Misteri Gadis Gila 3
Dewa Arak 80 Misteri Gadis Gila Bagian 3
terbuka. Dan...
Bresss! "Aaakh...!"
Naga Sakti Berwajah Hitam tiba-tiba menge-
luarkan jeritan menyayat ketika kedua tangannya ba-
gaikan membentur dinding yang tidak tampak. Bahkan
seluruh tenaga dalamnya seperti membalik. Tubuhnya
langsung terlempar deras ke belakang, dan melayang-
layang bagai daun kering diterbangkan angin. Belasan tombak jauhnya tubuhnya
melayang-layang, sebelum
akhirnya jatuh di tanah menimbulkan bunyi keras.
Kakek berwajah hitam itu bangkit tertatih-tatih
dengan wajah pucat pasi. Darah tampak mengalir dari
sudut-sudut bibirnya, akibat luka dalam yang cukup
parah karena tenaga dalamnya sendiri berbalik memu-
kul dirinya. Naga Sakti Berwajah Hitam menggeleng-geleng
untuk mengusir pusing yang menyergap. Ditatapnya
Dewa Arak untuk yang terakhir kali dengan pandan-
gan bingung dan heran. Kemudian tubuhnya berbalik
meninggalkan tempat itu.
"Kali ini kau boleh menghirup udara bebas,
Dewa Arak. Tapi lain kali, jangan harap kau akan se-
mujur ini...!"
Cukup keras dan lantang ucapan kakek berwa-
jah hitam ini. Tapi, Dewa Arak tidak menyambutnya
sama sekali. Bukan hanya karena tidak mau, tapi juga karena tidak mampu.
Jangankan untuk berteriak. Untuk menggerakkan bibir saja, sukar sekali.
Andaikatapun bisa, yang keluar dari mulutnya lebih dari sebuah bisikan pelan.
Dalam keadaan setengah sadar itu, Arya masih
mendengar bisikan berasal dari mulut seorang kakek.
"Aku pergi dulu, Anak Muda. Tugasku sudah
selesai. Kelak, apabila kejadian seperti ini terulang, mungkin aku akan muncul
kembali." Hanya sampai di situ ucapan sosok yang tidak
terlihat. Tapi itu cukup untuk menjawab keheranan
yang sejak tadi membalut hati Arya. Meski dalam kea-
daan terluka parah, Arya masih sadar dan tahu kalau
Naga Sakti Berwajah Hitam hendak membunuhnya.
Tapi entah karena apa, tak jua terlaksana. Kiranya ada orang yang menghalangi
tindakannya. Arya masih dapat mengucapkan terima kasih, kendati yang tercipta
hanya kemak-kemik bibirnya. Sesaat kemudian, pe-
muda perkasa ini telah jatuh pingsan.
*** Seorang pemuda berompi kulit harimau me-
langkah cepat menuju kaki lereng Gunung Cikuray.
Sekujur wajahnya kotor berdebu. Wajahnya muram.
Rambutnya pun kusut berantakan, tak terurus. Seper-
tinya, pemuda ini telah lama tidak memperhatikan
keadaan dirinya lagi.
Keadaannya yang tidak terurus, semakin leng-
kap dengan sepasang matanya yang sayu seperti lam-
pu kehabisan minyak. Hanya saja, sesekali sepasang
mata itu mencorong tajam. Tulang-tulang wajahnya
pun mengeras penuh kebencian. Dan itu selalu tercip-
ta, setiap kali pemuda ini menyebut satu nama dengan suara berdesis penuh
dendam. "Naga Sakti Berwajah Hitam.... Apabila kau
mengganggu Jumini, aku bersumpah akan mengadu
jiwa denganmu! Aku, Dirgantara, tidak sudi hidup di
dunia ini apabila kau masih bercokol! Hanya ada satu di antara kita yang harus
hidup! Kau, atau aku!"
Terdengar bunyi berkerotokan keras ketika pe-
muda berompi kulit harimau yang mengaku sebagai
Dirgantara menutup ucapannya. Padahal, dia tidak
melakukan gerakan apa pun. Tenaga dalamnya yang
telah mencapai tingkat tinggi bergerak sendiri, menyebabkan terjadinya bunyi
seperti itu. Belum juga tuntas kekesalan pemuda itu, tiba-tiba....
"Ooouw...!"
Sebuah teriakan nyaring terdengar, dan ber-
pengaruh besar terhadap Dirgantara. Tubuhnya kon-
tan terjingkat, bagaikan disengat ular berbisa. Sepasang bola matanya berputar
liar, mencari sumber te-
riakan tadi. Dan sepasang matanya memancarkan si-
nar penuh harap, ketika terpandang sebuah gubuk ke-
cil di tengah persawahan.
Tempat Dirgantara berada memang sebuah
areal persawahan yang luas. Di sekitarnya yang terlihat hanya jejeran padi yang
mulai menguning. Pemuda
itu sendiri berada di jalan setapak, yang terdapat di antara kotak sawah yang
satu dengan yang lain.
"Jumini...," desis Dirgantara penuh perasaan haru. Ketidak bergairahan
Dirgantara langsung lenyap. Meski wajahnya masih kusut, tapi terlihat jelas
adanya semangat menyala-nyala. Baik pada wajah,
maupun sinar matanya.
Berbareng ucapan itu, Dirgantara melesat cepat
bukan main gerakannya, sampai-sampai kedua ka-
kinya bagai tak menginjak tanah. Pematang yang kecil dan licin tidak menghalangi
kecepatan larinya. Sementara pandangannya tertuju ke arah gubuk di tepi sa-
wah. Sedangkan mulutnya tak henti-hentinya menye-
butkan satu nama. Jumini!
Namun sebelum Dirgantara sampai di dekat
gubuk itu, mendadak dari arah lain melesat satu sosok bayangan hitam yang juga
memburu ke arah gubuk.
Mungkin sosok itu juga mendengar teriakan tadi.
Karena sosok bayangan hitam itu lebih cepat,
terpaksa Dirgantara menghentikan larinya. Dia ingin
tahu, apa yang selanjutnya terjadi. Maka secepat itu pula, tubuhnya
disembunyikan di dalam kerimbunan
padi, sambil matanya tak lepas mengamati ke arah gu-
buk. *** Sementara di dalam gubuk, tampak seorang
pemuda tampan dengan dandanan macam-macam
tengah menggumuli seorang gadis manis yang terus
meronta-ronta berusaha melepaskan diri.
"Rupanya kau tidak bisa diperlakukan secara
lembut, Jumini! Mungkin kau lebih suka dikasari lebih dulu, sebelum akhirnya
tunduk, heh"! Baik kalau itu
yang kau inginkan, ku penuhi...!"
Dengan napas memburu hebat karena penga-
ruh nafsu birahi yang menyesakkan dada, pemuda pe-
solek yang tak lain Lanang cepat menotok gadis dalam himpitannya yang memang
Jumini. Tuk! Saat itu juga, tubuh Jumini lemas tak berdaya.
Sedangkan dengan mata jelalatan, Lanang langsung
melucuti pakaian gadis itu.
Hanya dalam sekejapan saja, gadis berpakaian
kuning itu telah bugil. Dan Lanang yang telah diamuk nafsu, segera menubruknya
dengan buas. Persis seekor serigala kelaparan menerkam anak kambing ge-
muk! "Jangan..., jangan lakukan itu.... Aku mohon, Lanang...," pinta Jumini
mengiba dengan suara meme-las.
Air mata gadis itu telah mengalir deras memba-
sahi sepasang pipinya yang mulus. Air mata yang
mengucur karena cekaman rasa takut dan ngeri akan
terjadinya sesuatu hal yang mengerikan terhadap di-
rinya. "Lebih baik kau bunuh saja aku...," lanjut Jumini Lanang yang telah kesetanan
tidak mempeduli-
kan sama sekali. Bahkan tindakannya semakin kasar.
Di telinganya, rintihan Jumini tak ubahnya nyanyian
bidadari yang membuat semangatnya semakin meng-
gebu-gebu. Sebenarnya, Lanang tidak begitu suka melaku-
kan tindakan ini. Tapi, apa boleh buat" Ini memang
cara satu-satunya untuk menjadikan hati Jumini yang
keras mencair. Yang penting, Jumini mau menjadi pa-
sangannya setelah peristiwa ini. Lanang yakin, Jumini tidak akan mempunyai
pilihan lain lagi setelah semuanya terjadi. Tapi di saat yang gawat terhadap
kehormatan Jumini....
Brak! Tiba-tiba pintu gubuk terlepas dari engselnya
dan dalam keadaan hancur berkeping-keping. Tentu
saja gangguan mendadak ini, membuat Lanang me-
lompat dari tubuh Jumini yang tengah ditindihnya. Secepat kilat, dia bersiap
untuk menghadapi keadaan
yang tidak memungkinkan.
"Manusia berhati binatang...!" desis sosok yang ternyata seorang gadis
berpakaian serba hitam. "Manusia seperti kau sudah selayaknya dimusnahkan dari
muka bumi!"
Gadis berpakaian serba hitam yang tak lain
Linggar hanya bertindak sampai di situ. Dibiarkannya Lanang yang lari sambil
meraih pakaiannya dengan
menjebol dinding gubuk hingga jebol. Pemuda pesolek
itu mencari tempat untuk mengenakan pakaian, kare-
na saat itu sudah telanjang bulat
"Kenakan itu, Nona," ujar Linggar teringat akan nasib Jumini yang masih tergolek
di lantai gubuk bera-
laskan jerami. Namun ketika melihat gadis itu tak bergerak, Linggar sadar kalau
Jumini telah tertotok. Maka seketika tangannya bergerak cepat, melepaskan toto-
kan pada tubuh Jumini.
Dengan wajah masih pucat dan airmata yang
mengucur deras, Jumini mengenakan pakaiannya. Be-
berapa kali dia terbalik mengenakannya, karena piki-
rannya melayang-layang.
Beberapa tombak di luar gubuk, Lanang tam-
pak terburu-buru mengenakan pakaian. Pemuda peso-
lek itu ingin segera memberi hajaran pada Linggar. Kejadian ini memang membuat
Lanang jadi kehabisan
kesabaran dan menyumpah-nyumpah karena pera-
saan kesal. Daging yang sudah berada di depan mata
dan tinggal ditelan, telah terlepas lagi karena campur tangan orang usil.
Maka ketika akhirnya berhasil mengenakan pa-
kaiannya kembali, pemuda pesolek ini mencelat ke de-
pan gubuk. Lega hatinya ketika melihat orang yang telah bertindak usil, telah
berada di depan gubuk juga.
Jumini masih berada di dalam gubuk.
Sementara itu, sepasang mata milik Dirgantara
terus memperhatikan sosok berpakaian serba hitam,
dan pemuda pesolek yang dikenal sebagai pemuda hi-
dung belang. Karena tidak melihat adanya Jumini, dan menyadari betapa tingginya
kepandaian Lanang, Dirgantara merasa tak akan mampu menghadapinya. Ma-
ka dia segera berbalik, meninggalkan tempat persem-
bunyiannya. *** 77 "Ha!"
Sementara Lanang melongo sebentar, kemudian
tertawa bergelak.
"Mimpi apa aku semalam sampai bisa bertemu
seorang bidadari dari kahyangan" Siapa kau, Gadis
Ayu"! Apakah kau juga ingin bersenang-senang den-
ganku"!"
Jumini yang sudah muncul di samping Linggar,
menggertakkan gigi. Kebenciannya terhadap Lanang
semakin membesar. Belum lama, Lanang mengatakan
kalau dirinya adalah wanita satu-satunya yang dicin-
tai. Sekarang pemuda itu telah memuji-muji gadis berpakaian serba hitam. Di
depan hidungnya lagi! Benar-
benar seorang lelaki buaya!
"Makhluk menjijikkan seperti kau memang ti-
dak patut dibiarkan lama-lama hidup di dunia ini!" desis Jumini, penuh perasaan
geram. "Apa yang kau katakan itu tidak salah, Dik.
Aku pun tidak mempunyai niat untuk mengampu-
ninya! Serahkan padaku untuk menghukumnya!"
Jumini menatap wajah Linggar lekat-lekat se-
bentar. "Kau yakin bisa menanggulanginya sendiri"!"
Linggar mau tidak mau tersenyum melihat
tingkah Jumini yang kekanak-kanakan.
"Aku tidak yakin, Dik. Tapi andaikata aku tidak mampu, bukankah masih ada kau"!
Dengan adanya kau, apa lagi yang perlu ku khawatirkan"!"
Jumini tersenyum. Kemudian setelah melempar
senyum manis untuk Linggar, Jumini melangkah
mundur. Diberinya kesempatan pada Linggar untuk
menghadapi Lanang. Kendati demikian, gadis yang se-
benarnya putri Pendekar Jari Maut ini bersiap-siap
memberi pertolongan bila terjadi sesuatu yang tidak di-inginkan terhadap
penolongnya. Lanang adalah seorang pemuda yang cerdik
bukan main. Sekali lihat saja bisa diketahui kalau kepandaian Linggar amat
tinggi. Dan mungkin berada di
atas Jumini. Tapi kalau sampai mereka bersatu untuk
mengeroyoknya, dia akan menderita kerugian. Jelas,
dia tidak akan mampu menghadapi mereka berdua.
Maka sebelum kedua gadis ini bersatu, diputuskannya
bertindak cepat.
"Cuhhh!"
Tanpa disangka-sangka, Lanang menyembur-
kan ludahnya berkali-kali. Pemuda ini tahu, sebagian besar orang merasa jijik
dengan cairan kental itu. Terutama sekali, wanita.
