Pencarian

Laskar Dewa 2

Pendekar Mata Keranjang 22 Laskar Dewa Bagian 2


syarat. Kau kira sedang berhadapan dengan siapa
saat ini" Hah..." Lekas katakan!"
Si perempuan tertawa mengekeh. Namun
sesekali sepasang mata liar memperhatikan segala
gerak-gerik pemuda di hadapannya. Setelah puas
mengekeh, tanpa menghadap, dia berkata.
"Aku akan sebutkan namaku, tapi setelah
itu kau juga harus sebutkan siapa dirimu! Bagai-
mana setuju"!"
Malaikat Berdarah Biru tidak menjawab ju-
ga tidak anggukkan kepala. Hanya sepasang ma-
tanya tak berkedip menatap tajam. Sementara
tangan kiri kanannya mengepal.
"Hmm.... Orang-orang tua berkata. Diam
berarti setuju! Menuruti kata-kata orang-orang
tua, aku menganggapmu menyetujui tawaranku.
Sekarang akan kukatakan siapa diriku! Hik...
hik... hik...! Namaku Nyi Mentul!"
"Siapa" Ulangi lagi!" seru Malaikat Berdarah Biru dengan tertawa pendek.
Ketegangan di wa-
jahnya sejenak mengendur demi mendengar si pe-
rempuan sebutkan siapa namanya.
"Kau tuli apa pura-pura tak dengar" Nama-
ku Nyi Mentul! Kau siapa"!" Si perempuan yang menyebut namanya Nyi Mentul balik
bertanya. Malaikat Berdarah Biru tertawa terbahak-
bahak hingga bahunya berguncang-guncang.
"Dengar Mentul-Mentul!" ujar Malaikat Berdarah Biru di sela tawanya.
"Hai! Namaku Nyi Mentul. Bukan Mentul-
Mentul!" sahut Nyi Mentul membetulkan ucapan Malaikat Berdarah Biru.
"Dengar, Nyi Mentul! Dan buka matamu le-
bar-lebar. Kau saat ini sedang berhadapan dengan
Malaikat Berdarah Biru!" kata si pemuda dengan busungkan dadanya.
Nyi Mentul surutkan langkah satu tindak ke
belakang. "Tak salah...!" gumamnya dengan mata
membeliak besar.
"Hai! Apa yang tak salah"!" teriak Malaikat Berdarah Biru dengan dahi
mengernyit. Nyi Mentul gelengkan kepalanya. Dalam ha-
ti perempuan ini memaki dirinya sendiri. "Busyet.
Hampir saja aku keceplosan omong! Aku harus ha-
ti-hati, pendengarannya amat tajam!"
"Hmm.... Perempuan ini lagaknya mencuri-
gakan. Jangan-jangan dia hanya mempermainkan
aku! Tapi.... Apa perlunya melayani perempuan
edan begini" Tapi ucapan-ucapannya tadi seakan-
akan dia telah mengetahui siapa diriku! Lebih-
lebih telah tahu apa yang hendak kulakukan!
Hmm.... Aku penasaran. Akan kupaksa dia untuk
mengatakan siapa sesungguhnya dirinya! Aku mu-
lai yakin bahwa dia menyembunyikan sesuatu!"
Berpikir begitu, Malaikat Berdarah Biru lan-
tas maju dua langkah, lalu keluarkan bentakan
garang. "Kau menutupi wajah dengan bedak tebal.
Jangan-jangan aku mengenalmu. Coba kau ber-
sihkan mukamu!"
"Ah.... Bagaimana ini" Jangan-jangan dia
memang masih mengenaliku" Atau aku harus se-
gera menyingkir saja daripada...," Nyi Mentul membatin. Dia undurkan kaki dua
tindak. Matanya melirik jelalatan memandang ke samping
kanan dan kiri.
"Hmm.... Melihat tingkahmu, aku curiga
kau mempermainkan diriku! Kalau tidak kenapa
matamu jelalatan" He..."!"
Nyi Mentul tidak menyahut. Malah dia ber-
paling ke samping kanan dan kiri, lalu tengadah
dengan mulut bergerak-gerak.
"Kau betul-betul membuatku habis kesaba-
ran. Kau akan menerima imbalannya!" hardik Malaikat Berdarah Biru. Kedua
tangannya disentak-
kan ke depan. Wuuuttt! Serangkum angin kencang melesat cepat ke
arah Nyi Mentul.
Di depan sana, Nyi Mentul berteriak tegang.
Dia segera putar tubuhnya lalu hendak menyingkir
dengan melompat. Namun rangkuman angin yang
datang lebih cepat. Hingga meski tubuhnya tidak
terhajar telak pukulan Malaikat Berdarah Biru
namun tubuh bagian bawahnya tersambar, mem-
buat Nyi Mentul terhuyung-huyung lalu roboh ber-
gedebukan di atas tanah! Anehnya, dari mulutnya
tidak terdengar suara erang kesakitan. Sebaliknya
yang terdengar adalah suara tawa cekikikannya.
"Kau! Kenapa tega-teganya hendak membu-
nuhku"! Apa salahku"!"
"Heran. Kalau dia tak punya ilmu, tentu su-
dah mengaduh-aduh kesakitan! Hmm...," Malaikat Berdarah Biru membatin. Lalu
mengangguk beberapa kali. Tiba-tiba saja kedua tangannya dihan-
tamkan sekali lagi ke arah Nyi Mentul. Kali ini Malaikat Berdarah Biru tambah
tenaga dalamnya,
hingga saat itu juga selain gelombang dahsyat me-
lesat keluar dari tangannya, udara di tempat itu
juga makin panas menyengat!
Melihat serangan, Nyi Mentul berseru terta-
han. Sosoknya yang masih duduk di atas tanah
mengkerut dengan kedua tangan menutup wajah.
Namun begitu setengah depa lagi hantaman tan-
gan kosong mengandung tenaga dalam Malaikat
Berdarah Biru melabrak tubuhnya, dia berteriak
nyaring. Bersamaan dengan itu tubuhnya melesat
dan menyusup menyusur tanah!
Hantaman Malaikat Berdarah Biru terus
melesat dan membentur batu yang tadi dibuat ber-
sandar Nyi Mentul. Batu itu langsung pecah be-
rantakan dan pecahannya berhamburan ke udara
menjadi kerikil kecil-kecil!
"Jangkrik! Dia benar-benar hendak mence-
lakaiku! Aku harus segera menyingkir dahulu!"
gumam Nyi Mentul. Dia segera bangkit. Namun
sebelum tubuhnya benar-benar berdiri tegak, Ma-
laikat Berdarah Biru telah berkelebat dan tahu-
tahu telah berada dua langkah di depannya.
"Mau lari ke mana kau, he..."! Dengar Nyi
Mentul! Buruan Malaikat Berdarah Biru tidak
akan pernah lolos! Ha ha ha...!"
Sambil tertawa, kedua tangannya bergerak
menyergap dari samping kanan kiri kepala Nyi
Mentul. Sebagai seorang pemuda yang pernah me-
nyentak rimba persilatan, Malaikat Berdarah Biru
berlaku cerdik. Dia sengaja hantamkan tangan kiri
kanan sekaligus dari dua arah wajah Nyi Mentul.
Dengan demikian kalau Nyi Mentul tak bisa me-
nangkis, tentu bedak tebal di wajahnya akan ber-
guguran. Dengan demikian setidak-tidaknya Ma-
laikat Berdarah Biru bisa mengenali Nyi Mentul.
Karena mungkin tidak ada kesempatan lagi
untuk menghindar, maka satu-satunya jalan bagi
Nyi Mentul untuk selamatkan wajahnya adalah
dengan menangkis menggunakan kedua tangan-
nya. Praakkk! Terdengar benturan keras tatkala dua pa-
sang tangan bentrok di udara. Malaikat Berdarah
Biru cepat melompat mundur dengan wajah beru-
bah. Matanya berkilat. Memandang tajam ke arah
Nyi Mentul yang meringis kesakitan seraya kibas-
kibaskan kedua tangannya.
"Hmm.... Dugaanku tidak meleset, perem-
puan ini benar-benar berilmu. Tapi.... Tampaknya
dia bukan...," Malaikat Berdarah Biru gelengkan kepalanya.
Mungkin merasa dipandangi orang, Nyi
Mentul segera berpaling sedikit dengan dada ber-
debar keras, khawatir jika sang pemuda mengena-
linya namun ketika matanya melirik, dan melihat
Malaikat Berdarah Biru gelengkan kepala, Nyi
Mentul menarik napas lega.
"Hmm.... Nyatanya kita belum pernah kenal
sebelumnya bukan"! Bagaimana sekarang"! Ah,
melihat pandangan matamu jangan-jangan kau
tertarik padaku. Tapi.... Sayang, aku sudah kapok
berhubungan dengan laki-laki. Aku muak melihat
laki-laki! Daripada aku nanti muntah melihat tam-
pang laki-laki, lebih baik aku pergi saja, mencari manusia laki-laki yang harus
mempertanggungja-wabkan perbuatannya padaku! Hik... huk... huk...!
