Golok Kilat 1
Dewa Arak 85 Golok Kilat Bagian 1
GOLOK KILAT Oleh Aji Saka Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting: Puji S.
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Aji Saka Serial Dewa Arak
Dalam episode Golok Kilat 128 hal ; 12 x 18 cm
http://duniaabukeisel.blogspot.com
1 Seorang pemuda kekar terbungkus pakaian merah
dengan ikat kepala juga berwarna merah duduk di atas sebongkah batu karang yang
berada di pantai Teluk
Menjangan. Kedua kakinya menjuntai, ke permukaan
laut. Sehingga setiap kali ombak datang, sepasang kakinya terhantam air. Namun,
semua itu tidak dipedulikannya, sikapnya tetap tenang dengan mata tajam
berkilat menatap jauh ke tengah laut.
Dengan pandangan yang tidak beralih sedikit pun,
pemuda itu menggerakkan tangannya, menyapu per-
mukaan bongkahan karang yang didudukinya. Gera-
kan tangan itu terhenti, ketika menyentuh bagian ka-
rang yang menonjol. Kemudian dengan gerak pelan, ja-
ri-jari tangannya mengepal.
Broll...! Tonjolan batu karang yang keras itu tanggal. Pe-
muda berpakaian merah ini membawanya ke depan
dada. Sekilas batu itu diperhatikan, lalu dilemparkannya ke atas.
Potongan karang itu meluncur turun kembali, sete-
lah kekuatan lemparan habis. Pada saat yang sama,
pemuda ini menggerak-gerakkan tangannya di atas
kepala seperti orang tengah memainkan pedang.
Wuk! Wuk! Terdengar bunyi menderu tajam, ketika tangan
pemuda ini bergerak. Dan begitu potongan karang ja-
tuh kembali tepat di atas paha kanannya, telah menja-di beberapa potongan!
Seakan-akan telah dibabat pe-
dang pusaka yang amat tajam.
Tepat ketika pemuda ini menatap ke depan kemba-
li, di tengah laut terlihat satu sosok seperti tengah me-
lesat di atas permukaan air yang bergelombang. Dan
pandangan matanya yang tajam segera saja mengeta-
hui kalau sosok itu memang tengah melesat. Namun
dia tidak terkejut sama sekali, kendati cara berlari sosok itu demikian enaknya,
seperti tengah berlari di tanah datar.
Semakin dekat semakin jelas kalau sosok yang me-
lesat di tengah laut itu adalah seorang lelaki berusia sekitar enam puluh tahun.
Walaupun sudah dimakan
usia, tubuhnya masih terlihat kokoh kuat Badannya
yang telanjang terlihat kekar. Penuh otot dan bulu-
bulu hitam tebal. Celananya hitam. Dan yang lebih
menarik perhatian, sebelah matanya tertutup kain hi-
tam. Lelaki tua bertubuh kekar ini sedikit berkerut wa-
jahnya ketika melihat seorang pemuda berpakaian me-
rah di tepi pantai. Meski demikian lesatannya yang
ternyata mengenakan dua bilah papan lebar di bawah
alas kakinya, tetap diteruskan. Papan-papan inilah
yang membuatnya mampu melesat di atas permukaan
air. Begitu dekat pantai, dengan bantuan gelombang lelaki bertelanjang dada itu
melompat ke depan.
"Hup!"
Di udara, tubuh lelaki itu bersalto beberapa kali,
melewati kepala pemuda berpakaian merah. Dan
agaknya dia ingin mendarat di belakang pemuda itu
untuk berjaga-jaga dari kemungkinan buruk yang
bakal terjadi. Keberadaan pemuda ini dengan sikap seperti itu, telah menimbulkan
perasaan curiga di ha-
tinya. Namun hampir lelaki bertelanjang dada ini terpe-
kik, begitu menjejakkan kaki di tanah. Ternyata, pe-
muda berpakaian merah itu sudah duduk dengan te-
nang di depan. Artinya, lelaki tua itu tidak mampu melewati atas kepala pemuda
ini. Sikapnya tidak peduli dengan wajah menunduk menekuri tanah. Kini pemuda itu
sudah berpindah duduk di batang sebuah pohon
kelapa yang tumbang.
Mata lelaki bertelanjang dada yang hanya tinggal
sebelah itu menyipit. Bagaimana mungkin pemuda
berpakaian merah itu bisa berada di tempat ini tanpa terlihat bergeraknya"
Padahal tadi, saat melewati kepalanya, pemuda ini masih duduk tenang di
tempatnya"
Perasaan tidak yakin, membuat lelaki ini menoleh
ke belakang, ke tempat tadi pemuda itu berada. Ba-
rangkali saja ada dua orang muda yang mirip pakaian
dan potongan tubuhnya.
Tapi dugaan lelaki bertelanjang dada ini pupus se-
ketika, karena di tempat itu tidak ada apa-apa sama
sekali. Kosong! Berarti pemuda ini telah pindah, entah dengan cara bagaimana!
Lelaki bertelanjang dada ini kembali mengalihkan
perhatian ke depan. Kewaspadaannya mulai diting-
katkan. Disadari, di samping telah terbukti kalau pemuda yang sikapnya tidak
peduli ini memiliki kepan-
daian tinggi, pasti juga bermaksud tak baik. Kalau tidak, untuk apa mencegatnya"
Sungguhpun demikian, lelaki bertelanjang dada ini
pura-pura tidak tahu. Bagaikan orang yang tidak melihat adanya siapa pun di situ
kakinya terayun hendak
pergi. Pandangannya diarahkan ke depan, lalu terus
berjalan secara biasa melewati bagian kanan pemuda
ini. Jaraknya sekitar satu tombak dan sisi lelaki bermata satu ini.
Lelaki bertelanjang dada menghela napas lega keti-
ka telah puluhan tindak kakinya melangkah, tidak ju-
ga merasakan apa-apa. Maka kemampuannya segera
dikeluarkan, berlari cepat disertai seluruh ilmu meringankan tubuhnya.
Kini dengan kedua kaki bagai tidak menginjak ta-
nah, tubuh lelaki bertelanjang dada ini jadi tak jelas saat melesat. Yang
kelihatan hanya kelebatan bayangan yang bagaikan hantu tengah terbang mencari
mangsa! "Heh"!"
Tapi belum jauh berlari, mendadak lelaki ini ber-
henti. Matanya langsung menatap terbelalak ke depan, tanpa dapat menyembunyikan
sinar keterkejutan dan
kengerian. Sekitar sepuluh tombak di depannya, tam-
pak pemuda berpakaian merah yang tadi ditinggalkan-
nya! Seperti juga sebelumnya, pemuda itu tampak da-
lam sikap tak acuh! Kali ini tubuhnya rebah miring di atas batang sebuah pohon
yang juga telah tumbang di
tanah. Lelaki bertelanjang dada ini merasakan bulu ku-
duknya berdiri. Dirasakannya adanya ancaman ba-
haya. Sebagai seorang waras, dia tahu kalau pemuda
berpakaian merah itu sengaja mencari urusan den-
gannya! Juga amat disadari pemuda ini memiliki kepan-
daian amat tinggi! Setidak-tidaknya ilmu lari cepatnya!
Sehingga tak heran kalau pemuda itu selalu berada
di depannya, tanpa kelihatan melakukan pengejaran!
Dan disadari pula, tidak ada gunanya terus menghin-
dari orang yang luar biasa ini.
Dan meski gentar bukan main, lelaki telanjang da-
da ini mengayunkan kaki mendekati pemuda di de-
pannya. Langkahnya hati-hati, takut membuat pemu-
da aneh itu marah! Padahal, pemuda berpakaian me-
rah ini tidur miring dengan tubuh memunggungi.
"Bukankah kau orang yang berjuluk Singa Laut?"
Tiba-tiba terdengar suara bernada pertanyaan,
membuat lelaki bermata satu ini sampai menghentikan
ayunan kakinya. Saat ini jarak antara mereka berselisih dua tombak. Meski tidak
melihat, lelaki ini yakin kalau ucapan itu keluar dari mulut pemuda di depannya;
"Benar! Akulah orang yang kau maksudkan itu.
Dan kau sendiri, siapa Anak Muda?"
Suara lelaki bermata satu ini terdengar kering. Pe-
rasaan ngeri yang mencekam semakin besar, begitu
mendengar nada suara yang demikian dingin.
"Namaku Lingga. Hm... Apakah kau masih kepingin hidup lebih lama lagi"!" gumam
pemuda yang mengaku bernama Lingga. Nada suaranya semakin dingin saja.
Lelaki bermata satu yang berjuluk Singa Laut men-
gerutkan keningnya. Sepanjang ingatannya, dia belum
pernah bertemu dengan pemuda berbaju merah yang
bernama Lingga ini. Lalu, kenapa pemuda ini menga-
jukan pertanyaan yang bernada ancaman seperti itu"
"Apa maksudmu, Anak Muda" Aku yakin, antara
kita tidak pernah ada urusan. Jadi, kuharap kau sudi membiarkanku lewat," sahut
Singa Laut, setelah menelan ludah untuk membasahi tenggorokannya yang
mendadak kering karena perasaan tegang.
Singa Laut sebenarnya bukan seorang tokoh ko-
song. Belasan tahun yang lalu, julukannya amat ter-
kenal sebagai kepala bajak laut yang amat ditakuti. Di samping kepandaiannya
tinggi, anak buahnya pun banyak. Tapi keberadaan pemuda berpakaian merah
yang demikian luar biasa, serta sikapnya yang berwi-
bawa, mampu membuat ciut nyali orang sekejam dan
seberani Singa Laut!
"Cuhhh...!"
Pemuda berpakaian merah itu meludah.
"Apa yang kau katakan itu memang benar, Singa
Laut" Di antara kita memang tidak ada urusan. Tapi
bisa saja sebaliknya, apabila aku menghendaki. Dan
mungkin perlu kuberitahukan, Singa Laut. Setiap
orang yang berurusan denganku, pasti akan mengala-
mi kematian mengerikan!" tukas Lingga bernada ancaman.
Suasana menjadi hening sejenak, begitu pemuda
berpakaian merah ini menutup pembicaraannya. Singa
Laut masih terdiam, tidak mengerti maksud pemuda
itu. Tadi memang terdengar antara mereka memang ti-
dak ada urusan. Lalu, untuk apa pemuda ini mencegat
perjalanannya" Aneh!
Di samping itu, Singa Laut sadar kalau tengah ber-
hadapan dengan seorang pemuda berwatak kejam!
Seorang yang mungkin mampu membunuh manusia,
tak ubahnya membunuh nyamuk! Dugaan itu timbul,
karena dia pun orang semacam itu dulunya. Maka si-
kapnya harus berhati-hati terhadap Lingga.
"Aku tahu, kau mempunyai sebuah senjata berna-
ma Golok Kilat! Dan aku bersedia untuk meninggalkan
tempat ini, tanpa mengganggumu. Tapi serahkanlah
pedang itu padaku, Singa Laut! Bagaimana"!" Linggar menawarkan.
Singa Laut sampai terjingkat ke belakang bagai
disengat ular berbisa, saking kagetnya. Bukan hanya
karena mendengar pemuda berpakaian merah tahu
mengenai golok itu. Tapi juga karena melihat kejadian yang baginya amat luar
biasa! Singa Laut melihat jelas kalau Lingga tidak bertin-
dak apa-apa. Tapi batang pohon yang ditidurinya langsung hancur berantakan
menjadi tepung! Kejadian ini
saja sudah cukup membuat hatinya bergidik! Itu pun
masih ditambah kejadian menakjubkan, ketika tubuh
pemuda berpakaian merah itu mengambang sekitar
dua jengkal dari tanah saat batang pohon yang ditidurinya hancur.
*** "Bagaimana Singa Laut"!" tanya Lingga, setelah membalikkan tubuhnya dan berdiri
tegak menghadap
lelaki bertelanjang dada itu. Kedua orang ini sekarang berdiri berhadapan dalam
jarak dua tombak.
Wajah Singa Laut semakin pias. Dirasakan adanya
ancaman dalam pertanyaan yang kedengarannya se-
pele. "Aku bukan sejenis orang sabar, Singa Laut! Apabila kau tidak memberi jawaban
sama sekali, jangan se-
sali tindakanmu itu!" lanjut Lingga dengan suara tenang bernada semakin dingin.
Singa Laut menelan ludah beberapa kali, untuk
membasahi tenggorokannya agar bisa berkata-kata
lancar. "Bukannya aku tidak mau memberi senjata itu pa-
damu, Anak Muda. Tapi, ketahuilah. Aku tidak memi-
likinya. Senjata itu..."
"Rupanya kau menganggapku bermain dengan an-
caman yang kukatakan, Singa Laut"!" selak Lingga membuat kata-kata Singa Laut
terhenti. Sepasang matanya beringas seperti mata seekor harimau lapar
mencium darah. "Kau berani membohongiku"! Dikira aku tidak tahu, kalau kau
merampasnya dari pasukan
kerajaan yang hendak mempersembahkannya kepada
kerajaan seberang sebagai hadiah"!"
"Hal itu memang tidak ku sangkal, Anak Muda," kilah Singa Laut, cepat-cepat.
"Tapi, senjata itu telah di-
rampas seorang pendekar..."
"Seorang pendekar..."!" ulang pemuda berpakaian merah ini. "Siapa orang itu"!"
"Raja Golok Bertangan Baja!" jelas Singa Laut, penuh perasaan dendam dan sakit
hati. Lingga tersenyum sinis.
"Apakah kau hendak membalas dendam pa-
danya"!" tanya Lingga.
Singa Laut mengangguk pasti.
"Itulah sebabnya aku keluar dari pulau tempat pe-nyepianku. Lima tahun yang
lalu, aku dikalahkan. Go-
lokku pun dirampas. Sesuai perjanjian, sekarang saatnya kami bertarung lagi.
Karena, aku telah berjanji untuk menebus kekalahan lima tahun yang lalu," jelas
Singa Laut "Di mana kalian berjanji untuk bertemu"!" desak Lingga, agak bernafsu. Jelas
sekali kalau dia sangat menginginkan Golok Kilat itu.
"Di Lembah Iblis," jawab Singa Laut
"Dan..., kau yakin bisa mengalahkannya"!" tanya Lingga bernada mengejek.
Tidak sembarangan Lingga dengan perkataannya.
Karena, dia telah mendengar tentang tokoh yang berjuluk Raja Golok Bertangan
Baja, yang merupakan da-
Dewa Arak 85 Golok Kilat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tuknya golongan putih! Mana mungkin tokoh seperti
Singa Laut yang hanya pemimpin bajak laut mampu
mengunggulinya"! Jangankan berlatih lima tahun. Biar berlatih sampai lima puluh
tahun pun, tak akan
mungkin bisa menandingi datuk kaum putih itu.
"Tidak," jawab Singa Laut jujur. "Tapi, barangkali saja nasibku tengah mujur.
Tambahan lagi..., aku tidak sendirian. Ada beberapa orang kawan segolongan
yang bersedia bekerja sama denganku. Mereka juga
mempunyai urusan dengan Raja Golok Bertangan Baja
yang sombong itu!"
Lingga terdiam sejenak. Dahinya berkernyit dalam.
Sepasang matanya yang tajam berputar sebentar.
"Hm.,.. Aku mendengar adanya langkah-langkah
kaki mendekati tempat ini. Mungkin mereka orang-
orang yang kau maksudkan," gumam Lingga tenang.
Pemuda itu tidak merasa khawatir sedikit pun ka-
lau nanti Singa Laut akan mengeroyok bersama ka-
wan-kawannya. Wajah Singa Laut berseri bercampur heran. Kete-
rangan pemuda ini jelas membuatnya gembira. Dan
senyumnya melebar ketika melihat dua sosok tengah
melesat cepat dari bagian depan, atau dari arah belakang Lingga. Dan
keheranannya yang bercampur rasa
terkejut, ketika melihat dua sosok yang tengah mendatangi itu memang kawannya.
Sungguh tidak disangka
kalau Lingga bisa mengetahui kehadiran mereka. Pa-
dahal, jaraknya masih amat jauh.
"Singa Laut...!"
Dua sosok yang bergerak mendatangi itu langsung
berseru, ketika telah berada lebih dari delapan tombak.
Sambil terus berlari, dua sosok itu menyempatkan diri untuk melirik pada pemuda
berpakaian merah yang
sekarang berdiri bersandar pada sebatang pohon den-
gan sikap tidak peduli.
"Syukur kalian telah datang, Braja, Gintung!" sambut Singa Laut, gembira.
"Kau meragukan janji kami?" tanya yang berkulit hijau. Suaranya parau. Dan
lehernya berkedut-kedut
keras, ketika berbicara seperti leher katak! Dialah yang bernama Braja.
"Apa yang dikatakan saudaraku ini benar, Singa
Laut! Bagi kami, janji adalah segalanya! Apalagi, bila janji itu sudah
menyangkut orang usilan yang berjuluk
Raja Golok Bertangan Baja," sahut sosok yang berkulit hitam. Namanya, Gintung.
Gintung mempunyai satu tangan. Sedang tangan
yang satu mulai dari pergelangan tangan, diganti baja yang ujungnya berkait.
Sehingga penampilannya cukup mengiriskan.
"Tentu saja kau tidak meragukan janji orang-orang seperti kalian"! Mana mungkin
pemimpin Perampok
Gunung Wilis akan mengingkari janji"! Tunggu apa la-
gi"! Mari lata berangkat!" ajak Singa Laut.
Dua lelaki yang merupakan dedengkot Perampok
Gunung Wilis saling berpandang dengan senyum men-
gembang. Kemudian, seperti diatur, mereka mengang-
guk bersamaan. Singa Laut pun tersenyum. Kemudian tanpa me-
nunggu lebih lama lagi, ketiga dedengkot rampok ini
segera melesat meninggalkan tempat itu, didahului
Singa Laut. Sedangkan Braja dan Gintung mengikuti di belakangnya.
