Pencarian

Penjarah Perawan 2

Dewa Arak 53 Penjarah Perawan Bagian 2


Keberadaan lelaki itu membuat mereka yang bertarung tidak dapat bergerak lagi.
"Kakang Subali..!" seru laki-laki bermata sipit terkejut.
Lelaki berjenggot panjang yang ternyata bernama
Subali tidak bisa memberikan tanggapan. Sebab...,
"Ooo...! Rupanya kalian ingin mengeroyok"!'' ejek Bodong. "Silakan! Silakan...!
Jangan kalian kira aku akan gentar!"
"Tutup mulutmu, Kerbau Goblok!" maki Subali
geram. Lelaki itu tersinggung mendengar tuduhan Bodong.
"Aku bukan orang sepertimu! Cepat menyingkir dari sini sebelum hilang
kesabaranku!"
"Ha ha ha...!"
Bodong menanggapi peringatan Subali dengan tawa
tergelak sambil bertolak pinggang. Tampaknya dia tidak
memandang sebelah mata pun pada Subali.
"Kau kira aku gampang ditakut-takuti"! Ho ho ho...!
Kau keliru, Kambing Tua! Jangankan hanya gertak sambal, ancaman maut sekalipun
aku tidak gentar!"
Hebat bukan main pengaruh ucapan Bodong. Wajah
Subali merah padam. Sepasang matanya berkilat-kilat
menyiratkan kemarahan. Dan bunyi gemeretak keluar dari
mulutnya. "Ingat, Kerbau Goblok! Aku telah memberimu
kesempatan! Tapi kau menyia-nyiakan. Jangan salahkan aku jika bertindak keras
terhadapmu!"
"Diam, Kambing Tua! Jangan mengembik-ngembik
terus! Aku bosan mendengarnya! Hiyaaat...!"
Diiringi teriakan keras, Bodong meluruk ke arah
Subali. Kedua tangannya yang terkepal dipukulkan bertubi-tubi ke arah dada
lawan. Bet, bet, bet! Bunyi cukup keras yang mengiringi datangnya
pukulan menunjukkan serangan itu dilancarkan dengan
pengerahan tenaga dalam cukup tinggi!
Tapi Subali tetap tenang. Ditunggunya hingga
serangan Bodong semakin dekat. Ketika hal itu terjadi, lelaki berjenggot panjang
itu baru bertindak. Kakinya dilangkahkan ke kanan sambil mendoyongkan tubuh.
Hasilnya memang
jitu! Serangan-serangan Bodong menyambar lewat beberapa jari di sebelah kirinya.
Saat itulah Subali bertindak! Tangan kirinya
diletakkan ke arah kuduk lawan. Bodong terkejut bukan
main. Sebisanya lelaki tinggi besar itu berusaha mengelak.
Dukkk! "Uh...! ''
Bodong mengeluh tertahan sebelum ambruk ke
tanah. Dia tidak berhasil mengelakkan serangan Subali.
Gerakan lelaki berjenggot panjang itu terlalu cepat
*** Sekilas Subali menatap Bodong yang pingsan.
Kemudian pandangannya dialihkan pada laki-laki berpakaian indah dan rekan Bodong
yang sejak tadi hanya menonton.
"Apa arti semua ini, Juragan Bilawa?" tanya Subali seraya menghampiri mereka.
"Aku tidak ada urusan denganmu, Subali!" sergah laki-laki berpakaian indah.
"Cepat beritahukan kedatanganku pada Jayeng Praja!"
"Sayang sekali, Juragan Bilawa! Guruku sedang tidak berada di tempat. Mari kita
ke dalam dan membicarakan
urusan ini!"
"Aku tidak sudi ke dalam, Subali! Aku ingin bicara di sini! Cepat, panggil
Jayeng Praja kemari! Tak kusangka dia akan bertindak sepengecut ini! '' seru
Juragan Bilawa dengan suara semakin meninggi.
Wajah semua murid Perguruan Harimau Terbang
tampak merah padam menahan marah. Beberapa di antara
mereka telah mencabut senjata dan siap memenggal kepala orang yang telah
mengeluarkan hinaan kotor terhadap ketua
perguruan mereka.
Rupanya Subali cukup tanggap akan hal itu. Karena
dia pun didera perasaan yang sama. Tapi laki-laki berjenggot panjang itu tidak
mau bertindak sembrono. Tangan kanannya segera diangkat untuk menenangkan rekan-
rekannya. "Juragan Bilawa! Ku mohon tarik kembali kata-
katamu, atau kau ingin ku lemparkan ke luar seperti anjing buduk"!" ujar Subali
dengan suara bergetar.
Juragan Bilawa tahu Subali tidak main-main dengan
ancamannya. Maka meskipun amarah yang hebat bergolak di dalam dada, diputuskan
untuk sedikit menenangkan diri.
Laki-laki berpakaian indah itu tidak ingin dilemparkan Subali
"Sudah kukatakan padamu, Subali. Aku tidak ingin
berurusan denganmu. Aku hanya mempunyai urusan dengan
Jayeng Praja, ketuamu!" tandas Juragan Bilawa tetap dengan nada tinggi.
"Harus berapa kali kukatakan padamu, Juragan
Bilawa"! Guruku sedang pergi karena suatu urusan. Aku,
murid kepalanya, ditugaskan untuk menggantikan mengurus perguruan ini. Apa pun
masalah pribadi guruku!" jelas Subali.
"Hhh...!"
Juragan Bilawa menghembuskan napas berat.
Kelihatan jelas dia sangat kecewa mendengar keterangan
Subali. Laki-laki berpakaian indah itu tercenung di
tempatnya. Kelakuan Juragan Bilawa menjadi perhatian murid-
murid Perguruan Harimau Terbang, dan tukang pukulnya.
Tapi mereka membiarkan saja. Sesaat kemudian...,
"Baiklah kalau memang demikian, Subali. Aku datang untuk mengetahui nasib
putriku...."
"Aku tidak mengerti maksudmu, Juragan Bilawa?"
tanya Subali pura-pura tidak tahu.
"Kau tidak usah berpura-pura, Subali!" tuding Juragan Bilawa. "Aku datang kemari
untuk menanyakan bagaimana pekerjaan kalian. Apa yang terjadi dengan
putriku"! Mengapa dia tidak pernah sampai ke tempat yang dituju"!"
"Hhh...!"
Subali menghela napas. Disadari tidak ada gunanya
lagi menyembunyikan masalah itu. Dia terpaksa harus
memberitahu dengan sejujurnya. Subali lalu menceritakan semua yang diketahuinya
tanpa ada yang disembunyikan.
"Jadi... putriku belum ditemukan"! Ohhh...!" keluh Juragan Bilawa. Wajahnya
pucat pasi, "Sutini..., apa yang terjadi dengan dirimu...?"
Namun hanya sesaat Juragan Bilawa larut dalam
kesedihan. Sebentar kemudian dia telah berhasil menguasai perasaan. Dengan wajah
beringas, pandangannya diedarkan berkeliling.
"Harus kalian ketahui... aku tidak bisa menerima hal ini! Kalian harus
bertanggung jawab atas lenyapnya putriku!"
Setelah mengeluarkan kata-kata itu, Juragan Bilawa
membalikkan tubuh dan berjalan meninggalkan tempat itu.
Tanpa banyak cakap, tukang pukulnya mengikuti sambil
memanggul tubuh Bodong. Mereka menuju kereta kuda.
Sesaat kemudian, debu mengepul tinggi mengiringi kepergian kereta kuda yang
bagus dan indah milik Juragan Bilawa.
Subali dan adik-adik seperguruannya memandang kereta
hingga lenyap di kejauhan.
"Hhh...!"
Subali menghela napas. Ditatapnya satu persatu
adik-adik seperguruannya. "Perguruan kita berada dalam kesulitan besar. Aku
tidak yakin guru dapat menemukan
putri Juragan Bilawa," ujar Subali prihatin.
Tidak ada tanggapan atas ucapannya. Murid-murid
Perguruan Harimau Terbang terdiam. Seperti juga Subali, mereka merasa prihatin
dengan musibah yang menimpa
perguruannya. "Semoga guru berhasil menemukan putri Juragan
Bilawa. Dan mudah-mudahan tidak terjadi sesuatu yang
menimpa dirinya," Subali melanjutkan kata-katanya.
Ucapan itu dikeluarkan sambil mengayunkan kaki
memasuki bangunan perguruan. Di dalam ucapannya
memang terkandung harapan. Tapi semua murid Perguruan
Harimau Terbang tahu Subali sendiri tidak yakin dengan
ucapannya. Nada ketidakyakinan dapat ditangkap jelas dalam perkataannya.
Meskipun demikian, tak satu pun di antara mereka
membuka suara. Takut salah bicara. Lagi pula rasa prihatin membuat mereka
kehilangan semangat untuk berbicara.
Yang dapat dilakukan murid-murid Perguruan
Harimau Terbang hanya bisa berharap agar putri Juragan Bilawa selamat. Walau
mereka tahu harapan itu sangat kecil.
Tewasnya seluruh rombongan murid Perguruan Harimau
Terbang yang mengawalnya sudah merupakan pertanda
buruk. Dengan benak diliputi masalah putri Juragan Bilawa,
murid-murid Perguruan Harimau Terbang kembali ke
tempatnya masing-masing. Dalam sekejap suasana hiruk-
pikuk pun lenyap. Yang tersisa hanya keheningan. Apalagi ketika pintu gerbang
Perguruan Harimau Terbang ditutup.
