Pencarian

Laskar Dewa 1

Pendekar Mata Keranjang 22 Laskar Dewa Bagian 1


SATU MALAM baru saja turun. Di sebuah hampa-
ran tanah terbuka yang ditumbuhi jajaran pohon-
pohon pinus terlihat sesosok tubuh duduk ber-
sandar pada sebuah pohon. Kedua lengannya di-
rangkapkan sejajar dada. Sepasang matanya terpe-
jam rapat dengan mulut bergerak komat-kamit
tiada henti. Sekujur tubuh sosok ini tam-pak ba-
sah kuyup oleh keringat dari kaki hingga rambut.
Orang ini ternyata adalah seorang laki-laki
berusia amat lanjut. Rambut dan kumisnya yang
panjang telah berwarna putih dan awut-awutan
tak terawat. Sosoknya kurus kering hingga tulang-
tulang pada dada dan lambungnya yang tidak ter-
tutup sebuah baju terlihat menonjol dengan jelas.
Melihat sikapnya, berat dugaan jika kakek
ini sedang memusatkan mata batinnya seraya ke-
rahkan tenaga dalam, karena meski dia diam tak
bergerak namun keringat terus mengalir dari seku-
jur tubuhnya! Malah tak jarang dadanya terlihat
bergetar keras dan sesekali tubuhnya berguncang!
Beberapa saat lamanya, tiba-tiba sepasang
mata si kakek membuat gerakan membuka. Na-
pasnya yang tadi berhembus teratur berhenti. Ber-
samaan dengan itu kepalanya perlahan berpaling
ke samping. Bola matanya ikut berputar liar me-
mandang kian kemari menembusi kegelapan ma-
lam. Mulutnya menggumam sesuatu yang tak je-
las. Sesaat kemudian, kepalanya kembali lurus
ke depan. "Seseorang melangkah menuju tempat ini!"
dalam hati si kakek berucap. Lalu pejamkan sepa-
sang matanya kembali. Napasnya pun kembali
berhembus teratur seperti semula.
Apa yang di batin si kakek tidak meleset.
Dari kegelapan bayang-bayang pohon pinus mun-
cul sesosok tubuh dan melangkah ke arahnya.
Mungkin tidak menduga, lima langkah di
samping si kakek, orang yang baru muncul seren-
tak hentikan langkah. Malah kakinya tersurut
kembali satu tindak ke belakang. Dahinya men-
gernyit dengan sepasang mata memperhatikan le-
kat-lekat. Dia adalah seorang perempuan tua. Pakaian
atas berupa baju panjang dari sutera berwarna hi-
tam. Bawahannya berwarna hitam kembang-
kembang putih. Sepasang matanya besar, hidung-
nya mancung serta bibir merah tanpa polesan. Pa-
da kedua tangannya tampak melingkar beberapa
gelang berwarna kuning. Rambutnya putih dan
panjang sampai betis.
"Bertelanjang dada, rambut awut-awutan,
celana kolor warna kusam. Hmm...." Sepasang bo-la mata si nenek berputar.
Kepalanya bergerak
berpaling ke kanan kiri. Lalu kembali lurus mem-
perhatikan orang yang duduk bersandar.
"Tokoh rimba persilatan yang telah lama tak
unjuk diri. Dadung Rantak! Kukira manusia ini te-
lah berkalang tanah. Hmm.... Sedang apa dia di
sini"! Bersemadi" Atau menunggu seseorang"!"
Si nenek memperhatikan sekeliling sekali
lagi, lalu melangkah mendekat. Baru satu tindak,
orang tua yang duduk bersandar dan bukan lain
adalah Dadung Rantak buka kelopak matanya,
memandang tajam pada orang yang mendekatinya.
Kedua alis matanya naik sesaat, mulutnya berke-
mik. "Walau telah lama tak jumpa, namun aku
masih mengenalinya! Perempuan yang sejak dulu
ingin merajai rimba belantara persilatan. Hmm....
Iblis Gelang Kematian! Apakah mimpi besarnya itu
masih bercokol di benaknya"! "
Perempuan tua berambut panjang dan
mengenakan beberapa gelang yang tidak lain me-
mang Iblis Gelang Kematian, seorang tokoh rimba
persilatan dari jajaran atas golongan hitam yang
juga adalah guru si Manding Jayalodra alias Pe-
nyair Berdarah, hentikan langkah dua tindak di
depan Dadung Rantak.
Sesaat kedua orang ini saling pandang den-
gan mulut masing-masing terkancing rapat. Seje-
nak rasa tegang menguasai diri masing-masing
orang. Namun tak lama kemudian Iblis Gelang
Kematian buka mulut memecah keheningan.
"Rentang waktu telah membuat panca inde-
ra berkurang ketajamannya. Apakah benar saat ini
aku berhadapan dengan sobat sealiran Dadung
Rantak"!"
"Apa yang kau lihat benar adanya, Iblis Ge-
lang Kematian!" jawab Dadung Rantak masih dengan mata tak berkedip
memperhatikan. Tanpa
menggerakkan kedua tangannya yang merangkap
di depan dada, kakek itu bergerak bangkit. Lalu
menyambung ucapannya.
"Berpuluh tahun kita tak bertemu. Kau
baik-baik saja"! "
Iblis Gelang Kematian arahkan pandan-
gannya pada jurusan lain. Dengan tertawa pelan
dia berkata. "Seperti kenyataannya, aku tak kurang sua-
tu apa!" Sejenak nenek ini hentikan ucapannya, lantas melanjutkan. "Berpuluh-
puluh tahun tak ada kabar beritanya. Tiba-tiba muncul dan duduk
merenung sendiri. Apa gerangan yang mengusik-
mu sampai kau unjuk diri lagi" Dan sedang apa
kau di sini"!"
Dadung Rantak tidak segera menjawab. Dia
lepaskan rangkapan kedua tangannya, lalu men-
gusap wajahnya yang keringatan dengan tapak
tangan. Sepasang matanya mengerjap, lalu buka
suara. "Keadaan kadang-kadang membuat manu-
sia harus merubah jalan pikiran. Situasi seringkali mengharuskan manusia berbuat
sesuatu! Itulah
yang kualami sekarang! "
Iblis Gelang Kematian menoleh dengan dahi
mengkerut. "Apakah ucapanmu mengisyaratkan jika
kau tidak segolongan dengan aku lagi"! "
Dadung Rantak tengadahkan kepalanya.
Dari mulutnya terdengar suara tawa mengekeh
panjang, membuat perutnya yang terbuka berge-
rak-gerak ke atas.
"Terserah bagaimana kau menangkap uca-
panku. Yang jelas, bagi orang seusiaku golongan
tidak penting lagi! Yang paling utama adalah tu-
juan dan langkah untuk mencapai tujuan itu!"
"Hmm.... Begitu" Boleh aku tahu apa tu-
juanmu sebenarnya"!"
Dadung Rantak terdiam. Diam-diam dalam
hati kakek ini membatin.
"Perempuan ini dari dahulu tidak berubah.
Selalu ingin tahu persoalan orang lain. Tapi.... Tak ada salahnya aku berterus
terang padanya. Karena
tujuanku mungkin masih membutuhkan bantuan
orang lain seperti dia"
Berpikir begitu, Dadung Rantak lantas be-
rucap. "Tak usah kukatakan panjang lebar ten-
tunya kau telah mendengar jika adikku dahulu te-
was di tangan Wong Agung dari Karang Langit. La-
lu kau pasti telah tahu pula tentang heboh Arca
Dewi Bumi...! "
Iblis Gelang Kematian anggukkan kepalanya
beberapa kali, lalu berkata.
"Apa yang kudengar darimu saat ini me-
mang telah kuketahui. Harap kau suka melan-
jutkan ucapanmu!"
"Sebenarnya aku telah memutuskan untuk
tidak terjun lagi dalam kancah persilatan. Namun
hatiku tidak bisa tenteram. Arwah adikku rasanya
terus membayangi. Dia seakan menuntut padaku
agar aku tak tinggal diam dengan kematiannya.
Lagi pula aku malu dengan pandangan orang, diki-
ra mereka, aku tak ambil peduli dengan kematian
adikku! Di pihak lain, kabar tentang kesaktian Ar-
ca Dewi Bumi membuatku penasaran.... "
"Hmm.... Jadi itukah yang membuatmu te-
rusik hingga muncul lagi"! Apakah kau telah me-
lakukan sesuatu selama ini"!" Iblis Gelang Kematian ajukan tanya.