Sementara itu keheranan mulai menggayuti hati
Braja dan Gintung, ketika menyadari kalau hanya me-
reka bertiga yang berangkat. Sedangkan pemuda ber-
pakaian merah yang berada di tempat itu tidak ikut!
Padahal, semula mereka mengira kalau pemuda itu
merupakan kawan. Atau paling tidak, murid Singa
Laut! Kalau bukan, mengapa pemuda tadi berada di si-
tu, tanpa tindakan apa-apa dari Singa Laut"
Dua pemimpin Perampok Gunung Wilis ini sebe-
narnya ingin menanyakan. Tapi karena Singa Laut se-
perti tidak memberikan kesempatan, mereka pun di-
am. *** "Aneh...."
Sebuah suara mendesah bernada heran meluncur
dari mulut seorang kakek tinggi kurus berpakaian
abu-abu. Kepalanya menengadah, memandang langit.
Kedua tangannya di belakang punggung.
"Benarkah pusaka yang kudapatkan itu golok Ki-
lat"! Kalau benar, mengapa tidak kutemukan kedah-
syatannya seperti yang dulu tersisa" Apakah ini golok palsu?"" lanjut kakek
tinggi kurus ini, seperti bertanya sendiri.
Sambil berkata demikian, kakek ini menggerakkan
pinggulnya sedemikian rupa. Maka golok di dalam sa-
rung yang tersampir di punggung pun melesat ke atas.
Seketika, kakek itu mengulurkan tangan, menangkap
begitu senjata tajam itu meluruk turun. Tindakannya
bagaikan tanpa melihat sama sekali.
Kakek berpakaian abu-abu itu mendekatkan golok
ke wajahnya, mencium beberapa saat. Kemudian di-
perhatikannya adanya ukiran-ukiran di bagian sisi kanan dan kiri batang golok.
Cukup lama. "Tidak salah lagi," desah kakek ini lagi, penuh keyakinan. "Inilah Golok Kilat
itu. Aku bisa merasakan pengaruhnya. Tapi, mengapa kedahsyatannya tidak
pernah muncul"!"
Setelah menutup ucapan dengan pertanyaan yang
entah kapan bisa terjawabnya, golok itu ditudingkan
pada sebatang pohon yang berada dalam jarak lima be-
las tombak darinya.
"Tidak terjadi apa-apa," keluh kakek ini sambil me-nurunkan tangannya yang
memegang golok ke sisi
pinggang. "Ataukah, kedahsyatan yang dikatakan itu hanya sekadar desas-desus
belaka" Ataukah..., ada
rahasia yang harus kupecahkan di sini"!"
"Katakili...!"
Mendadak terdengar seruan keras, membuat kakek
berpakaian abu-abu menoleh ke kanan, arah asal sua-
ra itu. Sebentar sepasang matanya terbelalak ketika
mengetahui pemilik suara. Ternyata sosok itu adalah
kakek berpakaian coklat dengan jenggot panjang men-
juntai. "Malimbong...," desis kakek berpakaian abu-abu yang dipanggil Katakili. "Apa
maksudmu datang kemari"! Jangan katakan kalau si Golok Emas yang menyu-
ruhmu. Ataukah, dia telah begitu tak tahu malu. Se-
hingga, dia berani mengingkari janji yang telah dibuatnya sendiri?"
Kakek berpakaian coklat berjenggot panjang yang
dipanggil Malimbong tersenyum sambil mengelus jeng-
gotnya. "Tidak ada yang menyuruhku untuk datang kema-
ri, Katakili. Dan tidak akan pernah ada yang akan menyuruhku!" tandas Malimbong,
mantap. "Apa maksudmu, Malimbong"!" tanya Katakili sambil mengerutkan sepasang alisnya.
Heran. "Kedatanganmu kemari tanpa sepengetahuan si Golok
Emas"!"
"Tanpa sepengetahuan si Golok Emas!" ulang Malimbong sambil tertawa terkekeh.
"Kau lucu sekali, Katakili! Apakah kau tidak melihat ini"!"
Malimbong langsung menghunus golok yang terse-
lip di pinggang.
Sring! Terdengar bunyi nyaring, begitu muncul sinar ke-
kuningan yang menyilaukan mata.
"Golok Emas..."!" desis Katakili kaget, sambil menatap tangan kanan Malimbong
yang menggenggam
golok berbatang kuning. Golok Emas!.
"Syukur kau masih mengenalnya, Katakili. Dan
agar kau tidak semakin larut dalam kebingungan, per-
lu kuberitahukan bahwa orang yang berhak memegang
golok emas ini adalah aku! Malimbong! Si Golok Emas
yang dulu kau kalahkan, telah kukalahkan! Jadi, aku
sekarang yang berhak menyandang julukan si Golok
Emas! Akulah yang menjadi Ketua Perguruan Golok
Maut!" Katakili menghela napas berat, tidak merasa heran
lagi sekarang. Dia telah tahu kalau Perguruan Golok
Maut mempunyai peraturan aneh. Setiap anggota per-
guruan dapat menjadi ketua bila mampu mengalahkan
sang ketua. Bila sang ketua dapat dikalahkan, golok
emas akan jatuh di tangan si pemenang. Yang nan-
tinya juga akan berjuluk si Golok Emas, sekaligus
menjadi ketua baru Perguruan Golok Maut (Untuk je-
lasnya, silakan baca episode: "Memburu Putri Datuk").
"Jadi..., kedatanganmu sekarang untuk menan-
tangku bertarung, Malimbong"!" tanya Katakili dengan nada pahit.
"Lalu..., kau pikir apa"! Berbincang-bincang den-ganmu" Buang-buang waktu saja!
Aku datang untuk
membuktikan, siapa di antara kita yang patut bergelar Raja Golok! Hai, Raja
Golok Bertangan Baja! Siapkah
kau menerima tantanganku ini"!"
"Tentu saja, Golok Emas!" sambut Katakili yang berjuluk Raja Golok Bertangan
Baja dengan mantap.
Kali ini Malimbong pun dipanggil dengan julukan, ka-
rena kakek jenggot panjang itu memanggilnya demi-
kian. "Kalau begitu, bersiaplah, Raja Golok! Aku ingin membuktikan, kalau Ketua
Perguruan Golok Maut lebih berhak menyandang julukan Raja Golok daripada
kau! Akan ku tebus kekalahan Golok Emas terdahulu!"
"Tunggu sebentar, Golok Emas!" cegah Raja Golok,
ketika melihat Malimbong sudah bersiap membuka se-
rangan. Si Golok Emas mengurungkan maksudnya. Dita-
tapnya wajah Katakili lekat-lekat.
"Ada apa lagi, Raja Golok"! Jangan katakan kalau kau belum siap menghadapiku!"
*** 2 Raja Golok Bertangan Baja menatap wajah si Golok
Emas tak kalah tajam. Dua pasang mata yang sama-
sama berkilatan mengandung kekuatan tenaga dalam
tinggi, saling bentrok. Seakan-akan mereka hendak
mengadu kekuatan melalui pandang mata.
"Aku bukan seorang pengecut, Golok Emas! Setiap tantangan yang tertuju padaku,
pasti akan ku sambut!
Tapi perlu kau ketahui. Kedatanganmu tanpa perjan-
jian. Padahal, sekarang-sekarang ini ada tokoh hitam yang juga ingin membalaskan
kekalahannya padaku.
Dia berjuluk Singa Laut. Jadi, kuharap kau sabar me-
nunggu sebentar. Dan..."
"Aku tidak peduli dengan urusanmu, Raja Golok!"
potong si Golok Emas, cepat sambil mengibaskan tan-
gan kirinya. "Jangankan hanya Singa Laut. Biar Malaikat Laut pun, aku tidak akan
mau mengalah. Aku da-
tang duluan. Jadi, akulah yang lebih dulu bertarung.
Kecuali..., bila kau mengaku kalah dan menyerahkan
Julukan Raja Golok padaku...."
"Pandanganmu benar-benar picik, Golok Emas.
Aku tidak mengkhawatirkan apa-apa. Apalagi nyawa-
ku! Yang ku takutkan, hanya apabila Singa Laut me-
narik keuntungan dalam hal ini! Di saat kau dan aku
telah lelah bertarung, dia datang. Maka dengan mudah kau dan aku akan habis
digilasnya. Apalagi kalau dia datang bersama kawan-kawannya. Pikirkanlah, Golok
Emas"!"
Ketua Perguruan Golok Maut itu terdiam sebentar.
"Apa boleh buat, Raja Golok! Bila itu terjadi, anggap saja satu kesialan. Biar
bagaimanapun juga, itu
lebih baik daripada pertarungan kita nanti tak seimbang. Sebab, kau kehabisan
tenaga, setelah melawan
Singa Laut!" tandas si Golok Emas.
"Kalau begitu keinginanmu, apa boleh buat! Aku
sudah siap, Golok Emas!" sambut Raja Golok, merasa tak ada pilihan lain lagi.
Baru saja kata-kata Raja Golok Bertangan Baja se-
lesai, si Golok Emas telah menerjangnya.
"Hiaaat..!"
Golok di tangan Ketua Perguruan Golok Maut itu
lenyap bentuknya ketika diputar-putar. Yang terlihat hanya segulungan sinar
kuning keemasan yang meluncur ke arah Raja Golok.
"Ilmu golok yang bagus sekali...!" puji Raja Golok Bertangan Baja, tulus. Golok
baja yang tadi telah dimasukkan, kembali dikeluarkan dan dipergunakan un-
tuk menangkis serangan.
Trang! Trang! Terdengar bunyi berdentang nyaring beberapa kali
ketika dua batang golok berbenturan.
Si Golok Emas menggeram penuh perasaan pena-
saran ketika tubuhnya terhuyung-huyung dua langkah
dengan tangan bergetar hebat. Sementara, Raja Golok
Bertangan Baja tampak hanya bergeming sedikit.
"Kau memang hebat, Katakili. Tak aneh kakak se-
perguruanku dulu kalah di tanganmu. Tapi, aku be-
lum kalah!" dengus Golok Emas.
"Chiaaa...!"
Begitu gema ucapan itu lenyap, si Golok Emas
kembali menerjang. Gerakannya lambat, tapi penuh
tenaga seperti gerak seekor gajah! Tapi anehnya, ba-
tang goloknya kelihatan jadi banyak! Bahkan itu pun
ditingkahi bunyi mendesing nyaring melengking, seba-
gaimana bunyi yang keluar dari seruling.
Untuk kesekian kalinya Raja Golok Bertangan Baja
merasa kagum. Dia sadar, Malimbong jauh lebih lihai
daripada si Golok Emas yang dulu dikalahkannya. Ba-
tang golok yang seperti berjumlah banyak dan bunyi
seruling, seharusnya akan terjadi bila Malimbong
menggerakkan goloknya dengan cepat! Tapi nyatanya,
dia mampu melakukannya dengan gerakan lambat.
Tapi Katakili tidak akan mendapat gelar Raja Golok
bila mendapat serangan seperti ini saja sudah kelabakan. Dia hanya berdiri tegak
dengan golok diacungkan ke atas tinggi-tinggi. Sepasang matanya terpejam. Tidak
terlihat kakek ini menggetarkan tangan, tapi ba-
tang goloknya bergetar keras hingga memperdengarkan
bunyi mengaung.
Dan bunyi mengaung ini langsung menindih bunyi
melengking yang timbul dari getaran golok Malimbong.
Sedangkan serangan-serangan si Golok Emas sendiri,
berhasil dipunahkan Raja Golok Bertangan Baja tanpa
menggeser kedudukan sama sekali. Dan masih dengan
mata terpejam, kakek bernama Katakili itu mengelak-
Dewa Arak 85 Golok Kilat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kan setiap serangan. Tubuhnya doyong ke kanan dan
kiri, sehingga belum ada satu serangan pun yang
mendarat di tubuhnya.
*** Sementara itu si Golok Emas dan Raja Golok Ber-
tangan Baja sama sekali tidak tahu kalau saat perta-
rungan dimulai, telah ada beberapa sosok tengah men-
gawasi. Tiga sosok berada di kerimbunan semak-
semak. Sedangkan satu sosok lagi, berada di atas se-
batang pohon. "
Dan disaat terdengar bunyi mendesing akibat se-
rangan si Golok Emas, tiga sosok yang tak lain dari
Singa Laut, Braja, dan Gintung yang merupakan pe-
mimpin Perampok Gunung Wilis ini merasa tersiksa
bukan main. Mereka sampai duduk bersila dan menge-
rahkan seluruh tenaga dalam untuk melawan penga-
ruh yang menyakitkan. Tapi, toh mereka tetap kewala-
han. Sekujur tubuh mereka menggigil keras. Peluh se-
besar biji jagung telah membanjiri wajah yang menye-
ringai kesakitan. Apabila siksaan ini terus berlang-
sung, Singa Laut dan kedua kawannya akan terluka
dalam yang amat parah! Bahkan, bukan tidak mung-
kin akan tewas!
"Auuung... "
Di saat yang mengkhawatirkan, mendadak terden-
gar bunyi mengaung, menekan bunyi desingan yang
menyiksa. Singa Laut dan kedua kawannya langsung
merasakan kalau pengaruh yang membuat penderi-
taan hebat, semakin berkurang. Dan kini berganti rasa nyaman yang membuat mereka
terbuai nikmat!
Singa Laut dan dua Pemimpin Perampok Gunung
Wilis tidak segera menyadari akan kedahsyatan penga-
ruh bunyi mengaung. Mereka tidak melakukan perla-
wanan sama sekali. Rasa yang diterima demikian nik-
mat, sehingga membuat mereka malah mengikuti.
Ketiga tokoh sesat ini baru menyadari ketidakbere-
san ini ketika merasakan sekujur otot-otot dan urat-
urat syaraf terasa lelah bukan main. Demikian pula
mata mereka. Tidak ada keinginan lain lagi bagi mere-ka, kecuali merebahkan diri
dan tidur. Hanya itu yang dibutuhkan, karena mata sudah hampir tidak dapat
lagi dibuka! Penderitaan yang sama juga dialami si Golok Emas!
Dicobanya sekuat tenaga untuk semakin memperkuat
bunyi desingan goloknya. Tapi, ternyata dia tidak kua-sa! Bunyi mengaung yang
ditimbulkan Raja Golok be-
nar-benar tidak mampu ditanggulangi, dan merasuk
tanpa bisa tertahan. Halus tapi pasti. Dan anehnya,
langsung menyerang bagian-bagian tertentu yang ber-
hubungan dengan syaraf istirahat!
Kini serangan-serangan si Golok Emas mengendur
dengan cepat. Bahkan terlihat ngawur karena rasa ke-
lelahan yang amat sangat. Dan bila hal ini terus berlangsung, Ketua Perguruan
Golok Maut ini akan roboh.
Meskipun demikian, bila dibandingkan Singa Laut
dan kedua kawannya, keadaan si Golok Emas jauh le-
bih baik. Ketiga tokoh sesat itu telah rebah di tanah berumput, setelah beberapa
kali menggeliat dan men-guap! Mereka telah tertidur!
Tak, tak, takkk...!
Mendadak terdengar bunyi bergemeletak seperti
ada dua batang logam beradu, saat keadaan si Golok
Emas telah semakin mengkhawatirkan. Bunyi yang di-
yakini berasal dari campur tangan orang lain, menye-
ruak mengatasi bunyi mengaung yang timbul dari ge-
taran golok si Raja Golok! Bunyi itu bahkan mampu
menekan pengaruh bunyi mengaung. Sehingga, kea-
daan si Golok Emas berangsur-angsur pulih. Seran-
gan-serangan pun semakin menghebat
Raja Golok menyadari kalau ada orang yang telah
ikut campur tangan dalam pertempuran. Rasa tidak
senangnya pun timbul. Apalagi, karena mengetahui
kalau orang usilan itu membantu si Golok Emas.
Sambil melempar tubuh ke belakang, Raja Golok
mengedarkan pandangan ke sekitarnya. Dia tahu ka-
lau orang yang membantu Ketua Perguruan Golok
Maut itu memiliki kepandaian tinggi. Hal ini bisa diketahui tak hanya dari bunyi
bergemeletak yang telah
mampu menekan bunyi aungan goloknya, tapi asalnya
pun tidak bisa dilacak. Itu berarti orang yang ikut campur tangan memiliki ilmu
'Memindahkan Suara'.
Padahal, ilmu itu hanya bisa dimiliki tokoh yang memiliki tenaga dalam sukar
diukur. Jantung Raja Golok berdetak lebih cepat, ketika
akhirnya berhasil mengetahui orang usil yang ikut
campur tangan dalam urusannya. Orang itu ternyata
duduk bersila di atas sebatang cabang pohon, tiga
tombak di depannya. Tapi hebatnya, cabang yang
hanya sebesar ibu jari kaki itu tidak melengkung sama sekali! Seakan-akan yang
berada di atasnya adalah
seekor burung gereja!
Dari sini saja bisa diketahui kalau sosok usilan itu memiliki ilmu meringankan
tubuh yang amat luar biasa. Dan keterkejutan Raja Golok makin bertambah
ketika melihat sosok yang ternyata seorang pemuda
tampan berpakaian merah dengan ikat kepala juga me-
rah itu, tengah membenturkan dua helai daun. Ru-
panya, bunyi gemeletak keras berasal dari benturan
dua helai daun itu. Gila!
Sementara itu, pemuda berpakaian merah yang tak
lain Lingga hanya tersenyum dingin ketiga beradu
pandang dengan Raja Golok Bertangan Baja. Senyum-
nya hanya sebentar saja, karena Raja Golok Bertangan Baja telah kembali
disibukkan oleh serangan-serangan si Golok Emas yang semakin gencar.