*** "Hiya...! Hiyaaa...!"
Ctarrr! Sambil mengeluarkan teriakan-teriakan untuk
memacu semangat kudanya, Jayeng Praja mengayunkan
pecut ke bagian belakang tubuh binatang itu. Usaha Ketua Perguruan Harimau
Terbang itu tidak sia-sia. Lari kuda
hitam tunggangannya jauh lebih cepat dari sebelumnya.
Jayeng Praja terpaksa menggunakan kuda karena
ingin cepat tiba di Perguruan Harimau Terbang. Dia ingin segera menjelaskan
permasalahan sebenarnya kepada
Juragan Bilawa. Terserah bagaimana tindakan yang akan
dilakukan orangtua Surini itu padanya.
Karena ingin buru-buru tiba, Jayeng Praja memacu
kudanya seperti orang kurang waras. Perjalanan yang
dilakukannya hampir tanpa henti. Dua hari kemudian, dia telah keluar dari Desa
Karang Gantung. Itu membuat
semangatnya bertambah. Dia hanya tinggal melewati sebuah hutan kecil. Setelah
itu, Desa Karang Awang akan
dimasukinya. Itulah desa tempat perguruannya berada.
Sang Surya telah hampir mencapai titik tengahnya
ketika kuda Jayeng Praja memasuki hutan kecil. Hutan yang dikenal dengan nama
Hutan Kapur. Meskipun di dalam
hutan, Jayeng Praja tidak mengendurkan lari kudanya.
Dengan kecepatan tinggi, binatang tunggangan berwarna
hitam itu menapaki jalan tanah di dalam hutan yang
ditumbuhi sedikit rumput. Mendadak...
Rrrttt! "Hieeeh...!"
"Hey!"
Jayeng Praja berseru kaget ketika tiba-tiba kudanya
terjungkal ke depan seperti terkait sesuatu. Tubuh Ketua Perguruan Harimau
Terbang itu pun ikut terjungkal ke
depan. Tapi dengan sebuah salto yang manis dan indah
dilihat, Jayeng Praja berhasil mematahkan daya dorong
tubuhnya. Dan....
"Hup!"
Dengan mantap Jayeng Praja berhasil mendaratkan
kedua kakinya di tanah. Dan secepat itu pula dia memasang sikap waspada.
Lelaki itu melempar pandang ke arah binatang
tunggangannya. Kudanya tergeletak di tanah. Tampaknya
binatang itu mengalami luka yang cukup parah.
"Paling tidak beberapa kakinya patah!''
Hanya sekilas Jayeng Praja memperhatikan.
Kemudian pandangannya dialihkan pada tempat kuda hitam
itu terjungkal. Dan..., kewaspadaannya pun semakin
ditingkatkan! Di tempat kuda hitam itu terjungkal terentang seutas tambang.
Ujung-ujung tambang sebesar ibu jari itu diikatkan pada dua batang pohon yang
mengapit jalan yang dilalui kuda Jayeng Praja.
Melihat kenyataan itu, Jayeng Praja segera
mengetahui kejadian yang menimpa dirinya telah di
rencanakan. Ada seseorang atau mungkin lebih yang sengaja ingin menghalangi
perjalanannya. Yakin dengan kesimpulan yang didapatnya, Jayeng Praja mengedarkan
pandangan ke arah timbunan semak-semak dan pepohonan yang berada di
sekitar tempat itu.
"Keluar kau, Pengecut! Jangan beraninya hanya
bermain kucing-kucingan. Ayo, hadapi aku secara terang-
terangan. Keluar kau...!" ucapan Jayeng Praja menggema ke seluruh penjuru hutan.
Ketua Perguruan Harimau Terbang itu mengerahkan tenaga dalamnya.
Hasilnya langsung terlihat. Semak-semak da
pepohonan itu bergerak-gerak diiringi bunyi berkeresekan.
Sesaat kemudian, muncul sosok-sosok tubuh yang memiliki perawakan dan raut wajah
kasar. Begitu muncul, sosok-sosok kasar itu langsung berpencar. Hanya dalam
sekejap Jayeng Praja telah terkurung. Lelaki itu mengedarkan pandangan
berkeliling menghitung jumlah mereka.
Lima belas orang, ujar Jayeng Praja dalam hati.
Sadar kalau orang-orang kasar itu tidak bermaksud
baik, Ketua Perguruan Harimau Terbang tampak bersikap
waspada. Urat-urat saraf dan otot-otot tubuhnya menegang.
Siap digunakan bila menghadapi hal-hal yang tidak
diinginkan. Tapi kelima belas orang kasar itu tidak
menampakkan tanda-tanda akan melancarkan serangan.
Mereka berdiam diri saja. Semula Jayeng Praja heran melihat tingkah para
pengepungnya. Mengapa mereka tidak
menyerang" Tapi sesaat kemudian, Jayeng Praja mendapat
jawabannya. "Ha ha ha...!"
Sebuah tawa keras menggelegar membuat sekitar
tempat itu bergetar hebat. Pertanda pemiliknya memiliki tenaga dalam yang sangat
kuat. Dan sebelum gema tawa itu lenyap, sesosok bayangan kuning berkelebat.
Tahu-tahu di belakang belasan orang kasar itu berdiri angker sesosok tubuh.
"Ha ha ha...! Mengapa tergesa-gesa sekali, Jayeng"!
Adakah urusan penting yang ingin kau selesaikan?" ejek sosok yang bam datang
Sosok itu seorang lelaki berwajah kuning. Tubuhnya
yang kurus kering terbungkus pakaian dari kulit ular
berwarna kuning coklat.
"Ular Muka Kuning...! '' desis Jayeng Praja kaget.
Agaknya mengenal tokoh itu.
Ular Muka Kuning adalah seorang seorang kepala
rampok yang memiliki kepandaian tinggi. Namun bukan hal itu yang menyebabkan
setiap orang takut kepadanya. Tapi tindakannya yang keji dan telengas!
Sepengetahuan Jayeng Praja, kepala rampok itu tidak beroperasi di wilayah ini.
Mengapa dia berada di sini"
"Mengapa, Jayeng" Kau kaget"!" tanya Ular Muka Kuning. Nada suaranya terdengar
merendahkan lawan
bicaranya. Pertanyaan itu membuat alun pikiran Jayeng Praja
terputus. "Dengan terus terang kukatakan aku memang terkejut. Sepengetahuanku
tempat ini tidak termasuk daerah jarahanmu."
6

Dewa Arak 53 Penjarah Perawan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ha ha ha...!"
Ular Muka Kuning tergelak. Sebuah tawa penuh
kegembiraan. "Ucapanmu tidak salah, Jayeng. Daerah ini memang bukan wilayahku.
Aku juga tidak berminat menjarah daerah-daerah di sekitar tempat ini! Apa yang
akan kudapatkan di tempat yang hanya ditinggali penduduk
miskin"!"
"Lalu..., mengapa kau dan rombonganmu berada di
sini?" "Karena sebuah pekerjaan yang menjanjikan hadiah
besar," jawab Ular Muka Kuning tenang.
"Pekerjaan dengan imbalan besar?" Jayeng Praja mengernyitkan dahi.
"Jangan berpura-pura bodoh, Jayeng!" sergah Ular Muka Kuning. "Apa kau tidak
dapat menerka pekerjaan yang kumaksud?"
Wajah Jayeng Praja langsung berubah. Melihat sikap
Ular Muka Kuning dan penghadangan yang mereka lakukan,
sudah dapat diperkirakan pekerjaan itu. Tapi, Jayeng Praja belum yakin. Benarkah
pekerjaan itu ada hubungannya
dengan dirinya" Kalau benar, mengapa"
"Apakah pekerjaanmu ada hubungannya dengan
diriku, Ular Muka Kuning?"
"Ha ha ha...! Kau lucu sekali, Jayeng!" Ular Muka Kuning tertawa geli. "Bukan
hanya berhubungan. Tapi memang menyangkut dirimu! Pekerjaan dengan imbalan
besar itu adalah membawamu hidup-hidup ke perguruanmu
untuk menyaksikan Perguruan Harimau Terbang lenyap dari muka bumi! Ha ha ha...!"
"Gila!" Tanpa sadar Jayeng Praja menyerukan kata itu.
"Kau kaget, Jayeng?"
"Bukan hanya kaget, Ular Muka Kuning. Tapi juga
heran. Aku tidak menyangka kau dan rombonganmu tak
ubahnya budak-budak yang dapat disuruh melakukan apa
saja. Katakan padaku, siapa yang menyuruhmu"!"
"Rupanya kau termasuk orang yang tidak mempunyai
penghargaan atas sebuah tugas, Jayeng!" rutuk Ular Muka Kuning. "Sebagai seorang
pemilik jasa pengawalan,
seharusnya kau tahu, tidak pantas memberitahu orang yang telah memberi tugas!
Apalagi bila yang menanyakan calon korban itu sendiri!"
Jayeng Praja terdiam. Disadari ada kebenaran yang
tidak bisa dipungkiri dalam pernyataan Ular Muka Kuning.
