Pencarian

Kabut Di Bukit Gondang 1

Dewa Arak 54 Kabut Di Bukit Gondang Bagian 1


KABUT DI BUKIT GONDANG
oleh Aji Saka Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting : Tuti S.
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Pembuat Ebook :
Scan buku ke djvu : Abu Keisel
Convert : Abu Keisel
Editor : Fujidenkikagawa
Ebook pdf oleh : Dewi KZ
http://kangzusi.com/ http://dewi-kz.info/
http://kangzusi.info/ http://cerita_silat.cc/
Aji Saka Serial Dewa Arak dalam episode: Kabut di Bukit Gondang
128 hal. ; 12 x 18 cm.
1 Hujan lebat turun bagai dicurahkan dari langit, diiringi pula dengan hembusan
angin kencang. Semua itu membuat suasana malam terasa dingin menusuk tulang.
Hingga keadaan di persada terasa sangat tidak menyenangkan. Bulan bulat yang
tampak di langit tidak berdaya memancarkan cahayanya, tertutup awan tebal dan
hitam yang menggantung di sana.
Glarrr! Untuk kesekian kalinya halilintar menyambar bumi. Seketika itu pula suasana
terang-benderang. Memang, hanya sesaat. Tapi cukup untuk menampakkan dua sosok
tubuh yang berlari-lari cepat menembus lebatnya hujan.
Glarrr! Kembali halilintar menyambar. Terangnya yang hanya sekejap ternyata mampu
memperjelas kedua sosok itu.
Sosok yang pertama seorang lelaki tinggi besar berpakaian serba hitam. Kumis,
jenggot, dan cambang lebat menghias wajahnya yang terlihat angker karena adanya
luka codet. Sedangkan yang satu, berada di belakang lelaki tinggi besar itu, seorang lelaki
pendek kekar. Berbeda dengan lelaki tinggi besar, sosok ini memiliki wajah
kelimis. Tidak ada kumis, jenggot, atau cambang. Ciri-ciri yang dimilikinya
benar-benar bertolak belakang dengan lelaki berwajah codet.
"Cepat, Wulung!" seru lelaki tinggi besar dengan keras untuk mengatasi riuh
rendahnya bunyi hujan. "Aku khawatir mereka telah mengetahui tindakan kita!"
"Larilah lebih dulu, Ketua!" sambut lelaki pendek kekar yang dipanggil Wulung,
juga dengan pengerahan seluruh tenaga dalamnya agar bisa terdengar lelaki
bercodet. Tanggapan yang diberikan lelaki tinggi besar ternyata sebaliknya. Dia
menghentikan larinya dan menunggu kedatangan Wulung yang tertinggal di belakang.
Sebentar kemudian, Wulung telah berada di sebelahnya.
"Mengapa kau menungguku, Ketua"! Bagaimana kalau mereka mengetahui kepergian
kita" Itu sangat berbahaya!" ujar Wulung dengan napas terengah-engah.
"Aku tahu, Wulung," sahut lelaki tinggi besar, "Tapi, itu tidak menjadi alasan
untuk meninggalkanmu! Seandainya usaha ini berhasil, aku tidak mau sendirian
saja. Apa artinya aku berhasil kabur jika kau tertangkap!"
"Terima kasih atas perhatianmu, Ketua," ucap Wulung agak tersendat. Merasa
terharu mendapat perhatian begitu besar dari ketuanya.
"Sudahlah. Hentikan kecengengan itu. Sekarang yang penting kita harus lolos dari
tempat ini!" potong lelaki bercodet mengalihkan perhatian.
"Kau benar, Ketua. Maafkan kelemahanku."
"Lupakanlah," lelaki bercodet mengulapkan tangannya. "Kau masih sanggup
berlari"!"
"Sanggup, Ketua," sambut Wulung mantap.
"Kalau begitu, mari lanjutkan perjalanan!"
Usai berkara, lelaki bercodet mengayunkan langkah meneruskan larinya yang
tertunda. Wulung mengikuti langkah ketuanya. Di malam yang gelap dan dingin itu
Wulung dan pimpinannya kembali berlari. Air memercik ke sana kemari ketika kaki-
kaki mereka menapak tanah yang bergenang air.
Mendadak lelaki bercodet menoleh, "Kau dengar itu, Wulung"!" tanyanya
"Tidak, Ketua. Aku tidak mendengar apa-apa," jawab lelaki pendek kekar itu. "Apa
kau mendengarnya?"
"Benar," jawab lelaki bercodet dengan terengah. "Kudengar derap kaki kuda.
Banyak, Wulung!"
"Celaka!" seru Wulung. Napasnya menderu-deru. Lelaki pendek kekar itu keletihan.
"Mereka telah mengetahui pelarian kita, Ketua! Lebih baik kau tinggalkan aku.
Tidak usah pikirkan diriku!"
"Wulung!" sentak lelaki bercodet berwibawa, "Jangan kira aku serendah itu. Apa
pun yang terjadi aku akan tetap bersamamu!"
"Tapi, Ketua...," meski dengan terputus-putus, Wulung masih mencoba membantah.
"Tidak ada tapi-tapian!" tandas lelaki bercodet tegas, "Tidak usah bicara lagi.
Pusatkan seluruh perhatian pada larimu. Ingat! Sebentar lagi kita tiba di
pantai!" Wulung terdiam. Dia tidak berani membantah perintah lelaki bercodet. Disadarinya
betapa besar perhatian ketuanya pada dirinya. Kalau tidak, dia telah
ditinggalkan. Ketuanya memiliki ilmu lari cepat yang berada jauh di atasnya.
Tahu kalau ketuanya telah berkorban, Wulung tidak ingin semakin menyulitkan
lelaki bercodet itu. Dikerahkannya seluruh sisa-sisa kemampuan agar bisa berlari
secepat mungkin.
Tapi meskipun demikian, berapa cepatnya lari orang yang telah lelah dengan medan
yang amat berat. Tanah becek berlumpur sudah cukup menghambat kecepatan lari.
Belum lagi pada beberapa tempat medannya licin. Juga lubang-lubang yang meskipun
tidak dalam, tapi cukup untuk membuat kaki terkilir bila terperosok ke dalamnya.
Semua itu cukup untuk membuat kecepatan lari seseorang berkurang. Demikian yang
dialami lelaki bercodet dan Wulung!
*** Tentu saja hal seperti itu tidak dialami rombongan kuda yang mengejar Wulung dan
ketuanya. Hingga jarak antara mereka semakin dekat. Sampai akhirnya terdengar
oleh Wulung. Dan seperti mendukung rombongan pengejar Wulung dan ketuanya, perlahan-lahan
hujan mereda. Awan tebal dan hitam yang menutup angkasa tertiup angin. Sehingga
sinar sang Dewi Malam berhasil menembusnya sedikit demi sedikit.
Kejadian selanjutnya seperti yang sudah diperhitungkan akal sehat manusia.
Keadaan di persada mulai terlihat. Suasana tidak gelap seperti sebelumnya, tapi
remang-remang. Semua itu semakin menguntungkan pihak pengejar. Rombongan yang terdiri dari
enam ekor kuda yang ditunggangi lelaki berwajah kasar mulai dapat melihat
buruannya. Wulung dan ketuanya berada kira-kira sepuluh tombak di depan mereka.
"Ha ha ha...! Mau lari ke mana, Garang Laksa"! Jangan harap bisa lolos dari
sini!" seru seorang lelaki yang berwajah mirip kuda. "Serang!"
Tanpa menunggu perintah dua kali, lelaki-lelaki kasar itu mengibaskan tangan.
Wut, wut, wut! Diiringi bunyi menderu cukup keras, lima batang tombak meluncur ke arah Wulung
dan lelaki bercodet yang ternyata bernama Garang Laksa.
Garang Laksa dan Wulung mengetahui serangan itu. Deru angin keras yang
mengiringi tibanya serangan menunjukkan semua itu. Maka cepat keduanya menoleh
ke belakang melihat arah luncuran tombak Lalu, melakukan lompatan harimau ke
samping. Kemudian dengan bertelekan kedua tangan, mereka menggulingkan tubuh.
Hasilnya.... Cap, cap, cap! Tombak-tombak menancap di tanah. Garang Laksa dan Wulung berhasil menghindar.
Kesempatan di saat kedua pelarian itu menggulingkan tubuh, dipergunakan sebaik-
baiknya oleh lelaki bermuka kuda dan lima rekannya untuk melompat dari punggung
kuda. Kemudian melesat menghampiri Garang Laksa dan Wulung. Sambil berlari, mereka
menghunus golok besar yang tergantung di punggung.
Srat, srat, srat!
Sinar terang berkilat ketika golok-golok besar itu keluar dari sarungnya.
Tapi sebelum para pengejarnya menghunjamkan serangan, Garang Laksa dan Wulung
telah bangkit. Dan secepatnya mengeluarkan senjata andalan masing-masing. Wulung
menggenggam sepasang pedang. Sedangkan Garang Laksa sepasang trisula. Sikap
mereka terlihat waspada.
Melihat hal ini, lelaki bermuka kuda mengangkat tangan kirinya ke atas. Seketika
itu pula, lima rekannya menghentikan serangan.
"Mengapa berhenti, Marangsang"!" ejek Garang Laksa tanpa menghilangkan sikap
waspada. "Takut"!"
Sepasang mata lelaki bercodet merayapi enam orang pengejarnya. Meskipun
demikian, perhatian paling besar ditujukan pada lelaki bermuka kuda. Pada lelaki
bermuka kudalah ejekan itu ditujukan.
"Tidak ada kata takut untuk Marangsang!" seru lelaki bermuka kuda seraya
membusungkan dada.
