Pencarian

Mendung Dilangit Kepatihan 3

Pendekar Mata Keranjang 13 Mendung Di Langit Kepatihan Bagian 3


rincing anting-anting yang tak bisa ditentukan di mana beradanya. Namun salah
satu dari orang yang menutupi wajahnya, yakni yang berwajah putih seakan telah
tahu gerak Dewi Kayangan. Terbukti, meski Dewi
Kayangan itu tak bisa ditentukan di mana beradanya,
namun orang ini segera pukulkan kembali kedua tan-
gannya ke arah samping kanan.
"Edan!" tiba-tiba dari arah samping kanan terdengar makian. Dan bersamaan dengan
itu, melesat sosok besar Dewi Kayangan dari samping kanan. Sete-
lah membuat gerakan jungkir balik aneh, Dewi Kayan-
gan mendarat dengan sepasang mata melotot pada
orang yang berwajah putih.
"Aneh. Tampaknya yang satu ini tahu gerakan-
ku. Dan rasa-rasanya aku mengenal pukulannya...!
Hmm.... Benar dugaanku, mereka adalah orang yang
telah kukenal. Tapi siapa" Kenapa memaksaku dengan
cara begini" Siapa pun dia, yang pasti dia menginginkan Arca Dewi Bumi! Tapi dia
apa juga sudah tahu, ji-ka hanya seorang yang mampu mengambilnya?" mem-
batin Dewi Kayangan seraya mengingat-ingat. Namun
lagi-lagi Dewi Kayangan gagal untuk mendapat jawa-
ban. Selagi Dewi Kayangan terheran-heran mencari
jawaban, kedua orang di hadapannya kelebatkan tu-
buh masing-masing. Tahu-tahu dari arah samping ka-
nan dan kiri Dewi Kayangan menderu angin dahsyat.
Berpaling ke kanan kiri, Dewi Kayangan sedikit
terkejut. Namun yang keluar dari mulutnya justru su-
ara tawa cekikikan. Lalu orang ini kebutkan tangan ki-ri kanannya.
Prakkk! Prakkk!
Terdengar dua kali benturan keras. Lantas dis-
usul dengan terdengarnya dua seruan tertahan. Di
samping kiri kanan Dewi Kayangan, orang berwajah hi-
tam dan putih surutkan langkah masing-masing dua
langkah ke belakang. Wajah masing-masing orang ini
meringis menahan sakit.
Kesempatan ini tak disia-siakan oleh Dewi
Kayangan. Kedua tangannya direntangkan ke kanan
dan kiri dengan pergelangan diputar-putar. Inilah pukulan terkenal yang dimiliki
oleh Dewi Kayangan, yak-ni pukulan 'Pusaran Sukma'.
Saat itu juga gelombang yang berpusaran aneh
dan mengeluarkan suara gemuruh dahsyat mengham-
par ke kanan dan kiri!
'"Pusaran Sukma'!" seru orang yang berwajah putih mengenali pukulan yang
dilancarkan Dewi
Kayangan. Sementara orang yang berwajah hitam ter-
perangah kaget mendengar ucapan temannya. Kedua
orang ini kembali melompat mundur. Namun kedua
orang ini merasa tercekat leher masing-masing, karena saat itu juga kedua orang
ini merasa ada kekuatan
dahsyat yang memutar tubuhnya.
Tapi kedua orang ini tampaknya pantang me-
nyerah begitu saja. Kedua orang ini lantas putar tubuh masing-masing dan
hantamkan tangan masing-masing
ke samping. Namun hantaman tangan mereka seakan
tertahan kekuatan yang tak terlihat, hingga hantaman itu mental balik.
Di saat yang demikian itu, mendadak dua orang
ini merasa tubuhnya berputar ke atas. Namun sesaat
kemudian tubuh masing-masing terasa dihempaskan
ke bawah! Bleeekkk! Bleeekkk!
Tubuh dua orang berwajah putih dan hitam ja-
tuh berkaparan di atas tanah.
Di seberang, Dewi Kayangan tertawa cekikikan
seraya tarik tangannya dari samping. Lalu balikkan
tubuh. Pandangannya menerawang jauh. Kening pe-
rempuan bertubuh gembrot ini mengkerut.
"Dia mengenali pukulanku! Apakah dia..." Jika
memang dia, kenapa berbuat begini..." Ah, apa aku
terpengaruh dengan bualan Tua bangka Selaksa jika
dia benar-benar masih hidup...?" membatin Dewi
Kayangan. Selagi Dewi Kayangan dilanda kebimbangan,
orang berwajah putih dan hitam sama-sama merambat
bangkit. Setelah saling beri isyarat, kedua orang ini takupkan tangan masing-
masing sejajar dada. Mulut ke-
duanya berkemik-kemik ucapkan sesuatu.
Didahului dengan bentakan dari mulut orang
yang berwajah putih, kedua orang ini buka tangan
masing-masing dan disentakkan ke arah Dewi Kayan-
gan. Gelombang angin dahsyat membawa hawa pa-
nas menyambar cepat ke depan. Bukan hanya sampai
di situ, begitu dari tangan masing-masing melesat gelombang serangan, kedua
orang ini lesatkan tubuh
masing-masing. Dewi Kayangan tanpa palingkan wajah dan tu-
buh jejakkan kakinya di atas tanah. Tubuhnya melent-
ing di udara. Gelombang yang menyambar menghan-
tam tempat kosong!
Di udara, Dewi Kayangan balikkan tubuh. Tapi
perempuan gemuk ini terkejut, kedua lawan ternyata
telah merangseknya dengan kaki lurus!
Seraya menahan rasa terkejut, Dewi Kayangan
angkat tangan kanannya dan dihantamkan ke sisi ka-
nan. Sementara tangan kiri diayunkan dari atas ke
bawah. Prakkk! Prakkk!
Benturan antara kedua tangan Dewi Kayangan
dan dua pasang kaki milik orang berwajah putih dan
hitam tak dapat dihindarkan lagi.
Tubuh orang berwajah putih terpelanting dan
berputar, namun saat itu kakinya masih sempat berge-
rak menyapu ke arah kaki Dewi Kayangan. Sementara
orang yang berwajah hitam tubuhnya mental balik,
namun orang ini tak mau juga tinggal diam. Sebelum
tubuhnya mental, kedua tangannya didorong ke de-
pan. Dewi Kayangan memekik. Tubuhnya yang besar
bergerak deras ke depan karena kakinya tersapu ke
belakang. Di saat itu pukulan yang dilancarkan orang berwajah hitam menggebrak!
Desss! Tubuh Dewi Kayangan menukik deras ke ba-
wah dengan menelungkup. Meski dia sudah berusaha
keras membalikkan tubuh, namun gerakannya terlam-
bat. Hingga tak ampun lagi tubuhnya yang besar terjerembab dengan posisi
telungkup! Di lain pihak, orang yang berwajah putih juga
berusaha menahan putaran tubuhnya, namun usa-
hanya sia-sia. Hingga bersamaan dengan terdengarnya
suara berdebam terjerembabnya tubuh Dewi Kayan-
gan, tubuh orang berwajah putih terkapar di atas ta-
nah! Lalu sesaat kemudian disusul terdengarnya suara terbantingnya tubuh orang
yang berwajah hitam!
*** SEMBILAN TAK jauh dari tempat terjadinya pertarungan
antara Dewi Kayangan dengan orang berwajah putih
dan hitam terlihat sesosok manusia melangkah terta-
tih. Seraya melangkah orang ini tersenyum-senyum,
padahal saat itu tidak ada sesuatu yang pantas dis-
enyumi! Namun tiba-tiba saja senyum orang ini yang
ternyata adalah seorang perempuan bertubuh kurus
kering terpenggal. Seraya hentikan langkah dan men-
gelus rambutnya yang kaku dan disanggul ke atas,
orang ini pandangi sesosok tubuh yang tergolek tak
jauh dari hadapannya.
"Sial! Mataku tidak lamur. Tapi aku tak dapat
melihat dengan jelas, apa yang teronggok melingkar
itu! Ular hijau atau manusia...!"