"Sekarang bersiap-siaplah, Jayeng Praja. Aku akan
memulai tugas yang diberikan padaku!" kali ini ucapan Ular Muka Kuning terdengar
penuh wibawa. "Anak-anak! Tangkap dia!"
Tanpa menunggu perintah dua kali, belasan orang
kasar yang sejak tadi berdiam diri mendengarkan
pembicaraan itu langsung bertindak.
Srat, srat! Bunyi terhunusnya senjata gerombolan Ular Muka
Kuning menyakitkan gendang telinga. Mereka bersenjata
golok! "Uh!"
Jayeng Praja menundukkan wajah. Batang-batang
golok yang putih berkilat itu tertimpa sinar matahari dan memantul ke wajahnya.
Sinarnya menyilaukan mata. Yang
lebih menjengkelkan, anak buah Ular Muka Kuning
membolak-balik batang golok mereka. Hingga pantulan sinar sang Surya mendarat
tepat di wajah Jayeng Praja.
"Cepat lumpuhkan dia, anak-anak!"
Ular Muka Kuning yang sudah tidak sabar lagi segera
mengeluarkan perintah susulan.
Mendengar perintah itu, rombongan orang kasar
yang mengenakan rompi kulit ular berwarna kuning coklat
meluruk ke arah Jayeng Praja. Dari mulut mereka keluar
teriakan-teriakan keras membahana.
Sing sing sing!
Diiringi bunyi mendesing nyaring, golok-golok itu
menyambar ke berbagai bagian tubuh Jayeng Praja.
*** Jayeng Praja tetap bersikap tenang. Perhatiannya
dipusatkan pada pendengaran. Sebab lawan menyerang dari berbagai arah. Malah
sebagian dari belakang, tempat yang tak terjangkau sepasang matanya. Kalau
mengandalkan penglihatan saja, pasti dia akan celaka.
Begitu serangan-serangan lawan menyambar dekat,
Jayeng Praja bertindak cepat. Tanpa ragu-ragu senjata
andalannya yang selalu terselip di pinggang dikeluarkan.
Sebuah ruyung baja berbatang dua yang antara ujung satu dengan lainnya disambung
dengan sebuah rantai baja.
Jayeng Praja memutar senjatanya.
Wuk, wuk, wuk! Bunyi menderu-deru seperti angin ribut segera
terdengar. Memang hebat tenaga dalam yang dimiliki Ketua Perguruan Harimau
Terbang itu. Trang, trang, trang!
Terdengar bunyi berdentang nyaring ketika golok-
golok yang mengancam tubuh Jayeng Praja tertangkis batang ruyung.
Teriakan-teriakan kaget keluar dari mulut anak buah
Ular Muka Kuning. Tangan yang menggenggam golok terasa
panas dan sakit. Bahkan senjata mereka hampir terlepas dari genggaman.
"Menyingkirlah kalian...! Yang pantas menjadi
lawanku adalah pimpinan kalian, Ular Muka Kuning," ucap Jayeng Praja penuh
wibawa. Sambil memberikan peringatan, Jayeng Praja memutar-mutar ruyungnya.
"Ha ha ha...!" Ular Muka Kuning tergelak, "Jangan terlalu cepat berbangga diri,
Jayeng! Asal kau tahu saja... itu belum apa-apa. Yang mereka lakukan baru
sebagian kecil dari kemampuan yang dimiliki. Sabarlah! Tak lama lagi kau akan
melihat kedahsyatan anak buahku yang terkenal dengan
julukan Gerombolan Ular Maut! Ayo, Anak-anak! Tunjukkan kemampuan kalian!"
Baru saja Ular Muka Kuning mengakhiri ucapannya,
anak buahnya yang berjuluk Gerombolan Ular Maut telah
bergerak. Terdengar sebuah siulan nyaring pendek. Jayeng Praja tidak mengetahui
dari mana asalnya. Yang jelas dari salah seorang di antara anggota gerombolan
itu. Begitu bunyi siulan lenyap, terjadi perubahan besar
dengan tindakan Gerombolan Ular Maut. Semua anggota
meninggalkan tempatnya masing-masing dan berkumpul di
depan Jayeng Praja.
Semula Jayeng Praja menduga siulan itu sebagai
tanda dimulainya serangan. Apalagi ketika sesaat kemudian, terlihat ada gerakan-
gerakan dari para pengeroyoknya. Ketua Perguruan Harimau Terbang itu pun
langsung waspada.
Ruyung di tangannya siap dilayangkan. Tapi, Jayeng Praja menghentikan
tindakannya ketika mengetahui lawan-lawannya tidak menyerang. Malah berkumpul di
depannya. Sebagai seorang ahli silat yang berpengalaman,
Jayeng Praja segera mengetahui lawan mengubah taktik
pertarungan. Itu bisa diketahui oleh Jayeng Praja dari kedudukan yang dibentuk
lawan-lawannya. Belasan orang
kasar itu menyusun diri menjadi dua baris.
Jayeng Praja tidak perlu menunggu terlalu lama
untuk membuktikan kebenaran dugaannya. Sekejap
kemudian, dilihatnya sendiri kenyataan itu.
"Haaat...!"
Didahului teriakan nyaring lelaki berkulit
kemerahan, serangan perdana mereka meluncur.
Memang pantas dipuji bentuk penyerangan belasan
anak buah Ular Muka Kuning itu. Barisan depan menerjang Jayeng Praja. Dari atas,
golok yang tercekal diayunkan ke bagian tubuh atas lawan.
"Hmh...!"
Jayeng Praja mendengus, mengejek bentuk pe-
nyerangan itu. Apakah hanya seperti ini kemampuan yang
dibanggakan Ular Muka Kuning"! Kalau benar, betapa picik pandangannya!
Tapi Jayeng Praja tidak mau membiarkan benaknya
dikungkung pikiran-pikiran itu. Maka buru-buru diusirnya!
Kemudian perhatiannya dipusatkan untuk menghadapi
keroyokan lawan.
"Hih!"
Wuttt! Trangngng!
Bunyi berdentang keras terdengar ketika batang
ruyung Jayeng Praja berhasil mematahkan serangan lawan.
Kemudian seperti sebelumnya pun terjadi. Tubuh tujuh
anggota Gerombolan Ular Maut terjengkang ke belakang
dengan tangan terasa sakit. Sementara Jayeng Praja tidak bergeming sedikit pun.
Tapi sebelum Ketua Perguruan Harimau Terbang itu
berbuat sesuatu, serangan susulan telah meluncur datang. Itu berasal dari
delapan orang yang berada di baris kedua!
Berbeda dengan tujuh rekannya, delapan anggota Ular Muka Kuning itu melancarkan
serangan lewat bawah. Dengan
bersamaan tapi teratur baik, mereka menggulingkan tubuh.
Delapan anak buah Ular Muka Kuning bam bangkit
berdiri setelah berada di dekat lawan. Seketika itu pula mereka melancarkan
serangan. Yang lebih gila sebagian dari mereka menyerang kaki. Sedangkan sisanya
melancarkan serangan ke bagian sekitar perut.
Karuan saja Jayeng Praja terperanjat bukan main.
Tibanya serangan itu hanya berselisih waktu sedikit sekali dengan serangan
pertama tadi. Akibatnya, Jayeng Praja tidak mempunyai kesempatan untuk
menangkis. Terpaksa dia
melompat mundur menyelamatkan diri.
Usaha yang dilakukan Ketua Perguruan Harimau
Terbang memang tidak sia-sia. Serangan lawan berhasil
dipunahkan semua. Tapi seperti juga kejadian sebelumnya, ketika Jayeng Praja
belum sempat berbuat lebih jauh,
serangan berikutnya muncul. Kali ini dari tujuh orang
penyerang pertama. Demikian seterusnya, silih berganti.
Sekarang Jayeng Praja baru mengerti mengapa Ular
Muka Kuning begitu membanggakan anak buahnya. Ternyata
pimpinan rampok itu tidak membual! Gerombolan Ular Maut memang sungguh luar
biasa. Mereka mampu bekerja sama
dengan baik. Jayeng Praja benar-benar kewalahan. Sekali pun tidak diberi
kesempatan untuk melancarkan serangan
balasan. Jayeng Praja hanya dapat mengelak. Paling jauh menangkis. Yang jelas,
dia terus dipaksa mundur!
Jayeng Praja menggertakkan gigi. Jika keadaan
seperti ini dibiarkan terus dia akan rugi. Robohnya dia hanya tinggal menunggu
waktu. Sayang dirinya tidak mampu
berbuat sesuatu. Lawan-lawannya tidak memberi kesempatan padanya untuk
memperbaiki diri.
Tidak sampai tiga puluh jurus bertarung, napas
Jayeng Praja telah memburu. Ini tidak aneh. Usianya telah lanjut dan dari sejak
jurus pertama terus dipaksa
mengerahkan seluruh kemampuan secara penuh. Pada jurus
ke tiga puluh tujuh....
Srat, sret! "Akh!"
Jayeng Praja mengeluh tertahan. Dua serangan
lawan tidak dapat dielakkan. Golok-golok itu menyerempet pahanya.
Darah tampak merembas keluar dari bagian yang
terluka. Dengan sendirinya, gerakan Jayeng Praja agak
terhambat. Ketua Perguruan Harimau Terbang memang
berhasil mengelakkan serangan golok yang mengancam
bagian atas tubuhnya. Tapi, serangan lanjutan yang berupa
tendangan dan pukulan tidak mampu dielakkan.
