Manusia Kelelawar 2
Dewa Arak 52 Manusia Kelelawar Bagian 2
untuk menanggapi, orangtua Wulan dan Widuri segera meluruk ke arah Sangkala.
Senjata berupa kapak dan golok yang tergenggam di tangan mereka diayunkan ke
tubuh pemuda itu.
Wuttt! Melihat ancaman bahaya maut meluruk ke arahnya, Sangkala tidak tinggal diam. Meskipun sebelah kakinya
terluka, yang sedikit banyak me-ngurangi kelincahannya, tetapi pemuda itu tidak
mengalami kesulitan mengelakkan serangan mereka. Kedua orang itu adalah penduduk
desa yang hampir tidak menguasai ilmu bela diri. Andaikata memiliki pun hanya
sekadarnya. Tak aneh bila hanya dengan sebuah elakan sederhana, Sangkala
berhasil mengelakkan serangan-serangan itu. Tidak hanya itu saja. Begitu
berhasil mengelak, kaki kirinya bergerak berturut-turut melancarkan serangan
balasan! Bukkk, bukkk! "Akh!"
Kedua orangtua kembang Desa Kawung itu memekik kesakitan
ketika tendangan Sangkala mendarat di paha mereka. Keras bukan main.
Tubuh mereka terjengkang ke belakang dan jatuh terguling-guling di tanah.
Karuan saja amarah penduduk semakin berkobar. Bagai diberi
perintah, mereka menyerbu Sangkala dengan senjata di tangan.
*** Tak pelak lagi, belasan senjata yang terdiri dari beraneka ragam bentuk itu
meluruk ke segala bagian tubuh Sangkala!
Malihat hal ini, Ranjita, Bongara, dan murid-murid Perguruan
Banteng Putih membiarkan saja. Mereka tahu tidak ada gunanya mencegah.
Penduduk yang telah kalap itu tidak akan mau mendengarkan. Karena tidak ingin
ikut mengeroyok mereka terpaksa berdiri menonton.
Sementara, Sangkala yang melihat ancaman bahaya maut itu
berusaha melawan. Dengan golok di tangan, pemuda itu bertarung mati-matian.
Hebat bukan main tindakan Sangkala. Amukannya bagai macan luka. Meskipun dia
telah terluka, tapi tetap mampu melakukan perlawanan sengit. Pada hal jumlah
lawan tak kurang dari tiga belas orang. Pemuda itu dapat mengimbangi. Sangkala
mampu mengelakkan setiap serangan lawan.
Bahkan melancarkan serangan yang jauh lebih dahsyat!
Tidak sampai lima jurus dua lawannya terkapar dan terlempar dari kancah
pertarungan terkena babatan goloknya. Kenyataan itu membuat teman-teman mereka
menjadi geram bukan main. Orang-orang yang menonton pun dilanda perasaan sama.
"Keparat'" geram Ranjita penuh kemarahan. "Kalau dibiarkan terus, manusia biadab
itu bisa membunuh mereka semua!"
"Lalu..., apa yang akan kau lakukan" Ikut terjun dalam kancah pertarungan"
Mengeroyok lawan yang terluka"!" tanya Bongara mengejek.
Wajah Ranjita langsung merah padam.
"Aku bukan orang seperti itu, Bongara! Kalau orang-orang dungu itu tidak
mendahuluiku, tubuh manusia berhati binatang itu telah kujadikan daging
cincang!" "Ingin kulihat bukti ucapanmu, Ranjita," sambut Bongara meremehkan. Bongara sedikit pun tidak bermaksud membela
Sangkala. Ucapannya itu dikeluarkan karena tidak senangnya akan kesombongan Ranjita.
Ucapan Ranjita yang mengatakan mampu mengalahkan Sangkala membuat Bongara tidak
senang. Sebab kepandaian Bongara boleh dibilang setingkat dengan Sangkala.
Kalau Ranjita sesumbar mampu mengalahkan Sangkala, bukankah
itu sama saja Ranjita meremehkannya" Padahal hanya sampai di mana kepandaian
putra kepala desa itu" Ranjita hanya belajar ilmu silat dari Ki Rawung!
Mendengar tantangan Bongara, Ranjita yang memang sudah
dibakar amarah jadi semakin kalap.
"Orang-orang dungu! Menyingkirlah kalian! Biarkan aku yang menghabisi nyawa
manusia binatang itu!" teriak Ranjita keras.
Tapi sampai lelah berteriak-teriak, tidak ada tanggapan sama
sekali. Penduduk tetap melancarkan serangan terhadap Sangkala.
"Manusia-manusia
dungu!" maki Ranjita geram menyadari seruannya tidak dipedulikan. "Biar kalian semua tewas di tangannya!"
Harapan Ranjita langsung terkabul. Belum juga gema ucapannya
lenyap, terdengar jeritan menyayat hati. Disusul robohnya dua orang lawan
Sangkala. Kepala mereka terpisah dari tubuh ketika golok Sangkala menabas batang
leher mereka. "Keparat!" geram Ki Ageng Sora dan Ki Rawung hamir
bersamaan. Mereka saling bertukar pandang.
"Tidak akan kubiarkan murid murtad itu semakin mencoreng nama Perguruan Banteng
Putih dengan darah penduduk Desa Kawung!" desis Ki Ageng Sora geram. Usai
berkata lelaki tinggi kurus itu memasukkan tangannya ke balik baju. Ketika
dikeluarkan kembali tampak empat batang pisau di tangannya.
Tentu saja kelakuan Ketua Perguruan Banteng Putih tidak luput dari perhatian Ki
Rawung. Namun Kepala Desa Kawung itu tidak
mengatakan apa-apa. Dia yakin Ki Ageng Sora telah memikirkan masak-masak
tindakannya. Maka lelaki kecil kurus itu diam saja.
Sementara itu, setelah memperhatikan kancah pertarungan sesaat, Ki Ageng Sora
mengibaskan tangannya. Seketika itu pula...,
Sing, sing, sing...!
Bunyi desing nyaring yang menyakitkan telinga terdengar ketika pisau-pisau itu
meluncur ke arah Sangkala.
Bukan hanya Sangkala yang terkejut Bongara dan semua murid
Perguruan Banteng Putih pun demikian. Mereka tidak menyangka gurunya akan turun
tangan. Tapi keterkejutan yang melanda Bongara dan rekan-rekannya tidak sebesar
Sangkala. Saat itu dia baru saja mengelakkan serangan lawan-lawannya.
Keduduannya sangat tidak menguntungkan. Baik untuk menangkis
maupun mengelak. Tapi meskipun demikian, Sangkala tidak mau menyerah begitu
saja. Sedapat mungkin diusahakannya mengelak. Tapi..., Cap, cap, cap!
"Akh!"
Sangkala memekik kesakitan. Pisau-pisau itu mendarat di sasaran yang dituju Ki
Ageng Sora. Dua menancap di punggung atas. Kanan dan ki-ri. Sedangkan sisanya
menancap di paha atas bagian belakang. Juga di kanan dan kiri. Tubuh Sangkala
langsung ambruk di tanah. Tidak seperti sebelumnya. Kali ini pemuda berwajah
bopeng itu tidak bisa bangkit lagi!
Kesempatan itu tidak disia-siakan para pengeroyoknya. Dengan
sorot mata menyiratkan dendam, mereka mengayunkan senjata masing-masing. Nyawa
Sangkala sudah dapat dipastikan akan melayang saat itu juga. Tapi sebelum hal
itu terjadi...,
"Tahan...!"
Suara bentakan keras yang mengandung pengaruh kuat membuat
penduduk Desa Kawung menghentikan gerakan mereka. Senjata-senjata yang beraneka
ragam jenis itu tertahan di udara.
Dengan penuh tanda tanya mereka mengalihkan pandangan ke arah Ki Ageng Sora.
Lelaki tinggi kurus itulah yang mengeluarkan cegahan tadi.
Ternyata bukan hanya penduduk Desa Kawung itu yang tercekam rasa heran. Ranjita
dan seluruh murid Perguruan Banteng Putih pun menatap wajah Ki Ageng Sora penuh
rasa heran. "Kalian jangan salah paham," ujar Ki Ageng Sora tenang. "Kalian tidak perlu
khawatir. Aku tidak akan membela Sangkala. Dia tidak kuanggap
sebagai murid lagi! Aku mencegah semata-mata untuk kepentingan kalian juga!"
Ki Ageng Sora menghentikan ucapannya sejenak untuk mengambil
napas. Sementara penduduk Desa Kawung, Ranjita, dan semua murid Perguruan
Banteng Putih menunggu kelanjutan ucapan itu dengan tidak sabar.
"Perlu kalian ketahui, orang yang mempunyai kesalahan seperti Sangkala terlalu
enak untuk mati dengan demikian mudah! Dia telah merusak masa depan dua orang
gadis, membuat kotor Desa Kawung, dan mencemarkan nama Perguruan Banteng Putih!
Hukuman langsung mati terlalu enak baginya!" urai Ki Ageng Sora.
"Lalu.., apa yang harus kita lakukan, Ki?" tanya Ranjita ingin tahu.
Putra Kepala Desa Kawung itu sangat dendam kepada Sangkala.
Ini tentu saja ada alasanya. Ranjita iri karena Sangkala yang berwajah buruk
berhasil menikmati kegadisan Wulan dan Widuri. Padahal dia sudah lama
menginginkan mereka!
"Dia harus disiksa sebelum dibakar hidup-hidup!" tegas Ki Ageng Sora.
"Akurrr...!"
Serentak semua orang yang ada di situ menganggukkan tanda
setuju. Ki Ageng Sora tersenyum pahit melihat sambutan yang demikian penuh
semangat. Di hati kecilnya sebenarnya dia tidak setuju. Tapi kejahatan yang
dilakukan Sangkala sangat dibencinya. Maka hatinya dikuatkan untuk memutuskan
hal itu. "Kalau begitu, tunggu apa lagi"!" tanya Ki Ageng Sora setengah memerintah.
"Siksa dia! Lalu kita seret ke desa, dan bakar di hadapan seluruh penduduk.
Hukuman ini akan membuat orang lain yang melakukan tindakan seperti ini berpikir
seribu kali!"
Saat itu juga para penduduk menghampiri Sangkala yang tergolek di tanah. Mereka
saling mendahului untuk melihat pemuda berwajah bopeng itu. Sesaat kemudian
penyiksaan terhadap Sangkala pun dilaksanakan.
Dalam gelora amarah dan kebencian yang meluap-luap, para penduduk Desa Kawung
jadi manusia-manusia yang tidak punya rasa belas kasihan.
Mereka menghajar sekujur tubuh Sangkala. Tidak hanya dengan
tendangan atau pukulan tangan kosong. Tapi juga dengan senjata tumpul.
Sedikit pun tidak mereka pedulikan rintih kesakitan yang keluar dari mulut
Sangkala! Bukkk, bukkk, desss!
"Akh!"
Jeritan kesakitan tak henti-hentinya keluar dari mulut Sangkala, seiring dengan
mendaratnya siksaan-siksaan penduduk Desa Kawung.
Hanya dalam sekejap sekujur tubuhnya telah penuh luka! Darah mengalir di sana-
sini. Pakaiannya compang-camping tak karuan. Wajahnya pun hampir tidak bisa
dikenali lagi. Karena telah bengkak-bengkak. Tapi penduduk Desa Kawung tetap
meneruskan siksaannya.
Bukkk, bukkk, bukkk!
6 "Cukup!"
Untuk kedua kali Ki Ageng Sora mengeluarkan cegahan. Seperti
juga sebelumnya, penduduk Desa Kawung menuruti perintahnya. Tapi bukan karena
patuh. Ada pengaruh aneh yang membuat mereka terpaksa menghentikan gerakannya.
Sebenarnya Ki Ageng Sora tidak menggunakan ilmu gaib atau
sihir. Lelaki tinggi kurus itu mengerahkan tenaga dalamnya. Getaran tenaga dalam
itu menyebabkan orang yang kurang kuat tenaga dalamnya langsung terpengaruh.
Mereka terkesima. Hingga tindakan mereka terhenti.
"Dia sudah tidak berdaya. Bila kalian teruskan, mungkin dia akan mati! Dan jika
hal itu terjadi, rencana yang telah kita susun akan berantakan! Kalian paham"!"
lanjut Ki Ageng Sora menjelaskan.
Bagai diberi perintah, serempak penduduk Desa Kawung mengalihkan perhatian ke arah Sangkala. Mereka membenarkan pendapat Ki Ageng
Sora. Sangkala memang sudah tidak berdaya. Keadaannya sangat mengenaskan! Bahkan
beberapa saat sebelum Ki Ageng Sora mengeluarkan cegahan, dia sudah tidak mampu
menjerit lagi. Tubuhnya telah demikian lemah.
Keadaan Sangkala pun dilihat Ranjita dan murid-murid Perguruan Banteng Putih
yang sejak tadi berdiri menyaksikan. Senyum gembira dan puas tersungging di
bibir putra Kepala Desa Kawung. Tapi Ranjita tidak bisa terlalu lama tenggelam
dalam alun kegembiraannya. Karena....
"Mengapa kalian hanya bengong saja"! Seret manusia biadab itu!"
perintah Ki Ageng Sora lagi. Seruan yang diucapkan keras itu membuat para
penduduk kelabakan. Mereka bingung memikirkan alat yang dapat digunakan
untuk menarik Sangkala. Namun Ranjita yang cerdik menemukan pemecahannya. Sabuk yang melilit pinggangnya di lepas.
Lalu.... Ctarrr! Setelah lebih dulu melecutkan sabuknya hingga mengeluarkan
bunyi keras, Ranjita meluncurkan ujung sabuknya pada tangan Sangkala.
Rrrttt! Dengan gerakan yang indah dipandang, sabuk itu membelit tangan Sangkala. Sungguh
sebuah pertunjukan yang cukup hebat. Dari sini bisa diketahui Ranjita memiliki
tenaga dalam cukup kuat. Karena hanya orang-orang yang mempunyai tenaga dalam
cukup kuatlah yang mampu
memainkan sabuk! Apalagi memainkannya sebagus Ranjita!
Seperti yang sudah diduga Ranjita, penduduk Desa Kawung
terpaku melihat pertunjukannya. Tatapan mata mereka menyiratkan kekaguman.
Bahkan sorot seperti itu terlihat pula pada sepasang mata Ki Ageng Sora!
Walaupun sebenarnya lelaki tinggi kurus itu mampu memainkan berlipat kali lebih
baik dari Ranjita. Tapi tetap saja dia merasa kagum. Sebab tidak semua murid
Perguruan Banteng Putih mampu
melakukan. Kalau mau jujur dan tidak menuruti hati yang panas, Bongara
harus mengakui Ranjita memang lawan yang tangguh. Tapi karena sejak pertama
sudah muncul rasa tidak suka pada sikap Ranjita yang terlalu memandang remeh
orang, yang ditunjukkan Bongara hanya senyum sinis.
Sikapnya menunjukkan tindakan Ranjita tidak berarti apa-apa baginya.
Ranjita tentu saja diam-diam tahu, pemuda itu jengkel bukan main.
Tapi Ranjita pura-pura tidak tahu. Diberikannya ujung sabuk yang dipegangnya
pada salah seorang penduduk Desa Kawung
"Nih, seret..!" Hanya itu yang diucapkan Ranjita pada penduduk Desa Kawung yang
menerimanya dengan wajah berseri-seri.
Ki Ageng Sora dan Ki Rawung membalikkan tubuh dan berjalan
meninggalkan tempat itu. Tujuan mereka jelas. Mulut goa yang menembus Hutan
Randu. Di belakang kedua orang itu berjalan Ranjita dan murid-murid Perguruan
Banteng Putih. Sedangkan rombongan penduduk Desa Kawung berada paling belakang,
dengan salah seorang di antara mereka menyeret tubuh Sangkala.
Dapat dibayangkan penderitaan yang dialami Sangkala. Dalam
keadaan lebih mendekati mati, mana sekujur tubuhnya tidak ada yang luput dari
luka, pemuda itu diseret-seret. Padahal tanah di sini tidak rata! Banyak bagian-
bagian yang menonjol dan runcing! Dengan sendirinya luka yang diderita Sangkala
semakin parah.
Dewa Arak 52 Manusia Kelelawar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Memang pantas dipuji kekuatan Sangkala. Dalam keadaan seperti itu dia masih
sanggup memutar otaknya. Disadarinya perjalanan menuju Desa Kawung masih jauh.
Bahkan melalui medan yang tidak rata. Dengan demikian dia akan tersiksa lama
sebelum akhirnya dibakar hidup-hidup dengan disaksikan orang sedesa!
Sangkala tidak menginginkan hal itu terjadi! Dia tidak ingin mati seperti
binatang! Kalau memang harus mati, dia ingin secara terhormat.
Lebih baik mati di sini daripada di Desa Kawung!
Luar biasa! Keinginan yang demikian kuat itu membuat keadaan
Sangkala membaik. Bahkan seperti tidak terluka sama sekali. Ini sebenarnya tidak
aneh! Ada saat-saat tertentu di mana tenaga tersembunyi dapat keluar dengan
kemampuan lebih hebat dari biasanya. Tapi tentu saja ada hal-hal yang
menyebabkan tenaga tersembunyi itu keluar.
Demikian pula dengan Sangkala! Keinginan yang amat kuat untuk tidak
tewas secara mengenaskan di Desa Kawung menyebabkan kemampuan tersembunyinya keluar. Kesempatan itu segera dipergunakan Sangkala
sebaik-baiknya.
"Hih!"
"Akh!"
Dengan sekali sentakan Sangkala membuat penduduk yang
menyeret tubuhnya terjengkang ke belakang. Akibatnya, pegangan pada ujung
sabuknya terlepas. Kesempatan itu dipergunakan Sangkala untuk bangkit berdiri.
Kemudian berlari!
Tentu saja tindakan Sangkala tidak dibiarkan. Saat itu juga semua anggota
rombongan, kecuali Ki Ageng Sora dan Ki Rawung, bergegas mengejarnya. Begitu
juga orang yang bertugas menyeret Sangkala. Meski agak tertinggal di belakang
teman-temannya.
*** Kembali kejar-mengejar antara Sangkala dan rombongan Ki Ageng
Sora terjadi. Tapi dalam pengaruh kekuatan tersembunyi yang mendadak keluar,
Sangkala mampu meninggalkan lawan-lawannya. Semakin lama jarak antara mereka
terpaut semakin jauh!
Semua itu tidak lepas dari perhatian Ki Ageng Sora dan Ki
Rawung. Namun Ketua Perguruan Banteng Putih tetap berdiam diri. Lelaki tinggi
kurus itu tidak terkejut melihat Sangkala mampu melarikan diri.
Bahkan dengan kecepatan yang cukup menakjubkan.
Ki Ageng Sora tidak khawatir Sangkala dapat lolos dari tempat itu.
Jika pemuda berwajah bopeng itu ingin keluar dari tempat itu, arah yang dituju
adalah arah yang ditempuh rombongannya! Sedangkan Sangkala menuju arah lain!
Itu sebabnya Ki Ageng Sora tidak mengambil tindakan apa pun.
Yang dilakukannya hanya memperhatikan kejar-mengejar yang tengah terjadi.
Sepasang alis Ki Ageng Sora baru berkerut ketika melihat arah yang dituju
Sangkala. Bekas muridnya itu menuju danau.
Berbagai pertanyaan muncul di benak Ki Ageng Sora. Mengapa
Sangkala menuju ke sana" Apakah dia berlari tanpa memikirkan arah yang dituju"
Atau Sangkala mempunyai pemikiran lain" Barangkali saja pemuda berwajah bopeng
itu hendak menceburkan diri ke danau!
Dan Sangkala memang bermaksud demikian! Pemuda itu tidak
ingin ditangkap dan dihukum secara menyedihkan di desa tempat tinggalnya! Maka
dia melarikan diri ke danau. Sangkala ingin menceburkan diri ke sana. Itu telah
dipikirkannya sebelum memutuskan untuk melarikan diri.
Rasanya kali ini keinginan Sangkala akan terlaksana. Jarak antara dia dan para
pengejarnya semakin jauh. Meskipun itu berlangsung sedikit demi sedikit.
Perlahan tapi pasti Sangkala mendekati danau. Rasanya bekas murid Perguruan
Banteng Putih itu tidak bisa terjangkau lagi oleh lawan.
Kenyataan itu segera terbukti.
"Hiyaaa...!"
Diawali dengan teriakan melengking nyaring yang membuat gema
ke seluruh penjuru tempat itu, Sangkala melompat ke danau. Sesaat tubuhnya
melayang di udara sebelum akhirnya....
Byurrr! Air muncrat tinggi ke udara ketika tubuh Sangkala membentur
permukaan danau. Tubuh Sangkala langsung tenggelam!
Kejadian itu disaksikan Ranjita, Bongara, dan yang lainnya. Tapi apa yang dapat
mereka lakukan" Saat tubuh Sangkala menimpa permukaan danau, jarak antara mereka
masih terpaut beberapa tombak! Baru setelah beberapa saat tubuh Sangkala
tenggelam, rombongan pengejar itu tiba di pinggir danau.
"Pasang mata kalian baik-baik!" perintah Ranjita, "Aku yakin dia akan muncul ke
permukaan!"