"Kaulah yang pengecut, Garang Laksa! Kalau tidak, mengapa melarikan diri"!"
"Tidak usah banyak bicara, Marangsang! Mampuslah!" seraya mengucapkan kata-
katanya, Garang Laksa melancarkan serangan ke arah Marangsang. Trisula yang
berada di tangan kanannya ditusukkan ke dada lawan.
Marangsang tidak berani bertindak gegabah. Dia telah tahu keampuhan senjata itu.
Dengan trisula itu, Garang Laksa dapat membuat lawan melepaskan senjatanya
secara mudah. Biasanya itu terjadi ketika lawan melakukan tangkisan. Garang
Laksa menjepit senjata lawan di antara celah-celah barang trisulanya, kemudian
menggerakkannya sedemikian rupa sehingga senjata lawan terlepas dari genggaman.
Marangsang tahu karena telah sering melihat. Bukan hanya keistimewaan trisula
Garang Laksa, tapi juga kelihaian lelaki bercodet itu. Sebab Garang Laksa adalah
ketuanya. Pimpinan seluruh anggota gerombolan. Sedangkan dia adalah wakilnya!
Itu sebabnya Marangsang tidak berani menangkis serangan itu. Yang dilakukannya
melompat ke belakang sehingga serangan Garang Laksa mengenai tempat kosong,
beberapa jengkal di depan tubuhnya. Dan sebelum Garang Laksa sempat mengirimkan
serangan susulan, Marangsang memberi isyarat pada kelima anak buahnya untuk
menyerang lelaki bercodet itu.
Sing, sing, sing!
Terdengar bunyi-bunyi mendesing ketika mata-mata golok membeset udara dalam
perjalanannya menuju berbagai bagian tubuh Garang Laksa! Serangan itu membuat
Garang Laksa tidak berani melanjutkan serangan susulannya. Lelaki bercodet itu
melompat ke belakang mengelakkan serangan.
Jliggg! Begitu kedua kaki Garang Laksa hinggap di tanah, di sebelahnya telah berdiri
Wulung. Lelaki pendek kekar itu siap bertarung.
"Kita tidak bisa terlalu lama di sini, Ketua. Bahaya!" bisik Wulung di telinga
Garang Laksa. "Nanti yang lainnya keburu tiba di sini!"
"Kau benar, Wulung!" sambut Garang Laksa berbisik, "Pantas, kelihatannya
Marangsang mengulur-ulur waktu. Kalau begitu, jangan beri kesempatan. Mari kita
labrak mereka!"
Belum juga gema ucapan itu lenyap, Garang Laksa dan Wulung telah menghambur ke
arah lawan-lawannya. Senjata di tangan mereka langsung digunakan!
Wuttt! Garang Laksa menusukkan trisulanya ke leher Marangsang. Sementara Wulung
menyerbu salah seorang lawan dengan tusukan kedua pedangnya, ke arah dada kanan
dan kiri. Sing, sing, sing!
Meskipun dilakukan agak mendadak Marangsang dan lima anak buahnya tidak
terkejut. Mereka memang telah bersiap menghadapi hal seperti itu. Bahkan kali
ini Marangsang menangkis tusukan trisula Garang Laksa. Goloknya dibabatkan dari
kanan ke kiri mematahkan serangan maut itu.
Trangngng! Bunga api berpijar ketika golok dan trisula berbenturan keras. Marangsang
menggigit bibir merasakan telapak tangannya pedas dan sakit. Goloknya hampir
terlepas dari pegangan.
Kenyataan ini menusukkan tenaga dalamnya berada di bawah Garang Laksa.
Di saat itulah serangan susulan Garang Laksa meluncur. Trisula di tangan kirinya
ditusukkan ke arah perut. Karena untuk menangkis tak mungkin lagi, Marangsang
melompat ke belakang. Tapi, Garang Laksa bukan orang yang mudah putus asa. Terus
dicecarnya Marangsang dengan tusukan-tusukan trisulanya. Hingga lawan dipaksa
bermain mundur.
Lelaki bermuka kuda itu benar-benar tidak diberi kesempatan memperbaiki
kedudukan. Untung saja empat orang anak buahnya tidak tinggal diam. Serentak mereka
menyerang Garang Laksa dari berbagai arah. Tapi Garang Laksa sudah
memperhitungkan hal itu. Ketika serangan-serangan lawan hampir tiba, kakinya
dijejakkan sehingga tubuhnya melambung ke atas. Di udara tubuhnya berputar ke
belakang melewati kepala para penyerangnya. Saat itu kedua trisulanya
dikelebatkan! Crat, crat! "Akh, akh...!"
Kejadian berlangsung demikian cepat. Tahu-tahu tubuh dua orang penyerangnya
tersuruk. Bagian belakang kepala mereka robek terkena babatan trisula. Setelah
menggelepar sesaat, keduanya diam tidak bergerak lagi.
Jliggg! "Hih!"
Begitu kakinya menyentuh tanah, Garang Laksa mengibaskan tangan.
Singngng! Sebatang pisau meluncur ke arah lawan Wulung. Entah kapan lelaki bercodet ini
mengambilnya. Tindakannya demikian mendadak dan sulit diduga. Bahkan setelah
melontarkan pisau, dia menerjang Marangsang dan dua anak buahnya yang masih
tersisa. Semua itu dilakukan dalam waktu singkat
Sementara itu, anak buah Marangsang yang menjadi lawan terkejut bukan main
melihat pisau meluncur deras ke kepalanya. Sebab pada saat yang hampir bersamaan
Wulung melancarkan serangan. Ini membuat lawan Wulung gugup. Akhirnya diambil
keputusan mematahkan serangan pisau terbang Garang Laksa. Golok diayunkan untuk
memapaki. Wuttt! Trangngng!
Pisau itu langsung terpental. Tapi karena kuatnya tenaga luncuran pisau, lawan
Wulung terhuyung. Saat itulah pedang Wulung membabat lehernya!
Cappp! Anak buah Marangsang yang sial ini tidak sempat berteriak. Babatan golok Wulung
memisahkan kepalanya. Dia tewas seketika itu juga. Darah segar menyembur deras
dari bagian yang terluka.
Tanpa mempedulikan keadaan lawan, Wulung melesat ke arah pertarungan Garang
Laksa dan Marangsang serta anak buahnya. Tapi sebelum Wulung ikut campur dalam
kancah pertarungan, Garang Laksa telah mencegahnya.
"Tinggalkan tempatini, Wulung! Cepat...! Nanti aku menyusul! Cepat...!"
Seketika itu pula gerakan Wulung terhenti. Dirasakannya ada tekanan yang tidak
menghendaki bantahan dalam perintah Garang Laksa. Maka, meskipun dengan berat
hati tubuhnya dibalikkan. Kemudian berlari meninggalkan tempat itu.
Melihat Wulung memenuhi perintahnya, Garang Laksa menghela napas lega. Tapi
bukan berarti kewaspadaannya mengendur. Seluruh perhatiannya tetap dipusatkan
untuk merubuhkan lawan-lawannya dengan segera.
Namun harapan demikian lebih mudah direncanakan daripada dilaksanakan.
Sekarang Marangsang dan dua anak buahnya bertindak hati-hati. Mereka tidak ingin
kejadian yang menimpa dua rekan mereka terulang. Akibatnya, Garang Laksa
menghadapi perlawanan sengit. Ketiga lawannya menerapkan siasat saling bantu.
Sampai sepuluh jurus lebih pertarungan berlangsung belum terlihat siapa yang
akan menang. Bahkan tanda-tanda ke arah itu belum tampak. Garang Laksa pun sadar
untuk mengalahkan lawan-lawannya membutuhkan waktu yang panjang. Padahal,
kesempatan yang dimilikinya hanya sedikit!
Kalau sampai para pengejar lainnya tiba, dia akan celaka.
Menyadari kenyataan ini, Garang Laksa memutuskan untuk kabur. Toh, sekarang
tidak ada beban karena Wulung telah berangkat lebih dulu. Bukan hal yang sulit


Dewa Arak 54 Kabut Di Bukit Gondang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

baginya meninggalkan lawan-lawannya. Ilmu lari cepatnya di atas mereka. Dan
begitu mendapat kesempatan, lelaki bercodet itu melesat kabur. Hingga pa ra
pengeroyoknya, terutama Marangsang, sangat geram.
"Garang Laksa...! Keparat pengecut...! Jangan lari kau...!" sambil mengeluarkan
teriakan-teriakan kalap, Marangsang mengejar. Kedua anak buahnya mengikuti.
Harapan Marangsang dengan makian-makian yang diucapkannya Garang Laksa akan
tersinggung kehormatannya dan balik kembali. Tapi ternyata tidak! Garang Laksa
terus berlari tanpa menghiraukan makian-makian itu. Terpaksa dia berlari
mengejar. Tapi Marangsang tidak berani mengerahkan seluruh kemampuan lari cepatnya. Jika
itu dilakukan, kedua anak buahnya akan tertinggal jauh. Kalau tiba-tiba Garang
Laksa membalikkan tubuh dan menyerangnya, dia akan celaka!
Marangsang jengkel bukan main dengan kegagalannya. Yang dapat dilakukannya
hanya memaki panjang pendek. Memaki kuda-kudanya yang kabur karena takut melihat
pertempuran. Dan kesembronoan dua anak buahnya yang menyebabkan kematian mereka.
Kalau tidak, pasti Garang Laksa berhasil diringkus!
Karena Marangsang tidak mengerahkan seluruh ilmu lari cepatnya, jarak antara
dirinya dengan Garang Laksa semakin jauh. Sementara beberapa tombak di
belakangnya terlihat puluhan sosok tubuh. Mereka adalah bekas anak buah Garang
Laksa. Dan sekarang menjadi anak buah Marangsang!