Dadung Rantak menghela napas dalam-
dalam. "Aku telah datangi tempat Wong Agung di Karang Langit. Tapi manusia
keparat itu ternyata
masih cukup tangguh untuk ditaklukkan! "
"Kau dikalahkannya"!" sahut Iblis Gelang Kematian dengan mimik terkejut. Karena
dia tahu, bagaimana ketinggian ilmu Dadung Rantak yang
sedari dulu membuatnya ditakuti kawan maupun
lawan. Mendengar pertanyaan blis Gelang Kema-
tian, Dadung Rantak mendongak memandang lan-
git yang banyak ditaburi bintang. Mulutnya per-
dengarkan suara tawa perlahan.
"Dalam hidup, aku punya prinsip. Tak akan
pernah merasa kalah! Pada saat terjadi bentrok di
Karang Langit, aku tidak kalah! Hanya karena se-
suatu hal maka pertarungan itu terpaksa kutun-
da!" (Tentang pertarungan antara Dadung Rantak dengan Wong Agung di Karang
Langit silakan baca
serial Pendekar Mata Keranjang 108 dalam epi-
sode: 'Badai di Karang Langit").
Sejurus Dadung Rantak hentikan keteran-
gannya, lalu meneruskan.
"Tentang Arca Dewi Bumi, ini yang membu-
atku kecewa besar."
"Karena kau tak berhasil mendapatkannya.
Begitu"!"
Dadung Rantak menyeringai. Lalu geleng-
kan kepalanya. "Aku terlambat datang! Seandainya aku ti-
dak terlambat, mungkin saja pusaka arca itu bisa
jatuh ke tanganku!"
"Apakah benar berita yang kudengar arca
itu berhasil dibawa kabur oleh pemuda murid
Wong Agung yang bergelar Pendekar Mata Keran-
jang 108"!"
"Berita itu benar adanya!" timpal Dadung Rantak cepat. Parasnya mendadak
berubah. Rahangnya mengembung besar, sementara dadanya
bergetar keras.
"Air mukamu berubah. Apakah kau juga
sempat bentrok dengan murid Wong Agung itu"!"
Dadung Rantak tidak segera menjawab. Dia
terlihat masih menguasai hawa kemarahan yang
melanda hatinya. Setelah dapat menguasai diri,
dia angkat bicara. Suaranya keras meledak-ledak.
"Tak perlu kujelaskan padamu. Yang pasti
guru dan muridnya sekarang jadi musuh besarku!"
Iblis Gelang Kematian sunggingkan senyum
dingin. Dalam hati nenek berpakaian mewah ini
berkata. "Manusia yang sedang dilanda dendam
begini mudah untuk dikendalikan! Aku harus da-
pat pergunakan kesempatan ini! Ini akan memu-
luskan jalanku untuk merajai rimba persilatan
yang telah lama kuidam-idamkan! Tapi aku harus
berhati-hati dengan manusia ini. Dia orang peka
dan tak mudah untuk diatur!"
Berpikir sampai di situ, nenek ini lantas
berkata. "Sobatku Dadung Rantak! Selain kabar tadi,
aku juga dengar jika pemuda murid Wong Agung
itu kini selalu dibayang-bayangi oleh beberapa to-
koh tua seperti Dewi Bayang-Bayang, Dewi Kayan-
gan, Gongging Baladewa, dan yang pasti gurunya
sendiri.... "
"Bukan hanya itu saja!" ujar Dadung Ran-
tak menyahut. "Namun akhir-akhir ini pemuda itu juga sering muncul bersama tokoh
aneh bergelar Setan Arak dan manusia banci bergelar Setan Pe-
solek!" "Hmm.... Jika itu betul, maka akan bertambah sulit untuk memukul pemuda
itu. Karena Se-
tan Arak dan Setan Pesolek bukanlah orang sem-
barangan! Apakah kau telah punya suatu renca-
na"!" "Rencana" Rencana apa maksudmu"!"
tanya Dadung Rantak ingin menyelidik.
Iblis Gelang Kematian kembali sunggingkan
senyum. Dia melangkah mondar-mandir. Seraya
usap wajahnya dia berkata pelan.
"Kau telah menganggap murid dan gurunya
sebagai musuh besar. Tentunya kau ingin nyawa
kedua orang itu! Padahal pemuda itu kini secara
tak langsung dibantu oleh manusia-manusia yang
belum jelas apa tujuannya namun berilmu amat
tinggi. Apakah kau telah punya suatu gagasan un-
tuk melenyapkan pemuda itu"!"
"Untuk membunuh seseorang, bagiku tak
perlu rencana atau gagasan! Lagi pula apa yang
perlu ditakutkan"! Aku punya tangan dan kekua-
tan untuk melawan mereka!"
Mendengar ucapan Dadung Rantak, Iblis
Gelang Kematian tertawa mengekeh, membuat si
kakek kernyitkan kening, namun kening itu tak
membentuk kerutan, karena kulit wajah si kakek
demikian tipis. Yang tampak adalah gerakan tu-
lang keningnya yang terangkat sedikit ke atas. Dari mulutnya lantas terdengar


Pendekar Mata Keranjang 22 Laskar Dewa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

teguran. "Apa yang membuatmu tertawa, Iblis Gelang
Kematian"! "
"Kata-katamu!" tukas si nenek masih den-
gan tertawa. "Kuakui, kau punya tangan dan kekuatan.
Namun kau rupanya melupakan sesuatu. Dalam
kancah rimba persilatan, kalau ingin menjadi ma-
nusia yang tidak tertandingi, atau ingin membalas
dendam, tidak cukup hanya dengan mengandal-
kan tangan dan kekuatan! Otak, sekali lagi otak
harus digunakan! Tanpa otak tangan dan kekua-
tan hanya akan menjadi bumerang!"
Dadung Rantak terdiam mendengar perka-
taan Iblis Gelang Kematian. Dia memandang pe-
rempuan tua di hadapannya lekat-lekat. Mungkin
ada benarnya apa yang dikatakan si nenek, kakek
bertelanjang dada ini ajukan pertanyaan.
"Lalu apa yang sebaiknya aku lakukan"!"
Iblis Gelang Kematian menarik napas pan-
jang lega. Karena jebakan yang akan dilakukannya
hampir mengena sasaran.
"Sobatku Dadung Rantak! Pemuda itu kini
telah dikelilingi oleh beberapa orang berkepan-
daian tinggi yang kebanyakan dari golongan orang-
orang putih. Kita dari golongan hitam kenapa tidak bersatu saja lalu secara
bersama-sama melawan-
nya"! Kita punya banyak teman yang ilmunya juga
tinggi. Jika kita bergabung, selain beban kita jadi ringan, tujuan kita akan
segera tercapai!"
Dadung Rantak angguk-anggukkan kepa-
lanya. Namun dalam hati kakek ini berkata lain.
"Aku tahu kau mengajak bergabung karena kau
takut menghadapi orang-orang itu! Kau akan men-
gambil keuntungan tanpa keluarkan banyak tena-
ga. Hmm.... Jangan mimpi kau akan menyiasati
diriku! Tapi aku akan berpura-pura mau, hal ini
akan mempermudah bagiku menjajaki keberadaan
musuhku!" kakek ini lantas berkata.
"Sobatku. Jika itu jalan yang terbaik untuk
menyelesaikan masalah, kuharap kau segera me-
lakukan sesuatu!"
Iblis Gelang Kematian berpikiran sejenak.
Setelah anggukkan kepala beberapa kali dia beru-
cap. "Dua puluh hari di muka, kita bertemu di Lembah Supit Urang! Aku akan
menghubungi beberapa teman segolongan!"
'Aku akan datang pada saat yang ditentu-
kan!" sahut Dadung Rantak. Kakek ini lantas
arahkan pandangannya jauh ke depan. Mulutnya
hendak mengucapkan sesuatu, namun dia urung-
kan. Iblis Gelang Kematian yang sekilas dapat
membaca hal itu segera mendehem beberapa kali,
membuat Dadung Rantak palingkan wajah. Sebe-
lum kakek ini bicara. Iblis Gelang Kematian telah
mendahului. "Agaknya masih ada yang ingin kau utara-
kan. Katakan saja!"
"Akhir-akhir ini aku mendengar munculnya
seorang pemuda berkepandaian tinggi bergelar
Dewa Maut! Apa kau tahu, dia berada di pihak
mana"!"
'Aku telah dengar tentang pemuda itu. Na-
mun aku belum dapat memastikan di mana dia
berpihak. Perjalananku kali ini sebenarnya selain
mencari muridku, juga untuk menyelidik tentang
pemuda itu!"
Dadung Rantak sedikit terkejut mendengar
ucapan Iblis Gelang Kematian.
"Hmm.... Jadi kau telah punya seorang mu-
rid. Kalau boleh tahu siapa nama muridmu itu"!"
"Sebenarnya aku tidak lagi menginginkan
seorang murid. Namun karena usiaku telah me-
rangkak tua, dan aku masih membutuhkan tena-
ga, terpaksa untuk melanjutkan cita-citaku, aku
mengangkat seorang murid. Dia bergelar Penyair
Berdarah!"