Dugaan Lanang tidak meleset. Linggar merasa
jijik bukan main melihat gumpalan-gumpalan ludah
kental yang meluncur bertubi-tubi ke arahnya. Cepat
gadis itu melompat jauh ke belakang sejauh empat
tombak. Dan dari jarak itu, Linggar mementahkan
semburan-semburan ludah dengan memutar pedang-
nya di depan dada hingga menimbulkan gulungan si-
nar kemilau. Permainan pedang Linggar ternyata tidak hanya
enak dilihat, tapi juga menggiriskan. Beberapa jengkal dari gulungan sinar
pedangnya, gumpalan-gumpalan
ludah itu runtuh ke tanah semuanya. Cairan-cairan
menjijikkan itu bagaikan bertemu dinding tidak nam-
pak. Lanang sebenarnya terkejut melihat hal ini. Seketika itu pula disadari
kedahsyatan tenaga dalam lawannya. Tapi dia tidak mempedulikannya. Kesempatan
itu dipergunakannya untuk melolos sabuk dan mengi-
Dewa Arak 80 Misteri Gadis Gila di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
rimkan serangan.
Sabuk itu meliuk-liuk laksana seekor ular.
Ujungnya mematuk-matuk, ke bagian-bagian tubuh
yang berbahaya.
Siasat Lanang berhasil. Serangan-serangan lu-
dahnya memang dimaksudkan untuk membuat Ling-
gar menjauh. Sementara senjata sabuknya memang
mempunyai jangkau jauh lebih panjang daripada pe-
dang lawan. Maka bila pertarungan berlangsung dalam
jarak jauh, Lanang akan mendapat satu keuntungan.
Namun, Lanang keliru bila mengira Linggar da-
pat disiasati seperti itu. Gadis berpakaian serba hitam ini memiliki ketenangan
luar biasa. Ketenangan inilah yang dapat membuatnya berpikir panjang. Hanya
dalam sejekap, Linggar tahu kalau kedudukan pemuda
pesolek itu lebih menguntungkan bila hal ini berlangsung. Maka serangan-serangan
ujung sabuk Lanang
dihadapinya dengan elakan, lompatan gulungan tubuh
ke depan. Lanang juga tidak kalah cerdik Dia pun menja-
ga jarak dengan cara melompat ke belakang juga se-
raya mengirimkan serangan-serangan berbahaya. Tin-
dakannya membuat jarak antara mereka tidak beru-
bah. Sedangkan saat itu Jumini mengernyitkan alis-
nya, tidak tenang ketika melihat jalannya pertarungan.
Dalam hati, diakui kalau kepandaian Linggar amat
tinggi. Bahkan mungkin tidak berada di bawah ting-
katnya sendiri. Tapi agaknya Linggar bukan tandingan Lanang, putra angkat Naga
Sakti Berwajah Hitam. Terlihat jelas oleh Jumini betapa Linggar tidak mampu
mendekati Lanang.
Kini sekujur otot-otot tubuh Jumini sudah me-
negang, bersiap terjun ke dalam kancah pertarungan
dan menyelamatkan membantu Linggar.
Rrrttt! Jantung dalam dada Jumini berdetak keras.
Hatinya tegang bukan main, ketika melihat batang pe-
dang Linggar terlibat sabuk Lanang. Jumini tahu,
Linggar sengaja melakukannya agar tidak terus-
menerus dicecar. Kendati demikian, Jumini tidak bisa membenarkan pertarungan
yang menggunakan tenaga
dalam seperti itu. Jumini tahu betul kalau tenaga dalam Linggar masih berada di
bawah tenaga dalam La-
nang. Dan ini berarti kerugian terbesar akan dialami Linggar.
"Ah...!"
Tanpa sadar Jumini berteriak kaget ketika me-
lihat Linggar melepaskan pedangnya. Saat itu, adu tarik-menarik tengah
berlangsung sengit. Dan Lanang
berada di pihak yang unggul. Akibatnya, tubuh Lanang terjengkang ke belakang
terbawa tenaga tarikannya
sendiri. Sementara Jumini lebih kaget lagi ketika melihat Linggar malah duduk
bersila. Apa yang hendak di-
lakukan gadis berpakaian hitam itu" Jumini hanya
mampu bertanya dalam hati dengan perasaan terce-
kam. Tapi, sesaat kemudian keheranan Jumini ber-
ganti kekaguman. Samar-samar dari atas kepala Ling-
gar terlihat melesat sesosok bayangan yang mirip Linggar yang tengah duduk
bersila. Hanya saja bentuknya
hanya berupa bayangan tidak jelas. Kalau Jumini ti-
dak memiliki tenaga dalam tinggi dan memperhatikan
pertarungan sejak semula, tentu tidak akan bisa melihatnya. Sementara itu,
bayangan Linggar melayang ce-
pat menuju Lanang. Saat itu pemuda pesolek ini telah
berhasil memperbaiki kedudukannya yang tidak men-
guntungkan. Dengan agak bergegas, dia duduk bersila
juga. Sebentar kemudian, dari atas kepalanya pun me-
layang-layang sesosok bayangan yang juga mirip den-
gan Lanang asli. Sosok bayangan Lanang ini langsung
menyambuti kedatangan sosok bayangan Linggar.
Pertengahan jalan, dua sosok bayangan ini sa-
ling bertemu. Dan seperti layaknya dua orang ma-
nusia, mereka ini saling serang dengan tangan kosong.
Keduanya silih berganti mengirimkan pukulan dan
tendangan. Jumini yang baru pertama kali melihat per-
tarungan semacam ini, menjadi bingung. Meski demi-
kian, karena tingkat kepandaiannya memang sudah
cukup tinggi, bisa diduga akan apa yang tengah terja-di. Linggar dan Lanang
tengah mengadu kekuatan ba-
tin. Kedua tokoh itu seperti melepaskan nyawa mereka sendiri. Cara pertarungan
demikian memang menakjubkan. Kelihatannya dua belah pihak tidak berbuat
apa-apa, selain duduk bersila dan berdiam diri. Pa-
dahal, masing-masing memusatkan perhatian sepe-
nuhnya, untuk mengerahkan seluruh kekuatan batin
yang dimiliki. Walaupun hanya duduk bersila dan diam tidak
bergerak-gerak bagaikan patung batu, sekujur tubuh
mereka, telah dibanjiri peluh. Bahkan ketika keadaan itu berlangsung agak lama,
dari atas kepala dua tokoh itu mengepul uap. Mula-mula tipis dan tidak terlihat
mata, tapi semakin lama semakin tebal dan banyak.
Jumini hanya bisa menatap dengan perasaan
gelisah, ketika melihat uap yang mengepul dari atas
kepala Linggar jauh lebih banyak. Malah kedua tangan Linggar yang bersedakap,
menggigil keras seperti orang
demam tinggi. Jumini tahu, Linggar tengah terdesak
hebat. Hati Jumini gelisah, karena hanya mampu me-
nyaksikan tanpa mampu berbuat apa-apa. Gadis ini
tidak tahu, bagaimana caranya membantu Linggar.
Pandangan matanya memang dapat melihat kalau
bayangan Linggar terus-menerus terdesak dan terhim-
pit. Bahkan beberapa kali terkena serangan bayangan
Lanang. Jumini sampai menghentakkan kaki saking ka-
getnya, ketika melihat bayangan Linggar melompat
memapak serangan bayangan Lanang. Jumini tahu,
Linggar bertindak nekat
"Huakh...!"
Tiba-tiba Linggar memuntahkan darah segar.
Tubuhnya yang masih dalam keadaan duduk bersila
sampai terlipat ke depan. Di lain pihak, Lanang hanya mengeluarkan keluhan
tertahan. Dua bayangan yang
tadi saling tarung, mendadak lenyap seketika itu juga.
"Linggar...!"
Jumini menghambur ke arah Linggar berada.
Hatinya khawatir gadis penolongnya itu akan celaka.
Maka, bergegas dihampirinya Linggar untuk diperiksa.
"Aku tidak apa-apa, Dik," ucap Linggar terbata-bata. Terlihat susah sekali,
gadis ini berbicara. Bahkan pembicaraannya ditutup dengan mengalirnya da-
rah segar dari celah-celah bibirnya.
"Maafkan aku yang tidak becus ini. Aku tidak
mampu mengalahkan lelaki buaya itu. Dia terlalu lihai untukku," desah Linggar
seperti menyesal.
"Biar aku yang akan melanjutkannya, Kak," sahut Jumini sambil menatap ke arah
Lanang yang ma-
sih juga duduk bersila. Pemuda pesolek ini walau tidak
terluka, tapi tenaganya habis karena terlalu terkuras.
"Jangan lakukan itu, Dik. Itu bukan tindakan
ksatria," cegah Linggar dengan suara lemah.
Tapi, Jumini memang memiliki watak keras.
Perlakuan Lanang terhadapnya saja sudah cukup be-
ralasan untuk membunuhnya. Tidak peduli bagaimana
caranya. Ini, masih ditambah lagi perbuatannya terhadap Linggar hingga luka
parah. Kemarahan Jumini
bertumpuk-tumpuk. Dengan langkah lebar dan sorot
mata penuh ancaman, dihampiri Lanang.
Lanang menyadari akan adanya ancaman ba-
haya besar. Sama sekali tidak disangka kalau akhir
pertarungan ini bisa seperti ini. Linggar ternyata demikian cerdik, sehingga
mampu membuat kemenangan-
nya hampir tidak berarti. Sebab, dengan mudah Jumi-
ni akan dapat membunuhnya.
"Lanang...! Manusia keji...! Penjahat terkutuk!
Orang sepertimu harus segera dilenyapkan dari muka
bumi! Bersiaplah untuk menghadap Malaikat Maut,
Pemuda Banci!" hiding Jumini dengan suara sengit, begitu langkahnya berhenti
dengan jarak dua tombak
di depan Lanang.
"He he he...!"
Sungguhpun tenaganya telah terkuras banyak,
Lanang masih memaksakan diri untuk tertawa. Penuh
ejekan. "Tunggu apa lagi, Jumini"! Bukankah kau ingin membunuhku"! Silakan! Aku
sudah tahu kalau orang
macam kau, memang pandai memanfaatkan peluang.
Bukankah lebih enak membunuh orang yang sudah ti-
dak mampu mengadakan perlawanan"! Kau memang
mirip ayahmu yang pengecut! Beraninya hanya meng-
hadapi orang yang tidak berdaya! Tak heran kalau
anaknya pun akan menjadi orang yang paling penge-
cut!" Jumini mendelik mendengar ejekan itu. Dia ta-hu, Lanang tengah berusaha
menyinggung harga di-
rinya, demi untuk menyelamatkan nyawa. Tapi
sayangnya, kecerdikan Lanang membuat keinginannya
untuk menjatuhkan hukuman bagi pemuda pesolek
itu berkurang jauh. Tentu saja, Jumini risih dicap
pengecut. Gadis ini bimbang. Apakah ejekan itu ditangga-
pi dan Lanang akan mengambil keuntungan" Ataukah
dibiarkan saja, dan maksudnya bisa diteruskan"
Tapi dasar Jumini seorang gadis nakal, urakan,
dan cerdik. Maka dalam waktu sekejapan saja, sudah
bisa menemukan jalan terbaik untuk memecahkan
masalah. Bibirnya tampak tersenyum mengejek den-
gan sepasang mata bersinar-sinar.
Lanang yang semula sudah merasa yakin de-
ngan ejekannya yang mampu menyinggung harga diri
Jumini, kini mulai merasa cemas. Senyum yang semu-
la menghias bibirnya, mulai memudar. Dia tahu, Ju-
mini memiliki kecerdikan. Barangkali saja, gadis itu telah menemukan sebuah cara
untuk melakukan tinda-
kan terhadapnya.
Sementara itu, Jumini dengan sikap tenang
mulai menghunus pedangnya. Sedang Lanang mem-
perhatikan dengan dada berdetak keras, karena jan-
tungnya memukul lebih cepat. Hidungnya mulai mem-
baui adanya bahaya.
"Manusia jahanam! Lanang! Aku bukan sejenis
orang berwatak pengecut yang mampu membunuh
orang tidak berdaya. Aku tidak sudi membunuhmu!
Tapi, terlalu enak bila membiarkan mu pergi begitu sa-ja. Orang semacammu harus
diberi pelajaran! Sebelah
tanganmu akan kuambil sebagai ganjaran atas keku-
rangajaranmu terhadapku! Terimalah balasan sikap
tak sopanmu terhadapku!"
Jumini segera menggetarkan pedangnya, hing-
ga seperti berjumlah belasan. Bunyi mengaung ter-
dengar mengiringi getaran pedang itu. Kemudian sam-
bil memekik nyaring, gadis ini melompat sambil mengirimkan babatan ke arah
pangkal tangan kanan La-
nang. Sementara itu wajah pemuda pesolek ini pucat
pasi membayangkan sebelah tangannya akan lenyap
untuk selamanya. Namun....
Trang! Jumini mengeluh tertahan, ketika beberapa jari
sebelum batang pedangnya mengenai sasaran melesat
sinar kehijauan dari sebelah kanannya. Sinar hijau
yang melesat cepat dengan bunyi berdesing nyaring,
membentur keras mata batang pedang Jumini.
Benturan tadi kontan membuat Jumini terpak-
sa bersalto ke belakang beberapa kali untuk mema-
tahkan kekuatan yang membuat tubuhnya terlontar.