Terpaksa Marangsang menunggu rombongan anak buahnya. Kemudian dengan
berbondong-bondong mengejar. Tapi hanya kekecewaan yang didapatkan. Beberapa
tombak sebelum mencapai pantai, dilihatnya Garang Laksa dan Wulung telah
mengayuh perahu ke tengah laut. Kepergian mereka tak mungkin dapat dicegah lagi.
Marangsang menatap kepergian kedua buruannya dengan geram.
2 "Ah...! Segarnya...!"
Ucapan itu dikeluarkan seorang pemuda berpakaian ungu. Ditariknya napas dalam-
dalam. Dan kedua tangannya direntangkan ke samping kanan dan kiri, agar udara
yang diisapnya masuk ke seluruh bagian dadanya.
Gerakan serupa dilakukan sosok yang berjalan di sebelahnya. Dia seorang gadis
berwajah cantik jelita. Kulitnya putih dan halus. Rambutnya yang panjang, hitam,
dan tebal dibiarkan terurai menambah kecantikannya. Kesan itu semakin menyolok
karena pakaian serba putih yang dikenakan.
"Lega rasanya menghirup udara segar kembali, setelah beberapa hari ditimpa sinar
sang Surya di tempat yang tandus. Bukankah demikian, Kang Arya?" ujar gadis
berpakaian putih meminta pendapat.
"Benar, Melati," jawab pemuda berpakaian ungu mengangguk.
Sepasang muda-mudi ini memang Arya Buana yang dikenal dengan julukan Dewa
Arak dan Melati, kekasihnya.
"Perjalanan yang jauh dan melelahkan, Kang. Hhh...! Hampir aku tak kuat menempuh
hamparan padang pasir yang tidak ditumbuhi pohon sama sekali!" ujar Melati.
"Tapi sekarang sudah berakhir. Tak lama lagi kita akan tiba di sebuah desa.
Bukankah menurut berita yang kita dapat Desa Sampan berada di Bukit Gondang
ini"!"
"Benar, Kakang," Melati mengangguk. "Bagaimana kalau kita beristirahat sebentar
di tempat ini. Aku ingin menghirup udara segar pagi ini sepuas-puasnya."
"Sebuah usul yang baik, Melati," Arya lang-sung menyetujui, "Tapi kita harus
mencari tempat yang benar-benar nyaman."
Pemuda berambut putih keperakan itu mengedarkan pandangan ke sekeliling.
Sepasang matanya yang tajam berkilat-kilat dan terkadang mencorong kehijauan
laksana mata harimau dalam gelap merayapi jajaran pohon dan semak yang tumbuh di
tempat itu. "Rasanya di sana cukup nikmat, Melati," tunjuk Arya pada sebuah tempat di bawah
jajaran pohon pinus dekat dengan kerimbunan semak.
"Itu pun boleh, Kang," Melati mengangguk.
Sepasang muda-mudi itu melangkahkan kaki menuju tempat itu. Dalam beberapa
tindak, keduanya telah sampai dan menghempaskan diri di atas rumput
"Kakang...!"
"Hm...," sambut Arya berguma m.
"Kau belum mengatakan alasan kita mengunjungi Desa Sampan. Apakah aku tidak
boleh mengetahuinya"!" tanya Melati setengah merajuk
"Tentu saja boleh, Melati," jawab Arya mantap, "Nah! Dengarkan baik-baik.
Kepergianku ke Desa Sampan adalah untuk memenuhi janji."
"Janji, Kang"!" Melati mengernyitkan dahi, "Siapa yang kau beri janji" Seorang
gadis cantik"!"
"Ha ha ha...!"
Arya tergelak mendengar ucapan kekasihnya. Pemuda itu tahu Melati tengah
menggodanya. "Untuk apa aku mengikat janji dengan gadis lain" Bukankah aku telah memiliki
seorang bidadari?"
"Ah...! Rupanya sekarang kau sudah pandai merayu," goda Melati dengan senyum
mengembang. "Sungguh tidak kusangka. Tapi lupakanlah. Sekarang lebih baik kau
ceritakan tentang janjimu."
Arya terdiam. Kening pemuda itu berkerut berusaha mengingat-ingat kepada siapa
janjinya diucapkan. "Aku mengikat janji dengan tiga orang pemburu. Salah satu di
antara mereka bernama Benggala. Dalam perjanjian itu aku bersedia mengajarkan
mereka sedikit ilmu silat," beri tahu Arya.
"Mengapa kau bisa terlibat perjanjian seperti itu, Kang"!" tanya Melati dengan
alis berkerut. "Itu berarti kau guru mereka. Mengapa malah kau yang mencari
mereka" Bukan sebaliknya."
"Karena aku lebih sulit dicari da ripada mereka, Melati," jelas Arya tenang,
"Aku terlibat perjanjian itu agar dapat menyelamatkanmu. Saat itu kau berada
dalam ancaman maut. Bila tidak bertindak cepat, mungkin aku harus kehilanganmu
selamanya. Kau ingat kejadian di Perguruan Pedang Ular"!"
Melati tercenung sejenak sebelum mengangguk. (Untuk lebih jelasnya silakan baca
serial Dewa Arak dalam episade: "Perkawinan Berdarah.")
"Sekarang kau mengerti mengapa aku terlibat perjanjian itu"!" tanya Arya.
"Mengerti, Kang," jawab Melati.
"Syukurlah.kalau begitu. Dan...."
"Aaa...!"
Sebuah lolongan panjang dan menyayat hati menghentikan ucapan Arya. Dipandangnya Melati.
Pada saat yang sama gadis berpakaian putih itu pun menatapnya.
"Kau dengar jeritan itu, Melati?" tanya Arya.
"Dengar, Kang," seperti jeritan orang yang berada di ambang maut."
"Mari kita ke sana!"
Arya segera bangkit. Diikuti Melati. Sesaat kemudian sepasang pendekar muda
berwajah elok itu telah melesat menuju asal jeritan. Tapi pohon-pohon dan semak
belukar serta keadaan tanah yang bertingkat-tingkat menyulitkan mereka untuk
segera tiba di tempat tujuan. Padahal, arahnya sudah mereka ketahui. Sepasang
pendekar muda itu menghentikan larinya di sebuah tempat yang agak lapang dan
ditumbuhi rumput-rumput cukup panjang.
"Aku yakin dari sinilah jeritan itu berasal, Melati," ujar Arya seraya
mengedarkan pandangan ke sekitar tempat itu.
"Benar, Kang," dukung Melati. Mata gadis itu pun merayapi tanah lapang itu.
"Kakang...! Lihat...!"
Seruan Melati membuat Arya mengarahkan pandangan ke tempat yang ditunjuk gadis
berpakaian putih itu. Terlihat olehnya dua buah tong kayu kecil dan sebuah kayu
cukup panjang sebesar pergelangan tangan. Tanpa menunggu lebih lama, Arya dan
Melati menghampiri kedua benda yang tergolek sembarangah di tanah. Sepasang
muda-mudi itu membungkukkan tubuh untuk memeriksanya.
"Dugaan kita tidak salah, Melati. Teriakan itu memang berasal dari sini.
Sepertinya yang menjadi korban penduduk desa.
Melati mengangguk-angguk. Tong-tong dan bambu yang digunakan sebagai pikulan itu
telah menjadi bukti pemiliknya seorang penduduk. Tong-tong itu dipergunakan
untuk mengambil getah. Dan ketika mereka memeriksa lebih seksama rumput di
tempat itu, bukti lain segera diketemukan.
"Kau lihat itu, Melati," Arya menudingkan telunjuknya pada cairan merah yang
menempel di rumput.
"Darah...," desis Melati seraya menghampiri.
Dugaan Melati tak meleset. Percikan-percikan cairan merah di rumput itu memang
darah. Dan ternyata tidak sedikit. Hanya saja tadi terhalang rumput. Arya dan
Melati menatap genangan darah yang belum sempat mengering itu.
"Berarti di sini... pencari getah pohon itu dibunuh, Kang," duga Melati yakin.
"Benar. Tanda-tanda ini menunjukkan mayat orang yang malang itu diseret ke
sana." Arya menyambung ucapan Melati seraya mengerahkan pandangan ke arah tetesan
darah dan rumput-rumput yang tidak berdiri tegak. Kedudukan rumput menunjukkan
ada sesuatu benda telah menggilasnya. Melati melayangkan pandang ke arah yang
ditunjuk kekasihnya. Kemudian bergegas menuruti tindakan Arya menyusuri ceceran
darah. *** Sepasang pendekar muda itu tak perlu menunggu terlalu lama untuk mengetahui
nasib orang malang itu. Ceceran darah yang mereka ikuti berakhir di sebuah
dataran yang menurun curam. Arya dan Melati menghentikan langkah. Keduanya
melayangkan pandangan.
Tampak pohon-pohon pinus yang menjulang dan semak-semak
"Itu dia, Kang!" seru Melati menunjuk ke satu arah.
Arya mengikuti dengan pandang matanya. Pemuda itu pun melihatnya. Sesosok tubuh
tergolek di batang pohon pinus. Agaknya tubuh itu tersangkut di sana ketika
dibuang pembunuhnya.
"Kau tunggu di sini, Melati. Aku akan turun dan memeriksanya."
Arya segera bersiap menuruni tebing curam itu. Kemiringan tebing sangat curam,
hampir tegak lurus!
"Hih!"
Sambil menggertakkan gigi, Arya melompat ke atas. Tubuhnya berputaran di udara.
Dan meluruk turun ke dataran yang jauh di bawah.
