Pencarian

Datuk Lembah Neraka 2

Pendekar Mata Keranjang 12 Datuk Lembah Neraka Bagian 2


kan memandang langit. Lalu dia berkata.
"Nampaknya hari akan senja. Aku harus segera
kembali ke Karang Langit. Kau pergilah. Tugas telah di tanganmu! Dan jika kau
bertemu dengan murid I Gusti
Ayu Wayan Rikmasari, kau bisa menjelaskan duduk
persoalan yang sebenarnya.... Selamat tinggal, Murid-ku...." Habis berkata, Wong
Agung bangkit dan berkelebat ke arah pesisir. Sebenarnya Aji ingin menahan
kepergian gurunya. karena masih ada sesuatu yang ingin ditanyakan. Namun sebelum
Aji berucap, Wong Agung
telah lenyap dari pandangan.
"Aku harus segera kembali ke dusun itu...,"
membatin Pendekar 108 seraya berkelebat ke arah dari mana dia tadi datang.
*** LIMA DUA orang berpakaian kuning dengan kepala
gundul tampak berkelebat ke sana kemari. Bersamaan
dengan kelebatnya terdengar suara jeritan menyayat
susul menyusul dari sebagian penduduk Dusun Ma-
jang Tengah. Namun jeritan menyayat itu rupanya tak
sedikit pun membuat kedua orang ini hentikan perbu-
atannya, malah keduanya semakin membabi-buta!
Hingga tak bisa dihindari jatuhnya korban lebih ba-
nyak lagi, tanpa sedikit pun ada perlawanan.
Setelah dirasa tak ada lagi yang tersisa, kedua
orang ini keluarkan tawa bergelak-gelak.
"Paladasa. Kita tinggalkan tempat ini. Kita cari mangsa di tempat lain. Agar
jerat yang kita pasang ini lekas termakan!" kata orang berpakaian kuning gundul
dengan tubuh tinggi kurus yang bukan lain adalah Ja-
lu Kembara. "Aku agak kurang pas dengan jerat seperti ini.
Karena telah sekian lama kita terapkan, orang yang ki-ta harapkan kemunculannya
dengan adanya pemban-
taian ini, ternyata tidak tampak batang hidung-nya.
Apa tidak sebaiknya kita langsung mencarinya...?" ka-ta yang satunya yang
bertubuh tinggi besar, dan bu-
kan lain adalah Wisnu Paladasa.
Mendengar ucapan Wisnu Paladasa, Jalu Kemba-
ra tertawa ngakak. Seraya mengusap-usap kepalanya
yang keringatan, dia berkata.
"Jika kita tahu di mana beradanya dia, aku pun
tak mau melakukan hal seperti ini. Karena selain tak ada gunanya, juga membuang-
buang tenaga! Namun,
kurasa hanya inilah satu-satunya jalan untuk menarik Pendekar Mata Keranjang 108
muncul mencari kita.
Sebagai pendekar muda, dia tak akan tinggal diam me-
lihat kejadian-kejadian seperti ini. Dan dalam setiap aksi, kita akan menyisakan
seseorang, agar dia bisa bicara dan menceritakan tentang kita...!"
"Tapi sampai kapan...?"
"Waktu nanti yang menentukan pertanyaanmu
itu!" jawab si tinggi kurus Jalu Kembara sedikit jengkel. Dia pandangi saudara
seperguruannya itu dengan
sedikit melotot. Lalu dengan suara agak tinggi dia lanjutkan ucapannya.
"Kita lanjutkan perjalanan!"
Meski agak geram dibentak begitu, si tinggi besar
Wisnu Paladasa mau tidak mau mengikuti perkataan
si tinggi kurus Jalu Kembara. Namun baru saja kedua
orang ini balikkan tubuh hendak melangkah pergi ter-
dengar suara menegur dengan berkelebatnya sesosok
bayangan. "Berhenti! Manusia-manusia pembuat malapeta-
ka!" Dengan sedikit menahan rasa terkejut, kedua orang ini palingkan kepala
masing-masing ke arah da-tangnya teguran.
"Keparat! Kukira orang yang selama ini kucari!"
rutuk Wisnu Paladasa begitu mengetahui siapa adanya
orang yang menegur. Matanya memandang tajam. Bi-
birnya tersenyum sinis dengan dagu agak ter-angkat.
Tampaknya si tinggi besar Wisnu Paladasa tidak se-
nang ditegur demikian.
Namun tidak demikian halnya dengan si tinggi
kurus Jalu Kembara. Dia memandangi dengan sepa-
sang mata disipitkan dan dilebarkan. Bibirnya terse-
nyum penuh arti, sementara jakunnya segera turun
naik. Ternyata, di hadapan kedua orang berpakaian
kuning ini berdiri seorang gadis berbaju hijau tipis.
Rambutnya panjang sebahu dengan dada membusung
menantang. Sepasang matanya bulat.
Sejenak kedua laki-laki gundul berpakaian mirip
pendeta ini saling pandang satu sama lain. Sebentar
kemudian dari mulut kedua orang ini keluar suara ta-
wa. Seraya tertawa tak henti-hentinya kedua orang ini usap-usap kepalanya dengan
memandangi gadis di
hadapannya dari atas hingga bawah.
Namun secara serentak mendadak saja kedua la-
ki-laki ini hentikan tawanya masing-masing. Si tinggi kurus Jalu Kembara yang
tampaknya terkesima dengan kecantikan gadis berbaju hijau melangkah satu
tindak ke depan lalu membuka mulut.
Tapi sebelum ucapan keluar dari mulutnya, gadis
berbaju hijau yang bukan lain adalah Ratih Purnama-
sari kibaskan tangan kanannya. Bersamaan dengan
bergeraknya tangan, menderu angin kencang melesat
menyambar pada Jalu Kembara dan Wisnu Paladasa,
membuat kedua laki-laki ini cepat-cepat hindarkan diri masing-masing dengan
tarik sedikit tubuhnya ke
samping. "Kau tidak pantas bertanya padaku. Jawab saja
pertanyaanku jika kalian ingin panjang umur!"
Kembali kedua orang laki-laki ini saling berpan-
dangan. Bibir mereka saling tersenyum.
"Gadis galak begini, begitu mengasyikkan di atas ranjang. Kau percaya itu?" kata
si tinggi kurus Jalu Kembara seraya tertawa pendek, membuat Ratih Purnamasari
berubah wajah. Matanya mendelik dengan
dada sedikit bergetar menahan marah.
"Bukan hanya mengasyikkan, sekaligus berapi-
api dan selalu ingin tambah lagi. Ha... ha... ha...!" tim-pal si tinggi besar
Wisnu Paladasa seraya ikut-ikutan melangkah maju menjajari Jalu Kembara.
Ratih Purnamasari semakin mengelam paras wa-
jahnya. Matanya semakin membelalak. Dengan tanpa
berkata lagi, gadis cantik ini dorongkan kedua tangannya ke depan. Sebongkah
sinar hitam menyambar ce-
pat, keluarkan suara menggemuruh serta hawa panas
menyengat! Wisnu Paladasa hentikan tawanya tiba-tiba, se-
mentara Jalu Kembara pupuskan senyumnya. Dua
murid Datuk Lembah Neraka ini diam-diam jadi terke-
siap. Mereka sama sekali tak menduga jika gadis di
hadapan mereka mempunyai pukulan bertenaga dalam
demikian hebat. Namun karena yang mereka hadapi
adalah seorang perempuan muda, mereka tak hendak
menunjukkan rasa terperangahnya. Mereka menyem-
bunyikan perasaan terkesiapnya dengan tertawa lebar
seraya lesatkan diri masing-masing ke samping kanan
dan kiri, menghindari serangan Ratih Purnamasari.
Namun tak urung kedua orang ini begitu terkejut, ka-
rena bersamaan dengan menghindarinya mereka, an-
gin deras menyambar, membuat kedua orang ini ter-
huyung-huyung sebentar. Untung mereka segera sa-
dar, hingga begitu mereka dapat kuasai keadaan, me-
reka berdua cepat pukulkan kedua tangan masing-
masing memapak serangan sang gadis.
Wuutt! Wuutt! Dua larikan sinar Kuning redup melesat ke de-
pan. Bersamaan dengan itu, kedua laki-laki ini segera pula menyingkir ke samping
kanan dan kiri. Dan dari
tempatnya ini, secara serentak pula kedua orang ini
lancarkan kembali serangan!
Plaarr! Plaarrr!
Terdengar letupan beberapa kali ketika dua se-
rangan sama-sama teraliri tenaga dalam tinggi itu bentrok di udara. Tubuh Ratih
Purnamasari tersurut tiga langkah ke belakang, dadanya berdenyut nyeri. Namun
gadis ini segera salurkan tenaga dalam untuk menga-
tasi rasa nyeri dadanya. Saat itulah, larikan sinar kuning redup melabrak dari
arah samping kanan dan ki-
rinya! Didahului bentakan melengking tinggi, Ratih
Purnamasari lentingkan tubuhnya ke udara. Setelah
membuat gerakan berputar-putar beberapa kali di
udara gadis ini mendarat dengan kaki terpentang ko-
koh! Wisnu Paladasa serta Jalu Kembara sama-sama
kertakkan rahang masing-masing mendapati serangan
susulannya dapat dihindari lawan. Jalu Kembara lirikkan sepasang matanya yang
sipit pada Wisnu Palada-
sa. Kedua laki-laki gundul saling gerakkan kepalanya mengangguk. Tiba-tiba
keduanya berkelebat kirimkan
kembali serangan!
Empat larik sinar kuning redup kembali me-
nyambar ke arah Ratih Purnamasari. Dua melarik me-
nuju arah kepala, dua lainnya melarik ke arah tubuh
bagian bawah. Walaupun tak terkejut melihat serangan lawan,
namun gadis ini tak mau bertindak ayal. Dia cepat melompat ke samping seraya
kirimkan serangan balasan!
Plaarr! Plaaarrr!
Terdengar kembali suara letupan berturut-turut.
Namun karena Ratih Purnamasari sendirian, sementa-
ra lawan dua orang, membuat tubuhnya gadis ini ter-
huyung-huyung ke belakang begitu bentrok pukulan
terjadi. Kesempatan ini tidak disia-siakan oleh si tinggi
kurus Jalu Kembara. Dia segera lesatkan dirinya me-
nyongsong ke arah tubuh Ratih Purnamasari. Kedua
kakinya menghujam menyilang.
Karena demikian cepatnya gerakan Jalu Kemba-
ra, membuat Ratih Purnamasari tak ada waktu lagi
untuk menghindar. Hingga saat itu juga tanpa ampun
lagi kaki Jalu Kembara menggebrak serta bergerak
menyamping! Desss! Ratih Purnamasari keluarkan seruan tertahan.
Tubuhnya terbanting ke samping dan menyusur ta-
nah. Dari sudut bibirnya keluar darah segar begitu gadis ini merambat bangkit.
Namun sebelum benar-
benar bangkit, kembali Jalu Kembara lancarkan se-
rangan. Kali ini dengan melompat ke depan, dan serta merta sapukan kaki
kanannya! Wuuuttt! Ratih Purnamasari menggerutu panjang pendek.
Sebelum sapuan kaki itu datang, gadis ini segera re-
bahkan kembali tubuhnya sejajar tanah. Lalu dengan
cepat tubuhnya bergulir bergulingan di atas tanah.
Hebatnya, sebelum bergulingan, kaki kirinya masih
sempat bergerak ke kanan, menghantam kaki kiri Jalu
Kembara yang dipakai untuk tumpuan tubuhnya.
