Pencarian

Dayang Naga Puspa 1

Pendekar Mata Keranjang 14 Dayang Naga Puspa Bagian 1


DAYANG NAGA PUSPA Darma Patria Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Cover oleh Henky
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Darma Patria Pendekar Mata Keranjang 108
dalam episode: Dayang Naga Puspa
128 hal. https://www.facebook.com/pages/Dunia-
Abu-Keisel/511652568860978
SATU HARI itu cuaca cerah sekali. Langit begitu te-
rang tanpa secuil pun awan mengambang, membuat
sinar sang mentari leluasa menerabas sela-sela rimbu-
nan pucuk dedaunan di bentangan bumi. Namun, be-
gitu bola penerang Mayapada ini mulai bergeser dari titik tengahnya, mendadak
awan hitam bergulung-
gulung berarak-arakan menghiasi angkasa langit yang
datang dari segala penjuru. Bumi tiba-tiba disentak
kegelapan. Angin berhembus kencang keluarkan suara
mendesis-desis. Sesaat kemudian kilat menyambar
disusul dengan menyalaknya guntur yang bersahut-
sahutan seakan hendak menelan lenyap segala mak-
hluk di kolong langit. Bersamaan dengan menyambar-
nya kilat untuk kelima kalinya, hujan deras menghu-
jam dengan deru yang memekakkan telinga.
Di suasana yang demikian menggidikkan itu,
sesosok bayangan berkelebat cepat menuju sebuah da-
taran lembah berpasir yang membentuk sebuah ling-
karan. Melihat kelebatan sosoknya yang laksana bersi-
tan sinar, dapat ditebak jika bayangan ini memiliki il-mu peringan tubuh yang
cukup tinggi. Dan menilik si-
kapnya yang tak menghiraukan suasana, mudah didu-
ga jika sosok bayangan ini mempunyai masalah yang
sangat penting. Kilat menghampar. Sekilas lembah
berpasir berubah terang. Tahu-tahu sosok bayangan
tadi telah duduk ditengah-tengah lembah berpasir
dengan kedua tangan disatukan sejajar dada.
Guntur menggelegar bersahutan. Hujan men-
curah makin deras. Bersamaan dengan menyalaknya
guntur, kembali bentangan bumi digenggam kege-
lapan. Ketika cahaya kilat kembali menyambar, tam-
pak agak jelas adanya sosok yang duduk di tengah
lembah berpasir. Dia adalah seorang perempuan yang
tidak muda lagi. Ini jelas terlihat dari kerutan yang menghiasi kulit wajahnya.
Perempuan ini mengenakan
pakaian panjang berwarna hitam. Anehnya meski dia
seorang perempuan, pakaian panjangnya itu dilapis
dengan jubah besar berwarna putih. Rambutnya yang
panjang dibiarkan bergerai hingga menutupi sebagian
punggung dan wajahnya, membuat paras perempuan
ini terlihat samar-samar. Sepasang matanya bulat be-
sar dan tajam. Di lubang hidungnya yang mancung se-
belah kiri terlihat melingkar sebuah anting-anting kuning.
Melihat sikapnya yang menakupkan kedua tan-
gan sejajar dada, sepasang mata terpejam rapat serta
mulut berkemik-kemik menggumam, perempuan ini
sedang memusatkan perhatian. Dan melihat ketaba-
han serta ketegarannya melawan gejolak alam yang ti-
dak sedang bersahabat, masalah yang dihadapi pe-
rempuan ini sungguh amat penting.
Untuk beberapa lama, perempuan ini tetap da-
lam posisi semula. Bahkan, ketika untuk kesekian ka-
linya guntur menggelegar dan menggetarkan lembah
berpasir serta menumbangkan beberapa pohon besar
di sekitarnya, perempuan ini tak bergeming. Jubah
serta seluruh badannya yang basah kuyup tak juga
membuatnya menggigil atau meninggalkan lembah
berpasir. Selagi perempuan berjubah ini pusatkan perha-
tian batinnya, entah dari mana datangnya, tiba-tiba
sebongkah awan putih berarak pelan menyusur lem-
bah berpasir dan berhenti lima belas langkah di hada-
pan perempuan berjubah.
Bersamaan dengan beraraknya awan putih,
lembah berpasir perlahan-lahan diselimuti kehanga-
tan, meski hujan dan angin tetap mencurah dan
menghembus. Merasakan perubahan suasana, perempuan
berjubah putih besar buka kedua kelopak matanya.
Lalu perlahan sekali dia membuat gerakan mengang-
kat kepalanya. Sementara kedua tangannya tetap me-
nakup sejajar dada.
Di hadapan sang perempuan, bongkahan awan
putih samar-samar membumbung menerabas kegela-
pan. Begitu awan putih sirna, sama-samar terlihat se-
sosok tubuh duduk bersila. Anehnya, meski hujan te-
tap mencurah, sosok yang baru datang ini baik rambut
dan pakaian yang dikenakannya tak terlihat basah!
"Guru...!" keluar seruan perlahan dari mulut perempuan berjubah begitu mengenali
siapa adanya sosok di hadapannya yang baru saja muncul. Sepa-
sang mata perempuan berjubah ini memandang lurus
ke depan tak berkesiap. Lalu dengan tubuh agak kaku
seakan dipaksakan, perempuan berjubah ini menjura
hormat. Orang yang baru muncul dan dipanggil guru
oleh perempuan berjubah sejenak mendehem dan me-
mandang dengan senyum rawan. Kepalanya mengang-
guk sebentar tanpa sepatah kata pun terdengar keluar
dari mulutnya. Orang yang baru muncul ternyata adalah se-
orang laki-laki berusia amat lanjut. Seluruh kulit wajahnya telah berkerut.
Sepasang matanya sipit dengan
rambut putih dan tampak dibiarkan awut-awutan se-
hingga di beberapa bagian tampak mengempal dan ka-
ku. Kumis, jambang serta jenggotnya juga berwarna
putih dan dibiarkan panjang tanpa terawat hingga me-
rangas hampir menutupi wajahnya.
Hebatnya, meski tampak duduk bersila dengan
enaknya, ternyata tubuh orang tua ini ada sejengkal di
atas lembah berpasir!
Setelah saling tak ada yang buka mulut, pe-
rempuan berjubah putih angkat kembali kepalanya.
Sepasang matanya kembali memandang pada orang
tua di hadapannya. Mulutnya membuka seakan hen-
dak angkat bicara. Namun mulut perempuan ini kem-
bali mengatup sebelum keluarkan ucapan. Tampaknya
perempuan ini dilanda kebimbangan.
"Percuma melakukan perjalanan jauh dan me-
lawan suasana jelek jika setelah sampai hanya diam
membisu! Apa pun yang nanti terjadi, itu urusan bela-
kang. Yang penting, aku harus menyampaikan keingi-
nanku...!" membatin perempuan berjubah putih. Lalu buka mulutnya kembali hendak
berkata. Namun sebelum terdengar ucapan dari mulut
perempuan berjubah putih, orang tua di hadapannya,
yang ternyata bertelanjang dada dan mengenakan ce-
lana pendek gombrang warna gelap, mendahului buka
suara. "Sarpakenaka! Menurut apa yang pernah kuu-capkan padamu serta kakak
seperguruanmu Jo-
gaskara, pada beberapa puluh tahun silam sebelum
kalian berdua meninggalkan Lembah Rawa Buntek ini,
bahwa kalian berdua hanya kuberi kesempatan satu
kali lagi bertemu denganku. Kau masih ingat kata-
kataku itu"!"
"Tentu! Aku tentu masih ingat...!" jawab perempuan berjubah putih yang dipanggil
Sarpakenaka. Se-
raya menjawab, sepasang mata Sarpakenaka tetap
memandang tak kesiap.
"Hmmm.... Bagus. Berarti kau telah mengerti,
bahwa setelah pertemuan ini kau tak akan dapat me-
nemuiku lagi!"
Diam-diam dalam hati Sarpakenaka berkata.
"Kalau tak ada urusan sangat penting, aku pun
sebenarnya tak ingin melihat tampangmu lagi!" Lalu Sarpakenaka anggukkan kepala
menyambuti ucapan
gurunya. Setelah mendehem beberapa kali, orang tua di
hadapan Sarpakenaka tengadahkan kepala. Curahan
air hujan menerpa wajahnya, namun air hujan itu sea-
kan menerabas masuk ke kulit paras wajahnya tanpa
meninggalkan bekas. Hingga meski wajahnya tercurah
air, namun tetap tak basah.
"Sarpakenaka, tentunya kau punya masalah
penting hingga kau gunakan kesempatan yang hanya
kuberikan sekali ini. Katakanlah!"
Untuk beberapa saat lamanya Sarpakenaka
terdiam. Wajahnya jelas masih digelayuti perasaan ra-
gu-ragu. Hingga meski perempuan ini telah buka mu-
lut, namun belum terdengar suaranya.
"Sarpakenaka!" kata orang tua bertelanjang da-da masih dengan kepala menengadah.
"Kau tampak-
nya bimbang. Apa kau juga tak ingat kata-kataku du-
lu, bahwa karena kesempatan itu hanya sekali, maka
segala permintaanmu dan juga saudara seperguru-
anmu tidak akan kutolak. Dan juga segala tanyamu
pasti kujawab! Nah, sekarang apa kau masih ragu-
ragu..."!"
"Hmm.... Mudah-mudahan ucapannya itu tidak
hanya di mulut!" kata Sarpakenaka dalam hati. Tapi seketika itu paras wajah
Sarpakenaka berubah. Malah
tubuhnya sempat bergetar. "Jogaskara! Apa dia telah mendahuluiku menemui Guru
dan telah meminta apa
yang akan kuminta" Celaka jika hal itu terjadi!"
Sarpakenaka memperhatikan gurunya, lalu
berkata. "Eyang guru Dadung Rantak.... Apakah sebe-
lum ini Kakang Jogaskara telah menggunakan kesem-
patannya...?"
