Pencarian

Prahara Dendam Leluhur 3

Pendekar Mata Keranjang 21 Prahara Dendam Leluhur Bagian 3


Bukkk! Kepala Abilowo terdongak keras terkena sa-
puan kaki Dewa Maut. Bersamaan dengan itu tu-
buhnya mencelat sampai dua tombak.
Meski Putri Tunjung Kuning tahu jika Ab-
ilowo tak akan cidera namun melihat apa yang
terjadi mau tak mau dari mulutnya terdengar jeritan. "Hmm.... Kenapa tidak gadis
itu saja kuja-dikan sandera" Dia pasti tidak akan berkutik!"
pikir Dewa Maut. Ekor matanya lalu melirik pada Putri Tunjung Kuning. Dan begitu
dilihatnya Abilowo masih belum bangkit, dia cepat melompat
ke arah Putri Tunjung Kuning.
Putri Tunjung Kuning terkejut. Dan serta-
merta kedua tangannya bergerak untuk menang-
kis sergapan tangan Dewa Maut. Namun gera-
kannya kalah cepat dengan gerakan Dewa Maut.
Hingga sebelum dia sempat bergerak, tangan De-
wa Maut telah menelikung dan mencekal ping-
gangnya. Tanpa menunggu lagi tangan Dewa
Maut segera bergerak berputar Putri Tunjung
Kuning keluarkan seruan tertahan. Tubuhnya
terbanting di atas tanah.
Ketika Putri Tunjung Kuning hendak berge-
rak bangkit, Dewa Mau segera angkat kaki ka-
nannya dan ditekankan pada perut Putri Tunjung
Kuning, hingga gadis ini menjerit kesakitan tanpa bisa bergerak lagi.
"Jahanam! Kuputuskan kakimu!" teriak
Putri Tunjung Kuning marah. Tangan kanan ki-
rinya segera bergerak menghantam. Namun ber-
samaan dengan itu kaki kanan Dewa Maut cepat
bergerak lagi. Hingga kedua tangan Putri Tunjung Kuning mental lagi ke belakang
dan menghantam tanah. Untuk kedua kalinya dari mulut gadis ini keluar seruan keras.
Dewa Maut yang segera menekan perutnya
tertawa bergelak.
"Bangsat! Apa yang hendak kau lakukan"!"
teriak Abilowo begitu bangkit dan mengetahui apa yang terjadi.
Dewa Maut berpaling. Bibirnya yang men-
geluarkan darah diusap-usap dengan punggung
tangannya. Lalu tersenyum dingin.
"Berani bergerak dari tempatmu, nyawa
manusia ini kubuat lenyap!" gertak Dewa Maut sambil tekan kakinya lebih ke bawah
di perut Putri Tunjung Kuning. Putri Tunjung Kuning menge-
rang kesakitan.
Abilowo memandang tajam. Namun tak be-
rani bergerak dari tempatnya, membuat Dewa
Maut perdengarkan tawa mengekeh panjang. Lalu
tanpa pedulikan tatapan mata Abilowo, Dewa
Maut memandang ke bawah.
"Kau punya dua pilihan! Memberi keteran-
gan tentang Malaikat Berdarah Biru atau perut-
mu akan jebol!" teriaknya sambil menekan lagi perut Putri Tunjung Kuning dengan
kakinya. "Pengecut licik! Jangan mimpi kau akan
mendengarnya!" seru Putri Tunjung Kuning dengan suara tersengal.
"Baik. Rupanya kau ingin merasakan ba-
gaimana rasanya perut jebol!" gumam Dewa Maut lalu tekan lebih keras lagi
kakinya. Putri Tunjung Kuning meraung terputus-putus. Abilowo ge-
gatkan rahangnya. Mulutnya berkemik, tubuhnya
berguncang menahan marah. Dia perlahan me-
langkah. Namun baru saja hendak bergerak, De-
wa Maut tekan lagi kakinya dan berteriak lantang.
"Maju selangkah lagi, putus nyawanya!" seraya berteriak tangan Dewa Maut
diangkat dan siap dihantamkan pada kepala Putri Tunjung
Kuning. Membuat Abilowo urungkan melangkah.
Anak ini lalu bantingkan kakinya melampiaskan
amarah. Tanah itu langsung bergetar keras.
"Setan alas! Dia tak mempan pukulan. Te-
naganya begitu kuat. Padahal wajahnya masih
menampakkan kekanak-kanakan. Bagaimana bi-
sa terjadi?" bisik Dewa Maut saat merasakan kakinya ikut bergetar.
"Aku harus cepat mengetahui apa kelema-
hannya, jika tidak nantinya pasti akan menjadi
batu penghalang! Sekarang aku harus segera se-
lesaikan urusan ini!"
Dewa Maut lantas membungkuk, dengan
suara keras dia berteriak.
"Waktumu cuma sedikit. Jelaskan padaku
siapa manusia bergelar Malaikat Berdarah Biru
itu! Dan di mana aku dapat menemukannya!"
Sepasang mata Putri Tunjung Kuning ber-
kilat-kilat marah, dadanya bergerak turun naik, membuat mata Dewa Maut bergerak
membeliak. Rupanya gelegak darah muda pemuda ini perla-
han mulai merasuki dadanya, hingga tangannya
bergerak dan....
Bret! Breeettt!
Pakaian yang dikenakan Putri Tunjung
Kuning robek di bagian dadanya. Buah dada yang
kencang membusung dan putih terpentang. Dewa
Maut makin mengekeh dengan sepasang mata
mendelik. Sementara Abilowo menggeram dan
hantamkan kedua tangannya satu sama lain.
"Kau tak mau buka suara tak jadi apa. Aku
akan buka pakaianmu. Ingin lihat bagaimana mu-
lusnya tubuhmu! Ha.... Ha.... Ha...!'
Tanpa lepaskan injakan kakinya pada pe-
rut Putri Tunjung Kuning, tangan kirinya berge-
rak ke belakang hendak menyingkap pakaian ba-
gian bawah gadis ini.
Abilowo habis kesabarannya. Dia kerahkan
tenaga dalam. Sementara tangan Dewa Maut te-
lah mulai menyingkap pakaian bawah Putri Tun-
jung Kuning. Gadis ini memaki habis-habisan.
Namun Dewa Maut tak peduli.
Paha Putri Tunjung Kuning telah terlihat.
Dewa Maut makin bergelak, sementara Abilowo
siap lepaskan pukulan.
Saat itulah tiba-tiba ada seseorang berseru.
Lalu menderu angin dahsyat dengan keluarkan
suara menggemuruh. Dewa Maut berteriak te-
gang. Gerakan tangannya yang hendak menying-
kap pakaian Putri Tunjung Kuning terpaksa di-
urungkan karena sapuan angin dahsyat itu me-
nyambar ke arahnya dan serta mendorong tu-
buhnya hingga mental sampai beberapa langkah.
Di seberang sana, Abilowo urungkan pukulannya.
Sambil kertakan rahang, Dewa Maut segera
berpaling ke arah sumber datangnya sambaran
angin yang mampu membuat tubuhnya terpental
bahkan hampir saja terjungkal jika dia tidak cepat membuat gerakan sentakan
kedua tangannya
hingga keseimbangannya terkendali.
Di lain pihak, merasa kaki orang telah ti-
dak lagi di atas perutnya, Putri Tunjung Kuning yang juga merasakan sambaran
angin dahsyat hingga tubuhnya sedikit terseret ke atas segera bangkit, lalu mundur tiga
langkah dengan wajah
berpaling pada asal sambaran angin yang telah
membuat mentalnya tubuh Dewa Maut.
Baik Dewa Maut maupun Putri Tunjung
Kuning serta Abilowo melihat seorang pemuda
mengenakan pakaian hijau yang melapis baju
warna kuning lengan panjang. Rambutnya pan-
jang dan dikuncir ekor kuda, memandang tak
berkesip ke arah jurusan lain!
SEPULUH PENDEKAR Mata Keranjang!" seru Putri
Tunjung Kuning dalam hati. Dia tidak berani
mengucapkan di mulut. Karena dia khawatir De-
wa Maut akan mendengarnya. Dia merasa jiwa
Dewa Maut masih menganggap bahwa pemuda
yang bergelar Pendekar Mata Keranjang 108 ada-
lah seorang pemuda banci seperti apa yang dika-
takannya. Dan pura-pura tak mengenal, Putri Tun-
jung Kuning segera maju dua tindak ke depan.
Seraya membungkukkan sedikit tubuhnya dan
menutupi dadanya yang terbuka, dia berseru.
