Pencarian

Manusia Kelelawar 1

Dewa Arak 52 Manusia Kelelawar Bagian 1


MANUSIA KELELAWAR
oleh Aji Saka Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting : Tuti S.
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian atau
seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit
Scan buku ke djvu : Abu Keisel
Convert : Abu Keisel
Editor Fuji Ebook oleh : Dewi KZ
http://kangzusi.com/ http://dewi-kz.info/
Aji Saka Serial Dewa Arak dalam episode:
Manusia Kelelawar
128 hal. ; 12 x 18 cm.
l "Ha ha ha...!"
Tawa keras menggelegar menguak kesunyian pagi. Panjang dan
hampir tidak putus-putus. Ada nada kegembiraan yang sangat di dalamnya.
Suara itu berasal dari salah satu di antara sekian banyak goa yang terdapat di
Bukit Kematian. Sebuah bukit yang jarang didatangi orang.
Setiap orang yang datang ke sana tidak akan pernah kembali lagi. Mungkin itulah
sebabnya bukit itu dinamakan Bukit Kematian.
Menurut cerita yang tersebar di dunia persilatan, di sekitar Bukit Kematian
banyak terdapat tempat-tempat yang berbahaya. Lumpur hidup serta jalan-jalan
setapak yang terdapat di antara hamparan padang rumput setinggi satu setengah
tombak, menyembunyikan bahaya berupa ular-ular beracun dan serangga-serangga
berbisa. Semua itu hanya sebagian kecil dari bahaya-bahaya yang menghadang
perjalanan menuju Bukit Kematian. Tak aneh jika tempat itu ditakuti tokoh-tokoh
persilatan. Sedangkan bagi penduduk sekitar tempat itu, Bukit Kematian
merupakan tempat keramat. Mereka percaya bukit itu dihuni berbagai macam makhluk
halus. Dan tidak seorang pun berani menginjakkan kaki di sana.
Tapi kenyataannya pagi itu terdengar suara tawa dari salah satu goa di Bukit
Kematian! Apakah tawa itu keluar dari mulut siluman atau makhluk halus lainnya
seperti yang dipercayai penduduk sekitar tempat itu"
Mendadak dari dalam goa melesat sesosok bayangan. Gerakannya
cepat bukan main. Sehingga yang terlihat hanya sekelebatan bayangan putih yang
tidak jelas. Tahu-tahu di depan goa itu telah berdiri sesosok tubuh kurus kering
berpakaian putih.
Silumankah sosok berpakaian putih itu" Rasanya tidak! Mungkinkah siluman keluar di pagi hari" Sosok berpakaian putih itu pasti seorang
manusia! Kedua kakinya menginjak tanah!
Namun bukti yang lebih meyakinkan kalau sosok berpakaian putih itu seorang
manusia adalah pernyataannya. Ucapan yang dikeluarkan setelah sosok itu
membiarkan tubuhnya bermandikan cahaya lembut matahari pagi.
"Sekarang tibalah waktunya bagiku untuk mencoba kedahsyatan ilmu yang kudapat!"
Usai berkata demikian, sosok berpakaian putih mengembangkan
kedua tangannya ke samping. Gerakannya mengingatkan orang pada unggas yang
sedang membuka sayapnya. Hanya sosok itu menggerakkannya perlahan-lahan, tapi
penuh tenaga. Bunyi menderu seperti angin ribut terdengar mengiringi.
Ini menjadi pertanda kalau sosok berpakaian putih memiliki tenaga dalam tinggi!
Hanya orang-orang yang memiliki tenaga dalam tinggilah yang mampu menimbulkan
bunyi deru angin setiap kali menggerakkan tangannya.
Ternyata tidak hanya deru angin saja yang timbul. Sepasang
matanya pun berubah. Kelihatan seperti memanjang dan memipih, tajam berkilat
mengeluarkan sinar kehijauan. Mirip mata seekor kucing!
Hanya sesaat sosok berpakaian putih bersikap demikian. Kemudian diawali bunyi
mencicit nyaring seperti suara tikus, sosok itu melompat ke atas. Ringan bukan
main gerakan sosok berpakaian putih. Bagai sehelai daun kering, tubuhnya
melayang ke atas. Dan setibanya di sana tangan kanannya dikibaskan.
Wuttt! Blarrr! Bunyi hiruk-pikuk langsung terdengar ketika angin kibasan sosok berpakaian putih
menghantam batu sebesar kerbau. Padahal batu itu berada dalam jarak tak kurang
dari lima tombak! Tapi, kenyataannya hancur! Satu bukti lagi betapa kuat tenaga
dalam sosok berpakaian putih itu.
Jliggg! "Ha ha ha...!"
Begitu kedua kakinya mendarat ringan di ranah, sosok berpakaian putih
mengumbar tawanya yang terdengar lepas penuh dengan kegembiraan. "Sekarang aku telah menjadi orang sakti! Ha ha ha...! Tidak sia-sia
pengorbananku selama ini! Tunggulah cecunguk-cecunguk tak tahu diri!
Aku, Sangkala, akan membuat perhitungan dengan kalian. Ha ha ha...!"
Masih dengan tawa yang tidak putus sosok berpakaian putih yang ternyata bernama
Sangkala melesat pergi meninggalkan tempat itu. Luar biasa! Hanya dengan sekali
lesatan tubuhnya telah berada belasan tombak di depan. Tanpa memiliki ilmu
meringankan tubuh yang sangat tinggi jarak sejauh itu tidak akan bisa dicapai!
Baru beberapa kali lesatan Sangkala menghentikan larinya.
Pandangannya diarahkan ke depan ke tempat terhamparnya padang rumput setinggi
satu setengah tombak.
"Orang lain mungkin sulit melewati tempat ini.... Tapi untukku....
Ha ha ha...! Tidak ada sesuatu pun yang dapat menghalangi langkahku!
Sangkala akan menjadi jago nomor satu di dunia persilatan. Ha ha ha...!"
Untuk kesekian kalinya Sangkala tertawa tergelak-gelak. Cukup lama sebelum
akhirnya berhenti. Lebih tepatnya dihentikan secara mendadak. Sekarang tarikan
wajahnya menampakkan kesungguhan. Tidak terlihat lagi raut kegembiraan di
wajahnya. Sangkala berdiam diri sebentar seperti tengah berpikir keras.
Mendadak ia memutar tubuhnya ke kiri dengan dibarengi gerakan tangannya.
Hingga.... Bluppp! Tubuh Sangkala lenyap! Di tempatnya semula berdiri tampak
kepulan asap dan seekor kelelawar!
Cit, cit, cit! Diiringi bunyi mencicit yang keluar dari mulutnya, kelelawar itu terbang di atas
hamparan rumput!
Kalau kebetulan ada yang melihat kejadian ini tentu akan heran bukan main,
Bagaimana mungkin kelelawar melakukan kegiatannya di siang hari" Padahal
binatang itu biasanya tidur di siang hari. Dan baru keluar pada malam hari.
*** Matahari telah bergeser jauh dari tempat terbitnya. Meskipun
demikian belum mencapai titik tengah ketika sebuah iring-iringan kereta kuda
memasuki mulut Hutan Sawang.
Iring-iringan itu terdiri dari sebuah kereta dan delapan ekor kuda.
Kedudukan binatang yang rata-rata berpenunggang sosok-sosok berwajah gagah itu
melindungi kereta. Tiga di bagian belakang dan depan serta satu pada masing-
masing sisi kereta.
Seperti juga binatang tunggangannya yang semua berwarna hitam, sosok-sosok gagah
di atas punggung kuda itu pun mengenakan pakaian yang sama. Kuning kentang. Pada
bagian dada kiri tersulam gambar kepala seekor harimau. Pedang bergagang kepala
harimau tampak di balik punggung mereka. Senjata-senjata itu membuktikan
rombongan ini bukan terdiri dari orang-orang lemah.
Menilik sikap sosok-sosok di atas punggung kuda hitam yang
terlihat begitu melindungi kereta, bisa diperkirakan orang yang berada di
dalamnya adalah orang penting.
"Hooop...!"
Tiba-tiba salah satu dari tiga penunggang kuda
terdepan mengangkat tangan kanannya ke atas seraya menarik tali kekang binatang
tunggangannya. Seketika itu pula, rombongan yang berada di belakang tiga sosok itu menghentikan
langkah kuda mereka. Dan seiring dengan itu, masing-masing sosok berpakaian
kuning bersikap waspada. Mereka melihat sesosok tubuh berpakaian putih berdiri
menghadang jalan.
Salah seorang dari tiga penunggang kuda terdepan, seorang lelaki tegap berkumis
tebal, melompat turun. Indah dan manis gerakannya..
Bahkan ketika kedua kakinya didaratkan di tanah, tidak terdengar bunyi yang
berarti. Itu pertanda ilmu meringankan tubuhnya cukup tinggi.
Lalu dengan langkah dan sikap tenang, lelaki berkumis tebal itu menghampiri
sosok berpakaian putih yang terdiri dalam jarak sepuluh tombak di depannya.
Tindakan lelaki berkumis tebal yang menjadi pimpinan iring-iringan itu tidak
luput dari perhatian rekan-rekannya dan sosok berpakaian putih.
Sosok berpakaian putih itu ternyata seorang pemuda yang berusia sekitar dua
puluh lima tahun. Kulit wajahnya pucat seperti lama tidak terkena sinar
matahari. Seperti juga lelaki berkumis tebal, pemuda itu pun bersikap tenang.
Kedua tangannya tetap dilipat di depan dada.
"Maaf, Kisanak. Bisakah kau menyingkir sebentar" Kami hendak lewat, dan sedang
memburu waktu. atas kesediaanmu kami mengucapkan terima kasih," ujar lelaki
berkumis tebal pelan dan sopan.
"Bagaimana kalau aku tidak mau"!" sahut pemuda berpakaian putih dingin.
Seketika itu pula wajah lelaki berkumis tebal berubah. Sepasang matanya berkilat
marah. Tapi hanya sebentar, sesaat kemudian raut wajahnya kembali seperti biasa.
Rupanya lelaki berkumis tebal itu mampu menguasai perasaannya.
"Maaf, Kisanak. Mungkin perlu kau ketahui kami adalah orang-orang Perguruan
Harimau Terbang. Kebetulan aku pemimpin rombongan ini. Namaku Kulana! Saat ini
kami sedang mendapat tugas yang harus cepat kami laksanakan. Kami tidak
mempunyai banyak waktu. Sekali lagi kuminta kau menyingkir dari tempatmu,
Kisanak. Berilah kami kesempatan untuk lewat."
"Cuhhh!"
Tanggapan dari pemuda berpakaian putih adalah semburan ludah
ke tanah. Kasar dan menjijikkan sekali caranya.
"Siapa pun kalian aku tidak peduli! Dari Perguruan Harimau Terbang atau
Perguruan Macan Ompong bukan urusanku! Yang jelas kalau ingin lewat jalan ini
kalian harus menyingkirkan aku!"
"Keparat!"
Terdengar makian keras penuh kemarahan. Disusul kemudian
dengan melompatnya seorang penunggang kuda yang tadi berada di sebelah Kulana.