Melati yang melihat tindakan Arya hampir terpekik kaget. Tubuh pemuda itu akan
hancur luluh bila jatuh ke dataran di bawah sana. Tapi, dia percaya tindakan itu
sudah diperhitungkan masak-masak oleh kekasihnya. Hingga gadis itu sedikit
tenang. Dugaan Melati memang tepat. Dewa Arak telah memperhitungkan tindakannya masak-
masak. Maka begitu tubuhnya meluncur turun, kedua tangannya ditusukkan.
Jreb, jrebbb! Kedua tangan Dewa Arak amblas ke dalam tanah yang tak ubahnya dinding
menjulang. Dengan sendirinya luncuran tubuh pemuda berambut putih keperakan itu
terhenti. Sesaat Arya berdiam diri membiarkan kedudukannya seperti itu. Baru kemudian
tangan kanannya dicabut. Lalu ditempelkan ke dinding tanah. Dengan tenaga
dalamnya yang sudah mencapai tingkat tinggi, tidak sulit membuat tangan itu
menempel. Hal yang sama dilakukan pada tangan kirinya. Arya bertahan di dinding
tanah itu dengan tempelan kedua telapak tangannya.
Kemudian bagai seekor cecak Dewa Arak merayap turun! Sungguh sebuah
pertunjukan tenaga dalam yang menakjubkan! Karena hanya orang yang memiliki
tenaga dalam sangat tinggi saja yang dapat melakukannya.
Semua kejadian itu tak luput dari pandangan Melati. Gadis berpakaian putih itu
menghela napas lega. Namun rasa khawatir masih meliputi hatinya. Perbuatan Dewa
Arak membutuhkan
pengerahan tenaga penuh dan terus-menerus. Padahal jarak yang
ditempuhnya cukup jauh. Apakah Dewa Arak akan sanggup"
Melati terus memperhatikan kekasihnya. Dilihatnya Dewa Arak setapak demi setapak
turun ke bawah. Tapi kesibukan Melari terpaksa dihentikan. Saat itu dia
mendengar suara langkah-langkah kaki. Dari semakin jelasnya suara itu terdengar
agaknya mereka tengah menuju ke arahnya.
Melati berusaha keras memutar otaknya. Gadis itu tidak ingin pemilik langkah-
langkah kaki menemukannya dalam keadaan seperti ini. Bila hal itu terjadi mereka
akan mengetahui keberadaan Dewa Arak. Jika bukan musuh, mungkin tidak masalah.
Tapi bagaimana kalau sebaliknya" Dewa Arak akan celaka!
Tapi otaknya tidak mau diajak berpikir. Sampai capek berpikir, gadis itu tidak
berhasil menemukan jalan keluar yang baik. Akhirnya Melati memutuskan duduk di
salah satu akar pohon yang menyembul dari dalam tanah.
Baru saja Melati menghempaskan tubuhnya, pemilik langkah-langkah kaki muncul
dari balik belokan. Sikap duduk Melati memang tidak menghadap jalan tempat
munculnya sosok-sosok itu. Tapi, dengan sudut matanya Melati bisa melihatnya.
Seperti dugaan Melati, pemilik langkah kaki itu tidak hanya satu. Mereka cukup
banyak. Belasan orang! Bahkan hampir dua puluh. Berwajah dan bersikap kasar.
Melati pura-pura tidak melihatnya.
Sementara itu, rombongan orang kasar telah melihat Melati. Mereka menghampiri
gadis berpakaian putih itu. Derap langkah mereka lebih keras dari sebelumnya.
Kelihatannya itu memang disengaja agar kedatangan mereka dilihat Melati.
Tentu saja itu diketahui dengan pasti oleh Melati. Gadis itu menoleh ke arah
rombongan orang kasar. Sikapnya tampak tenang. Tidak kelihatan terkejut atau
khawatir. Bahkan dia tetap duduk di tempatnya.
Dalam waktu singkat belasan orang kasar telah berada di dekat Melati. Dengan
raut wajah dan sorot mata menyiratkan kekurangajaran, mereka mengelilingi Melati
membentuk setengah lingkaran.
"Tak kusangka ada bidadari tersesat ke tempat ini," ucap lelaki yang berdiri
paling depan. Dia seorang lelaki bermuka kuda. Siapa lagi kalau bukan Marangsang"! Dan tentu
saja belasan orang kasar yang bersamanya adalah anak buahnya. Memang semula
mereka anak buah Garang Laksa. Tapi, sekarang Marangsanglah yang menjadi
pimpinan. "Benar, Ketua!" sambut seorang lelaki kasar yang berwajah bopeng seraya menatap
Melati. Bukan hanya lelaki berwajah bopeng itu saja yang bersikap demikian. Mereka
menatap Melati seperti serigala kelaparan mengincar anak domba yang gemuk! Penuh
nafsu! Kalau tidak ada Marangsang, pemimpin mereka yang baru, belasan orang kasar itu
pasti sudah saling berebut untuk lebih dulu mendapatkan. Tapi karena takut pada
Marangsang, keinginan itu hanya mereka pendam.
Sebenarnya bukan hanya anak buahnya dilanda perasaan itu. Marangsang pun
demikian! Namun lelaki bermuka kuda itu tidak terlalu menuruti keinginannya.
Sebab saat ini mereka tengah menghadapi persoalan yang amat penring dan harus
diselesaikan secepatnya, yaitu menangkap Garang Laksa! Hingga meskipun sorot
kekurangajaran tampak jelas pada tarikan wajah dan sinar matanya, dia mampu
berbicara dengan tenang.
"Boleh kami bertanya sesuatu, Nisanak"!" tanya Marangsang lembut.
"Silakan. Bila tahu pasti aku akan menjawabnya," jawab Melati tenang.
"Begini. Kami tengah menuju Desa Sampan. Bisa kau tunjukkan arah yang harus kami
tempuh"!"
"Jalan terus saja ke utara. Nanti kalian pasti akan menemukannya."
Seperti orang yang tahu pasti, Melati memberikan jawaban. Padahal sebenarnya dia
tidak tahu arah ke desa itu. Tapi untuk mencegah terjadinya hal-hal yang tidak
diinginkan diberikannya jawaban itu.
Marangsang melayangkan pandangan ke arah yang disebutkan Melari. Memang, di
sana terben-tang jalan. Tanpa berkata apa pun tubuhnya dibalikkan, dan
mengayunkan kakinya meninggalkan tempat itu. Melihat tindakan Marangsang, anak
buahnya merasa tidak puas. Tapi, apa yang dapat mereka lakukan selain mengikuti"
Dengan lesu mereka membalikkan tubuh dan meninggalkan Melati.
Tapi tidak semuanya berlalu. Ada seorang yang merasa sangat tidak puas dengan
tindakan Marangsang. Dia adalah lelaki berwajah bopeng. Untuk melakukan tindakan
kurang ajar dengan perbuatan dia tidak berani, takut dihukum Marangsang, maka
diputuskan mengganggu Melati dengan ucapan untuk melampiaskan nafsunya yang
menggelegak "Apa aku boleh bertanya, Nisanak"!" tanya lelaki berwajah bopeng dengan wajah
sungguh-sungguh.
Melati tidak menanggapi. Dengan sikap tidak peduli, dihempaskannya kembali


Dewa Arak 54 Kabut Di Bukit Gondang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tubuhnya ke tempat duduknya tadi. Karuan saja sikap Melati membuat lelaki
berwajah bopeng merasa tersinggung. Kemarahannya timbul.
"Aku hanya ingin tanya, apa benda yang menyembul di dadamu itu"!" tanya lelaki
berwajah bopeng keras.
Sungguh hebat akibat pertanyaan anak buah Marangsang itu. Melati langsung
mendongakkan wajah yang semula ditundukkan. Tampak jelas kemarahan pada wajah
dan sepasang matanya. Gadis berpakaian putih itu murka. "Keparat!"
Makian keras penuh kemarahan meluncur dari mulut Melati. Dan seiring dengan
terlontarnya ucapan itu Melati mengirimkan tendangan ke arah lutut lelaki
berwajah bopeng.
Wuttt, Tukkk! "Akh!"
Lelaki berwajah bopeng menjerit tertahan. Kaki Melari mendarat telak di lutut
kanannya. Padahal dia telah mencoba untuk mengelak. Tapi kalah cepat! Tubuh
lelaki itu terhuyung-huyung ke belakang. Sambungan tulang lututnya terlepas!
3 Kejadian yang menimpa lelaki berwajah bopeng mengejutkan rekannya. Marangsang
dan rekan-rekan lelaki berwajah bopeng membalikkan tubuh.
"Ada apa, Bagor"!" tanya Marangsang bengis seraya menatap wajah lelaki berwajah
bopeng dan Melati bergantian.
"Wanita itu, Ketua. Dia menyerangku...!" jawab lelaki berwajah bopeng yang
bernama Bagor agak terbata-bata, takut melihat sikap bengis pimpinannya.
"Keparat!" Marangsang menggeram, "Berani kau bertindak seperti itu padanya,
Wanita Liar"! Kau tahu siapa kami"! Dengar...! Kami adalah Gerombolan Perompak
Laut Hitam! Kau akan menerima ganjaran yang setimpal atas tindakanmu!"
"Hmh!" Melati mendengus, "Jangankan Gerombolan Perompak Laut Hitam. Biar kalian
Gerombolan Ibiis-Iblis Laut Hitam pun aku tak gentar!"
Marangsang menggertakkan gigi mendengar ucapan Melati yang dirasakan menyinggung kehormatannya. Dengan raut wajah bengis pandangannya dialihkan ke
arah anak buahnya. Lalu....
"Tangkap dia!" perintah lelaki bermuka kuda lantang.