"Tuan penolong. Terima kasih, aku berhu-
tang jasa padamu!"
Pemuda berpakaian hijau dan memang Aji
alias Pendekar Mata Keranjang 108 berpaling, tersenyum sekilas lalu memandang
tajam pada De- wa Maut yang juga sedang memandangnya. Lalu
berujar. "Aku tidak merasa menolongmu! Kau salah
alamat mengatakan terima kasih padaku!"
Baik Putri Tunjung Kuning, Dewa Maut,
serta Abilowo terkejut mendengar ucapan Pende-
kar 108. Dan sebelum keheranan ketiga orang ini lenyap, Pendekar 108 berpaling
lagi ke samping.
Lalu berseru, "Orang di balik pohon! Keluarlah! Kenapa
kau malu-malu memperlihatkan diri"!"
Ketiga orang di situ menindih rasa heran
masing-masing dan diam menunggu dengan mata
masing-masing mengarah pada sebuah pohon.
Sebenarnya Aji sendiri tak tahu siapa
adanya orang di balik pohon, hanya saja sewaktu dia hendak lepaskan pukulan
untuk mencegah gerakan tangan Dewa Maut yang hendak me-
nyingkap pakaian Putri Tunjung Kuning tiba-tiba dari balik pohon menyambar angin
dahsyat, hingga dia urungkan niat.
Karena belum juga ada gerakan dari balik
pohon, Pendekar 108 kembali ulangi teriakannya.
Mendadak terdengar suara cekikikan. Bersamaan
dengan itu dari balik pohon muncul seseorang.
Dia adalah seorang pemuda. Wajahnya
elok. Memakai bedak dan bibirnya dipoles merah.
Rambutnya yang panjang dikepang dua. Dia me-
langkah keluar dari balik pohon. Langkahnya le-
mah gemulai, tangannya bergerak seakan melam-
bai. Sementara pinggulnya digoyang-goyangkan
dan kepalanya disentak-sentakkan ke depan.
"Setan Pesolek!" gumam Pendekar 108 dengan mata terbeliak. Mendadak dada murid
Wong Agung ini berdebar tak karuan. Keningnya men-
gernyit dengan mata melirik pada Dewa Maut.
"Sialan! Tak kusangka dia yang muncul!
Bagaimana ini" Apakah Dewa Maut telah menge-
tahui sandiwara yang kulakukan bersama Setan
Pesolek" Apakah dia sudah tahu, bahwa orang
yang dicarinya selama ini adalah aku" Sean-
dainya bukan Setan Pesolek yang muncul, mung-
kin aku masih bisa mungkir.... Ah, apa harus dikata. Memang sudah saatnya
manusia itu kuha-
dapi!" pikir Pendekar 108 lalu berpaling lagi pada Setan Pesolek.
"Siapa orang ini" Hmm.... Baru kali ini aku bertemu dengannya. Kemunculannya
bersamaan dengan Pendekar Mata Keranjang. Bukan tak
mungkin dia adalah sahabatnya. Hmm.... Aku ta-
hu sekarang, kenapa manusia jahanam itu me-
nanyakan laki-laki atau banci tentang Pendekar
Mata Keranjang. Pasti kedua orang ini telah
mempermainkan Dewa Maut! Dan melihat puku-
lannya, aku yakin meski tampak seperti perem-
puan, dia memiliki kepandaian tinggi...," batin Putri Tunjung Kuning, lalu
angkat bicara. "Kalau kau yang telah menolongku, terima-
lah ucapan terima kasihku!"
Pemuda yang baru muncul dan memang
Setan Pesolek memandang sejenak. Lalu tertawa
cekikikan dan menyibakkan rambut pada teng-
kuknya dengan menyentakkan sedikit kepalanya.
Sementara itu, melihat siapa yang muncul
dan baru saja membuat tubuhnya mental, tubuh
Dewa Maut yang telah menahan marah tergun-
cang keras. Tanpa banyak bicara lagi, pemuda ini segera berkelebat dan tahu-tahu
telah tegak enam langkah di hadapan Setan Pesolek.
"Hmm.... Berarti pemuda berbaju hijau ini
berdusta padaku. Dia mengatakan tak kenal den-
gan pemuda banci ini. Tapi mustahil jika muncul secara bersamaan tapi tak kenal.
Beberapa waktu silam mereka juga muncul bersamaan. Hm....
Jangan-jangan dua manusia ini mempermainkan
aku! Jahanam!" rutuk Dewa Maut dalam hati. Kepalanya lantas lurus menghadap
Setan Pesolek. Tangannya bergerak dengan jari telunjuk menga-
rah tepat pada wajah Setan Pesolek.
"Hari ini nyawamu tidak akan lari lagi dari tanganku!"
Habis berkata begitu, kepalanya berpaling
pada Pendekar Mata Keranjang. Dia keluarkan
suara membentak garang.
"Urusan kita belum tuntas! Jangan coba-
coba bergerak dari tempatmu!"
Pendekar 108 jerengkan sepasang ma-
tanya. Lalu usap-usap hidungnya. Lalu seenak-
nya saja duduk menggelosoh tanpa memandang
pada Dewa Maut.
"Hmm.... Sebenarnya aku ingin menghajar
pemuda ini. Juga ingin aku mengobrol banyak
dengan Pemuda Mata Keranjang. Hmm.... Pemuda
itu tak berubah. Tetap acuh tak acuh meski nya-
wanya diancam orang.... Ah, seandainya aku di-
pertemukan dalam suasana yang tidak demikian.
Aneh, kenapa aku tetap merindukannya meski
aku sadar tak mungkin harapanku tercapai?" Putri Tunjung Kuning berkata dalam
hati. Lalu me- noleh pada Abilowo. "Sebaiknya aku meneruskan perjalanan. Suatu saat nanti aku


Pendekar Mata Keranjang 21 Prahara Dendam Leluhur di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pasti akan bertemu lagi. Urusan Abilowo kurasa lebih penting
untuk saat ini...."
Memikir demikian, Putri Tunjung Kuning
lantas melangkah perlahan ke arah Abilowo.
"Aku makin yakin. Abilowo pastilah anak
Putri Tunjung Kuning. Tapi siapa bapaknya"!
Ah...," Aji garuk-garuk tengkuknya. Pandangannya lantas beralih pada Dewa Maut
karena saat itu terdengar pemuda berjubah hitam itu mem-
bentak pada Setan Pesolek.
"Mata Keranjang! Terimalah kematianmu!"
Tangan Dewa Maut telah diangkat, siap ki-
rimkan pukulan.
Di depannya, Setan Pesolek mengkerut
seakan merasa ngeri. Namun paras wajahnya tak
sedikit pun menunjukkan rasa takut! Tangan ka-
nannya dilambaikan sambil berseru nyaring.
"Tunggu...!"
Dewa Maut urungkan niat untuk kirimkan
serangan, namun tangannya tetap siap siaga.
"Aku tak akan melawan. Karena seseorang
telah mengatakan padaku, jika kematianku me-
mang ada di tanganmu. Namun sebelum aku te-
was, bolehkah aku tahu kenapa kau mengingin-
kan nyawaku"!" tanya Setan Pesolek. Lalu selinapkan tangan kanannya ke balik
pakaiannya. "Hmm.... Berarti manusia itu masih men-
ganggap Setan Pesolek sebagai Pendekar Mata Ke-
ranjang.... Ha.... Ha.... Ha.... Dasar manusia bodoh!" kata Pendekar 108 dalam
hati seraya terus memperhatikan. Diam-diam dia juga kerahkan
tenaga dalamnya khawatir sewaktu-waktu Dewa
Maut tiba-tiba menghantamnya.
Di seberang sana, mendengar ucapan Se-
tan Pesolek, Dewa Maut keluarkan tawa ngakak.
"Kau bertanya kenapa aku menginginkan
nyawamu" Sayang, ini bukan saat dan tempatnya
untuk bicara soal itu. Nanti saja kau tanyakan
pada teman-teman barumu di kubur!"