Yang ditanya tertawa pendek.
"Apakah itu penting bagimu?" kata orang tua yang dipanggil Dadung Rantak di sela
tawanya. Lalu dia menyambung. "Namun karena aku telah berjanji akan menjawab segala tanyamu,
maka meski itu urusan tak berarti, akan kujawab juga!"
Sejenak Dadung Rantak hentikan ucapannya,
lalu berkata lagi seraya gelengkan kepalanya perlahan.
"Jogaskara belum menemuiku!"
Paras Sarpakenaka berbinar. Bibirnya mengu-
las sebuah senyum.
"Hmmm.... Syukur jika begitu. Berarti apa yang
kuharapkan akan terkabul! Dan kau Jogaskara, akan
gigit jari. He he he...!" kata Sarpakenaka dalam hati.
Lantas berkata.
"Eyang guru. Aku datang hanya dengan satu
permintaan dan tiga pertanyaanku. Kuharap Guru tak
menolak, seperti yang pernah Guru janjikan!"
"Sarpakenaka. Meski aku dikenal sebagai seo-
rang yang berhaluan hitam, dan tak segan-segan
membunuh siapa saja yang merintangi keinginanku,
namun pantang bagiku menarik ludah di tanah!"
meski nada suara Dadung Rantak perlahan, namun
mau tak mau membuat Sarpakenaka merah padam,
karena kecurigaannya mudah ditangkap oleh Dadung
Rantak. "Katakan apa permintaanmu dan tiga pertanyaanmu!"
Sarpakenaka menghela napas dalam seakan
menegarkan hati. Setelah dapat menekan perasaan,
dia berkata. "Aku minta agar kau mewariskan Tombak Naga
Puspa padaku!"
Seolah tersentak saking kagetnya, kepala Da-
dung Rantak bergerak cepat lurus ke depan, sepasang
matanya yang sipit dilebarkan, sementara mulutnya
komat-kamit, membuat kumis dan jenggotnya berge-
rak-gerak. "Tak kuduga itu permintaannya. Dari mana dia
tahu, bahwa aku menyimpan senjata mustika itu?"
Dadung Rantak tercenung. Parasnya berubah
sulit diartikan. Sebentar-sebentar kepalanya tampak
menggeleng perlahan. Sementara Sarpakenaka hanya
mengawasi dengan pandangan tak kesiap. Dia juga di-
landa kecemasan, apalagi tatkala dilihatnya sang guru geleng-gelengkan kepala.
"Apa berita yang kudengar, bahwa dia menyim-
pan Tombak Naga Puspa hanya omong kosong belaka"
Atau dia memang menyimpan dan enggan memenuhi
permintaanku..." Tapi menurut kabar yang kusirap se-
lama bertahun-tahun merambah rimba persilatan,
meski dia adalah termasuk jajaran atas golongan hi-
tam dari zamannya, namun dia adalah seorang yang
tidak pernah berkata bohong. Hmm.... Semoga dia
memang menyimpan tombak itu!" membatin Sarpake-
naka tanpa alihkan pandangannya.
Karena ditunggu agak lama Dadung Rantak
masih tampak merenung dan tak menunjukkan tanda-
tanda hendak angkat bicara, Sarpakenaka yang tam-
paknya sudah hilang kesabaran ingin mengetahui bu-
ka mulut. "Eyang guru. Bagaimana pendapatmu tentang
permintaanku?"
Seakan tak mendengar ucapan muridnya, Da-
dung Rantak masih saja bersikap seperti semula. Me-
renung seraya gelengkan kepala. Namun, tiba-tiba saja Dadung Rantak memandang
lekat-lekat pada Sarpakenaka. "Apa boleh buat! Janji memang harus ditepati meski


Pendekar Mata Keranjang 14 Dayang Naga Puspa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sebenarnya berat sekali! Lagi pula benda itu su-
dah tak ada gunanya lagi di tanganku. Aku sudah san-
gat tua dan tak layak lagi berkeliaran di belantara persilatan.... Hanya aku
khawatir.... Tapi itu urusanmu!"
Lalu Dadung Rantak berkata.
"Muridku. Janji memang harus dijunjung ting-
gi. Ludah tak harus dijilat lagi. Permintaanmu kuka-
bulkan!" Laksana disambar petir, Sarpakenaka menjerit
tertahan. Sepasang matanya membeliak besar, tubuh-
nya bergetar. Kedua tangannya ditakupkan pada wa-
jahnya. Lalu dengan tangan dan kaki gemetaran, Sar-
pakenaka membungkuk dalam-dalam beberapa kali.
Kalau kali pertama bertemu dengan gurunya juraan
hormat terasa kaku dipaksakan, kini bungkukan tu-
buhnya tampak tulus, membuat orang tua di hada-
pannya sedikit terharu meski dalam hati masih berka-
ta. "Aku tahu, hal ini kau lakukan karena permin-
taanmu kupenuhi. Aku tahu bagaimana sifatmu sebe-
narnya! Tapi, tak apalah.... Toh ini adalah pertemuan terakhirmu denganku!
Setelah ini aku tak ada hubungan apa-apa lagi denganmu! Kau adalah kau, dan aku
adalah Dadung Rantak.... Hmmm...," Dadung Rantak lantas menggerakkan tangan
kanannya ke belakang
menelikung pinggangnya. Begitu tangan itu kembali ke
depan, di genggamannya terlihat sebuah kotak pipih
terbuat dari kayu tipis yang dilapis kulit ular berwarna kuning, putih dan
hitam. Sepasang mata Sarpakenaka yang memandang
ke depan, terbelalak lebar. Tubuhnya tampak kembali
bergetar sementara kedua tangannya gemetar laksana
orang menggigil. Meski saat itu tubuhnya basah
kuyup, namun keringat mulai membasahi leher dan
keningnya. Selagi murid Dadung Rantak ini terhanyut an-
tara haru dan gembira, Dadung Rantak lemparkan ko-
tak pipih di tangan kanannya. Kotak itu melayang dan
jatuh tepat di hadapan Sarpakenaka.
"Ambillah apa yang kau inginkan! Tombak Naga
Puspa sekarang telah menjadi milikmu!" kata Dadung Rantak pula. Sepasang mata
orang tua bertelanjang
dada ini masih tetap memandangi muridnya.
"Tentunya kau masih dengar berita tentang
benda mustika itu. Sekarang kau bisa melihatnya. Bu-
kalah!" lanjut Dadung Rantak seraya usap-usap wajahnya. Dengan mata semakin
membelalak dan tangan
makin gemetar Sarpakenaka gerakkan kedua ta-
ngannya hendak mengambil kotak berlapis kulit ular
di hadapannya. Namun dia tiba-tiba hentikan gerakan
tangannya tanpa menariknya kembali ke belakang.
Kepalanya sedikit mendongak pandangi gurunya. Wa-
jahnya mengisyaratkan keragu-raguan.
Namun ketika melihat yang dipandangi sung-
gingkan senyum meski tak dapat menyembunyikan ke-
terpaksaan, Sarpakenaka teruskan gerakan kedua
tangannya. Begitu kedua tangan perempuan berjubah pu-
tih ini menyentuh kotak, kedua tangan itu semakin ge-
metar. Dadanya terlihat bergetar, hingga karena ke-
rasnya getaran itu, jubah yang dikenakannya berge-
rak-gerak turun naik.
Setelah kotak berada di tangan dan ditarik
mendekat tubuhnya, sepasang mata Sarpakenaka
mengamati dengan seksama. Lalu perlahan pula tan-
gan kanannya membuka.
Seberkas sinar hitam berkilat-kilat tiba-tiba
menebar begitu kotak terbuka. Meski suasana saat itu
telah gelap karena awan hitam serta hujan deras na-
mun kilatan-kilatan yang dipancarkan benda dalam
kotak itu jelas-jelas terlihat.
Sepasang mata Sarpakenaka melotot lebar-
lebar. Mulutnya ternganga dan jantungnya makin ber-
degup kencang. "Hmmm.... Naga Puspa! Naga Puspa benar-
benar jadi milikku! Aku akan jadi orang yang punya
nama besar! Orang-orang yang selama ini menjadi pe-
rintang ku dan orang-orang yang berhasil mengalah-
kan aku, akan kubuat bertekuk lutut! Aku akan jadi
orang yang paling ditakuti! Rimba kancah persilatan
akan kubuat geger! Apalagi jika aku berhasil menda-
patkan Arca Dewi Bumi yang kini mulai ramai diper-
bincangkan orang. Hmm...! Aku akan menobatkan diri
jadi raja di atas raja dalam kancah persilatan. Se-
karang saatnya aku tanya pada orang tua itu tentang
petunjuk beradanya Arca Dewi Bumi!" membatin Sarpakenaka seraya terus
memperhatikan benda di dalam
kotak. Benda yang pancarkan kilatan-kilatan sinar hitam itu ternyata adalah
sebuah tombak berwarna hi-
tam logam. Panjangnya tidak lebih dari dua kali ren-
tangan telapak tangan. Ujung tombak itu bercabang ti-
ga. Kedua sisi cabang lebih panjang dari pada cabang
yang di tengah. Cabang yang tengah agak pendek ka-
rena ternyata ujungnya menekuk membentuk kail. Ba-
tang tombak ini hanya sebesar ibu jari tangan, yang
agak aneh, ternyata batang tombak ini tidak lurus me-
lainkan berkelok-kelok agak panjang dan bersisik-sisik laksana tubuh seekor
ular. Pangkalnya sangat kecil
dan membentuk lancip seperti ekor ular.
Sarpakenaka gerakkan tangan kanan hendak
mengambil Tombak Naga Puspa. Dia sedikit terkejut.
Ada hawa aneh yang menyambar begitu tangannya
menyentuh badan tombak. Dan perempuan berjubah
putih ini tercengang tatkala tangan kanannya tak ber-
hasil mengangkat tombak.
"Sarpakenaka! Itu adalah benda mustika. Tidak
sembarang orang bisa memegangnya. Kerahkan tenaga
dalam!" berkata Dadung Rantak begitu melihat keterkejutan muridnya.