Dia seorang lelaki bertubuh pendek kekar.
"Biar aku yang melemparkan pemuda sombong itu, Kakang!" pinta lelaki pendek
kekar ketika telah berada di dekat Kulana.
Kulana tidak segera menjawab. Ditatapnya wajah lelaki pendek
kekar itu sejenak.
"Baik! Tapi hati-hati, Cakra! Jangan bertindak sembrono. Aku yakin dia bukan
orang sembarangan," beri tahu lelaki berkumis tebal seraya melangkah mundur
memberi kesempatan pada rekannya.
"Mengapa harus membuang-buang waktu"! Lebih baik kalian
semua maju bersama!" tantang pemuda berpakaian putih tanpa menyembunyikan rasa sombong. Hingga semua orang yang berada di dalam rombongan
Perguruan Harimau Terbang gusar.
Hal yang sama pun dialami Cakra! Kemarahannya semakin
berkobar mendengar sesumbar lawan. Maka diputuskan segera melaksanakan maksudnya.
"Manusia sombong! Awas seranganku ! Hih!"
Cakra membuka serangan dengan sebuah tendangan lurus ke arah
dada. Deru angin cukup keras mengiringi tibanya serangan itu, pertanda tenaga
dalamnya cukup tinggi.
Tapi pemuda berpakaian putih tetap bersikap tenang. Tidak terlihat tanda-tanda
dia akan melakukan tindakan. Baik tangkisan maupun elakan.
Malah begitu serangan Cakra menyambar semakin dekat, pemuda
berpakaian putih menurunkan kedua tangannya. Sebuah tindakan yang membuat
ancaman bahaya semakin besar. Karena bagian dadanya terbuka lebar.
Karuan saja semua orang yang berada di situ terkejut. Tidak
terkecuali Cakra! Sudah gilakah pemuda berpakaian putih itu! Kalau tidak, mana
mungkin membiarkan serangan lawan menghantamnya" Ataukah dia memiliki kepandaian
yang demikian tinggi sehingga berani menerima serangan lawan"
Pertanyaan-pertanyaan itu menggayuti semua kepala anggota
rombongan Perguruan Harimau Terbang. Sekarang mereka menunggu kenyataan yang
akan terjadi dengan perasaan tegang. Dan mereka tidak perlu menunggu terlalu
lama untuk membuktikan kenyataan itu. Sesaat kemudian....
Bukkk! Telak dan keras sekali kaki Cakra mendarat di dada pemuda
berpakaian putih.
Akibatnya benar-benar mengejutkan! Seharusnya pemuda berpakaian putih itu kesakitan. Tapi yang terjadi sebaliknya. Cakralah yang
menjerit-jerit kesakitan sambil memegangi kakinya.
Pemuda bertubuh pendek kekar itu merasakan kakinya bukan
menghantam tubuh manusia yang terdiri dari daging dan tulang. Tapi, mengenai
bongkahan baja keras! Rasa sakit yang sangat langsung menderanya.
Tentu saja rekan-rekan Cakra terkejut bukan main melihat
kenyataan itu. Sekarang mereka sadar kalau pemuda berpakaian putih memiliki
kepandaian tinggi. Seketika itu pula, bagai diberi perintah, mereka melompat
dari punggung kuda masing-masing. Sudah dapat diduga maksudnya! Apalagi kalau
bukan ingin membantu Cakra" Tapi....
"Hentikan! Jangan
ada seorang pun
yang berpindah dari kedudukan masing-masing!"
Seruan Kulana membuat anggota rombongan Perguruan Harimau
Terbang yang berada di samping dan belakang kereta menghentikan tindakan. Mereka
menyadari adanya kebenaran dalam ucapan itu.
"Ha ha ha...! Mengapa berhenti" Tidak usah malu-malu! Teruskan saja maksud


Dewa Arak 52 Manusia Kelelawar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kalian untuk mengeroyokku agar pertarungan jadi lebih menarik!
Ha ha ha...!" pemuda berpakaian putih mengeluarkan perkataannya dengan penuh ejekan. Sikapnya terlihat sangat memandangang rendah.
"Siapa kau, Kisanak"! Mengapa tanpa alasan kau mengganggu kami"! Setahuku
Perguruan Harimau Terbang tidak mempunyai urusan denganmu!" ujar Kulana sambil
melangkah maju. Sedikit pun tidak dipedulikannya sikap sombong pemuda berpakaian
putih. "Ha ha ha...!" lagi-lagi pemuda berpakaian putih tertawa sebelum menjawab
pertanyaan Kulana. "Terima kasih atas pertanyaanmu, Monyet Jelek! Memang aku
lupa memperkenalkan diri! Nah! Dengarkan baik-baik!
Namaku Sangkala! Kau dengar"!"
"Sangkala"!" gumam Kulana dengan dahi berkerut.
Lelaki berkumis tebal ini mencoba mengingat-ingat barangkali
pernah didengarnya tokoh persilatan yang mempunyai nama demikian. Tapi sampai
lelah dia menguras benaknya tidak didapatkannya tokoh persilatan yang mempunyai
nama seperti itu.
"Kau belum mengemukakan alasanmu menghadang perjalanan
kami, Sangkala"!" ujar Kulana mengingatkan.
"Sederhana saja, Kulana," timpal Sangkala tenang.
"Apa"!"
"Membunuh kalian!"
"Keparat!" maki Kulana geram merasa dipermainkan Sangkala.
Dan.... Srattt! Sinar terang menyilaukan mata berpendar ketika pimpinan
rombongan Perguruan Harimau Terbang mencabut pedangnya. Kejadian yang menimpa
Cakra menyebabkan Kulana tanpa ragu-ragu menghunus senjata. Apalagi menyadari
Sangkala seorang lawan yang tangguh.
"Hm!"
Sebuah dengusan pendek Sangkala menyambuti tindakan Kulana.
Seperti juga sebelumnya, pemuda berpakaian putih itu tetap bersikap tenang
seolah tidak ada bahaya maut mengancamnya.
"Cabut senjatamu, Sangkala!" seru Kulana melihat pemuda berpakaian putih itu
masih berdiam diri.
"Tidak usah berlagak gagah, Kulana!" ejek Sangkala, "Seranglah aku! Jangan ragu-
ragu untuk mengeluarkan seluruh kemampuanmu."
"Sombong! Ingat, Sangkala! Bukan aku yang bertindak curang menyerang lawan yang
tidak bersenjata. Tapi kau sendiri yang mengabaikan kesempatan yang kuberikan!"
"Tidak usah banyak bicara! Kalau kau memang bukan pengecut, serang aku!" tandas
Sangkala tidak peduli.
Wajah Kulana langsung merah padam. Sepasang matanya berkilat-
kilat memancarkan amarah. Geram melihat sikap Sangkala yang terlalu sombong.
Maka.... "Haaat..!"
Diawali teriakan nyaring yang membuat suasana di sekitar tempat itu bergetar
hebat Kulana melancarkan serangan perdananya. Pedangnya ditusukkan ke arah leher
Sangkala! Cittt! Bunyi mencicit dari udara yang robek terdengar ketika pedang
Kulana meluncur menuju sasaran.
Cepat bukan main luncuran serangan itu. Tapi masih lebih cepat gerakan Sangkala.
Hanya dengan memiringkan kepalanya ke kanan, tanpa bergeser dari tempatnya
semula, Sangkala membuat serangan itu kandas.
Ujung pedang Kulana lewat beberapa jari di sebelah kiri leher Sangkala.
Melihat serangan perdananya berhasil dielakkan lawan dengan
mudah, Kulana jadi penasaran. Segera dikirimkan serangan susulannya.
Pedangnya diayunkan mendatar ke arah leher!
Wuttt! Untuk yang kedua kalinya babatan pedang Kulana hanya mengenai angin. Sangkala
telah menarik kepalanya ke belakang. Dan hebatnya gerakan itu dilakukan tanpa
menggeser kaki!
Tapi Kulana tidak putus asa. Bahkan sebaliknya! Serangan-
serangan yang dikirimkannya semakin dahsyat. Pedangnya berkelebatan cepat
mengancam berbagai bagian berbahaya di tubuh Sangkala. Disertai bunyi mencicit
yang menyakitkan telinga.
Berturut-turut Kulana melancarkan serangan dahsyat. Tapi semua berhasil
dipunahkan Sangkala dengan mengelak tanpa menggeser kaki!
Laksana bayangan, tubuhnya digerakan ke sana kemari mengelakkan serangan Kulana.
"Hih!"
Kulana menggertakkan gigi. Rasa marah dan sakit hati berkecamuk di hatinya
melihat serangan demi serangan yang dikirimkan dipatahkan lawan dengan demikian
mudah. "Sekarang giliranku!"
Di antara bunyi riuh rendah berkelebatannya pedang Kulana
terdengar seruan Sangkala. Tapi Kulana yang tengah dilanda amarah tidak
mempedulikannya. Lelaki berkumis tebal itu terus melancarkan serangan.
Pedang di tangannya dikelebatkan ke berbagai bagian berbahaya di tubuh Sangkala.
Namun.... Tappp! "Akh!"
2 Jeritan pendek bernada kaget keluar dari mulut Kulana ketika
batang pedangnya berhasil dicengkeram Sangkala. Kejadiannya berlangsung sangat cepat dan tidak terduga-duga.
Meskipun demikian Kulana tidak kehilangan akal. Secepat batang pedangnya
tercengkeram secepat itu pula ditariknya seraya mengerahkan seluruh tenaga
dalamnya. Tergambar di benaknya jari-jari Sangkala putus tersayat mata
pedangnya. Paling tidak tangan itu terluka! Dan bila hal itu terjadi Sangkala
pasti akan melepaskan cengkeramannya.
Tapi harapan Kulana pupus. Pedang itu sekali pun tidak bergeming dari
cengkeramana Sangkala, Seolah bukan dicengkeram tangan manusia tapi jepitan
baja! Betapa pun dikerahkan seluruh tenaganya, tetap saja tidak bergeming!
Meskipun demikian Kulana tidak putus asa. Maksudnya tetap
diteruskan sampai wajahnya merah padam dan napasnya terengah-engah.
Berbeda dengan Kulana, keadaan Sangkala biasa saja. Tidak terlihat tanda-tanda
pemuda itu mengerahkan tenaganya. Raut wajahnya tetap seperti semula. Tenang dan
dingin. Semua kejadian itu disaksikan dengan jelas oleh semua anggota Perguruan Harimau
Terbang. Terutama Cakra dan rekannya yang berada di bagian depan. Tanpa
diberitahu mereka mengerti pimpinannya berada dalam kedudukan yang tidak
menguntungkan! Sadar jika keadaan itu dibiarkan akan membahayakan keselamatan Kulana, Cakra dan
rekannya segera bertindak! Bagai telah disepakati sebelumnya, keduanya menghunus
senjata dan melompat ke dalam kancah pertarungan.
Sing sing sing...!
Bunyi mendesing terdengar ketika dua batang pedang itu meluncur ke arah leher
Sangkala. Cakra mengirimkan serangan dari sebelah kanan, sedangkan rekannya dari
kiri. Kedua serangan itu dilakukan dari atas.