"Benar!" sambung Bongara mendukung ucapan Ranjita. "Apa yang dikatakan Ranjita
benar. Lebih baik kita berpencar! Dia pasti akan muncul ke permukaan!"
Tanpa menunggu lagi, rombongan itu menyebar ke sekitar danau.
Seperti juga Ranjita dan Bongara, mereka yakin Sangkala akan muncul ke
permukaan. Itu sudah pasti! Manusia mana yang sanggup bertahan lama di dalam
air" Hanya dalam sekejap rombongan pengejar dari Desa Kawung itu
telah berada di kedudukan masing-masing. Pandangan mereka ditujukan ke permukaan
danau. Hampir tidak pernah mereka mengedipkan mata, khawatir di saat sepasang
mata mereka berkedip Sangkala muncul ke permukaan.
Dengan tidak sabar Ranjita dan yang lain menunggu kemunculan
Sangkala. Tapi sampai cukup lama menunggu, Sangkala tidak memunculkan diri. Padahal mata mereka telah lelah dipaksa terbelalak terus.
"Gila!"
Sebuah makian geram keluar dari mulut Ranjita. Terlihat putra Ki Rawung itu
sudah tidak kuat lagi menahan sabar. Bongara yang berada tidak jauh dari Ranjita
menoleh. Kesempatan itu dipergunakan sebaik-baiknya oleh Ranjita.
"Rasanya tidak mungkin kita terus-menerus menunggu seperti ini, Bongara," ujar
Ranjita pelan. "Aku pun berpendapat demikian, Ranjita," sahut Bongara dengan nada sama. Telah
lenyap perselisihan antara mereka melihat buruan yang sama-sama dikejar berhasil
lolos. "Tapi..., apa yang dapat kita lakukan"!"
"Bagaimana kalau kita terjun juga, Bongara?" usul Ranjita, "Siapa tahu manusia
keji itu telah menjadi setan air"!"
"Dugaanmu tidak berbeda denganku," timpal Bongara. "Aku pun tidak percaya
Sangkala mampu bertahan begitu lama di dalam air!"
"Barangkali dia berada di permukaan air dan menggunakan batang alang-alang untuk
bernapas"!" duga Ranjita tiba-tiba.
"Kurasa dugaanmu keliru, Ranjita," bantah Bongara. "Aku tidak melihat benda yang
kau maksudkan di permukaan air. Aku tahu, semula aku pun berpendapat demikian.
Tapi setelah kuedarkan pandangan, dan tidak kutemukan benda itu, aku yakin
Sangkala tidak menggunakan cara itu."
"Jadi...," Ranjita menggantung ucapannya.
"Aku lebih condong dia telah menjadi setan air sekarang!" tegas Bongara. "Kurasa
dugaan ini tidak berlebihan. Kau tahu sendiri kan keadaannya?"
Ranjita tampak ragu. Dia tidak memberikan tanggapan yang
bersifat menyetujui pendapat Bongara.
"Memang kuakui Sangkala terluka parah. Tapi..., apakah kau tidak melihat
kejadian aneh tadi" Dia mampu berlari dengan kecepatan lebih dari sewaktu
sehatnya!"
"Itu terjadi karena keinginannya yang besar untuk meloloskan diri, Ranjita. Aku
tahu pasti kemampuan seperti itu tidak akan bertahan lama.
Lagi pula kemampuan demikian tidak berlaku di dalam air!" bantah Bongara
menguatkan alasannya. "Kalau menambah kemampuan mungkin benar. Tapi jika
kemampuan tak wajar itu menyebabkannya mampu menahan napas demikian lama di
dalam air, kurasa tidak mungkin. Dan lagi seperti yang tadi kukatakan, kemampuan
seperti itu tidak akan bertahan lama."
Ranjita langsung terdiam. Disadari ada kebenaran yang tidak bisa dibantah dalam
ucapan Bongara.
"Jadi..., kesimpulan yang paling mungkin Sangkala telah menjadi setan air!"
tandas Ranjita.
"Itulah yang harus kita buktikan!" sambut Bongara, "Karena itu aku menyetujui
usulmu, Ranjita. Aku khawatir ada hal-hal tidak terduga yang akan merugikan
kita." "Maksudmu..., Sangkala berhasil meloloskan diri. Begitu"!" tanya Ranjita meminta
kepastian. "Mudah-mudahan saja tidak," jawab Bongara berkilah.
"Kalau begitu kita harus bergegas, Bongara! Lebih cepat kita terjun ke dalam
danau lebih baik!" tegas Ranjita cepat.
"Benar, Ranjita!" Baru saja Bongara menyelesaikan ucapannya, Ranjita melompat ke
danau! Itu dilakukan tanpa membuka pakaiannya.
Bongara tidak mau kalah. Dia ikut melompat menyusul tubuh putra Kepala Desa
Kawung yang masih berada di udara. Dalam kedudukan melayang di udara, Bongara
memberi perintah.
"Kalian semua tetap di darat! Awasi terus permukaan air!"
Byurrr! Byurrr...!
Air danau muncrat tinggi-tinggi dua kali berturut-turut. Itu terjadi ketika
tubuh Ranjita dan Bongara membentur permukaan danau kecil itu.
Tubuh kedua pemuda-perkasa itu tenggelam ke dalam danau.
Mereka menyelam semakin dalam. Berbeda dengan yang terlihat dari daratan, dalam
danau itu ternyata cukup jernih. Hingga Ranjita dan Bongara dapat melihat
pemandangan di dalamnya.
Untuk beberapa saat kedua pemuda itu tidak melakukan pencarian.
Mereka hanya mengedarkan pandangan ke sana kemari. Barangkali saja dapat
menemukan Sangkala. Setelah merasa yakin usahanya tidak membuahkan hasil, dengan
isyarat Bongara mengajak berpencar. Usul itu langsung disetujui Ranjita. Sesaat
kemudian, Bongara dan Ranjita berenang menempuh arah pilihan masing-masing.
Ternyata meskipun kelihatannya kecil danau itu luas juga.
Beberapa kali Ranjita dan Bongara harus muncul ke permukaan untuk mengambil
napas sebelum meneruskan pencarian.
Usaha kedua pemuda perkasa itu tidak sia-sia. Setelah bersusah-payah berenang ke
sana kemari, akhirnya Ranjita menemukan sebab mengapa Sangkala tidak muncul-
muncul ke permukaan. Pada salah satu dinding di dalam danau, ada lubang bergaris
tengah sekitar setengah tombak!
Sekali lihat Ranjita tahu lubang itu berhubungan dengan bagian luar tempat
terpencil itu. Kesimpulan ini membuat Ranjita lemas. Sangkala telah berhasil
meloloskan diri.
Meskipun demikian, karena rasa ingin tahu, didekatinya lubang itu.
Hasilnya benar-benar membuat Ranjita kaget! Ada daya tarik yang amat kuat dari
lubang itu. Padahal jarak antara dia dengan lubang itu masih tiga tombak.
Menyadari kenyataan ini, Ranjita bergegas berenang ke permukaan. Sesampainya di sana di tunggunya Bongara muncul.
"Hentikan usahamu, Bongara!" seru Ranjita ketika Bongara muncul ke permukaan
untuk mengambil napas. Rupanya murid Perguruan Banteng Putih itu masih bermaksud
melanjutkan pencarian.
"Mengapa, Ranjita"!" tanya Bongara ingin tahu, "Apa kau telah menemukan
Sangkala?"
Ranjita menggeleng dengan lesu. "Dia berhasil kabur dari danau, Bongara. Aku
melihat ada lubang yang berhubungan dengan tempat di luar danau ini!"
"Keparat!"
Bongara memaki geram mendengar
pemberitahuan Ranjita.
Kemudian dengan lesu diikutinya tindakan putra Ki Rawung, berenang menuju tepi
danau. "Cepat tinggalkan tempat ini! Sangkala telah lolos! Kita harus segera
mengejarnya!" seru Bongara ketika telah berada di pinggir danau.
Rombongan dari Desa Kawung segera beranjak meninggalkan
tempat itu. Tujuan mereka adalah lorong goa tempat mereka masuk.
Bongara dan Ranjita berjalan di belakang mereka.
Ki Ageng Sora dan Ki Rawung mendapat laporan dari Bongara.
Maka tanpa membuang-buang waktu, Ki Ageng Sora memimpin rombongan melakukan pengejaran. Tak lupa Wulan dan Widuri yang masih tergolek
pingsan mereka bawa.
Begitu berada di luar, Ki Ageng Sora membagi rombongannya.
Ketua Perguruan Banteng Putih itu tahu dengan berpencar-pencar seperti itu
kemungkinan menemukan Sangkala semakin besar. Tak lupa diberitahukannya agar kelompok yang menemukan Sangkala memberi tanda.
Rupanya Ki Ageng Sora telah bertekad menangkap murid yang
sudah tidak diakuinya itu. Semua tenaga yang ada dikerahkan. Semua dapat
dijelajahi. Tapi Sangkala tetap tidak diketemukan. Pemuda berwajah bopeng itu
seperti lenyap ditelan bumi.
Yang lebih menyulitkan ternyata tembusan danau kecil di tempat persembunyian
Sangkala tidak ada! Ki Ageng Sora pun sadar tembusan danau itu ada di dalam
tanah! 7 "Ranjita..., Bongara..., Ki AgengSora.... Tunggulah pembalasanku!
Kalian orang-orang yang telah membuatku sengsara," desis Sangkala penuh dendam.
Rupanya ingatan akan perlakuan yang diterimanya dari ketiga orang itu membuat
Sangkala sadar dari alam pikirannya yang melayang ke masa beberapa bulan lalu.
Bunyi berkerotokan keras seperti tulang patah terdengar seusai desisan penuh
dendamnya. Kejadian yang menggiriskan hati. Sebab pemuda berwajah bopeng itu
tidak melakukan tindakan apa pun. Agaknya kemarahan
membuat tenaga dalamnya berkeliaran sendiri, hingga menimbulkan bunyi berkerotokan seperti itu.
"Tapi bukan hanya kalian yang akan menerima pembalasanku,"
sambung Sangkala masih dengan berdesis. "Semua penduduk Desa Kawung akan
mendapat balasannya. Ha ha ha...!"
Usai berkata, Sangkala melesat meninggalkan tempat itu. Tujuannya Desa Kawung. Pemuda itu hendak membalas sakit hatinya beberapa bulan
Dewa Arak 52 Manusia Kelelawar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
lalu. *** Sang Surya sudah sejak tadi tenggelam di barat. Sekarang dewi
malam yang menggantikan tugasnya menerangi persada. Meskipun saat itu tidak
muncul dalam bentuk yang utuh, namun cukup mampu mangusir kegelapan. Apalagi
saat itu langit tampak cerah. Bintang-bintang bertaburan di angkasa. Berkelap-
kelip ceria karena tidak ada segumpal awan pun menggantung di sana. Hingga
suasana persada semakin cerah.
Ternyata tidak hanya suasana di langit saja yang cerah ceria. Hal yang sama pun
terjadi di Desa Kawung. Obor terpancang di setiap rumah penduduk dalam jumlah
yang lebih banyak dari biasa, sehingga keadaan desa terang benderang. Jelas ada
sesuatu yang lain di Desa Kawung.
Dan memang dugaan itu tidak salah. Di mulut desa terpasang
umbul-umbul indah dalam bentuk beraneka ragam. Hiasan yang sama dipasang di
depan rumah Ki Ageng Sora.
Di tempat tinggal Ki Ageng Sora, di Perguruan Banteng Putih,
rampak meriah. Umbul-umbul terpajang berderet rapi dan teratur mulai dari pintu
gerbang sampai ke bagian dalam. Obor-obor pun terpancang di sana-sani, membuat
tempat itu terang-benderang seperti siang hari.
Rupanya di sana tengah dilangsungkan pesta pernikahan. Sang
Mempelai adalah Trijati, putri Ki Ageng Sora, dengan Ranjita, putra Kepala Desa
Kawung. Kesibukan pun melanda Perguruan Banteng Putih. Murid-murid
perguruan itu, yang tidak berapa banyak, tampak kerepotan melayani tamu yang
datang untuk mengucapkan selamat. Tamu-tamu yang hadir memang tidak sedikit.
Karena kedua mempelai sama-sama berasal dari keluarga terpandang. Para tamu
tidak hanya dari Desa Kawung. Tapi juga dari desa-desa sekitar.
Sementara itu di pelaminan Trijati dan Ranjita tak henti-hentinya mengembangkan
senyum pada tamu-tamu yang datang. Keduanya tampak sangat gembira. Tak aneh,
pernikahan itu berlangsung atas dasar cinta kasih mereka berdua.
Tidak jauh dari sepasang mempelai, di tempat duduk kehormatan, duduk keluarga Ki
Ageng Sora, keluarga Kepala Desa Kawung, dan tamu-tamu kehormatan, yang terdiri
dari kepala-kepala desa dan ketua-ketua perguruan silat di sekitar Desa Kawung.
Mereka terlihat tidak kalah gembiranya dengan kedua mempelai. Sesekali terdengar
gelak tawa di antara pembicaraan mereka.
"Pernikahan putrimu membuatku merasa tua sekali, Sora," ucapan itu keluar dari
mulut seorang lelaki berpakaian coklat. Raut wajahnya gagah dengan kumis tebal
melintang menghias bawah hidungnya.
"Mengapa kau berkata demikian, Loka"!" tanya kakek berpakaian kuning tersenyum
geli. Meskipun senyum menghias bibirnya, tapi tetap saja tidak mampu mengusir
keangkeran kakek itu. Bentuk wajahnya yang persegi mirip harimau penuh ditumbuhi
bulu. Tidak hanya kumis dan jenggot, tapi juga cambang! Sepasang alisnya tebal
dan hitam. Tubuhnya tinggi besar. Pada bagian dada kiri pakaiannya tersulam
gambar kepala seekor harimau! Lengkaplah sudah semua yang membuat kakek itu
terlihat angker.
"Betapa tidak, Jayeng"!" sahut lelaki berkumis melintang yang dipanggil Loka
meminta dukungan. "Kau kan tahu usiaku hanya selisih satu tahun dengan Ki Ageng
Sora. Kalau anaknya sudah berkeluarga, bukankah sebentar lagi dia akan menjadi
kakek"! Ku berarti aku tidak muda lagi"!"
"Ha ha ha..!"
Serempak Ki Ageng Sora dan kakek berpakaian kuning yang
dipanggil Jayeng, sebenarnya mempunyai nama lengkap Jayeng Praja, tertawa
bergerak. Geli mendengar pertanyaan Loka yang bernama lengkap Loka Arya.
"Mengapa kalian tertawa"!" tanya Loka Arya setengah memprotes.
"Kami merasa geli, Loka," Ki Ageng Sora menjawab setengah tertawa. Rupanya
perasaan geli masih melanda hatinya.
"Benar, Loka," sambut Jayeng Praja, "Sepertinya kau khawatir menjadi tua"!
Percayalah, sekalipun tua kau masih disegani kawan dan ditakuti lawan! Meskipun
bertambah tua kau tetap berjuluk Pendekar Tinju Maut!"
"Tepat!" timpal Ki Ageng Sora cepat, "Bahkan aku berani bertaruh keampuhan
tinjumu semakin meningkat dengan semakin bertambahnya usiamu!"
"Ha ha ha...!" sekarang ganti Loka Arya berjuluk Pendekar Tinju Maut tertawa
terkekeh. "Luar bisa! Ternyata waktu yang sekian lama tidak mengubah sikap kalian! Kurasa
sudah saatnya kalian berdua membuang semua pujian kosong itu! Apa hebatnya ilmu
'Tinju Maut'ku dibanding jurus 'Harimau Terbang' milikmu, Jayeng"! Atau
permainan kepalamu yang mampu menghancurkan apa saja yang terbentur, Sora"!"
ujar Loka Arya merendah.
"Ha ha ha...!"
Ki Ageng Sora dan Jayeng Praja tertawa bergelak.
"Aku telah mendengar kabar perguruanmu menyediakan jasa
pengawalan. Untuk orang-orang yang hendak bepergian jauh maupun pengiriman
barang berharga. Bukankah demikian, Jayeng"!" sambung Loka Arya.
"Hhh...!"
Jayeng Praja menghela napas berat dengan wajah mendadak
berubah muram. Tentu saja perubahan sikap kakek berwajah mirip harimau itu
membuat Ki Ageng Sora dan Pendekar Tinju Maut heran. Senyum yang tersungging di
bibir mereka langsung lenyap. Dan dengan tatapan penuh selidik serta rasa ingin
tahu dipandanginya wajah Jayeng Praja.
"Mengapa, Jayeng"! Adakah ucapanku yang salah dan tidak
berkenan di hatimu"!" tanya Pendekar Tinju Maut sungguh-sungguh. Tidak ada lagi
nada main-main dalam suara Loka Arya. Seperti juga Ki Ageng Sora, dia tahu
Jayeng Praja tidak akan bersikap seperti itu bila tidak ada masalah.
"Tidak, Loka. Tidak ada yang salah dengan ucapanmu," Jayeng Praja menggelengkan
kepala sambil tersenyum.
Tapi, Ki Ageng Sora dan Pendekar Tinju Maut bukan orang bodoh.
Mereka tahu senyum Jayeng Praja hanya pulasan dan tidak keluar dari lubuk
hatinya. Hingga kedua tokoh itu penasaran, terutama Pendekar Tinju Maut yang
memang memiliki watak agak berangasan.
"Kalau orang lain mungkin dapat kau bohongi, Jayeng. Tapi, pada kami kau tidak
mungkin dapat. Mulutmu dapat membohongi kami, tapi matamu mengatakan yang
sebaliknya. Apakah kau tidak percaya lagi pada kami, Jayeng"! Sehingga kau tidak
mau mengemukakan persoalan yang kau hadapi"!" terdengar jelas nada penasaran
dalam ucapan Pendekar Tinju Maut.
Tapi, Jayeng Praja tetap diam. Melihat kenyataan itu, Ki Ageng Sora khawatir
Pendekar Tinju Maut akan mengeluarkan ucapan bernada lebih keras. Maka
diputuskannya untuk mendahului bicara.
"Apa yang dikatakan Loka benar, Jayeng. Kami adalah sahabat-sahabatmu. Rasanya
tidak pada tempatnya jika kau menyembunyikan masalah yang kau hadapi.
Percayalah, masalahmu adalah masalah kami juga. Katakanlah, Jayeng. Jangan buat
kami penasaran. Kau ingat ikrar kita setelah menghancurkan Gerombolan Kuda
Iblis"!"
Rupanya ucapan Ki Ageng Sora mengenai sasaran. Ada riak di
wajah Jayeng Praja, meskipun dia masih tetap diam. Melihat itu, Pendekar Tinju
Maut bermaksud menyambung ucapannya yang tadi tertunda karena didahului Ki Ageng
Sora. Tapi sebelum maksudnya dilaksanakan, Ki Ageng Sora memberi isyarat agar
membiarkan Jayeng Praja.
*** Meskipun rasa tidak puas melanda hati, Loka Arya bersedia
menuruti isyarat rekannya. Dia tahu Ketua Perguruan Banteng Putih itu mempunyai
alasan melarangnya berbicara.
Dugaan Pendekar Tinju Maut tidak salah. Ki Ageng Sora memang
mempunyai alasan kuat. Ketua Perguruan Banteng Putih itu yakin Jayeng Praja
terpengaruh ucapannya. Keluarnya penjelasan kakek tinggi besar itu hanya tinggal
menunggu waktu. Memang sebenarnya demikian. Ucapan Ki Ageng Sora berpengaruh
kuat. Ucapan itu mengingatkan Jayeng Praja pada masa mudanya. Dulu, lebih dua
puluh tahun lalu, dia seperti juga Ki Ageng Sora dan Loka Arya adalah pendekar-
pendekar pembela kebenaran. Setiap ada tindak ketidakadilan mereka pasti turun
tangan. Dan mereka selalu berhasil menumpasnya. Tak terhitung sudah tokoh-tokoh
golongan hitam yang tewas. Sehingga nama mereka bertiga menjulang di dunia
persilatan. Semula ketiga tokoh pembela kebenaran itu tidak saling mengenal.
Mereka baru berkenalan dan saling bahu-membahu ketika menghadapi kelompok
perampok yang berjuluk Gerombolan Kuda Iblis. Karena setiap kali melakukan
keonaran selalu berkuda, dan kuda yang mereka gunakan berwarna putih. Kalau saja
tidak bekerja sama, mungkin mereka telah tewas! Gerombolan Kuda Iblis sangat
tangguh dan licik. Melalui kerja sama yang rapi, ketiganya berhasil menumpas
Gerombolan Kuda Iblis.
Itulah perkenalan mereka yang pertama dan yang terakhir. Sejak saat itu mereka
berpisah dan menempuh jalan semula. Berjuang sendiri-sendiri. Namun sebelum
berpisah mereka sempat berikrar untuk saling membantu bila ada di antara mereka
bertiga yang mendapat kesulitan.
"Hhh...!"
Jayeng Praja menghela napas berat teringat akan kejadian itu.
Kemudian pandangannya dialihkan pada Ki Ageng Sora dan Loka Arya yang masih
menunggunya mengutarakan masalahnya.
"Kalian memang kawan-kawan yang baik, ujar Jayeng Praja
mengawali pembicaraan "Semula aku tidak ingin memberitahu siapa pun karena ini
tanggung jawabku."