"Ah, sungguh malang nasibku. Sampai in-
gin tahu kenapa aku harus mati saja tak dikasih tahu.'" Setan Pesolek mengeluh
dengan wajah memberengut. Tangan kanannya yang tadi menyelinap lalu ditarik
keluar. Dewa Maut menduga Setan Pesolek hendak
mengeluarkan kipas ungunya. Ternyata yang
tampak di tangan kanan Setan Pesolek adalah se-
buah batu putih berkilat. Sebuah batu putih yang bulat digunakan untuk
bercermin. "Keparat! Mana kipas miliknya itu" Jan-
gan-jangan disimpan di satu tempat. Ah, tak
mungkin. Kipas itu adalah sebuah senjata. Ke
mana-mana pasti akan dibawa!" pikir Dewa Maut lalu memperhatikan Setan Pesolek
dengan pandangan sinis, karena saat itu Setan Pesolek angkat cermin batunya dan
didekatkan pada wajah-
nya. "Sebelum mati, boleh aku bercermin dahulu"!" tanya Setan Pesolek seraya
mengerling pada Dewa Maut lalu beralih pada Pendekar Mata Keranjang.
Dewa Maut menjawab dengan dengusan.
Sementara Aji balas mengerling dan menahan ta-
wa. Murid Wong Agung ini lantas mendehem be-
berapa kali. Dewa Maut menoleh.
"Sobatku Dewa Maut!" kata Pendekar 108
ketika dilihatnya Dewa Maut menoleh padanya.
"Aku tak mengerti. Kenapa kau katakan urusan kita belum tuntas. Urusan apa
sebenarnya"!"
"Tutup dulu mulutmu, Bangsat! Nanti sete-
lah temanmu ini tewas, kau akan mendapat gili-
ran!" "Jadi, aku juga akan menyusul mati"!"
"Kalau kau terus bicara, kubuat kau mati
terlebih dahulu!" hardik Dewa Maut. Pendekar 108 cepat tekap mulutnya dengan
menggunakan telapak tangan.
"Sial! Jadi aku di sini menunggu kema-
tian...," kata Pendekar 108 dengan suara sengau, karena mulutnya tertutup
telapak tangannya.
Dewa Maut katupkan rahangnya. Tangan-
nya sebenarnya sudah gatal hendak menggebuk
Pendekar 108, namun karena urusan dengan Se-
tan Pesolek yang dikira Pendekar Mata Keranjang jauh Iebih penting, karena
dengan tewasnya Pendekar Mata Keranjang maka salah satu tugasnya
membalaskan dendam leluhurnya telah dilaku-
kan, maka untuk sementara kegeraman pada Aji
ditahannya. "Mata Keranjang! Kau bisa teruskan ber-
dandan di akhirat nanti!" bentak Dewa Maut ketika dilihatnya Setan Pesolek terus
gerak-gerakan wajahnya dan usap-usap bibirnya, hingga mulutnya belepotan merah,
membuat Pendekar 108
terpingkal-pingkal.
"Orang mau mati, tingkahnya memang
aneh-aneh...," ujar Pendekar 108 lalu tekap mulutnya kembali karena Dewa Maut
melirik pa- danya dengan tubuh makin terguncang.
Setan Pesolek seakan tidak mendengar
bentakan orang. Dia terus memandangi wajahnya
dibatu cerminnya sambil tersenyum-senyum sen-
diri, namun sesekali ekor matanya melirik pada
Pendekar 108. Mendapati hal demikian, Dewa Maut habis
kesabarannya. Tanpa keluarkan ucapan lagi, ke-
dua tangannya yang sedari tadi telah siap kirimkan pukulan cepat dihantamkan ke
arah Setan Pesolek. Wuuutt! Wuuuttt!
Asap merah membara melesat keluar dari
kedua tangan Dewa Maut. Asap ini bergerak cepat menyusur tanah.
Udara mendadak berubah panas menyen-
gat. Tanah yang terlewati asap merah nampak
terbelah serta berhamburan. Dewa Maut telah
lancarkan jurus 'Dewa Membakar Bumi'.
Di depan sana, Setan Pesolek berseru sea-
kan terkejut. Tangan kiri kanan segera desentakkan ke depan, hingga tubuhnya
terdorong lima langkah ke belakang. Kedua tangannya lantas di-
tarik ke belakang, lalu seakan melambai, kedua
tangannya didorong ke depan.
Dua gulung asap putih membentuk lingka-
ran aneh menderu kencang ke depan, memapak
asap merah. Tak ada suara yang terdengar ketika dua
pukulan sakti itu bentrok. Hanya bersamaan
dengan itu, tempat itu bergetar keras, tanah berhamburan ke udara. Asap putih
bercampur me- rah melambung ke udara dan akhirnya lenyap.
Namun di seberang kanan kiri, tubuh Dewa Maut
dan sosok Setan Pesolek tampak sama-sama ter-
huyung-huyung. Kedua kaki Dewa Maut terlihat
goyah dan bergetar hebat, sesaat kemudian pe-
muda ini jatuh terduduk dengan paras berubah
pucat pasi dan tangan gemetaran serta menjadi
merah melepuh. Di lain pihak, Setan Pesolek jatuh berlutut. Dari mulutnya
terdengar erangan
pelan. Pemuda berdandan mirip perempuan ini
merasakan dadanya seakan hendak ambrol. Tu-
buhnya bergetar keras
Dewa Maut kumpulkan kembali tenaganya.
Kedua matanya dipejamkan rapat-rapat. Mulut-
nya bergerak kemak-kemik. Sesaat kemudian,
dengan masih tetap duduk dia keluarkan benta-
kan keras. Kedua tangannya didorong dengan te-
lapak terkembang.
Gelombang angin menggebrak deras ke de-
pan. Melingkar-lingkar membentuk pusaran. Lalu
menukik deras ke bawah.
Setan Pesolek keluarkan jeritan tinggi. Tu-
buhnya berputar kencang mengikuti pusaran an-
gin yang membungkus tubuhnya. Kedua tangan-
nya tampak bergerak-gerak menghantam, namun
pusaran angin itu tak dapat ditembusnya! Malah
begitu kedua tangannya bergerak, putaran angin semakin kencang.
Merasa di atas angin, Dewa Maut kelua-
rkan kekehan panjang. Lalu dia lipat gandakan
tenaga dalamnya. Hingga putaran tubuh Setan
Pesolek makin kencang dan karena derasnya, so-
soknya seakan lenyap! Yang terlihat hanyalah putaran angin yang kencang dan
menderu-deru. Beberapa saat berlalu, Aji yang melihat hal
demikian sangat khawatir. Dia beberapa kali be-
liakan matanya, mencari-cari sosok Setan Pesolek yang dibungkus angin pusaran.
Mungkin merasa lawan sudah tak berdaya
terbungkus serangannya, Dewa maut sentakan
kedua tangannya. Putaran angin yang membung-
kus tubuh Setan Pesolek melesat cepat ke depan
dan menghajar sebuah pohon. Pohon itu langsung
tumbang. Dewa Maut bangkit berdiri, sepasang ma-
tanya mencari-cari sosok Setan Pesolek di sela-sela batang pohon yang tumbang.
Pendekar 108 pun membeliakkan sepasang matanya, ikut men-
cari-cari. Namun kedua orang ini tidak menemukan
sosok Setan Pesolek.
"Kurang ajar! Kalau dia sudah mampus
kenapa tak terdengar erangannya" Kalau hancur
kenapa tak kutemukan serpihan tubuhnya"!"
sungut Dewa Maut seraya melangkah ke arah
tumbangnya pohon.
"Jahanam! Jelas sekali jika tadi tubuhnya
tak berdaya dalam bungkusan pukulanku. Tapi
ke mana bangsatnya"!"
"Heran. Apa tubuhnya hancur jadi abu,
hingga potongan tubuhnya tak kelihatan.
Atau..."!" Pendekar 108 gelengkan kepala. Namun hatinya masih khawatir, karena
Setan Pesolek memang tak kelihatan batang hidungnya.
Yakin kalau lawan tidak ada, Dewa Maut
kertakan rahang. Kepalanya mendongak. Dari
mulutnya menyembur suara keras.
"Kalau kau masih hidup, tunjukan dirimu!
Jangan bersifat seperti pengecut!"
Tak ada sahutan, juga tak ada tanda-tanda
akan munculnya Setan Pesolek. Dada Dewa Maut
bergetar keras, kedua tangannya mengembang
keluarkan suara gemeretakan. Marah di dadanya
sudah tak dapat dibendung lagi. Dia berpaling ke tempat di mana tadi Putri
Tunjung Kuning dan
Abilowo berada. Namun kedua orang itu sudah ti-
dak tampak lagi di tempatnya. Kini kepalanya
berpaling pada orang yang masih ada di tempat
itu. Dia melangkah mendekat.
"Hei! Kau yang harus menjadi ganti te-
manmu itu!"
