Pencarian

Makhluk Jejadian 2

Dewa Arak 67 Makhluk Jejadian Bagian 2


Laga, dan kakek bongkok menolehkan kepala ke
arah asal jeritan. Saat itu ketiganya telah berada di tempat Kenari dihadang
oleh sebatang pohon
yang tumbang. Dan si Kakek Bongkok pun ter-
nyata mengikuti sampai ke tempat itu. Serentak
ketiganya melesat menuju tempat asal jeritan itu.
Suara yang lebih mirip jeritan kematian karena
didera oleh rasa sakit yang hebat.
Mereka bertiga harus menerobos kerimbu-
nan semak-semak dan pepohonan sebelum ak-
hirnya melihat pemilik jeritan yang menggiriskan hati. Pemilik raungan ternyata
makhluk jejadian pula, hanya berlainan dengan yang mengeroyok
Eyang Kendi Laga tadi. Makhluk jejadian kali ini merupakan gabungan antara
manusia dengan macan kumbang. Dewa Arak dan Eyang Kendi Laga tercen-
gang dengan mata membelalak. Begitu pula kakek
bongkok bertangan buntung yang berdiri agak
jauh dengan Dewa Arak. Mereka bertiga tak men-
gerti melihat manusia macan kumbang itu tengah
mengguling-gulingkan tubuh di rerumputan sam-
bil terus meraung-raung seperti dilanda kesakitan hebat. Tubuhnya yang
bergulingan beberapa kali
menabrak batang pohon atau semak-semak ber-
duri, tapi seperti tidak merasakannya sama seka-li. Manusia macan itu tetap
meraung-raung den-
gan tubuh berkelojotan.
"Apa yang terjadi dengannya, Eyang...?"
tanpa ragu-ragu Arya mengajukan pertanyaan
pada Eyang Kendi Laga.
"Entahlah, Arya," jawab Eyang Kendi Laga sambil menggeleng. Tampaknya dia tak
berani buru-buru menyimpulkan. "Tapi aku yakin dia tidak menderita luka apa pun.
Kemungkinan besar
makhluk jejadian ini menderita keracunan. Tapi, keracunan apa, ini yang menjadi
pertanyaan...."
Baru saja Eyang Kendi Laga menghentikan
jawabannya, sambil mengeluarkan keluhan pan-
jang manusia macan itu terkulai lemas, tidak bergerak lagi. Seketika suasana di
tempat itu berubah hening. Tanpa memeriksa lagi pun, baik
Eyang Kendi Laga maupun Arya dan kakek bong-
kok tahu kalau makhluk jejadian itu telah tewas.
Meski begitu, ketiganya tetap melangkahkan kaki mendekat memeriksa apa penyebab
kematian manusia macan itu secara lebih jelas.
"Makhluk ini benar keracunan," gumam
Eyang Kendi Laga setelah memeriksanya sesaat
"Dan racun inilah yang telah merenggut nyawanya. Dan anehnya mungkin kalian
berdua akan menjadi heran karenanya. Racun yang me-
matikan itu ternyata memang berada dalam di-
rinya. Maksudku dia tidak karena terkena racun
dari luar. Jelasnya di dalam tubuh makhluk ini
memang mengandung racun, mungkin di dalam
darahnya. Hhh... aneh! Kemungkinan racun di
dalam darahnya itulah penyebab kematiannya...."
Arya dan kakek bongkok tercenung. Kedu-
anya pun merasa heran mendengar penuturan
Eyang Kenda Laga. Mungkinkah makhluk jejadian
ini memiliki darah beracun seperti layaknya binatang-binatang berbisa" Tapi,
yang menjadi pertanyaan mengapa dia keracunan darahnya sendiri"
Kedua orang ini memaksa benaknya untuk berpi-
kir seperti Eyang Kendi Laga. Sesaat suasana
kembali hening. Tak satu pun yang berbicara,
hanya menatap sosok manusia berbulu hitam
yang tergeletak di depan mereka.
"Kurasa kita dapat mencari jawabannya
nanti," Ucap Eyang Kendi Laga memecahkan keheningan yang terjadi karena masing-
masing ha- nyut dalam perasaan heran dan aneh. "Yang penting sekarang mumpung aku ingat,
ingin kuketa- hui, mengapa kau berada di sini, Sobat" Dan sia-pa dirimu. Seperti yang telah
kau ketahui nama-
ku Eyang Kendi Laga, dan ini kawanku Arya. O
ya, kau pun belum menjelaskan maksudmu men-
cariku, Arya."
"Sebenarnya sepele saja, Eyang," jawab Arya setelah tercenung sejenak.
"Kedatanganku mengunjungi tempatmu hanya untuk mengajukan sebuah pertanyaan.
Tapi sama sekali tidak
kusangka kalau pertanyaan yang akan kuajukan
berada di sini pula. Aku ingin tahu, benarkah
makhluk seperti yang kita jumpai ini ada" Mak-
sudku, apakah memang mempunyai jenis sendiri,
seperti layaknya kita yang termasuk jenis manu-
sia"!"
Eyang Kendi Laga tidak langsung membe-
rikan jawaban. Dia tercenung dengan menenga-
dahkan wajah ke langit. Tindakannya mengisya-
ratkan seolah-olah jawaban bagi pertanyaan itu ada di atas sana dan dia tengah
mencarinya. "Kemungkinan jawaban bagi pertanyaanmu
itu, ya dan tidak Arya," jawab kakek kecil kurus ini masih dengan kening
berkernyit yang menan-dakan kalau dirinya masih berpikir. "Masing-masing jawaban
mempunyai alasan kuat. Ya, ka-
lau mengingat rasanya tidak mungkin seorang
manusia, betapapun tinggi ilmunya mampu men-
jelma atau membuat dirinya seperti yang telah ki-ta lihat ini. Mungkinkah
seorang manusia dapat
merubah manusia atau binatang menjadi campu-
ran antara keduanya" Rasanya mustahil!"
Arya mengangguk-anggukkan kepala kare-
na merasakan adanya kebenaran dalam uraian
Eyang Kendi Laga. Sementara kakek bongkok di-
am saja. Bahkan seperti tidak memperhatikan
Eyang Kendi Laga sama sekali.
"Tetapi kita pun tak bisa menolak kemung-
kinan adanya makhluk-makhluk aneh seperti itu.
Bukankah di dunia ini banyak keganjilan dan ke-
jadian yang kadang tak masuk akal sama sekali.
Yang menjadi pertanyaan dalam hatiku, kalau
memang benar makhluk ini ciptaan Yang Maha
Kuasa, mengapa baru muncul akhir-akhir ini" Ti-
dak sejak dulu" Dan mengapa mereka bisa akur,
rukun, satu sama lain, padahal campuran jenis-
nya berbeda-beda...," Eyang Kendi Laga berhenti,
lalu menatap Arya. "O ya, mengapa kau tanyakan hal itu, Arya" Apa kau juga
menjumpai mereka di sepanjang perjalanan kemari?"
Arya menganggukkan kepala pertanda
membenarkan. "Sekarang giliranmu menerangkan semua
hal yang berhubungan dengan dirimu, Sobat"!"
Kakek bongkok yang mendapat giliran, ter-
tawa terkekeh-kekeh. Seakan pertanyaan Eyang
Kendi Laga merupakan sesuatu yang lucu.
"Namaku, Resi Bumi Gidulu. Tapi kebera-
daanku di sini dalam tujuan untuk mencari mu-
rid murtadku. Dia berhasil lolos dari penjara di sebuah pulau kosong dan penuh
rahasia. Itulah
sebabnya aku mencarinya. Muridku seorang ber-
watak bejat. Apabila dia muncul ke dunia ramai, kekacauan takkan dapat dihindari
lagi. Dia memiliki watak telengas, kejam, dan membunuh terlalu ringan
baginya.... Jejak yang kudapat menunjukkan kalau dia berada di pegunungan ini.
Setidak-tidaknya, dia pernah berada di sini. Maka dari si-ni aku mulai melacak
jejaknya. Barang kali saja dapat bertemu."
Arya dan Eyang Kendi Laga tidak memberi-
kan tanggapan. Mereka mendengarkan penjelasan
kakek bongkok sambil mengangguk-anggukkan
kepala. Benar dugaan Dewa Arak bahwa tokoh
tua itu bukan orang jahat
4 "Hup!"
Dengan sebuah gerakan manis seorang ga-
dis berpakaian merah melompat dari atas pung-
gung kuda dan mendarat di tanah. Rambutnya
yang digelung ke atas agak bergoyang-goyang ke-
tika kakinya menjejak tanah.
