Pencarian

Laskar Dewa 3

Pendekar Mata Keranjang 22 Laskar Dewa Bagian 3


kan hal itu"!" maki Aji dalam hati. Dia lalu diam tak memberi sambutan lagi atas
kata-kata Setan
Arak. "Ng.... Bagaimana kalau kau menghubungi beberapa tokoh yang kau kenal baik
dan nyata-nyata berada di pihak kita"!" Ratu Sekar Langit memberi usul.
"Hmm.... Itu bisa saja. Namun mencari dan
menemukan tokoh-tokoh itu layaknya mencari ku-
tu di lapangan rambut! Belum tentu aku berhasil
menemukan satu orang dalam jangka waktu tiga
purnama! Mereka adalah orang-orang yang tak
dapat ditentukan di mana tempatnya!" ujar Aji dengan garuk-garuk lengannya,
membuat Ratu Sekar Langit ikut-ikutan merasa bingung.
"Hmm.... Bagaimanapun juga aku harus se-
gera melakukan sesuatu! Mumpung waktunya ma-
sih agak jauh, untuk sementara aku akan coba
menghubungi beberapa orang.... Kalau tidak ber-
hasil, apa boleh buat. Aku tetap akan ke Lembah
Supit Urang sendirian! Aku harus dapat mencegah
persekongkolan bahaya ini!" tekad Aji dalam hati.
Lalu setelah berpikir sejenak, dia berkata.
"Kek! Aku harus pergi sekarang!"
"Hmm.... Begitu" Bagus! Bertindaklah apa
yang menurutmu baik. Aku tak bisa membantu
apa-apa dalam urusan ini!"
"Aku ikut!" tiba-tiba Ratu Sekar Langit berseru. Sejenak Aji berpaling pada
gadis cantik ini.
Untuk beberapa saat kedua orang ini saling pan-
dang. Murid Wong Agung gelengkan kepalanya
perlahan. "Hmm.... Gadis ini sepertinya selalu
mengkhawatirkan diriku. Sebenarnya aku senang
bisa mengajaknya ikut serta. Namun perjalanan
yang hendak kulakukan akan penuh dengan resi-
ko. Ah...."
"Ratu Sekar Langit.... Untuk sementara ini
sebaiknya kau bersama Putri Kipas dan Setan
Arak. Kelak jika urusan ini selesai, aku akan me-
nyusulmu!" kata Aji dengan suara pelan seakan
tercekat di tenggorokan.
"Kau menolak hanya karena kau meman-
dangku sebagai perempuan. Begitu bukan"!" ujar Ratu Sekar Langit dengan muka
memberengut. Murid Wong Agung gerakkan kepalanya ke
kanan kiri. "Bukan. Bukan itu sebabnya!"
"Lalu apa"!"
"Aku tak bisa mengatakannya, Ratu!" jawab Aji dengan suara serak.
"Ratu. Apa yang dikatakan Aji benar. Se-
baiknya untuk sementara ini kau bersama kami
dahulu. Itu kalau kau mau! Karena terus terang
saja mungkin dia takut kau akan mengalami cela-
ka. Masa' kau tak tahu bagaimana perasaannya
padamu"! Dia itu sebenarnya...," Setan Arak tak meneruskan ucapannya, tapi
mendekatkan bumbung arak ke mulutnya.
Mendengar kata-kata Setan Arak, Ratu Se-
kar Langit langsung merah mengelam. Dia melirik
pada Pendekar 108. Aji hanya bisa usap-usap hi-
dungnya dan melirik juga pada Ratu Sekar Langit.
"Hai! Katanya mau segera pergi sekarang.
Kenapa masih lirak-lirik"!" Setan Arak tiba-tiba keluarkan kata-kata yang
membuat Ratu Sekar Lan-
git dan murid Wong Agung sama-sama blingsatan.
"Hmm.... Aku pergi sekarang, Kek! Ratu Se-
kar Langit.... Putri Kipas," kata Aji lalu bergerak bangkit.
Setan Arak hanya mengangguk. Sementara
Ratu Sekar Langit memandang lekat-lekat, malah
sepasang matanya terlihat mulai berkaca-kaca,
membuat Aji makin trenyuh dan menghela napas
dalam-dalam. "Aji. Perlu kau camkan. Menjadi seorang
pendekar dituntut berkorban. Korban raga dan pe-
rasaan!" kata Setan Arak saat mengetahui ada rasa bimbang di hati Pendekar 108.
Murid Wong Agung mengangguk. Setelah
memandang sekali lagi pada Ratu Sekar Langit
dan anggukkan kepala sambil tersenyum, Aji ba-
likkan tubuh dan melangkah meninggalkan gu-
buk. "Tunggu!" tiba-tiba Putri Kipas berseru menahan langkah Aji.
Pendekar 108 balikkan tubuh. Ternyata Pu-
tri Kipas telah berada di hadapannya.
"Apakah kau akan melangkah dengan ma-
sih seperti ini"!" Putri Kipas ajukan tanya, membuat Aji sejenak kernyitkan dahi
tak mengerti. "Apakah ada yang salah padaku"!"
Putri Kipas tidak menjawab. Perempuan ke-
cil ini hanya tertawa sambil pegang pita-pita di
rambutnya, lalu mengusap-usap bibirnya.
"Astaga!" Pendekar 108 tersadar kalau dirinya kali ini masih mengenakan kuncir
dua di ke- palanya, dan bibirnya masih merah karena di-
poles, juga pakaiannya yang gombrong kedodoran.
Secepat kilat murid Wong Agung ini tanggalkan
pakaian gombrongnya. Lalu mukanya diseka den-
gan pakaian gombrong itu. Kedua kuncir rambut-
nya dilepas. Sekejap kemudian, murid Wong Agung ini
telah mengenakan pakaian di balik pakaian gom-
brong tadi. Yakni sebuah baju berwarna hijau den-
gan dilapis baju lengan panjang warna kuning.
Rambutnya dikuncir ekor kuda.
"Bagaimana sekarang"!" ujar Aji seraya mengerling pada Ratu Sekar Langit yang
terus mem- perhatikannya. Gadis muda ini tersenyum meski
amat kecut. Sementara Putri Kipas acungkan jari
jempolnya. Aji mengulurkan tangan kanannya dan
menggoyang-goyang kepala Putri Kipas. Lalu ba-
likkan tubuh dan berkelebat meninggalkan tempat
itu. SEMBILAN CUACA saat itu amat dingin mencekam.
Angin berhembus menusuk tulang. Di angkasa bu-
lan tertutup arakan awan putih, hingga cahayanya
tak mampu menembus untuk menerangi jagat
raya. Di atas puncak bukit yang hanya terdiri dari gundukan batu-batu padas
seorang perempuan
tua terlihat duduk bersila di depan perapian. Bias cahaya perapian meski
terlihat samar-samar dapat
menunjukkan jika perempuan tua itu mengenakan
pakaian berwarna hitam dari bahan sutera. Pa-
kaian bawahnya berwarna hitam kembang-
kembang putih. Rambutnya putih dan panjang,
hingga tatkala si nenek ini duduk bersila demikian rupa, rambutnya berserakan di
atas tanah. Pada
kedua tangan si nenek melingkar gelang berwarna
kuning. Dia bukan lain adalah Iblis Gelang Kema-
tian yang dalam rimba persilatan namanya sudah
tidak asing lagi.
Sejak tengah malam hingga hampir pagi ini,
si nenek duduk bersila di depan perapian tanpa
bergerak. Hanya sepasang matanya yang besar se-
sekali berputar liar ke sana kemari lalu menarik
napas dalam-dalam.
"Hm... sebenarnya dia harus sudah datang
malam ini! Apakah ada sesuatu hingga malam
hampir pagi dia tak kunjung datang" Kalau dia tak
datang, rencana ini akan...," si nenek tak lanjutkan kata hatinya. Kepalanya
berputar. Tiba-tiba dia putar tubuhnya. Lalu sosoknya melesat dengan
tangan kanan menyentak ke arah perapian. Nyala
api seketika padam tanpa berpelantingannya kayu-
kayu yang dibuat untuk perapian! Dan kejap itu
juga puncak bukit berbatu diselimuti kegelapan!
