Pencarian

Mendung Dilangit Kepatihan 2

Pendekar Mata Keranjang 13 Mendung Di Langit Kepatihan Bagian 2


bersanding dengan gadis cantik itu!"
Pendekar 108 kertakkan rahang disebut Anak
Monyet. Dia alirkan tenaga dalam siap lepaskan puku-
lan 'Bayu Cakra Buana'. Namun baru saja hendak ber-
gerak, Kali Nyamat telah berkelebat. Tangan kanannya menyahut ujung selendang,
dan serta-merta dikebutkan! Selendang merah kembali meliuk. Kini lemas
meliuk-liuk dengan keluarkan suara berdesir. Begitu
selendang bergerak meliuk, Kali Nyamat ikut berkele-
bat memutar. Pendekar Mata Keranjang 108 memekik terta-
han. Karena tubuhnya terasa tegang dan tak bisa di-
gerakkan. Ternyata selendang merah telah melilit tu-
buhnya! Pendekar 108 kerahkan tenaga untuk membe-
baskan diri dari lilitan selendang. Namun begitu dia kerahkan tenaga, lilitan
itu dirasa semakin melilit. Dan sebelum murid Wong Agung ini mendapat jalan
untuk melepaskan diri, Kali Nyamat tarik selendang merah-
nya. Tubuh Pendekar Mata Keranjang 108 berputar,
dan begitu lilitan terlepas, tubuh Aji terbanting di atas tanah! Kali Nyamat
melangkah mendekat. Dan kali ini, tanpa berkata-kata lagi, kaki kanannya
bergerak hendak menendang tubuh Aji yang masih terkapar di atas
tanah! Saat itulah, serangkum angin dahsyat meng-
hampar ke arah murid Wong Agung seolah mengha-
langi tendangan yang hendak dikirimkan Kali Nyamat.
*** EMPAT MESKI tampak terperangah kaget, namun pe-
rempuan bertubuh gembrot ini tak hendak urungkan
niat. Dia teruskan tendangan. Dan begitu tendangan
sejengkal lagi menghantam, kembali serangkum angin
berdesir dahsyat. Tendangan kaki Kali Nyamat melen-
ceng menghajar angin sejengkal di samping tubuh
Pendekar 108. Kali Nyamat menggeram marah. Seraya paling-
kan wajah, kedua tangannya bergerak. Tangan kanan
kebutkan selendang, sementara tangan kiri memukul.
Bersamaan dengan kelebatnya selendang dan
melesatnya angin yang keluarkan suara menggemu-
ruh, sesosok tubuh melenting ke udara seraya berte-
riak. "Gembung! Tak layak kau bertangan besi pada anak kecil. Apalagi dia sudah
tak berdaya!"
"Kau...!" desis Kali Nyamat begitu tahu siapa adanya sosok yang berteriak dan
baru saja selamatkan jiwa Pendekar Mata Keranjang dari tendangan kaki.
Di hadapan Kali Nyamat berdiri tegak sesosok
tubuh kurus kering. Rambutnya yang sangat tipis dan
tampak kaku disanggul lurus ke atas, hingga mirip sebuah tusuk konde. Sepasang
kakinya yang kurus kecil
mengenakan terompah sangat besar dari kayu berwar-
na hitam. "Tikus kurus! Seharusnya sejak kecil dulu kau
mesti kugencet. Aku sekarang menyesal! Menyesal
mengapa tidak menggencetmu sejak dulu-dulu! Hik....
Hik.... Hik...!"
Orang yang memakai terompah besar dan bu-
kan lain adalah Rayi Seroja atau Dewi Bayang-Bayang
yang juga adalah adik kandung Kali Nyamat terse-
nyum-senyum mendengar ucapan kakaknya.
"Tikus kurus!" kembali Kali Nyamat berkata.
Nada suaranya tinggi, sementara sepasang matanya
tak memandang ke arah Rayi Seroja. "Lekas minggat dari hadapanku mumpung otakku
masih waras. Jika
tidak, aku akan menutup mata walau sama saudara!
Hik.... Hik.... Hik...!"
Mendengar ancaman, Rayi Seroja bukannya ta-
kut. Dia dongakkan kepalanya sembari tersenyum. La-
lu dengan enaknya duduk menggelosor seraya pan-
dangi Pendekar 108 lalu beralih pada Eyang Selaksa
dan berujung pada Ajeng Roro. Lalu dengan sedikit
bungkukkan tubuh dia berkata.
"Sobatku, Selaksa. Puluhan tahun kita tak
jumpa. Bagaimana keadaanmu" Terimalah salam dan
hormatku...!" setelah batuk-batuk beberapa kali dan tersenyum perempuan kurus
kering ini alihkan pandangannya pada Pendekar Mata Keranjang dan berka-
ta. "Pemuda berparas tampan, hm.... Aku rasa-
rasa belum pernah melihat dan mengenalmu, tapi me-
lihat sorot matamu, aku rasa kau pemuda bermata ke-
ranjang. Meski aku benci itu, namun sambutlah per-
kenalanku...!"
Walau dalam hati menggerendeng panjang pen-
dek tak karuan, namun mengingat jasa serta sebutan
sobat pada Eyang Selaksa membuat murid Wong
Agung itu membalas sapaan Rayi Seroja dengan juraan
hormat. Lantas perempuan bertubuh kurus kering ini
berpaling pada Ajeng Roro. Setelah tersenyum dia berkata, "Anak gadis berwajah
cantik. Tentunya kau murid sobatku Selaksa. Hmm..., sayang aku tak punya
murid laki-laki. Jika punya, mungkin sobatku Selaksa tak keberatan bila kuakan
berbesan...." Perempuan ini
lantas mengangguk yang dibalas pula anggukan kepala
oleh Ajeng Roro meski dengan raut bersemu merah.
Melihat tingkah adiknya, Kali Nyamat keraskan
cekikikannya. Lalu berkata, "Tikus tolol! Kuhitung hingga tujuh. Jika kau tak
segera bangkit serta angkat kaki dari depan hidungku, jangan salahkan Emak
mengandungmu bila kau harus tewas di tanganku!
Hik.... Hik.... Hik...!"
Rayi Seroja palingkan wajah menghadap Kali
Nyamat. Setelah sunggingkan senyum dia berkata
dengan wajah merah padam.
"Sialan kau, Gembung! Beraninya kau memaki-
ku serta Emak! Aku tak akan tinggalkan tempat ini.
Lagi pula apa jabatanmu hingga berani mengusirku.
Ini adalah tempat sobatku Selaksa. Dialah yang berhak menentukan siapa di antara
kita yang harus angkat
kaki!" "Jahanam! Kau memang tikus yang tak mau diuntung. Sekarang saudara
tinggal saudara. Terimalah kematianmu!"
"Terserah kau bilang apa. Yang pasti, kau tetap saudaraku!" sahut Rayi Seroja
dengan tidak memandang. Di seberang, baik Pendekar 108 atau Ajeng Ro-
ro geleng-geleng kepala kebingungan. Sementara
Eyang Selaksa yang tampaknya sudah tahu sifat ke-
dua orang ini hanya senyum-senyum.
Kali Nyamat yang mendapat jawaban seenak-
nya dari adik kandungnya ini tampaknya tak dapat la-
gi menguasai kemarahan yang sedari tadi ditahan-
tahan. Perempuan bertubuh gembrot ini segera angkat
tangan kirinya. Sementara tangan kanannya kebutkan
selendang! Selendang merah berkelebat angker, sementara
dari tangan kiri menyambar hamparan angin dahsyat
berhawa panas! Rayi Seroja masih tampak tenang-tenang saja.
Baru tatkala selendang dan hamparan angin sedepa
lagi menghajar tubuhnya, perempuan kurus kering ini
melesat tinggi ke udara. Di atas udara tubuhnya ber-
putar laksana baling-baling. Dan tiba-tiba terdengar suara bentakan nyaring.
Lalu bersamaan dengan itu
sosok Rayi Seroja lenyap dari pandangan.
Di kejap kemudian, terjadilah hal yang hampir
tak dapat dipercaya. Sosok kurus Rayi Seroja tahu-
tahu bergoyang-goyang di atas selendang Kali Nyamat
yang bergerak meliuk-liuk mencari sasaran!
"Ehhh.... Ehhh.... Rasa-rasanya lebih enak ber-
goyang di sini daripada harus duduk menggelosoh di
sana!" berkata Rayi Seroja seraya lejang-lejangkan kedua kakinya.
Karena lejangan kaki ini bukan lejangan biasa,
maka bersamaan dengan melejang-lejangnya kaki yang
berterompah besar itu menebar angin dahsyat yang
mengarah pada Kali Nyamat dari berbagai jurusan!
