Pencarian

Irama Maut 1

Dewa Arak 83 Irama Maut Bagian 1


IRAMA MAUT oleh Aji Saka Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting : Tuti S.
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Aji Saka Serial Dewa Arak
dalam episode: Irama Maut 128 hal. ; 12 x18 cm
Pembuat Ebook :
Scan buku ke djvu : Abu Keisel
Convert : Abu Keisel
Editor : Fujidenkikagawa
Ebook pdf oleh : Dewi KZ
http://kangzusi.com/ http://dewi-kz.info/
http://kangzusi.info/ http://cerita_silat.cc/
1 Seorang pemud a berpak aian ungu d engan t enang mengg eragoti
potongan daging p anggang di tanganny a. Kelihatanny a nikmat s ekali.
Beberap a bat ang ranting bek as tusukan d aging pangg ang berserakan di sekitar
tempatnya duduk.
"Sedap sekali baunya...!"
Ucap an nyaring yang diiringi dengus an bunyi hidung membuat
pemuda berpakai an ungu mengh entikan makanny a. Dengan tangan m asih
menggenggam ranting tempat daging p anggang, k epalany a ditolehkan ke
arah asal suara.
Sayang, pemilik suara itu tidak terlihat. Kerimbunan semak -semak
yang lebat menghalangi pandangan pemuda berpak aian ungu.
"Kau lapar, Sahabat"!"
Suara yang sama d engan seb elumnya kembali terd engar. Kali ini
nadanya sep erti tengah bertany a pada seseorang.
"Ternyata kita sama. Aku pun lapar. Sayang aku tidak punya
sesuatu yang bisa dimakan. Tahan sebentar laparmu. Atau, kau ingin daging
panggang y ang berbau enak itu" Oh, tidak. Jadi apa y ang k au mau" Buah-buahan"
Baik. Akan kucarikan untukmu"
Suara itu tidak terd engar l agi. Yang ad a hany a bunyi senandung
tanpa kata. Pemuda berpak aian ungu meng ernyitkan d ahi. Meski belum bisa
melihat, dia bisa memperkirak an pemilik suara itu orang y ang telah b erusia
lanjut. Tepatnya lagi salah s atu di ant arany a. Pemilik suara itu tengah
bercakap-cak ap. Berarti dia tidak s endirian. Pemuda b erp akaian ungu yang
memiliki wajah tampan tapi berambut putih keperak an itu bangkit dari
duduknya. Dia adalah Arya Buana atau yang berjuluk Dewa Arak.
"Aha...! Lihat, Sahabat. Rupanya peruntungan kita baik s ekali hari ini. Jambu-
jambu air telah m atang. Mari, Sahab at. Kita sikat sampai
tuntas!" Pemuda berambut putih kep erakan t ersenyum. Geli mendeng ar
perkataan itu. Didengarnya jel as langkah -langkah kaki yang menghantam bumi.
Agaknya pemilik suara tengah berlari. Kend ati perasaan geli melanda hati, dia
tidak mampu mengusir peras aan h eranny a. Langk ah-langk ah yang terdengar
hanya sepas ang! Lalu, orang yang diajak bicara itu"
Rasa heran menumbuhk an rasa ingin tahu. Arya meng ayunkan
kaki menuju tempat pemilik suara. Mungkinkah orang yang di ajak bicara
memiliki ilmu meringankan tubuh yang demikian tinggi sehingga bunyi
langkahnya tidak terdeng ar"
Begitu menerobos kerimbunan semak, pemuda itu telah bisa
melihat apa yang terjadi. Sepasang alisnya b erkerut
menyaksikan pemandang an yang terpampang di depan m atanya. Di h adapan pemu da
berpak aian ungu, s ampai jarak belas an tombak, tidak terh alang apa pun.
Tanah di situ hanya ditumbuhi rerumputan pendek dan kering.
Sepasang mata Ary a yang mencorong tajam hany a melihat sesosok
tubuh. Bukan dua seperti yang didug anya s emula. Seorang k akek bertubuh
bungkuk berjalan dibantu tongkat butut. Pakaiannya penuh tambalan. Ia
kelihatan ringkih dan miskin!
Pemuda berambut putih keperakan m enggelengk an kep ala seraya
mengembangkan senyum di bibir ketika melihat tingkah kakek bungkuk.
"Sabar, Sahabat. Biar kuambilkan bu ah-buah itu untukmu," ucap kakek itu sambil
menoleh ke sebelah kiri.
Kakek bungkuk lalu mendongak. Buah yang dimaksudnya memang bany ak b ergantung an di d ahan. Daun pohon y ang l ebat tidak
terlihat karena bany aknya buah jambu berwarna merah segar.
Senyuman geli Ary a buyar ketika k akek bung kuk tidak segera
mengambil buah-buah seg ar itu. Ia hanya m endongak ke atas, memperhatikan bu ah-buah yang letakny a tak kurang tiga tombak dari tanah.
Apakah kakek bungkuk itu kebingungan untuk mengambilnya"
Kakek bungkuk lalu mengalihkan pand anganny a ke bawah.
Tingkahnya menunjukkan ada s esuatu yang t engah dicarinya. Pemuda
berambut putih kep erakan m engurut dad a melihat k akek itu memungut
sebongkah batu seb esar k epalan b ayi. Rasa iba menyerg ap hariny a, dia bisa
mengira tindak an yang akan dilakukan kakek bungkuk. Kak ek itu ag aknya tidak
memiliki ilmu silat.
Kakek bungkuk melemparkan b atu ke arah buah -buah jambu
bergantungan. Bunyi berk erosak an terd engar ketika b atu menerobos
dedaunan d an jatuh kembali ke tan ah. Beberapa h elai daun berhamburan.
Namun, tak satu pun buah jambu yang jatuh. Kakek bungkuk mengulangi
tindakannya sampai beb erapa kali. Hasilnya tetap nihil. Kendati demikian dia
tidak putus asa. Batu itu tetap dipungutnya kembali.
"Sabar, Sahabat. Percay alah. Tak lama lagi buah-buah itu akan
jatuh. Kita akan menikmatinya sampai puas...!"
Terdengar ag ak
memburu napas kak ek bungkuk. Rupanya perbuatan yang dilakukanny a cukup melelahkan.
Pemuda berambut putih keperakan tak ku at lagi menahan rasa
kasihan. Dia segera melesat menghampiri kakek bungkuk.
"Istirahatlah, Sobat. Biar kucoba mengambilkannya untukmu," ujar Arya seraya
menyentuh bahu kakek bungkuk.
*** Kakek bungkuk itu tersenyum m elihat keb erad aan
pemuda berpak aian ungu di belakangnya.
"Terima kasih. Terima kasih atas bantuan yang kau berikan padaku
dan sahab atku," kakek bung kuk menoleh ke sebelahny a seak an-akan di situ ada
seseorang yang disebutnya sebagai sahab at.
Arya tidak meras a heran lagi melihat kelaku an kakek bungkuk.
Kakek itu berwajah kehijau an. Sepasang matanya selalu berputar liar seperti
mata orang tak waras. Ary a menol ehkan k epala ke tempat k akek berwajah
kehijauan itu menoleh.
"Boleh kutahu siapa kau d an..., sahabatmu ini, Kek?" Pemuda
berpak aian ungu mengulurkan tang an. "Namaku Ary a. Ary a Buan a.
Seorang pengelan a."
Kakek bungkuk terk ekeh m emperlihatkan
gigi-giginya yang
kuning dan sebagian menghitam
"Namaku" Aku sud ah tidak ing at lagi, Anak Muda. Atau, jang an-
jangan orang tuaku tak memb erikan n ama padaku. Tapi, panggil saja aku Muka
Hijau. Ya, si Muka Hijau! Adapun sahabatku ini.., panggil saja si Tak Punya
Bentuk. Tapi...." Kakek
bermuka hijau tercenung bingung. "Sepertinya terlalu panjang nama-nama yang kuberik an."
Arya tersenyum.
"Kalau b egitu panggil saj a aku, Hijau. Dan k awanku ini, Sahabat.
Lebih pendek dan enak diucapk an."
Arya m engangguk. Lalu katany a, "Sekarang b agaiman a, Hijau.
Dan juga kau, Sahabat" Bolehkah aku membantu kalian. Kebetulan aku pun
hendak menikmati jambu-jambu yang kelihatannya enak itu."
"Tentu saja!" Hijau m engangguk "Bukank ah d emikian, Sahabat"
Tidak usah ragu-ragu, Anak Mud a. Ambilkan jambu-jambu itu untuk
kami." "Gunakan bajumu untuk menadahi jatuhnya jambu-jambu, Hijau."
Tanpa banyak cakap, si kak ek s egera mel akukan perintah Ary a.
Pemuda berambut putih keperakan itu menjulurkan tangannya ke arah
batang pohon jambu
Si kakek terjingkat ke b elakang sambil menjulurkan tang an ke
sebelahnya, seperti layaknya tengah membawa seseorang untuk melompat
ke belakang. Kelihatan jelas Hijau terkejut
Sepasang mata Hijau membelal ak lebar memp erhatikan pohon
jambu yang berg etar k eras b agai diguncang-guncangkan ten aga raksas a.
Guncang an itu demikian keras s ehingga jambu -jambu berjatuhan dari
tangkainya. Buah-buhan b erguguran ke b awah. Tidak hanya pada bagian di mana
Hijau dan Arya berada, tapi juga di bagian lain.
Kendati demikian, semu a jambu y ang jatuh melun cur k e tempat
Hijau berdiri dengan baju dikembangkan. Pemandangan yang menakjubk an.
Buah-buahan m erah menggiu rkan itu meluncur m enyerong, seakan baju
Hijau mempunyai daya tarik yang amat kuat.
"Luar biasa...! Tidak salahkah yang kita lihat ini, Sahabat" Jambu-jambu itu
semuanya menuju kita. Luar biasa...! Kita akan kenyang, Sahabat.
Kita akan kenyang...!" seru Hijau sambil tertawa kegirang an.
Arya tersenyum melihat tingkah Hijau. Kak ek itu tertawa-t awa
gembira sebag aimana seorang an ak kecil yang menemukan main an. Dia
berkali-k ali menoleh ke sebelahnya. "Cukupkah itu, untuk kau, Sahabat, dan
aku?" tanya Arya.
"Cukup. Cukup, Anak Muda. Bukankah demikian, Sahabat?" Lagi-
lagi kakek bungkuk itu meno leh ke seb elahnya. " Anak mud a, Sahabat mengatakan
sudah cukup. O ya, bisa k au beritahu bag aimana cara
melakukan keajaib an seperti itu?"
Arya t ercenung s esaat. "Sulit untuk mengat akannya, Hijau,"
katanya kemudian.
"Katakan saja, An ak Mud a. Aku ingin memiliki kemampuan
seperti itu. Ah, betapa senangnya. Aku tidak perlu takut kelaparan lagi.
Katakan saja, Arya," desak Hijau.
Arya m embisu. Bagaimana mungkin kak ek itu bisa mempelajarinya. Yang dilakukanny a tadi membutuhkan ten aga d alam amat kuat.