"Lupakanlah pendirianmu yang keliru itu, Jayeng. Ketahuilah, masalahmu adalah
masalah kami juga! Bukankah demikian, Sora"!"
Pendekar Tinju Maut segera memotong.
Ki Ageng Sora menganggukkan kepala, "Benar, Jayeng, Loka Arya tidak salah.
Masalahmu adalah masalah kami. Tentu saja sepanjang masalah itu tidak menyangkut
urusan dalam perguruan! Namun, meskipun demikian ada baiknya kau menceritakan
pada kami. Jika menurut kami urusan itu terlampau pribadi, dengan senang hati
kami akan membiarkanmu menyelesaikan sendiri."
Pendekar Tinju Maut mengangguk-angguk. Ucapan Ki Ageng Sora
benar. Pandangan Ketua Perguruan Banteng Putih itu demikian bijaksana.
Dalam hati Loka Arya kagum atas sikap Ki Ageng Sora.
Bukan hanya Pendekar Tinju Maut yang mengakui kebenaran
pendapat Ki Ageng Sora. Jayeng Praja pun demikian. Untuk itu, tidak ada alasan
lagi baginya menyembunyikan masalah yang merisaukan hatinya.
"Kalau benar demikian, kalian dengarlah baik-baik," ujar Jayeng Praja. "Seperti
yang dikatakan Loka Arya tadi, aku memang mempunyai sebuah perguruan yang kuberi
nama Perguruan Harimau Terbang. Cukup banyak murid yang kumiliki. Hingga
akhirnya aku mempunyai pemikiran menggunakan kepandaian mereka untuk mencari
uang. " Jayeng Praja menghentikan ucapannya untuk mengambil napas.
"Sejak saat itu, Perguruan Harimau Terbang menyediakan jasa pengawalan.
Baik untuk pengiriman barang-barang berharga maupun orang yang melakukan
perjalanan."
Lagi-lagi Jayeng Praja menghentikan ceritanya. Kali ini digunakan untuk melihat
tanggapan kedua rekannya. Tapi Ki Ageng Sora maupun Pendekar Tinju Maut tidak
mengucapkan sepatah kata pun. Dengan sabar mereka menunggu Ketua Perguruan
Harimau Terbang itu melanjutkan ceritanya.
Sebenarnya baik Ki Ageng Sora maupun Loka Arya sudah dapat
menerka kelanjutan cerita Jayeng Praja. Tapi, mereka tidak mau memotong.
Seperti telah sepakat sebelumnya, keduanya memutuskan untuk mendengarkan hingga Jayeng Praja menyelesaikan kisahnya. Dan Jayeng Praja memang
melanjutkan ceritanya ketika melihat tidak ada tanggapan dari kedua rekannya.
"Beberapa hari yang lalu, seorang saudagar kaya datang dan meminta putrinya
diantarkan ke Kadipaten Kulon. Putri saudagar itu ingin menjenguk kakek dan
neneknya. Karena khawatir akan keselamatan putrinya, mengingat perjalanan yang
sangat jauh, dia tidak mempercayakan pengawalan itu pada tukang-tukang
pukulnya."
Kembali Jayeng Praja menghentikan cerita. Kini lebih lama dari sebelumnya.
Tarikan wajah dan sinar matanya menyiratkan perasaan terpukul yang sangat.
Ki Ageng Sora dan Pendekar Tinju Maut tidak mau mengusiknya.
Mereka membiarkan. Keduanya tahu tidak ada gunanya menghibur Jayeng Praja. Kakek
tinggi besar itu tidak membutuhkan hiburan.
"Semula saudagar itu meminta aku sendiri yan mengawal putrinya.
Tapi, kuyakinkan bahwa murid-muridku dapat diandalkan," lanjut Jayeng Praja
dengan lirih. "Hhh...! Sedikit pun tidak kusangka kekhawatiran saudagar itu
tenyata beralasan. Dua hari yang lalu burung merpati putih dengan kain merah di
kaki kanannya tiba di perguruanku! Padahal burung merpati dengan kain kuning
baru saja tiba. Itu berarti bahaya besar tengah menimpa rombongan yang mengawal
putri saudagar itu!"
"Tunggu dulu, Jayeng," potong Pendekar Tinju Maut cepat.
"Burung merpati dengan kain merah di kaki kanannya"! Aku tak mengerti
maksudmu"!"
Jayeng Praja menatap wajah Loka Arya sejenak. Kemudian beralih pada Ki Ageng
Sora. Ketua Perguruan Banteng Putih itu menganggukkan kepala. Ki Ageng Sora juga
tidak mengerti maksud Jayeng Praja.
"Begini Sora, Loka. Aku mempunyai cara untuk mengetahui
keadaan murid-muridku yang sedang mengadakan pengawalan. Caranya dengan
menggunakan burung merpati yang telah kami latih untuk kembali ke perguruan
meski dilepas dari tempat mana pun."
Jayeng Praja menjelaskan. Sementara Ki Ageng Sora dan Pendekar Tinju Maut
mendengarkan dengan penuh perhatian.
Rombongan Perguruan Harimau Terbang yang sedang bertugas
kuberi tiga buah pita. Masing-masing berwarna hijau, kuning, dan merah.
Pita itu untuk diikatkan pada kaki burung merpati. Pita hijau berarti mereka
telah sampai di tujuan dengan selamat. Pita kuning berarti rombongan tengah
dihadang bahaya. Sedangkan pita merah menunjukkan rombongan mengalami kesulitan
menghadapi bahaya yang mengancam. Dengan kata lain, lawan yang dihadapi jauh
lebih kuat. Dan di antara mereka ada yang gugur!"
Ki Ageng Sora dan Pendekar Tinju Maut tampak mengangguk-
angguk. Rupanya mereka telah memahami maksud ucapan Jayeng Praja.
"Padahal sesaat setelah kedatangan burung dengan pita kuning, serombongan
anggota Perguruan Harimau Terbang yang memang telah disiapkan untuk berjaga-jaga
sudah akan berangkat. Saat itulah burung berpita merah datang," lanjut Jayeng
Praja. "Jadi..., rombongan cadangan itu tidak jadi diberangkatkan, Jayeng"!" potong
Pendekar Tinju Maut.
"Tentu saja jadi, Loka!" jawab Jayeng Praja cepat. "Dengan kuda-kuda pilihan
yang tangguh memiliki kecepatan lari mengangumkan rombongan itu berangkat."
"Dan hasilnya... bagaimana, Jayeng"!" tan Loka Arya tak sabar.
"Menyedihkan," jawab Jayeng Praja dengan suara tersekat di tenggorokan. Agaknya
kakek berwajah mirip harimau itu masih terpengaruh dengan kejadian itu. "Mereka
semua binasa dalam keadaan menyedihkan.
Sedangkan putri saudagar itu lenyap! Entah bagaimana aku harus
mempertanggungjawabkan semua ini..!"
"Berdoalah semoga putri saudagar itu tidak mengalami kejadian apa pun," ucap Ki
Ageng Sora ketika Jayeng Praja telah menyelesaikan ceritanya.
"Yahhh.... Hanya itu yang dapat kulakukan," sahut Ketua Perguruan Harimau
Terbang itu dengan mendesah. "Telah kuperintahkan sebagian besar murid-murid
perguruanku untuk mencari putri saudagar itu.
Tapi hasilnya nol besar! Kami tidak mendapatkan jejaknya sama sekali!"
"Apakah saudagar itu sudah tahu kejadian yang menimpa
putrinya?" tanya Ki Ageng Sora ingin tahu.
8 Jayeng Praja menggelengkan kepala.
"Belum. Kami belum memberitahukannya. Sulit kubayangkan
bagaimana tanggapannya. Hhh...! Entah apa yang harus kulakukan. Kalau harta,
mungkin dapat kami usahakan penggantiannya. Tapi ini nyawa manusia. Bagaimana
pertanggungjawabannya?"
Terdengar jelas kegetiran dalam suara Ketua Perguruan Harimau Terbang itu.
Tarikan wajah dan sorot matanya memancarkan keputusasaan yang dalam. Sementara
Ki Ageng Sora dan Pendekar Tinju Maut saling berpandangan. Mereka sadar tidak
ada yang dapat dilakukan untuk menolong Jayeng Praja.
"Apa kau tahu pelakunya, Jayeng"!" tanya Pendekar Tinju Maut tidak berusaha
menyembunyikan perasaan geramnya.
Dewa Arak 52 Manusia Kelelawar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Jayeng Praja menggeleng.
"Atau... barangkali kau punya dugaan siapa pelakunya?" kejar Pendekar Tinju
Maut. Lagi-lagi Jayeng Praja menggeleng tidak tahu, "Siapa adanya pelaku pembunuhan
itu masih gelap bagiku, Loka," jelas Jayeng Praja.
"Orang itu tidak meninggalkan jejak sama sekali."
"Hm...!"
Pendekar Tinju Maut menggumam. Tangan kanannya mengelus-
elus dagu. Sepasang alisnya berkerut. Tampaknya dia sedang berpikir keras.
"Mungkinkah itu perbuatan orang-orang yang sakit hati dengan tindakan kita
dulu"!" duga Ki Ageng Sora tiba-tiba. "Ingat, Jayeng. Kita telah banyak menanam
permusuhan di waktu lalu!"
"Itu bisa saja terjadi," sambut Pendekar Tinju Maut mendukung.
"Hhh...!"
Jayeng Praja menghela napas berat. Mungkin saja dugaan rekan-
rekannya itu benar. Tapi, dia tidak memberikan tanggapan. Sedangkan Ki Ageng
Sora dan Pendekar Tinju Maut tidak berbicara lagi. Suasana hening pun melingkupi
mereka. Lain halnya yang terjadi pada kelompok Ki Rawung dengan
kepala-kepala desa lain yang menjadi rekannya. Antara Ki Ageng Sora dan Ki
Rawung memang telah sepakat untuk duduk di tempat yang agak terpisah. Masing-
masing ingin berkumpul dengan kawan lama.
Di kelompok Ki Rawung sesekali terdengar tawa yang cukup
memekakkan telinga. Rupanya mereka terlibat percakapan yang menggembirakan. Demikian pula di tempat para tamu lainnya. Suara tawa sesekali
meningkahi percakapan mereka. Mendadak....
"Ha ha ha...!"
Terdengar rawa keras menggelegar mengalahkan semua tawa yang
ada. Suara tawa itu mampu membuat isi dada orang yang mendengarnya tergetar
hebat. Seketika itu pula, semua pasang mata tertuju ke arah asal tawa.
Tidak terkecuali Ki Ageng Sora, Pendekar Tinju Maut, dan Jayeng Praja.
Sorot mata ketiga tokoh tua itu memancarkan rasa terkejut.
Tentu saja semua itu ada alasannya. Mereka merasakan dadanya
agak terguncang oleh tawa itu. Ketiga lelaki itu pun sadar pemilik tawa itu
memiliki tenaga dalam sangat kuat. Itu berarti seorang yang berkepandaian
tinggi. Kalau tidak bermaksud baik tentu merupakan lawan yang sangat tangguh.
Pemilik tawa itu ternyata berada di depan perguruan. Entah
bagaimana caranya dia masuk. Tahu-tahu sudah berada di dalam tanpa sepengetahuan
murid-murid Ki Ageng Sora yang bertugas menjaga pintu gerbang. Padahal, saat itu
suasana sudah sepi. Tidak ada tamu yang datang lagi. Tapi mengapa pemilik tawa
itu bisa berada di dalam" Kenyataan itu mengejutkan penjaga-penjaga pintu
gerbang. Dengan agak tergesa dua di antara mereka bergerak menghampiri pemilik
tawa. "Hey! Berhenti! Mengapa menimbulkan keributan di sini"! Cepat keluar sebelum
kupatahkan kakimu!" ancam seorang murid Perguruan Banteng Putih yang bermulut
lebar. Pemilik tawa itu, yang mengenakan pakaian putih, menghentikan tawanya. Wajahnya
tetap di tundukkan seperti tadi. Dengan wajah menundu dia berbalik menghadapi
dua orang murid Perguruan Banteng Putih yang menghampirinya.
"Benarkah kalian mampu melakukannya"
Kalau begitu, lakukanlah," sahut sosok berpakaian putih tenang.
*** Sementara itu Ki Ageng Sora mengernyitkan dahi. Lelaki tinggi
kurus itu sedang berpikir. Sepasang matanya menatap penuh selidik ke arah sosok
berpakaian putih. Kelakuan Ketua Perguruan Banteng Putih rupanya diperhatikan
rekan-rekannya Jayeng Praja dan Pendekar Tinju Maut menjadi heran.
"Mengapa, Sora"! Apa kau mengenalnya?" tanya Jayeng Praja ingin tahu.
"Entahlah, Jayeng," jawab Ki Ageng Sora tidak yakin. "Rasanya aku pernah
mendengar suaranya. Bukan hanya mendengar, tapi kenal betul.
Tapi aku lupa, kapan dan di mana"
Jayeng Praja dan Pendekar Tinju Maut bertukar pandang
mendengar jawaban lelaki tinggi kurus itu.
"Ingat-ingatlah,
Sora. Coba perhatikan baik-baik,"
beritahu Pendekar Tinju Maut, "Aku yakin kau benar. Kau dan dia saling mengenal.
Kau lihat sendiri kan. Orang itu seperti menyembunyikan wajahnya agar tidak
terlihat."
"Yang dikatakan Loka Arya memang tidak salah, Sora," dukung Jayeng Praja, "Aku
juga yakin kau dan dia saling kenal"
Ucapan rekan-rekannya memaksa Ki Ageng Sora untuk terus
memperhatikan sosok berpakaian putih. Ingin diketahuinya bagaimana tindakan
sosok itu dengan ancaman dua orang muridnya. Syukur jika di antara mereka
terjadi pertarungan. Barangkali dari gerakannya bisa diketahui siapa sebenarnya
sosok berpakaian putih itu.
Sementara murid Perguruan Banteng Putih yang berbibir tebal
sudah tidak kuat lagi menahan sabar. Tanpa menunggu lebih lama serangannya yang
berupa pukulan bertubi-tubi dilancarkan ke arah dada sosok berpakaian putih!
"Hmh!"
Sosok berpakaian putih mendengus melihat serangan itu. Sikapnya jelas memandang
rendah serangan lawan. Sosok itu tidak melakukan tindakan apa pun. Tidak
mengelak maupun menangkis! Kesudahannya sudah dapat diduga.
Bukkk, bukkk, bukkk!
Berturut-turut pukulan lelaki berbibir tebal mendarat di sasaran yang dituju.
Namun hasilnya membuat semua mata yang menyaksikan terbelalak. Bukan sosok
berpakaian putih yang berteriak-teriak kesakitan, tapi lelaki berbibir tebal.
Murid Perguruan Banteng Putih itu merasakan betapa kedua
tangannya bukan memukul tubuh manusia. Tapi gumpalan baja keras yang membuat
kedua tangannya sakit.
Dan sebelum lelaki berbibir tebal itu sempat berbuat sesuatu, tangan kanan sosok
berpakaian putih berkelebat. Cepat bukan main.
Sehingga yang terlihat hanya sekelebatan bayangan putih. Bahkan arah yang dituju
sukar diketahui. Dan....
Prokkk! "Akh...!"
Lelaki berbibir tebal hanya sempat mengeluarkan jeritan singkat ketika tangan
sosok berpakaian putih menghantam pelipisnya hingga hancur. Saat itu juga
nyawanya melayang meninggalkan raga.
Tentu saja kejadian yang sangat mengejutkan itu membuat semua orang yang berada
di situ terperanjat. Tak terkecuali Ki Ageng Sora, Pendekar Tinju Maut, dan
Jayeng Praja. Hanya sosok berpakaian putih yang bersikap tidak peduli. Tanpa memperhatikan
teman murid Perguruan Banteng Putih yang dibinasakannya, tubuhnya dibalikkan. Dan kakinya melangkah menuju tempat
sepasang mempelai berada.
Saat sosok berpakaian putih berbalik itulah Ki Ageng Sora melihat wajahnya.
Memang hanya sekilas. Tapi itu sudah cukup baginya. Wajah sosok berpakaian putih
itu sangat dikenalnya. Orang itu adalah...
"Sangkala...!" desis Ki Ageng Sora kaget.
Tak disangka secepat itu murid murtadnya kembali, dengan
membawa kepandaian menakjubkan!
"Jadi..., dia muridmu yang murtad itu, Sora."!" Hampir bersamaan pertanyaan
diajukan Pendekar Tinju Maut dan Jayeng Praja. Ki Ageng Sora memang telah
menceritakan perihal Sangkala.
Begitu mengetahui sosok berpakaian putih itu Sangkala, Ki Ageng Sora segera
mengetahui maksud kedatangannya. Apalagi kalau bukan untuk membalas dendam" Dan
dari tindakannya tadi, Ki Ageng Sora tahu tingkat kepandaian Sangkala telah
meningkat berlipat kali hanya dalam waktu singkat. Entah bagaimana cara Sangkala
mempelajarinya. Ki Ageng Sora tidak mampu menduga.
*** Melihat Sangkala menghampiri Ranjita dan Trijati, Ki Ageng Sora
khawatir bukan main. Ada bahaya besar tengah mengancam keselamatan anak dan
menantunya. Maka tanpa pikir panjang lagi, ia itu melompat dari tempat duduknya.
Lelaki tinggi kurus itu bersalto beberapa kali sebelum meluruk turun sambil
melancarkan serangan berupa cengkeraman ke kepala Sangkala. Gerakannya seperti
burung garuda menyambar mangsa.
Melihat serangan itu, Sangkala terpaksa mengurungkan maksudnya mendekati Trijati dan Ranjita. Jika dia bersikeras meneruskan
maksudnya, sebelum tercapai, cengkeraman Ki Ageng Sora akan lebih dulu tiba.
Sangkala tidak menginginkan hal itu terjadi. Pemuda itu tahu betapa dahsyatnya
serangan itu. Cengkeraman Ki Ageng Sora mampu menghancurkan batu karang yang
paling keras. Bisa dibayangkan bila mengenai kepala manusia!
Tapi meskipun demikian, Sangkala tidak gentar. Tanpa ragu-ragu dipapakinya
serangan itu dengan sampokan kedua tangannya.
Prattt, prattt!
"Aikh...!"
Jeritan kaget bercampur kesakitan keluar dari mulut Ki Ageng
Sora, ketika tangannya berbenturan dengan tangan Sangkala. Jari-jari tangannya
terasa sakit. Bahkan untuk beberapa saat seperti lumpuh. Yang lebih gila tubuh
Ki Ageng Sora terpental jauh ke belakang! Padahal Sangkala sedikit pun tidak
bergeming. Itu menunjukkan tenaga dalam murid murtad Perguruan Banteng Putih itu
berada jauh di atas gurunya.
Tentu saja kejadian itu tidak hanya mengejutkan Ki Ageng Sora.
Tapi juga semua yang hadir dan mengenal Sangkala. Tidak salahkah penglihatan
mereka" Benarkah Ki Ageng Sora terjengkang karena berbenturan dengan Sangkala,
bekas muridnya" Benarkah hanya dalam beberapa bulan pemuda berwajah bopeng itu
telah menjadi orang yang demikian hebat" Bagaimana mungkin itu bisa terjadi"
Pertanyaan-pertanyaan itu membebani benak mereka. Tidak
terkecuali Jayeng Praja dan Pendekar Tinju Maut. Justru mereka berdua yang
mengalami keterkejutan paling besar. Mereka adalah ahli-ahli silat yang
berpengalaman luas. Karenanya mereka tahu tidak mungkin Sangkala dapat melampaui
Ki Ageng Sora, meskipun mendapat guru yang sangat pandai.
Lagi pula, mana mungkin dalam waktu yang sangat singkat
mampu memiliki tenaga dalam melebihi Ketua Perguruan Banteng Putih. Ki Ageng
Sora bukan tokoh sembarangan. Dia merupakan tokoh tingkat tinggi golongan putih!
Walaupun tidak termasuk datuk, tapi tidak mudah menemukan tokoh yang
berkepandaian setingkat dengannya. Namun kenyataannya dalam benturan tenaga
Sangkala lebih unggul! Adakah yang salah" Atau... jangan-jangan Ki Ageng Sora
tidak mengerahkan seluruh tenaganya!
Mereka tidak tahu Ki Ageng Sora sudah mengerahkan seluruh
tenaga dalamnya. Kini Ketua Perguruan Banteng Putih itu tidak gegabah lagi
melancarkan serangan. Dia sadar Sangkala telah memiliki kepandaian tinggi. Entah
dengan cara bagaimana!
Sementara itu, begitu melihat tubuh Ki Ageng Sora terlempar,
murid-murid Perguruan Banteng Putih yang berdatangan karena mendengar bunyi
ribut-ribut langsung bergerak melancarkan serangan. Tapi...
"Tahan...!
Kalian jangan turun tangan! Biar aku yang mengurusnya. Dia bukan Sangkala yang kalian kenal! Dengan mudah akan dibantainya
kalian semua!" cegah Ki Ageng Sora buru-buru.
Murid-murid Perguruan Banteng Putih pun mengurungkan maksudnya. Bukan takut pada Sangkala karena belum merasakan
kelihaiannya. Tapi karena patuh pada guru mereka.