Terasa berat bukan main. Malah pedangnya hampir
terlepas dari pegangan, saking kerasnya.
Begitu Jumini menjejakkan kaki, terdengar ta-
wa mengikik dan terdengar liar! Begitu tak beraturan!
Dengan hati panas karena marah atas campur
tangan terhadap urusannya, Jumini mengalihkan
pandangan ke arah asal tawa. Ternyata di sana telah
berdiri sesosok ramping dengan bentuk tubuh menggi-
urkan. Seorang gadis muda yang memiliki wajah can-
tik. Hanya saja, keadaannya membuat Jumini berde-
tak mengkirik. Gadis yang telah menyelamatkan Lanang itu
memang mempunyai tingkah aneh. Bukan hanya ka-
rena tawanya yang berkesan aneh dan mengerikan, ta-
pi juga dandanannya. Pakaiannya bercorak kembang-
kembang yang dikenakannya terbalik. Wajah yang se-
benarnya cantik itu pun jadi terlihat mengerikan kare-na terlalu banyak bedak.
Sinar matanya kosong, na-
mun berkesan liar.
Tingkah dan penampilan gadis berpakaian
kembang-kembang ini saja sudah membuat Jumini
bergidik. Tapi yang lebih membuat hatinya tercekat
adalah, ketika melihat benda yang tadi telah ber-
benturan dengan pedangnya. Benda berwarna ke-
hijauan itu ternyata batang alang-alang yang tak lebih besar dari batang lidi.
Jumini tak habis pikir, bagaimana mungkin se-
batang alang-alang yang demikian kecil mampu mem-
bentur batang pedangnya" Seakan-akan yang terjadi
tadi benturan antara dua batang benda tajam yang
sama-sama-sama besar dan berat. Yang lebih gila lagi, batang alang-alang itu
mampu membuat pedangnya
hampir terlepas dari pegangan. Benar-benar luar biasa tenaga dalam yang
terkandung pada lemparan batang
alang-alang itu. Bagaimana pula, bila yang dilempar-
kan untuk menangkis adalah pedang pula!
Jumini yang berotak encer, segera bisa menge-
tahui kalau gadis berpakaian kembang-kembang itu
memiliki kepandaian tinggi! Kekuatan tenaga da-
lamnya telah memberi petunjuk yang jelas. Dan dia tidak yakin akan mampu
menghadapinya. "Siapa kau, Kak"! Mengapa kau mencegah tin-
dakanku yang hendak membunuh bangsat itu"!" ujar Jumini dengan suara lembut
Dewa Arak 80 Misteri Gadis Gila di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sambil menuding Lanang.
"Kakak" Hi hi hi...!" ulang gadis berpakaian kembang-kembang sambil tertawa
mengikik dengan
sepasang bola mata berkeliaran liar ke sana kemari.
"Kapan aku pernah mempunyai adik perempuan seper-
timu"! Aku tidak mempunyai adik! Apalagi adik yang
gila!" Wajah Jumini merah karena malu dan tersing-gung. Dia tadi menyebut kakak
untuk menghargai ga-
dis berpakaian kembang-kembang ini. Namun sama
sekali tidak disangka kalau tanggapan yang didapat
akan seperti ini!
Yang lebih menyakitkan hati adalah, ketika
Jumini malah dimaki sebagai orang gila oleh gadis
berpakaian kembang-kembang ini. Padahal dia yakin,
sekali lihat saja orang akan tahu siapa yang lebih patut dikatakan gila.
"Ah...! Rupanya aku salah bicara! Kukira aku
berhadapan dengan orang! Tak tahunya hanya seekor
iblis betina yang tak waras! Memang pantas sekali Iblis betina tak waras bergaul
dengan seorang lelaki tak ta-hu diri! Tepat sekali!"
"Keparat!" maki gadis berpakaian kembang-
kembang, kelihatan marah sekali. "Berani kau mengatakan aku gila"! Dasar orang
gila! Kau benar-benar
mempunyai nyali macan! Apakah kau telah mempu-
nyai nyawa rangkap" Menghinaku saja, telah cukup
untuk membunuhmu. Apalagi setelah kau berani-
beranian memaki calon suamiku! Kau akan kubunuh,
Gadis Gila! Hi hi hi..!"
Jumini, Linggar, lebih-lebih lagi Lanang, terpe-
ranjat mendengar penuturan gadis berpakaian kem-
bang-kembang itu yang mengaku-aku Lanang sebagai
calon suaminya! Sedangkan Jumini dan Linggar men-
jadi heran. Benarkah gadis yang kelihatan tak waras
itu adalah calon istri Lanang"! Tidak salahkah itu"!
"Mengapa malah bengong, Wanita Gila"! Kau
harus mendapat hukuman atas kelancanganmu hen-
dak membunuh suamiku!"
"Kaulah yang lebih dulu akan kusingkirkan,
Wanita Gila!" sentak Jumini kehabisan sabar, langsung dia melesat menerjang
sambil menusukkan pe-
dangnya ke arah leher!
"Uh, galaknya! Sayang tidak kena!" seru gadis berpakaian kembang-kembang ini
sambil merendah-kan tubuh sampai berjongkok, sehingga serangan
ujung pedang Jumini lewat beberapa jari di atas kepalanya. Jumini merasa
direndahkan. Langsung seran-
gannya disusuli dengan tendangan kaki kanan ke arah
kepala. Tapi masih dalam keadaan berjongkok, gadis
berpakaian kembang-kembang itu mengelak. Tak keli-
hatan menjejakkan kaki, tapi tubuhnya telah melayang ke belakang. Sehingga,
serangan Jumini kembali kandas. Jumini penasaran bukan main. Dengan kema-
rahan semakin memuncak, dikirimkan serangan susu-
lan dengan mengerahkan seluruh kemampuan. Pe-
dangnya ditusukkan bertubi-tubi ke berbagai sekujur
tubuh bagian atas yang berbahaya dari gadis gila itu.
8 Gadis gila berpakaian kembang-kembang yang
sudah berdiri tegak di atas tanah, tidak gugup melihat serangan bertubi-tubi
dari Jumini. Dan hanya menggerakkan tubuhnya ke kanan dan ke kiri, dia telah
ber- hasil membuat semua serangan kandas.
Pada satu kesempatan, Jumini menusukkan
pedangnya ke leher. Namun dengan gerakan manis se-
kali, gadis itu mengegoskan tubuhnya. Dan sebelum
Jumini sempat menariknya, gadis berpakaian kem-
bang-kembang ini telah lebih dulu mengulurkan mu-
lutnya. Krep! Batang pedang Jumini di luar dugaan, berhasil
digigit gadis berpakaian kembang-kembang itu.
Jumini kaget. Cepat pedangnya ditarik kembali
dengan keras. Tapi pedangnya bagai terjepit catut baja saja. Betapapun kerasnya
menarik, namun tak bergeming sama sekali. Apalagi untuk merobek mulut ga-
dis gila itu. Meski demikian, Jumini yang memiliki watak
keras hati tidak mau mengalah. Seluruh kemampuan-
nya dikerahkan untuk menarik. Dan di saat, gadis
berpakaian kuning ini tengah berada dalam puncak
kekuatan tarikannya, gadis gila berpakaian kembang-
kembang itu mengerahkan tenaga menekan pada gigi-
giginya. Krak! Saat itu juga, batang pedang Jumini patah
menjadi tiga potong. Tubuh gadis itu pun terjengkang ke belakang, terbawa tenaga
tarikannya sendiri. Salah satu potongan pedang tetap berada di tangannya.
Sedangkan potongan yang lain berada di antara gigi-gigi gadis gila berpakaian
kembang-kembang itu.
Dan di saat tubuh Jumini masih terhuyung ke
belakang karena belum bisa mematahkan kekuatan
yang membuat tubuhnya terjengkang, gadis gila itu
mengegoskan kepalanya.
Set! Seketika, dua potong batang pedang yang ma-
sih di mulut gadis gila itu melesat dengan kecepatan menakjubkan ke arah Jumini.
Yang satu menuju ke
leher, sedangkan yang lain menuju ke ulu hati. Ru-
panya gadis gila itu benar-benar berniat mengirim
nyawa Jumini ke alam baka, dengan mengirimkan dua
serangan yang mematikan.
Di lain pihak, meski dalam keadaan kurang
menguntungkan, Jumini masih mampu melihat akan
adanya ancaman maut. Hanya sekali memperhatikan,
dapat diketahui kalau potongan pedang yang menuju
ke leher, yang lebih dulu mengenai sasaran. Karena di samping meluncur lebih
dulu, kecepatan luncurannya
pun lebih dahsyat.
Dalam waktu yang hanya sekejap itu, Jumini
mampu berpikir cepat. Dia harus menangkis potongan
pedang yang meluncur ke arah leher. Sedangkan un-
tuk potongan selanjutnya akan dielakkan saja, dengan menggunakan tenaga yang
didapat dari benturan nanti.
Begitu waktu yang ditunggu tiba, Jumini lang-
sung mengayunkan pedangnya yang tinggal sepotong
pada sasaran ke leher.
Wut! "Heh"!"
Hati Jumini mencelos, ketika melihat potongan
pedang yang dikira akan mendarat lebih dulu, tiba-tiba melambat. Sebaliknya,
potongan yang lain, meluncur
menakjubkan. Akibatnya tangkisan Jumini jadi men-
genai angin kosong.
Jumini jadi gugup. Dengan sebisa-bisanya, tu-
buhnya dilempar ke belakang untuk menjauhi Malai-
kat Maut. Perubahan serangan yang demikian menda-
dak, membuatnya jadi kehilangan akal. Sehingga....
Cap, cap! Jumini menjerit tertahan, ketika kedua potong-
an pedang itu mendarat di sasaran. Yang satu menan-
cap di pangkal bahu kanan, sedangkan yang satu lagi
menembus dada sebelah kanan bagian atas. Gerakan
terakhir yang dilakukan Jumini tadi memang cukup
untuk menyelamatkan nyawanya dari maut. Kendati,
tetap saja dia tidak mampu untuk menyelamatkan diri
dari ancaman potongan pedang.
"Hi hi hi...!"
Gadis gila berpakaian kembang-kembang men-
gikik ketika melihat Jumini memekik kesakitan dengan tubuh masih terhuyung-
huyung ke belakang.
Linggar yang sejak tadi belum sempat melaku-
kan tindakan untuk mengobati luka dalamnya, merasa
cemas melihat nasib Jumini. Dia ingin meneriakkan
seruan saja pada Jumini agar segera pergi meninggal-
kan tempat itu. Karena melawan terus pun akan per-
cuma. Gadis gila berpakaian kembang-kembang itu
memang memiliki kepandaian menakjubkan. Bahkan
mungkin berada di atas Lanang. Terus melawan sama
saja mati konyol!
Untungnya bukan hanya Linggar yang menya-
dari keadaan demikian, tapi juga Jumini. Maka meski
kekuatan yang membuatnya terhuyung telah habis,
gadis ini bertingkah seakan-akan masih dipengaruhi
kekuatan itu dengan bergerak ke arah Linggar. Kemu-
dian secara tiba-tiba, Jumini menyambar tubuh Ling-
gar, lalu melesat cepat meninggalkan tempat itu. Perasaan khawatir bila gadis
gila itu mengejar, membuat
seluruh kemampuan larinya terpaksa dikerahkan.
Tapi, kekhawatiran Jumini ternyata tidak bera-
lasan. Gadis gila itu sama sekali tidak mengejar. Meski memang kaget ketika
melihat lawannya mengambil
langkah seribu, gadis berpakaian kembang-kembang
itu tidak memburu. Yang dilakukannya hanya terus
tertawa-tawa sambil mengeluarkan ejekan cukup me-
merahkan telinga.
"Ayo! Ayo, mau lari ke mana kau, Gadis Gila"!
Akan kukejar ke mana pun kau lari! Ayo...! Awa...! Pedang...! Pedang...! Hi hi
hi...! Ada orang gila berlari tunggang langgang! Hi hi hi...!"
*** Gadis berpakaian kembang-kembang ini baru
menghentikan ejekan dan tawanya, ketika tubuh Ju-
mini sudah tidak terlihat lagi. Dengan lagak malu-
malu sambil menghias senyum semanis mungkin, ma-
tanya melirik ke arah Lanang.
"Bagaimana, Suamiku"! Apakah kau telah se-
nang sekarang..."! Musuh-musuh kita telah terusir
pergi. Sekarang, mari kita pergi menjumpai Kakek.
Dan tua bangka bau tanah itulah yang akan menikah-
kan kita. Bagaimana" Kau mau kan, Suamiku
Sayang"!"
Lanang susah payah menelan ludahnya seperti
orang menelan duri. Di dalam hati, pemuda pesolek ini memaki kalang kabut. Sama
sekali tidak disangka kalau perkembangan nasibnya jadi seperti ini. Semula
harapannya akan mendapat dua bidadari. Tak tahunya
mendapat seorang gadis gila!
Jantung Lanang berdetak jauh lebih cepat keti-
ka gadis berpakaian kembang-kembang itu bergerak
menghampirinya dengan langkah terlihat malu-malu.
Kedua tangannya di depan dengan jari-jari diremas
dan direntangkan satu sama lain. Wajahnya ditunduk-
kan. Namun dari balik bulu matanya yang kelewat len-
tik, matanya menyambar ke wajah Lanang. Dan pemu-
da itu malah muak jadinya.