Bersamaan dengan padamnya perapian, se-
sosok bayangan hitam berkelebat. Dan tahu-tahu
telah tegak berdiri di samping perapian yang telah padam. "Hm.... Aku yakin dia
baru saja di sini! Bi-as hawa panas perapian masih terasa!" Bayangan hitam
nyalangkan sepasang matanya berkeliling.
Tiba-tiba dia berseru tatkala samar-samar diseli-
muti kegelapan, dia dapat menangkap sosok hitam
berambut putih panjang duduk di atas gundukan
batu padas. "Guru!"
Iblis Gelang Kematian tersenyum tipis.
Orang yang baru muncul melangkah mendekat.
Lalu anggukkan sedikit kepalanya sebelum akhir-
nya duduk di hadapan Iblis Gelang Kematian.
"Hampir saja kau terlambat! Sesaat lagi kau
tak datang, kau tak akan bisa menemuiku!" Iblis Gelang Kematian keluarkan suara.
Yang diajak bicara hanya diam saja. Hanya
sepasang matanya yang tajam memandang lekat-
lekat pada wajah si nenek. Rahangnya yang kokoh
tiba-tiba mengembung seakan marah mendengar
ucapan si nenek. Sekejap kemudian mulutnya
membuka dan berkata.
"Guru! Aku sudah datang! Harap kau suka
mengatakan apa maksudmu memanggilku kema-
ri!" Iblis Gelang Kematian tak segera menjawab
pertanyaan orang yang memanggilnya guru. Dia
menarik napas panjang seolah melepas rasa ke-
jengkelan karena lama menunggu. Namun tak la-
ma kemudian dia berkata.
"Manding! Waktu kita tidak banyak. Aku
akan bicara langsung ke persoalan saja. Menjelang
purnama depan, seluruh tokoh golongan kita akan
berkumpul di Lembah Supit Urang. Mereka akan
bersatu untuk melawan sekaligus menghancurkan
orang-orang putih yang selama ini tampaknya ma-
kin merajalela!"
"Tapi apa tidak sebaiknya kita lakukan den-
gan diam-diam"!' sahut orang yang tadi memanggil
Iblis Gelang Kematian dengan sebutan guru. Dia
ternyata adalah seorang pemuda berwajah tampan
dan keras. Sepasang matanya tajam menyengat.
Berdagu kokoh dengan rambut panjang. Mengena-
kan jubah besar berwarna hitam bergaris-garis pu-
tih. Dialah Mending Jayalodra yang lebih dikenal
dengan gelar Penyair Berdarah, murid tunggal Iblis Gelang Kematian.
Mendengar ucapan muridnya, Iblis Gelang
Kematian keluarkan tawa pendek. Lalu ajukan
pertanyaan. "Yang kau maksud dengan diam-diam itu
bagaimana"!"
Sejenak Penyair Berdarah berpikir. Lalu
berkata. "Kita ambil satu persatu orang yang menya-
takan dirinya dari golongan putih! "
Iblis Gelang Kematian kembali keluarkan
tawa pendek mendengar ucapan muridnya.
"Itu akan memakan waktu panjang dan
menguras banyak tenaga, muridku! Karena di satu
pihak kita harus mencari orang-orang itu, di pihak lain kita masih harus
berjuang untuk menakluk-kannya!"
"Lantas kalau diadakan pertemuan di lem-
bah Supit Urang apakah tidak usah mencari
orang-orang golongan putih itu. Dan apakah juga
kita tak perlu mengeluarkan tenaga untuk mem-
bungkamnya"! "
"Segala sesuatu butuh tenaga, Manding!
Namun dengan pertemuan itu, tenaga kita tidak
terlalu banyak keluar. Karena undangan ini tidak
hanya untuk orang-orang golongan kita saja!
Orang-orang golongan putih juga kita beri kabar.
Dengan demikian, mereka akan datang juga ke sa-
na!" "Kalau mereka tidak menyambuti undangan
itu"! " Iblis Gelang Kematian tertawa bergelak-gelak. "Aku sudah berpuluh-puluh
tahun malang melintang dalam persilatan. Orang-orang golongan
putih tentu tidak akan tinggal diam jika mereka
mendengar orang-orang golongan kita akan bersa-
tu menyusun kekuatan! Bahkan tanpa diundang,
jika mereka mendengar, dapat dipastikan mereka
akan datang! "
"Dengan demikian, apakah dapat dipastikan
jika orang yang selama ini kucari akan datang"!"
"Yang kau maksud Pendekar Mata Keran-
jang"!" Penyair Berdarah mengangguk perlahan.
"Pertemuan ini memang untuk memancing-
nya keluar. Dan kalau dia muncul, tentunya dia
tak akan sendirian! Itulah yang diharapkan dari
pertemuan itu! "
"Apakah semua tokoh golongan kita telah
diberitahu"!" tanya Penyair berdarah.
"Sebagian sudah. Namun kabar berita ini
akan disebar ke mana-mana. Jadi meski tanpa
menemui satu persatu, mereka tentu akan hadir!"
Sesaat kemudian di antara kedua orang ini
sama-sama diam. Tak berselang lama kemudian,
Iblis Gelang Kematian goyang-goyangkan kepa-
lanya. Lalu menatap tajam pada muridnya, mem-
buat sang murid kernyitkan dahi. Sebelum si mu-
rid buka suara, sang guru telah berkata pelan.
"Manding. Lima hari sebelum purnama,
yang berarti lima hari sebelum pertemuan itu ber-
langsung, kau harus siapkan diri baik-baik. Kare-
na aku melihat beberapa tokoh muda yang il-
munya tak bisa diremehkan telah muncul lagi!
Meski mereka berada di pihak kita, namun mereka
juga bisa jadi penghalang di kelak kemudian hari.
Maka dari itu kau harus berlatih lagi kalau kau
tak ingin dikalahkan mereka pada suatu saat ke-


Pendekar Mata Keranjang 22 Laskar Dewa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lak!" Penyair Berdarah menyeringai lebar. Wajahnya yang keras tampak membesi.
"Guru! Apa-
kah kau menduga aku dapat dengan mudah dika-
lahkan mereka"!"
Iblis Gelang Kematian mendongak meman-
dangi langit yang masih tertutup awan. "Aku tidak mengatakan begitu. Namun
setidak-tidaknya kau
harus lebih waspada. Karena pemuda bergelar Ma-
laikat Berdarah Biru juga Gembong Raja Muda te-
lah muncul lagi!"
Sejenak Penyair Berdarah terkesiap men-
dengar ucapan gurunya. Sepasang matanya mem-
beliak lebar. "Guru. Bukankah manusia bergelar Malai-
kat Berdarah Biru kabarnya telah mampus di tan-
gan Pendekar Mata Keranjang"! "
"Itulah. Kadang-kadang apa yang kita den-
gar lain dengan kenyataan! Aku pun semula men-
duga kabar tentang tewasnya pemuda itu benar.
Namun setelah aku bertemu sendiri, aku katakan
padamu, pemuda itu masih hidup!"
"Hm.... Hidup atau sudah tewas, tak ada
pengaruhnya bagiku! Aku yakin bisa membuatnya
roboh meski kabarnya dia memiliki ilmu tinggi!
Bahkan aku pun tak akan mundur jika berhada-
pan pemuda yang baru saja muncul dan sekarang
mulai dibicarakan orang!"
Iblis Gelang Kematian menggumam tak je-
las. "Kau mengatakan pemuda yang baru muncul
dan kini banyak dibicarakan orang. Apakah yang
kau maksud pemuda bergelar Dewa Maut"!"
Penyair Berdarah tersenyum dingin dengan
anggukkan kepala.
"Muridku. Ini sungguh suatu kesempatan
baik bagimu. Jika pemuda-pemuda itu bisa ber-
kumpul dan bersatu, maka tak akan kesulitan un-
tuk membekuk Pendekar Mata Keranjang!"
"Aku tak akan pernah mau bersatu dengan
mereka! Aku ingin menggenggam rimba persilatan
dengan tanganku sendiri!" ujar Penyair Berdarah dengan nada berapi-api.
"Itu adalah akhir dari tujuan, muridku! Un-
tuk menuju ke sana, kau harus terlebih dahulu
merangkul mereka. Setelah lawan bisa dilumpuh-
kan, saatnya kau menendang mereka satu persa-
tu! Kau harus pergunakan siasat! Tanpa siasat, tu-
juanmu akan sukar tercapai!" tutur Iblis Gelang Kematian.