Pemuda berpakaian merah itu kembali tersenyum
dingin. Sementara matanya tak lepas dari pertarungan yang tengah berlangsung,
tangan kanannya menjulur
ke atas dengan jari-jari terbuka.
Brrr...! Bagaikan dihembus angin keras, puluhan daun
pohon yang berada di atas kepala Lingga berguguran.
Tapi, semuanya melayang ke arah tangannya yang ter-
buka dan jatuh bertumpuk-tumpuk!
Masih tanpa mengalihkan pandangan, pemuda ini
mengibaskan tangannya.
Wesss...! Seketika, puluhan daun itu melayang dengan ke-
cepatan tinggi, sampai menimbulkan bunyi berdesing
nyaring. Arah yang dituju kali ini adalah si Golok
Emas. Si Golok Emas terkejut bukan main, ketika menya-
dari adanya serangan gelap. Buru-buru dipapaknya
daun-daun itu dengan golok!
Brettt...! Brettt...!
Bunyi sayatan keras terdengar berkali-kali ketika
batang golok si Golok Emas berbenturan dengan daun-
daun yang bertubi-tubi meluncur ke arahnya secara
satu persatu. Setiap terjadi benturan, tangan si Golok Emas kontan bergetar
hebat Bret! "Aaakh...!"
Pada benturan kelima jari-jari tangan si Golok
Emas tak kuat lagi mencekal golok, hingga terlepas da-ri pegangan. Dan ini
sampai membuat seruan tertahan
dari mulutnya. Sementara serangan daun-daun itu
masih meluncur ke arahnya.
Cepat bagai kilat Ketua Perguruan Golok Maut ini
membanting tubuhnya ke tanah, lalui menjauhkan diri
dengan bergulingan.
Sementara itu si Raja Golok Bertangan Baja sendiri
tidak luput dari serangan. Begitu melihat adanya se-
rangan, segera dia melompat ke belakang.
"Heaaat...!"
Saat itu Singa Laut dan dua kawannya yang sudah
terbangun dari tidurnya melompat keluar dari semak-
semak dan langsung mengirimkan serangan.
Singa Laut mempergunakan golok bermata gergaji.
Sedangkan Braja dan Gintung memakai tombak pen-
dek dan trisula.
Raja Golok Bertangan Baja cukup terkejut menda-
pat serangan mendadak ini. Maka cepat goloknya ber-
gerak memapak bertubi-tubi.
Trang, trang, trang!
Tangkisan Raja Golok Bertangan Baja membuat
tubuh para penyerangnya terhuyung-huyung ke bela-
kang, karena kalah tenaga dalam.
Namun sebelum kedua belah pihak saling gebrak
kembali, Lingga telah lebih dulu melayang turun, lalu hinggap di tengah-tengah,
"Monyet-monyet kecil! Lebih baik kalian menyingkir, sebelum aku lupa diri!"
dengus Lingga dingin pada Singa Laut, Braja dan Gintung tanpa menoleh sedikit
pun. Singa Laut tahu diri. Telah dirasakannya sendiri
kehebatan pemuda berpakaian merah ini. Maka buru-
buru dia melompat mundur. Tapi, tidak demikian hal-
nya Braja dan Gintung. Mereka malah marah menden-
gar kata-kata yang diucapkan seorang pemuda kema-
rin sore. Siapa yang tidak menjadi kalap"
"Pemuda gila! Mampuslah kau...!" bentak Braja.
Hampir berbareng dengan keluarnya bentakan pe-
nuh kemarahan, dua Pemimpin Perampok Gunung Wi-
lis itu menyerbu. Golok dan trisula mereka meluncur ke arah dada dan perut
Lingga. Wut, wuttt! Namun pemuda berpakaian merah ini tidak menge-
lak sama sekali. Akibatnya, serangan-serangan itu
mendarat telak dan keras.
Buk! Duk! Trak! Trak! Tapi, malah dua senjata itu yang patah-patah.
Lingga tersenyum mengejek melihat keterkejutan dua
orang yang menyerangnya. Kemudian....
"Cuhhh, cuhhh...!"
Begitu Lingga meludah, dua gumpalan yang sebe-
narnya adalah cairan menjijikkan, meluncur ke arah
dua Pemimpin Perampok Gunung Wilis itu.
Braja dan Gintung tahu akan bahaya. Maka mere-
ka segera melompat menyamping, agar serangan ludah
itu lolos dari sasaran.
"Heh"!"
Jantung dua tokoh rampok ini seperti berhenti
berdetak, ketika melihat ludah-ludah itu bagaikan
bernyawa! Cairan-cairan menjijikkan yang menggum-
pal itu ikut berbelok arah, tetap mengancam keselamatan mereka.
Kejadian yang tidak terduga ini membuat dua ka-
wan Singa Laut ini kelabakan. Mereka terpontang-
panting untuk mengelak. Tapi, gumpalan-gumpalan
ludah itu tetap mengikuti. Padahal kini, keadaan me-
reka benar-benar terpojok. Sehingga....
Cras, cras! "Aaa...! Aaakh...!"
Keduanya hanya menjerit tertahan, ketika dahi me-
reka ambrol ditembus gumpalan ludah yang sebenar-
nya mampu menembus batu karang.
*** Singa Laut, si Golok Emas yang telah bebas dari
kejaran daun, dan Raja Golok, terkesima melihat kejadian itu. Apa yang terlihat
merupakan bukti nyata dari kekuatan tenaga dalam tak terukur milik pemuda
berbaju merah ini. Sampai-sampai mampu membuat
gumpalan ludah seperti, mempunyai nyawa!
Singa Laut semakin mundur. Dia khawatir, menja-
di korban pemuda yang bersikap dingin tapi berhati
keji. Lelaki bertelanjang dada ini sempat menghem-
buskan napas lega ketika melihat Lingga tidak mem-
perhatikannya sama sekali. Karena yang dijadikan sa-
saran perhatian adalah Raja Golok Bertangan Baja!
Raja Golok Bertangan Baja tahu, pemuda itu men-
gincarnya. Disadari betul kalau nyalinya tidak ciut.
Bahkan begitu tahu pemuda ini tidak bersenjata, sen-
jatanya segera dimasukkan kembali ke warangkanya.
"Berikan senjata itu, Raja Golok! Dan aku berjanji tidak akan mengambil
nyawamu!" gertak Lingga, Datar dan dingin suaranya.
"Aku hanya akan memberikannya, apabila nyawa-
ku telah terlepas dari badan, pemuda keji!" balas Katakili, tak mau kalah
gertak. "Hih...!"
Wuttt...! Raja Golok Bertangan Baja langsung mengirimkan
tamparan tangan kanan ke arah pelipis. Serangan
yang akan mampu mengirim nyawa tokoh berkepan-
daian rendah ke alam baka, walaupun hanya terkena
sedikit saja! "Huh...!"
Namun Lingga hanya mendengus. Tangan kanan-
nya pun diayunkan untuk memapak serangan.
Melihat hal ini, Raja Golok Bertangan Baja terse-
nyum, mengejek dalam hati. Pikirnya, pemuda ini be-
nar-benar masih hijau, dan hanya mengandalkan ke-
sombongan belaka. Tidak tahukah pemuda itu kalau di
samping berjuluk Raja Golok, Katakili pun mendapat
gelar Bertangan Baja, karena memiliki tangan amat
kuat" Plak! "Heh"!"
Kegembiraan Raja Golok Bertangan Baja mendadak
sirna, ketika tangan pemuda ini tidak patah sama se-
kali. Bahkan, justru Raja Golok Bertangan Baja sendiri yang mengalami kejadian
mengejutkan! Tangannya
seakan berbenturan dengan gumpalan kapuk! Sehing-
ga, tenaganya menjadi lenyap entah ke mana!
Belum lagi keterkejutannya sirna, Katakili telah
menerima kenyataan yang mengagetkan. Ternyata tan-
gannya yang berbenturan tidak bisa ditariknya kemba-
Dewa Arak 85 Golok Kilat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
li, melekat dengan tangan pemuda ini.
Raja Golok Bertangan Baja terkejut bukan main.
Diusahakannya sedapat mungkin untuk menarik, tapi
tetap sia-sia. Hatinya menjadi cemas bukan main. Apalagi ketika tiba-tiba
merasakan adanya aliran hawa
panas dari tangan pemuda itu yang amat dahsyat.
Seakan-akan tangannya diletakkan dalam bubur besi
yang membara! Hanya dalam waktu sebentar saja, wajah Raja Go-
lok Bertangan Baja merah padam seperti udang rebus.
Peluh sebesar biji jagung menetes-netes dari wajahnya.
"Hih!"
Katakili mencoba mengirimkan serangan lain,
menggunakan tangan yang masih bebas, dan juga ka-
ki. Tapi sebelum maksud itu berhasil, hanya dengan
tudingan jari tangan kiri....
Tuk, tuk! Lingga telah membuat bagian tubuh yang hendak
digerakkan Raja Golok Bertangan Baja lumpuh. Ru-
panya pemuda berpakaian merah ini menggunakan to-
tokan jarak jauh.
Raja Golok Bertangan Baja gelisah bukan main.
Rasa panas yang diderita telah semakin dahsyat. Dan
dia mulai tidak tahan lagi. Sepasang matanya bahkan
telah merah seperti orang sakit mata. Tak lama lagi, tokoh golongan putih ini
akan tewas secara mengerikan!
Kejadian ini pun diketahui si Golok Emas. Dan dia
pun tidak sampai hati membiarkannya. Antara si Go-
lok Emas dengan Raja Golok Bertangan Baja memang
ada urusan. Tapi bukan berarti membenci, menden-
dam, apalagi memusuhi. Urusan yang ada hanya
memperebutkan gelar. Maka melihat keadaan Raja Go-
lok Bertangan Baja, Ketua Perguruan Golok Maut ini
berani membantu. Karenanya bukan tidak mungkin,
apabila berhasil membunuh Raja Golok, pemuda itu
akan membunuhnya pula. Si Golok Emas sadar kalau
pemuda berpakaian merah ini memiliki watak keji!
Sebagai seorang tokoh tingkat tinggi, Golok Emas
tahu bagaimana caranya menyelamatkan Raja Golok
Bertangan Baja. Maka dengan tenang, dihampirinya
dua tokoh yang tengah berkutat itu.
Kalau saja si Golok Emas memiliki watak licik, ke-
sempatan seperti itu akan dimanfaatkan sebaik-
baiknya untuk mengirim serangan. Tapi, dia tak mela-
kukan. Bertindak seperti ini saja, hatinya malu. Hanya saja perasaan itu ditekan
dengan bantahan, kalau tindakan yang hendak dilakukannya semata-mata untuk
menolong Raja Golok!
Begitu berada di dekat dua tokoh yang tengah ber-
seteru, si Golok Emas meluruskan dua jarinya. Kemu-
dian jari-jarinya digerakkan.
Bagian yang dituju si Golok Emas adalah bawah
siku, untuk membuat tangan kanan Raja Golok Ber-
tangan Baja lumpuh sejenak. Dengan demikian aliran
tenaga dalam dari pemuda itu putus. Bila hal ini terjadi, maka kekuatan yang
menyedot tangan Raja Golok
Bertangan Baja terlepas!
*** 3 Tuk, tukkk! Telak dan keras sekali jari-jari tangan si Golok
Emas mendarat di sasaran. Namun kesudahannya, dia
sendiri yang menjadi kaget. Ujung-ujung jarinya sea-
kan menghantam karet yang keras dan kenyal. Se-
hingga membuat tenaganya seperti tenggelam.
Sementara, Lingga hanya melirik. Terlihat adanya
ancaman yang mampu membuat detak jantung orang
seperti si Golok Emas terasa bertambah cepat.
"Kau mencari penyakit sendiri, Tua Bangka Dungu!
Kau akan menerima balasannya, setelah kakek ini ku-
bereskan!"
Usai berkata demikian, Lingga segera mengerahkan
tenaga dalamnya. Akibatnya, tubuh Raja Golok Ber-
tangan Baja terjengkang ke belakang. Darah menyem-
bur deras dari mulutnya. Ketika jatuh mencium tanah, tubuhnya tak bergerak lagi.
Pemuda berpakaian merah ini mengeluarkan tan-
gannya. Kemudian dibuatnya gerakan menarik secara
keras. Srang. Wesss! Seketika golok yang berada di punggung Raja Go-
lok Bertangan Baja melayang keluar dari rongganya,
langsung meluncur ke arah Lingga bagai ditarik tangan tak nampak!
Saat golok itu tengah melayang, si Golok Emas me-
lancarkan babatan dengan senjata andalan ke arah
leher Lingga. Dan diyakininya betul kalau pemuda
berpakaian merah itu mendengar kedatangan seran-
gannya. Tapi yang diherankannya, pemuda itu tidak
hendak untuk mengelak atau menangkis.
Kenyataan ini membuat si Golok Emas merasa he-
ran. Dalam hatinya, bergayut pertanyaan. Apakah pe-
muda itu demikian yakin akan kekuatan tenaga da-
lamnya, sehingga tidak mau mengelakkan serangan"
Takkk! Si Golok Emas baru yakin dengan kekuatan tenaga
dalam si pemuda ini ketika mata goloknya tidak mam-
pu membuat leher itu buntung. Goloknya kontan ter-
pental kembali. Bahkan tangannya bergetar hebat.
Si Golok Emas kaget. Tapi lebih kaget lagi ketika
golok milik Katakili berhasil ditangkap Lingga. Bahkan pemuda berpakaian merah
itu menyerang tiba-tiba.
Goloknya langsung diayunkan ke arah perut. Begitu
cepat gerakannya sehingga....
Brettt! "Aaakh...!"
Si Golok Emas memekik memilukan ketika ujung
golok Lingga merobek lebar perutnya secara mendatar.
Darah segar langsung memancur deras. Golok Emas
limbung mendekap luka dengan mata terbelalak me-
mancarkan ketidakpercayaan.
Sementara pemuda berpakaian merah tidak mem-
pedulikannya. Bahkan tangan kirinya cepat mengibas.
Wesss! Plak! "Aaakh!"
Si Golok Emas mengeluh kesakitan ketika tangan-
nya yang menggenggam golok seperti terhantam baja!
Dia tahu, itu akibat pukulan jarak jauh yang dile-
paskan pemuda ini lewat kibasannya.
Si Golok Emas yang telah jatuh terbaring di tanah
tidak teringat lagi akan golok emasnya yang terpental akibat pukulan jarak jauh
pemuda itu. Goloknya sendiri melayang deras bagai dilemparkan. Dan arah yang
ditujunya adalah tempat Singa Laut berdiri
Singa Laut cepat menyadari akan adanya bahaya.
Maka dia cepat melompat ke samping untuk menyela-
matkan diri. Tapi betapa kaget hatinya ketika menya-
dari tubuhnya tidak bisa digerakkan sama sekali! Pa-
dahal, dia tidak melihat Lingga menggerakkan tangan
ke arahnya. Memang, dengan gerakan yang sukar di-
ikuti mata, pemuda ini telah mengirimkan totokan ja-
rak jauh terhadapnya, sehingga tubuhnya tak bisa di-
gerakkan lagi. Dan Singa Laut hanya bisa menatap dengan mata
terbelalak lebar, menanti datangnya maut melalui go-
lok emas milik Malimbong! Dan....
Crap! "Aaakh...!"
Tak bisa dihindari lagi golok emas itu menancap di
dahi Singa Laut. Begitu ambruk di tanah, tubuhnya
menggelepar bergelimang darah. Kemudian, diam tidak
bergerak lagi untuk selamanya! Mati!
"Ha ha ha...!"
Lingga tertawa bergelak penuh kegembiraan. Pan-
dangannya dilayangkan pada mayat-mayat dengan wa-
jah menyiratkan kepuasan.
"Dewa Arak...! Di mana pun kau berada..., dengarlah. Kau akan mati di tanganku!
Tunggulah saat kema-
tianmu...!"
Pemuda berpakaian merah ini mengeluarkan tan-
tangan dengan menghadapkan wajah ke empat penju-
ru. Setelah unek-uneknya keluar, Lingga menyelipkan
golok milik Raja Golok di pinggang. Kemudian kakinya terayun meninggalkan tempat
ini. *** Derrr! Getaran keras pada tanah yang dipijak, membuat
seorang pemuda berambut putih keperakan me-
nautkan alisnya. Wajahnya yang tampan dihadapkan
ke depan, tempat asal getaran pada tanah. Langkah-
nya yang semula lambat, kini agak dipercepat, sema-
kin memasuki kawasan hutan yang cukup lebat ini.
Pemuda bertubuh kekar terbungkus pakaian ungu
ini yakin getaran sedahsyat tadi tidak akan terjadi begitu saja. Yang jelas, ada
penyebabnya. Kalau tidak ada pohon tumbang, pasti ada batu sebesar gajah yang
jatuh ke tanah. Atau mungkin juga, jejakan kaki seorang tokoh persilatan yang
memiliki tenaga dalam
amat tinggi. Saat ini, jarak pemuda berpakaian ungu ini dengan
penyebab getaran itu cukup jauh juga. Rimbunnya
semak-semak dan onak duri beberapa kali harus dile-
wati dan disibaknya. Baru kemudian dia menemukan
penyebabnya, Sekitar lima tombak di depan pemuda ini, tampak
beberapa pohon yang batangnya tak kurang dari tiga
pelukan tangan orang dewasa tergolek. Satu di anta-
ranya masih utuh, tapi yang lain tengah dikerjakan sosok tubuh tinggi besar
terbungkus pakaian sederhana
berwarna gelap, untuk dijadikan potongan kecil.