Pendekar 108 surutkan langkah satu tin-
dak ke belakang. Dia keluarkan keluhan seakan
terkejut dan takut. Dengan wajah ditekuk, dia berujar. "Sobatku Dewa Maut! Harap
kau tak sang-kut pautkan diriku dengan kejadian ini, Aku tak tahu apa-apa!"
"Kau banyak omong! Aku yakin kau adalah
temannya! Terimalah kematianmu!" sentak Dewa Maut, lalu pukulkan kedua tangannya
ke arah kepala Pendekar 108.
Pendekar 108 berseru keras, Seolah takut
dia angkat tangannya untuk melindungi kepa-
lanya. Namun ketika kedua tangan Dewa Maut
sejengkal lagi menghajar sasaran, Pendekar 108
luruskan kedua tangannya.
Buk! Buk! Bentrok dua tangan terjadi. Dewa Maut
melengak kaget dan langsung surut satu langkah
ke belakang. Tangannya yang baru saja bentrok
terasa panas. Aliran darahnya seakan tersumbat.
Sepasang matanya mendelik besar menatap pada
Aji yang saat itu kibas-kibaskan kedua tangannya dengan meringis.
"Setan alas! Pemuda ini pandai berpura-
pura! Bentrokan tadi menunjukkan bahwa dia
mempunyai ilmu! Aku tertipu!" rutuk Dewa Maut.
Kemarahannya semakin menjadi-jadi.
"Siapa kau sebenarnya, Bangsat"!" bentak-nya seraya mendelik angker.
"Ah, kau! Sudah beberapa kali kukatakan
masih saja bertanya!" jawab Pendekar 108 seenaknya.
"Hmm.... Rupanya kau memang tak mau
dikasih hati. Sebenarnya aku tadi mempunyai
rencana bagus untukmu, tapi terpaksa kubatal-
kan!" "Wah, jika begitu nasibku memang tidak baik!" timpal Pendekar 108 masih
dengan acuh tak acuh.
"Betul! Dan kau akan membuktikannya!"
hardik Dewa Maut. Kedua tangannya segera di-
pukulkan ke depan. Lepaskan pukulan sakti
'Dewa Membakar Bumi'.
Asap merah membara segera saja mengge-
brak deras ke arah Aji. Belum lagi asap itu menghajar sasaran, Dewa Maut telah
dorong kedua tangannya kembali dengan telapak tangan ter-
kembang. Kejap itu juga angin dahsyat yang
membentuk lingkaran aneh berputar-putar lalu
menukik ke arah Aji.
Pendekar murid Wong Agung ini tersirap
mendapati serangan yang begitu ganas. Dia tak
mau bertindak ayal, karena maklum jika Dewa
Maut telah lancarkan pukulan andalannya. Sam-
bil surutkan langkah satu tindak, dia kerahkan
tenaga dalamnya pada kedua tangannya. Kedua
tangannya seketika berubah menjadi biru berki-
lau. Dan serta-merta didorong pelan saja ke de-


Pendekar Mata Keranjang 21 Prahara Dendam Leluhur di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pan. Wuuttt! Wuuuttt!
Dua berkas sinar biru melesat cepat lalu
mengembang dan langsung melabrak lenyap asap
merah. Namun pusaran angin tetap tak bisa ter-
kikis. Pusaran yang melingkar-lingkar aneh itu terus menukik. Sebelum pusaran
angin itu mem- bungkus tubuh Pendekar 108, murid Wong Agung
ini masih sempat hantamkan kedua tangannya
hingga bersamaan dengan terbungkusnya tubuh-
nya, dua berkas sinar biru melesat ke arah Dewa Maut. Di depan sana, Dewa Maut
keluarkan seruan tegang. Karena dia masih kerahkan tenaga
dalam untuk memutar kedua tangannya agar pu-
saran angin lebih kencang, hingga meski dia ma-
sih sempat menghindar dengan jatuhkan diri sen-
jajar tanah, namun tak urung juga bahunya ter-
sambar kembangan sinar biru. Sosoknya tergul-
ing ke tanah dengan jubah bagian bahunya lang-
sung terbakar. Di lain pihak, begitu sosok Dewa Maut ter-
guling, pusaran yang membungkus Pendekar 108
terhenti. Namun tubuh Pendekar 108 tampak
masih berputar. Murid Wong Agung ini merasa-
kan kepalanya berjungkir balik. Pandangannya
berkunang-kunang dan sesaat kemudian dia ter-
huyung-huyung lalu roboh bergedebukan ke atas
tanah! Seraya memegangi bahunya yang masih te-
rasa panas dan nyeri, Dewa Maut bergerak bang-
kit. Lalu melangkah ke arah Pendekar 108. Sepa-
sang matanya meneliti sejenak.
"Hmm.... Tubuhnya tak terbakar. Apakah
dia kebal terhadap api" Padahal segala sesuatu
yang berhasil terbungkus pukulanku pasti akan
terbakar dan hangus! Heran. Apakah dia memba-
wa senjata yang mungkin bisa mencegah dirinya
dari sengatan api"!" pikir Dewa Maut. "Aku akan memeriksanya!"
Memang, pukulan sakti 'Dewa Membakar
Bumi' yang baru saja dilancarkan Dewa Maut se-
lain mampu membuat orang terbungkus dan ter-
gulung di dalamnya juga orang akan keluar den-
gan tubuh hangus!
Dewa Maut lantas melangkah maju men-
dekati tubuh Aji yang masih tergeletak di tanah.
Dengan menyeringai tangan kanannya bergerak.
Bret! Brettt! Pakaian bagian atas murid Wong Agung
robek besar di dua tempat.
"Gila! Dadanya juga tak cidera sama seka-
li!" rutuk Dewa Maut hampir tidak percaya dengan pandangan matanya. Mungkin
penasaran, dia kembali hendak merobek pakaian Pendekar 108.
Namun baru saja tangannya hendak bergerak,
terdengar orang berseru,
"Memalukan! Nyatanya bukan hanya pe-
rempuan saja yang suka menelanjangi laki-laki.
Tapi laki-laki juga ada yang suka menelanjangi
laki-laki! Jangan-jangan kau laki-laki yang me-
nyukai sejenis! Kasihan.... Di mana nikmatnya"
Hik,... Hik.... Hik...!"
Tersentak kaget, Dewa Maut segera berpal-
ing. Sepasang matanya kontan membesar, me-
mandang tak berkesip.
"Aneh. Jelas sekali sewaktu aku berpaling
bicaranya belum selesai. Namun kenapa mulut-
nya tidak bergerak" Hmm.... Jangan-jangan orang lain yang buka suara tadi! Tapi
suara tadi jelas suara perempuan. Ini juga seorang perempuan!"
Dewa Maut membatin dengan mata terus mem-
perhatikan ke depan, pada sesosok tubuh yang
memandang tajam ke arahnya dengan mata na-
nar. SEBELAS DIA adalah seorang gadis muda berparas
cantik jelita. Mengenakan pakaian warna putih
ketat membuat bayang lekukan tubuhnya men-
cuat jelas. Rambutnya panjang bergerai, kedua
alis matanya hitam dan tebal dengan bulu mata
lentik. Sepasang matanya bulat berbinar, ditingkah bibir yang membentuk bagus.
Pada lehernya melingkar untaian kalung dari bunga-bunga ber-
warna hitam. Di atas telinga kirinya juga tampak menyelinap sekuntum bunga
berwarna hitam.
Gadis cantik ini bukan lain adalah Ratu Sekar
Langit. Seperti dituturkan dalam episode: "Gembong Raja Muda", Ratu Sekar Langit
saat itu ditawan oleh Bawuk Raga Ginting, guru Gembong
Raja Muda. Pendekar Mata Keranjang sebenarnya
sudah berencana hendak membebaskan Ratu Se-
kar Langit, namun karena ada masalah lagi ter-
paksa rencananya dia tangguhkan. Tapi sebenar-
nya Ratu Sekar Langit sendiri waktu itu sudah tidak di tangan Bawuk Raga
Ginting, karena seseo-
rang telah membebaskannya.
Dewa Maut bergerak bangkit dan melang-
kah hendak mendekat dengan bibir sunggingkan
senyum. Namun baru satu Iangkah, si gadis buka
mulut keluarkan bentakan nyaring. "Tetap di tempatmu!"
"Hmm.... Jelas suaranya berbeda dengan
suara yang tadi kudengar! Jadi memang ada
orang lain di tempat ini!" kata Dewa Maut dalam hati. Sepasang matanya melirik
menyapu sekeliling. Tapi matanya tak menangkap siapa-siapa.