Perempuan kurus kering yang ternyata menge-
nakan terompah hitam besar dan bukan lain adalah
Rayi Seroja atau Dewi Bayang-Bayang melangkah
mendekat. "Sial betul! Kalau memang ular hijau, kenapa
pakai kuncir" Kalau manusia kenapa sudah siang be-
gini masih enak-enakan tidur melingkar?"
Dewi Bayang-Bayang ulurkan kaki kanannya.
Terompahnya yang besar bergerak menggoyang-goyang
sosok hijau di bawahnya.
"Uhhh...!" terdengar lenguhan dari sosok hijau yang tergoyang.
"Sial! Dia melenguh. Berarti manusia adanya!
Dasar manusia malas, matahari sudah tinggi begini
masih juga ngorok!" gumam Dewi Bayang-Bayang seraya goyang-goyangkan terompahnya
agak keras. Sosok hijau yang melingkar, yang ternyata ada-
lah seseorang manusia buka kelopak matanya. Seben-
tar sepasang mata itu memandang lurus ke atas.
Mungkin karena silau oleh sinar matahari, sepasang
mata itu lantas berpaling ke samping. Anehnya, meski sepasang mata orang ini
telah membuka, namun anggota tubuh lainnya tak hendak dia gerakkan! Dia tetap
melingkar seperti semula.
Saat berpaling ke samping, dan dilihatnya ada
seseorang berdiri seraya senyum-senyum meski tak
memandang ke arahnya, orang ini kernyitkan dahi.
Lantas orang ini coba gerakkan anggota tubuhnya.
Namun orang ini sepertinya terkejut. Anggota tubuh-
nya serasa tegang kaku tak bisa digerakkan!
Dahi orang ini makin mengernyit. Dia seper-
tinya mengingat-ingat.
"Hmm.... Aku bertemu dengan dua orang yang
wajahnya ditutupi kulit tipis hitam dan putih. Lalu terjadi perkelahian. Aku
berhasil mereka robohkan, lalu aku tak ingat apa-apa lagi dan tahu-tahu sudah
berada di sini...."
Orang berpakaian hijau ini yang bukan lain
adalah Aji Alis Pendekar Mata Keranjang 108 meman-
dang berkeliling. Begitu pandangannya berujung pada
sosok perempuan kurus di hadapannya, dia coba me-
nerka-nerka. "Apakah salah satu orang yang menghadangku
itu adalah orang ini" Bukankah dia orang yang menye-
lamatkan aku sewaktu di Kampung Blumbang..." Tapi
ciri-ciri orang yang menghadangku tidak seperti dia!
Apakah dia yang menyelamatkanku lagi dari kedua
orang itu...?"
Berpikir begitu, Pendekar Mata Keranjang 108
lantas buka mulut dan berkata.
"Dewi Bayang-Bayang...! Terima kasih atas per-
tolonganmu!"
Dewi Bayang-Bayang palingkan wajah meman-
dang Pendekar Mata Keranjang. Bibirnya mengulas se-
buah senyum. Sementara sepasang matanya menger-
dip-ngerdip beberapa kali. Lalu masih dengan senyum-
senyum dia berkata.
"Kau ini mengigau atau bergurau! Siapa yang
menolongmu"!"
Pendekar Mata Keranjang 108 menarik napas
dalam-dalam seraya menggumam yang tak jelas. Da-
lam hati dia berkata.
"Menghadapi orang ini gampang-gampang su-
sah! Tapi kebetulan sekali, mungkin dia bisa sedikit memberi petunjuk tentang
kakaknya!" Murid Wong
Agung ini lantas hendak bangkit. Dia sepertinya lupa, jika tubuhnya masih tegang
kaku tak bisa digerakkan.
"Busyet! Tubuhku tertotok!" keluh Pendekar Mata Keranjang. Dia lantas kerahkan
tenaga dalam untuk membebaskan dirinya dari totokan. Namun
hingga keringatnya membasahi tubuh, dia tak berhasil membebaskan diri.
Di hadapannya, Dewi Bayang-Bayang meman-
dang Pendekar 108 dengan kening mengkerut, namun
bibirnya tetap sunggingkan senyum.
"Tak ada hujan tak ada angin, kenapa tubuhmu
keringatan" Kau takut padaku" Ah, wajahku memang
menakutkan. Lebih baik aku pergi saja!" kata Dewi Bayang-Bayang seraya balikkan
tubuh dan hendak
melangkah pergi.
"Nek! Tunggu!" teriak Aji menahan kepergian Dewi Bayang-Bayang.
Dewi Bayang-Bayang urungkan niat. Tanpa
berpaling, dia berkata.
"Kau mau apa...?"
"Minta tolong lagi! Aku tertotok!" kata Aji setengah berteriak karena saat itu
dilihatnya Dewi Bayang-Bayang hendak melangkah.
Dewi Bayang-Bayang dongakkan kepala. Lalu
terdengar dengusan dari hidungnya. "Dasar anak tolol!
Kalau saja tidak mengingat persahabatanku dengan
tua jelek Selaksa, mungkin aku masih berpikir seribu kali untuk menolongmu!"
omel Dewi Bayang-Bayang
seraya balikkan tubuhnya kembali. Tangannya diang-
kat, lalu digerakkan dengan cepat di depan dadanya.
Astaga! Aji merasakan tubuhnya dipukul-pukul
di beberapa bagian. Namun begitu tangan Dewi
Bayang-Bayang berhenti bergerak, Pendekar 108 me-
rasakan anggota tubuhnya mengendor dan bisa dige-
rakkan. Seraya bangkit, Pendekar 108 cepat mendekat
dan menjura hormat seraya berkata.
"Terima kasih! Terima kasih! Budi jasamu tak
akan kulupa...."
Dewi Bayang-Bayang sepertinya acuh saja den-
gan sikap Pendekar 108. Malah dia balikkan tubuh
hendak melangkah pergi lagi, membuat Pendekar Mata
Keranjang geleng-geleng kepala.
"Dewi! Ada sesuatu yang hendak kutanyakan!"
seru Aji seraya bergegas menyusul Dewi Bayang-
Bayang yang telah melangkah tertatih-tatih seakan keberatan terompah.
Mendengar seruan, Dewi Bayang-Bayang bu-
kannya hentikan langkah, malah dia mempercepat
langkah, membuat Pendekar Mata Keranjang 108 ha-
rus kerahkan tenaga dalam untuk mengejar. Karena,
meski terlihat melangkah sosok Dewi Bayang-Bayang
sepertinya melesat dengan cepat!
"Anak kurang ajar! Apa maumu sebenarnya"
Apa kau tertarik padaku..."!" kata Dewi Bayang-
Bayang seraya hentikan langkah begitu dilihatnya
Pendekar 108 menghadang di depannya.


Pendekar Mata Keranjang 13 Mendung Di Langit Kepatihan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sejenak Pendekar 108 tarik-tarik kuncir ram-
butnya seraya tangan satunya usap-usap cuping hi-
dungnya. Sepasang matanya pandangi perempuan di
hadapannya. Lalu seraya ikut-ikut tersenyum, Pende-
kar Mata Keranjang berkata.
"Dewi Bayang-Bayang! Kau adalah sobat baik
eyangku. Perkenankan aku ajukan tanya! Kalau se-
nang boleh jawab, kalau tidak senang juga harus dijawab!" "Anak kurang ajar!
Kau...." Dewi Bayang-Bayang tak meneruskan ucapannya, karena saat itu
Pendekar Mata Keranjang 108 telah berkata menyela.
"Tentunya sebagai seorang tokoh yang telah
lama malang melintang dalam rimba persilatan, kau
pernah dengar tentang adanya Arca Dewi Bumi. Tolong
katakan, di mana aku bisa menemui Dewi Kayangan!"
"Hmm.... Tampaknya pemuda ini telah menge-
tahui rahasia arca itu! Mungkin dia tahu dari Selaksa.