Buk, buk, buk! Bunyi berdebuk keras mengiringi terjengkang nya
tubuh Jayeng Praja ke belakang. Sesaat tubuh itu terhuyung-huyung sebelum
akhirnya jatuh terduduk di tanah.
"Cukup...!"
Bentakan keras Ular Muka Kuning membuat Jayeng
Praja selamat dari serangan Gerombolan Ular Maut. Serentak mereka menghentikan
gerakan. "Ha ha ha...!" Ular Muka Kuning tertawa ketika telah berada di dekat Jayeng
Praja. "Bagaimana, Jayeng"! Apakah kau masih meragukan kemampuan anak buahku"
Masih banyak kemampuan lain yang mereka miliki!"
"Aku sudah kalah, Ular Muka Kuning! Mau bunuh"
Silakan!" ujar Jayeng Praja tanpa rasa takut sedikit pun.
Padahal, saat itu keadaannya sangat tidak menguntungkan.
Jayeng Praja sudah tidak berdaya. Tubuhnya
terbaring di tanah. Tidak mampu bangkit lagi. Luka-luka yang dideritanya cukup
parah! "Sayang sekali, Jayeng. Aku tidak dapat
melakukannya. Biarlah orang yang meminta jasaku yang
melakukannya," sahut Ular Muka Kuning ringan.
"Sungguh tidak kusangka kau seorang pengecut, Ular Muka Kuning. Siapa orang yang
telah menyuruhmu, sehingga kau sangat takut kepadanya?" sindir Jayeng Praja
seraya tersenyum mengejek
"Tutup mulutmu, Bangsat! Hih!"
Tukkk! "Akh!"
Jayeng Praja memekik kesakitan ketika Ular Muka
Kuning yang geram mendengar ejekannya menendang
mulutnya. Kelihatannya pelan saja. Tapi akibatnya hebat!
Beberapa buah gigi Jayeng Praja copot. Tak pelak lagi, darah mengalir keluar.
Meskipun demikian, Jayeng Praja tidak menjadi
gentar. Walaupun dari sudut-sudut mulutnya mengalir darah, dipaksakan juga untuk
mengulas senyum mengejek.
"Perlu kau ketahui, Manusia Dungu!" lanjut Ular Muka Kuning dengan nada tinggi,
"Aku adalah orang yang sangat menghargai janji. Aku telah berjanji membawamu
hidup-hidup dan menyerahkan padanya! Kau dengar itu,
Manusia Dungu"!"
Kemudian tanpa memberi kesempatan pada Jayeng
Praja untuk memberikan tanggapan, Ular Muka Kuning
mengalihkan perhatian pada anak buahnya.
"Bawa dia!" perintah pimpinan Gerombolan Ular Maut itu penuh wibawa.
Salah seorang anak buahnya segera mendekati
Jayeng Praja. Saat itulah Ular Muka Kuning menotok Ketua Perguruan Harimau
Terbang untuk mencegah hal-hal yang
tidak diinginkan. Seketika itu pula tubuh Jayeng Praja lemas.
"Mari kita tinggalkan tempat ini..!" usai berkata, Ular Muka Kuning mengayun
langkah meninggalkan tempat itu.
Diikuti semua anak buahnya.
Tempat itu kembali dikungkung kesunyian. Tidak
ada lagi kegaduhan. Yang tinggal hanya kesunyian semata.
*** Jayeng Praja merasa heran melihat rombongan yang
dipimpin Ular Muka Kuning menempuh jalan yang akan
dilaluinya. Semakin lama hati Jayeng Praja semakin berdebar tegang. Dia merasa
pasti tempat yang dituju rombongan Ular Muka Kuning adalah Perguruan Harimau
Terbang! Dugaan Jayeng Praja tidak keliru. Ular Muka Kuning
memang membawanya menuju Perguruan Harimau Terbang.
Itu sudah bukan dugaan lagi. Sebab saat ini mereka setelah berada di luar


Dewa Arak 53 Penjarah Perawan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bangunan perguruan.
Apa yang akan dilakukan Ular Muka Kuning dengan
mendatangi perguruannya" Jayeng Praja bertanya dalam
hati. Bukankah keberadaan mereka di depan pintu gerbang akan menarik perhatian
murid-murid Perguruan Harimau
Terbang" Tapi betapa kagetnya Jayeng Praja melihat Ular
Muka Kuning dan rombongannya memasuki bangunan
perguruan. Apakah ini tidak salah" Tindakan ini akan
menyulut sebuah pertarungan!
Namun tampaknya kekhawatiran Jayeng Praja tidak
beralasan. Tanpa menemui kesulitan sedikit pun Ular Muka Kuning dan rombongannya
berhasil memasuki Perguruan
Harimau Terbang.
Jayeng Praja terkejut bukan main melihat tidak ada
seorang pun di dalam perguruan. Ke mana murid-muridnya"
Apa yang telah terjadi" Pertanyaan-pertanyaan itu
menghinggapi benak Ketua Perguruan Harimau Terbang.
Sementara itu rombongan Ular Muka Kuning terus
mengayunkan kaki semakin masuk ke dalam bangunan.
Tidak berapa lama kemudian mereka berhenti.
"Ah...! Kiranya kalian...! Bagaimana, berhasil"!"
terdengar sebuah suara menyambut kehadiran rombongan
Ular Muka Kuning.
Cukup keras juga ucapan itu dikeluarkan. Suaranya
menggema ke seluruh penjuru tempat itu. Tentu saja Jayeng Praja mendengarnya.
Sepasang alisnya tampak berkerut.
Suara itu seperti pernah didengarnya. Tapi dia lupa, kapan dan di mana.
Meskipun demikian, Ketua Perguruan Harimau
Terbang itu tidak putus asa. Dicobanya untuk mengingat-
ingat. Barangkali saja akan berhasil
*** Di saat Jayeng Praja tengah berpikir keras, terdengar
tawa khas Ular Muka Kuning.
"Ha ha ha...! Tentu saja berhasil.... Asal kau tahu saja, tidak ada kata gagal
bagi Ular Muka Kuning. Ha ha ha...!"
"Ha ha ha...! Bagus...! Bagus! Memang sudah kuduga kau akan berhasil, Ular Muka
Kuning," sambut pemilik suara pertama yang sekarang diketahui Jayeng Praja
sebagai orang yang telah menyewa Ular Muka Kuning.
"Ha ha ha...! Terima kasih atas kepercayaan yang kau berikan. O... ya, Ludira!
Cepat berikan hasil pekerjaan kita...!"
perintah Ular Muka Kuning pada anak buahnya yang
memanggul Jayeng Praja.
"Baik, Ketua...!" lelaki kasar yang bernama Ludira melemparkan tubuh Jayeng
Praja. Brukkk! Seringai kesakitan tersungging di mulut Jayeng
Praja. Tubuhnya membentur tanah dengan keras. Namun
tidak sedikit pun keluar keluhan dari mulutnya.
Sebuah kebetulan terjadi. Jayeng Praja tergeletak di
tanah dengan wajah menghadap tempat pemilik suara itu
berada. Akibatnya benar-benar luar biasa. Sepasang mata Jayeng Praja membelalak
lebar. Tarikan wajahnya
menyiratkan keterkejutan yang sangat
"Kaaau..., kau...!" terbata-bata Jayeng Praja mengeluarkan kata-kata karena
lidahnya mendadak kelu.
"Benar, aku! Mengapa kaget"!" tanya si pemilik suara mengejek.
Jayeng Praja menelan ludah untuk membasahi
tenggorokannya yang mendadak kering.
"Mengapa kau lakukan semua ini, Juragan Bilawa"!
Apa artinya"!" terdengar jelas, nada penasaran dalam pertanyaan Ketua Perguruan
Harimau Terbang.
"Kau tidak usah berpura-pura, Jayeng!" sergah orang yang menyewa rombongan Ular
Muka Kuning, yang ternyata
Juragan Bilawa. "Mana anakku"!"
"Hhh...!"
Jayeng Praja menghela napas. Sungguh tidak
disangka Juragan Bilawa telah mengetahuinya lebih dulu.
"Kau tidak bisa berbohong, Jayeng Praja!" ujar
Juragan Bilawa lagi sebelum lawan bicaranya sempat berkata.
"Aku telah tahu semuanya! Beberapa hari yang lalu utusan orangtuaku datang
menanyakan Sutini! Akhirnya aku tahu
telah terjadi sesuatu atas dirinya!"
Lelaki berpakaian indah itu menghentikan
ucapannya sebentar untuk mengambil napas, "Itu saja sudah cukup untuk membuatku
sakit hati! Apalagi ketika kutahu kau tidak memberitahukannya padaku. Kau malah
menyembunyikannya, Jayeng Praja!"
"Itu tidak benar!" bantah Jayeng Praja cepat,
"Bukannya aku tidak mau memberitahukan mu, Juragan!
Tapi, aku sendiri belum mengetahuinya secara jelas. Aku sedang mencari
kepastiannya!"
"Ooo.... Begitu," ejek Juragan Bilawa, "Lalu...
bagaimana hasilnya"!"
Jayeng Praja tidak segera menjawab. Lelaki itu
tercenung seperti sedang mempertimbangkan.