"Kita lupakan dulu mereka. Kita kembali bi-
cara soal pertemuan itu! Sekarang kau harus me-
nebar berita tentang pertemuan menjelang purna-
ma itu. Beritahukan kepada siapa saja! Dan lima
hari menjelang pertemuan, kau kutunggu lagi di
sini! Aku akan memberimu sesuatu yang kelak
mungkin dapat berguna saat pertemuan itu ber-
langsung!"
Penyair Berdarah sejenak memandang lekat
pada Iblis Gelang Kematian.
"Aku akan jalankan ucapanmu! Sekarang
aku pamit dulu!" Penyair Berdarah bergerak bangkit. Lalu membungkuk sedikit dan
tampak kaku karena sebenarnya pemuda ini enggan berbuat ba-
sa-basi seperti itu meski pada orang yang dipang-
gilnya guru. "Sebelum aku pergi, boleh aku tahu, apa
yang hendak kau berikan padaku menjelang per-
temuan itu?" tanya Penyair Berdarah dengan
memperhatikan gurunya.
Sang guru keluarkan tawa perlahan. Sete-
lah mendehem beberapa kali dia berkata datar.
"Hal itu tak dapat kukatakan sekarang!
Namun yang pasti sesuatu itu sangat berguna ba-
gimu!" "Setan alas!" maki Penyair Berdarah dalam hati. Lalu putar tubuhnya
membalik dan tinggalkan puncak bukit itu.
Iblis Gelang Kematian pandangi kepergian
muridnya. "Kalau kukatakan sekarang, kau pasti tak
akan jalankan ucapanku! Hik... hik... hik...!" Puas tertawa, nenek ini gerakkan
tubuhnya berputar.
Lalu sosoknya melesat menuruni bukit mengambil
arah berlawanan dengan yang diambil muridnya.
SEPULUH KEPALA berambut lebat itu agak lama ma-
suk menyelam dalam air sendang berair jernih dan
sejuk di tengah hutan kecil yang di sekitarnya ba-
nyak ditumbuhi pohon-pohon besar yang kerin-
dangan daunnya mampu menahan sinar terik
sang matahari. Tak lama kemudian kepala itu
muncul lagi dari dalam air, dan mungkin terasa
segar, sesaat kemudian kepala itu telah lenyap
masuk lagi. Ketika muncul lagi dan bergoyang-
goyang ke samping kiri kanan mengibaskan air
yang membasahi rambutnya, tiba-tiba sepasang
mata di kepala itu menangkap satu bayangan di
balik pohon di sekitar sendang.
Orang yang mandi berendam dalam sen-
dang ini segera sentakkan kedua tangannya berke-
cipak dalam air. Bersamaan dengan itu tubuhnya
melesat keluar dari dalam sendang, dan serta-
merta seraya melayang ke tempat di mana dia me-
letakkan pakaiannya, kedua tangannya kembali
menyentak ke arah dia menangkap adanya bayan-
gan. Serangkum angin dahsyat dengan suara
bergemuruh menyambar dari tangan orang ini.
Dan sekejap kemudian, ranggasan semak belukar
yang berada di balik pohon di mana dia menang-
kap bayangan langsung terbongkar dengan akar
tercerabut keluar dan langsung membumbung ke
udara! Dengan gerak cepat, orang ini segera men-
genakan pakaiannya. Setelah berpakaian, tampak-
lah dengan jelas siapa adanya orang ini. Ternyata
dia adalah seorang pemuda bertubuh tegap besar,
berambut panjang, bermata tajam, mengenakan
jubah besar berwarna hitam yang dilapis dengan
baju putih yang di bagian dadanya terdapat gam-
bar sebuah pintu gerbang.
Pemuda yang bukan lain adalah Dewa Maut
ini segera berkelebat ke balik pohon yang semak
belukarnya telah terambas rata. Dan tanpa banyak
bicara lagi kedua tangannya kembali menghantam.
Wuttt! Angin aneh membentuk lingkaran berputar-
putar segera melesat. Bersamaan dengan itu bebe-
rapa pohon di sekitar tempat itu tergulung dan tak lama kemudian membumbung ke
udara terbongkar dari tempatnya! Ketika batangan itu melayang
turun, telah berubah menjadi patahan kecil-kecil!
Ketika suasana sirap, sepasang mata Dewa
Maut segera menyapu berkeliling. Namun meski
keadaan di situ sudah rata karena pukulannya,
namun pemuda ini tak menemukan seorang pun!
"Jahanam! Siapa pun kau, tunjukkan diri!"
teriak Dewa Maut.
Pada saat itulah terdengar suara orang ter-
tawa. Dewa Maut cepat berpaling. Pemuda ini me-
lihat sesosok bayangan melayang turun dari se-
buah pohon tak jauh dari sampingnya yang sela-
mat dari hantaman tangannya.
Begitu sosok itu mendarat, Dewa Maut nya-
langkan sepasang matanya tak berkedip ke depan.
Di hadapannya kini tegak berdiri seorang perem-
puan muda mengenakan pakaian putih. Pakaian
bagian dadanya dibuat demikian rendah hingga
sebagian buah dadanya yang membusung kencang
tampak menyembul. Pakaian bawahnya tampak
membelah tengah, menampakkan kedua paha
yang putih mulus! Parasnya cantik jelita. Sepasang matanya bundar dengan rambut
panjang. Untuk beberapa saat lamanya Dewa Maut
hanya memandang seakan terpesona. Malah da-
danya terlihat bergetar, sementara napasnya
memburu tanda pemuda ini mulai dirasuki gejolak
nafsu. Sementara gadis muda yang dipandangi
seakan acuh dengan pandangan si pemuda meski
matanya melirik tajam dan bibirnya menyungging
senyum. "Hm... pemuda berparas keras dan tampan.
Tubuhnya tegap dengan otot-otot menonjol. Sein-
gatku pernah bertemu dengan pemuda ini. Apalagi
melihat pukulan yang dilepaskannya tadi, dia pasti memiliki kepandaian
tinggi...," bentak si gadis berbisik. "Hai!" si gadis berteriak membuyarkan rasa
pesona Dewa Maut. "Rasa-rasanya kita pernah
bertemu. Kau pernah pula sebutkan gelarmu.
Sayang, aku lupa. Kalau tak keberatan, bisa se-
butkan gelarmu lagi"!"
Dewa Maut yang wajahnya telah berubah
demi melihat siapa adanya orang, sunggingkan se-
nyum. Lalu melangkah tiga tindak ke depan. Se-
raya usap-usap dadanya dia berkata. Suaranya pe-
lan namun terdengar agak bergetar dan serak.
"Seperti kata-katamu, memang benar kita
pernah bertemu dan kau kabur waktu itu. Aku
adalah Dewa Maut! Kau siapa"!" Dewa Maut balik ajukan tanya.
Sejenak si gadis surutkan langkah satu
langkah ke belakang dengan dada berdebar ken-
cang. Sepasang matanya yang bulat nanar me-
mandang ke arah Dewa Maut.
"Hm.... Jadi manusia yang akhir-akhir ini
menjadi pembicaraan orang sesungguhnya pernah
kukenal. Ilmunya memang tinggi. Tapi... aku lebih
tertarik dengan tubuhnya. Hm.... "
Si gadis tengadahkan sedikit kepalanya seo-
lah ingin menampakkan kejenjangan lehernya.
Bersamaan dengan itu dia menarik napas dalam-
dalam hingga dadanya bergerak-gerak. Dari mu-
lutnya yang merah dan membentuk bagus terden-
gar dia berucap.
"Orang-orang memanggilku dengan sebutan
Dewi Tengkorak Hitam.... "
"Dewi Tengkorak Hitam. Hm... julukan ba-
gus. Sebagus orangnya!" gumam Dewa Maut me-
muji. Padahal dalam hati Dewa Maut sebenarnya
tidak bisa menerima kalau orang yang berada di
dekatnya, waktu itu minggat begitu saja. (Baca
serial Pendekar Mata Keranjang dalam episode:
"Tahta Setan"). Tapi entah mengapa melihat sembulan buah dada yang menantang
milik Dewi Tengkorak Hitam, pikiran itu seketika hilang begi-
tu saja. Mata Dewa Maut malah makin membela-
lak, dadanya makin berdebar keras, sementara ja-
kunnya turun naik tak karuan.