"Tikus Edan!" gerutu Kali Nyamat seraya sentakkan selendangnya. Hebatnya, begitu
Kali Nyamat sentakkan selendang, Rayi Seroja rebahkan diri di atas selendang dan mencoba
mencekal kelebatan selendang. Namun gerakannya kalah cepat. Sebelum tan-
gannya berhasil mencekal kedua samping selendang,
selendang itu telah tertarik ke belakang!
Mendapati hal ini, Rayi Seroja kerahkan tenaga
dalam. Dan kembali terjadi hal yang luar biasa. Sosok kurus Rayi Seroja yang
dalam rimba persilatan lebih
dikenal dengan Dewi Bayang-Bayang duduk dengan
kaki mencangklong di atas udara! Bukan hanya sam-
pai di situ, seraya duduk mengapung di atas udara,
Dewi Bayang-Bayang ini tersenyum-senyum seraya
kerdipkan sepasang matanya pada Pendekar Mata Ke-
ranjang 108! Pendekar 108 balas dengan kerdipkan sebelah
matanya, membuat Eyang Selaksa tertawa tertahan,
sementara Ajeng Roro alihkan pandangan dengan pa-
ras memberengut.
"Perempuan tak tahu malu. Tua-tua masih juga
suka main mata!" rutuk Ajeng Roro dengan bantingkan kaki. Di seberang, melihat
Rayi Seroja enak-enakan
mengapung di udara, Kali Nyamat yang juga lebih di-
kenal dengan gelar Dewi Kayangan keluarkan cekiki-
kan panjang. Lantas dengan pentangkan kedua ka-
kinya, dia kebutkan kembali selendang merahnya.
Untuk kali ini tampaknya Dewi Bayang-Bayang
tak ingin lagi melewatkan kesempatan. Begitu selen-
dang berkelebat, tubuhnya melenting ke udara. Sete-
lah membuat gerakan berputar beberapa kali, tiba-tiba tubuhnya melayang turun
dengan deras. Dewi Kayangan putar-putar selendang merah-
nya, hingga selendang itu berubah menjadi laksana
hamparan kayu pipih namun sebentar kemudian be-
rubah lagi, berubah laksana bayang-bayang ular yang
mengurung dan menyabet ke sana kemari dengan ke-
luarkan suara menderu-deru.
"Sial!" terdengar rutukan dari mulut Dewi
Bayang-Bayang, karena ternyata perempuan kurus
kering itu tak bisa menerabas kurungan selendang. Di lain pihak, Dewi Kayangan
perkeras tawa cekikikannya, lantas dengan didahului bentakan nyaring tinggi, dia
tarik sedikit selendangnya, sementara tangan kirinya menyentak dari bawah!
Dewi Bayang-Bayang keluarkan suara menjerit
tertahan. Selendang merah tahu-tahu telah melilit tubuhnya. Dan bersamaan dengan
menyambarnya angin
dari tangan kiri Dewi Kayangan, tubuh Dewi Bayang-
Bayang melenting ke udara dengan tubuh masih terlilit selendang.
Dewi Kayangan lantas tarik pulang balik selen-
dangnya beberapa kali. Di atas udara, kembali Dewi
Bayang-Bayang keluarkan jeritan tertahan beberapa
kali. Tubuhnya bergerak pulang balik di udara! Se-
iring pulang baliknya selendang Dewi Kayangan.
Dewi Bayang-Bayang pejamkan sepasang ma-
tanya, dia coba mengerahkan tenaga untuk lepaskan
diri dari belitan selendang. Namun nyatanya belitan itu begitu kuat, hingga
sampai pakaiannya basah kuyup
oleh keringat, perempuan kurus kering ini tak dapat
lepaskan diri. "Sial! Benar-benar sial!" kembali terdengar rutukan dari mulut Dewi Bayang-
Bayang yang tubuhnya
masih berada di atas udara seraya terbelit. Di bawah, Dewi Kayangan terus
mempermainkan selendangnya,
malah sesekali diputar lalu ditarik pulang balik sedikit-sedikit. Sembari
mempermainkan selendang, dari mu-
lutnya tak henti-henti keluar suara tawa cekikikan.
Namun mendadak saja suara tawa cekikikan
Dewi Kayangan terhenti. Sepasang matanya mendelik.
Dari arah depan, terlihat dua buah benda hitam mene-
rabas ke arahnya.
Dua benda hitam yang ternyata adalah terom-
pah besar milik Dewi Bayang-Bayang menderu. Hebat-
nya begitu satu tombak lagi menghantam, dua terom-
pah itu berpencar. Satu menerbas ke arah kanan ba-
gian tubuh Dewi Kayangan, sementara satunya lagi
menerabas mengarah pada bagian kiri.
Seraya mundur dua langkah, Dewi Kayangan
pukulkan tangan kirinya. Terompah yang mengarah ke
samping kiri mencelat balik. Namun karena tangan se-
belah kanan sedang memegangi selendang, maka te-
rompah yang datang dari sebelah kanan ini tak bisa
lagi dibendungnya, hingga saat itu juga terdengar pekikan tertahan dari mulut
Dewi Kayangan. Bersamaan dengan keluarnya suara pekikan,
pegangan pada selendang sedikit mengendur. Hal ini
segera dipergunakan oleh Dewi Bayang-Bayang untuk
melepaskan diri. Namun Dewi Kayangan tampaknya
tak mau begitu saja melepaskan Dewi Bayang-Bayang.
Begitu Dewi Bayang-Bayang bergerak hendak mele-
paskan diri, Dewi Kayangan menarik selendangnya
kuat-kuat seraya jatuhkan diri di atas tanah! Ini adalah gerakan untuk membetot
tubuh Dewi Bayang-
Bayang agar terbanting di atas tanah sekaligus untuk menghindarkan diri dari
serangan terompah yang ternyata kembali menderu ke arahnya!
Tak ayal, tubuh Dewi Bayang-Bayang menukik
deras dan terbanting di atas tanah, sementara dua terompahnya yang luput
menghajar sasaran, menderu
berputar dan kembali ke kedua kakinya!
Hebatnya, begitu terompah telah terpakai kem-
bali, Dewi Bayang-Bayang segera bangkit dan berkele-
bat. Tahu-tahu ujung selendang telah terpegang oleh
kedua tangan Dewi Bayang-Bayang.
Meski sedikit terkejut, Dewi Kayangan cepat
bangkit. Lalu dengan kerahkan tenaga dalam pada ke-
dua kakinya, kedua tangan Dewi Kayangan menarik
kuat-kuat selendang merahnya.
Terjadilah tarik-menarik. Dewi Bayang-Bayang
segera pula kerahkan tenaga dalam pada kedua kaki
dan tangannya. Keringat mulai tampak meleleh dari sekujur tu-
buh dua orang ini. Namun ternyata tenaga dalam Dewi
Bayang-Bayang masih berada di atas Dewi Kayangan.


Pendekar Mata Keranjang 13 Mendung Di Langit Kepatihan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Terbukti sesaat kemudian kedua kaki Dewi Kayangan
nampak goyah, dan perlahan-lahan tubuhnya terseret
maju ke depan. "Edan!" teriak Dewi Kayangan. Sebelum tubuhnya terus terseret, perempuan
bertubuh gembrot ini
bantingkan sepasang kakinya di atas tanah. Tubuhnya
melenting setinggi satu tombak. Dan serta-merta tu-
buh gembrot itu menggelundung deras di atas selen-
dang. Dewi Bayang-Bayang tak mau bertindak ayal.
Begitu tubuh Dewi Kayangan menggelinding ke arah-
nya, dia membentak garang. Tubuhnya membumbung
ke udara. Dan dari atas udara, Dewi Bayang-Bayang
lalu membuat gerakan berputar ke bawah beberapa
kali. Dewi Kayangan menjerit keras. Kini tubuhnya
yang terlilit selendangnya sendiri. Saat itulah Dewi Bayang-Bayang sentakkan
pegangan pada ujung selendang dan dilepaskan!
Tak ayal, tubuh gembrot Dewi Kayangan ter-
banting di atas tanah dengan derasnya.
Sejenak Dewi Kayangan diam tak bergerak-
gerak. Tapi sesaat kemudian, dia tampak membuka
kelopak matanya dan merambat bangkit seraya pegan-
gi pantatnya. Namun baru saja tubuh gembrotnya
bangkit, kedua kakinya goyah, hingga tak lama kemu-
dian dia jatuh terduduk.
"Gembung! Cukup sekali aku berkata padamu.
Minggat dari sini!" teriak Dewi Bayang-Bayang dengan bibir sunggingkan senyum.