Wuuttt! Jalu Kembara terkejut. Karena kaki kanannya
sedang bergerak ke depan, dia tak mampu lagi untuk
menghindar, hingga kejap itu juga tubuhnya terjeng-
kang ke belakang!
"Jahanam busuk! Gerakannya cepat luar biasa!"
gumam Jalu Kembara dengan wajah merah padam.
Dia merasakan pantatnya melesak, karena dia bertu-
buh kurus. Melihat saudaranya bisa dibuat terjengkang, si
tinggi besar Wisnu Paladasa segera menyusul gulingan tubuh Ratih Purnamasari.
Dan begitu gulingan tubuh
gadis ini terhenti, Wisnu Paladasa cepat hantamkan
tangannya seraya sedikit bungkukkan tubuhnya.
Beett! Beett! Selarik angin kencang melesat mendahului sebe-
lum kepalan tangan itu datang!
Meski Ratih Purnamasari tahu, bahwa tingkat
kepandaian Wisnu Paladasa sedikit di bawah Jalu
Kembara, namun dia tak berani main-main. Seraya mi-
ringkan tubuhnya, kedua tangannya dia angkat ke
atas dan dihantamkan menyamping.
Prakkk! Prakkk!
Terdengar dua kali benturan keras. Wisnu Pala-
dasa terseret ke belakang hingga lima langkah, dua
tangannya terasa ngilu bukan main. Dadanya bergetar
dan sesak. Di lain pihak, Ratih Purnamasari tubuhnya kembali bergulingan.
"Paladasa! Kita harus cepat selesaikan kunyuk
ini! Tugas kita masih banyak!" berkata Jalu Kembara
seraya memberi isyarat dengan kerdipkan sebelah ma-
tanya. Tahu isyarat, Wisnu Paladasa anggukkan kepala.
Dan bersamaan dengan itu tubuhnya melesat ke de-
pan seraya kirimkan serangan. Sebenarnya serangan
yang dilancarkan Wisnu Paladasa ini hanyalah untuk
membagi perhatian Ratih Purnamasari. Karena sewak-
tu Wisnu Paladasa lancarkan serangan dan Ratih Pur-
namasari siap menangkal, diam-diam Jalu Kembara
takupkan kedua tangannya di depan dada, sepasang
matanya terpejam rapat, mulutnya berkemik.
Di lain pihak, Ratih Purnamasari segera tarik ke-
dua tangannya sedikit ke belakang, dan serta merta
didorong kuat-kuat seraya membentak garang.
Plaarrr! Kembali terdengar letupan tatkala serangan yang
dilancarkan Wisnu Paladasa bentrok dengan pukulan
Ratih Purnamasari. Namun saat itu juga, tanpa diduga sama sekali oleh Ratih
Purnamasari, Jalu Kembara
buka kedua telapak tangannya dan dihantamkan ke
depan! Wuuuttt! Asap hitam yang membentuk batangan laksana
pohon kelapa melesat deras ke arah Ratih Purnamasa-
ri. Dua batangan itu bergerak berputar-putar laksana baling-baling sementara
satunya bergerak lurus. Kedua batangan tersebut keluarkan suara berdesis-desis!
Dari uap dingin yang keluar serta desisan yang
menyertai dua batang asap yang membentuk batan-
gan, Ratih Purnamasari segera maklum bahwa seran-


Pendekar Mata Keranjang 12 Datuk Lembah Neraka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

gan yang kini meluruk ke arahnya tidaklah bisa dianggap sebelah mata.
Didahului bentakan nyaring, gadis ini cepat geser
kakinya hingga tiga langkah ke samping kanan. Dari
sini, dia segera pula hantamkan kedua tangannya me-
rentang! Sebongkah sinar hitam melesat melengkung me-
nerabas batangan asap dari samping kanan ke samp-
ing kiri. Bummm! Satu ledakan dahsyat mengguncang tempat itu.
Satu batangan asap hancur berkeping-keping.
Namun satunya lagi terus bergerak laksana baling-
baling. Suara desis yang keluar semakin keras!
Dengan tengkuk sedikit dingin, Ratih Purnama-
sari rebahkan tubuhnya ke belakang. Sepasang ka-
kinya lantas dia angkat tinggi-tinggi, membuat sepa-
sang pahanya yang putih mulus terlihat jelas. Sepa-
sang mata Jalu Kembara serta Wisnu Paladasa mem-
beliak lebar tak kesiap.
Sewaktu Ratih Purnamasari angkat sepasang ka-
kinya itulah, batangan itu meledak. Demikian dah-
syatnya ledakan itu, hingga biasnya mampu membuat
tubuh Ratih Purnamasari membumbung sampai satu
tombak ke udara. Karena sewaktu meledak batangan
itu mengeluarkan pijaran yang menebar ke mana-
mana dan sebagian menerabas ke arah Ratih Purna-
masari, membuat gadis ini meraung keras. Tubuhnya
yang membumbung tidak mampu lagi dia kuasai,
hingga saat itu juga tubuhnya kembali menukik ke
bawah dan jatuh telentang!
Wisnu Paladasa dan Jalu Kembara sama-sama
berpandangan. Lantas dari mulut keduanya keluar su-
ara tawa panjang. Namun Jalu Kembara segera henti-
kan suara tawanya begitu melihat Ratih Purnamasari
menggeliat hendak bangkit.
Secepat kilat laki-laki tinggi kurus ini segera ber-
kelebat dan tahu-tahu tubuhnya telah berada di samp-
ing Ratih Purnamasari dan kedua tangannya siap be-
kerja menotok peredaran darah gadis di sebelahnya!
Ratih Purnamasari menjerit tertahan.
"Bangsat keji! Laki-laki pengecut! Bebaskan aku!"
teriak Ratih Purnamasari tanpa bisa menggerakkan
tangan dan kakinya. Kaki dan tangannya terasa lun-
glai. Jalu Kembara tertawa mengekeh. Sepasang ma-
tanya yang sipit membeliak besar. Apalagi tatkala dilihatnya dada gadis di
sampingnya berguncang turun
naik, seiring bergetarnya dada menahan rasa geram
dan marah. "Jahanam! Setan alas! Cepat bebaskan aku!"
kembali Ratih Purnamasari berteriak lantang. Namun
karena hanya bisa berteriak tanpa bisa berbuat apa-
apa, maka teriakannya hanya dijawab dengan kekehan
tawa oleh Jalu Kembara, malah tatkala gadis ini hen-
dak buka mulutnya kembali, Jalu Kembara angkat bi-
cara dengan nada keras.
"Sekali lagi kau bicara tak karuan, kau akan merasakan digilir tiga hari tiga
malam tanpa henti! Mengerti"!"
Ratih Purnamasari urungkan niat buka mulut
mendengar ancaman orang, malah matanya nampak
meredup mengisyaratkan ketakutan luar biasa. Namun
justru hal ini membuat Jalu Kembara semakin terpe-
sona dengan gadis ini. Dia lalu melangkah mendekat.
Ratih Purnamasari yang merasa tahu apa yang hendak
dilakukan oleh Jalu Kembara segera berkata.
"Kalau kau menyentuhku, kubunuh kau!"
Mendengar ancaman, Jalu Kembara palingkan
wajah pada Wisnu Paladasa. Dan serta merta tawanya
pun meledak. "Paladasa. Kau dengar kata-katanya" Dia akan
membunuhku jika kusentuh. Lantas kalau kutiduri,
aku akan dia apakan...?"
"Kau jangan terkejut. Perempuan di mana-mana
begitu. Dia lebih pandai menyimpan nafsu di balik ka-ta-katanya!" sambung si
tinggi besar Wisnu Paladasa seraya ikut-ikutan tertawa. Dan dia pun melangkah
mendekat. Ratih Purnamasari makin merah mengelam pa-
rasnya. Bahkan kini tampak memutih bagaikan kapas
ketika dilihatnya Wisnu Paladasa yang bertubuh tinggi besar melangkah ke
arahnya. "Celaka! Apa yang harus kuperbuat sekarang?"
membatin Ratih Purnamasari. Dia diam-diam kerah-
kan tenaga dalamnya untuk membebaskan diri dari to-
tokan Jalu Kembara. Namun usahanya tidak berhasil.
Malah ketika Jalu Kembara mengetahui Ratih Purna-
masari hendak berusaha membebaskan diri, dia marah
besar. Kedua tangannya segera berkelebat cepat,
dan.... Brett! Brettt! Baju hijau Ratih Purnamasari robek besar di ba-
gian perut dan dada sebelah kiri, membuat dadanya
yang membusung menantang itu menyembul jelas.
Sementara kulitnya yang putih di bagian perut juga jelas terlihat. Hingga
membuat dua pasang mata laki-
laki di dekat gadis ini melotot besar. Di lain pihak, Ratih Purnamasari
keluarkan jeritan tertahan. Namun
hanya itu yang bisa dia lakukan. Paras wajahnya telah pias. Bahkan untuk angkat
bicara pun sepertinya sudah demikian berat.
Sementara itu, dua orang murid Datuk Lembah
Neraka yang pada dasarnya memang suka perempuan
ini cuping hidung masing-masing membengkak kelua-
rkan desahan napas memburu. Jakun masing-masing
pulang balik turun naik tidak beraturan. Bahkan kepa-la Jalu Kembara bergerak ke
kiri kanan seakan men-
gagumi apa yang ada di hadapannya. Lalu sepertinya
tak sabar, laki-laki tinggi kurus ini memandang pada saudara seperguruannya dan
berkata. "Paladasa. Aku yang menaklukkan kunyuk ini.
Jadi sudah layak bila aku yang mendapat jatah perta-
ma! Kau tunggulah agak jauh! Atau kau perlu menon-
ton dahulu"!"
Wisnu Paladasa tidak menyahut ucapan sauda-
ranya. Dia hanya melambaikan tangan kanannya,
memberi isyarat agar Jalu Kembara mendekat ke
arahnya. Meski mengomel panjang pendek, namun Jalu
Kembara melangkah juga mendekat. Dan begitu dekat
dia langsung ajukan pertanyaan.
"Apa kau minta dahulu?"
Wisnu Paladasa gelengkan kepala. Dia berucap
perlahan. "Apa kau lupa syarat yang dikatakan Datuk Lem-
bah Neraka" Segala ilmu yang kita miliki akan lenyap begitu kita menggauli
perempuan! Atau kau memang
menginginkan hal itu?"
Sejenak Jalu Kembara lepaskan napas dalam-
dalam. Dia seakan baru tersadar. Namun entah karena
kuatnya amukan nafsu yang telah mendera tubuhnya,
dia menyahut ucapan Wisnu Paladasa seraya paling-
kan wajahnya pada Ratih Purnamasari.
"Apa kau percaya ucapan Guru?"
"Sepenuhnya tidak. Namun setidaknya untuk
saat ini belum saatnya kita mencoba melanggar, kare-
na tugas kita masih banyak. Kita akan rugi waktu dan tenaga jika segalanya hanya
akan berakhir gara-gara
perempuan! Toh kita nantinya dapat merasakan yang
bagaimanapun bentuknya jika cita-cita kita tercapai!
Pikirkan itu!"
"Sialan! Setan busuk!" keluar sumpah serapah tak karuan dari mulut Jalu Kembara.
"Kembara!" sambung Wisnu Paladasa dengan
memandang pada jurusan lain. "Kau sementara ini harus dapat menahan nafsu. Namun
karena gadis itu te-
lah menghina kita, maka layak jika dia kita kasih pela-jaran...!"