Tanpa memandang lagi pada gurunya, Sarpake-
naka kerahkan tenaga dalam pada tangan kanan. Lalu
perlahan tangan kanannya bergerak mengambil tom-
bak. Benar saja, tombak itu kini bisa terangkat. Be-
berapa saat lamanya Sarpakenaka memperhatikan
bentuk tombak dengan seksama. Dalam hati dia ber-
kata. "Tanpa kucoba di sini pun aku percaya jika tombak ini menyimpan
kedahsyatan tiada tara. Hawa
di sekitar tombak ini begitu aneh dan kilatan-
kilatannya mampu menembus kepekatan cuaca...."
Setelah puas memperhatikan, Sarpakenaka me-
letakkan kembali Tombak Naga Puspa dan menu-
tupkan kembali kotak kayu yang berlapis kulit ular.
Lalu dimasukkan ke balik jubah putihnya.
"Eyang guru. Muridmu mengucapkan terima
kasih atas kebajikanmu yang rela memberikan permin-
taan yang kuajukan...!" habis berkata, sepasang mata murid Dadung Rantak ini
kembali memandang ke depan. Lalu menyambung kata-katanya. "Sekarang
Eyang guru kuharap bisa menjawab pertanyaanku...!"
Dadung Rantak donggakkan kepala. Setelah
mendehem dia berkata. "Katakan!"
"Sebagai salah seorang tokoh yang pernah ma-
lang melintang dalam belantara persilatan, sudah ba-
rang tentu Eyang guru pernah dengar tentang Arca
Dewi Bumi...,"
Sarpakenaka sejenak hentikan ucapannya. Dia
seakan ingin melihat reaksi gurunya setelah menden-
gar ucapannya. Di seberang, begitu mendengar keterangan Sar-
pakenaka, untuk kedua kali Dadung Rantak dibuat
terperangah. Malah mungkin karena terlalu terkejut,
dia mengulang kata-kata terakhir Sarpakenaka dengan
setengah berteriak.
"Arca Dewi Bumi...!" seraya berkata, paras wajah Dadung Rantak berubah.
Keningnya mengernyit
dengan mata dipejamkan.
"Hmm.... Berpuluh-puluh tahun tak berhubun-
gan dengan dunia luar ternyata telah banyak peruba-
han terjadi. Kalau Sarpakenaka telah mengetahui bah-
wa aku penyimpan Tombak Naga Puspa, lebih-lebih dia
menyebut tentang Arca Dewi Bumi, maka berarti dunia
persilatan telah geger seperti pada puluhan tepatnya
sembilan puluh delapan tahun silam! Tentunya saat ini telah banyak pula tokoh-
tokoh baru yang muncul. Melihat keadaan begini, ingin rasanya aku kumpul-
kumpul lagi dengan teman-teman lama. Ah, tapi itu
tak mungkin kulakukan sebelum muridku yang sa-
tunya menggunakan kesempatan untuk menemui-
ku...." Selagi Dadung Rantak berkata-kata sendiri dalam hati, Sarpakenaka yang
sekilas menangkap keter-
kejutan gurunya berkata pula dalam hati.
"Dia terkejut dan bahkan mengulang nama Ar-
ca Dewi Bumi. Berarti dia tahu tentang arca itu!
Hmm.... Aku sungguh beruntung!"
"Eyang guru...!" berkata Sarpakenaka mem-
buyarkan angan-angan Dadung Rantak. "Harap Eyang jawab. Kepada siapa aku harus
minta petunjuk tentang beradanya Arca Dewi Bumi. Di mana adanya
orang yang bisa memberi petunjuk itu. Dan yang ter-
akhir, adakah persyaratan yang harus dipenuhi jika
ingin mendapatkan arca itu"!"
Dadung Rantak yang masih sedikit terkejut, lu-
ruskan matanya menatap tajam pada Sarpakenaka.
"Hmm.... Aku telah menduga pertanyaan yang
bakal diajukan itu! Sebenarnya ini hal yang sangat rahasia sekali. Dan aku pun
sebetulnya masih mengin-
ginkan arca itu. Tapi.... Sekali lagi aku terbentur dengan janji. Maka, apa
hendak dikata. Pertanyaannya
harus kujawab...!" berpikir begitu, kepala Dadung Rantak lantas mendongak. Lalu
dari mulutnya terdengar
ucapan. "Muridku Sarpakenaka. Kalau masalah itu yang
kau tanyakan, dengar baik-baik! Orang yang dapat
memberi petunjuk tentang beradanya arca itu hanya
satu di kolong langit ini. Dia seorang perempuan ber-
nama Kali Nyamat yang dalam rimba persilatan lebih
dikenal dengan gelar Dewi Kayangan. Dia bertempat
tinggal di sebuah dusun kecil di bawah kaki bukit. Dusun itu bernama dusun
Kepatihan...!" Dadung Rantak hentikan keterangannya. Namun kepalanya tetap
mendongak ke atas.
Di seberang, mendengar keterangan gurunya,
Sarpakenaka terkejut.
"Dewi Kayangan.... Aku memang pernah men-
dengar nama itu. Dan kabarnya dia adalah juga seo-
rang tokoh perempuan yang ilmunya sulit dijajaki.
Hmm.... Tapi siapa pun dia adanya, aku harus mene-
mukan dan mendapatkan yang kuinginkan. Kalau dia
menolak, Tombak Naga Puspa telah ada di tanganku....
Lagi pula...," Sarpakenaka tak lanjutkan kata hatinya, karena saat itu Dadung
Rantak telah melanjutkan keterangan atas pertanyaannya.
"Soal pertanyaanmu yang terakhir, aku sendiri
sebetulnya masih sangat meragukan. Namun ada
baiknya kau dengar. Memang, untuk mengambil Arca
Dewi Bumi diperlukan syarat lagi...."
"Apa syarat itu Eyang..."!" sergah Sarpakenaka seakan tak sabar melihat sikap
gurunya yang menghentikan sejenak keterangannya.
"Muridku! Apa pun yang terjadi, kenyataan ha-
rus kita terima dengan hati tegar!"
"Maksud Eyang guru...?"
"Menurut apa yang kuketahui, kelak hanya seo-
rang yang dapat mengambil Arca Dewi Bumi. Tapi kau
jangan tergoyah dengan hal itu, ini jika kau memang
benar menginginkan arca itu! Tapi sekali lagi kenya-
taan akhir harus kita terima...!"
"Katakan. Siapa orang itu!"
"Aku sendiri tak tahu namanya. Hanya orang
itu mempunyai tanda guratan angka 108 dalam tubuh-
nya yang dibawa sejak lahir! Itulah yang kuketahui...!"
Beberapa saat Sarpakenaka terdiam. Keningnya
berkerut seakan-akan mengingat sesuatu. "Apa mungkin ada hubungannya dengan
seorang pemuda yang
kesohor dengan gelar Pendekar Mata Keranjang 108"
Ah, tak mungkin. Meski aku belum pernah bertemu
dengan pemuda itu, namun berita yang sampai pada-
ku mengatakan dia bergelar begitu karena dia bersen-
jata sebuah kipas yang tertera angka 108. Padahal
yang dikatakan guru adalah bahwa guratan angka 108
ada pada tubuhnya! Hmm.... Mungkin ini hanya kebe-
tulan angkanya sama!" membatin Sarpakenaka.
"Nah, Sarpakenaka, kurasa keterangan yang
kuberikan sudah cukup!" kata Dadung Rantak me-
nyentak kediaman.
"Tapi Eyang...."
"Sarpakenaka. Ludah tidak harus dijilat lagi!
Kau telah ajukan tiga pertanyaan, dan aku telah men-
jawabnya. Kesempatanmu telah habis, dan kau tahu
apa yang selanjutnya harus kau lakukan!"
Sarpakenaka mendengus perlahan. Dia telah
paham apa yang dimaksud dengan Eyang gurunya. Dia
harus angkat kaki dari tempat itu.
"Jahanam! Jika tidak mengingat kau telah
memberikan apa yang kuminta, mulutmu akan kuha-
jar habis! Peduli kau guruku!" membatin Sarpakenaka seraya pandangi gurunya.
Dengan suara agak bergetar dan parau, Sarpa-
kenaka angkat bicara.
"Baiklah, Eyang guru. Aku mohon diri seka-
rang!" Habis berkata begitu Sarpakenaka bangkit lalu dengan gerakan kaku dia
menjura hormat seraya
bungkukkan sedikit tubuhnya. Setelah itu bersamaan
dengan menyalaknya gelegar guntur, perempuan ber-
jubah putih besar ini berkelebat menerjang kepekatan
cuaca dan derasnya hujan.
Ketika kilat untuk yang kesekian kalinya me-
nyambar, dan sekilas lembah berpasir terang bende-
rang, sosok Sarpakenaka telah lenyap dari pedataran


Pendekar Mata Keranjang 14 Dayang Naga Puspa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pasir. *** DUA SESAAT setelah kepergian Sarpakenaka, Da-
dung Rantak yang pada zamannya adalah seorang to-
koh berilmu tinggi yang dalam rimba persilatan lebih
dikenal dengan gelar Iblis Penyapu Jagad gerakkan ke-
palanya ke samping kanan dan kiri. Telinganya terlihat bergerak-gerak perlahan,
sementara sepasang matanya
memejam. "Hmm.... Ada orang berkelebat mendatangi
tempat ini. Siapa dia" Bertahun-tahun tinggal di sini
tak ada seorang tamu pun yang datang berkunjung....
Lagi pula hanya dua muridku yang tahu di mana aku
berada. Apa benar dia...?"
Seraya membatin, sepasang mata orang tua ini
membuka dan memandang lurus ke depan. Sementara
hujan masih tetap mendera, kilat menyambar serta
guntur menyalak bersahutan.
Dugaan Dadung Rantak ternyata tidak meleset.