Semakin gadis berpakaian kembang-kembang
itu dekat, Lanang semakin muak. Perutnya pun men-
dadak mual, ingin muntah.
Lanang sudah bersiap-siap untuk memaki-
maki. Bahkan akan meludahi, apabila gadis ber-
pakaian kembang-kembang itu terus mendekat. Tapi
sebelum maksudnya itu dilaksanakan, mendadak
langkah gadis itu berhenti. Wajah yang semula penuh
senyum dan sikap yang malu-malu, seketika berubah.
Lanang melihat wajah gadis itu beringas. Sepasang
matanya liar kembali.
"Keparat! Orang-orang gila dari mana yang be-
rani mengintai ku"! Apakah kalian bosan hidup, se-
hingga berani mengintai putri tercantik sedunia yang hendak bercengkerama dengan
calon suaminya"!" sentak gadis berpakaian kembang-kembang ini sambil
berbalik. Lanang mendadak terperanjat. Benarkah ada
banyak orang yang tengah mengintai mereka" Kalau
benar mengapa dia tidak terdengar oleh telinganya"
Demikian tinggikah ilmu meringankan tubuh orang-
orang itu" Kalau benar demikian, berarti kepandaian
gadis ini sukar diukur! Lalu, bagaimana pula tingginya tingkat kepandaian
gurunya" Mengingat hal ini Lanang jadi bergidik!
Waktu terus berlalu. Tapi, orang-orang yang
dimaksud gadis berpakaian kembang-kembang ini tak
juga keluar dari tempat persembunyiannya di dalam
gubuk tempat Lanang semula.
Lanang yang melihat hal ini mulai meragukan
keberadaan orang-orang yang dimaksud gadis ber-
pakaian kembang-kembang ini. Bukan tidak mungkin
kalau gadis itu hanya mengada-ada saja. Bukankah
gadis itu memang kurang waras"
"Rupanya kalian lebih gila daripada orang gila
yang baru saja kuusir"! Kalian ingin aku bertindak keras"!" Gadis berpakaian
kembang-kembang menutup ucapannya dengan dorongan kedua telapak tangan
terbuka, setelah terlebih dulu tersilang di depan dada.
Saat itu Lanang mendengar bunyi mendesing
keras, kemudian pondok sederhana itu berderak keras
seperti diterpa angin ribut. Bahkan pondok itu terangkat ke atas bagai dicabut
tangan-tangan raksasa yang tidak kelihatan. Lalu potongan-potongan pondok
berjatuhan, bertumpukan beberapa tombak di sebelah kiri
tempat itu. Dan begitu pondok itu telah tidak tampak lagi,
sepasang mata Lanang terbelalak. Di situ tampak ber-
diri tegak dua sosok yang telah berusia lanjut. Ternyata gadis berpakaian
kembang-kembang tidak salah
dengar. Dia benar! Dan Lanang mulai merasakan bulu
kuduknya berdiri!
Keterkejutan Lanang semakin membesar, ke-
tika melihat dua sosok itu. Pemuda pesolek ini teringat akan seorang tokoh
besar, ketika melihat ciri-ciri salah seorang di antara mereka.
Sosok yang dimaksudkan Lanang berpakaian
sederhana. Kulitnya hitam kecoklatan. Wajahnya terlihat keras. Sebuah caping
bambu bertengger di atas
kepalanya yang terhias rambut-rambut putih. Lanang
tahu, kakek itu tak lain adalah Petani Berambut Putih!
Petani Berambut Putih tampak bersikap te-
nang, kendati baru mengalami kejadian yang cukup
mengejutkan. Demikian pula sosok yang satu lagi, wa-
jah dan sikap mereka biasa saja ketika mengayunkan
kaki mendekati tempat Lanang dan gadis berpakaian
kembang-kembang itu berada.
Dewa Arak 80 Misteri Gadis Gila di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kau yakin kalau pemuda itu yang dimaksud
Dirgantara muridmu itu, Petani Berambut Putih"!"
tanya kakek di sebelah Petani Berambut Putih, tubuh-
nya kecil kurus dan bermata sipit
"Aku yakin, Jari Maut. Muridku menceritakan-
nya secara jelas. Pasti pemuda itu yang bernama La-
nang." "Lalu..., siapa gadis aneh di sebelahnya itu?"
tanya kakek kecil kurus yang ternyata Pendekar Jari Maut "Aku sendiri tidak
tahu, Jari Maut. Tapi menilik dari sikap Lanang, aku yakin, dia tidak mempunyai
hubungan apa pun dengannya."
"Seorang gadis yang hebat. Semuda itu sudah
memiliki tenaga dalam yang demikian kuat. Entah sia-
pa gurunya. Sayang, otaknya tidak waras," puji Pendekar Jari Maut disertai
helaan napas berat.
Percakapan dua kakek sakti yang merupakan
tokoh-tokoh besar dunia persilatan golongan putih ini membuat jantung Lanang
terasa berdetak jauh lebih
cepat. Sama sekali tidak disangka akan bertemu mere-
ka. Dua kakek yang memiliki tingkat kepandaian seja-
jar dengan ayahnya, Naga Sakti Berwajah Hitam. Tapi
toh, keberadaan mereka bisa diketahui gadis berpa-
kaian kembang-kembang. Lalu, sampai di mana ting-
kat kepandaian gadis gila ini"
Percakapan dua kakek itu saja sudah menun-
jukkan pada Lanang akan ketinggian kepandaian me-
reka. Terlihat jelas kalau Petani Berambut Putih dan Pendekar Jari Maut
bercakap-cakap dengan hanya
mengemikkan sedikit bibir. Tapi toh, bunyi yang ter-
dengar amat lantang. Bahkan bergema ke seluruh pen-
juru tempat ini.
Berbeda dengan Lanang, gadis gila berpakaian
kembang-kembang itu tidak merasa gentar sama seka-
li. Bahkan kelihatan sekali marah. Apalagi ketika melihat kedua kakek itu terus
melangkah mendekati tem-
patnya berada dengan sikap tak ambil peduli.
"Berhenti, Orang-orang Gila! Kalau kalian tidak mau patuh juga, kalian akan
kujadikan mayat-mayat
gila! Bagus bukan"! Hi hi hi...!"
Pendekar Jari Maut dan Petani Berambut Putih
saling berpandangan tanpa menghentikan ayunan ka-
ki. Di mulut mereka sama-sama tersungging senyum.
Kedua kakek sakti ini merasa geli melihat sikap gadis berpakaian kembang-kembang
itu. Semula seruannya
mengandung kemarahan, tapi ditutup tawa mengikik.
Dasar orang tak waras! Kendati demikian, terbit rasa iba di hati mereka terhadap
nasib gadis yang tidak waras itu. "Rupanya kalian ingin merasakan gebukanku"!"
Seruan itu membuat Pendekar Jari Maut dan
Petani Berambut Putih berhenti melangkah. Dan seir-
ing selesainya perkataan itu, gadis berpakaian kem-
bang-kembang langsung membuktikan ancamannya.
Dua kakek ini tentu saja tidak takut mendapat gebu-
kan. Mereka ingin melihat, tindakan apa yang akan dilakukan gadis yang memiliki
tenaga dalam amat kuat
itu. Terlihat gadis berpakaian kembang-kembang
berdiri tegak dengan kedua tangan terbuka bersilang
di depan dada. Sepasang matanya berputar liar, khas
orang kurang waras. Padahal, Pendekar Jari Maut dan
Petani Berambut Putih tahu kalau gadis itu tengah
mengumpulkan kekuatan batin. Tapi anehnya dengan
sikap seperti itu. Luar biasa!
"Heh"!"
Pendekar Jari Maut dan Petani Berambut Putih
tersentak kaget, ketika melihat dua batang ranting sebesar itu jari kaki yang
panjangnya bagai pedang me-
layang naik. Padahal, ranting itu berada di sekitar tiga tombak dari tempat
gadis gila berpakaian kembang-kembang ini.
Semula ranting itu bergerak naik ke udara per-
lahan. Tapi kemudian, meluncur ke arah Pendekar Jari Maut dan Petani Berambut
Putih. Bahkan mulai melesat menyerang bagaikan hidup! Hanya saja ranting itu
melesat berjajar di kanan dan kiri sebagaimana layaknya dipegang sepasang tangan
manusia. Kalau kedua kakek sakti itu saja terperanjat,
apalagi Lanang! Malah biji matanya bagai hendak me-
lompat keluar melihat kejadian ini. Lanang yakin, apa yang dilihatnya bukan
sihir! Keterkejutan Lanang semakin menjadi-jadi, ke-
tika Pendekar Jari Maut dan Petani Berambut Putih
mulai sibuk menyambut serangan. Seakan-akan rant-
ing di depan mereka dipegang oleh seseorang yang kini menyerang mereka berdua.
Tentu saja sebagai tokoh-tokoh besar dunia
persilatan, Pendekar Jari Maut dan Petani Berambut
Putih tidak mau menghadapi serangan seperti itu ber-
sama-sama. Petani Berambut Putih mengelak dengan
melompat mundur, menjauhi tempat itu. Sedangkan
Pendekar Jari Maut menangkis, kemudian balas me-
nyerang. Pertarungan aneh pun terjadi. Lanang dan Pe-
tani Berambut Putih menyaksikannya dengan sinar
mata penuh perhatian. Pertarungan semacam ini me-
mang tidak pernah disaksikan Lanang sebelumnya.
Serangan-serangan yang tertuju pada Pendekar
Jari Maut selalu berbahaya dan mematikan. Tokoh tua
itu dipaksa menguras seluruh kemampuannya. Namun
yang menyulitkan, serangan tidak bisa dibalas karena tidak adanya orang yang
memegang ranting! Jadi, di-alah yang terus-menerus menjadi korban serangan.
Petani Berambut Putih mengernyitkan alis. Il-
mu seperti ini rasanya pernah disaksikannya. Hanya
saja dia lupa, kapan, di mana, dan siapa pemiliknya.
Untuk itu seluruh perhatiannya dicurahkan pada per-
tarungan. Akibatnya dia tidak memperhatikan sekitar-
nya. Bahkan....
"Heh"!"
Petani Berambut Putih dan Pendekar Jari Maut
kaget bukan main ketika mendadak saja ranting-
ranting itu ambruk ke tanah begitu saja. Dan serentak mereka segera mengalihkan
pandangan ke arah gadis
berpakaian kembang-kembang berada. Kosong! Gadis
itu telah lenyap! Demikian pula Lanang.
Sementara Petani Berambut Putih hanya bisa
tersenyum lebar bagaikan orang tidak bersalah. Pa-
dahal, Pendekar Jari Maut menatap ke arahnya den-
gan sinar mata penuh penyesalan.
"Bagaimana gadis itu bisa lolos, Petani"!"
"Aku terlalu sibuk melihat pertarungan aneh
itu, Jari Maut. Aku lupa kapan di mana aku melihat.
Bahkan aku pernah menghadapi hal semacam ini. Aku
lupa siapa pemiliknya," kilah Petani Berambut Putih.
"Aku yakin dia meninggalkan tempat itu secara hati-hati, sambil memperhatikan
jalannya pertarungan. Ka-
lau tidak, bagaimana mungkin perlawanan yang dibe-
rikan sepasang ranting itu masih tetap sengit, sebelum akhirnya roboh secara
tiba-tiba?"
"Aku pun tahu itu, Petani. Bahkan aku tahu
pula, siapa yang telah memiliki ilmu itu. Karena, aku pun pernah menghadapinya.
Hanya saja aku tidak lu-pa!"
"Benarkah itu, Jari Maut"! Lalu, siapakah
orangnya"!" tanya Petani Berambut Putih penuh penasaran. "Siapa lagi kalau bukan
Iblis Buta"!"
"Ah...! Mengapa aku demikian pelupa"! Benar!
Iblis Buta! Tapi, apa hubungannya gadis itu dengan-
nya. Mungkinkah dia muridnya"!"
"Kemungkinan itu besar sekali," timpal Pendekar Jari Maut.
"Aku jadi ingin mengusut hal aneh ini. Ahhh...!
Sama sekali tidak kusangka urusan jadi bertambah
banyak." "Kita usut bersamaan saja, Petani. Bukankah
tempatnya di sini juga"! Mudah-mudahan saja Iblis
Buta tidak terlalu pelit untuk menyerahkan beberapa
butir telur elang perak pada kita!"
Petani Berambut Putih diam. Kendati demikian,
Pendekar Jari Maut tahu kalau rekannya setuju. Ma-
ka, tubuhnya segera melesat meninggalkan tempat itu, diikuti Petani Berambut
Putih. Mereka segera memperhatikan keadaan jalan, untuk mencari jejak gadis
berpakaian kembang-kembang yang diduga ada hu-
bungannya dengan Iblis Buta!
*** "Hhh...!"
Seorang kakek berpakaian abu-abu menghela
napas berat, seperti hendak melepaskan ganjalan da-
lam batinnya. Sepasang matanya yang merah memba-
ra seperti orang sakit mata menyapu dua sosok yang
berdiri di hadapannya. Terutama sekali, pada sosok
yang satu. Seorang pemuda berpakaian mewah dan
indah serta pesolek. Lanang!
Lanang merasakan bulu kuduknya satu persa-
tu berdiri, ketika kakek bermata merah yang rambut,
alis, kumis, jenggotnya telah memutih. Sepasang mata kakek teramat tua itu
seperti hendak meraba-raba sekujur tubuhnya.