Kemudian, setelah mengikatkan tali kuda
pada sebatang pohon yang di dekatnya banyak
terdapat rumput segar, gadis berpakaian merah
ini menghampiri sebuah sungai. Hanya dengan
beberapa langkah, dia telah berada di pinggir
sungai, dan berjongkok di bagian pinggiran yang dekat dengan permukaan air.
"Ah...! Segarnya...!" desah gadis berpakaian merah itu setelah membasuh wajah
dan kedua tangannya dengan air sungai yang jernih. Wajah
yang semula penuh peluh dan debu, telah kemba-
li putih kemerahan.
Bunyi ringkikan kuda yang tiba-tiba ter-
dengar membuat gadis itu serta-merta membalik-
kan tubuh dengan sikap waspada. Tangannya
dengan cepat mencabut pedang yang tersampir di
punggungnya. Seketika sinar yang menyilaukan
mata mencuat dari mata pedang yang mengkilat
itu. "Keparat!"
Gadis berpakaian merah itu mengeluarkan
desisan kemarahan ketika melihat kuda tunggan-
gannya ambruk ke tanah. Dari leher kuda coklat
itu mengalir darah segar, karena tertancap sebatang pisau. Tanpa berpikir lebih
panjang, gadis berpakaian merah ini tahu kalau binatang tung-gangannya telah
dibunuh orang. Dan dugaannya
ternyata tidak salah! Sekejap kemudian, dari balik pepohonan yang ada di sekitar
tempat itu berlom-patan lima sosok berpakaian hitam. Sebilah pisau berwarna
putih mengkilat tergenggam di tangan
kanan mereka. "Tidak usah membuang-buang tenaga den-
gan marah-marah dan mencoba melawan kami,
Anak Manis! Lebih baik kau menyerah dan ikut
secara baik-baik. Tidak ada gunanya kau mela-
wan kami" ucap lelaki bertubuh pendek kekar sambil menyeringai kejam.
"Ooo..., jadi kalianlah yang menjadi pelaku penculikan terhadap wanita-wanita
tak berdosa"!"
Tanpa memberikan jawaban atas permintaan le-
laki pendek kekar, gadis berpakaian merah itu
menghampiri kudanya yang telah tergeletak sam-
bil memasukkan pedangnya ke dalam warangka.
Ternyata dia mengambil sebatang tongkat dari pelana kudanya.
"Ah...! Jadi kau telah mendengar berita itu, Manis"!" sahut lelaki pendek kekar
tanpa merasa kaget lama sekali. "Kebetulan kalau begitu. Memang kamilah yang
telah melakukan penculikan
terhadap wanita-wanita. Menyerahlah kalau kau
ingin diperlakukan baik-baik!"
"Tutup mulutmu, Manusia Iblis!" sentak
gadis berpakaian merah, "Wanita lain boleh kau perlakukan sekehendakmu. Tapi
aku, Mawar, tidak akan membiarkan kau bertindak semaunya!
Orang-orang seperti kalian harus dilenyapkan da-ri muka bumi!"
Lima lelaki berpakaian hitam tertawa ber-
gelak. Semua merasa geli mendengar ucapan ga-
dis berpakaian merah yang mereka anggap terlalu berani itu. Kelimanya baru
merasa kaget ketika
gadis berpakaian merah itu mengirimkan seran-
gan dengan tongkatnya yang runcing. Bunyi ber-
desing nyaring dari udara yang terobek akibat gerakan tongkat runcing itu
menyadarkan kelima
lelaki berpakaian hitam. Gadis berpakaian merah yang mereka anggap mangsa empuk
itu ternyata memiliki tenaga dalam tinggi.
Oleh karena itu, kelima lelaki berpakaian
hitam ini tidak berani bertindak gegabah. Mereka terpaksa melakukan perlawanan
dengan mengerahkan kemampuan masing-masing.
Trang, trang, trang!
Bunga api berpijar ketika tongkat runcing
di tangan gadis berpakaian merah berbenturan
dengan lima batang pisau mengkilat milik lawan-
lawannya. Kelima lelaki berpakaian hitam sema-
kin kaget ketika merasakan tangan mereka terge-
tar hebat bahkan senjata masing-masing hampir
terlepas dari pegangan. Hal ini semakin meyakinkan mereka kalau mangsa kali ini
bukan gadis sembarangan. Dugaan mereka ternyata tak salah. Mawar
bukanlah lawan yang ringan. Gadis ini memiliki
kepandaian cukup tinggi. Apalagi setelah Dewa
Arak memberikan petunjuk-petunjuk berharga
kepadanya meskipun hanya dua hari. Ditambah
pula dengan bimbingan saudara kembarnya, Me-
lati, membuat kepandaian Mawar meningkat pe-
sat (Untuk jelasnya mengenai tokoh Mawar, sila-
kan baca serial Dewa Arak dalam episode: "Sepasang Alap-Alap Bukit Gantar").
Bukkk! Crettt! Dua di antara lima lelaki berpakaian hitam
terjengkang ke belakang ketika kaki kanan Mawar mendarat di paha kanan salah
seorang di antara
mereka. Sedangkan yang satunya lagi terkena ba-
batan ujung tongkat runcing.
Tiga lelaki berpakaian hitam sisanya lang-
sung bergerak cepat, melompat ke belakang dan
mengurung dari tiga arah. Mawar berdiri diam di tempatnya. Dia tidak mau
melancarkan serangan
karena ingin melihat terlebih dulu tindakan me-
reka selanjutnya.
Ternyata tiga lelaki berpakaian hitam itu
tidak melancarkan serangan. Mereka berdiri di
tempat masing-masing dan membentur-
benturkan pisau di tangan kanan dengan sarung-
nya hingga menimbulkan bunyi berdenting yang
cukup riuh. Mawar mengernyitkan alisnya, heran. Dia
tidak mengerti mengapa tiga lelaki berpakaian hitam itu melakukan tindakan


Dewa Arak 67 Makhluk Jejadian di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

demikian. Apalagi
ketika disadari kalau ketukan itu memperdengar-
kan bunyi yang khas. Suaranya terdengar susul-
menyusul secara berirama tetap.
Mawar baru merasa kaget bukan kepalang
ketika mendadak merasakan sakit pada telin-
ganya. Kian lama kian bertambah sakitnya, bah-
kan kemudian rasa pusing mulai menyerangnya.
Sekujur tubuhnya terasa lemas secara mendadak
bagaikan dilolosi tulang-belulangnya. Tanpa da-
pat dicegah lagi, tongkat yang tergenggam di tangan terlepas dan jatuh ke tanah.
Bahkan tubuh Mawar mulai limbung.
Saat Mawar tengah tidak berdaya seperti
itu, lelaki berpakaian hitam yang tadi terkena
tendangan pada paha kanannya, dengan agak ter-
tatih-tatih melangkah mendekati gadis itu. Mawar masih menyadari adanya bahaya,
tapi tidak berdaya sama sekali. Dirinya tidak mampu melaku-
kan perbuatan apa pun, bahkan sampai lelaki
pincang itu menotok bahu kanannya, hingga ro-
boh lemas tidak berdaya.
Bersamaan dengan robohnya Mawar, tiga
lelaki berpakaian hitam menghentikan ketukan
senjata mereka.
"Hebat juga betina liar ini!" ucap lelaki pendek kekar bernada kagum. "Tanpa
cara ini mungkin kita tidak akan dapat membekuknya!"
Empat rekannya, tak terkecuali yang pin-
cang kakinya dan yang terluka perutnya, namun
telah ditotok jalan darahnya sehingga darah tidak mengalir lagi, menganggukkan
kepala membenar-
kan. Kemudian, setelah lelaki pendek kekar me-
manggul tubuh Mawar di bahu kanan, mereka
beranjak meninggalkan tempat itu.
*** "Tunggu...!"
Seruan keras yang membuat suasana di
tempat itu tergetar hebat membuat lima lelaki
berpakaian hitam berhenti dan membalikkan tu-
buh. Lima lelaki berpakaian hitam itu terjingkat kaget ketika melihat orang yang
telah mengeluarkan suara menggeledek itu.
"Lagi-lagi kau, Kakek Bau Tanah.,.!" seru lelaki pendek kekar tanpa
menyembunyikan nada
kegentaran dalam ucapannya.
"Hm... kau masih mengenaliku, Penculik-
Penculik keparat!" gumam pemilik suara yang ternyata si Kakek Bermuka Kehijauan.