Tindakan itu seperti gerakan seekor burung garuda hendak menerkam mangsa.
Hebat dan cepat serangan gabungan ini. Namun tanggapan yang
diberikan Sangkala jauh lebih cepat. Sekali jari-jari tangannya yang
mencengkeram, bergerak terdengar bunyi 'tak', disusul patahnya pedang Kulana!
Padahal saat itu Kulana tengah bersitegang menarik senjatanya!
Kelanjutan kejadian itu sudah dapat diduga! Kulana terdorong
deras ke belakang terbawa tenaga tarikannya. Potongan pedangnya tergenggam di
tangan! Di saat itulah Sangkala bertindak! Tangan kanannya dikibaskan!
Singngng! Seketika itu pula potongan pedang Kulana meluncur dalam
kecepatan tinggi ke arah pemiliknya! Sementara Kulana masih terbawa tenaga
tarikannya. Keadaan pimpinan rombongan Perguruan Harimau Terbang sangat
berbahaya! Tindakan Sangkala tidak berhenti sampai di situ. Kedua tangannya disampokkan ke
atas. Trakkk, trakkk, cappp!
"Akh...!"
Luar biasa! Dalam waktu sekejap rentetan peristiwa itu terjadi!
Kegagalan Cakra dan rekannya karena serangan mereka berhasil dipunahkan Sangkala dengan sampokan tangannya yang membuat pedang mereka patah
hampir bersamaan dengan amblasnya potongan pedang Kulana di perut majikannya
sendiri. Kulana memekik kesakitan!
"Kakang...!"
Cakra dan rekannya menjerit kaget melihat kejadian yang
menimpa Kulana. Jeritan itu langsung keluar begitu keduanya berhasil mematahkan
kekuatan yang membuat tubuh mereka melayang akibat sampokan Sangkala.
Seiring keluarnya jeritan itu Cakra dan rekannya meluruk ke arah Kulana yang
berdiri limbung sambil memegangi perutnya. Sungguh tangguh daya tahan Kulana.
Dia mampu berdiri di tanah dengan kedua kaki.
Padahal potongan pedang amblas di dalam perutnya.
Bukan hanya Cakra dan rekannya yang meluruk ke arah lelaki
berkumis tebal itu. Anggota rombongan Perguruan Harimau Terbang yang lainnya pun
melakukan hal yang sama. Sedangkan Sangkala hanya tertawa-tawa. Tawa gembira
penuh dengan nada ejekan.
Masih dengan tawa yang tidak putus, Sangkala memperhatikan
semua kesibukan rombongan Perguruan Harimau Terbang. Tampak
olehnya, Cakra dan kawan-kawannya mengerumuni Kulana. Tubuh
pimpinan rombongan Perguruan Harimau Terbang itu setengah terbaring di tanah.
Kalau tidak ada tangan Cakra yang menegakkan punggungnya, pasti tubuh Kulana
terbaring. "Kakang...! Kuatkan hatimu...! Kau akan sembuh, Kang," ucap Cakra terbata-bata
dengan suara bergetar.
Terlihat jelas kesedihan Cakra, baik dalam nada suara maupun
tarikan wajahnya. Gambaran perasaan yang sama membias di wajah semua anggota
Perguruan Harimau Terbang.
"Tidak, Cakra, Hhh... hhh.... Aku ti... tidak kuat lagi. Hhh... hhh....
Lak., laksanakan tugas kalian se... sebaik-baiknya. Dan... akh...!"
Seiring dengan terkulainya kepala Kulana nyawanya pun melayang ke alam baka.
"Kang...! Kakang Kulana...!"
Dengan kalap Cakra mengguncang-guncangkan tubuh Kulana.
Sikap lelaki pendek kekar itu menunjukkan ketidakrelaannya akan kematian Kulana.
Sebab Kulana adalah kakak kandung Cakra!
Tawa gembira penuh ejekan membuat Cakra dan rekan-rekannya
teringat kembali akan keberadaan Sangkala. Seiring dengan itu, perasaan geram
dan keinginan untuk membalas dendam pun timbul.
"Tenangkanlah hatimu, Kang. Akan kubalaskan semua sakit
hatimu!" sambil berkata demikian, dengan hati-hati Cakra membaringkan tubuh
Kulana di tanah. Kemudian dirinya kembali berdiri dan menatap Sangkala. Terlihat
jelas sinar kemarahan dan kebencian di sana!
"Kubunuh kau, Iblis Keji!" desis Cakra dengan suara bergetar.
Lalu.... Srattt! Sinar terang berpendar ketika lelaki pendek kekar yang tengah dilanda amarah itu
mencabut pedangnya.
Bukan hanya Cakra yang menghunus senjata. Enam rekannya pun
melakukan tindakan yang sama. Dalam cekaman perasaan marah,
rombongan Perguruan Harimau Terbang seperti tidak mempedulikan sikap gagah lagi.
Walaupun lawan yang akan dihadapi hanya seorang dan bertangan kosong. Sementara,
mereka berjumlah tujuh orang! Dan masih ditambah lagi dengan senjata di
genggaman! Kelihatan sangat tidak adil!
Tapi Sangkala tidak mempedulikan hal itu. Sikap yang ditunjukkannya malah menyiratkan dia memandang remeh lawan-lawannya.
Pemuda itu tetap tenang, meskipun rombongan Perguruan Harimau Terbang telah
melakukan penyerangan.
"Haaat...!"
Diawali teriakan keras, Cakra yang sudah tidak kuat menahan
amarahnya mulai bergerak. Rekan-rekannya mengikuti. Mereka tahu Cakra bukan
tandingan Sangkala yang hebat. Kalau tidak dibantu, lelaki pendek kekar itu akan
tewas di tangan lawan.
Pertarungan pun tidak bisa dihindarkan lagi. Tujuh orang gagah dari Perguruan
Harimau Terbang menyerang laksana macan luka. Pedang-pedang di tangan mereka
berkelebat cepat mengancam berbagai bagian tubuh Sangkala.
Tapi Sangkala tetap tenang. Ditunggunya hingga serangan-
serangan itu menyambar dekat. Baru setelah hampir menyentuh tubuhnya, pemuda
berpakaian putih itu memberikan tanggapan.
Menggiriskan sekali tindakan Sangkala! Babatan, tetakan, dan
tusukan senjata lawan dipapakinya dengan tangan kosong. Bunyi berdetak keras
seperti logam-logam keras beradu terdengar ketika sepasang tangan Sangkala
berbenturan dengan senjata-senjata lawan.
Kedua tangan Sangkala sedikit pun
tidak terluka! Malah
sebaliknya, setiap kali terjadi benturan, tubuh anggota Perguruan Harimau
Terbang terhuyung-huyung ke belakang.
Meskipun demikian, mereka tidak gentar. Tanpa mempedulikan
rasa sakit, rombongan Perguruan Harimau Terbang kembali melancarkan serangan.
Pertarungan sengit kembali berlanjut.
*** Tapi setelah pertarungan berlangsung hampir sepuluh jurus,
rombongan Perguruan Harimau Terbang harus mengakui kehebatan
Sangkala. Sebenarnya sejak semula pun sudah dapat diketahui kalau Sangkala
terlalu tangguh untuk dihadapi mereka. Cakra dan kawan-kawannya tak ubahnya
semut-semut yang menerjang api, roboh sebelum berhasil mendekati sasaran.
"Ha ha ha...! Hanya sampai di sinikah kemampuan kalian" Benar-benar
mengecewakan!" ujar Sangkala keras mengatasi bisingnya suasana pertarungan.
Jelas pemuda itu mengerahkan tenaga dalamnya.
Tidak ada tanggapan dari anggota rombongan Perguruan Harimau
Terbang. Walaupun sebenarnya hati mereka terbakar karena perasaan geram yang
melanda, yang dilakukan mereka hanya semakin memperhebat serangan. Tapi rupanya


Dewa Arak 52 Manusia Kelelawar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sangkala tidak mempedulikan ada tanggapan atau tidak. Ini terbukti beberapa saat
kemudian! "Bersiaplah kalian! Sekarang aku akan membalas...!" usai berkata, Sangkala
menjejakkan kaki. Seketika itu pula tubuhnya mencelat tinggi ke atas melewati
kepala para pengeroyoknya. Lalu....
Jliggg! Ringan laksana daun kering, Sangkala mendaratkan kedua kakinya di tanah di luar
kepungan. Kemudian tanpa menunggu lebih lama lagi kedua tangannya dikembangkan
seperti unggas membuka sayap.
Sangkala menyusun jari-jarinya membentuk cakar aneh. Kaki
kanannya berada di depan agak dijinjitkan. Sedangkan kaki kirinya di belakang
sedikit menekuk. Inilah jurus 'Kelelawar' andalannya. Cukup aneh pembukaan jurus
'Kelelawar' Sangkala. Tak heran jika rombongan Perguruan Harimau Terbang
terkejut bercampur heran.
Tapi hanya sesaat Cakra dan kawan-kawannya dikungkung
perasaan heran. Kemudian dengan diawali teriakan-teriakan
keras memekakkan telinga, mereka meluruk ke arah Sangkala. Pedang di tangan mereka
siap dikelebatkan.
"Cit, cit, cit!"
Bunyi mendecit terdengar dari mulut Sangkala. Nyaring dan
menyakitkan telinga. Belum lagi gema suara itu lenyap, Sangkala melakukan
tindakan yang sama dengan lawan-lawannya. Pemuda itu memapaki serbuan rombongan
Perguruan Harimau Terbang.
Melihat kenyataan itu, Cakra tidak tinggal diam. Tanpa membuang-buang waktu mereka segera menyambut papakan Sangkala dengan ayunan
pedang. Sing sing sing...!
Crat, crat, crat!
"Akh, akh, akh...!"
Rentetan kejadian itu berlangsung demikian cepat sehingga sulit untuk dirinci.
Yang jelas, jeritan menyayat itu keluar susul-menyusul dari mulut rombongan
Perguruan Harimau Terbang.
Tubuh mereka berpentalan ke belakang. Jatuh berdebuk di tanah.
Berkelojotan sejenak sebelum akhirnya diam untuk selamanya. Cakra dan rekan-
rekannya tewas dengan mengenaskan. Cakar-cakar Sangkala telah meminta korban.
*** "Ha ha ha...!"
Sangkala tertawa tergelak keras dan penuh kegembiraan. Dipandanginya mayat ketujuh lawannya sejenak. Mereka korban kedahsyatan jurus 'Kelelawar'nya.
Jurus 'Kelelawar' memang sangat dahsyat! Dalam penggunaan
ilmu itu tubuh Sangkala jadi demikian ringan. Kecepatan geraknya menakjubkan.
Dengan mengandalkan kecepatan gerak itulah Sangkala berhasil membinasakan lawan-
lawannya. Ketujuh anggota Perguruan Harimau Terbang tewas terkena sambaran cakar
pemuda berpakaian putih itu.
Masih dengan tawa yang belum putus Sangkala mengalihkan
perhatian ke arah kereta. Pertama kali yang dilihatnya adalah kusir kereta.