"Ha ha ha...!"
Sangkala tergelak. Pemuda itu tidak gentar meskipun tahu tidak ada jalan keluar
meninggalkan tempat itu. Bahkan pemuda berwajah bopeng itu memandang rendah
lawan-lawannya.
Melihat hal itu, Ki Ageng Sora tidak sanggup lagi menahan sabar.
"Murid laknat! Bila tidak dapat membunuhmu, lebih baik aku mati bunuh diri!
Hih!" Baru saja ucapannya lenyap, Ki Ageng Sora segera melancarkan
serangan. Ketua Perguruan Banteng Putih itu membuka serangan dengan tendangan
kaki kanan lurus ke arah pusar.
Wuttt! Hanya dengan mendoyongkan tubuh ke kiri dan tanpa memindahkan kaki, Sangkala berhasil menggagalkan serangan gurunya.
Kaki Ki Ageng Sora meluncur beberapa jari di sebelah kanan Sangkala.
Tapi, serangan Ki Ageng Sora tidak berhenti sampai di situ.
Kegagalan serangan pertamanya sudah diperhitungkan. Maka begitu Sangkala
berhasil mengelak, segera disusuli dengan serangan berikutnya.
Sadar akan kelihaian bekas muridnya, Ki Ageng Sora tidak ragu-ragu lagi
mengerahkan seluruh kemampuannya. Hebat bukan main serangan-serangan lelaki
tinggi kurus itu. Bunyi menderu, dan mendecit mengiringi bergeraknya tangan
serta kakinya. Susul-menyusul hampir tiada henti seperti gelombang laut.
Meskipun demikian Sangkala mampu meredam semua serangan
lawan. Lincah bagai kera dan gesit laksana bayangan, Sangkala
mengelakkan semua serangan. Itu dilakukannya seperti tanpa mengalami kesulitan
sedikit pun. "Mengingat kau pernah menjadi guruku, kuberi kesempatan
padamu untuk menyerangku sebanyak sepuluh jurus. Pergunakanlah sebaik-baiknya,
Ki Ageng Sora," ujar Sangkala di sela-sela kesibukannya mengelakkan serangan.
"Tutup mulutmu. Manusia Jahanam!" maki Ki Ageng Sora sangat geram.
Dewa Arak 52 Manusia Kelelawar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Akibatnya, serangan-serangan
yang dilancarkannya semakin dahsyat. Itu terjadi karena kemarahannya. Ucapan Sangkala menunjukkan pemuda itu
memandang rendah dirinya. Ki Ageng Sora tersinggung dan marah besar!
Namun meskipun Ki Ageng Sora menguras seluruh kemampuannya, tetap saja semua serangannya berhasil dielakkan Sangkala.
Sikap sombong pemuda berwajah bopeng itu memang beralasan. Pemuda itu sempat
berbicara di saat serangan Ki Ageng Sora datang bertubi-tubi, membuktikan
serangan-serangan itu tidak merepotkannya.
Jurus demi jurus berlalu. Tak terasa sudah sepuluh jurus Ki Ageng Sora
melancarkan serangan. Dan selama itu tak satu pun yang mengenai sasaran.
"Sekarang giliranku...!" ujar Sangkala memperingatkan. "Bersiap-siaplah, Ki
Ageng Sora! Ketahuilah, aku tidak ragu untuk membunuhmu!"
"Tutup mulutmu, Jahanam!"
Makian penuh kegeraman menyambut ucapan Sangkala. Ditambah
dengan sebuah tendangan kaki kanan ke arah leher!
"Hmh!"
Sangkala mendengus melihat serangan itu. Tidak terlihat tanda-tanda dia akan
mengelak. Sangkala telah siap melaksanakan maksudnya. Itu terjadi kemudian.
Begitu kaki Ki Ageng Sora menyambar dekat, dengan kecepatan yang sukar diikuti
mata Sangkala menggerakkan tangan kanannya. Dan...
Tappp! "Hehhh"!"
Ki Ageng Sora memekik kaget melihat pergelangan kakinya
dicekal lawan. Tahu ada bahaya besar mengancam kakinya buru-buru ditarik agar
lepas dari cekalan.
Kembali Ki Ageng Sora dilanda kaget. Jangankan menarik,
membuat bergeming pun tidak mampu. Kakinya seperti terjepit catut baja!
"Ha ha ha...!"
Sangkala tertawa bergelak melihat wajah Ki Ageng Sora yang
merah padam karena mengerahkan seluruh tenaganya. Masih dengan tawa yang belum
putus, Sangkala menggerakkan jari-jari tangannya meremas.
Krrrkkk! "Aaakh...!"
Ki Ageng Sora tidak mampu menahan jerit kesakitan ketika tulang kakinya hancur
di remas Sangkala.
Tindakan Sangkala tidak berhenti sampai di situ. Tangannya
disentakkan. Tak pelak lagi tubuh Ki Ageng Sora terhuyung ke arahnya.
Padahal, Ki Ageng Sora telah berusaha menahan. Tapi lelaki tinggi kurus itu
tidak mampu. Di saat tubuh Ki Ageng Sora melayang, tangan kanan Sangkala
bergerak menghentak ke depan!
Wuttt! Prakkk! "Akh...!"
Hanya jeritan pendek yang dapat dikeluarkan Ki Ageng Sora.
Tubuhnya ambruk ke tanah dengan tulang pelipis hancur! Tragis sekali kematian
Ketua Perguruan Banteng Putih itu!
Rentetan kejadian itu berlangsung demikian cepat. Tidak seorang pun sempat
berbuat sesuatu. Mereka baru sadar ketika tubuh Ki Ageng Sora telah ambruk ke
tanah. "Biadab!"
Hampir bersamaan bentakan keras itu dikeluarkan Jayeng Praja
dan Pendekar Tinju Maut. Seiring dengan teriakan itu keduanya melesat dari
tempat duduk. Cepat gerakan kedua kawan Ki Ageng Sora itu, tapi masih lebih cepat tindakan
murid-murid Perguruan Banteng Putih! Diawali teriakan-teriakan kemarahan mereka
menyerang Sangkala. Tempat yang lebih dekat dengan Sangkala memungkinkan
serangan mereka tiba lebih dulu dari Jayeng Praja dan Pendekar Tinju Maut.
Karena murid-murid Perguruan Banteng Putih menggunakan
senjata dan menyerang serempak, tak pelak lagi hujan senjata meluruk ke berbagai
bagian tubuh Sangkala. Tapi dengan kecepatan gerak luar biasa, Sangkala
menyelinap di antara sambaran senjata lawan Serangan murid-murid Perguruan
Banteng Putih mengenai tempat kosong! Dan dengan lihai Sangkala melesat keluar
dari kepungan. Pemuda yang diamuk dendam itu melangkah tenang menghampiri
Ranjifa dan Trijati. Karuan saja Ranjita kelabakan bukan main. Bahaya maut
sedang mengancamnya. Sementara Trijati sudah tak sadarkan diri di bangku
pengantinnya. Rupanya guncangan batin melihat kematian ayahnya di depan mata
terlalu berat untuknya
Tapi sebelum Sangkala berhasil melaksanakan maksudnya pada
Ranjita yang telah bersiap-siap mengadakan perlawanan mendadak....
Jliggg! Jayeng Praja dan Pendekar Tinju Maut telah berada di depannya.
"Manusia Iblis! Orang seperti kau tidak pantas dibiarkan hidup!"
geram Jayeng Praja.
Sangkala tersenyum mengejek. Diperhatikannya Jayeng Praja dan Pendekar Tinju
Maut sesaat. "Pakaian dan gambar macanmu mengingatkan aku pada orang-
orang yang menjadi korban pertamaku. Apa kau mempunyai hubungan dengan mereka"!"
"Ahhh...!" Jayeng Praja berseru kaget. Sungguh tidak disangka akan bertemu
penjagal murid-muridnya.
"Jadi..., kau yang telah melakukan tindakan keji itu"! Kau telah membunuh murid-
muridku. Manusia Biadab! Sekarang katakan di mana gadis yang mereka kawal"!"
"Ooo.... Jadi mereka murid-muridmu" Lalu siapa gadis yang ada di dalam kereta"
Anakmukah"!" ejek Sangkala tenang. "Sayang dia tidak cukup kuat melayaniku
sampai puas. Maka...."
"Jahanam! Mampus kau!"
Krrrkkk! "Aaakh...!" Jerit Ki Ageng Sora tidak mampu menahan sakit ketika tulang
kakinya hancur diremas Sangkala. Lalu, Sangkala masih menyentakkan tangannya ke depan...
Wuttt! Prakkk! "Akh!" tubuh Ki Ageng Sora ambruk ke tanah!
Tanpa menunggu Sangkala menyelesaikan ucapannya, Jayeng
Praja melancarkan serangan dengan geram. Tidak mendengar secara lengkap pun
sudah dapat diduga nasib putri saudagar itu.
Mati! Melihat Jayeng Praja telah menyerang, Pendekar Tinju Maut tidak tinggal diam.
Dia pun melakukan hal yang sama. Sebab Jayeng Praja tidak akan mampu menghadapi
Sangkala sendiri. Tingkat kepandaian Ketua Perguruan Harimau Terbang itu
setingkat dengan Ki Ageng Sora.
Tapi rupanya Sangkala tidak berminat untuk bertarung. Pemuda itu tidak menyambut
serangan lawan-lawannya. Kakinya digenjot sehingga tubuhnya melayang ke atas
melewati kepala kedua penyerangnya. Begitu kakinya mendarat di tanah, Sangkala
melesat ke arah Trijati. Jelas, pemuda itu mengincar putri Ki Ageng Sora.
Ranjita pun tidak bisa tinggal diam. Pemuda itu tidak ingin istrinya mengalami
nasib serupa dengan Wulan dan Widuri. Maka dengan berani dihadangnya Sangkala.
Disambutnya kedatangan pemuda berwatak bejat itu dengan tusukan goloknya.
Namun hadangan itu tidak membuat Sangkala mengurungkan
maksudnya. Ditangkapnya golok Ranjita. Hanya dengan sekali sentak tubuh Ranjita
dilemparkan. Lalu dengan secepat kilat meluncur ke arah Trijati.
Dan.... Tappp! Begitu tubuh putri Ki Ageng Sora berhasil ditangkap, Sangkala melesat
meninggalkan tempat itu. Tentu saja Jayeng Praja, Pendekar Tinju Maut, murid-
murid Perguruan Banteng Putih, dan yang lainnya tidak membiarkan hal itu
terjadi. Mereka segera menghadang.
Tapi kejadian sebelumnya terulang kembali. Dengan mudah
Sangkala berhasil meloloskan diri. Lalu, dengan beberapa kali lesatan, pemuda
berwatak bejat itu telah berada di luar bangunan Perguruan Banteng Putih.
Meskipun demikian, Sangkala tidak mengendurkan larinya.
Pemuda itu terus melesat dengan kecepatan tinggi. Sehingga dalam waktu singkat
bangunan Perguruan Banteng Putih telah jauh ditinggalkan. Baru setelah itu
Sangkala mengendurkan larinya. Mendadak....
"Berhenti...!"
Terdengar bentakan keras. Menggelegar laksana sambaran halilintar. Bentakan itu dikeluarkan dengan pengerahan tenaga dalam tinggi.
Tapi bukan Sangkala kalau menjadi gentar. Dengan berani pemuda itu menghentikan
langkah. Lalu berbalik untuk melihat orang yang telah mengeluarkan bentakan itu.
Empat tombak di depan Sangkala berdiri dua orang muda-mudi.
Yang gadis mengenakan pakaian putih dan berambut panjang. Sedangkan orang yang
berdiri di sebelahnya seorang pemuda berambut putih keperakan. Pakaian ungu
membungkus tubuhnya yang kekar. Siapa lagi kalau bukan Dewa Arak dan Melati.
"Cepat serahkan wanita itu, Manusia Biadab!" tegas Dewa Arak lantang.
"Lagi-lagi kalian," sahut Sangkala tersenyum mengejek, "Kuberi kesempatan pada
kalian pergi dari sini sebelum aku merubah keputusan!
Cepat! Atau kalian ingin mengalami nasib yang sama dengan rombongan yang kalian
temukan di hutan beberapa hari lalu"!"
Dewa Arak dan Melati langsung bertukar pandang mendengar
ucapan itu. Mereka sungguh tidak menyangka orang yang menculik mempelai
perempuan ternyata orang yang melakukan tindak kekejian terhadap gadis yang
telah mereka kuburkan!
Dewa Arak dan Melati telah mengetahui Sangkala menculik
mempelai wanita. Di perjalanan mereka bertemu dengan rombongan Jayeng Praja yang
melakukan pengejaran.
"Jadi..., kau penjahat terkutuk itu"!" desis Melati geram. "Kalau begitu,
mampuslah!"
Wuttt! Bunyi deru angin keras terdengar ketika Melati melancarkan
serangan. Tangan kanannya yang terkembang membentuk cakar diluncurkan ke arah ulu hati Sangkala. Dalam cekaman kemarahan yang menggelegak,
Melati mengeluarkan ilmu 'Cakar Naga Merah' andalannya.
"Ah!"
Sangkala berseru kaget melihat tangan Melati, sebatas pergelangan, merah seperti darah. Sekali lihat saja dia tahu kepandaian gadis
berpakaian putih itu lebih tinggi dari Ki Ageng Sora. Maka Sangkala tidak berani
bertindak main-main.
"Hih!"
Sambil menggertakkan gigi, dipapakinya serangan Melati dengan pengerahan seluruh
tenaga dalamnya. Dan...
Prattt! Terdengar bunyi keras ketika dua tangan yang mengandung tenaga dalam tinggi
berbenturan. Tubuh Melati terjengkang ke belakang.
Sedangkan Sangkala terhuyung mundur selangkah. Ini menunjukkan tenaga dalam
bekas murid Ki Ageng Sora itu lebih tinggi dari lawan.
Jliggg! Begitu berhasil mendaratkan kaki di tanah, Melati segera bersiap melancarkan
serangan berikutnya. Tapi, maksudnya terpaksa diurungkan ketika Dewa Arak
menyentuh lengannya.
"Biar aku yang menghadapinya, Melati. Dia terlalu kuat untukmu,"
ujar Dewa Arak lembut. Lalu tanpa menunggu tanggapan Melati, Dewa Arak melangkah
maju. Guci araknya yang tergantung di punggung segera diambil dan dituangkan ke
mulutnya. Gluk.... Gluk... Gluk...!
Terdengar bunyi tegukan ketika arak itu melewati tenggorokan
Dewa Arak. Sesaat kemudian kedudukan kaki pemuda berambut putih keperakan itu
tidak jejak lagi. Oleng ke kanan dan kiri. Ilmu 'Belalang Sakti'nya telah siap
dipergunakan! Sementara itu Sangkala sadar lawannya kali ini jauh lebih pandai dari gadis
berpakaian putih. Disadari pula Dewa Arak telah menggunakan ilmu andalan. Maka,
tubuh Trijati dilemparkan ke tanah. Lalu pemuda berwajah berbopeng itu
mempersiapkan jurus 'Kelelawar'!
Diam-diam Sangkala menyesal telah memberitahukan dirinya
pelaku tindak kekejian terhadap gadis berpakaian hijau. Itu membuatnya terlibat
dalam keributan dengan tokoh-tokoh tingkat tinggi di saat dirinya tidak ingin
bertarung. Tapi, nasi telah jadi bubur. Tidak ada jalan lain kecuali bertarung.
Dan itulah yang dilakukan Sangkala sekarang.
"Cit, cit, cit!"
Diiringi bunyi berdecit nyaring dan gerakan tangannya, Sangkala melompat
menerjang Dewa Arak. Ketika berada di udara, tangan kanannya disampokkan ke
pelipis lawan. Wuttt! Hanya dengan merendahkan tubuh ke kanan. Dewa Arak berhasil
membuat serangan itu mengenai tempat kosong. Sampokan Sangkala lewat beberapa
jengkal di atas kepala. Dan karena kuatnya tenaga yang terkandung dalam serangan
itu, rambut dan pakaian Arya berkibaran keras.
Kegagalan serangan pertamanya membuat Sangkala penasaran.
Maka serangan-serangan susulannya pun semakin dahsyat. Tapi, Dewa Arak sanggup
memunahkan. Bahkan serangan balasan yang dikirimkan pemuda berambut putih
keperakan itu tidak kalah dahsyat. Pertarungan sengit dan menarik antara dua
tokoh muda yang berkepandaian tinggi itu pun tidak bisa dielakkan lagi.
Hebat bukan main pertarungan yang terjadi. Bunyi mendecit,
menderu, dan mengaung menyemaraki jalannya pertarungan. Ditambah dengan bunyi
tegukan ketika Dewa Arak menenggak araknya di sela-sela berlangsungnya
pertempuran. Jurus demi jurus berlangsung cepat Kedua belah pihak memiliki kecepatan gerak
yang mengagumkan Dewa Arak dan Sangkala memang menitikberatkan pada ilmu
meringankan tubuh. Tak terasa pertarungan telah berlangsung lebih dari seratus
jurus. Dan selama itu belum tampak tanda-tanda pihak yang akan menang.
Pertarungan masih berlangsung seimbang.
Kenyataan itu membuat Sangkala gelisah. Dewa Arak terlalu
tangguh untuk dapat dirobohkan. Lagi pula, andaikan
dapat pun membutuhkan waktu yang lama. Padahal, dia tidak ingin berlama-lama di tempat
itu. Sebab keadaannya tidak menguntungkan. Bila Melati turun tangan, atau
rombongan pengejar Perguruan Banteng Putih tiba dan menge-royoknya,
dia bisa
Dewa Arak 52 Manusia Kelelawar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
celaka. Pemikiran ini menyebabkan Sangkala memutuskan untuk melarikan diri. Dan kesempatan untuk itu tiba. Itu terjadi pada
jurus keseratus dua puluh tiga.
"Hih!"
Sangkala melemparkan tubuhnya ke belakang dengan bersalto
beberapa kali. Lalu berbalik dan melesat kabur. Dewa Arak yang sudah bertekad
melenyapkan Sangkala tidak membiarkan hal itu. Arya melesat mengejar. Pada malam
yang mulai beranjak dini hari itu pun terjadi kejar-mengejar.
Melihat hal itu, Melati tidak tinggal diam. Gadis itu ikut mengejar setelah
menyambar tubuh Trijati dan meletakkannya di bahu kanan.
Sementara itu Dewa Arak berusaha keras menyusul Sangkala. Tapi jarak antara
mereka tidak berubah. Agaknya ilmu lari cepat mereka berimbang.
Hingga.... Srakkk! Sangkala menyelinap ke balik rimbunan semak-semak dan
pepohonan. Tapi tanpa ragu sedikit pun Dewa Arak turut menerobos.
Namun kenyataan yang dilihatnya membuat Dewa Arak tercengang. Sangkala tidak dijumpai ada di situ. Padahal di balik jajaran semak
dan pepohonan terdapat tanah lapang yang membentang luas.
Mengapa Sangkala tidak terlihat lagi" Apakah pemuda berwajah
bopeng itu menghilang" Kalau dia terus berlari, tentu akan terlihat oleh Arya.
Karena jarak mereka sejak tadi tetap lima tombak.
Rasa penasaran membuat Dewa Arak mengedarkan pandangan ke
sekitar tempat itu. Bahkan Arya memeriksa semak-semak dan pepohonan yang hanya
sedikit. Tapi tetap saja tidak dijumpai sosok Sangkala. Yang dijumpai pemuda
berambut putih keperakan itu hanya beberapa ekor kelelawar yang hinggap di salah
satu cabang pohon. Tidak ada lagi yang lain. Saat itulah Dewa Arak melihat
Melati di kejauhan tengah berlari ke arahnya.
"Bagaimana, Kakang"!" tanya gadis berpakaian putih itu ketika telah berada di
dekat Arya. "Dia menghilang begitu menyelinap ke balik semak-semak ini, Melati," jawab Arya
lesu. "Ah...! Begitukah"!" Melati tampak agak terkejut. "Lalu, apa yang kita lakukan
sekarang?"
Dewa Arak tercenung sebentar seperti sedang berpikir. "Kurasa lebih baik kita
kembalikan dulu gadis itu kepada keluarganya. Bagaimana, setuju"!"
Melati mengangguk diikutinya langkah kekasihnya yang telah
lebih dulu meninggalkan tempat itu. Dewa Arak dan Melati sungguh tidak tahu
seekor kelelawar memperhatikan kepergian mereka. Kelelawar itu adalah penjelmaan
Sangkala! Apakah tindakan
Sangkala selanjutnya" Bagaimana dengan
pembalasan dendamnya" Dan bagaimana Sangkala dapat memiliki ilmu-ilmu mukjizat
hanya dalam beberapa bulan" Siapa tokoh yang menjadi guru Sangkala" Semua
pertanyaan itu akan terjawab dalam episode 'Penjarah Perawan' yang merupakan
lanjutan episode ini.
SELESAI Pembuat Ebook :
Scan buku ke djvu : Abu Keisel
Convert : Abu Keisel
Editor Fuji Ebook oleh : Dewi KZ
http://kangzusi.com/ http://dewi-kz.info/
http://kangzusianfo/ http://ebook-dewikz.com/
Perguruan Sejati 3 Dewa Linglung 13 Iblis Seruling Maut Naga Jawa Negeri Di Atap Langit 8
untuk menanggapi, orangtua Wulan dan Widuri segera meluruk ke arah Sangkala.