Sosok tubuh tinggi besar ini berdiri membelakangi
pemuda berpakaian ungu. Dan rupanya, telinganya ti-
dak mendengar kedatangan pemuda itu. Dia terus si-
buk mengurusi pohon-pohonnya.
Melihat pakaiannya, pemuda berambut putih kepe-
rakan ini tahu kalau sosok itu adalah seorang pendu-
duk biasa saja. Tapi, tindakan yang dilakukan mem-
buat pemuda ini tahu kalau sosok tinggi besar itu bukan orang biasa.
Ternyata sosok tinggi besar. itu membelah-belah
batang pohon dengan cara luar biasa. Kaki kanannya
mencungkil batang pohon itu, sehingga terlempar ke
atas. Kemudian batang pohon itu disampok dengan
kedua sisi telapak tangan;
Cepat bukan main gerakan tangan sosok itu, se-
hingga yang terlihat hanya bayangan tak jelas diikuti dengan bunyi bergemuruh.
Sekejap kemudian batang
pohon itu telah jatuh ke tanah dalam bentuk poton-
gan-potongan berbentuk tongkat pendek. Bertumpuk
seperti diatur tangan terampil.
Pemuda berpakaian ungu ini mendesah kagum da-
lam hati. Tindakan ini saja sudah membuktikan keli-
haian sosok tinggi besar di depannya. Dan ini mem-
buat sikapnya waspada. Dia belum yakin, dari golon-
gan mana sosok tinggi besar itu. Seketika jalannya di-perlambat kembali, seperti
jalan biasa. Sosok tinggi besar itu rupanya merasakan kehadi-
ran orang lain. Seketika tubuhnya berbalik ketika pemuda berpakaian ungu itu
baru saja berhenti tiga tin-
dak di belakangnya.
Pemuda berambut putih menatap wajah sosok
tinggi besar yang juga menatapnya. Kini dua pasang
mata yang sama-sama tajam saling menatap penuh se-
lidik. "Ah!"
Kedua belah pihak sama-sama mendesah begitu
saling beradu pandang. Sorot mata masing-masing pi-
hak menyiratkan keterkejutan yang besar.
"Dewa Arak..."!" sebut sosok tinggi dengan kepala botak itu.
Pemuda berpakaian ungu yang tak lain Arya Buana
atau Dewa Arak ini masih menatap sosok lelaki berwa-
jah bersih tanpa kumis, jenggot, atau cambang. da-
hinya berkerut, karena merasa pernah mengenalinya.
Maka dicobanya untuk mengingat-ingat.
"Ha ha ha...!"
Lelaki berkepala botak itu tertawa bergelak penuh
rasa gembira. Tawanya keras dan lepas, namun sama
sekali tak ada nada ejekan atau permusuhan di da-
lamnya. "Menakjubkan sekali! Kau telah lupa padaku, Dewa Arak"! Kau yang telah pikun
atau aku yang terlalu banyak berubah! Ingat-ingatlah, Dewa Arak...!"
Alis Dewa Arak makin bertaut dalam. Suara itu
pun seperti pernah didengarnya. Berarti dia telah pernah bertemu dan bercakap-
cakap dengan lelaki berke-
pala botak ini.
"Ha ha ha...! Rupanya kau perlu bantuanku untuk mengingat-ingat, Dewa Arak.
Baiklah. Aku akan sedikit membantu ingatanmu!"
Lelaki berkepala botak ini segera menggerakkan
tubuhnya, seperti seekor ayam membersihkan debu
yang melekat di tubuhnya. Pakaiannya lepas dari tu-
buh dan melayang ke atas. Sehingga tubuhnya yang
kekar dan dipenuhi otot-otot melingkar terlihat. Kelihatan kokoh kuat, laksana
batu karang! "Ah..!"
Sepasang mata Arya terbelalak semakin lebar. Tapi,
wajahnya berseri-seri dan senyumnya mengembang.
"Setan Kepala Besi rupanya.... Luar biasa.... Kau telah sangat berbeda, Kek. Aku
sampai pangling. Kau
benar-benar berubah jauh...," desah Arya, setelah teringat siapa lelaki botak di
depannya. Lelaki tinggi besar yang ternyata Setan Kepala Besi
tertawa bergelak. Suaranya keras, sehingga membuat
sekitar tempat ini bergetar keras. Daun-daun sampai
berguguran dari pohonnya.
Dewa Arak 85 Golok Kilat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Syukur kau masih mengingatku, Dewa Arak, Ku-
pikir kau telah lupa. Lagi pula, apa untungnya men-
gingat-ingat orang sepertiku. Tidak ada yang luar biasa," sambut Setan Kepala
Besi, tenang. Arya ikut tertawa.
"Bagaimana mungkin aku bisa mengingat, kalau
kau telah berubah demikian jauh, Kek. Perbandingan-
nya bagaikan bumi dan langit. Kau telah berubah de-
mikian jauh! "
"Kau masih saja tidak berubah, Dewa Arak. Pandai merendah. Ha ha ha....!"
Dua tokoh yang saling mengenal itu tanpa sadar
teringat kembali akan masa perkenalan mereka (Untuk
jelasnya mengenai tokoh yang berjuluk Setan Kepala
Besi silakan baca serial Dewa Arak dalam episode:
"Memburu Putri Datuk" dan "Jamur Sisik Naga').
"Beginilah keadaanku sekarang, Dewa Arak," Setan Kepala Besi kembali membuka
percakapan, setelah
cukup lama termenung. "Aku telah menjauhkan diri dari kancah persilatan. Hidup
di tempat ini menjadi
seorang penebang kayu agar bisa hidup. Hasil dari
usahaku ini kujual dan ku belikan makanan. Terka-
dang, aku mencari binatang-binatang untuk disantap.
Menggelikan, bila mengingat dulu aku tidak perlu re-
pot seperti ini hanya untuk makan saja. Tapi, yahhh....
Nikmat sekali hidup seperti ini. Batin jadi terang tenang."
Arya mengangguk-angguk. Hatinya merasa bahagia
mendengar tokoh yang dulu merupakan pentolan du-
nia hitam, dan telah hampir membuatnya kelabakan
untuk mengalahkannya, sekarang telah sadar dan
menjauhi jalan sesat. Dewa Arak kagum bukan main.
Disadari betul kalau untuk melakukan hal demikian,
bukan suatu yang mudah.
"Apakah ada keperluan, sehingga kau bisa berada di daerah ini, Dewa Arak"!"
tanya Setan Kepala Besi, ingin tahu. Sepasang matanya tetap tajam mencorong,
namun telah kehilangan sinar kebuasannya. Ditatap-
nya wajah Arya penuh selidik. Seakan-akan ingin di-
baca, apa yang tersembunyi di hati pemuda berambut
putih keperakan di depannya.
"Sama sekali tidak, Kek. Aku di sini hanya mengikuti kemauan kakiku saja.
Meneruskan pengemba-
raan...." "Memberantas kejahatan dan tindak ketidakadilan dl muka bumi ini. Bukankah
demikian, Dewa Arak"!"
Sambung Setan Kepala Besi, memotong ucapan pemu-
da berambut putih keperakan itu.
Arya hanya tersenyum, tanpa memberi jawaban
sama sekali. "Karena tidak mempunyai urusan yang penting dan mendesak, aku ingin kau sudi
mampir di tempatku,
Dewa Arak. Kita rayakan pertemuan ini. Bagaimana"
Ingat, apa pun pilihan mu aku tidak peduli. Apa pun
jawaban yang kau berikan, setuju atau tidak, kau te-
tap harus mampir ke tempatku. Akan kusediakan ma-
kanan dan hidangan istimewa!" desah Setan Kepala Besi.
Arya menggeleng-gelengkan kepala dengan bibir
mengulum senyum.
"Ternyata masih ada sifatmu yang belum berubah, Setan Kepala Besi," kata Arya
merubah sapaannya.
Lelaki berkepala botak yang sebenarnya telah be-
rusia sekitar enam puluh tahun tapi masih memiliki
tubuh kekar itu menatap Dewa Arak dengan sinar ma-
ta penuh selidik.
"Kau masih suka memaksakan keinginanmu sendi-
ri." Wajah Setan Kepala Besi berseri-seri mendengar jawaban itu.
"Tidak ada salahnya kan, Dewa Arak" Toh, aku
memaksakan kehendak untuk membuat hal yang
baik," kilah lelaki berkepala botak itu, membela diri.
Arya mengangkat kedua bahunya. Dan Setan Kepa-
la Besi pun tersenyum lebar. Baginya, jawaban Dewa
Arak itu telah lebih dari cukup sebagai tanda persetujuan.
"Mari, Dewa Arak. Aku yakin Nuri akan gembira
melihatmu. Aku banyak cerita tentangmu padanya,"
ajak Setan Kepala Besi.
"Nuri"!" Arya mengernyitkan dahi, bingung dan heran. "Muridku, Dewa Arak," jawab
Setan Kepala Besi sambil tertawa bergelak. "Tidak usah kau pikirkan, karena
sebentar lagi akan melihatnya. Ayo!"
Arya tidak bisa berkata apa-apa lagi, karena Setan
Kepala Besi telah melesat cepat meninggalkan tempat
ini. Dia tidak membawa kayu-kayu yang telah selesai
dibelah-belahnya. Mungkin lupa. Arya hanya men-
gangkat bahu, kemudian melesat menyusul.
*** 4 "Nah! Inilah muridku, Dewa Arak. Nuri, yang ku ceritakan padamu itu," jelas
Setan Kepala Besi begitu mereka tiba di pondok. Sebuah rumah sederhana ber-
dinding papan dan beratap rumbia.
Sementara itu seorang gadis cantik berpakaian
serba merah tampak tersenyum manis. Dialah Nuri.
Tahi lalat di bawah hidung sebelah kiri menambah
manis wajahnya kala tersenyum.
Arya balas tersenyum sambil mengangkat tangan
kanannya ke atas sedikit.
"Inilah tokoh besar yang sering kuceritakan itu, Nuri. Dia adalah pendekar yang
memiliki kepandaian
amat tinggi, tapi memiliki watak rendah hati. Dewa
Arak!" kata lelaki berkepala botak itu, ganti memper-kenalkan Arya pada muridnya
Nuri menatap Arya tanpa menyembunyikan sinar
kekaguman yang memancar pada wajahnya. Dan ini
membuat selebar wajah pemuda berpakaian ungu itu
seperti panas. "Setan Kepala Besi memang pandai memuji, Nuri.
Padahal, apalah artinya kepandaianku bila dibanding
dengannya," timpal Arya merendah.
Setan Kepala Besi tertawa bergelak.
"Sekarang, kuharap kau bersedia menunggu di sini sebentar, Dewa Arak. Aku akan
mencarikan hidangan
yang istimewa untukmu. Kalau perlu apa-apa, bilang
saja pada Nuri. Dan kau, Nuri. Layani baik-baik tamu agung ini," pesan Setan
Kepala Besi pada muridnya.
Nuri mengangguk, mengiyakan. Tapi, Setan Kepala
Besi tidak melihat anggukannya karena telah keburu
melesat meninggalkan tempat ini. Yang tinggal hanya
Arya dan Nuri. "Biar ku ambilkan minuman dulu untukmu, Dewa
Arak," kata Nuri, segera berbalik dan masuk ke dalam.
Arya tidak sempat menimpali, dan hanya sempat
melihat bagian belakang tubuh gadis itu. Tak sengaja Dewa Arak memandang pinggul
Nuri. Sehingga tanpa
sadar, dia menelan ludahnya sendiri melihat pinggul
padat yang bergerak naik turun, ketika gadis berpa-
kaian merah itu berjalan. Hanya sebentar saja Nuri lenyap ke dalam, tak lama
sudah kembali dengan mem-
bawa sebuah guci kecil dan gelas bambu. Arya saat ini sudah duduk di kursi
dengan kedua tangan terletak di meja. Pandangannya tertuju ke bagian dalam
ruangan. Begitu melihat Nuri, jantungnya kontan berdenyut ke-
tika terbentur pada dua buah tonjolan di bagian dada.
Gadis ini terlihat manis dan menggiurkan. Buru-buru
Arya mengalihkan pandangan ke lantai.
"Sudah lama kau menjadi murid Setan Kepala Besi, Nuri"!" tanya Arya, begitu
gadis itu meletakkan guci dan gelas.
Kini Nuri duduk di depan Arya, dibatasi meja ber-
bentuk empat persegi panjang. Meja sederhana dari
kayu biasa. "Hampir lima belas tahun, Dewa Arak," jawab Nuri sambil menatap wajah Arya.
Sikapnya tenang, tidak
malu-malu dan penuh percaya diri.
Arya mengangguk-angguk kepala lebih dulu. Entah
apa arti anggukannya. Yang jelas, pertanyaannya tidak langsung disambung.
"Mungkin kau kenal tokoh yang berjuluk Dewi Pencabut Nyawa"!" tanya Arya lebih
jauh. "Oh, ya. Hampir aku lupa. Tolong panggil aku dengan nama saja, Nuri.
Bukankah sapaan Arya lebih mengandung keakraban
daripada Dewa Arak?"
Nuri tersenyum. Manis sekali. Bibirnya yang mun-
gil dan merah membasah jadi terlihat menggiurkan.
"Aku tidak keberatan dengan usulmu itu, De..., eh!
Arya. Tapi, aku pun punya usul juga untukmu."
"Apa itu, Nuri"!"
"Kau meminum apa yang tersaji di meja, tapi ada syaratnya. Tentu saja kalau kau
setuju," ujar Nuri, menggantung lanjutan perkataan di tengah jalan.
"Katakan saja, Nuri. Kalau tidak berat, bukan tidak mungkin ku penuhi," jawab
Arya, tak berani menjanji-kan. Terhadap gadis yang bersikap terbuka tapi tenang
seperti Nuri, Dewa Arak memang tidak berani berkata
sembarangan. "Aku ingin kau meminum arak ini tidak secara biasa. Maksudku minum dengan cara
tidak bisa dilaku-
kan sembarang orang," jelas Nuri.
Arya terdiam sebentar, kemudian tersenyum sambil
menggeleng-gelengkan kepala.
"Kau tidak berbeda dengan gurumu, Nuri. Benar
kata pepatah. Buah tidak jatuh jauh dari pohonnya"
kata Dewa Arak, seperti meledek.
"Apa maksudmu, Arya?" tanya Nuri sambil mengerutkan sepasang alisnya yang
berbentuk indah. Dia
masih belum paham maksud perkataan pemuda ini.
"Tidak ada maksud apa-apa," jawab Arya, kalem.
"Aku hanya sedikit kagum dengan kesamaan sikapmu dengan Setan Kepala Besi.
Begitu bertemu, gurumu
kan mengujiku. Dan kau pun bertindak serupa. Tapi..., tak apalah. Hitung-hitung
menikmati hidangan sambil
mengadakan pertunjukan."
Wajah Nuri berseri. Dan Arya harus mengakui ka-
lau gadis ini jadi bertambah cantik. Kulit wajahnya
yang putih, halus, dan mulus, jadi terlihat semakin
cemerlang. "Sekarang, lihatlah baik-baik, Nuri. Aku ingin meminum jamuan yang kau berikan."
Arya segera meruncingkan mulutnya. Sementara
Nuri memperhatikan penuh perhatian dengan sepa-
sang mata tanpa berkedip. Sepertinya, gadis ini merasa khawatir, bila matanya
berkejap, tidak akan melihat
pertunjukan yang luar bisa dan menakjubkan. Dan....
"Sruppp...!"
Sepasang mata Nuri yang bening indah jadi terbela-
lak lebar, menampakkan keterkejutan ketika dari da-
lam guci meluncur keluar arak yang disediakan. Ben-
tuknya memanjang, hingga kelihatan seperti sehelai
tambang, mulai dari bibir guci sampai mulut Arya.
Pemuda berambut putih keperakan itu sendiri den-
gan nekatnya merubah bentuk mulutnya untuk mene-
rima luncuran arak.
Gluk! Gluk! Terdengar bunyi tegukan seiring bergerak turun
naiknya tenggorokan Arya saat menelan yang masuk
ke dalam mulutnya. Dan tak lama, arak pun tandas.
Dewa Arak segera mengusap mulut dengan pung-
gung tangannya.
"Hebat! Kau benar-benar, hebat, Arya. Pantas guru amat kagum terhadapmu," puji
Nuri, tulus. "Tapi, apakah hanya cara itu saja" Apa tidak ada cara lainnya?"
Arya tidak berkata apa-apa. Hanya saja, tangannya
yang tidak tergantung di sisi pinggang diletakkan di bagian pinggir.
Dan lagi-lagi mata Nuri membelalak. Bahkan seka-
rang lebih lebar dari sebelumnya. Gadis ini melihat
arak itu melayang naik ke atas perlahan-lahan, bagai diangkat tangan kasat mata.
Setelah mencapai ketinggian tiga jengkal dari daun meja, guci itu terdiam.
Kemudian, guci berisi arak ini bergerak miring dengan
ujung atas mengarah pada cangkir bambu. Begitu
ujung guci menyentuh bibir bambu, dari dalamnya ke-
luar arak dan langsung masuk ke dalam cangkir bam-
bu. Nuri menatap penuh tidak percaya. Apalagi ketika melihat guci itu kembali
tegak, setelah arak di dalam cangkir bambu telah penuh. Dengan cara sama guci
ini kembali ke daun meja. Pelan bagai diletakkan tangan
manusia. Sekarang ganti cangkir bambu itu yang terangkat
naik, melayang menghampiri Dewa Arak, lalu bergerak
miring bagai dilakukan tangan. Maka arak yang berada di dalam cangkir meluncur
Misteri Anak Selir 3 Pusaka Para Dewa Karya Lovely Dear Pendekar Kembar 13
GOLOK KILAT Oleh Aji Saka Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting: Puji S.