Lelaki anggota Perguruan Harimau Terbang itu meremang bulu kuduknya.
Nyalinya langsung menciut. Disadarinya dia bukan tandingan Sangkala yang sangat
menggiriskan! Keyakinan akan ketidakmampuan dirinya membuat kusir itu
mengambil tindakan pengamanan. Inilah tindakan yang diambil.
Ctar, ctar, ctar!
"Hiya! Hiyaaa...!"
Dengan perasaan kalap yang tergambar jelas di wajahnya, lelaki itu menggebah
kuda. Binatang tunggangan itu pun berlari.
"Hmh!"
Sangkala mendengus melihat tindakan sang Kusir! Dengan sorot
mata bengis tangannya ditudingkan ke arah binatang penghela kereta.
"Cit, cit, cit!"
Terdengar bunyi mendecit yang menyakitkan telinga. Sesaat
kemudian, akibat yang mengagumkan segera terjadi. Lari kuda penarik kereta
langsung berhenti.
Kusir kereta tampak sangat kebingungan. Perasaan takut yang
mendera membuatnya tidak dapat berpikir panjang. Cambuk di tangannya dilecutkan
ke bagian belakang tubuh kuda!
Ctar, ctar, ctar!
Keras bukan main bunyi yang terdengar. Sang Kusir telah
mengerahkan segenap tenaganya.
Tapi sampai lelah dia melecutkan cambuknya kuda itu tetap diam!
Hingga lelaki itu sadar tindakannya sia-sia. Meskipun tidak mengetahui bagaimana
hal itu terjadi, tapi dia yakin Sangkala telah menotok kudanya dari jauh!
Kusir kereta itu pun menjadi nekat. Pedang yang tergantung di punggungnya segera
dicabut lalu melompat turun.
Jliggg! Begitu kedua kakinya menginjak tanah, secepat itu pula ia
melancarkan serangan ke arah Sangkala. Pedangnya diputar seperti kitiran,
kemudian ditusukkan ke dada lawan. Sangkala tersenyum mengejek melihat serangan
itu. Ditunggunya hingga dekat, baru kemudian tangannya bergerak cepat.
Tappp! Mata pedang anggota Perguruan Harimau Terbang itu berhasil
ditangkap Sangkala. Dan sebelum lawannya sempat berbuat sesuatu, Sangkala telah
bertindak lebih dulu. Sebagian tenaga dalamnya dikerahkan untuk mendorong pedang
yang dicengkeramnya. Akibatnya....
Cappp! "Akh...!"
Kusir kereta yang malang itu mengeluarkan jeritan menyayat
ketika pedangnya menancap di perut hingga tembus ke punggung. Tentu saja dengan
gagang lebih dulu.
Wajah sisa anggota Perguruan Harimau Terbang menegang
menahan rasa sakit yang sangat. Sepasang matanya membelalak lebar.
Namun itu hanya berlangsung sekejap. Begitu Sangkala melepaskan cekatannya,
tubuh kusir itu pun ambruk Dan seiring dengan robohnya tubuh itu nyawanya
melayang ke alam baka!
"Ha ha ha...!"
Entah untuk yang keberapa kali Sangkala mengumbar tawa
kegembiraan. Hanya kali ini lebih singkat dari sebelumnya.
Setelah menghentikan tawa, Sangkala mengayunkan langkah
menghampiri kereta kuda. Kelihatannya sembarangan saja kakinya dilangkahkan,
tapi hasil yang dicapai benar-benar menakjubkan! Sekali mengayun kaki pemuda itu
telah berada di dekat kereta.
"Hih!"
Brakkk! Daun pintu kereta lepas dengan menimbulkan bunyi keras ketika tangan Sangkala
yang berisi tenaga dalam menariknya.
"Auwww...!"
Teriakan melengking nyaring terdengar seiring jebolnya pintu
kereta. Jeritan itu menunjukkan pemiliknya seorang wanita!
Dugaan itu memang tidak salah! Di dalam kereta duduk dengan
tubuh menggigil seorang gadis berusia sekitar dua puluh tahun. Meskipun sebagian
wajahnya tertutup oleh kedua tangan, tampak wajahnya yang cantik. Kulitnya
putih, halus, dan mulus. Pakaian indah berwarna hijau pupus membungkus tubuh
montoknya. Agaknya gadis itu berasal dari keluarga berada.
"Hmh!"
Sorot kekejaman segera membayang di wajah dan sepasang mata
Sangkala ketika melihat isi kereta.
Sementara gadis berpakaian hijau semakin ketakutan. Disadarinya ada bahaya
mengancam. Maka tanpa pikir panjang, masih dengan jeritan-jeritan minta tolong,
dibukanya pintu kereta yang lain.
Kriiit...! Seiring dengan terbukanya pintu kereta, gadis berpakaian hijau melompat keluar.
Sudah bisa diduga maksudnya. Apalagi kalau bukan hendak Melarikan diri"
"Akan lari ke mana kau, Makhluk Jahanam"!" desis Sangkala penuh ancaman.
Tidak hanya itu saja! Tanpa merasa kasihan sedikit pun,
diambilnya sebutir kerikil dan dilemparkan ke arah gadis berpakaian hijau.
Wuttt! Tukkk! "Akh!"
Tubuh gadis berpakaian hijau tersungkur ke tanah diiringi jeritan kesakitan.
Batu yang dilemparkan Sangkala mengenai belakang lututnya.
Gadis berpakaian hijau itu belum sempat berbuat sesuatu ketika Sangkala melesat
menyambar tubuhnya dan membawanya kabur.
"Tolooong...! Lepaskan aku, Iblis Keji...!" teriak gadis berpakaian hijau,
kalap. Tapi Sangkala tidak peduli. Pemuda itu terus berlari. Hanya
beberapa kali lesatan, tubuhnya telah lenyap dari tempat itu.
3 "Apa kau mendengarnya, Melati?" tanya seorang pemuda berpakaian ungu sambil menghentikan ayunan langkahnya. Saat itu pemuda
berpakaian ungu tengah berjalan bersisian dengan seorang gadis berpakaian putih
di dalam sebuah hutan.
"Mendengar apa, Kang?" gadis berpakaian putih yang dipanggil Melati balas
bertanya. Sepasang matanya yang bening dan indah menatap wajah pemuda berpakaian
ungu penuh selidik.
Pemuda berpakaian ungu yang berambut panjang, berwarna putih
keperakan tidak segera menjawab. Dia tercenung sejenak seperti tengah memikirkan
sesuatu. "Teriakan minta tolong. Apa kau mendengarnya?" tanya pemuda berambut putih
keperakan lebih jelas.
"Tidak, Kang Arya," jawab Melati setelah menelengkan kepala sebentar untuk
mendengar jeritan yang dimaksud.
"Sekarang memang sudah tidak terdengar lagi, Melati," jawab pemuda berpakaian
ungu yang tidak lain Arya Buana yang berjuluk Dewa Arak.
"Sejak tadi pun aku tidak mendengar apa-apa. Sebenarnya..., apakah kau
mendengarnya, Kang?" Melati jadi penasaran.
"Benar, Melati," Arya menganggukkan kepala, "Memang samar dan tidak begitu
jelas. Tapi, aku tahu orang yang meminta tolong itu seorang wanita. Nadanya
melengking tinggi. Sepertinya dia sangat ketakutan!"
"Apakah tidak mungkin kau salah dengar saja. Kang?" Melati meragukan pendengaran
kekasihnya. "Aku yakin tidak salah dengar, Melati," mantap dan tegas kata-kata Arya.
"Kalau begitu, apa lagi yang harus ditunggu" Ayo kita selidiki, Kang!" ajak
Melati penuh semangat.
Sambil berkata demikian, gadis berpakaian putih itu bersiap-siap melesat
meninggalkan tempat itu. Tapi, sekujur urat-urat saraf dan otot-otot tubuhnya
yang telah menegang langsung mengendur kembali. Arya tidak menunjukkan tanda-
tanda akan meninggalkan tempat itu.
"Suara yang tertangkap telingaku terlalu lemah, Melati. Jadi tidak bisa
kupastikan dari mana datangnya. Kalau saja terdengar lagi, meskipun hanya
sekali, mungkin bisa kuketahui arahnya," Arya menerangkan keengganannya
melakukan pengejaran.
"Bagaimana kalau kita mencarinya, Kang" Aku yakin asalnya dari hutan ini!" usul
Melati bersemangat.
Pemuda berambut putih keperakan menatap wajah kekasihnya
sebentar sebelum menganggukkan kepala menyetujui.
"Asal kau tahu saja, Melati. Hutan ini cukup luas. Mencari asal suara tadi tanpa
mengetahui arahnya seperti mencari jarum dalam tumpukan jerami! Sulit!"
"Tapi... biar bagaimanapun itu lebih baik daripada kita berdiam diri di sini,
Kang!" bantah Melati tak mau kalah, "Aku yakin... kita akan berhasil menemukan
sumber suara itu. Mudah-mudahan kita dapat menolongnya?"
"Yang kau katakan tidak salah, Melati," sahut Arya membenarkan.
"Mari kita cari sumber jeritan itu."
Melati menyunggingkan senyum manis. Sesaat kemudian, sepasang muda-mudi itu mulai melakukan pencarian. Mereka mencari dengan lambat
karena mereka tidak tahu arah yang harus ditempuh. Sambil menindakkan kaki,
pendengarannya dipasang tajam-tajam. Itu dilakukan karena sepercik harapan yang
bergayut di hati. Barangkali saja jeritan itu kembali terdengar.
Cukup lama juga pasangan pendekar muda itu mencari. Tak jarang mereka harus
memapas semak-semak yang menghalangi jalan mereka.
Sampai akhirnya....
"Melati...," sapaan Arya membuat gadis berpakaian putih itu menoleh.
"Ada apa, Kang?" tanya Melati ingin tahu. Gadis itu tahu Arya tidak akan
memanggilnya bila tidak ada sesuatu yang ingin diberitahu.
"Lihat itu, Melati," jawab Arya menudingkan telunjuknya ke tanah.
Melati mengarahkan pandangan ke arah yang ditunjuk kekasihnya.
Gadis itu melihatnya. Ada lekukan selebar dua jari di tanah tidak tertutup
rumput. Lekukan itu memanjang. Jumlahnya tidak satu, tapi dua. Jarak antara
keduanya terpisah sekitar setengah tombak.
"Bukankah ini bekas gilasan roda kereta, Kang?" duga Melati meminta pendapat
kekasihnya. "Benar, Melati," jawab Arya menganggukkan kepala.
"Berarti mulai ada titik terang yang dapat membantu kita menuju sasaran, Kang."
"Kira-kira begitu, Melati," Arya memberikan persetujuan. "Aku yakin bekas roda
kereta ini mempunyai hubungan dengan asal jeritan yang sedang kita selidiki."
"Benar, Kang," dukung Melati atas dugaan Arya, "Bahkan aku mempunyai dugaan."
"Dugaan" Apa, Melati" Katakanlah, jangan ragu-ragu," timpal Arya memberi
dorongan. "Jeritan yang kau dengar berasal dari orang yang menaiki kereta ini. Dia
menjerit karena dicegat perampok-perampok"!" urai Melati.