Senjata berupa kapak dan golok yang tergenggam di tangan mereka diayunkan ke
tubuh pemuda itu.
Wuttt! Melihat ancaman bahaya maut meluruk ke arahnya, Sangkala tidak tinggal diam. Meskipun sebelah kakinya
terluka, yang sedikit banyak me-ngurangi kelincahannya, tetapi pemuda itu tidak
mengalami kesulitan mengelakkan serangan mereka. Kedua orang itu adalah penduduk
desa yang hampir tidak menguasai ilmu bela diri. Andaikata memiliki pun hanya
sekadarnya. Tak aneh bila hanya dengan sebuah elakan sederhana, Sangkala
berhasil mengelakkan serangan-serangan itu. Tidak hanya itu saja. Begitu
berhasil mengelak, kaki kirinya bergerak berturut-turut melancarkan serangan
balasan! Bukkk, bukkk! "Akh!"
Kedua orangtua kembang Desa Kawung itu memekik kesakitan
ketika tendangan Sangkala mendarat di paha mereka. Keras bukan main.
Tubuh mereka terjengkang ke belakang dan jatuh terguling-guling di tanah.
Karuan saja amarah penduduk semakin berkobar. Bagai diberi
perintah, mereka menyerbu Sangkala dengan senjata di tangan.
*** Tak pelak lagi, belasan senjata yang terdiri dari beraneka ragam bentuk itu
meluruk ke segala bagian tubuh Sangkala!
Malihat hal ini, Ranjita, Bongara, dan murid-murid Perguruan
Banteng Putih membiarkan saja. Mereka tahu tidak ada gunanya mencegah.
Penduduk yang telah kalap itu tidak akan mau mendengarkan. Karena tidak ingin
ikut mengeroyok mereka terpaksa berdiri menonton.
Sementara, Sangkala yang melihat ancaman bahaya maut itu
berusaha melawan. Dengan golok di tangan, pemuda itu bertarung mati-matian.
Hebat bukan main tindakan Sangkala. Amukannya bagai macan luka. Meskipun dia
telah terluka, tapi tetap mampu melakukan perlawanan sengit. Pada hal jumlah
lawan tak kurang dari tiga belas orang. Pemuda itu dapat mengimbangi. Sangkala
mampu mengelakkan setiap serangan lawan.
Bahkan melancarkan serangan yang jauh lebih dahsyat!
Tidak sampai lima jurus dua lawannya terkapar dan terlempar dari kancah
pertarungan terkena babatan goloknya. Kenyataan itu membuat teman-teman mereka
menjadi geram bukan main. Orang-orang yang menonton pun dilanda perasaan sama.
"Keparat'" geram Ranjita penuh kemarahan. "Kalau dibiarkan terus, manusia biadab
itu bisa membunuh mereka semua!"
"Lalu..., apa yang akan kau lakukan" Ikut terjun dalam kancah pertarungan"
Mengeroyok lawan yang terluka"!" tanya Bongara mengejek.
Wajah Ranjita langsung merah padam.
"Aku bukan orang seperti itu, Bongara! Kalau orang-orang dungu itu tidak
mendahuluiku, tubuh manusia berhati binatang itu telah kujadikan daging
cincang!" "Ingin kulihat bukti ucapanmu, Ranjita," sambut Bongara meremehkan. Bongara sedikit pun tidak bermaksud membela
Sangkala. Ucapannya itu dikeluarkan karena tidak senangnya akan kesombongan Ranjita.
Ucapan Ranjita yang mengatakan mampu mengalahkan Sangkala membuat Bongara tidak
senang. Sebab kepandaian Bongara boleh dibilang setingkat dengan Sangkala.
Kalau Ranjita sesumbar mampu mengalahkan Sangkala, bukankah
itu sama saja Ranjita meremehkannya" Padahal hanya sampai di mana kepandaian
putra kepala desa itu" Ranjita hanya belajar ilmu silat dari Ki Rawung!
Mendengar tantangan Bongara, Ranjita yang memang sudah
dibakar amarah jadi semakin kalap.
"Orang-orang dungu! Menyingkirlah kalian! Biarkan aku yang menghabisi nyawa
manusia binatang itu!" teriak Ranjita keras.
Tapi sampai lelah berteriak-teriak, tidak ada tanggapan sama
sekali. Penduduk tetap melancarkan serangan terhadap Sangkala.
"Manusia-manusia
dungu!" maki Ranjita geram menyadari seruannya tidak dipedulikan. "Biar kalian semua tewas di tangannya!"
Harapan Ranjita langsung terkabul. Belum juga gema ucapannya
lenyap, terdengar jeritan menyayat hati. Disusul robohnya dua orang lawan
Sangkala. Kepala mereka terpisah dari tubuh ketika golok Sangkala menabas batang
leher mereka. "Keparat!" geram Ki Ageng Sora dan Ki Rawung hamir
bersamaan. Mereka saling bertukar pandang.
"Tidak akan kubiarkan murid murtad itu semakin mencoreng nama Perguruan Banteng
Putih dengan darah penduduk Desa Kawung!" desis Ki Ageng Sora geram. Usai
berkata lelaki tinggi kurus itu memasukkan tangannya ke balik baju. Ketika
dikeluarkan kembali tampak empat batang pisau di tangannya.
Tentu saja kelakuan Ketua Perguruan Banteng Putih tidak luput dari perhatian Ki
Rawung. Namun Kepala Desa Kawung itu tidak
mengatakan apa-apa. Dia yakin Ki Ageng Sora telah memikirkan masak-masak
tindakannya. Maka lelaki kecil kurus itu diam saja.
Sementara itu, setelah memperhatikan kancah pertarungan sesaat, Ki Ageng Sora
mengibaskan tangannya. Seketika itu pula...,
Sing, sing, sing...!
Bunyi desing nyaring yang menyakitkan telinga terdengar ketika pisau-pisau itu
meluncur ke arah Sangkala.
Bukan hanya Sangkala yang terkejut Bongara dan semua murid
Perguruan Banteng Putih pun demikian. Mereka tidak menyangka gurunya akan turun
tangan. Tapi keterkejutan yang melanda Bongara dan rekan-rekannya tidak sebesar
Sangkala. Saat itu dia baru saja mengelakkan serangan lawan-lawannya.
Keduduannya sangat tidak menguntungkan. Baik untuk menangkis
maupun mengelak. Tapi meskipun demikian, Sangkala tidak mau menyerah begitu
saja. Sedapat mungkin diusahakannya mengelak. Tapi..., Cap, cap, cap!
"Akh!"
Sangkala memekik kesakitan. Pisau-pisau itu mendarat di sasaran yang dituju Ki
Ageng Sora. Dua menancap di punggung atas. Kanan dan ki-ri. Sedangkan sisanya
menancap di paha atas bagian belakang. Juga di kanan dan kiri. Tubuh Sangkala
langsung ambruk di tanah. Tidak seperti sebelumnya. Kali ini pemuda berwajah
bopeng itu tidak bisa bangkit lagi!
Kesempatan itu tidak disia-siakan para pengeroyoknya. Dengan
sorot mata menyiratkan dendam, mereka mengayunkan senjata masing-masing. Nyawa
Sangkala sudah dapat dipastikan akan melayang saat itu juga. Tapi sebelum hal
itu terjadi...,
"Tahan...!"
Suara bentakan keras yang mengandung pengaruh kuat membuat
penduduk Desa Kawung menghentikan gerakan mereka. Senjata-senjata yang beraneka
ragam jenis itu tertahan di udara.
Dengan penuh tanda tanya mereka mengalihkan pandangan ke arah Ki Ageng Sora.
Lelaki tinggi kurus itulah yang mengeluarkan cegahan tadi.
Ternyata bukan hanya penduduk Desa Kawung itu yang tercekam rasa heran. Ranjita
dan seluruh murid Perguruan Banteng Putih pun menatap wajah Ki Ageng Sora penuh
rasa heran. "Kalian jangan salah paham," ujar Ki Ageng Sora tenang. "Kalian tidak perlu
khawatir. Aku tidak akan membela Sangkala. Dia tidak kuanggap
sebagai murid lagi! Aku mencegah semata-mata untuk kepentingan kalian juga!"
Ki Ageng Sora menghentikan ucapannya sejenak untuk mengambil
napas. Sementara penduduk Desa Kawung, Ranjita, dan semua murid Perguruan
Banteng Putih menunggu kelanjutan ucapan itu dengan tidak sabar.
"Perlu kalian ketahui, orang yang mempunyai kesalahan seperti Sangkala terlalu
enak untuk mati dengan demikian mudah! Dia telah merusak masa depan dua orang
gadis, membuat kotor Desa Kawung, dan mencemarkan nama Perguruan Banteng Putih!
Hukuman langsung mati terlalu enak baginya!" urai Ki Ageng Sora.
"Lalu.., apa yang harus kita lakukan, Ki?" tanya Ranjita ingin tahu.
Putra Kepala Desa Kawung itu sangat dendam kepada Sangkala.
Ini tentu saja ada alasanya. Ranjita iri karena Sangkala yang berwajah buruk
berhasil menikmati kegadisan Wulan dan Widuri. Padahal dia sudah lama
menginginkan mereka!
"Dia harus disiksa sebelum dibakar hidup-hidup!" tegas Ki Ageng Sora.
"Akurrr...!"
Serentak semua orang yang ada di situ menganggukkan tanda
setuju. Ki Ageng Sora tersenyum pahit melihat sambutan yang demikian penuh
semangat. Di hati kecilnya sebenarnya dia tidak setuju. Tapi kejahatan yang
dilakukan Sangkala sangat dibencinya. Maka hatinya dikuatkan untuk memutuskan
hal itu. "Kalau begitu, tunggu apa lagi"!" tanya Ki Ageng Sora setengah memerintah.
"Siksa dia! Lalu kita seret ke desa, dan bakar di hadapan seluruh penduduk.
Hukuman ini akan membuat orang lain yang melakukan tindakan seperti ini berpikir
seribu kali!"
Saat itu juga para penduduk menghampiri Sangkala yang tergolek di tanah. Mereka
saling mendahului untuk melihat pemuda berwajah bopeng itu. Sesaat kemudian
penyiksaan terhadap Sangkala pun dilaksanakan.
Dalam gelora amarah dan kebencian yang meluap-luap, para penduduk Desa Kawung
jadi manusia-manusia yang tidak punya rasa belas kasihan.
Mereka menghajar sekujur tubuh Sangkala. Tidak hanya dengan
tendangan atau pukulan tangan kosong. Tapi juga dengan senjata tumpul.
Sedikit pun tidak mereka pedulikan rintih kesakitan yang keluar dari mulut
Sangkala! Bukkk, bukkk, desss!
"Akh!"
Jeritan kesakitan tak henti-hentinya keluar dari mulut Sangkala, seiring dengan
mendaratnya siksaan-siksaan penduduk Desa Kawung.
Hanya dalam sekejap sekujur tubuhnya telah penuh luka! Darah mengalir di sana-
sini. Pakaiannya compang-camping tak karuan. Wajahnya pun hampir tidak bisa
dikenali lagi. Karena telah bengkak-bengkak. Tapi penduduk Desa Kawung tetap
meneruskan siksaannya.
Bukkk, bukkk, bukkk!
6 "Cukup!"
Untuk kedua kali Ki Ageng Sora mengeluarkan cegahan. Seperti
juga sebelumnya, penduduk Desa Kawung menuruti perintahnya. Tapi bukan karena
patuh. Ada pengaruh aneh yang membuat mereka terpaksa menghentikan gerakannya.
Sebenarnya Ki Ageng Sora tidak menggunakan ilmu gaib atau
sihir. Lelaki tinggi kurus itu mengerahkan tenaga dalamnya. Getaran tenaga dalam
itu menyebabkan orang yang kurang kuat tenaga dalamnya langsung terpengaruh.
Mereka terkesima. Hingga tindakan mereka terhenti.
"Dia sudah tidak berdaya. Bila kalian teruskan, mungkin dia akan mati! Dan jika
hal itu terjadi, rencana yang telah kita susun akan berantakan! Kalian paham"!"
lanjut Ki Ageng Sora menjelaskan.
Bagai diberi perintah, serempak penduduk Desa Kawung mengalihkan perhatian ke arah Sangkala. Mereka membenarkan pendapat Ki Ageng
Sora. Sangkala memang sudah tidak berdaya. Keadaannya sangat mengenaskan! Bahkan
beberapa saat sebelum Ki Ageng Sora mengeluarkan cegahan, dia sudah tidak mampu
menjerit lagi. Tubuhnya telah demikian lemah.
Keadaan Sangkala pun dilihat Ranjita dan murid-murid Perguruan Banteng Putih
yang sejak tadi berdiri menyaksikan. Senyum gembira dan puas tersungging di
bibir putra Kepala Desa Kawung. Tapi Ranjita tidak bisa terlalu lama tenggelam
dalam alun kegembiraannya. Karena....
"Mengapa kalian hanya bengong saja"! Seret manusia biadab itu!"
perintah Ki Ageng Sora lagi. Seruan yang diucapkan keras itu membuat para
penduduk kelabakan. Mereka bingung memikirkan alat yang dapat digunakan
untuk menarik Sangkala. Namun Ranjita yang cerdik menemukan pemecahannya. Sabuk yang melilit pinggangnya di lepas.
Lalu.... Ctarrr! Setelah lebih dulu melecutkan sabuknya hingga mengeluarkan
bunyi keras, Ranjita meluncurkan ujung sabuknya pada tangan Sangkala.
Rrrttt! Dengan gerakan yang indah dipandang, sabuk itu membelit tangan Sangkala. Sungguh
sebuah pertunjukan yang cukup hebat. Dari sini bisa diketahui Ranjita memiliki
tenaga dalam cukup kuat. Karena hanya orang-orang yang mempunyai tenaga dalam
cukup kuatlah yang mampu
memainkan sabuk! Apalagi memainkannya sebagus Ranjita!
Seperti yang sudah diduga Ranjita, penduduk Desa Kawung
terpaku melihat pertunjukannya. Tatapan mata mereka menyiratkan kekaguman.
Bahkan sorot seperti itu terlihat pula pada sepasang mata Ki Ageng Sora!
Walaupun sebenarnya lelaki tinggi kurus itu mampu memainkan berlipat kali lebih
baik dari Ranjita. Tapi tetap saja dia merasa kagum. Sebab tidak semua murid
Perguruan Banteng Putih mampu
melakukan. Kalau mau jujur dan tidak menuruti hati yang panas, Bongara
harus mengakui Ranjita memang lawan yang tangguh. Tapi karena sejak pertama
sudah muncul rasa tidak suka pada sikap Ranjita yang terlalu memandang remeh
orang, yang ditunjukkan Bongara hanya senyum sinis.
Sikapnya menunjukkan tindakan Ranjita tidak berarti apa-apa baginya.
Ranjita tentu saja diam-diam tahu, pemuda itu jengkel bukan main.
Tapi Ranjita pura-pura tidak tahu. Diberikannya ujung sabuk yang dipegangnya
pada salah seorang penduduk Desa Kawung
"Nih, seret..!" Hanya itu yang diucapkan Ranjita pada penduduk Desa Kawung yang
menerimanya dengan wajah berseri-seri.
Ki Ageng Sora dan Ki Rawung membalikkan tubuh dan berjalan
meninggalkan tempat itu. Tujuan mereka jelas. Mulut goa yang menembus Hutan
Randu. Di belakang kedua orang itu berjalan Ranjita dan murid-murid Perguruan
Banteng Putih. Sedangkan rombongan penduduk Desa Kawung berada paling belakang,
dengan salah seorang di antara mereka menyeret tubuh Sangkala.
Dapat dibayangkan penderitaan yang dialami Sangkala. Dalam
keadaan lebih mendekati mati, mana sekujur tubuhnya tidak ada yang luput dari
luka, pemuda itu diseret-seret. Padahal tanah di sini tidak rata! Banyak bagian-
bagian yang menonjol dan runcing! Dengan sendirinya luka yang diderita Sangkala
semakin parah.
Dewa Arak 52 Manusia Kelelawar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Memang pantas dipuji kekuatan Sangkala. Dalam keadaan seperti itu dia masih
sanggup memutar otaknya. Disadarinya perjalanan menuju Desa Kawung masih jauh.
Bahkan melalui medan yang tidak rata. Dengan demikian dia akan tersiksa lama
sebelum akhirnya dibakar hidup-hidup dengan disaksikan orang sedesa!
Sangkala tidak menginginkan hal itu terjadi! Dia tidak ingin mati seperti
binatang! Kalau memang harus mati, dia ingin secara terhormat.
Lebih baik mati di sini daripada di Desa Kawung!
Luar biasa! Keinginan yang demikian kuat itu membuat keadaan
Sangkala membaik. Bahkan seperti tidak terluka sama sekali. Ini sebenarnya tidak
aneh! Ada saat-saat tertentu di mana tenaga tersembunyi dapat keluar dengan
kemampuan lebih hebat dari biasanya. Tapi tentu saja ada hal-hal yang
menyebabkan tenaga tersembunyi itu keluar.
Demikian pula dengan Sangkala! Keinginan yang amat kuat untuk tidak
tewas secara mengenaskan di Desa Kawung menyebabkan kemampuan tersembunyinya keluar. Kesempatan itu segera dipergunakan Sangkala
sebaik-baiknya.
"Hih!"
"Akh!"
Dengan sekali sentakan Sangkala membuat penduduk yang
menyeret tubuhnya terjengkang ke belakang. Akibatnya, pegangan pada ujung
sabuknya terlepas. Kesempatan itu dipergunakan Sangkala untuk bangkit berdiri.
Kemudian berlari!
Tentu saja tindakan Sangkala tidak dibiarkan. Saat itu juga semua anggota
rombongan, kecuali Ki Ageng Sora dan Ki Rawung, bergegas mengejarnya. Begitu
juga orang yang bertugas menyeret Sangkala. Meski agak tertinggal di belakang
teman-temannya.
*** Kembali kejar-mengejar antara Sangkala dan rombongan Ki Ageng
Sora terjadi. Tapi dalam pengaruh kekuatan tersembunyi yang mendadak keluar,
Sangkala mampu meninggalkan lawan-lawannya. Semakin lama jarak antara mereka
terpaut semakin jauh!
Semua itu tidak lepas dari perhatian Ki Ageng Sora dan Ki
Rawung. Namun Ketua Perguruan Banteng Putih tetap berdiam diri. Lelaki tinggi
kurus itu tidak terkejut melihat Sangkala mampu melarikan diri.
Bahkan dengan kecepatan yang cukup menakjubkan.
Ki Ageng Sora tidak khawatir Sangkala dapat lolos dari tempat itu.
Jika pemuda berwajah bopeng itu ingin keluar dari tempat itu, arah yang dituju
adalah arah yang ditempuh rombongannya! Sedangkan Sangkala menuju arah lain!
Itu sebabnya Ki Ageng Sora tidak mengambil tindakan apa pun.
Yang dilakukannya hanya memperhatikan kejar-mengejar yang tengah terjadi.
Sepasang alis Ki Ageng Sora baru berkerut ketika melihat arah yang dituju
Sangkala. Bekas muridnya itu menuju danau.
Berbagai pertanyaan muncul di benak Ki Ageng Sora. Mengapa
Sangkala menuju ke sana" Apakah dia berlari tanpa memikirkan arah yang dituju"
Atau Sangkala mempunyai pemikiran lain" Barangkali saja pemuda berwajah bopeng
itu hendak menceburkan diri ke danau!
Dan Sangkala memang bermaksud demikian! Pemuda itu tidak
ingin ditangkap dan dihukum secara menyedihkan di desa tempat tinggalnya! Maka
dia melarikan diri ke danau. Sangkala ingin menceburkan diri ke sana. Itu telah
dipikirkannya sebelum memutuskan untuk melarikan diri.
Rasanya kali ini keinginan Sangkala akan terlaksana. Jarak antara dia dan para
pengejarnya semakin jauh. Meskipun itu berlangsung sedikit demi sedikit.
Perlahan tapi pasti Sangkala mendekati danau. Rasanya bekas murid Perguruan
Banteng Putih itu tidak bisa terjangkau lagi oleh lawan.
Kenyataan itu segera terbukti.
"Hiyaaa...!"
Diawali dengan teriakan melengking nyaring yang membuat gema
ke seluruh penjuru tempat itu, Sangkala melompat ke danau. Sesaat tubuhnya
melayang di udara sebelum akhirnya....
Byurrr! Air muncrat tinggi ke udara ketika tubuh Sangkala membentur
permukaan danau. Tubuh Sangkala langsung tenggelam!
Kejadian itu disaksikan Ranjita, Bongara, dan yang lainnya. Tapi apa yang dapat
mereka lakukan" Saat tubuh Sangkala menimpa permukaan danau, jarak antara mereka
masih terpaut beberapa tombak! Baru setelah beberapa saat tubuh Sangkala
tenggelam, rombongan pengejar itu tiba di pinggir danau.
"Pasang mata kalian baik-baik!" perintah Ranjita, "Aku yakin dia akan muncul ke
permukaan!"
"Benar!" sambung Bongara mendukung ucapan Ranjita. "Apa yang dikatakan Ranjita
benar. Lebih baik kita berpencar! Dia pasti akan muncul ke permukaan!"