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Aji Saka Serial Dewa Arak
Dalam episode Golok Kilat 128 hal ; 12 x 18 cm
http://duniaabukeisel.blogspot.com
1 Seorang pemuda kekar terbungkus pakaian merah
dengan ikat kepala juga berwarna merah duduk di atas sebongkah batu karang yang
berada di pantai Teluk
Menjangan. Kedua kakinya menjuntai, ke permukaan
laut. Sehingga setiap kali ombak datang, sepasang kakinya terhantam air. Namun,
semua itu tidak dipedulikannya, sikapnya tetap tenang dengan mata tajam
berkilat menatap jauh ke tengah laut.
Dengan pandangan yang tidak beralih sedikit pun,
pemuda itu menggerakkan tangannya, menyapu per-
mukaan bongkahan karang yang didudukinya. Gera-
kan tangan itu terhenti, ketika menyentuh bagian ka-
rang yang menonjol. Kemudian dengan gerak pelan, ja-
ri-jari tangannya mengepal.
Broll...! Tonjolan batu karang yang keras itu tanggal. Pe-
muda berpakaian merah ini membawanya ke depan
dada. Sekilas batu itu diperhatikan, lalu dilemparkannya ke atas.
Potongan karang itu meluncur turun kembali, sete-
lah kekuatan lemparan habis. Pada saat yang sama,
pemuda ini menggerak-gerakkan tangannya di atas
kepala seperti orang tengah memainkan pedang.
Wuk! Wuk! Terdengar bunyi menderu tajam, ketika tangan
pemuda ini bergerak. Dan begitu potongan karang ja-
tuh kembali tepat di atas paha kanannya, telah menja-di beberapa potongan!
Seakan-akan telah dibabat pe-
dang pusaka yang amat tajam.
Tepat ketika pemuda ini menatap ke depan kemba-
li, di tengah laut terlihat satu sosok seperti tengah me-
lesat di atas permukaan air yang bergelombang. Dan
pandangan matanya yang tajam segera saja mengeta-
hui kalau sosok itu memang tengah melesat. Namun
dia tidak terkejut sama sekali, kendati cara berlari sosok itu demikian enaknya,
seperti tengah berlari di tanah datar.
Semakin dekat semakin jelas kalau sosok yang me-
lesat di tengah laut itu adalah seorang lelaki berusia sekitar enam puluh tahun.
Walaupun sudah dimakan
usia, tubuhnya masih terlihat kokoh kuat Badannya
yang telanjang terlihat kekar. Penuh otot dan bulu-
bulu hitam tebal. Celananya hitam. Dan yang lebih
menarik perhatian, sebelah matanya tertutup kain hi-
tam. Lelaki tua bertubuh kekar ini sedikit berkerut wa-
jahnya ketika melihat seorang pemuda berpakaian me-
rah di tepi pantai. Meski demikian lesatannya yang
ternyata mengenakan dua bilah papan lebar di bawah
alas kakinya, tetap diteruskan. Papan-papan inilah
yang membuatnya mampu melesat di atas permukaan
air. Begitu dekat pantai, dengan bantuan gelombang lelaki bertelanjang dada itu
melompat ke depan.
"Hup!"
Di udara, tubuh lelaki itu bersalto beberapa kali,
melewati kepala pemuda berpakaian merah. Dan
agaknya dia ingin mendarat di belakang pemuda itu
untuk berjaga-jaga dari kemungkinan buruk yang
bakal terjadi. Keberadaan pemuda ini dengan sikap seperti itu, telah menimbulkan
perasaan curiga di ha-
tinya. Namun hampir lelaki bertelanjang dada ini terpe-
kik, begitu menjejakkan kaki di tanah. Ternyata, pe-
muda berpakaian merah itu sudah duduk dengan te-
nang di depan. Artinya, lelaki tua itu tidak mampu melewati atas kepala pemuda
ini. Sikapnya tidak peduli dengan wajah menunduk menekuri tanah. Kini pemuda itu
sudah berpindah duduk di batang sebuah pohon
kelapa yang tumbang.
Mata lelaki bertelanjang dada yang hanya tinggal
sebelah itu menyipit. Bagaimana mungkin pemuda
berpakaian merah itu bisa berada di tempat ini tanpa terlihat bergeraknya"
Padahal tadi, saat melewati kepalanya, pemuda ini masih duduk tenang di
tempatnya"
Perasaan tidak yakin, membuat lelaki ini menoleh
ke belakang, ke tempat tadi pemuda itu berada. Ba-
rangkali saja ada dua orang muda yang mirip pakaian
dan potongan tubuhnya.
Tapi dugaan lelaki bertelanjang dada ini pupus se-
ketika, karena di tempat itu tidak ada apa-apa sama
sekali. Kosong! Berarti pemuda ini telah pindah, entah dengan cara bagaimana!
Lelaki bertelanjang dada ini kembali mengalihkan
perhatian ke depan. Kewaspadaannya mulai diting-
katkan. Disadari, di samping telah terbukti kalau pemuda yang sikapnya tidak
peduli ini memiliki kepan-
daian tinggi, pasti juga bermaksud tak baik. Kalau tidak, untuk apa mencegatnya"
Sungguhpun demikian, lelaki bertelanjang dada ini
pura-pura tidak tahu. Bagaikan orang yang tidak melihat adanya siapa pun di situ
kakinya terayun hendak
pergi. Pandangannya diarahkan ke depan, lalu terus
berjalan secara biasa melewati bagian kanan pemuda
ini. Jaraknya sekitar satu tombak dan sisi lelaki bermata satu ini.
Lelaki bertelanjang dada menghela napas lega keti-
ka telah puluhan tindak kakinya melangkah, tidak ju-
ga merasakan apa-apa. Maka kemampuannya segera
dikeluarkan, berlari cepat disertai seluruh ilmu meringankan tubuhnya.
Kini dengan kedua kaki bagai tidak menginjak ta-
nah, tubuh lelaki bertelanjang dada ini jadi tak jelas saat melesat. Yang
kelihatan hanya kelebatan bayangan yang bagaikan hantu tengah terbang mencari
mangsa! "Heh"!"
Tapi belum jauh berlari, mendadak lelaki ini ber-
henti. Matanya langsung menatap terbelalak ke depan, tanpa dapat menyembunyikan
sinar keterkejutan dan
kengerian. Sekitar sepuluh tombak di depannya, tam-
pak pemuda berpakaian merah yang tadi ditinggalkan-
nya! Seperti juga sebelumnya, pemuda itu tampak da-
lam sikap tak acuh! Kali ini tubuhnya rebah miring di atas batang sebuah pohon
yang juga telah tumbang di
tanah. Lelaki bertelanjang dada ini merasakan bulu ku-
duknya berdiri. Dirasakannya adanya ancaman ba-
haya. Sebagai seorang waras, dia tahu kalau pemuda
berpakaian merah itu sengaja mencari urusan den-
gannya! Juga amat disadari pemuda ini memiliki kepan-
daian amat tinggi! Setidak-tidaknya ilmu lari cepatnya!
Sehingga tak heran kalau pemuda itu selalu berada
di depannya, tanpa kelihatan melakukan pengejaran!
Dan disadari pula, tidak ada gunanya terus menghin-
dari orang yang luar biasa ini.
Dan meski gentar bukan main, lelaki telanjang da-
da ini mengayunkan kaki mendekati pemuda di de-
pannya. Langkahnya hati-hati, takut membuat pemu-
da aneh itu marah! Padahal, pemuda berpakaian me-
rah ini tidur miring dengan tubuh memunggungi.
"Bukankah kau orang yang berjuluk Singa Laut?"
Tiba-tiba terdengar suara bernada pertanyaan,
membuat lelaki bermata satu ini sampai menghentikan
ayunan kakinya. Saat ini jarak antara mereka berselisih dua tombak. Meski tidak
melihat, lelaki ini yakin kalau ucapan itu keluar dari mulut pemuda di depannya;
"Benar! Akulah orang yang kau maksudkan itu.
Dan kau sendiri, siapa Anak Muda?"
Suara lelaki bermata satu ini terdengar kering. Pe-
rasaan ngeri yang mencekam semakin besar, begitu
mendengar nada suara yang demikian dingin.
"Namaku Lingga. Hm... Apakah kau masih kepingin hidup lebih lama lagi"!" gumam
pemuda yang mengaku bernama Lingga. Nada suaranya semakin dingin saja.
Lelaki bermata satu yang berjuluk Singa Laut men-
gerutkan keningnya. Sepanjang ingatannya, dia belum
pernah bertemu dengan pemuda berbaju merah yang
bernama Lingga ini. Lalu, kenapa pemuda ini menga-
jukan pertanyaan yang bernada ancaman seperti itu"
"Apa maksudmu, Anak Muda" Aku yakin, antara
kita tidak pernah ada urusan. Jadi, kuharap kau sudi membiarkanku lewat," sahut
Singa Laut, setelah menelan ludah untuk membasahi tenggorokannya yang
mendadak kering karena perasaan tegang.
Singa Laut sebenarnya bukan seorang tokoh ko-
song. Belasan tahun yang lalu, julukannya amat ter-
kenal sebagai kepala bajak laut yang amat ditakuti. Di samping kepandaiannya
tinggi, anak buahnya pun banyak. Tapi keberadaan pemuda berpakaian merah
yang demikian luar biasa, serta sikapnya yang berwi-
bawa, mampu membuat ciut nyali orang sekejam dan
seberani Singa Laut!
"Cuhhh...!"
Pemuda berpakaian merah itu meludah.
"Apa yang kau katakan itu memang benar, Singa
Laut" Di antara kita memang tidak ada urusan. Tapi
bisa saja sebaliknya, apabila aku menghendaki. Dan
mungkin perlu kuberitahukan, Singa Laut. Setiap
orang yang berurusan denganku, pasti akan mengala-
mi kematian mengerikan!" tukas Lingga bernada ancaman.
Suasana menjadi hening sejenak, begitu pemuda
berpakaian merah ini menutup pembicaraannya. Singa
Laut masih terdiam, tidak mengerti maksud pemuda
itu. Tadi memang terdengar antara mereka memang ti-
dak ada urusan. Lalu, untuk apa pemuda ini mencegat
perjalanannya" Aneh!
Di samping itu, Singa Laut sadar kalau tengah ber-
hadapan dengan seorang pemuda berwatak kejam!
Seorang yang mungkin mampu membunuh manusia,
tak ubahnya membunuh nyamuk! Dugaan itu timbul,
karena dia pun orang semacam itu dulunya. Maka si-
kapnya harus berhati-hati terhadap Lingga.
"Aku tahu, kau mempunyai sebuah senjata berna-
ma Golok Kilat! Dan aku bersedia untuk meninggalkan
tempat ini, tanpa mengganggumu. Tapi serahkanlah
pedang itu padaku, Singa Laut! Bagaimana"!" Linggar menawarkan.
Singa Laut sampai terjingkat ke belakang bagai
disengat ular berbisa, saking kagetnya. Bukan hanya
karena mendengar pemuda berpakaian merah tahu
mengenai golok itu. Tapi juga karena melihat kejadian yang baginya amat luar
biasa! Singa Laut melihat jelas kalau Lingga tidak bertin-
dak apa-apa. Tapi batang pohon yang ditidurinya langsung hancur berantakan
menjadi tepung! Kejadian ini
saja sudah cukup membuat hatinya bergidik! Itu pun
masih ditambah kejadian menakjubkan, ketika tubuh
pemuda berpakaian merah itu mengambang sekitar
dua jengkal dari tanah saat batang pohon yang ditidurinya hancur.
*** "Bagaimana Singa Laut"!" tanya Lingga, setelah membalikkan tubuhnya dan berdiri
tegak menghadap
lelaki bertelanjang dada itu. Kedua orang ini sekarang berdiri berhadapan dalam
jarak dua tombak.
Wajah Singa Laut semakin pias. Dirasakan adanya
ancaman dalam pertanyaan yang kedengarannya se-
pele. "Aku bukan sejenis orang sabar, Singa Laut! Apabila kau tidak memberi jawaban
sama sekali, jangan se-
sali tindakanmu itu!" lanjut Lingga dengan suara tenang bernada semakin dingin.
Singa Laut menelan ludah beberapa kali, untuk
membasahi tenggorokannya agar bisa berkata-kata
lancar. "Bukannya aku tidak mau memberi senjata itu pa-
damu, Anak Muda. Tapi, ketahuilah. Aku tidak memi-
likinya. Senjata itu..."
"Rupanya kau menganggapku bermain dengan an-
caman yang kukatakan, Singa Laut"!" selak Lingga membuat kata-kata Singa Laut
terhenti. Sepasang matanya beringas seperti mata seekor harimau lapar
mencium darah. "Kau berani membohongiku"! Dikira aku tidak tahu, kalau kau
merampasnya dari pasukan
kerajaan yang hendak mempersembahkannya kepada
kerajaan seberang sebagai hadiah"!"
"Hal itu memang tidak ku sangkal, Anak Muda," kilah Singa Laut, cepat-cepat.
"Tapi, senjata itu telah di-
rampas seorang pendekar..."
"Seorang pendekar..."!" ulang pemuda berpakaian merah ini. "Siapa orang itu"!"
"Raja Golok Bertangan Baja!" jelas Singa Laut, penuh perasaan dendam dan sakit
hati. Lingga tersenyum sinis.
"Apakah kau hendak membalas dendam pa-
danya"!" tanya Lingga.
Singa Laut mengangguk pasti.
"Itulah sebabnya aku keluar dari pulau tempat pe-nyepianku. Lima tahun yang
lalu, aku dikalahkan. Go-
lokku pun dirampas. Sesuai perjanjian, sekarang saatnya kami bertarung lagi.
Karena, aku telah berjanji untuk menebus kekalahan lima tahun yang lalu," jelas
Singa Laut "Di mana kalian berjanji untuk bertemu"!" desak Lingga, agak bernafsu. Jelas
sekali kalau dia sangat menginginkan Golok Kilat itu.
"Di Lembah Iblis," jawab Singa Laut
"Dan..., kau yakin bisa mengalahkannya"!" tanya Lingga bernada mengejek.
Tidak sembarangan Lingga dengan perkataannya.
Karena, dia telah mendengar tentang tokoh yang berjuluk Raja Golok Bertangan
Baja, yang merupakan da-
Dewa Arak 85 Golok Kilat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tuknya golongan putih! Mana mungkin tokoh seperti
Singa Laut yang hanya pemimpin bajak laut mampu
mengunggulinya"! Jangankan berlatih lima tahun. Biar berlatih sampai lima puluh
tahun pun, tak akan
mungkin bisa menandingi datuk kaum putih itu.
"Tidak," jawab Singa Laut jujur. "Tapi, barangkali saja nasibku tengah mujur.
Tambahan lagi..., aku tidak sendirian. Ada beberapa orang kawan segolongan
yang bersedia bekerja sama denganku. Mereka juga
mempunyai urusan dengan Raja Golok Bertangan Baja
yang sombong itu!"
Lingga terdiam sejenak. Dahinya berkernyit dalam.
Sepasang matanya yang tajam berputar sebentar.
"Hm.,.. Aku mendengar adanya langkah-langkah
kaki mendekati tempat ini. Mungkin mereka orang-
orang yang kau maksudkan," gumam Lingga tenang.
Pemuda itu tidak merasa khawatir sedikit pun ka-
lau nanti Singa Laut akan mengeroyok bersama ka-
wan-kawannya. Wajah Singa Laut berseri bercampur heran. Kete-
rangan pemuda ini jelas membuatnya gembira. Dan
senyumnya melebar ketika melihat dua sosok tengah
melesat cepat dari bagian depan, atau dari arah belakang Lingga. Dan
keheranannya yang bercampur rasa
terkejut, ketika melihat dua sosok yang tengah mendatangi itu memang kawannya.
Sungguh tidak disangka
kalau Lingga bisa mengetahui kehadiran mereka. Pa-
dahal, jaraknya masih amat jauh.
"Singa Laut...!"
Dua sosok yang bergerak mendatangi itu langsung
berseru, ketika telah berada lebih dari delapan tombak.
Sambil terus berlari, dua sosok itu menyempatkan diri untuk melirik pada pemuda
berpakaian merah yang
sekarang berdiri bersandar pada sebatang pohon den-
gan sikap tidak peduli.
"Syukur kalian telah datang, Braja, Gintung!" sambut Singa Laut, gembira.
"Kau meragukan janji kami?" tanya yang berkulit hijau. Suaranya parau. Dan
lehernya berkedut-kedut
keras, ketika berbicara seperti leher katak! Dialah yang bernama Braja.
"Apa yang dikatakan saudaraku ini benar, Singa
Laut! Bagi kami, janji adalah segalanya! Apalagi, bila janji itu sudah
menyangkut orang usilan yang berjuluk
Raja Golok Bertangan Baja," sahut sosok yang berkulit hitam. Namanya, Gintung.
Gintung mempunyai satu tangan. Sedang tangan
yang satu mulai dari pergelangan tangan, diganti baja yang ujungnya berkait.
Sehingga penampilannya cukup mengiriskan.
"Tentu saja kau tidak meragukan janji orang-orang seperti kalian"! Mana mungkin
pemimpin Perampok
Gunung Wilis akan mengingkari janji"! Tunggu apa la-
gi"! Mari lata berangkat!" ajak Singa Laut.
Dua lelaki yang merupakan dedengkot Perampok
Gunung Wilis saling berpandang dengan senyum men-
gembang. Kemudian, seperti diatur, mereka mengang-
guk bersamaan. Singa Laut pun tersenyum. Kemudian tanpa me-
nunggu lebih lama lagi, ketiga dedengkot rampok ini
segera melesat meninggalkan tempat itu, didahului
Singa Laut. Sedangkan Braja dan Gintung mengikuti di belakangnya.