Sepasang mata Dewi Kayangan membeliak
pandangi Dewi Bayang-Bayang, lalu beralih pada Pen-
dekar Mata Keranjang 108. Lalu pada Eyang Selaksa.
Agak lama dia pandangi kakek ini. Mulutnya bergerak-
gerak mengucapkan sesuatu yang tidak bisa ditangkap
pendengaran. Eyang Selaksa sendiri saat itu sedang pandangi
Dewi Kayangan. Bibirnya sunggingkan senyum aneh.
Lalu mulutnya terbuka hendak berkata. Namun sebe-
lum ucapan keluar, Dewi Kayangan telah bangkit dan
melangkah pergi seraya pegangin pantatnya. Sementa-
ra tangan kanannya pegangi ujung selendang yang
masih meliuk-liuk di atas tanah mengikuti langkah
Dewi Kayangan. "Gembung! Kau sudah tua, rubahlah perangai-
mu! Jangan turutkan nafsu!" teriak Dewi Bayang-
Bayang seraya melangkah ke arah Eyang Selaksa.
Dewi Kayangan palingkan wajah. Dia cekikikan
dahulu sebelum berkata.
"Tikus kurus! Hari terus berputar. Saatnya
akan datang untuk bertemu lagi. Emak pasti akan me-
nyesal. Menyesal melihat kau terkapar!"
Habis berkata, kembali Dewi Kayangan arahkan
pandangan pada Eyang Selaksa. Lalu balikkan tubuh
dan berkelebat. Tubuhnya serta-merta lenyap dari
pandangan. Yang terdengar kini hanyalah suara ceki-
kikannya yang berseling-seling dengan suara geme-
rincing anting-anting.
Begitu suara gemerincing dan cekikikan lenyap,
Dewi Bayang-Bayang alihkan pandangan pada Eyang
Selaksa dan berkata.
"Sobatku, Selaksa. Harap maafkan perbuatan
kakakku. Dia tampaknya belum dapat menghapus ki-
sah lama...."
Dengan paras agak merah, Eyang Selaksa ang-
gukkan kepala. "Aku mengerti. Dan itu adalah salahku.
Hmmm.... Selamat datang di Kampung Blumbang. Si-
lakan masuk...."
Dewi Bayang-Bayang dongakkan kepala. Lalu
menggeleng perlahan.
"Sayang sekali. Aku masih ada perlu, jadi aku
harus cepat tinggalkan tempatmu. Hari masih panjang,
kalau ditakdirkan kita pasti akan berjumpa lagi.... Aku pamit!" habis berkata
Dewi Bayang-Bayang balikkan tubuh. Saat itulah Pendekar 108 melangkah mendatangi
dan menjura hormat.
"Terima kasih atas pertolonganmu. Kalau boleh
tahu, siapa kau...?" berkata Pendekar 108 seraya angkat kepala dan pandangi
perempuan di hadapannya.
Dewi Bayang-Bayang elus rambutnya yang ka-
ku. Sebelah matanya dikerdipkan. Lalu tersenyum dan
berkata. "Kau tentunya telah dengar bagaimana perem-
puan gembrot tadi memanggilku. Itulah namaku!
Hmmm.... Kau sendiri...?"
Pendekar 108 usap-usap ujung hidungnya. La-
lu menyibakkan rambut yang menghalangi pandangan
matanya dan berkata seraya menahan tawa.
"Namaku Aji Saputra. Murid Eyang Selaksa dan
Wong Agung...."
Dewi Bayang-Bayang buka mulutnya lebar-
lebar seakan hendak keluarkan tawa. Namun yang ter-
lihat kemudian adalah senyuman.
"Jadi kau manusia yang disebut-sebut sebagai
Pendekar Mata Keranjang 108. Ingat. Jangan karena
digelari Mata Keranjang 108 lantas kau mempermain-
kan perempuan seenaknya saja. Selamat tinggal...!"
Dewi Bayang-Bayang lantas melangkah perla-
han. Terdengar suara berdebam terompahnya. Namun
semua orang di situ jadi melengak heran. Ternyata
saat itu sosok Dewi Bayang-Bayang telah lenyap. Yang tampak hanyalah bayangan
sosoknya serta suara berdebam terompahnya yang makin lama makin perlahan
sebelum akhirnya hilang sama sekali.
*** LIMA ORANG-ORANG aneh yang berilmu tinggi. Da-
tang dan pergi begitu cepat seakan ada saja yang di-
urusi...," gumam Pendekar Mata Keranjang 108 seraya melangkah ke arah Eyang
Selaksa. Setelah dekat, murid Wong Agung ini segera
menjura hormat. Namun ekor matanya melirik ke arah
Ajeng Roro yang masih duduk di samping Eyang Se-
laksa. Eyang Selaksa menganggukkan kepala. Lalu
berkata perlahan.
"Kebetulan sekali kau datang. Sudah berapa
lama aku mengharap bisa jumpa denganmu...."
Sedikit terkejut, Pendekar 108 segera angkat
kepalanya dan berkata.
"Tentunya ada hal penting yang akan Eyang
sampaikan...."
Eyang Selaksa tak segera menyahut. Kakek ini
batuk-batuk sebentar, seraya anggukkan kepala dia
berkata. "Tentunya kau pernah dengar tentang Arca De-
wi Bumi. Arca yang berisi jurus-jurus silat hebat. Bera-tus tahun arca itu
lenyap tiada rimbanya dan tak seorang pun membicarakannya. Namun mendadak saja
akhir-akhir ini terdengar selentingan jika arca itu berada di tangan seseorang.
Aku sendiri tak tahu siapa adanya orang itu. Hanya saja, ada seseorang yang tahu
betul tentang arca itu. Kau harus menemui dan dapat
membujuk agar dia mau mengatakan di mana bera-
danya orang serta arca itu!"
"Eyang. Aku memang pernah mendengar arca
yang kau sebutkan tadi. Tapi setelah ku hubung-
hubungkan jalinan kisahnya. Ternyata jalinan kisah
tentang arca itu simpang siur. Hingga aku berkesimpulan jika arca itu belum
tentu adanya...!"
Kembali Eyang Selaksa batuk-batuk beberapa
kali. Setelah agak lama diam, akhirnya kakek ini berkata lagi.
"Memang, jika dihubung-hubungkan, orang
akan berkesimpulan seperti kau. Namun memang de-
mikian itulah yang dikehendaki orang yang memegang.
Hal ini agar arca itu tetap aman tak terusik. Tapi per-cayalah, arca itu ada.
Mendiang Guru pun pernah
membicarakannya...."
Hm.... Jika demikian, katakan Eyang, siapa
orang yang harus kutemui itu!"
Untuk beberapa lama Eyang Selaksa terdiam.
Sepasang matanya menerawang jauh. Ajeng Roro yang
sedari tadi hanya mendengarkan, kini melirikkan ma-
tanya pada Pendekar 108. Yang dilirik pun saat itu
tengah memandang ke arah Ajeng Roro. Sesaat dua
anak muda ini saling berpandangan. Namun Ajeng Ro-
ro segera alihkan pandangannya tatkala di dengarnya
Eyang Selaksa telah berkata kembali.
"Pergilah kau ke dusun Kepatihan. Temuilah
orang yang bergelar Dewi Kayangan...."
Mendengar nama yang disebut, Ajeng Roro ter-
lonjak kaget. Malah dia segera menangkupkan telapak
tangannya agar suara jeritannya tidak begitu keras.
"Eyang.... Bukankah orang yang bergelar Dewi
Kayangan adalah orang yang tadi di sini. Yang bertempur dengan Si kurus
kering... yang bergelar Dewi
Bayang-Bayang..."!" kata Ajeng Roro.
"Betul. Dia memang Dewi Kayangan. Dan me-
mang dialah orang yang harus kau temui, Aji...!"
Mendengar perkataan Eyang Selaksa, Pendekar
108 sendiri merasa terkejut dan heran. Dia menatap
Eyang Selaksa seakan ingin meyakinkan.
"Eyang. Kenapa...."
Ucapan Pendekar 108 tak diteruskan, karena
Eyang Selaksa keburu menyahut.
"Aji. Kalau aku yang bertanya padanya, sampai
mati pun dia tak akan mau mengatakan. Ini karena dia menaruh sakit hati padaku.
Nah, sekarang kaulah
yang punya urusan. Hanya sedikit perlu kau ketahui,
Dewi Kayangan sebenarnya masih punya adik selain
adiknya yang tadi itu. Adik bungsunya ini diduga ka-
kaknya telah tewas. Padahal sebenarnya belum. Untuk
apa dia hingga sampai sekarang tak menampakkan di-
ri, sulit diduga. Dia bernama Mekar Sari yang dalam
rimba persilatan lebih dikenal dengan gelar Dewi Bun-ga Iblis. Hanya perlu kau
sadari, kau harus waspada.