Kembali Jalu Kembara menarik napas dalam da-
lam. Dia sepertinya masih begitu menyayangkan ke-
sempatan baik ini. Namun setelah agak lama berdiam
diri, dia akhirnya melangkah maju mendekati Ratih
Purnamasari. "Ingat! Jika kau masih bersikeras hendak ber-
buat yang tidak-tidak, kau akan kukejar ke mana pun
kau lari!" berkata Ratih Purnamasari yang tampaknya mulai bangkit kembali
keberaniannya. Jalu Kembara tidak menyambuti kata-kata Ratih
Purnamasari. Sepasang matanya memandang tak ke-
siap, membuat gadis yang dipandangi jengah dan
buang muka. "Laki-laki pengecut! Beraninya hanya pada pe-
rempuan yang sedang tidak berdaya!" sambung Ratih Purnamasari ketika diliriknya
Jalu Kembara hanya
memandangi dirinya tanpa sepatah kata pun terucap
dari mulutnya. Kali ini, mendengar ucapan Ratih Purnamasari,
Jalu Kembara merah padam mukanya. Nafsunya yang
tadi sudah naik ke ubun-ubun perlahan tertindih oleh hawa amarah. Dan serta
merta tanpa berkata-kata la-gi, tangan kirinya bergerak ke arah muka.
Plak! Tamparan tangan kiri dengan keras menghajar
pipi kanan Ratih Purnamasari, membuat gadis ini ter-
banting di atas tanah dengan jeritan tertahan. Dari se-la bibirnya yang pecah,
nampak mengalir darah segar!
"Jahanam! Laki-laki terkutuk!" maki Ratih Purnamasari begitu tubuhnya terkapar
di atas tanah. Dia kembali mencoba kerahkan tenaga luar dan dalam untuk
membebaskan diri dari totokan Jalu Kembara,
namun usahanya tak juga berhasil. Malah kini Jalu
Kembara kembali mendekat ke arahnya. Paras wajah
laki-laki ini telah berubah. Bibirnya tersenyum sinis.
Disangkanya hendak menghajar kembali, ketika begitu
dekat, Ratih Purnamasari tak memandangnya, malah
dia pejamkan sepasang matanya dengan bibir saling
menggigit. Namun apa yang diduga Ratih Purnamasari me-
leset. Begitu dekat, Jalu Kembara segera kelebatkan
tangan kirinya.
Brettt! Kembali baju bagian dada sebelah kanan milik
Ratih Purnamasari mengaga lebar, hingga kini dada
sebelah kanan dan kiri terlihat jelas terpentang.
Bukan hanya sampai di situ, begitu kedua dada
Ratih Purnamasari telah berhasil dibuka, Jalu Kemba-
ra bungkukkan tubuh. Mungkin hendak menyentuh
atau kembali hendak merobek pakaian bagian bawah.
Pada saat itulah terdengar orang berteriak.
"Tampaknya tua-tua masih juga mengingini seo-
rang dara. Apa memang betul bahwa hal itu sebagai
obat awet muda"! Ha... ha... ha...!"
Begitu suara tawa lenyap serangkum angin keras
melesat menyambar ke arah Jalu Kembara.
"Kembara! Awas ada seseorang membokong!" ingat Wisnu Paladasa.
Jalu Kembara cepat palingkan wajah dan tegak-
kan tubuh. Dan serta merta bertindak cepat dengan
melompat ke samping kanan. Namun gerakannya se-
dikit terlambat. Meski tubuhnya selamat dari hajaran telak angin yang menyambar,
namun baju kuningnya
sempat tersambar, hingga baju itu robek di bagian
pinggang! "Bangsat! Kupecahkan kepalamu!" maki Jalu
Kembara seraya layangkan pandangannya mencari ta-
hu siapa adanya orang yang ikut campur urusannya,
demikian halnya Wisnu Paladasa dan Ratih Purnama-
sari. *** ENAM SEPULUH langkah di samping kanan Jalu Kem-
bara, tegak berdiri seorang pemuda mengenakan pa-
kaian hijau yang dilapis dengan baju dalam lengan
panjang warna kuning. Parasnya tampan dengan ram-
but dikuncir ekor kuda.
Sejenak baik Jalu Kembara dan Wisnu Paladasa
memperhatikan pemuda di sampingnya dengan lebih
seksama. Sementara itu Ratih Purnamasari tersentak
kaget, sepasang matanya menatap lurus tajam tak
berkesiap ke depan.
"Dia...!" gumam Ratih Purnamasari perlahan begitu mengetahui siapa adanya orang
yang baru saja menyelamatkan dirinya.
"Siapa kau" Dan apa hubunganmu dengan gadis
itu"!" tanya Wisnu Paladasa dengan suara tinggi. Dagunya tampak mengeras dengan
sepasang mata melo-
tot. Yang ditanya masih senyam-senyum, malah tak
memandang pada Wisnu Paladasa atau Jalu Kembara,
sebaliknya sepasang mata pemuda berbaju hijau ini
yang bukan lain adalah Aji Saputra alias Pendekar Ma-ta Keranjang 108 memandang
lurus pada Ratih Pur-
namasari yang terkapar di atas tanah tanpa bisa
menggerakkan anggota tubuhnya.
Mendapati pertanyaannya tidak mendapat jawa-
ban, Wisnu Paladasa naik pitam. Dia segera melang-
kah maju dengan kedua tangan siap dihantamkan.
Namun, sebelum hal itu sempat dilakukan, dari jarak
jauh Jalu Kembara memberi isyarat agar Wisnu Pala-
dasa urungkan niat untuk menyerang. Malah Jalu
Kembara kini melangkah mendekat pada Wisnu Pala-
dasa. "Paladasa!" kata Jalu Kembara seraya berbisik.
"Kau perhatikan lebih seksama lagi. Melihat ciri-cirinya, apa bukan pemuda ini
yang kita cari?"
Mendengar ucapan saudara seperguruannya,
Wisnu Paladasa segera perhatikan pemuda di hada-
pannya dengan lebih teliti dari ujung rambut sampai
ujung kaki. Dahi laki-laki bertubuh tinggi besar ini berkerut. Kepalanya yang
gundul dia dongakkan ke


Pendekar Mata Keranjang 12 Datuk Lembah Neraka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

atas. Dia seakan mengingat-ingat. Dan tiba-tiba dia
palingkan wajahnya pada Jalu Kembara dan berkata.
"Benar! Memang dia pemuda yang kita cari! Tapi
sebaiknya kita tanyakan terlebih dahulu!"
"He! Sekali lagi kau tak mau jawab pertanyaan
kami, jangan menyesal jika mulutmu kurobek!" kertak Jalu Kembara seraya
melangkah dua tindak ke depan.
"Sebutkan siapa dirimu!"
Aji hadapkan wajahnya pada Jalu Kembara. Ka-
lau tadi bibirnya tersenyum-senyum, kini senyum itu
lenyap, berganti senyum sinis.
"Tampaknya dua orang ini biang keladi kerusu-
han selama ini! Kalau benar, berarti kedua orang inilah murid Datuk Lembah
Neraka! Mereka harus dihenti-kan. Dunia persilatan akan keruh jika orang-orang
seperti mereka masih dibiarkan untuk hidup!" membatin Aji. Lalu dia berkata.
"Orang rimba persilatan menyebutku Datuk
Lembah Neraka!" kata Aji dengan enaknya. Dia sengaja menyebut dirinya Datuk
Lembah Neraka untuk mengetahui reaksi kedua laki-laki di hadapannya. Apakah
kedua laki-laki gundul itu murid Datuk Lembah Nera-
ka atau bukan. Di lain pihak, mendengar jawaban yang tak per-
nah diduga sama sekali itu, Wisnu Paladasa dan Jalu
Kembara saling berpandangan satu sama lain dengan
tatapan heran dan jengkel.
"Kembara!" bisik Wisnu Paladasa. "Apa di dunia ini banyak manusia bergelar Datuk
Lembah Neraka"!"
"Diam kau!" bentak Jalu Kembara merasa jengkel karena Wisnu Paladasa tampaknya
termakan oleh tipuan Aji. Di lain pihak, Ratih Purnamasari yang me-
nyaksikan kejadian itu, meski menahan sakit di bibirnya, dia tak bisa menahan
tawanya, hingga tawanya
pun keluar. Sementara itu Aji hanya tersenyum seraya mengawasi silih berganti.
"Bocah! Tampaknya kau bercanda dengan maut!
Terimalah!"
Habis berkata begitu, Jalu Kembara yang sudah
dirasuki rasa geram segera hantamkan kedua tangan-
nya ke depan. Selarik sinar kuning melesat deras ke arah Aji.
Murid Wong Agung ini geser kakinya dua langkah
ke samping kanan, membuat serangan pembuka Jalu
Kembara menghajar tempat kosong. Di kejap lain begi-
tu habis menghindar, Aji segera dorongkan kedua tan-
gannya ke depan.
Serangkum angin dahsyat yang keluarkan suara
bagai gelombang segera melesat menggebrak. Pendekar
Mata Keranjang 108 tampaknya lepaskan pukulan
'Gelombang Prahara'.
Jalu Kembara sedikit terperangah melihat lawan
begitu mudah menghindari serangannya. Malah kini
melancarkan serangan balasan. Diam-diam Jalu Kem-
bara agak yakin, bahwa pemuda di hadapannya inilah
yang memang dia cari. Malah serangannya tadi me-
mang dia sengaja dengan kerahkan seperempat tenaga
dalamnya untuk mengetahui sampai di mana keting-
gian ilmu lawan.
Dengan menindih rasa kaget, Jalu Kembara me-
lompat ke samping. Selain untuk menghindar, juga
agar lebih dekat lagi dengan Wisnu Paladasa.
"Paladasa!" kata Jalu Kembara tanpa palingkan wajahnya. "Hari ini nampaknya kita
akan dapat rejeki besar. Aku hampir yakin, dialah orang yang kita cari!"
"Tapi apa tidak sebaiknya kita tanyai lebih jelas lagi"!"' tanya Wisnu Paladasa
dengan memandang pada Jalu Kembara.
Jalu Kembara palingkan wajahnya. Parasnya se-
makin membatu. Kalau saja bukan saudara sepergu-
ruannya, mungkin sedari tadi sudah dilumatnya mulut
Wisnu Paladasa.
"Kau memang benar-benar bodoh!" batin si tinggi kurus Jalu Kembara. Dia lantas
berkata agak keras.
"Untuk menghabisi orang, apa perlu kita jelaskan dahulu nama dan gelarnya"!"
Si tinggi besar Wisnu Paladasa terdiam sesaat.
Dia seolah berpikir keras. Namun mendadak dia kelua-
rkan tawa bergelak, membuat Jalu Kembara heran dan
tak mengerti apa yang ditertawakan Wisnu Paladasa.
"Kau betul! Untuk menghabisi orang, memang
tak perlu kita tanyakan dahulu siapa dia!" kata Wisnu Paladasa di tengah-tengah
tawanya, membuat Jalu
Kembara makin dibuat jengkel.
"Hentikan tawamu!" bentak Jalu Kembara seraya memandang pada Aji yang kini
tampak melangkah
mendekati Ratih Purnamasari.
Namun baru saja Aji hendak bungkukkan tubuh
untuk membebaskan Ratih Purnamasari, dari arah be-
lakang empat larik sinar kuning redup telah menyam-
bar! "He! Awas serangan!" ingat Ratih Purnamasari.