Tidak sembarang tokoh p ersilatan m ampu melakuk an hal itu. Tenaga dalam sekuat
dirinya membutuhkan waktu puluhan tahun untuk dipelajari.
Apalagi orang se-emah Hijau yang tidak memiliki tenaga dalam sama
sekali. "Ayolah, Arya. J angan p elit pad aku. Kalau kau tidak mau
mengajarinya, pandangl ah Sahabat, pandanglah muka kawanku ini. Kuharap kau b ers edia meng ajariku, Ary a. Aku ingin memiliki kemampuan seperti
yang kau lakukan agar Sahab at tidak kelaparan."
Arya tidak punya pilihan lagi untuk mengelak.
"Baiklah, Hijau. Aku akan memberitahu carany a. Tapi, bagaimana
kalau kau tidak bisa melakukannya" Kau membutuhkan tenag a dalam untuk
melakukan hal seperti yang kulakukan."
"Tenaga dalam"!" Hijau menyelak "Apa itu, Arya?"
"Sesuatu yang tersimpan di pusar. Seperti angin, berput aran di
sana," jelas Arya. "Tenaga dalam ini d engan k ekuatan pikiran kita arahkan ke
mana yang kita mau. Tangan, k aki, atau apa saja y ang diingini. Karena memiliki
tenaga dalam kupusatkan perhatian p ada tangan k ananku yang
kujulurkan ke pohon. Dan, itulah hasilnya, Hijau."
Hijau membisu. Sepasang matanya berputaran liar. Dahinya yang
berkernyit dalam menjadi pertanda kakek ini tengah berpikir.
"Jadi, semuanya berpokok pada sesu atu yang berputaran di pusar?"
Hijau meminta penjelasan.
Arya mengangk at bahu.
"Di pusarku tidak ada sesu atu yang k au maksudkan itu, Arya.
Tidak ada yang berputaran. Bagaimana aku bisa mengarahkanny a ke tangan atau
kaki?" tanya Hijau lagi sambil menatap Arya penuh rasa ingin tahu.
Arya tidak merasa h eran mend engar pertanyaan itu. Ia telah
menduga sebelumnya. Orang sean eh Hijau sulit untuk diberi pengertian.
"Pusatkan pikiranmu pad a pusar. Bayangkan seak an-akan di
dalamnya ada tali. Lalu tali di pusar itu berputar. Kalau tidak timbul putaran
sesuatu, berarti kau tidak bis a melakukan s eperti yang aku lakuk an tadi,"
jelas Arya. Hijau tertegun. Ia meng angguk-anggukkan kep ala sep erti mengerti
apa yang disamp aikan Ary a. Sepasang matany a lalu dipejamkan. Wajahnya
ditundukkan. Agaknya dia tengah memusatk an pikiran untuk melaksan akan anjuran
Arya. Arya menggeleng -gelengk an kepal a. Timbul rasa kasihan dalam
hatinya. Bagaimana mungkin akan ad a putaran di pusarny a k alau ten aga dalam
saja tidak dimiliki"
"Ah...!"
Jeritan kaget Hijau m engejutkan Arya. Pandanganny a segera
dialihkan pada Hijau yang t ampak bingung bercampur gembira. Matanya
yang berputaran liar terlihat berbinar-bin ar.
"Apa yang terjadi, Hijau"!" tanya Ary a. Khawatir terjadi sesuatu yang tidak


Dewa Arak 83 Irama Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

diharapkan. Hijau tidak mempedulikan pertanyaan Arya. Dia mal ah menoleh
ke sebelahny a, tempat Sahabat berad a. Sepasang mata kak ek bungkuk ini berbi
nar-binar. Suaranya sarat dengan keg embiraan.
"Sahabat, kau tahu apa y ang ku alami" Di dalam pusarku tengah
berputaran. Ah, tidak t epat. Maksudku b erg ejolak sesu atu yang amat
dahsyat. Aku dan kau tidak akan kelaparan lagi. Menyenangk an bukan"
Kau setuju" Bagus!"
"Benarkah yang kau katak an itu, Hijau?" tanya Arya, buru-buru
"Tentu saja, Arya! Untuk apa aku berbohong"!" tandas Hijau.
"Bagaimana caraku untuk membuktikannya?"
Arya berpikir sejen ak.
"Pusatkan pikiranmu untuk mengarahkan tenaga dalam p ada
tangan kanan. Aku
akan melemp arkan b atu kepad amu. Kau harus
menerimanya. Setelah itu, pusatkan pikiranmu ke jari-jari untuk meremas.
Jelas"!"
Hijau mengiyakan.
Arya m engibaskan tangan kan annya. Batu s ebesar k epatan yang
ada di tanah meluncu r k e arah Hijau. Ary a t entu saja tidak b ertindak
gegabah. Tenaga yang dikerahk an hanya untuk membuat batu mempunyai
bobot seekor kambing.
Pemuda ini baru merasa y akin dengan ucapan Hijau ketika melihat
dia deng an en ak s aja men erima batu. Seak an b atu itu tak ub ahnya daun
kering, ketika jari-jari Hijau digerakkan untuk meremas, batu pun han cur
berantak an! Wajah Arya berub ah heb at. Bagaimana mungkin ini bisa terjadi"
Bukankah tadi telah dilihatnya sendiri Hijau tidak memiliki tenaga dalam.
Hijau seperti tidak meng etahui ket erkejutan Arya. Di a terlalu
gembira d engan hasil yang dicap ainya. Kakek ini t erkek eh-k ekeh sambil
sesekali berbicara pad a Sahabat.
Arya m enatap wajah Hijau l ekat-lek at. Untuk kedu a k alinya dia
terperanjat. Sepasang mata Hijau tajam m encorong dan b ersinar kehijau an.
Demikian tajamnya sehingga Arya k aget sek ali. Sorot seperti itu hanya keluar
dari orang yang memiliki tenaga dalam sangat tinggi.
Hijau terus tertawa-tawa dengan biji mata berput aran liar. Ia lalu
menjulurkan tanganny a k e bat ang pohon jambu. Pohon itu terguncang-
guncang h ebat d an m enjatuhkan bu ah-bu ahnya, sep erti y ang Arya lakukan
tadi. Buah-buah itu semua meluncur ke arah si kakek.
Arya terb engong-b engong. Dia belum bisa berk ata-k ata ketika
Hijau sibuk menyantapi buah-bu ah merah s egar itu. Sesekali Hijau
memberikannya p ada Sahab at. Bertindak seakan-akan Sahab at menerima
dan memakanny a. Padahal, dia s endiri yang meny antap bu ah-buah itu. Tak
sedikit pun keluar kata-kat a yang ditujukan pada Ary a. Baik itu berupa tawaran
maupun basa-basi karena makan sendiri an.
Cukup lama Arya menunggu Hijau selesai dengan santapanny a.
Sambil berdesah-d esah k ekeny angan d an mengus ap-usap perutny a, kakek itu
kemudian mengalihkan perhatiannya pada Ary a.
"Terima kasih atas pelajaran y ang kau b erikan, Ary a. Kemampuan
yang kumiliki ini akan membu atku tidak kelaparan l agi. Begitu juga
Sahabat. Terima kasih, Arya. Dan..., tunggu sebentar."
Tanpa peduli pada keheran an Arya melihatnya menghentikan
ucapan, Hijau memejamkan mata. Arya yang telah tertarik deng an kakek ini jadi
memperharikan gerak -gerik Hijau. Hanya seb entar saja Hijau
memejamkan mat a. Lalu deng an biji mata b erputaran ditat apnya wajah
pemuda berpakaian ungu lekat-lekat
"Kau harus b erhati-h ati,
Arya. Aku melihat bahaya akan menimpamu. Maut berkeliling di sekitarmu. Hanya yang mengherank an,
asal bahaya itu datang dari orang-o rang yang kau kenal. Berhati-hatilah."
"Aku tidak mengerti maksudmu, Hijau" Bahaya apa" Mengapa kau
bisa mengetahuinya?" tanya Arya kebingungan.
Hijau tidak segera menjawab. Dia tercenung beberapa saat.
"Aku juga s emula tidak m engetahuiny a, Arya. Mungkin inilah
keaneh anku. Setiap kali akan terjadi bah aya baik p adaku at au orang di
dekatku, telinga sebelah
kananku akan berdenging nyaring. Maka kupejamkan. Dan aku m encoba bercak ap-cakap deng an Sahab at. Dari
Sahabatlah aku meng etahuinya. Katanya, ad a b ahay a yang mengan cammu.
Berhati-hatilah, Arya. Maaf, aku tidak bisa menemanimu lama-lama. Aku
mempunyai urusan yang sang at penting. Sekali lagi terima kasih atas
pelajaranmu. Apabila ada k esempatan p asti kita akan bertemu lagi. Selamat
tinggal! Mari, Sahabat...!"
Tanpa memberi k esempat an p ada Arya untuk memb erikan
tanggapan, k akek bungkuk meles at meninggalk an tempat itu. Ucap annya masih
bergema, tapi tubuhnya sudah berada jauh.
Arya m enghela napas berat seb elum meng-yunk an k aki, pergi.
Tubuh Hijau sudah tidak terlihat lagi. Tapi, benak Arya masih dipenuhi
pikiran mengenai Hijau yang penuh rahasia.
2 Arya mengh entikan langkahny a. Pemuda itu tengah berlari cepat
melintasi hamparan p asir. Se-auh mata m emandang y ang kelihatan h anya pasir
belaka. Tapi, ada sesuatu di sana. Sesosok tubuh berpakaian serba hitam.
Seluruh tubuhnya terbungkus. Mulai dari kepala sampai ujung kaki. Yang
terlihat oleh Arya hanya b agian belak ang tubuhnya. Sosok jangkung ini yang
menyebabkan pemud a berpakaian ungu itu menghentikan langkah.
Arya meng erutkan sep asang alisnya. Dia mengenai bentuk tubuh
sosok serba hitam ini. Sosok ini meninggalkan kenangan yang mend alam.
Pertemuannya deng an sosok serba hitam amat membekas dalam jiwanya. Di
tangan sosok inilah nyawanya pernah hampir melayang.
"Iblis Hitam...!" desis Arya, agak keras.
Sosok serba hitam seperti mendengar ucap an Ary a. Tubuhnya
dibalikkan. Sosok ini terlihat terjingkat kaget melihat keberad aan Dewa Arak
delap an tombak di depannya.
Sosok ini angker bukan main. Sekujur tubuhnya terlihat hitam.
Ada dua lubang t epat di bagian m ata untuk melihat. Tangannya terbungkus sarung
tangan hitam. Kakiny a juga tertutup sepatu hitam. Julukan Iblis Hitam memang
sesuai untuknya.
"Dewa Arak...!"
Iblis Hitam bers eru. Terasa jelas nada keg embiraan dan keterkejutan di dalamnya.