"Tanpa kau beritahukan pun aku bisa menduganya,
Jayeng! Putriku tidak selamat kan"!"
Perlahan-lahan kepala Jayeng Praja mengangguk
"Keparat!" Juragan Bilawa menggeram seperti
harimau murka. "Kau telah menyebabkan kematian putriku, Jayeng! Tak akan
kubiarkan kau hidup. Kau harus mati.
Tentu saja tidak dengan cara yang enak. Kebetulan hanya tinggal kau saja yang
belum mendapat giliran. Semua
muridmu telah ku binasakan!"
"Apa"!" jerit Jayeng Praja kaget.
Kini dia mengerti mengapa suasana perguruannya
begitu sunyi. Rupanya mereka telah dibinasakan Juragan
Bilawa. Jayeng Praja merasa sangat terpukul mendengarnya.
Dia tahu mengapa Juragan Bilawa dapat melakukan semua
itu. Pasti karena mendapat bantuan Ular Muka Kuning.
"Sekarang terimalah kematianmu, Jayeng Praja!"
Dan sebelum gema ucapannya lenyap, Juragan
Bilawa mencabut goloknya. Kemudian diayunkan ke batang
leher Jayeng Praja!
Wuttt! Crasss! "Aaakh...!"
Jayeng Praja menjerit memilukan ketika golok
Juragan Bilawa membabat lehernya hingga putus. Saat itu juga, nyawanya melayang
ke alam baka. Juragan Bilawa menatap mayat Jayeng Praja sekilas.
Ada sorot kepuasan pada wajah dan sinar matanya. "Sutini..., tenanglah kau di
alam baka. Dendammu telah berhasil
kubalaskan," ucap Juragan Bilawa pelan seraya mengedarkan pandangan ke langit.
Keadaan di tempat itu menjadi hening. Yang tinggal
hanya Juragan Bilawa. Ular Muka Kuning dan anak buahnya telah meninggalkan
tempat itu. *** "Rasanya keadaan sudah aman, Ki. Mungkin
Sangkala telah pergi dari sini"
Ucapan itu dikeluarkan Arya. Pagi hari itu dia berada
di ruang tengah bangunan Perguruan Banteng Putih. Di dekat pemuda berambut putih
keperakan itu duduk Melati, Ki
Rawung, dan Pendekar Tinju Maut. Ki Rawung dan Pendekar Tinju Maut tampak saling
bertukar pandang.
"Aku tidak yakin, Dewa Arak," jawab Pendekar Tinju Maut "Memang beberapa hari
ini tidak ada kejadian yang dibuat Sangkala. Tapi menurut ku itu tidak menjadi
tanda keadaan sudah aman."
"Barangkali dia telah meninggalkan desa ini, Ki,"
Melati ikut membuka suara, "Beberapa hari ini semua tempat yang sekiranya
dijadikan persembunyian Sangkala telah kita periksa. Tapi tetap saja tidak kita
temukan dirinya."
Arya mengangguk menyetujui pendapat kekasihnya.
"Aku tidak sependapat denganmu, Melati," Ki
Rawung membela Pendekar Tinju Maut "Aku lebih condong pada pendapat Pendekar
Tinju Maut"
"Dengan kata lain, Sangkala sedang menanti saat
yang tepat untuk bertindak Begitu, Ki?" duga Arya.
"Benar, Dewa Arak," Pendekar Tinju Maut
mengangguk "Aku mempunyai alasan kuat tindakan Sangkala
tidak berhenti sampai di sini saja!" Ki Rawung menimpali.
Dewa Arak dan Melati menatap wajah Ki Rawung
lekat-lekat. Memang tidak ada kata-kata yang diucapkan.
Tapi, Ki Rawung tahu sepasang pendekar muda itu tengah
menunggu jawaban.
"Sangkala memiliki watak pendendam," ucapan Ki Rawung memulai penjelasannya.
"Aku yakin dia tidak menghentikan tindakannya sampai di sini. Pasti semua yang
telah membuatnya sengsara akan dijadikan sasaran
pembalasan."
Kepala Desa Kawung menghentikan ucapannya.
Sekilas ditatapnya Dewa Arak dan Melati, ingin melihat
tanggapannya. Tapi, tidak ada ucapan yang dikeluarkan
mereka. Kelihatannya pasangan muda itu akan
mendengarkan penjelasan Ki Rawung hingga tuntas.
"Aku yakin Sangkala mempunyai dendam pada
semua orang di Desa Kawung ini. Tapi, bisa kupastikan sakit hatinya yang paling
besar hanya ditujukan pada empat orang!
Sebab merekalah penggeraknya!" sambung Ki Rawung.
"Empat orang, Ki"!" akhirnya Melati tak kuat
menahan sabar. "Bisa kau beritahu siapa mereka?"
Ki Rawung melepaskan senyum getir. "Dua di antara
empat orang itu telah berhasil dibunuh Sangkala, Melati.
Bahkan baru-baru ini! Kau bisa menerka siapa"!"
Melati mengernyitkan dahi. Gadis berpakaian putih
itu tengah berpikir, "Maksudmu..,, Ranjita, Ki"!" duga Melati agak ragu.
"Benar," Ki Rawung menganggukkan kepala, "Dan
yang satunya Ki Ageng Sora."
Melati dan Arya bertukar pandang. Mereka telah
mengetahui siapa Ki Ageng Sora. Juga Sangkala. Ki Rawung telah menceritakan
semua kejadian itu.
"Lalu... yang dua lagi, Ki"!" desak Melati.
"Bongara dan aku sendiri," jawab Ki Rawung
menunjuk dadanya.
"Ah...!"
Seruan kaget itu keluar dari mulut Arya dan Melati.
Sepasang muda-mudi berwajah elok itu tidak menyangka Ki Rawung termasuk orang
yang diincar Sangkala. Berbeda
dengan Arya dan Melati, Pendekar Tinju Maut tidak merasa kaget sedikit pun. Dia
telah mendengar cerita itu sebelumnya dari Ki Ageng Sora.
Sekarang Dewa Arak dan Melati mengerti mengapa
Ki Rawung bersikeras mengatakan keadaan masih belum
aman. Tapi, mungkinlah tidak adanya tindakan dari Sangkala hanya karena menunggu
kesempatan" Tak adakah
kemungkinan lain"
"Bisa kuterima alasanmu, Ki. Bukan tidak mungkin
dugaanmu benar. Tapi..., apakah hanya karena menunggu
kesempatan Sangkala harus berdiam diri selama beberapa hari" Rasanya dugaan ini
kurang masuk akal!" ujar Arya.
Ki Rawung dan Pendekar Tinju Maut tercenung.
Mereka merasakan ucapan tokoh muda yang
menggemparkan dunia persilatan itu ada benarnya. Memang rasanya hampir tidak
masuk akal. "Kau mempunyai dugaan lain, Dewa Arak"!" tanya Pendekar Tinju Maut.
"Benar, Ki," Dewa Arak menganggukkan kepala.
"Katakanlah, Dewa Arak. Kami ingin mendengarnya.
Barangkali saja dugaanmu benar," timpal Ki Rawung.
Arya tidak segera mengutarakan pendapatnya.
Pemuda itu terdiam sejenak memikirkan kata-kata yang
tepat. "Dari kedatangannya yang bertubi-tubi kemari, bisa kuperkirakan besarnya
keinginan Sangkala untuk
melampiaskan dendam. Kejadian yang menimpa Trijati pun
menurutku sebagian kecil dipengaruhi dendam. Tapi,
kenyataan telah menunjukkan pada Sangkala bahwa pihak
yang akan menjadi pelampiasan dendamnya terlalu kuat
untuknya. Karena itu, dia bermain kucing-kucingan. Sangkala melakukan siasat
menyerang lalu lari."
Arya menghentikan ucapannya. Dilihatnya Pendekar
Tinju Maut dan Ki Rawung mengangguk-angguk. Mungkin
mereka telah dapat menebak kelanjutan ucapannya.
"Sekarang aku mengerti, Dewa Arak," potong
Pendekar Tinju Maut sebelum Arya menyambung ucapannya.
"Kalau aku tidak salah terka, kau menduga tidak ada teror Sangkala karena dia
sedang mencari tambahan kekuatan!
Bukankah begitu maksudmu, Dewa Arak"!"
"Benar, Ki!" jawab Dewa Arak mantap, "Aku yakin Sangkala tengah mencari
pengikut. Tapi, mudah-mudahan
saja dugaanku salah. Dan..," Dewa Arak menghentikan ucapannya ketika melihat
seorang murid Perguruan Banteng Putih bergegas masuk
"Ki...!" ucapan Bongara, terdengar panik.
"Bongara...," tegur Ki Rawung, "Mengapa kau...."
"Maaf, Ki," potong Bongara cepat, "Sangkala sedang menuju kemari!"
Serentak semua orang yang hadir saling
berpandangan. Mereka tampak sangat terkejut. Bahkan Ki
Rawung yang sempat tersinggung karena ucapannya
dipotong Bongara langsung terlupa.
"Sangkala"!" desis Ki Rawung, "Terang-terangan"!"
"Benar, Ki," Bongara mengangguk
"Ooo.... Rupanya dia telah berani muncul secara
terbuka...."
"Sangkala tidak datang sendirian, Ki."
"Maksudmu.."!"