Aji yang telah waspada, segera bungkukan tu-
buh, kedua tangannya bergerak cepat. Di lain pihak,
Ratih Purnamasari yang sedari tadi malu-malu merasa
dipandang, merasakan sambaran di samping tubuh-
nya. Dia pejamkan kedua matanya. Dan ketika dia sa-
mar-samar membuka kelopak matanya, dia tersentak
kaget, karena tahu-tahu tubuhnya telah digendong Aji dan disingkirkan agak jauh.
"Terima kasih!" kata Ratih Purnamasari dengan paras merah saga begitu tubuhnya
diturunkan dan ternyata telah bebas dari totokan.
"Kau di sini saja! Laki-laki itu harus dimusnahkan dari muka bumi!" kata Aji
seraya balikkan tubuh dan melangkah kembali ke arah Wisnu Paladasa dan
Jalu Kembara. "Keparat!" rutuk Jalu Kembara dan Wisnu Paladasa hampir berbarengan, begitu
mendapati Aji berha-
sil lolos dari serangan mereka bahkan bisa membe-
baskan Ratih Purnamasari.
Tanpa berkata-kata lagi, begitu dilihatnya Aji me-
langkah ke arahnya, Jalu Kembara segera menyong-
songnya dengan membuat gerakan berputar di udara
dua kali, dan tahu-tahu tubuhnya telah menghadang
di hadapan Aji.
Pendekar Mata Keranjang hentikan langkahnya.
Dan baru saja langkahnya berhenti, Jalu Kembara te-
lah kirimkan serangan jarak jauh dengan pukulan ke-
dua tangannya ke depan.
Wuutt! Wuuuttt!
Karena tidak ada lagi waktu untuk menghindar,
membuat Aji harus pula lepaskan pukulan untuk me-
nangkis. Murid Wong Agung ini segera saja tarik den-
gan cepat kedua tangannya ke belakang, lalu serta
merta dihantamkan ke depan.
Plaarrr! Terdengar letupan keras tatkala dua pukulan
sakti itu bentrok di udara. Baik Aji maupun Jalu Kembara sana sama surutkan
langkah masing-masing satu
tindak ke belakang. Jalu Kembara nampak meringis
seraya pegangi lengannya yang terasa nyeri. Di lain pihak, Aji tampak tersenyum-
senyum meskipun sebe-
narnya tangannya merasa kesemutan juga.
Jalu Kembara menoleh pada Wisnu Paladasa. Si
tinggi besar Wisnu Paladasa yang seolah mengerti arti pandangan saudara
seperguruannya cepat mendatangi
"Kita kerahkan seluruh tenaga untuk menghabisi
bocah ini!" berkata Jalu Kembara.
Wisnu Paladasa menganggukkan kepala. Dua la-
ki-laki ini lantas saling beri isyarat, dan tiba-tiba kedua laki-laki ini
lesatkan tubuh masing-masing seraya lepaskan serangan dengan hantamkan kedua
tangan masing-masing ke depan. Begitu pukulan menyambar,
keduanya lantas saling berpencar ke kanan dan ke ki-
ri. Dari arah samping, keduanya lantas kembali ki-
rimkan serangan dengan hantamkan kedua tangan se-
raya rebahkan tubuh masing-masing sejajar tanah. Ini adalah serangan untuk
menangkal lawan jika lawan
menghindari serangan pertamanya dengan bergerak
tanpa melesatkan dirinya ke udara.
Melihat gencarnya serangan, Aji segera dapat
mengetahui jika lawan ingin segera menghabisinya.
Tapi murid Wong Agung ini tak mau bertindak cero-
boh. Dia cepat keluarkan kipas ungunya dan secepat
kilat dia kebutkan melintang di depan dada.
Wuuuttt! Seberkas cahaya putih berkelebat angker mem-
bentuk kipas dan menebarkan hawa panas luar biasa!
Blarrr! Ledakan dahsyat segera terdengar begitu larikan
sinar kuning bentrok dengan angin yang menyambar
dari kipas ungu Pendekar Mata Keranjang 108. Hebat-
nya, larikan yang datang menyusul dari arah samping
pun sepertinya tertahan, membuat Wisnu Paladasa
dan Jalu Kembara sama-sama terkejut bukan alang
kepalang. Namun mereka sadar, bahwa pemuda di ha-
dapannya tidak boleh diberi kesempatan untuk balas
menyerang, karena itu akan sangat berbahaya.
Berpikir begitu, kedua laki-laki ini lantas saling
takupkan kedua telapak tangannya sejajar dada, ma-
tanya sebentar memejamkan dengan mulut bergerak-
gerak. Tak lama kemudian, keduanya saling pandang
sejenak, dan....
"Tapak Geni!" seru Jalu Kembara seraya melompat ke depan dengan membuat putaran
satu kali. De- mikian pula Wisnu Paladasa.
Empat langkah di hadapan Aji, kedua laki-laki ini
terkesiap. Mereka sekarang baru yakin bahwa pemuda
di hadapannya adalah pemuda yang mereka cari. Me-
reka pandangi kipas ungu milik Aji dengan pandangan
nanar. "Hmm.... Nyatanya memang dia pemuda bergelar
Pendekar 108 itu. Aku harus semakin berhati-hati.
Kabarnya, kesaktian manusia ini sudah menyamai gu-
runya...," membatin Jalu Kembara. Lalu dia berkata pada Wisnu Paladasa.
"Sekarang jangan tahan-tahan lagi kerahkan te-
naga. Memang pemuda inilah yang kita cari!"
Habis berkata begitu, Jalu Kembara berkelebat
yang kemudian diikuti oleh Wisnu Paladasa. Kedua so-
sok laki-laki ini lantas lenyap dari pandangan. Dan ti-ba-tiba sekali sosok
keduanya telah menukik deras da-ri udara dengan telapak tangan terbuka,
sementara kakinya berputar-putar bagai baling-baling keluarkan suara bersiutan.
Pendekar Mata Keranjang yang sedari tadi me-
nunggu serangan, segera luruskan tubuh dan begitu
telapak tangan yang telah dialiri tenaga dalam itu hendak menghajar dada dan
punggungnya, dia re-bahkan
diri di atas tanah, bergulingan beberapa kali. Dan pada gulingan kelima,
mendadak pendekar murid Wong
Agung ini serta merta bangkit dan kirimkan serangan!
Tempat itu seketika berubah menjadi terang ben-
derang. Ternyata Pendekar Mata Keranjang 108 telah
lepaskan pukulan sakti 'Bayu Cakra Buana'
Di seberang, Wisnu Paladasa dan Jalu Kembara
yang baru saja sama-sama mendarat terperangah ka-
get. Jalu Kembara yang tahu bahaya segera berseru
keras memperingati saudaranya seraya berkelebat. Tu-
buh laki-laki tinggi kurus ini bergerak lenyap sebelum serangan Pendekar Mata
Keranjang 108 menghantam.
Jika Jalu Kembara segera berkelebat, tidak demikian halnya dengan Wisnu
Paladasa. Meski dia sempat ber-
kelebat, namun gerakannya sudah begitu terlambat,
hingga tanpa ampun lagi kaki kanannya tersambar
pukulan Pendekar Mata Keranjang 108!
Wisnu Paladasa meraung keras. Tubuhnya yang
berkelebat serta merta berputar menyamping dan ja-
tuh bergeleparan di atas tanah dengan kaki kanan me-
rah bengkak! "Anjing kurap!" rutuk Jalu Kembara mengetahui saudaranya roboh tersambar pukulan
Pendekar Mata Keranjang 108. Dia lantas maju dua langkah ke depan.
Dan mendadak tubuhnya melesat lurus! Telapak tan-
gannya terbuka sementara sepasang kakinya lurus
dan menekuk pulang balik!
Aji kepalkan tangan kirinya dan diangkat di atas
kepala, sementara tangan kanan yang memegang kipas
dia sejajarkan di depan dada.
Begitu sedepa lagi sepasang kaki Jalu Kembara
menghantam, Aji rentangkan tangan kanannya, se-
mentara tangan kirinya bergerak memukul ke samp-
ing. Jalu Kembara tercekat bukan alang kepalang, karena tiba-tiba saja tubuhnya
bagai tertahan kekuatan yang kasat mata. Dia mencoba kerahkan tenaga dalamnya
untuk menembus, agar sepasang kakinya da-
pat menerobos masuk, namun usahanya sia-sia bela-
ka. Bahkan tatkala Jalu Kembara kerahkan tenaga da-
lam, tangan kiri Aji bergerak menghantam.
Untung Jalu Kembara masih bisa melihat seran-
gan lawan, hingga meskipun tersambar bahunya, na-
mun dia bisa selamatkan kepalanya dari hantaman te-
lak. Desss! Jalu Kembara melayang berputar. Hebatnya, da-
lam keadaan demikian, laki-laki ini masih bisa mem-
buat gerakan berputar hingga selamatkan tubuhnya
dari menghantam tanah!
"Bocah keparat!" hardik Wisnu Paladasa. Tanpa menunggu lama lagi, dia langsung
kembali menyerang.
Kali ini dia hantamkan pukulan jarak jauh dengan
tangan kosong, lantas didahului bentakan keras, laki-laki bertubuh tinggi besar
ini keber tubuhnya. Tubuhnya melesat cepat ke depan.
Aji yang tahu gelagat segera menyongsong den-
gan hantamkan kedua tangannya ke depan. Namun
kali ini Aji tertipu, karena begitu lesatan tubuh Wisnu Paladasa hampir
terhantam serangan tangan Aji, tubuh Wisnu Paladasa membumbung sedikit ke atas,
membuat serangan Aji lewat di bawahnya. Pada saat
itulah Wisnu Paladasa membuat gerakan berputar ce-
pat dan sepasang kakinya menggebrak dari belakang!
Bukkk! Pendekar Mata Keranjang 108 tersuruk menyu-
sup tanah di depannya. Punggungnya terasa jebol, dan sebelum dia benar-benar


Pendekar Mata Keranjang 12 Datuk Lembah Neraka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tersuruk, dari arah depan ti-ba-tiba Jalu Kembara sapukan kaki kanannya!
Wuuuttt! Dengan terkejut, Pendekar Mata Keranjang 108
lesatkan tubuh bagian atasnya ke belakang dengan
posisi kaki tetap. Ini untuk menjaga keseimbangan tubuh jika pada saat yang sama
Wisnu Paladasa menye-
rang dari belakang.
Benar saja, tatkala sapuan kaki kanan Jalu
Kembara menghajar angin di depan tubuh Pendekar
Mata Keranjang 108, dari arah belakang, Wisnu Pala-
dasa pukulkan kedua telapak tangannya yang telah
terbuka. Pendekar murid Wong Agung ini kembali kerah-
kan tenaga untuk menghindar dengan gerakkan kem-
bali tubuh atasnya ke depan. Namun pada saat itu ju-
ga kaki kanan Wisnu Paladasa bergerak lurus meng-
hantam dari belakang!
Desss! Tubuh Pendekar Mata Keranjang 108 terhuyung
ke depan. Kesempatan ini tak disia-siakan oleh Jalu
Kembara. Dia segera memapak huyungan tubuh Pen-
dekar Mata Keranjang 108 dengan telapak tangan ter-
buka dan mengarah pada dada!
Dalam keadaan yang demikian, Aji cepat silang-
kan kedua tangannya di depan dada.
Prakkk! Pendekar Mata Keranjang 108 terbanting ke
samping. Kedua tangannya serasa terhantam benda
panas dan amat berat, hampir saja pegangan pada ki-
pasnya terlepas jika saja murid Wong Agung ini tidak segera salurkan hawa murni
untuk mengatasi kenye-rian yang kini mendera tangannya.