Sewaktu terjadi pertarungan dengan Kali Nyamat ia
menggunakan kipas berwarna ungu yang berangka
108, demikian pula gelarnya, Pendekar Mata Keranjang 108, hmm.... Apakah benar
dia orang yang kelak dapat mengambil dan mewarisi arca itu?" membatin Dewi
Bayang-Bayang seraya menatap tak kesiap pada Aji.
Lalu orang ini berkata.
"Hm.... Apa kau menginginkan arca itu?"
"Soal menginginkan dan tidak menginginkan
itu bukan persoalan. Tapi satu hal yang pasti, arca itu harus diselamatkan! Aku
khawatir rahasia tentang beradanya arca itu bocor ke pihak-pihak yang tidak ber-
tanggung jawab!"
Dewi Bayang-Bayang anggukkan kepala. "Sebe-
lum aku memberi keterangan tentang arca itu, sebaik-
nya aku periksa dahulu, apakah memang dia orang
yang kelak dapat mengambilnya!" membatin Dewi
Bayang-Bayang. "He...! Sini!" teriak Dewi Bayang-Bayang seraya melambai agar Pendekar Mata
Keranjang mendekat.
"Namaku Aji! Bukan he...!" ujar Pendekar 108.
Dia tak segera melangkah ke arah Dewi Bayang-
Bayang. Wajahnya jelas menampakkan kebimbangan.
Dia malah pandangi perempuan berterompah besar di
hadapannya dengan pandangan menyelidik. Pendekar
Mata Keranjang 108 tampaknya masih teringat akan
kata-kata Eyang Selaksa bahwa harus bersikap was-
pada, meski terhadap Dewi Bayang-Bayang!
Melihat sikap ragu-ragu Pendekar 108, Dewi
Bayang-Bayang lebarkan senyumnya. Lalu berkata
tanpa melihat pada Pendekar 108.
"Kau tampaknya curiga padaku. Aku senang
itu, berarti kau adalah anak yang tidak sembrono! Tapi sayang, sikapmu itu
membuatku muak memandang-mu!" Habis berkata begitu, Dewi Bayang-Bayang melangkah
dua tindak ke depan. Namun tiba-tiba balik-
kan tubuh dan melangkah pergi.
"Dewi! Tunggu...!" seru Pendekar 108 seraya berkelebat menyusul. Begitu dekat,
Pendekar 108 segera bungkukkan tubuh seolah minta maaf. Lalu ber-
kata. "Dewi! Kini aku sudah dekat denganmu!"
Pendekar 108 berkata begitu karena meski kini
Pendekar Mata Keranjang telah berada dekat dengan
Dewi Bayang-Bayang, namun perempuan ini tidak pa-
lingkan wajah apalagi berkata.
"Dewi! Aku...."
"Anak kurang ajar! Kau tampaknya sengaja
membuat kesabaranku lenyap!" seraya berkata, Dewi Bayang-Bayang sentakkan tangan
kanannya. Karena
waktu itu Pendekar 108 berada begitu dekat, hingga
tatkala serangkum angin deras menggebrak keluar dari tangan kanan Dewi Bayang-
Bayang, Pendekar Mata
Keranjang 108 tidak sempat lagi menghindar. Hingga
tak ampun lagi tubuhnya terjengkang di atas tanah!
Seraya menindih rasa terkejut, murid Wong
Agung ini coba bangkit. Namun Pendekar 108 tercekat.
Tubuhnya ternyata tegang kaku tak bisa digerakkan.
Ternyata, sentakan tangan kanan Dewi Bayang-Bayang
selain merupakan sebuah serangan juga merupakan
totokan jarak jauh!
Dewi Bayang-Bayang melangkah mendekati
Pendekar Mata Keranjang yang masih dilanda kehera-
nan dan kecurigaan. Dan kecurigaan jelek Pendekar
108 menyeruak begitu Dewi Bayang-Bayang telah de-
kat dan serta-merta mengangkat tubuh Aji.
Begitu tubuh Pendekar 108 terangkat, tangan
kanan Dewi Bayang-Bayang kembali bergerak. Kini
menampar pipi kanan dan kiri Aji. Meski tamparan itu sangat perlahan, namun
karena tamparan itu dialiri
tenaga dalam, tak ampun lagi keluar jeritan tertahan dari mulut Pendekar 108.
Pendekar Mata Keranjang merasakan kepa-
lanya pecah. Setelah itu segala sesuatunya terlihat
menghitam dan tak ingat apa-apa lagi. Tubuhnya dile-
paskan oleh Dewi Bayang-Bayang, hingga tubuh itu
meliuk roboh di atas tanah dengan keadaan pingsan!
*** SEPULUH SEORANG perempuan bertubuh kurus kering,
mengenakan pakaian gombrong dan berterompah be-
sar terlihat melangkah tertatih-tatih. Di pundaknya
tampak seseorang berbaju hijau menelungkup dengan
kepala di punggung dan kaki di depan dada sang pe-
rempuan. Mendadak, perempuan kurus kering ini dan
bukan lain adalah Rayi Seroja atau Dewi Bayang-
Bayang hentikan langkah. Setelah memandang berke-
liling, dia berkelebat dan jongkok di tengah semak be-
lukar seraya mengendap-endap. Setelah meletakkan
orang yang dipanggulnya, kembali sepasang mata Dewi
Bayang-Bayang menyapu ke depan. Dahinya berkerut
senyumnya menyungging.
"Sial! Apa pula di depan itu..." Orang kenduri
atau orang sedang berlatih gila-gilaan...?" menggumam Dewi Bayang-Bayang seraya
terus memandang tak
berkesiap ke depan.
Tak jauh dari tempatnya mengendap-endap
bersembunyi, terlihat tiga orang sedang berkaparan di atas tanah. Seorang di
antaranya adalah seorang perempuan bertubuh besar dengan rambut disanggul ke
atas. Sementara dua lainnya adalah orang yang tidak
bisa ditentukan laki-laki perempuannya, karena kedua orang ini mengenakan
pakaian sangat besar menutupi
sekujur tubuhnya, sementara wajah mereka ditutup
dengan kulit tipis berwarna hitam dan putih.
"Sial! Bukankah yang sebelah kanan itu si
Gembung Kali Nyamat..." Hm.... Dua lainnya tak bisa
kukenali! Mungkin wajah mereka sangat elek, hingga
ditutup segala...!" kembali Dewi Bayang-Bayang menggumam.
Selagi perempuan kurus berterompah besar ini
menggumam sendiri, orang berbaju hijau yang tadi di
pundaknya dan kini diletakkan tak jauh di samping-
nya membuka kedua kelopak matanya.
Untuk beberapa lama orang ini yang bukan lain
adalah Pendekar Mata Keranjang 108 hanya membuka
kelopak matanya tanpa berusaha menggerakkan ang-
gota tubuhnya. Setelah mengerjap-ngerjap beberapa kali, Pen-
dekar Mata Keranjang sapukan pandangannya. Mula-
mula yang terlihat adalah semak belukar merangas
tinggi-tinggi, lalu pohon-pohon besar yang berdaun
rindang. Berpaling ke kanan, Pendekar 108 membela-
lak. Dewi Bayang-Bayang tampak jongkok mengang-
kang dengan sepasang mata memandang lurus ke de-
pan. "Nenek sontoloyo! Apa yang diperbuatnya di si-ni" Untung aku ada di
sampingnya. Kalau aku tepat di depannya...?" membatin Pendekar 108 seraya
pandangi sikap jongkok Dewi Bayang-Bayang. Pendekar 108
angkat bahu seraya menggeleng perlahan dan terse-
nyum. "Tampaknya dia tak berniat jahat padaku. Terbukti dia tak membunuhku...!
Tapi apa yang sedang
dikerjakan dengan jongkok begitu" Jangan-jangan dia
sedang buang air...!" berpikir begitu, Pendekar 108 cepat seret tubuhnya agak
menjauh. "Dewi! Kalau kencing jangan...."
Aji tak meneruskan kata-katanya. Karena saat
itu Dewi Bayang-Bayang palingkan wajah seraya melo-
totkan mata. "Jangan berisik!"