Baik Dewi Kayangan, Dewi Bayang-Bayang serta Dewi
Bunga Iblis adalah manusia-manusia yang sukar dite-
bak jalan pikirannya. Kau harus hati-hati...!"
"Apakah mereka-mereka itu menginginkan arca
itu...?" tanya Pendekar 108.
"Semua orang yang telah berkecimpung dalam
rimba persilatan tak satu pun yang tidak mengingin-
kan arca itu. Sekali lagi, Kau jangan lengah!"
"Apakah ada petunjuk lagi..."!" Pendekar 108
ajukan pertanyaan setelah agak lama Eyang Selaksa
berdiam diri. Kakek ini gelengkan kepalanya perlahan.
"Kalau kau dapat membujuk Dewi Kayangan,
petunjuk itu ada di sana!"
"Jika demikian, aku mohon diri sekarang...,"
kata Pendekar 108 seraya menjura.
"Hm.... Bagus. Bertindak memang lebih baik.
Hal ini untuk berjaga-jaga. Siapa tahu ada orang lain yang telah menemukan
petunjuk itu. Kalau dia orang-orang kita tidak jadi masalah. Namun jika orang
itu di luar golongan kita, maka kegegeran tak mungkin dapat
dihindari lagi...."
"Aku berangkat sekarang, Eyang...! Ajeng Ro-
ro...!" Habis berkata begitu, Pendekar 108 memandang sejenak pada Ajeng Roro.
Gadis ini alihkan pan-
dangannya. Wajahnya tampak sekali mengisyaratkan
kekecewaan. "Roro.... Sebenarnya aku ingin di sini dahulu.
Namun tak pantas kiranya itu kulakukan, sementara
masih ada tugas yang harus kuselesaikan. Semoga kau
mengerti. Aku...," Pendekar 108 tak meneruskan kata hatinya, karena saat itu
Eyang Selaksa keluarkan dehem berulang kali.
Setelah mengangguk, Pendekar 108 balikkan
tubuh dan melangkah perlahan meninggalkan tempat
itu. Pada suatu tempat yang agak sepi, pendekar
murid Wong Agung ini hentikan langkahnya. Kepa-
lanya menengadah memandang langit.
"Arca Dewi Bumi.... Hmm.... Jika kalau men-
diang Guru dari Eyang Selaksa, yang juga berarti guru dari Eyang Wong Agung
pernah membicarakannya, berarti arca itu memang benar-benar ada. Tapi kenapa
petunjuk itu ada di tangan Dewi Kayangan" Ah, aku
belum bisa pecahkan masalah ini sebelum bertemu
dengan Dewi Gembrot itu lagi...." Lalu ingatan Pendekar 108 beralih pada Ajeng
Roro. "Roro.... Kapan kita punya kesempatan panjang
untuk saling cerita dan bersenda gurau seperti dahu-
lu" Kau masih cantik saja.... Dan...," Pendekar 108 pu-tuskan kata hatinya. Ekor
matanya melirik menebar ke samping.
"Ada orang mengawasiku...." Murid Wong
Agung ini lantas balikkan tubuh. Kedua tangannya di-
angkat dan ditarik sedikit ke belakang.
Namun Pendekar Mata Keranjang 108 segera
turunkan tangannya. Sepasang matanya memandang
tajam ke depan dengan tak kesiap.
*** ENAM DI hadapan Pendekar murid Wong Agung kini
berdiri seorang gadis cantik. Meski saat itu telah berdiri berhadapan, namun
pandangan gadis ini mengarah
pada jurusan lain. Rambutnya yang dibiarkan bergerai dan berkibar-kibar ditiup
angin menampakkan lehernya yang jenjang dan tampak berkeringat. Jelas bahwa
gadis ini habis berlari. Bahunya masih bergerak turun-naik seiring menghembusnya
napas yang tak teratur.
"Roro...," desis Pendekar 108 seraya melangkah mendekat.
Yang didekati tak beranjak dari tempatnya.
Namun pandangannya tetap pada lain jurusan.
"Busyet! Apakah dia marah padaku karena si-
kapku yang sepertinya acuh di hadapan Eyang Selaksa
tadi..." Ataukah ini hanya sifat kepura-puraan keba-
nyakan perempuan...?" membatin Pendekar 108 seraya terus melangkah mendekat.
Begitu dekat, dan dilihatnya Ajeng Roro masih
bersikap seperti semula, Pendekar Mata Keranjang


Pendekar Mata Keranjang 13 Mendung Di Langit Kepatihan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengeluh dalam hati.
"Aku tidak dapat membohongi diri, sebenarnya
aku menyukai gadis ini. Dan tampaknya dia pun begi-
tu sebaliknya. Tapi merasa tak enak dengan Eyang Se-
laksa. Seandainya saja dia bukan murid Eyang Selak-
sa...." Pendekar Mata Keranjang 108 usap-usap ujung
hidungnya lalu tersenyum dan berkata.
"Roro.... Maafkan sikapku tadi jika tidak berkenan di hatimu. Aku...," Pendekar
108 tak meneruskan ucapannya, karena saat itu Ajeng Roro bantingkan kedua
kakinya dan menyela. Pandangannya kini lurus ke
depan. "Aji.... Kadang-kadang aku menyesal, kecewa!
Berbulan-bulan aku menginginkan bertemu dengan-
mu. Tapi setelah berjumpa, apa yang kudapat adalah
perasaan kecewa. Kau sepertinya tak mengenalku lagi!"
Pendekar 108 merasakan tenggorokannya ter-
cekat. Hingga untuk beberapa saat lamanya dia hanya
bisa memandang tanpa sepatah kata pun keluar suara
dari mulutnya. "Aji...," sambung Ajeng Roro. Sepasang mata gadis ini sudah nampak berkaca-kaca.
"Kadang-kadang aku juga mengutuki perjalanan hidup. Kenapa
kita selalu dipertemukan dalam suasana yang tidak
menguntungkan. Ah, mungkinkah hal ini akan terjadi
berkelanjutan...?"
"Roro.... Sebenarnya bukan kau saja yang me-
rasakan hal seperti itu. Aku pun merasakannya. Na-
mun apa boleh buat. Kita harus dapat menerima ke-
nyataan. Tapi aku percaya, suatu saat nanti pasti akan datang waktu yang tepat
untuk kita bersama...."
Ajeng Roro gelengkan kepalanya. Kelopak ma-
tanya memejam seakan menghapus kaca-kaca di ma-
tanya yang menghalangi pandangan. "Ucapanmu be-
nar. Tapi kapan...?" Pendekar Mata Keranjang tersenyum. Dia melangkah makin
mendekat. Lalu kedua
tangan Ajeng Roro digenggamnya erat-erat.
"Soal itu telah ada yang mengatur. Bersabar-
lah...!" Ajeng Roro buka kelopak matanya. Sejenak di-pandanginya pemuda yang
kini begitu dekat di hada-
pannya. "Aji.... Kau tahu, aku selalu mengkhawatirkan
keselamatanmu. Apalagi jika kau mengemban tugas
seperti ini...."
Pendekar 108 mempererat genggaman tangan-
nya. Lalu tangan gadis itu diangkat dan diciumnya.
"Aji.... Berjanjilah. Setelah selesai dengan urusan Arca Dewi Bumi kau akan
datang ke Kampung
Blumbang...."
Murid Wong Agung ini anggukkan kepalanya.
Saat itulah Ajeng Roro dekatkan wajahnya. Sepasang
matanya dikatupkan, sementara bibirnya sedikit dibu-
ka. Pendekar Mata Keranjang 108 tampak dilanda
kebimbangan. Tapi sesaat kemudian wajahnya berge-
rak mendekati gadis di hadapannya. Perlahan, dike-
cupnya kedua pipi dan mata gadis itu. Lalu perlahan
pula bibirnya bergerak memagut bibir Ajeng Roro.
Beberapa saat lamanya kedua manusia ini ter-
buai oleh gejolak yang selama ini saling mereka pen-
dam. Pendekar 108 lepaskan genggaman tangannya.
Lalu tangan itu bergerak merengkuh tubuh Ajeng Roro.
Namun tangan itu lantas bergerak lagi. Ajeng Roro lepaskan pagutan bibirnya.
Setengah berteriak dia ber-
kata. "Jangan berbuat edan! Kau kira di mana saat ini..."!" Pendekar 108
keluarkan tawa bergerai-gerai.