Tanpa menunggu perintah dua kali, belasan orang kasar anggota Gerombolan
Perompak Laut Hitam segera bergerak. Mereka mengurung Melati yang telah bersikap
waspada. Rupanya gadis berpakaian putih itu sudah siap menghadapi hal-hal yang
tidak diinginkan.
Belasan anggota Gerombolan Perompak Laut Hitam mendekati Melati dalam bentuk
setengah lingkaran. Dan ketika dirasakan jaraknya telah cukup dekat, mereka
menerjang Melari. Rupanya gerombolan
itu masih menganggap ringan
Melari. Mereka tidak
menggunakan senjata dalam penyerangan itu. Semua serangan dilakukan dengan
tangan kosong."Hih!"
"Hiyaaat...!"
"Hiyaaa...!"
Teriakan-teriakan keras mengiringi meluncurnya serangan mereka. Serangan itu
dilancarkan secara bersamaan. Tapi Melati tetap tenang. Ditunggunya hingga
dekat. Baru setelah itu kakinya dijejakkan. Tubuh gadis itu melambung ke atas
melewati kepala para pengeroyoknya. Lalu....
Jiiggg! Ringan laksana daun kering, Melati mendaratkan kedua kakinya di luar kepungan.
"Apa yang kalian kerjakan di sana, Badut-Badut Jelek"! Aku disini!" ejek Melati.
Kedua tangannya melipat di depan dada.
Ucapan Melati membuat lawan-lawannya membalikkan tubuh. Semula mereka heran
melihat gadis berpakaian putih itu mendadak lenyap. Memang, gerakan Melati
ketika melompat terlalu cepat. Sehingga tidak terlihat mata mereka.
"Keparat!"
Anggota Gerombolan
Perompak Laut Hitam yang berhidung besar memaki.
Kemudian.... Srattt! Sinar terang berkilat ketika golok besar yang tergantung di punggungnya dicabut
"Kucincang kau, Wanita Sundal!" teriak lelaki berhidung besar.
"Haaat..!"
Didahului teriakan keras dan panjang, lelaki berhidung besar meluruk ke arah
Melati. Golok besarnya dibabatkan secara mendatar ke arah leher.
Wuttt! "Heaaat!" Didahului teriakan panjang, lelaki berhidung besar itu meluruk ke arah
Melati. Golok besarnya dibabatkan mendatar ke arah leher.
Wuttt! Rambut Melati berkibaran ketika golok itu lewat beberapa jari di atas kepalanya.
Itu terjadi ketika Melati mengelakkan serangan dengan mendoyongkan tubuhnya ke
samping kanan. Rambut dan pakaian Melati berkibaran keras ketika golok itu lewat beberapa jari
di atas kepalanya. Itu terjadi ketika Melati mengelakkan serangan dengan
mendoyongkan tubuhnya ke samping kanan.
Dan sebelum anggota Gerombolan Perompak Laut Hitam itu berbuat sesuatu, Melati
telah menggerakkan tangan kanannya. Cepat bukan main gerakannya. Sehingga....
Tappp! "Eh..."!"
Lelaki berhidung besar berseru kaget ketika tahu-tahu pergelangan tangannya
dicekal Melati. Seketika itu pula tangannya ditarik untuk melepaskan cekalan.
Tapi betapa kagetnya lelaki berhidung besar. Tindakannya sia-sia. Jangankan
menarik pulang tangannya, bergeming pun tidak. Tangannya seperti bukan dijepit
tangan manusia.
Tapi sebuah jepit baja!
Meskipun demikian, anggota Gerombolan Perompak Laut Hitam itu tidak putus asa.
Tetap saja diusahakan melepaskan tangannya dari cekalan Melati.
Di saat lelaki berhidung besar berusaha keras, Melari melakukan gerakan. Gadis
berpakaian putih itu ingin memberi pelajaran pada semua anggota Gerombolan
Perompak Laut Hitam. Terutama lawannya ini. Maka tanpa menunggu lebih lama,
Melati menggerakkan jari-jari tangannya. Meremas!
Krrrkkkhhh! "Aaakh...!"
Lelaki berhidung besar melolong kesakitan. Tulang pergelangan tangannya hancur
diiringi bunyi bergemeretak keras.
Tindakan Melati tidak terhenti sampai di situ. Sekali sentak tubuh anggota
Gerombolan Perompak Laut Hitam yang sial itu tertarik ke arahnya. Dan kaki kanan
Melati diluncurkan ke arah perut.
Bukkk! "Hukh!"
Sepasang mata lelaki berhidung besar membelalak. Wajahnya merah padam. Kaki
Melati mendarat telak di perut, hingga membuatnya sesak napas.
Melati baru menghentikan tindakannya. Cekalannya dilepaskan. Tubuh lelaki
berhidung besar itu pun ambruk ke tanah. Anggota Gerombolan Perompak Laut Hitam
itu pingsan. "Siapa lagi yang ingin mendapat hajaranku" Majulah!" tantang Melati. Tangannya
dilipat di depan dada.
Ucapan Melati membuat Marangsang dan gerombolannya tersentak Memang, sejak tadi
mereka terpaku melihat betapa mudahnya Melati mengalahkan kawan mereka. Lebih
tepatnya lagi mempermainkan.
Dan seiring dengan itu kemarahan mereka timbul. Marangsang tampak sangat geram.
"Cincang wanita liar itu!" perintah lelaki bermuka kuda itu. Terasa jelas nada
kemarahan yang sangat dalam suaranya.
Bagai kucing yang dibawakan sapu, belasan lelaki kasar itu langsung bertindak
Srat, srat, srat!
Sinar-sinar terang berkilauan ketika belasan anggota Gerombolan Perompak Laut
Hitam mencabut senjatanya.
Kemudian dengan senjata terhunus, mereka meluruk ke arah Melati. Ketika tiba
dekat, senjata-senjata itu diayunkan. Tak pelak lagi hujan senjata yang terdiri
dari pedang, golok, ruyung, dan senjata lainnya meluncur ke arah gadis
berpakaian putih.
Tapi Melati tetap tenang. Tingkat kepandaian lawan-lawannya terpaut jauh
dengannya. Jadi, tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Ditunggunya hingga serangan lawan
menyambar dekat. Lalu dengan mengandalkan kecepatan geraknya semua serangan itu
dielakkan. Gesit laksana kera dan cepat bagai bayangan, tubuh Melati menyelinap di antara
kelebatan senjata lawan. Dengan ilmu meringankan tubuhnya yang tinggi tidak
sulit Melari melakukan semua itu.
Rupanya Melati bermaksud mempermainkan lawan-lawannya. Sampai sepuluh jurus
gadis itu hanya mengelak. Tidak melancarkan serangan balasan satu pun. Bahkan
menangkis pun tidak!
Dan kegagalan demi kegagalan membuat Gerombolan Perompak Laut Hitam semakin
kalap. Mereka tidak pernah mimpi seorang wanita muda mampu melakukan hal ini.
Menghadapi keroyokan mereka tanpa melakukan tangkisan atau balasan sampai
sepuluh jurus! Kalau gerombolan lelaki kasar itu tersinggung, apalagi Marangsang! Kepala
Gerombolan Perompak Laut Hitam itu mencak-mencak seperti kakek-kakek kebakaran
jenggot. *** Bagor yang ikut dalam pengeroyokan, meskipun dengan terpincang-pincang, tak
tahan lagi menahan kedongkolannya.
"Apa kau tidak mampu membalas, Wanita Sundal"! Apa yang kau bisa hanya mengelak
saja" Hati-hati! Bila berhasil kami tangkap, kau akan kami telanjangi, lalu kami
perkosa sampai mati!"
Untuk kedua kalinya Bagor melakukan kesalahan berat. Bahkan kali ini lebih
besar. Ucapan itu membuat kemarahan
Melati naik ke ubun-ubun. Akibatnya sungguh
menggiriskan! Saat itu juga Melati menghentikan elakkannya. Tanpa ragu-ragu dipapakinya ayunan
senjata yang tertuju ke arahnya dengan tangan dan kaki.
Tak, tak, tak! Bunyi berdetak keras seperti logam beradu terdengar ketika tangan Melati
berbenturan dengan senjata lawan. Jeritan-jeritan pendek membumbung. Disusul
dengan berpentalannya senjata-senjata yang tergenggam di tangan anggota
Gerombolan Perompak Laut Hitam. Tubuh mereka terhuyung-huyung dengan tangan
terasa sakit Dan sebelum mereka bertindak, tangan dan kaki Melati bergerak. Cepat bukan main.
Anggota Gerombolan Perompak Laut Hitam tidak mampu melihatnya. Tahu-tahu....
Buk, buk, buk! Terdengar bunyi berdebuk keras berturut-turut. Tubuh-tubuh anggota gerombolan
terpentalan dengan nyawa melayang meninggalkan raga. Pukulan maupun tendangan
Melati telah membuat nyawa mereka melayang. Setiap bagian tubuh yang terkena
serangan hancur!
Rupanya di dalam kemarahan
yang bergelora Melati mengeluarkan
seluruh kemampuannya. Dan dalam menjatuhkan serangan semua tenaga dalamnya dikerahkan.
Hasilnya memang menggiriskan!
Hanya dalam segebrakan lima orang anggota Gerombolan Perompak Laut Hitam
bergeletakan di tanah tanpa nyawa. Mereka tewas setelah mengeluarkan jeritan
menyayat. Bagor termasuk di antara mereka.
Kejadian itu membuat anggota Gerombolan Perompak Laut Hitam lainnya gentar.
Mereka menghentikan serangan dan melangkah mundur. Sementara Melati semakin
beringas. Tewasnya kelima lawannya tidak membuat gadis itu puas. Dengan wajah beringas dan
sorot mata penuh ancaman dihampirinya sisa gerombolan.