Aneh ya, mau muntah lihat laki-laki tapi aku ha-
rus pergi mencari laki-laki! Dunia.... Oh, dunia....
Hik... hik... hik...!"
"Hmm.... Dari bentrok tadi, aku makin ya-
kin jika manusia ini menyembunyikan sesuatu!
Suaranya seperti disarukan. Lalu meski tangannya
tak kelihatan namun aku merasakan jika tangan-
nya amat keras. Aku nyata-nyata dibuat mainan
oleh manusia ini! Akan kutelanjangi dia! Aku men-
duga jika dia bukan seorang perempuan!" Setelah berkata begitu dalam hati,
Malaikat Berdarah Biru
cepat melompat menghadang di depan Nyi Mentul
yang sudah mulai beranjak hendak meninggalkan
tempat itu. "Sudah kukatakan aku muak melihat tam-
pang laki-laki! Cari saja perempuan lain!" seru Nyi Mentul begitu mengetahui
Malaikat Berdarah Biru
menghadang di depannya.
"Perempuan jelek! Siapa tertarik denganmu.
Aku hanya ingin menelanjangimu! Ha ha ha...!"
Mendengar ucapan Malaikat Berdarah Biru,
kedua kaki Nyi Mentul tersurut dua langkah kare-
na kaget. Air mukanya berubah seketika. Sepa-
sang matanya membeliak dengan mulut kemak-
kemik. "Gawat! Kalau dia mengetahuinya.... Tapi kalau terpaksa apa mau
dikata...," bisik Nyi
Mentul dalam hati. Lalu dia menyembunyikan rasa
terkejutnya dengan tertawa mengekeh.
"Kau tak tertarik dengan diriku, tapi ingin
melihat tubuhku dengan cara menelanjangiku.
Hik... hik... hik...! Apa itu namanya" Dasar laki-
laki! Mirip kucing. Ikan asin busuk pun disantap-
nya juga! Kalau kau benar-benar ingin melihat
mulusnya tubuhku, aku tak keberatan...."
Habis berkata begitu, Nyi Mentul balikkan
tubuh. Kedua tangannya ditarik ke belakang hen-
dak menyingkap pakaian gombrongannya yang
menjulai ke tanah. Namun sepasang mata Nyi
Mentul yang kini membelakangi Malaikat Berdarah
Biru jelalatan kian kemari dan siap hendak berge-
rak berkelebat pergi.
Sementara itu di belakang Nyi Mentul, Ma-
laikat Berdarah Biru tegak menunggu dengan ma-
ta sedikit menyipit. Malah begitu kedua tangan Nyi Mentul mulai perlahan-lahan
bergerak menyingkap pakaian gombrangnya, pemuda ini palingkan
wajah. Nyi Mentul menarik napas panjang dan da-
lam-dalam. Kedua tangannya mulai menyingkap
pakaiannya, namun secara diam-diam dia kerah-
kan ilmu peringan tubuhnya dan siap hendak ber-
kelebat. Namun sebelum Nyi Mentul berkelebat, dan
saat Malaikat Berdarah Biru palingkan wajah, ter-
dengar suara orang tertawa bergelak-gelak.
Nyi Mentul urungkan niat untuk berkelebat
dan kedua tangannya ditarik lagi ke depan, lalu
berpaling ke arah datangnya suara tawa. Di bela-
kangnya, Malaikat Berdarah Biru cepat pula meno-
leh dengan keluarkan dengusan keras.
LIMA NYI Mentul langsung undurkan kaki ke be-
lakang. Sepasang matanya membelalak, lalu me-
nyipit. Namun sesaat kemudian, entah untuk me-
nutupi rasa kagetnya perempuan berpakaian gom-
brong ini palingkan wajah memandang jurusan
lain sambil tertawa panjang.
Di depannya, Malaikat Berdarah Biru tam-
pak tenang-tenang saja. Memandang tajam pada
orang yang keluarkan tawa dengan seringai. Lalu
palingkan muka dan meludah ke tanah!
Orang yang tadi keluarkan tawa dan kini
tampak telah berdiri sepuluh langkah ke samping
kanan Nyi Mentul mendongak ke langit. Lalu dari
mulutnya kembali terdengar gelakan tawanya.
"Aneh. Masih ada saja laki-laki muda yang
memaksa orang perempuan gila untuk buka-buka
baju! Ha ha ha...!" ujar orang yang baru datang diselingi gelak tawanya.
Malaikat Berdarah Biru pelototkan sepa-
sang matanya. Dadanya bergetar. Rahangnya te-
rangkat. "Keparat busuk! Siapa kau"! Dan apa hu-
bunganmu dengan perempuan itu"!" Malaikat Berdarah Biru keluarkan bentakan
keras. "Betul! Apa hubunganmu denganku"!" Nyi
Mentul ikut-ikutan tanya, membuat Malaikat Ber-
darah Biru berpaling padanya sambil pelototkan
mata. Namun mungkin saja karena dia tersing-
gung dengan ucapan orang yang baru datang, dia
tidak begitu menghiraukan ucapan Nyi Mentul.
Sebaliknya dia menoleh lagi ke arah orang yang
baru datang dengan rahang menggegat rapat hing-
ga mengeluarkan suara gemeretakan.
Orang yang ditanya tidak segera buka mu-
lut untuk menjawab. Dia tetap mendongak me-


Pendekar Mata Keranjang 22 Laskar Dewa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mandang langit meski saat itu sinar matahari ber-
sinar sangat terik. Dia adalah seorang pemuda
berbadan tinggi tegap. Rambutnya panjang dengan
pandangan tajam. Dagunya kokoh dengan dada
bidang. Mengenakan jubah besar berwarna hitam
belang merah. "Ah, kau rada-rada tuli ya" Ditanya orang
tidak segera kasih jawaban. Apa kau tidak tahu,
siapa adanya pemuda yang menanyaimu, he..."!"
Nyi Mentul kembali berujar.
Mungkin merasa dapat sanjungan, Malaikat
Berdarah Biru busungkan dada dengan tertawa
pendek bernada mengejek.
"Peduli setan siapa dia! Yang kutahu dia
adalah laki-laki yang suka melihat tubuh perem-
puan tak waras seperti kau!" Pemuda berjubah hitam merah berkata sambil melirik
pada Malaikat Berdarah Biru. "Betul! Betul katamu! Memang dia laki-laki
begitu!" timpal Nyi Mentul lalu tertawa mengekeh.
Sepasang matanya terpejam-pejam. Namun tak
henti-hentinya melirik satu persatu pada pemuda
di samping dan di hadapannya.
"Jahanam! Perempuan sundal, diam kau!"
bentak Malaikat Berdarah Biru membuat Nyi Men-
tul putuskan tawanya dan tergagu sejenak.
"Ah, nasibku benar-benar malang. Di sini
dibentak di sana dikatakan perempuan tak waras!
Daripada hati ini tambah sakit, lebih baik...."
"Jangan kau berani bergerak dari
tempatmu!" hardik Malaikat Berdarah Biru ketika mengetahui Nyi Mentul hendak
meninggalkan tempat itu. Nyi Mentul urungkan niat untuk beranjak.
Tangan kanannya mengusap-usap pipinya lalu ge-
leng-geleng kepala.
"Kau tak segera jawab tanyaku, berarti kau
cari urusan! Dan itu berarti maut bagimu!" kata Malaikat Berdarah Biru dengan
kacak pinggang dan senyum seringai buas.
"Aduh biyung.... Masalah sepele begini saja
mengapa sampai bilang maut-maut segala" Apa-
kah kau teman si maut itu"!" Nyi Mentul menya-
hut. "Mentul! Sekali lagi kau keluarkan ucapan, kupecahkan batok kepalamu!"
Malaikat Berdarah Biru menghardik tanpa memandang.
"Mentul! Apanya yang mentul-mentul" Ha...
ha... ha...!" Pemuda berjubah hitam berbelang merah menimpali seraya bergelak.
"Apa kau rasanya memang mentul-mentul?"
"Hai! Kau menghina aku ya" Aku tahu. Kau
menghina perempuan karena hatimu pernah dis-
akiti seorang perempuan! Betulkah" Kau mungkin
pernah mencintai seorang gadis namun cintamu
ditolak mentah-mentah. Hik... hik... hik...! Kasi-
han.... Apa hatimu masih pedih"!" tanya Nyi
Mentul seraya palingkan wajah.
Paras muka si pemuda berjubah hitam ber-
belang merah langsung berubah. Malah karena
kagetnya, dia surutkan langkah satu tindak ke be-
lakang. Sepasang matanya mendelik memperhati-
kan Nyi Mentul.
"Sialan! Siapa perempuan sinting ini" Dia
seakan tahu apa yang pernah kualami! Dan,
hmm.... Pemuda ini melihat ciri-cirinya seperti....