Pemuda ini lantas mendongakkan kepala dengan
dahi mengernyit
"Keparat! Pasti manusia banci itu!" pikirnya, lalu luruskan kepalanya, dan
diputar dengan mata membeliak.
"Hmm.... Dia mencari orang itu. Aku pun
dapat merasakan kehadirannya tapi tak dapat
menentukan di mana beradanya! Tapi mendengar
suaranya tadi, jelas jika dia adalah seorang perempuan!" diam-diam Ratu Sekar
Langit juga berucap dalam hati. "Siapa pemuda ini" Hm.... Tak perlu kuketahui
siapa dia adanya. Yang penting
aku harus menyelamatkan Pendekar Mata Keran-
jang. Pemuda ini rupanya berniat tidak baik!"
Sejenak Ratu Sekar Langit memperhatikan
tubuh Pendekar 108. Dia terlihat menarik napas
dalam-dalam. Dia lantas bergerak untuk mende-
kati. Tapi langkahnya tertahan saat didengarnya sebuah bentakan keras.
"Jangan berani beranjak dari tempatmu!"
Yang keluarkan bentakan adalah Dewa
Maut. Pemuda ini lantas maju selangkah. Ma-
tanya menatapi tubuh gadis di hadapannya dari
kaki hingga rambut. Mulutnya bergerak komat-
kamit. Bibirnya sunggingkan senyum aneh.
"Siapa kau"!" si gadis menegur dengan wajah sedikit berubah merah menyadari
dirinya di- tatap demikian rupa.
Dewa Maut perdengarkan tawa pendek. Se-
raya kacak pinggang dan busungkan dada dia
menjawab. "Aku Dewa Maut! Kau siapa"!" Dewa Maut balik ajukan tanya.
Ratu Sekar Langit sejenak terdiam. Ke-
ningnya berkerut.
"Baru sekali ini aku mendengar namanya.
Namun kalau dia dapat membuat roboh Pendekar
Mata Keranjang, sudah pasti jika dia berilmu
tinggi!" pikirnya.
"Kau dengar pertanyaan orang. Kenapa ti-
dak segera jawab"!" hardik Dewa Maut. Seraya menghardik sepasang matanya tak
henti-hentinya melirik berputar. Dia masih menduga jika Setan
Pesolek yang diduga sebagai Pendekar Mata Ke-
ranjang 108 masih berada di sekitar tempat itu.
"Manusia banci itu nyatanya mampu lolos
dari pukulanku! Aku harus segera mendapatkan-
nya! Persetan dengan gadis cantik ini! Urusan
dengan Pendekar Mata Keranjang 108 lebih pent-
ing!" Berpikir begitu dan setelah ditunggu tak juga ada jawaban dari si gadis,
Dewa Maut kembali keluarkan bentakan.
"Kau mungkin gadis tuli. Tapi kau masih
bernasib baik karena hari ini aku tak bernafsu.
Lekas tinggalkan tempat ini!"
Tiba-tiba terdengar orang tertawa cekiki-
kan. Lalu disusul dengan suara.
"Dasar manusia aneh. Sama gadis cantik
tidak bernafsu, tapi sama laki-laki tertarik. Manusia apa namanya"!"
"Jahanam! Hai, Banci Pengecut! Tunjukkan
dirimu!"teriak Dewa Maut lalu kerahkan tenaga dalam siapkan pukulan 'Dewa
Membakar Bumi'.
Matanya liar memandang berkeliling. Dia sudah
siap-siap, begitu orang muncul akan segera di-hantamnya. Namun orang yang tadi
keluarkan suara tidak menampakkan wujudnya, membuat
Dewa Maut makin geram. Dan melihat si gadis
tak juga beranjak dari tempatnya, kegeramannya
dilampiaskan pada gadis ini.
"Baik. Kau telah kuberi kesempatan na-
mun kau ingin membuktikan ucapan orang bah-
wa aku manusia yang suka sama laki-laki. Akan
kutunjukkan padamu jika aku juga suka pada
tubuh seorang gadis!"
Habis berkata begitu, Dewa Maut berkele-
bat. Tahu-tahu sosoknya telah satu langkah di
samping Ratu Sekar Langit dan serta-merta tan-
gannya diulurkan hendak menyentuh dada si ga-
dis. Si gadis tersentak, dia cepat surutkan
langkah ke belakang. Tangannya bergerak mengi-
bas ke bawah. Wuuut! Dewa Maut terdorong ke belakang. Hal ini
telah menyadarkan pemuda ini jika si gadis mem-
punyai ilmu. "Ha.... Ha.... Ha...! Rupanya kau juga
punya simpanan ilmu. Aku ingin lihat sampai di
mana kehebatanmu!"
Ratu Sekar Langit katupkan bibirnya ra-
pat-rapat Kedua tangannya dipukulkan ke depan.
Wuuuttt! Angin laksana gelombang menderu dah-
syat. Namun setengah jalan gelombang angin ini
tertahan dan sesaat kemudian ambyar ke sana
kemari, membuat si gadis terkesiap dan kembali
hantamkan tangannya.
Namun baru saja gelombang angin itu me-
nyambar, dari arah depan menggebrak asap me-
rah yang menghamparkan hawa panas.
Asap merah ini bukan hanya mampu
membuat buyar pukulan si gadis namun juga
membuat si gadis terseret sampai dua tombak ke
belakang. Beberapa saat Ratu Sekar Langit masih mampu menahan tubuhnya, tapi
sekejap kemudian dia roboh terduduk! Sepasang matanya me-
rah berair, sementara dari bibirnya keluar erangan tertahan.
Di depan sana, Dewa Maut turunkan ke-
dua tangannya. Sambil tertawa mengekeh dia
berkelebat. Dan tahu-tahu telah berdiri tegak di samping Ratu Sekar Langit.
Si gadis nampak tercekat dengan paras be-
rubah. Belum sempat dia bergerak bangkit, Dewa
Maut telah gerakan kedua tangannya.
Namun gerakan tangan Dewa Maut terta-
han, karena bersamaan dengan itu, dari arah
samping menderu angin dahsyat. Seraya geser
tubuhnya ke samping kiri menghindari sambaran
angin, Dewa Maut segera berpaling. Rahangnya
kontan mengembung besar.
Di samping kiri, Aji terlihat turunkan tan-
gannya yang baru saja menahan gerakan tangan
Dewa Maut. Sebenarnya murid Wong Agung ini
tidak tahu siapa adanya gadis berbaju putih di
hadapan Dewa Maut. Sewaktu Dewa Maut mena-
han serangan gadis berbaju putih, hawa panas
yang menghambur membuat Aji kepanasan dan
menggeliat. Mungkin merasa dirinya dalam kea-
daan bahaya, murid Wong Agung ini segera bang-
kit. Dan begitu melihat Dewa Maut gerakan tan-
gannya, dia segera kirimkan pukulan.
Ratu Sekar Langit tak menyia-nyiakan ke-
sempatan. Bersamaan dengan lewatnya sambaran
angin, dia cepat bangkit lalu berpaling ke samping kiri. "Ratu Sekar Langit!"
seru Pendekar 108 begitu mengetahui siapa adanya gadis berbaju pu-
tih. Sejenak Pendekar 108 memandang dengan
dahi berkerut. "Hm.... Ratu Sekar Langit.... Bukankah waktu itu dia masih
ditawan Bawuk Raga
Ginting"! Ah, mungkin ada seseorang yang me-
nyelamatkannya.... Atau.... Lebih baik nanti ku-tanyakan!" Pendekar 108 lantas
sunggingkan senyum. Ratu Sekar Langit membalas dengan se-
nyum pula. Untuk beberapa saat kedua orang ini
saling berpandangan. Kedua orang yang telah la-
ma tidak berjumpa ini seolah melepas kerinduan
dengan tatapan mata masing-masing.
Ratu Sekar Langit dadanya berdebar. Mu-
lutnya bergerak membuka seakan hendak men-
gucapkan sesuatu. Namun suaranya tak terden-
gar. Murid Wong Agung melangkah hendak
mendekat. Namun Dewa Maut cepat berkelebat
dan langsung menghadang.
"Manusia banci itu masih berada di sekitar tempat ini. Pemuda ini pasti
temannya. Hmm....
Aku akan melumpuhkannya untuk memaksa di-
rinya keluar!" kata Dewa Maut dalam hati. Tanpa
berpikir, Dewa Maut langsung kirimkan serangan
pada Aji. Pendekar 108 tak tinggal diam. Meski tu-
buhnya masih terasa sakit karena terbanting ro-
boh oleh pukulan Dewa Maut, dia segera pula ta-


Pendekar Mata Keranjang 21 Prahara Dendam Leluhur di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

rik kedua tangannya dan dihantamkan ke depan.