Ki Rawung meminta penegasan. Sementara Dewa
Arak, Melati, dan Pendekar Tinju Maut menatap Bongara
tajam-tajam. Baru saja mereka bicarakan kemungkinan itu, tahu-tahu Sangkala
telah muncul dengan membawa
rombongan! Apakah ini merupakan kebetulan"
"Dia datang bersama serombongan orang-orang
wajah kasar, Ki. Jumlah mereka tak kurang dari lima puluh orang. Kulihat
sebagian di antara mereka berpakaian kulit ular," jelas Bongara.
"Mungkinkah itu Gerombolan Ular Maut"!" celetuk Pendekar Tinju Maut.
"Gerombolan Ular Maut"!" ulang Dewa Arak seraya mengarahkan tatapannya pada
Pendekar Tinju Maut
"Rombongan perampok yang mempunyai pemimpin
seorang tokoh golongan hitam. Ular Muka Kuning
julukannya," jelas Pendekar Tinju Maut
"Kalau begitu mari kita keluar, Ki! Kita harus
bersiap-siap sebelum korban di pihak kita berjatuhan,"
sambil berkata, Dewa Arak mengayunkan kaki ke luar.


Dewa Arak 53 Penjarah Perawan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Langkahnya segera diikuti semua orang yang berada di situ.
"Dewa Arak...," tanpa menghentikan ayunan kakinya, Pendekar Tinju Maut
menyempatkan diri menyapa Arya.
"Ada apa, Ki"!" tanya pemuda berambut putih
keperakan itu seraya terus mengayunkan kaki.
'"Apakah kau tidak memikirkan kemungkinan buruk
bagi pihak kita"!"
Dewa Arak menganggukkan kepala.
"Aku memikirkannya, Ki," jawab pemuda itu,
"Melihat keberanian Sangkala menunjukkan diri agaknya dia merasa pihaknya lebih
unggul. Kurasa sikap yang
ditunjukkannya tidak berlebihan. Jumlah mereka di luar perkiraanku. Tapi..., apa
yang dapat kita lakukan"! Mencari bala bantuan untuk mengimbangi kekuatan lawan"
Rasanya sudah tidak mungkin. Tidak ada pilihan lain bagi kita kecuali menghadapi mereka,
Ki!" "Aku dapat menyediakan bala bantuan itu, Dewa
Arak," ujar Pendekar Tinju Maut yakin. "Malam ini mungkin rekan-rekanku telah
tiba. Maaf, aku lupa
memberitahukannya padamu. Beberapa bulan yang lalu, aku dan beberapa kawan
segolongan mempunyai sebuah
gagasan." Pendekar Tinju Maut menghentikan ucapannya
sejenak, "Gagasan itu adalah menjalin persaudaraan dalam tokoh golongan putih.
Mengenai pemimpinnya belum
dipastikan. Menunggu hasil pertemuan malam ini. Sekarang memang seharusnya aku
pergi ke sana. Tapi, dengan
kedatangan Sangkala terpaksa aku mengurungkan
maksudku."
"Benar demikian, Ki"!" Dewa Arak memekik gembira.
Namun sesaat kemudian seri wajahnya memudar. "Kalau boleh kutahu, di mana tempat
berkumpulnya?"
"Legakan hatimu, Dewa Arak. Tempat mereka
berkumpul tidak jauh dari sini. Di sebuah tanah lapang luas di dalam Hutan
Kawung." "Tapi..., bagaimana caranya kau menghubungi
mereka, Ki"! Kurasa tidak mungkin jika kau harus
mendatangi tempat itu dan kembali lagi kemari."
"Memang tidak, Dewa Arak. Aku tinggal melepas
sebuah tanda minta bantuan kepada mereka. Ah...! Aku
sungguh tidak menyangka semua ini akan sangat berarti.
Kalau begitu, sekarang juga akan kukirim tanda pada
mereka." Pendekar Tinju Maut lalu mengeluarkan sebuah
busur kecil dari balik bajunya. Beberapa batang anak-anak panah kecil tergenggam
di tangannya. Tanpa menunggu lebih lama, rekan Ki Ageng Sora itu memasang anak-
anak panah itu pada tali busur. Dan....
Twang, twang, twang...!
Bunyi berdentang nyaring terdengar ketika anak-
anak panah itu meluncur ke angkasa.
Sebuah peristiwa yang menakjubkan pun terjadi.
Entah bagaimana caranya, begitu kekuatan yang mendorong anak panah itu habis,
muncul bunga api berwarna-warni.
Tidak hanya sekali anak-anak panah itu diluncurkan
Pendekar Tinju Maut Tapi berkali-kali dengan selang waktu tertentu. Saat itulah
Dewa Arak memerintahkan Bongara
untuk menyambut kedatangan Sangkala dan gerombolannya.
Tanpa menunggu perintah dua kali, Bongara segera
melesat cepat. Lalu memerintahkan rekan-rekannya untuk
mempersiapkan diri. Tentu saja Dewa Arak dan Melati tidak tinggal diam. Mereka
ikut maju. Di saat semua orang yang berada di Perguruan
Banteng Putih tengah dilanda kesibukan, di sebuah tanah lapang luas yang
terletak di dalam hutan pun terjadi
kegemparan. Itu terjadi ketika salah satu dari belasan orang yang ada di situ
menunjukkan jarinya ke angkasa.
"Aneh...! Apa yang terjadi" Mengapa di langit sana berpercikan bunga-bunga api
beraneka warna"! Sepertinya...
bunga api itu merupakan isyarat..."
Ucapan sosok tinggi kurus yang berpakaian merah
menarik perhatian sosok-sosok tubuh lainnya yang semula duduk bersila membentuk
lingkaran. Sementara tak jauh dari tempat mereka terpancang obor-obor di tiang-
tiang kayu. "Ah!"
Seruan kaget dikeluarkan seorang kakek berperut
gendut. "Kau lihat itu, Pedang Kilat"!" tanya kakek berperut gendut menudingkan jari
telunjuknya. 8 Sosok yang disapa Pedang Kilat, yang sebenarnya
mempunyai julukan Pendekar Pedang Kilat, melayangkan
pandangan ke arah yang ditunjuk kakek gendut. Seketika itu pula wajahnya
berubah. "Gajah kecil! Bukankah itu isyarat meminta bantuan.
Aku yakin yang melepaskan Pendekar Tinju Maut. Berarti dia berada dalam bahaya.
Kita harus cepat menolongnya. Kau
bisa menebak dari mana arahnya"!"
Kakek gendut yang berjuluk Gajah Kecil mengang-
gukkan kepala setelah tercenung sesaat. "Kalau tidak salah, dari Desa Kawung!"
jawab Gajah Kecil mantap.
"Kalau begitu, mari kita ke sana! Kita selamatkan Pendekar Tinju Maut!" ajak
Pendekar Pedang Kilat penuh semangat
"Akur!" sambut Gajah Kecil, "Mari, kawan-kawan.
Kita selamatkan rekan kita yang sedang berada dalam
bahaya. Ayo!"
Belasan orang yang terdiri dari tokoh-tokoh silat
aliran putih itu pun bangkit dari duduknya. Sesaat kemudian rombongan itu,
dengan dipimpin Gajah Kecil dan Pendekar Pedang Kilat, berbondong-bondong menuju
Desa Kawung. *** Ternyata bukan hanya rombongan Gajah Kecil yang
melihat percikan bunga api berwarna-warni di angkasa.
Rombongan yang dipimpin Sangkala pun demikian"
"Apa arti semua itu, Ular Muka Kuning"!" tanya Sangkala tidak mengerti.
''Itu merupakan isyarat Ketua," jawab Ular Muka
Kuning penuh hormat "Isyarat yang ditujukan pada kawan si pelepas isyarat.
Banyak artinya. Bisa merupakan tanda untuk
menyerang atau membatalkannya. Bisa juga berarti
permintaan bantuan."
"Keparat!" maki Sangkala sangat geram, "Kalau begitu, itu isyarat untuk meminta
bantuan. Aku yakin! Asal tanda itu menurut dugaanku dari Perguruan Banteng
Putih!" "Kalau demikian, kita harus bergegas, Ketua!" sergah seorang lelaki berkulit
hitam kelam. Pakaian yang terbuat dari kulit buaya membungkus tubuh kekarnya.
"Sebelum bala bantuan itu tiba, kita hancur leburkan Perguruan Banteng Putih."
"Kau benar, Buaya Kulit Besi!" puji Sangkala.
"Usulmu bagus. Mari kita bergegas!"
Cuping hidung lelaki berkulit hitam legam kelihatan
kembang-kempis. Dia merasa bangga mendapat pujian dari
pemimpinnya. Sangkala rupanya telah berhasil mendapatkan
pengikut. Tidak hanya Ular Muka Kuning dan rom-
bongannya. Tapi juga gerombolan bajak sungai yang berada di bawah pimpinan Buaya
Kulit Besi. Jumlah anak buah
Buaya Kulit Besi jauh lebih banyak dari anak buah Ular Muka Kuning.