Wisnu Paladasa dan Jalu Kembara saling pan-
dang dan sama-sama keluarkan tawa panjang bersa-
hut-sahutan. "Setelah ini tinggal kita selesaikan gurunya!" berkata Jalu Kembara dengan
melangkah mendekat.
Namun baru dua langkahan kaki, Pendekar Mata
Keranjang 108 telah bangkit dan tiba-tiba saja tubuhnya melesat dengan tangan
kanan kibaskan kipas, se-
mentara tangan kiri lepaskan pukulan 'Bayu Cakra
Buana'. Baik Wisnu Paladasa dan Jalu Kembara sama-
sama terkejut, karena mereka menyangka bahwa Pen-
dekar Mata Keranjang hanya kuat bangkit tanpa bisa
melancarkan serangan. Karena 'Tapak Geni' serangan
yang tadi dilancarkan Jalu Kembara dapat membuat
orang mampu bergerak tanpa bisa menyerang.
"Heran! Dia tampaknya tak mempan dengan
'Tapak Geni'!" membatin Jalu Kembara. Namun dia tak bisa berlama-lama membatin,
karena saat itu juga serangan Pendekar Mata Keranjang 108 telah meluruk
ke arahnya! Dengan masih memendam rasa heran, kedua la-
ki-laki ini segera dorongkan masing-masing tangannya ke depan.
Larikan-larikan sinar kuning redup kembali me-
larik ke depan. Namun kembali Wisnu Paladasa dan
Jalu Kembara dibuat terkejut. Karena serangannya ki-
ni bagai tertahan dinding, dan terapung di udara.
Selagi kedua orang ini terkesima. sambaran an-
gin yang keluar dari tangan kiri Pendekar 108 mela-
brak lurus! Wisnu Paladasa dan Jalu Kembara berseru keras.
Tubuh kedua laki-laki ini melayang jauh ke belakang.
Dan jatuh berkaparan di atas tanah dengan dada ber-
denyut sakit serta pakaian hangus!
Keduanya merangkak bangkit seraya mengumpat
habis-habisan. Namun baru saja mereka dapat bang-
kit, tubuh keduanya kembali oleng dan lutut mereka
bergetar. Dan tak lama kemudian, tubuh keduanya
kembali jatuh terduduk.
"Kita tertipu oleh Datuk Lembah Neraka. Karena
ternyata masih ada manusia yang tahan pada pukulan
'Tapak Geni'!" kata Jalu Kembara pada Wisnu Paladasa seraya berpaling.
"Tapi apa boleh buat, kita harus bertahan. Kita tidak boleh menyerah begitu
saja!" sahut Wisnu Paladasa dengan mengawasi Pendekar Mata Keranjang 108
yang kini semakin dekat ke arah mereka.
"Kalian murid Datuk Lembah Neraka"!" Aji ajukan pertanyaan seraya terus
mendekat. Sejenak Wisnu Paladasa dan Jalu Kembara saling
pandang. Lalu Jalu Kembara tersenyum sinis dan ber-
kata. "Bukankah kau Datuk Lembah Neraka?"
Pendekar Mata Keranjang 108 yang semula wak-
tu ditanya enak saja menyebut nama Datuk Lembah
Neraka senyam-senyum sendiri. Namun mendadak se-
nyumnya dia penggal. Sepasang matanya membesar
pandangi Wisnu Paladasa dan Jalu Kembara silih ber-
ganti dan berkata dengan nada tinggi.
"Jawab dengan jujur pertanyaanku. Itu kalau ka-
lian memang masih ingin hidup!"
Diam-diam saat demikian itu, Jalu Kembara coba
kerahkan tenaga untuk memulihkan kembali tena-
ganya. Namun tampaknya usahanya tiada hasil. Mem-
buat laki-laki ini wajahnya pucat pasi. Demikian juga Wisnu Paladasa.
"Hmm.... Tampaknya kalian memang sudah bo-
san hidup!" kata Pendekar Mata Keranjang 108 begitu ditunggu agak lama di antara
kedua laki-laki ini tidak ada yang buka mulut untuk menjawab.
"Ampun...!" kata Wisnu Paladasa, "Benar... Kami memang murid dari..,."
Belum sampai Wisnu Paladasa meneruskan kata-
katanya, serangkum angin dahsyat menyambar dari
arah samping, menggebrak ke arah Pendekar Mata Ke-
ranjang 108! Pendekar Mata Keranjang 108 cepat palingkan
wajah dan serta merta melompat ke samping kiri un-
tuk menghindar. Sambaran angin terus melabrak dan
menghajar sebuah rumah, membuat rumah itu terba-
bat roboh dan terbakar!
"Sialan betul!" rutuk Pendekar Mala Keranjang 108 seraya tebarkan pandangan
mencari tahu siapa
adanya manusia yang melakukan hal itu. Di lain pi-
hak. Ratih Purnamasari yang sedari tadi hanya me-
nyaksikan, terperangah kaget bahkan surutkan lang-
kah tiga tindak ke belakang begitu mengetahui siapa
adanya orang yang melancarkan serangan. Sementara
itu Wisnu Paladasa dan Jalu Kembara segera jatuhkan
kepalanya dan berseru bersamaan.
"Guru...!"
*** TUJUH PENDEKAR Mata Keranjang 108 ikut-ikutan ber-
paling. Dia terkejut melihat paras dan bentuk orang
yang dipanggil Guru oleh Wisnu Paladasa dan Jalu
Kembara. Dia adalah seorang laki-laki bertubuh jangkung.
Mengenakan pakaian mirip seorang pendeta berwarna
kuning. Kepalanya gundul dengan kulit sekujur tubuh
sudah mengeriput. Tangan kanannya memegang se-
buah tasbih yang tak henti-hentinya bergerak. Namun
yang membuat laki-laki ini angker, mata kanannya
yang menjorok keluar itu juling. Sementara kedua te-
linganya tak berdaun!
Tanpa berkata lagi, laki-laki jangkung yang bu-
kan lain adalah Datuk Lembah Neraka gerakkan tan-
gan kanannya. Tasbih yang ada di tangannya bergerak
melesat. Weerrr! Serangkum angin yang berputar-putar seiring
putaran tasbih melabrak ke arah Pendekar Mata Ke-
ranjang 108 yang masih mengawasi orang dengan
pandangan heran.
"Gila! Bias serangannya sudah terasa sebelum serangan itu sendiri datang...!"
kata Aji dalam hati seraya miringkan kepala dan bahunya.
Tasbih yang berputar-putar dan mengeluarkan
suara bersiutan itu menggebrak tempat kosong di
samping tubuh Aji. Anehnya, tasbih tersebut langsung bergerak dan kembali pada
Datuk Lembah Neraka.
Begitu kembali, Datuk Lembah Neraka kembali
sentakkan tangan kanannya, tasbih itu kembali berpu-
tar dan kini berdesing lenyap. Hanya suaranya saja
yang terdengar.
Untuk menangkal serangan yang tak tampak ini,
murid Wong Agung segera putar-putar kipas ungunya
di atas kepala, membuat tubuhnya diselimuti sinar putih. Tasss! Tasss! Tasss!
Tiga kali benturan yang keluarkan cahaya api se-
gera muncrat begitu sinar putih yang menyelimuti tu-
buh Pendekar 108 diterabas deru tasbih!
Datuk Lembah Neraka mendengus marah. Dalam
sejarah panjang kecimpungnya dalam rimba persila-
tan, baru kali ini serangan tasbihnya dapat ditangkis orang dengan begitu mudah,
malah jika Datuk Lembah
Neraka tidak segera menarik tasbihnya kembali, tidak mustahil tasbih itu akan
hancur luluh! "Bajingan busuk! Siapa pemuda ini" Apakah dia
manusia yang bergelar Pendekar Mata Keranjang?"
membatin Datuk Lembah Neraka seraya memperhati-
kan lebih seksama kipas yang kini masih diputar-putar oleh Aji.
"Hmm.... Tampaknya dugaanku tidak meleset.
Memang dia orangnya...!" sambung kata hati Datuk Lembah Neraka. Parasnya kini
berubah merah padam.
Pelipisnya bergerak-gerak dengan mata kiri membeliak merah. Tubuhnya yang
jangkung dia lorotkan ke bawah. Saat hampir pantatnya menyentuh tanah, tiba-
tiba tubuhnya melesat tinggi ke udara dan lenyap dari pandangan.
"Edan! Ke mana perginya?" batin Aji dengan putar kepalanya.
Selagi Pendekar 108 mencari tahu di mana bera-
danya lawan, tiba-tiba tubuh Datuk Lembah Neraka
melayang deras ke bawah bagai sergapan seekor bu-
rung rajawali. Kedua tangannya membuka dan dihan-
tamkan ke bawah.
Pendekar Mata Keranjang 108 merasakan teka-
nan angin yang seakan memantek gerak tubuhnya.
Hingga dia tak dapat menggerakkan tubuh untuk
menghindar. Namun murid Wong Agung ini tidak mau
berdiam diri. Didahului bentakan dahsyat, telapak
tangan kirinya dia buka dan dihantamkan lurus ke
atas, sementara tangan kanannya yang memegang ki-
pas dia kibaskan berputar dari belakang!
Prakkk! Dua tangan teraliri tenaga dalam tinggi beradu di
atas kepala Pendekar Mata Keranjang 108. Datuk
Lembah Neraka berseru kesakitan. Seraya membuat
gerakan berputar di atas tubuh Pendekar Mata Keran-
jang 108, laki-laki berkepala plontos ini jejakkan kakinya pada punggung
Pendekar Mata Keranjang 108!
Beekk! Pendekar Mata Keranjang 108 terpekik. Dan be-
lum lagi dia dapat kuasai tubuhnya, dengan gerak ce-
pat Datuk Lembah Neraka balikkan tubuh dan do-
rongkan tangan kanannya!
Kembali Pendekar Mata Keranjang 108 terpekik,
sebelum tubuhnya menghempas di atas tanah. Saat
yang demikian itu tak disia-siakan oleh Jalu Kembara.
Dia segera bangkit dan melompat. Lalu serta merta ka-ki kanannya bergerak cepat
menghajar tubuh Pende-
kar Mata Keranjang 108!
Pada saat tendangan akan menghajar, seko-
nyong-konyong serangkum angin dahsyat disertai
bongkahan asap hitam yang mengeluarkan hawa pa-
nas menyengat menyambar ke arah kaki Jalu Kemba-
ra. Meski Wisnu Paladasa telah berteriak memperin-
gatkan, namun tampaknya Jalu Kembara meneruskan
tendangan kakinya. Namun sejengkal lagi terjangannya menghajar, Jalu Kembara
terpekik kaget dengan tarik
pulang kembali kakinya.
"Jahanam licik!" seru Pendekar 108 saat mengetahui dirinya akan dibokong oleh
Jalu Kembara. Se-
raya bangkit, sepasang matanya naik dengan alis mata bertemu. Bibirnya tersenyum
pada Ratih Purnamasari
yang baru saja selamatkan dirinya dari terjangan kaki Jalu Kembara. Di pihak
lain, Ratih Purnamasari hanya tersenyum sekilas tanpa berani memandang lebih la-
ma, karena pakaiannya masih tak karuan. Dia lantas
miringkan tubuh untuk menyembunyikan sebagian
auratnya yang tampak tak tertutup.
"Mundur!" bentak Datuk Lembah Neraka.
Jalu Kembara yang dibentak beringsut melang-
kah mundur. Sementara Datuk Lembah Neraka maju
selangkah. Dari mulutnya terdengar teriakan nyaring.