Habis membentak, kembali Dewi Bayang-
Bayang arahnya pandangannya ke depan
Pendekar Mata Keranjang 108 gelengkan kepa-
la. Lalu seraya merangkak ia mendekati Dewi Bayang-
Bayang. Sepasang matanya lantas memandang ke arah
tempat yang dipandangi Dewi Bayang-Bayang.
Sepasang mata murid Wong Agung ini terbeliak
besar saat melihat ke depan dan mengetahui siapa
adanya ketiga orang yang kini telah tegak berdiri berhadap-hadapan. Dewi
Kayangan berdiri di seberang,
sementara kedua orang berwajah hitam dan putih ber-
jajar di seberang lainnya.
"Jahanam! Kedua orang itulah yang mencela-
kakan diriku! Aku akan buat perhitungan!" kata Pendekar 108 seraya kertakkan
rahang dan kedua tangan
mengepal. "Anak kurang ajar! Disuruh jangan berisik ma-
lah mengomel tak karuan! Kalau tak bisa diam, ku-
tampar lagi mulutmu!" bentak Dewi Bayang-Bayang seraya palingkan wajah
menghadapi Pendekar 108.
Meski nada suaranya membentak, anehnya bibir pe-
rempuan ini sunggingkan senyum.
Mendengar ancaman orang, Pendekar 108 sege-
ra katupkan mulut. Sepasang matanya kini ikut-
ikutan mengawasi ke depan, seperti yang dilakukan
Dewi Bayang-Bayang.
Sementara itu di depan, Dewi Kayangan tam-
pak gerak-gerakkan kepalanya seraya pandangi satu
persatu dua orang di hadapannya. Bersamaan dengan
gerakan kepalanya, terdengar gemerincing anting-
anting. Namun suara gemerincing itu kini makin lama
makin melengking tinggi seiring gerakan cepat kepala Dewi Kayangan.
Dua orang berwajah putih dan hitam keluarkan
dengusan seraya menyeringai. Kedua orang ini lantas
kerahkan tenaga dalam masing-masing untuk mena-
han suara lengkingan gemerincing anting-anting.
Belum lenyap suara gemecincing anting-anting,
terdengar suara tawa cekikikan lenyap. Lalu terdengar suara Dewi Kayangan
berseru seraya berkelebat.
"Kalian yang mulai semua ini dan kalian pula
yang memaksa, jadi jangan menyesal nantinya! Me-
nyesal kemudian apa artinya. Ehhh, menyesal kemu-
dian...," seruan Dewi Kayangan terputus. Tubuhnya ti-ba-tiba lenyap. Dan tahu-
tahu.... Wuuuttt! Orang berwajah hitam dan putih terperangah
kaget. Di hadapannya menghampar sinar merah diser-
tai deruan angin yang menyambar dahsyat!
Kalau saja kedua orang ini tidak waspada dan
segera tarik tubuh masing-masing dengan melompat
mundur, niscaya tubuh kedua orang ini akan tersam-
bar hamparan sinar merah yang ternyata adalah se-
lendang merah Dewi Kayangan!
Seraya melompat mundur, kedua orang ini se-
gera dorongkan tangan masing-masing ke depan!
Dua gelombang angin dahsyat yang keluarkan
suara menggemuruh menggebrak menghantam selen-
dang merah. Namun hebatnya, selendang itu bergerak
meliuk seakan menghindari hantaman angin. Malah
begitu hantaman dapat dielakkan, selendang merah itu meliuk lagi dengan keadaan
menggulung dan membuka!
Tahu bahaya, kedua orang ini cepat lesatkan
diri masing-masing setinggi satu tombak ke udara. La-lu secara bersamaan kedua
orang ini merangsek maju
sebelum selendang merah bergerak membuka dari gu-
lungannya! Dewi Kayangan cekikikan sebentar, lalu mena-
rik tangan kanannya yang memegang pangkal selen-
dang. Secepat tarikan tangan Dewi Kayangan, secepat
itu pula selendang merah bergerak ke belakang.
Belum sampai ujung selendang tertangkap tan-
gan Dewi Kayangan, perempuan gemuk ini sentakkan
kembali tangan kanannya.
Selendang membuka dan kini menghampar te-
rus ke depan! Dua orang di seberang yang tak berhasil meng-
gaet ujung selendang segera hentakkan pundak mas-
ing-masing untuk kerahkan tenaga agar tubuhnya me-
lesat lebih tinggi.
Saat itulah, didahului cekikikan keras, tubuh
Dewi Kayangan melesat ke udara. Lalu tubuh besarnya
bergelundungan di atas selendangnya yang mengham-
par. Sambil bergelundungan, tangan kiri Dewi Kayan-
gan menyentak-nyentak ke atas, sementara kedua ka-
kinya melejang-lejang!
Dua orang yang berada di atas Dewi Kayangan
serta-merta dorong tangan masing-masing ke bawah.
Plaaar! Plaaar!
Terdengar dua kali letupan berturut-turut keti-
ka dorongan tangan kedua orang di atas Dewi Kayan-
gan bentrok dengan sentakan tangan kiri Dewi Kayan-
gan. Bersamaan dengan terdengarnya suara letu-
pan, Dewi Kayangan sentakkan tangan kanannya dan
diputar ke atas. Selendang merah berkelebat meliuk ke atas, sementara tubuh Dewi
Kayangan tetap melejang-lejang di atas udara!
Dua orang berwajah putih dan hitam terkejut.
Namun sudah tak ada kesempatan lagi untuk meng-
hindar. Sambaran selendang menghantam terlebih da-
hulu pada orang berwajah hitam. Lalu meliuk meng-
hantam orang berwajah putih!
Terdengar suara tertahan susul-menyusul. Tu-
buh orang berwajah hitam menukik dan terjungkal di


Pendekar Mata Keranjang 13 Mendung Di Langit Kepatihan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

atas tanah, belum sempat bangkit, tubuh orang berwa-
jah putih melayang dan menghantam tubuh orang
berwajah hitam! Kedua orang ini berkaparan di atas
tanah saling tindih-menindih!
Dewi Kayangan cekikikan keras. Sementara itu,
dari tempat persembunyiannya, Dewi Bayang-Bayang
tersenyum-senyum. Sedang Pendekar 108 geleng-
geleng kepala. "Luar biasa! Dia dapat menahan bobot badan-
nya dan melejang-lejang di atas selendang dengan
enaknya seperti anak-anak!" membatin Pendekar Mata Keranjang 108. "Siapa
sebenarnya dua orang itu..."
Apa mereka memang sengaja meninggalkan diriku be-
gitu saja..." Mereka bilang minta tolong padaku untuk mengambil sesuatu, sesuatu apa" Lantas kenapa me-
reka tiba-tiba bentrok dengan Dewi Kayangan..." Ma-
salah sulit yang belum bisa kupecahkan! Sebaiknya
kutanyakan pada Dewi Bayang-Bayang...."
"Dewi!" seru Pendekar 108 perlahan. Yang dipanggil hanya lirikkan mata. Namun
Pendekar 108 meneruskan kata-katanya. "Kau tahu, siapa sebenarnya dua orang itu?"
"Ah, kau ternyata benar-benar anak tolol! Kalau kau yang masih muda dengan
pandangan lebih tajam
saja tidak tahu, apalagi aku yang sudah rabun!"
"Hmm.... Bukan begitu, karena kedua orang itu
memaksa diriku untuk mengambil sesuatu, tapi kare-
na aku tak mau, mereka mengeroyokku. Aku berhasil
mereka buat pingsan, anehnya sewaktu sadar kau
yang terpampang di hadapanku! Dan kini mereka terli-
bat bentrok dengan Dewi Kayangan, apa mereka juga
hendak minta tolong Dewi Kayangan..."!"
Sejurus nenek ini pandangi Pendekar Mata Ke-
ranjang 108 dengan seksama, membuat yang dipan-
dang kikuk dan salah tingkah.
"Hmm.... Bila demikian halnya, berarti rahasia
tentang Arca Dewi Bumi telah bocor keluar! Dan siapa pun adanya dua orang itu,
yang pasti mereka tahu tentang rahasia itu! Dewi Kayangan harus diselamatkan.