Rombongan Sangkala mempercepat langkahnya. Tak
berapa lama kemudian, bangunan Perguruan Banteng Putih telah terlihat. Ini
membuat semangat Sangkala dan
rombongannya semakin besar! Seraya mengeluarkan
teriakan-teriakan keras, gerombolan golongan hitam itu
menyerbu. Serbuan rombongan Sangkala mendapat sambutan
hangat dari murid-murid Perguruan Banteng Putih yang
dibantu Dewa Arak, Melati, Pendekar Tinju Maut dan Ki
Rawung. Bagai telah diatur sebelumnya, masing-masing tokoh
langsung memilih lawan-lawannya. Dewa Arak bertemu
dengan Sangkala, Melati menghadapi Buaya Kulit Besi, dan Pendekar Tinju Maut
berhadapan dengan Ular Muka Kuning.
Sedangkan murid-murid Perguruan Banteng Putih yang
dibantu Ki Rawung berhadapan dengan gerombolan rampok
dan bajak sungai.
"Sangkala! Manusia Biadab! Sudah saatnya manusia
keji sepertimu dilenyapkan dari muka bumi!" seru Dewa Arak lantang.
"Ha ha ha...! Jangan mimpi dapat mengalahkanku,
Dewa Arak! Kaulah yang akan kukirim ke neraka. Sekarang tidak ada lagi orang
yang akan menghalangiku untuk
melenyapkanmu. Bersiap-siaplah, Dewa Arak!" sambut Sangkala tak kalah garang.
Selesai berkata, Sangkala melancarkan serangan.
Tahu akan kelihaian lawan, tanpa ragu-ragu dikeluarkannya jurus 'Kelelawar'
andalannya. "Hih!"
Ringan dan cepat laksana bayangan, tubuh Sangkala
melayang. Kedua tangannya yang membentuk cakar aneh
meluncur menuju leher pemuda berambut putih keperakan
itu! Cit, cit, cit! Bunyi mencicit terdengar seiring meluncurnya
serangan Sangkala. Nyaring dan menyakitkan telinga! Bunyi itu tidak hanya keluar
karena jari-jari tangan Sangkala yang merobek udara. Tapi juga berasal dari
mulutnya. Inilah ciri khas penggunaan jurus 'Kelelawar'
Dewa Arak tidak berani bertindak gegabah. Telah
dirasakannya kepandaian Sangkala. Jangankan terkena
langsung, angin serangannya saja sudah cukup untuk
melayangkan nyawanya. Tentu saja bila mengenai bagian
yang mematikan seperti lehernya!
Itu sebabnya, Dewa Arak segera melompat ke
samping kanan dengan lompatan harimau. Hasilnya memang
tidak sia-sia. Serangan Sangkala mengenai tempat kosong. Di saat serangan itu
tiba, Dewa Arak sudah tidak berada di tempatnya. Pemuda berambut putih keperakan
itu sedang melayang di udara.
"Hup!"
Dengan bertumpu pada kedua tangan, Dewa Arak
menggulingkan tubuhnya di tanah. Beberapa gulingan
dilakukan Arya sebelum akhirnya bangkit berdiri
Dan secepat itu pula arak yang berada di dalam guci
dituangkan ke mulut. Entah kapan dan bagaimana guci itu diambil dari
pinggangnya, sulit untuk dilihat. Yang jelas....
Gluk.... Gluk.... Gluk...!
Terdengar bunyi tegukan ketika arak itu melalui
tenggorokan Arya dalam perjalanan ke lambung. Hawa
hangat berputar di bawah pusarnya. Lalu perlahan-lahan
merayap naik ke kepala. Hasilnya kedua kaki Dewa Arak
tidak menapak dengan mantap di tanah.
Kelihatannya lucu dan menggelikan sikap pemuda
berambut putih keperakan itu. Tapi, jangan dipandang
remeh. Saat itulah ilmu 'Belalang Sakti'nya siap
dipergunakan! Dan serangan susulan Sangkala kembali
meluncur ketika Dewa Arak tengah terhuyung ke sana
kemari. Kali ini Sangkala melancarkan sampokan dengan
tangan kanan ke pelipis Dewa Arak.
Wusss! Kembali serangan Sangkala kandas. Sampokannya
lewat beberapa jari di depan wajah Dewa Arak. Itu terjadi karena Dewa Arak
menarik mundur kakinya dengan gerakan
seperti orang mau jatuh.
Meskipun demikian, akibat sampokan Sangkala
cukup menggiriskan hati! Rambut dan pakaian Dewa Arak
berkibaran keras seiring lewatnya sampokan itu.
Tapi serangan Sangkala tidak terhenti. Begitu
sampokannya gagal, segera disusuli dengan serangan
lanjutan. Tangan kirinya ditusukkan ke arah ulu hati lawan.
Memang hebat serangan ini. Bila mengenai sasaran, sudah dapat dipastikan nyawa
Dewa Arak melayang ke alam baka.
Namun, lagi-lagi Dewa Arak berhasil menunjukkan
kehebatan ilmu 'Belalang Sakti'nya. Tanpa gugup sedikit pun, punggungnya ditekuk
ke belakang sampai bagian pinggang ke atas mendatar. Maka, tusukan tangan
Sangkala menggapai
angin beberapa jari di atas dada Dewa Arak!
Dan sebelum Sangkala sempat bertindak, Dewa Arak
telah mendahului. Masih dengan kedudukan seperti itu
dikirimkannya serangan pada Sangkala. Kaki kanannya
dilayangkan ke dada pemuda berwajah bopeng itu.
Wuttt! "Hehhh"!"
Sangkala terpekik kaget. Sungguh tidak disangkanya
dalam keadaan seperti itu Dewa Arak mampu mengirimkan
serangan yang sangat berbahaya. Sangkala tahu tendangan Dewa Arak mampu
menghancurkan tulang-tulang dadanya.
Walaupun terkejut, bukan berarti Sangkala tidak
mampu berbuat sesuatu. Meski serangan itu meluncur tiba-tiba dan tidak disangka-
sangka. Ditambah dengan jaraknya yang sangat dekat. Tapi pemuda berwatak bejat
itu sanggup menunjukkan kalau dirinya bukan orang yang mudah
dipecundangi. Dalam keadaan terjepit, Sangkala menjejakkan
kakinya untuk melempar tubuhnya ke belakang. Gerakan itu membuat serangan Dewa
Arak tidak berhasil mendarat di
tempat yang semestinya.
Jliggg! Begitu Sangkala mendaratkan kedua kakinya di
tanah, Arya telah berhasil memperbaiki kedudukannya.
Sesaat kedua tokoh muda itu bertukar pandang. Sekejap
kemudian, Dewa Arak dan Sangkala kembali terlibat
pertarungan sengit.
* * * Pertarungan yang berlangsung bukan saja antara
Dewa Arak dan Sangkala. Yang lain pun demikian. Riuh
rendah suara pertempuran memenuhi tempat itu. Untung
saja halaman depan Perguruan Banteng Putih luas, sehingga cukup untuk menampung
mereka. Padahal, beberapa
kelompok yang bertarung.
Namun di antara kelompok-kelompok itu yang paling
menarik dan seimbang adalah pertarungan Dewa Arak dan
Sangkala. Pada kelompok lain pertarungan berlangsung tidak seimbang. Meskipun
menarik untuk disaksikan.
Di kancah pertarungan Melati dan Buaya Kulit Besi
terlihat tidak seimbang. Keduanya telah mengeluarkan
senjata dan ilmu andalan masing-masing. 'Ilmu Pedang


Dewa Arak 53 Penjarah Perawan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Seribu Naga' Melati terlalu kuat untuk ditahan Buaya Kulit Besi dengan
tongkatnya. Kepala bajak sungai itu terus-menerus didesak dan dihimpit. Padahal,
pertarungan belum sampai lima belas jurus!
Ular Muka Kuning lebih beruntung. Pendekar Tinju
Maut, meskipun tangguh, dapat diimbanginya. Seperti juga pertarungan Dewa Arak,
pertarungan kedua tokoh tua
berbeda aliran ini pun berlangsung seimbang.
Yang paling sial adalah Ki Rawung dan murid-murid
Perguruan Banteng Putih. Memang lawan yang dihadapi
berkepandaian setingkat dengan murid-murid Ki Ageng Sora.
Tapi karena jumlah gerombolan tokoh hitam itu jauh lebih banyak, bahkan lebih
dua kali lipat, mereka terdesak hebat.
Dan itu terjadi hanya dalam beberapa gebrakan.
Ketika pertarungan telah berlangsung lima belas
jurus, di pihak Perguruan Banteng Putih sudah tewas
beberapa orang. Sementara di pihak lawan hanya satu. Itu pun hasil kerja keras
Ki Rawung. Sudah dapat dipastikan tak lama lagi murid-murid Perguruan Banteng
Putih dan Ki Rawung akan binasa. Mereka semua sudah terdesak hebat.
Tapi di saat itulah Buaya Kulit Besi yang terdesak
hebat oleh Melati memanggil anak buahnya.
"Hey! Manusia-manusia tolol...! Cepat bantu aku!
Betina ini alot juga...!"
Tanpa menunggu perintah dua kali, gerombolan
bajak sungai segera meninggalkan lawan mereka. Kemudian terjun ke dalam kancah
pertarungan Melati.
Dan memang dengan munculnya bala bantuan itu
Buaya Kulit Besi mulai bisa bernapas lega. Karena Melati menghentikan
desakannya. Gadis berpakaian putih itu
terpaksa melakukannya.
Bila hal itu tidak dilakukan, niscaya dia akan tewas.