"Orang-orang seperti kalian harus dilenyapkan dari muka bumi!" desis Melati,
"Telah kuusahakan sedapat mungkin untuk mengalah, tapi kalian terlalu memaksa.
Kalianlah yang telah menyebabkan terjadinya peristiwa ini, bukan aku. Sekarang
aku tidak bertindak tanggung-tanggung lagi."
"Sombong!"
Teriakan keras penuh kemarahan menyambut ucapan Melari. Gadis berpakaian putih
itu menoleh. Dilihatnya Marangsang dengan wajah merah padam menahan marah.
Marangsang murka bukan main melihat kematian anak buahnya. Lelaki itu tidak
gentar melihat hasil tindakan Melati. Dia pun mampu melakukan tindakan seperti
itu. Tidak ada susahnya membunuh gentong-gentong kosong"
"Jangan berbangga hati karena berhasil membinasakan mereka, Wanita Sundal!
Mereka hanya tong-tong kosong! Akulah lawanmu! Hih!"
Srattt! Marangsang mencabut golok besarnya. Lalu sambil mengeluarkan teriakan melengking
nyaring, diterjangnya Melati.
Golok besarnya diputar di atas kepala bagai kitiran, hingga bentuknya lenyap.
Marangsang baru melancarkan serangan ketika telah berada dekat. Golok besarnya
ditusukkan bertubi-tubi ke arah dada, ulu hati, dan leher.
Melati tahu serangan kali ini tidak bisa disamakan dengan serangan-serangan
sebelumnya. Yang menyerangnya adalah Marangsang, sang Pimpinan. Tentu saja jauh
lebih dahsyat dari serangan anak buahnya. Tapi walaupun begitu, Melati tidak
gentar. Gadis berpakaian putih itu bermaksud menghadapinya dengan tangan kosong!
Melati memusatkan perhatiannya pada gerakan golok lawan. Dan ketika telah
menyambar dekat, ditangkisnya tusukan Marangsang dengan kedua telapak tangan
yang dirangkapkan.
Kreppp! Tindakan Melati berhasil. Batang golok Marangsang terjepit di antara kedua
telapak tangannya. Ujung golok hanya berjarak beberapa jari dari dada Melati.
Hasil serangan itu membuat Marangsang penasaran. Dengan sebuah tekanan, ujung
goloknya akan menembus dada Melati. Maka seluruh tertaga dalamnya dikeluarkan
agar bisa mendorong ujung golok itu ke dada lawan.
Tapi seperti juga anak buahnya, Marangsang mengalami hal yang sama. Betapa pun
telah dikerahkan seluruh tenaganya, goloknya tidak mau maju. Marangsang segera
sadar tidak ada gunanya lagi usahanya diteruskan. Maka diputuskan untuk
menggunakan cara lain. Marangsang menggunakan tangan yang lain untuk
melaksanakan rencananya. Tangan kirinya mencabut golok pendek yang terselip di
pinggang. Kemudian mengayunkannya ke leher Melati.
Cepat tindakan Marangsang. Tapi masih lebih cepat tindakan Melati. Dengan kedua
tangan tetap menjepit batang golok, Melati mendorongnya! Marangsang terjengkang
ke belakang dan jatuh bergulingan.
Melihat Marangsang terguling-guling, anak buahnya tidak bisa tinggal diam.
Mereka bersiap melancarkan serangan.
"Hmh!"
Melati mendengus melihat kenekatan mereka. Setelah terdiam sesaat, gadis
berpakaian putih itu mengeluarkan siulan. Mula-mula pelan. Semakin lama semakin
tinggi. Dan seiring dengan semakin meningginya siulan Melati, Marangsang dan anak
buahnya merasakan sakit pada telinga. Semakin lama rasa sakit itu makin menjadi-
jadi. Bukan hanya telinga, tapi juga dada dan kepala. Seperti ada jarum yang menusuk-
nusuk. Gerombolan Perompak Laut Hitam kelabakan. Buru-buru senjata yang tergenggam di
tangan dibuang. Kedua tangan mereka digunakan untuk mendekap telinga, berusaha
mencegah masuknya suara siulan Melati.
Tapi usaha mereka tidak terlalu membuahkan hasil. Siulan Melati mampu
menyelusup, meski kedua telinga mereka telah didekap. Akibatnya, belasan orang
Gerombolan Perompak Laut Hitam berkelojotan seperti cacing kepanasan. Di saat
yang gawat itu, mendadak...
Bangngng, bangngng!
Bunyi berdentam-dentam keras memendam suara siulan Melati. Saat itu juga,


Dewa Arak 54 Kabut Di Bukit Gondang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pengaruh siulan Melari lenyap.
Marangsang dan anak buahnya segera bangkit. Kemudian tanpa menunggu lebih lama,
melesat kabur meninggalkan tempat itu. Gerombolan Perompak Laut Hitam sadar
Melati bukan tandingan mereka. Kalau tetap bersikeras melawan, itu sama dengan
mengantarkan nyawa sia-sia.
Tindakan gerombolan itu tidak luput dari perhatian Melati. Namun, gadis
berpakaian putih itu tidak mempedulikannya. Melati lebih memusatkan perhatian
pada orang yang telah menimbulkan bunyi riuh, hingga menghilangkan pengaruh
siulannya. Melati tidak perlu menunggu lama. Sesaat kemudian, melesat sesosok tubuh ke
arahnya. Melati hampir tidak bisa menahan rasa gelinya ketika melihat gerakan
sosok itu. Berlari atau menggelindingkah dia" Tanya gadis itu dalam hati.
Tidak salah kalau Melati mengeluarkan pertanyaan itu. Sosok yang tengah menuju
ke arahnya memang tidak seperti berlari, tapi menggelinding!
"Hup!"
Hanya sekejap sosok itu telah berjarak tiga tombak dari Melati. Lalu
menghentikan gerakannya. Kesempatan itu dipergunakan Melati untuk
memperhatikannya.
Kembali Melati hampir tidak kuat menahan rasa geli. Sosok yang berdiri di
hadapannya hampir tidak mirip manusia. Sosok itu bertubuh pendek gemuk. Malah
terlalu pendek dan gemuk. Kedua kaki dan tangannya pendek-pendek!
Ciri-ciri itu saja sudah membuat sosok itu mirip bola. Masih ditambah lagi
dengan bentuk anggota tubuhnya yang serba bulat. Matanya, hidungnya, mulutnya,
juga kupingnya.
Yang lebih gila lagi, sosok itu sepertinya ingin memamerkan bentuk tubuhnya.
Pakaiannya yang berupa rompi putih terlalu kecil, sehingga mencetak tubuhnya.
Bahkan bagian perutnya tidak tertutup sama sekali.
"Mengapa tersenyum-senyum, Anak Manis"! Apakah ada yang lucu?" tanya sosok
pendek gemuk itu seraya mengembangkan senyum.
Senyuman pada wajahnya membuat sosok pendek gemuk terlihat lebih muda.
Meskipun demikian, sulit memperkirakan usianya. Wajah dan potongan tubuhnya
masih padat. Apalagi tidak ada kumis, jenggot, atau cambang.
Belum sempat Melati memberikan jawaban terdengar suara serak dan keras
menyahuti. Suara itu lebih pantas keluar dari mulut seekor burung gagak.
"Monyet Busuk! Kadal Buduk! Anjing Kurap! Lagi-lagi aku kalah cepat denganmu,
Setan Tertawa! Tapi, jangan harap aku akan mengalah!"
Dan sebelum gema ucapan yang mampu membuat tempat itu dan dada Melati bergetar
hebat lenyap. Berkelebat sesosok bayangan hitam.
Jliggg! Ringan tanpa suara sosok bayangan hitam mendarat di depan Melati. Juga dalam
jarak tiga tombak. Bedanya sosok pendek gemuk yang dipanggil Setan Tertawa di
sebelah kanan, sedang sosok hitam itu di sebelah kiri.
Melati mengarahkan pandangan ke arah sosok hitam yang baru tiba. Kening gadis
itu langsung berkerut. Sosok itu memiliki ciri-ciri yang berlawanan dengan Setan
Tertawa. Sosok hitam itu bertubuh tinggi kurus. Bahkan terlalu tinggi dan kurus, hingga
tak ubahnya tangga. Wajahnya yang dihiasi kumis dan jenggot jarang-jarang
kelihatan muram.
Bibirnya selalu bergerak-gerak seperti orang menangis. Aneh sekali!
Tapi rasa heran yang melingkupi Melari langsung lenyap ketika mendengar ucapan
Setan Tertawa. "Aku pun tidak mengharapkan kau mengalah, Dewa Pencabut Nyawa! Kita lihat saja
siapa yang berhasil mendapatkannya!" seru Setan Tertawa gembira.
"Setan Tertawa" Dewa Pencabut Nyawa?" tanya Melati dengan hati berdebar tegang.
Dua julukan itu pernah didengarnya. Menurut berita Setan Tertawa dan Dewa
Pencabut Nyawa adalah datuk-datuk golongan hitam yang berkepandaian sangat
tinggi. Setan Tertawa merajai bagian utara, sedang bagian selatan dikuasai Dewa
Pencabut Nyawa.
Kabarnya telah ratusan kali dua datuk itu bertarung. Tapi tak ada seorang pun
pernah mengalahkan mereka. Jangankan mengalah, menandingi saja tidak mampu.
Semuanya roboh!