Sementara Ajeng Roro segera undurkan kaki dua tin-
dak ke belakang. Namun Pendekar 108 segera pegang
tangannya dan berkata seraya tersenyum.
"Roro.... Setelah urusan ini selesai, aku akan
minta izin Eyang Selaksa untuk mengajakmu ke Ka-
rang Langit."
"Ke Karang Langit..." Bukankah itu tempat ke-
diaman Eyang Wong Agung?" berkata Ajeng Roro seraya luruskan pandangan seolah
menerka, "Benar. Aku akan minta tolong Eyang Wong
Agung untuk melamarmu pada Eyang Selaksa...!"
"Aji...!" pekik Ajeng Roro seraya terperanjat.
"Kau jangan menggodaku. Aku...," Ajeng Roro tak meneruskan kata-katanya.
Tenggorokannya seolah ter-
sumbat. "Kau ini aneh. Kalau tidak diperhatikan kau
merutuki hidup. Tapi kalau disungguhi kau kira aku
bercanda...!"
"Kau bersungguh-sungguh..."!"
Murid Wong Agung tak menjawab dengan kata-
kata. Hanya kepalanya bergerak mengangguk. Lantas
dia mendongak dan berkata.
"Sekarang aku harus pergi dulu...." Paras wajah Ajeng Roro kembali berubah
redup. Mulutnya membuka seakan hendak mengucapkan sesuatu. Namun
hingga agak lama ditunggu tak ada suara keluar, Pen-
dekar 108 ajukan pertanyaan. "Kau hendak mengatakan sesuatu...?" Meski mulutnya
menggumam sesuatu yang tak jelas, namun kepala gadis ini bergerak menggeleng.
"Kau menyimpan sesuatu, Roro. Katakanlah!"
ujar Pendekar 108 ketika menangkap isyarat bahwa
gadis di hadapannya menyimpan sesuatu yang di-
sembunyikan. Namun Ajeng Roro kembali hanya ge-
lengkan kepala, membuat Pendekar Mata Keranjang
hanya bisa menarik napas dalam-dalam seraya balik-
kan tubuh hendak pergi.
"Aji.... Aku menunggumu...!" teriak Ajeng Roro begitu murid Wong Agung ini mulai
melangkah meninggalkan tempat itu.
Pendekar Mata Keranjang palingkan wajah. Bi-
birnya tersenyum dengan kepala mengangguk.
Tak jauh dari tempat itu, tanpa disadari oleh
Pendekar 108 dan Ajeng Roro sedari tadi dua pasang
mata terus mengawasi. Pemilik dua pasang mata ada-
lah dua orang berpakaian gombrong yang menutupi
sekujur tubuh masing-masing orang, hanya mening-
galkan bagian wajah dan telapak tangan. Namun se-
pertinya tak ingin dikenali, wajah kedua orang ini juga ditutup dengan kulit
tipis berwarna hitam dan putih, hingga wajah keduanya sulit untuk dikenali.
"Apakah kau yakin, orang yang kita cari adalah
pemuda yang sedang dimabuk asmara itu"!" berkata orang yang berwajah hitam.
"Tahan sedikit suaramu!" sergah orang yang berwajah putih seraya menyeringai
pada temannya. "Aku belum dapat memastikan betul. Tapi melihat angka pada kipasnya sewaktu
bertempur dengan Dewi
Kayangan, aku hampir merasa pasti. Namun kenya-
taannya kita lihat nanti! Ayo kita kejar dia!"
"Gadis itu...?" kata orang yang berwajah hitam seraya angkat bahu menunjuk pada
Ajeng Roro. "Tua-tua keladi. Apa perlu kita dengan perem-
puan itu" Apa kau tertarik padanya"!"
Yang didamprat keluarkan tawa tertahan. Lalu
berkata seraya letakkan tangan di depan mulut. "Tua-tua nyatanya kau masih juga
cemburu. Dasar perem-
puan!" "Kalau mulutmu tak bisa diam, kusumpal nanti dengan kepalan tanganku!"
Orang yang berwajah hitam kembali keluarkan
tawa tertahan. "Mana aku percaya ucapanmu. Paling-paling
kau akan menyumbatnya dengan bi...."
Belum selesai kata orang ini, yang berwajah pu-
tih palingkan wajah. Tangan kanannya diangkat. Na-
mun sebelum tangan itu bergerak, orang yang berwa-
jah hitam surutkan langkah dan berkelebat ke arah
perginya Pendekar Mata Keranjang 108.
Sembari mengomel panjang, orang yang berwa-
jah putih cepat pula berkelebat menyusul.
*** TUJUH JAHANAM betul! Larinya begitu cepat. Hampir-
hampir saja napas ku habis. Ke mana tujuan pemuda
itu...?" berkata orang yang berwajah hitam seraya mempercepat larinya agar tak
kehilangan jejak orang
yang diikuti. Orang yang berwajah putih yang lari di sebe-
lahnya palingkan wajah. Parasnya menampakkan rasa
jengkel, terbukti dari sepasang matanya yang membe-
liak, sementara dari hidungnya terdengar dengusan
keras. "Kau dari dulu tak pernah berubah. Terus dan terus mengeluh! Kalau tak
mengingat pentingnya masalah, ingin aku berhenti dan menghajar mulutmu!"
Orang yang berwajah hitam menoleh.
"Kau juga tak pernah berubah. Bila punya ke-
mauan tak bisa dicegah. Apalagi berurusan dengan
pemuda tampan! Sialnya diriku, kenapa aku tak punya
wajah setampan pemuda itu...!"
"Hik.... Hik.... Hik...! Tampaknya kau juga masih mencemburui diriku!" kata
orang yang berwajah putih seraya tertawa.
"Astaga! Siapa bilang aku cemburu" Kau terlalu
besar rasa. Apa kau sering berkaca dan melihat pa-
rasmu...?"
"Kurang ajar! Jadi selama ini kau anggap apa
diriku, he..."!" orang berwajah putih tak dapat menyembunyikan lagi rasa
geramnya. Seraya terus berlari dia mengomel panjang-pendek. Sementara orang di
sampingnya hanya tertawa-tawa seraya sesekali ber-
paling. "Sudah! Jangan berhaha saja! Lekas kita pegang pemuda itu!"
"Ha.... Ha.... Ha...! Sebaiknya kau saja yang pegang...!"
"Kau memang betul-betul tua sialan! Tapi jika
itu maumu, baiklah!" kata orang berwajah putih. Dia lantas berkelebat
mendahului. Tubuhnya tiba-tiba lenyap. Tahu-tahu telah berdiri menghadang di
depan Pendekar Mata Keranjang 108.
Pendekar 108 hentikan larinya. Sepasang ma-
tanya memandang lurus tak kesiap ke depan. Kening-
nya berkerut dengan tangan mengusap-usap ujung hi-
dung. "Apa mataku tidak lamur. Di tempat yang se-sunyi dan sesepi ini ada badut!
Apa dia bangun ke-
siangan dan lupa membasuh muka...?" Setelah memperhatikan sesaat, murid Wong
Agung ini berseru.
"Siapa kau..."!"
Pendekar Mata Keranjang 108 hanya mendapat
balasan tawa berhi... hi... hi....
"Jangkrik! Tampaknya kau sengaja mengha-
dangku!" kata Pendekar 108 dengan suara agak me-ninggi. Dia nampaknya mulai
jengkel melihat sikap
orang di hadapannya.
"Benar. Memang sengaja menghadangmu. Bah-
kan kalau perlu memeriksa dan membawamu!" terdengar suara lain menyahut.
Berpaling, murid Wong Agung ini dibuat sedikit
terperangah. Dari semak belukar yang menguak tak
jauh dari sampingnya, muncul sesosok tubuh yang
mengenakan pakaian mirip dengan orang yang meng-
hadang. Hanya wajah orang berwarna hitam.
"Tampaknya kalian adalah rombongan badut.
Dan kalau bukan, berarti kalian adalah orang-orang
yang mempunyai maksud buruk! Karena tak mungkin
orang berniat baik menggunakan pakaian seperti ka-
lian!" Orang yang berwajah hitam berkelebat, lalu menjajari orang yang berwajah
putih. Sejenak dua
orang ini saling pandang satu sama lain. Orang yang
berwajah putih alihkan pandangan pada Pendekar 108
lalu berkata. "Anak tampan! Kau jangan terburu berpra-
sangka buruk. Ah, tapi itu urusanmu! Yang kami per-
lukan sekarang adalah dirimu! Bukankah begitu?" seraya berkata, orang ini
palingkan wajah kepada orang di sampingnya.
"Betul. Betul. Tak salah ucap mu!" kata orang di samping. Lalu dia menyambung.