"Hmm.... Nama bagus!" puji Dadung Ran-
tak. "Kau juga bukankah dulu punya dua orang murid"!"
Dadung Rantak mengangguk.
"Keduanya telah kulepas. Dan di antara aku
dengan mereka sudah tidak ada hubungan guru
dan murid! Malah yang laki-laki telah tewas waktu
kejadian di lereng Gunung Kembar! Sekarang ting-
gal yang perempuan. Dia sekarang bergelar
Dayang Naga Puspa."
"Ingat perempuan. Aku jadi ingat perem-
puan cantik bermata biru bergelar Ratu Pulau Me-
rah. Bukankah dia dulu sering bersamamu"!"
Serentak Dadung Rantak sentakkan kepa-
lanya menoleh pada Iblis Gelang Kematian. Ra-
hangnya menggegat keluarkan suara gemeretak.
Jari-jari tangannya bergerak mengembang hingga
memperdengarkan suara berkeretakan. Mulutnya
komat-kamit namun tak mengeluarkan suara.
Mengetahui orang sedang diamuk amarah,
Iblis Gelang Kematian terdiam. Malah sepasang
matanya beralih pada jurusan lain. Dia menunggu
orang bicara. Namun hingga agak lama, Dadung
Rantak tidak keluarkan sepatah kata pun!
"Hmm... Rupanya telah terjadi sesuatu an-
tara manusia ini dengan perempuan cantik itu.
Mungkin perempuan itu mengkhianatinya,
atau...." Iblis Gelang Kematian tidak melanjutkan kata hatinya, karena bersamaan
dengan itu Dadung Rantak telah keluarkan ucapan.
"Apa tidak ada hal lain yang masih ingin
kau utarakan"! "
Iblis Gelang Kematian menggumam tak je-
las. Seraya melangkah satu tindak ke depan dia
berujar. "Untuk sekarang mungkin cukup. Kalau
ada hal lain bisa kita bicarakan nanti di Lembah
Supit Urang. Sekarang aku harus pergi.... "
Dadung Rantak tidak menyambuti ucapan
Iblis Gelang Kematian. Dia putar tubuhnya, lalu
tanpa pedulikan tatapan si nenek, Dadung Rantak
duduk bersandar lagi pada batang pohon pinus.
Kedua tangannya bergerak merangkap dan diseja-
jarkan dada. Sepasang matanya pun perlahan-
lahan terpejam rapat. Mulutnya berkemik-kemik.
"Setan Alas! Kalau saja tidak memandang-
mu sebagai teman satu golongan, kupuntir tanggal
kepalamu!" maki Iblis Gelang Kematian dalam hati.
Lalu tanpa berpaling lagi, nenek berambut panjang
ini berkelebat tinggalkan tempat itu.
Baru saja Iblis Gelang Kematian pergi, seso-
sok bayangan tiba-tiba berkelebat dan tahu-tahu
telah berdiri di depan Dadung Rantak dengan se-
pasang mata memperhatikan tak berkedip!
DUA UNTUK beberapa saat lamanya orang yang
baru muncul mengawasi Dadung Rantak dari
rambut sampai kaki. "Lagaknya seperti seorang pengemis. Namun melihat sikapnya
yang tidak ke-dinginan meski tak mengenakan baju, tentunya
dia seorang yang memiliki ilmu! Hmm.... Dan rasa-
rasanya aku pernah bentrok dengan lelaki tua itu!
Tapi sudahlah, dia bukan orang yang kucari!" bisik hatinya. Orang ini lantas
memandang berkeliling.
Lalu berujung lagi pada sosok sang kakek. Mulut-
nya bergerak membuka hendak mengucapkan se-
suatu, namun sesaat kemudian mulutnya terkatup
kembali. Tanpa berpaling lagi, orang ini lantas melangkah hendak tinggalkan
tempat itu. Namun langkah orang ini tertahan ketika
didengarnya Dadung Rantak keluarkan batuk-
batuk tiga kali. Orang yang berdiri serentak pa-
lingkan wajahnya. Bersamaan dengan itu Dadung
Rantak buka kelopak matanya.
Sekejap sepasang mata Dadung Rantak
membesar dan menyipit. Kira-kira delapan lang-
kah dari tempatnya duduk bersandar, si kakek
melihat seorang berdiri tegak memandang ke
arahnya. Dia adalah seorang pemuda bertubuh tinggi
tegap. Sepasang matanya menyorot tajam. Ra-
hangnya kokoh, rambutnya panjang dan lebat.
Mengenakan jubah hitam besar yang dilapis den-
gan baju putih yang pada bagian dadanya tampak
sebuah lukisan pintu gerbang.
"Hmm.... Aku pernah berselisih dengannya.
Ketika itu aku sedang terluka dalam dan pemuda
ini datang. Lalu bertempur beberapa jurus den-
gannya. Sebaliknya aku bertanya untuk meyakin-
kan!" kata hati Dadung Rantak.
"Orang muda! Siapa kau" Apakah kau men-
cari seseorang"!"
Orang yang ditanya tidak segera memberi
jawaban. Hanya sepasang matanya yang terus
memandang tak berkedip.
Dadung Rantak tengadahkan kepalanya.
Matanya menatap tajam pertanda tak senang den-
gan sikap orang yang tidak menjawab pertanyaan-
nya. "Kalau kau tak mau jawab pertanyaanku, cepat menyingkir dari hadapanku!"
Dadung Rantak keluarkan bentakan.
Mendengar bentakan orang, si pemuda bu-
kannya takut lalu menuruti kata-kata orang untuk
menyingkir. Sebaliknya pemuda ini mendongak
sambil tertawa pelan. Nadanya jelas meremehkan!
"Orang tua! Sepertinya aku pernah meli-
hatmu. Dengar baik-baik! Aku adalah Dewa Maut!
Kau sendiri siapa"!"
Air muka Dadung Rantak seketika berubah.
Namun hal itu segera disembunyikannya dengan
keluarkan batuk-batuk kecil. Dalam hati kakek ini
berucap. "Hmm.... Dugaanku tidak meleset. Dia me-
mang pernah hampir membunuhku!" (Baca Pen-
dekar Mata Keranjang 108 dalam episode: "Prahara Dendam Leluhur").
"Aku telah sebutkan siapa diriku. Harap
kau segera pula jawab tanyaku!' sang pemuda
yang bukan lain memang Dewa Maut adanya balik
keluarkan bentakan. Dewa Maut telah ingat kalau
lelaki tua ini sudah mati sewaktu bertempur den-
gannya. Tapi mengapa sekarang masih berkelia-
ran" Pemuda itu memang tidak tahu kalau Da-
dung Rantak pura-pura mati kala itu.
Dadung Rantak luruskan kepalanya. Sepa-
sang matanya memandang tajam dengan terse-
nyum dingin, "Aku Dadung Rantak!" serunya dengan se-
tengah berteriak. Setelah diam sejurus dia kembali melanjutkan ucapannya.
"Kau rupanya buru-buru. Apa kau mencari
seseorang"!"
Dewa Maut lirikkan matanya. Bahunya di-
angkat sedikit. "Tahu apa manusia tua ini tentang orang yang kucari"! Tapi tak
ada jeleknya aku
mengatakan padanya. Dengan tersebarnya berita
ini, mungkin saja orang yang kucari penasaran,
dan balik mencariku!"
"Aku memang sedang mencari seseorang!"
ujar Dewa Maut sambil alihkan pandangannya ke
jurusan lain. "Hmm.... Siapa yang kau cari"!"
"Wong Agung!" jawab Dewa Maut tandas.
Dadung Rantak sedikit tercengang menden-
gar jawaban pemuda di hadapannya. Namun seke-
jap kemudian ketercengangannya berubah menjadi
rasa geli. Hingga tak lama kemudian dari mulut-
nya terdengar suara tawanya mengekeh panjang.
"Orang tua! Kau berani menertawakanku.
Katakan apa yang membuatmu tertawa ngakak.
Hah..."!"
Dewa Maut cepat keluarkan bentakan ke-
ras. Paras wajahnya berubah merah padam. Ra-
hangnya terangkat. Menindih rasa geram menda-
pati ucapannya ditertawakan orang.
"Orang muda! Kau ini aneh. Wong Agung
sudah sejak beberapa puluh tahun tak pernah lagi
ikut campur dunia persilatan. Melihat perubahan
pada wajahmu, aku dapat menduga kau punya
masalah dengannya. Tapi mana mungkin" Wong
Agung sudah tidak pernah lagi meninggalkan tem-
patnya! Kau jangan bercanda!"
"Jahanam! Siapa bercanda!" gertak Dewa
Maut, membuat Dadung Rantak katupkan mulut-
nya rapat-rapat. Dipandanginya pemuda di hada-
pannya lekat-lekat, seakan ingin meyakinkan uca-
pan orang. "Kalau kau tidak bercanda, katakan apa si-
lang sengketa antara kau dengan Wong Agung!"