"Namamu sudah kudengar. Dan nyatanya
apa yang kudengar tidak berbeda dengan kenya-
taan. Hanya aku salah duga!" ujar Dewi Tengkorak Hitam dengan rapikan rambutnya.
"Salah duga"!" ulang Dewa Maut dengan
kening berkerut, tak mengerti arah ucapan Dewi
Tengkorak Hitam.
Dewi Tengkorak Hitam anggukkan kepa-
lanya perlahan. Seraya mengerling dia berkata.
"Aku menduga, orang yang bergelar Dewa
Maut adalah seorang kakek berusia kira-kira lima
puluh tahunan. Tak tahunya..." gadis cantik ini tak lanjutkan ucapannya, membuat
Dewa Maut langsung menyahut.
"Tak tahunya apa..."!'
"Tak tahunya seorang berusia muda dan
berwajah tampan yang pernah kukenal.... "
Hidung Dewa Maut kontan mengembang
mendengar pujian Dewi Tengkorak Hitam. Pemuda
ini batuk-batuk kecil lalu tertawa terbahak-bahak.
"Aku bukan hanya membuatmu salah duga,
tapi lebih dari itu. Aku akan membuat semua
orang tercengang tak percaya!"
"Maksudmu"!" tanya Dewi Tengkorak Hitam
dengan dahi berkerut.
Dewa Maut seakan tidak mendengar perta-
nyaan Dewi Tengkorak Hitam. Dia teruskan ta-
wanya. Setelah merasa puas tertawa dia berkata.
"Semua orang akan kubuat tak percaya jika
manusia muda bergelar Dewa Maut akan merajai
rimba persilatan! Ha... ha... ha...!"
"Manusia ini sombong. Apakah dia tak
mengerti, untuk menggapai cita-cita itu harus ber-
hadapan dahulu dengan beberapa tokoh yang na-
manya sudah tak asing lagi dalam percaturan rim-
ba persilatan. Apakah dia merasa yakin dapat
menghadapi mereka-mereka itu" Ah, itu urusan-
nya. Yang kubutuhkan adalah dirinya! Hm... tu-
buhnya yang tegap tentu.... Ah...," Dewi Tengkorak Hitam mendesah panjang. Gadis
ini lantas melangkah satu tindak ke depan.
"Melihat hantamanmu tadi, aku tak ragu la-
gi jika cita-citamu akan terlaksana! Dari mana kau peroleh ilmu yang demikian
hebat itu"!" basa-basi Dewi Tengkorak Hitam ajukan tanya.
"Hal itu tak bisa kukatakan pada orang.
Hanya saja dengan ilmu yang kumiliki selain ingin
merajai rimba persilatan, aku juga punya tugas!"
"Tugas" Dari gurumu"! Tugas apa"!"
"Mencari manusia bergelar Pendekar Mata
Keranjang 108 dan Malaikat Berdarah Biru! "
Air muka Dewi Tengkorak Hitam langsung
berubah. Malah tak sadar kedua kakinya tersurut
mundur satu langkah. Mulutnya membuka.
"Melihat perubahan wajahmu, aku percaya


Pendekar Mata Keranjang 22 Laskar Dewa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kau mengenal dua manusia tadi. Itulah manusia
yang kucari dan sekaligus harus kumusnahkan
dari muka bumi!" sambung Dewa Maut demi meli-
hat perubahan wajah Dewi Tengkorak Hitam,
membuat gadis ini makin terkesiap.
Setelah dapat mengatasi rasa kejutnya, De-
wi Tengkorak Hitam ajukan tanya. "Boleh aku ta-hu, silang sengketa apa hingga
kau ditugaskan un-
tuk memusnahkan kedua orang itu"!"
Dewa Maut tertawa pendek sambil geleng-
kan kepala. "Itu juga tak bisa kukatakan padamu! Apa-
kah kau memang mengenal mereka"! "
Dewi Tengkorak Hitam terdiam. Dia berpikir
sejurus. Lalu berkata seraya gelengkan kepala.
"Aku hanya mengenal mereka lewat na-
manya saja. Sedangkan orang-orangnya aku be-
lum pernah bertemu! Kau sendiri, apa telah me-
nemukan mereka"!" seraya berkata begitu, Dewi Tengkorak Hitam alihkan
pandangannya pada jurusan lain. Perempuan itu sesungguhnya tahu ka-
lau Dewa Maut telah bertemu dengan Pendekar
Mata Keranjang. Dan diam-diam dalam hatinya dia
terus bertanya-tanya. Apa sebenarnya yang telah
terjadi hingga pemuda di hadapannya mengingin-
kan nyawa Pendekar Mata Keranjang. Seorang
pemuda yang telah dikenalnya dengan baik, malah
secara diam-diam dia menyukai pemuda itu meski
dia tak bisa menghilangkan kesukaannya pada pa-
ra pemuda lain.
"Pendekar 108 telah dapat kutemukan. Na-
mun Malaikat Berdarah Biru sampai saat ini be-
lum kutemukan!"
"Kau telah temukan Pendekar 108 ketika
keadaanku sedang tertotok bukan" Mengapa kau
belum berhasil dengan tugasmu"!" tanya Dewi
Tengkorak Hitam dengan palingkan wajah dan da-
da bergetar keras.
"Aku memang belum bisa selesaikan tugas
itu. Ini karena ikut campurnya si keparat banci
itu!" jawab Dewa Maut dengan rahang mengem-
bung dan pelipis bergerak-gerak pertanda menin-
dih amarah. Dewi Tengkorak Hitam sendiri terlihat me-
narik napas lega. Namun dia juga menahan marah
demi mendengar Dewa Maut menyebut orang ban-
ci. "Hm... tentu yang dimaksud adalah si jaha-
nam Setan Pesolek! Manusia keparat yang meru-
sak rencanaku bersama Pendekar 108!" Gadis ini lantas berujar dengan suara
setengah berteriak.
"Kau menyebut orang banci. Pasti yang kau
maksud adalah Setan Pesolek. Benar"! "
"Aku tak tahu siapa dia adanya! Yang pasti
dia tak akan kuampuni lagi jika bertemu dengan-
ku! " "Keparat!" Tiba-tiba Dewi Tengkorak Hitam memaki, membuat Dewa Maut
tersentak kaget,
dan memandang Dewi Tengkorak Hitam penuh
tanda tanya. "Kau keluarkan makian, kau tampak bera-
pi-api. Apa kau punya urusan dengan orang itu"! "
"Setan Pesolek! Manusia itu memang tengah
kucari-cari! Dan tak akan kubiarkan lolos jika bertemu!" "Hm... begitu" Jika
demikian, aku bersedia membantumu!" ucap Dewa Maut sambil melangkah mendekat.
Dewi Tengkorak Hitam palingkan
lagi wajahnya dan pura-pura tak mengetahui jika
dirinya dipandangi dengan tatapan aneh oleh De-
wa Maut. "Terima kasih kau mau membantuku. Tapi
kurasa aku bisa menyelesaikan sendiri manusia
itu...," ujar Dewi Tengkorak Hitam sambil menghela napas dalam-dalam hingga buah
dadanya ma- kin terlihat membusung.
Dewa Maut hentikan langkah dua tindak di
samping Dewi Tengkorak Hitam. Pemuda ini tam-
pak ragu-ragu, membuat Dewi Tengkorak Hitam
sunggingkan senyum tipis.
"Hm... dia tampaknya mulai tertarik padaku
namun takut memulai.... Hik... hik... hik.... Dasar laki-laki! Tapi...
kesempatan ini tak akan kusia-siakan. Sudah beberapa lama aku tak merasakan
hangatnya belaian kekar tangan seorang pemuda.
Hm... aku akan memancingnya...," batin Dewi
Tengkorak Hitam. Lalu menoleh pada Dewa Maut.
Sejenak ditatapinya pemuda di hadapannya itu.
Seraya tersenyum dia berbisik pelan.