"Aji! Jika kau ingin segala rencanamu dengan gadis cantik tadi terlaksana,
turuti saja perintah kami!"
Pendekar 108 terlonjak mendapati orang di ha-
dapannya tahu namanya. Dengan dahi berkerut murid
Wong Agung ini berkata dalam hati.
"Sialan! Dari mana dia tahu namaku" Dan ren-
cana apa yang dimaksud mereka...?" Lantas Pendekar 108 dongakkan kepala seraya
berkata. "Badut-badut kesiangan! Apa maksudmu den-
gan rencana?"
Orang yang berwajah putih tertawa cekikikan.
Lalu berkata pada orang di sampingnya.
"Dasar laki-laki! Belum hangat-hangat tahi
ayam sudah lupa pada janji. Bukankah kau tadi ber-
janji pada kekasihmu hendak mengajaknya ke Karang
Langit?" "Dan akan minta tolong pada seseorang untuk
melamar...?" sahut satunya sembari tertawa bergelak-gelak. Pendekar 108 surutkan
langkah satu tindak ke belakang. Paras wajahnya menjadi berubah. Diam-diam dia
berkata dalam hati.
"Jadi kedua badut jalanan ini telah menguntit
ku sejak di Kampung Blumbang. Hm.... Siapa mereka
sebenarnya" Dan apa maksud mereka...?" Pendekar 108 menatap pada orang di
hadapannya satu-satu silih berganti. Mulutnya terbuka hendak berkata. Na-
mun sebelum suaranya keluar, salah seorang dari
orang di hadapannya telah mendahului angkat bicara.
"Kalau mau urusan lamar-melamar gadis itu
akan berjalan tanpa halangan, ikuti saja perintah ka-mi. Kami tidak minta yang
muluk-muluk. Itu pun jika
kau sudah kami periksa cocok tidaknya!"
"Sialan! Apa maksud kalian sebenarnya..."!"
bentak Pendekar 108 makin tak mengerti dan makin
jengkel. Orang yang berwajah hitam anggukkan kepala
pada orang yang berwajah putih. "Tunggu apa lagi. Katakan saja padanya. Jika dia
menolak, berarti urusan lamaran hanya jadi impiannya!"
Orang yang berwajah putih tertawa dahulu. La-
lu berkata. "Kami memerlukan dirimu untuk mengambil
sesuatu!" "Busyet! Apa kalian menganggap diri orang-
orang besar hingga mengambil sesuatu saja harus
minta bantuan orang" Lekas beri jalan. Aku ada uru-
san yang lebih penting daripada ngomong tak ada jun-
trungan dengan badut-badut seperti kalian!"
"Hm.... Begitu" Jadi kau tak mau membantu


Pendekar Mata Keranjang 13 Mendung Di Langit Kepatihan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kami" Baiklah. Tapi ingat, itu berarti rencana lama-
ranmu akan gagal!" berkata orang yang berwajah putih. Kali ini tanpa lagi
terdengar suara tawanya. Malah suaranya tinggi dengan sepasang mata melotot.
"Jahanam! Kalian mengancam. Apa yang dita-
kutkan dari badut-badut macam kalian!"
Orang yang berwajah putih gertakkan rahang.
Pelipisnya bergerak-gerak, kedua tangannya diangkat.
Namun sebelum kedua tangan itu bergerak mele-
paskan pukulan, orang yang berwajah hitam angkat
bicara. Suaranya perlahan.
"Jangan keburu marah. Urusan begini jika di-
hadapi dengan otak panas, bisa jadi amburadul! Kita
coba dengan kepala dingin, dan jika memang tidak
berhasil, apa boleh buat!" Orang ini lantas menatap pada Pendekar 108 dan
berkata. "Aji! Kami hanya minta bantuanmu sebentar.
Ini pun karena kami memang tak sanggup untuk men-
gambilnya! Dan permintaan ini bukannya tanpa imba-
lan!" Meski tak begitu tertarik dengan imbalan yang dijanjikan, Pendekar 108
jadi penasaran. Setelah terdiam agak lama dia berkata.
"Hm.... Katakan, apa yang harus kuambil!"
Untuk sesaat lamanya orang yang berwajah hi-
tam tak segera menjawab. la berpaling pada orang
yang berwajah putih seolah hendak minta persetujuan.
Tapi orang yang dimintai persetujuan diam tak menga-
takan sepatah kata. Hingga pada akhirnya orang yang
berwajah hitam berkata.
"Untuk kali ini kami tak dapat mengatakan di
sini. Lebih baik kau ikut saja dengan kami!"
"Ah, kalian tampaknya main-main. Jadi aku tak
dapat membantu kalian. Cari saja bantuan orang lain!"
Habis berkata begitu, Pendekar 108 balikkan
tubuh hendak pergi. Namun baru saja melangkah, se-
rangkum angin dahsyat menyambar dari arah bela-
kang. Bersamaan dengan menyambarnya angin, ter-
dengar suara. "Kau nyatanya manusia yang tidak bisa diajak
baik-baik!"
"Sialan. Ancaman mereka tampaknya tidak
main-main! Apa sebenarnya sesuatu yang hendak me-
reka ambil..." Tapi itu bukan urusanku. Lebih baik
aku segera menyingkir. Perjalananku masih jauh...."
Berpikir begitu, seraya menghindari serangan
dari belakang, Pendekar 108 berkelebat ke samping.
Angin menggebrak menghantam tempat kosong di
samping tubuh Pendekar 108. Lalu tanpa mengacuh-
kan kedua orang di belakangnya, Pendekar 108 te-
ruskan langkahnya. Bahkan kini seraya melangkah
murid Wong Agung ini lantunkan dendang nyanyian.
Namun langkahnya terhenti tiba-tiba. Di hada-
pannya kini dua orang tadi telah berdiri dengan kedua tangan masing-masing siap
lepaskan pukulan.
"Bangsat! Apa mau kalian sebenarnya"!" bentak Pendekar 108. Kemarahan yang sejak
tadi coba dire-damnya naik ke ubun-ubun.
"Kau tak usah banyak mulut. Kau sudah tahu
segalanya!" orang yang berwajah putih balas membentak. "Kalau tak mau ikut kami
dengan baik-baik, jangan menyesal jika kau kami seret!"
"Hmm.... Nyatanya betul dugaanku. Kalian ber-
dua punya niat busuk! Aku tak akan menyerah begitu
saja. Lakukanlah kalau memang ingin menyeretku!"
"Setan alas!" maki orang yang berwajah putih.
Lalu pukulkan kedua tangannya ke arah Pendekar
108. Sementara orang yang berwajah hitam tak mau
tinggal diam. Dia segera pula pukulkan kedua tangan-
nya. Dilihat dari sini, jelas kedua orang ini ingin segera
menyelesaikan masalah dengan cepat.
Kejap itu juga, empat larik sinar hitam melesat
ke depan. Bersamaan dengan melariknya sinar hitam,
suasana di tempat itu meredup. Udara mendadak be-
rubah panas menyengat!
Di seberang, seraya berteriak keras, Pendekar
108 lesatkan tubuhnya ke udara. Dari udara Pendekar
108 segera kerahkan tenaga dalam pada kedua tan-
gannya dan siapkan pukulan 'Segara Geni' untuk me-
lenyapkan keadaan yang meredup. Lalu dengan dida-
hului bentakan, Pendekar 108 dorongkan kedua tan-
gannya ke arah dua lawan di bawahnya.
Namun murid Wong Agung ini jadi terkejut, ka-
rena serangannya hanya menerabas tanah. Tanah itu
terbongkar dan bongkarannya membumbung ke uda-
ra, menambah kepekatan suasana!
Selagi pendekar murid Wong Agung ini tersirap
kaget melihat gagalnya pukulan yang dilancarkan, dia mendengar dua suara tawa
bersahutan dari arah
samping bawahnya. Serta-merta Pendekar 108 pukul-
kan kembali kedua tangannya. Namun lagi-lagi Pende-
kar Mata Keranjang terperangah. Pukulannya hanya
menghantam tanah!
Saat itulah, dari arah belakang dirasa angin de-
ras menghampar. Pendekar 108 segera palingkan wa-
jah seraya melayang turun. Namun Pendekar 108 jadi
membelalakkan sepasang matanya dan keluarkan sua-
ra tertahan. Karena dari arah bawah, samar-samar terlihat dua lawan tegak
menunggu dengan kedua tangan
masing-masing siap menghantam.
Dengan memperlambat gerak layang turun tu-
buhnya, Pendekar 108 sentakkan dua tangannya ke
bawah. Namun terlambat. Sebelum kedua tangannya
bergerak, dari arah bawah menyambar sinar!