Begitu kilat menyambar dan suasana sejenak terang
benderang, samar-samar sesosok bayangan terlihat
berkelebat menuju arah lembah berpasir.
Saat sampai tengah lembah, bayangan itu hen-
tikan langkah. Dan sosok itu serta-merta surutkan
langkah sampai tiga tindak ke belakang begitu samar-
samar terlihat olehnya sesosok tubuh sedang duduk
bersila. Untuk beberapa saat lamanya sosok yang baru
datang besarkan sepasang matanya menatap tak ber-
kedip ke depan. Saat kilat kembali menyambar dan
agak jelas siapa adanya sosok yang duduk, sosok yang
baru datang sekonyong-konyong menjura hormat se-
raya berseru tertahan.
"Eyang guru...!"
Dadung Rantak yang tampaknya sudah dapat
menduga siapa adanya orang yang baru datang ang-
gukkan kepala seraya memandang lurus ke depan.
"Jogaskara.... Hmm.... Ini kesengajaan atau ha-
nya sebuah kebetulan" Murid-muridku yang pergi be-
berapa puluh tahun silam datang pada hari yang sama
hanya berbeda waktu...," membatin Dadung Rantak.
Lalu setelah mendehem beberapa kali dia berkata.
"Jogaskara. Pasti ada hal yang sangat penting
hingga kau pergunakan kesempatan yang kuberikan
hanya sekali padamu! Hmm.... Sekarang bicaralah apa
kepentinganmu!"
Orang yang dipanggil Jogaskara perlahan du-
duk. Kepalanya bergerak menengadah, sepasang ma-
tanya menatap lekat-lekat. Ternyata dia adalah seo-
rang laki-laki yang tidak muda lagi. Ini bisa dilihat dari rambut panjangnya
yang telah berwarna dua, sebagian
hitam dan sebagian putih. Paras wajahnya masih me-
ninggalkan sisa-sisa ketampanan. Namun pada wajah
itu terdapat codet bekas luka yang memanjang dari pe-
lipis kiri hingga pipi. Laki-laki ini mengenakan pakaian jubah panjang hingga
sebatas lutut berwarna biru mu-da.
Setelah terdiam agak lama, Jogaskara angkat
bicara. "Eyang guru...! Memang ada hal penting yang membuatku datang menemuimu.
Aku hanya ada satu
permintaan serta dua pertanyaan!"
"Hmm.... Katakan!"
Jogaskara tidak segera angkat bicara lagi. Dia
sepertinya ragu-ragu. Namun pada akhirnya, setelah
dapat menguasai keraguan hati dia berkata.
"Eyang guru...! Aku hanya minta kau sudi me-
wariskan Tombak Naga Puspa padaku...!"
Dadung Rantak melengak kaget. Kepalanya ber-
gerak mendongak. Diam-diam dalam hati dia berkata.
"Astaga! Tampaknya berita tentang Tombak Na-
ga Puspa yang ada padaku telah bocor dan merebak di
rimba persilatan. Hmm.... Siapa gerangan yang mem-
bocorkan masalah ini" Ternyata pelataran rimba persi-
latan tak pernah berubah sejak dahulu kala. Selalu
dan selalu mengejar benda! Tapi.... Nasibmu tidak baik Jogaskara. Adik
seperguruanmu telah mendahului....
Apa hendak dikata, segalanya telah terjadi...," membatin Dadung Rantak lalu
berkata seraya tetap menenga-
dah. "Jogaskara. Kalau bisa aku tahu, dari mana
kau tahu bahwa aku menyimpan benda itu...?"
Mendengar pertanyaan gurunya, Jogaskara ti-
dak segera menjawab. Dalam hati dia berkata.
"Hmm.... Berarti benar dia menyimpan tombak
itu. Ah, sungguh beruntungnya aku. Benda yang men-
jadi bahan pembicaraan orang-orang rimba persilatan,
dan diburu banyak orang, akan jatuh ke tanganku...."
"Eyang guru...!" kata Jogaskara pada akhirnya.
"Siapa pun orang yang telah menamakan dirinya sebagai salah seorang pesilat,
saat ini pasti tahu jika tombak itu ada padamu! Saat sekarang, rimba persilatan
telah diguncang oleh Tombak Naga Puspa dan kabar
tentang sebuah arca!"
"Astaga! Pasti Arca Dewi Bumi!" membatin Dadung Rantak.
"Jogaskara! Tombak Naga Puspa memang bera-
da di tanganku...." Dadung Rantak tak meneruskan ucapannya, karena saat itu
juga, entah karena girang, atau terkejut, Jogaskara menyela.
"Aku sudah menduga hal itu, Eyang...!"
"Hanya saja kau datang terlambat!" sambung
Dadung Rantak dengan suara agak dikeraskan, karena
saat itu guntur sedang menggelegar.
Jogaskara kerutkan kening. Perasaan terkejut
tak dapat dia sembunyikan dari raut wajahnya. Seolah
ingin mendapat penjelasan, Jogaskara cepat menyam-
buti ucapan gurunya.
"Maksud Eyang..."!"
"Sarpakenaka, adik seperguruanmu telah da-
tang dan meminta barang yang kau inginkan! Karena
aku telah ikrarkan janji sewaktu kau dan adikmu hen-
dak keluar dari Lembah Rawa Buntek beberapa puluh
tahun silam bahwa aku tidak akan menolak segala
permintaan dan pertanyaan kalian berdua, maka aku
harus tepati janji itu! Tombak Naga Puspa telah kube-
rikan pada adikmu!"
Jogaskara beliakkan sepasang matanya. Da-
gunya terangkat dengan pelipis bergerak-gerak. Dan
seakan tak percaya dengan apa yang baru saja diden-
gar, dia geleng-gelengkan kepala dan berkata.
"Eyang! Eyang tidak sedang bergurau, bu-
kan...?" Dadung Rantak keluarkan tawa berderai-derai hingga bahunya yang terbuka
tampak berguncang-guncang turun naik.
"Dalam masalah penting seperti ini, tak layak
bergurau, Jogaskara! Jadi, kau harus dapat menerima
kenyataan ini!"
"Jahanam! Kenapa aku masih kurang percaya
saat pertama kali kudengar bahwa Tombak Naga Pus-
pa ada di tangan Guru" Jika saat itu aku cepat datang menemui Guru, tak mungkin
hal ini terjadi! Sarpakenaka.... Aku akan mencari sekaligus merebut tombak
itu dari tanganmu! Saudara seperguruan tinggal sau-
dara. Aku yang lebih tua, seharusnya lebih berhak
atas tombak itu!"
"Jogaskara. Aku tahu kau kecewa. Tapi sekali
lagi kau harus dapat menerima kenyataan ini, karena
aku pun tak bisa mengingkari apa yang pernah kuu-
capkan! Jadi, dalam hal ini kau tak bisa menyalahkan
adikmu atau aku!" kata Dadung Rantak demi melihat perubahan pada wajah muridnya.
Jogaskara tak menyahuti ucapan gurunya. Dia
seakan masih tenggelam dalam kegeraman dan keke-
cewaan. Beberapa kali terlihat Jogaskara mengusap
leher dan keningnya karena keringat dingin yang telah bercampur dengan air hujan
berlelehan semakin deras.
"Jogaskara!" berkata Dadung Rantak menying-
kap keterdiaman yang berlangsung agak lama.
"Kau tak usah terlalu kecewa. Aku masih me-
nyimpan satu lagi benda yang kehebatannya tak kalah
dengan Tombak Naga Puspa. Jika kau menginginkan
aku akan berikan padamu, sebagai ganti dari Tombak
Naga Puspa!"
"Sialan! Mana ada orang percaya jika ada benda
yang kehebatannya menyamai Tombak Naga Puspa"
Tapi.... Dari pada pulang dengan berhampa tangan,
ada baiknya juga benda itu kuterima. Toh, setelah ini aku akan merampas Tombak
Naga Puspa dari tangan
Sarpakenaka....!"
Berpikir begitu, dengan raut wajah dibuat seo-
lah-olah masih kecewa, Jogaskara anggukkan kepala
seraya berkata.
"Bila itu kehendak Eyang guru, aku turut saja!"
Dadung Rantak manggut. Tangan kirinya lan-
tas bergerak menelikung ke belakang. Dan begitu dita-
rik ke depan kembali, di tangannya terlihat sebuah kotak pipih terbuat dari kayu
yang dilapis dengan kulit kambing berwarna hitam.
Dan tanpa berkata-kata lagi, Dadung Rantak
melemparkan kotak di tangan kirinya ke depan, dan
jatuh tepat di hadapan Jogaskara.
"Ambillah!"
Dengan berat, perlahan-lahan Jogaskara meng-
ambil kotak pipih di hadapannya. Lalu dengan perla-
han pula dibukanya kotak itu.
Begitu kotak terbuka, Jogaskara terperangah
kaget. Bahkan hampir saja kotak di tangannya terjatuh jika dia tak segera
mengatasi rasa kagetnya. Karena
begitu kotak terbuka, seberkas cahaya hitam menebar
seakan menindih lenyap kepekatan suasana saat itu!
Bukan hanya itu saja, bersamaan dengan menebarnya
cahaya hitam, suasana disentak oleh hawa panas yang
menyambar keluar dari benda di dalam kotak.
Setelah dapat menguasai diri dan matanya ter-
biasa oleh kepekatan cahaya yang ditimbulkan benda
dari dalam kotak, Jogaskara baru dapat melihat benda
yang ada di dalam kotak.
Ternyata benda itu adalah sebuah keris. War-
nanya hitam legam. Panjangnya kira-kira dua rentan-
gan telapak tangan. Keris itu berkelok empat. Aneh-
nya, batangan keris itu membentuk bulatan kecil-kecil yang saling tindih seperti
sisik-sisik ular! Sementara besar batangan keris mulai pangkal hingga ujung sa-
ma besarnya! Gagang keris terbuat dari semacam kaca
tembus pandang berwarna merah yang pangkalnya
berbentuk kepala seekor ular dengan lidah terjulur keluar! Setelah meneliti
beberapa lama, baru Jogaskara mengerti, jika cahaya hitam yang menebar, keluar
dari batangan keris, sementara hawa panas keluar dari gagang keris yang ternyata
juga merah membara!