Lanang yakin, orang ini sepertinya kakek dari
gadis berpakaian kembang-kembang yang berada di
sebelahnya. Dan kakek ini tampaknya tengah meni-
lainya. "Jadi..., pemuda ini yang kau inginkan menjadi calon suamimu, Suri"!"
tanya kakek bermata merah itu tanpa menggerakkan bibirnya sama sekali. Namun
suaranya terdengar keras dan lantang. Bahkan dinding gua tempat mereka bertiga
sekarang berada, bergetar
hebat. Debu-debu halus tampak berjatuhan ke bawah.
Dengan wajah menunduk, tangan saling belit
dan putar, serta kaki yang digurat-guratkan ke tanah, gadis berpakaian kembang-
kembang yang dipanggil
Suri mengangguk. Sikap gilanya berganti dengan sikap malu-malu.
"Bukankah kau kuperintahkan untuk men-
gambil pemuda lainnya" Pemuda yang ku maksud
adalah, berpakaian ungu dan berambut putih kepe-
rakan"! Pemuda yang kutolong nyawanya dari tangan
maut Naga Sakti Berwajah Hitam"! Mengapa dia yang
kau bawa kemari"!" sembur kakek bermata merah ini.
Sementara Lanang merasakan jantungnya ber-
detak jauh lebih cepat dari semula. Dia tahu, siapa
yang dimaksud kakek itu. Pasti Dewa Arak! Jadi, pe-
muda sakti yang hampir tewas oleh ayahnya, berhasil
ditolong kakek ini" Bagaimana cara kakek itu meno-
longnya" "Tapi, aku lebih suka pada dia, Kek!" bantah Suri, berani. Sepasang bola matanya
mulai berputar liar. "Kalau tidak dengan dia, aku tidak mau!"
Kakek bermata merah itu menggeleng-geleng
kepala dengan sikap prihatin.
"Lagi pula, pemuda yang kau maksudkan su-
dah tidak ada di situ lagi!" tambah Suri.
Kakek bermata merah diam. Terbayang kembali
di benaknya, bagaimana dia menyelamatkan nyawa
Dewa Arak dari kematian. Dengan ilmu 'Memindahkan
Semangat', tindakan Naga Sakti Berwajah Hitam
mampu dicegahnya. Hanya saja sampai pada batas
menahan, dan tidak mampu menyerang.
Semula kakek ini tidak tahu akan adanya per-
tarungan di tempat yang cukup jauh dari tempatnya
berada, kendati juga berada di Gunung Cikuray. Na-
mun karena mata batinnya yang tengah mencari begi-
tu kuat, langsung terasa adanya getaran-getaran aneh.
Dan itu terjadi karena ilmu gaib yang tercipta dari ilmu hitam Naga Sakti
Berwajah Hitam.
"Di mana sekarang pemuda berambut putih
keperakan itu"!" tanya kakek ini dalam hati
"Bagaimana, Kek"!" desak Suri tidak sabar lagi, ketika melihat kakeknya bermata
merah itu malah
termenung. "Kau benar-benar bersedia menjadi suaminya,
Anak Muda"!" tanya kakek itu, pada Lanang.
Lanang yang tidak mengira akan mendapatkan
pertanyaan itu dengan gugup mengangguk.
"Bersedia, Kek. Tapi dengan satu syarat," jawab Lanang, memberanikan diri.
Memang Lanang cukup cerdik. Setelah berhasil
mengusir rasa jijiknya terhadap Suri, dia bersedia
memenuhi keinginan gadis gila itu. Tentu saja demi
mendapatkan ilmu yang tinggi.
Kakek bermata merah menatap dengan sinar
mata tajam, membuat Lanang bergidik. Tapi pemuda
itu cepat menguasai perasaan dan bersikap tenang.
"Katakan apa syaratmu"!" tanya kakek itu penuh ancaman.
"Aku harus memiliki kepandaian lebih tinggi
daripada Suri, Kek. Sebagai seorang suami, aku tidak berharga bila memiliki
kepandaian di bawahnya. Bagaimana aku dapat melindunginya dari bahaya"!" jawab
Lanang mengajukan alasan cepat dan masuk ak-
al. "Syaratmu kuterima. Tapi, ingat! Jangan coba-
coba main gila. Karena aku dapat membunuhmu den-
gan mudah! Mengerti"!"
"Mengerti, Kek. Kuminta, pengesahan menjadi
suami Suri apabila aku telah memiliki kepandaian le-
bih daripada Suri."
"Itu mudah saja, Anak Muda. Besok pun kau
akan memiliki kepandaian lebih hebat daripada Suri.
Cucuku kelihatan sakti, karena memiliki tenaga dalam tinggi. Tapi, itu berkat
Telur Elang Perak. Kau pun
akan kuberikan telur itu, agar besok telah memiliki tenaga dalam amat tinggi.
Aku tahu, kau telah memiliki ilmu-ilmu tingkat tinggi. Dan secara perlahan-
lahan, kau pun akan kuajarkan ilmuku!"
Lanang hampir berseru saking kagetnya. Sama
sekali tidak disangka kalau dirinya akan mendapatkan Telur Elang Perak. Bukankah
kabarnya telur itu berada di tangan Iblis Buta" Jadi, inikah Iblis Buta" Di-akah
tokoh yang menggemparkan itu"! Tapi, mengapa
ciri-cirinya tidak sesuai.
"Boleh aku tanya sesuatu, Kek"!"
Perasaan ingin tahu, membuat Lanang berani
mengajukan pertanyaan. Apalagi dia yakin kakek itu
tidak akan membunuhhya, karena Suri mencintainya.
Dan kakek yang diduga Iblis Buta ini amat sayang pa-
da cucunya.
Dewa Arak 80 Misteri Gadis Gila di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kakek bermata merah itu diam.
"Sepengetahuanku, Telur Elang Perak itu ada di
tangan Iblis Buta. Mengapa...."
"Akulah yang berjuluk Iblis Buta!" potong kakek bermata merah, yang ternyata
berjuluk Iblis Buta tidak sabar. "Dulu, aku menyamar karena tidak ingin dikenal
orang. Jelas"! Apabila kurang, nanti akan ku je-
laskan lebih lanjut. Kali ini, cukup! Aku tengah tidak ingin bercakap-cakap
lama-lama."
Lanang terdiam. Hatinya sudah merasa puas
mendapat kepastian demikian. Sama sekali tidak per-
nah disangka akan bernasib baik seperti ini. Ternyata, Iblis Buta hanya
merupakan samaran dari kakek mengerikan ini!
Sementara itu, Iblis Buta memejamkan mata.
Dan Lanang tahu diri, lalu bergerak untuk duduk. Ti-
dak mau mengganggu sedikit pun. Sedangkan Suri
tampak tersenyum-senyum sendiri, lantas duduk di
sebelah pemuda pesolek itu.
SELESAI Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
Keris Pusaka Nogopasung 2 Dewa Linglung 2 Geger Pedang Inti Es Senyuman Dewa Pedang 4
terbuka. Dan...
Bresss! "Aaakh...!"
Naga Sakti Berwajah Hitam tiba-tiba menge-
luarkan jeritan menyayat ketika kedua tangannya ba-
gaikan membentur dinding yang tidak tampak. Bahkan
seluruh tenaga dalamnya seperti membalik. Tubuhnya
langsung terlempar deras ke belakang, dan melayang-
layang bagai daun kering diterbangkan angin. Belasan tombak jauhnya tubuhnya
melayang-layang, sebelum
akhirnya jatuh di tanah menimbulkan bunyi keras.
Kakek berwajah hitam itu bangkit tertatih-tatih
dengan wajah pucat pasi. Darah tampak mengalir dari
sudut-sudut bibirnya, akibat luka dalam yang cukup
parah karena tenaga dalamnya sendiri berbalik memu-
kul dirinya. Naga Sakti Berwajah Hitam menggeleng-geleng
untuk mengusir pusing yang menyergap. Ditatapnya
Dewa Arak untuk yang terakhir kali dengan pandan-
gan bingung dan heran. Kemudian tubuhnya berbalik
meninggalkan tempat itu.
"Kali ini kau boleh menghirup udara bebas,
Dewa Arak. Tapi lain kali, jangan harap kau akan se-
mujur ini...!"
Cukup keras dan lantang ucapan kakek berwa-
jah hitam ini. Tapi, Dewa Arak tidak menyambutnya
sama sekali. Bukan hanya karena tidak mau, tapi juga karena tidak mampu.
Jangankan untuk berteriak. Untuk menggerakkan bibir saja, sukar sekali.
Andaikatapun bisa, yang keluar dari mulutnya lebih dari sebuah bisikan pelan.
Dalam keadaan setengah sadar itu, Arya masih
mendengar bisikan berasal dari mulut seorang kakek.
"Aku pergi dulu, Anak Muda. Tugasku sudah
selesai. Kelak, apabila kejadian seperti ini terulang, mungkin aku akan muncul
kembali." Hanya sampai di situ ucapan sosok yang tidak
terlihat. Tapi itu cukup untuk menjawab keheranan
yang sejak tadi membalut hati Arya. Meski dalam kea-
daan terluka parah, Arya masih sadar dan tahu kalau
Naga Sakti Berwajah Hitam hendak membunuhnya.
Tapi entah karena apa, tak jua terlaksana. Kiranya ada orang yang menghalangi
tindakannya. Arya masih dapat mengucapkan terima kasih, kendati yang tercipta
hanya kemak-kemik bibirnya. Sesaat kemudian, pe-
muda perkasa ini telah jatuh pingsan.
*** Seorang pemuda berompi kulit harimau me-
langkah cepat menuju kaki lereng Gunung Cikuray.
Sekujur wajahnya kotor berdebu. Wajahnya muram.
Rambutnya pun kusut berantakan, tak terurus. Seper-
tinya, pemuda ini telah lama tidak memperhatikan
keadaan dirinya lagi.
Keadaannya yang tidak terurus, semakin leng-
kap dengan sepasang matanya yang sayu seperti lam-
pu kehabisan minyak. Hanya saja, sesekali sepasang
mata itu mencorong tajam. Tulang-tulang wajahnya
pun mengeras penuh kebencian. Dan itu selalu tercip-
ta, setiap kali pemuda ini menyebut satu nama dengan suara berdesis penuh
dendam. "Naga Sakti Berwajah Hitam.... Apabila kau
mengganggu Jumini, aku bersumpah akan mengadu
jiwa denganmu! Aku, Dirgantara, tidak sudi hidup di
dunia ini apabila kau masih bercokol! Hanya ada satu di antara kita yang harus
hidup! Kau, atau aku!"
Terdengar bunyi berkerotokan keras ketika pe-
muda berompi kulit harimau yang mengaku sebagai
Dirgantara menutup ucapannya. Padahal, dia tidak
melakukan gerakan apa pun. Tenaga dalamnya yang
telah mencapai tingkat tinggi bergerak sendiri, menyebabkan terjadinya bunyi
seperti itu. Belum juga tuntas kekesalan pemuda itu, tiba-tiba....
"Ooouw...!"
Sebuah teriakan nyaring terdengar, dan ber-
pengaruh besar terhadap Dirgantara. Tubuhnya kon-
tan terjingkat, bagaikan disengat ular berbisa. Sepasang bola matanya berputar
liar, mencari sumber te-
riakan tadi. Dan sepasang matanya memancarkan si-
nar penuh harap, ketika terpandang sebuah gubuk ke-
cil di tengah persawahan.
Tempat Dirgantara berada memang sebuah
areal persawahan yang luas. Di sekitarnya yang terlihat hanya jejeran padi yang
mulai menguning. Pemuda
itu sendiri berada di jalan setapak, yang terdapat di antara kotak sawah yang
satu dengan yang lain.
"Jumini...," desis Dirgantara penuh perasaan haru. Ketidak bergairahan
Dirgantara langsung lenyap. Meski wajahnya masih kusut, tapi terlihat jelas
adanya semangat menyala-nyala. Baik pada wajah,
maupun sinar matanya.
Berbareng ucapan itu, Dirgantara melesat cepat
bukan main gerakannya, sampai-sampai kedua ka-
kinya bagai tak menginjak tanah. Pematang yang kecil dan licin tidak menghalangi
kecepatan larinya. Sementara pandangannya tertuju ke arah gubuk di tepi sa-
wah. Sedangkan mulutnya tak henti-hentinya menye-
butkan satu nama. Jumini!
Namun sebelum Dirgantara sampai di dekat
gubuk itu, mendadak dari arah lain melesat satu sosok bayangan hitam yang juga
memburu ke arah gubuk.
Mungkin sosok itu juga mendengar teriakan tadi.
Karena sosok bayangan hitam itu lebih cepat,
terpaksa Dirgantara menghentikan larinya. Dia ingin
tahu, apa yang selanjutnya terjadi. Maka secepat itu pula, tubuhnya
disembunyikan di dalam kerimbunan
padi, sambil matanya tak lepas mengamati ke arah gu-
buk. *** Sementara di dalam gubuk, tampak seorang
pemuda tampan dengan dandanan macam-macam
tengah menggumuli seorang gadis manis yang terus
meronta-ronta berusaha melepaskan diri.
"Rupanya kau tidak bisa diperlakukan secara
lembut, Jumini! Mungkin kau lebih suka dikasari lebih dulu, sebelum akhirnya
tunduk, heh"! Baik kalau itu
yang kau inginkan, ku penuhi...!"
Dengan napas memburu hebat karena penga-
ruh nafsu birahi yang menyesakkan dada, pemuda pe-
solek yang tak lain Lanang cepat menotok gadis dalam himpitannya yang memang
Jumini. Tuk! Saat itu juga, tubuh Jumini lemas tak berdaya.