Arya mengangguk-anggukkan kepala. Tampaknya pemuda itu
menyetujui dugaan yang diajukan Melati.
"Sekarang titik terang telah berhasil kita dapatkan. Melati. Hanya saja yang
menjadi tanda tanya, arah mana yang harus kita tempuh" Ingat, kita tidak lahu
arah yang ditempuh kereta kuda ini. Yang jelas salah satunya adalah
tempat asal kepergiannya. Jadi, jangan


Dewa Arak 52 Manusia Kelelawar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sampai kita salah
memilihnya. Kupercayakan padamu arah yang harus kita tempuh. Bagaimana, Melati.
Mana arah yang harus dipilih?"
Mendapat kepercayaan itu, Melati tidak berani bertindak sembarangan. Disadarinya kalau arah yang diambil benar, mereka akan menemukan
pemilik suara itu. Bahkan bukan tidak mungkin dapat menyelamatkannya.
Itu sebabnya Melati tidak segera menjawab. Diperhatikannya
guratan roda kereta itu beberapa saat. Melati berjongkok untuk melihat lebih
jelas tanda-tanda yang ada. Beberapa saat kemudian, Melati berhasil menetapkan
pilihan. "Kupilih yang ini, Kang!" tunjuk Melati.
"Kalau begitu, mari kita bergegas!" sambut Arya cepat.
Pemuda berambut putih keperakan itu tidak perlu menunggu lama untuk mendapatkan
tanggapan atas ajakannya. Melati langsung melangkah lebar mengikuti jejak-jejak
yang terlihat. Arya dan Melati harus berhati-hati sekali. Bebarapa kali jejak roda kereta itu
tidak tampak. Bahkan tidak berbekas sama sekali ketika melewati tanah berumput
tebal. Tapi syukurlah berkat keuletan mereka pencaharian itu sampai pada tempat
Sangkala melakukan penghadangan.
"Kakang! Lihat...!" seru Melati sambil menudingkan jari telunjuk kanannya ke
depan. Sebenarnya tanpa diberitahu, Arya melihat semua itu. Pemandangan itu demikian mencolok! Sehingga meskipun jarak mereka masih sepuluh
tombak, telah terlihat cukup jelas.
Cukup menggiriskan hati, pemandangan yang terpampang di
hadapan sepasang pendekar muda berwajah elok itu. Mayat-mayat anggota Perguruan
Harimau Terbang berserakan di sana-sini dalam keadaan mengenaskan. Sementara tak
jauh dari situ tampak sebuah kereta dengan binatang penghelanya yang masih
berdiri kaku seperti patung.
Melati yang mempunyai watak tidak sabarar, segera mengayunkan kaki mendekati
tempat bergeletakannya mayat-mayat itu. Tapi...
"Tunggu, Melati!" teriakan itu membuat Melati menghentikan maksudnya. Ditolehnya
Arya dengan sorot mata penuh pertanyaan.
"Jangan bertindak gegabah. Siapa tahu pelaku semua kekejian ini belum pergi!"
Arya menjelaskan maksud cegahannya.
Melati terdiam. Ada kebenaran yang tidak bisa dibantah dalam
ucapan kekasihnya. Maka meskipun kakinya tetap diayunkan mendekati tempat mayat-
mayat itu tergolek, tindakannya lebih berhati-hati.
Bukan hanya gadis berpakaian putih itu saja yang bersikap
waspada. Dewa Arak pun demikian. Sekujur otot dan urat saraf mereka menegang.
Pendengaran dan penglihatan mereka dipasang
setajam mungkin, siap menghadapi segala kemungkinan.
Tapi tindakan hati-hati yang dilakukan sepasang pendekar muda itu sia-sia.
Sampai mereka berada dekat dengan mayat Kulana serta rekan-rekannya, kejadian
yang tidak diharapkan tidak terjadi. Keadaan tetap aman.
"Bagaimana, Kang" Apa yang dapat kau simpulkan dari mayat-mayat ini?" tanya
Melati tetap dengan sikap waspada.
Dewa Arak tidak segera memberikan tanggapan. Pemuda itu
tercenung beberapa saat mencari jawaban.
"Tidak banyak, Melati. Tapi yang jelas dugaanmu harus diperbaiki.
Tidak benar orang-orang ini terbunuh karena dicegat perampok."
"Yaaah...!" desah Melati pelan. "Rasanya kau benar, Kang. Mayat-mayat itu
sepertinya berasal dari satu kelompok. Kurasa kepandaian mereka cukup tinggi.
Jadi andaikata yang melakukan penghadangan perampok-perampok hutan ini, sudah
pasti bila terjadi perkelahian di antara mereka ada yang tewas! Padahal
kenyataannya tidak. Berarti bukan perampok yang telah mencegat perjalanan
kelompok ini"
"Aku pun menduga demikian, Melati," dukung Arya, "Kalau tidak satu tentu ada
beberapa tokoh rimba persilatan yang mencegat perjalanan mereka. Karena lawan
terlalu kuat, mereka dapat dibinasakan."
"Aku setuju dengan dugaanmu, Kang. Kukira pun demikian!" seru Melati keras.
Dewa Arak hanya mengangkat bahu, "Sekarang tinggal satu lagi yang belum kita
periksa yaitu kereta! Aku yakin orang yang berada di dalam kereta merupakan
tokoh penting. Buktinya dia dikawal!"
"Apakah dia pun mengalami nasib serupa. Kang"!"
"Jawaban itu hanya bisa diperoleh kalau kita menyelidiki kereta itu, Melati,"
ucap Arya. Melati sekilas mengalihkan pandangan ke arah kereta kuda,
"Sepertinya tidak ada kehidupan di sana. Jangan-jangan orang yang berada di
dalam kereta telah tewas. Lihat saja keadaan pintunya"!"
Arya diam saja. Apa yang dikatakan Melati benar. Tidak ada tanda kehidupan dari
kereta kuda itu. Meskipun demikian, Dewa Arak dan Melati tetap mendekati kereta.
Masih dengan sikap hati-hati. Maka....
"Kosong..."!" desis Arya dan Melati hampir bersamaan ketika telah berada tepat
di samping kereta
"Hm...!"
Dewa Arak bergumam sambil mengangguk-anggukkan kepala.
Diperhatikannya pintu kereta yang sudah tidak berdaun lagi. Tanpa ada yang
menceritakan pun sudah bisa ditebak peristiwa yang telah terjadi.
"Isi kereta ini seorang wanita, Kang," ujar Melati. Melihat kekasihnya tercenung
dengan pandangan tertuju pada bagian dalam kereta.
"Yah...," sahut Arya mendesah seraya mengangkat wajahnya.
"Dialah yang berteriak-teriak minta tolong. Karena jaraknya terlampau jauh,
tidak terdengar jelas."
Kali ini Melati tidak memberikan tanggapan. Gadis itu berdiam diri.
"Kita semakin mendekati sasaran, Melati. Mari teruskan pencarian kita...,"
sambung Arya seraya mengayunkan langkah meninggalkan tempat itu. Tanpa membantah
Melati segera mengayunkan langkah, mengikuti Arya yang telah melangkah lebih
dulu. *** Untuk kedua kalinya Arya dan Melati harus berusaha keras. Masih
sama dengan tujuan semula, mencari pemilik jeritan minta tolong.
Sepasang pendekar itu melakukan pencarian dengan penuh
seksama. Tak jarang semak-semak yang lebat dikuak. Mata mereka diedarkan ke sana
kemari. Pendengarannya pun dipasang setajam mungkin agar dapat mendengar bunyi
sepelan apa pun. Kesabaran serta kerja keras Dewa Arak dan Melati ternyata tidak
sia-sia. "Ah...!"
Arya mengeluarkan seruan. Tapi lebih tepat keluhan. Suara yang dikeluarkan
demikian pelan dan dibarengi dengan menundukkan wajah.
Tentu saja tindakan Arya membuat Melati merasa heran.
Pandangannya diarahkan ke tempat pemuda berambut putih keperakan tadi memandang.
Dan.... "Ikh...!"
Jeritan kaget langsung keluar dari mulut Melati. Tanpa sadar
tangan kanannya ditutupkan ke mulut.
Memang tidak aneh kalau Melati sampai demikian terkejut dan
Arya menundukkan kepala! Tidak jauh dari mereka, dalam jarak sekitar tiga
tombak, terpampang tubuh seorang gadis berpakaian hijau dalam keadaan
mengerikan. Betapa tidak" Tubuhnya menempel di sebatang pohon besar dengan kedudukan tangan
dan kaki merentang, Keadaannya amat menggiriskan hati! Hampir sekujur tubuhnya
dipenuhi darah oleh luka-luka sayatan.
Bahkan warna pakaiannya sebagian besar telah berganti merah karena noda darah.
Itu pun kalau masih bisa disebut pakaian. Karena sudah robek di sana-sani.
Keadaan gadis berpakaian hijau itu lebih mendekati orang yang tidak berpakaian.
"Biadab!"
Setelah terdiam beberapa saat karena perasaan hatinya yang
terguncang, keluar juga sebuah makian Melati. Tarikan wajah dan sorot matanya
memancarkan kemarahan yang sangat.
"Keji!" sambung Arya geram, "Siapa pun pelakunya, dia tidak pantas dibiarkan
hidup lebih lama!"
Dengan perasaan marah berkobar di dada, Arya dan Melati
menghampiri. Jarak yang cukup jauh membuat mereka tidak dapat melihat mengapa
tubuh gadis berpakaian hijau itu dapat menempel di batang pohon.
Hanya dalam beberapa langkah pasangan pendekar muda itu dapat mengetahui
kenyataan itu membuat kemarahan mereka semakin bergejolak.
"Iblis!"
Hampir bersamaan makian itu keluar dari mulut Arya dan Melati.
Itu terjadi ketika keduanya telah melihat mengapa tubuh gadis malang itu dapat
menempel pada batang pohon! Pada kedua telapak tangan dan kakinya ditancapkan
ranting sebesar ibu jari yang tembus hingga ke batang pohon! Keji!
"Kalau aku tidak dapat menemukan dan membasmi iblis keji ini, biar aku mati
saja!" janji Arya sungguh-sungguh. Untuk pertama kalinya Dewa Arak mengambil
keputusan akan membunuh calon lawannya.
Padahal tokoh itu belum dilihatnya.
"Kau benar, Kang. Tanganku pun sudah gatal ingin segera
mencekik hancur batang leher iblis keji itu!" sambung Melati tidak kalah
geramnya. "Nanti itu akan kita lakukan, Melati. Sekarang yang paling penting menguburkan
mayat gadis itu! Lakukanlah, Melati," perintah Arya.
"Ah...!" Dewa Arak berseru tertahan.
Melihat perubahan wajah kekasihnya, Melati mengarahkan
pandangan ke tempat pemuda berambut putih keperakan tadi memandang.
Dan.... "Ikh...!" Jerit Melati terkejut saat melihat mayat seorang gadis yang sekujur
tubuhnya dipenuhi darah bekas luka-luka sayatan!