Tampaknya kedua orang itu tidak baik, terbukti mere-
ka menyembunyikan siapa adanya mereka!" membatin Dewi Bayang-Bayang. Lalu
berkata pada Pendekar Ma-ta Keranjang.
"Kalau nantinya aku turun tangan menyelesai-
kan pertengkaran ketiga orang itu, kau tetap di sini!
Jangan ke mana-mana. Mengerti"!"
Meski di dalam hati masih disarati dengan be-
berapa tanda tanya, namun murid Wong Agung ini ak-
hirnya anggukkan kepala.
Kedua orang ini lantas layangkan pandangan
masing-masing ke depan lagi. Di mana saat itu Dewi
Kayangan sedang memperdengarkan suara cekikikan-
nya seraya mendekati kedua orang yang berkaparan.
Yang didekati untuk beberapa saat lamanya tak
menampakkan tanda-tanda akan bangkit. Malah sepa-
sang mata masing-masing kedua orang ini terpejam
rapat. Dewi Kayangan lilitkan selendang merah pada
pinggangnya. Lalu perlahan terus mendekati kedua
orang berwajah hitam dan putih.
Tiga langkah lagi langkahnya sampai, Dewi
Kayangan hentikan kakinya, sepasang matanya yang
besar memandangi silih berganti pada orang di hada-
pannya. Lalu keluar tawa cekikikannya.
"Sebenarnya aku ingin melihat tampang orang-
orang ini, namun kurasa mereka bertampang jelek-
jelek. Itu nanti membuat perutku mual dan muntah-
muntah. Daripada mengotori bumi, lebih baik tak lihat tampang mereka!"
Habis berkata begitu, Dewi Kayangan dongak-
kan kepala seraya menadangkan telapak tangan di de-
pan kening. "Waduh, hari sudah siang. Padahal ada sesuatu
yang harus kuselesaikan! Aku harus pergi!"
Dewi Kayangan sekali lagi pandangi dua orang
yang terkapar di sampingnya. Lalu balikkan tubuh dan melangkah pergi. Namun baru
tiga langkahan kakinya
kedua orang yang terkapar serta-merta bangkit. Dan
tanpa berkata-kata lagi secara serentak kedua orang
ini hantamkan kedua tangan masing-masing ke arah
Dewi Kayangan. Empat sinar hitam menghampar ke depan.
Dewi Kayangan yang tidak menduga sama se-
kali cepat palingkan wajah. Parasnya pucat pasi. Kare-na jaraknya begitu dekat,
hingga belum sampai Dewi
Kayangan berbuat sesuatu hamparan sinar hitam te-
lah menghantam tubuhnya!
Terdengar pekik kesakitan dari mulut Dewi
Kayangan. Tubuhnya yang gemuk besar terpelanting
hingga lima tombak ke belakang. Dan begitu tubuhnya
tergolek di atas tanah, darah kehitaman tampak men-
galir dari sudut bibirnya. Pakaian bagian dada dan ba-hu kanan terlihat robek
besar dengan kulit membiru di baliknya.
Dewi Bayang-Bayang yang menyaksikan keja-
dian itu mengomel panjang pendek. Bahkan Pendekar
Mata Keranjang sempat keluarkan makian keras. Un-
tung ia segera sadar. Buru-buru dia tekap mulutnya
lalu bersungut-sungut menggeser tubuhnya seraya
menggumam tak karuan.
Di arena pertempuran, melihat Dewi Kayangan
berhasil mereka kelabui malah kini berhasil mereka
robohkan, kedua orang berwajah hitam dan putih ini
segera berkelebat mendatangi.
Di lain pihak, Dewi Kayangan cepat merambat
bangkit, dan serta-merta tubuhnya dia putar. Selen-
dang merah di pinggangnya sekonyong-konyong berke-
lebat. Namun karena tenaga dalam yang dikerahkan
tidak penuh, karena Dewi Kayangan dalam keadaan
terluka dalam, maka kelebatan selendang itu dengan
mudah dapat disergap oleh orang berwajah putih.
Begitu ujung selendang dapat tertangkap, sece-
pat kilat orang berwajah putih ini berkelebat memutar-mutar. Dewi Kayangan
tercekat, tubuhnya kini terlilit selendangnya sendiri. Namun perempuan ini tak
begitu saja menyerah. Tubuhnya dia lesatkan ke udara. Tapi
justru gerakannya ini menjadi bumerang. Karena begi-
tu tubuhnya melesat ke atas, orang berwajah putih
sentakkan ujung selendang di tangannya. Mau tak
mau tubuh Dewi Kayangan terbetot dengan deras ke
bawah. Saat itu, di bawah orang yang berwajah hitam
telah menanti dengan kedua tangan siap memukul!
Sesaat lagi tubuh gemuk Dewi Kayangan sam-
pai di hadapan orang berwajah hitam yang sudah siap
lancarkan pukulan, tiba-tiba sesosok bayangan berke-
lebat. Dan dengan gerakan aneh, bayangan tersebut
menyambar tubuh besar Dewi Kayangan. Begitu keras
dan cepatnya sambaran bayangan tersebut, hingga
orang berwajah putih yang masih pegangi ujung selen-
dang terhuyung-huyung terseret ke atas! Bukan hanya
itu saja, seraya menangkap tubuh Dewi Kayangan,
bayangan tersebut gerakkan kaki kanannya menghen-
tak pada selendang.
Orang berwajah putih terperangah kaget. Pe-
gangan pada ujung selendang bergetar hebat dan pa-
nas! Melihat bahaya, orang ini tak mau bertindak ayal, seraya mengumpat keras
pegangan tangannya pada
ujung selendang dia lepaskan.
*** SEBELAS BEGITU pegangan terlepas, bayangan yang
menggendong tubuh gemuk Dewi Kayangan melayang
turun. Sejengkal lagi kaki bayangan ini yang ternyata mengenakan sepasang
terompah besar berwajah hitam
mendarat di atas tanah, mendadak kaki kanan bayan-
gan ini mendahului menjulai dan menjejak tanah. Tu-
buh bayangan ini kembali membumbung lalu melesat
agak menjauh dari orang berwajah hitam dan putih
yang masih seperti terkesima!
Di tempat agak jauh dan aman dari jangkauan
orang berwajah hitam dan putih, bayangan yang
menggendong tubuh Dewi Kayangan mendarat. Men-
dudukkan tubuh Dewi Kayangan dan berkata.
"Gembung! Kalau kau tak bisa rubah sikap
sembronomu, hidupmu tak akan berumur panjang!"
Dewi Kayangan yang dipanggil Gembung oleh
sosok yang menggendongnya dan bukan lain adalah
Dewi Bayang-Bayang kerjap-kerjapkan sepasang ma-
tanya. Seraya pegangi dadanya yang berdenyut sakit,
Dewi Kayangan berkata.
"Panjang dan tidaknya hidupku bukan uru-
sanmu! Kenapa kau repot-repot mengurusi" Hik....
Hik.... Hik...!" Setelah puas cekikikan, Dewi Kayangan terlihat meringis. Lalu
meludah ke tanah. Ternyata ludah itu telah berwarna hitam. Menyadari akan
dirinya yang telah terluka dalam, Dewi Kayangan segera kerahkan tenaga dalam
seraya mengurut-urut dada dan
perutnya. Di seberang, setelah sadar dari rasa terkesi-
manya, dua orang yang berwajah hitam dan putih sal-
ing pandang. "Rayi Seroja!" seru orang yang berwajah putih begitu mengenali siapa adanya
orang yang menyelamatkan Dewi Kayangan.
Mendengar nama itu disebut oleh orang yang
berwajah putih, orang yang berwajah hitam surutkan
langkah dua tindak ke belakang. Seraya ingin meya-
kinkan sepasang mata orang ini memandang lurus ke
depan tak kesiap. Saat itu Rayi Seroja alias Dewi
Bayang-Bayang telah balikkan tubuh dan memandangi
silih berganti pada dua orang berwajah hitam dan pu-
tih dengan tersenyum-senyum.
Meski bibirnya tersenyum-senyum, diam-diam
dalam hati Rayi Seroja berkata.