Arya tersenyum leb ar. Dia ikut melesat k etika Iblis Hitam
menghambur ke arahnya (Untuk jelasnya meng enai tokoh yang berjuluk
Iblis Hitam ini, silakan baca serial Dewa Arak dalam episode: "Peninggalan Iblis
Hitam"). "Apa yang terjadi, Iblis Hitam" Mengapa kau bisa berada di tempat
ini" Tempat yang amat jauh dari as almu. Apakah ada k eperluan penting"
Kau seperti tengah menungguku. Kau tahu aku lewat tempat ini dan sengaja hendak
m emberikan kejutan?" tany a Arya bertubi-tubi s etelah berj abatan tangan
dengan Iblis Hitam.
Iblis Hitam menghela napas berat. Tindakannya membuat Arya
menjadi heran. Perasaan tidak
enak mulai mun cul dalam h atinya.
Mungkinkah ini ada hubungannya d engan Pend ekar Golok Baja yang
menjadi kakak k andung Iblis Hitam" Apak ah telah t erjadi sesu atu terh adap
Pendekar Golok Baja?" tanya Arya dalam hati.
"Kalau kukatak an hal yang sebenarnya mungkin kau tidak percay a,
Arya," ucap Iblis Hitam hampir berupa k eluhan. "Aku merasa sep erti orang
bodoh." "Tidak ada salahnya kau menceritak an, Iblis Hitam," ujar Arya memberi semangat.
"Apakah ini ada hubungannya dengan kak akmu?"
Iblis Hitam menggeleng.
"Ini menyangkut di riku sendiri. Aku merasa aneh mengap a bisa
berad a di tempat ini. Bahkan, berdiri saja di tempat ini. Seperti ada yang
kutunggu. Padahal, tidak tahu apa yang tengah kutunggu-tunggu. Dan...."
Arya heran melihat Iblis Hitam menghentikan ucapanny a. Tokoh
angker ini seperti terkesima. Kekag etan Arya berganti kecu rigaan melihat
kilatan maut dalam pandangan Iblis Hitam.
Kecurig aan inilah y ang meny elamatk an Dewa Arak dari maut.
Dengan k ecep atan y ang menakjubk an Iblis Hitam telah men cabut sep asang
kapaknya dan mengayunk an ke leher Dewa Arak. Yang kiri meny ambar
dari kanan, sedangk an yang di tangan kanan membab at dari kiri, saling
bersilang! Untung Arya telah lebih dulu melompat sebelum sepasang kapak
Iblis Hitam yang berwarna hi tam pekat dan mengelu arkan h awa dingin menyambar.
Kalau tidak, p emuda b erambut putih k eperakan itu telah ambruk tak bernyawa.
"Iblis Hitam! Apa artinya ini"!"
Dewa Arak berseru kaget ketika berh asil menjejak tanah. Sikap
Iblis Hitam bisa berubah demikian cepat.
Tapi, pertanyaan Dewa Arak dijawab oleh Iblis Hitam d engan
serang an sepas ang kap aknya. Susul-menyusul dengan diiringi bunyi
kesiutan angin menderu-deru. Mengerikan!
Hal ini menyadarkan Dewa Arak kalau ucap annya tidak akan
berguna. Kalau di a masih s ayang nyawa, memberik an perlawananlah yang harus
dilakukan. Kalau tidak dia akan mati konyol. Pemuda berambut putih keperakan ini
segera meraih guci arak dan menenggak isinya.
Dewa Arak tahu b etapa b esar peng aruh sep asang kapak hitam di
tangan lawan Kapak itu mengeluarkan h awa dingin yang dapat membekukan otot-otot. Arya pern ah mengal aminya dulu. Maka, dia tidak
berani bertindak gegab ah. Pemuda ini bertarung dengan membuat jarak,
tidak berani terl alu dekat. Arya terpaks a menggunak an pukulan-pukulan jarak
jauh. Iblis Hitam mengetahui siasat yang dip ergunak an Dewa Arak. Dia
pun berusah a sed apat mungkin memperp endek jarak. Pertarungan jadi
terlihat aneh, seperti orang yang tengah b erk ejaran. Dewa Arak bertarung
secara mundur, sed angkan l awanny a terus m endesak maju. Jalannya
pertarung an membuat tempat berlaga berg eser jauh.
Buk! Des! Hampir berbarengan
dua serangan y ang dilan carkan k edua
petarung itu bersarang di sasaran. Guci Dewa Arak menghant am dada Iblis Hitam
dengan telak. Sebaliknya, tendangan Iblis Hitam mengenai pangkal
lengan kiri pemuda berambut putih keperakan.
Tubuh keduanya terlempar ke belak ang. Iblis Hitam mampu
bangkit dengan cepat s etelah b ergulingan di tan ah. Namun, Dewa Arak tak mampu
bangkit lagi. Tubuh pemuda itu tergolek diam tidak bergerak-g erak.
Iblis Hitam yang semula sudah bersiap melan cark an serangan
kembali segera mengurungk annya. Sepasang mat anya men atap penuh
selidik pada Dewa Arak y ang tergolek di tanah. Hany a sebentar Iblis Hitam
bersikap s eperti itu. Sesaat kemudian, d engan diawali t eriak an melengking
nyaring, tokoh angker itu melompat. Sepasang kapaknya diayunkan.
Hal ini sudah diperhitungkan Arya. Pemuda berambut putih
keperakan ini tiba-tiba mengh entakkan kedua tanganny a s ecara b erg antian.
Dewa Arak melan carkan pukul an jarak j auh deng an jurus 'Pukulan
Belalang' Iblis Hitam menggeram penuh p eras aan k aget d an marah. Ia
merasak an sambaran hawa panas meny engat. Tapi, tokoh ini memang
memiliki kemampuan luar biasa. Sambaran angin berh awa p anas
dipapakinya deng an kedua k apak Iblis Hitam memang luar bias a! Tenaga benturan
itu digunakan untuk salto k e d epan. Setel ah beb erapa kali b erputaran di
udara, tubuhnya menukik turun ke arah Ary a dengan sambaran
sepasang kapakny a.
Dewa Arak m enggulingkan tubuh untuk menyelam atkan diri. Iblis
Hitam yang rupanya sudah bertek ad membunuh pemuda berambut putih
keperakan itu memburuny a d engan s erang an k apak Cep at dan b ertubi-tubi.
Ini membuat Arya tidak mempunyai kesempat an untuk bertindak apa pun
selain bergulingan di tanah.
"Uhhh...!"
Dewa Arak meng eluark an keluhan tertahan. Gulingan tubuhnya
terhenti. Ada sebuah bend a yang tertab rak sehingg a gulingannya tertah an.
Pemuda ini mengerling. Sebatang pohon besar. Sekejap pemud a itu
memutar benaknya men cari jalan untuk menyelamark an diri.
Arya ternyata tidak mempunyai kesemp atan untuk itu. Sepasang
kapak Iblis Hitam telah lebih dulu meluruk ke arahny a. Pemuda berp akaian ungu
itu belum mau mati. Dewa Arak m emutuskan untuk menangkis
dengan menghantam pergelang an tangan Iblis Hitam. Sebuah tindakan yang amat
berb ahay a. Bagi seorang ahli k apak sep erti Iblis Hitam mudah saja menggerakk
an kap ak, meski hanya deng an berpo ros pada p erg elangan
tangan. Kedua tangan Arya bisa terpap as buntung!
*** Trang, trang! Terdengar bunyi nyaring dibarengi berpercikanny a bunga api. Itu
terjadi setel ah ad a bunyi b erd esing yang m engiringi melesatny a sinar-sinar
gelap memapaki sepasang kap ak Iblis Hitam.
Benda-bend a berwarn a gelap yang terny ata dua butir kerikil itu
langsung hancur, begitu berbenturan deng an sepas ang kap ak. Tubuh Iblis Hitam
tampak terhuyung -huyung ke b elak ang. Iblis Hitam meraung seperti binatang
terluka. Tokoh angker ini marah bercampur k aget meras akan
getaran kuat pad a tangannya.
Dengan kilat an maut p ada s epasang
matanya, Iblis Hitam mengarahk an pand angan k e arah belakang Ary a. Dalam jarak sekitar tiga tombak
dari pemuda berambut putih keperak an berdiri s eorang k akek
berpak aian penuh tamb alan. Anehnya, so bekan pakaian y ang ditempelkan masih


Dewa Arak 83 Irama Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

baru! Dalam model pakaian aneh itu terbungkus tubuh tua renta.
Kelihatan ringkih dan lem ah. Tidak hanya rambutnya yang t elah memutih, tapi
juga kumis, jenggot, dan alisnya. Tubuh kakek itu pun agak bungkuk.
"Tua bangka gila! Rupanya kau sudah ingin mati. Mampuslah!"
Iblis Hitam tidak terlihat m enjejakkan kaki un tuk melakukan
lompatan. Tubuhnya melayang cepat ke arah k akek b erpak aian tambal an.
Dalam keadaan tubuhnya di udara, lelaki itu menyelipkan kedua kap aknya di
pinggang. Rupanya, meski amat geram dan berm aksud membunuh, Iblis
Hitam masih memiliki rasa malu untuk menyerang lawan tak bers enjata
dengan pusaka and alannya.
Iblis Hitam melancarkan serang an deng an dorongan k edua t elapak
tangan terbuk a. Si kakek tidak menunjukkan gambaran p eras aan apa pun pada
wajahnya. Tidak kelihatan k aget atau g entar m eski dorongan k edua tangan
Iblis Hitam menimbulkan bunyi seperti suara geledek.
Malah, si kakek memberikan tangg apan men akjubkan. Dia ikut
melompat dan melakukan g erak an yang s ama. Tak pelak lagi, benturan dua pasang
tangan y ang sama-sama meng andung tenag a dalam tinggi tidak bisa dihindarkan
lagi. Tubuh keduanya lalu terjengkang ke belakang.
Iblis Hitam maupun si kakek seperti telah bersep akat seb elumnya.
Merek a bersalto di udara kemudian kembali melakukan serangan seperti
sebelumnya. Benturan kembali terjadi. Kali ini mereka melakukan dengan
cara lain. Iblis Hitam dan si kakek mengerahk an tenaga d alam menarik. Iblis
Hitam yang melakukan pert ama kali. Si kakek hanya mengikuti. Akibatnya, tangan
mereka s aling melekat satu s ama lain. Dalam kead aan s eperti itu, tubuh
keduanya melayang turun hingga menjejak tanah.
Di sini pertarungan yang l ebih menegangk an terj adi. Masing-
masing berusaha sekuat ten aga memenangk an tarik-men arik itu. Yang kalah kuat
akan mati lemas kehabisan tenaga karen a tersedot lawan.
Beberap a saat lam anya tidak terlihat siapa yang b erad a di atas
angin. Tapi kemudian kedua k aki dan tang an Iblis Hitam menggigil.
Semakin lama semakin keras. Si kakek masih belum menampakkan gejala
seperti Iblis Hitam, meski wajahnya telah memerah.
Dewa Arak y ang memperh atikan serangan Iblis Hitam pertama
kali terhad ap si kak ek sudah t ahu keadaan tokoh itu kurang menguntungkan. Apabila pert empuran t erus berlangsung, nyawa Iblis
Hitam bisa melay ang. Arya bergegas menghampiri t empat pertarung an.