Sementara itu keheranan mulai menggayuti hati
Braja dan Gintung, ketika menyadari kalau hanya me-
reka bertiga yang berangkat. Sedangkan pemuda ber-
pakaian merah yang berada di tempat itu tidak ikut!
Padahal, semula mereka mengira kalau pemuda itu
merupakan kawan. Atau paling tidak, murid Singa
Laut! Kalau bukan, mengapa pemuda tadi berada di si-
tu, tanpa tindakan apa-apa dari Singa Laut"
Dua pemimpin Perampok Gunung Wilis ini sebe-
narnya ingin menanyakan. Tapi karena Singa Laut se-
perti tidak memberikan kesempatan, mereka pun di-
am. *** "Aneh...."
Sebuah suara mendesah bernada heran meluncur
dari mulut seorang kakek tinggi kurus berpakaian
abu-abu. Kepalanya menengadah, memandang langit.
Kedua tangannya di belakang punggung.
"Benarkah pusaka yang kudapatkan itu golok Ki-
lat"! Kalau benar, mengapa tidak kutemukan kedah-
syatannya seperti yang dulu tersisa" Apakah ini golok palsu?"" lanjut kakek
tinggi kurus ini, seperti bertanya sendiri.
Sambil berkata demikian, kakek ini menggerakkan
pinggulnya sedemikian rupa. Maka golok di dalam sa-
rung yang tersampir di punggung pun melesat ke atas.
Seketika, kakek itu mengulurkan tangan, menangkap
begitu senjata tajam itu meluruk turun. Tindakannya
bagaikan tanpa melihat sama sekali.
Kakek berpakaian abu-abu itu mendekatkan golok
ke wajahnya, mencium beberapa saat. Kemudian di-
perhatikannya adanya ukiran-ukiran di bagian sisi kanan dan kiri batang golok.
Cukup lama. "Tidak salah lagi," desah kakek ini lagi, penuh keyakinan. "Inilah Golok Kilat
itu. Aku bisa merasakan pengaruhnya. Tapi, mengapa kedahsyatannya tidak
pernah muncul"!"
Setelah menutup ucapan dengan pertanyaan yang
entah kapan bisa terjawabnya, golok itu ditudingkan
pada sebatang pohon yang berada dalam jarak lima be-
las tombak darinya.
"Tidak terjadi apa-apa," keluh kakek ini sambil me-nurunkan tangannya yang
memegang golok ke sisi
pinggang. "Ataukah, kedahsyatan yang dikatakan itu hanya sekadar desas-desus
belaka" Ataukah..., ada
rahasia yang harus kupecahkan di sini"!"
"Katakili...!"
Mendadak terdengar seruan keras, membuat kakek
berpakaian abu-abu menoleh ke kanan, arah asal sua-
ra itu. Sebentar sepasang matanya terbelalak ketika
mengetahui pemilik suara. Ternyata sosok itu adalah
kakek berpakaian coklat dengan jenggot panjang men-
juntai. "Malimbong...," desis kakek berpakaian abu-abu yang dipanggil Katakili. "Apa
maksudmu datang kemari"! Jangan katakan kalau si Golok Emas yang menyu-
ruhmu. Ataukah, dia telah begitu tak tahu malu. Se-
hingga, dia berani mengingkari janji yang telah dibuatnya sendiri?"
Kakek berpakaian coklat berjenggot panjang yang
dipanggil Malimbong tersenyum sambil mengelus jeng-
gotnya. "Tidak ada yang menyuruhku untuk datang kema-
ri, Katakili. Dan tidak akan pernah ada yang akan menyuruhku!" tandas Malimbong,
mantap. "Apa maksudmu, Malimbong"!" tanya Katakili sambil mengerutkan sepasang alisnya.
Heran. "Kedatanganmu kemari tanpa sepengetahuan si Golok
Emas"!"
"Tanpa sepengetahuan si Golok Emas!" ulang Malimbong sambil tertawa terkekeh.
"Kau lucu sekali, Katakili! Apakah kau tidak melihat ini"!"
Malimbong langsung menghunus golok yang terse-
lip di pinggang.
Sring! Terdengar bunyi nyaring, begitu muncul sinar ke-
kuningan yang menyilaukan mata.
"Golok Emas..."!" desis Katakili kaget, sambil menatap tangan kanan Malimbong
yang menggenggam
golok berbatang kuning. Golok Emas!.
"Syukur kau masih mengenalnya, Katakili. Dan
agar kau tidak semakin larut dalam kebingungan, per-
lu kuberitahukan bahwa orang yang berhak memegang
golok emas ini adalah aku! Malimbong! Si Golok Emas
yang dulu kau kalahkan, telah kukalahkan! Jadi, aku
sekarang yang berhak menyandang julukan si Golok
Emas! Akulah yang menjadi Ketua Perguruan Golok
Maut!" Katakili menghela napas berat, tidak merasa heran
lagi sekarang. Dia telah tahu kalau Perguruan Golok
Maut mempunyai peraturan aneh. Setiap anggota per-
guruan dapat menjadi ketua bila mampu mengalahkan
sang ketua. Bila sang ketua dapat dikalahkan, golok
emas akan jatuh di tangan si pemenang. Yang nan-
tinya juga akan berjuluk si Golok Emas, sekaligus
menjadi ketua baru Perguruan Golok Maut (Untuk je-
lasnya, silakan baca episode: "Memburu Putri Datuk").
"Jadi..., kedatanganmu sekarang untuk menan-
tangku bertarung, Malimbong"!" tanya Katakili dengan nada pahit.
"Lalu..., kau pikir apa"! Berbincang-bincang den-ganmu" Buang-buang waktu saja!
Aku datang untuk
membuktikan, siapa di antara kita yang patut bergelar Raja Golok! Hai, Raja
Golok Bertangan Baja! Siapkah
kau menerima tantanganku ini"!"
"Tentu saja, Golok Emas!" sambut Katakili yang berjuluk Raja Golok Bertangan
Baja dengan mantap.
Kali ini Malimbong pun dipanggil dengan julukan, ka-
rena kakek jenggot panjang itu memanggilnya demi-
kian. "Kalau begitu, bersiaplah, Raja Golok! Aku ingin membuktikan, kalau Ketua
Perguruan Golok Maut lebih berhak menyandang julukan Raja Golok daripada
kau! Akan ku tebus kekalahan Golok Emas terdahulu!"
"Tunggu sebentar, Golok Emas!" cegah Raja Golok,
ketika melihat Malimbong sudah bersiap membuka se-
rangan. Si Golok Emas mengurungkan maksudnya. Dita-
tapnya wajah Katakili lekat-lekat.
"Ada apa lagi, Raja Golok"! Jangan katakan kalau kau belum siap menghadapiku!"
*** 2 Raja Golok Bertangan Baja menatap wajah si Golok
Emas tak kalah tajam. Dua pasang mata yang sama-
sama berkilatan mengandung kekuatan tenaga dalam
tinggi, saling bentrok. Seakan-akan mereka hendak
mengadu kekuatan melalui pandang mata.
"Aku bukan seorang pengecut, Golok Emas! Setiap tantangan yang tertuju padaku,
pasti akan ku sambut!
Tapi perlu kau ketahui. Kedatanganmu tanpa perjan-
jian. Padahal, sekarang-sekarang ini ada tokoh hitam yang juga ingin membalaskan
kekalahannya padaku.
Dia berjuluk Singa Laut. Jadi, kuharap kau sabar me-
nunggu sebentar. Dan..."
"Aku tidak peduli dengan urusanmu, Raja Golok!"
potong si Golok Emas, cepat sambil mengibaskan tan-
gan kirinya. "Jangankan hanya Singa Laut. Biar Malaikat Laut pun, aku tidak akan
mau mengalah. Aku da-
tang duluan. Jadi, akulah yang lebih dulu bertarung.
Kecuali..., bila kau mengaku kalah dan menyerahkan
Julukan Raja Golok padaku...."
"Pandanganmu benar-benar picik, Golok Emas.
Aku tidak mengkhawatirkan apa-apa. Apalagi nyawa-
ku! Yang ku takutkan, hanya apabila Singa Laut me-
narik keuntungan dalam hal ini! Di saat kau dan aku
telah lelah bertarung, dia datang. Maka dengan mudah kau dan aku akan habis
digilasnya. Apalagi kalau dia datang bersama kawan-kawannya. Pikirkanlah, Golok
Emas"!"
Ketua Perguruan Golok Maut itu terdiam sebentar.
"Apa boleh buat, Raja Golok! Bila itu terjadi, anggap saja satu kesialan. Biar
bagaimanapun juga, itu
lebih baik daripada pertarungan kita nanti tak seimbang. Sebab, kau kehabisan
tenaga, setelah melawan
Singa Laut!" tandas si Golok Emas.
"Kalau begitu keinginanmu, apa boleh buat! Aku
sudah siap, Golok Emas!" sambut Raja Golok, merasa tak ada pilihan lain lagi.
Baru saja kata-kata Raja Golok Bertangan Baja se-
lesai, si Golok Emas telah menerjangnya.
"Hiaaat..!"
Golok di tangan Ketua Perguruan Golok Maut itu
lenyap bentuknya ketika diputar-putar. Yang terlihat hanya segulungan sinar
kuning keemasan yang meluncur ke arah Raja Golok.
"Ilmu golok yang bagus sekali...!" puji Raja Golok Bertangan Baja, tulus. Golok
baja yang tadi telah dimasukkan, kembali dikeluarkan dan dipergunakan un-
tuk menangkis serangan.
Trang! Trang! Terdengar bunyi berdentang nyaring beberapa kali
ketika dua batang golok berbenturan.
Si Golok Emas menggeram penuh perasaan pena-
saran ketika tubuhnya terhuyung-huyung dua langkah
dengan tangan bergetar hebat. Sementara, Raja Golok
Bertangan Baja tampak hanya bergeming sedikit.
"Kau memang hebat, Katakili. Tak aneh kakak se-
perguruanku dulu kalah di tanganmu. Tapi, aku be-
lum kalah!" dengus Golok Emas.
"Chiaaa...!"
Begitu gema ucapan itu lenyap, si Golok Emas
kembali menerjang. Gerakannya lambat, tapi penuh
tenaga seperti gerak seekor gajah! Tapi anehnya, ba-
tang goloknya kelihatan jadi banyak! Bahkan itu pun
ditingkahi bunyi mendesing nyaring melengking, seba-
gaimana bunyi yang keluar dari seruling.
Untuk kesekian kalinya Raja Golok Bertangan Baja
merasa kagum. Dia sadar, Malimbong jauh lebih lihai
daripada si Golok Emas yang dulu dikalahkannya. Ba-
tang golok yang seperti berjumlah banyak dan bunyi
seruling, seharusnya akan terjadi bila Malimbong
menggerakkan goloknya dengan cepat! Tapi nyatanya,
dia mampu melakukannya dengan gerakan lambat.
Tapi Katakili tidak akan mendapat gelar Raja Golok
bila mendapat serangan seperti ini saja sudah kelabakan. Dia hanya berdiri tegak
dengan golok diacungkan ke atas tinggi-tinggi. Sepasang matanya terpejam. Tidak
terlihat kakek ini menggetarkan tangan, tapi ba-
tang goloknya bergetar keras hingga memperdengarkan
bunyi mengaung.
Dan bunyi mengaung ini langsung menindih bunyi
melengking yang timbul dari getaran golok Malimbong.
Sedangkan serangan-serangan si Golok Emas sendiri,
berhasil dipunahkan Raja Golok Bertangan Baja tanpa
menggeser kedudukan sama sekali. Dan masih dengan
mata terpejam, kakek bernama Katakili itu mengelak-
Dewa Arak 85 Golok Kilat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kan setiap serangan. Tubuhnya doyong ke kanan dan
kiri, sehingga belum ada satu serangan pun yang
mendarat di tubuhnya.
*** Sementara itu si Golok Emas dan Raja Golok Ber-
tangan Baja sama sekali tidak tahu kalau saat perta-
rungan dimulai, telah ada beberapa sosok tengah men-
gawasi. Tiga sosok berada di kerimbunan semak-
semak. Sedangkan satu sosok lagi, berada di atas se-
batang pohon. "
Dan disaat terdengar bunyi mendesing akibat se-
rangan si Golok Emas, tiga sosok yang tak lain dari
Singa Laut, Braja, dan Gintung yang merupakan pe-
mimpin Perampok Gunung Wilis ini merasa tersiksa
bukan main. Mereka sampai duduk bersila dan menge-
rahkan seluruh tenaga dalam untuk melawan penga-
ruh yang menyakitkan. Tapi, toh mereka tetap kewala-
han. Sekujur tubuh mereka menggigil keras. Peluh se-
besar biji jagung telah membanjiri wajah yang menye-
ringai kesakitan. Apabila siksaan ini terus berlang-
sung, Singa Laut dan kedua kawannya akan terluka
dalam yang amat parah! Bahkan, bukan tidak mung-
kin akan tewas!
"Auuung... "
Di saat yang mengkhawatirkan, mendadak terden-
gar bunyi mengaung, menekan bunyi desingan yang
menyiksa. Singa Laut dan kedua kawannya langsung
merasakan kalau pengaruh yang membuat penderi-
taan hebat, semakin berkurang. Dan kini berganti rasa nyaman yang membuat mereka
terbuai nikmat!
Singa Laut dan dua Pemimpin Perampok Gunung
Wilis tidak segera menyadari akan kedahsyatan penga-
ruh bunyi mengaung. Mereka tidak melakukan perla-
wanan sama sekali. Rasa yang diterima demikian nik-
mat, sehingga membuat mereka malah mengikuti.
Ketiga tokoh sesat ini baru menyadari ketidakbere-
san ini ketika merasakan sekujur otot-otot dan urat-
urat syaraf terasa lelah bukan main. Demikian pula
mata mereka. Tidak ada keinginan lain lagi bagi mere-ka, kecuali merebahkan diri
dan tidur. Hanya itu yang dibutuhkan, karena mata sudah hampir tidak dapat
lagi dibuka! Penderitaan yang sama juga dialami si Golok Emas!
Dicobanya sekuat tenaga untuk semakin memperkuat
bunyi desingan goloknya. Tapi, ternyata dia tidak kua-sa! Bunyi mengaung yang
ditimbulkan Raja Golok be-
nar-benar tidak mampu ditanggulangi, dan merasuk
tanpa bisa tertahan. Halus tapi pasti. Dan anehnya,
langsung menyerang bagian-bagian tertentu yang ber-
hubungan dengan syaraf istirahat!
Kini serangan-serangan si Golok Emas mengendur
dengan cepat. Bahkan terlihat ngawur karena rasa ke-
lelahan yang amat sangat. Dan bila hal ini terus berlangsung, Ketua Perguruan
Golok Maut ini akan roboh.
Meskipun demikian, bila dibandingkan Singa Laut
dan kedua kawannya, keadaan si Golok Emas jauh le-
bih baik. Ketiga tokoh sesat itu telah rebah di tanah berumput, setelah beberapa
kali menggeliat dan men-guap! Mereka telah tertidur!
Tak, tak, takkk...!
Mendadak terdengar bunyi bergemeletak seperti
ada dua batang logam beradu, saat keadaan si Golok
Emas telah semakin mengkhawatirkan. Bunyi yang di-
yakini berasal dari campur tangan orang lain, menye-
ruak mengatasi bunyi mengaung yang timbul dari ge-
taran golok si Raja Golok! Bunyi itu bahkan mampu
menekan pengaruh bunyi mengaung. Sehingga, kea-
daan si Golok Emas berangsur-angsur pulih. Seran-
gan-serangan pun semakin menghebat
Raja Golok menyadari kalau ada orang yang telah
ikut campur tangan dalam pertempuran. Rasa tidak
senangnya pun timbul. Apalagi, karena mengetahui
kalau orang usilan itu membantu si Golok Emas.
Sambil melempar tubuh ke belakang, Raja Golok
mengedarkan pandangan ke sekitarnya. Dia tahu ka-
lau orang yang membantu Ketua Perguruan Golok
Maut itu memiliki kepandaian tinggi. Hal ini bisa diketahui tak hanya dari bunyi
bergemeletak yang telah
mampu menekan bunyi aungan goloknya, tapi asalnya
pun tidak bisa dilacak. Itu berarti orang yang ikut campur tangan memiliki ilmu
'Memindahkan Suara'.
Padahal, ilmu itu hanya bisa dimiliki tokoh yang memiliki tenaga dalam sukar
diukur. Jantung Raja Golok berdetak lebih cepat, ketika
akhirnya berhasil mengetahui orang usil yang ikut
campur tangan dalam urusannya. Orang itu ternyata
duduk bersila di atas sebatang cabang pohon, tiga
tombak di depannya. Tapi hebatnya, cabang yang
hanya sebesar ibu jari kaki itu tidak melengkung sama sekali! Seakan-akan yang
berada di atasnya adalah
seekor burung gereja!
Dari sini saja bisa diketahui kalau sosok usilan itu memiliki ilmu meringankan
tubuh yang amat luar biasa. Dan keterkejutan Raja Golok makin bertambah
ketika melihat sosok yang ternyata seorang pemuda
tampan berpakaian merah dengan ikat kepala juga me-
rah itu, tengah membenturkan dua helai daun. Ru-
panya, bunyi gemeletak keras berasal dari benturan
dua helai daun itu. Gila!
Sementara itu, pemuda berpakaian merah yang tak
lain Lingga hanya tersenyum dingin ketiga beradu
pandang dengan Raja Golok Bertangan Baja. Senyum-
nya hanya sebentar saja, karena Raja Golok Bertangan Baja telah kembali
disibukkan oleh serangan-serangan si Golok Emas yang semakin gencar.