"Itu urusanku! Dan kau tak layak untuk
menanyakannya!" tukas Dewa Maut dengan se-
nyum mengejek. "Hmm.... Begitu" Apakah kau sudah pa-
ham, siapa adanya orang yang kau cari itu"!"
tanya Dadung Rantak dengan tawa perlahan, sea-
kan ingin balik mengejek orang.
"Bagiku tak penting siapa adanya orang itu!
Yang pasti aku menginginkan jiwanya!"
"Hmm.... Selain dia, adakah orang lain yang
kau cari"!"


Pendekar Mata Keranjang 22 Laskar Dewa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Orang tua!" ujar Dewa Maut tanpa meman-
dang. "Sepertinya kau hendak menyelidik. Siapa kau sebenarnya"!"
Dadung Rantak tertawa pendek. Lalu ge-
rakkan kepalanya menggeleng pelan ke kanan kiri.
"Seperti kukatakan tadi. Aku adalah Da-
dung Rantak! Tua bangka yang sudah bau tanah.
Aku tidak menyelidik. Tak ada untungnya bagiku
menyelidik urusan orang! Hanya...," Dadung Rantak tak meneruskan kata-katanya.
"Hanya apa"!" tanya Dewa Maut cepat.
"Kusarankan padamu, untuk mengurung-
kan niat! Kau masih muda, masih banyak yang bi-
sa kau perbuat selain mencari penyakit dengan
Wong Agung!"
Tubuh Dewa Maut terlihat terguncang. Ke-
dua tangannya mengepal hingga otot-otot tangan-
nya tampak menggurat jelas.
"Keparat! Dia rupanya belum tahu siapa di-
riku!" maki Dewa Maut dalam hati. Lalu dia buka mulutnya. Suaranya terdengar
bergetar, pertanda
geram. "Korban telah kutetapkan! Siapa pun tak akan dapat menghalangi langkahku!
Atau kau me-nyangsikan diriku"!"
Habis berkata begitu, Dewa Maut angkat
kedua tangannya dan dihantamkan ke arah se-
buah pohon pinus besar yang berjarak dua puluh
langkah dari tempatnya berdiri.
Wuuttt! Wuutttt!
Asap merah yang disusul dengan mende-
runya angin berputar-putar aneh melesat ke de-
pan. Bersamaan dengan itu udara berubah panas
menyengat laksana dipanggang!
Sekejap kemudian, batang pohon pinus di
depan sana terdengar bergemeretakan. Di lain ke-
jap, batang pohon itu telah membumbung ke uda-
ra dan berputar-putar. Ketika kedua tangan Dewa
Maut disentakkan ke bawah, batang pohon pinus
menukik dan telah menjadi patah-patahan kecil!
Serta hangus menghitam!
Meski diam-diam Dadung Rantak menga-
gumi pukulan sang pemuda, namun kakek ini tak
mau mengatakan atau menunjukkan wajah kehe-
ranan. Malah dia tertawa pelan. Lalu bergerak
bangkit dan berkata.
"Dengar Anak muda! Yang baru saja kau
pukul adalah sebuah pohon. Bukan...."
"Mataku juga tidak buta! Namun Wong
Agung akan kubuat seperti itu!" tukas Dewa Maut sebelum Dadung Rantak
menyelesaikan ucapan-
nya. "Angan-angan seringkali di atas kenyataan, Anak muda!" gumam Dadung Rantak
tanpa berpaling. "Eh, mendengar ucapanmu rupanya kau
kenal betul dengan Wong Agung!" ujar Dewa Maut dengan sedikit merendahkan
suaranya. "Hmm.... Nyata sekali jika manusia som-
bong ini masih belum mengenal satu persatu to-
koh rimba persilatan! Tapi bekal yang dibawanya
cukup tinggi!"
"Makanya aku sarankan padamu untuk
mengurungkan niat, karena aku telah tahu siapa
adanya Wong Agung!"
"Apa hubunganmu dengan Wong Agung"!"
tiba-tiba suara Dewa Maut mengeras lagi.
"Apa hubunganku dengan Wong Agung, itu
bukan urusanmu!"
"Keparat! Jangan-jangan kau sahabatnya!
Betul"!"
Dadung Rantak tertawa mengekeh hingga
bahunya berguncang keras. Namun suara tawanya
tiba-tiba diputus. Sepasang matanya liar meman-
dang tajam pada Dewa Maut. Jari telunjuknya
bergerak lurus ke arah wajah pemuda itu.
"Sekali lagi kau keluarkan makian, kupe-
cahkan mulutmu!"
Mendengar ancaman orang, Dewa Maut bu-
kannya tersurut mundur, sebaliknya pemuda ini
ganti tertawa ngakak. Dengan kacak pinggang pe-
muda pengemban tugas dendam leluhurnya ini
berkata. "Dewa Maut tak suka diancam orang. Tun-
jukkan padaku bagaimana caranya memecahkan
mulut Dewa Maut! Atau kau yang ingin mati dua
kali!" "Menuruti ucapanmu, sebenarnya aku tak keberatan. Tapi masih ada urusan
lebih penting daripada sekadar main-main memecahkan mu-
lutmu. Tapi kalau kau ingin membuktikan pecah-
nya mulut, atau sekalian putusnya nyawa, ku-
tunggu kedatanganmu di Lembah Supit Urang dua
puluh hari dari saat ini!"
Habis berkata begitu, Dadung Rantak ter-
tawa perlahan. Lalu berkelebat meninggalkan tem-
pat itu. Dewa Maut kertakkan rahang. Namun pe-
muda ini tak berbuat sesuatu untuk mencegah
kepergian si kakek.
"Sengaja kubiarkan dahulu tua bangka itu
minggat. Aku menangkap sesuatu di balik undan-
gan nya itu...!" Lalu tak peduli si kakek telah pergi jauh pemuda itu berteriak
lantang. "Dewa Maut bukan manusia penakut! Bu-
kan kau yang menunggu di sana. Tapi aku akan
datang mendahuluimu!"
Bersamaan dengan lenyapnya gema suara
teriakannya, Dewa Maut tak tampak lagi di tempat
itu! TIGA ORANG tua bermata putih dan sangat sipit
itu mendongak ke langit. Saat itu hari memasuki
tanggal lima belas, hingga meski malam telah la-
rut, namun cuaca sangat terang karena sang rem-
bulan bulat penuh tidak sedikit pun disemaraki
bongkahan awan. Angin berhembus semilir mem-
buat rambut orang tua yang panjang dan telah
memutih itu melambai-lambai.
Sejenak kedua tangan si orang tua bergerak
mengusap wajahnya yang keriput dimakan usia.
Setelah menarik napas dalam dan tersenyum din-
gin, orang tua ini luruskan kepalanya. Yang terli-
hat oleh si kakek ini hanyalah pucuk dedaunan
yang berubah warna karena tertimpa cahaya sang
rembulan, karena saat itu si kakek memang bera-
da pada sebuah puncak bukit.
"Hmm.... Ini adalah purnama yang kelima
belas. Waktu terakhir bagi pemuda itu menyele-
saikan batu ujian. Kalau dia bertahan, nasibnya
memang baik. Jika tidak, dia akan mampus!" Si orang tua bergumam sendiri. Kedua
tangannya membetulkan jubahnya yang besar dan telah lu-
suh. Dia lalu melangkah pulang balik di puncak
bukit yang sepi itu. Kepalanya lalu tengadah me-
mandang rembulan, lalu lurus kembali. Semua ge-
rak-gerik kakek ini mengisyaratkan bahwa dirinya
saat itu sedang berada dalam keadaan gelisah. Se-
tidak-tidaknya ada yang membuatnya tidak sabar
menunggu sesuatu.
Beberapa saat berlalu. Tiba-tiba untuk yang
kesekian kalinya si orang tua memandang tajam
ke arah sang rembulan. Kali ini sambil tersenyum.
Diluruskannya tubuhnya yang agak bungkuk. Se-
telah menarik napas panjang dia melangkah ke
samping kanan dua tindak. Lalu putar tubuhnya
setengah lingkaran dan laksana kilat, tubuhnya
berkelebat menuruni bukit.
Pada lamping bukit yang terhampar sebuah
tanah lapang tanpa ditumbuhi pohon si kakek
hentikan larinya. Sepasang matanya yang sipit dan
berwarna putih memandang tak berkedip pada se-
buah lobang besar yang ada di tengah-tengah ta-
nah lapang. Lobang itu lebarnya dua kali panjang tom-
bak dan berbentuk segi empat. Anehnya meski lo-
bang itu berada di tanah, namun dari dalamnya
mencorong warna merah dan membiaskan hawa
panas! Setelah mengusap kening dan lehernya
yang keringatan, si orang tua melangkah pelan
mendekati lobang yang mencorong merah. Begitu
berada di samping bibir lobang, sepasang matanya
dibuka lebar-lebar.