Melalui ilmu mengirim suara dari jauh, dilontarkan pemberitahu an pada
kakek berp akaian tambalan.
"Maafk an aku, Kek. Bukannya tidak mengh argai p ertolonganmu.
Tapi, kuharap kau bersedia mengampuni l awanmu. Dia kawanku. Aku
sendiri tidak mengera m engapa tiba-tiba dia hend ak membunuhku. Aku
yakin ada h al yang tidak waj ar di sini. Maka, kuharap k au menyudahi
persoalan ini. Sekali lagi aku minta m aaf atas kelan canganku ini. Tak lupa
kuucapkan terima kasih yang seb esar-bes arnya atas pertolongan yang kau
berikan." Si kakek menatap wajah Ary a. Arya tersenyum sambil menganggukkan k epala. Kakek itu tidak memb erikan t anggapan sama
sekali. Tapi, hal ini tidak membuat Arya berk ecil hati. Pemuda berambut putih
keperak an ini merasak an kak ek berpakaian tambalan meny etujui
permintaannya. Tanpa ragu -ragu Dewa Arak mengh ampiri Iblis Hitam. Hanya
dengan sek ali menggerakkan jari menotok bahu kan an, pemuda ini berh asil
membuat Iblis Hitam lemas. Tak ubahny a seh elai kain b asah tubuh Iblis Hitam
terkulai ke tanah.
Pada saat yang bersamaan dengan tertotoknya Iblis Hitam si kakek
menghentikan aliran ten aga d alamnya. Kalau itu tidak dilakukan ny awa Iblis
Hitam akan melayang!
Dewa Arak membiarkan tubuh Iblis Hitam ambruk k e tan ah. Ia
buru-buru m elompat ke samping ketika mendeng ar bisikan yang jelas di
telinganya. Bisikan yang dikirim melalui ilmu mengirim suara dari j auh.
Bisikan yang berupa perintah.
Baru saja Dewa Arak melompat si kakek telah memutar rambutnya
yang panjang. Itu terjadi hany a deng an sedikit menggerakk an leher. Dari
putaran rambut putih itu meluncur angin keras. Demikian kerasnya angin
yang timbul sehingga tubuh Iblis Hitam sampai terguling-guling ke
belakang. Cukup jauh. Tak kurang dari sepuluh tombak.
Arya memp erhatikan s aja tindak an kakek itu. Si kakek tidak
hendak men celak ai Iblis Hitam. Hanya membuat tubuh Iblis Hitam
terpental. Dug aan Arya tidak k eliru. Begitu kekuat an y ang menggulingkan
tubuh Iblis Hitam telah habis, tokoh itu mampu bangkit berdiri.
Dewa Arak terkejut bukan main. Bukan karen a Iblis Hitam yang
menatap k akek berp akai an tam balan d engan so rot penuh an caman. Tapi, karen
a Iblis Hitam telah berhasil beb as d ari p engaruh totokan. Iblis Hitam tidak
akan mampu b ebas d ari totokan secepat itu. Berarti si k akek yang
membebaskanny a.
Kenyataan ini menyad ark an Dewa Arak akan ketinggian ilmu si
kakek. Dalam putaran rambut un tuk melemparkan Iblis Hitam, dia bisa
membebaskan totokannya. Arya sendiri tidak yakin akan dapat melakukan
hal itu. Iblis Hitam rupanya meny adari kead aanny a yang tidak menguntungkan. Setelah melempar p andang p enuh keb encian p ada k akek berpak
aian tam balan d an melay angkan tatap an penuh an caman pad a Dewa Arak, dia
membalikkan tubuh lalu melesat cepat meninggalkan tempat itu.
Arya diam saja. Begitu juga si kakek. Hanya kalau saja Dewa Arak
menatap hingga tubuh Iblis Hitam lenyap di kejauhan, si kakek tidak
mempedulikannya sama sekali. Wajahnya ditundukkan menekuri tanah.
Beberap a kali helaan napas berat keluar dari mulutnya.
Dewa Arak yang tidak ingin menggangu k easyikan si k akek
membiarkan saj a. Arya h anya memp erhatikan t anpa b erani m engusik. Baru
ketika si kak ek meng angkat wajah d an men atap k e arahny a, Dewa Arak
menyunggingkan senyum lebar. Kemb ali si kakek tidak memberikan
tanggapan. Wajahnya tetap dingin. Sinar matany a pun tidak terlihat beri ak.
Arya tidak m eras a tersinggung. Pemuda ini mal ah memakluminya. Banyak tokoh
persilatan y ang memiliki wat ak an eh. Terutama y ang tel ah memiliki kepandai
an sukar diukur dan b erusia lanjut. Meski Arya tidak mengerti mengapa seperti
itu, tapi dia bisa memahaminya.
"Sekali lagi kuucapkan terima kasih atas pertolongan yang kau
berikan, Kek. Kalau tidak ada k au mungkin aku sudah tidak ada di dunia ini,"
Arya membuka pembicaraan deng an wajah penuh persah abat an.
"Kau Dewa Arak, buk an?" tanya k akek itu tanp a mempedulikan ucapan terima
kasih Arya. "Begitulah
orang-orang p ersilatan menjulukiku, Kek," Arya
mengangguk. "Tapi, aku lebih suka dipanggil dengan n amaku. Ary a Buana namaku,
Kek. Orang biasa menyapaku Arya."
"Apalah artinya panggilan
nam a atau julukan?" si
kakek menggumam sendiri. Tapi, Arya yang memiliki pendengaran taj am dapat
menangkapny a. Kakek berp akaian tambal an lalu menatap ke langit.
"Aku sendiri sudah lupa namaku. Malah, aku merasa ben ci dengan
diriku sendiri. Yang kut ahu, aku
adalah ketua perkumpulan
yang menjijikkan. Perkumpulan yang telah dibawa oleh orang-orang asuhanku ke jalan
sesat Ahhh...! Betapa memalukan bila mengingatnya...."
Kembali Dewa Arak tidak mengusik keasyikan si kak ek. Arya
malah menggunak an k esempatan
itu untuk memperhatikan k ead aan
penolongnya. Hati pemuda ini tercekat k etika melihat tangan si kak ek yang
berwarna merah darah. Merah samp ai sebatas pergel angan tangan !
Tanda ini membuat Arya yang s emula tidak bi sa menduga siapa
kakek itu kini m empunyai gamb aran sedikit. Dia tel ah mend engar kab ar yang
te-si ar di dunia p ersilatan m engen ai perkumpulan peng emis yang memiliki
ciri-ciri demikian pada setiap anggotany a. Perkumpulan Pengemis Tangan Merah
demikian namanya.
"Apakah kau k etua p erkumpulan Peng emis Tangan Merah, Kek?"
tanya Arya ketika si kakek mengalihkan pandang an ke arahny a.
Kakek berpak aian tambalan m engangguk sam bil menghela napas
berat setelah beb erap a saat menatap Dewa Arak lekat-lekat.
"Mungkin pertany aanmu p erlu s edikit kuperb aiki, Anak Mud a.
Aku bukan lagi s eorang ketua, melaink an orang buang an. Semua ini
memang kesal ahanku. Aku tel ah membuat p erkumpulan itu jatuh k e dalam lumpur
kehinaan. Entah bag aimana aku h arus mempertanggung jawabkan
semua ini pada saudara seperguruanku...."
Kakek itu mengg antung perkataannya. Wajah nya yang dingin
terbias kabut kedukaan. Tampaknya kakek itu menderita tekanan batin.
"Mengapa kau tidak berusah a meluruskan kembali perkumpulan
itu, Kek" Aku yakin dengan kemampuanmu tidak sulit melakukanny a,"
Arya mengajukan saran.
"Apa y ang k au k etahui tentang perkumpulan k ami, Anak Mud a?"
tanya si kakek, dingin.
"Maaf, Kek. Bukannya maksudku untuk menggurui. Tentu saja
bila dibandingkan denganmu sebag ai tokoh puncak perkumpulan itu,
pengetahu an yang kumiliki mengenai perkumpulanmu amatlah sedikit,"
kilah Arya buru-buru untuk meredak an suasana y ang mulai memanas.
Kakek berp akaian tambal an ini kelihatannya terlalu pemarah.
"Syukurlah kalau k au meny adari h al itu," suara si k akek melun ak.
"Tapi karena kau t elah telanju r bicara dan membu at rasa ingin tahuku muncul,
aku ingin kau kemukak an hal -hal y ang k au ket ahui ten tang
Perkumpulan Pengemis Tangan Merah."
Arya tidak punya pilihan lain kecuali menuruti keh endak si kak ek.
Dia merasak an adanya tek anan y ang tidak mengh endaki b antahan dalam ucapan
kak ek itu. "Yang kuketahui tidak bany ak, Kek. Kalau k au bersik eras
memaksa, aku tidak punya pilihan lain. Kuharap apabila yang kukemukakan ini
berlainan dengan kenyataan kau tidak menjadi gusar karenany a. Dan...."
"Lupakan b asa-b asi itu! Aku bukan anak kecil yang mudah marah
oleh hal-hal yang tidak berarti. Katakan saja apa yang kau ingin
sampaikan!" potong si kakek tidak sabar.
3 "Sepanjang pengetahu anku, Perkumpulan Pengemis Tangan Merah
berjalan di jalur sesat. Telah banyak kudeng ar perbuatan tidak patut yang
dilakukan anggota-anggotanya. Di samping banyak m elakukan tindak
kejahatan, perkumpulan itu pun telah bany ak menewaskan para pend ekar.
Karen a hend ak mencegah merajal elanya Perkumpulan Pengemis Tangan
Merah itulah aku berada di sini."
Arya menghentikan u capanny a. Dengan penuh selidik pemuda
berambut putih keperakan ini mengawasi wajah k akek di depanny a. Arya
berusah a membaca perasaan yang tersirat di wajah si kakek
Tapi, Arya tidak bisa menyimpulkan apa pun. Wajah kakek itu
tidak berubah sedikit pun. Tetap dingin bagai tertutup topeng.
"Dan...," Arya melanjutkan ucap annya. "Menurut berita yang kudapat, Ketua
Perkumpulan Pengemis Tangan Merah ad alah tokoh yang
berjuluk Pengemis Tua Berbulu Putih. Itulah yang bisa kukatakan padamu."
"Semua yang kau katakan itu benar, Anak Muda," lesu ucapan
kakek berp akai an tambalan. Selesu sinar matanya yang kuyu. "Memang demikianlah
keadaan Perkumpulan Pengemis Tangan Merah, mengacau
dunia persilatan.
Patut kuacungi jempol peng etahuanmu m engenai perkumpulan itu. Kau tahu pula meng enai tokoh yang berjuluk Pengemis
Tua Berbulu Putih. Apakah kau tidak bi sa mengira-ngira siapa tokoh yang kau
sebutkan itu?"
Arya membisu. Pemuda ini memperhatikan sekujur tubuh si kakek.
Tatapannya beberapa kali berh enti pada rambut, kumis, alis, dan jenggot kakek
berpak aian tambalan yang putih bersih.