Tubuhnya yang tinggi laksana galah, tampak bergoyang-
goyang seperti akan jatuh karena tertiup angin.
Lima lelaki berpakaian hitam saling pan-
dang. Sinar mata mereka menyiratkan kebingun-
gan. "Kalau kalian tidak mau melepaskan wanita itu jangan harap aku akan
mengampuni kalian
seperti dulu lagi! Asal kalian tahu saja, sekarang aku sedang tidak enak
pikiran. Bukan tak mungkin kalau sekarang aku akan membunuh kalian!
Lepaskan wanita itu dan pergi dari sini! Cepat!"
Lima lelaki berpakaian hitam itu tidak
langsung mematuhi bentakan kakek bermuka hi-
jau. Mereka saling pandang sejenak. Dalam sinar mata mereka rupanya terdapat
kecocokan pendapat. Sambil menghembuskan napas berat lelaki
pendek kekar melemparkan tubuh gadis berpa-
kaian merah. Tappp! Seperti menerima segumpal daun kering,
kakek bermuka hijau itu menyambut tubuh Ma-
war dengan tangan kiri. Hampir pada saat yang sama, tangan kanannya bergerak
menepuk, dan Mawar pun merasakan totokannya telah punah.
"Terima kasih atas pertolonganmu, Kek,"
ucap Mawar penuh perasaan terima kasih. "Kalau tidak ada Kakek entah apa yang
akan terjadi pada diriku. Aku berhutang budi padamu."
Mawar segera membalikkan tubuh. Dia
bermaksud mengejar lima lelaki berpakaian hitam yang masih terlihat di kejauhan.
Mereka melesat cepat meninggalkan tempat itu setelah memberikan tubuh Mawar pada
kakek bermuka hijau.
"Tunggu, Nak!" Cegahan kakek jangkung membuat Mawar menghentikan maksudnya.
Tubuhnya kembali dibalikkan
"Ada apa, Kek?"
"Kurasa lebih baik kau urungkan niatmu
untuk mengejar mereka. Terlalu berbahaya. Kau
akan ditangkap lagi oleh mereka. Mereka sangat
licik dan mempunyai banyak cara untuk mero-
bohkanmu. Lebih baik kau ikut bersamaku."
Mawar tercenung sejenak. Kalau menuruti
perasaan, dia ingin menolak tawaran itu. Dirinya masih mempunyai urusan yang
harus diselesaikan. Dan urusan itulah yang menyebabkannya
berada di tempat ini.
"Ikutlah bersamaku, Nak...!" ujar kakek jangkung itu lagi, mengulang ajakannya.
Mawar menganggukkan kepala. Kakinya
melangkah menghampiri kakek jangkung. Kemu-
dian keduanya berlari cepat meninggalkan tempat itu. Belum berapa lama kakek
jangkung dan Mawar berlari, di kejauhan mereka melihat sosok yang tengah melesat cepat menuju
tempat itu. Namun, baik kakek Jangkung maupun Mawar ti-
dak mempedulikannya sama sekali dan terus ber-
lari. Sebentar kemudian, kedua belah pihak ber-papasan. Dan...
"Hei, Mawar! Mengapa kau berada di sini"!
Hendak ke mana kau"!" tanya sosok yang melesat dari arah berlawanan, begitu
jarak antara mereka tinggal lima tombak. Sosok itu berhenti dan berdiri
menghadang di jalan. Mau tidak mau Mawar
dan kakek jangkung pun berhenti.
"Ah! Kakang Arya...!" sambut Mawar penuh perasaan gembira. "Memang aku tengah
mencari-carimu, Dan..."
"Siapa orang ini, Mawar"!" selak kakek jangkung bernada selidik dan tak senang
seraya menatap Arya dan Mawar berganti-ganti.
"Dia Arya, Kek. Kawan baikku...."
Mawar terpaksa menghentikan ucapannya
karena mengetahui kakek jangkung tidak meng-
hiraukan melainkan mengalihkan perhatian pada
pemuda berpakaian ungu di depannya.
"Anak Muda, siapa pun kau adanya. Beta-
papun Mawar mengatakan kalau kau adalah ka-
wan baiknya, aku tidak bisa mempercayaimu.
Jangan-jangan kau kawan dari para penculik
yang baru saja menawannya dan berhasil kuusir
pergi. Menyingkirlah dari sini, sebelum aku bertindak kasar padamu! Lagi pula
aku dan Mawar mempunyai urusan yang harus segera diselesai-
kan. Bukan begitu, Mawar"!"
"Be... betul, Kang Arya," jawab Mawar agak terbata-bata setelah tercenung dan
agak kelihatan gugup mendapat pertanyaan yang tak disangka-sangka itu.
Arya tertegun. Jawaban Mawar benar-
benar tidak disangkanya. Dan sebelum dia sem-
pat berkata apa-apa, dengan tidak sabaran kakek jangkung telah mengayunkan kaki
ke depan, bermaksud pergi.
"Mari, Mawar! Aku tidak yakin kalau pe-
muda ini bermaksud baik padamu...."
Tanpa banyak membantah, meskipun tari-
kan wajahnya menyiratkan kebingungan, Mawar
mengikuti tindakan kakek jangkung. Tapi....
"Tunggu dulu, Kek!"
Di saat terakhir, Arya masih sempat ber-
tindak sebelum kakek jangkung dan Mawar me-
ninggalkan tempat itu. Dia menggeser kaki se-hingga berdiri menghadang jalan. Kedua tangan-
nya pun dijulurkan ke depan. Tindakannya itu
memaksa kakek jangkung dan Mawar berhenti.
"Rupanya kau memang seorang berkepala
batu, Anak Muda," dengus kakek jangkung tanpa menyembunyikan rasa kesalnya.
"Peringatan secara baik-baik tidak mempan untukmu. Jadi, kau
ingin diperlakukan secara kasar, hah"! Baik kalau itu maumu! Sambutlah ini!"
Arya tidak mendapat kesempatan untuk
memberikan jawaban karena kakek jangkung itu
telah mengirimkan serangan berupa cengkeraman
kedua tangannya. Yang kanan mengancam ubun-
ubun sedangkan yang kiri mengincar dada. Dua
buah serangan yang mematikan.
"Keparat!"
Bersamaan dengan dengusan itu, Dewa
Arak melempar tubuh ke belakang. Namun kakek
jangkung yang telah bangkit amarahnya itu sege-
ra melompat memburu seraya mengirimkan ten-
dangan bertubi-tubi ke arah dada dan ulu hati.
Tendangan yang mengeluarkan bunyi angin ber-
kesiutan karena didukung pengerahan tenaga da-
lam tinggi. Plak, plakkk! Tubuh Dewa Arak terhuyung-huyung dua
langkah ke belakang ketika memapak tendangan
itu dengan kedua tangannya. Namun serangan
maut itu dapat dikandaskannya. Bahkan pemuda
berambut putih keperakan itu mampu mengirim-
kan serangan balasan. Sebentar kemudian, dua
tokoh yang berbeda usia ini telah terlibat pertarungan sengit.
Tentu saja perkembangan yang tidak ter-
sangka-sangka ini membuat Mawar kebingungan.
Dia tidak ingin kakek jangkung itu bertarung
dengan Arya. Dia tahu kedua belah pihak telah
salah paham. Mawar khawatir pertarungan ini
akan membuat salah satu pihak terluka. Hal ini
tidak diinginkannya sama sekali, karena baik
Arya maupun kakek jangkung telah sama-sama
melepas budi besar pada dirinya. Namun sayang-
nya dia tak memiliki kemampuan apa pun untuk
menghentikan pertarungan itu.
Yang dapat dilakukan Mawar hanya me-
nyaksikan jalannya pertarungan dengan hati ce-
mas sambil berseru-seru agar kedua belah pihak
menghentikan pertarungan. Namun sia-sia saja!
Teriakannya sama sekali tidak diperhatikan, apalagi oleh kakek bermuka
kehijauan. Rupanya ka-
kek jangkung telah demikian marah sehingga ti-
dak dapat diajak berpikir lagi.
"Ternyata kau memiliki sedikit kepandaian, Anak Muda Sombong! Pantas kau berani
bersikap kurang ajar terhadap orang tua...!" seru kakek jangkung sela-sela hujan serangan
yang dikirim-kannya.