Tapi, bukankah dia telah dikabarkan tewas di tan-
gan pendekar keparat itu"!" Si pemuda berjubah hitam merah membatin.
"Hik... hik... hik...! Tampangmu berubah
dan kau terlihat tercenung bodoh. Berarti ucapan-
ku benar adanya! Betulkah" Betulkah"!" seru Nyi Mentul seraya melirik tajam.
"Perempuan sinting! Siapa kau sebenar-
nya"!" si pemuda membentak dengan suara keras.
Melihat perubahan pada wajah sang pemu-
da, diam-diam Malaikat Berdarah Biru membatin.
"Hmm.... Rupanya apa yang dikatakan si Mentul benar adanya! Heran. Siapa
sebenarnya perempuan ini. Dia seakan tahu semua urusan orang!"
Sementara itu mendapat bentakan keras
dari si pemuda serta melihat perubahan dan ke-
terkejutannya, Nyi Mentul terdiam sejenak seakan
berpikir keras.
"Hmm.... Memang dia! Aku harus lebih hati-
hati lagi. Sekarang banyak orang-orang muncul la-
gi! Urusan akan bertambah panjang, satu belum
selesai, dua sudah muncul lagi! Hmm.... aku harus
mengadu keduanya, lalu...," Nyi Mentul mengangguk-anggukkan kepalanya, lalu
berkata. "Hai! Kau telah sebut beberapa kali nama-
ku. Kenapa masih bertanya lagi"!"
"Kau jangan coba-coba mengalihkan uru-
san! Lekas jawab tanyaku!" Kali ini yang keluarkan bentakan adalah Malaikat
Berdarah Biru. Mungkin berpikir agar urusan dengan Ma-
laikat Berdarah Biru cepat selesai, lalu mengorek
perempuan yang bernama Nyi Mentul, si pemuda
berjubah hitam merah menjawab.
"Aku Gembong Raja Muda! Kau sendiri sia-
pa"!" Mungkin karena selama ini tidak lagi turun ke arena rimba persilatan
membuat Malaikat Berdarah Biru tak tahu siapa adanya manusia yang
bergelar Gembong Raja Muda, hingga tatkala si
pemuda menyebut siapa dirinya, Malaikat Berda-
rah Biru tak menunjukkan paras terperanjat. Se-
baliknya dia tersenyum dingin bahkan tidak me-
mandang! Di pihak lain, Nyi Mentul terlihat angguk-
kan kepalanya perlahan. Lalu keluarkan batuk-
batuk kecil beberapa kali.
Karena ditunggu agak lama Malaikat Berda-
rah Biru belum juga balik mengatakan siapa di-
rinya, Gembong Raja Muda, tokoh muda bekas
murid Ageng Panangkaran yang lantas berguru
pada Bawuk Raga Ginting dan mempunyai den-
dam kesumat dengan Pendekar Mata Keranjang
108 karena gadis yang dicintainya menyukai Pen-
dekar murid Wong Agung, membentak lantang.
(Tentang Gembong Raja Muda, silakan baca serial
Pendekar Mata Keranjang 108 dalam episode:
"Gembong Raja Muda').
"Kalau kau tak mau sebutkan siapa dirimu
tak apa-apa! Tapi cepat kau tinggalkan tempat ini!"
Kedua tangan Malaikat Berdarah Biru tiba-
tiba mengembang keluarkan suara gemeretakan.
Sepasang matanya merah berkilat-kilat. Rahang-
nya mengembung besar, pertanda hawa kemara-
han telah menguasai dirinya.
"Gembong! Dengarkan baik-baik. Kau saat
ini sedang berhadapan dengan Malaikat Berdarah
Biru!" kata Malaikat Berdarah Biru dengan suara setengah berteriak.
Gembong Raja Muda sejenak coba mengua-
sai keterkejutannya. Dia menahan gerak kakinya
yang hendak tersurut ke belakang. Namun demi-
kian dadanya tidak dapat menahan debarannya
yang keras hingga saat itu juga tubuhnya sedikit
terguncang. Dia seakan hampir tak percaya den-
gan apa yang baru saja didengarnya.
"Hmm.... Jadi kabar tentang kematiannya
selama ini hanya bohong belaka. Nyatanya manu-
sianya masih hidup! Aku akan waspada, menurut
apa yang pernah kudengar, manusia ini kejam dan
licik serta berilmu tinggi!" Gembong Raja Muda berkata dalam hati. Lalu sambil
mendengus keras
dia berkata. "Aku gembira dapat bertemu dengan tokoh
muda yang bernama besar! Dan sungguh tak dis-
angka, ternyata manusianya masih hidup!"
Malaikat Berdarah Biru tertawa terbahak-
bahak mendengar ucapan Gembong Raja Muda.
Seraya usap-usap dadanya dia berujar datar.
"Malaikat Berdarah Biru tak akan ditakdir-
kan tewas sebelum menguasai rimba persilatan!
Malaikat Berdarah Biru tak akan berkalang tanah
sebelum segala cita-citanya terlaksana! Kau den-
gar"!" "Sombong benar manusia ini! Aku hanya dengar tentang kehebatan ilmunya
dari mulut orang. Aku ingin tahu, sampai di mana kebenaran
ucapan orang-orang itu!"
Gembong Raja Muda ikut-ikutan usap-usap
dadanya. Mulutnya membuka hendak berkata,
namun sebelum suaranya terdengar, Nyi Mentul
telah menyela. "Hai! Kau bilang punya cita-cita. Boleh aku
tahu apa cita-citamu"!"
Entah karena ingin menunjukkan pada
orang, atau karena termakan kata-kata Nyi Men-
tul, Malaikat Berdarah Biru langsung menjawab.
"Malaikat Berdarah Biru akan menjadi raja
di raja dunia persilatan. Akan menumbangkan
siapa saja yang menghalangi langkahnya! "
"Kau!" ujar Nyi Mentul dengan hadapkan
wajahnya pada Gembong Raja Muda. "Apakah juga punya cita-cita demikian"! Ingin
menjadi raja rimba persilatan seperti dia"!" Nyai Mentul arahkan wajahnya pada
Malaikat Berdarah Biru.
"Lidah tidak bertulang. Siapa saja bisa
ngomong ingin menguasai rimba persilatan. Na-
mun kalau hanya omong tanpa tunjukkan il-
munya, mana orang bisa percaya"!"
"Betul! Mana orang percaya kalau hanya di
mulut saja. Jangan-jangan besar di mulut tapi ke-
cil di bawah perut! Astaga. Aku jadi salah ucap!
Yang kumaksud...."
Nyi Mentul yang memanas-manasi Malaikat
Berdarah Biru tak selesaikan ucapannya karena
saat itu juga Malaikat Berdarah Biru telah menyela dengan hardikan keras.
"Akan kutunjukkan padamu bagaimana
Malaikat Berdarah Biru kelak akan menumbang-
kan orang yang menghadang langkahnya!"
Belum selesai dengan ucapannya, tangan
Malaikat Berdarah Biru telah bergerak menghan-
tam ke arah Gembong Raja Muda lepaskan puku-
lan tangan kosong jarak jauh bertenaga dalam.
Wuuttt! Serangkum angin dahsyat menggebrak den-
gan keluarkan suara menggemuruh laksana ge-
lombang prahara.
Di depan sana, Gembong Raja Muda tam-
pak tenang. Pemuda ini telah dengar tentang Ma-
laikat Berdarah Biru, hingga dia tak berani gega-
bah. Maka begitu melihat Malaikat Berdarah Biru
telah lepaskan pukulan, pemuda ini segera kerah-
kan tenaga dalam, lalu kedua tangannya disentak-
kan ke depan. Wuuttt! Gelombang angin bak hempasan ombak me-
lesat keluar dari tangan Gembong Raja Muda.
Blaaarrr! Terdengar dentuman keras ketika dua pu-
kulan yang telah sama-sama dialiri tenaga dalam
itu bertemu di udara. Tempat itu bergetar laksana
dilanda gempa. Tubuh Malaikat Berdarah Biru terlihat su-
rut satu langkah ke belakang. Wajahnya sedikit
berubah dengan rahang makin mengembung. Pe-
muda bekas murid Bidadari Telapak Setan dan
Bayangan Iblis ini maklum jika pemuda bergelar
Gembong Raja Muda tidak bisa dianggap enteng,
karena bersamaan dengan bentroknya pukulan,
tangannya terasa kesemutan, dadanya sedikit se-
sak dan bergetar. Di lain pihak, Gembong Raja
Muda mundur sampai dua langkah. Paras mu-
kanya pucat. Sepasang matanya membeliak. Pe-
muda ini mulai yakin jika kabar yang didengarnya
selama ini benar adanya, jika Malaikat Berdarah
Biru adalah manusia berkepandaian tinggi. Karena
ketika terjadi bentrok tenaga dalam melalui puku-
lan tangan kosong tadi, kedua tangannya kontan
terasa ngilu bukan main. Aliran darahnya terasa
seakan terhenti.