Pemuda berpakaian merah itu kembali tersenyum
dingin. Sementara matanya tak lepas dari pertarungan yang tengah berlangsung,
tangan kanannya menjulur
ke atas dengan jari-jari terbuka.
Brrr...! Bagaikan dihembus angin keras, puluhan daun
pohon yang berada di atas kepala Lingga berguguran.
Tapi, semuanya melayang ke arah tangannya yang ter-
buka dan jatuh bertumpuk-tumpuk!
Masih tanpa mengalihkan pandangan, pemuda ini
mengibaskan tangannya.
Wesss...! Seketika, puluhan daun itu melayang dengan ke-
cepatan tinggi, sampai menimbulkan bunyi berdesing
nyaring. Arah yang dituju kali ini adalah si Golok
Emas. Si Golok Emas terkejut bukan main, ketika menya-
dari adanya serangan gelap. Buru-buru dipapaknya
daun-daun itu dengan golok!
Brettt...! Brettt...!
Bunyi sayatan keras terdengar berkali-kali ketika
batang golok si Golok Emas berbenturan dengan daun-
daun yang bertubi-tubi meluncur ke arahnya secara
satu persatu. Setiap terjadi benturan, tangan si Golok Emas kontan bergetar
hebat Bret! "Aaakh...!"
Pada benturan kelima jari-jari tangan si Golok
Emas tak kuat lagi mencekal golok, hingga terlepas da-ri pegangan. Dan ini
sampai membuat seruan tertahan
dari mulutnya. Sementara serangan daun-daun itu
masih meluncur ke arahnya.
Cepat bagai kilat Ketua Perguruan Golok Maut ini
membanting tubuhnya ke tanah, lalui menjauhkan diri
dengan bergulingan.
Sementara itu si Raja Golok Bertangan Baja sendiri
tidak luput dari serangan. Begitu melihat adanya se-
rangan, segera dia melompat ke belakang.
"Heaaat...!"
Saat itu Singa Laut dan dua kawannya yang sudah
terbangun dari tidurnya melompat keluar dari semak-
semak dan langsung mengirimkan serangan.
Singa Laut mempergunakan golok bermata gergaji.
Sedangkan Braja dan Gintung memakai tombak pen-
dek dan trisula.
Raja Golok Bertangan Baja cukup terkejut menda-
pat serangan mendadak ini. Maka cepat goloknya ber-
gerak memapak bertubi-tubi.
Trang, trang, trang!
Tangkisan Raja Golok Bertangan Baja membuat
tubuh para penyerangnya terhuyung-huyung ke bela-
kang, karena kalah tenaga dalam.
Namun sebelum kedua belah pihak saling gebrak
kembali, Lingga telah lebih dulu melayang turun, lalu hinggap di tengah-tengah,
"Monyet-monyet kecil! Lebih baik kalian menyingkir, sebelum aku lupa diri!"
dengus Lingga dingin pada Singa Laut, Braja dan Gintung tanpa menoleh sedikit
pun. Singa Laut tahu diri. Telah dirasakannya sendiri
kehebatan pemuda berpakaian merah ini. Maka buru-
buru dia melompat mundur. Tapi, tidak demikian hal-
nya Braja dan Gintung. Mereka malah marah menden-
gar kata-kata yang diucapkan seorang pemuda kema-
rin sore. Siapa yang tidak menjadi kalap"
"Pemuda gila! Mampuslah kau...!" bentak Braja.
Hampir berbareng dengan keluarnya bentakan pe-
nuh kemarahan, dua Pemimpin Perampok Gunung Wi-
lis itu menyerbu. Golok dan trisula mereka meluncur ke arah dada dan perut
Lingga. Wut, wuttt! Namun pemuda berpakaian merah ini tidak menge-
lak sama sekali. Akibatnya, serangan-serangan itu
mendarat telak dan keras.
Buk! Duk! Trak! Trak! Tapi, malah dua senjata itu yang patah-patah.
Lingga tersenyum mengejek melihat keterkejutan dua
orang yang menyerangnya. Kemudian....
"Cuhhh, cuhhh...!"
Begitu Lingga meludah, dua gumpalan yang sebe-
narnya adalah cairan menjijikkan, meluncur ke arah
dua Pemimpin Perampok Gunung Wilis itu.
Braja dan Gintung tahu akan bahaya. Maka mere-
ka segera melompat menyamping, agar serangan ludah
itu lolos dari sasaran.
"Heh"!"
Jantung dua tokoh rampok ini seperti berhenti
berdetak, ketika melihat ludah-ludah itu bagaikan
bernyawa! Cairan-cairan menjijikkan yang menggum-
pal itu ikut berbelok arah, tetap mengancam keselamatan mereka.
Kejadian yang tidak terduga ini membuat dua ka-
wan Singa Laut ini kelabakan. Mereka terpontang-
panting untuk mengelak. Tapi, gumpalan-gumpalan
ludah itu tetap mengikuti. Padahal kini, keadaan me-
reka benar-benar terpojok. Sehingga....
Cras, cras! "Aaa...! Aaakh...!"
Keduanya hanya menjerit tertahan, ketika dahi me-
reka ambrol ditembus gumpalan ludah yang sebenar-
nya mampu menembus batu karang.
*** Singa Laut, si Golok Emas yang telah bebas dari
kejaran daun, dan Raja Golok, terkesima melihat kejadian itu. Apa yang terlihat
merupakan bukti nyata dari kekuatan tenaga dalam tak terukur milik pemuda
berbaju merah ini. Sampai-sampai mampu membuat
gumpalan ludah seperti, mempunyai nyawa!
Singa Laut semakin mundur. Dia khawatir, menja-
di korban pemuda yang bersikap dingin tapi berhati
keji. Lelaki bertelanjang dada ini sempat menghem-
buskan napas lega ketika melihat Lingga tidak mem-
perhatikannya sama sekali. Karena yang dijadikan sa-
saran perhatian adalah Raja Golok Bertangan Baja!
Raja Golok Bertangan Baja tahu, pemuda itu men-
gincarnya. Disadari betul kalau nyalinya tidak ciut.
Bahkan begitu tahu pemuda ini tidak bersenjata, sen-
jatanya segera dimasukkan kembali ke warangkanya.
"Berikan senjata itu, Raja Golok! Dan aku berjanji tidak akan mengambil
nyawamu!" gertak Lingga, Datar dan dingin suaranya.
"Aku hanya akan memberikannya, apabila nyawa-
ku telah terlepas dari badan, pemuda keji!" balas Katakili, tak mau kalah
gertak. "Hih...!"
Wuttt...! Raja Golok Bertangan Baja langsung mengirimkan
tamparan tangan kanan ke arah pelipis. Serangan
yang akan mampu mengirim nyawa tokoh berkepan-
daian rendah ke alam baka, walaupun hanya terkena
sedikit saja! "Huh...!"
Namun Lingga hanya mendengus. Tangan kanan-
nya pun diayunkan untuk memapak serangan.
Melihat hal ini, Raja Golok Bertangan Baja terse-
nyum, mengejek dalam hati. Pikirnya, pemuda ini be-
nar-benar masih hijau, dan hanya mengandalkan ke-
sombongan belaka. Tidak tahukah pemuda itu kalau di
samping berjuluk Raja Golok, Katakili pun mendapat
gelar Bertangan Baja, karena memiliki tangan amat
kuat" Plak! "Heh"!"
Kegembiraan Raja Golok Bertangan Baja mendadak
sirna, ketika tangan pemuda ini tidak patah sama se-
kali. Bahkan, justru Raja Golok Bertangan Baja sendiri yang mengalami kejadian
mengejutkan! Tangannya
seakan berbenturan dengan gumpalan kapuk! Sehing-
ga, tenaganya menjadi lenyap entah ke mana!
Belum lagi keterkejutannya sirna, Katakili telah
menerima kenyataan yang mengagetkan. Ternyata tan-
gannya yang berbenturan tidak bisa ditariknya kemba-
Dewa Arak 85 Golok Kilat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
li, melekat dengan tangan pemuda ini.
Raja Golok Bertangan Baja terkejut bukan main.
Diusahakannya sedapat mungkin untuk menarik, tapi
tetap sia-sia. Hatinya menjadi cemas bukan main. Apalagi ketika tiba-tiba
merasakan adanya aliran hawa
panas dari tangan pemuda itu yang amat dahsyat.
Seakan-akan tangannya diletakkan dalam bubur besi
yang membara! Hanya dalam waktu sebentar saja, wajah Raja Go-
lok Bertangan Baja merah padam seperti udang rebus.
Peluh sebesar biji jagung menetes-netes dari wajahnya.
"Hih!"
Katakili mencoba mengirimkan serangan lain,
menggunakan tangan yang masih bebas, dan juga ka-
ki. Tapi sebelum maksud itu berhasil, hanya dengan
tudingan jari tangan kiri....
Tuk, tuk! Lingga telah membuat bagian tubuh yang hendak
digerakkan Raja Golok Bertangan Baja lumpuh. Ru-
panya pemuda berpakaian merah ini menggunakan to-
tokan jarak jauh.
Raja Golok Bertangan Baja gelisah bukan main.
Rasa panas yang diderita telah semakin dahsyat. Dan
dia mulai tidak tahan lagi. Sepasang matanya bahkan
telah merah seperti orang sakit mata. Tak lama lagi, tokoh golongan putih ini
akan tewas secara mengerikan!
Kejadian ini pun diketahui si Golok Emas. Dan dia
pun tidak sampai hati membiarkannya. Antara si Go-
lok Emas dengan Raja Golok Bertangan Baja memang
ada urusan. Tapi bukan berarti membenci, menden-
dam, apalagi memusuhi. Urusan yang ada hanya
memperebutkan gelar. Maka melihat keadaan Raja Go-
lok Bertangan Baja, Ketua Perguruan Golok Maut ini
berani membantu. Karenanya bukan tidak mungkin,
apabila berhasil membunuh Raja Golok, pemuda itu
akan membunuhnya pula. Si Golok Emas sadar kalau
pemuda berpakaian merah ini memiliki watak keji!
Sebagai seorang tokoh tingkat tinggi, Golok Emas
tahu bagaimana caranya menyelamatkan Raja Golok
Bertangan Baja. Maka dengan tenang, dihampirinya
dua tokoh yang tengah berkutat itu.
Kalau saja si Golok Emas memiliki watak licik, ke-
sempatan seperti itu akan dimanfaatkan sebaik-
baiknya untuk mengirim serangan. Tapi, dia tak mela-
kukan. Bertindak seperti ini saja, hatinya malu. Hanya saja perasaan itu ditekan
dengan bantahan, kalau tindakan yang hendak dilakukannya semata-mata untuk
menolong Raja Golok!
Begitu berada di dekat dua tokoh yang tengah ber-
seteru, si Golok Emas meluruskan dua jarinya. Kemu-
dian jari-jarinya digerakkan.
Bagian yang dituju si Golok Emas adalah bawah
siku, untuk membuat tangan kanan Raja Golok Ber-
tangan Baja lumpuh sejenak. Dengan demikian aliran
tenaga dalam dari pemuda itu putus. Bila hal ini terjadi, maka kekuatan yang
menyedot tangan Raja Golok
Bertangan Baja terlepas!
*** 3 Tuk, tukkk! Telak dan keras sekali jari-jari tangan si Golok
Emas mendarat di sasaran. Namun kesudahannya, dia
sendiri yang menjadi kaget. Ujung-ujung jarinya sea-
kan menghantam karet yang keras dan kenyal. Se-
hingga membuat tenaganya seperti tenggelam.
Sementara, Lingga hanya melirik. Terlihat adanya
ancaman yang mampu membuat detak jantung orang
seperti si Golok Emas terasa bertambah cepat.
"Kau mencari penyakit sendiri, Tua Bangka Dungu!
Kau akan menerima balasannya, setelah kakek ini ku-
bereskan!"
Usai berkata demikian, Lingga segera mengerahkan
tenaga dalamnya. Akibatnya, tubuh Raja Golok Ber-
tangan Baja terjengkang ke belakang. Darah menyem-
bur deras dari mulutnya. Ketika jatuh mencium tanah, tubuhnya tak bergerak lagi.
Pemuda berpakaian merah ini mengeluarkan tan-
gannya. Kemudian dibuatnya gerakan menarik secara
keras. Srang. Wesss! Seketika golok yang berada di punggung Raja Go-
lok Bertangan Baja melayang keluar dari rongganya,
langsung meluncur ke arah Lingga bagai ditarik tangan tak nampak!
Saat golok itu tengah melayang, si Golok Emas me-
lancarkan babatan dengan senjata andalan ke arah
leher Lingga. Dan diyakininya betul kalau pemuda
berpakaian merah itu mendengar kedatangan seran-
gannya. Tapi yang diherankannya, pemuda itu tidak
hendak untuk mengelak atau menangkis.
Kenyataan ini membuat si Golok Emas merasa he-
ran. Dalam hatinya, bergayut pertanyaan. Apakah pe-
muda itu demikian yakin akan kekuatan tenaga da-
lamnya, sehingga tidak mau mengelakkan serangan"
Takkk! Si Golok Emas baru yakin dengan kekuatan tenaga
dalam si pemuda ini ketika mata goloknya tidak mam-
pu membuat leher itu buntung. Goloknya kontan ter-
pental kembali. Bahkan tangannya bergetar hebat.
Si Golok Emas kaget. Tapi lebih kaget lagi ketika
golok milik Katakili berhasil ditangkap Lingga. Bahkan pemuda berpakaian merah
itu menyerang tiba-tiba.
Goloknya langsung diayunkan ke arah perut. Begitu
cepat gerakannya sehingga....
Brettt! "Aaakh...!"
Si Golok Emas memekik memilukan ketika ujung
golok Lingga merobek lebar perutnya secara mendatar.
Darah segar langsung memancur deras. Golok Emas
limbung mendekap luka dengan mata terbelalak me-
mancarkan ketidakpercayaan.
Sementara pemuda berpakaian merah tidak mem-
pedulikannya. Bahkan tangan kirinya cepat mengibas.
Wesss! Plak! "Aaakh!"
Si Golok Emas mengeluh kesakitan ketika tangan-
nya yang menggenggam golok seperti terhantam baja!
Dia tahu, itu akibat pukulan jarak jauh yang dile-
paskan pemuda ini lewat kibasannya.
Si Golok Emas yang telah jatuh terbaring di tanah
tidak teringat lagi akan golok emasnya yang terpental akibat pukulan jarak jauh
pemuda itu. Goloknya sendiri melayang deras bagai dilemparkan. Dan arah yang
ditujunya adalah tempat Singa Laut berdiri
Singa Laut cepat menyadari akan adanya bahaya.
Maka dia cepat melompat ke samping untuk menyela-
matkan diri. Tapi betapa kaget hatinya ketika menya-
dari tubuhnya tidak bisa digerakkan sama sekali! Pa-
dahal, dia tidak melihat Lingga menggerakkan tangan
ke arahnya. Memang, dengan gerakan yang sukar di-
ikuti mata, pemuda ini telah mengirimkan totokan ja-
rak jauh terhadapnya, sehingga tubuhnya tak bisa di-
gerakkan lagi. Dan Singa Laut hanya bisa menatap dengan mata
terbelalak lebar, menanti datangnya maut melalui go-
lok emas milik Malimbong! Dan....
Crap! "Aaakh...!"
Tak bisa dihindari lagi golok emas itu menancap di
dahi Singa Laut. Begitu ambruk di tanah, tubuhnya
menggelepar bergelimang darah. Kemudian, diam tidak
bergerak lagi untuk selamanya! Mati!
"Ha ha ha...!"
Lingga tertawa bergelak penuh kegembiraan. Pan-
dangannya dilayangkan pada mayat-mayat dengan wa-
jah menyiratkan kepuasan.
"Dewa Arak...! Di mana pun kau berada..., dengarlah. Kau akan mati di tanganku!
Tunggulah saat kema-
tianmu...!"
Pemuda berpakaian merah ini mengeluarkan tan-
tangan dengan menghadapkan wajah ke empat penju-
ru. Setelah unek-uneknya keluar, Lingga menyelipkan
golok milik Raja Golok di pinggang. Kemudian kakinya terayun meninggalkan tempat
ini. *** Derrr! Getaran keras pada tanah yang dipijak, membuat
seorang pemuda berambut putih keperakan me-
nautkan alisnya. Wajahnya yang tampan dihadapkan
ke depan, tempat asal getaran pada tanah. Langkah-
nya yang semula lambat, kini agak dipercepat, sema-
kin memasuki kawasan hutan yang cukup lebat ini.
Pemuda bertubuh kekar terbungkus pakaian ungu
ini yakin getaran sedahsyat tadi tidak akan terjadi begitu saja. Yang jelas, ada
penyebabnya. Kalau tidak ada pohon tumbang, pasti ada batu sebesar gajah yang
jatuh ke tanah. Atau mungkin juga, jejakan kaki seorang tokoh persilatan yang
memiliki tenaga dalam
amat tinggi. Saat ini, jarak pemuda berpakaian ungu ini dengan
penyebab getaran itu cukup jauh juga. Rimbunnya
semak-semak dan onak duri beberapa kali harus dile-
wati dan disibaknya. Baru kemudian dia menemukan
penyebabnya, Sekitar lima tombak di depan pemuda ini, tampak
beberapa pohon yang batangnya tak kurang dari tiga
pelukan tangan orang dewasa tergolek. Satu di anta-
ranya masih utuh, tapi yang lain tengah dikerjakan sosok tubuh tinggi besar
terbungkus pakaian sederhana
berwarna gelap, untuk dijadikan potongan kecil.