Selama puluhan tahun keduanya merajalela di dunia persikitan tanpa ada yang
menghalangi. Setan Tertawa dan Dewa Pencabut Nyawa memang sangat tinggi ilmunya. Beberapa
kali mereka bertarung untuk menentukan siapa yang lebih pandai dan parut
menyandang gelar tokoh nomor satu. Tapi, selalu saja hasil pertarungan berakhir
seri. Walaupun begitu, yang membuat tokoh-tokoh persikitan baik golongan hitam maupun
putih merasa ngeri bukan kepandaiannya. Tapi kekejamannya. Kekejaman kedua datuk
sesat itu mampu membuat tokoh yang paling kejam sekalipun bergidik ngeri! Dan
sekarang dua datuk yang menggiriskan itu berada di hadapan Melati!
Sungguh pun perasaan tegang melanda Melati mampu bersikap tenang. Gadis itu tahu
kedua kakek di hadapannya berkepandaian tinggi. Suatu tindakan yang bijaksana
bila menjauhkan terciptanya masalah. Apalagi saat itu Dewa Arak berada dalam
keadaan yang tidak menguntungkan!
Maka dengan sikap tidak peduli dan seakan-akan tidak mengenal kedua kakek itu,
Melati mengayunkan langkah ke tempatnya semula. Lalu duduk di akar pohon yang
melintang. 4 "He he he...! Hati-hati, Anak Manis. Jangan duduk di situ. Kadang-kadang dari
atas pohon ada ular menyerang!" ujar Setan Tertawa sambil terkekeh.
Sepintas tidak ada yang aneh dalam ucapan Setan Tertawa. Kakek gemuk pendek itu
bermaksud baik dengan memberi nasihat. Tapi Melati bukan gadis yang masih hijau.
Dia telah cukup kenyang merasakan kerasnya dunia persikitan. Ditambah dengan
pengetahuan yang didapatnya dari Dewa Arak. Maka, Melati dapat merasakan
kelainan dalam ucapan Setan Tertawa. Ada getaran aneh di dalamnya. Bahkan
sepasang mata kakek gemuk pendek itu berkilat-kilat aneh!
Melati bersikap waspada. Seluruh perhatiannya dipusatkan pada telinga dan mata.
Saat itulah....
Ssszzz...! Bunyi mendesis keras dari atas pohon membuat Melati terperanjat. Apalagi ketika
mendengar desir angin menyambar ke arahnya. Melati segera mengetahui ada bahaya
mengancam. Maka tubuhnya buru-buru direbahkan. Pada saat yang bersamaan
pedangnya dicabut
Srattt! Sinar terang berkilau ketika pedang itu terhunus.
Wusss! Singngng!
Crottt! Rentetan kejadiannya demikian cepat. Dari atas pohon seekor ular melesat cepat
hendak mematuk Melati. Tapi sebelum binatang melata itu berhasil melaksanakan
maksudnya, pedang Melati telah lebih dulu berkelebat dan memutuskan tubuhnya.
Plukkk! Begitu jatuh ke tanah, tubuh ular itu lenyap. Yang terlihat di sana potongan
ranting. "Permainan anak-anakmu tidak berguna, Setan Tertawa," celetuk Dewa Pencabut
Nyawa dengan bibir bergerak-gerak seperti orang hendak menangis. "Biarlah aku
yang meneruskannya," usai berkata, kakek tinggi kurus itu melambaikan tangan
kanannya pada Melati. Gadis berpakaian putih itu merasa heran. Apa maksud Dewa
Pencabut Nyawa" Dan sesaat kemudian, pertanyaan itu terjawab. Melati terkejut
bukan main. Sebuah kekuatan aneh yang tak nampak menarik tubuhnya ke arah Dewa
Pencabut Nyawa!
Kejadiannya berlangsung demikian cepat. Melati yang tengah berdiri dengan pedang
melintang di depan dada langsung tertarik ke arah kakek tinggi kurus. Namun di
saat tubuhnya melayang ke arah Dewa Pencabut Nyawa, Melati tidak ringgal diam.
Seluruh tenaga dalamnya dikerahkan untuk bertahan. Usahanya tidak sia-sia. Laju
tubuhnya menurun jauh!
Meskipun demikian, tubuh Melati tetap tertarik. Hanya saja dengan cara yang
tidak mudah. Kedua kaki Melati seperti berakar dalam tanah. Sehingga meskipun
tetap tertarik, akibatnya menimbulkan guratan yang dalam pada tanah. Debu
mengepul tinggi ke udara.
Melati menggertakkan gigi dalam usahanya mengerahkan seluruh tenaga dalam.
Wajahnya merah padam. Namun daya tarik aneh itu sangat kuat. Sehingga betapa pun
Melati telah mengerahkan seluruh kemampuannya tetap saja tubuhnya meluncur ke
arah Dewa Pencabut Nyawa.
Melati pun sadar tidak ada gunanya melawan. Kekuatan lawan terlalu kuat. Tapi
meskipun begitu, gadis berpakaian putih itu tidak putus asa. Dalam waktu yang
sangat sempit benaknya diputar untuk mencari jalan meloloskan diri.
Beruntung cara itu segera ditemukan. Melati memutuskan memanfaatkan serangan
unik Dewa Pencabut Nyawa. Melari langsung menghentikan perlawanannya. Akibatnya,
tubuh gadis berpakaian putih itu melayang deras ke arah Dewa Pencabut Nyawa. Hal
inilah yang ditunggu-tunggu Melati. Melayangnya tubuhnya ke arah lawan
dipergunakan sebaik-baiknya.
Wungngng! Bunyi menggerung keras seperti naga mengamuk terdengar ketika Melari menusukkan
pedangnya ke arah leher Dewa Pencabut Nyawa. Inilah 'Ilmu Pedang Seribu Naga'
yang menjadi andalan Melati. Melihat dari langsung dikeluarkannya ilmu ini, bisa
diketahui Melati menyadari Dewa Pencabut Nyawa seorang lawan yang sangat
tangguh! "Hmh!"
Dewa Pencabut Nyawa mengeluarkan dengusan mengejek untuk menutupi keterkejutannya melihat Melati mampu mempergunakan kesempatan itu untuk
melancarkan serangan mematikan.
Seiring keluarnya dengusan itu Dewa Pencabut Nyawa langsung mengibaskan tangan.
Sama seperti sebelumnya, gerakan itu dilakukan tanpa pengerahan tenaga sama
sekali. Tapi hasilnya luar biasa!
"Uh!"
Keluhan tertahan keluar dari mulut Melati ketika dirasakan ada kekuatan tak
nampak melempar tubuhnya ke belakang. Gadis berpakaian putih itu tidak mengerti
apa yang tengah terjadi. Yang diketahuinya dia merasa seperti menabrak dinding
kasat mata. Kemudian ada sebuah kekuatan tak terlihat melemparkan tubuhnya!
Tapi, untuk yang kedua kalinya Melati berhasil mematahkan gebrakan aneh Dewa
Pencabut Nyawa. Melati menggunakan kekuatan tak nampak itu untuk bersalto di
udara beberapa kali. Dan di saat tubuhnya berada di udara tangan kirinya
dihentakkan! "Hih!"
Wusss! Serentetan angin keras menghambur dari telapak tangan Melati. Dan meluncur ke
arah Dewa Pencabut Nyawa. Inilah jurus' Naga Merah Membuang Mustika'!
"Hehhh..."!"
Seruan kaget langsung terdengar. Dewa Pencabut Nyawa sedikit pun tidak menyangka
akan terjadi seperti ini. Apalagi ketika menyadari serangan jarak jauh Melati
sangat dahsyat.
Namun kakek tinggi kurus tidak gentar. Kemenangan demi kemenangan yang
diperolehnya selama ratusan kali bertarung membuatnya yakin akan kemampuan diri.
Maka tanpa ragu-ragu dipapakinya serangan itu dengan bentakan tangan kirinya!
Wusss! Blarrr! Terdengar ledakan keras laksana halilintar menyambar. Akibatnya menggiriskan
hati. Getaran dahsyat yang melanda membuat daun-daun berguguran!
Akibat yang lebih hebat dialami dua tokoh yang saling melancarkan pukulan jarak
jauh. Baik Melati maupun Dewa Pencabut Nyawa terdorong ke belakang. Hanya saja
keadaan yang dialami Melati jauh lebih parah. Gadis berpakaian putih itu tidak
hanya terjengkang lebih jauh, bahkan sampai terguling-guling ke tanah.
Tapi bukan berarti Melati sudah tidak berdaya. Diakui dadanya terasa sesak,
namun itu tidak menghalangi tindakan selanjutnya. Dengan gerakan manis Melari
melentingkan tubuh dan mendarat dengan kedua kaki lebih dulu.
*** "Sudah terlalu lama kau bermain-main dengannya, Dewa Pencabut Nyawa. Sekarang
biarkan aku yang melayaninya!" Setan Tertawa langsung bertindak. Laksana sebuah
bola, tubuhnya digelindingkan. Bunyi riuh rendah seperti batu-batu besar
bergelinding mengiringi menggelindingnya tubuh kakek gemuk pendek itu.
Melati mengernyitkan dahi melihat cara penyerangan yang unik itu. Begitu
terdengar teriakan Setan Tertawa, Melati memang segera mengalihkan perhatiannya
dari Dewa Pencabut Nyawa. Dan sekarang gadis berpakaian putih itu menatap Setan
Tertawa tanpa berkedip.
Sementara itu, setelah jaraknya semakin dekat dengan Melati, Setan Tertawa
melenting ke atas. Gerakan yang dilakukannya seperti loncatan seekor katak.
Tapi, jangan coba-coba memandang rendah. Akibatnya akan membuat nyawa melayang!
Itu disadari oleh Melati. Maka begitu tubuh Setan Tertawa melenting,
kewaspadaannya semakin ditingkatkan. Dia tahu Setan Tertawa telah mulai
menyerang. Dugaan Melati tepat.