Sementara itu, begitu melihat kedua pemu-
da sudah saling keluarkan pukulan masing-
masing, Nyi Mentul menyingkir agak jauh seraya
berteriak seakan ngeri.
"Hmm.... Jahanam ini rupanya punya bekal
juga! Ini saatnya bagiku mencoba ilmu yang baru
saja kuperoleh!" gumam Malaikat Berdarah Biru dengan perlihatkan seringai
garang, lalu berkata
dengan pandangannya ke arah jurusan lain.
"Gembong Raja Muda! Kau menggelari diri
dengan sebutan Gembong. Tentunya kau seorang
pentolan! Coba tunjukkan padaku kehebatan yang
kau miliki! Aku curiga jangan-jangan kau hanya
gembongnya kecoa-kecoa tak berguna!"
"Aku setuju! Aku juga khawatir. Siapa tahu
namanya itu hanya mengada-ada! Memakai nama
seseorang yang memang pernah kesohor!" Nyi
Mentul ikut-ikutan angkat bicara, membuat dada
Gembong Raja Muda panas terbakar.
Didahului bentakan keras kontan saja
Gembong Raja Muda sentakkan kedua tangannya.
Kali ini dengan pengerahan tenaga hampir selu-
ruhnya. Hingga kejap itu juga dari kedua tangan-
nya menyambar keluar gelombang angin dahsyat
keluarkan suara yang memekakkan gendang telin-
ga!

Pendekar Mata Keranjang 22 Laskar Dewa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Makan pukulanku ini!" teriak Gembong Ra-ja Muda begitu mengetahui pukulannya
menyam- bar dan Malaikat Berdarah Biru tidak membuat
gerakan untuk menangkis atau menghindar.
Di sebelah samping, Nyi Mentul tampak
membeliakkan sepasang matanya begitu mendapa-
ti Malaikat Berdarah Biru diam tak bergerak, pa-
dahal pukulan lawan telah menyergapnya!
"Gila! Apa dia memang ingin putus nya-
wanya"!" gumamnya seraya memperhatikan den-
gan dahi berkerut dan tarik-tarik kedua kuncir
rambutnya. Tiba-tiba Gembong Raja Muda keluarkan
tawa panjang dan Nyi Mentul keluarkan seruan
nyaring tatkala Malaikat Berdarah Biru benar-
benar tidak bergerak dari tempatnya. Bahkan juga
tidak membuat gerakan untuk menangkis! Hingga
tanpa ampun lagi pukulan bertenaga dalam tinggi
yang dilepas Gembong Raja Muda menghajar tu-
buhnya dengan telak!
Terdengar seruan pelan dari mulut Malaikat
Berdarah Biru tatkala pukulan itu menghajarnya.
Tubuhnya mencelat mental hingga beberapa tom-
bak ke belakang, lalu menghempas jatuh di atas
tanah! Gembong Raja Muda makin keras tertawa,
sementara Nyi Mentul hanya bisa geleng-geleng
kepala tak habis pikir.
Selagi kedua orang ini dilanda perasaan
masing-masing, di seberang sana tiba-tiba tubuh
Malaikat Berdarah Biru bergerak-gerak. Untuk se-
jurus pemuda ini meneliti tubuhnya. Merasa tidak
ada yang cidera, bibirnya sunggingkan senyum.
"Hmm.... Aku benar-benar kebal pukulan!" bisiknya pelan. Lalu dengan tengadahkan
kepala dia bergerak bangkit! Membuat Gembong Raja Muda
dan Nyi Mentul sama beliakkan mata masing-
masing. Malah seolah tak percaya dengan pengli-
hatan matanya, Gembong Raja Muda usap-usap
matanya. Sementara Nyi Mentul keluarkan guma-
man yang tak jelas, namun paras mukanya jelas
tak bisa sembunyikan rasa kagetnya!
"Edan! Benar-benar edan! Bagaimana
mungkin mendapat pukulan yang pasti bertenaga
dalam kuat begitu masih bisa bangkit dan tidak
cidera sama sekali" Ini harus segera dicari penye-
babnya. Jika terlambat, rimba persilatan akan
guncang lagi! Belum lagi dengan munculnya ma-
nusia gila yang menyebut dirinya Dewa Maut!
Hm.... Rimba persilatan benar-benar diambang
bencana malapetaka...." Diam-diam Nyi Mentul
berkata sendiri sambil terus mengawasi Malaikat
Berdarah Biru yang kini telah tegak berdiri kacak
pinggang tanpa memandang Gembong Raja Muda.
Di seberang, Gembong Raja Muda meski di-
am-diam keringat dingin mulai membasahi leher
dan tengkuknya, namun dia tidak begitu saja
mundur. "Dia tak mempan dengan pukulanku, apa-
kah dia akan sanggup menahan jurus 'Sapu Bu-
mi'"!" batin Gembong Raja Muda lalu kerahkan tenaga dalam pada kedua kakinya
hendak lancarkan
jurus 'Sapu Bumi' yang berhasil dipelajarinya dari Bawuk Raga Ginting.
"Gembong! Ternyata kau cuma gembongnya
tikus! Tak pantas kau menggunakan nama Gem-
bong Raja Muda kalau hanya jadi gembongnya ti-
kus! Ha...ha... ha...!"
Tiba-tiba Malaikat Berdarah Biru hentikan
tawanya. Kepalanya lurus dengan sepasang mata
menyengat tajam ke arah Gembong Raja Muda.
Bibirnya sunggingkan senyum sinis. Lalu meludah
ke tanah. Bersamaan dengan itu kedua tangannya
bergerak mendorong ke depan.
Wuuuttt! Sinar hitam melesat dengan keluarkan sua-
ra gemuruh keras. Suasana mendadak pekat dan
panas dan tampak beberapa kilatan-kilatan mena-
kutkan! "'Bayu Sukma'!" seru Nyi Mentul mengenali pukulan yang dilepaskan Malaikat
Berdarah Biru. Namun sekejap kemudian, perempuan berdandan
menor ini takupkan tangannya pada mulutnya.
Dia lalu memaki sendiri.
"Sialan! Kenapa aku bisa keceplosan omong.
Kalau dia mendengar maka akan celaka aku!
Hm.... Sebaiknya aku...," Nyi Mentul tidak meneruskan makiannya. Dia memandang
berkeliling seakan menembusi kepekatan yang diakibatkan
pukulan Malaikat Berdarah Biru.
Mendapati serangan ganas, Gembong Raja
Muda sempat terkesiap. Namun pemuda ini segera
bertindak cepat. Sebelum sinar hitam dan kilatan-
kilatan itu menghajar tubuhnya, dia berseru keras.
Lalu dengan kerahkan seluruh tenaga dalamnya
kedua tangannya dihantamkan ke depan. Bersa-
maan dengan itu tubuhnya melesat ke samping
untuk menghindar.
Terdengar gelegar dahsyat. Tempat itu ber-
getar keras. Tanah tersibak, dan sebagian ber-
hamburan ke udara menambah pekatnya peman-
dangan. Tubuh Gembong Raja Muda yang meski te-
lah menghindar dengan segera meloncat ke samp-
ing tak luput dari sambaran pukulan Malaikat
Berdarah Biru. Hingga meski tidak terhajar telak,
namun tubuhnya melayang mental dan jatuh ber-
gedebukan di atas tanah dengan mulut keluarkan
darah segar! Di lain pihak, Malaikat Berdarah Biru tak
bergeming dari tempatnya semula! Pemuda ini
hanya sempat goyah sebentar, namun segera da-
pat menguasai diri lagi.
Begitu udara terang kembali dan tanah te-
lah sirap luruh, sepasang mata Malaikat Berdarah
Biru segera menyorot tajam dengan dada bergetar
keras. Bukan karena mendapati Gembong Raja
Muda masih bisa bangkit meski dengan tertatih-
tatih. Namun karena dia mendengar seruan Nyi
Mentul yang menyebut pukulan yang dilepaskan-
nya! "Jahanam! Perempuan itu benar-benar te-
lah menipuku! Karena hanya dua orang yang men-
getahui pukulanku! Guruku dan Pendekar Mata
Keranjang! Jangan-jangan perempuan itu ada-
lah...." Malaikat Berdarah Biru berkelebat ke arah mana tadi Nyi Mentul berada,
namun pemuda ini
segera saling pukulkan kedua tangannya yang su-
dah mengepal tatkala dia tak menemukan lagi Nyi
Mentul meski sepasang matanya telah menyapu ke
berbagai sudut di tempat itu!
"Keparat!" umpat Malaikat Berdarah Biru
seraya bantingkan kakinya. Tanah di bawahnya
langsung terbongkar dan bergetar keras. Kini per-
hatiannya tertumpah pada Gembong Raja Muda
yang telah bangkit berdiri sambil usap-usap darah
yang keluar dari mulutnya.
"Gembong Jahanam! Kalau tidak muncul
kau, tentu aku sudah bisa menelanjangi dan
membuka kedok perempuan sinting tadi!"