Seraya menahan rasa terkejut, Pendekar 108
membuat gerakan jungkir balik. Namun saat dia ber-
hasil meloloskan dari serangan, dua bayangan berke-
lebat. Sekali lagi Pendekar 108 harus membuat gera-
kan jungkir balik. Namun bayangan itu memburu. Ka-
rena suasana masih pekat. Pendekar 108 tak dapat
menentukan di mana beradanya lawan yang terus ber-
kelebat memburunya di atas udara. Sebaliknya, sang
lawan seakan dapat melihat, karena bayangan tersebut selalu memburu ke mana
Pendekar 108 bergerak!
"Sialan! Aku tak biasa bertempur dalam suasa-
na gelap seperti ini!" keluh Pendekar Mata Keranjang 108 seraya melayang turun.
Dia memutuskan bergerak
turun, karena di atas tanah mungkin lebih bisa meli-
hat keadaan dan beradanya lawan.
Namun baru saja kedua kaki Pendekar 108
mendarat di atas tanah, dua bayangan menyambar da-
ri arah samping kanan dan kiri!
Pendekar Mata Keranjang cepat lesatkan tu-
buhnya setinggi satu tombak ke udara. Kedua kakinya
dipentangkan ke samping!
Tapi murid Wong Agung ini tercekat. Kakinya
hanya menghantam angin, padahal dia telah yakin,
bahwa salah satu lawan pasti akan terjerembab terha-
jar kakinya. Selagi Pendekar 108 terkesima, sebuah
kaki melesat mengarah kepalanya.
Pendekar 108 rundukkan kepala, saat itulah ti-
ba-tiba saja dua terjangan melesat dari arah belakangnya! Desss! Desss!
Pendekar 108 keluarkan seruan tertahan. Tu-
buhnya laksana dihantam kayu besar. Dia coba ke-
rahkan tenaga dalam untuk hentikan tubuhnya yang
menekuk ke depan hendak terjerembab. Namun baru
saja dia kerahkan tenaga, dari arah depan melesat sepasang kaki!
Pendekar 108 cepat palangkan kedua tangan-
nya melindungi dada dari terjangan sepasang kaki. Ta-pi nyatanya sepasang kaki
itu tidak langsung meng-
hantam. Begitu setengah depa lagi menggebrak sasa-
ran, sepasang kaki itu menekuk sebatas lutut. Lantas membuka lebar-lebar dan
menghantam dari arah
samping kanan dan kiri!
Gerakan Pendekar 108 yang hendak membuka
kedua tangannya terlambat. Kedua kaki itu telah
menggapit lehernya dan serta-merta dikebatkan ke
arah samping. Pendekar Mata Keranjang masih berusaha me-
lepaskan diri dengan pukulkan kedua tangannya ke
arah dua kaki yang menggapit lehernya. Namun lagi-
lagi gerakannya terlambat. Tubuh orang yang mengga-
pitkan kedua kakinya telah berputar. Akibatnya Pen-
dekar 108 ikut berputar keras dan sesaat kemudian
terbanting deras ke tanah!
"Jahanam betul! Leherku serasa patah!" keluh Pendekar Mata Keranjang 108 seraya
gerakkan sedikit
kepalanya. Tubuhnya untuk beberapa saat tampak di-
am tak bergerak terkapar di atas tanah. Pendekar 108
merasakan pandang berkunang-kunang. Kepalanya
berdenyut-denyut nyeri.
Pendekar Mata Keranjang 108 segera salurkan
tenaga dalamnya. Lalu secepat kilat dia bangkit begitu didengarnya langkah-
langkah kaki mendatangi.
Di hadapannya dua orang berwajah putih dan
hitam memandangi dengan tatapan dingin. Mereka sal-
ing pandang sejenak. Yang berwajah putih anggukkan
kepalanya. Bersamaan dengan anggukan kepala orang
yang berwajah putih, orang yang berwajah hitam sen-
takkan kedua tangannya. Sementara yang berwajah
putih berkelebat.
Seberkas sinar hitam menyambar ke depan.
Dan bersamaan dengan itu sebuah bayangan berputar
lalu lenyap. Pendekar Mata Keranjang 108 keluarkan kipas
ungunya. Dan serta-merta dikibaskan melengkung ke
depan. Seberkas sinar keputihan menghampar leng-
kung dan menahan gerak sambaran berkas sinar hi-
tam. Terdengar letupan keras tatkala dua serangan
itu bertemu di udara. Tubuh Pendekar Mata Keranjang
108 tersurut dua langkah ke belakang. Sementara
orang yang berwajah hitam terhuyung-huyung, namun
bisa segera kuasai diri. Saat ledakan terdengar itulah, dan baru saja Pendekar
Mata Keranjang 108 tersurut,
tiba-tiba orang yang berwajah putih telah menukik dari atas tubuh Pendekar Mata
Keranjang 108. Pendekar Mata Keranjang 108 tengadah seben-
tar. Lalu gerakkan kipasnya dari bawah ke atas!
Orang yang menukik tidak menampakkan rasa
terkejut, malah yang terdengar adalah suara tawanya.
Dan masih dengan tertawa-tawa, tubuhnya berkelebat
lenyap! Sambaran angin yang melesat keluar dari kipas Pendekar 108 menghantam
angin! Saat itulah, orang yang berwajah hitam dorong
kedua tangannya ke arah Pendekar Mata Keranjang
108. Murid Wong Agung ini tercekat. Dia ternyata
tertipu. Karena orang yang berwajah putih hanya men-
galihkan perhatian agar orang yang berwajah hitam
dapat sarangkan serangan dengan telak.
Desss! Pendekar Mata Keranjang 108 merasakan tu-
buhnya dihantam benda berat. Tubuhnya melayang
hingga beberapa tombak ke belakang. Dan begitu tu-
buhnya terkapar di atas tanah, Pendekar Mata Keran-
jang 108 merasakan segala sesuatunya menghitam.
Kepalanya lantas terkulai dengan bibir keluarkan da-
rah! Di seberang, orang yang berwajah putih dan hi-
tam saling berpandangan.
"Ternyata nama besar Pendekar Mata Keran-
jang 108 hanya omong kosong! Mari kita periksa!" berkata orang yang berwajah
putih seraya melangkah
mendahului. Orang yang berwajah hitam tak menyahuti ka-
ta-kata orang di sampingnya. Dia hanya batuk-batuk
sebentar lalu melangkah di belakang orang yang ber-
wajah putih. "Kurasa di sini kurang enak untuk memeriksa
dia. Lebih baik kita bawa langsung ke Kepatihan!" berkata orang yang berwajah
hitam seraya menjajari langkah orang yang berwajah putih. Orang ini hentikan
langkah. Dia sepertinya memikir. Lalu kepalanya men-
gangguk. "Ya.... Kita bawa saja langsung ke Kepatihan!"
kata orang yang berwajah putih. "Tapi...."
"Jangan berpura-pura! Kau akan mengajukan
usul agar kau yang menggendongnya. Betul...?" kata orang yang berwajah hitam
seraya tertawa, lalu menyambung. "Itu lebih baik. Aku pun tidak sudi
menggendongnya!"
"Kau masih cemburu?"
"Puihhh. Apa yang masih bisa dirasakan dari
tua bangka seperti kau" Paling-paling hanya bisa ge-
lundang-gelundung di atas jerami tanpa bisa mengo-
barkan gelora! Ha.... Ha.... Ha...!"
"Setan alas! Awas kalau kau minta...!" ancam orang yang berwajah putih seraya
angkat tubuh Pendekar 108 dan diletakkan di atas pundaknya.
"Minta?" ulang orang yang berwajah hitam seraya cibirkan bibir. "Dikasih saja
aku tak mau! Pu-nyamu sudah bau tanah!"
"Brengsek! Kuhajar kau!" maki orang yang berwajah putih seraya berkelebat ke
arah kelebatnya
orang yang berwajah hitam.
*** DELAPAN MATAHARI masih menyembunyikan diri di ba-
wah bentangan kaki langit sebelah timur. Namun bias
kekuningan pancarannya telah menghiasi langit ujung
timur, membuat arakan kegelapan perlahan-lahan
menghilang. Di tengah pergantian suasana demikian itu, di
dusun Kepatihan yang sepi senyap terlihat dua bayan-
gan berkelebat dengan cepat. Sampai pada ujung du-
sun, tepatnya di depan sebuah gua agak besar yang
diapit gundukan dua batu besar-besar, dua bayangan
tersebut hentikan larinya.