"Dia mengenaliku. Hmm.... Berarti aku pun
pasti mengenalnya! Siapa dia..." Akan kubuka tutup
wajahnya!" Dewi Bayang-Bayang angkat kepalanya
tengadah ke langit, lalu berkata.
"Wahai orang-orang yang tertutup wajahnya. Di
hadapanku lebih baik kalian terus terang saja. Buka
penutup wajah kalian! Jika tidak, aku tak segan-segan menelanjangi kalian!"
Orang berwajah putih keluarkan dengusan ke-
ras. Sepasang matanya membeliak besar. Pelipisnya
bergerak-gerak, sementara dagunya terangkat. Teman-
nya hanya memandang dengan tatapan bimbang. Jelas
orang yang berwajah hitam ini agak keder menghadapi
Dewi Bayang-Bayang.
"Tua bangka bermulut besar! Apa yang dita-
kutkan dari ancamannya!" berkata orang yang berwajah putih begitu melihat
temannya dilanda perasaan
bimbang dan khawatir.
Habis berkata, orang yang berwajah putih ber-
kelebat. Tahu-tahu tubuhnya telah empat langkah di
hadapan Dewi Bayang-Bayang. Dan seketika itu juga
kedua tangannya disentakkan ke depan.
Dua larik sinar hitam menyambar cepat ke arah
Dewi Bayang-Bayang. Suasana seketika menjadi redup
dan panas! Dewi Bayang-Bayang sesaat terlihat tertegun
dengan sepasang mata melotot. "Tak mungkin! Tak mungkin dia! Tapi tidak ada dua
orang di rimba persilatan ini yang mempunyai jurus seperti ini selain dia!
Aku makin penasaran!"
Dewi Bayang-Bayang berseru keras, lalu me-
loncat ke samping kanan, membuat gerakan berputar
dua kali di udara dan serta-merta sentakkan kedua
tangannya. Blaammm! Dusun Kepatihan laksana dilanda gempa dah-
syat. Tanah terbongkar dan melambung ke udara. Tiga
pohon besar yang tak jauh dari tempat bertemunya
dua serangan berderak tumbang.
Setelah suasana agak terang karena tanah yang
beterbangan telah surut, orang berwajah putih ka-
tupkan rahangnya rapat-rapat. Sepasang matanya
mendelik dan mengedar berkeliling. Ternyata Dewi
Bayang-Bayang lenyap bagai ditelan bumi.
Selagi orang berwajah putih mengedarkan pan-
dangan mencari-cari, terdengar ketukan-ketukan. Baik orang yang berwajah putih
maupun orang berwajah hitam yang sedari tadi hanya menyaksikan, segera
layangkan pandangan matanya ke arah sumber suara
ketukan. Astaga! Kedua pasang mata kedua orang ini
membesar dan menyipit. Dewi Bayang-Bayang ternyata
duduk dengan kepala bergoyang ke kanan dan kiri di
atas sebuah cabang pohon yang tak begitu besar. Ke-
dua kakinya yang mengenakan terompah besar dia ke-
tuk-ketukkan pada batang cabang di bawahnya! Dia
seakan-akan menyelaraskan irama ketukan terompah-
nya dengan gelengan kepalanya.
"Jahanam!" gertak orang yang berwajah putih seraya memberi isyarat pada
temannya. Yang diberi
isyarat segera takupkan kedua tangannya. Matanya
memejam dengan mulut berkemik.
Tanpa didahului dengan suara bentakan, orang
berwajah hitam melompat maju dan sekonyong-
konyong sentakkan kedua tangannya ke arah Dewi
Bayang-Bayang. Di saat yang bersamaan, orang yang
berwajah putih melesat ke depan dan hantamkan pula
kedua tangannya.
Hebatnya, mendapat serangan dari dua jurusan
begitu rupa, Dewi Bayang-Bayang hanya sunggingkan
senyum. Dan begitu serangan setengah depa lagi
menghantam, Dewi Bayang-Bayang jejakkan kakinya
pada cabang di bawahnya. Tubuhnya melesat ke atas,
menerabas beberapa cabang pohon. Cabang-cabang
pohon itu patah berderak-derak.
Bersamaan dengan melesatnya tubuh Dewi
Bayang-Bayang, serangan dari orang berwajah putih
dan hitam menderu menghajar. Pohon di mana Dewi
Bayang-Bayang tadi berada langsung tumbang dengan


Pendekar Mata Keranjang 13 Mendung Di Langit Kepatihan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kulit mengelupas!
Begitu pohon tumbang, kedua orang ini segera
menyapukan pandangannya kembali, karena sosok
Dewi Bayang-Bayang tak terlihat melayang turun. Ke-
dua orang ini kembali dibuat melengak. Ternyata Dewi Bayang-Bayang duduk pada
sebuah cabang pohon di
sebelah pohon yang tumbang.
Selagi kedua orang ini melengak, dari arah po-
hon di mana Dewi Bayang-Bayang berada melesat dua
buah benda hitam. Begitu cepat lesatan benda hitam
tersebut, hingga hanya nampak seperti bersitan sinar hitam yang keluarkan suara
mendesing! Anehnya, dua
benda hitam tadi menerabas satu persatu ke arah
orang berwajah putih dan hitam.
Orang berwajah putih dan hitam segera miring-
kan tubuh masing-masing ke samping, menghindari
sambaran benda hitam yang ternyata adalah terompah
hitam milik Dewi Bayang-Bayang. Hebatnya, begitu ti-
dak menghajar sasaran, terompah itu mental balik.
Saat itulah Dewi Bayang-Bayang menyongsong turun.
Setelah mengenakan terompahnya di atas udara, pe-
rempuan ini segera merangsek ke arah orang berwajah
putih. Namun begitu di lihatnya orang berwajah hitam bertindak lengah, Dewi
Bayang-Bayang balikkan tubuh
di atas udara dan berkelebat mengarahkan serangan
ke arah orang yang berwajah hitam. Tangan kanannya
diangkat di atas kepala, sementara tangan kirinya me-
rentang. Orang yang berwajah hitam terkejut. Namun
dia segera miringkan tubuh ke kiri menghindari sabe-
tan tangan kanan Dewi Bayang-Bayang. Saat itulah,
tangan kiri Dewi Bayang-Bayang yang merentang dia
tarik sedikit, dan serta-merta disentakkan ke wajah
orang yang berwajah hitam!
Orang yang berwajah hitam meraung keras. Dia
tampaknya tertipu dengan gerak tangan kanan Dewi
Bayang-Bayang yang mengharuskan wajahnya meng-
hindar ke samping kiri, saat mana tangan kiri Dewi
Bayang-Bayang telah siap menyentak!
Seettt! Orang berwajah hitam cepat takupkan telapak
tangannya ke wajahnya yang kini kulit penutupnya te-
lah terbuka. Saat itulah Dewi Bayang-Bayang segera
daratkan kakinya di atas tanah. Lalu tangan kanannya menjotos arah perut orang
yang tadi berwajah hitam.
Karena untuk melindungi perutnya dari joto-
san, mau tak mau orang ini segera turunkan tangan
dan wajahnya! Dan dihantamkan ke bawah! Tapi orang
ini terkejut, karena tangannya hanya menghantam
tempat kosong, ternyata Dewi Bayang-Bayang telah ta-
rik pulang tangannya yang hendak menjotos.
"Rakai Sirapan! Kau...!" seru Dewi Bayang-
Bayang begitu mengetahui siapa adanya orang yang
tadi berwajah hitam.
Orang yang dipanggil Rakai Sirapan mendengus
keras. Wajahnya yang kini tak lagi tertutup tampak
merah padam. Dan dengan marah yang meluap orang
ini segera melompat seraya hantamkan kedua tangan
sekaligus ke arah kepala Dewi Bayang-Bayang.
Dewi Bayang-Bayang angkat kedua tangannya
dan direntangkan sedikit di atas kepalanya.
Prakkk! Prakkk!