"Benar, An ak Muda," s eperti meng etahui dug aan dalam b enak Dewa Arak, si
kakek mengang guk. "Akulah orang yang kau sebutkan itu.
Akulah Pengemis Tua Berbulu Putih. Ketua Perkumpulan Pengemis Tangan
Merah. Tapi itu dulu. Sudah lama jab atan itu kus erahk an p ada orang yang
kupercaya. Sungguh tidak kusangka kalau akhirnya akan seperti ini."
Arya tidak merasa k aget mend engar penjel asan k akek itu. Dia
sudah menduga seb elumnya. Perasaan iba menyeruak di hati Dewa Arak.
Dia bisa merasakan keh ancuran hati Pengemis Tua Berbulu Putih.
"Maaf, Kek. Bukannya aku lancang atau meng gurui. Tapi seperti
yang kukatak an tadi, mengapa k au tidak berus aha melurusk an jalan
perkumpulan itu" Aku yakin k au mampu. Ap alagi mengingat jabatan yang
dulu kau sandang."
Pengemis Tua Berbulu Putih mengurut dada dengan sikap prihatin.
Dia tidak kelihatan gembira mendengar usul Arya.
"Seperti juga yang kuk atak an tadi, Anak Mud a. Kau hany a tahu
kulitnya saja mengenai perkumpul an kami. Mungkin perlu kujelaskan kalau
Perkumpulan Pengemis Tangan Merah mempunyai atu ran yang amat keras.
Setiap anggotanya harus taat sepenuhny a pad a orang yang m emegang
pusaka lambang perkumpulan. Pusaka itu dipegang oleh sang ketua. Baik
buruknya p erkumpulan ditentukan oleh dia. Ap abila sang ketua telah
bertitah dengan meng angkat tongkat lambang perkumpulan, tidak boleh ada
bantahan apa pun dari para anggota. Itu sudah m erupak an aturan mati.
Anggota yang m embantah akan dihukum d engan j alan bunuh diri di
hadapan semua anggot a perkumpulan!"
"Tidak terkecuali kau, Kek?" tanya Arya, ingin tahu.
"Tidak ada kecualinya, Anak Muda!" tandas Pengemis Tua
Berbulu Putih. "Karena tidak tah an melihat kes esatan y ang terjadi, aku
memilih pergi meninggalkan perkumpulan. Aku h anya bisa m en dengar dan
menyaksikan semuanya deng an batin merintih sedih."
"Yang kuherankan, mengapa kau bisa salah memilih orang untuk


Dewa Arak 83 Irama Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menjadi ketua" Dan, mengapa kau mengundurk an diri dari jabatan itu kalau kau
tahu malapetaka ak an terjadi" Menurutku kau belum terlalu tua untuk menjabat
pimpinan perkumpulan."
"Mungkin menurut penilaianmu belum terlalu tua, Anak Muda.
Tapi, aku merasa sebaliknya. Aku sudah jenuh mengurus perkumpulan. Aku
ingin menyepi dan bebas dari urusan. Kupilih muridku yang terbaik. Aku
tidak salah memilih orang. Tapi karena ada o rang y ang berhati keji, semua ini
terjadi. Ketua yang kuangkat terpengaruh ilmu hitam yang dilancarkan seseorang.
Dia lalu bertindak buk an dari hatinya sendiri," jelas Peng emis Tua Berbulu
Putih. Arya meng eluark an seru an kag et mendeng arnya. Dia sungguh
tidak menyangk a hal itu. Meski demikian, dia tidak merasa heran. Banyak ilmu-
ilmu aneh di dunia ini. Hal yang wajar jika Ketua Perkumpulan
Pengemis Tangan Merah terken a pengaruh ilmu hitam seseorang.
"Apakah kau t ahu siapa orangnya, Kek?" desak Arya penuh rasa ingin tahu.
Pengemis Tua Berbulu Putih mengangguk pelan
"Seorang musuh b esarku. Ia dend am pad aku k aren a pernah
kukalahkan bel asan tahun yang lalu. Seorang tokoh sesat yang berjuluk
Penunggu Alam Kubur."
"Penunggu Alam Kubur"!" ulang Arya dengan alis berkerut.
"Kau mengenalny a, Anak Muda?" tanya Pengemis Tua Berbulu
Putih penuh gairah, berbeda dengan sebelumnya yang dingin dan tak acuh.
Arya menggeleng.
"Aku hanya mend engar b eritany a saja, Kek. Kudeng ar dia seo rang tokoh sesat
yang amat sakti. Kabarnya dia tel ah mengundu rkan diri dari dunia persilatan.
Lenyap begitu saja tanpa ad a yang tahu ke mana. Tokoh itu tidak pernah t
erlihat wajah maupun tubuhnya k aren a sel alu berada di dalam peti mati. Ketika
bertarung pun dia tetap tidak keluar dari tempatnya.
Apa benar demikian, Kek?"
"Benar, Anak Muda. Tapi ketika bentrok denganku, peti matinya
berhasil kuhan curkan ! Dia d apat lolos dengan menyeb arkan uap beracun.
Karen a k ekalah annya itu dia tidak pernah mun cul lagi k e dunia persilatan.
Kendati d emikian, aku k enal s emua ilmu-ilmunya. Karen a itu aku yakin
kejadian yang menimpa perkumpulanku adalah ulahny a"
Suasana hening ketika Pengemis Tua Berbulu Putih menyelesaikan
ceritany a. Kedua orang itu tenggelam dalam alun pikiran sendiri-sendiri.
"Lalu, apa tindakan yang akan kau lakukan, Kek?"
"Mencari dan membunuhnya, Anak Muda. Hanya itulah satu-
satunya jalan agar Perkumpulan
Pengemis Tangan Merah b erh enti
melakukan tindak kekejian!" jawab Pengemis Tua Berbulu Putih. Tegas dan mantap
suaranya. "Kau mempunyai dugaan di mana Penunggu Alam Kubur itu
berad a?" Sorot mata yang semula berbinar-bin ar p enuh s emangat itu kini
redup. Ary a s egera tahu jawaban yang akan didapatk annya. Kakek
berpak aian tambalan menggelengk an kepala.
Arya mengh embuskan nap as berat. Bagaimana mungkin men cari
seseorang di dunia yang begini luas" Tanpa ada perki raan s ama sekali!
Kapan akan bisa ditemukan" Sebulan" Setahun" Selama itu Perkumpulan
Pengemis Tangan Merah akan merajalela tanp a dapat dicegah.
"Aku mempunyai seorang kenal an, Kek. Seorang tokoh an eh yang
dapat meramalkan k eberadaan seseo rang h anya d engan kita m enyebutkan ciri-
cirinya. Dia b erjuluk Peramal Gendeng. Say ang, tokoh itu sudah
meninggalkan tempat kediamanny a. Mengungsi ke tempat lain, karena
tempat pengasinganny a sud ah diketahui o rang," beritahu Arya s etengah
mengeluh (Untuk jelasnya meng enai tokoh aneh itu silakan baca episode:
"Iblis Buta". Setelah bertempur dengan J erangkong Penjag al Nyawa yang
berakibat tokoh aneh itu cel aka kalau tidak ditolong Dewa Arak, Peramal Gendeng
pergi meninggalkan tempatnya).
Pengemis Tua Berbulu Putih tidak memberikan tanggapan.
"Meski demikian, bukan berarti aku tinggal diam, Kek. Aku akan
berusah a menemukan Penunggu Alam Kubur," janji Arya.
Bekas Ketua Perkumpulan Pengemis Tangan Merah menatap
wajah Arya lek at-lekat.
"Benarkah kau ingin membantu kami, Anak Muda?"
"Tentu saja, Kek!" tandas Arya.
"Mungkin kau tidak perlu bersusah-sus ah mencarinya. Meski tidak
berani meng aku p andai dal am hal ilmu gaib, aku mampu m eras akan
getaran -getaran bila ses eorang memiliki ilmu gaib. Kemam puan yang
kumiliki hanya sampai di situ. Tapi itu kurasa lebih dari cukup. Perlu kau
ketahui, Anak Muda. Pada dirimu kuras akan g etaran-get aran itu. Kau
memiliki ilmu gaib. Apakah dugaanku ini benar?"
"Maaf, Kek. Kurasa k au sal ah al amat. Aku ti dak memiliki ilmu
gaib!" bantah Arya.
"Benarkah d emikian, Anak Muda?" Pengemis Tua Berbulu Putin
tidak percaya. "Kurasakan getaran-g etaran itu. Kuat bukan main. Ingat-ingatlah.
Mungkin kau tidak menyad arinya. And aikata ben ar k au tidak memiliki ilmu
gaib, tak mungkin getarannya kurasak an. Apalagi demikian kuat!"
Keyakinan y ang sangat dal am pernyat aan Pengemis Tua Berbulu
Putih membuat Arya merenung. Pemuda berambut putih k eperakan ini
kemudian tering at sesu atu. Dia m emang tidak memiliki ilmu gaib. Tapi, pernah
b erhubung an deng an hal-h al gaib. Lebih tep atnya lagi d engan makhluk dari
alam gaib. Beb erap a k ali makhluk yang berupa b elalang
raksasa itu masuk ke dalam tubuhnya.
"Mungkinkah yang kau maksudkan itu p ernah m asuknya makhluk
dari alam gaib ke dalam tubuhku, Kek?" tanya Arya, meminta kepastian.
"Makhluk alam gaib masuk ke dalam tubuhmu, Anak Muda"
Mungkinkah itu"! Kalau ben ar demi kian tidak aneh g etaran-g etaran yang
kualami demikian besar. Ini benar-b enar lu ar bias a! Bisa kau ceritakan
mengapa makhluk alam gaib itu bisa masuk ke dalam dirimu" Boleh kutahu
berbentuk apakah makhluk itu" Jin, raksasa, binatang, atau roh orang yang
meninggal?"
Arya m enghembuskan n apas b erat. Suaranya terd engar penuh
penyesalan ketika berbicara.
"Sayang sekali, Kek. Aku tidak bisa men ceritakanny a. Ini
merupakan rah asia diriku. Maafk an aku. Bukannya aku tidak p ercaya
padamu. Aku tidak bisa menceritakanny a pada orang lain..."
"Aku bisa mengerti, Anak Muda. Kau tidak usah khawatir aku
akan tersinggung. Kau tidak perlu meminta maaf. Itu h akmu!" s ambut Pengemis
Tua Berbulu Putih dengan nad a dat ar. "Tapi, boleh aku
mengajukan pertany aan pad amu?"
"Kemukakan s aja, Kek. Barangk ali aku bisa menjawabny a," jawab Arya, hah hati.
Pemuda berambut putih keperakan ini tidak berani langsung menyanggupi.
"Makhluk alam gaib itu masuk k e d alam dirimu sekeh endak
hatinya atau karen a kau inginkan" Misalnya, kau panggil begitu?"
"Dia masuk apabila kupanggil."
"Sudah cukup, Anak Mud a! Hanya itu p ertany aanku! Kal au kau
benar-benar h endak m embantuku, kuharap k au mau memanggil makhluk
itu. Dari jawaban makhluk alam gaib itu kita bisa tahu di mana Penunggu Alam
Kubur." Arya termenung. Tidak langsung mengiyakan atau menolak.