Gembong Raja Muda hanya memandang
tanpa ucapkan sepatah kata pun. Pemuda ini ma-
sih alirkan hawa murni ke dada dan sebagian tu-
buhnya yang peredaran darahnya terasa panas
dan laksana tersumbat.
"Gembong Keparat! Karena kau telah buat
kesalahan, maka tiada imbalan yang kupinta se-
lain selembar nyawamu!"
Selesai berkata, Malaikat Berdarah Biru me-
ludah ke tanah. Lalu kedua tangannya diangkat
tinggi-tinggi hendak lepaskan pukulan.
"Tunggu!" tiba-tiba terdengar seruan menahan. Baik Gembong Raja Muda yang telah
me- rinding maupun Malaikat Berdarah Biru yang se-
gera ingin melepaskan pukulan segera palingkan
wajah masing-masing ke samping kanan dan kiri.
ENAM KEDUA pemuda ini sama-sama melihat seo-
rang perempuan tua berambut panjang hingga be-
tis dan sudah memutih. Pakaian yang dikenakan-
nya berupa baju panjang dari sutera berwarna hi-
tam. Pada kedua tangannya tampak melingkar be-
berapa gelang berwarna kuning.
Untuk beberapa saat lamanya Gembong Ra-
ja Muda dan Malaikat Berdarah Biru sama men-
duga-duga dalam hati siapa adanya nenek ini.
Namun kedua pemuda ini gagal untuk mengena-
linya. Hingga tak lama kemudian Malaikat Berda-
rah Biru keluarkan teguran dengan suara keras.
"Siapa kau" Jangan coba-coba menghalangi
tindakanku! Atau tubuhmu akan kuhancurkan
sekalian!"
Nenek yang dibentak keluarkan tawa men-
gekeh hingga bahunya berguncang keras mengaki-
batkan gelang-gelang di tangannya bergerak-gerak
beradu sama lain keluarkan suara gemerincing.
Setelah tawanya berhenti, si nenek berpaling pada
satu persatu pemuda di sampingnya. Kepalanya
lantas berhenti lurus menatap Malaikat Berdarah
Biru. "Anak muda! Soal siapa diriku nanti pasti akan kuberitahukan padamu! Yang
kuharap sekarang kau dan pemuda itu harus sudahi urusan
sampai di sini saja!"
Malaikat Berdarah Biru keluarkan dengu-
san keras. Sepasang matanya balas memandang
ke arah si nenek dengan tatapan menyelidik.
"Setan Alas! Kau akan ikut campur urusan-
ku! Katakan, apa sangkut pautmu dengannya!
Muridmu" Atau kau adalah perempuan simpa-
nannya" Hah..."!"
Si nenek bukannya marah mendengar uca-
pan Malaikat Berdarah Biru, sebaliknya dia kem-
bali keluarkan tawa panjang. Di lain pihak, Gem-
bong Raja Muda terlihat marah besar. Mulutnya
terkancing rapat dengan dada bergetar keras. Peli-
pisnya bergerak-gerak dengan kedua tangan men-
gepal. Namun pemuda ini belum buka mulut. Dia
menunggu karena saat itu juga si nenek terdengar
angkat bicara lagi.
"Anak muda! Aku tak ada sangkut-paut
apa-apa dengan pemuda itu!"
"Hmm.... Begitu" Jika demikian, lekas ang-
kat kaki dari sini!" sergah Malaikat Berdarah Biru.
Si nenek gelengkan kepalanya perlahan. Si
nenek yang bukan lain adalah Iblis Gelang Kema-
tian sebenarnya sudah agak lama di sekitar tempat
itu. Dia sengaja mendekam bersembunyi seraya
mencuri dengar perdebatan antara Malaikat Ber-
darah Biru, Gembong Raja Muda, serta Nyi Men-
tul. Dia pun sebenarnya amat terkejut tatkala ke-
luar dari persembunyiannya tidak lagi melihat
orang yang namanya Nyi Mentul. Namun karena
menganggap dua pemuda di hadapannya kini lebih
penting, maka kepergian Nyi Mentul tidak lagi
menjadi perhatiannya lagi.
"Anak muda! Tanpa kau suruh aku pun
nanti akan pergi! Namun satu hal yang harus ka-
lian ketahui, jika kalian teruskan urusan ini maka bukan hanya kecewa yang akan
kalian alami, namun rencana kalian masing-masing juga akan
mengalami kegagalan!"
"Keparat! Tahu apa kau tentang rencanaku"
He..."!" hardik Malaikat Berdarah Biru meski dalam hati bertanya-tanya dari mana
si nenek tahu tentang apa yang direncanakannya.
Untuk kesekian kalinya Iblis Gelang Kema-
tian hanya tertawa meski didengarnya ucapan Ma-
laikat Berdarah Biru tidak enak di telinga.
"Hmm.... Dua pemuda ini kalau dilihat dari
ucapan-ucapannya sama-sama berwatak som-
bong. Namun melihat pukulan yang telah dilan-
carkan, mereka punya ilmu tidak sembarangan....
Aku akan menggiring mereka untuk bertemu di
Lembah Supit Urang!"
Memikir sampai di situ, Iblis Gelang Kema-
tian lantas berujar datar.
"Malaikat Berdarah Biru dan kau Gembong
Raja Muda. Dengar baik-baik! Menjadi raja rimba
persilatan adalah dambaan semua orang yang me-
rasa dirinya punya ilmu. Tapi untuk menuju ke
sana, tidak cukup jika hanya berbekal ilmu!"
Baik Malaikat Berdarah Biru dan Gembong
Raja Muda sama terkesiap mendapati si nenek ta-
hu nama masing-masing. Dahi masing-masing
pemuda ini sama mengernyit, membuat Iblis Ge-
lang Kematian tunjukkan senyum seolah berada di
atas angin. "Orang tua! Kau tak usah memberi nasihat!
Dan katakan siapa kau sebenarnya!" ujar Malaikat
Berdarah Biru dengan memperhatikan si nenek
dari ujung rambut sampai kaki.
"Aku tak memberi nasihat! Aku hanya
memberi tahu. Karena langkah-langkah kalian
nanti banyak yang akan menghadangnya! Belum
lagi jika kalian punya dendam pada seseorang


Pendekar Mata Keranjang 22 Laskar Dewa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang harus kalian tuntaskan. Apalagi jika dendam
itu pada orang yang berada di haluan lain!"
Mungkin merasa ucapan si nenek ada
sangkut-pautnya dengan yang akan mereka hada-
pi, kedua orang ini tak menyambuti kata-kata Iblis Gelang Kematian. Mereka
seolah memberi kesempatan pada si nenek untuk meneruskan ucapan-
nya. Si nenek pun tampaknya menangkap hal itu.
Hingga tak lama kemudian si nenek lanjutkan
ucapannya. "Sebelum kuteruskan kata-kataku, boleh
aku tahu. apakah di antara kalian ada yang men-
gemban tugas balas dendam pada seseorang"!"
"Itu bukan urusanmu!" sahut Malaikat Berdarah Biru.
"Benar! Itu bukan urusanku. Tapi sebagai
orang satu golongan, tak ada ruginya kalian mem-
beritahu. Siapa tahu aku bisa membantu. Setidak-
tidaknya memberitahu di mana orang itu berada!"
"Orang tua! Aku memang punya dendam
pada seseorang. Tapi tak usah kamu ketahui siapa
orangnya! Untuk membunuhnya aku tak perlu
bantuan orang lain! Katakan saja apa maksudmu
sebenarnya! Aku tak punya banyak waktu!" Yang keluarkan kata-kata adalah Gembong
Raja Muda. "Hmm.... Bagus! Untuk kau, Malaikat Ber-
darah Biru tak usah memberitahu, semua orang
sudah mengerti jika kau punya urusan besar den-
gan pemuda bergelar Pendekar Mata Keranjang
108!" Malaikat Berdarah Biru sunggingkan se-
nyum dingin. "Perlu kukatakan pada kalian. Pada malam
purnama depan, tepatnya hari keempat belas, de-
lapan belas hari di muka akan ada pertemuan an-
tara tokoh-tokoh sealiran kita di Lembah Supit
Urang. Kalau di antara kalian ada yang sempat
kuharap kalian mau datang ke sana!"
"Untuk merajai rimba persilatan, aku tak
butuh segala macam pertemuan! Pertemuan hanya
menunjukkan bahwa orang itu takut melangkah
sendiri!" kata Malaikat Berdarah Biru dengan alihkan pandangannya pada jurusan
lain. "Kau salah. Pertemuan itu untuk menyusun
siasat bagaimana menaklukkan orang-orang go-
longan putih terutama Pendekar 108 yang kini di
kelilingi beberapa tokoh aneh yang ilmunya tak di-
ragukan lagi!"