"Hmm.... Meski dilihat dari pancaran sinar hi-
tam dan merah yang dikeluarkan benda ini menunjuk-
kan bahwa benda ini mempunyai kehebatan, namun
apa dapat dibuktikan jika benda ini tak kalah hebat-
nya dengan Tombak Naga Puspa" Aku masih ragu de-
ngan keterangan Guru!" membatin Jogaskara, lalu
alihkan pandangan matanya pada Dadung Rantak. Dia
hendak mengutarakan apa yang ada dalam hatinya.
Namun baru saja mulutnya membuka hendak bicara,
Dadung Rantak telah mendahului angkat bicara.
"Muridku. Rimba persilatan atau apalagi kau,
tentunya belum pernah mendengar dan melihat benda
itu. Keris itu bernama Papak Geni. Dan bila kau ingin membuktikan kehebatannya,
ambil keris itu dan
acungkan ke atas, lalu lemparkan!"
Mendapati kata-kata gurunya yang seolah men-
gerti jalan pikirannya, Jogaskara sedikit terkejut. Namun perasaan itu segera
dienyahkan. Tangan ka-
nannya segera mengambil keris. Ada hawa aneh yang
menelusup masuk ke tubuhnya ketika tangan kanan-
nya memegang gagang keris. Dan Jogaskara tersentak
kaget saat tangannya tak dapat mengangkat keris.
Otak cerdik Jogaskara segera mengerti. Dan
sekejap itu juga Jogaskara alirkan tenaga dalam pada
tangan kanannya. Serta-merta keris itu bisa diangkat.
Dadung Rantak anggukkan kepala melihat mu-
ridnya dapat memaklumi keadaan. Sepasang matanya
terus mengawasi gerak-gerik muridnya.
Di seberang, setelah keris berhasil diangkat da-
ri kotak, Jogaskara melakukan apa yang dikatakan gu-
runya. Keris diacungkan ke atas dan serta-merta di-
lemparkan. Keris berwarna hitam itu melesat ke udara. Ki-
ra-kira satu setengah tombak, keris itu membalik dan
kini melayang ke bawah. Hebatnya, begitu keris itu
menukik, serangkum angin deras menghampar! Dan
sebelum keris itu menerabas tanah becek, tanah di
bawah keris terbongkar hingga muncrat sampai se-
tinggi satu tombak! Bukan hanya sampai di situ, keti-
ka kilat menyambar dan menerangi sekitar tempat itu,
jelas terlihat jika tanah yang muncrat itu berubah
menjadi merah membara!
Keris terus menerabas ke bawah, namun sebe-
lum amblas ke dalam tanah becek yang telah ter-
bongkar, mendadak keris itu terhenti dan mengapung
di udara! Di seberang, Dadung Rantak mendehem bebe-
rapa kali, lalu sentakkan tangan kanannya menyamp-
ing dengan perlahan. Bersamaan dengan bergeraknya
tangan kanan Dadung Rantak, keris itu bergerak kem-
bali dan jatuh di hadapan Jogaskara.
Jogaskara yang tampaknya masih terkesima
dengan apa yang terjadi di hadapannya terdiam de-
ngan mulut menganga seolah tak tahu apa yang harus
diperbuat. "Jogaskara! Kuharap kau tak kecewa sekarang.
Itu baru sebagian dari kehebatan yang tersimpan da-
lam Keris Papak Geni. Selebihnya kau dapat buktikan
sendiri nantinya! Ambil dan simpan kembali keris itu!"
Dengan masih dibungkus rasa kagum, Jo-
gaskara mengambil keris yang tergeletak di hadapan-


Pendekar Mata Keranjang 14 Dayang Naga Puspa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

nya dan dimasukkan kembali dalam kotak, lalu disim-
pannya ke balik jubahnya.
"Terima kasih, Eyang...," kata Jogaskara seraya menjura hormat.
Dadung Rantak anggukkan kepala, lalu berka-
ta. "Nah, sekarang katakan apa yang hendak ingin
kau tanyakan!"
Sejurus Jogaskara memandang wajah gurunya.
Dengan suara perlahan, dia berkata.
"Eyang guru.... Rimba persilatan saat ini dibuat geger dengan munculnya berita
tentang Arca Dewi
Bumi...," Jogaskara hentikan sebentar kata-katanya.
Setelah menarik napas dalam-dalam, dia menyam-
bung. "Apakah benar berita tentang adanya Arca Dewi Bumi itu" Dan siapa orang
yang memegangnya saat
ini..."!" Dadung Rantak yang sejak semula telah mengetahui apa yang hendak
diajukan muridnya segera
donggakkan kepala.
"Muridku. Dengar baik-baik! Arca Dewi Bumi
memang ada, dan bukan cerita yang dibuat-buat. Se-
dangkan orang yang memegang saat ini adalah seorang
Resi yang berusia amat lanjut. Dia bernama Sahyang
Resi Gopala. Seakan sudah disuratkan, meski Sahyang
Resi Gopala sudah berusia amat lanjut, namun dia be-
lum juga meninggal dunia sebelum berhasil mewa-
riskan arca itu pada seseorang!"
Jogaskara angguk-anggukan kepala. Dalam ha-
ti dia berkata.
"Hmm.... Dengan kehebatan Keris Papak Geni
aku yakin bisa mendapatkan arca itu! Apalagi jika aku berhasil merampas Tombak
Naga Puspa dari tangan
Sarpakenaka! Peduli dengan orang yang bernama Sa-
hyang Resi Gopala. Kalau dia tak mau memberikan ar-
ca itu, maka aku pun tak segan-segan membabatnya!
Sebaiknya kutanyakan di mana orang bernama Sa-
hyang Resi Gopala itu berada!" Lalu Jogaskara luruskan matanya dengan membuka
mulut. "Eyang guru.... Di manakah orang yang...," belum tuntas Jogaskara ucapkan kata-
kata, Dadung Rantak telah menyahut.
"Jogaskara! Siapa pun kita adanya, dan golon-
gan apa pun kita berada, janji harus dijunjung tinggi-tinggi!" Seakan tak
mengerti maksud ucapan gurunya, Jogaskara segera ajukan pertanyaan.
"Yang Eyang guru maksud..,?"
"Kau tadi telah mengatakan hendak ajukan dua
pertanyaan. Dan itu telah kau tanyakan dan aku pun
telah menjawab. Jadi kau sudah tak bisa ajukan per-
tanyaan lagi!"
Jogaskara pelototkan sepasang matanya. Wa-
jahnya tak diselimuti rasa kecewa, justru isyarat geram dan marah jelas tampak
pada raut wajahnya.
"Bangsat! Bila tak mengingat jasa baikmu yang
telah menurunkan ilmu padaku, akan kucabut anggo-
ta tubuhmu hingga kau menjawab segala pertanyaan-
ku!" Meski sekilas melihat, Dadung Rantak tampaknya telah dapat membaca apa yang
terpikir dalam be-
nak muridnya. Tanpa memandang lagi pada sang mu-
rid, Dadung Rantak berkata.
"Jogaskara! Aku tahu, kau kecewa dengan ka-
ta-kataku. Namun kau harus dapat menelaah siapa
yang salah dalam hal ini. Aku tak mau mengatakan-
nya, karena kau mungkin sudah tahu! Hanya kunasi-
hatkan padamu, segala hal yang pernah terjadi jadi-
kanlah sebagai tonggak agar kesalahan tidak terulang
untuk yang kedua kalinya! Nah, waktuku sudah habis.
Aku harus meninggalkanmu!"
Habis berkata begitu, orang tua bertelanjang
dada ini takupkan kedua tangannya di atas kepala. Se-
pasang matanya saling mengatup, sementara mulut-
nya komat-kamit.
Mendadak dari tanah becek di bawah tubuh
Dadung Rantak mengepul sebongkah awan putih,
membungkus sekujur tubuh Dadung Rantak, lalu per-
lahan sekali bongkahan awan putih itu membumbung
ke udara. Bersamaan dengan membumbungnya awan pu-
tih, sosok Dadung Rantak lenyap!
"Terlambat! Jahanam betul!" kata Jogaskara setengah berteriak.
Sebenarnya Jogaskara ingin menahan keper-
gian gurunya. Bahkan diam-diam Jogaskara telah sa-
lurkan tenaga dalam pada kedua tangannya dan siap
dipukulkan ke arah sang guru. Namun entah karena
terkesima atau mencari saat yang tepat, Jogaskara terlambat untuk bertindak.
Hingga saat kedua tangannya
siap menyentak, Dadung Rantak telah lenyap dari ha-
dapannya. Namun Jogaskara tidak begitu saja menyerah,
begitu awan putih yang membungkus tubuh Dadung
Rantak membumbung, kedua tangannya disentakkan!
Tapi Jogaskara terlengak, karena angin deras
yang menyambar keluar dari kedua tangannya mental
balik sebelum menghantam sasaran! Bahkan mentalan
serangan itu menggebrak ke arahnya! Membuat salah
seorang murid Dadung Rantak ini harus cepat le-
satkan dirinya ke samping seraya bergulingan untuk
menghindari pukulannya sendiri.
Setelah dapat menghindari pukulannya sendiri,
laki-laki ini segera bangkit. Jubah birunya semakin kotor karena bercampur tanah
bongkaran! Sesaat sepasang mata Jogaskara menyapu ber-
keliling. Lalu dengan menggerendeng panjang pendek
tubuhnya berkelebat meninggalkan Lembah Rawa
Buntek yang masih dibungkus kepekatan.
*** TIGA SEORANG pemuda berparas tampan, menge-
nakan pakaian hijau yang dilapis dengan pakaian da-
lam warna kuning lengan panjang, rambut panjang
dan dikuncir ekor kuda tampak melangkah perlahan.