"Bagaimana, Anak Muda" Kalau kau setuju cepat berikan jawab an.
Aku bukan termasuk o rang y ang sabar. Jika tidak, aku akan p ergi dan
mencariny a sendiri," desak si kakek.
"Aku setuju, Kek." Ary a seg era meng ambil keputusan. "Tapi, aku masih tidak
tahu rencanamu."
"Sederhan a saja," timpal Pengemis Tua Berbulu Putih. "Kau panggil makhluk itu
dan perintahkan masuk ke dalam batu ini. Setelah itu tanyakan di man a Penunggu
Alam Kubu r. Nanti makhluk itu akan
memberikan jawab an berup a tulisan di tanah!"
Tanpa menunggu jawaban Arya, si kakek menaruh sebuah batu
yang tadi dipungutnya dari tanah. Sebutir batu seb esar k epalan tang an yang
berujung runcing.
Arya masih bingung. Pemuda ini tidak yakin akan keberhasilan
rencana Pengemis Tua Berbulu Putih. Memang diakui dia beberapa kali
pernah mem anggil belalang raksas a. Tapi untuk masuk ke dalam dirinya.
Bukan ke dalam batu seperti yang dipinta si kakek
Namun Arya sudah menyanggupi. Segera dipusatkan pikirannya
dan memanggil belalang raksasa di alam gaib ag ar masuk ke d alam batu.
Beberap a saat kemudian angin berhembus. Pelan tapi dingin. Perasaan
gembira bercampu r lega muncul di hati Arya k etika melihat batu yang
semula diam kini bergerak-g erak. Gerak an itu terhenti ketika b atu berdiri
dengan ujungnya yang runcing menempel di tanah.
"Sekarang p erintahkan p adanya untuk memberitahukan di mana
Penunggu Alam Kubu r, Anak Muda." Peng emis Tua Berbulu Putih segera berkata.
Kembali, Dewa Arak memusatkan pikiran. Di a berbi cara di dalam
hati untuk memerintahkan belalang raksasa yang telah berad a di dalam batu.
Begitu Arya selesai berbi cara, batu itu b erg erak -gerak. Ujungnya yang
runcing menggurat-gurat tanah seperti ad a tang an tak namp ak yang
menggerakk annya.
Arya d an Pengemis Tua Berbulu Putih memperh atikannya d engan
penuh minat. Mata mereka seperti menempel pada gerak an batu. Ketika
gerak an batu berhenti, di tanah terd apat seb aris tulisan. Arya dan Peng emis
Tua Berbulu Putih membacanya cukup keras.
"Penunggu Alam Kubur berada di pegunungan kapur. Di salah satu
gua yang dindingnya berupa tebing berbentuk gambar kepal a harimau!"
Hampir berb areng an Ary a dan si kak ek menyeles aikan ucapanny a.
Arya m enatap bek as pemimpin Perkumpulan Pengemis Tangan Merah.
Tapi, si kakek tak m empedulikan. Dia malah mengelu arkan seh elai kain hitam
sepanjang dua jengkal. Cepat batu runcing diikat dengan kain hitam.
Arya meng ernyitkan alisnya. Tidak mengerti deng an tindakan
Pengemis Tua Berbulu Putih. "Apa yang hendak k au lakuk an, Kek?" tanya Arya.
"Membawa batu ini, Anak Mud a. Batu bek as tempat makhluk
gaibmu akan menuntunku ke tempat yang ben ar. Apabila aku salah jal an, dengan
adanya batu ini
aku bisa meras akan g etaran-get aran
yang menunjukkan kesalahanku," beritahu Pengemis Tua Berbulu Putih.
"Apakah keterang an itu sudah cukup, Kek?" tany a Arya s etelah mengangguk-
anggukk an kepala memah ami penjelasan si kakek.
"Petunjuk itu cukup jelas, Anak Muda."
"Kalau begitu, sudah saatnya makhluk gaib itu kuminta pergi."
Arya segera memejamkan mata untuk memusatkan perhatian. Tapi,
segera dibukanya lagi k etika mendeng ar u capan Pengemis Tua Berbulu
Putih. "Kau benar-ben ar buta dengan ilmu-ilmu gaib, Anak Muda"!"
"Aku tidak mengerti maksudmu, Kek?" jawab Arya.
"Makhluk gaib itu sud ah p ergi!" tegas Pengemis Tua Berbulu
Putih. "Makhluk itu pergi begitu selesai menuliskan petunjuk. Kukira kau
mengetahuinya...."
"Aku tidak mengetahuinya, Kek. Aku tidak tahu makhluk itu telah
pergi. Aku tahu kepergiannya kalau makhluk itu masuk ke dalam tubuhku."
Pengemis Tua Berbulu Putih menatap Arya lekat-lekat. Dia tengah
mencari kesungguhan ucapan Ary a dalam wajahny a.
"Kalau tidak mend engar sendiri, aku tidak akan p ercaya o rang
yang buta ilmu g aib sepertimu bisa memanggil m akhluk dari alam g aib.
Sulit untuk dipercay a," ujar si kakek kemudian.
Arya ters enyum simpul. Dia tidak memberikan jawab an. Di
samping memang tidak perlu, pemuda b erambut putih k eperakan ini pun
tidak tahu apa yang harus dikatakannya.
"Sekarang ap a yang akan kau lakuk an, Kek" Mengejar Penunggu
Alam Kubur?"
"Begitulah, Anak Muda. Tapi sebelum itu aku ingin menengok
perkumpulanku!" ujar si kekek.
"Aku ikut, Kek!" Arya mengajuk an diri. "Barangkali ten agaku yang kurang
berarti ini dapat kusumbangkan untuk membantumu."
Pengemis Tua Berbulu Putih tidak memberikan jawaban. Yang
dilakukan kakek berpakai an tambalan itu malah melesat pergi. Arya
mengangkat kedu a bahuny a kemudian m elesat menyusul si kak ek. Meski
tidak ada jawab an sedikit pun, menurut perkiraan Arya, kakek itu tidak
keberatan dia ikut serta.
*** Dewa Arak merasak an keheb atan Pengemis Tua Berbulu Putih.
Betapapun Ary a telah meng erahk an seluruh ilmu lari cepatnya, jarak antara dia
dan kakek itu tidak berubah. Sekitar delapan tombak. Arya yang terus menujukan
pandangan ke d epan jadi mengerutkan sep asang alisnya ketika melihat di
kejauhan tampak beberapa orang tengah terlibat pertarung an
Seorang kak ek yang tidak terlihat jelas ciri-cirinya k aren a cukup
jauh tengah menghad api lima orang l elaki berpak aian p enuh tambal an.
Tangan kelima lelaki yang merah menunjukkan kalau mereka anggota
Perkumpulan Pengemis Tangan Merah. Arya b ertambah h eran melihat
gerak an ilmu golok lawan kelompok peng emis. Ilmu golok kakek itu tidak asing
bagi Arya. Ternyata bukan hanya Arya yang tertarik dengan pertarung an itu.
Pengemis Tua Berbulu Putih pun demikian. Kakek itu menghentikan larinya ketika
jarak dengan kan cah pert arungan tinggal lima tombak.
Arya mengh entikan langkah di sebelah ki ri kakek b erp akaian
tambalan itu. Dikerlingnya sejen ak Pengemis Tua Berbulu Putih sebelum
mengarahk an perh atian pada p ertarungan. Dilihatnya wajah bekas Ketua
Perkumpulan Pengemis Tangan Merah itu biasa saja. Napasny a pun tidak
memburu walau ada s edikit keringat di keningnya. Sementara Arya
wajahnya agak memerah. Keringat pun tidak hanya di dahi, melainkan juga di leher
dan di bawah hidung!
Ketika Arya mengalihkan perhatian pad a kakek yang tengah
bertarung, dia bertambah heran. Tidak salah dugaanny a. Ilmu golok itu
pernah dik enalnya. Kakek itu pun dik enalnya d engan cukup b aik. Kakek yang
wajahnya berbintik-bintik putih itu tidak lain Pandora. Pelayan
kepercay aan Pendekar Golok Baja yang menjadi kakek kandung Iblis Hitam alias
Kala Sunggi! Yang menjadi pertany aan Ary a, mengapa Pan dora berad a di
tempat ini" Adakah hubunganny a deng an k eberadaan Iblis Hitam" Padahal tempat
tinggal kedua orang itu cukup jauh dari sini!
Meski tengah memperhatikan jalannya pertarung an dengan penuh
minat, Pengemis Tua Berbulu Putih sempat melihat ke arah Arya. Kakek itu
menolehkan kepala men atap wajah Dewa Arak penuh selidik.
"Kau kenal kakek bergolok itu, Anak Muda?"
"Benar, Kek," Arya mengangguk. "Dia kawan baikku"
Pengemis Tua Berbulu Putih tidak mengajukan pertanyaan lagi.
Dia segera mengalihkan p erh atian pada j alannya p ertarung an. Arya pun
demikian. 4 Arya mengerutkan alis. Pemuda ini khawatir dengan keselamatan
Pandora. Jika p ertarungan ini terus b erlangsung, k eselamat an p elayan
Pendekar Golok Baja itu terancam.
Terlihat jelas oleh Arya gulungan sinar golok Pandora semakin
menyempit, terdesak oleh gulungan sinar tongkat lawan-lawanny a. Memang kepandai
an Pandora berada di atas l awan-l awanny a, tapi lima orang terlalu berat bagi
Pando ra. Apal agi kelima Iawannya itu mampu bekerj a sama
dengan baik Kekhawatiran Dewa Arak beralas an. Dengan sebu ah gerak tipu
yang baik du a orang anggota Pengemis Tangan Merah b erhasil menj epit
golok Pandora. Sebelum k akek berwajah bintik-bintik putih itu sempat
berbuat sesuatu, tiga batang tongkat lawannya telah meluruk datang.
Pandora tidak puny a pilihan lain.

Dewa Arak 83 Irama Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Jika dia bersik eras mempertahank an golok, nyawany a ak an melay ang. Maka m eski dengan
berat hati senjata andal annya itu dilepaskan. Kakek ini lalu melempar
tubuhnya ke belakang.
Gerak an Pando ra t ernyat a kurang cepat ! Salah s atu tongkat l awan
tetap bersarang di tubuhnya. Pangk al lengan kan an Pandora ken a g ebuk.
Telak dan keras. Tubuh Pandora terjengkang dan terb anting di tanah. Kakek ini
memuntahkan darah s egar d ari mulutnya. Sebelum sempat bangkit, lima lawannya
telah meluruk m aju deng an tongkat diayunkan. Pandora h anya
bisa membelalakkan mata untuk menghadapi maut
Pada kej adian ini, Ary a tidak bis a tinggal diam lagi. Betapapun
tidak diketahui penyebab pert arungan itu, tapi sudah jelas pihak yang
diketahui Dewa Arak berada di jalan benar teng ah teran cam. Laksana
seekor burung, pemuda b erambut putih keperakan ini melay ang ke dalam
kancah pertarungan. Tubuhnya menyelinap di antara lima orang pengemis
dan Pandora. Bunyi berdentang nyaring beb erap a kali terdengar ketika guci
Dewa Arak berb enturan deng an tongkat para peng emis. Tongkat-tongkat itu
langsung berlep asan d ari peg angan. Tubuh pemiliknya terjengk ang ke
belakang. Tanpa mempedulikan lawan-lawannya, Arya segera membalikkan
tubuh dan berjongkok memeriksa keadaan Pando ra. Terlihat wajah k akek
itu berseri-seri gembira. Bibirnya berkemik menyebut satu nama.