Suara kakek bermuka kehijauan ini ter-
dengar sarat dengan perasaan geram dan penasa-
ran, karena Arya mampu menangkis serangan
yang dilancarkan dengan pengerahan seluruh te-
naga dalam. Dan setiap tangkisan pemuda be-
rambut putih keperakan itu selalu membuatnya
terhuyung dan tergetar. Hal ini membuatnya san-
gat penasaran, meskipun dilihatnya Arya menga-
lami hal serupa.
Karena kedua belah pihak memiliki gera-
kan cepat, tak terasa pertarungan telah berlangsung tiga puluh jurus. Selama itu
belum terlihat pihak yang akan keluar sebagai pemenang. Keduanya masih saling
serang dengan sengitnya.
"Grrrhhh...!"
Tanpa terduga-duga, kakek jangkung men-
geluarkan geraman keras laksana seekor singa
yang hendak melumpuhkan mangsa dengan sua-
ra aumannya. Sekitar tempat itu tergetar hebat, bahkan Mawar langsung jatuh
duduk karena kedua kakinya mendadak lemas.
Kalau Mawar saja yang berada cukup jauh
dari kancah pertarungan terpengaruh hingga ja-
tuh setengah berlutut, apa lagi Dewa Arak, orang yang berada dekat dan menjadi
sasaran serangan.
Meskipun telah terlindung oleh tenaga dalam
tinggi, tak urung tubuh pemuda berambut putih
keperakan itu terhuyung-huyung ke belakang.
Kalau saja tidak mempunyai tenaga dalam kuat,
isi dadanya mungkin terguncang dan bahkan
nyawanya akan melayang.
Kakek jangkung yang sudah memperhi-
tungkan hal ini, langsung meluruk dengan tam-
paran kedua tangan bertubi-tubi dari kanan dan
kiri ke arah pelipis Dewa Arak. Sudah terbayang di benaknya kalau pemuda
berambut putih kepe-
rakan itu akan tewas dengan kepala remuk.
Arya pun, meski tengah berada dalam kea-
daan terhuyung-huyung dan matanya berkunang-
kunang karena pengaruh suara geraman tadi,
masih dapat melihat adanya ancaman bahaya
maut. Buru-buru diangkat kedua tangannya un-
tuk menghalangi tangan lawan mendarat di sasa-
ran. Hal ini dilakukan karena tidak mempunyai
kesempatan untuk mengelak,
Plak, plakkk! Karena sebagian tenaga dalamnya seperti
lenyap akibat geraman lawan, tangkisan yang di-
lakukan membuat tubuh Arya terlempar dan ja-
tuh bergulingan di tanah. Namun, dengan gera-
kan manis pemuda bangkit dan berdiri tegak siap untuk menghadapi serangan
lanjutan lawan.
"Iblis!" seru kakek jangkung penuh perasaan ngeri melihat lawannya masih berdiri
tegak dengan sikap siap menghadapi serangannya. Setelah menatap Dewa Arak
sejenak, disambarnya
tangan Mawar dan dibawanya kabur.
"Mari, Mawar! Tinggalkan tempat ini..!"
Kakek jangkung berlari dengan pengerahan
seluruh ilmu lari cepatnya karena khawatir Dewa Arak akan mengejarnya. Tindakan
kakek ini membuat Mawar yang mempunyai kemampuan
lari cepat jauh bawahnya jadi setengah terseret.
Namun gadis berpakaian merah ini tidak meng-
hentikan pengerahan ilmu larinya dan membiar-


Dewa Arak 67 Makhluk Jejadian di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kan saja tubuhnya dibawa kabur
Kakek jangkung berlari sambil beberapa
kali menoleh ke belakang karena khawatir Arya
akan mengejarnya. Hatinya lega ketika melihat
pemuda berambut putih keperakan itu tidak
mengejarnya, melainkan hanya berdiri menatap-
nya. Dewa Arak tetap bersikap begitu sampai ak-
hirnya kakek jangkung itu tidak melihatnya kare-na lenyap ditelan kejauhan.
Yakin kalau pemuda berbaju ungu tidak
mengejarnya, kakek bermuka kehijauan itu mem-
perlambat larinya. Meskipun agak heran mengapa
pemuda berambut putih keperakan itu tidak
mengejar, padahal keadaannya masih segar-
bugar, kakek jangkung menghibur hatinya den-
gan menganggap Arya merasa sia-sia untuk men-
cegahnya. Sementara itu, begitu melihat tubuh kakek
jangkung lenyap di kejauhan, tubuh Arya baru
bergetar keras. Lalu....
"Bhuakh,..!"
Arya memuntahkan darah segar dari mu-
lutnya. Darah yang sejak tadi ditahan-tahan keluarnya. Apabila kakek jangkung
mengetahui hal ini, nyawanya akan melayang karena kakek itu
pasti akan terus melanjutkan penyerangan.
Begitu mengeluarkan darah segar banyak
dari mulutnya, Arya terguling roboh dan pingsan.
Paksaan yang dilakukannya untuk tetap tampak
segar-bugar dan menahan-nahan muntahnya da-
rah segar, membuatnya harus mengerahkan te-
naga dalam. Padahal, keadaannya saat itu terluka parah, dan tindakan ini membuat
luka dalamnya semakin parah. 5 Sosok tubuh tegap bergerak dengan sikap
hati-hati mendekati tubuh Arya yang tergolek.
Semula sosok yang mengenakan pakaian rompi
kulit ular ini tengah berlari cepat, tapi langsung dihentikan ketika melihat
sosok tubuh berambut
putih keperakan tergolek tak bergerak.
"Siapa pemuda ini, ya?" tanya sosok berpakaian kulit ular yang ternyata seorang
pemuda berwajah jantan, apalagi dengan adanya kumis
dan jenggot tebal serta hitam menghias wajahnya.
"Mengapa dia bisa terluka" Melihat ciri-cirinya aku jadi teringat akan seorang
tokoh golongan putih yang julukannya menggemparkan dunia persi-
latan. Diakah Dewa Arak?"
Semua pertanyaan itu terucap hanya di da-
lam hati pemuda berpakaian kulit ular. Dan den-
gan pertanyaan yang bergaung-gaung di dalam
hati, didekatinya, tubuh Arya dengan sikap was-
pada karena khawatir kalau-kalau sosok itu tiba-tiba bangkit dan menyerangnya.
Namun sampai pemuda berompi kulit ular itu berada dekat den-
gan tubuh Arya, dan bahkan sampai berjongkok,
apa yang dikhawatirkan tidak terjadi. Tubuh itu tetap diam mematung seperti
sebelumnya. "Hei... Apa yang kaulakukan"!"
Di saat pemuda berompi kulit ular itu
mengulurkan tangan hendak menyentuh tubuh
Arya, terdengar suara teriakan. Suara itu terdengar dekat sekali padahal
pemiliknya masih berada dalam jarak sekitar tiga puluh tombak, teriakan itu
menimbulkan getaran hingga ke dalam dada!
Rasa kaget membuat pemuda berompi kulit
ular menghentikan gerakan tangannya, dan bah-
kan menariknya kembali. Tubuhnya segera berba-
lik, tapi sebelum dia sempat berbuat sesuatu,
pemilik suara itu telah berada di depannya. "Apa yang hendak kau lakukan
terhadap si Rambut Setan, Manusia Ular"!" tanya pemilik suara yang ternyata
seorang kakek bongkok mengenakan pakaian terbalik, bagian dalam di luar!
"Jangan sembarangan menuduh, Kek!" sahut pemuda berompi kulit ular itu merasa
tidak senang, setelah wajah dan sikapnya menampak-
kan keterkejutan seperti seorang maling yang tertangkap basah. "Aku sendiri baru
tiba di sini, dan akan memeriksa tubuh muda ini. Barangkali saja
nyawanya masih bisa diselamatkan...."
Kakek bongkok tidak langsung memper-
cayai jawaban pemuda berompi kulit ular itu.
Meski dia tidak memberikan tanggapan, beberapa
saat sepasang matanya meneliti sekujur tubuh
pemuda berompi kulit ular itu dengan penuh selidik dan tanpa menyembunyikan
perasaan curiga.
Pemuda berompi kulit ular rupanya terma-
suk orang yang berwatak sabar, atau merasa gen-
tar melihat sikap dan tindakan kakek bongkok.
Dia malah menundukkan kepala setelah sejenak
balas menatap. Sikap ini membuat kakek bong-
kok semakin bertambah curiga karena setahunya
hanya orang yang bersalah merasa takut diselidi-ki.
"Uuuh...!"