Sedangkan dengan mata jelalatan, Lanang langsung
melucuti pakaian gadis itu.
Hanya dalam sekejapan saja, gadis berpakaian
kuning itu telah bugil. Dan Lanang yang telah diamuk nafsu, segera menubruknya
dengan buas. Persis seekor serigala kelaparan menerkam anak kambing ge-
muk! "Jangan..., jangan lakukan itu.... Aku mohon, Lanang...," pinta Jumini
mengiba dengan suara meme-las.
Air mata gadis itu telah mengalir deras memba-
sahi sepasang pipinya yang mulus. Air mata yang
mengucur karena cekaman rasa takut dan ngeri akan
terjadinya sesuatu hal yang mengerikan terhadap di-
rinya. "Lebih baik kau bunuh saja aku...," lanjut Jumini Lanang yang telah kesetanan
tidak mempeduli-
kan sama sekali. Bahkan tindakannya semakin kasar.
Di telinganya, rintihan Jumini tak ubahnya nyanyian
bidadari yang membuat semangatnya semakin meng-
gebu-gebu. Sebenarnya, Lanang tidak begitu suka melaku-
kan tindakan ini. Tapi, apa boleh buat" Ini memang
cara satu-satunya untuk menjadikan hati Jumini yang
keras mencair. Yang penting, Jumini mau menjadi pa-
sangannya setelah peristiwa ini. Lanang yakin, Jumini tidak akan mempunyai
pilihan lain lagi setelah semuanya terjadi. Tapi di saat yang gawat terhadap
kehormatan Jumini....
Brak! Tiba-tiba pintu gubuk terlepas dari engselnya
dan dalam keadaan hancur berkeping-keping. Tentu
saja gangguan mendadak ini, membuat Lanang me-
lompat dari tubuh Jumini yang tengah ditindihnya. Secepat kilat, dia bersiap
untuk menghadapi keadaan
yang tidak memungkinkan.
"Manusia berhati binatang...!" desis sosok yang ternyata seorang gadis
berpakaian serba hitam. "Manusia seperti kau sudah selayaknya dimusnahkan dari
muka bumi!"
Gadis berpakaian serba hitam yang tak lain
Linggar hanya bertindak sampai di situ. Dibiarkannya Lanang yang lari sambil
meraih pakaiannya dengan
menjebol dinding gubuk hingga jebol. Pemuda pesolek
itu mencari tempat untuk mengenakan pakaian, kare-
na saat itu sudah telanjang bulat
"Kenakan itu, Nona," ujar Linggar teringat akan nasib Jumini yang masih tergolek
di lantai gubuk bera-
laskan jerami. Namun ketika melihat gadis itu tak bergerak, Linggar sadar kalau
Jumini telah tertotok. Maka seketika tangannya bergerak cepat, melepaskan toto-
kan pada tubuh Jumini.
Dengan wajah masih pucat dan airmata yang
mengucur deras, Jumini mengenakan pakaiannya. Be-
berapa kali dia terbalik mengenakannya, karena piki-
rannya melayang-layang.
Beberapa tombak di luar gubuk, Lanang tam-
pak terburu-buru mengenakan pakaian. Pemuda peso-
lek itu ingin segera memberi hajaran pada Linggar. Kejadian ini memang membuat
Lanang jadi kehabisan
kesabaran dan menyumpah-nyumpah karena pera-
saan kesal. Daging yang sudah berada di depan mata
dan tinggal ditelan, telah terlepas lagi karena campur tangan orang usil.
Maka ketika akhirnya berhasil mengenakan pa-
kaiannya kembali, pemuda pesolek ini mencelat ke de-
pan gubuk. Lega hatinya ketika melihat orang yang telah bertindak usil, telah
berada di depan gubuk juga.
Jumini masih berada di dalam gubuk.
Sementara itu, sepasang mata milik Dirgantara
terus memperhatikan sosok berpakaian serba hitam,
dan pemuda pesolek yang dikenal sebagai pemuda hi-
dung belang. Karena tidak melihat adanya Jumini, dan menyadari betapa tingginya
kepandaian Lanang, Dirgantara merasa tak akan mampu menghadapinya. Ma-
ka dia segera berbalik, meninggalkan tempat persem-
bunyiannya. *** 77 "Ha!"
Sementara Lanang melongo sebentar, kemudian
tertawa bergelak.
"Mimpi apa aku semalam sampai bisa bertemu
seorang bidadari dari kahyangan" Siapa kau, Gadis
Ayu"! Apakah kau juga ingin bersenang-senang den-
ganku"!"
Jumini yang sudah muncul di samping Linggar,
menggertakkan gigi. Kebenciannya terhadap Lanang
semakin membesar. Belum lama, Lanang mengatakan
kalau dirinya adalah wanita satu-satunya yang dicin-
tai. Sekarang pemuda itu telah memuji-muji gadis berpakaian serba hitam. Di
depan hidungnya lagi! Benar-
benar seorang lelaki buaya!
"Makhluk menjijikkan seperti kau memang ti-
dak patut dibiarkan lama-lama hidup di dunia ini!" desis Jumini, penuh perasaan
geram. "Apa yang kau katakan itu tidak salah, Dik.
Aku pun tidak mempunyai niat untuk mengampu-
ninya! Serahkan padaku untuk menghukumnya!"
Jumini menatap wajah Linggar lekat-lekat se-
bentar. "Kau yakin bisa menanggulanginya sendiri"!"
Linggar mau tidak mau tersenyum melihat
tingkah Jumini yang kekanak-kanakan.
"Aku tidak yakin, Dik. Tapi andaikata aku tidak mampu, bukankah masih ada kau"!
Dengan adanya kau, apa lagi yang perlu ku khawatirkan"!"
Jumini tersenyum. Kemudian setelah melempar
senyum manis untuk Linggar, Jumini melangkah
mundur. Diberinya kesempatan pada Linggar untuk
menghadapi Lanang. Kendati demikian, gadis yang se-
benarnya putri Pendekar Jari Maut ini bersiap-siap
memberi pertolongan bila terjadi sesuatu yang tidak di-inginkan terhadap
penolongnya. Lanang adalah seorang pemuda yang cerdik
bukan main. Sekali lihat saja bisa diketahui kalau kepandaian Linggar amat
tinggi. Dan mungkin berada di
atas Jumini. Tapi kalau sampai mereka bersatu untuk
mengeroyoknya, dia akan menderita kerugian. Jelas,
dia tidak akan mampu menghadapi mereka berdua.
Maka sebelum kedua gadis ini bersatu, diputuskannya
bertindak cepat.
"Cuhhh!"
Tanpa disangka-sangka, Lanang menyembur-
kan ludahnya berkali-kali. Pemuda ini tahu, sebagian besar orang merasa jijik
dengan cairan kental itu. Terutama sekali, wanita.
Dugaan Lanang tidak meleset. Linggar merasa
jijik bukan main melihat gumpalan-gumpalan ludah
kental yang meluncur bertubi-tubi ke arahnya. Cepat
gadis itu melompat jauh ke belakang sejauh empat
tombak. Dan dari jarak itu, Linggar mementahkan
semburan-semburan ludah dengan memutar pedang-
nya di depan dada hingga menimbulkan gulungan si-
nar kemilau. Permainan pedang Linggar ternyata tidak hanya
enak dilihat, tapi juga menggiriskan. Beberapa jengkal dari gulungan sinar
pedangnya, gumpalan-gumpalan
ludah itu runtuh ke tanah semuanya. Cairan-cairan
menjijikkan itu bagaikan bertemu dinding tidak nam-
pak. Lanang sebenarnya terkejut melihat hal ini. Seketika itu pula disadari
kedahsyatan tenaga dalam lawannya. Tapi dia tidak mempedulikannya. Kesempatan
itu dipergunakannya untuk melolos sabuk dan mengi-
Dewa Arak 80 Misteri Gadis Gila di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
rimkan serangan.
Sabuk itu meliuk-liuk laksana seekor ular.
Ujungnya mematuk-matuk, ke bagian-bagian tubuh
yang berbahaya.
Siasat Lanang berhasil. Serangan-serangan lu-
dahnya memang dimaksudkan untuk membuat Ling-
gar menjauh. Sementara senjata sabuknya memang
mempunyai jangkau jauh lebih panjang daripada pe-
dang lawan. Maka bila pertarungan berlangsung dalam
jarak jauh, Lanang akan mendapat satu keuntungan.
Namun, Lanang keliru bila mengira Linggar da-
pat disiasati seperti itu. Gadis berpakaian serba hitam ini memiliki ketenangan
luar biasa. Ketenangan inilah yang dapat membuatnya berpikir panjang. Hanya
dalam sejekap, Linggar tahu kalau kedudukan pemuda
pesolek itu lebih menguntungkan bila hal ini berlangsung. Maka serangan-serangan
ujung sabuk Lanang
dihadapinya dengan elakan, lompatan gulungan tubuh
ke depan. Lanang juga tidak kalah cerdik Dia pun menja-
ga jarak dengan cara melompat ke belakang juga se-
raya mengirimkan serangan-serangan berbahaya. Tin-
dakannya membuat jarak antara mereka tidak beru-
bah. Sedangkan saat itu Jumini mengernyitkan alis-
nya, tidak tenang ketika melihat jalannya pertarungan.
Dalam hati, diakui kalau kepandaian Linggar amat
tinggi. Bahkan mungkin tidak berada di bawah ting-
katnya sendiri. Tapi agaknya Linggar bukan tandingan Lanang, putra angkat Naga
Sakti Berwajah Hitam. Terlihat jelas oleh Jumini betapa Linggar tidak mampu
mendekati Lanang.
Kini sekujur otot-otot tubuh Jumini sudah me-
negang, bersiap terjun ke dalam kancah pertarungan
dan menyelamatkan membantu Linggar.
Rrrttt! Jantung dalam dada Jumini berdetak keras.
Hatinya tegang bukan main, ketika melihat batang pe-
dang Linggar terlibat sabuk Lanang. Jumini tahu,
Linggar sengaja melakukannya agar tidak terus-
menerus dicecar. Kendati demikian, Jumini tidak bisa membenarkan pertarungan
yang menggunakan tenaga
dalam seperti itu. Jumini tahu betul kalau tenaga dalam Linggar masih berada di
bawah tenaga dalam La-
nang. Dan ini berarti kerugian terbesar akan dialami Linggar.
"Ah...!"
Tanpa sadar Jumini berteriak kaget ketika me-
lihat Linggar melepaskan pedangnya. Saat itu, adu tarik-menarik tengah
berlangsung sengit. Dan Lanang
berada di pihak yang unggul. Akibatnya, tubuh Lanang terjengkang ke belakang
terbawa tenaga tarikannya
sendiri. Sementara Jumini lebih kaget lagi ketika melihat Linggar malah duduk
bersila. Apa yang hendak di-
lakukan gadis berpakaian hitam itu" Jumini hanya
mampu bertanya dalam hati dengan perasaan terce-
kam. Tapi, sesaat kemudian keheranan Jumini ber-
ganti kekaguman. Samar-samar dari atas kepala Ling-
gar terlihat melesat sesosok bayangan yang mirip Linggar yang tengah duduk
bersila. Hanya saja bentuknya
hanya berupa bayangan tidak jelas. Kalau Jumini ti-
dak memiliki tenaga dalam tinggi dan memperhatikan
pertarungan sejak semula, tentu tidak akan bisa melihatnya. Sementara itu,
bayangan Linggar melayang ce-
pat menuju Lanang. Saat itu pemuda pesolek ini telah
berhasil memperbaiki kedudukannya yang tidak men-
guntungkan. Dengan agak bergegas, dia duduk bersila
juga. Sebentar kemudian, dari atas kepalanya pun me-
layang-layang sesosok bayangan yang juga mirip den-
gan Lanang asli. Sosok bayangan Lanang ini langsung
menyambuti kedatangan sosok bayangan Linggar.
Pertengahan jalan, dua sosok bayangan ini sa-
ling bertemu. Dan seperti layaknya dua orang ma-
nusia, mereka ini saling serang dengan tangan kosong.
Keduanya silih berganti mengirimkan pukulan dan
tendangan. Jumini yang baru pertama kali melihat per-
tarungan semacam ini, menjadi bingung. Meski demi-
kian, karena tingkat kepandaiannya memang sudah
cukup tinggi, bisa diduga akan apa yang tengah terja-di. Linggar dan Lanang
tengah mengadu kekuatan ba-
tin. Kedua tokoh itu seperti melepaskan nyawa mereka sendiri. Cara pertarungan
demikian memang menakjubkan. Kelihatannya dua belah pihak tidak berbuat
apa-apa, selain duduk bersila dan berdiam diri. Pa-
dahal, masing-masing memusatkan perhatian sepe-
nuhnya, untuk mengerahkan seluruh kekuatan batin
yang dimiliki. Walaupun hanya duduk bersila dan diam tidak
bergerak-gerak bagaikan patung batu, sekujur tubuh
mereka, telah dibanjiri peluh. Bahkan ketika keadaan itu berlangsung agak lama,
dari atas kepala dua tokoh itu mengepul uap. Mula-mula tipis dan tidak terlihat
mata, tapi semakin lama semakin tebal dan banyak.