Melihat wajah serta lehernya yang basah oleh keringat, demikian pula pakaian
yang dikenakannya, jelas sekali bahwa pemuda ini sedang melakukan perjalanan
jauh. Dan melihat sikapnya, yang berjalan pelan serta meng-
gerak-gerakkan tangan kanannya pulang balik di de-
pan dada, mengibas-ngibaskan kipas ungu di tangan,
nampaknya pemuda ini tengah menghilangkan rasa le-
lah dan panas. Seraya berkipas-kipas, dari mulut pemuda ini
terdengar dendangan nyanyian yang tak bisa ditang-
kap artinya karena sesekali terdengar menggumam
dan tak jarang diseling dengan suara tawa. Sepasang
matanya yang tajam menebar memperhatikan keadaan
serta suasana tempat yang dilalui.
"Arca Dewi Bumi.... Hmm.... Menurut Dewi
Kayangan, hanya orang bertanda gurat 108 dalam tu-
buhnya yang bakal bisa mengambil dan mewarisinya,
apa hal itu dapat dipercaya kebenarannya" Ah, aku be-
lum bisa memastikan sebelum membuktikannya sen-
diri! Daerah Bajul Mati dan Sahyang Resi Gopala.... Itu satu-satunya petunjuk
Dewi Kayangan. Aku harus segera menemukan daerah itu!" sang pemuda yang bukan
lain adalah Aji alias Pendekar Mata Keranjang 108
berkata sendiri seraya terus melangkah perlahan sam-
bil berkipas. "Aku sebenarnya tidak begitu berminat dengan
segala macam benda seperti itu, namun menuruti ka-
ta-kata Eyang Selaksa serta gegernya dunia persilatan saat ini dengan kabar
tentang Arca Dewi Bumi membuatku harus bertindak agar arca itu tidak jatuh ke
tangan orang yang tidak bertanggung jawab. Hmm....
Apa sih keistimewaan arca itu hingga Eyang Selaksa
begitu khawatir jika jatuh ke tangan orang yang tidak bertanggung jawab" Dan
semua orang bagai disentak
dengan munculnya berita tentang arca itu..." Aku jadi penasaran... Apa...."
Tiba-tiba langkah Pendekar 108 tertahan, gu-
maman dari mulutnya terpenggal dan tangan kanan-
nya yang pulang balik berkipas berhenti bergerak.
"Aku mendengar suara orang mengerang lirih
laksana orang sekarat...."
Sepasang mata Pendekar 108 menyapu berke-
liling, telinganya dia tajamkan. "Di sebelah depan sa-na...!" Pendekar 108
berkelebat ke arah sumber suara.
Di bawah sebuah pohon yang tidak begitu besar tam-
pak sesosok tubuh sedang terkapar dengan mulut
mengerang. Sosok ini tampaknya sedang bergulat den-
gan kematian. Dengan cepat Pendekar 108 mendekati sosok
yang terkapar. Dia adalah seorang laki-laki. Baik usia maupun raut wajahnya tak
bisa dikenali. Karena wajah serta anggota tubuh dan pakaian orang itu hitam
legam! Namun tak ada darah yang terlihat berceceran
baik di tubuh atau di sekitar tempat itu.
Dengan sedikit kerutkan dahi, Pendekar 108
memeriksa laki itu.
"Tampaknya masih baru saja terjadi. Dia masih
hidup, namun mungkin tak akan bertahan lama...,"
pikir Aji seraya letakkan kedua tangan salurkan tenaga dalam pada dada laki-laki
yang sedang bertarung dengan ajal itu.
"Sobat. Katakan apa yang baru saja menimpa-
mu!" Mulut laki-laki di hadapan Aji bergerak membuka sedikit. Namun bukannya
suara yang terdengar,
melainkan mengalirnya darah hitam dari sudut-sudut
bibirnya. Pendekar 108 bisa segera menebak, jika ang-
gota tubuh laki-laki ini berubah hitam karena terkena pukulan atau senjata yang
sangat hebat. Pendekar 108 lipat gandakan tenaga dalamnya.
Mulut laki-laki itu semakin lebar membuka, dan darah
hitam semakin banyak keluar. Namun bersamaan itu
kelopak mata laki-laki ini bergerak membuka. Mata itu telah redup dan sepertinya
tak bisa dibuka lebar-lebar.
"Sobat! Katakan apa yang telah terjadi!" Pendekar 108 ulangi pertanyaannya.
Suaranya agak dike-
raskan, khawatir jika laki-laki itu tidak mendengar.
Sepasang mata laki-laki itu memandang lurus
ke atas. Lalu perlahan sekali bola matanya bergerak ke samping, di mana Pendekar
108 sedang jongkok.
Laki-laki ini tampak terkejut. Namun anggota
tubuhnya tak bisa mengisyaratkan keterkejutannya,
hanya sepasang matanya tampak sedikit membesar
dengan tangan bergerak-gerak pelan, namun sesaat
kemudian lunglai kembali.
"Sobat. Aku akan berusaha menolongmu. Kata-
kan apa yang sedang kau alami!" kata Pendekar 108
begitu menangkap rasa terkejut pada laki-laki di sam-
pingnya. Untuk beberapa saat lamanya laki-laki ini tak
terdengarkan suara untuk menjawab meski mulutnya
tampak bergerak-gerak.
Mendapati hal ini, Pendekar 108 segera alihkan
tangan kanannya ke leher sementara tangan kiri tetap
di atas dada sang laki-laki.
"Seseorang.... Yang..., yang menamakan diri...
Dayang... Naga... Puspa. Dia... memaksaku...." Sejenak laki-laki ini hentikan
ucapannya. Dadanya bergerak
perlahan turun naik tak teratur. Pendekar Mata Keran-
jang 108 menunggu dengan sesekali memperhatikan
anggota tubuh sang laki-laki.
Setelah dapat mengatasi sendatan napasnya,
laki-laki ini meneruskan kata-katanya. Pelan sekali,
hingga Pendekar 108 harus dekatkan telinganya ke
mulut sang laki-laki.
"Dia memaksaku untuk... mengatakan di mana
letaknya dusun Kepatihan, lalu..., bertanya panjang...
lebar tentang Dewi Kayangan. Meski aku... telah men-
gatakan namun..., dia menyerangku. Dia berilmu san-
gat tinggi, aku tak sanggup...."
"Dapat kau sebutkan ciri-cirinya...?"
Kembali laki-laki ini atur napasnya sebelum
akhirnya berkata kembali.
"Seorang perempuan..., memakai jubah putih
besar. Dia baru.., saja menuju arah sana...," seraya berkata, laki-laki ini
arahkan pandangannya ke sebe-
lah barat, arah yang hendak diambil Pendekar 108.
"Aku harus menyusulnya meski aku tahu, jalan
yang diambil orang yang bernama Dayang Naga Puspa
adalah salah jika memang ingin ke dusun Kepatihan!"
lalu Aji lipat gandakan tenaga dalamnya pada sang la-
ki-laki agar dia dapat bertahan agak lama.
"Sobat. Kau tunggulah di sini. Aku akan me-
nyusul orang yang kau sebutkan tadi! Dia mungkin
membawa obat penawar racun yang telah disarangkan
padamu!" Habis berkata, Pendekar 108 segera bangkit
dan bergerak berkelebat ke arah yang ditunjuk sang
laki-laki. "Anak Muda.... Jangan kau..., buat urusan de-
ngan orang itu! Dia...," laki-laki ini tak meneruskan ucapannya karena
dilihatnya pemuda berjubah hijau
itu telah lenyap.
Sesaat setelah kepergian Pendekar Mata Keran-
jang 108, sesosok bayangan tampak berkelebat. Dan
tahu-tahu telah berdiri dengan kacak pinggang di
samping sang laki-laki yang terkapar. Sepasang mata
sosok yang baru datang mengawasi sang laki-laki den-
gan pandangan sinis. Lalu dengan membentak garang,
orang yang baru datang bertanya.
"He...! Mana dia..."!"
Laki-laki yang terkapar terkejut besar. Sepa-
sang matanya yang redup sejenak memperhatikan
orang yang membentak. Ternyata dia adalah seorang
perempuan setengah baya. Wajahnya tak bisa dikenali
karena mengenakan penutup kulit tipis yang berwarna
putih. Pakaian yang dikenakannya pun agak gom-


Pendekar Mata Keranjang 14 Dayang Naga Puspa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

brong, seolah ingin menyembunyikan bentuk anggota
tubuhnya. Satu-satunya tanda yang menunjukkan
bahwa dia adalah seorang perempuan adalah lehernya
yang tak menampakkan jakun.
"He...! Kalau kau tak segera jawab, nyawamu
akan kuputus sekarang!" bentak perempuan berjubah putih ketika ditunggu-tunggu
sang laki-laki tidak segera menjawab pertanyaannya.
Mendapat ancaman, sang laki-laki bukannya
segera menjawab. Dia tampak sunggingkan senyum
sinis meski dilakukan dengan susah payah.
"Siapa kau..." Dan siapa.... Yang kau mak-
sud..., dengan dia"!"
"Jahanam! Sudah akan masuk tanah masih
bertanya-tanya! Kau tak berhak tahu siapa aku! Ja-
wab. Mana pemuda berbaju hijau tadi!"
"Rupanya perempuan ini punya niat tidak baik.
Lain dengan pemuda tadi! Akan kukerjai dia!" membatin sang laki-laki. Setelah
mengatur napas, dia berkata. "Kalau kau..., tak sebutkan nama, aku..., tidak
akan mengatakan kemana perginya..., pemuda tadi!"
"Bangsat! Kau memang sudah bosan hidup!"
Habis berkata begitu, tanpa diduga sama sekali
oleh sang laki-laki, perempuan ini kebutkan pakaian
gombrongnya. Wuttt! Serangkum angin deras menggebrak dengan
keluarkan suara menggemuruh.