"Dewa Arak! Tidak kusangka bisa berjumpa di sini...."
"Selamat bertemu lagi, Pandora. Aku pun tidak menyangka akan
bertemu denganmu. Biar kuperiksa dulu lukamu."
Cepat Arya mem eriksa bagi an tangan y ang terk ena pukulan
tongkat. Ternyata tidak terlalu parah. Dengan beb erapa totokan nap as sesak
Pandora pulih kembali. Bahkan, rasa sakit di dadanya pun langsung lenyap.
Walau sibuk mengurusi Pandora, Arya tidak meninggalkan
kewaspad aanny a. Pendeng aranny a dipertajam untuk mengetahui gerak-
gerik lima pengemis di belakangnya. Karen a itulah dia tahu merek a telah
menggenggam tongkat masing-masing dan siap melancarkan serangan.
"Dewa Arak! Awas di belak angmu...!" seru Pandora ketika
Pengemis-pengemis Tangan Merah men erjang Dewa Arak deng an ayunan
tongkat. Sebenarny a, Pandora tidak perlu memberi peringatan. Ary a telah
mengetahuinya. Pemuda berambut putih keperak an ini segera membalikkan
tubuh seray a meng embangk an kedu a t angannya. Akibatnya b enar-ben ar
menakjubkan. Kelima Pengemis Tangan Merah tak ubahnya terhantam
angin badai. Tubuh mereka berpental an ke sana kem ari seperti daun-daun kering.
Beruntung Dewa Arak masih memandang Pengemis Tua Berbulu
Putih. Betapapun telah dideng arnya tindak-tanduk anggota Perkumpulan
Pengemis Tangan Merah yang k eji, namun dengan adany a Pengemis Tua
Berbulu Putih di situ kakek inilah y ang lebih berh ak untuk b ertindak. Biar
bagaimanapun k akek ini sesepuh perkumpulan p engemis itu. Memberikan
hajaran t erhad ap mereka d engan adany a Pengemis Tua Berbulu Putih sama
artinya tidak menganggap keberadaan beliau.
Seperti yang diduga Dewa Arak, lima Pengemis Tangan Merah
tidak mempunyai pikiran sama sekali. Mereka tidak tahu Arya tel ah berlaku
sangat mengalah. Begitu berhasil bangkit dari b ergulingannya, mereka
langsung bersiap untuk menerjang kembali.
Arya memutar ben aknya. Pemuda ini jadi serba sal ah. Pengemis
Tua Berbulu Putih belum juga melakukan tindakan.
Di saat Arya telah mengambil keputusan untuk memberikan
hajaran lebih k eras, pend engaranny a men angkap k esiuran angin dingin.
Arya meras a lega. Pengemis Tua Berbulu Putih telah siap untuk bertindak.
Sekejap kemudian, di antara lima pengemis dan Arya, berdiri
Pengemis Tua Berbulu Putih dengan kedua tangan di pinggang. Sikapnya
kelihatan penuh wibawa.
Lima Pengemis Tangan Merah terperanjat kaget. Tangan-tangan
yang semula meneg ang siap melan carkan serangan, melem as kembali.
Merek a saling berpandang an satu sama lain dengan sikap serba salah.
"Pengemis Tua, mengapa menghalangi maksud kami" Dia telah
lancang m encampu ri urusan kami?" tanya p engemis yang berhidung besar, suarany
a terdengar pelan.
"Siapa yang hend ak menghal angi maksud kalian" Aku malah
menawarkan diri untuk kalian s erang. Tidak usah tanggung-t anggung kalau
bertindak. Ayo! Sekalian serang aku!"
Tongkat-tongkat yang tergenggam di tangan dijatuhkan ke tan ah.
Salah satu ujungnya menyentuh tan ah, sedangkan ujung lainnya tetap
berad a di cekalan. Terlihat jelas kelima p engemis itu tidak berani meladeni
tantangan Pengemis Tua Berbulu Putih.
"Mana k ami berani?" lagi-lagi peng emis berhidung besar yang memberikan jawab
an. Rupanya, kawan-kawannya telah memilihnya sebagai
juru bicara mereka.
"Kalau begitu lekas kalian pergi dari sini. Sampaikan pada murid
durhaka itu kalau aku akan mengunjunginya dan mencabut nyawany a!
Cepat! Jangan tunggu kesabaranku hilang dan kalian kubunuh!" teriak Pengemis Tua
Berbulu Putih dengan suara menggeledek.
Lima pengemis itu kemb ali saling berpandang an. Dal am adu
pandang itu s atu kes epakat an telah mereka capai. Setelah mengangguk
hormat pada Peng emis Tua Berbulu Putih, mereka membalikkan tubuh dan
berlari m eninggalkan tempat itu. Tak lupa s ebelum meles at pand angan penuh
keb encian dan ancaman dilay angkan pad a Dewa Arak d an Pandora.
Tapi, kedua orang itu tidak mempedulikannya.
Arya meng alihkan perhatian pad a Pandora. Kakek itu telah berdiri
tegak. Goloknya y ang tergelet ak di tan ah tel ah disarungk an k embali dan
diletakkan di belakang punggungnya.
Pengemis Tua Berbulu Putih tidak mempedulikan Arya dan
Pandora. Dia m asih terp aku men atap k epergi an lima Pengemis Tangan
Merah. *** "Mengapa k au bisa berada di sini, Kek" Apa pula mas alahnya
sehingga kau bentrok d engan para Pengemis Tangan Merah itu?" tanya Arya.
"Panjang sekali ceritanya, Dewa Arak," jawab Pandora. Dihelanya napas berat.
Kakek itu lalu menengadahkan wajah menatap angk asa. Kemudian katanya setel ah
menatap Arya sejen ak, "Beberapa waktu yang lalu Tuan Prajasena mendap at
kiriman su rat mel alui seeko r burung. Surat itu berisikan p esan agar Tuan
Praj asena seg era dat ang k e sebu ah t empat. Ada masalah p enting yang h arus
dibicarakan segera. Tuan Praj asena pun p ergi.
Dia berp esan agar aku m enyampaikan berita kepergiannya pada Tuan Kala Sunggi.
Katakan saja ada m asalah penting dengan kawan lama, pes an Tuan Prajasena pad
aku untuk disampaikan pada Tuan Kala Sunggi."
"Kau tidak tahu di man a tempat y ang dimaksud kawan lam a Tuan
Prajasena itu, Kek?" Pandora menggeleng. "Barangkali kau tahu orang yang akan
ditemuinya?" tanya Arya lagi.
"Sayang sekali, Dewa Arak," keluh Pandora "Tuan Prajasena tidak memberitahuku.
Mungkin masalah yang tengah dihadapinya amat rah asia.
Kalau tidak pasti akan diceritakannya pad aku."
Arya meng angguk-anggukkan k epala. Sek arang, dia sudah bisa
mengira-ngira apa yang teng ah lerjadi. Pandora dan Iblis Hitam berad a di
tempat ini ada hubungannya dengan Prajasena alias Pen dekar Golok Baja.
"Setelah batas waktu y ang ditentukan Tuan Praj asena t erlewat,
kutemui Tuan Kala Sunggi y ang teng ah meny epi untuk m engasah batin.
Kusampaikan surat Tuan Prajasena padany a. Tuan Kala Sunggi segera pergi
menyusul."
Arya b ertamb ah yakin kini. Sesuatu tel ah menimpa Iblis Hitam.
Telah dilihatnya sendiri keanehan sikap Iblis Hitam. Berarti, sesuatu telah
terjadi pula atas diri Pendekar Golok Baja.
"Tuan Kala Sunggi pergi," lanjut Pandora. "Beberap a hari kemudian dia k embali.
Sikapnya berb eda s ekali, Dewa Arak. Aku jadi
khawatir dan cem as."
"Berubah bag aimana, Kek" Apak ah dia menj adi jahat?" Arya
teringat percob aan pembunuhan yang dilakukan Iblis Hitam terhadapnya.
"Tidak sampai separah itu," Pandora mengg elengkan kep ala. "Dia jadi sering t
ermenung. Ketika kutany akan mengen ai nasib Tuan Prajasen a, dijawabnya dia
tidak pernah bertemu. Tempat yang dimaksud dalam surat
ternyata kosong. Beb erap a hari kemudian di a pergi. Tuan Kala Sunggi
pamit padaku. Aku yang khawatir deng an keadaan Tuan Kal a Sunggi serta
mencemask an kesel amatan Tuan Prajasen a, memutuskan untuk pergi.
Niatku hanya s atu, Dewa Arak. Men carimu dan meminta bantu anmu untuk
menyelamatkan nasib tuan-tuanku itu."
Arya tercenung seb entar. "Ada rahasia bes ar di sini, Kek. Semua
itu aku yakin berawal dari surat yang d atang. Apakah k au sempat
membacany a?"
"Tidak, Dewa Arak. Aku tidak b erani b ertindak s elancang itu.
Kalau tuan-tuanku memb eri izin, mungkin keadaannya akan menjadi lain.
Tapi ini tidak," keluh Pandora. Terasa b enar nad a peny esalan dalam suarany a.
"Aku telah berjumpa dengan Kala Sunggi, Kek," beritahu Arya
dengan suara pel an, takut memberi kejutan.
"Benarkah"!" Pandora setengah terpekik. Dia kelihatan kaget dan gembira.
"Lalu..., bagaimana, Dewa Arak?"
"Seperti yang kau ceritak an padaku. Kal a Sunggi menjadi manusia
baru." Dengan singkat, Dewa Arak men ceritak an pengal amannya berjumpa d engan Iblis Hitam. Pan dora men arik n apas berul ang-ulang
dengan sikap prihatin yang tidak bisa disembunyikan. Di dekat mereka,
Pengemis Tua Berbulu Putih masih menatap ke tempat lima Peng emis
Tangan Merah pergi.
"Hampir aku lupa, Kek," ucap Arya setelah menyel esaikan
ceritany a. "Mengapa k au bentrok deng an Pengemis-peng emis Tangan Merah?"
"Mana mungkin aku berdiam diri melihat mereka membawa
seorang wanita muda, Dewa Arak?" ujar Pando ra d engan g eram. "Meski nyawaku h
ampir melay ang, tapi wanita muda itu bisa kusel amatkan. Dia telah pulang ke
tempat tinggalnya."
"Hm...!"
Arya dan Pandora m enoleh men atap Pengemis Tua Berbulu Putih.