Terdengar benturan keras. Namun Rakai Sira-
pan jadi tercengang, karena tangannya kini terjepit kedua tangan Dewi Bayang-
Bayang yang ditakupkan be-
gitu kedua tangan Rakai Sirapan menghantam.
Rakai Sirapan kerahkan tenaga dalam untuk
menarik tangannya. Namun tiada guna. Jepitan tan-
gan Dewi Bayang-Bayang laksana tiang besi. Saat itu-
lah Dewi Bayang-Bayang sentakkan kaki kanannya.
Desss! Tubuh Rakai Sirapan melayang dan jatuh ber-
gulingan di atas tanah dengan pakaian bagian dada
robek. Darah segera muntah dari mulutnya. Namun
orang ini segera merambat bangkit. Tapi begitu agak
tegak, tubuhnya meliuk dan roboh kembali.
Di seberang, begitu kulit penutup orang berwa-
jah hitam terbuka Dewi Kayangan membeliak lebar.
Mulutnya komat-kamit menggumam sesuatu yang tak
jelas. Lalu kepalanya mendongak ke atas. Diam-diam
dalam hati dia berkata.
"Hm.... Rakai Sirapan! Berarti tak ada lain
orang yang bersamanya adalah Mekar Sari! Ternyata
tua bangka Selaksa tidak membual. Mekar Sari benar-
benar masih hidup! Tapi kenapa tiba-tiba dia muncul
dan menginginkan arca itu" Apa ini bukan karena ha-
sutan kekasihnya si Bangsat Rakai Sirapan...?"
Sementara itu, orang berwajah putih segera me-
lompat maju begitu melihat temannya telah terbuka
kedoknya. Dan tanpa berkata-kata lagi kedua tangan-
nya segera mendorong ke depan.
Dewi Bayang-Bayang tak berusaha menghindari
serangan orang yang berwajah putih. Dia hanya angkat kedua tangannya, dan dengan
pengerahan tenaga dalam penuh, kedatangannya didorong ke depan.
Blarrr! Terdengar ledakan dahsyat tatkala dua seran-
gan berisi tenaga dalam itu bertemu, di udara. Baik
Dewi Bayang-Bayang maupun orang berwajah putih
sama-sama terhuyung ke belakang. Saat itulah seraya
menahan huyungan tubuhnya, kaki kiri Dewi Bayang-
Bayang melejang ke depan, lalu disusul kaki kanan-
nya. Wuuttt! Wuuuttt!
Terompah besar Dewi Bayang-Bayang berkele-
bat deras ke depan, ke arah orang berwajah putih yang masih berusaha menguasai
dirinya dari olengan tubuhnya!
Seraya menahan rasa tercekat, tangan orang
berwajah putih menghantam ke depan. Terompah yang
satu bisa dibuat mental, namun satunya lagi tak bisa dipapas, hingga tanpa ampun
lagi terompah itu menghantam telak bahunya!
Orang yang berwajah putih menjerit tertahan.
Tubuhnya berputar dan jatuh terjengkang.
Dewi Bayang-Bayang tersenyum. Lalu dengan
tanpa memandang orang berwajah putih dia berkata.
"Tanpa kau buka tutup wajahmu aku telah ta-
hu siapa kau! Mekar Sari, lekas menyingkir dari hadapanku! Hari ini aku masih
berbaik hati dan mengang-
gapmu sebagai adik! Namun jika suatu waktu kelak
kau masih bermain-main dengan orang-orang sesat,
jangan menyesal jika aku menutup mata padamu!"
"Ah, bertahun lamanya aku coba menyirap ka-
bar tentangmu yang katanya telah tewas, namun sete-
lah bertemu nyatanya kau berbuat tak pantas! Aku
menyesal! Hik.... Hik.... Hik...!" sahut Dewi Kayangan seraya merambat bangkit
dan mendekati Dewi Bayang-Bayang.
Sejenak Dewi Kayangan memandang silih ber-
ganti pada orang berwajah putih yang ternyata adalah Mekar Sari atau lebih
dikenal dengan julukan Dewi
Bunga Iblis, lalu beralih pada Dewi Bayang-Bayang.
Saat itu baik Dewi Bunga Iblis maupun Dewi Bayang-
Bayang juga sedang memandang ke arah Dewi Kayan-
gan, hingga untuk beberapa saat lamanya tiga bersau-
dara ini saling pandang satu sama lain.
"Kali Nyamat!" berkata Dewi Bayang-Bayang
memanggil nama asli Dewi Kayangan. "Cepat suruh minggat anak salah asuhan itu
sebelum mataku jenuh
melihat tampangnya!"
Dewi Kayangan cekikikan sebentar, lalu berpal-
ing pada Dewi Bunga Iblis dan berkata setengah berteriak. "Mekar Sari! Telingamu
telah dengar ucapan orang, kenapa kau masih enak-enakan menggelosoh di
situ" Hayo, minggat sana jauh!"
Sepasang mata Dewi Bunga Iblis membeliak
pandangi kedua kakaknya bergantian. Dengan men-
dengus keras, orang ini merambat bangkit seraya pe-
gangi bahunya yang baru saja terhantam terompah
kakaknya Dewi Bayang-Bayang. Perlahan, Dewi Bunga
Iblis melangkah ke arah Rakai Sirapan yang ternyata
adalah kekasihnya.
"Kakang, kita tebus kegagalan ini pada suatu
hari kelak! Kita pergi dari sini!"
Rakai Sirapan tak menyahuti ucapan kekasih-
nya. Dia hanya bangkit dan melangkah mengikuti Dewi
Bunga Iblis yang terlebih dahulu meninggalkan tempat itu.
*** DUA BELAS BEGITU Dewi Bunga Iblis dan kekasihnya telah
pergi, Dewi Bayang-Bayang berpaling pada Dewi
Kayangan. Setelah tersenyum dia berkata.
"Kali Nyamat! Kau terima atau tidak, nyatanya
rahasia yang bertahun-tahun kita simpan akhirnya
bocor juga! Dan bukan tak mungkin hal ini telah me-
nyebar di kalangan orang-orang rimba persilatan!"
Dewi Kayangan mengangguk-angguk seraya ce-
kikikan. "Benar juga! Tapi kau tahu sendiri, hanya seo-
rang yang kelak dapat mengambil sekaligus mewarisi
arca itu. Padahal sampai sekarang aku belum mene-
mukan orangnya!"
Dewi Bayang-Bayang gelengkan kepala sambil
tersenyum. Tangannya bergerak melambai pada Pen-
dekar Mata Keranjang 108 yang sedari tadi diam me-
nunggu di balik semak belukar.
Melihat isyarat lambaian tangan Dewi Bayang-
Bayang, Pendekar 108 berkelebat keluar. Melangkah
mendekati Dewi Bayang-Bayang dan Dewi Kayangan
yang tegak memperhatikan dengan dahi berkerut.
"Rayi Seroja! Untuk apa kau bawa gembel jelek
ini" Meski dia gagah dan mungkin digandrungi banyak
gadis-gadis, aku tak sedikit pun tertarik padanya!"
Meski dalam hati Pendekar Mata Keranjang 108
menggerendeng panjang pendek, namun dia tak me-
nyahuti kata-kata Dewi Kayangan. Dia hanya meman-
dang seraya usap-usap cuping hidungnya.
"Kali Nyamat! Soal tertarik atau tidak, itu urusan belakangan. Yang pasti kita
memerlukan manusia
satu ini! Dialah orang yang kau tunggu-tunggu!"
Mendengar ucapan adiknya, untuk kali perta-
ma Dewi Kayangan tak keluarkan cekikikannya. Sepa-
sang matanya mengawasi tampang Pendekar Mata Ke-
ranjang 108 dari kaki sampai rambut.
"Kau sudah memeriksanya"!" kata Dewi Kayan-
gan tanpa palingkan wajah.
"Mana aku berani bawa orang sebelum kupe-
riksa keadaannya"!" jawab Dewi Bayang-Bayang sambil elus rambutnya yang menjulai
kaku ke atas. "Aku belum percaya sebelum melihat sendiri!"
"Hmm.... Jika begitu, silakan lihat!" jawab Dewi Bayang-Bayang seraya senyum-
senyum dan kibas-kibaskan pakaiannya yang gombrong.