Malaikat Berdarah Biru dan Gembong Raja
Muda sama-sama terkejut mendengar keterangan
Iblis Gelang Kematian. Dan sebelum rasa kejut
masing-masing orang ini lenyap, si nenek telah
lanjutkan keterangannya.
"Aku tahu. Kalian mempunyai ilmu tinggi.
Namun dengan munculnya beberapa tokoh yang
secara tak langsung membantu Pendekar 108, ku-
rasa terlalu berat menghadapi mereka dengan
mengandalkan tangan sendiri! Dan menyebut diri
raja rimba persilatan hanya omong kosong belaka
jika tidak lebih dahulu menyingkirkan Pendekar
108 dan para pembantunya!"
Malaikat Berdarah Biru dan Gembong Raja
Muda sama terdiam. Mereka sama larut dalam pe-
rasaan masing-masing.
"Nah, itulah yang perlu kusampaikan pada
kalian. Dan harap kalian sudahi urusan ini! Kalian bisa teruskan nanti di Lembah
Supit Urang. Di
mata beberapa tokoh nanti, kalian bisa tunjukkan
siapa di antara kalian yang lebih jago!"
Habis berkata demikian, iblis Gelang Kema-
tian putar tubuhnya hendak tinggalkan tempat itu.
Namun langkahnya tertahan ketika Malaikat Ber-
darah Biru keluarkan seruan keras.
"Tunggu! Sebutkan dulu siapa kau!"
Iblis Gelang Kematian tertawa pelan. Tanpa
balikkan tubuhnya lagi dia berkata.
"Orang-orang memanggilku Iblis Gelang
Kematian!" sejenak dia putuskan ucapannya. Sesaat kemudian menyambung.
"Masih ada yang ingin kalian tanyakan"!"
Malaikat Berdarah Biru dan Gembong Raja
Muda tak ada yang buka mulut.
"Baik. Aku masih harus menghubungi te-
man yang lain. Sampai bertemu lagi di Lembah
Supit Urang!" selesai berkata, Iblis Gelang Kematian berkelebat tinggalkan
tempat itu. Saat mendengar si nenek sebutkan siapa di-
rinya, Gembong Raja Muda terlihat surutkan lang-
kah ke belakang dengan mata makin membeliak
tanda terkejut. Dia memang telah pernah dengar
tentang tokoh itu. Sementara Malaikat Berdarah
Biru mungkin karena belum pernah mendengar,
hanya tenang-tenang saja meski dia yakin bahwa
si nenek adalah seorang tokoh, karena banyak
mengetahui seluk-beluk rimba persilatan.
"Hmm.... Undangan ini rasanya pantas di-
hadiri. Di sana akan kutunjukkan siapa Malaikat
Berdarah Biru! Dengan demikian, tokoh-tokoh go-
longan hitam akan berada di bawah kekuasaanku!
Dan itu akan memperlicin jalanku menggenggam
rimba persilatan."
Kalau Malaikat Berdarah Biru membatin
demikian, lain halnya apa yang ada di benak Gem-
bong Raja Muda.
"Sebenarnya aku tak tertarik dengan un-
dangan ini. Tapi tak ada ruginya datang ke sana.
Selain tahu tentang keberadaan Pendekar 108,
aku juga bisa mengerti siapa sebenarnya lawan
dan mana yang kawan."
"Gembong!" tiba-tiba Malaikat Berdarah Bi-ru berkata. "Sebenarnya aku ingin
menyelesaikan kau saat ini juga, namun melihat robohnya tubuhmu di hadapan
beberapa orang mungkin lebih
enak dipandang! Kalau kau laki-laki tulen kutung-
gu kau di Lembah Supit Urang!"
Tanpa menunggu jawaban Gembong Raja
Muda, Malaikat Berdarah Biru segera berkelebat
meninggalkan tempat itu.
"Jahanam! Kita buktikan nanti siapa yang
akan roboh di sana!" teriak Gembong Raja Muda lantang karena Malaikat Berdarah
Biru sudah tinggalkan tempat itu, lalu pukulkan kedua tan-
gannya ke tanah. Tanah itu langsung muncrat lak-
sana air dan berhamburan ke udara!
TUJUH DARI lobang galian tanah sedalam satu
tombak, Nyi Mentul mengkerut dengan melingkar-
kan tubuhnya. Tanah di bibir lobang berhamburan
jatuh menguruk tubuhnya bersamaan dengan ter-
dengarnya benturan dan bergetarnya tempat di
mana dia berada.
Sebenarnya, ketika terjadi pertarungan an-
tara Malaikat Berdarah Biru dan Gembong Raja
Muda, saat mana Malaikat Berdarah Biru lepaskan
pukulan sakti 'Bayu Sukma' dan suasana pekat,
Nyi Mentul segera berkelebat. Mungkin takut ke-
pergiannya segera diketahui, maka tatkala sepa-
sang matanya melihat sebuah lobang tak jauh dari
tempat itu, dia tanpa pikir panjang segera melesat dan masuk ke dalam lobang.
Ketika Malaikat Berdarah Biru berkelebat
pergi meninggalkan tempat itu, ucapannya sempat
membuat marah Gembong Raja Muda, hingga ber-
samaan dengan itu Gembong Raja Muda hantam-
kan kedua tangannya ke tanah, hingga tanah di
sekitar tempat itu bergetar keras, membuat tanah
di bibir lobang tempat Nyi Mentul luruh ke bawah
dan menguruk tubuhnya.
Begitu luruhan tanah dari bibir lobang ter-
henti, sambil menggumam tak jelas, Nyi Mentul
bergerak-gerak menyeruak dari urukan tanah. Se-
telah kepalanya nongol, dia menarik napas dalam-
dalam. Kepalanya yang mengenakan dua kuncir di
atas disentakkan ke samping kanan kiri mengi-
baskan tanah yang meraupi kepalanya.
Untuk beberapa saat lamanya Nyi Mentul
diam tak bergerak. Sepasang telinganya ditajam-
kan. Sementara kepalanya tengadah ke atas, sepa-
sang matanya jelalatan kian kemari memperhati-
kan keadaan di atas lobang.
"Hmm.... Mereka hendak mengadakan se-
buah pertemuan di Lembah Supit Urang. Gila! Ini
pasti pertemuan besar jika yang mengundang ada-
lah Iblis Gelang Kematian! Rimba persilatan benar-
benar di ambang pintu yang membahayakan...,"
Nyi Mentul membatin dalam hati. Dia tak segera
keluar dari dalam lobang. Dia tampaknya masih
takut jika Gembong Raja Muda masih berada di
tempat itu, hingga untuk beberapa saat lamanya
dia hanya duduk dengan kepala nongol sementara
tubuhnya teruruk tanah.
Setelah agak lama dan merasa tak ada lagi
orang di tempat itu, Nyi Mentul bergerak bangkit.
Dadanya masih berdebar, khawatir kalau masih
ada orang. Perlahan-lahan kepalanya nongol dari da-
lam lobang. "Hmm.... Rupanya manusia-manusia itu te-
lah pergi...," bisiknya dengan senyum mengem-
bang. Namun baru saja lehernya terjulur dari da-
lam, terdengar suara tawa mengekeh panjang ber-
sahut-sahutan! Laksana disambar petir di siang belong, Nyi
Mentul segera tarik kembali kepalanya ke bawah.
Paras mukanya berubah pucat pasi. Dadanya ber-
detak makin keras.
"Busyet! Ternyata perkiraanku keliru. Mere-
ka rupanya telah menyiasati diriku. Pura-pura
pergi padahal masih nongol di situ! Jelas sekali
suara tawa tadi terdengar juga suara tawa perem-
puan. Ini pasti Iblis Gelang Kematian. Bagaimana
sekarang" Celaka.... Celaka betul!"
Nyi Mentul lantas meraba ke balik pakaian-
nya. "Hmm.... Apa hendak dikata. Kalau memang mereka marah aku akan memberi
alasan. Dan kalau mereka hendak mengorek, terpaksa aku akan
melawannya.... Sialan!"
Berpikir sampai di situ, perlahan-lahan pula
Nyi Mentul bergerak lagi ke atas. Tubuhnya terli-
hat bergemetaran. Sementara suara tawa masih
bersahut-sahutan di tempat itu, membuat Nyi
Mentul semakin yakin jika mereka menertawainya
dan mungkin akan segera menghantamnya. Diam-
diam, sambil bangkit dari dalam lobang, Nyi Men-
tul kerahkan tenaga dalam.
Ketika kepalanya menyeruak keluar, kepala
itu disertai dua tangan yang melindungi seolah ta-
kut dihantam, membuat suara tawa semakin ber-
gerai-gerai. Namun Nyi Mentul menarik napas lega
tatkala dia tidak merasakan angin yang menyam-
bar menyerang ke arahnya. Tapi hal itu belum
membuat Nyi Mentul lepas dari rasa khawatir.
Hingga meski lehernya telah berada di atas lobang, dia tetap melindungi
kepalanya dari hantaman
dengan kedua tangannya.