Sebab begitu terjun dalam kancah pertarungan, gerombolan bajak sungai langsung
melancarkan serangan ke Melati
dengan senjata di tangan.
Dengan ikut campurnya gerombolan bajak sungai,
pertarungan Melati dan Buaya Kulit Besi tidak berat sebelah lagi. Sekarang
pimpinan bajak sungai dapat melancarkan
serangan balasan. Tidak hanya menghindar seperti tadi.
Sementara itu murid-murid Perguruan Banteng
Putih tetap tidak mampu menandingi lawan-lawannya,
meskipun jumlah mereka sekarang berimbang. Itu karena
Gerombolan Ular Maut bekerja sama dengan baik.
Semula, dengan keberadaan anak buah Buaya Kulit
Besi, Gerombolan Ular Maut tidak bisa melakukan kerja
sama. Maka, begitu gerombolan bajak sungai meninggalkan kancah pertarungan,
mereka menggunakannya.
Hasilnya memang luar biasa! Murid-murid
Perguruan Banteng Putih tidak bisa unjuk gigi. Bahkan Ki Rawung pun tidak mampu.
Jadi, kepergian anak buah Buaya Kulit Besi tidak berarti sama sekali! Murid-
murid Perguruan Banteng Putih tetap terdesak hebat.
Bahkan sekarang keadaan jauh lebih
mengkhawatirkan. Ki Rawung tidak mampu berbuat sesuatu.
Jatuhnya korban di pihak murid-murid Perguruan Banteng
Putih tidak bisa dihindarkan lagi. Mereka saling berlomba untuk mengeluarkan
lolong kematian.
"Aaa...!"
Untuk yang kesekian kali seorang murid Perguruan
Banteng Putih mengeluarkan jeritan menyayat. Golok anak buah Ular Muka Kuning
menebas batang lehernya hingga
putus! Darah menyembur dari luka babatan, dan membasahi persada.
Melati, Dewa Arak, dan Pendekar Tinju Maut geram
bukan main. Kalau menuruti perasaan, ingin rasanya mereka terjun ke dalam kancah
pertarungan itu. Tapi apa daya"
Mereka sendiri sedang berjuang keras agar tidak mati konyol di tangan lawan.
Di antara ketiga orang itu, Pendekar Tinju Mautlah
yang paling terpengaruh. Wataknya yang berangasan
membuatnya berang. Hingga mempengaruhi pemusatan
pikirannya. Dia mulai dapat didesak Ular Muka Kuning.
Bahkan pada jurus ketiga puluh tiga....
Bukkk! "Akh...!"
Pendekar Tinju Maut memekik kesakitan ketika
pukulan Ular Muka Kuning menghantam bahunya.
Tubuh lelaki tua itu terjengkang ke belakang.
''Terimalah kematianmu, Tua Bangka!" seru Ular
Muka Kuning seraya melompat menerjang lawan yang masih
terhuyung. Goloknya ditusukkan ke arah dada Pendekar
Tinju Maut. Pendekar Tinju Maut membelalakkan mata. Dia
memutuskan menghadapi maut dengan mata terbuka.
Karena menyadari tidak ada kesempatan baginya untuk
mengelak maupun menangkis.
Di saat gawat itulah Melati melejit ke atas keluar dari kepungan lawan. Dan
selagi tubuhnya melayang, tangan
kirinya dihentakkan ke depan. Inilah jurus 'Naga Merah
Membuang Mustika'
Wusss! Bresss! "Aaakh...!"
Jeritan memilukan keluar dari mulut Ular Muka
Kuning. Pukulan jarah jauh Melati mengenai dadanya dengan
telak. Darah segar menyembur dari mulut, hidung, dan
telinga. Pimpinan Gerombolan Ular Maut itu tewas seketika!
Memang mengenaskan sekali kematian Ular Muka
Kuning. Munculnya serangan yang tidak disangka-sangka
dan di saat tubuhnya tengah berada di udara menyulitkannya untuk mengelak.
Akibatnya, tokoh golongan hitam itu tewas mengerikan!
"Ketua...!"
Desakan atas murid-murid Perguruan Banteng Putih
langsung sirna. Gerombolan Ular Maut memburu tubuh
ketuanya. Sedangkan Melati sudah disibukkan kembali oleh lawan-lawannya.
Namun begitu melihat Gerombolan Ular Maut
meluruk ke arah mayat Ular Muka Kuning, Pendekar Tinju
Maut menghadangnya. Pertarungan pun tidak bisa dielakkan.
Seru dan semakin ramai ketika Ki Rawung dan murid-murid Perguruan Banteng Putih
ikut ambil bagian.
Mendadak terdengar bunyi riuh rendah. Sesaat
kemudian, Pendekar Pedang Kilat, Gajah Kecil, dan
rombongannya tiba. Tanpa banyak bicara mereka segera
terjun ke dalam kancah pertarungan.
Suasana di arena pertempuran pun berubah hebat.
Sebagian dari mereka membantu Pendekar Tinju Maut.
Sedangkan sisanya membantu Melati. Hingga Buaya Kulit
Besi terpaksa menghadapi Melati seorang diri lagi.
Ternyata rombongan yang baru tiba terdiri dari
tokoh-tokoh yang berkepandaian setingkat dengan Pendekar Tinju Maut. Jumlah
mereka pun cukup banyak. Dengan
mudah rombongan itu mematahkan perlawanan gerombolan
perampok dan bajak sungai. Kerja sama Gerombolan Ular
Maut tidak berguna. Rombongan Pendekar Pedang Kilat, dengan cerdik membuat
mereka terpisah-pisah. Kemudian
dengan mudah mereka dirobohkan.
Tak sampai dua puluh jurus pertarungan terhenti.
Sisa gerombolan perampok dan bajak sungai menyerah.
Karena hanya tinggal beberapa orang. Sebagian besar dari mereka tewas.
Baru saja rombongan golongan hitam itu meletakkan
senjata, terdengar lolongan panjang menyayat hati. Ternyata suara itu
dikeluarkan oleh Buaya Kulit Besi. Pimpinan bajak sungai itu tewas dengan tulang
dada hancur terkena
tendangan Melati.
Sekarang hanya tinggal satu pertarungan lagi.
Pertempuran Dewa Arak dan Sangkala yang masih
berlangsung sengit. Tak heran jika semua mata menatap
jalannya pertarungan tanpa berkedip.
"Terima kasih atas bantuanmu beserta rombongan,
Gajah Kecil," Pendekar Tinju Maut mengucapkan rasa syukurnya.
"Lupakanlah," sahut Gajah Kecil tanpa mengalihkan pandangan dari pertarungan.
Sementara itu di arena pertempuran, Sangkala tahu
hanya tinggal dirinya yang masih melakukan perlawanan.
Kenyataan ini membuatnya gugup. Apalagi ketika menyadari Dewa Arak tidak akan
mungkin dapat dikalahkan. Telah
seratus lima puluh jurus berlalu, Dewa Arak tetap tidak dapat didesak. Bahkan
dia yang mulai berhasil dijepit lawan.
Kenyataan ini membuat Sangkala tidak bersemangat
lagi melanjutkan pertarungan. Pemuda berwajah bopeng itu memutuskan untuk kabur.
Namun sayang kesempatan itu
tidak pernah didapat. Dan sepertinya tidak akan mungkin didapatkan bila tidak
dia sendiri yang membuatnya.
Berpikir demikian, Sangkala bertindak nekat.
Mendadak dilancarkannya pukulan bertubi-tubi ke dada
lawan. Pemuda itu berharap Dewa Arak akan mundur untuk
mengelak. Dengan demikian, dia mempunyai kesempatan
melarikan diri.
Sangkala salah duga! Dewa Arak tidak mundur, tapi
melompat ke atas melewati kepalanya. Dari atas, pemuda
berambut putih keperakan itu mengayunkan tangan
kanannya. Sangkala kaget bukan main! Rasa kalap
membuatnya tidak sempat memikirkan hal itu. Begitu
menyadari adanya ancaman, diusahakan sebisa-bisanya
mengelakkan serangan lawan. Tapi....
Plakkk! "Ukh!"
Hanya keluhan tertahan yang dapat diperdengarkan
Sangkala. Nyawanya melayang ke akherat saat itu juga.
Tamparan Arya telah membuat kepalanya retak-retak.
Jliggg! Bertepatan dengan mendaratnya kedua kaki Dewa
Arak, tubuh Sangkala ambruk ke tanah.
"Hhh...!"
Dewa Arak menghembuskan napas berat. Sekarang
perasaannya sudah lega. Tidak ada ganjalan lagi di dalam dada. Sumpahnya pada
Sutini telah ditunaikan. Dia tidak mempunyai hutang lagi.
"Kakang...!"
Suara panggilan yang sangat dikenalnya membuat
pemuda berambut putih keperakan itu menoleh. Dilihatnya Melati, kekasihnya,
tersenyum. Arya balas tersenyum.
Sementara di kejauhan terdengar bunyi ayam jantan
berkokok. Tak lama lagi sang Surya akan muncul di ufuk
timur. Sebuah lembaran hidup baru siap dimulai.
SELESAI Scan/Ebook: Abu Keisel
Juru Edit: Fuji
Dendam Iblis Seribu Wajah 23 Pendekar Bloon 16 Rahasia Pedang Berdarah Bara Diatas Singgasana 22
^