Keluhan panjang dari mulut Arya membe-
baskan pemuda berompi kulit ular dari tatapan
penuh selidik kakek bongkok. Sepasang mata tua
tapi masih tajam berkilat penuh pengaruh itu berlari secara cepat ke arah tubuh
Arya yang tergolek
"He he he...! Apa yang terjadi, Rambut Se-
tan" Aku tak percaya kalau tidak melihat sendi-
ri...! Orang seperti kau bisa terluka. Luar biasa!
Apakah ini orang yang telah melukaimu"!" tanya kakek bongkok tak sabar begitu
melihat Dewa Arak yang tergolek di tanah mengerjap-
ngerjapkan sepasang matanya.
Arya meski baru saja sadar dari pingsan,
tapi karena telah terbiasa hidup dalam bahaya,
langsung dapat mengetahui keadaan. Meski pan-
dangannya masih kabur, dia dapat mengenali dua
sosok yang berdiri depannya.
"Bukan, Resi. Bukan dia yang telah melu-
kaiku. Aku bertarung dengan seorang kakek sak-
ti." Pemuda berompi kulit ular melirik ke arah
kakek bongkok penuh kemenangan. Sorot ma-
tanya seperti mengucapkan perkataan.
"Apa kubilang"!"
"He he he...! Kau terluka parah, Rambut
Setan! Biar kucoba mengobati lukamu. Duduklah
bersila!" ujar kakek bongkok yang ternyata bernama Resi Bumi Gidulu.
"Terima kasih, Resi, Tidak usah repot-
repot, biar aku yang menyembuhkan luka ini. Ti-
dak parah, kok."
Dewa Arak lalu bangkit dan duduk bersila
meski agak payah, untuk bersemadi.
Resi Bumi Gidulu tidak bisa berkata apa-
apa selain mengangkat dua bahunya. Dia tidak
memaksakan kehendak karena tahu Dewa Arak
bersungguh-sungguh dengan penolakannya, bu-
kan sekadar basa-basi belaka.
Dibiarkan saja pemuda berambut putih
keperakan itu melakukan hal yang ingin dikerja-
kan. Dan sebentar kemudian, Dewa Arak telah
tenggelam dalam keheningan semadi untuk men-
gobati luka dalamnya.
Resi Bumi Gidulu menatap Dewa Arak se-
bentar, tapi kemudian mengalihkan perhatian pa-
da pemuda berompi kulit ular.
"Siapa kau, Manusia Ular"! Apakah kau
pun di sini untuk memburu makhluk-makhluk je-
jadian"!" tanya Resi Bumi Gidulu, langsung tanpa basa-basi. Mulutnya cengengesan
menatap pemuda itu.
"Panggil saja aku Dongga! Keberadaanku di
sini untuk mencari pengalaman. Ke mana saja
kakiku ini membawa ke situlah aku menuju," jawab pemuda berompi kulit ular,
halus. "Mencari pengalaman"! Pengalaman tai
kucing! Kau di sini tidak untuk mencari pengala-
man! Untuk apa pengalaman"! Aku di sini karena
membawa sebuah tugas yang sebenarnya tidak
kusukai. Tapi, karena ini masih tanggung jawab-
ku, apa boleh buat, harus kuselesaikan juga."
"Tugas, Resi. Tugas apa" Barangkali saja
aku dapat menyumbangkan tenaga dan kemam-
puanku yang tidak seberapa ini untuk meringan-
kan tugasmu. Maaf kalau aku terlalu lancang,
Resi." "Tentu saja tidak, Manusia Ular! He he he...! Bahkan aku memang bermaksud
menceri-takannya padamu," sambut Resi Bumi Gidulu tetap tidak memanggil pemuda
itu dengan na- manya. "Aku sebenarnya sudah mundur dari rimba
persilatan. Aku sudah jenuh, bosan! Kini, terpak-sa harus keluar lagi dan
terlibat dengan kekerasan, karena ingin mencari dan menangkap, serta
kalau bisa melenyapkan murid murtadku dari
muka bumi ini kalau dia masih melanjutkan ke-
sesatannya seperti dulu."
Resi Bumi Gidulu menghentikan ceritanya
untuk melihat tanggapan Dongga. Barangkali saja pemuda berompi kulit ular itu
hendak mengajukan sebuah perkataan. Namun, Dongga ternyata
diam, tak menyela cerita kakek bongkok itu. Ia tidak berbicara apa pun, menunggu
kelanjutan ce- rita dengan sabar, sikap seorang pendengar yang baik! "Dulu, hampir tiga puluh
tahun yang lalu aku terpaksa menyekap murid yang sangat ku-
sayangi di sebuah pulau mengerikan. Pulau aneh
yang tidak mungkin orang keluar dari tempat itu kecuali mengetahui rahasianya.
Sebuah kebetulan, aku mengetahui rahasianya, dan muridku ti-
dak. Hal itu terpaksa kulakukan, setelah muridku yang waktu itu berusia dua
puluh lima tahun, tidak juga mau sadar dari kesesatan tindakannya.
Mengacaukan dunia persilatan, bahkan dengan
cara licik berani membuat tubuhku cacat. Kau lihat bongkokku" Ini akibat
perbuatan muridku!"
"Keji sekali muridmu itu, Resi!" Dongga mengeluarkan makian terhadap murid Resi
Bumi Gidulu, ketika kakek bongkok itu menghentikan
ceritanya untuk mengambil napas.
"He he he...! Dia memang bukan manusia
lagi, Manusia Ular, tapi iblis! Itulah sebabnya aku khawatir sekali ketika
menengok pulau itu satu
purnama yang lalu, tidak kulihat keberadaannya
di sana. Malah aku melihat adanya tanda-tanda
kalau dia telah pergi meninggalkan pulau huku-
man itu. Maka, walau sudah tua, lewat seratus
tahun usiaku, karena khawatir murid biadab itu
melakukan tindakan kejinya, aku terpaksa turun
gunung. O ya, nama muridku itu Rawali. Kulitnya hitam kelam. Wajahnya khas
karena mengingatkan orang akan wajah seekor burung elang.
Bukan hanya karena dandanannya, tapi karena
bentuk hidung dan sepasang matanya. Aku yakin
akan mudah mencari orang dengan ciri-ciri seper-ti itu. Tapi sampai sekarang aku
belum juga berhasil menemukan jejaknya. Aku jadi ragu, apakah
muridku itu menempuh jalan yang berlainan den-
ganku atau sebenarnya belum keluar dari pulau
hukuman"!"
"Mungkin muridmu itu menempuh jalan
yang berada jauh denganmu, Resi. Siapa tahu dia menempuh arah ke barat,
sedangkan kau ke ti-mur. Bagaimana mungkin kau bisa menemukan
jejaknya. Lagi kau... maksudku... tahukah kau,
Resi, kapan tepatnya muridmu itu telah tidak berada di pulau hukuman"!"
"Aku tidak tahu pasti, Manusia Ular," Resi Bumi Gidulu mengangkat bahunya.
"Tapi, aku yakin tidak sampai setahun. Sebab, aku menengok tempat itu saja tahun
sekali. Jadi, kemungkinannya paling lama hanya setahun dia lolos dari tempat
itu. Meskipun demikian entah mengapa
aku yakin sekali kalau Rawali pergi belum lama
dari pulau itu. Paling lama hanya berseling beberapa hari."
Dongga tidak sempat memberikan tangga-
pan lagi karena Arya telah menyelesaikan sema-
dinya dan berjalan mendekati mereka berdua.
Terlihat jelas kala luka dalam pemuda berambut
putih keperakan itu telah sembuh, karena wajah-
nya terlihat telah segar. Hanya saja tenaga Arya belum seluruhnya pulih seperti
sediakala. Arya
masih memerlukan semadi lagi untuk membuat
tenaga dalamnya penuh.
*** "Mengapa kau berada di sini, Resi"!"
Arya mengajukan pertanyaan tanpa ber-
prasangka buruk, setelah terlebih dulu berkena-
lan dan berbasa-basi dengan Dongga, dan mence-
ritakan penyebabnya terluka.
"He he he...! Meskipun tidak melihatnya,
kau tahu kalau sekarang Eyang Kendi Laga telah
menemukan jawaban bagi pertanyaanmu, Ram-
but Setan," jawab Resi Bumi Gidulu, memberikan alasan keberadaannya di tempat
ini. Memang, tiga orang ini mulanya telah saling pisah untuk melaksanakan
kepentingan masing-masing.
"Lalu... bagaimana hasilnya, Resi"!" tanya Dewa Arak penuh rasa ingin tahu.