Lantas tubuhnya melesat ke atas. Di atas udara, Da-
tuk Lembah Neraka putar-putar tasbihnya. Lalu seko-
nyong-konyong tubuhnya melayang turun dengan tas-
bih bergerak cepat ke arah kepala Aji.
Weeerrr! Pendekar Mata Keranjang 108 hantamkan tangan
kirinya lepaskan pukulan 'Bayu Cakra Buana'. Semen-
tara tangan kanannya berkelebat dengan tusukkan
ujung kipas pada perut Datuk Lembah Neraka.
Prakkk! Terdengar suara benturan tatkala tasbih Datuk
Lembah Neraka bergerak dan menghantam ujung ki-
pas. Datuk Lembah Neraka keluarkan suara menden-
gus marah, karena tasbihnya mental balik dan meng-
hantam pergelangan tangannya. Bukan hanya sampai
di situ, karena begitu kakinya mendarat di atas tanah, pukulan tangan Pendekar
Mata Keranjang 108 datang
melabrak! "Bocah jahanam! Kalau saat ini aku tak bisa
membunuhmu, lebih baik mati!" kertak Datuk Lembah Neraka seraya kembangkan kedua
tangannya dan serta merta diangkat ke atas.
Pukulan Pendekar Mata Keranjang 108yangtadi
meluncur deras, mendadak bagai tertahan dan kini
bergerak pelan, membuat Datuk Lembah Neraka den-
gan leluasa melangkah perlahan satu langkah ke
samping untuk menghindar. Lalu dengan tertawa ter-


Pendekar Mata Keranjang 12 Datuk Lembah Neraka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kekeh-kekeh laki-laki jangkung bermata juling ini lepaskan tasbihnya. Sementara
tubuhnya sendiri berke-
lebat dengan kirimkan serangan.
Delapan larik sinar kuning redup melesat dari
empat jurusan, mengeluarkan suara menggemuruh
dahsyat! Pendekar Mata Keranjang 108 sejenak bagai ter-
perangah dengan serangan yang dilancarkan Datuk
Lembah Neraka. Namun dia segera sadar, dan dengan
cepat dia lesatkan tubuhnya ke atas dengan membuat
gerakan berputar di udara. Seraya membuat putaran-
putaran di udara, pendekar murid Wong Agung ini ki-
bas-kibaskan kipasnya sedemikian rupa untuk melin-
dungi dirinya. Karena kibasan kipas itu dengan pengerahan tenaga dalam, maka tak
heran jika saat itu juga tubuh Pendekar Mata Keranjang 108 laksana diselimuti
gulungan-gulungan asap putih yang tak bisa ditem-
bus! Datuk Lembah Neraka menyeringai seraya ber-
gumam panjang pendek. Lantas dia dongakkan kepala
seraya bibir berkemik-kemik. Lalu dengan segera ke-
dua tangannya diangkat ke atas kepala lalu diputar-
putar. Mendadak tempat itu menjadi gelap pekat. Yang tampak hanya lah gulungan
asap putih yang masih
membungkus tubuh Pendekar Mata Keranjang 108.
Pada saat itulah Datuk Lembah Neraka melompat
menerabas kepekatan suasana dan menggebrak den-
gan kedua tangan mengepal ke arah kepala Pendekar
Mata Keranjang 108!
Pendekar Mata Keranjang hanya mendengar de-
ruan angin yang menyambar ke arah kepalanya. Dan
tatkala kepalanya dia rundukkan sedikit, dua pasang
lengan berkelebat deras di atasnya.
Selagi Pendekar Mata Keranjang 108 rundukkan
kepala, tiba-tiba lengan yang menerabas di atasnya
berhenti dan serta merta menghujam ke bawah!
"Edan! Dia mampu menghentikan gerakan tan-
gannya dengan tiba-tiba!" gumam Pendekar Mata Keranjang 108 dalam hati sambil
silangkan kedua tan-
gannya di atas kepala.
Prakkk! Dua lengan bentrok di udara. Namun karena
hantaman Datuk Lembah Neraka ke arah bawah, ma-
ka tekanannya jelas lebih besar, membuat Pendekar
108 tersurut tiga langkah ke belakang. Murid Wong
Agung ini mencoba kerahkan tenaga agar mampu me-
nahan tubuhnya yang terhuyung-huyung. Namun kaki
kanannya telanjur goyah, dan tak lama kemudian
Pendekar Mata Keranjang jatuh terduduk!
"Murid Wong Agung! Ternyata nama besarmu
hanyalah bualan kosong!" kata Datuk Lembah Neraka seraya melangkah mendekat.
Kedua tangannya yang
tadi disilangkan di depan dada, dia kembangkan ke
depan. Di seberang, Pendekar Mata Keranjang 108 ker-
takan rahang dengan paras merah padam. Dia segera
bangkit dan menatap nyalang pada Datuk Lembah Ne-
raka seraya berkata.
"Datuk Lembah Neraka! Aku tak punya nama be-
sar. Namun untuk menguburmu kedua tanganku ma-
sih sanggup!"
Ratih Purnamasari yang mendengar nama dis-
ebut orang, tersentak kaget! Dengan sepasang mata
dibesarkan, dia tatap lekat-lekat Datuk Lembah Nera-
ka. "Mana ini yang benar" Kata Guru, Datuk Lembah Neraka telah tewas. Apakah
memang benar, di dunia
banyak orang bergelar Datuk Lembah Neraka" Tapi
menurut yang pernah kulihat, dan kudengar gelar itu
hanya akan digunakan oleh satu orang. Hmm.... Aku
tak habis pikir...," kata Ratih Purnamasari seraya terus memandangi Datuk Lembah
Neraka seraya tercenung.
Di lain pihak, mendengar kata-kata Pendekar Ma-
ta Keranjang 108, Datuk Lembah Neraka mendehem
beberapa kali. Lalu tertawa dan berkata.
"Gurumu saja tidak sanggup membunuhku, apa
lagi kau!"
"Beliau memang tidak ada niatan untuk membu-
nuhmu, karena dia berharap kau akan kembali ke ja-
lan kebaikan. Namun nyatanya kau tak berubah. Mati
memang layak untukmu!"
Datuk Lembah Neraka bukannya jengkel diejek
demikian rupa, malah dia keluarkan tawa bergerai.
"Gurumu, dari dulu memang begitu. Jika tidak
sanggup membunuh musuh, maka alasannya ya begi-
tu itu. Alasan yang cocok digunakan pada anak-anak
kecil. Sekarang giliranku yang akan membunuhnya ji-
ka dia dahulu tak mau membunuhku! Tapi sebelum-
nya kepalamu akan kuhadiahkan untuknya!"
Habis berkata, Datuk Lembah Neraka lemparkan
tasbihnya pada Jalu Kembara. Lalu secepat kilat tu-
buhnya berkelebat lenyap. Dan tahu-tahu tubuhnya
telah berada dua langkah di hadapan Pendekar Mata
Keranjang 108 dengan kedua tangan berkelebat meng-
hantam muka! Pendekar Mata Keranjang 108 yang bersikap
waspada segera tarik wajahnya ke belakang. Namun
ternyata hantaman tangan itu hanyalah tipuan belaka.
Karena saat Pendekar Mata Keranjang 108 tarik kepa-
lanya, kaki kanan Datuk Lembah Neraka menggaet
kaki Pendekar Mata Keranjang dengan keras.
Pendekar 108 terkejut bukan main. Dia segera
imbangi dirinya dengan doyongkan kembali wajahnya.
Namun karena gaetan kaki Datuk Lembah Neraka ter-
lalu keras, membuat tubuh murid Wong Agung ini ter-
jerembab dahulu sebelum sempat bertindak lebih jauh.
Pada saat itulah, Datuk Lembah Neraka hantam-
kan kedua tangannya dengan tenaga dalam penuh!
Wuuuttt! Mengetahui bahaya besar, Pendekar Mata Keran-
jang 108 segera gulingkan tubuhnya. Dan dalam kea-
daan miring, tangan kanannya berkelebat mengi-
baskan kipasnya sementara tangan kirinya lepaskan
pukulan 'Bayu Cakra Buana'.
Plarrr! Plaaarrr!
Dua tenaga dalam bertemu. Larikan kuning re-
dup yang melesat menyambar dari kedua tangan Da-
tuk Lembah Neraka lenyap musnah. Namun bias angin
serangan masih mampu membuat Pendekar Mata Ke-
ranjang 108 terseret satu tombak ke belakang. Di lain pihak, Datuk Lembah Neraka
sendiri terpelanting dan
tubuhnya menyuruk tanah! Darah segar telah memba-
sahi bibir dan bajunya. Sementara kedua tangannya
berubah merah dan sakit bila digerakkan.
"Jahanam! Kucincang tubuhmu!" teriak Datuk Lembah Neraka seraya bangkit. Namun
baru saja laki-laki jangkung berkepala gundul ini hendak lancarkan serangan,
terdengar seruan lantang.
"Hentikan pertempuran!"
Semua kepala yang ada di situ segera palingkan
wajah masing-masing ke arah orang yang berseru.
Wisnu Paladasa dan Jalu Kembara mengawasi
dengan pandangan mengejek sinis pada orang yang
baru datang. Sementara Pendekar Mata Keranjang 108
menatap dengan dahi berkerut. Sedangkan Datuk
Lembah Neraka yang berpaling hanya sekilas tampak
mengernyitkan kening. Bibirnya terkatup rapat. Se-
mentara mata kanannya membesar tak kesiap.
"Apakah memang dia?" terdengar gumaman dari mulut Datuk Lembah Neraka.
Sementara itu Ratih Purnamasari, demi melihat
siapa adanya orang yang berseru, segera menghambur
dan jatuhkan diri.
"Guru! Maafkan muridmu yang gagal melaksana-
kan tugas!"
Orang yang dipanggil Guru oleh Ratih Purnama-
sari dan baru saja keluarkan seruan tak mengacuhkan
pandangan mata beberapa orang di situ. Tanpa meno-
leh dia melangkah ke arah muridnya.
*** DELAPAN DIA adalah seorang perempuan. Meski umurnya
bisa dibilang tidak muda lagi, namun paras wajahnya
masih menampakkan sisa-sisa kecantikan. Rambutnya
panjang sepinggang. Mengenakan pakaian bawah se-
perti jarit, sementara pakaian atasnya berupa baju
lengan panjang. Di pinggangnya nampak melilit seutas ikat pinggang warna merah.
Sepasang matanya bulat
dan bersinar dengan mulut mengunyah sirih, mem-
buat bibirnya yang telah merah itu semakin merah.
"Apa kerjamu di sini?" bentak perempuan yang dipanggil Guru oleh Ratih
Purnamasari. Ratih Purnamasari tidak segera menjawab perta-
nyaan gurunya. Dia angkat kepalanya. Lalu meman-
dangi wajah gurunya lekat-lekat.
Wajah gadis ini jelas menampakkan rasa takut.
Sebelum gadis ini buka suara, sang guru membentak
garang. "Kalau memang gagal membekuk Wong Agung
seharusnya kau cepat pulang!"
"Guru...! Aku memang dalam perjalanan pulang.
Tapi di tempat ini aku bertemu dengan dua orang yang berbuat keji pada penduduk.
Aku...." Ratih Purnamasari tak meneruskan kata-katanya
karena saat itu juga sang guru telah menyela dengan
suara tetap tinggi.
"Murid bodoh! Apa untungnya kau ikut-ikutan
mengurusi penduduk" Tugasmu hanya membekuk
Wong Agung! Lain tidak!"