Mungkin merasa orang tidak akan meng-
hantam, maka untuk menghindari segala ke-
mungkinan, Nyi Mentul segera lesatkan tubuhnya
ke atas. Dan dengan terhuyung-huyung seolah
hendak jatuh terjerembab akhirnya dia mendarat.
Perempuan berdandan menor ini tidak segera ber-
paling ke arah datangnya suara tawa. Sebaliknya
dia duduk mengelosoh dengan kedua tangan di
atas kepala seolah seperti orang minta dikasihani.
Namun demikian, diam-diam perempuan ini siap
siaga dengan segala kemungkinan yang akan me-
nimpa dirinya. Tiba-tiba suara tawa panjang bersahut-
sahutan terhenti. Dada Nyi Mentul makin berde-
bar. Dia merasa akan segera mendapat bentakan
dan hardikan, malah tidak mustahil sebuah puku-
lan! Namun apa yang diduga Nyi Mentul tidak
jadi kenyataan. Suasana di tempat itu sunyi sepi.
Namun cuma sesaat. Saat berikutnya terdengar
lagi suara tawa bergelak-gelak.
Mungkin merasa tak sabar, Nyi Mentul se-
gera berpaling ke arah datangnya suara. Sejenak
sepasang mata Nyi Mentul membelalak. Darahnya
seakan tersirap. Mulutnya komat-kamit. Dan tak
lama kemudian dari mulutnya terdengar makian
panjang pendek tak habis-habisnya, meski wajah-
nya seketika berubah cerah.
"Sialan! Ternyata mereka!"
Lima belas langkah ke samping Nyi Mentul,
tampak tertawa terbahak-bahak tiga orang. Sebe-
lah kanan adalah seorang kakek dengan selem-
pang ikat pinggang besar yang diganduli beberapa
bumbung bambu. Di sebelahnya tegak seorang ga-
dis muda berparas cantik mengenakan pakaian
putih ketat, membayangkan lekukan tubuhnya
yang membentuk bagus. Di lehernya melingkar
untaian kalung dari bunga-bunga hitam. Sementa-
ra di depan kedua orang ini tampak seorang anak
perempuan yang berdiri seraya berkipas-kipas.
Rambutnya dikuncir beberapa buah dan diberi pi-
ta berwarna-warni. Mereka ini bukan lain adalah
Setan Arak, Ratu Sekar Langit dan Putri Kipas.


Pendekar Mata Keranjang 22 Laskar Dewa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Mereka rupanya sengaja mengerjaiku.
Awas, akan ganti kukerjai mereka!" gumam Nyi
Mentul, lalu Nyi Mentul bangkit berdiri sambil
menghardik dengan ucapan keras.
"Siapa kalian"! Kenapa tertawa-tawa" Apa
yang lucu. Hah..."!"
Ketiga orang yang dibentak bukannya sege-
ra menjawab dengan kata-kata. Melainkan keti-
ganya sama-sama keluarkan tawa, membuat Nyi
Mentul kembali keluarkan teguran keras.
"Kalau kalian tak segera jawab, jangan me-
nyesal jika kalian kumasukkan ke lobang itu!
Mengerti"!"
"Sandiwara bagus! Dari mana kau belajar"
Setan Arak ajukan tanya.
"Sandiwara"! Orang tua. Kau jangan main-
main. Aku tanya siapa kalian. Jangan alihkan
pembicaraan! Cepat jawab!" Nyi Mentul kembali menghardik. Sepasang matanya
melotot besar, memperhatikan ketiga orang di hadapannya.
Putri Kipas palingkan wajahnya pada Ratu
Sekar Langit. Seakan mengerti apa yang ada di be-
nak si anak perempuan, Ratu Sekar Langit geleng-
kan kepalanya perlahan. Sementara Setan Arak
agak sipitkan matanya. Lalu menenggak bumbung
bambu berisi arak yang ada di tangan kiri kanan-
nya. Karena masih tak ada yang menjawab, ak-
hirnya Nyi Mentul maju selangkah. Kedua tangan-
nya diangkat tinggi-tinggi.
"Kalian telah menertawaiku. Berarti kalian
menghinaku! Terimalah ini!"
Wuuutttt! Nyi Mentul sentakkan kedua tangannya se-
kaligus ke depan. Namun tampaknya sengaja di-
buat agak ke atas, hingga meski kejap itu juga
menyambar dua rangkum angin dahsyat yang ke-
luarkan suara menggemuruh keras, namun sam-
barannya tidak sampai membuat ketiga orang me-
nangkis. Namun hal ini telah menunjukkan bahwa
orang ini mempunyai ilmu yang tidak bisa dipan-
dang sebelah mata.
"Kalian telah lihat! Kalau kalian masih
bungkam, aku tak segan-segan mengarahkannya
pada tubuh kalian masing-masing!" ancam Nyi
Mentul. Di seberang, ketiga orang ini saling pan-
dang. "Rupanya memang bukan dia!" gumam Ratu Sekar Langit dengan wajah minta
pertimbangan pada Setan Arak.
Setan Arak anggukkan kepalanya. Mulutnya
yang mengembung terisi arak bergerak-gerak lalu
mengempis. "Memang bukan dia! Ayo kita pergi sa-ja!" kata Setan Arak. Lalu
menggaet tangan Putri Kipas dan diajaknya meninggalkan tempat itu.
Di seberang, Nyi Mentul tiba-tiba perden-
garkan suara tawa mengekeh panjang. "Jangan
berharap bisa tinggalkan tempat ini sebelum
memberitahu siapa adanya kalian, dan sebelum
kalian satu persatu menerima hukuman karena te-
lah menghinaku!"
Ketiga orang ini urungkan niat masing-
masing. "Lebih baik segera kita katakan apa yang
dimintanya. Daripada mencari urusan dengan
orang seperti dia!" usul Ratu Sekar Langit. Putri Kipas anggukkan kepalanya.
Sementara Setan
Arak hanya mendehem.
"Maafkan kami. Kami kira kau adalah saha-
bat kami. Ternyata dugaan kami keliru...," Ratu Sekar Langit membuka
pembicaraan. "Hm.... Begitu"! Teruskan ucapanmu!" Nyi Mentul menyahut agak ketus.
"Aku adalah Ratu Sekar Langit. Anak ini
bernama Putri Kipas. Sedang kakek ini disebut
orang Setan Arak...."
"Hmm.... Nama-nama bagus!" puji Nyi Men-
tul tanpa tersenyum. Tiba-tiba Nyi Mentul seseng-
gukkan. Dan tak lama kemudian kedua tangannya
telah bergerak menutupi wajahnya, membuat Ratu
Sekar Langit kernyitkan dahi. Sebelum gadis muda
berparas cantik ini buka suara untuk bertanya,
Nyi Mentul telah berujar di sela suara sesunggu-
kannya. "Malang.... Malang benar nasibku. Tidak se-
perti kalian. Hidup rukun bahagia. Pasangannya
serasi, punya anak mungil lagi.... Huk... huk...
huk.... Seandainya saja aku seperti kalian...."
Sesaat Ratu Sekar Langit mendelik. Lalu tak
lama kemudian bibirnya mengulas senyum, meski
dalam hatinya memaki panjang pendek dikira me-
reka pasangan suami istri.
"Hai! Kau bicara apa"! Kau sendiri siapa"!"
Ratu Sekar Langit menegur.
"Ah, kau. Cantik-cantik kurang pendenga-
ran. Aku bilang, kalian pasangan serasi...."
Ratu Sekar Langit meski tampak jengkel
namun tersenyum, sementara Setan Arak seperti
tak ambil peduli. Putri Kipas sesekali tersenyum
seraya memandang silih berganti pada Ratu Sekar
Langit dan Setan Arak.
"Kami bukan pasangan.... Tapi...."
"Bohong! Kalau bukan pasangan kenapa
bersama dia" Atau barangkali kau adalah keka-
sihnya" Huk... huk... huk...!"
"Itu juga bukan!" sahut Ratu Sekar Langit datar. Gadis ini sejenak melirik pada
Setan Arak. Yang dilirik sibuk dengan bumbung araknya.
"Kalau begitu kau belum punya kekasih!
Aku punya teman, seorang pemuda gagah. Bagai-
mana kalau...," Nyi Mentul tidak lanjutkan ucapannya. Dia memikir sejenak.
"Puaaahhh! Rupanya kau juga pintar jadi
mak comblang! Sayang.... Aku sudah tua. Jika ti-
dak, mau aku pesan padamu. Ha ha ha...!" Setan Arak menimpali, lalu sesaat
kemudian sudah teng-
gelam lagi dalam gelegukan araknya.
"Kau setuju tawaranku"!" Tiba-tiba Nyi
Mentul ajukan pertanyaan.
Ratu Sekar Langit gelengkan kepalanya per-
lahan. "Aku sudah punya pilihan!" jawabnya sing-kat. Lalu menggaet Putri Kipas
dan diajaknya hen-
dak pergi. "Siapa namanya"!" Nyi Mentul mengejar.