Sosok tubuh tinggi besar ini berdiri membelakangi
pemuda berpakaian ungu. Dan rupanya, telinganya ti-
dak mendengar kedatangan pemuda itu. Dia terus si-
buk mengurusi pohon-pohonnya.
Melihat pakaiannya, pemuda berambut putih kepe-
rakan ini tahu kalau sosok itu adalah seorang pendu-
duk biasa saja. Tapi, tindakan yang dilakukan mem-
buat pemuda ini tahu kalau sosok tinggi besar itu bukan orang biasa.
Ternyata sosok tinggi besar. itu membelah-belah
batang pohon dengan cara luar biasa. Kaki kanannya
mencungkil batang pohon itu, sehingga terlempar ke
atas. Kemudian batang pohon itu disampok dengan
kedua sisi telapak tangan;
Cepat bukan main gerakan tangan sosok itu, se-
hingga yang terlihat hanya bayangan tak jelas diikuti dengan bunyi bergemuruh.
Sekejap kemudian batang
pohon itu telah jatuh ke tanah dalam bentuk poton-
gan-potongan berbentuk tongkat pendek. Bertumpuk
seperti diatur tangan terampil.
Pemuda berpakaian ungu ini mendesah kagum da-
lam hati. Tindakan ini saja sudah membuktikan keli-
haian sosok tinggi besar di depannya. Dan ini mem-
buat sikapnya waspada. Dia belum yakin, dari golon-
gan mana sosok tinggi besar itu. Seketika jalannya di-perlambat kembali, seperti
jalan biasa. Sosok tinggi besar itu rupanya merasakan kehadi-
ran orang lain. Seketika tubuhnya berbalik ketika pemuda berpakaian ungu itu
baru saja berhenti tiga tin-
dak di belakangnya.
Pemuda berambut putih menatap wajah sosok
tinggi besar yang juga menatapnya. Kini dua pasang
mata yang sama-sama tajam saling menatap penuh se-
lidik. "Ah!"
Kedua belah pihak sama-sama mendesah begitu
saling beradu pandang. Sorot mata masing-masing pi-
hak menyiratkan keterkejutan yang besar.
"Dewa Arak..."!" sebut sosok tinggi dengan kepala botak itu.
Pemuda berpakaian ungu yang tak lain Arya Buana
atau Dewa Arak ini masih menatap sosok lelaki berwa-
jah bersih tanpa kumis, jenggot, atau cambang. da-
hinya berkerut, karena merasa pernah mengenalinya.
Maka dicobanya untuk mengingat-ingat.
"Ha ha ha...!"
Lelaki berkepala botak itu tertawa bergelak penuh
rasa gembira. Tawanya keras dan lepas, namun sama
sekali tak ada nada ejekan atau permusuhan di da-
lamnya. "Menakjubkan sekali! Kau telah lupa padaku, Dewa Arak"! Kau yang telah pikun
atau aku yang terlalu banyak berubah! Ingat-ingatlah, Dewa Arak...!"
Alis Dewa Arak makin bertaut dalam. Suara itu
pun seperti pernah didengarnya. Berarti dia telah pernah bertemu dan bercakap-
cakap dengan lelaki berke-
pala botak ini.
"Ha ha ha...! Rupanya kau perlu bantuanku untuk mengingat-ingat, Dewa Arak.
Baiklah. Aku akan sedikit membantu ingatanmu!"
Lelaki berkepala botak ini segera menggerakkan
tubuhnya, seperti seekor ayam membersihkan debu
yang melekat di tubuhnya. Pakaiannya lepas dari tu-
buh dan melayang ke atas. Sehingga tubuhnya yang
kekar dan dipenuhi otot-otot melingkar terlihat. Kelihatan kokoh kuat, laksana
batu karang! "Ah..!"
Sepasang mata Arya terbelalak semakin lebar. Tapi,
wajahnya berseri-seri dan senyumnya mengembang.
"Setan Kepala Besi rupanya.... Luar biasa.... Kau telah sangat berbeda, Kek. Aku
sampai pangling. Kau
benar-benar berubah jauh...," desah Arya, setelah teringat siapa lelaki botak di
depannya. Lelaki tinggi besar yang ternyata Setan Kepala Besi
tertawa bergelak. Suaranya keras, sehingga membuat
sekitar tempat ini bergetar keras. Daun-daun sampai
berguguran dari pohonnya.
Dewa Arak 85 Golok Kilat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Syukur kau masih mengingatku, Dewa Arak, Ku-
pikir kau telah lupa. Lagi pula, apa untungnya men-
gingat-ingat orang sepertiku. Tidak ada yang luar biasa," sambut Setan Kepala
Besi, tenang. Arya ikut tertawa.
"Bagaimana mungkin aku bisa mengingat, kalau
kau telah berubah demikian jauh, Kek. Perbandingan-
nya bagaikan bumi dan langit. Kau telah berubah de-
mikian jauh! "
"Kau masih saja tidak berubah, Dewa Arak. Pandai merendah. Ha ha ha....!"
Dua tokoh yang saling mengenal itu tanpa sadar
teringat kembali akan masa perkenalan mereka (Untuk
jelasnya mengenai tokoh yang berjuluk Setan Kepala
Besi silakan baca serial Dewa Arak dalam episode:
"Memburu Putri Datuk" dan "Jamur Sisik Naga').
"Beginilah keadaanku sekarang, Dewa Arak," Setan Kepala Besi kembali membuka
percakapan, setelah
cukup lama termenung. "Aku telah menjauhkan diri dari kancah persilatan. Hidup
di tempat ini menjadi
seorang penebang kayu agar bisa hidup. Hasil dari
usahaku ini kujual dan ku belikan makanan. Terka-
dang, aku mencari binatang-binatang untuk disantap.
Menggelikan, bila mengingat dulu aku tidak perlu re-
pot seperti ini hanya untuk makan saja. Tapi, yahhh....
Nikmat sekali hidup seperti ini. Batin jadi terang tenang."
Arya mengangguk-angguk. Hatinya merasa bahagia
mendengar tokoh yang dulu merupakan pentolan du-
nia hitam, dan telah hampir membuatnya kelabakan
untuk mengalahkannya, sekarang telah sadar dan
menjauhi jalan sesat. Dewa Arak kagum bukan main.
Disadari betul kalau untuk melakukan hal demikian,
bukan suatu yang mudah.
"Apakah ada keperluan, sehingga kau bisa berada di daerah ini, Dewa Arak"!"
tanya Setan Kepala Besi, ingin tahu. Sepasang matanya tetap tajam mencorong,
namun telah kehilangan sinar kebuasannya. Ditatap-
nya wajah Arya penuh selidik. Seakan-akan ingin di-
baca, apa yang tersembunyi di hati pemuda berambut
putih keperakan di depannya.
"Sama sekali tidak, Kek. Aku di sini hanya mengikuti kemauan kakiku saja.
Meneruskan pengemba-
raan...." "Memberantas kejahatan dan tindak ketidakadilan dl muka bumi ini. Bukankah
demikian, Dewa Arak"!"
Sambung Setan Kepala Besi, memotong ucapan pemu-
da berambut putih keperakan itu.
Arya hanya tersenyum, tanpa memberi jawaban
sama sekali. "Karena tidak mempunyai urusan yang penting dan mendesak, aku ingin kau sudi
mampir di tempatku,
Dewa Arak. Kita rayakan pertemuan ini. Bagaimana"
Ingat, apa pun pilihan mu aku tidak peduli. Apa pun
jawaban yang kau berikan, setuju atau tidak, kau te-
tap harus mampir ke tempatku. Akan kusediakan ma-
kanan dan hidangan istimewa!" desah Setan Kepala Besi.
Arya menggeleng-gelengkan kepala dengan bibir
mengulum senyum.
"Ternyata masih ada sifatmu yang belum berubah, Setan Kepala Besi," kata Arya
merubah sapaannya.
Lelaki berkepala botak yang sebenarnya telah be-
rusia sekitar enam puluh tahun tapi masih memiliki
tubuh kekar itu menatap Dewa Arak dengan sinar ma-
ta penuh selidik.
"Kau masih suka memaksakan keinginanmu sendi-
ri." Wajah Setan Kepala Besi berseri-seri mendengar jawaban itu.
"Tidak ada salahnya kan, Dewa Arak" Toh, aku
memaksakan kehendak untuk membuat hal yang
baik," kilah lelaki berkepala botak itu, membela diri.
Arya mengangkat kedua bahunya. Dan Setan Kepa-
la Besi pun tersenyum lebar. Baginya, jawaban Dewa
Arak itu telah lebih dari cukup sebagai tanda persetujuan.
"Mari, Dewa Arak. Aku yakin Nuri akan gembira
melihatmu. Aku banyak cerita tentangmu padanya,"
ajak Setan Kepala Besi.
"Nuri"!" Arya mengernyitkan dahi, bingung dan heran. "Muridku, Dewa Arak," jawab
Setan Kepala Besi sambil tertawa bergelak. "Tidak usah kau pikirkan, karena
sebentar lagi akan melihatnya. Ayo!"
Arya tidak bisa berkata apa-apa lagi, karena Setan
Kepala Besi telah melesat cepat meninggalkan tempat
ini. Dia tidak membawa kayu-kayu yang telah selesai
dibelah-belahnya. Mungkin lupa. Arya hanya men-
gangkat bahu, kemudian melesat menyusul.
*** 4 "Nah! Inilah muridku, Dewa Arak. Nuri, yang ku ceritakan padamu itu," jelas
Setan Kepala Besi begitu mereka tiba di pondok. Sebuah rumah sederhana ber-
dinding papan dan beratap rumbia.
Sementara itu seorang gadis cantik berpakaian
serba merah tampak tersenyum manis. Dialah Nuri.
Tahi lalat di bawah hidung sebelah kiri menambah
manis wajahnya kala tersenyum.
Arya balas tersenyum sambil mengangkat tangan
kanannya ke atas sedikit.
"Inilah tokoh besar yang sering kuceritakan itu, Nuri. Dia adalah pendekar yang
memiliki kepandaian
amat tinggi, tapi memiliki watak rendah hati. Dewa
Arak!" kata lelaki berkepala botak itu, ganti memper-kenalkan Arya pada muridnya
Nuri menatap Arya tanpa menyembunyikan sinar
kekaguman yang memancar pada wajahnya. Dan ini
membuat selebar wajah pemuda berpakaian ungu itu
seperti panas. "Setan Kepala Besi memang pandai memuji, Nuri.
Padahal, apalah artinya kepandaianku bila dibanding
dengannya," timpal Arya merendah.
Setan Kepala Besi tertawa bergelak.
"Sekarang, kuharap kau bersedia menunggu di sini sebentar, Dewa Arak. Aku akan
mencarikan hidangan
yang istimewa untukmu. Kalau perlu apa-apa, bilang
saja pada Nuri. Dan kau, Nuri. Layani baik-baik tamu agung ini," pesan Setan
Kepala Besi pada muridnya.
Nuri mengangguk, mengiyakan. Tapi, Setan Kepala
Besi tidak melihat anggukannya karena telah keburu
melesat meninggalkan tempat ini. Yang tinggal hanya
Arya dan Nuri. "Biar ku ambilkan minuman dulu untukmu, Dewa
Arak," kata Nuri, segera berbalik dan masuk ke dalam.
Arya tidak sempat menimpali, dan hanya sempat
melihat bagian belakang tubuh gadis itu. Tak sengaja Dewa Arak memandang pinggul
Nuri. Sehingga tanpa
sadar, dia menelan ludahnya sendiri melihat pinggul
padat yang bergerak naik turun, ketika gadis berpa-
kaian merah itu berjalan. Hanya sebentar saja Nuri lenyap ke dalam, tak lama
sudah kembali dengan mem-
bawa sebuah guci kecil dan gelas bambu. Arya saat ini sudah duduk di kursi
dengan kedua tangan terletak di meja. Pandangannya tertuju ke bagian dalam
ruangan. Begitu melihat Nuri, jantungnya kontan berdenyut ke-
tika terbentur pada dua buah tonjolan di bagian dada.
Gadis ini terlihat manis dan menggiurkan. Buru-buru
Arya mengalihkan pandangan ke lantai.
"Sudah lama kau menjadi murid Setan Kepala Besi, Nuri"!" tanya Arya, begitu
gadis itu meletakkan guci dan gelas.
Kini Nuri duduk di depan Arya, dibatasi meja ber-
bentuk empat persegi panjang. Meja sederhana dari
kayu biasa. "Hampir lima belas tahun, Dewa Arak," jawab Nuri sambil menatap wajah Arya.
Sikapnya tenang, tidak
malu-malu dan penuh percaya diri.
Arya mengangguk-angguk kepala lebih dulu. Entah
apa arti anggukannya. Yang jelas, pertanyaannya tidak langsung disambung.
"Mungkin kau kenal tokoh yang berjuluk Dewi Pencabut Nyawa"!" tanya Arya lebih
jauh. "Oh, ya. Hampir aku lupa. Tolong panggil aku dengan nama saja, Nuri.
Bukankah sapaan Arya lebih mengandung keakraban
daripada Dewa Arak?"
Nuri tersenyum. Manis sekali. Bibirnya yang mun-
gil dan merah membasah jadi terlihat menggiurkan.
"Aku tidak keberatan dengan usulmu itu, De..., eh!
Arya. Tapi, aku pun punya usul juga untukmu."
"Apa itu, Nuri"!"
"Kau meminum apa yang tersaji di meja, tapi ada syaratnya. Tentu saja kalau kau
setuju," ujar Nuri, menggantung lanjutan perkataan di tengah jalan.
"Katakan saja, Nuri. Kalau tidak berat, bukan tidak mungkin ku penuhi," jawab
Arya, tak berani menjanji-kan. Terhadap gadis yang bersikap terbuka tapi tenang
seperti Nuri, Dewa Arak memang tidak berani berkata
sembarangan. "Aku ingin kau meminum arak ini tidak secara biasa. Maksudku minum dengan cara
tidak bisa dilaku-
kan sembarang orang," jelas Nuri.
Arya terdiam sebentar, kemudian tersenyum sambil
menggeleng-gelengkan kepala.
"Kau tidak berbeda dengan gurumu, Nuri. Benar
kata pepatah. Buah tidak jatuh jauh dari pohonnya"
kata Dewa Arak, seperti meledek.
"Apa maksudmu, Arya?" tanya Nuri sambil mengerutkan sepasang alisnya yang
berbentuk indah. Dia
masih belum paham maksud perkataan pemuda ini.
"Tidak ada maksud apa-apa," jawab Arya, kalem.
"Aku hanya sedikit kagum dengan kesamaan sikapmu dengan Setan Kepala Besi.
Begitu bertemu, gurumu
kan mengujiku. Dan kau pun bertindak serupa. Tapi..., tak apalah. Hitung-hitung
menikmati hidangan sambil
mengadakan pertunjukan."
Wajah Nuri berseri. Dan Arya harus mengakui ka-
lau gadis ini jadi bertambah cantik. Kulit wajahnya
yang putih, halus, dan mulus, jadi terlihat semakin
cemerlang. "Sekarang, lihatlah baik-baik, Nuri. Aku ingin meminum jamuan yang kau berikan."
Arya segera meruncingkan mulutnya. Sementara
Nuri memperhatikan penuh perhatian dengan sepa-
sang mata tanpa berkedip. Sepertinya, gadis ini merasa khawatir, bila matanya
berkejap, tidak akan melihat
pertunjukan yang luar bisa dan menakjubkan. Dan....
"Sruppp...!"
Sepasang mata Nuri yang bening indah jadi terbela-
lak lebar, menampakkan keterkejutan ketika dari da-
lam guci meluncur keluar arak yang disediakan. Ben-
tuknya memanjang, hingga kelihatan seperti sehelai
tambang, mulai dari bibir guci sampai mulut Arya.
Pemuda berambut putih keperakan itu sendiri den-
gan nekatnya merubah bentuk mulutnya untuk mene-
rima luncuran arak.
Gluk! Gluk! Terdengar bunyi tegukan seiring bergerak turun
naiknya tenggorokan Arya saat menelan yang masuk
ke dalam mulutnya. Dan tak lama, arak pun tandas.
Dewa Arak segera mengusap mulut dengan pung-
gung tangannya.
"Hebat! Kau benar-benar, hebat, Arya. Pantas guru amat kagum terhadapmu," puji
Nuri, tulus. "Tapi, apakah hanya cara itu saja" Apa tidak ada cara lainnya?"
Arya tidak berkata apa-apa. Hanya saja, tangannya
yang tidak tergantung di sisi pinggang diletakkan di bagian pinggir.
Dan lagi-lagi mata Nuri membelalak. Bahkan seka-
rang lebih lebar dari sebelumnya. Gadis ini melihat
arak itu melayang naik ke atas perlahan-lahan, bagai diangkat tangan kasat mata.
Setelah mencapai ketinggian tiga jengkal dari daun meja, guci itu terdiam.
Kemudian, guci berisi arak ini bergerak miring dengan
ujung atas mengarah pada cangkir bambu. Begitu
ujung guci menyentuh bibir bambu, dari dalamnya ke-
luar arak dan langsung masuk ke dalam cangkir bam-
bu. Nuri menatap penuh tidak percaya. Apalagi ketika melihat guci itu kembali
tegak, setelah arak di dalam cangkir bambu telah penuh. Dengan cara sama guci
ini kembali ke daun meja. Pelan bagai diletakkan tangan
manusia. Sekarang ganti cangkir bambu itu yang terangkat
naik, melayang menghampiri Dewa Arak, lalu bergerak
miring bagai dilakukan tangan. Maka arak yang berada di dalam cangkir meluncur
Misteri Anak Selir 3 Pusaka Para Dewa Karya Lovely Dear Pendekar Kembar 13