Jumini hanya bisa menatap dengan perasaan
gelisah, ketika melihat uap yang mengepul dari atas
kepala Linggar jauh lebih banyak. Malah kedua tangan Linggar yang bersedakap,
menggigil keras seperti orang
demam tinggi. Jumini tahu, Linggar tengah terdesak
hebat. Hati Jumini gelisah, karena hanya mampu me-
nyaksikan tanpa mampu berbuat apa-apa. Gadis ini
tidak tahu, bagaimana caranya membantu Linggar.
Pandangan matanya memang dapat melihat kalau
bayangan Linggar terus-menerus terdesak dan terhim-
pit. Bahkan beberapa kali terkena serangan bayangan
Lanang. Jumini sampai menghentakkan kaki saking ka-
getnya, ketika melihat bayangan Linggar melompat
memapak serangan bayangan Lanang. Jumini tahu,
Linggar bertindak nekat
"Huakh...!"
Tiba-tiba Linggar memuntahkan darah segar.
Tubuhnya yang masih dalam keadaan duduk bersila
sampai terlipat ke depan. Di lain pihak, Lanang hanya mengeluarkan keluhan
tertahan. Dua bayangan yang
tadi saling tarung, mendadak lenyap seketika itu juga.
"Linggar...!"
Jumini menghambur ke arah Linggar berada.
Hatinya khawatir gadis penolongnya itu akan celaka.
Maka, bergegas dihampirinya Linggar untuk diperiksa.
"Aku tidak apa-apa, Dik," ucap Linggar terbata-bata. Terlihat susah sekali,
gadis ini berbicara. Bahkan pembicaraannya ditutup dengan mengalirnya da-
rah segar dari celah-celah bibirnya.
"Maafkan aku yang tidak becus ini. Aku tidak
mampu mengalahkan lelaki buaya itu. Dia terlalu lihai untukku," desah Linggar
seperti menyesal.
"Biar aku yang akan melanjutkannya, Kak," sahut Jumini sambil menatap ke arah
Lanang yang ma-
sih juga duduk bersila. Pemuda pesolek ini walau tidak
terluka, tapi tenaganya habis karena terlalu terkuras.
"Jangan lakukan itu, Dik. Itu bukan tindakan
ksatria," cegah Linggar dengan suara lemah.
Tapi, Jumini memang memiliki watak keras.
Perlakuan Lanang terhadapnya saja sudah cukup be-
ralasan untuk membunuhnya. Tidak peduli bagaimana
caranya. Ini, masih ditambah lagi perbuatannya terhadap Linggar hingga luka
parah. Kemarahan Jumini
bertumpuk-tumpuk. Dengan langkah lebar dan sorot
mata penuh ancaman, dihampiri Lanang.
Lanang menyadari akan adanya ancaman ba-
haya besar. Sama sekali tidak disangka kalau akhir
pertarungan ini bisa seperti ini. Linggar ternyata demikian cerdik, sehingga
mampu membuat kemenangan-
nya hampir tidak berarti. Sebab, dengan mudah Jumi-
ni akan dapat membunuhnya.
"Lanang...! Manusia keji...! Penjahat terkutuk!
Orang sepertimu harus segera dilenyapkan dari muka
bumi! Bersiaplah untuk menghadap Malaikat Maut,
Pemuda Banci!" hiding Jumini dengan suara sengit, begitu langkahnya berhenti
dengan jarak dua tombak
di depan Lanang.
"He he he...!"
Sungguhpun tenaganya telah terkuras banyak,
Lanang masih memaksakan diri untuk tertawa. Penuh
ejekan. "Tunggu apa lagi, Jumini"! Bukankah kau ingin membunuhku"! Silakan! Aku
sudah tahu kalau orang
macam kau, memang pandai memanfaatkan peluang.
Bukankah lebih enak membunuh orang yang sudah ti-
dak mampu mengadakan perlawanan"! Kau memang
mirip ayahmu yang pengecut! Beraninya hanya meng-
hadapi orang yang tidak berdaya! Tak heran kalau
anaknya pun akan menjadi orang yang paling penge-
cut!" Jumini mendelik mendengar ejekan itu. Dia ta-hu, Lanang tengah berusaha
menyinggung harga di-
rinya, demi untuk menyelamatkan nyawa. Tapi
sayangnya, kecerdikan Lanang membuat keinginannya
untuk menjatuhkan hukuman bagi pemuda pesolek
itu berkurang jauh. Tentu saja, Jumini risih dicap
pengecut. Gadis ini bimbang. Apakah ejekan itu ditangga-
pi dan Lanang akan mengambil keuntungan" Ataukah
dibiarkan saja, dan maksudnya bisa diteruskan"
Tapi dasar Jumini seorang gadis nakal, urakan,
dan cerdik. Maka dalam waktu sekejapan saja, sudah
bisa menemukan jalan terbaik untuk memecahkan
masalah. Bibirnya tampak tersenyum mengejek den-
gan sepasang mata bersinar-sinar.
Lanang yang semula sudah merasa yakin de-
ngan ejekannya yang mampu menyinggung harga diri
Jumini, kini mulai merasa cemas. Senyum yang semu-
la menghias bibirnya, mulai memudar. Dia tahu, Ju-
mini memiliki kecerdikan. Barangkali saja, gadis itu telah menemukan sebuah cara
untuk melakukan tinda-
kan terhadapnya.
Sementara itu, Jumini dengan sikap tenang
mulai menghunus pedangnya. Sedang Lanang mem-
perhatikan dengan dada berdetak keras, karena jan-
tungnya memukul lebih cepat. Hidungnya mulai mem-
baui adanya bahaya.
"Manusia jahanam! Lanang! Aku bukan sejenis
orang berwatak pengecut yang mampu membunuh
orang tidak berdaya. Aku tidak sudi membunuhmu!
Tapi, terlalu enak bila membiarkan mu pergi begitu sa-ja. Orang semacammu harus
diberi pelajaran! Sebelah
tanganmu akan kuambil sebagai ganjaran atas keku-
rangajaranmu terhadapku! Terimalah balasan sikap
tak sopanmu terhadapku!"
Jumini segera menggetarkan pedangnya, hing-
ga seperti berjumlah belasan. Bunyi mengaung ter-
dengar mengiringi getaran pedang itu. Kemudian sam-
bil memekik nyaring, gadis ini melompat sambil mengirimkan babatan ke arah
pangkal tangan kanan La-
nang. Sementara itu wajah pemuda pesolek ini pucat
pasi membayangkan sebelah tangannya akan lenyap
untuk selamanya. Namun....
Trang! Jumini mengeluh tertahan, ketika beberapa jari
sebelum batang pedangnya mengenai sasaran melesat
sinar kehijauan dari sebelah kanannya. Sinar hijau
yang melesat cepat dengan bunyi berdesing nyaring,
membentur keras mata batang pedang Jumini.
Benturan tadi kontan membuat Jumini terpak-
sa bersalto ke belakang beberapa kali untuk mema-
tahkan kekuatan yang membuat tubuhnya terlontar.
Terasa berat bukan main. Malah pedangnya hampir
terlepas dari pegangan, saking kerasnya.
Begitu Jumini menjejakkan kaki, terdengar ta-
wa mengikik dan terdengar liar! Begitu tak beraturan!
Dengan hati panas karena marah atas campur
tangan terhadap urusannya, Jumini mengalihkan
pandangan ke arah asal tawa. Ternyata di sana telah
berdiri sesosok ramping dengan bentuk tubuh menggi-
urkan. Seorang gadis muda yang memiliki wajah can-
tik. Hanya saja, keadaannya membuat Jumini berde-
tak mengkirik. Gadis yang telah menyelamatkan Lanang itu
memang mempunyai tingkah aneh. Bukan hanya ka-
rena tawanya yang berkesan aneh dan mengerikan, ta-
pi juga dandanannya. Pakaiannya bercorak kembang-
kembang yang dikenakannya terbalik. Wajah yang se-
benarnya cantik itu pun jadi terlihat mengerikan kare-na terlalu banyak bedak.
Sinar matanya kosong, na-
mun berkesan liar.
Tingkah dan penampilan gadis berpakaian
kembang-kembang ini saja sudah membuat Jumini
bergidik. Tapi yang lebih membuat hatinya tercekat
adalah, ketika melihat benda yang tadi telah ber-
benturan dengan pedangnya. Benda berwarna ke-
hijauan itu ternyata batang alang-alang yang tak lebih besar dari batang lidi.
Jumini tak habis pikir, bagaimana mungkin se-
batang alang-alang yang demikian kecil mampu mem-
bentur batang pedangnya" Seakan-akan yang terjadi
tadi benturan antara dua batang benda tajam yang
sama-sama-sama besar dan berat. Yang lebih gila lagi, batang alang-alang itu
mampu membuat pedangnya
hampir terlepas dari pegangan. Benar-benar luar biasa tenaga dalam yang
terkandung pada lemparan batang
alang-alang itu. Bagaimana pula, bila yang dilempar-
kan untuk menangkis adalah pedang pula!
Jumini yang berotak encer, segera bisa menge-
tahui kalau gadis berpakaian kembang-kembang itu
memiliki kepandaian tinggi! Kekuatan tenaga da-
lamnya telah memberi petunjuk yang jelas. Dan dia tidak yakin akan mampu
menghadapinya. "Siapa kau, Kak"! Mengapa kau mencegah tin-
dakanku yang hendak membunuh bangsat itu"!" ujar Jumini dengan suara lembut
Dewa Arak 80 Misteri Gadis Gila di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sambil menuding Lanang.
"Kakak" Hi hi hi...!" ulang gadis berpakaian kembang-kembang sambil tertawa
mengikik dengan
sepasang bola mata berkeliaran liar ke sana kemari.
"Kapan aku pernah mempunyai adik perempuan seper-
timu"! Aku tidak mempunyai adik! Apalagi adik yang
gila!" Wajah Jumini merah karena malu dan tersing-gung. Dia tadi menyebut kakak
untuk menghargai ga-
dis berpakaian kembang-kembang ini. Namun sama
sekali tidak disangka kalau tanggapan yang didapat
akan seperti ini!
Yang lebih menyakitkan hati adalah, ketika
Jumini malah dimaki sebagai orang gila oleh gadis
berpakaian kembang-kembang ini. Padahal dia yakin,
sekali lihat saja orang akan tahu siapa yang lebih patut dikatakan gila.
"Ah...! Rupanya aku salah bicara! Kukira aku
berhadapan dengan orang! Tak tahunya hanya seekor
iblis betina yang tak waras! Memang pantas sekali Iblis betina tak waras bergaul
dengan seorang lelaki tak ta-hu diri! Tepat sekali!"
"Keparat!" maki gadis berpakaian kembang-
kembang, kelihatan marah sekali. "Berani kau mengatakan aku gila"! Dasar orang
gila! Kau benar-benar
mempunyai nyali macan! Apakah kau telah mempu-
nyai nyawa rangkap" Menghinaku saja, telah cukup
untuk membunuhmu. Apalagi setelah kau berani-
beranian memaki calon suamiku! Kau akan kubunuh,
Gadis Gila! Hi hi hi..!"
Jumini, Linggar, lebih-lebih lagi Lanang, terpe-
ranjat mendengar penuturan gadis berpakaian kem-
bang-kembang itu yang mengaku-aku Lanang sebagai
calon suaminya! Sedangkan Jumini dan Linggar men-
jadi heran. Benarkah gadis yang kelihatan tak waras
itu adalah calon istri Lanang"! Tidak salahkah itu"!
"Mengapa malah bengong, Wanita Gila"! Kau
harus mendapat hukuman atas kelancanganmu hen-
dak membunuh suamiku!"
"Kaulah yang lebih dulu akan kusingkirkan,
Wanita Gila!" sentak Jumini kehabisan sabar, langsung dia melesat menerjang
sambil menusukkan pe-
dangnya ke arah leher!
"Uh, galaknya! Sayang tidak kena!" seru gadis berpakaian kembang-kembang ini
sambil merendah-kan tubuh sampai berjongkok, sehingga serangan
ujung pedang Jumini lewat beberapa jari di atas kepalanya. Jumini merasa
direndahkan. Langsung seran-
gannya disusuli dengan tendangan kaki kanan ke arah
kepala. Tapi masih dalam keadaan berjongkok, gadis
berpakaian kembang-kembang itu mengelak. Tak keli-
hatan menjejakkan kaki, tapi tubuhnya telah melayang ke belakang. Sehingga,
serangan Jumini kembali kandas. Jumini penasaran bukan main. Dengan kema-
rahan semakin memuncak, dikirimkan serangan susu-
lan dengan mengerahkan seluruh kemampuan. Pe-
dangnya ditusukkan bertubi-tubi ke berbagai sekujur
tubuh bagian atas yang berbahaya dari gadis gila itu.
8 Gadis gila berpakaian kembang-kembang yang
sudah berdiri tegak di atas tanah, tidak gugup melihat serangan bertubi-tubi
dari Jumini. Dan hanya menggerakkan tubuhnya ke kanan dan ke kiri, dia telah
ber- hasil membuat semua serangan kandas.
Pada satu kesempatan, Jumini menusukkan
pedangnya ke leher. Namun dengan gerakan manis se-
kali, gadis itu mengegoskan tubuhnya. Dan sebelum
Jumini sempat menariknya, gadis berpakaian kem-
bang-kembang ini telah lebih dulu mengulurkan mu-
lutnya. Krep! Batang pedang Jumini di luar dugaan, berhasil
digigit gadis berpakaian kembang-kembang itu.