Bummm! Ledakan dahsyat segera mengguncang
tempat itu ketika pukulan sakti 'Mutiara Biru'
yang dilepaskan Pendekar 108 bentrok dengan
pukulan 'Dewa Membakar Bumi' yang dilepas
Dewa Maut. Dewa Maut terlihat terpental sampai satu
tombak ke belakang, sosoknya berguncang keras.
Pemuda ini tampak coba menahan huyungan tu-
buhnya, namun kakinya goyah. Hingga tak lama
kemudian tubuhnya terjengkang menghempas
tanah. Di seberang, murid Wong Agung mencelat
dan langsung terkapar. Dari mulutnya terdengar
erangan tertahan.
Ratu Sekar Langit yang waktu terjadi ben-
trok pukulan menyingkir agak jauh segera berke-
lebat. Kedua tangannya segera diulurkan untuk
menolong Pendekar 108 bergerak bangkit.
Tapi baru saja tangannya bergerak, dari
arah depan asap merah yang kemudian disusul
dengan menderunya angin berputar-putar aneh
menyambar deras!
Ternyata Dewa Maut yang tadi terjengkang
roboh segera gulingkan tubuh dan lepaskan pu-
kulan saat dilihatnya Ratu Sekar Langit hendak
menolong Aji. Ratu Sekar Langit menjerit lengking. Tu-
buhnya terjungkal menumbuk tubuh Pendekar
108. Saat itulah lingkaran angin yang berputar-
putar aneh datang. Membungkus keduanya lalu
berputar-putar seiring gerakan tangan Dewa
Maut. Beberapa saat berlalu, masih tetap meng-
geletak sejajar tanah dan menggerak-gerakkan
tangannya, tiba-tiba Dewa Maut keluarkan ben-
takan keras. Kedua tangannya diangkat tinggi-
tinggi lalu disentakkan ke bawah.
Di depan sana, putaran angin yang mem-
bungkus tubuh Pendekar 108 dan Ratu Sekar
Langit ikut berputar dan membubung ke udara,
lalu menukik deras ke bawah!
Sebelum tubuh Pendekar 108 dan Ratu
Sekar Langit terjerembab deras menghujam ta-
nah, sesosok bayangan berkelebat. Bersamaan
dengan itu asap putih bergulung-gulung melesat
memapak tubuh Pendekar 108 dan Ratu Sekar
Langit. Kalau tadi tubuh kedua orang ini bergerak deras ke bawah, kini tubuh
keduanya bergerak
perlahan-lahan dan akhirnya tergolek telentang di atas tanah.
Melihat apa yang terjadi, Dewa maut cepat
bergerak bangkit. Sepasang matanya liar mencari.
Namun dia tak menemukan siapa-siapa.
"Haram jadah! Aku jelas melihat kelebatan
tubuhnya! Dan pasti dia yang telah menolong ke-
duanya! Jahanam betul! Gerakannya begitu ce-
pat. Ke mana larinya bangsat itu"!" geram Dewa Maut seraya angkat kedua
tangannya siap lepaskan pukulan.
Selagi Dewa Maut mencari-cari, terdengar
suara tawa cekikikan dari arah belakang. Pemuda ini cepat putar tubuhnya.
DUA BELAS Di hadapannya tampak seorang laki-laki
berusia lanjut. Mengenakan pakaian compang-
camping. Sosoknya kurus, sepasang matanya be-
sar dan merah. Pada tubuhnya menyelempang
sebuah ikat pinggang besar yang diganduli bebe-
rapa bumbung bambu. Tangan kanan kiri juga
menggenggam bambu yang sesekali didekatkan
silih berganti ke mulutnya. Di atas tengkuknya
tampak duduk seorang anak perempuan yang
rambutnya dikuncir dengan pita berwarna-warni.
Seraya duduk dengan uncang-uncang kaki, si
anak menggerakkan tangan kanan kirinya berki-
pas-kipas. "Hmm.... Anak itu! Lalu siapa orang tua
ini" Gurunya" Apa mungkin anak perempuan ini
yang tadi keluarkan suara"!" batin Dewa Maut.
Sepasang matanya memperhatikan sejenak, lalu
mulutnya membuka perdengarkan teguran. "Sia-pa kau"!"
Orang tua berselempang ikat pinggang be-
sar yang diganduli bumbung bambu yang bukan
lain adalah Setan Arak keluarkan tawa mengekeh.
Lalu dekatkan bumbung bambu yang ada di tan-
gan kanannya. Terdengar gelegukan beberapa
kali. "Kau siapa"!" Setan Arak balik bertanya, membuat Dewa Maut kernyitkan
dahi. Namun di-am-diam pemuda ini segera maklum jika orang
tua di hadapannya tak bisa dipandang sebelah
mata. Suaranya mampu membuat telinga berden-
gung! "Orang tua! Kusarankan padamu untuk cepat tinggalkan tempat ini!"
Setan Arak tengadahkan kepalanya. Me-
mandang dengan mata terpejam-pejam pada anak
perempuan di atasnya yang bukan lain adalah
Putri Kipas. Yang dipandangi tersenyum-senyum
seraya terus berkipas-kipas.
"Ah, rupanya kau menyukai tempat ini.
Padahal orang menyuruh kita pergi. Bagaimana
cucuku" Apa pendapatmu tentang semua ini"!"
Putri Kipas gelengkan kepalanya. Setan
Arak ikut gelengkan kepala. Lalu berkata.
"Anak muda! Kau lihat sendiri. Cucuku ge-
lengkan kepalanya. Berarti aku dengan berat hati harus di sini. Sampai cucuku
mengajakku pergi!"
"Hmm.... Begitu" Berarti kau tak turut sa-
ranku. Itu berarti nasib buruk bagimu juga cu-
cumu!" "Nasib buruk" Apa maksudmu, Anak Mu-da"!"
Dewa Maut dongakkan kepala. Seakan in-
gin unjuk kebolehan, dia perdengarkan suara ta-
wa mengekeh panjang. Karena suara tawanya te-
lah dialiri tenaga dalam, maka suara tawanya
bergemuruh keras!
Tiba-tiba Setan Arak ikut-ikutan mendon-
gak. Dari mulutnya terdengar suara tawa berge-
lak-gelak. Hingga kejap itu juga di tempat itu terdengar suara tawa bersahut-
sahutan. Keras dan
menggemuruh! Anehnya, Putri Kipas yang berada
di atas Setan Arak seakan tak berpengaruh. Dia
tetap tersenyum-senyum seraya berkipas-kipas.
Di seberang sana, begitu terdengar suara
tawa bersahut-sahutan, Pendekar 108 dan Ratu
Sekar Langit buka kelopak mata masing-masing.
Pendekar 108 cepat kerahkan tenaga dalamnya
untuk mengatasi suara tawa yang seakan hendak
membuat telinganya tuli. Dia serentak bergerak
bangkit. Lalu meneliti pakaian yang dikenakan
hangus, sekujur tubuhnya terasa ngilu, namun
dia merasa lega karena tidak ada yang cidera. Dia kemudian berpaling pada Ratu
Sekar Langit. Pendekar 108 membelalak. Pakaian yang dikenakan-
nya telah berubah kecoklatan seperti hangus. Sekujur kulit tubuhnya juga berubah
agak kecokla- tan. Dari mulutnya terdengar erangan perlahan.
Murid Wong Agung cepat menghambur.
Dengan perlahan-lahan ditolongnya gadis cantik
ini untuk bangkit duduk.
"Ratu Sekar Langit...," panggil Aji dengan perasaan khawatir. Sepasang matanya
meman- dang lekat-lekat pada paras wajah gadis di hadapannya.
Ratu Sekar Langit tersenyum. Mungkin
merasa senang, murid Wong Agung segera me-
rengkuh tubuh Ratu Sekar Langit dan dipeluknya
erat-erat. Meski masih merasa sakit pada sekujur tubuhnya, namun dipeluk orang
yang selama ini
dirindukan, Ratu Sekar Langit segera pula ta-
kupkan tangannya memeluk tubuh Pendekar 108.
Kedua orang ini sejenak tenggelam dalam pera-
saan masing-masing sambil saling berpelukan.
Tiba-tiba terdengar bentakan dari arah de-
pan. Seakan tersentak sadar, keduanya saling lepas pelukan masing-masing, lalu
sama-sama ber- paling ke depan.
'Setan Arak!' seru Aji mengenali orang tua
di hadapan Dewa Maut.