"Sebenarnya aku tadi hendak membasuh
tubuh di sendang itu. Tapi karena ada kau, ter-
paksa kubatalkan. Ng... bagaimana kalau aku
akan membasuh tubuh sebentar" Kalau kau akan
pergi, silakan saja. Tapi kalau masih ingin mengo-
brol lagi, tunggulah sampai aku selesai."
"Ah, aku memang masih ingin bersamamu.
Akan kutunggu kau di sini!" kata Dewa Maut dengan suara bergetar parau, pertanda
dirinya telah diamuk gejolak nafsu.
Dewi Tengkorak Hitam mengerling, lalu me-
langkah perlahan ke arah sendang. Jalannya sen-
gaja dibuat-buat hingga pinggulnya yang besar
tampak bergoyang menggiurkan.
Begitu sampai di sendang, Dewi Tengkorak
Hitam berpaling ke belakang. Dilihatnya Dewa
Maut tetap di tempatnya semula sambil terus me-
mandang ke arahnya tak berkedip.
Dewi Tengkorak Hitam menghela napas da-
lam-dalam, lalu tersenyum tipis. Dan tanpa mem-
pedulikan pandangan Dewa Maut, tangan kanan
kirinya bergerak membuka kancing-kancing pa-
kaiannya. Di tempatnya berdiri, dada Dewa Maut ma-
kin berdebar keras. Napasnya memburu, dengan
mata membelalak. Betapa tidak, di depan sana
Dewi Tengkorak Hitam tanpa malu-malu lagi
membuka satu demi satu pakaiannya. Dan begitu
pakaian terakhirnya terbuka, gadis ini langsung
berkelebat masuk ke dalam air sendang.
"Busyet! Dia seakan mengharapkan..., "
gumam Dewa Maut, namun dia masih belum be-
ranjak dari tempatnya berdiri. Dia hanya tetap
memandangi bagian belakang tubuh Dewi Tengko-
rak Hitam yang muncul tenggelam di dalam sen-
dang. Tiba-tiba Dewi Tengkorak Hitam berpaling
ke arah Dewa Maut. Sambil tersenyum gadis ini
berteriak. "Hai! Kau tak ingin mandi lagi"!"
"Tapi...," Dewa Maut tak meneruskan uca-
pannya. "Apakah kau merasa malu mandi bersama-
ku"!" sahut Dewi Tengkorak Hitam dengan ha-
dapkan tubuhnya pada Dewa Maut, seakan ingin
memperlihatkan buah dadanya yang tak tertutup
lagi dan tampak membusung bergerak-gerak.
Mungkin tak tahan lagi melihat pemandan-
gan yang begitu membuat dadanya berdebar, pe-
muda ini langsung saja meloncat dan mencebur-
kan dirinya ke dalam sendang.
Begitu tubuhnya muncul, tubuh Dewi
Tengkorak Hitam telah berada di rengkuhannya.
Sejenak dua orang ini saling pandang. Bibir Dewi
Tengkorak Hitam sunggingkan seulas senyum.
Namun senyum itu segera pupus karena bibir De-
wa Maut telah menyergap dan memagutnya!
SEBELAS PENUNGGANG kuda itu terus memacu ku-
da tunggangannya dengan cepat. Debu terlihat
berhamburan ke udara menutupi pemandangan
tatkala ladam kaki kuda itu menghentak di atas
tanah. Sang penunggang tampaknya tidak ambil
peduli, dia terus memacu kuda tunggangannya.
Malah dia keluarkan makian panjang pendek ka-
rena dirasa kuda tunggangannya berlari amat
lamban. "Kuda jahanam! Apa kau tidak bisa berlari
lebih kencang lagi"! Hiiya...!" Kedua tangan si penunggang dipukulkan pada leher
kudanya. Kuda itu tersentak dan menghambur ke depan lebih ce-
pat lagi. Ketika di depannya tampak sebuah kedai
yang ramai pengunjung, baru si penunggang kuda
memperlambat lari kudanya. Tepat di halaman ke-
dai, si penunggang hentikan kudanya.
Sepasang mata si penunggang sejenak me-
nyapu ke dalam kedai. Beberapa orang di dalam
kedai yang sempat melihat ke arah si penunggang
terlihat terkejut dan buru-buru alihkan pandan-
gan. Karena dari tampang si penunggang ini ru-
panya mereka tahu bahwa si penunggang kuda
bukanlah orang ramah. Selain matanya yang besar
dan masuk dalam rongga yang amat cekung, si
penunggang mempunyai bibir yang amat tebal. So-
soknya kurus tinggi. Usianya lanjut. Di atas kepa-
lanya terlihat sebuah caping lebar berwarna hitam
dari kulit. Potongan capingnya dibuat terbuka di
bagian atas hingga rambutnya yang jarang serta
jabrik terlihat. Mengenakan jubah besar berwarna
biru gelap. Kulit wajahnya sangat tipis hingga yang tampak hanyalah tonjolan
tulang-tulang wajahnya!
Entah karena tidak berselera makan, atau
ingin segera sampai tujuannya, si penunggang pa-
lingkan wajah ke depan. Lalu tangan kanannya
menepuk punggung kuda tunggangannya. Bebera-
pa orang di dalam kedai tampak menarik napas le-
ga dan mata mereka mengikuti berlalunya si pe-
nunggang. Tapi kali ini si penunggang tak lagi
menghela kuda tunggangannya dengan cepat. Se-
baliknya ia memperlambat langkah kudanya den-
gan kepala sesekali berpaling ke samping kanan
dan kiri serta mata nyalang.
Begitu sampai jalanan yang sepi dan tak
ada lagi rumah penduduk, si penunggang kembali
hentakkan tangannya pada punggung kudanya
hingga saat itu juga binatang itu meringkih keras
dan mulai berlari kencang. Namun baru saja dua
tombak, mendadak sebuah bayangan hitam me-
layang turun dari sebuah pohon dan langsung
berdiri seakan menghadang. Si penunggang tarik
hela kudanya. Binatang itu angkat kaki dan ber-
henti dengan ringkihan keras.
Sesaat si penunggang kuda lebarkan sepa-
sang matanya memperhatikan pada sosok tubuh
yang kini berdiri dua belas langkah di hadapan-
nya. Tiba-tiba tulang-tulang wajah si penunggang
bergerak-gerak. Mulutnya yang tebal bergerak ko-
mat-kamit. Kedua tangannya dikembangkan hing-
ga keluarkan suara bergemeretakan. Jelas jika si
penunggang telah dirasuki hawa kemarahan.
Sementara orang yang di hadapannya, yang
ternyata seorang perempuan tua mengenakan baju
panjang berwarna hitam dari sutera dengan kedua
tangan dihiasi beberapa gelang berwarna kuning
dan bukan lain adalah Iblis Gelang Kematian, ter-
senyum lebar. "Manusia Titisan Dewa! Perubahan yang
kau tampakkan menunjukkan jika kau tak lupa
padaku!" ujar Iblis Gelang Kematian masih dengan senyum.
Si penunggang kuda yang memang Manusia
Titisan Dewa adanya tidak membuka mulut untuk
menyambuti ucapan Iblis Gelang Kematian. Seba-
liknya laki-laki berusia lanjut ini palingkan wajahnya ke jurusan lain dengan
tulang rahang terang-
kat. Sesaat kemudian dari bibirnya yang tebal ter-
dengar suara teguran keras.
"Iblis Gelang Kematian! Dicari ke mana-
mana tak ketemu. Tak tahunya datang mengha-
dang sendiri hendak serahkan nyawa! Bersiaplah,
Nenek Bangka!"
Selesai berkata begitu, Manusia Titisan De-
wa gerakkan tubuhnya. Sosoknya melesat seten-
gah tombak ke udara, lalu mendarat dengan sepa-
sang kaki sejengkal di atas tanah!
Meski paras Iblis Gelang Kematian tampak
berubah mendengar ucapan Manusia Titisan De-
wa, namun nenek ini segera sembunyikan peruba-
han wajahnya dengan keluarkan geraian tawa pan-
jang. "Tertawalah sepuasmu! Karena tawamu kali ini adalah kali terakhir kau bisa
tertawa!" ujar Manusia Titisan Dewa seraya rangkapkan kedua tan-
gannya di depan dada. Sepasang matanya tak ber-
kedip memperhatikan Iblis Gelang Kematian.