Laki-laki yang terkapar coba membuka ma-
tanya lebar-lebar. Tenggorokannya bagai disekat. Na-
mun laki-laki ini tak bisa berbuat banyak, karena anggota tubuhnya tak bisa
digerakkan. Hingga tanpa am-
pun lagi serangan dari perempuan itu tak bisa dielak-
kannya. Desss! Terdengar seruan pelan dari mulut sang laki-la-
ki. Dan bersamaan dengan itu, tubuh sang laki-laki
terguncang sebentar lalu diam tak bergerak. Hebatnya,
meski serangan sang perempuan ini berupa angin de-
ras, namun sambaran itu tak membuat tubuh orang
yang terkena sasaran melayang atau bergulingan! Ini
jelas menunjukkan jika sang perempuan adalah seo-
rang berilmu tinggi, karena bisa meredam pukulannya
dari jarak jauh!
Perempuan berwajah putih tersenyum sinis. La-
lu balikkan tubuh. Sejenak sepasang matanya mene-
bar berkeliling di tempat itu.
"Brengsek! Apa aku akan kehilangan dia lagi"
Kulihat tadi dia berkelebat, namun begitu cepatnya
hingga aku tak dapat menentukan arah yang diambil-
nya...! Jahanam betul!"
Perempuan berwajah putih ini lalu bungkukkan
sedikit tubuhnya. Hidungnya kembang kempis men-
gendus-endus. "Hmmm.... Berarti dia masih belum jauh dari
sini. Bau tubuhnya masih dapat kuendus. Dia berada
di arah sana!" gumam perempuan berwajah hitam seraya luruskan tubuhnya. Lalu
setelah memandang ber-
keliling sekali lagi, perempuan ini berkelebat ke arah berkelebatnya Pendekar
Mata Keranjang 108.
*** EMPAT PENDEKAR 108 memacu larinya dengan cepat.
Seraya berlari tak henti-hentinya dia bertanya-tanya
dan menduga. "Dayang Naga Puspa... siapa dia sebenarnya" Melihat keadaan laki-
laki tadi, pastilah orang ini berilmu sangat tinggi. Tanpa meninggalkan bekas
pukulan sama sekali, dia bisa membuat orang hitam
legam laksana orang dijerang dalam tungku. Selain be-
rilmu tinggi, dia adalah orang kejam. Hmm.... Dia me-
nuju dusun Kepatihan, dan bertanya tentang Dewi
Kayangan. Apa mungkin ini ada hubungannya dengan
Arca Dewi Bumi..." Jika benar, kebocoran tentang ra-
hasia arca itu telah merebak ke mana-mana!"
Mendadak Pendekar 108 hentikan larinya. Sa-
mar-samar sepasang matanya menangkap sesosok
bayangan melangkah perlahan jauh di depannya.
"Mengenakan jubah putih besar.... Dan melihat
rambutnya yang panjang bergerai dia adalah seorang
perempuan. Seperti ciri-ciri yang dikatakan laki-laki tadi. Akan kulihat dahulu
sepak terjangnya dari
jauh...." Berpikir begitu, Pendekar 108 segera berkelebat ke depan dengan jalan
mengendap-endap. Sepasang
matanya terus mengawasi jauh ke depan, pada sosok
berjubah putih yang tiba-tiba saja hentikan langkah-
nya. "Sialan! Apa dia mengetahui jika sedang kuiku-ti..." Dia tiba-tiba saja
menghentikan langkahnya. Aku harus menghindar dahulu...." Aji segera rundukkan
kepala dan duduk mendekam di balik semak belukar.
Namun sepasang matanya serta telinganya dipasang
baik-baik. Tak jauh di depan, orang yang diikuti Pendekar
Mata Keranjang dongakkan kepala. Sepasang matanya
yang bulat besar berputar liar di kelopaknya. Tangan
kanan orang ini bergerak ke atas, mengusap hidung-
nya yang ternyata mengenakan sebuah anting-anting
berwarna kuning di sebelah kiri.
"Hmm.... Aku merasa diikuti orang. Dia mende-
kam tak jauh dari sini...!" Lalu hidung orang ini bergerak-gerak seiring tarikan
napasnya. "Hm.... Bau tubuhnya tak harum, berarti dia seorang laki-laki! Siapa
laki-laki bangsat ini" Akan kubuat babak belur se-
belum kubunuh!"
Orang ini dengan gerakan luar biasa cepat sege-
ra balikkan tubuh. Sepasang matanya yang bulat be-
sar menyapu berkeliling. Dagunya sedikit terangkat
dengan gigi saling menggigit.
Dari tempatnya mendekam, Pendekar 108 sedi-
kit terkejut ketika matanya telah dapat melihat orang yang diikutinya. Ternyata
dia adalah seorang perempuan yang usianya tidak muda lagi. Namun demikian
sisa kecantikannya masih tampak terlihat. Sepasang
matanya bulat dan tajam. Rambutnya panjang dan di-
biarkan tergerai, hingga menutupi sebagian wajahnya.
Pada hidungnya yang mancung sebelah kiri nampak
melingkar sebuah anting-anting berwarna kuning.
Mengenakan pakaian hitam panjang yang dirangkap
dengan jubah putih besar.
"Hmm.... Memang ini orang yang dikatakan la-
ki-laki tadi! Dayang Naga Puspa. Julukan bagus! Meli-
hat raut mukanya, pastilah dia seorang gadis cantik
waktu mudanya. Sayang, dada dan pinggulnya tak je-
las tampak. Tapi aku percaya, dia masih merawat tu-
buhnya dengan baik. Bibirnya masih menggunakan
polesan pemerah. Hmm...."
Namun murid Wong Agung ini sekonyong-
konyong melengak dengan membesarkan sepasang
matanya. Dadanya berdegup agak keras. Sementara
keningnya mengernyit. Perempuan yang diikutinya dan
bukan lain memang Dayang Naga Puspa melangkah
pelan ke arah di mana Pendekar Mata Keranjang 108
mendekam. "Busyet! Nampaknya dia tahu aku di sini! Ba-
gaimana ini" Sebaiknya aku segera keluar...!" membatin Aji seraya bangkit dari
tengah semak belukar.
Tapi gerakan Pendekar 108 tertahan, demikian
juga gerak langkah Sarpakenaka alias Dayang Naga
Puspa. Dari balik sebuah pohon yang tidak jauh dari
tempat Dayang Naga Puspa, berkelebat sesosok ba-
yangan dengan keluarkan seruan. "Mana dia..."!"
Meski terkejut sedikit, namun Dayang Naga
Puspa cepat menyembunyikannya dengan tersenyum
lebar. Lalu dengan sepasang mata menyengat tajam,
memperhatikan sosok yang kini tegak di hadapannya,
dia berkata. "Tak ada badai, tak ada gempa, tak ada setan
gundul, kau tiba-tiba berteriak! Siapa yang kau cari"
Dan siapa kau yang berlaku pengecut menyembunyi-
kan tampang di balik kulit penutup"!"
Orang yang baru datang mendengus keras. La-
lu balas memandang dengan tatapan yang tak kalah
galaknya. Dia adalah seorang perempuan mengenakan
pakaian agak gombrang dan menutupi wajahnya den-
gan kulit berwarna putih. Dari tempat persembunyian-
nya, Pendekar 108 melengak kaget.
"Mekar Sari! Ah, tampaknya dia mengikutiku
setelah kejadian di Kepatihan! Ah.... Nampaknya kea-
daan akan runyam, apalagi jika Dayang Naga Puspa
memang mengetahui aku di sini!" batin Pendekar 108, seraya memandang ke arah
orang berwajah putih yang
bukan lain memang Mekar Sari atau Dewi Bunga Iblis,
Adik bungsu Dewi Kayangan.
"Hmm.... Memakai pakaian dalam warna hitam
yang dilapis dengan jubah putih besar. Hidung kirinya dihiasi anting-anting
kuning. Meski aku belum pernah
bertemu sebelumnya, namun ciri-ciri itu dalam rimba
persilatan hanya dimiliki oleh tokoh sesat yang berna-ma Sarpakenaka. Hmm....
Menurut kabar yang kuden-
gar, dia mempunyai ilmu tinggi. Aku harus bertindak
hati-hati! Tapi ke mana perginya pemuda berbaju hijau itu" Aku yakin dia ke arah
sini! Apa disembunyikan
oleh dia..."!" batin orang yang berwajah putih ini. Lalu
dengan tersenyum sinis pula dia angkat bicara.
"Sarpakenaka! Kau tak usah berpura-pura. Apa
kau masih suka menyimpan pemuda-pemuda" Jika
betul, aku bisa carikan untukmu berapa yang kau in-
ginkan. Asal pemuda tadi kau serahkan padaku!"
Dayang Naga Puspa atau Sarpakenaka dongak-
kan kepala. Dari mulutnya terdengar suara tawa ber-
derai-derai. "Bagus! Kau telah tahu siapa diriku. Jadi aku
tak usah repot-repot menerangkan. Hanya yang perlu
kau ketahui, ternyata kau adalah perempuan tolol!
Dungu! Dan tak tahu malu! Kau tadi menuduhku me-
nyimpan seorang pemuda, kau lihat! Aku memang
mempunyai kantong besar-besar, tapi anak kecil pun
tahu, jika kantong jubahku ini tak cukup untuk me-
nyembunyikan seorang pemuda!" kata Dayang Naga
Puspa di sela-sela tawanya. Lantas dia menyambung.
"Apakah kata-katamu tadi tidak salah" Bukan-
kah kau yang saat ini sedang mengejar-ngejar seorang
pemuda" Ah, kukira pemuda tadi ngeri melihat tam-
pangmu yang begitu cantik! Sungguh kasihan kau!
Tentunya kau sudah bersusah payah merayunya, bah-
kan mungkin sampai berguling-gulingan di atas tanah!
Bagaimana kalau kucarikan saja seseorang untuk
pengganti" Kalau pilihanku, kau tak usah khawatir!
Dia pasti sip...!"