Ternyata di dalam lobang itu terdapat tum-
pukan batang-batang kayu yang telah berubah jadi
bara! Malah sesekali seberkas api tampak mencuat
ke atas karena terhembus angin.
Si orang tua untuk beberapa jurus mem-
perhatikan. Tiba-tiba kedua tangannya bergerak
menyentak ke bawah, lalu diangkat pelan-pelan.
Terjadilah sesuatu yang luar biasa. Tumpukan ba-
tangan kayu dl dalam lobang mencelat berhambu-
ran ke udara, lalu berserakan di atas lobang den-
gan keadaan padam!
Ketika tumpukan bara kayu di dalam lo-
bang tidak ada lagi, tampak melingkar sesosok tu-
buh yang hanya mengenakan sebuah celana kolor
yang sudah hangus dan robek di sana-sini.
Di bawah cahaya sinar rembulan, sosok tu-
buh yang melingkar itu terlihat diam tak bergerak.
Bahunya tidak menampakkan adanya guncangan
yang menandakan napasnya masih berhembus.
Kulit sekujur tubuhnya pun tampak berubah
menghitam dan di beberapa bagian terlihat men-
gembung dan di bagian lainnya mengelupas!
"Malaikat Berdarah Biru! Kau masih men-
dengar kata-kataku"!" si orang tua berseru keras.
Tak ada jawaban dari sosok tubuh di bawahnya
yang dipanggil Anak Agung. Sosok itu pun tak ter-
lihat membuat gerakan.
Si orang tua bergerak jongkok di bibir lo-
bang. Sepasang matanya dipentangkan lebar-
lebar. Untuk kesekian lama dia memperhatikan
sambil menunggu. Tapi karena sekian lama tak ju-
ga ada tanda-tanda jika sosok di dalam lobang
hendak bergerak apalagi keluarkan suara untuk
menjawab pertanyaan orang, si orang tua menghe-
la napas panjang.
"Hm.... Apa dia sudah tewas"!" gumamnya
seraya gerakkan kepala tengadah. "Ujian ini memang berat. Namun jika berhasil,
maka dia kelak akan menjadi manusia tanpa tanding di jagat ini!
Segala pukulan tak akan mampu menembus tu-
buhnya! Tapi jika dia gagal dalam ujian ini, dia
akan tewas!"
Setelah menarik napas dalam-dalam, tanpa
palingkan lagi wajahnya pada sosok di dalam lo-
bang, si orang tua kembali berteriak lantang.
"Malaikat Berdarah Biru! Kalau kau masih
bernyawa, cepat bangkit!"
Lagi-lagi si orang tua tak mendapat jawa-
ban, membuat kepalanya berpaling ke bawah
memperhatikan sekali lagi. Kepalanya lantas
menggeleng perlahan.
"Nampaknya kau gagal, Bocah! Berarti na-
sibmu belum baik. Dan kau harus terkubur di
situ!" Si orang tua lantas bergerak bangkit. Kaki kanannya lalu menjejak tanah
bibir lobang. Tanah
itu langsung longsor berjatuhan di bawah, menim-
bun sosok di dalamnya. Si orang tua terus jejak-
kan kakinya ke tanah di sekitar lobang, hingga
lambat laun sosok di dalam lobang tertimbun
hampir tak kelihatan lagi.
Tiba-tiba si orang tua hentikan kakinya
yang menjejak. Sepasang matanya yang sipit me-
mandang tajam ke dalam lobang. Kedua alis ma-
tanya yang putih dan sangat tipis naik sesaat. Mu-
lutnya bergerak komat-kamit.
Pada saat tanah telah menutup hampir se-
kujur tubuh sosok di dalam lubang, si orang tua
melihat adanya gerakan. Lalu perlahan-lahan se-
buah tangan tampak menyeruak dari timbunan
tanah. Kemudian disusul dengan tangan satunya
lagi. Dan perlahan-lahan pula dari timbunan ta-
nah itu muncul kepala dengan rambut panjang
dan kempal serta jarang. Kulit wajahnya telah
berwarna kecoklatan.
"Astaga! Ternyata dia berhasil melampui
ujian ini!" gumam si orang tua dengan bibir mengulas senyum. Tubuhnya sedikit
berguncang, se-
mentara sepasang matanya tak berkedip.
"Ahhh..,." Tiba-tiba sosok yang kini telah menampakkan kepala dan dadanya itu
keluarkan suara erangan. Kepalanya lantas bergerak tenga-
dah. Sepasang matanya yang masih terpejam ber-
gerak-gerak hendak membuka, namun belum
sampai mata itu membuka, dari mulutnya yang
gosong keluar lagi erangan kesakitan. Bersamaan
dengan itu, kepalanya lunglai dan tubuhnya hen-
dak luruh lagi.
Namun sebelum tubuh itu terbujur di atas
tanah di dalam lobang, si orang tua telah banting-
kan kedua kakinya ke atas tanah. Tempat itu tiba-
tiba berguncang keras. Dan bersamaan dengan itu
sosok yang di dalam lobang mencelat ke atas!
Si orang tua mengikuti gerakan sosok yang
melayang, lalu dia berkelebat. Dan 'huuup', sosok
yang menukik itu telah berada di pondongan si
orang tua.

Pendekar Mata Keranjang 22 Laskar Dewa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tanpa meneliti lagi, si orang tua berkelebat
menaiki puncak bukit dengan tawa mengekeh ter-
dengar dari mulutnya.
Sampai di puncak bukit, si orang tua mele-
takkan sosok yang dipondongnya di tanah. Sesaat
dia memandangi, lalu bergerak bangkit dan berke-
lebat ke balik sebuah pohon besar yang di bela-
kangnya tampak gundukan batu. Tak lama kemu-
dian dia telah keluar lagi dengan tangan kanan
memegang sebuah kendi dari tanah.
Si orang tua melangkah dan berdiri tegak di
samping sosok yang membujur tak bergerak. Ke-
pala si orang tua lalu tengadah pandangi bulan.
Mulutnya komat-kamit perdengarkan suara yang
tak jelas. Tubuhnya tiba-tiba bergetar, mula-mula
pelan, namun makin lama makin keras. Bersa-
maan dengan itu seraya terhuyung, dia melangkah
ke samping dua tindak. Kendi di tangan kanannya
dimiringkan tepat di atas kepala sosok di bawah-
nya. Dari mulut kendi mengucur cairan berwar-
na merah. Membasahi kepala sosok yang terbujur.
Lalu si orang tua melangkah sambil mengucurkan
cairan merah ke seluruh tubuh sosok di bawahnya
hingga cairan itu tak tersisa lagi.
Si orang tua lalu meletakkan kendi di samp-
ing kepala sosok yang terbujur. Dia lantas duduk
bersila. Sepasang matanya perlahan memejam.
Kedua tangannya lalu disatukan di depan dada.
Dari mulutnya terdengar ucapan-ucapan yang ti-
dak bisa dimengerti.
Terjadilah suatu hal yang hampir tak bisa
dipercaya. Sekujur kulit sosok yang terbujur tiba-
tiba menggelembung, dan perlahan-lahan merekat
lalu gelembungan itu pecah. Dan perlahan-lahan
pula pecahan kulit itu terus merambat ke sekujur
tubuh. Beberapa saat berlalu. Ketika si orang tua
membuka kembali sepasang matanya terlihat kulit
kecoklatan yang tadi membungkus sekujur tubuh
di hadapannya telah mengelupas! Dan berserakan
di sekitar tubuh yang terbujur. Pada sekujur tu-
buh sosok itu kini terlihat kulit yang berwarna
kuning kemerahan!
Si orang tua lepaskan kedua tangannya
yang menakup, lalu ditempelkan pada dada sosok
yang terbujur. Si orang tua tak menunggu lama.
Sesaat kemudian dada sosok itu bergerak-gerak la-
lu dari hidungnya berhembus napas. Dan bersa-
maan dengan itu dari mulutnya terdengar guma-
man. Si orang tua yang ternyata salurkan tenaga
dalamnya itu lipat gandakan tenaga dalamnya.
Perlahan-lahan sosok itu buka kelopak ma-
tanya, memandang lurus ke atas. Lalu bola ma-
tanya berputar ke samping. Sejenak bola mata itu
memandang lekat-lekat pada si orang tua. Tiba-
tiba dari mulutnya terdengar seruan pelan.
"Guru!"
Si orang tua anggukkan kepalanya, lalu
tangannya ditarik dari dada sosok terbujur di ha-
dapannya. "Bangkitlah!" seru si orang tua dengan bibir tersenyum puas.