"Aneh. Kita lama tak bertemu, dan rasa-
rasanya di antara kita tak pernah ada sengketa.
Kalau tiba-tiba saja kau muncul dan hendak men-
gakhiri tawaku itu adalah sebuah berita besar.
Atau basa-basimu memang demikian"!"
"Tua Bangka! Kau Jangan berpura-pura!
Aku mengadakan perjalanan ini memang sengaja
mencarimu! "
"Aha.... Tentunya ada hal teramat penting
sampai kau bersusah-susah mencariku!" sahut Iblis Gelang Kematian merasa agak
lega. "Mencari sekaligus menguburmu!" sentak
Manusia Titisan Dewa dengan suara keras, mem-
buat Iblis Gelang Kematian kembali tersentak ka-


Pendekar Mata Keranjang 22 Laskar Dewa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

get. Sepasang alis matanya terangkat dengan bola
mata liar memperhatikan. Namun senyum nenek
ini kembali menyungging kembali.
"Manusia Titisan Dewa. Kau jangan mem-
buatku berdebar-debar dengan basa-basi guraua-
nmu. " "Keparat!" maki Manusia Titisan Dewa.
"Siapa bergurau"!"
"Hm... begitu"!" gumam Iblis Gelang Kematian masih dengan sikap tenang meski
dalam ha- tinya bertanya-tanya. "Bisa kau katakan apa salahku padamu sampai kau bersusah
payah men- cariku sekaligus hendak menguburku?"
"Hm.... Kau manusia yang masih suka ber-
pura-pura. Tapi kalau kau ingin kukatakan apa
salahmu, baiklah. Bukankah kau yang membawa
seorang gadis muda bernama Sakawuni"! "
Iblis Gelang Kematian surutkan langkah sa-
tu tindak. "Hm... nyatanya soal gadis cantik itu.
Apa hubungannya dengan tua bangka ini"!" batin Iblis Gelang Kematian, lalu nenek
ini mengutarakan apa yang ada di benaknya.
"Apa hubunganmu dengan gadis itu"!"
"Jadi benar jika nenek ini yang menyim-
pannya. Kurang ajar!" maki Manusia Titisan Dewa, lalu menjawab ucapan Iblis
Gelang Kematian dengan bentakan garang. "Dia adalah muridku! Dan lekas serahkan
dia padaku!"
"Ah...," Iblis Gelang Kematian keluarkan seruan seakan terkejut.
"Manusia Titisan Dewa. Dengar baik-baik.
Aku memang pernah bertemu dengan gadis itu.
Malah seperti katamu, aku membawanya ke tem-
patku karena gadis itu dalam keadaan terluka pa-
rah. Namun setelah sembuh dia pergi tanpa me-
ninggalkan pesan!"
Manusia Titisan Dewa tertawa bergelak
hingga tubuhnya berguncang dan sosoknya naik
turun. "Siapa percaya dengan mulutmu, Nenek
tua! Lekas antar aku menemuinya! Atau kau akan
kubuat terkubur di tempat ini!"
"Manusia Titisan Dewa. Aku memang bukan
orang baik-baik. Tapi soal menyimpan seorang ga-
dis apa untungnya bagiku"!"
"Itu bukan urusanku! Tapi siapa tahu kau
menyukai sesama jenis"!"
"Jaga mulutmu, Manusia Titisan Dewa!"
hardik iblis Gelang Kematian dengan suara mera-
dang. Pelipis nenek ini bergerak-gerak, dadanya
bergetar keras, geram mendengar ucapan Manusia
Titisan Dewa. Mendapati dirinya dihardik, Manusia Titisan
Dewa angkat kedua tangannya. Namun sebelum
tangan itu lepaskan pukulan, Iblis Gelang Kema-
tian yang masih tampak tenang meski hatinya
berdebar, berseru keras.
"Tunggu!"
Manusia Titisan Dewa turunkan kedua tan-
gannya dengan senyum dingin.
"Mari kita bicara baik-baik. Aku khawatir
hal ini kau dengar dari orang yang menginginkan
gagalnya pertemuan itu!"
Manusia Titisan Dewa keluarkan tawa pen-
dek penuh ejekan. Seraya rangkapkan kembali ke-
dua tangannya di depan dada, kakek guru Saka-
wuni ini berkata.
"Kuberi kesempatan kau untuk bicara. Wa-
lau aku tahu, mungkin bicaramu hanya mencari
dalih!" Meski dalam hati memaki tak habis-
habisnya, namun si nenek segera melangkah ke
depan dan buka mulut.
"Soal muridmu, kalau kau masih tak per-
caya dan tetap menuduhku, aku siap melayanimu!
Tapi harap kau menunggu sampai setelah purna-
ma depan! Silakan kau tentukan tempatnya di
mana!" "Aha.... Rupanya kau masih akan mengasah ilmu dulu. Atau kau mau cari
bantuan" Ha... ha...
ha...! Silakan. Silakan cari bantuan. Manusia Titisan Dewa tidak akan melangkah
mundur!" "Dengar, Manusia Titisan Dewa! Untuk
menghadapimu aku sanggup dengan tanganku
sendiri! Namun hal ini sengaja kutunda karena
ada hal besar yang harus kuselesaikan daripada
melayani tuduhan tak beralasan darimu! "
"Urusan besar?" ulang Manusia Titisan De-wa dengan tertawa. "Urusan apa"! Kau
tak usah malu-malu mengatakan jika hanya ingin mencari
bala bantuan. Tapi ingat. Jika muridku nantinya
sampai mengalami cidera, kau dan para pemban-
tumu akan mengalami kematian yang menge-
naskan! " "Bicaralah sesuka hatimu! Hanya saja kalau
kau memang seorang tokoh yang tak mau disebut
pengecut, datanglah pada menjelang purnama de-
pan ke Lembah Supit Urang! "
"Setan alas! Berani kau mengulangi uca-
panmu yang menyebutku pengecut, nyawamu tak
kutunda sampai setelah purnama!" bentak Manu-
sia Titisan Dewa dengan mata menyengat angker.
Iblis Gelang Kematian menjawab ucapan
Manusia Titisan Dewa dengan tertawa mengekeh
panjang. Walau dalam hatinya menyumpah habis-
habisan. "Tua bangka jahanam. Kau sepertinya
manusia yang tiada tanding. Aku ingin tahu sam-
pai di mana kemajuan ilmumu!"
"Manusia Titisan Dewa! Bicaramu terlalu
tinggi. Tapi itu semua tiada arti kalau kau menje-
lang purnama tidak berani datang ke lembah Supit
Urang! Dengar! Sebelum urusan muridmu kita
tuntaskan, kutunggu kedatanganmu di Lembah
Supit Urang!"
"Kalau kau berani, kenapa harus menunggu
di Lembah Supit Urang" Tentunya kau takut
menghadapiku sendirian. Ha... ha... ha...!"
Batas kesabaran Iblis Gelang Kematian
yang sejak tadi ditahan-tahan rupanya sudah tak
bisa dibendung lagi.
"Tua keparat! Apa susahnya menghadapi-
mu!" "Bagus! Jadi kau minta urusan itu diselesaikan di sini! "
"Terserah kau! Minta sekarang kulayani,
minta ditunda kutunggu!"
"Jika demikian, aku minta nyawamu seka-
rang!" hardik Manusia Titisan Dewa. Bersamaan dengan itu kedua tangannya
dipentangkan, dan
serta-merta dihantamkan ke depan.
Wuttt! Tiada deru angin yang terdengar, tiada
sambaran angin yang terlihat! Namun bersamaan
itu, udara mendadak panas menyengat, dan Iblis
Gelang Kematian terasa terdorong ke belakang!
Sejurus Iblis Gelang Kematian terkesiap ka-
get. Sebelum tubuhnya terseret lebih jauh, nenek
ini cepat berkelebat ke samping. Dari arah samp-
ing nenek ini sentakkan kedua tangannya ke arah
Manusia Titisan Dewa.