Gadis berpakaian putih segera melaksanakan perintah kekasihnya.
Hanya dengan sekali hentakan tubuhnya melayang ke atas! Entah bagaimana caranya
gadis itu melakukan, tapi begitu tubuhnya melayang turun, di tangannya
terpondong tubuh gadis berpakaian hijau.
Jliggg! Ringan laksana sehelai daun kering Melati menjejakkan kedua
kakinya di tanah. Kemudian bersama-sama Arya dicarinya tempat yang cocok untuk
menguburkan gadis berpakaian hijau yang malang itu.
Baik Arya maupun Melati tidak tahu kalau gerak-gerik mereka
diperhatikan seekor kelelawar! Kalau diperhatikan memang aneh! Mungkinkah ada kelelawar berkeliaran di siang hari" Jawabannya adalah mustahil!
Tapi karena kelelawar itu penjelmaan Sangkala, ketidakmungkinan itu bisa saja terjadi.
Kelelawar hitam itu terus mengawasi perbuatan pasangan pendekar muda itu. Bahkan
sampai Melati menguburkan mayat gadis berpakaian hijau. Sepasang matanya
berpijar ketika mendengar ucapan Melati seusai menguburkan mayat gadis itu.
"Siapa pun dirimu, aku berjanji akan membalas sakit hatimu. Akan kucari pelaku
tindak kekejian ini!" ucap Melati sambil mendongakkan wajah.
"Hhh...!"
Arya menghela napas berat mendengar ucapan kekasihnya. Tidak
dicegahnya Melati mengucapkan janjinya. Pemuda itu tahu Melati merasa geram pada
pelaku kekejian itu. Dia pun dilanda perasaa yang sama.
Perlahan-lahan ditepuk-tepuknya pundak Melati untuk memberi ketabahan hati.
Gadis berpakaian putih itu menoleh menatap wajah Arya sejenak.
Kemudian wajahnya dijatuhkan di pelukan kekasihnya. Pemuda berambut putih
keperakan itu mengusap-usap kepala Melati penuh kasih.
"Mari kita cari pelaku kekejian ini, Melati. Aku yakin dia belum pergi jauh.
Darah gadis yang malang itu masih hangat," ajak Arya pelan.
Melati hanya bisa menganggukkan kepala. Sesaat kemudian
pasangan pendekar muda itu melangkah meninggalkan tempat itu!
4 "Cit, cit, cit!"
Diiringi suara mendecit nyaring, kelelawar berbulu hitam meluncur turun dari
pohon tempatnya bertengger. Binatang malam itu turun ketika Arya dan Melati
telah jauh meninggalkan tempat itu.
Bluppp! Bunyi letupan pelan terdengar. Disusul dengan munculnya asap
putih yang cukup tebal. Sebelum asap itu sirna dari pandangan, berdiri tegak
seorang pemuda berpakaian putih yang tidak lain Sangkala! Pemuda itu menatap
kuburan gadis berpakaian hijau dengan sinar mata yang sulit diartikan.
"Kau korban pertamaku, Wanita Sundal! Masih banyak lagi wanita lain yang akan
bernasib sama sepertimu," desis Sangkala dengan nada kejam sehingga terdengar
menyeramkan. Yang lebih menyeramkan lagi suara itu dikeluarkan tanpa
menggerakkan bibir sedikit pun! Dari sini bisa diduga ketinggian ilmu pemuda
berpakaian putih itu. Hanya orang-orang yang berkepandaian tinggilah yang mampu
melakukan hal itu.
"Trijati..., sebenarnya kaulah yang harus jadi korban pertamaku,"
desis Sangkala masih tanpa menggerakkan bibir. Tapi biarlah kau menjadi korban
berikutnya. Mengucapkan nama Trijati membuat Sangkala teringat akan
kejadian beberapa bulan lalu. Kejadian yang membuatnya tersesat ke Bukit
Kematian. *** Matahari belum menampakkan diri. Hari masih terlalu pagi. Tapi,
dalam suasana seperti itu Sangkala sudah keluar meninggalkan bangunan Perguruan
Banteng Putih, perguruannya. Entah mengapa pemuda itu sendiri tidak tahu. Yang
jelas dia ingin pergi ke sungai dan mandi!
Berkat ilmu meringankan tubuhnya yang cukup tinggi, tanpa
membutuhkan waktu terlalu lama, Sangkala telah berada di dekat tempat yang
ditujunya. Semula Sangkala ingin segera terjun ke sungai, tapi suara-suara yang
tertangkap telinga membuat pemuda itu membatalkan
maksudnya. Suara orang bercakap-cakap diselingai percikan air. Suara wanita.
Seketika itu pula muncul dorongan kuat di hati Sangkala untuk melakukan hal yang
tidak pantas. Dia tahu di sungai itu ada wanita-wanita sedang mandi. Dengan
detak jantung yang lebih
cepat Sangkala menghampiri asal suara itu. Pemuda berpakaian putih itu tampak hati-hati sekali.
Dia tidak ingin tindakannya diketahui.
Usaha Sangkala tidak sia-sia. Pemuda itu berhasil mencapai tempat yang
diinginkan untuk melakukan tindakan tidak pantasnya. Sangkala bersembunyi di
balik sebuah batu besar dan mengintai ke sungai. Deggg!
Dada Sangkala bagai diseruduk kerbau liar ketika melihat
pemandangan yang terpampang di hadapannya. Dua orang gadis tengah mandi di
sungai dalam keadaan bugil!
Dalam keremangan suasana dini hari tampak cukup jelas lekuk-


Dewa Arak 52 Manusia Kelelawar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lekuk tubuh dua gadis itu. Dengan susah payah Sangkala menelan ludah membasahi
tenggorokannya yang mendadak terasa kering. Dua gadis itu dikenalnya betul.
Mereka adalah kembang-kembang desanya Desa Kawung.
Wulan dan Widuri nama gadis itu.
Sangkala merayapi tubuh Wulan dan Widuri dengan lahap.
Memang diam-diam Sangkala menaruh hati pada kembang-kembang Desa Kawung itu.
Sayangnya Sangkala bukan termasuk lelaki yang berani mendekati wanita. Tambahan
lagi wajahnya tidak bisa diandalkan. Sangkala berwajah buruk. Kulitnya hitam dan
wajahnya dipenuhi bopeng. Tak aneh jika gadis-gadis, apalagi Wulan dan Widuri,
tidak pernah menghiraukannya.
Itu sebabnya kesempatan bagus itu tidak disia-siakan Sangkala.
Akibat selanjutnya pun harus ditanggung. Sangkala merasa napasnya mulai memburu.
Pikiran-pikiran jelek bermunculan di benaknya.
Meskipun demikian maksud jelek itu hanya sampai di pikiran,
tidak sampai pada pelaksanaan. Sangkala adalah murid Perguruan Banteng Putih,
sebuah perguruan silat aliran putih. Pemuda itu telah mendapat didikan menjadi
seorang pendekar.
Karena itu, betapa pun keinginan melaksanakan pikiran-pikiran yang ada di
benaknya demikian besar, Sangkala tidak mau melakukannya.
Apalagi terhadap kedua orang gadis yang dikenalnya.
Rasanya keadaan akan berlangsung seperti itu jika saja tidak terjadi sebuah
peristiwa yang mengejutkan hati. Tanpa sengaja kaki Sangkala menyentuh sebuah
batu. Sialnya batu itu bulat dan terletak di tempat yang tidak memungkinkannya
diam bila tersenggol!
Dengan diiringi bunyi riuh rendah, batu itu menggelinding ke arah sungai. Tempat
Sangkala bersembunyi letaknya memang lebih tinggi dari sungai. Tak heran bila
batu itu menuju ke sana.
Bunyi yang cukup berisik itu menarik perhatian Wulan dan
Widuri. Keduanya segera menghentikan kesibukan dan memandang
berkeliling. Tubuh mereka direndam ke dalam sungai. Sekarang yang me-nyembul
dari permukaan air mulai dari bagian dada atas. Dugaan jelek muncul di benak dua
kembang Desa Kawung itu.
"Siapa di situ" Cepat tunjukkan diri!" seru gadis yang bertahi lalat di pipi.
Itulah Widuri. "Benar! Kalau tidak, kami akan berteriak! Biar orang-orang desa datang dan
menangkapmu!" timpal Wulan mengancam.
Ucapan itu terpaksa dikeluarkan Wulan ketika telah menunggu
beberapa saat tidak ada tanda-tanda munculnya sosok tubuh yang mengintai.
Sementara itu Sangkala mulai bingung. Diam-diam disesalinya keberadaan batu itu.
Kalau tidak, Wulan dan Widuri tidak akan curiga.
"Kuhitung sampai tiga!" sambung Wulan "Bila tidak mau menunjukkan diri, kami
akan berteriak agar orang-orang desa kemari."
Karuan saja ucapan Wulan membuat Sangkaia semakin kelabakan.
Perasaan gelisah melanda hatinya. Dia khawatir Wulan dan Widuri melaksanakan
ancamannya. Dapat dibayangkan betapa malu dirinya nanti.
Sementara itu Wulan mulai menghitung.
"Satu..., dua..., ti...!"
"Tunggu!"
Sangkala menunjukkan diri. Pemuda berwajah bopeng itu akhirnya mengambil
keputusan seperti itu. Di benaknya telah dirancang alasan-alasan yang akan
dikemukakan karena keberadaannya di tempat itu. Tentu saja dia mengharapkan
kedua gadis manis itu mau mengerti. Tapi harapan Sangkala tampaknya tidak
terwujud. "Kau..."! Jadi kau yang telah mengintip kami mandi"!" tanya Wulan tanpa
menyembunyikan rasa jijiknya.
"Cihhh! Manusia tak tahu diri! Apa kau tidak bercermin"! Dasar Kadal Buduk!"
timpal Widuri tak kalah kasar.
"Cepat pergi dari sini, Binatang!" usir Wulan tanpa kenal rasa kasihan.
"Benar! Cepat pergi! Atau... kau ingin kami panggil orang-orang desa kemari?"
ancam Widuri. Sangkala hanya berdiri terpaku. Untung saja suasana masih
remang-remang. Kalau tidak, akan terlihat jelas betapa wajahnya berubah-ubah.
Sebentar merah sebentar putih.
Sangkala sungguh tidak menyangka akan seperti ini sambutan
yang diterimanya. Pemuda itu menyadari kesalahannya dan keburukan rupanya. Tapi
tidak berarti seenaknya saja orang mempermalukan dirinya.
Sangkala mempunyai perasaan yang peka. Tak heran jika dia tersinggung bukan main
mendapat perlakuan seperti itu.
Rasa sakit hati membuat otaknya tidak dapat berpikir jernih. Yang ada di
benaknya hanya satu, membalas sakit hati ini! Itu sebabnya pemuda itu bukannya
menyingkir malah menghampiri Wulan dan Widuri. Tentu saja tindakan Sangkala
membuat kedua gadis manis itu kaget. Mereka saling pandang dengan perasaan
gugup. "Pergi kau, Kadal Buduk!" maki Widuri. "Benar! Pergi, manusia tak tahu diri!"