Perlahan-lahan sosok yang terbujur yang
kini kulitnya telah pulih seperti sediakala bergerak bangkit dan duduk. Ternyata
dia adalah pemuda
berparas tampan. Sepasang matanya tajam berki-
lat. Dagunya kokoh dengan perawakan tegap. Pada
telinga kiri tampak sebuah anting-anting tembaga.
Rambutnya yang tadi jarang dan tipis, sekarang
sudah tumbuh kembali. Ini semua berkat cairan
merah yang diguyurkan si kakek.
Sejenak si pemuda memandang tajam pada
kulit berserakan di kanan kirinya, lalu meneliti sekujur tubuhnya. Kepalanya
lalu lurus memandang
si orang tua. Mulutnya hendak berkata, namun si
orang tua telah mendahului.
"Malaikat Berdarah Biru! Itu adalah kulit
luar mu yang tadi terpanggang selama kau menja-
lani ujian!"
Masih diliputi rasa keheranan, pemuda
yang dipanggil Anak Agung ajukan tanya. "Bagaimana ini bisa terjadi"!"
Si orang tua keluarkan tawa mengekeh pan-
jang. "Darah ular cobra yang telah diawetkan berpuluh-puluh tahun. Itulah yang
bisa membuat kulitmu mengelupas dan berganti dengan kulit ba-
ru. Selain itu, kini tubuhmu akan kebal terhadap
segala jenis racun! "
"Terima kasih, Guru!" ujar Malaikat Berdarah Biru dengan hanya sedikit anggukkan
kepa- lanya. Itu pun dia lakukan dengan perasaan berat.
Karena sebenarnya dia tak suka melakukan hal itu
meski terhadap orang tua yang dipanggilnya Guru.
"Hmm.... Sifat angkuh anak ini memang te-
lah mendarah daging! Tapi apa hendak dikata.
Semuanya seakan sudah diatur, dan aku menda-
patkan pemuda yang demikian. Tapi aku bangga,
dia berhasil mengatasi ujian itu," kata hati si orang tua, lalu buka mulut.
"Malaikat Berdarah Biru! Seperti yang per-
nah kukatakan padamu dahulu, kalau kau telah
berhasil melewati ujian ini, maka kau akan beru-
bah menjadi manusia yang tahan terhadap segala
jenis pukulan! Ditambah kau sekarang akan kebal
terhadap segala jenis racun. Dan secara otomatis,
pukulanmu yang telah kau pelajari dari guru-
gurumu terdahulu akan berlipat ganda kekuatan-
nya!" Dengan senyum lebar dan busungkan dada, Anak Agung berkata.
"Jadi aku sekarang telah mendapatkan se-
mua itu"!"
Si orang tua anggukkan kepalanya. "Kau
adalah manusia ketiga yang berhasil menjalani
ujian berat itu! "
Dahi Malaikat Berdarah Biru langsung ber-
kerut mendengar keterangan si orang tua. Dengan
hati gusar, dia ajukan tanya.
"Kalau aku adalah orang ketiga, berarti ada
dua orang lagi. Siapakah mereka"!"
"Pertama adalah orang yang mencipta ilmu
itu. Orang kedua adalah mendiang guruku sendi-
ri!" jawab si orang tua.
Malaikat Berdarah Biru menghela napas le-
ga. Sebenarnya pemuda ini merasa khawatir jika
ada orang lain yang menguasai ilmu itu. Namun
setelah mendapat keterangan demikian, yang be-
rarti kedua orang tersebut telah tiada, dia merasa senang. Karena hanya dia
sendirilah kini yang
menguasai ilmu itu.
"Malaikat Berdarah Biru!" kata si orang tua setelah agak lama di antara keduanya
tidak ada yang keluarkan suara.
"Enam belas bulan kau berada di sini. Dan
lima belas bulan lamanya kau habiskan di dalam
lobang ujian itu. Sekarang apa yang kau inginkan
telah tercapai. Dan mungkin dalam benakmu ingin
segera meninggalkan tempat ini!"
"Keparat! Sudah tahu kenapa masih di-
ucapkan lagi"!" maki Anak Agung dalam hati. Dia segera menatap tajam orang tua
di hadapannya dan berujar. "Kalau memang sudah tidak ada lagi yang
harus kulakukan, aku memang ingin segera me-
ninggalkan tempat ini. Seperti yang pernah kuceri-
takan padamu dahulu, aku punya urusan yang ti-
dak akan bisa membuat batinku tenang sebelum
urusan itu selesai!"
"Maksudmu urusan dengan Pendekar Mata
Keranjang 108"!"
Air muka Malaikat Berdarah Biru kontan
berubah tatkala mendengar si orang tua menyebut
Pendekar 108. Rahangnya yang kokoh terangkat
dengan pelipis kanan kiri bergerak-gerak.
Meski mulutnya tidak keluarkan suara un-
tuk menjawab, mendapati perubahan wajah mu-
ridnya, si orang tua itu maklum. Seraya tertawa
mengekeh si orang tua menyambung ucapannya.
"Sakit hati memang harus dibalas! Kapan
kau akan meninggalkan tempat ini"!"
Malaikat Berdarah Biru tidak segera men-
jawab. Dia masih meredakan gejolak amarah yang
membakar dadanya. Setelah dadanya mereda, dia
angkat bicara. "Kalau guru memperbolehkan dan memang
sudah tidak ada yang harus kulakukan di sini,
aku akan berangkat sekarang juga!"
Si orang tua angguk-anggukkan kepala.
Tangannya bergerak mengusap-usap kumisnya
yang telah memutih.
"Memang, sudah tidak ada lagi yang perlu
kau lakukan. Hanya kalau kau benar-benar ingin
segera berangkat, aku tak akan mencegahmu...,"
sejenak si orang tua hentikan ucapannya. Setelah
menarik napas dalam-dalam dia melanjutkan.
"Ada beberapa hal yang harus kau ketahui
sebelum kau berangkat...."
"Hmm... Hal apakah itu, Guru"!" sahut Malaikat Berdarah Biru dengan kening
mengernyit. "Turut apa yang kudengar, kali ini rimba
persilatan telah diramaikan dengan munculnya to-
koh-tokoh tua yang ilmunya tak disangsikan lagi.
Juga telah muncul beberapa pemuda yang il-
munya juga tak bisa dibilang sembarangan. Kalau
hal itu memang benar, aku punya permintaan pa-
damu!" "Katakan saja. Guru!"
"Carilah seorang laki-laki tua bergelar Setan Arak! Cabut nyawanya untukku!"
suara si orang tua mendadak berubah parau dan bergetar, membuat Malaikat
Berdarah Biru terkejut. Namun mu-
rid ini menyadari jika gurunya sedang marah.
Hingga dia hanya diam tak menyahut ucapan gu-
runya meski dalam hati dia ingin mengatakan se-
suatu. "Yang kedua, kau harus dapat membunuh
orang yang bergelar Dewi Bunga Iblis!"
"Guru!" kata Malaikat Berdarah Biru. "Bisa kau katakan ada silang sengketa
apakah antara kau dengan kedua orang yang kau sebut tadi"!"
Si orang tua tertawa pendek. Bibirnya ter-
senyum kecut. Senyum pertanda kegeraman dan
kepedihan hati.
"Seperti halnya dirimu yang sakit hati dihi-
nakan dan dikalahkan pemuda bergelar Pendekar
Mata Keranjang 108 itu, aku pun pernah dihina-
kan oleh kedua orang tadi! Dan sakit hati ini tak
akan pupus sebelum keduanya mati di tanganku
atau setidak-tidaknya di tangan muridku!"
"Hm.... Jika demikian, aku berjanji akan
membawa kedua kepala orang itu ke hadapanmu
sebagai balas budimu padaku!"
Si orang tua tertawa mengekeh panjang
hingga bahunya berguncang dan air matanya ke-
luar. "Ternyata aku memilih orang yang tidak salah! Kedatanganmu dengan
penggalan kepala ke-
dua orang itu kutunggu!"
"Sekarang apakah aku bisa pergi, Guru"!"
Si orang tua terdiam sejenak. Dia sepertinya
sedang memikir. Lalu berkata.
"Sebenarnya hal ini tak akan ku utarakan
padamu. Namun untuk jaga-jaga tak ada salahnya
juga kau ketahui!"
Malaikat Berdarah Biru kembali kernyitkan
dahi. Dia tak ucapkan sepatah kata pun! Dia diam
menunggu. "Ketahuilah! Kau memang telah menjadi
orang hebat. Tak akan mempan senjata dan puku-
lan. Tak akan mempan segala jenis racun. Tapi se-
gala sesuatu harus kita sadari pasti punya kele-
mahan!" "Maksudmu"!" tukas Malaikat Berdarah Bi-
ru cepat dengan dada bergetar.
"Kau hanya dapat dikalahkan dan dilukai
oleh seseorang yang lahir dari darahmu sendiri!