Kakek ini baru menggumam ketika mendeng ar percakapan Pando ra dan
Arya sampai pad a permas alahan Perkumpulan Peng emis Tangan Merah.
Kakek ini merasa terusik.
Pandora mengernyitkan alis, tak senang melihat pakaian Peng emis
Tua Berbulu Putih. Dia baru menyadari kakek yang datang b ersama Arya
mengenak an pakaian sama deng an lawan-lawanny a tadi.
Pandora merab a hulu golokny a ketika tatap annya sampai p ada
tangan Pengemis Tua Berbulu Putih yang berwarna merah. Tidak keliru
lagi, kakek ini pasti ada hubungannya dengan Perkumpulan Pengemis
Tangan Merah, pikir Pandora.
Arya bu ru-buru menyentuh p erg elangan tangan Pandora yang
menggenggam golok. Kepalanya digelengk an memberi isyarat untuk tidak
meneruskan maksud Pandora.
"Jangan samak an dia deng an para p engeroyokmu, Kek. Dia
berbed a. Aku dan dia akan p ergi ke perkumpulan itu untuk mencegah
terjadinya kejah atan baru," jelas Arya.
Pandora menurunkan tang annya. Sekujur urat-u rat syaraf yang
menegang kaku mel emas kembali. Dia percaya p enuh pada k ejujuran Dewa Arak.
"Apakah kau akan ikut bersama kami?" Arya menawarkan.
"Sayang sekali, Dewa Arak. Aku lebih suka m encari Tuan
Prajasena. Mudah -mudahan dia b elum pergi jauh. Syukur kalau beliau mau
mendengar ucapanku," tolak Pandora.
"Mungkin lebih baik demikian, Kek," timpal Arya setel ah berpikir sebentar.
"Kita berp encar untuk memecahkan mas alah mi. Aku yakin, semua ini ad a
hubunganny a d engan Perkumpulan Pengemis Tangan
Merah." "Terima kasih atas bantuanmu, Dewa Arak. Kalau ad a umur p asti
kita bertemu lagi. Selamat tinggal!"
Pandora lalu melesat meninggalkan tempat itu. Sebelumnya
dianggukkan kep alanya sedikit, meski dengan k aku, ke arah Pengemis Tua Berbulu
Putih. Rasa kurang senang Pandora semakin menjadi ketika melihat anggukannya
tidak mendap at balasan. Kejengkel an itu dilampiaskan dengan mempercepat l
arinya. Di d alam h ati kak ek b erwajah bintik-bintik putih ini memaki-maki
*** "Sehabis hutan kecil ini beberapa ratus tombak di depan, di balik
sebuah bukit k ecil, tempat y ang m enjadi markas Perkumpulan Peng emis Tangan
Merah," beritahu Pengemis Tua Berbulu Putih, tanpa menoleh.
Saat itu Pengemis Tua Berbulu Putih dan Dewa Arak tengah
berlari cepat agar bisa sesegera mungkin tiba di Perkumpulan Pengemis
Tangan Merah. "Tak lama lagi kita harus bekerja keras. Bukankah demikian,
Kek?" timpal Arya.
Pengemis Tua Berbulu Putih tidak memberi jawaban. Tapi
sebentar kemudian, ketika pand angannya memb entur sesuatu di depan,
mulutnya bergerak membuka.
"Tak perlu nanti. Sekarang juga kurasa kita su dah harus bek erja
keras!" Di mulut hutan sana berdiri tiga sosok tubuh. Sikap mereka
kelihatan penuh ancam an. Jantung Arya b erdet ak lebih cepat ketika
mengenali sal ah satu di ant ara mereka ad alah Iblis Hitam! Dua sosok
lainnya tidak dikenalnya. Melihat sorot mata mereka yang men corong
tajam, Dewa Arak t ahu sosok -sosok yang b erdiri di k anan -kiri Iblis Hitam
memiliki kepandaian tinggi.
"Kau meng enail mereka, Kek" Salah satu dari mereka, yang
berpak aian serba hitam, kukenal. Entah y ang dua lagi," ujar Arya sambil terus
berlari di s ebelah Pengemis Tua Berbulu Putih. Jarak mereka d engan para pengh
adang masih berkisar lima belas tombak.
"Merek a bukan tokoh-tokoh sembarangan, Dewa Arak. Yang
bertangan seb elah b erjuluk Nag a Berekor Tiga. Sedangkan y ang b erkulit hitam
Macan Kumbang Maut!"
Arya kag et juga mendeng ar ket erang an itu. Pengemis Tua Berbulu
Putih memang tidak berlebih-lebihan. Dua tokoh di sebelah Iblis Hitam
memang tokoh-tokoh besar.
Naga Berekor Tiga merupakan datuk golongan putih. Dia amat
terkenal. Nam a besarnya tidak kal ah tenar d engan julukan Iblis Hitam yang
telah melegend a. Telah puluhan tokoh hitam roboh di tangan Naga Berekor Tiga.
Tokoh yang berjuluk Macan Kumbang Maut tak kalah hebat.
Kalau Naga Berekor Tiga meru pakan pentolan kaum putih, Macan
Kumbang Maut merupakan d edengkot kaum sesat. Tak terhitung tokoh-
tokoh golongan putih yang dibantainy a. Bahkan, pentolan-p entolan kaum hitam
yang menentangnya pun banyak y ang tewas di tanganny a. Menurut
kabar yang t ersiar di rimba persilat an, Naga Berekor Tiga d an Macan
Kumbang Maut telah bentrok. Namun tidak ada yang kal ah ataupun yang
menang. Keduanya sama-sama menderita luka berat
Sekarang, tiga tokoh besar itu bergabung menghad ang perj alanan
Dewa Arak dan Pengemis Tua Berbulu Putih.
Arya menghentikan larinya ketika Pengemis Tua Berbulu Putih
berhenti. Jarak mereka d elapan tombak deng an para pengh adang. Meng apa Naga
Bereko r Tiga dan Macan Kumbang M aut bergabung" Bukankah dua
tokoh itu saling bertentangan" Tanya Arya d alam hati. Tidak pernah
terdengar merek a bisa bersatu. Dua tokoh itu bagai minyak dan air.
Teka-teki itu semakin b esar ketika melihat para penghad ang tidak
bertindak apa pun. Mereka berdi ri saja seperti orang kebingungan.
"Dewa Arak...!"
Seruan p enuh keg embiraan Iblis Hitam mem buat Ary a heran


Dewa Arak 83 Irama Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bukan main. Sebagai orang yang telah keny ang makan as am garam dunia
persilatan, Ary a tahu p anggilan penuh keg embiraan itu keluar dari lubuk hati
yang tulus. Bukan tipuan.
Bersamaan d engan dikeluark annya panggilan itu, Iblis Hitam
menghambur ke arah Dewa Arak. Tingkahnya seperti kawan lam a yang tak
menyangka akan d apat b erjumpa. Ary a terkesima. Dia bingung h endak
bertindak bagaiman a. Pemuda ini diam di tempatnya seperti orang dungu.
"Dewa Arak.."!"
Ucap an penuh keh eranan itu dikeluarkan Naga Berekor Tiga.
Sepasang mata tokoh ini yang bersinar k ehijauan m enatap Ary a penuh
selidik. "Inikah tokoh y ang mengg empark an dunia persilatan itu" Masih
begini muda. Luar biasa! Semuda ini sudah membuat nama besar...!"
Lain lagi sikap Macan Kumbang Maut. Dia tidak mempedulikan
Dewa Arak. Pandanganny a tertuju pad a Pengemis Tua Berbulu Putih. Sinar matanya
kelihatan garang.
"Kiranya kau di sini, Gemb el Busuk" Sekaranglah saatny a bagiku
untuk membuat perhitungan!" geram Macan Kumbang Maut seraya
melangkah mendekati Pengemis Tua Berbulu Putih.
Baru beberapa tindak, langk ah Iblis Hitam dan Macan Kumbang
Maut terhenti. Tiba-tiba mereka terpaku. Lalu, kilatan hawa maut memancar pada
sepasang mata mereka.
Arya y ang sud ah waspad a sej ak tadi langsung melompat ke
belakang m elihat kean ehan pad a Iblis Hitam. Tindakan ini membuat Dewa Arak
lolos dan maut. Pada saat yang bersamaan deng an melompatnya dia ke belakang,
Iblis Hitam dan Macan Kumbang Maut melancarkan serangan
terhadapny a. Iblis Hitam yang lebih dulu menyerang. Tokoh berpakaian serba
gelap ini menggulingkan tubuh dan b egitu bangkit berdiri langsung
mengirimkan pukulan kedua tangan ke arah pusar Ary a.
Tindak Macan Kumbang Maut lebih men akjubkan l agi. Tokoh
sesat berkulit hitam legam ini mengeluark an geraman keras sep erti harimau
murka. Sesaat kemudian, dia melompat dan mengirim kan sampokan tangan
ke arah pelipis Dewa Arak.
5 Arya menghembuskan
n apas lega. Bersyukur karen a tidak
meninggalkan kewaspad aan. Kalau tidak ny awanya pasti sudah m elayang
ke alam bak a. Serangan m endad ak tokoh-tokoh seperti Iblis Hitam dan
Macan Kumbang Maut tidak bisa dibuat main-main!
Dewa Arak segera men enggak araknya. Sesaat kemudian tubuhnya
mulai limbung. Kedua kakinya tidak men apak tan ah dengan t etap. Pertanda ilmu
'Belalang Sakti' telah siap untuk dipergunakan.
Iblis Hitam dan Macan Kumbang M aut tidak tinggal diam.
Keduany a langsung men erjang Dewa Arak. Iblis Hitam deng an sep asang
kapak, sedangkan Macan Kumbang Maut mempergun akan sep asang cakar
baja yang mempunyai pegangan. Pertarungan sengit pun segera pecah.
Bukan hanya Dewa Arak y ang mend apat s erangan. Pengemis Tua
Berbulu Putih pun demikian. Naga Berekor Tiga meluruk ke arahnya
dengan totokan bertubi-tubi. Tokoh bertangan satu ini mempergunakan
lengan bajunya yang kosong. Mematuk-matuk bak seekor ular!
Pengemis Tua Berbulu Putih melompat jauh ke belakang dan
bersalto beberap a kali di udara. Di samping untuk mengelakk an serangan juga
untuk membentuk kancah pertarung an lain yang tidak terlalu dekat
dengan pertarungan Dewa Arak.
Dalam sekej ap hutan yang semula h ening berubah hingar-bingar.
Bunyi berdesing, dan mengaung serta teriakan menyentakkan kesunyian.
Kelompok penghad ang memang memiliki kemampuan menggiriskan. Pengemis Tua Berbulu Putih, terutama Dewa Arak, dibuat
kewalah an. Merupak an hal yang wajar kalau Dewa Arak terd esak heb at.
Kedua lawanny a memiliki kepandaian yang dibilang sej ajar d enganny a.
Sepasang kap ak Iblis Hitam yang mengeluarkan hawa dingin benar-ben ar
Hianat Empat Datuk 1 Sang Penerus Seri Arya Manggada 3 Karya S H Mintardja Pendekar Muka Buruk 5
^