Tapi Sangkala tidak mempedulikan ucapan kedua kembang desa
itu. Kakinya tetap diayunkan menghampiri kedua gadis itu. Mulutnya mendesiskan
ancaman, "Orang-orang seperti kalian memang harus diberi pelajaran biar tidak seenaknya
menghina orang...."
Melihat Sangkala terus saja menghampiri, Widuri dan Wulan jadi ketakutan. Mereka
merasa ada bahaya mengancam. Tanpa mempedulikan keadaan tubuh yang polos,
keduanya saling mendahului berlari ke darat sambil berteriak-teriak minta
tolong. "Tolooong...! Tolooong...!"
Suasana dini hari yang hening pun pecah oleh suara teriakan
Wulan dan Widuri. Hingga Sangkala merasa khawatir. Pemuda itu takut sebelum
maksudnya terlaksana, para penduduk Desa Kawung telah datang lebih dulu. Maka
diputuskannya untuk bertindak cepat.
Dengan beberapa kali lesatan, Sangkala telah menghadang jalan Wulan dan Widuri.
Itu tidak aneh. Kedua kembang Desa Kawung itu tidak mempunyai kemampuan bela
diri seperti halnya Sangkala. Dan sebelum Widuri dan Wulan menyadari sepenuhnya
apa yang terjadi, tangan Sangkala telah bergerak menotok.
Tuk, tukkk! "Akh!"
Disertai keluhan lirih, tubuh mereka terkulai lemas. Sudah dapat dipastikan
tubuh keduanya akan jatuh kalau Sangkala tidak segera menangkapnya.
"Sebentar lagi kalian akan menerima akibat kesombongan sikap kalian," desis
Sangkala tajam penuh ancaman.
Kemudian Sangkala melesat pergi dengar membawa tubuh kedua
gadis manis itu di bahunya. Dengan beberapa kali lesatan tubuh Sangkala lenyap
ditelan keremangan pagi.
Brukkk! Brukkk!
Tanpa merasa kasihan sedikit pun Sangkala melemparkan kedua
tubuh molek itu di tanah. Untunglah ada lapisan jerami yang cukup tebal sehingga
Wulan dan Widuri tidak terlalu merasa sakit.
"Hhh...!"
Sangkala menyandarkan punggungnya ke dinding. Saat ini dia
bersama dua kembang Desa Kawung berada di tempat persembunyian yang ditemukan
Sangkala secara tidak sengaja. Sebuah goa batu yang cukup besar dan terletak di
dalam Hutan Randu. Letaknya cukup tersembunyi karena tertutup kerimbunan semak-
semak dan ilalang yang lebat.
Sangkala yakin tidak ada orang yang mengetahui tempat
persembunyiannya. Dengan demikian, dia aman tinggal di sini. Disadarinya kalau
mulai saat ini dirinya menjadi buron. Penduduk Desa Kawung tentu mencarinya.
Gurunya pun tidak akan tinggal diam. Ketua Perguruan Banteng Putih itu pasti
marah besar! Sudah pasti Ki Ageng Sora, gurunya, akan mengutus anggota Perguruan
Banteng Putih untuk mencarinya.
Keyakinan bahwa tempatnya tidak akan bisa ditemukan membuat
Sangkala mengalihkan perhatian pada tubuh Widuri dan Wulan yang tergolek dalam
keadaan tanpa sehelai benang pun. Seketika itu nafsu bifahi Sangkala kembali
bangkit. Dengan napas agak memburu dan langkah lebar didekatinya Wulan dan
Widuri. Sementara kedua kembang Desa Kawung dilanda rasa takut yang
sangat. Mereka menyadari bahaya mengerikan yang tengah mengancam.
Sayang tidak ada yang dapat mereka lakukan kecuali menatap Sangkala dengan
ngeri. "He he he...!"
Sangkala terkekeh. Terlihat jelas pemuda berwajah bopeng itu
gembira. Itu memang tidak salah! Sangkala gembira melihat sorot kengerian dalam
wajah maupun sinar mata Wulan dan Widuri. Padahal biasanya wajah dan sinar mata
kedua gadis itu selalu penuh hinaan dan cemoohan bila menatap ke arahnya.
"Sekarang akan kalian rasakan pembalasanku, Wanita-wanita Sombong!" ujar
Sangkala bergetar penuh dendam, "Mau atau tidak kalian harus menuruti
keinginanku!"
Usai berkata, dengan penuh nafsu Sangkala menindih tubuh
Wulan. Dengan kasar diciuminya sekujur tubuh gadis itu. Tidak hanya itu.
Kedua tangannya bergerak liar ke sana kemari! Meremas apa yang dapat diremas
dengan kasar! Tidak ada yang dapat dilakukan Wulan untuk mencegah tindakan
Sangkala. Tubuhnya terasa lemas. Bahkan gadis itu tidak mampu mengeluarkan suara
karena Sangkala telah menotok urat bicaranya. Yang dapat dilakukan Wulan hanya
menangis tanpa suara. Menangis karena takut bahaya yang tengah mengancamnya dan
tindakan Sangkala yang kasar.
Semua kejadian itu disaksikan Widuri dengan perasaan ngeri.
Disadarinya nasib yang dialami Wulan akan menimpanya pula. Ingin rasanya dia
menjerit sekeras-kerasnya. Tapi, sayang itu tidak dapat dilakukan. Karena tidak
tahan melihat pemandangan yang terpampang di hadapannya, Widuri memejamkan mata.
Memang Widuri tidak mengalami kesulitan untuk memejamkan
mata. Tapi, tidak demikian dengan telinga. Gadis itu tidak mampu menutup
pendengarannya. Hingga Widuri mendengar kegaduhan yang berada di dekatnya.
Kegaduhan yang tercipta di saat Sangkala menggumuli Wulan.
Sebenarnya suara gaduh itu tidak dapat terjadi. Urat bicara Wulan telah ditotok
sehingga tidak dapat mengeluarkan suara. Jangankan rintihan atau makian, bisikan
pun gadis itu tidak mampu. Tapi karena Sangkala tidak dapat menahan diri, suara
itu terjadi. Dalam menikmati tubuh Wulan, dari mulut Sangkala keluar bunyi riuh
rendah seperti kucing kelaparan diberi ikan!
Kegaduhan yang berasal dari mulut Sangkala yang tidak dapat
dicegah Widuri masuk ke telinga. Sehingga meskipun tidak melihat kejadiannya,
Widuri tetap merasa tersiksa.
Apalagi kegaduhan itu berlangsung lama. Sepertinya Sangkala
tidak berniat segera mengakhiri permainannya. Dan ketika Widuri sudah hampir
tidak kuat terus-menerus memejamkan mata, kegaduhan itu baru berakhir. Ini
membuat Widuri merasa ngeri!
Terhentinya kegaduhan itu pertanda Sangkala telah menyelesaikan kebiadabannya.
Berarti kegadisan Wulan telah dilahapnya. Kini gilirannya hanya tinggal menunggu
waktu! Kalau saja dapat, ingin rasanya Widuri membunuh diri! Tapi apa daya"
Gadis itu tidak mampu menggerakkan anggota tubuhnya.
Dugaan Widuri ternyata tidak meleset. Dirinya pun tidak luput dari kebiadaban
Sangkala. Sama seperti Wulan, Widuri tidak mampu berbuat apa-apa. Yang dapat
dilakukannya hanya mengucurkan air mata tanpa suara, diiringi jeritan pilu di
hati! Berbeda dengan Widuri dan Wulan, Sangkala yang telah gila oleh amukan nafsu
birahi dan rasa sakit hati malah bergembira! Tanpa rasa kasihan sedikit pun
dijarahnya sekujur tubuh kedua gadis kembang Desa Kawung dengan tidak pernah
merasa puas. Kesenangan membuat Sangkala lupa diri. Yang ada di benaknya
hanya memuaskan nafsu birahi! Tidak dipikirkannya kemungkinan penduduk Desa
Kawung menemukan tempat persembunyiannya. Telah dua hari
berlalu tidak ada tanda-tanda orang mendekati tempat persembunyiannya, membuat pemuda itu merasa tenang.
Bagaimana mungkin orang dapat menemukan tempat persembunyianku" Pikir Sangkala meremehkan. Dia tidak pernah keluar dari
tempatnya! Makanan dan minuman tersedia di situ. Meskipun hanya buah-buahan dan
air gunung! Di goa itu memang banyak terdapat pohon buah.
Sebenarnya tempat persembunyian Sangkala tidak pantas disebut goa. Jalan
masuknya memang berbentuk goa dengan garis tengah satu tombak. Tapi panjangnya
hanya sekitar sepuluh tombak. Setelah itu lorong berakhir, berganti dengan
ruangan persegi panjang berukuran cukup luas.
Masing-masing sisi dibatasi tebing tinggi dengan atap langit.
Di ruangan luas itulah tumbuh berbagai jenis pohon dan terdapat sebuah danau
kecil. Tempat yang dipilih Sangkala adalah dinding tebing tempat lorong goa. Di
situ terdapat celah yang cukup luas. Jadi tempat yang dipilihnya beratapkan
dinding tebing.
Karena berada di lekukan tebing, tempat Sangkala cukup
terlindung. Baik dari sinar matahari maupun hujan. Hanya saja tidak terlindung
dari hembusan angin. Perasaan yakin yang sangat akan keamanan tempatnya
menyebabkan Sangkala dapat bersenang-senang dengan tenang.
Demikian pula siang itu. Setelah puas menikmati tubuh Widuri, entah untuk yang
ke berapa, dan beristirahat sejenak, Sangkala segera beranjak mendekati pohon
jambu untuk menikmati makan siang. Dalam beberapa langkah, pemuda itu telah
berada di dekat pohon jambu air yang berwarna putih. Lincah laksana kera dia
memanjat kemudian memetiki buahnya dan ditaruh dalam kantung yang telah
disiapkan. Sehabis memetik jambu, seperti biasa, Sangkala akan memandikan Wulan dan Widuri,
lalu memberinya makan. Tentu saja Sangkala membebaskan totokannya agar kedua
kembang Desa Kawung itu dapat makan.
Tapi siang ini, di saat Sangkala tengah sibuk memetik jambu,
penduduk Desa Kawung yang dipimpin Ketua Perguruan Banteng Putih dan Kepala Desa
Kawung telah berhasil menemukan goa yang terlindung semak-semak itu. Setelah dua
hari mereka menjelajahi seluruh penjuru hutan.
"Aku yakin dia berada di sini, Ki Rawung," ucap Ki Ageng Sora, Ketua Perguruan
Banteng Putih, sambil menudingkan jari telunjuknya ke arah goa yang berada tak
jauh di depan mereka.
Ki Rawung, Kepala Desa Kawung, bertubuh kecil kurus itu tidak segera menanggapi
ucapan Ki Ageng Sora. Ditatapnya wajah Ketua Perguruan Banteng Putih itu
sejenak. "Bagaimana kalau Sangkala tidak berada di sini, Ki Ageng"!"
tanya Ki Rawung merasa tidak yakin.
"Kalau demikian, aku tidak tahu lagi harus mencari ke mana, Ki.