Dan hal itu akan terjadi saat bulan purnama!"
Malaikat Berdarah Biru tersentak. Namun
cuma sesaat. Sekejap kemudian dia telah terse-
nyum. "Hmm.... Jika hanya itu pantangannya, aku bisa menghindari! Lagi pula aku
belum punya anak...," batinnya.
"Maka dari itu, Muridku. Kusarankan pa-
damu agar kau bertindak hati-hati pada seorang
perempuan. Karena itu akan menjadi petaka bagi
dia kelak kemudian hari! Dan yang juga harus kau
ingat, kalau kau tidak dapat menghindari dari hal
yang pertama dan terpaksa punya seorang anak,
jangan sampai kau bertarung dengannya saat bu-
lan purnama! Karena saat itulah ajalmu akan dat-
ing!" "Segala petunjukmu akan kuingat!"
"Bagus! Sekarang kau bisa tinggalkan tem-
pat ini! "
Namun Malaikat Berdarah Biru tidak segera
bangkit. Dia masih duduk bersila, membuat si
orang tua melanjutkan ucapannya dengan nada
bertanya. "Ada sesuatu yang masih ingin kau tanya-
kan"! " "Guru! Kau telah memberikan segala yang


Pendekar Mata Keranjang 22 Laskar Dewa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terbaik padaku. Rasanya kurang enak jika kau
masih tetap menyembunyikan siapa dirimu pada-
ku! Harap kau suka katakan siapa nama atau ge-
larmu! Lagi pula sewaktu-waktu kedua musuhmu
itu bertanya, aku bisa menjawab! "
Si orang tua hanya menjawab dengan keke-
han tawanya. Setelah puas tertawa, dia keluarkan
sesuatu dari balik Jubahnya. Ternyata sesuatu itu
adalah sebuah cincin berwarna hitam berbentuk
kepala burung. "Tunjukkan benda itu pada kedua orang itu.
Atau kepada siapa saja yang pernah malang melin-
tang dalam rimba persilatan pada masa lalu. Di
sanalah kau akan mengetahui siapa diriku sebe-
narnya!" kata si orang tua seraya mengulurkan cincin itu pada Malaikat Berdarah
Biru. Pemuda itu segera menyambuti, lalu cincin
itu dikenakannya.
"Kau ambillah pakaianmu di balik pohon
itu!" perintah si orang tua.
Malaikat Berdarah Biru bergerak bangkit,
lalu melangkah ke balik pohon. Ketika dia keluar
lagi, dia terkejut. Si orang tua sudah tak ada lagi di tempatnya semula.
Sepasang mata Malaikat Berdarah Biru me-
nyapu berkeliling. Namun orang yang dicarinya tak
ditemukan. Dia lalu berteriak memanggil dengan
sebutan guru beberapa kali. Namun hanya hem-
busan angin yang menjawabnya.
"Keparat! Ke mana orang tua ini perginya"
Ah, persetan! Yang penting aku telah mendapatkan
sesuatu yang kuinginkan!" gumamnya dalam hati.
Malaikat Berdarah Biru lantas merapikan
pakaiannya. Ternyata yang dikenakan adalah se-
buah jubah toga berwarna merah darah. Inilah pa-
kaian yang menunjukkan bahwa pemakainya ada-
lah pemuda yang dulu pernah menggegerkan du-
nia persilatan bernama asli Anak Agung yang per-
nah berguru pada seorang nenek sesat Bidadari
Telapak Setan. Lalu pernah juga diambil murid
oleh Bayangan Iblis. Pemuda yang dulu pernah
menggenggam senjata kipas pusaka hitam ciptaan
Empu Jaladara! Seperti dituturkan dalam episode: "Geger
Para iblis", Pendekar 108 berhasil membuat Malaikat Berdarah Biru cidera dalam,
namun pemuda itu masih sempat meloloskan diri, karena Pende-
kar 108 terpaku melihat Putri Tunjung Kuning
yang semula dikira sudah tewas ternyata masih
hidup, hingga kelengahan itu dipergunakan untuk
meloloskan diri oleh Malaikat Berdarah Biru.
Di tengah perjalanan, mungkin karena lu-
kanya cukup parah, Malaikat Berdarah Biru jatuh
terduduk di atas tanah. Pemuda ini tampaknya
amat khawatir jika Pendekar 108 mengejar, hingga
meski masih merasakan sakit yang amat sangat,
dia segera bergerak bangkit. Namun belum sampai
tubuhnya benar-benar tegak, sosoknya telah jatuh
lagi. Pemuda ini tak putus asa. Dia coba kerahkan
tenaga dalam, namun karena tubuh bagian da-
lamnya telah terluka, pemuda ini gagal mengerah-
kan tenaga dalam.
Dalam keadaan bingung, takut dan putus
asa, mendadak muncul seorang kakek bermata
putih. Entah karena terkejut mengira yang muncul
adalah Pendekar 108, atau karena lukanya terlalu
parah, belum sempat sang kakek berkata, Malai-
kat Berdarah Biru telah roboh pingsan.
Sang kakek akhirnya membawa Malaikat
Berdarah Biru ke tempat tinggalnya. Begitu Malai-
kat Berdarah Biru sembuh, pemuda ini meminta
agar sang kakek bersedia mengangkatnya sebagai
murid. Rupanya keinginan Malaikat Berdarah Biru
terkabul, karena sang kakek tak keberatan men-
gangkatnya sebagai murid.
Sejak saat itulah Malaikat Berdarah Biru
menghilang. Mungkin karena tak satu pun yang
mengetahui ke mana lenyapnya pemuda ini, apa-
lagi setelah dikalahkan oleh Pendekar 108, maka
sebagian orang rimba persilatan menduga jika Ma-
laikat Berdarah Biru telah tewas!
EMPAT SIANG itu panasnya bukan alang kepalang.
Arak-arakan awan tak secuil pun yang menutupi
langit, hingga sang mentari begitu leluasanya me-
mancarkan sinarnya yang menyengat.
Pada suatu tempat di ujung hutan kecil
berbatasan dengan sebuah desa tampak seseorang
melangkah terseok-seok. Malah sesekali tubuhnya
doyong ke depan akan jatuh terjerembab, namun
begitu tubuhnya hampir saja menyuruk tanah,
orang ini cepat tarik tubuhnya kembali. Dia adalah seorang perempuan mengenakan
pakaian gom- brong besar dan panjang menjuntai tanah, hingga
kedua tangan dan kaki perempuan ini tak terlihat.
Wajahnya dibedaki pupur tebal. Sementara bibir-
nya dipoles merah dan belepotan sampai hidung.
Kedua alis mata serta kelopak matanya diberi pe-
warna hitam. Rambutnya dikuncir ke atas dibagi
dua, kanan dan kiri.
Seraya melangkah terseok-seok dari mulut-
nya terdengar suara nyanyian yang tak bisa di-
mengerti. Dan sesekali nyanyiannya diseling den-
gan siulan dan tepuk tangan.
Mungkin karena panas, tiba-tiba tangan si
perempuan bergerak menyelinap ke balik pakaian-
nya. Sejenak kepalanya bergerak berputar ke sana
kemari. Sepasang matanya menyapu berkeliling.
Lalu dengan senandung kecil tangan kanannya di-
tarik dari batik pakaiannya. Di tangannya kini terlihat sebuah kipas lipat.
Setelah melirik kian ke-
mari, dia pentangkan kipasnya, lalu seraya ber-
sandar pada sebuah batu dia mulai gerakkan tan-
gannya pulang balik di depan wajah berkipas-
kipas. Sepasang matanya terpejam membuka seo-
lah menikmati semilirnya angin yang keluar dari
gerakan kipasnya.
"Sungguh malang nasib orang sepertiku...."
Tiba-tiba dari mulut si perempuan terdengar uca-
pan. "Panas-panas begini harus tertatih-tatih sendiri, tanpa teman tanpa kawan.
Tujuan pun hanya
menuruti ke mana kaki ingin mengajak. Apakah
nasib seperti ini masih akan kualami selamanya"
Hik... hik... hik.... Tapi, siapa tahu nanti ada orang yang mengajakku. Aku mau
ikut saja asal tidak di-
jadikan sebagai.... Huk... huk... huk...!" Tiba-tiba si perempuan ini takupkan
tangan kirinya ke wajah.
Bahunya berguncang-guncang seakan hendak
mengatasi tangisnya. "Huk... huk... huk.... ini semua gara-gara manusia yang
namanya laki-laki!
Seenaknya begitu saja meninggalkan perempuan
jika sudah merasakan apa yang diinginkan! Seka-
rang harus ke mana aku mencarinya" Dan kalau
tidak ketemu, siapa kelak yang akan bertanggung
jawab atas perbuatannya" Huk... huk... huk...! Ka-
lau sampai ketemu, dan dia tak mau bertanggung
jawab, akan kulumat polos tubuhnya! Dia telah
memberiku malu besar. Busyet! Aku sampai salah
omong! Hik... hik... hukkk...!"