Saat itu baik Dewa Maut dan Setan Arak
telah hentikan tawa masing-masing. Lalu terden-
gar Dewa Maut keluarkan bentakan keras.
"Kau sengaja unjuk kebolehan. Baik, perli-
hatkan kehebatanmu!"
Habis berkata begitu, Dewa Maut berkele-
bat, kedua tangannya bergerak menghantam ke
arah kepala Setan Arak.
Wuuuttt! Angin deras melesat mendahului sebelum
tangan itu sendiri menghajar sasaran.
Setan Arak mundur ke belakang. Dalam
keadaan seperti itu, orang tua ini berpikir cepat.
Dia mungkin saja dengan mudah dapat menyela-
matkan diri dari hantaman Dewa Maut, tapi anak
yang ada di atasnya" Dia juga harus disela-
matkan dari hantaman lawan. Memikir sampai di
situ, seraya mundur ke belakang Setan Arak run-
dukan kepalanya lalu disentakkan keras ke atas.
Wuuuttt! Tubuh Putri Kipas melambung tinggi ke
udara. Bersamaan dengan itu hantaman tangan
Dewa Maut menggebrak!
Setan Arak membuat gerakan aneh. Tan-
gan kiri kanannya yang masih memegang bum-
bung arak direntangkan. Kedua kakinya ber-
jingkrak. Tiba-tiba tubuhnya terhuyung-huyung
seakan hendak roboh. Anehnya, gerakannya ini
mampu membuat hantaman tangan Dewa Maut
lewat sejengkal di atas kepalanya! Begitu serangan lewat, Setan Arak lemparkan
bumbung bam- bunya ke arah Putri Kipas yang telah menukik ke bawah. Seakan sudah tahu apa
yang harus dilakukan, begitu bumbung bambu melayang, Putri
Kipas membuat gerakan jungkir balik satu kali.
Tahu-tahu kedua kakinya telah berada di atas
bumbung bambu dan kini melayang turun perla-
han-lahan! "Luar biasa!" gumam Pendekar 108 dengan mata tak berkesip, murid Wong Agung ini
lambaikan tangannya pada Putri Kipas begitu gadis cantik cilik ini mendarat.
Putri Kipas memandang sejenak pada Se-
tan Arak. Lalu membungkuk mengambil bum-
bung bambu yang ternyata masih terisi arak, dan berlari ke arah Pendekar 108.
Begitu Putri Kipas sampai di hadapannya,
Pendekar 108 segera berkata.
"Tempo hari kau bisa mengobati seseorang.
Kuharap kau sekarang mau mengobati temanku
ini!" Ratu Sekar Langit tertegun mendengar ucapan Pendekar 108. Dia seakan masih
tak percaya dengan pendengarannya. Sementara Putri
Kipas memandang pada Pendekar 108, lalu bera-
lih pada Ratu Sekar Langit. Pendekar 108 anggu-
kan kepala sambil tersenyum.
Putri Kipas mendekat. Tanpa mempeduli-
kan pandangan mata Ratu Sekar Langit yang ke-
heranan, anak perempuan ini segera meneliti ba-
gian tubuh Ratu Sekar Langit yang berwarna agak kecoklatan.
Putri Kipas lalu mendekat pada Aji. Wajah-
nya didekatkan pada telinga murid Wong Agung
ini, membisikkan sesuatu.
"Mana mungkin"!" tiba-tiba Pendekar 108
berseru seakan terkejut. Namun Putri Kipas
hanya anggukan kepala sambil angkat bahunya,
membuat Pendekar 108 geleng-geleng kepala.
"Apa yang dikatakannya"!" Ratu Sekar Langit bertanya sambil memandang silih
berganti pada Pendekar 108 dan Putri Kipas.
"Kau harus meminum arak yang ada di
bumbung bambu itu!" ujar Pendekar 108 pelan.
Ratu Sekar Langit beliakan sepasang ma-
tanya. Dipandanginya Putri Kipas dari bawah
hingga atas. "Kau tak usah meragukannya. Aku meli-
hatnya sendiri bagaimana dia menyembuhkan se-
seorang. Lagi pula orang tua yang bersamanya
adalah orang tua yang sudah kukenal!" kata Pendekar 108 menghilangkan keraguan
di hati Ratu Sekar Langit. "Tapi...."
"Ratu Sekar Langit.... Kau terluka. Sebaiknya kau coba dulu...," saran Aji lalu
ulurkan tangan untuk meminta bumbung bambu dari Putri
Kipas. Putri Kipas berikan salah satu bumbung
bambu yang masih berisi arak.
Aji mendekatkan bumbung arak pada Ratu
Sekar Langit. Gadis ini mengkerut. Mulutnya di-katupkan rapat-rapat, sementara
wajahnya dipa- lingkan. "Ratu Sekar Langit.... Waktu kita tak ba-
nyak. Bukan tak mungkin manusia itu akan la-
kukan serangan lagi!" seraya berkata, Pendekar 108 sodorkan bumbung bambu pada
Ratu Sekar Langit. Dengan tangan sedikit gemetar, Ratu Se-
kar Langit menerima bumbung bambu. Lalu me-
mandang lekat-lekat pada Pendekar 108. Murid
Wong Agung tersenyum sambil anggukan kepala.
Dengan tangan masih gemetar, Ratu Sekar
Langit perlahan-lahan dekatkan bumbung bambu
pada mulutnya. Namun mulutnya tak membuka.
Malah sepasang matanya memejam rapat.
"Hmm.... Seandainya bukan dia, aku sudah
tak sabaran...!" gerutu Pendekar Mata Keranjang 108 dalam hati. Lalu gerakan
tangannya memegang tangan Ratu Sekar Langit dan mendorong-
nya pelan ke mulut gadis cantik yang tampak


Pendekar Mata Keranjang 21 Prahara Dendam Leluhur di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bergetar itu. Perlahan-lahan Ratu Sekar Langit membu-
ka mulutnya. Pendekar 108 segera mendorongnya
kembali lebih cepat. Bumbung bambu telah me-
nempel di mulut Ratu Sekar Langit. Dan perla-
han-lahan pula arak dalam bumbung mengalir
masuk ke mulutnya.
Mula-mula Ratu Sekar Langit merasakan
aliran panas pada lidahnya. Dia menyentakkan
kepalanya hendak memuntahkan arak yang telah
ada dalam mulutnya, namun Aji cepat mencegah
dengan menahan kepala Ratu Sekar Langit. Hing-
ga mau tak mau dengan meringis, gadis cantik ini memasukkan arak ke rongga
kerongkongannya.
Tiba-tiba Ratu Sekar Langit keluarkan se-
ruan tertahan, hingga dia seakan tercekik. Na-
mun cuma sesaat. Begitu arak sudah benar-benar
masuk, perlahan-lahan rasa hangat menjalari se-
kujur tubuhnya. Dan tubuhnya yang tadi terasa
ngilu bukan main perlahan-lahan hilang.
Merasa ada perubahan pada tubuhnya, Ra-
tu Sekar Langit tak segan-segan lagi meneguk
arak yang masih tersisa dalam bumbung. Begitu
arak dalam bumbung habis tak tersisa, menda-
dak terjadi hal yang luar biasa. Kulit Ratu Sekar Langit yang tadinya berwarna
kecoklatan, perlahan-lahan berubah kembali seperti semula!
Untuk beberapa saat lamanya, baik Ratu
Sekar Langit maupun Pendekar 108 tertegun.
Namun buru-buru Ratu Sekar Langit sadar. Dia
segera bangkit dan membungkuk pada Putri Ki-
pas seraya berkata.
"Terima kasih.... Budi baikmu akan kuke-
nang selamanya...."
Putri Kipas gelengkan kepalanya. Dari mu-
lutnya tak terdengar sepatah kata pun. Hanya bibirnya sunggingkan senyum.
Tiba-tiba Pendekar 108 teringat sesuatu.
Keningnya mengernyit sambil meneliti kulit tu-
buhnya. "Heran. Kenapa kulitku tidak berubah saat
terkena pukulan angin keparat itu"!" Pendekar 108 mencari-cari apa sebabnya.
Namun tak berhasil mendapat jawaban.