Tanpa menunggu lagi, rombongan itu menyebar ke sekitar danau.
Seperti juga Ranjita dan Bongara, mereka yakin Sangkala akan muncul ke
permukaan. Itu sudah pasti! Manusia mana yang sanggup bertahan lama di dalam
air" Hanya dalam sekejap rombongan pengejar dari Desa Kawung itu
telah berada di kedudukan masing-masing. Pandangan mereka ditujukan ke permukaan
danau. Hampir tidak pernah mereka mengedipkan mata, khawatir di saat sepasang
mata mereka berkedip Sangkala muncul ke permukaan.
Dengan tidak sabar Ranjita dan yang lain menunggu kemunculan
Sangkala. Tapi sampai cukup lama menunggu, Sangkala tidak memunculkan diri. Padahal mata mereka telah lelah dipaksa terbelalak terus.
"Gila!"
Sebuah makian geram keluar dari mulut Ranjita. Terlihat putra Ki Rawung itu
sudah tidak kuat lagi menahan sabar. Bongara yang berada tidak jauh dari Ranjita
menoleh. Kesempatan itu dipergunakan sebaik-baiknya oleh Ranjita.
"Rasanya tidak mungkin kita terus-menerus menunggu seperti ini, Bongara," ujar
Ranjita pelan. "Aku pun berpendapat demikian, Ranjita," sahut Bongara dengan nada sama. Telah
lenyap perselisihan antara mereka melihat buruan yang sama-sama dikejar berhasil
lolos. "Tapi..., apa yang dapat kita lakukan"!"
"Bagaimana kalau kita terjun juga, Bongara?" usul Ranjita, "Siapa tahu manusia
keji itu telah menjadi setan air"!"
"Dugaanmu tidak berbeda denganku," timpal Bongara. "Aku pun tidak percaya
Sangkala mampu bertahan begitu lama di dalam air!"
"Barangkali dia berada di permukaan air dan menggunakan batang alang-alang untuk
bernapas"!" duga Ranjita tiba-tiba.
"Kurasa dugaanmu keliru, Ranjita," bantah Bongara. "Aku tidak melihat benda yang
kau maksudkan di permukaan air. Aku tahu, semula aku pun berpendapat demikian.
Tapi setelah kuedarkan pandangan, dan tidak kutemukan benda itu, aku yakin
Sangkala tidak menggunakan cara itu."
"Jadi...," Ranjita menggantung ucapannya.
"Aku lebih condong dia telah menjadi setan air sekarang!" tegas Bongara. "Kurasa
dugaan ini tidak berlebihan. Kau tahu sendiri kan keadaannya?"
Ranjita tampak ragu. Dia tidak memberikan tanggapan yang
bersifat menyetujui pendapat Bongara.
"Memang kuakui Sangkala terluka parah. Tapi..., apakah kau tidak melihat
kejadian aneh tadi" Dia mampu berlari dengan kecepatan lebih dari sewaktu
sehatnya!"
"Itu terjadi karena keinginannya yang besar untuk meloloskan diri, Ranjita. Aku
tahu pasti kemampuan seperti itu tidak akan bertahan lama.
Lagi pula kemampuan demikian tidak berlaku di dalam air!" bantah Bongara
menguatkan alasannya. "Kalau menambah kemampuan mungkin benar. Tapi jika
kemampuan tak wajar itu menyebabkannya mampu menahan napas demikian lama di
dalam air, kurasa tidak mungkin. Dan lagi seperti yang tadi kukatakan, kemampuan
seperti itu tidak akan bertahan lama."
Ranjita langsung terdiam. Disadari ada kebenaran yang tidak bisa dibantah dalam
ucapan Bongara.
"Jadi..., kesimpulan yang paling mungkin Sangkala telah menjadi setan air!"
tandas Ranjita.
"Itulah yang harus kita buktikan!" sambut Bongara, "Karena itu aku menyetujui
usulmu, Ranjita. Aku khawatir ada hal-hal tidak terduga yang akan merugikan
kita." "Maksudmu..., Sangkala berhasil meloloskan diri. Begitu"!" tanya Ranjita meminta
kepastian. "Mudah-mudahan saja tidak," jawab Bongara berkilah.
"Kalau begitu kita harus bergegas, Bongara! Lebih cepat kita terjun ke dalam
danau lebih baik!" tegas Ranjita cepat.
"Benar, Ranjita!" Baru saja Bongara menyelesaikan ucapannya, Ranjita melompat ke
danau! Itu dilakukan tanpa membuka pakaiannya.
Bongara tidak mau kalah. Dia ikut melompat menyusul tubuh putra Kepala Desa
Kawung yang masih berada di udara. Dalam kedudukan melayang di udara, Bongara
memberi perintah.
"Kalian semua tetap di darat! Awasi terus permukaan air!"
Byurrr! Byurrr...!
Air danau muncrat tinggi-tinggi dua kali berturut-turut. Itu terjadi ketika
tubuh Ranjita dan Bongara membentur permukaan danau kecil itu.
Tubuh kedua pemuda-perkasa itu tenggelam ke dalam danau.
Mereka menyelam semakin dalam. Berbeda dengan yang terlihat dari daratan, dalam
danau itu ternyata cukup jernih. Hingga Ranjita dan Bongara dapat melihat
pemandangan di dalamnya.
Untuk beberapa saat kedua pemuda itu tidak melakukan pencarian.
Mereka hanya mengedarkan pandangan ke sana kemari. Barangkali saja dapat
menemukan Sangkala. Setelah merasa yakin usahanya tidak membuahkan hasil, dengan
isyarat Bongara mengajak berpencar. Usul itu langsung disetujui Ranjita. Sesaat
kemudian, Bongara dan Ranjita berenang menempuh arah pilihan masing-masing.
Ternyata meskipun kelihatannya kecil danau itu luas juga.
Beberapa kali Ranjita dan Bongara harus muncul ke permukaan untuk mengambil
napas sebelum meneruskan pencarian.
Usaha kedua pemuda perkasa itu tidak sia-sia. Setelah bersusah-payah berenang ke
sana kemari, akhirnya Ranjita menemukan sebab mengapa Sangkala tidak muncul-
muncul ke permukaan. Pada salah satu dinding di dalam danau, ada lubang bergaris
tengah sekitar setengah tombak!
Sekali lihat Ranjita tahu lubang itu berhubungan dengan bagian luar tempat
terpencil itu. Kesimpulan ini membuat Ranjita lemas. Sangkala telah berhasil
meloloskan diri.
Meskipun demikian, karena rasa ingin tahu, didekatinya lubang itu.
Hasilnya benar-benar membuat Ranjita kaget! Ada daya tarik yang amat kuat dari
lubang itu. Padahal jarak antara dia dengan lubang itu masih tiga tombak.
Menyadari kenyataan ini, Ranjita bergegas berenang ke permukaan. Sesampainya di sana di tunggunya Bongara muncul.
"Hentikan usahamu, Bongara!" seru Ranjita ketika Bongara muncul ke permukaan
untuk mengambil napas. Rupanya murid Perguruan Banteng Putih itu masih bermaksud
melanjutkan pencarian.
"Mengapa, Ranjita"!" tanya Bongara ingin tahu, "Apa kau telah menemukan
Sangkala?"
Ranjita menggeleng dengan lesu. "Dia berhasil kabur dari danau, Bongara. Aku
melihat ada lubang yang berhubungan dengan tempat di luar danau ini!"
"Keparat!"
Bongara memaki geram mendengar
pemberitahuan Ranjita.
Kemudian dengan lesu diikutinya tindakan putra Ki Rawung, berenang menuju tepi
danau. "Cepat tinggalkan tempat ini! Sangkala telah lolos! Kita harus segera
mengejarnya!" seru Bongara ketika telah berada di pinggir danau.
Rombongan dari Desa Kawung segera beranjak meninggalkan
tempat itu. Tujuan mereka adalah lorong goa tempat mereka masuk.
Bongara dan Ranjita berjalan di belakang mereka.
Ki Ageng Sora dan Ki Rawung mendapat laporan dari Bongara.
Maka tanpa membuang-buang waktu, Ki Ageng Sora memimpin rombongan melakukan pengejaran. Tak lupa Wulan dan Widuri yang masih tergolek
pingsan mereka bawa.
Begitu berada di luar, Ki Ageng Sora membagi rombongannya.
Ketua Perguruan Banteng Putih itu tahu dengan berpencar-pencar seperti itu
kemungkinan menemukan Sangkala semakin besar. Tak lupa diberitahukannya agar kelompok yang menemukan Sangkala memberi tanda.
Rupanya Ki Ageng Sora telah bertekad menangkap murid yang
sudah tidak diakuinya itu. Semua tenaga yang ada dikerahkan. Semua dapat
dijelajahi. Tapi Sangkala tetap tidak diketemukan. Pemuda berwajah bopeng itu
seperti lenyap ditelan bumi.
Yang lebih menyulitkan ternyata tembusan danau kecil di tempat persembunyian
Sangkala tidak ada! Ki Ageng Sora pun sadar tembusan danau itu ada di dalam
tanah! 7 "Ranjita..., Bongara..., Ki AgengSora.... Tunggulah pembalasanku!
Kalian orang-orang yang telah membuatku sengsara," desis Sangkala penuh dendam.
Rupanya ingatan akan perlakuan yang diterimanya dari ketiga orang itu membuat
Sangkala sadar dari alam pikirannya yang melayang ke masa beberapa bulan lalu.
Bunyi berkerotokan keras seperti tulang patah terdengar seusai desisan penuh
dendamnya. Kejadian yang menggiriskan hati. Sebab pemuda berwajah bopeng itu
tidak melakukan tindakan apa pun. Agaknya kemarahan
membuat tenaga dalamnya berkeliaran sendiri, hingga menimbulkan bunyi berkerotokan seperti itu.
"Tapi bukan hanya kalian yang akan menerima pembalasanku,"
sambung Sangkala masih dengan berdesis. "Semua penduduk Desa Kawung akan
mendapat balasannya. Ha ha ha...!"
Usai berkata, Sangkala melesat meninggalkan tempat itu. Tujuannya Desa Kawung. Pemuda itu hendak membalas sakit hatinya beberapa bulan
Dewa Arak 52 Manusia Kelelawar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
lalu. *** Sang Surya sudah sejak tadi tenggelam di barat. Sekarang dewi
malam yang menggantikan tugasnya menerangi persada. Meskipun saat itu tidak
muncul dalam bentuk yang utuh, namun cukup mampu mangusir kegelapan. Apalagi
saat itu langit tampak cerah. Bintang-bintang bertaburan di angkasa. Berkelap-
kelip ceria karena tidak ada segumpal awan pun menggantung di sana. Hingga
suasana persada semakin cerah.
Ternyata tidak hanya suasana di langit saja yang cerah ceria. Hal yang sama pun
terjadi di Desa Kawung. Obor terpancang di setiap rumah penduduk dalam jumlah
yang lebih banyak dari biasa, sehingga keadaan desa terang benderang. Jelas ada
sesuatu yang lain di Desa Kawung.
Dan memang dugaan itu tidak salah. Di mulut desa terpasang
umbul-umbul indah dalam bentuk beraneka ragam. Hiasan yang sama dipasang di
depan rumah Ki Ageng Sora.
Di tempat tinggal Ki Ageng Sora, di Perguruan Banteng Putih,
rampak meriah. Umbul-umbul terpajang berderet rapi dan teratur mulai dari pintu
gerbang sampai ke bagian dalam. Obor-obor pun terpancang di sana-sani, membuat
tempat itu terang-benderang seperti siang hari.
Rupanya di sana tengah dilangsungkan pesta pernikahan. Sang
Mempelai adalah Trijati, putri Ki Ageng Sora, dengan Ranjita, putra Kepala Desa
Kawung. Kesibukan pun melanda Perguruan Banteng Putih. Murid-murid
perguruan itu, yang tidak berapa banyak, tampak kerepotan melayani tamu yang
datang untuk mengucapkan selamat. Tamu-tamu yang hadir memang tidak sedikit.
Karena kedua mempelai sama-sama berasal dari keluarga terpandang. Para tamu
tidak hanya dari Desa Kawung. Tapi juga dari desa-desa sekitar.
Sementara itu di pelaminan Trijati dan Ranjita tak henti-hentinya mengembangkan
senyum pada tamu-tamu yang datang. Keduanya tampak sangat gembira. Tak aneh,
pernikahan itu berlangsung atas dasar cinta kasih mereka berdua.
Tidak jauh dari sepasang mempelai, di tempat duduk kehormatan, duduk keluarga Ki
Ageng Sora, keluarga Kepala Desa Kawung, dan tamu-tamu kehormatan, yang terdiri
dari kepala-kepala desa dan ketua-ketua perguruan silat di sekitar Desa Kawung.
Mereka terlihat tidak kalah gembiranya dengan kedua mempelai. Sesekali terdengar
gelak tawa di antara pembicaraan mereka.
"Pernikahan putrimu membuatku merasa tua sekali, Sora," ucapan itu keluar dari
mulut seorang lelaki berpakaian coklat. Raut wajahnya gagah dengan kumis tebal
melintang menghias bawah hidungnya.
"Mengapa kau berkata demikian, Loka"!" tanya kakek berpakaian kuning tersenyum
geli. Meskipun senyum menghias bibirnya, tapi tetap saja tidak mampu mengusir
keangkeran kakek itu. Bentuk wajahnya yang persegi mirip harimau penuh ditumbuhi
bulu. Tidak hanya kumis dan jenggot, tapi juga cambang! Sepasang alisnya tebal
dan hitam. Tubuhnya tinggi besar. Pada bagian dada kiri pakaiannya tersulam
gambar kepala seekor harimau! Lengkaplah sudah semua yang membuat kakek itu
terlihat angker.
"Betapa tidak, Jayeng"!" sahut lelaki berkumis melintang yang dipanggil Loka
meminta dukungan. "Kau kan tahu usiaku hanya selisih satu tahun dengan Ki Ageng
Sora. Kalau anaknya sudah berkeluarga, bukankah sebentar lagi dia akan menjadi
kakek"! Ku berarti aku tidak muda lagi"!"
"Ha ha ha..!"
Serempak Ki Ageng Sora dan kakek berpakaian kuning yang
dipanggil Jayeng, sebenarnya mempunyai nama lengkap Jayeng Praja, tertawa
bergerak. Geli mendengar pertanyaan Loka yang bernama lengkap Loka Arya.
"Mengapa kalian tertawa"!" tanya Loka Arya setengah memprotes.
"Kami merasa geli, Loka," Ki Ageng Sora menjawab setengah tertawa. Rupanya
perasaan geli masih melanda hatinya.
"Benar, Loka," sambut Jayeng Praja, "Sepertinya kau khawatir menjadi tua"!
Percayalah, sekalipun tua kau masih disegani kawan dan ditakuti lawan! Meskipun
bertambah tua kau tetap berjuluk Pendekar Tinju Maut!"
"Tepat!" timpal Ki Ageng Sora cepat, "Bahkan aku berani bertaruh keampuhan
tinjumu semakin meningkat dengan semakin bertambahnya usiamu!"
"Ha ha ha...!" sekarang ganti Loka Arya berjuluk Pendekar Tinju Maut tertawa
terkekeh. "Luar bisa! Ternyata waktu yang sekian lama tidak mengubah sikap kalian! Kurasa
sudah saatnya kalian berdua membuang semua pujian kosong itu! Apa hebatnya ilmu
'Tinju Maut'ku dibanding jurus 'Harimau Terbang' milikmu, Jayeng"! Atau
permainan kepalamu yang mampu menghancurkan apa saja yang terbentur, Sora"!"
ujar Loka Arya merendah.
"Ha ha ha...!"
Ki Ageng Sora dan Jayeng Praja tertawa bergelak.
"Aku telah mendengar kabar perguruanmu menyediakan jasa
pengawalan. Untuk orang-orang yang hendak bepergian jauh maupun pengiriman
barang berharga. Bukankah demikian, Jayeng"!" sambung Loka Arya.
"Hhh...!"
Jayeng Praja menghela napas berat dengan wajah mendadak
berubah muram. Tentu saja perubahan sikap kakek berwajah mirip harimau itu
membuat Ki Ageng Sora dan Pendekar Tinju Maut heran. Senyum yang tersungging di
bibir mereka langsung lenyap. Dan dengan tatapan penuh selidik serta rasa ingin
tahu dipandanginya wajah Jayeng Praja.
"Mengapa, Jayeng"! Adakah ucapanku yang salah dan tidak
berkenan di hatimu"!" tanya Pendekar Tinju Maut sungguh-sungguh. Tidak ada lagi
nada main-main dalam suara Loka Arya. Seperti juga Ki Ageng Sora, dia tahu
Jayeng Praja tidak akan bersikap seperti itu bila tidak ada masalah.
"Tidak, Loka. Tidak ada yang salah dengan ucapanmu," Jayeng Praja menggelengkan
kepala sambil tersenyum.
Tapi, Ki Ageng Sora dan Pendekar Tinju Maut bukan orang bodoh.
Mereka tahu senyum Jayeng Praja hanya pulasan dan tidak keluar dari lubuk
hatinya. Hingga kedua tokoh itu penasaran, terutama Pendekar Tinju Maut yang
memang memiliki watak agak berangasan.
"Kalau orang lain mungkin dapat kau bohongi, Jayeng. Tapi, pada kami kau tidak
mungkin dapat. Mulutmu dapat membohongi kami, tapi matamu mengatakan yang
sebaliknya. Apakah kau tidak percaya lagi pada kami, Jayeng"! Sehingga kau tidak
mau mengemukakan persoalan yang kau hadapi"!" terdengar jelas nada penasaran
dalam ucapan Pendekar Tinju Maut.
Tapi, Jayeng Praja tetap diam. Melihat kenyataan itu, Ki Ageng Sora khawatir
Pendekar Tinju Maut akan mengeluarkan ucapan bernada lebih keras. Maka
diputuskannya untuk mendahului bicara.
"Apa yang dikatakan Loka benar, Jayeng. Kami adalah sahabat-sahabatmu. Rasanya
tidak pada tempatnya jika kau menyembunyikan masalah yang kau hadapi.
Percayalah, masalahmu adalah masalah kami juga. Katakanlah, Jayeng. Jangan buat
kami penasaran. Kau ingat ikrar kita setelah menghancurkan Gerombolan Kuda
Iblis"!"
Rupanya ucapan Ki Ageng Sora mengenai sasaran. Ada riak di
wajah Jayeng Praja, meskipun dia masih tetap diam. Melihat itu, Pendekar Tinju
Maut bermaksud menyambung ucapannya yang tadi tertunda karena didahului Ki Ageng
Sora. Tapi sebelum maksudnya dilaksanakan, Ki Ageng Sora memberi isyarat agar
membiarkan Jayeng Praja.
*** Meskipun rasa tidak puas melanda hati, Loka Arya bersedia
menuruti isyarat rekannya. Dia tahu Ketua Perguruan Banteng Putih itu mempunyai
alasan melarangnya berbicara.
Dugaan Pendekar Tinju Maut tidak salah. Ki Ageng Sora memang
mempunyai alasan kuat. Ketua Perguruan Banteng Putih itu yakin Jayeng Praja
terpengaruh ucapannya. Keluarnya penjelasan kakek tinggi besar itu hanya tinggal
menunggu waktu. Memang sebenarnya demikian. Ucapan Ki Ageng Sora berpengaruh
kuat. Ucapan itu mengingatkan Jayeng Praja pada masa mudanya. Dulu, lebih dua
puluh tahun lalu, dia seperti juga Ki Ageng Sora dan Loka Arya adalah pendekar-
pendekar pembela kebenaran. Setiap ada tindak ketidakadilan mereka pasti turun
tangan. Dan mereka selalu berhasil menumpasnya. Tak terhitung sudah tokoh-tokoh
golongan hitam yang tewas. Sehingga nama mereka bertiga menjulang di dunia
persilatan. Semula ketiga tokoh pembela kebenaran itu tidak saling mengenal.
Mereka baru berkenalan dan saling bahu-membahu ketika menghadapi kelompok
perampok yang berjuluk Gerombolan Kuda Iblis. Karena setiap kali melakukan
keonaran selalu berkuda, dan kuda yang mereka gunakan berwarna putih. Kalau saja
tidak bekerja sama, mungkin mereka telah tewas! Gerombolan Kuda Iblis sangat
tangguh dan licik. Melalui kerja sama yang rapi, ketiganya berhasil menumpas
Gerombolan Kuda Iblis.
Itulah perkenalan mereka yang pertama dan yang terakhir. Sejak saat itu mereka
berpisah dan menempuh jalan semula. Berjuang sendiri-sendiri. Namun sebelum
berpisah mereka sempat berikrar untuk saling membantu bila ada di antara mereka
bertiga yang mendapat kesulitan.
"Hhh...!"
Jayeng Praja menghela napas berat teringat akan kejadian itu.
Kemudian pandangannya dialihkan pada Ki Ageng Sora dan Loka Arya yang masih
menunggunya mengutarakan masalahnya.
"Kalian memang kawan-kawan yang baik, ujar Jayeng Praja
mengawali pembicaraan "Semula aku tidak ingin memberitahu siapa pun karena ini
tanggung jawabku."