Pendekar Mata Keranjang yang bukan lain Aji
adanya tarik kuncir rambutnya seraya menggumam.
"Dari tadi kudengar kalian ribut soal periksa
memeriksa. Sebetulnya apa yang sedang kalian bicara-
kan?" Dewi Bayang-Bayang berpaling pada Pendekar 108 dan berkata, "Bukankah
jauh-jauh kau menuju ke dusun Kepatihan hendak mencari tahu tentang Arca
Dewi Bumi" Ketahuilah! Petunjuk tentang beradanya
arca itu ada di tangan kakakku ini. Hanya saja syarat utama yang kuketahui,
bahwa kelak hanya seorang
yang bisa mengambilnya. Orang itu memiliki tanda-
tanda khusus yang dibawa sejak lahir! Nah, sekarang
kau mendekatlah pada Dewi Kayangan, dia akan lihat,
apakah kau memiliki tanda-tanda khusus itu!"
"Betul! Sini kau!" sambung Dewi Kayangan seraya memberi isyarat agar Pendekar
108 mendekat. Meski masih banyak pertanyaan di dalam hati,
Pendekar 108 melangkah mendekati Dewi Kayangan.
Begitu dekat, kedua tangan Dewi Kayangan se-
gera bergerak meraba-raba tubuh Pendekar 108. Kare-
na kaget tidak menduga, pendekar murid Wong Agung
ini segera hendak melompat mundur. Namun Pendekar
108 terperangah. Wajahnya berubah pias dengan se-
pasang mata membeliak. Karena ternyata tubuhnya
tegang kaku tak bisa digerakkan!
"Gila! Dia telah menotokku!" umpat Aji dalam
hati seraya pandangi silih berganti pada Dewi Bayang-Bayang dan Dewi Kayangan.
Yang dipandangi hanya
senyum, sementara satunya cekikikan seraya terus
meraba-raba. "He...! Lepaskan pegangan jarimu pada bijiku!"
teriak Pendekar Mata Keranjang saat dirasa tangan kiri Dewi Kayangan meraba
pangkal pahanya dan memencet dua bijinya.
"Walah, kenapa tanganku ngelantur tak ka-
ruan" Sial benar!" kata Dewi Kayangan lalu berpaling pada Dewi Bayang-Bayang dan
ajukan pertanyaan.
"Rayi Seroja! Kau jangan bohongi aku, di mana
letaknya...?"
Dewi Bayang-Bayang katupkan mulut dan
mengangkat tangannya ditekapkan pada mulut. Ba-
hunya nampak berguncang menahan tawa. Lalu ber-
kata. "Dasar tolol! Sudah dipegang masih tanyatanya!" "Hahhh" Jadi di sini..."!"
kata Dewi Kayangan seraya memencet kembali. Pendekar 108 semakin
membeliakkan sepasang matanya. Dari mulutnya ke-
luar gerendengan tak karuan. Sementara Dewi Bayang-
Bayang tergelak-gelak.
Setelah puas tertawa, Dewi Bayang-Bayang
mendekati Dewi Kayangan yang masih memencet men-
cet seraya tertawa cekikikan.
"Kali Nyamat! Tanda itu ada pada kepalanya!"
bisik Dewi Bayang-Bayang seraya cepat mundur kare-
na saat itu juga Dewi Kayangan lepaskan pegangan
tangan kirinya yang memencet dan kibaskan tangan-
nya pada Dewi Bayang-Bayang.


Pendekar Mata Keranjang 13 Mendung Di Langit Kepatihan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Dasar perempuan tua tak tahu malu! Bera-
ninya kau mengerjai aku!" kata Dewi Kayangan seraya melotot. Namun sebentar
kemudian tawa cekikikannya
keluar. Tangannya lantas bergerak memegang kepala
Aji dan ditekan.
"Gila! Apa maunya orang-orang ini sebenarnya"
Apa dikiranya aku barang mainan?" gerutu Pendekar 108. Namun dia tak bisa
berbuat apa. Tubuhnya segera menekuk begitu tangan Dewi Kayangan menekan.
"Hmmm.... Jadi memang dia orangnya...," gumam Dewi Kayangan setelah puas meraba-
raba dan menekan kepala Pendekar 108. Tangan orang ini lan-
tas bergerak kembali ke sana kemari di sekujur tubuh Pendekar Mata Keranjang.
Begitu tangannya berhenti
bergerak, astaga! Pendekar Mata Keranjang bisa ge-
rakkan kembali anggota tubuhnya.
"Satu nol delapan!" seru Dewi Kayangan. Dia sengaja memanggil begitu setelah
mengetahui bahwa
di kepala Aji memang terdapat guratan angka 108.
"Dengar baik-baik! Di rimba persilatan ini me-
mang ada arca bernama Dewi Bumi. Namun arca itu
hanya bisa diambil oleh orang yang mempunyai tanda
angka 108 di tubuhnya. Karena orang itu adalah kau,
maka sekarang kau pergilah ke utara. Di sebuah dae-
rah bernama Bajul Mati, carilah seorang pertapa ber-
nama Resi Sahyang Gopala! Hanya itu petunjuk yang
ada padaku! Selanjutnya urusanmu!"
Pendekar Mata Keranjang 108 sepertinya masih
tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya.
Dia memandang lurus-lurus pada Dewi Kayangan dan
Dewi Bayang-Bayang.
Dewi Bayang-Bayang tersenyum, lalu dengan
mata sedikit melotot dia berkata.
"Kau sudah dengar kata-kata orang. Tunggu
apa lagi" Apa ingin dipencet lagi..."!"
"Brengsek! Siapa yang mau pencet-pencet lagi"
Enak di dia, rugi di kita! Hik.... Hik.... Hik...!" sahut Dewi Kayangan seraya
kibas-kibaskan tangan kirinya
yang tadi memencet biji Pendekar 108.
Pendekar 108 usap-usap cuping hidungnya se-
raya menggumam perlahan. "Apa dikira aku senang kau pencet-pencet! Kalau kalian
gadis-gadis cantik, kalian pencet sampai lumer pun aku tak akan menjerit-
jerit!" Lalu Pendekar Mata Keranjang 108 membungkuk dan berkata.
"Hanya ucapan terima kasih yang dapat ku-
sampaikan atas petunjuk yang telah kalian berikan!
Aku mohon diri sekarang...."
"Hik.... Hik.... Hik...! Kau tak usah berbasa-basi begitu! Lekas pergi sana!"
bentak Dewi Kayangan. Namun meski nada suaranya membentak, mulut orang
ini mengumbar tawa panjang seakan tak henti henti.
Pendekar Mata Keranjang 108 luruskan tubuh.
Mengawasi sejenak pada Dewi Kayangan dan Dewi
Bayang-Bayang. Dalam hati dia berkata.
"Orang aneh! Kalau terus kumpul dengan
orang-orang begini, bisa-bisa aku kejangkitan jadi
orang aneh...."
Setelah puas menatapi dua orang kakak bera-
dik itu, Pendekar 108 kerdipkan sebelah matanya pada keduanya. Lalu balikkan
tubuh dan melangkah meninggalkan tempat itu.
Dewi Kayangan membelalakkan sepasang ma-
tanya. "Dasar Mata Keranjang! Pada orang-orang tua bangka seperti kita-kita ini
masih juga sempat kerdip-kerdipkan sebelah matanya!" Lalu perempuan bertubuh
gemuk besar ini tertawa cekikikan, sementara
Dewi Bayang-Bayang buka lebar-lebar mulutnya sea-
kan hendak tertawa bergelak, namun yang terlihat ke-
mudian adalah senyum di bibirnya!
SELESAI Ikuti kelanjutan kisah ini dalam episode:
DAYANG NAGA PUSPA
Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
https://www.facebook.com/pages/Dunia-
Abu-Keisel/511652568860978
Pendekar Naga Mas 9 Naga Jawa Negeri Di Atap Langit Naga Bumi 3 Karya Seno Gumira Ajidarma Sumpit Nyai Loreng 1
^