"Mengapa tidak kau temui si Kurus itu dan
bertanya padanya, Rambut Setan"!" Resi Bumi Gidulu malah balas bertanya.
"Kau ikut, Dongga"!" ajak Arya sebelum pergi. "Kalau kau tidak keberatan,
Arya"!."
"Tentu saja tidak!" jawab Arya cepat. "Bukankah kita sekarang berkawan"!"
Dongga si Pemuda Berompi Kulit Ular me-
lesat mengikuti Dewa Arak dan Resi Bumi Gidulu.
Semula Arya menahan-nahan kecepatan larinya,
khawatir kalau Dongga akan tertinggal jauh. Na-
mun ternyata tidak, pemuda berompi kulit ular
itu mampu mengimbangi lari mereka berdua,
bahkan ketika Arya mengeluarkan hampir selu-
ruh ilmu meringankan tubuhnya. Diam-diam baik
Arya maupun Resi Bumi Gidulu bertanya-tanya
dalam hati, "Murid siapakah pemuda berompi kulit ular ini?"
Karena ketiga tokoh itu berlari cepat, da-
lam waktu sebentar saja telah berada dekat den-


Dewa Arak 67 Makhluk Jejadian di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

gan pondok kediaman Eyang Kendi Laga. Dan
tampak kakek kecil kurus itu berdiri menunggu di depan pintu pondok. Tampak
jelas perasaan tidak sabarnya untuk memberitahukan hasil penyelidi-kannya. Dan
seperti juga Arya, Resi Bumi Gidulu, Dongga, dan Eyang Kendi Laga pun melihat
kedatangan mereka. Dan tergesa-gesa kakek kecil ku-
rus itu berlari menyambut. Kedua belah pihak
pun bertemu muka di tengah perjalanan.
"Bagaimana hasil penyelidikanmu, Eyang?"
tan Arya, sebelum Eyang Kendi Laga mengata-
kannya. "Kau akan terkejut mendengarnya, Arya,"
jawab kakek berkepala botak itu yakin akan uca-
pannya. "Makhluk-makhluk jejadian itu ternyata tidak ada!"
"Maksudmu... makhluk-makhluk itu di-
buat orang, kurus"!" Resi Bumi Gidulu yang malah mengajukan pertanyaan.
"Benar," Eyang Kendi Laga mengangguk-
kan kepala. "Entah dengan cara bagaimana aku sendiri pun tidak tahu, tapi yang
jelas, makhluk jejadian ini dibuat dari bahan dasar berupa manusia sungguhan!"
"Biadab!" Arya memaki penuh perasaan geram. "Iblis!" Resi Bumi Gidulu ikut pula
menge- luarkan seruan kemarahan.
Dongga, karena tidak tahu masalah yang
tengah diributkan, hanya berdiam diri. Dia tidak mengajukan pertanyaan sama
sekali. Dan, Resi
Bumi Gidulu yang telah tahu sikap pemuda be-
rompi kulit ular yang sungkan itu, segera bersikap tanggap dengan menceritakan
semuanya. "Ah, jadi... makhluk jejadian itu benar-
benar ada"! Dan, itu semua merupakan hasil per-
buatan seseorang" Sungguh keji!" ujar Dongga ketika Resi Bumi Gidulu telah
selesai mengutara-kan ceritanya. "Sama sekali tidak kusangka. Ku-pikir berita
itu hanya kabar burung belaka. Se-
mula aku tidak percaya. Mana mungkin ada ma-
nusia harimau, manusia kera, atau yang lain-
nya?" "Kau sendiri, bagaimana hasilnya, Arya?"
tanya Eyang Kendi Laga ingin tahu.
"Belum, Eyang." Kemudian secara jelas Arya menceritakan semua kejadian yang
diala-minya. "Mudah-mudahan saja kakek itu tidak bermaksud jahat terhadap
Mawar." "Kau jangan terlalu yakin, Arya," gumam Eyang Kendi Laga membuat Dewa Arak
menoleh ke arahnya. "Bisa kau ceritakan, maksudku... beritahukan ciri-ciri kakek yang
telah membawa lari kawan baikmu itu. Aku khawatir kawanmu itu selamat dari mulut
serigala tapi masuk dalam cengkeraman harimau,"
Arya tidak langsung menjawab pertanyaan
itu. Dia tercenung dengan sepasang mata mena-
tap ke angkasa. Pemuda berambut putih kepera-
kan ini mencoba mengingat ciri-ciri kakek yang
telah membawa Mawar pergi.
"Seorang kakek bertubuh jangkung... ting-
ginya tak kurang dari satu setengah kali orang biasa. Wajahnya kehijauan. Hanya
itu ciri-ciri khas orang itu yang dapat kuberitahukan padamu,
Eyang. Apakah kau mengenalnya"!"
Arya mengajukan pertanyaan demikian ka-
rena melihat wajah Eyang Kendi Laga berubah,
menampakkan keterkejutan dan kekhawatiran.
"Kekhawatiran ku ternyata beralasan,
Arya," gumam Eyang Kendi Laga, pahit. "Ciri-ciri orang yang kau sebutkan padaku
itu amat kukenal. Aku pernah beberapa kali bertemu den-
gannya meskipun tidak pernah bentrok. Dia seo-
rang tokoh hitam yang berwatak keji. Aku bukan
bermaksud menakut-nakutimu, tapi aku yakin
keselamatan kawanmu itu terancam!"
"Siapa sebenarnya tokoh itu, Kurus"!"
tanya Resi Bumi Gidulu sebelum Arya mengaju-
kan pertanyaan. Kakek bongkok ini mendengar-
kan percakapan Arya dan Eyang Kendi Laga.
Tampaknya dia merasa tertarik sehingga segera
ikut campur dan mengajukan pertanyaan.
"Raja Sihir Pelenyap Sukma," jawab Eyang Kendi Laga, singkat
"Ah...!"
Seruan keterkejutan hampir bersamaan ke-
luar dari mulut Arya, Resi Bumi Gidulu, dan
Dongga. "Kau mengenalnya, Arya?" tanya Eyang
Kendi Laga, ingin tahu.
"Tidak, Eyang. Tapi nama besar dan keja-
hatan tokoh itu telah lama kudengar. Ah, kasihan Mawar!" Wajah Dewa Arak
mendadak berubah,
mencemaskan keadaan kawannya.
"Apakah tidak mungkin bagi kita untuk
menyelamatkannya," Dongga menyela pembica-
raan mereka. "Barangkali saja kita dapat bertindak cepat sebelum terjadi sesuatu
atas diri Ma- war." "Kemungkinan untuk menyelamatkannya merupakan sebuah hal yang sulit,
Dongga. Bukan karena kita tidak mampu, tapi aku yakin kalau
waktu tidak memungkinkan kita. Terkecuali ka-
lau kita sudah lebih dulu mengetahui tempat ke-
diaman Raja Sihir Pelenyap Sukma itu."
Dongga mengangguk-anggukkan kepala,
dapat menyadari adanya kebenaran dalam uca-
pan Eyang Kendi Laga yang menanggapi usulnya.
"Kalau benar demikian, kurasa kemungki-
nan itu terjadi besar, Kurus!" sambut Resi Bumi Gidulu penuh semangat. Hal itu
membuat wajah-wajah, terutama sekali Arya yang sudah lesu setelah mendengar
penuturan Eyang Kendi Laga, jadi
bercahaya karena mempunyai sedikit harapan.
"Apakah kau mempunyai cara cepat untuk
dapat menyelamatkan Mawar, Resi"!" tanya Arya, cepat "Menyelamatkannya sih, aku
tidak yakin,"
jawab Resi Bumi Gidulu yang membuat dua wa-
jah lain terutama Arya yang semula sudah berse-
ri-seri jadi putus asa kembali. "Bukankah, si Kurus itu hanya mengingatkan kalau
kita mampu mengetahui tempat kediaman Raja Sihir Pelenyap
Sukma, akan dapat menyelamatkan nyawa Ma-
war"! Nah! Aku mempunyai sebuah cara untuk
mengetahui tempat kediaman Raja Sihir Pelenyap
Sukma secara cepat"
"Benarkah itu, Resi"!" sambut Arya cepat dengan semangat yang mulai timbul
kembali. "Tentu saja!" jawab Resi Bumi Gidulu, mantap. "Tapi, apakah usahaku ini akan
berarti bagi keselamatan nyawa kawanmu itu, Rambut
Setan"!"
"Mudah-mudahan saja!" sahut Arya.
"Kalau begitu aku bersedia. Tapi, aku tetap membutuhkan bantuan kalian semua.