"Lupakanlah pendirianmu yang keliru itu, Jayeng. Ketahuilah, masalahmu adalah
masalah kami juga! Bukankah demikian, Sora"!"
Pendekar Tinju Maut segera memotong.
Ki Ageng Sora menganggukkan kepala, "Benar, Jayeng, Loka Arya tidak salah.
Masalahmu adalah masalah kami. Tentu saja sepanjang masalah itu tidak menyangkut
urusan dalam perguruan! Namun, meskipun demikian ada baiknya kau menceritakan
pada kami. Jika menurut kami urusan itu terlampau pribadi, dengan senang hati
kami akan membiarkanmu menyelesaikan sendiri."
Pendekar Tinju Maut mengangguk-angguk. Ucapan Ki Ageng Sora
benar. Pandangan Ketua Perguruan Banteng Putih itu demikian bijaksana.
Dalam hati Loka Arya kagum atas sikap Ki Ageng Sora.
Bukan hanya Pendekar Tinju Maut yang mengakui kebenaran
pendapat Ki Ageng Sora. Jayeng Praja pun demikian. Untuk itu, tidak ada alasan
lagi baginya menyembunyikan masalah yang merisaukan hatinya.
"Kalau benar demikian, kalian dengarlah baik-baik," ujar Jayeng Praja. "Seperti
yang dikatakan Loka Arya tadi, aku memang mempunyai sebuah perguruan yang kuberi
nama Perguruan Harimau Terbang. Cukup banyak murid yang kumiliki. Hingga
akhirnya aku mempunyai pemikiran menggunakan kepandaian mereka untuk mencari
uang. " Jayeng Praja menghentikan ucapannya untuk mengambil napas.
"Sejak saat itu, Perguruan Harimau Terbang menyediakan jasa pengawalan.
Baik untuk pengiriman barang-barang berharga maupun orang yang melakukan
perjalanan."
Lagi-lagi Jayeng Praja menghentikan ceritanya. Kali ini digunakan untuk melihat
tanggapan kedua rekannya. Tapi Ki Ageng Sora maupun Pendekar Tinju Maut tidak
mengucapkan sepatah kata pun. Dengan sabar mereka menunggu Ketua Perguruan
Harimau Terbang itu melanjutkan ceritanya.
Sebenarnya baik Ki Ageng Sora maupun Loka Arya sudah dapat
menerka kelanjutan cerita Jayeng Praja. Tapi, mereka tidak mau memotong.
Seperti telah sepakat sebelumnya, keduanya memutuskan untuk mendengarkan hingga Jayeng Praja menyelesaikan kisahnya. Dan Jayeng Praja memang
melanjutkan ceritanya ketika melihat tidak ada tanggapan dari kedua rekannya.
"Beberapa hari yang lalu, seorang saudagar kaya datang dan meminta putrinya
diantarkan ke Kadipaten Kulon. Putri saudagar itu ingin menjenguk kakek dan
neneknya. Karena khawatir akan keselamatan putrinya, mengingat perjalanan yang
sangat jauh, dia tidak mempercayakan pengawalan itu pada tukang-tukang
pukulnya."
Kembali Jayeng Praja menghentikan cerita. Kini lebih lama dari sebelumnya.
Tarikan wajah dan sinar matanya menyiratkan perasaan terpukul yang sangat.
Ki Ageng Sora dan Pendekar Tinju Maut tidak mau mengusiknya.
Mereka membiarkan. Keduanya tahu tidak ada gunanya menghibur Jayeng Praja. Kakek
tinggi besar itu tidak membutuhkan hiburan.
"Semula saudagar itu meminta aku sendiri yan mengawal putrinya.
Tapi, kuyakinkan bahwa murid-muridku dapat diandalkan," lanjut Jayeng Praja
dengan lirih. "Hhh...! Sedikit pun tidak kusangka kekhawatiran saudagar itu
tenyata beralasan. Dua hari yang lalu burung merpati putih dengan kain merah di
kaki kanannya tiba di perguruanku! Padahal burung merpati dengan kain kuning
baru saja tiba. Itu berarti bahaya besar tengah menimpa rombongan yang mengawal
putri saudagar itu!"
"Tunggu dulu, Jayeng," potong Pendekar Tinju Maut cepat.
"Burung merpati dengan kain merah di kaki kanannya"! Aku tak mengerti
maksudmu"!"
Jayeng Praja menatap wajah Loka Arya sejenak. Kemudian beralih pada Ki Ageng
Sora. Ketua Perguruan Banteng Putih itu menganggukkan kepala. Ki Ageng Sora juga
tidak mengerti maksud Jayeng Praja.
"Begini Sora, Loka. Aku mempunyai cara untuk mengetahui
keadaan murid-muridku yang sedang mengadakan pengawalan. Caranya dengan
menggunakan burung merpati yang telah kami latih untuk kembali ke perguruan
meski dilepas dari tempat mana pun."
Jayeng Praja menjelaskan. Sementara Ki Ageng Sora dan Pendekar Tinju Maut
mendengarkan dengan penuh perhatian.
Rombongan Perguruan Harimau Terbang yang sedang bertugas
kuberi tiga buah pita. Masing-masing berwarna hijau, kuning, dan merah.
Pita itu untuk diikatkan pada kaki burung merpati. Pita hijau berarti mereka
telah sampai di tujuan dengan selamat. Pita kuning berarti rombongan tengah
dihadang bahaya. Sedangkan pita merah menunjukkan rombongan mengalami kesulitan
menghadapi bahaya yang mengancam. Dengan kata lain, lawan yang dihadapi jauh
lebih kuat. Dan di antara mereka ada yang gugur!"
Ki Ageng Sora dan Pendekar Tinju Maut tampak mengangguk-
angguk. Rupanya mereka telah memahami maksud ucapan Jayeng Praja.
"Padahal sesaat setelah kedatangan burung dengan pita kuning, serombongan
anggota Perguruan Harimau Terbang yang memang telah disiapkan untuk berjaga-jaga
sudah akan berangkat. Saat itulah burung berpita merah datang," lanjut Jayeng
Praja. "Jadi..., rombongan cadangan itu tidak jadi diberangkatkan, Jayeng"!" potong
Pendekar Tinju Maut.
"Tentu saja jadi, Loka!" jawab Jayeng Praja cepat. "Dengan kuda-kuda pilihan
yang tangguh memiliki kecepatan lari mengangumkan rombongan itu berangkat."
"Dan hasilnya... bagaimana, Jayeng"!" tan Loka Arya tak sabar.
"Menyedihkan," jawab Jayeng Praja dengan suara tersekat di tenggorokan. Agaknya
kakek berwajah mirip harimau itu masih terpengaruh dengan kejadian itu. "Mereka
semua binasa dalam keadaan menyedihkan.
Sedangkan putri saudagar itu lenyap! Entah bagaimana aku harus
mempertanggungjawabkan semua ini..!"
"Berdoalah semoga putri saudagar itu tidak mengalami kejadian apa pun," ucap Ki
Ageng Sora ketika Jayeng Praja telah menyelesaikan ceritanya.
"Yahhh.... Hanya itu yang dapat kulakukan," sahut Ketua Perguruan Harimau
Terbang itu dengan mendesah. "Telah kuperintahkan sebagian besar murid-murid
perguruanku untuk mencari putri saudagar itu.
Tapi hasilnya nol besar! Kami tidak mendapatkan jejaknya sama sekali!"
"Apakah saudagar itu sudah tahu kejadian yang menimpa
putrinya?" tanya Ki Ageng Sora ingin tahu.
8 Jayeng Praja menggelengkan kepala.
"Belum. Kami belum memberitahukannya. Sulit kubayangkan
bagaimana tanggapannya. Hhh...! Entah apa yang harus kulakukan. Kalau harta,
mungkin dapat kami usahakan penggantiannya. Tapi ini nyawa manusia. Bagaimana
pertanggungjawabannya?"
Terdengar jelas kegetiran dalam suara Ketua Perguruan Harimau Terbang itu.
Tarikan wajah dan sorot matanya memancarkan keputusasaan yang dalam. Sementara
Ki Ageng Sora dan Pendekar Tinju Maut saling berpandangan. Mereka sadar tidak
ada yang dapat dilakukan untuk menolong Jayeng Praja.
"Apa kau tahu pelakunya, Jayeng"!" tanya Pendekar Tinju Maut tidak berusaha
menyembunyikan perasaan geramnya.
Dewa Arak 52 Manusia Kelelawar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Jayeng Praja menggeleng.
"Atau... barangkali kau punya dugaan siapa pelakunya?" kejar Pendekar Tinju
Maut. Lagi-lagi Jayeng Praja menggeleng tidak tahu, "Siapa adanya pelaku pembunuhan
itu masih gelap bagiku, Loka," jelas Jayeng Praja.
"Orang itu tidak meninggalkan jejak sama sekali."
"Hm...!"
Pendekar Tinju Maut menggumam. Tangan kanannya mengelus-
elus dagu. Sepasang alisnya berkerut. Tampaknya dia sedang berpikir keras.
"Mungkinkah itu perbuatan orang-orang yang sakit hati dengan tindakan kita
dulu"!" duga Ki Ageng Sora tiba-tiba. "Ingat, Jayeng. Kita telah banyak menanam
permusuhan di waktu lalu!"
"Itu bisa saja terjadi," sambut Pendekar Tinju Maut mendukung.
"Hhh...!"
Jayeng Praja menghela napas berat. Mungkin saja dugaan rekan-
rekannya itu benar. Tapi, dia tidak memberikan tanggapan. Sedangkan Ki Ageng
Sora dan Pendekar Tinju Maut tidak berbicara lagi. Suasana hening pun melingkupi
mereka. Lain halnya yang terjadi pada kelompok Ki Rawung dengan
kepala-kepala desa lain yang menjadi rekannya. Antara Ki Ageng Sora dan Ki
Rawung memang telah sepakat untuk duduk di tempat yang agak terpisah. Masing-
masing ingin berkumpul dengan kawan lama.
Di kelompok Ki Rawung sesekali terdengar tawa yang cukup
memekakkan telinga. Rupanya mereka terlibat percakapan yang menggembirakan. Demikian pula di tempat para tamu lainnya. Suara tawa sesekali
meningkahi percakapan mereka. Mendadak....
"Ha ha ha...!"
Terdengar rawa keras menggelegar mengalahkan semua tawa yang
ada. Suara tawa itu mampu membuat isi dada orang yang mendengarnya tergetar
hebat. Seketika itu pula, semua pasang mata tertuju ke arah asal tawa.
Tidak terkecuali Ki Ageng Sora, Pendekar Tinju Maut, dan Jayeng Praja.
Sorot mata ketiga tokoh tua itu memancarkan rasa terkejut.
Tentu saja semua itu ada alasannya. Mereka merasakan dadanya
agak terguncang oleh tawa itu. Ketiga lelaki itu pun sadar pemilik tawa itu
memiliki tenaga dalam sangat kuat. Itu berarti seorang yang berkepandaian
tinggi. Kalau tidak bermaksud baik tentu merupakan lawan yang sangat tangguh.
Pemilik tawa itu ternyata berada di depan perguruan. Entah
bagaimana caranya dia masuk. Tahu-tahu sudah berada di dalam tanpa sepengetahuan
murid-murid Ki Ageng Sora yang bertugas menjaga pintu gerbang. Padahal, saat itu
suasana sudah sepi. Tidak ada tamu yang datang lagi. Tapi mengapa pemilik tawa
itu bisa berada di dalam" Kenyataan itu mengejutkan penjaga-penjaga pintu
gerbang. Dengan agak tergesa dua di antara mereka bergerak menghampiri pemilik
tawa. "Hey! Berhenti! Mengapa menimbulkan keributan di sini"! Cepat keluar sebelum
kupatahkan kakimu!" ancam seorang murid Perguruan Banteng Putih yang bermulut
lebar. Pemilik tawa itu, yang mengenakan pakaian putih, menghentikan tawanya. Wajahnya
tetap di tundukkan seperti tadi. Dengan wajah menundu dia berbalik menghadapi
dua orang murid Perguruan Banteng Putih yang menghampirinya.
"Benarkah kalian mampu melakukannya"
Kalau begitu, lakukanlah," sahut sosok berpakaian putih tenang.
*** Sementara itu Ki Ageng Sora mengernyitkan dahi. Lelaki tinggi
kurus itu sedang berpikir. Sepasang matanya menatap penuh selidik ke arah sosok
berpakaian putih. Kelakuan Ketua Perguruan Banteng Putih rupanya diperhatikan
rekan-rekannya Jayeng Praja dan Pendekar Tinju Maut menjadi heran.
"Mengapa, Sora"! Apa kau mengenalnya?" tanya Jayeng Praja ingin tahu.
"Entahlah, Jayeng," jawab Ki Ageng Sora tidak yakin. "Rasanya aku pernah
mendengar suaranya. Bukan hanya mendengar, tapi kenal betul.
Tapi aku lupa, kapan dan di mana"
Jayeng Praja dan Pendekar Tinju Maut bertukar pandang
mendengar jawaban lelaki tinggi kurus itu.
"Ingat-ingatlah,
Sora. Coba perhatikan baik-baik,"
beritahu Pendekar Tinju Maut, "Aku yakin kau benar. Kau dan dia saling mengenal.
Kau lihat sendiri kan. Orang itu seperti menyembunyikan wajahnya agar tidak
terlihat."
"Yang dikatakan Loka Arya memang tidak salah, Sora," dukung Jayeng Praja, "Aku
juga yakin kau dan dia saling kenal"
Ucapan rekan-rekannya memaksa Ki Ageng Sora untuk terus
memperhatikan sosok berpakaian putih. Ingin diketahuinya bagaimana tindakan
sosok itu dengan ancaman dua orang muridnya. Syukur jika di antara mereka
terjadi pertarungan. Barangkali dari gerakannya bisa diketahui siapa sebenarnya
sosok berpakaian putih itu.
Sementara murid Perguruan Banteng Putih yang berbibir tebal
sudah tidak kuat lagi menahan sabar. Tanpa menunggu lebih lama serangannya yang
berupa pukulan bertubi-tubi dilancarkan ke arah dada sosok berpakaian putih!
"Hmh!"
Sosok berpakaian putih mendengus melihat serangan itu. Sikapnya jelas memandang
rendah serangan lawan. Sosok itu tidak melakukan tindakan apa pun. Tidak
mengelak maupun menangkis! Kesudahannya sudah dapat diduga.
Bukkk, bukkk, bukkk!
Berturut-turut pukulan lelaki berbibir tebal mendarat di sasaran yang dituju.
Namun hasilnya membuat semua mata yang menyaksikan terbelalak. Bukan sosok
berpakaian putih yang berteriak-teriak kesakitan, tapi lelaki berbibir tebal.
Murid Perguruan Banteng Putih itu merasakan betapa kedua
tangannya bukan memukul tubuh manusia. Tapi gumpalan baja keras yang membuat
kedua tangannya sakit.
Dan sebelum lelaki berbibir tebal itu sempat berbuat sesuatu, tangan kanan sosok
berpakaian putih berkelebat. Cepat bukan main.
Sehingga yang terlihat hanya sekelebatan bayangan putih. Bahkan arah yang dituju
sukar diketahui. Dan....
Prokkk! "Akh...!"
Lelaki berbibir tebal hanya sempat mengeluarkan jeritan singkat ketika tangan
sosok berpakaian putih menghantam pelipisnya hingga hancur. Saat itu juga
nyawanya melayang meninggalkan raga.
Tentu saja kejadian yang sangat mengejutkan itu membuat semua orang yang berada
di situ terperanjat. Tak terkecuali Ki Ageng Sora, Pendekar Tinju Maut, dan
Jayeng Praja. Hanya sosok berpakaian putih yang bersikap tidak peduli. Tanpa memperhatikan
teman murid Perguruan Banteng Putih yang dibinasakannya, tubuhnya dibalikkan. Dan kakinya melangkah menuju tempat
sepasang mempelai berada.
Saat sosok berpakaian putih berbalik itulah Ki Ageng Sora melihat wajahnya.
Memang hanya sekilas. Tapi itu sudah cukup baginya. Wajah sosok berpakaian putih
itu sangat dikenalnya. Orang itu adalah...
"Sangkala...!" desis Ki Ageng Sora kaget.
Tak disangka secepat itu murid murtadnya kembali, dengan
membawa kepandaian menakjubkan!
"Jadi..., dia muridmu yang murtad itu, Sora."!" Hampir bersamaan pertanyaan
diajukan Pendekar Tinju Maut dan Jayeng Praja. Ki Ageng Sora memang telah
menceritakan perihal Sangkala.
Begitu mengetahui sosok berpakaian putih itu Sangkala, Ki Ageng Sora segera
mengetahui maksud kedatangannya. Apalagi kalau bukan untuk membalas dendam" Dan
dari tindakannya tadi, Ki Ageng Sora tahu tingkat kepandaian Sangkala telah
meningkat berlipat kali hanya dalam waktu singkat. Entah bagaimana cara Sangkala
mempelajarinya. Ki Ageng Sora tidak mampu menduga.
*** Melihat Sangkala menghampiri Ranjita dan Trijati, Ki Ageng Sora
khawatir bukan main. Ada bahaya besar tengah mengancam keselamatan anak dan
menantunya. Maka tanpa pikir panjang lagi, ia itu melompat dari tempat duduknya.
Lelaki tinggi kurus itu bersalto beberapa kali sebelum meluruk turun sambil
melancarkan serangan berupa cengkeraman ke kepala Sangkala. Gerakannya seperti
burung garuda menyambar mangsa.
Melihat serangan itu, Sangkala terpaksa mengurungkan maksudnya mendekati Trijati dan Ranjita. Jika dia bersikeras meneruskan
maksudnya, sebelum tercapai, cengkeraman Ki Ageng Sora akan lebih dulu tiba.
Sangkala tidak menginginkan hal itu terjadi. Pemuda itu tahu betapa dahsyatnya
serangan itu. Cengkeraman Ki Ageng Sora mampu menghancurkan batu karang yang
paling keras. Bisa dibayangkan bila mengenai kepala manusia!
Tapi meskipun demikian, Sangkala tidak gentar. Tanpa ragu-ragu dipapakinya
serangan itu dengan sampokan kedua tangannya.
Prattt, prattt!
"Aikh...!"
Jeritan kaget bercampur kesakitan keluar dari mulut Ki Ageng
Sora, ketika tangannya berbenturan dengan tangan Sangkala. Jari-jari tangannya
terasa sakit. Bahkan untuk beberapa saat seperti lumpuh. Yang lebih gila tubuh
Ki Ageng Sora terpental jauh ke belakang! Padahal Sangkala sedikit pun tidak
bergeming. Itu menunjukkan tenaga dalam murid murtad Perguruan Banteng Putih itu
berada jauh di atas gurunya.
Tentu saja kejadian itu tidak hanya mengejutkan Ki Ageng Sora.
Tapi juga semua yang hadir dan mengenal Sangkala. Tidak salahkah penglihatan
mereka" Benarkah Ki Ageng Sora terjengkang karena berbenturan dengan Sangkala,
bekas muridnya" Benarkah hanya dalam beberapa bulan pemuda berwajah bopeng itu
telah menjadi orang yang demikian hebat" Bagaimana mungkin itu bisa terjadi"
Pertanyaan-pertanyaan itu membebani benak mereka. Tidak
terkecuali Jayeng Praja dan Pendekar Tinju Maut. Justru mereka berdua yang
mengalami keterkejutan paling besar. Mereka adalah ahli-ahli silat yang
berpengalaman luas. Karenanya mereka tahu tidak mungkin Sangkala dapat melampaui
Ki Ageng Sora, meskipun mendapat guru yang sangat pandai.
Lagi pula, mana mungkin dalam waktu yang sangat singkat
mampu memiliki tenaga dalam melebihi Ketua Perguruan Banteng Putih. Ki Ageng
Sora bukan tokoh sembarangan. Dia merupakan tokoh tingkat tinggi golongan putih!
Walaupun tidak termasuk datuk, tapi tidak mudah menemukan tokoh yang
berkepandaian setingkat dengannya. Namun kenyataannya dalam benturan tenaga
Sangkala lebih unggul! Adakah yang salah" Atau... jangan-jangan Ki Ageng Sora
tidak mengerahkan seluruh tenaganya!
Mereka tidak tahu Ki Ageng Sora sudah mengerahkan seluruh
tenaga dalamnya. Kini Ketua Perguruan Banteng Putih itu tidak gegabah lagi
melancarkan serangan. Dia sadar Sangkala telah memiliki kepandaian tinggi. Entah
dengan cara bagaimana!
Sementara itu, begitu melihat tubuh Ki Ageng Sora terlempar,
murid-murid Perguruan Banteng Putih yang berdatangan karena mendengar bunyi
ribut-ribut langsung bergerak melancarkan serangan. Tapi...
"Tahan...!
Kalian jangan turun tangan! Biar aku yang mengurusnya. Dia bukan Sangkala yang kalian kenal! Dengan mudah akan dibantainya
kalian semua!" cegah Ki Ageng Sora buru-buru.
Murid-murid Perguruan Banteng Putih pun mengurungkan maksudnya. Bukan takut pada Sangkala karena belum merasakan
kelihaiannya. Tapi karena patuh pada guru mereka.
"Ha ha ha...!"