Wesss! Gelombang angin dahsyat laksana ombak
segera melesat dari kedua tangan Iblis Gelang Ke-
matian. Manusia Titisan Dewa tak tinggal diam. Ke-
dua tangannya kembali diangkat tinggi-tinggi, lalu dengan membentak garang kedua
tangannya dihantamkan memapak serangan Iblis Gelang Kema-
tian. Udara bertambah panas, dan bersamaan
dengan itu seberkas sinar pelangi menggebrak ke
depan. Blarrr! Terdengar ledakan dahsyat, membuat tem-
pat itu bergetar Keras. Tubuh Iblis Gelang Kema-
tian terlihat tersurut sampai empat langkah dan
terhuyung-huyung, namun nenek ini cepat bisa
menguasai diri, dan sekonyong-konyong si nenek
ini hantamkan kembali kedua tangannya.
Di seberang sana, Manusia Titisan Dewa
tampak tubuhnya bergetar keras, dan sebelum tu-
buhnya oleng, Kakek ini cepat meloncat ke samp-
ing, dan begitu melihat lawan lepaskan pukulan
lagi, dia pun segera hantamkan tangannya juga!
Wuttt! Untuk kedua kalinya bentrok pukulan tak
dapat dihindarkan lagi. Dan dikejap itu juga tubuh kedua orang ini sama-sama
mental ke belakang.
Iblis Gelang Kematian coba menahan tubuhnya
dengan sentakan kedua tangannya ke bawah. Na-
mun gerakannya terlambat, karena bersamaan
dengan itu tubuhnya telah terhuyung dan jatuh
dengan kaki tertekuk. Di pihak lain, Manusia Titi-
san Dewa terlihat jatuh terduduk!
"Jahanam! Rupanya ilmunya maju cukup
pesat juga manusia ini!" batin Iblis Gelang Kematian, lalu si nenek salurkan
tenaga dalam ke dada
dan kedua tangannya yang terasa berdenyut nyeri
dan kesemutan. Sesaat kemudian bergerak bang-
kit meski dengan meringis menahan sakit.
Kedua orang ini sejurus saling bentrok pan-
dangan. Dan serentak kedua orang ini sama-sama
gerakkan tangan masing-masing untuk lepaskan
serangan. Namun sebelum keduanya sempat le-
paskan pukulan, terdengar orang batuk-batuk. La-
lu disusul dengan suara tawa pendek bernada
mengejek. Manusia Titisan Dewa dan Iblis Gelang Ke-
matian urungkan niat masing-masing untuk le-
paskan pukulan. Serentak keduanya berpaling ke
samping. Kedua orang ini sama-sama pelototkan
mata masing-masing. Dahi keduanya mengernyit.
DUA BELAS DARI arah samping kedua orang ini melihat
dua orang melangkah ke arah mereka. Sebelah
kanan adalah seorang pemuda berparas tampan
dan keras. Mengenakan pakaian jubah warna hi-
tam besar yang dilapis dengan baju putih. Karena
kancing jubah bagian atas sengaja dibuka, maka
baik Manusia Titisan Dewa maupun Iblis Gelang
Kematian dapat melihat jelas gambar sebuah luki-
san pintu gerbang di bagian dada baju putih si
pemuda. Di samping si pemuda adalah seorang
gadis muda berparas cantik Jelita. Mengenakan
pakaian warna putih yang di bagian dada dibuat
agak rendah, hingga sembulan buah dadanya ter-
lihat dengan jelas. Sementara pakaian bawahnya
dibuat membelah di tengah, seolah memperli-
hatkan sepasang kulit pahanya yang mulus. Sepa-
sang mata si gadis bulat berbinar dengan rambut
panjang. "Siapa mereka" Kedatangannya tidak dapat
kusiasati, hm... tentunya mereka mempunyai ilmu
yang tidak bisa dianggap sepele...," membatin Manusia Titisan Dewa dengan
memperhatikan lebih
seksama. "Hm... yang perempuan sepertinya pernah
kukenal. Tapi... di mana" Si pemuda rasanya baru
kali ini kujumpai...," Iblis Gelang Kematian berkata dalam hati dengan dahi
terus berkerut.
Sepuluh langkah di samping Manusia Titi-
san Dewa dan Iblis Gelang Kematian si pemuda
dan si gadis yang bukan lain adalah Dewa Maut
dan Dewi Tengkorak Hitam hentikan langkah.
Kedua orang muda ini sejenak saling ber-
pandangan. Dewa Maut lantas tersenyum tipis dan
berpaling pada Manusia Titisan Dewa. Sebelum
pemuda ini buka mulut ajukan tanya, Manusia Ti-
tisan Dewa telah keluarkan teguran keras.
"Siapa kalian"!"
Teguran Manusia Titisan Dewa hanya dija-
wab dengan seringai oleh Dewa Maut. Dan tanpa
mengacuhkan Manusia Titisan Dewa yang tampak
marah, Dewa Maut berpaling pada Iblis Gelang
Kematian. Iblis Gelang Kematian tidak keluarkan
suara, malah sebaliknya Nenek ini alihkan pan-
dangan pada jurusan lain.
"Bila kalian tak mau mengatakan siapa
adanya kalian juga apa tujuan kalian di sini, lekas-lah angkat kaki sebelum
kalian menyesal!"
Mendengar ucapan Manusia Titisan Dewa,
Dewa Maut kembali berpaling ke arahnya. Sejurus
dipandanginya kakek ini. Tiba-tiba Dewa Maut ke-
luarkan tawa bergelak.
Mendapati hal demikian Manusia Titisan
Dewa rupanya tak dapat menahan sabar, dia sege-
ra melangkah maju. Namun baru satu langkah,
Dewa Maut telah keluarkan bentakan keras.
"Siapa kami, nanti kekasihku yang akan je-
laskan! Tapi sekali lagi kau keluarkan ucapan
mengancam, kau akan tewas sebelum mengetahui
siapa kami. Kau dengar"!"
Habis berkata begitu, Dewa Maut palingkan
wajah ke arah Dewi Tengkorak Hitam. Sementara
Manusia Titisan Dewa terlihat makin geram, hing-
ga tulang rahangnya saling mengatup rapat-rapat
keluarkan suara gemeletak.
"Dewiku.... Katakan pada mereka siapa
adanya kita! " Dewa Maut berkata pada Dewi
Tengkorak Hitam.
Dewi Tengkorak Hitam maju selangkah.
Memandang satu persatu pada Manusia Titisan
Dewa dan Iblis Gelang Kematian. Setelah terse-


Pendekar Mata Keranjang 22 Laskar Dewa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

nyum sinis gadis cantik buka mulutnya.
"Pemuda di hadapan kalian saat ini adalah
manusia yang bergelar Dewa Maut! Sedangkan
aku.... Dewi Tengkorak Hitam!"
Iblis Gelang Kematian langsung berubah
parasnya. Dahinya mengkerut dengan mata me-
nyipit memandang ke arah Dewa Maut.
"Hm... melihat gerak-geriknya pemuda itu
memang membekal ilmu. Tapi bagaimana mungkin
dia bisa jatuh ke pelukan perempuan itu" Dewi
Tengkorak Hitam... namanya memang pernah ku-
dengar. Kabarnya dia seorang perempuan yang se-
lain mempunyai ilmu tinggi juga doyan pada pe-
muda-pemuda! Pemuda ini perlu didatangkan ke
lembah Supit Urang...."
Berpikir begitu, Iblis Gelang Kematian lalu
maju selangkah seraya anggukkan kepala dengan
bibir sunggingkan senyum.
"Gembira sekali hari ini aku bisa bertemu
dengan orang muda yang namanya mulai dikenal
orang-orang kalangan persilatan. Aku Iblis Gelang
Kematian.... Terimalah perkenalanku.... "
Mendengar sedikit pujian, Dewa Maut bu-
sungkan dadanya. Lalu berpaling pada Iblis Gelang
Kematian tanpa anggukkan kepala atau ucapkan
kata-kata. Dia hanya memandang lalu tersenyum
sinis, membuat Iblis Gelang Kematian memaki
panjang pendek dalam hati seraya mulut komat-
kamit. Mendadak Dewa Maut menoleh pada Manu-
sia Titisan Dewa.
"Kau telah dengar siapa kami. Sekarang ka-
takan siapa kau!"
Sosok manusia Manusia Titisan Dewa terli-
hat berguncang karena menahan geram. Sementa-
ra Dewi Tengkorak Hitam dan Dewa Maut diam
menunggu. Setelah menarik napas dalam-dalam,
Manusia Titisan Dewa mendongak.