Siapa di antara kalian yang bersedia membantu"! Tapi,
sebelumnya perlu kuberitahukan bahwa caraku
ini tidak wajar. Aku akan meminta bantuan pada
roh-roh yang berada di sekitar tempat ini. Baik roh gentayangan maupun setan-
setan yang berkeliaran. Bantuan yang dibutuhkan adalah kese-
diaan salah seorang di antara kalian untuk men-
jadi tempat dari roh yang akan dipanggil. Aku
akan mengajukan pertanyaan pada roh-roh yang
akan bersedia datang. Siapa di antara kalian yang bersedia"!"
"Aku saja, Resi. Biar bagaimanapun aku
lebih bertanggung jawab atas keselamatan ka-
wanku itu. Bukan karena aku mengecilkan arti
Eyang Kendi Laga atau pun Dongga."
"Kalau begitu, bersiaplah, Rambut Setan!
Kita akan memulainya."
Dewa Arak melangkah mendekati tempat
kakek bongkok itu berada. Sedangkan Dongga
dan Eyang Kendi Laga segera menjauh.
Sementara itu Resi Bumi Gidulu segera
mengeluarkan perabotannya untuk memanggil
roh-roh dimaksud dari buntalan kain yang ada di belakang punggungnya. Pedupaan,
kemenyan, dan bubuk berwarna putih. Dupa yang telah diisi kemenyan diletakkan di tengah-
tengah tempat pemanggilan roh. Sedangkan bubuk putih itu dis-
ebarkan menggelilingi tempatnya dan Arya berada membentuk persegi panjang cukup
luas. 6 "Aungng...!"
Lolong anjing hutan yang mengaung pan-
jang membuat suasana malam yang melingkupi
hutan di bawah puncak gunung terasa semakin
menyeramkan. Apalagi bulan penuh yang tampak
di langit perlahan-lahan mulai tertutup awan hitam bergumpal-gumpal yang entah
muncul dari mana. Dalam suasana mencekam seperti itu, so-
sok tubuh jangkung yang tak lain Raja Sihir Pelenyap Sukma melesat cepat dengan
pengerahan ilmu larinya, sehingga bentuk tubuhnya lenyap
dan yang terlihat hanya bayangan berkelebat da-
lam bentuk tidak jelas. Sementara di belakang-
nya, berlari mengejarnya sesosok tubuh yang
hampir telanjang karena sebagian pakaiannya te-
lah hancur berantakan.
"Hayo kejar aku, Iblis Busuk! Akan kuhan-
curkan tulang-belulangmu!" seru Raja Sihir Pelenyap Sukma sambil menolehkan
kepala, tapi tan-
pa memperlambat kecepatan larinya.
Sosok yang hampir telanjang itu rupanya
sudah jenuh mengejar-ngejar buruannya. Dia
berhenti, lalu berbalik arah. Namun anehnya, Ra-ja Sihir Pelenyap Sukma malah
menghentikan la-
rinya dan bergerak mengejar.
"Hey! Iblis Busuk! Iblis Pengecut, kemari
kau! Hadapi aku!"
Ucapan-ucapan keras bernada tantangan
dari Raja Sihir Pelenyap Sukma ternyata sia-sia belaka. Sosok hampir telanjang
yang dimaki-makinya terus berlari tanpa mempedulikan teria-
kan tantangan dari kakek jangkung itu.
Melihat hal ini Raja Sihir Pelenyap Sukma
sambil terus mengejar, mengeluarkan benda-
benda logam berbentuk bintang segitiga. Lalu, di-lemparkannya ke arah sosok
hampir telanjang
yang berlari di depannya berjarak enam tombak.
Cap, cappp! Bintang bersegitiga itu menancap semua
pada saran yang dituju karena sosok hampir te-
lanjang tidak mengelakkannya sama sekali.
Sosok hampir telanjang itu mengeluarkan
jeritan keras menggelegar penuh kemarahan. Se-
ketika berhenti lalu membalikkan tubuhnya.
Dengan gerakan cepat sosok hampir telanjang itu melompat menerkam Raja Sihir
Pelenyap Sukma seperti seekor harimau menerkam mangsa. Kedua
tangannya yang berkuku panjang dan hitam siap
merobek-robek tubuh kakek jangkung itu.
Namun Raja Sihir Pelenyap Sukma tidak
kalah gesit bertindak. Sebelum serangan itu mengenai sasaran, dia bergerak cepat
mengelak ke kanan depan. Tangan kirinya dikibaskan ke dada
lawannya yang terbuka lebar
Bukkk! Telak dan keras sekali tangan kiri Raja Si-
hir Pelenyap Sukma mendarat di dada lawan. Se-
ketika tubuh sosok hampir telanjang itu terlem-
par jauh ke samping. Namun, dengan gerakan
manis sosok itu menggerakkan tubuh untuk me-
matahkan kekuatan yang membuatnya terlempar,
kemudian mendarat di tanah dengan kedua kaki.
Tidak terlihat tanda-tanda kalau pukulan keras
Raja Sihir Pelenyap Sukma yang mampu meng-
hancurkan batu sebesar rumah itu berpengaruh
terhadap dirinya. Dengan gerakan yang lebih ke-
ras dari sebelumnya, sosok hampir telanjang itu kembali menerjang lawannya.
Raja Sihir Pelenyap Sukma kali ini melom-
pat jauh ke belakang untuk mengelakkannya. Dia
tidak kaget melihat lawannya tidak terluka atau kesakitan akibat pukulan tadi.
Malam mencekam dengan suasana re-
mang-remang karena bulan purnama tertutup
awan tebal terus merayap perlahan. Pertarungan
sengit itu pun terus berlanjut. Sebuah pertarungan aneh karena sosok hampir
telanjang yang memusatkan diri pada penyerangan, tidak pernah
berusaha mengelak atau menangkis gempuran
lawan. Berkali-kali serangan Raja Sihir Pelenyap Sukma, baik berupa pukulan
maupun tendangan
bersarang di tubuhnya, namun hanya membuat-
nya terlempar jatuh untuk kemudian melakukan
penyerangan lebih dahsyat. Serangan-serangan
aneh karena dilakukan dengan gerakan kaku.
Sepuluh jurus berlalu dan tidak terhitung
sudah beberapa kali sosok berpakaian hampir te-
lanjang itu terkena pukulan maupun tendangan
dari Raja Sihir Pelenyap Sukma. Namun kekuatan
tubuhnya benar-benar luar biasa! Tak sedikit pun terlihat adanya tanda-tanda
kalau serangan-serangan yang gencar mendarat pada sasaran itu
berpengaruh atas dirinya.
Raja Sihir Pelenyap Sukma sejak semula
sadar, percuma menghadapi lawannya karena
mengetahui keperkasaan dan ketangguhan sosok
berpakaian hampir telanjang itu. Itulah sebabnya, pada jurus kedua belas, ketika
memperoleh kesempatan, dia segera melesat meninggalkan la-
wannya, setelah terlebih dahulu melempar tubuh
ke belakang untuk menjauhkan diri.
Sosok hampir telanjang tidak mau mem-
biarkan lawan pergi begitu saja. Dia kembali melesat mengejarnya. Tak pelak lagi
kejar-mengejar yang kedua kalinya pun terjadi
Namun kali ini, Raja Sihir Pelenyap Sukma
terus berlari tanpa mengucapkan kata-kata me-
nantang. Dan cerdiknya, kakek jangkung ini me-
nempuh tempat-tempat yang banyak dipenuhi


Dewa Arak 67 Makhluk Jejadian di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

semak-semak dan pepohonan, sehingga dalam
waktu sebentar saja lawannya kehilangan jejak
Sosok berpakaian hampir telanjang itu
menggeram penuh kemarahan ketika mengetahui
buruannya lenyap. Meskipun demikian karena
merasa amat penasaran, pengejaran terus dilaku-
kan. Kerimbunan semak-semak dan pepohonan
menjadi sasaran kemurkaannya. Semak-semak
serta pepohonan itu porak-poranda ketika dia
menghentakkan dan menyambar-nyambar tan-
gannya secara sembarangan sambil meraung-
raung karena marah.
Mendadak sosok hampir telanjang itu me-
nolehkan kepala secara cepat ke samping kanan-
nya. Pendengarannya yang tajam menangkap
adanya bunyi gerakan dari arah itu. Maka dengan kecepatan kilat dia melesat ke
sana. *** "Astaga makhluk apa itu"!"