Sangkala tergelak. Pemuda itu tidak gentar meskipun tahu tidak ada jalan keluar
meninggalkan tempat itu. Bahkan pemuda berwajah bopeng itu memandang rendah
lawan-lawannya.
Melihat hal itu, Ki Ageng Sora tidak sanggup lagi menahan sabar.
"Murid laknat! Bila tidak dapat membunuhmu, lebih baik aku mati bunuh diri!
Hih!" Baru saja ucapannya lenyap, Ki Ageng Sora segera melancarkan
serangan. Ketua Perguruan Banteng Putih itu membuka serangan dengan tendangan
kaki kanan lurus ke arah pusar.
Wuttt! Hanya dengan mendoyongkan tubuh ke kiri dan tanpa memindahkan kaki, Sangkala berhasil menggagalkan serangan gurunya.
Kaki Ki Ageng Sora meluncur beberapa jari di sebelah kanan Sangkala.
Tapi, serangan Ki Ageng Sora tidak berhenti sampai di situ.
Kegagalan serangan pertamanya sudah diperhitungkan. Maka begitu Sangkala
berhasil mengelak, segera disusuli dengan serangan berikutnya.
Sadar akan kelihaian bekas muridnya, Ki Ageng Sora tidak ragu-ragu lagi
mengerahkan seluruh kemampuannya. Hebat bukan main serangan-serangan lelaki
tinggi kurus itu. Bunyi menderu, dan mendecit mengiringi bergeraknya tangan
serta kakinya. Susul-menyusul hampir tiada henti seperti gelombang laut.
Meskipun demikian Sangkala mampu meredam semua serangan
lawan. Lincah bagai kera dan gesit laksana bayangan, Sangkala
mengelakkan semua serangan. Itu dilakukannya seperti tanpa mengalami kesulitan
sedikit pun. "Mengingat kau pernah menjadi guruku, kuberi kesempatan
padamu untuk menyerangku sebanyak sepuluh jurus. Pergunakanlah sebaik-baiknya,
Ki Ageng Sora," ujar Sangkala di sela-sela kesibukannya mengelakkan serangan.
"Tutup mulutmu. Manusia Jahanam!" maki Ki Ageng Sora sangat geram.
Dewa Arak 52 Manusia Kelelawar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Akibatnya, serangan-serangan
yang dilancarkannya semakin dahsyat. Itu terjadi karena kemarahannya. Ucapan Sangkala menunjukkan pemuda itu
memandang rendah dirinya. Ki Ageng Sora tersinggung dan marah besar!
Namun meskipun Ki Ageng Sora menguras seluruh kemampuannya, tetap saja semua serangannya berhasil dielakkan Sangkala.
Sikap sombong pemuda berwajah bopeng itu memang beralasan. Pemuda itu sempat
berbicara di saat serangan Ki Ageng Sora datang bertubi-tubi, membuktikan
serangan-serangan itu tidak merepotkannya.
Jurus demi jurus berlalu. Tak terasa sudah sepuluh jurus Ki Ageng Sora
melancarkan serangan. Dan selama itu tak satu pun yang mengenai sasaran.
"Sekarang giliranku...!" ujar Sangkala memperingatkan. "Bersiap-siaplah, Ki
Ageng Sora! Ketahuilah, aku tidak ragu untuk membunuhmu!"
"Tutup mulutmu, Jahanam!"
Makian penuh kegeraman menyambut ucapan Sangkala. Ditambah
dengan sebuah tendangan kaki kanan ke arah leher!
"Hmh!"
Sangkala mendengus melihat serangan itu. Tidak terlihat tanda-tanda dia akan
mengelak. Sangkala telah siap melaksanakan maksudnya. Itu terjadi kemudian.
Begitu kaki Ki Ageng Sora menyambar dekat, dengan kecepatan yang sukar diikuti
mata Sangkala menggerakkan tangan kanannya. Dan...
Tappp! "Hehhh"!"
Ki Ageng Sora memekik kaget melihat pergelangan kakinya
dicekal lawan. Tahu ada bahaya besar mengancam kakinya buru-buru ditarik agar
lepas dari cekalan.
Kembali Ki Ageng Sora dilanda kaget. Jangankan menarik,
membuat bergeming pun tidak mampu. Kakinya seperti terjepit catut baja!
"Ha ha ha...!"
Sangkala tertawa bergelak melihat wajah Ki Ageng Sora yang
merah padam karena mengerahkan seluruh tenaganya. Masih dengan tawa yang belum
putus, Sangkala menggerakkan jari-jari tangannya meremas.
Krrrkkk! "Aaakh...!"
Ki Ageng Sora tidak mampu menahan jerit kesakitan ketika tulang kakinya hancur
di remas Sangkala.
Tindakan Sangkala tidak berhenti sampai di situ. Tangannya
disentakkan. Tak pelak lagi tubuh Ki Ageng Sora terhuyung ke arahnya.
Padahal, Ki Ageng Sora telah berusaha menahan. Tapi lelaki tinggi kurus itu
tidak mampu. Di saat tubuh Ki Ageng Sora melayang, tangan kanan Sangkala
bergerak menghentak ke depan!
Wuttt! Prakkk! "Akh...!"
Hanya jeritan pendek yang dapat dikeluarkan Ki Ageng Sora.
Tubuhnya ambruk ke tanah dengan tulang pelipis hancur! Tragis sekali kematian
Ketua Perguruan Banteng Putih itu!
Rentetan kejadian itu berlangsung demikian cepat. Tidak seorang pun sempat
berbuat sesuatu. Mereka baru sadar ketika tubuh Ki Ageng Sora telah ambruk ke
tanah. "Biadab!"
Hampir bersamaan bentakan keras itu dikeluarkan Jayeng Praja
dan Pendekar Tinju Maut. Seiring dengan teriakan itu keduanya melesat dari
tempat duduk. Cepat gerakan kedua kawan Ki Ageng Sora itu, tapi masih lebih cepat tindakan
murid-murid Perguruan Banteng Putih! Diawali teriakan-teriakan kemarahan mereka
menyerang Sangkala. Tempat yang lebih dekat dengan Sangkala memungkinkan
serangan mereka tiba lebih dulu dari Jayeng Praja dan Pendekar Tinju Maut.
Karena murid-murid Perguruan Banteng Putih menggunakan
senjata dan menyerang serempak, tak pelak lagi hujan senjata meluruk ke berbagai
bagian tubuh Sangkala. Tapi dengan kecepatan gerak luar biasa, Sangkala
menyelinap di antara sambaran senjata lawan Serangan murid-murid Perguruan
Banteng Putih mengenai tempat kosong! Dan dengan lihai Sangkala melesat keluar
dari kepungan. Pemuda yang diamuk dendam itu melangkah tenang menghampiri
Ranjifa dan Trijati. Karuan saja Ranjita kelabakan bukan main. Bahaya maut
sedang mengancamnya. Sementara Trijati sudah tak sadarkan diri di bangku
pengantinnya. Rupanya guncangan batin melihat kematian ayahnya di depan mata
terlalu berat untuknya
Tapi sebelum Sangkala berhasil melaksanakan maksudnya pada
Ranjita yang telah bersiap-siap mengadakan perlawanan mendadak....
Jliggg! Jayeng Praja dan Pendekar Tinju Maut telah berada di depannya.
"Manusia Iblis! Orang seperti kau tidak pantas dibiarkan hidup!"
geram Jayeng Praja.
Sangkala tersenyum mengejek. Diperhatikannya Jayeng Praja dan Pendekar Tinju
Maut sesaat. "Pakaian dan gambar macanmu mengingatkan aku pada orang-
orang yang menjadi korban pertamaku. Apa kau mempunyai hubungan dengan mereka"!"
"Ahhh...!" Jayeng Praja berseru kaget. Sungguh tidak disangka akan bertemu
penjagal murid-muridnya.
"Jadi..., kau yang telah melakukan tindakan keji itu"! Kau telah membunuh murid-
muridku. Manusia Biadab! Sekarang katakan di mana gadis yang mereka kawal"!"
"Ooo.... Jadi mereka murid-muridmu" Lalu siapa gadis yang ada di dalam kereta"
Anakmukah"!" ejek Sangkala tenang. "Sayang dia tidak cukup kuat melayaniku
sampai puas. Maka...."
"Jahanam! Mampus kau!"
Krrrkkk! "Aaakh...!" Jerit Ki Ageng Sora tidak mampu menahan sakit ketika tulang
kakinya hancur diremas Sangkala. Lalu, Sangkala masih menyentakkan tangannya ke depan...
Wuttt! Prakkk! "Akh!" tubuh Ki Ageng Sora ambruk ke tanah!
Tanpa menunggu Sangkala menyelesaikan ucapannya, Jayeng
Praja melancarkan serangan dengan geram. Tidak mendengar secara lengkap pun
sudah dapat diduga nasib putri saudagar itu.
Mati! Melihat Jayeng Praja telah menyerang, Pendekar Tinju Maut tidak tinggal diam.
Dia pun melakukan hal yang sama. Sebab Jayeng Praja tidak akan mampu menghadapi
Sangkala sendiri. Tingkat kepandaian Ketua Perguruan Harimau Terbang itu
setingkat dengan Ki Ageng Sora.
Tapi rupanya Sangkala tidak berminat untuk bertarung. Pemuda itu tidak menyambut
serangan lawan-lawannya. Kakinya digenjot sehingga tubuhnya melayang ke atas
melewati kepala kedua penyerangnya. Begitu kakinya mendarat di tanah, Sangkala
melesat ke arah Trijati. Jelas, pemuda itu mengincar putri Ki Ageng Sora.
Ranjita pun tidak bisa tinggal diam. Pemuda itu tidak ingin istrinya mengalami
nasib serupa dengan Wulan dan Widuri. Maka dengan berani dihadangnya Sangkala.
Disambutnya kedatangan pemuda berwatak bejat itu dengan tusukan goloknya.
Namun hadangan itu tidak membuat Sangkala mengurungkan
maksudnya. Ditangkapnya golok Ranjita. Hanya dengan sekali sentak tubuh Ranjita
dilemparkan. Lalu dengan secepat kilat meluncur ke arah Trijati.
Dan.... Tappp! Begitu tubuh putri Ki Ageng Sora berhasil ditangkap, Sangkala melesat
meninggalkan tempat itu. Tentu saja Jayeng Praja, Pendekar Tinju Maut, murid-
murid Perguruan Banteng Putih, dan yang lainnya tidak membiarkan hal itu
terjadi. Mereka segera menghadang.
Tapi kejadian sebelumnya terulang kembali. Dengan mudah
Sangkala berhasil meloloskan diri. Lalu, dengan beberapa kali lesatan, pemuda
berwatak bejat itu telah berada di luar bangunan Perguruan Banteng Putih.
Meskipun demikian, Sangkala tidak mengendurkan larinya.
Pemuda itu terus melesat dengan kecepatan tinggi. Sehingga dalam waktu singkat
bangunan Perguruan Banteng Putih telah jauh ditinggalkan. Baru setelah itu
Sangkala mengendurkan larinya. Mendadak....
"Berhenti...!"
Terdengar bentakan keras. Menggelegar laksana sambaran halilintar. Bentakan itu dikeluarkan dengan pengerahan tenaga dalam tinggi.
Tapi bukan Sangkala kalau menjadi gentar. Dengan berani pemuda itu menghentikan
langkah. Lalu berbalik untuk melihat orang yang telah mengeluarkan bentakan itu.
Empat tombak di depan Sangkala berdiri dua orang muda-mudi.
Yang gadis mengenakan pakaian putih dan berambut panjang. Sedangkan orang yang
berdiri di sebelahnya seorang pemuda berambut putih keperakan. Pakaian ungu
membungkus tubuhnya yang kekar. Siapa lagi kalau bukan Dewa Arak dan Melati.
"Cepat serahkan wanita itu, Manusia Biadab!" tegas Dewa Arak lantang.
"Lagi-lagi kalian," sahut Sangkala tersenyum mengejek, "Kuberi kesempatan pada
kalian pergi dari sini sebelum aku merubah keputusan!
Cepat! Atau kalian ingin mengalami nasib yang sama dengan rombongan yang kalian
temukan di hutan beberapa hari lalu"!"
Dewa Arak dan Melati langsung bertukar pandang mendengar
ucapan itu. Mereka sungguh tidak menyangka orang yang menculik mempelai
perempuan ternyata orang yang melakukan tindak kekejian terhadap gadis yang
telah mereka kuburkan!
Dewa Arak dan Melati telah mengetahui Sangkala menculik
mempelai wanita. Di perjalanan mereka bertemu dengan rombongan Jayeng Praja yang
melakukan pengejaran.
"Jadi..., kau penjahat terkutuk itu"!" desis Melati geram. "Kalau begitu,
mampuslah!"
Wuttt! Bunyi deru angin keras terdengar ketika Melati melancarkan
serangan. Tangan kanannya yang terkembang membentuk cakar diluncurkan ke arah ulu hati Sangkala. Dalam cekaman kemarahan yang menggelegak,
Melati mengeluarkan ilmu 'Cakar Naga Merah' andalannya.
"Ah!"
Sangkala berseru kaget melihat tangan Melati, sebatas pergelangan, merah seperti darah. Sekali lihat saja dia tahu kepandaian gadis
berpakaian putih itu lebih tinggi dari Ki Ageng Sora. Maka Sangkala tidak berani
bertindak main-main.
"Hih!"
Sambil menggertakkan gigi, dipapakinya serangan Melati dengan pengerahan seluruh
tenaga dalamnya. Dan...
Prattt! Terdengar bunyi keras ketika dua tangan yang mengandung tenaga dalam tinggi
berbenturan. Tubuh Melati terjengkang ke belakang.
Sedangkan Sangkala terhuyung mundur selangkah. Ini menunjukkan tenaga dalam
bekas murid Ki Ageng Sora itu lebih tinggi dari lawan.
Jliggg! Begitu berhasil mendaratkan kaki di tanah, Melati segera bersiap melancarkan
serangan berikutnya. Tapi, maksudnya terpaksa diurungkan ketika Dewa Arak
menyentuh lengannya.
"Biar aku yang menghadapinya, Melati. Dia terlalu kuat untukmu,"
ujar Dewa Arak lembut. Lalu tanpa menunggu tanggapan Melati, Dewa Arak melangkah
maju. Guci araknya yang tergantung di punggung segera diambil dan dituangkan ke
mulutnya. Gluk.... Gluk... Gluk...!
Terdengar bunyi tegukan ketika arak itu melewati tenggorokan
Dewa Arak. Sesaat kemudian kedudukan kaki pemuda berambut putih keperakan itu
tidak jejak lagi. Oleng ke kanan dan kiri. Ilmu 'Belalang Sakti'nya telah siap
dipergunakan! Sementara itu Sangkala sadar lawannya kali ini jauh lebih pandai dari gadis
berpakaian putih. Disadari pula Dewa Arak telah menggunakan ilmu andalan. Maka,
tubuh Trijati dilemparkan ke tanah. Lalu pemuda berwajah berbopeng itu
mempersiapkan jurus 'Kelelawar'!
Diam-diam Sangkala menyesal telah memberitahukan dirinya
pelaku tindak kekejian terhadap gadis berpakaian hijau. Itu membuatnya terlibat
dalam keributan dengan tokoh-tokoh tingkat tinggi di saat dirinya tidak ingin
bertarung. Tapi, nasi telah jadi bubur. Tidak ada jalan lain kecuali bertarung.
Dan itulah yang dilakukan Sangkala sekarang.
"Cit, cit, cit!"
Diiringi bunyi berdecit nyaring dan gerakan tangannya, Sangkala melompat
menerjang Dewa Arak. Ketika berada di udara, tangan kanannya disampokkan ke
pelipis lawan. Wuttt! Hanya dengan merendahkan tubuh ke kanan. Dewa Arak berhasil
membuat serangan itu mengenai tempat kosong. Sampokan Sangkala lewat beberapa
jengkal di atas kepala. Dan karena kuatnya tenaga yang terkandung dalam serangan
itu, rambut dan pakaian Arya berkibaran keras.
Kegagalan serangan pertamanya membuat Sangkala penasaran.
Maka serangan-serangan susulannya pun semakin dahsyat. Tapi, Dewa Arak sanggup
memunahkan. Bahkan serangan balasan yang dikirimkan pemuda berambut putih
keperakan itu tidak kalah dahsyat. Pertarungan sengit dan menarik antara dua
tokoh muda yang berkepandaian tinggi itu pun tidak bisa dielakkan lagi.
Hebat bukan main pertarungan yang terjadi. Bunyi mendecit,
menderu, dan mengaung menyemaraki jalannya pertarungan. Ditambah dengan bunyi
tegukan ketika Dewa Arak menenggak araknya di sela-sela berlangsungnya
pertempuran. Jurus demi jurus berlangsung cepat Kedua belah pihak memiliki kecepatan gerak
yang mengagumkan Dewa Arak dan Sangkala memang menitikberatkan pada ilmu
meringankan tubuh. Tak terasa pertarungan telah berlangsung lebih dari seratus
jurus. Dan selama itu belum tampak tanda-tanda pihak yang akan menang.
Pertarungan masih berlangsung seimbang.
Kenyataan itu membuat Sangkala gelisah. Dewa Arak terlalu
tangguh untuk dapat dirobohkan. Lagi pula, andaikan
dapat pun membutuhkan waktu yang lama. Padahal, dia tidak ingin berlama-lama di tempat
itu. Sebab keadaannya tidak menguntungkan. Bila Melati turun tangan, atau
rombongan pengejar Perguruan Banteng Putih tiba dan menge-royoknya,
dia bisa
Dewa Arak 52 Manusia Kelelawar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
celaka. Pemikiran ini menyebabkan Sangkala memutuskan untuk melarikan diri. Dan kesempatan untuk itu tiba. Itu terjadi pada
jurus keseratus dua puluh tiga.
"Hih!"
Sangkala melemparkan tubuhnya ke belakang dengan bersalto
beberapa kali. Lalu berbalik dan melesat kabur. Dewa Arak yang sudah bertekad
melenyapkan Sangkala tidak membiarkan hal itu. Arya melesat mengejar. Pada malam
yang mulai beranjak dini hari itu pun terjadi kejar-mengejar.
Melihat hal itu, Melati tidak tinggal diam. Gadis itu ikut mengejar setelah
menyambar tubuh Trijati dan meletakkannya di bahu kanan.
Sementara itu Dewa Arak berusaha keras menyusul Sangkala. Tapi jarak antara
mereka tidak berubah. Agaknya ilmu lari cepat mereka berimbang.
Hingga.... Srakkk! Sangkala menyelinap ke balik rimbunan semak-semak dan
pepohonan. Tapi tanpa ragu sedikit pun Dewa Arak turut menerobos.
Namun kenyataan yang dilihatnya membuat Dewa Arak tercengang. Sangkala tidak dijumpai ada di situ. Padahal di balik jajaran semak
dan pepohonan terdapat tanah lapang yang membentang luas.
Mengapa Sangkala tidak terlihat lagi" Apakah pemuda berwajah
bopeng itu menghilang" Kalau dia terus berlari, tentu akan terlihat oleh Arya.
Karena jarak mereka sejak tadi tetap lima tombak.
Rasa penasaran membuat Dewa Arak mengedarkan pandangan ke
sekitar tempat itu. Bahkan Arya memeriksa semak-semak dan pepohonan yang hanya
sedikit. Tapi tetap saja tidak dijumpai sosok Sangkala. Yang dijumpai pemuda
berambut putih keperakan itu hanya beberapa ekor kelelawar yang hinggap di salah
satu cabang pohon. Tidak ada lagi yang lain. Saat itulah Dewa Arak melihat
Melati di kejauhan tengah berlari ke arahnya.
"Bagaimana, Kakang"!" tanya gadis berpakaian putih itu ketika telah berada di
dekat Arya. "Dia menghilang begitu menyelinap ke balik semak-semak ini, Melati," jawab Arya
lesu. "Ah...! Begitukah"!" Melati tampak agak terkejut. "Lalu, apa yang kita lakukan
sekarang?"
Dewa Arak tercenung sebentar seperti sedang berpikir. "Kurasa lebih baik kita
kembalikan dulu gadis itu kepada keluarganya. Bagaimana, setuju"!"
Melati mengangguk diikutinya langkah kekasihnya yang telah
lebih dulu meninggalkan tempat itu. Dewa Arak dan Melati sungguh tidak tahu
seekor kelelawar memperhatikan kepergian mereka. Kelelawar itu adalah penjelmaan
Sangkala! Apakah tindakan
Sangkala selanjutnya" Bagaimana dengan
pembalasan dendamnya" Dan bagaimana Sangkala dapat memiliki ilmu-ilmu mukjizat
hanya dalam beberapa bulan" Siapa tokoh yang menjadi guru Sangkala" Semua
pertanyaan itu akan terjawab dalam episode 'Penjarah Perawan' yang merupakan
lanjutan episode ini.
SELESAI Pembuat Ebook :
Scan buku ke djvu : Abu Keisel
Convert : Abu Keisel
Editor Fuji Ebook oleh : Dewi KZ
http://kangzusi.com/ http://dewi-kz.info/
http://kangzusianfo/ http://ebook-dewikz.com/
Perguruan Sejati 3 Dewa Linglung 13 Iblis Seruling Maut Naga Jawa Negeri Di Atap Langit 8