"Pasang telinga kalian baik-baik. Aku dige-
lari orang Manusia Titisan Dewa!"
Dewi Tengkorak Hitam ternganga, sedang-
kan Dewa Maut tetap tenang tak menunjukkan ra-
sa terkejut sama sekali. Hal ini bisa dimaklumi,
karena Dewi Tengkorak Hitam yang telah lama ma-
lang melintang dalam rimba persilatan telah per-
nah mendengar tentang tokoh ini. Sementara De-
wa Maut yang baru saja menjejakkan kakinya ke
arena rimba persilatan belum pernah mendengar
siapa adanya tokoh yang kini ada di hadapannya
itu. "Sekarang katakan apa tujuan kalian bera-da di sini. Apa kalian ada
hubungannya dengan
tua bangka itu"!" sambung Manusia Titisan Dewa masih dengan mendongak.
Dewa Maut keluarkan tawa dahulu sebelum
berkata. "Kami tak ada sangkut-paut apa-apa den-
gan nenek itu! Kalau kau tanya tentang tujuanku,
dengarkan baik-baik. Aku datang dengan tujuan
ingin menjadi raja rimba persilatan! "
Serta-merta Manusia Titisan Dewa tertawa
bergerai-gerai.
"Anak muda! Berapa umurmu sekarang"!"
"Umur bukan ukuran seseorang menjadi ra-
ja di rimba persilatan!" sahut Dewa Maut dengan suara keras bergetar.
"Hm... begitu" Tekadmu tampaknya besar,
Anak muda! Siapa gurumu"!"
"Itu juga bukan ukuran seseorang untuk
menggenggam rimba persilatan! "
"Hm... Jika begitu kau memang pantas di-
kasih tahu aturan rimba persilatan!" hardik Manusia Titisan Dewa, kedua
tangannya diangkat lalu
ditarik sedikit ke belakang.
Tahu jika Manusia Titisan Dewa akan le-
paskan pukulan, Dewa Maut berbisik pada Dewi
Tengkorak Hitam.
"Dewi.... Kau menyingkirlah! Tua bangka ini
rupanya ingin tahu siapa yang dihadapinya saat
ini!" Dewi Tengkorak Hitam surutkan langkah ke samping. Sementara Dewa Maut maju
satu tindak. Dia tidak membuat gerakan, hanya sepasang ma-
tanya menyorot tajam pada Manusia Titisan Dewa.
"Tunggu!" tiba-tiba Iblis Gelang Kematian berseru.
Manusia Titisan Dewa berpaling dengan li-
rikkan matanya. Sementara Dewa Maut tak meno-
leh. "Kau mau bergabung dengannya"!" teriak Manusia Titisan Dewa.
Iblis Gelang Kematian menyeringai buruk.
"Sebaiknya kita akhiri urusan sepele ini
sampai di sini saja! Karena ada hal yang lebih
penting yang semestinya kita lakukan."
"Kita lakukan"!" ulang Manusia Titisan De-wa dengan sinis. "Kau bukan
kelompokku! Aku
adalah aku! Jangan kau berani menyebut kita!"
"Jahanam! Seandainya aku tidak punya
rencana besar di lembah Supit Urang, sudah ku-
sudahi hidupmu!" maki Iblis Gelang Kematian dalam hati. Nenek ini berpaling pada
Dewa Maut, la- lu berkata. "Dewa Maut. Kau memang berhak bercita-
cita menjadi raja di raja rimba persilatan. Tapi untuk mencapainya tentu kau
harus buktikan dulu
bahwa sudah tidak ada orang lagi yang dapat
mengalahkan dirimu!"
"Hal itu akan kubuktikan sekarang! Dan tua
bangka itu yang akan kujadikan barang bukti per-
tama kali!" sahut Dewa Maut dengan arahkan telunjuk jarinya pada Manusia Titisan
Dewa. "Di sini, barang bukti sepuluh kali lipat tak akan ada artinya!"
"Apa maksudmu"!" tanya Dewa Maut masih
tanpa berpaling.
"Kalau kau ingin membuktikan, datanglah
pada menjelang purnama depan ke Lembah Supit
Urang. Di sana nanti, kau bisa berhitung. Adakah
kau pantas menyandang gelar raja di raja rimba
persilatan atau tidak!"
Habis berkata demikian, Iblis Gelang Kema-
tian melirik pada Manusia Titisan Dewa, lalu ber-
kata. "Manusia Titisan Dewa. Urusan kita, kita selesaikan di lembah Supit Urang!
Ingat! Jika kalian tak datang, lebih baik kalian bunuh diri sekarang juga!
Hik... hik... hik...!"
Iblis Gelang Kematian lantas balikkan tu-
buh, dan hendak pergi tinggalkan tempat itu. Na-
mun sebelum dia sempat berkelebat, Manusia Titi-
san Dewa telah sentakkan kedua tangan ke arah-
nya. Wuttt! Hawa panas yang kemudian berganti dingin
menghampar di tempat itu. Bersamaan dengan itu,
seberkas sinar pelangi melesat cepat ke arah Iblis Gelang Kematian.
Mengetahui serangan berbahaya, Iblis Ge-
lang Kematian segera balikkan tubuhnya dan le-
paskan pukulan. Namun sebelum pukulannya
sempat dilancarkan, Dewa Maut telah membentak
garang. Bersamaan dengan itu kedua tangannya
menghantam memapak pukulan yang mengarah
pada Iblis Gelang Kematian.
Wesss! Asap merah menyambar keluar dari kedua
tangan Dewa Maut, disusul kemudian dengan
menggebraknya angin yang berputar-putar aneh.
Manusia Titisan Dewa tampak terkesiap ka-
get ketika melihat sinar pelangi pukulan saktinya
'Menggiring Pelangi Menebar Hawa' masuk ke da-
lam angin yang berputar-putar aneh itu. Dan ka-
kek ini makin tak percaya tatkala angin yang ber-
putar-putar aneh itu kini melabrak ke arahnya!
Sambil berseru tegang, Manusia Titisan De-
wa melompat ke udara. Lalu hantamkan kedua
tangannya ke arah angin yang berputar-putar dan
menggulung serangannya tadi.
Blarrr! Ledakan keras segera terdengar. Tanah ber-
muncratan ke udara menutupi pemandangan. So-
sok Manusia Titisan Dewa tampak membuat gera-
kan berjumpalitan beberapa kali di udara sebelum
akhirnya mendarat sejengkal di atas tanah!
Ketika keadaan terang kembali, Manusia Ti-
tisan Dewa tampak keluarkan makian tak karuan,
karena sosok Iblis Gelang Kematian telah lenyap
dari tempat itu!
"Pengecut jahanam! Kutunggu kau di tem-
pat yang kau sebutkan!" teriak Manusia Titisan Dewa. Lalu menatap pada Dewa Maut
dan berkata. "Kau juga, jangan kira urusan kita ini sele-
sai! Kita buktikan nanti di lembah Supit Urang,
siapa yang berhak menyandang gelar raja di raja
rimba persilatan!"
Manusia Titisan Dewa lantas menggoyang
tubuhnya lalu berkelebat meninggalkan tempat
itu. "Kau biarkan tua-tua bangka itu pergi begitu saja"!" ujar Dewi Tengkorak
Hitam seraya me-lingkarkan tangannya pada pinggang Dewa Maut
dan merapatkan dadanya pada punggung si pe-
muda. Tangan Dewa Maut bergerak mengelus tan-
gan Dewi Tengkorak Hitam.
"Sebenarnya aku ingin membunuh mereka.
Tapi sengaja kuulur. Aku ingin manusia-manusia
macam mereka menjadi kacung-kacung Dewa
Maut. Ha... ha... ha...! Mereka akan kujadikan
Laskar Dewa! Pembantu-pembantu setia Dewa
Maut yang mengiringi ke mana tuannya melang-
kah! Ha... ha... ha...!"
SELESAI Segera terbit: TUMPAHAN DARAH DI SUPIT URANG
Scan/PDF: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
https://www.facebook.com
/DuniaAbuKeisel
Document Outline
TUJUH DELAPAN Wanita Iblis 15 Tusuk Kondai Pusaka Liong Hong Po Cha Yan Karya S D Liong Hong Lui Bun 16
^