Hampir seluruh isi hutan ini telah kita jelajahi!" Ki Ageng Sora menghentikan
ucapannya sejenak untuk mengambil napas. Benaknya diputar mencari kata-kata yang
tepat untuk melanjutkan uraiannya.
"Sementara murid-muridku yang kusebar untuk menanyakan
kepada penduduk sekitar, barangkali melihat ke mana murid murtadku itu kabur,
mendapat jawaban yang tidak memuaskan! Tidak ada seorang pun yang melihat
Sangkala! Jadi kesimpulanku, Sangkala ada di hutan ini. Aku yakin di goa inilah
Sangkala bersembunyi!" tandas Ki Ageng Sora sangat yakin.
Raut keyakinan tampak jelas pada wajah dan sepasang mata lelaki yang memiliki
potongan kurang cocok untuk menjadi seorang ketua perguruan silat itu. Betapa
tidak" Tubuh kakek itu tinggi kurus. Bahkan terlalu kurus hingga mirip batang
bambu. Kulitnya yang hitam berkilat tampak semakin hitam karena terbungkus
pakaian serba putih. Sepasang matanya menjorok jauh di dalam rongganya, mirip
mata orang yang penyakitan.
Tapi justru sepasang mata itulah yang menjadi bukti bahwa Ki
Ageng Sora bukan orang sembarangan. Matanya tajam berkilat. Sikapnya pun
terlihat berwibawa. Tarikan wajah maupun nada bicaranya membuat orang yang
mendengarnya merasa segan.
Hal demikian pula yang dialami Ki Rawung. Mendengar uraian Ki Ageng Sora, Kepala
Desa Kawung itu tidak membantah lagi. Dia hanya mengangkat bahu dan menyerahkan


Dewa Arak 52 Manusia Kelelawar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

keputusan itu pada Ki Ageng Sora. Dan lelaki tinggi kurus itu tidak membuang-
buang waktu dengan berdiam diri di situ.
"Mari kita masuk. Tapi ingat, hati-hati. Barangkali saja ada jebakan di
dalamnya," beritahu Ki Ageng Sora.
Maka dengan dipimpin Ketua Perguruan Banteng Putih, rombongan penduduk Desa Kawung dan murid-murid Perguruan Banteng Putih
berbondong-bondong masuk ke dalam goa.
Ki Ageng Sora yang berada paling depan bertindak sangat hati-
hati. Sementara di belakangnya berbaris satu-satu Ki Rawung, murid-murid
Perguruan Banteng Putih, serta para penduduk Desa Kawung.
Tidak berapa lama kemudian Ki Ageng Sora melihat sinar terang.
Sebagai seorang yang kenyang pengalaman dia segera tahu, di sana terdapat dunia
luar. Dengan kata lain, goa tersebut berakhir di sana.
Setelah melangkah beberapa tindak lagi, Ketua Perguruan Banteng Putih telah
berada di bagian akhir lorong goa. Sesampainya di sana, wajah Ki Ageng Sora
berubah hebat. Wajahnya menampakkan rasa kagetnya yang sangat. Tapi meskipun
begitu kakinya tetap dilangkahkan.
5 Widuri, Wulan....
Panggilan itu hanya dikeluarkan Ki Ageng Sora dalam hati. Dia khawatir ucapan
itu akan didengar Sangkala yang diyakininya berada di dekat situ.
Di samping itu, Ketua Perguruan Banteng Putih tidak ingin
menimbulkan kegemparan pada rombongannya. Dikhawatirkan bila hal itu terjadi
Sangkala akan menyadari adanya bahaya dan mempergunakan kedua kembang desa itu
sebagai sandera.
Karena itu, begitu kakinya hampir meninggalkan lorong goa dan memasuki ruangan
luas, tubuhnya dibalikkan. Dengan isyarat lelaki itu memberi tahu rombongan agar
tidak menimbulkan suara. Ki Ageng Sora juga memerintahkan agar isyarat yang
diberikannya diteruskan kepada yang lain. Hasilnya, isyarat itu disampaikan
secara berantai.
Usaha Ki Ageng Sora tidak sia-sia. Ketika semua anggota
rombongan melihat keadaan Wulan dan Widuri, sama sekali tidak terdengar seruan
kekagetan. Padahal raut wajah dan sorot mata mereka memancarkan keterkejutan
yang sangat. Lagi-lagi dengan gerak isyarat, Ki Ageng Sora memerintahkan
salah seorang muridnya untuk memberi penutup tubuh pada Wulan dan Wid Kemudian
membebaskan totokan yang membelenggu mereka. Tanpa
menunggu lebih lama, orang murid Ketua Perguruan Banteng Putih segera
melaksanakan perintah itu.
Sementara itu, Ki Ageng Sora mengedarkan pandang ke sekeliling tempat itu. Hanya
dengan sekali lihat dia dapat mengetahui tempat itu tidak mempunyai jalan
keluar. Berarti Sangkala masih berada di tempat ini!
"Itu dia...!"
Seorang pemuda berwajah tampan serta gagah karena bentuk
rahangnya yang kokoh menunjuk ke satu arah. Seketika itu juga, semua pasang mata
terarah ke sana. Dan mereka melihatnya! Sangkala tengah sibuk memetik jambu!
Ternyata bukan hanya rombongan Ki Ageng Sora yang mendengar
seruan pemuda berahang kokoh itu, Sangkala pun mendengarnya. Pemuda berwajah
bopeng itu segera menoleh ke arah asal suara! Saat itu Sangkala memunggungi
tempat Ki Ageng Sora dan rombongannya berada.
Dapat dibayangkan betapa kagetnya Sangkala melihat rombongan
itu. Disadarinya bahaya besar tengah mengancam. Tanpa menunggu, pemuda itu
segera melompat dari pohon. Tak dipedulikannya buah-buah yang telah dipetiknya
berhamburan ke tanah.
Jliggg! Karena tergesa-gesa, Sangkala hampir jatuh tersungkur ketika
mendaratkan kedua kakinya di tanah. Tapi itu tidak dipedulikannya.
Langsung saja dia berlari! Yang ada di benaknya hanya satu, menjauhi rombongan
orang-orang itu!
Sangkala tidak sempat berpikir kalau jalan untuk lolos sudah tidak ada lagi.
Jalan masuk yang sekaligus jalan keluar dari tempat itu telah dihadang rombongan
pengejarnya! Melihat Sangkala melarikan diri, rombongan Ki Ageng Sora yang terdiri dari
murid-murid Perguruan Banteng Putih dan penduduk Desa Kawung segera bergerak
mengejar. Meskipun mereka tahu jalan untuk lolos sudah tidak ada lagi, tapi
kemarahan yang hebat membuat mereka tidak tahan menunggu lebih lama untuk
menghukum Sangkala.
Kesudahannya sudah dapat diduga. Kejar-mengejar antara Sangkala dan rombongan Ki Ageng Sora pun terjadi. Dari sekian banyak anggota
rombongan, hanya dua orang yang tidak ikut melakukan
pengejaran. Mereka adalah Ki Ageng Sora dan Ki Rawung. Kedua sesepuh Desa Kawung
itu hanya memperhatikan kejar-mengejar yang terjadi di depan mata mereka. Tidak
terlihat tanda-tanda mereka akan melakukan tindakan pencegahan.
Sementara itu, jarak antara Sangkala dengan pengejarnya semakin dekat. Lari
pemuda berwajah bopeng itu agak terpincang-pincang. Rupanya lompatan yang
dilakukan terburu-buru dari atas pohon dan tidak mendarat dengan benar membuat
kakinya terkilir!
"Mau lari ke mana, Manusia Bejat...!" seru seorang penduduk sambil mengamang-
amangkan goloknya.
"Jangan harap lolos dari tangan kami...!" sambung penduduk lainnya.
"Kau akan menerima balasan atas perbuatan kejimu, Sangkala!"
teriak seorang murid Perguruan Banteng Putih.
"Kau akan kami bakar hidup-hidup...!" timpa yang lain.
"Siksa dia dulu sampai setengah mati...!"
"Ganyang...!"
"Cincang tubuhnya sampai hancur...!"
Riuh rendah teriak para pengejar Sangkala. Hingga Sangkala
semakin ketakutan. Apalagi ketika disadari jaraknya dengan mereka semakin
bertambah dekat. Perasaan takut dan cemas yang melanda pun semakin besar.
"Hih...!"
Salah seorang murid Perguruan Banteng Putih yang sudah tidak
sabar lagi menunggu saat melakukan hukuman melemparkan golok yang sejak tadi
digenggamnya. Singngng...! Cappp!
"Akh...!"
Sangkala menjerit keras ketika golok yang dilemparkan murid
Perguruan Banteng Putih yang bertubuh pendek gemuk itu menancap di bagian
belakang paha kanannya. Tubuh Sangkala langsung tersungkur.
Dan sebelum Sangkala bangkit, para pengejarnya telah menyusul dan mengurungnya.
Tapi anehnya mereka tidak segera menyerangnya.
Rupanya sengaja memberi kesempatan padanya untuk melakukan perlawanan. "Bangun, Manusia Berhati Binatang!" seru pemuda berahang kokoh sangat geram.
Sangkala menggertakkan gigi. Kemudian dengan sekali sentak,
dicabutnya golok yang menancap di paha kanannya. Darah membanjir keluar. Tapi
sesaat kemudian terhenti ketika Sangkala menotok jalan darah di sekitar luka.
Seusai mengurus lukanya, Sangkala mengalihkan perhatian kepada orang-orang yang
mengurungnya. Pemuda itu tahu dirinya tidak mungkin akan mendapat pengampunan.
Maka diputuskannya untuk mengadakan perlawanan mati-matian. Setidak-tidaknya
sebelum mati dia berhasil membawa beberapa orang di antara mereka untuk
menemaninya ke akherat.
Orang pertama yang menerima tatapan Sangkala adalah pemuda
berahang kokoh. Dia tahu siapa pemuda itu. Ranjita, putra Ki Rawung.
Setelah itu pandangannya diarahkan kepada murid Perguruan Banteng Putih yang
bertubuh pendek gemuk. Bongara namanya, tatapan Sangkala penuh dendam!
"Biar aku yang melenyapkan manusia binatang ini!" ujar Ranjita gagah.
"Tidak, Ranjita!" bantah Bongara. "Biar aku yang membereskannya. Ingat! Dia adalah murid Perguruan Banteng Putih, jadi merupakan
kewajiban bagiku selaku saudara seperguruan untuk memberi hukuman!"
"Tidak adil!" selak seorang laki-laki setengah baya bertubuh tinggi kurus.
"Meskipun dia anggota Perguruan Banteng Putih, tapi yang menderita kerugian aku!
Widuri adalah putriku! Jadi akulah yang berhak menghukumnya!"
"Aku juga! Wulan, yang menjadi korban kebiadabannya adalah anakku!" sambung
penduduk Desa Kawung lainnya.
Kemudian tanpa memberi kesempatan kepada Bongara dan Ranjita
Menuntut Balas 20 Makam Bunga Mawar Karya Opa Seruling Perak Sepasang Walet 11
^