Sebenarnya apa yang dialami murid Wong
Agung ini ada hubungannya dengan Arca Dewi
Bumi. Sewaktu tiga mutiara biru yang ada di kening area itu masuk dalam telapak
tangan Aji, secara aneh tubuh Aji akan kebal terhadap semua
jenis racun. Hingga tatkala angin aneh yang berputar-putar pukulan sakti Dewa
Maut yang men- gandung racun yang masuk melalui sedotan na-
pasnya, maka tubuh dan kulit Aji tak akan beru-
bah. "Siapa namamu"!" tiba-tiba Ratu Sekar Langit ajukan pertanyaan pada Putri
Kipas. "Putri Kipas!" jawab anak perempuan cilik itu seraya balas menatap pada Ratu
Sekar Langit. Saat itulah dari arah depan terdengar ben-
takan-bentakan keras. Pendekar Mata Keranjang,
Ratu Sekar Langit, serta Putri Kipas segera arahkan mata masing-masing ke depan.
Di depan sana, terlihat Dewa Maut bant-
ing-bantingkan kedua kakinya ke atas tanah. Tu-
buhnya telentang, sementara kedua tangannya
terpentang. Kedua tangannya tak bisa digerakkan karena di atasnya Setan Arak
juga tampak telentang, sementara kedua kakinya terpentang dan
menekan tangan kiri kanan Dewa Maut. Sementa-
ra tangan kiri kanannya silih berganti menenggak arak yang ada di genggaman
tangannya! "Tua bangsat! Kuremukan tubuhmu! Aku
bersumpah!" bentak Dewa Maut seraya terus
banting-bantingkan kakinya agar tubuhnya bisa
terbebas. Namun hingga tanah di bawahnya ter-
bongkar dan tanahnya berhamburan ke udara,
Dewa Maut tak bisa membebaskan dirinya! Bah-
kan bentakan-bentakan secara tiba-tiba terhenti seakan terenggut setan. Dan tak
lama kemudian berganti menjadi seruan tertahan.
Ternyata, begitu Dewa Maut keluarkan
bentakan-bentakan, Setan Arak gerakan kaki ki-
rinya dan dihantamkan ke arah mulut pemuda
ini. Hingga sang pengemban tugas dendam lelu-
hur ini berseru tertahan. Darah muncrat dari mulut dan hidungnya.
Saat itulah, tiba-tiba sesosok bayangan hi-
tam berkelebat. Bersamaan itu gelombang angin
dahsyat yang disertai bongkahan bara api mem-
bersit cepat ke arah Setan Arak.
"Setan Arak! Awas serangan!" teriak Pendekar 108 keras.
Setan Arak membesarkan sepasang ma-
tanya. Pantatnya cepat disentakkan ke atas ta-
nah. Tubuhnya melenting ke udara, membuat ge-
rakan jungkir balik lalu mendarat dengan jong-
kok. Kedua tangannya bergerak mendekatkan
bumbung bambu ke mulut. Terdengar suara gele-
gukan beberapa kali. Lalu dengan tertawa gelak-
gelak, orang tua ini duduk menggelosoh!
Bongkahan bara api terus melesat dan le-
wat sejengkal di atas tubuh Dewa Maut, terus
menerus lalu meledak ketika menghajar sebuah
batang pohon. Pohon itu langsung tumbang den-
gan akar tercerabut!
Dewa Maut cepat bangkit. Dan merasa ada
orang yang menolong, dia berpaling. Sejenak pe-
muda ini terkejut. Sepuluh tombak di depan sana dia melihat seorang pemuda
berjubah hitam bergaris-garis putih.
"Penyair Berdarah!" seru Pendekar 108
mengetahui siapa adanya pemuda berjubah hitam
bergaris-garis putih.
"Hmm.... Dia! Manusia yang bergelar Pe-
nyair Berdarah!" kata Dewa Maut dalam hati seraya menatap tajam. Dia tak
anggukan kepala
atau keluarkan kata terima kasih. Sebaliknya
pemuda berjubah hitam bergaris-garis putih yang bukan lain memang Penyair
Berdarah sunggingkan senyum dingin. Dalam hati diam-diam pemu-
da murid Iblis Gelang Kematian ini berucap.
"Monyet sombong! Seandainya aku tak
mengharapkan sesuatu darimu, masa bodoh kau
tadi tewas di tangan manusia arak itu!" Pandangannya lalu beralih pada Pendekar
Mata Keran- jang. "Hmm.... Sayang, dia bersama manusia arak itu lagi. Jika tidak, sudah
ingin aku melumpuhkannya! Gadis yang bersamanya, cantik dan
bertubuh bagus. Siapa dia" Lalu anak kecil itu"
Hmm.... Untuk sementara aku tak akan ikut
campur urusan ini. Saatnya kelak aku pasti dapat membungkamnya!" Penyair
Berdarah diam tak
bergerak dari tempatnya.
Sementara itu, Dewa Maut segera paling-
kan wajahnya pada Setan Arak. Pemuda ini diam-
diam merasa gentar juga setelah mengetahui jika Setan Arak masih sulit
ditaklukannya. Bahkan ji-ka tak ditolong Penyair Berdarah mungkin dia
masih belum bisa membebaskan diri dari hanta-
man kaki orang tua itu. Memikir sampai di situ, pemuda ini lantas lirikkan
sepasang matanya pa-da Pendekar Mata Keranjang 108.
Tiba-tiba Dewa Maut putar tubuhnya se-
tengah lingkaran, dan sekonyong-konyong kedua
tangannya dihantamkan dengan telapak terkem-
bang. "Pendekar Mata Keranjang! Awas!" seru Ra-tu Sekar Langit.
Asap merah serta angin membentuk ling-
karan yang menebarkan hawa panas melesat ke
arah Pendekar 108, Ratu Sekar Langit serta Putri Kipas. "Ratu. Selamatkan
dirimu!" teriak Pendekar 108. Lalu dia berkelebat sambil menyambar tubuh Putri
Kipas. Sementara Ratu Sekar Langit segera pula membentak dan ikut berkelebat
sela- matkan diri. Di depan sana, beberapa batang pohon
tampak tergulung putaran angin, lalu membu-
bung ke udara sebelum akhirnya melayang deras
dengan hancur berantakan terkena pukulan sakti
'Dewa Membakar Bumi' yang dilancarkan Dewa
Maut. Mendadak sepasang mata Dewa Maut
membeliak besar, dadanya bergetar keras. Bukan
karena melihat pukulannya lolos menghajar sasa-
ran, namun karena seruan Ratu Sekar Langit
yang memanggil Aji dengan Pendekar Mata Keran-
jang sewaktu serangannya dilepaskan.
"Jahanam! Jadi...," Dewa Maut tak te-
ruskan gumamannya. Dia cepat berpaling. Men-
dadak sepasang matanya semakin mendelik ang-
ker, karena sosok Pendekar 108 tak lagi ditemu-
kannya di tempat itu. Demikian juga Ratu Sekar
Langit serta Setan Arak dan Putri Kipas. Yang
masih terlihat di tempatnya adalah Penyair Ber-
darah, yang memandang ke arahnya dengan se-
nyum penuh ejekan.
Dewa Maut balas memandang pada Penyair
Berdarah. Mulutnya komat-kamit hendak mengu-
capkan sesuatu. Namun sebelum ucapannya ter-
dengar, Penyair Berdarah telah angkat bicara.
Nadanya seperti orang melantun syair.
Darah tak akan mengalir.
Balas dendam hanya sebuah mimpi.
Jika langkah tak dihitung, jika otak tak diputar! "Dewa Maut! Kusarankan padamu,
segala angan-anganmu hanya akan menjadi kenyataan
mimpi buruk jika kau tak pandai memperhitung-
kan langkah!"
Habis berkata begitu, Penyair Berdarah ba-
likan tubuh. Sebelum dia berkelebat pergi dia masih sempat menyambung ucapannya.
"Jangan lupa, satu purnama di depan ku-
tunggu kau di tempat yang sudah kita janjikan!"
Lalu dia berkelebat meninggalkan tempat itu.
"Jahanam! Aku tak butuh nasihatmu!" teriak Dewa Maut. Kedua tangannya diangkat
ting- gi-tinggi. Namun Penyair Berdarah telah lenyap.
Sebagai pelampiasan marahnya, kedua tangannya
segera dihantamkan ke tanah.
Bummm! Tanah itu langsung terbongkar dan ber-
hamburan ke udara menutupi pemandangan. Ke-
tika tanah itu sirap, Dewa Maut sudah tak nam-
pak di tempat itu!
SELESAI Segera terbit: LASKAR DEWA Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
https://www.facebook.com/
DuniaAbuKeisel Panji Sakti ( Jit Goat Seng Sim Ki) 3 Sastrawan Cantik Dari Lembah Merak Kong Ciak Bi Siucai Karya Raja Kelana Pendekar Aneh Naga Langit 34
^