Terdengar suara seruan dari mulut kakek
kecil kurus yang merupakan salah satu dari em-
pat sosok yang tengah berlari menerobos kerim-
bunan semak-semak dan pepohonan di dalam hu-
tan ini. Tiga sosok lainnya adalah seorang kakek
bongkok dan dua orang pemuda. Satu di antara
pemuda itu mempunyai rambut berwarna putih
keperakan. Pemuda berambut putih keperakan
ini tak lain Arya. Sedangkan tiga sosok lainnya adalah Dongga, Resi Bumi Gidulu,
dan Eyang Kendi Laga. "Melihat ciri-cirinya aku yakin sosok ini
bukan manusia, Kurus," timpal Resi Bumi Gidulu. "Aku lebih condong menduga kalau
makhluk ini adalah mayat hidup!"
Arya dan Dongga tidak memberikan tang-
gapan sama sekali, tapi dari mereka terlihat kalau dua pemuda perkasa ini
mempunyai pendapat
yang sama dengan Resi Bumi Gidulu.
Keempat tokoh ini menatap ke arah sosok
yang tengah mereka perbincangkan dengan mata
hampir tidak berkedip. Sosok yang muncul secara tiba-tiba dari balik kerimbunan
semak dan pepohonan sehingga membuat perjalanan mereka ter-
henti. Keempat orang ini tengah dalam perjalanan menuju tempat kediaman Raja
Sihir Pelenyap Sukma, setelah berhasil menemukan tempat ke-
diaman kakek jangkung itu lewat upacara pe-
manggilan roh! Dan keempat tokoh ini memang tidak ber-
lebihan dengan pendapatnya. Sosok yang berdiri
di hadapan mereka tampak kaget juga melihat
keempatnya. Sosok itu memiliki ciri-ciri yang
menggiriskan hari. Tubuhnya kurus kering seper-
ti tidak memiliki daging, pakaian koyak-koyak
membungkus tubuhnya. Sebuah pakaian yang te-
lah lusuh dan rapuh karena ada bagian yang ro-
bek dan jatuh ke tanah ketika angin agak keras
berhembus. Namun yang lebih meyakinkan Arya
dan ketiga kawan seperjalanannya akan dugaan
Resi Burnt Gidulu adalah ketika mencium bau ti-
dak enak yang menyebar dari tubuh sosok hampir
telanjang itu. Baik yang hanya keluar dari tubuh binatang atau manusia yang
telah lama meninggal, bau bangkai!
"Arrrggghh...!"
Setelah sesaat tertegun sosok kurus kering
itu menggeram keras. Dia tertegun karena tidak
menyangka kalau bunyi yang tadi didengarnya
bukan yang ditimbulkan oleh langkah kaki Raja
Sihir Pelenyap Sukma.
Sebelum gema suara keras itu lenyap, so-
sok kurus kering telah melompat menerjang
Eyang Kendi Laga, yang berada paling depan. Ke-
dua tangannya melancarkan totokan bertubi-tubi
dengan menggunakan sebuah jari telunjuk. Bunyi
mencicit nyaring mengiris pendengaran mengirin-
gi tibanya serangan itu.
Sebelum serangan sosok hampir telanjang
itu mengenai sasaran, terdengar teriakan keras
yang menggeledek Dongga melesat memotong dari
samping seraya mengirimkan tendangan ke arah
dada sosok kurus kering itu.
Bluk! Blukk! Tubuh mayat hidup itu terpental jauh ke
belakang ketika tendangan terbang Dongga
menghantam sasaran secara telak dan keras. Ti-
dak hanya sekali, karena begitu tendangan per-
tama menghantam sasaran, pemuda berompi ku-
lit ular ini langsung menyusulnya dengan tendangan kaki yang lain.
Arya, Resi Bumi Gidulu, dan Eyang Kendi
Laga menghela napas berat melihat hat ini. Diam-diam ketiga tokoh ini
menyayangkan tindakan
Dongga yang mereka anggap terlalu kejam. Seba-
gai tokoh-tokoh tingkat tinggi, Arya dan kedua
kakek itu tahu kalau tendangan Dongga itu amat
dahsyat dan cukup untuk menewaskan lawan
yang bagaimanapun kuatnya. Perasaan kagum
pun menyeruak di hati mereka terhadap Dongga
karena tidak menyangka kalau pemuda pendiam
itu memiliki ilmu demikian tinggi. Walaupun begi-tu perasaan ini tidak mampu
mengusir perasaan
sesal atas tindakan Dongga yang mereka anggap
terlalu gampang menjatuhkan serangan memati-
kan. Namun penyesalan yang membelit hati
Arya, Resi Bumi Gidulu, dan Eyang Kendi Laga
langsung berubah ketika melihat perkembangan
yang tidak mereka sangka-sangka. Tubuh sosok
kurus kering yang melayang jauh itu tidak jatuh berdebuk di tanah seperti dugaan
mereka semula. Dengan sebuah gerakan manis sosok hampir te-
lanjang itu mendarat di tanah dengan kedua kaki, secara mantap.
"Tidak salahkah penglihatanku..."!" Pertanyaan itu bergayut di hati Arya dan dua
kakek sakti itu. Ketiganya baru yakin kalau sosok yang mi-
rip mayat hidup itu benar-benar tidak terpenga-
ruh terhadap tendangan Dongga. Sambil mengge-
ram keras makhluk menggiriskan hati itu kembali melompat menerjang. Kali ini
yang mereka serang adalah Dongga.
Dongga yang rupanya tidak menduga hal
itu akan terjadi, kelihatan gugup. Dengan gerakan mendadak, dibanting tubuhnya
ke tanah. Namun
makhluk kurus kering itu tidak membiarkan la-
wannya lolos. Dia melesat mengejar, lalu menghujaninya dengan serangan-serangan
maut sehingga membuat Dongga menggulingkan tubuh ke tanah
untuk menyelamatkan selembar nyawanya.
Eyang Kendi Laga yang melihat keselama-
tan Dongga terancam, tak bisa tinggal diam. Ba-
gaimana pun tadi pemuda berompi kulit ular itu
telah menunjukkan maksud baiknya dengan
menjegal serangan makhluk aneh itu terhadap di-
rinya. Maka, kakek kecil kurus berkepala botak
ini pun melesat di dalam kancah pertarungan,
menghampiri Dongga yang masih bergulingan se-
dangkan makhluk kurus kering itu mengejarnya
terus dengan serangan-serangan maut
"Makhluk Buruk, lihat serangan!" seru Eyang Kendi Laga yang tidak mau
mengirimkan serangan di saat lawannya tidak bersiap.
Kakek kecil kurus ini mengirimkan seran-
gan dengan pengerahan seluruh tenaga dalam-
nya. Kedua tangannya yang terkepal keras dipu-
kulkan susul-menyusul ke arah punggung mak-
hluk kurus kering itu.
Ketika Dongga masih berada di tanah,
makhluk kurus itu tidak membiarkan dirinya lolos.
Makhluk itu melesat mengejar, lalu menghujaninya dengan serangan-serangan maut
sehingga membuat Dongga menggulingkan tubuh ke tanah untuk menyelamatkan
selembar nyawanya.
"Arrrggghhh....!"
Makhluk hampir telanjang yang mempu-
nyai kekuatan tubuh luar biasa itu menggeram
keras. Tubuhnya membalik kemudian memapak
serangan Eyang Kendi Laga juga dengan tangan
terkepal. Tindakan ini membuat serangan terha-
dap Dongga dihentikan.
Duk, duk, dukkk!
Bunyi keras terdengar berkali-kali ketika
dua tangan yang terkepal berbenturan secara ke-
ras. Dan setiap benturan membuat tubuh Eyang
Kendi Laga tergetar hebat dengan tangan terasa
sakit-sakit. Bahkan benturan terakhir membuat
tubuhnya terjengkang ke belakang.
Kesempatan baik ini dipergunakan cepat
oleh makhluk menyerupai mayat hidup itu untuk
mengirimkan cengkeraman ke arah lambung dan
ubun-ubun Eyang Kendi Laga.
Ctarrr! Rrrttt!
Sebelum ubun-ubun dan lambung Eyang
Kendi Laga hancur oleh cengkeraman makhluk
aneh itu, Resi Bumi Gidulu, telah lebih dulu bertindak dengan cambuknya. Bunyi
meledak keras mengiringi meluncurnya cambuk itu ke arah
Menuntut Balas 24 Tanah Semenanjung Karya Putu Praba Drana Pasangan Naga Dan Burung Hong 3
^