Tiba-tiba si perempuan ini putuskan tan-
gisnya. Tangannya yang menutupi wajah diluruh-
kan. Sejenak sepasang matanya melirik kian ke-
mari. Dan secepat kilat tangan kanannya yang
memegang kipas diselinapkan kembali ke balik
pakaiannya. Lalu kedua tangannya menutupi wa-
jahnya. Dan tak lama kemudian terdengar lagi su-
ara serta sesenggukkannya.
Bersamaan dengan itu, sesosok bayangan
berkelebat dan tahu-tahu telah berdiri sepuluh
langkah di hadapan si perempuan.
Sepasang matanya segera memperhatikan
dengan tatapan liar dari ujung rambut sampai
ujung pakaian si perempuan yang berserakan di
atas tanah. Dahinya mengernyit, sementara ra-
hangnya yang kokoh terangkat sedikit.
Sementara itu, si perempuan berpakaian
gombrong segera keluarkan seruan terkejut. Sepa-
sang matanya mengerjap. Wajah si perempuan ti-
ba-tiba berubah. Sepasang matanya dibeliakkan
besar-besar. Mulutnya komat-kamit menggumam
tak jelas. Dan perlahan-lahan pula dia bangkit.
Kakinya serentak mundur ke belakang. Namun
mungkin dia lupa kalau di belakangnya ada batu,
hingga tubuhnya melabrak batu itu. Sejenak tu-
buhnya limbung ke samping. Namun sebentar ke-
mudian bergerak kembali ke atas.
Tiba-tiba tangan si perempuan sebelah ka-
nan bergerak mengangkat dan menunjuk pada
orang di hadapannya.
"Kau! Laki-laki seperti kau yang membuat
orang menderita begini rupa! Laki-laki seperti kau yang menebar kesengsaraan di
mana-mana! Laki-laki memang sudah selayaknya dimusnahkan dari
muka bumi agar tidak membuat malapetaka! Ti-
dak menebar bibit yang tidak berguna! Huk...
huk... huk...! Laki-laki seperti kau harus...."
"Jahanam! Diam!" teriak orang yang di hadapan si perempuan dengan rahang
mengembung besar dan mata merah. Dia adalah seorang pemu-
da berparas tampan namun keras. Rambutnya
panjang lebat dan dibiarkan bergerak di bahunya.
Sepasang matanya tajam berkilat. Rahangnya ko-
koh membatu. Sementara perawakannya tinggi te-
gap dengan jubah toga warna merah menyala! Di
telinga kirinya tampak anting-anting dari tambang.
Namun seperti tak mengindahkan bentakan
orang yang sedang marah, si perempuan terus ber-
kata-kata. "Laki-laki! Marah-marah hanya untuk me-
nutupi perbuatannya. Hik... hik... hik.... Kelicikan apa lagi yang hendak kau
perlihatkan" Tapi... semua ini juga kesalahan si perempuan. Kenapa ma-
sih percaya pada mulut laki-laki! Hik... hik... hik...!
Kau...," si perempuan tidak melanjutkan kata-
katanya karena bersamaan dengan itu terdengar
kembali bentakan disertai ancaman dari pemuda
berjubah toga merah yang bukan lain adalah Ma-
laikat Berdarah Biru.
"Kalau kau tak bisa diam, kupatah-
patahkan tubuhmu!"
Mungkin merasa takut akan ancaman
orang, si perempuan terdiam. Namun, sesaat ke-
mudian dari mulutnya terdengar gumaman tak je-
las. Sedangkan sepasang mata si perempuan
memperhatikan pemuda di hadapannya lekat-lekat
tanpa berkedip! Dari ujung kaki sampai ujung
rambut. Tiba-tiba si perempuan tunjukkan lagi jari
telunjuknya pada sang pemuda. "Kau!" katanya dengan suara keserak-serakan.
"Pasti sedang dalam perjalanan mencari sesorang!"
"Perempuan edan!" hardik Malaikat Berda-
rah Biru dengan mata melotot angker. "Tahu apa kau tentang orang. He..."!"
Si perempuan tengadahkan kepalanya
sedikit. Kedua tangan dirangkapkan sejajar dada.
Sesaat kemudian dari mulutnya terdengar suara
tawa mengekeh panjang. Lantas dia berkata.
'Kau! Berjalan dengan membawa dendam
dan sakit hati! Mencari seseorang yang tak dapat
ditentukan tempatnya, karena dia tak punya tem-
pat tinggal. Hik... hik... hik...!"
Malaikat Berdarah Biru tersentak dan su-
rutkan langkah satu tindak ke belakang. Sepasang
matanya makin melotot mengawasi. Diam-diam
dalam hati ia berbisik. "Siapa perempuan edan itu"
Dan seakan tahu apa yang tengah kujalankan!
Hmm.... Mungkin hanya omong kosongnya yang
secara kebetulan sama dengan tujuanku!"
"Perempuan edan!" Malaikat Berdarah Biru kembali keluarkan hardikan keras.
"Siapa kau sebenarnya"!"
Si perempuan yang dibentak tidak menja-
wab. Dia terus tertawa cekikikan yang sesekali
diseling dengan sesenggukan.
"Kau! Menginginkan benda milikmu yang
hilang kembali lagi! Menginginkan namamu ber-
kumandang lagi! Hik... hik... hik...!"
Malaikat Berdarah Biru kernyitkan dahi.
Sekali lagi diperhatikannya sosok perempuan yang
tegak di hadapannya.
"Siapa perempuan ini sebenarnya" Dia juga
tahu apa yang ada diotakku! Keparat! Aku harus
mengetahui siapa dirinya!"
"Hai perempuan edan! Kalau kau tak mau
sebutkan siapa dirimu, ancamanku masih berlaku!
Akan kupatah-patahkan tubuhmu! Cepat kata-
kan!" kertak Malaikat Berdarah Biru seraya maju dua langkah.
"Kau tanya namaku" Hik... hik... hik...! Apa
kau tertarik dengan diriku" Tapi.... Ah, aku tak
mau dengan dirimu! Kau suka mempermainkan
perempuan dan suka...."
"Bangsat sialan!" maki Malaikat Berdarah Biru tak bisa lagi menguasai amarahnya.
"Kau ternyata lebih suka kupatah-patahkan tubuhmu da-
ripada mengatakan siapa dirimu!"
Habis berteriak demikian, Malaikat Berda-


Pendekar Mata Keranjang 22 Laskar Dewa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

rah Biru melompat ke depan. Tangan kanannya
bergerak melesat ke arah kepala si perempuan.
Bettt! Si perempuan berteriak keras. Bersamaan
dengan itu kepalanya disentakkan ke samping.
Tubuhnya yang bungkuk ikut doyong ke samping
hampir jatuh terjerembab. Namun dengan senta-
kan kembali kepalanya, tubuhnya lurus ke depan
kembali. "Kau! Laki-laki ternyata tidak hanya suka
mempermainkan perempuan, tapi juga bersikap
kasar pada perempuan. Siapa kau sebenarnya"!"
Malaikat Berdarah Biru tidak segera men-
jawab. Tampaknya pemuda ini masih tertegun ber-
campur curiga dan geram. Dia sama sekali tidak
menduga jika kelebatan tangannya bisa dengan
mudah dielakkan si perempuan, meski gerakan si
perempuan terlihat tak disengaja karena merasa
takut. Namun sebagai orang yang pernah malang
melintang dan sempat menggegerkan rimba persi-
latan, Malaikat Berdarah Biru sadar jika perem-
puan di hadapannya menyimpan sesuatu, setidak-
tidaknya mempunyai sedikit ilmu.
"Kau tidak mau sebutkan siapa namamu,
mungkin kau laki-laki yang mempunyai niat jelek!
Kuingatkan padamu. Kalau kau punya niatan je-
lek, pulanglah ke rumahmu! Karena niat jelek ka-
dang-kadang berakhir jelek pula!"
"Hmm.... Perempuan ini sudah terlewat pin-
tar menggurui orang! Aku ingin tahu sampai di
mana kehebatannya!"
"Perempuan edan! Dengar. Aku tidak akan
mengulangi lagi ucapanku. Kalau kau tak mau se-
butkan siapa dirimu, aku tidak main-main lagi!
Kau dengar"!"
"Kalau itu maumu. Baiklah! Aku akan kata-
kan siapa namaku, namun dengan syarat!" ujar si perempuan dengan melangkah ke
samping. "Jahanam! Mau beritahu nama saja dengan
Tiga Dara Pendekar 27 Pendekar Misterius Karya Gan K L Bende Mataram 3
^