Ratih Purnamasari tundukkan kepala tak berani
memandangi gurunya. Tubuhnya tampak sedikit ber-
getar. Tangannya bergerak menutupi bagian tubuhnya
yang terbuka, membuat sang guru berkerut dan berka-
ta. "Apa yang kau perbuat hingga pakaianmu begitu rupa!" "Sewaktu bentrok dengan
dua jahanam itu, mereka berhasil merobek pakaianku. Malah hampir-
hampir saja memperkosaku!"
Orang yang dipanggil Guru oleh Ratih Purnama-
sari palingkan wajah pada Jalu Kembara dan Wisnu
Paladasa. Sepasang mata perempuan ini membeliak
besar dengan mulut komat-kamit menggumam sesua-
tu yang tak jelas. Alis matanya terangkat dengan pelipis bergerak-gerak.
Namun Wisnu Paladasa dan Jalu Kembara seper-
tinya acuh dengan pandangan marah guru Ratih Pur-
namasari. Malah mulut kedua orang ini, sunggingkan
senyum. Mereka berbuat begitu karena mereka yakin,
jika guru Ratih Purnamasari bertindak ayal. Maka Da-
tuk Lembah Neraka tak akan tinggal diam.
Melihat sikap gurunya, Ratih Purnamasari ang-
kat bicara. "Guru! Mereka berdua adalah murid...," Ratih Purnamasari sengaja penggal kata-
katanya, membuat
sang Guru menatap lurus pada gadis ini. Saat itulah
Ratih Purnamasari lirikkan matanya pada Datuk Lem-
bah Neraka yang berada tak jauh dari sampingnya.
Mendapati pandangan muridnya, sang Guru yang
bukan lain adalah I Gusti Ayu Wayan Rimaksari sedi-
kit merasa heran. Dahinya berkerut. Lalu pandangan-
nya menebar pada Wisnu Paladasa dan Jalu Kembara.
Saat melihat dua laki-laki ini, I Gusti Ayu Wayan Rimaksari sedikit terkejut. Lalu pandangannya beralih
pada Pendekar Mata Keranjang 108. Perempuan agak
tua yang masih menampakkan kecantikan ini sedikit
terkesiap. Dia memandanginya agak lama. Lantas keti-
ka pandangannya berujung pada Datuk Lembah Nera-
ka, I Gusti Ayu Wayan Rimaksari surutkan langkah ke
belakang. Keningnya semakin berkerut. Sepasang ma-
tanya menyipit dan membesar. Dan tiba-tiba bibirnya
berkemik dengan mengucapkan nama perlahan.
"Dadaka Lanang...."
Di lain pihak, Datuk Lembah Neraka saat itu juga
sedang memandang I Gusti Ayu Wayan Rimaksari. Dua
pasang mata saling bertemu. Dada dua orang ini sa-
ma-sama saling berdebar.
"Apakah mataku tidak kabur..." Atau ini hanya
mimpi..." Bukankah Datuk Lembah Neraka telah tewas
di tangan Wong Agung pada beberapa puluh tahun si-
lam" Ataukah dia mirip Datuk Lembah Neraka...?" ke-bimbangan kembali mendera I
Gusti Ayu Wayan Ri-
maksari. "Gusti Ayu...," sebut Datuk Lembah Neraka seraya melangkah mendekati.
Tenggorokan I Gusti Ayu Wayan Rimaksari serasa
tercekik mendengar namanya disebut. Air mukanya
mendadak berubah putih lalu merah. Dan tanpa sa-
dar, dia pun lantas kembali menyebutkan nama.
"Dadaka Lanang...!"
Datuk Lembah Neraka mendekat. Dan begitu ya-
kin bahwa perempuan tak jauh di sampingnya adalah I
Gusti Ayu Wayan Rimaksari, dia percepat langkah.
Di lain pihak, Pendekar Mata Keranjang 108 se-
nyam-senyum menyaksikan pertemuan kembali dua
kekasih yang telah lama tak jumpa bahkan telah didu-
ga meninggal dunia.
Sementara itu, Ratih Purnamasari mengawasi tak
kesiap. Dalam hati dia berkata.
"Hmm.... Benar apa yang dikatakan Wong Agung.
Telah terjadi salah paham dalam hal ini. Tapi tampaknya Datuk Lembah Neraka
masih memendam den-
dam...." "Kau baik-baik saja selama ini Gusti Ayu...?"
tanya Datuk Lembah Neraka dengan menggenggam
kedua tangan I Gusti Ayu Wayan Rimaksari. Perem-
puan ini agak tersipu malu. Wajahnya merah saga. Se-
jenak dia melirik pada Ratih Purnamasari. Yang dilirik alihkan pandangan pada
jurusan lain. Wajahnya tampak merah merona. Perlahan entah malu atau tidak
suka, Ratih Purnamasari melangkah agak menjauh.
Seraya melangkah dia menggumam.


Pendekar Mata Keranjang 12 Datuk Lembah Neraka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Hm.... Nyatanya cinta tidak memandang usia
dan tempat! Mereka sepertinya menganggap tidak ada
orang lain!"
"Kakang.... Kukira kau telah tewas...," kata Gusti Ayu Wayan Rimaksari dengan
menatap bola mata Datuk Lembah Neraka.
Datuk Lembah Neraka tertawa terkekeh.
"Semestinya memang begitu. Namun malaikat
rupanya tak sampai hati mencabut nyawaku. Malah
sebentar lagi Wong Agung yang akan kuantar ke liang
kubur! Dan setelah itu, kita akan bersenang-
senang...."
I Gusti Ayu Wayan Rimaksari kembali parasnya
merah mengelam. Dengan tak mengalihkan pandan-
gan, perempuan berwajah cantik ini berkata.
"Ke mana saja kau selama ini..."!"
Datuk Lembah Neraka mendehem beberapa kali.
Lalu menjawab perlahan.
"Sejak peristiwa pertarungan berdarah dengan
Wong Agung, aku melarikan diri. Aku malu pada orang
dan pada diriku sendiri. Lebih-lebih padamu. Karena
Wong Agung telah menjulingkan mata kananku, dan
menghilangkan kedua daun telingaku...," sejenak Datuk Lembah Neraka hentikan
kata-katanya. Parasnya
tiba-tiba berubah. Dagunya terangkat dengan mata kiri membeliak.
"Percayalah Kakang. Bagaimana keadaanmu. Aku
tetap yang dulu!" sela I Gusti Ayu Wayan Rimaksari dengan mempererat genggaman
tangannya. "Sejak saat itulah aku menyendiri seraya mem-
perdalam ilmu untuk suatu saat membuat perhitun-
gan. Dan saat itu kini telah tiba. Kau tahu, manusia itu adalah murid keparat
Wong Agung. Dia akan kuhadiahkan pada gurunya. Tapi hanya kepalanya!" kata Datuk
Lembah Neraka seraya angkat bahunya menunjuk pada Pendekar Mata Keranjang 108.
"Murid Wong Agung..." Berarti manusia yang di-
gelari Pendekar Mata Keranjang 108!" kata I Gusti Ayu Wayan Rimaksari seraya
layangkan pandangannya pa-da Pendekar Mata Keranjang 108 yang saat itu juga
sedang memandang ke arahnya.
"Aku akan selesaikan dahulu kunyuk satu itu!"
kata Datuk Lembah Neraka seraya lepaskan gengga-
man tangannya. Sebenarnya I Gusti Ayu Wayan Rimaksari ingin
mencegah. Namun Datuk Lembah Neraka telah keburu
berkelebat dan secara mendadak langsung kirimkan
serangan pada Pendekar Mata Keranjang 108!
Pendekar Mata Keranjang 108 yang telah me-
nunggu cepat membuat gerakan berputar dua kali di
belakang. Dan begitu mendarat, kedua tangannya dia
hantamkan ke depan!
Serangan yang dilancarkan Datuk Lembah Nera-
ka tertahan di udara. Hingga membuat Datuk Lembah
Neraka ini terpengarah kaget. Demikian I Gusti Ayu
Wayan Rimaksari. Dia tak menduga jika kelebatan ki-
pas pemuda itu sanggup menahan gerak laju pukulan
Datuk Lembah Neraka yang pada dekade silam ditaku-
ti beberapa tokoh baik dari golongan putih atau hitam.
Bahkan sebaliknya, pukulan tangan kiri Pende-
kar 108 kini menerabas terus ke arah Datuk Lembah
Neraka yang masih seperti terkesiap.
"Hm.... Ini sangat bahaya! Aku harus menolong-
nya!" membatin I Gusti Ayu Wayan Rimaksari. Dia lantas berkata.
"Kakang! Awas serangan!"
Mungkin karena masih terkesima atau memang
sedang menunggu, Datuk Lembah Neraka tidak ber-
geming dari tempatnya, malah menggerakkan anggota
tubuhnya untuk menangkis serangan pun tidak,
membuat I Gusti Ayu Wayan Rimaksari segera me-
lompat di hadapannya dan serta merta dorong kedua
tangannya. Bummm! Terdengar ledakan dahsyat ketika serangan yang
menggebrak dari tangan kiri Pendekar 108 bentrok
dengan pukulan yang dilancarkan I Gusti Ayu Wayan
Rimaksari. Namun karena sewaktu menangkis serangan be-
gitu mendadak dan jaraknya telah dekat, membuat pe-
rempuan ini keluarkan jeritan tertahan, tubuhnya terseret ke belakang. Untung
Datuk Lembah Neraka yang
seakan baru tersadar dan berada di belakangnya sege-
ra tanggap. Dengan sigap, tubuh kekasihnya itu ia ser-
gap hingga selamatlah dia dari menghempasan di atas
tanah. "Gusti Ayu.... Menyingkirlah! Biar aku sendiri
yang menghadapinya!" kata Datuk Lembah Neraka seraya tersenyum mesra.
I Gusti Ayu Wayan Rimaksari menggeleng perla-
han. "Kau jangan menganggapnya remeh. Kita hadapi manusia itu bersama-sama agar
cepat selesai. Apa kau tidak ingin urusan ini cepat selesai...?" kata I Gusti
Ayu Wayan Rimaksari seraya mengerling.
"Kita bagi perhatiannya. Dengan demikian seran-
gannya akan tertuju pada dua tempat. Di situ pasti
akan banyak tempat yang kosong!" sambung I Gusti Ayu Wayan Rimaksari seraya
melepaskan diri dari
rengkuhan tangan Datuk Lembah Neraka.
"Hmm.... Tak enak rasanya bertarung dengan
orang yang sedang dimabuk kasmaran. Lebih baik aku
mencari waktu yang tepat saja. Aku akan tinggalkan
tempat ini...."
Berpikir sampai di situ, Pendekar Mata Keranjang
108 lantas mengerling pada Ratih Purnamasari. Dan
tatkala diliriknya gadis ini sedang memandangnya,
pendekar murid Wong Agung ini berpaling ke arah
sang gadis seraya kerdipkan sebelah matanya.
Ratih Purnamasari yang saat itu memang sedang
memandang pada Pendekar Mata Keranjang tersentak
kaget. Parasnya serentak berubah merah bersemu pu-
tih. Bibirnya lalu tersenyum, namun pandangannya
dia alihkan ke jurusan lain.
"Gila! Dalam keadaan begini, dia masih sempat
memainkan matanya! Benar-benar edan...! Tapi.... Dia memang menarik!" kata Ratih
Purnamasari dalam hati seraya lirikkan ekor matanya.
Dia serentak palingkan wajahnya begitu terlihat
Pendekar Mata Keranjang melangkah hendak pergi.