Begitu tubuhnya berada di udara, Setan Tertawa melancarkan serangan. Tangan
kanannya disampokkan ke arah pelipis gadis itu.
Wuttt! Angin menderu keras begitu tangan Setan Tertawa meluncur. Ini menjadi pertanda
sampokan itu mengandung tenaga dalam kuat. Dan memang, jangankan kepala manusia,
batu karang yang paling keras pun akan hancur bila terkena sampokan Setan
Tertawa. Tentu saja kenyataan demikian disadari Melati. Hingga gadis itu tidak berani
bertindak gegabah. Seraya menarik kaki kanannya, tubuhnya dicondongkan ke
belakang. Pada saat yang bersamaan pedangnya dibabatkan untuk memapaki serangan
lawan. Menurut perkiraan Melati, Setan Tertawa akan membatalkan serangannya. Sebab bila
kakek gemuk pendek itu meneruskan maksudnya, pergelangan tangannya akan
berbenturan dengan pedang Melati. Tapi betapa kagetnya Melati ketika melihat
Setan Tertawa tidak melakukan tindakan seperti yang diperkirakannya. Setan
Tertawa tidak menarik serangannya!
Sudah gilakah kakek ini" Kalau tidak, mana mungkin menangkis babatan pedang
dengan tangan telanjang" Dewa Arak saja tidak berani melakukan hal seperti itu!
Ataukah Setan Tertawa memiliki tenaga dalam melebihi Dewa Arak"!
Wungngng! Takkk!
"Ikh!"
Tanpa sadar Melati menjerit kaget. Dengan mata kepala sendiri dilihatnya pedang
berbenturan dengan pergelangan tangan Setan Tertawa. Tapi, tangan kakek gemuk
pendek itu tidak apa-apa. Jangankan putus, tergores pun tidak!
Lain halnya dengan Melari. Benturan itu mengakibatkan telapak tangan kanannya
terasa pedas. Rasa linu melanda sekujur tangannya. Bahkan dia tidak mampu
menahan tubuhnya yang terhuyung.
Sementara itu, tindakan Setan Tertawa tidak berhenti sampai di situ. Tangan
kirinya dengan jari-jari terbuka membentuk cakar dilayangkan ke arah perut
Melati. Melati terperanjat. Cepatnya serangan susulan itu meluncur membuatnya tidak
sempat menggerakkan pedang atau mengelak. Jalan satu-satunya hanya menangkis
dengan tangan kiri. Itulah yang dilakukannya! Melati memapaki serangan itu
dengan kedudukan jari-jari tangan sama dengan lawan.
Prattt! Kembali benturan terjadi. Kali ini antara dua tangan yang dialiri tenaga dalam
kuat! Akibatnya tubuh Melati terjengkang ke belakang, dan mungkin jatuh kalau tidak
segera mematahkan kekuatan daya dorongnya. Setan Tertawa pun demikian. Tapi,
kakek gemuk pendek itu hanya terhuyung-huyung dua langkah ke belakang.
"He he he...! Luar biasa...! Luar biasa...! Baru sekarang kutemukan seorang
wanita muda memiliki kemampuan luar biasa! Kau tidak terlalu mengecewakan untuk
dijadikan lawan bertarung, Nisanak! Sayang, aku tengah mempunyai urusan yang
amat penting di Desa Sampan. Lain kali kita akan jumpa lagi! He he he...!"
Melati yang sudah bersiap menghadapi serangan lanjutan Setan Tertawa tidak
segera mempercayai ucapan itu. Gadis itu tetap melintangkan pedangnya di depan
dada. Siap menghadapi segala kemungkinan yang tidak diharapkan. Sepatah pun
tidak disambutinya ucapan Setan Tertawa. Yang menyambuti celoteh Setan Tertawa
justru Dewa Pencabut Nyawa.
"Hmh...! Sejak dulu watakmu masih belum juga berubah, Setan Tertawa. Manis di


Dewa Arak 54 Kabut Di Bukit Gondang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mulut, tapi pahit dirasakan. Mana mungkin wanita ini akan bertemu denganmu lagi!
Dasar ular kepala dua!" Wajah Dewa Pencabut Nyawa yang sudah muram itu semakin
bertambah layu.
Memang, aneh untuk dilihat! Kalau Setan Tertawa bila bicara raut wajahnya penuh
seri kegembiraan, membuat usianya seperti bertambah muda. Tidak demikian dengan
Dewa Pencabut Nyawa. Setiap kali bicara raut wajahnya yang sedih bertambah
muram. Hingga terlihat bertambah tua dan seperti orang hendak menangis!
Setan Tertawa tidak menanggapi ucapan kawannya. Dia melesat meninggalkan tempat
itu. Aneh sekali caranya berlari. Setan Tertawa berlari seperti bola
menggelinding. Melihat hal itu, Dewa Pencabut Nyawa tidak berdiam diri. Sekali
kakinya dijejakkan tubuhnya melesat ke depan mengejar Setan Tertawa. Caranya
berlari tak kalah aneh. Kakek tinggi kurus itu tidak hanya menggunakan kaki,
tapi juga tangan! Namun anehnya justru dengan cara itu kecepatan larinya jadi
luar biasa. *** "Hhh...!"
Melati menghela napas lega melihat kedua datuk sesaat berkepandaian menggiriskan
hati itu lenyap di balik kerimbunan semak-semak dan pepohonan lebat. Kemudian
gadis itu mengayunkan kaki ke tempatnya menunggu Arya.
Tapi baru saja Melari melongokkan kepalanya, dari tempat itu melesat ke atas
sesosok bayangan. Kejadian-kejadian sebelumnya membuat Melati bersikap sangat
hati-hati. Maka buru-buru tubuhnya dilempar ke belakang. Dan selagi berada di
udara pedangnya dicabut.
Srattt! Jliggg! Begitu kedua kakinya hinggap di tanah di tangan Melati telah terhunus pedang.
Semua urat saraf dan otot tubuhnya menegang waspada, siap menghadapi segala
kemungkinan. Tapi begitu melihat sosok yang kini telah berdiri tegak di hadapannya, seluruh
otot dan urat saraf Melati mengendur. Sosok yang melesat dari dalam jurang itu
ternyata Arya! "Ada apa, Melati?" tanya Arya heran bercampur kaget.
"Ah... tidak Kang," jawab Melati sambil menyarungkan pedangnya.
Arya menatap wajah kekasihnya penuh selidik seraya berjalan menghampiri. Dia
merasa ragu mendengar jawaban Melati. Tidak mungkin Melati akan bertindak
seperti itu jika tidak terjadi sesuatu yang luar biasa.
"Ceritakanlah, Melati Apa yang telah terjadi sewaktu aku turun ke bawah"!" desak
Arya penasaran.
Pemuda berambut putih keperakan itu merayapi sekujur tubuh Melari dengan sorot
matanya. Tampak butiran-butiran peluh di wajah gadis itu. Bahkan cukup banyak. Terutama
di dahi dan leher. Kenyataan ini sudah menunjukkan telah terjadi sesuatu
sepeninggalnya tadi.
Kecurigaan Arya semakin bertambah ketika melihat pakaian putih kekasihnya kotor.
Jelas, Melati telah bergulingan di tanah. Tapi mengapa"
"Lebih baik kau ceritakan dulu hasil yang kau dapat di bawah sana, Kang. Maaf,
aku belum bisa menceritakan peristiwa yang terjadi. Aku masih belum bisa
menghilangkan rasa kagetku...!"
"Baiklah kalau begitu," Arya mengalah.
Pemuda berambut putih keperakan itu menyeka peluh yang membasahi wajahnya
sebelum mulai bercerita. Agaknya tindakan yang baru dilakukannya tadi telah
menguras seluruh tenaganya.
"Sosok di dalam jurang itu memang pemilik jeritan yang kita dengar," Arya
memulai keterangan-nya.
"Jadi... dia masih hidup, Kang?" selak Melari tidak sabar.
"Semula memang dia masih hidup, tapi sekarang sudah tewas. Luka-luka yang
dideritanya terlalu parah. Dia mampu bertahan hidup sampai aku temukan. Ini
merupakan suatu keajaiban. Daya tahan tubuhnya luar biasa sekali!" jelas Arya.
"Lalu..., apakah dia sempat memberitahu penyebab kematiannya, Kang?" kejar
Melari. Arya mengangguk, "Dia hendak mengambil hasil sadapannya. Tapi, serombongan orang
berpakaian pasukan kerajaan menghadang. Mereka menanyakan letak Desa Sampan.
Penduduk yang malang itu memberitahukannya."
"Desa Sampan..." Aneh...!" desah Melari dengan kening berkernyit.
"Mengapa, Melati" Apakah ada sesuatu yang aneh"!" tanya Arya ingin tahu melihat
tanggapan kekasihnya.
"Aneh sih, tidak. Hanya saja.... Ah! Lebih baik nanti saja kueeritakan. Lalu...,
mengapa dia dibunuh, Kang?" terasa jelas nada penasaran dalam ucapan gadis
berpakaian putih itu.
"Aku sendiri tidak tahu pasti, Melati. Mungkin karena dia tidak bisa menjawab
pertanyaan selanjutnya. Orang-orang berseragam pasukan kerajaan itu menanyakan
tempat tinggal orang yang bernama Garang Laksa."
"Garang Laksa"!" ulang Melati meminta kepastian.
"Benar, Melati. Garang Laksa."
Melati terdiam. Mungkinkah ada hubungannya dengan Gerombolan Perompak Laut
Pendekar Binal 8 Panggung Penghukum Dewa Seri Pengelana Tangan Sakti Karya Lovelydear Persekutuan Tusuk Kundai Kumala 7
^