Orang yang memang Mekar Sari atau Dewi Bu-
nga Iblis parasnya berubah hitam mengelam. Sepasang
matanya membeliak besar-besar seakan meloncat dari
rongganya. Dagunya membatu dengan pelipis berge-
rak-gerak keras.
Di tempat mendekamnya, kembali Pendekar
Mata Keranjang dibuat terkejut. Diam-diam dia ber-
kata. "Yang dimaksud Dayang Naga Puspa tentunya
adalah aku! Lebih baik kulihat dahulu perkembangan-
nya!" "Sarpakenaka! Perempuan tua bermulut jorok!
Kuberi kesempatan kau sekali lagi untuk menjawab
pertanyaanku sebelum kesabaranku habis!" bentak
Dewi Bunga Iblis dengan kedua tangan telah dialiri tenaga dalam dan siap untuk
dipukulkan. Dayang Naga Puspa bukannya segera menyam-
buti kata-kata Dewi Bunga Iblis dengan menjawab per-
tanyaannya, malah dia semakin keraskan tawanya.
Namun mendadak tawanya dia putus. Kepalanya dia
luruskan ke depan, sepasang matanya melotot.
"Orang bertampang jelek! Aku sebenarnya tak
suka diancam orang. Namun kali ini biarlah. Dengar!
Aku akan memberitahukan di mana pemuda yang kau
kejar-kejar, dengan syarat kau harus membuka penu-
tupmu! Aku khawatir kau adalah seorang laki-laki
yang menyaru dan menyukai sesama laki-laki. Kalau
kau memang betul seorang perempuan, apa boleh
buat, tentunya kau sedang jatuh cinta pada pemuda
itu! Aku tak akan menghalangi orang yang sedang
kasmaran!"
Mendengar kata-kata Dayang Naga Puspa, Pen-
dekar 108 terperanjat. Keringat dingin mulai keluar
membasahi tubuhnya.
"Sialan! Kalau Dewi Bunga Iblis benar-benar
membuka penutup wajahnya, dan Dayang Naga Puspa
memberitahukan di mana aku berada, masalah akan
benar-benar bertambah panjang.... Sialnya diriku!"
Jika Pendekar 108 merinding kuduknya serta
keluar keringat dingin dan membatin demikian rupa,
lain halnya dengan Dewi Bunga Iblis. Begitu mende-
ngar kata-kata Dayang Naga Puspa, perempuan ber-
wajah putih ini menyeringai. Giginya saling beradu keluarkan suara gemeratak.
Dalam hati dia berkata.
"Hm.... Aku bukannya takut menghadapi setan
ini, namun karena pemuda itu lebih penting bagiku,
lebih baik aku turuti saja permintaannya.... Toh dia
pasti tak tahu kegunaan pemuda itu!"
Berpikir begitu, Dewi Bunga Iblis lantas angkat
tangan kanannya seraya berkata.
"Sarpakenaka! Kalau itu pemintaanmu, baik-
lah! Tapi jika kau menipuku, jangan mimpi kau akan
meninggalkan tempat ini dengan nyawa masih utuh!"
Sarpakenaka hanya tersenyum sinis tanpa me-
nyahuti ancaman Dewi Bunga Iblis. Bahkan dengan
tersenyum pula dia melihat gerakan tangan kanan De-
wi Bunga Iblis yang membuka penutup kulit putih di
wajahnya. Begitu penutup wajah Dewi Bunga Iblis terbu-
ka, sepasang mata Sarpakenaka membeliak besar. Ke-


Pendekar Mata Keranjang 14 Dayang Naga Puspa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ningnya berkerut, sementara mulutnya komat-kamit.
"Dewi Bunga Iblis!" seru Sarpakenaka atau Dayang Naga Puspa begitu mengenali
wajah di balik pe-
nutup yang telah dibuka. "Hmm.... Ternyata dia tidak tewas seperti berita yang
selama ini beredar. Siapa
pemuda yang dikejarnya" Kekasihnya..." Aku tahu,
pemuda itu masih ada di sekitar sini! Kalau...," Dayang Naga Puspa tidak
meneruskan kata hatinya, karena
saat itu Dewi Bunga Iblis telah keluarkan bentakan.
"Sarpakenaka! Lekas katakan di mana pemuda
itu!" Yang dibentak sunggingkan senyum mengejek.
Dan tanpa memandang dia berkata.
"Bunga Iblis! Kau tampaknya benar-benar pe-
rempuan tolol! Apa kau telah menuruti segala per-
mintaanku?"
"Jahanam! Kau jangan banyak mulut. Lihat!
Aku telah membuka penutup wajahku!" bentak Dewi
Bunga Iblis dengan mata berkilat-kilat.
Lagi-lagi bentakan Dewi Bunga Iblis hanya di-
balas dengan sunggingan senyum oleh Dayang Naga
Puspa. Bahkan sesaat kemudian tawanya meledak,
membuat Dewi Bunga Iblis semakin geram.
"Bunga Iblis! Aku tidak memancing kemara-
hanmu. Hanya saja kau memang belum sepenuhnya
menuruti segala syarat yang kuajukan! Kau saat ini
masih membuka wajahmu! Padahal aku mengajukan
syarat kau harus membuka penutupmu! Jadi kau ha-
rus buka seluruh penutupmu! Baik wajah atau ang-
gota tubuh lainnya! Hik... hik... hik...!"
Dari tempat mendekamnya, mau tak mau Pen-
dekar Mata Keranjang 108 sunggingkan senyum men-
dengar kata-kata Dayang Naga Puspa. Dia merasa se-
dikit lega, karena dia berpikir tak mungkin Dewi Bun-
ga Iblis untuk menuruti persyaratan Dayang Naga
Puspa. Di lain pihak, begitu mendengar ucapan
Dayang Naga Puspa, serta-merta Dewi Bunga Iblis
campakkan kulit putih di tangannya yang tadi dipakai
untuk menutupi wajahnya. Dan kejap itu juga kedua
tangannya disentakkan ke depan.
Dua larik sinar hitam menyambar cepat keluar
dari kedua tangan Dewi Bunga Iblis. Bersamaan de-
ngan melesatnya sinar hitam, suara bergemuruh me-
nyentak tempat itu!
Di seberang, Dayang Naga Puspa tak bergeming
dari tempatnya. Malah dia tersenyum sinis seperti me-
nunggu. Dan begitu sedepa lagi larikan sinar hitam
menghantam tubuhnya, perempuan berjubah putih ini
segera melompat ke samping kanan. Serangan Dewi
Bunga Iblis menerobos angin dan menghantam tempat
kosong. Sementara itu, dari tempatnya yang baru, Da-
yang Naga Puspa segera tengadahkan kepala. Dari mu-
lutnya terdengar suara tawa panjang tergelak-gelak.
Kedua tangannya bergerak menyibak bagian depan ju-
bah putihnya. Seberkas sinar hitam berkilat-kilat tampak keluar dari pinggang
kirinya. Dewi Bunga Iblis gertakkan rahang melihat se-
rangan pembukanya begitu mudah dielakkan lawan.
Dia segera hendak kirimkan kembali serangan, namun
gerakannya tertahan ketika sepasang matanya me-
nangkap bersitan sinar hitam berkilat memancar ke-
luar dari pinggang kiri Dayang Naga Puspa.
Bukan hanya Dewi Bunga Iblis yang terkejut,
dari tempat persembunyiannya Pendekar 108 pun
membelalakkan sepasang matanya.
"Tombak aneh! Bukan hanya bentuknya, na-
mun juga kilatannya! Hmm.... Pasti senjata yang mem-
punyai kekuatan luar biasa! Ah, laki-laki tadi pastilah terkena racun tombak
itu! Bagaimana nasibnya sekarang" Tak mungkin lagi bagiku untuk menolong.
Keadaan tidak memungkinkan...!"
"Baru kali ini aku melihat tombak yang bentuk-
nya begitu rupa! Aku harus hati-hati, kalau keadaan
tak menguntungkan, aku akan cepat meloloskan di-
ri...!" batin Dewi Bunga Iblis. Tampaknya diam-diam dia ciut juga nyalinya,
namun sebagai tokoh yang pengalaman bertahun-tahun dalam rimba persilatan, dia
tak hendak menunjukkan sikap takut, malah dengan
suara lantang dia berkata mengejek.
"Tombak butut! Apa yang ditakutkan!"
Habis berkata, seakan tak mau didahului, Dewi
Bunga Iblis kembali kirimkan serangan. Kali ini tu-
buhnya dia putar, mendadak saja tubuhnya lenyap da-
ri pandangan. Dan tahu-tahu tubuh Dewi Bunga Iblis
telah menukik deras dengan sepasang kaki mengarah
pada kepala Dayang Naga Puspa, sementara kedua
tangannya mengepal dan mengayun dari bawah!
Sepertinya sudah dapat menduga gerakan la-
wan, Dayang Naga Puspa segera angkat tubuhnya se-
tinggi setengah tombak memapak tubuh Dewi Bunga
Iblis! Kedua tangannya dipalangkan di depan kepala,
sementara kedua kakinya disapukan dari bawah ke
atas, menyongsong kedua tangan lawan.
"Prakk! Prakkk! Prakk! Prakkk!"
Terdengar empat kali benturan berturut-turut.
Lalu disusul terdengarnya dua seruan tertahan. Tubuh
Dewi Bunga Iblis mental ke atas lebih tinggi, namun
perempuan berpakaian agak gombrang ini segera buat
gerakan berputar dua kali di udara, hingga tubuhnya
selamat dari terjerembab di tanah. Sementara itu, tu-
buh Dayang Naga Puspa melayang ke belakang. Na-
mun perempuan berjubah putih ini segera pula jungkir
balik dan mendarat di atas tanah dengan kedua kaki
terpentang kokoh!
"Hmm.... Apa yang dikatakan laki-laki itu ter-
nyata benar. Dayang Naga Puspa berilmu tinggi! Na-
Sumpah Palapa 25 Pantang Berdendam Serial Tujuh Manusia Harimau (1) Karya Motinggo Boesye Tiga Dara Pendekar 5
^