Mulutnya yang sedari tadi tersenyum hendak berkata.
Namun sebelum mulutnya terbuka, dari arah samping
terdengar bentakan menggelegar.
"Jangan mimpi bisa lari dari tanganku, Bocah!"
Mendengar bentakan, Pendekar Mata Keranjang
108 urungkan niat untuk melanjutkan langkah. Dia
balikkan tubuh dan balas membentak.
"Siapa mau lari" Aku cuma tidak suka bertarung
dengan orang yang sedang kasmaran. Lebih baik ka-
lian berkangen-kangen dahulu!"
"Kurang ajar!" sentak Datuk Lembah Neraka seraya menyeringai. Sementara itu I
Gusti Ayu Wayan
Rimaksari merah padam mukanya. Dia berkata dengan
menatap tajam tak kesiap.
"Kakang, manusia seperti dia terlalu bermulut ji-ka dibiarkan!"
Sepasang kekasih ini lantas segera berjajar. Dan
didahului bentakan garang Datuk Lembah Neraka, ke-
dua kekasih ini sama-sama lepaskan pukulan.
Empat larik sinar kuning redup serta larikan-
larikan sinar hitam yang keluarkan suara bak gelom-
bang segera menghampar ke arah Pendekar Mata Ke-
ranjang 108! Pendekar Mata Keranjang 108 terbelalak melihat
ganasnya serangan. Dengan perkokoh kuda-kuda se-
pasang kakinya, murid Wong Agung ini lantas hem-
paskan kipas yang berada di tangan kanannya. Se-
mentara tangan kirinya melepaskan 'Bayu Cakra Bua-
na'. Wuusss! Wuuttt!
Dua pukulan sakti melesat ke depan. Satu me-
mapak sinar kuning redup, sementara satunya lagi
memapasi larikan sinar hitam!
Bummm! Bummm! Tempat itu laksana dibuncah gempa dahsyat.
Rumah-rumah di sekitarnya banyak yang bergoyang
dan roboh berderak. Sementara tanah tempat berte-
munya serangan menjadi kubangan yang dalam.
I Gusti Ayu Wayan Rimaksari menjerit keras. Tu-
buhnya terpelanting sampai beberapa tombak ke bela-
kang. Tangan dan dadanya berdenyut sakit. Bahkan di
sudut bibirnya terlihat genangan darah agak hitam,
pertanda dia terluka cukup parah.
Di lain pihak, Datuk Lembah Neraka sendiri ber-
seru tertahan. Tubuhnya pun terjengkang, namun dia
segera dapat kuasai diri sebelum pantatnya menyen-
tuh tanah. Murid Wong Agung sendiri terhuyung-huyung ke
belakang seraya pegangi dadanya. Dari sudut bibirnya pun tampak mengalir darah.
Namun pemuda ini seakan tidak peduli. Dia segera bangkit.
"Akan kucoba menggunakan 'Bayu Kencana'!"
gumam Aji seraya pindahkan pegangan pada kipasnya
ke tangan kiri, sementara tangan kanan dia buka di
depan dada. Datuk Lembah Neraka gegat gerahamnya. Da-
gunya terangkat dengan sepasang mata seakan hen-
dak memberojol keluar. Kemarahannya tampaknya
sudah mencapai ubun-ubun. Apalagi ketika melihat I
Gusti Ayu Wayan Rimaksari terluka.
Dengan bentakan nyaring, laki-laki jangkung ini
segera dorongkan kedua tangannya. Mulutnya berke-
mik dengan dada bergetar.
Weeesss! Serangkum angin dahsyat yang keluarkan warna-
warna redup melesat keluar disertai hawa panas!
Pendekar Mata Keranjang 108 menarik napas da-
lam-dalam. Tenaga dalamnya dia kerahkan ke tangan
kiri dan kanan. Lalu tangan kanannya dibuka perla-
han, sementara tangan kiri yang memegang kipas di-
palangkan di depan dada.
Angin dahsyat yang keluar dari kedua tangan Da-
tuk Lembah Neraka serta merta bergerak perlahan dan
malah kini menuju satu titik, yakni telapak tangan
Pendekar Mata Keranjang. Tampaknya murid Wong
Agung telah gunakan jurus 'Bayu Kencana'.
Datuk Lembah Neraka terkesiap kaget. Dia men-
coba menambah tenaga dalamnya untuk menjebol te-
lapak tangan Pendekar Mata Keranjang 108. Namun
usahanya tidak ada guna, malah tenaganya semakin
tersedot masuk!
Namun laki-laki jangkung ini tak mau begitu saja
menyerah. Dia kembali mencoba dengan keluarkan te-
naga luar dan dalam. Tapi ternyata usahanya sia-sia, malah kakinya kini goyah
dan perlahan-lahan ikut terseret ke depan.
Melihat keadaan ini, Wisnu Paladasa dan Jalu
Kembara segera bangkit hendak menolong, namun se-
belum mereka berdua bergerak, I Gusti Ayu Wayan
Rimaksari telah bergerak mendahului.
Tubuh perempuan ini berkelebat lenyap. Dan ta-
hu-tahu tubuhnya menerabas dari belakang Pendekar
Mata Keranjang 108. Pendekar murid Wong Agung ini
terkejut. Dia segera putar kipasnya ke belakang.
Seberkas sinar putih berkelebat melengkung ke
belakang. I Gusti Ayu Wayan Rimaksari ganti terkejut. Na-
mun karena dia sudah kepalang meluncur, maka den-
gan wajah pucat pasi dia hantamkan kedua tangan-
nya. Plarrr! Terdengar letupan keras. Karena waktu melan-
carkan serangan berada di atas udara membuat tu-
buhnya terpelanting jauh. Lalu bergedebukan di atas
tanah dengan darah semakin banyak menggenangi su-
dut bibirnya. Namun karena mendapat serangan dari belakang
ini membuat perhatian Aji pada Datuk Lembah Neraka
sedikit terpengaruh. Hingga kejap itu jugs tubuh Da-
tuk Lembah Neraka terhenti. Dan kesempatan ini
nampaknya tidak di sia-siakan oleh Datuk Lembah Ne-
raka. Dengan menggereng, dia melompat ke hadapan
Pendekar Mata Keranjang 108 dan hantamkan kedua
tangannya ke arah kepala.
Pendekar murid Wong Agung ini terperangah ka-
get, dia buru-buru rundukkan kepalanya. Namun
mendadak saja kaki Datuk Lembah Neraka berkelebat
cepat. Bukkk! Pendekar 108 terbanting di atas tanah. Seakan
ingin segera menyudahi pertarungan, saat itu juga Datuk Lembah Neraka berkelebat
lagi dan tahu-tahu ke-
dua tangannya telah kirimkan serangan ganas!
"Pengecut! Licik!" tiba-tiba terdengar seruan. Bersamaan dengan itu berdesir
angin dahsyat memapasi
serangan Datuk Lembah Neraka.
*** SEMBILAN DENGAN sumpah serapah panjang pendek, Da-
tuk Lembah Neraka palingkan wajah ke samping.
Di situ telah berdiri tegak seorang laki-laki bertu-
buh tambun besar. Rambutnya panjang dengan pa-
kaian ketat. Dia berdiri dengan bertopang pada dua
bambu kecil yang berada di ketiaknya. Karena laki-laki ini ternyata tidak
memiliki sepasang kaki.
"Gongging...," seru Pendekar 108 dengan usap bibirnya yang masih keluarkan
darah. Laki-laki yang dipanggil mengangguk perlahan.
Lalu melangkah ke arah Aji. Hebatnya, suara ketukan
bambunya mampu membuat dua murid Datuk Lem-
bah Neraka saling pandang dan tutup telinga masing-
masing. Sementara Ratih Purnamasari segera kerah-
kan tenaga dalam untuk menangkis suara ketukan
yang bagai menusuk telinganya.
Di lain pihak, Datuk Lembah Neraka terkesiap.


Pendekar Mata Keranjang 12 Datuk Lembah Neraka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dia memperhatikan laki-laki tanpa kaki dengan sek-
sama. Dahinya berkerut seolah mengingat-ingat.
"Jahanam! Aku tak berhasil mengenalinya! Tapi
siapa pun dia. tampaknya dia mempunyai ilmu tinggi.
Suara ketukan bambunya saja sudah demikian dah-
syat. Hmm... Sebaiknya aku menyingkir terlebih dahu-
lu. Gusti Ayu dalam keadaan terluka..,," membatin Datuk Lembah Neraka. Lalu dia
berkelebat ke arah I Gus-ti Ayu Wayan Rimaksari. Membimbingnya bangkit dan
berkata perlahan.
"Gusti Ayu.... Kita harus tinggalkan tempat ini.
Kita bisa bikin perhitungan lagi. Lagi pula datang pe-nolongnya yang ilmunya
kurasa tinggi juga...."
I Gusti Ayu Wayan Rimaksari mengangguk. Ke-
duanya lantas memberi isyarat pada murid masing-
masing untuk pergi. Wisnu Paladasa dan Jalu Kemba-
ra segera menyambuti. Namun tidak demikian Ratih
Purnamasari. Dia masih menatap Pendekar Mata Ke-
ranjang 108 dengan pandangan aneh.
"Hmm.... Kau ragu-ragu. Kau tertarik dengan
pemuda itu..."!" kata I Gusti Ayu Wayan Rimaksari.
Paras wajah Ratih Purnamasari merah padam.
Mulutnya mengucapkan sesuatu yang tak bisa ditang-
kap pendengaran. Lalu tanpa memandang pada gu-
runya, gadis ini meninggalkan tempat itu.
"Murid Wong Agung! Tunggulah. Hal ini tidak
hanya sampai di sini!"
Habis berkata begitu, Datuk Lembah Neraka ba-
likkan tubuh dan menggandeng tangan I Gusti Ayu
Wayan Rimaksari lalu berkelebat pergi.
Pendekar Mata Keranjang 108 hendak mengejar.
Namun segera dicegah oleh laki-laki tanpa kaki yang
bukan lain adalah Gongging Baladewa.
"Tak usah dikejar. Saatnya akan tiba kalian un-
tuk dipertemukan lagi!"
Pendekar Mata Keranjang 108 menarik napas da-
lam-dalam. Sebenarnya hatinya masih panas. Namun
karena dicegah oleh Gongging Baladewa maka meski
dengan menggerutu dalam hati, Aji hanya bisa diam
mengawasi kepergian Datuk Lembah Neraka dan I
Gusti Ayu Wayan Rimaksari bersama muridnya.
"Kau terluka, sebaiknya kau ikut aku dahulu!"
berkata Gongging Baladewa dengan terbatuk-batuk
kecil. Pendekar Mata Keranjang 108 menjura hormat.
Lalu berkata. "Terima kasih atas pertolonganmu...."
Gongging Baladewa tertawa pelan. Lalu dengan
bambunya dia pukul punggung Aji. Aji melengak kaget.
Pada saat itulah dengan kecepatan luar biasa, Gongg-
ing Baladewa bungkukkan tubuh. Tangan kanannya
bergerak cepat meraih tubuh Pendekar Mata Keranjang
108 dan diselipkannya di ketiak.
Dengan tertawa gerai-gerai, Gongging Baladewa
melesat lenyap dari tempat itu diiringi suara sengalan batuk Pendekar Mata
Keranjang 108 yang berada di
ketiaknya. SELESAI Segera terbit: MENDUNG DI LANGIT KEPATIHAN
Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
Balada Di Karang Sewu 3 Pendekar Panji Sakti Karya Khu Lung Si Kumbang Merah 10
^