giok Bun Kiam Lu Karya Chin Yung Rahasia Lukisan Kuno 2
^