Kedua bayangan yang ternyata adalah dua
orang berpakaian gombrong dengan wajah masing-


Pendekar Mata Keranjang 13 Mendung Di Langit Kepatihan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

masing ditutup kulit tipis berwarna putih dan hitam
sejenak saling berpandangan satu sama lain. Lantas
sepasang mata kedua orang ini menyapu berkeliling
dan berujung pada gua.
Orang yang berwajah putih anggukkan kepala
memberi isyarat pada temannya. Sang teman langkah-
kan kaki satu tindak ke depan. Dari mulutnya terden-
gar suara lantang.
"Kali Nyamat! Hari sudah siang. Bangun dan
keluarlah!"
Untuk beberapa lama kedua orang ini menung-
gu. Namun dari dalam gua tak ada tanda-tanda orang
akan keluar atau terdengarnya suara sahutan.
Orang berwajah hitam arahkan pandangannya
pada orang yang berwajah putih. Yang dipandangi
hanya tegak dengan sepasang mata memandang tak
kesiap ke arah gua. Dagunya tampak sedikit terangkat dengan kedua tangan
mengepal. Orang berwajah hitam kembali arahnya pan-
dangan pada gua. Lalu sekali lagi orang ini berteriak.
Kali ini dengan kerahkan tenaga dalam, hingga sua-
ranya menggema panjang, sampai sempat menggugur-
kan rimbunan daun pohon yang tak jauh dari situ.
"Kali Nyamat! Keluarlah! Ada urusan yang ha-
rus kita selesaikan!"
Untuk kedua kalinya, dari dalam gua tak ada
tanda-tanda orang akan keluar atau pun suara yang
menyahut. Kedua orang ini tampaknya hilang kesabaran.
Tanpa berteriak lagi, keduanya langsung melangkah
mendekati mulut gua. Mereka mendatangi dari arah
samping kanan dan kiri.
Namun baru saja kedua orang ini hendak lang-
kahkan kaki memasuki gua, terdengar suara cekikikan
dari arah belakang. Kedua orang ini palingkan wajah
masing-masing dengan cepat. Di hadapan mereka kini
telah berdiri seorang perempuan bertubuh gemuk be-
sar. Rambutnya disanggul ke atas. Sepasang matanya
sayu kelabu namun besar dan menjorok ke dalam. Bi-
birnya berwarna merah polesan. Telinga sebelah men-
genakan anting-anting yang dimuati beberapa anting-
anting kecil. "Berpuluh tahun centang perentang dalam rim-
ba persilatan, hanya beberapa orang yang tahu nama
asliku. Hm.... Siapa sebenarnya kecoa-kecoa ini" Me-
reka menggunakan penutup kulit pada wajahnya, be-
rarti mereka memang kukenal tapi takut kuketahui...!"
membatin perempuan bertubuh gembrot yang bukan
lain adalah Kali Nyamat yang dalam rimba persilatan
lebih dikenal dengan julukan Dewi Kayangan.
"Bagus. Berarti kau masih seorang tokoh yang
bukan pengecut!" berkata orang yang berwajah hitam seraya melangkah maju.
Sementara orang yang berwajah putih masih tetap di tempat semula. Hanya sepa-
sang matanya tak berkesiap mengawasi pada sosok pe-
rempuan besar. "Hik.... Hik.... Hik...! Manusia tolol! Aku me-
mang bukan manusia pengecut macam kalian yang ta-
kut perlihatkan wajah dan menggunakan suara yang
disarukan!" berkata Dewi Kayangan seraya amat-amati dua orang di hadapannya.
Dahinya sebentar berkerut,
lalu sepasang matanya membesar dan menyipit.
"Edan! Aku tak bisa mengenali wajah mere-
ka...!" kata Dewi Kayangan dalam hati seraya geleng-gelengkan kepala, hingga
saat itu juga terdengar gemerincingnya anting-anting.
"Kali Nyamat!" kata orang yang berwajah hitam.
Suaranya sengaja disarukan antara suara laki-laki dan perempuan. "Kami tak akan
berlama-lama. Kami
hanya ingin tahu, di mana beradanya Sahyang Resi
Gopala! Tapi ingat. Jika mulutmu berkata bohong,
kami tak keberatan untuk menguburmu hidup-hidup!"
Untuk pertama kalinya paras wajah Dewi
Kayangan menampakkan rasa terkejut. Bahkan da-
danya tampak bergetar dengan kedua kaki mundur sa-
tu tindak ke belakang. Dari mulutnya tak terdengar
suara tawa cekikikan seperti biasanya.
Melihat sikap yang ditunjukkan Dewi Kayan-
gan, orang berwajah hitam keluarkan tawa berderai.
Sementara yang berwajah putih hanya tersenyum si-
nis. "Mereka tanya tentang Sahyang Resi Gopala. Ini
tak main-main. Berarti rahasia yang telah kupegang
bertahun-tahun lamanya telah bocor keluar! Siapa pun mereka adanya, harus
kuhabisi sekarang juga! Karena
jika tidak, rahasia ini akan menyebar. Dan hal itu
akan menjadikan rimba persilatan kembali bergolak!"
membatin Dewi Kayangan seraya memandangi silih
berganti pada kedua orang di hadapannya.
"Kali Nyamat! Apa pertanyaanku perlu ku ulan-
gi lagi"!" kata orang berwajah hitam seraya busungkan dada. Untuk beberapa saat
lamanya, Dewi Kayangan
masih tak menjawab pertanyaan orang. Dia tampaknya
masih terkesima dalam keterkejutan. Namun begitu di-
lihatnya orang berwajah hitam hendak berteriak lagi, Dewi Kayangan dongakkan
kepala. Lalu mulai lagi keluar suara tawa cekikikannya. Setelah puas cekikikan,
dia berkata. "Soal di mana beradanya Sahyang Resi Gopala,
itu urusan gampang. Yang penting sekarang adalah
unjukkan siapa diri kalian sebenarnya! Aku tak layak memberitahu pada orang yang
bersembunyi!"
Kembali kedua orang yang wajahnya ditutupi
kulit ini saling pandang. Lalu yang berwajah putih melangkah menjajari temannya
dan berbisik. "Kita tak boleh membuka penyamaran ini. Mau
tak mau, perempuan gembung itu harus mengatakan
dengan tanpa syarat apa pun. Kalau tidak mau, kita
paksa dengan kekerasan!"
Yang dibisiki mengangguk. Lalu orang ini ber-
kata. "Kali Nyamat! Kau tak usah banyak cari dalih.
Katakan saja apa yang kami tanyakan. Jika tidak...,"
orang ini tak meneruskan kata-katanya.
"Jika tidak, kenapa" Katakan!" kata Dewi
Kayangan seolah menantang. Lalu keluarkan tawa ce-
kikikan. "Lidahmu akan ku cabut!" sahut orang yang
berwajah putih dengan mendengus.
Kembali Dewi Kayangan keluarkan tawa cekiki-
kannya. Lalu berkata seraya rapikan sanggul rambut-
nya. "Kalian tampaknya orang-orang yang pemarah.
Kalau tak mau unjukkan diri memperlihatkan wajah,
sebutkan saja nama kalian atau gelar kalian jika ka-
lian punya nama besar!"
Kedua orang di hadapan Dewi Kayangan tak
segera ada yang buka mulut untuk menjawab, mem-
buat Dewi Kayangan geleng-geleng kepala hingga ter-
dengar lagi gemerincing anting-antingnya.
"Mungkin tampang dan nama kalian jelek-jelek,
hingga kalian tak berani membuka dan mengatakan-
nya! Hik.... Hik.... Hik...! Apa boleh buat, aku tak mau berteman apalagi
mengatakan di mana beradanya Sahyang Resi Gopala pada orang-orang jelek!"
"Jahanam! Kiranya kau pilih tercabut lidahmu
daripada mengatakan di mana beradanya orang yang
kami cari!" bentak orang berwajah putih. Lalu orang ini dorong kedua tangannya
ke depan. Wuuuttt! Wuuuttt!
"Ah, tampaknya kalian bukan hanya jelek tam-
pang dan nama, tapi juga buruk kelakuan! Kau me-
nyerangku, padahal kita tak punya silang sengketa!
Hik.... Hik.... Hik...!"
"Kau terlalu banyak kotbah!" bentak orang berwajah hitam seraya pukulkan pula
kedua tangannya
ke depan. Kini empat larik sinar hitam yang mengham-
parkan kegelapan menggebrak ke arah Dewi Kayangan.
Dewi Kayangan segera kelebatkan tubuh. Asta-
ga! Tiba-tiba tubuhnya yang gemuk subur itu lenyap
dari pandangan. Yang tersisa hanyalah suara geme-
Ksatria Negeri Salju 5 Lembah Selaksa Bunga Karya Kho Ping Hoo Jaka Lola 2
^