"Kau terlalu banyak ingin tahu! Itu urusan-
ku!" sahut Ratu Sekar Langit seraya terus melangkah dengan menggandeng tangan
Putri Kipas. "Ah, sayang. Padahal yang kutawarkan pa-
damu adalah seorang pemuda murid seorang to-
koh terkenal dari daerah yang namanya mirip den-
gan nama terakhirmu!" ucap Nyi Mentul seolah
menyesal. Ratu Sekar Langit tiba-tiba hentikan lang-
kahnya. Keningnya mengkerut.
"Namanya seperti nama terakhirku" Orang
yang terkenal selama ini yang nama tempatnya mi-
rip dengan nama terakhirku hanyalah Karang
Langit. Tempat Wong Agung. Guru...," gadis ini tidak melanjutkan kata hatinya.
"Hai! Kau tercenung. Kau tertarik dengan
tawaranku"!" Nyi Mentul segera ajukan tanya
tatkala dilihatnya Ratu Sekar Langit terdiam.
Namun sesaat kemudian Ratu Sekar Langit
telah melangkah kembali meski sebelumnya mena-
tap tajam ke arah Nyi Mentul dengan tatapan sulit
diartikan. Dada gadis ini tiba-tiba berdebar. Se-
mentara Nyi Mentul tampak tersenyum-senyum
dan usap-usap pipinya.
Empat langkahan kakinya, mendadak gadis
ini gelisah. Dan dengan perasaan tak karuan, dia
berpaling lagi ke belakang. Namun gadis cantik ini terkejut. Nyi Mentul sudah
tidak ada di tempatnya
semula! Sedangkan Setan Arak dan Putri Kipas te-
rus melangkah ke depan.
Ratu Sekar Langit putar kepalanya dengan
sepasang mata mencari-cari. Namun dia tak dapat
menemukan sosok perempuan berdandan menor
tadi. "Sial! Kenapa tak kutanyakan dulu siapa nama perempuan tadi" Ah...."
Selagi Ratu Sekar Langit mencari-cari ter-
dengar suara orang tertawa. Secepat kilat Ratu Se-
kar Langit berpaling. Dari balik sebuah batang po-
hon, Nyi Mentul melangkah terseok-seok sambil
tersenyum-senyum.
Sepasang mata Ratu Sekar Langit melotot
besar. Dadanya bergetar keras. Bukan karena ma-
rah melihat kemunculan Nyi Mentul, namun kare-
na melihat sebuah kipas berwarna ungu bergurat
angkat 108 di tangan kanan Nyi Mentul dan di-
buatnya berkipas-kipas. Sebuah kipas yang me-
nunjukkan bahwa pemegangnya bukan lain ada-
lah Aji alias Pendekar Mata Keranjang 108. Murid
Wong Agung dari Karang Langit!
DELAPAN MULUT Ratu Sekar Langit tampak memper-
dengarkan gumaman tak jelas. Wajahnya berubah
merah padam. Dalam hati gadis ini memaki tak
habis-habisnya. Sebenarnya gadis ini tadi sudah
curiga jika perempuan berdandan menor itu ada-
lah Aji. Namun karena sikap yang ditunjukkan si
perempuan lain, maka akhirnya dugaannya dia
kesampingkan. Nyi Mentul alias Pendekar Mata Keranjang
terus melangkah mendekat. Sementara Ratu Sekar
Langit tetap tegak diam seolah menunggu.
"Ratu...," panggil Aji setelah dekat begitu dilihatnya si gadis alihkan
pandangannya pada juru-
san lain dengan wajah memberengut.
"Kenapa kau mempermainkan aku"!" tegur
Ratu Sekar Langit. Suraranya agak keras dan ber-
nada ketus. Aji tak segera menjawab. Diusap-usapnya
hidungnya. Lalu mengelus-elus dua kuncir ram-
butnya. "Wah, tampaknya dia marah...," bisiknya.
Lalu murid Wong Agung ini melangkah ke depan,
mendekati Ratu Sekar Langit.
"Ratu Sekar Langit.... Maafkan jika hal tadi
membuatmu marah.... Aku hanya ingin menggoda
kalian" "Tapi godaanmu konyol! Tidak lucu!" sahut Ratu Sekar Langit cepat.
Sebenarnya gadis ini merasa malu pada Aji, karena ketika Aji menyamar
menjadi Nyi Mentul dan menggoda akan menjo-
dohkan dirinya dengan pemuda murid dari Karang
Langit yang tak lain adalah Aji, Ratu Sekar Langit tampak berubah parasnya. Hal
ini telah menunjukkan bagaimana perasaannya pada Aji.
"Hai! Kenapa kau berbuat konyol begini"
He..."!" Ratu Sekar Langit kembali menegur tatkala Aji hanya diam, malah seraya
cengengesan mempermainkan rambut dan pakaiannya yang gom-
brong kedodoran.
"Ceritanya panjang. Nanti saja kuceritakan.
Ayo kita segera menemui Setan Arak. Aku harus
segera berbuat sesuatu!" kata Pendekar 108. Lalu tanpa menunggu persetujuan dari
Ratu Sekar Langit, tangan gadis itu digaetnya dan digandeng
menyusul Setan Arak dan Putri Kipas.
"Kek! Tunggu!" seru Aji. Seraya lambaikan tangan kanan sementara tangan satunya
menggandeng tangan Ratu Sekar Langit. Meski hatinya
masih jengkel, namun gadis ini tak menolak saat
tangan Aji menggandeng tangannya
Setan Arak tak berpaling. Namun Putri Ki-
pas segera menoleh. Dan begitu melihat Ratu Se-
kar Langit melangkah bergandengan dengan pe-
rempuan berdandan menor, Putri Kipas segera ke-
luarkan tawa bergelak-gelak.
"Eyang.... Lihat. Kedua orang itu. Mereka
sepertinya sahabat lama yang baru ketemu!"
"Ya, memang mereka sahabat lama. Jadi tak
perlu heran!" jawab Setan Arak tanpa menoleh pa-da Putri Kipas.
"Jadi, perempuan tadi memang Pendekar
Mata Keranjang 108"!"
"Apakah aku pernah berkata tak benar"!"
Setan Arak balik bertanya pada Putri Kipas, mem-
buat gadis kecil itu manggut-manggut.
Putri Kipas lantas memandang ke depan.
Tiba-tiba dia berseru.
"Eyang.... Itu ada sebuah gubuk. Kita istira-
hat di sana sambil menunggu mereka! Rupanya
mereka melangkah pelan-pelan dan terus bergan-
dengan tangan."
"Sudahlah. Jangan banyak omong. Kalau
kau ingin istirahat, ayo!" sahut Setan Arak. Lalu kedua orang ini melangkah
menuju ke sebuah gubuk. Tak lama kemudian Pendekar 108 dan Ratu
Sekar Langit sampai pula di gubuk itu. Setan Arak
sesaat memandang pada Ratu Sekar Langit, mem-
buat gadis ini segera sembunyikan parasnya yang
bersemu merah dengan berpaling pada Putri Ki-
pas. Sementara Aji langsung duduk bersila di de-
pan Setan Arak yang duduk berselonjor sambil tak
henti-hentinya menenggak bumbung bambu berisi
arak di tangan kiri kanannya.
"Kek...!" seru Aji. "Di mana letak Lembah Supit Urang itu"!"
Setan Arak jauhkan bumbung bambu dari
mulutnya. Sepasang matanya menatap tajam pada
Aji. "Kenapa kau tanya tempat itu"!"
"Selama aku menyelidik beberapa hari ini,


Pendekar Mata Keranjang 22 Laskar Dewa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

aku mendapat petunjuk bahwa di tempat itu akan
diadakan pertemuan para tokoh golongan sesat!"
jawab Aji lalu dia menceritakan tentang perte-
muannya dengan Malaikat Berdarah Biru juga
dengan Gembong Raja Muda dan mengutarakan
pula pembicaraan antara Malaikat Berdarah Biru,
Gembong Raja Muda dengan Iblis Gelang Kema-
tian. Ratu Sekar Langit tercengang kaget men-
dengar keterangan Pendekar 108, sementara Setan
Arak meski terkejut namun cuma sesaat. Sekejap
kemudian kakek ini telah ajukan tanya pada Aji.
"Jika demikian adanya, apa yang ada di be-
nakmu sekarang"!"
Murid Wong Agung tidak segera memberi
jawaban. Dia tengadah sedikit seraya usap-usap
ujung hidungnya.
"Kalau menurutmu, bagaimana Kek"!"
Mendengar pertanyaan balik, Setan Arak
tertawa bergelak-gelak.
"Karena itu bukan urusanku, aku lebih su-
ka minum arak daripada pergi jauh-jauh ke Lem-
bah Supit Urang!"
"Sialan! Aku juga bodoh. Kenapa menanya-
Bende Mataram 27 Joko Sableng 1 Pesanggrahan Keramat Pendekar Muka Buruk 8
^