Jumini kaget. Cepat pedangnya ditarik kembali
dengan keras. Tapi pedangnya bagai terjepit catut baja saja. Betapapun kerasnya
menarik, namun tak bergeming sama sekali. Apalagi untuk merobek mulut ga-
dis gila itu. Meski demikian, Jumini yang memiliki watak
keras hati tidak mau mengalah. Seluruh kemampuan-
nya dikerahkan untuk menarik. Dan di saat, gadis
berpakaian kuning ini tengah berada dalam puncak
kekuatan tarikannya, gadis gila berpakaian kembang-
kembang itu mengerahkan tenaga menekan pada gigi-
giginya. Krak! Saat itu juga, batang pedang Jumini patah
menjadi tiga potong. Tubuh gadis itu pun terjengkang ke belakang, terbawa tenaga
tarikannya sendiri. Salah satu potongan pedang tetap berada di tangannya.
Sedangkan potongan yang lain berada di antara gigi-gigi gadis gila berpakaian
kembang-kembang itu.
Dan di saat tubuh Jumini masih terhuyung ke
belakang karena belum bisa mematahkan kekuatan
yang membuat tubuhnya terjengkang, gadis gila itu
mengegoskan kepalanya.
Set! Seketika, dua potong batang pedang yang ma-
sih di mulut gadis gila itu melesat dengan kecepatan menakjubkan ke arah Jumini.
Yang satu menuju ke
leher, sedangkan yang lain menuju ke ulu hati. Ru-
panya gadis gila itu benar-benar berniat mengirim
nyawa Jumini ke alam baka, dengan mengirimkan dua
serangan yang mematikan.
Di lain pihak, meski dalam keadaan kurang
menguntungkan, Jumini masih mampu melihat akan
adanya ancaman maut. Hanya sekali memperhatikan,
dapat diketahui kalau potongan pedang yang menuju
ke leher, yang lebih dulu mengenai sasaran. Karena di samping meluncur lebih
dulu, kecepatan luncurannya
pun lebih dahsyat.
Dalam waktu yang hanya sekejap itu, Jumini
mampu berpikir cepat. Dia harus menangkis potongan
pedang yang meluncur ke arah leher. Sedangkan un-
tuk potongan selanjutnya akan dielakkan saja, dengan menggunakan tenaga yang
didapat dari benturan nanti.
Begitu waktu yang ditunggu tiba, Jumini lang-
sung mengayunkan pedangnya yang tinggal sepotong
pada sasaran ke leher.
Wut! "Heh"!"
Hati Jumini mencelos, ketika melihat potongan
pedang yang dikira akan mendarat lebih dulu, tiba-tiba melambat. Sebaliknya,
potongan yang lain, meluncur
menakjubkan. Akibatnya tangkisan Jumini jadi men-
genai angin kosong.
Jumini jadi gugup. Dengan sebisa-bisanya, tu-
buhnya dilempar ke belakang untuk menjauhi Malai-
kat Maut. Perubahan serangan yang demikian menda-
dak, membuatnya jadi kehilangan akal. Sehingga....
Cap, cap! Jumini menjerit tertahan, ketika kedua potong-
an pedang itu mendarat di sasaran. Yang satu menan-
cap di pangkal bahu kanan, sedangkan yang satu lagi
menembus dada sebelah kanan bagian atas. Gerakan
terakhir yang dilakukan Jumini tadi memang cukup
untuk menyelamatkan nyawanya dari maut. Kendati,
tetap saja dia tidak mampu untuk menyelamatkan diri
dari ancaman potongan pedang.
"Hi hi hi...!"
Gadis gila berpakaian kembang-kembang men-
gikik ketika melihat Jumini memekik kesakitan dengan tubuh masih terhuyung-
huyung ke belakang.
Linggar yang sejak tadi belum sempat melaku-
kan tindakan untuk mengobati luka dalamnya, merasa
cemas melihat nasib Jumini. Dia ingin meneriakkan
seruan saja pada Jumini agar segera pergi meninggal-
kan tempat itu. Karena melawan terus pun akan per-
cuma. Gadis gila berpakaian kembang-kembang itu
memang memiliki kepandaian menakjubkan. Bahkan
mungkin berada di atas Lanang. Terus melawan sama
saja mati konyol!
Untungnya bukan hanya Linggar yang menya-
dari keadaan demikian, tapi juga Jumini. Maka meski
kekuatan yang membuatnya terhuyung telah habis,
gadis ini bertingkah seakan-akan masih dipengaruhi
kekuatan itu dengan bergerak ke arah Linggar. Kemu-
dian secara tiba-tiba, Jumini menyambar tubuh Ling-
gar, lalu melesat cepat meninggalkan tempat itu. Perasaan khawatir bila gadis
gila itu mengejar, membuat
seluruh kemampuan larinya terpaksa dikerahkan.
Tapi, kekhawatiran Jumini ternyata tidak bera-
lasan. Gadis gila itu sama sekali tidak mengejar. Meski memang kaget ketika
melihat lawannya mengambil
langkah seribu, gadis berpakaian kembang-kembang
itu tidak memburu. Yang dilakukannya hanya terus
tertawa-tawa sambil mengeluarkan ejekan cukup me-
merahkan telinga.
"Ayo! Ayo, mau lari ke mana kau, Gadis Gila"!
Akan kukejar ke mana pun kau lari! Ayo...! Awa...! Pedang...! Pedang...! Hi hi
hi...! Ada orang gila berlari tunggang langgang! Hi hi hi...!"
*** Gadis berpakaian kembang-kembang ini baru
menghentikan ejekan dan tawanya, ketika tubuh Ju-
mini sudah tidak terlihat lagi. Dengan lagak malu-
malu sambil menghias senyum semanis mungkin, ma-
tanya melirik ke arah Lanang.
"Bagaimana, Suamiku"! Apakah kau telah se-
nang sekarang..."! Musuh-musuh kita telah terusir
pergi. Sekarang, mari kita pergi menjumpai Kakek.
Dan tua bangka bau tanah itulah yang akan menikah-
kan kita. Bagaimana" Kau mau kan, Suamiku
Sayang"!"
Lanang susah payah menelan ludahnya seperti
orang menelan duri. Di dalam hati, pemuda pesolek ini memaki kalang kabut. Sama
sekali tidak disangka kalau perkembangan nasibnya jadi seperti ini. Semula
harapannya akan mendapat dua bidadari. Tak tahunya
mendapat seorang gadis gila!
Jantung Lanang berdetak jauh lebih cepat keti-
ka gadis berpakaian kembang-kembang itu bergerak
menghampirinya dengan langkah terlihat malu-malu.
Kedua tangannya di depan dengan jari-jari diremas
dan direntangkan satu sama lain. Wajahnya ditunduk-
kan. Namun dari balik bulu matanya yang kelewat len-
tik, matanya menyambar ke wajah Lanang. Dan pemu-
da itu malah muak jadinya.
Semakin gadis berpakaian kembang-kembang
itu dekat, Lanang semakin muak. Perutnya pun men-
dadak mual, ingin muntah.
Lanang sudah bersiap-siap untuk memaki-
maki. Bahkan akan meludahi, apabila gadis ber-
pakaian kembang-kembang itu terus mendekat. Tapi
sebelum maksudnya itu dilaksanakan, mendadak
langkah gadis itu berhenti. Wajah yang semula penuh
senyum dan sikap yang malu-malu, seketika berubah.
Lanang melihat wajah gadis itu beringas. Sepasang
matanya liar kembali.
"Keparat! Orang-orang gila dari mana yang be-
rani mengintai ku"! Apakah kalian bosan hidup, se-
hingga berani mengintai putri tercantik sedunia yang hendak bercengkerama dengan
calon suaminya"!" sentak gadis berpakaian kembang-kembang ini sambil
berbalik. Lanang mendadak terperanjat. Benarkah ada
banyak orang yang tengah mengintai mereka" Kalau
benar mengapa dia tidak terdengar oleh telinganya"
Demikian tinggikah ilmu meringankan tubuh orang-
orang itu" Kalau benar demikian, berarti kepandaian
gadis ini sukar diukur! Lalu, bagaimana pula tingginya tingkat kepandaian
gurunya" Mengingat hal ini Lanang jadi bergidik!
Waktu terus berlalu. Tapi, orang-orang yang
dimaksud gadis berpakaian kembang-kembang ini tak
juga keluar dari tempat persembunyiannya di dalam
gubuk tempat Lanang semula.
Lanang yang melihat hal ini mulai meragukan
keberadaan orang-orang yang dimaksud gadis ber-
pakaian kembang-kembang ini. Bukan tidak mungkin
kalau gadis itu hanya mengada-ada saja. Bukankah
gadis itu memang kurang waras"
"Rupanya kalian lebih gila daripada orang gila
yang baru saja kuusir"! Kalian ingin aku bertindak keras"!" Gadis berpakaian
kembang-kembang menutup ucapannya dengan dorongan kedua telapak tangan
terbuka, setelah terlebih dulu tersilang di depan dada.
Saat itu Lanang mendengar bunyi mendesing
keras, kemudian pondok sederhana itu berderak keras
seperti diterpa angin ribut. Bahkan pondok itu terangkat ke atas bagai dicabut
tangan-tangan raksasa yang tidak kelihatan. Lalu potongan-potongan pondok
berjatuhan, bertumpukan beberapa tombak di sebelah kiri
tempat itu. Dan begitu pondok itu telah tidak tampak lagi,
sepasang mata Lanang terbelalak. Di situ tampak ber-
diri tegak dua sosok yang telah berusia lanjut. Ternyata gadis berpakaian
kembang-kembang tidak salah
dengar. Dia benar! Dan Lanang mulai merasakan bulu
kuduknya berdiri!
Keterkejutan Lanang semakin membesar, ke-
tika melihat dua sosok itu. Pemuda pesolek ini teringat akan seorang tokoh
besar, ketika melihat ciri-ciri salah seorang di antara mereka.
Sosok yang dimaksudkan Lanang berpakaian
sederhana. Kulitnya hitam kecoklatan. Wajahnya terlihat keras. Sebuah caping
bambu bertengger di atas
kepalanya yang terhias rambut-rambut putih. Lanang
tahu, kakek itu tak lain adalah Petani Berambut Putih!
Petani Berambut Putih tampak bersikap te-
nang, kendati baru mengalami kejadian yang cukup
mengejutkan. Demikian pula sosok yang satu lagi, wa-
jah dan sikap mereka biasa saja ketika mengayunkan
kaki mendekati tempat Lanang dan gadis berpakaian
kembang-kembang itu berada.
Dewa Arak 80 Misteri Gadis Gila di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kau yakin kalau pemuda itu yang dimaksud
Dirgantara muridmu itu, Petani Berambut Putih"!"
tanya kakek di sebelah Petani Berambut Putih, tubuh-
nya kecil kurus dan bermata sipit
"Aku yakin, Jari Maut. Muridku menceritakan-
nya secara jelas. Pasti pemuda itu yang bernama La-
nang." "Lalu..., siapa gadis aneh di sebelahnya itu?"
tanya kakek kecil kurus yang ternyata Pendekar Jari Maut "Aku sendiri tidak
tahu, Jari Maut. Tapi menilik dari sikap Lanang, aku yakin, dia tidak mempunyai
hubungan apa pun dengannya."
"Seorang gadis yang hebat. Semuda itu sudah
memiliki tenaga dalam yang demikian kuat. Entah sia-
pa gurunya. Sayang, otaknya tidak waras," puji Pendekar Jari Maut disertai
helaan napas berat.
Percakapan dua kakek sakti yang merupakan
tokoh-tokoh besar dunia persilatan golongan putih ini membuat jantung Lanang
terasa berdetak jauh lebih
cepat. Sama sekali tidak disangka akan bertemu mere-
ka. Dua kakek yang memiliki tingkat kepandaian seja-
jar dengan ayahnya, Naga Sakti Berwajah Hitam. Tapi
toh, keberadaan mereka bisa diketahui gadis berpa-
kaian kembang-kembang. Lalu, sampai di mana ting-
kat kepandaian gadis gila ini"
Percakapan dua kakek itu saja sudah menun-
jukkan pada Lanang akan ketinggian kepandaian me-
reka. Terlihat jelas kalau Petani Berambut Putih dan Pendekar Jari Maut
bercakap-cakap dengan hanya
mengemikkan sedikit bibir. Tapi toh, bunyi yang ter-
dengar amat lantang. Bahkan bergema ke seluruh pen-
juru tempat ini.
Berbeda dengan Lanang, gadis gila berpakaian
kembang-kembang itu tidak merasa gentar sama seka-
li. Bahkan kelihatan sekali marah. Apalagi ketika melihat kedua kakek itu terus
melangkah mendekati tem-
patnya berada dengan sikap tak ambil peduli.
"Berhenti, Orang-orang Gila! Kalau kalian tidak mau patuh juga, kalian akan
kujadikan mayat-mayat
gila! Bagus bukan"! Hi hi hi...!"
Pendekar Jari Maut dan Petani Berambut Putih
saling berpandangan tanpa menghentikan ayunan ka-
ki. Di mulut mereka sama-sama tersungging senyum.
Kedua kakek sakti ini merasa geli melihat sikap gadis berpakaian kembang-kembang
itu. Semula seruannya
mengandung kemarahan, tapi ditutup tawa mengikik.
Dasar orang tak waras! Kendati demikian, terbit rasa iba di hati mereka terhadap
nasib gadis yang tidak waras itu. "Rupanya kalian ingin merasakan gebukanku"!"
Seruan itu membuat Pendekar Jari Maut dan
Petani Berambut Putih berhenti melangkah. Dan seir-
ing selesainya perkataan itu, gadis berpakaian kem-
bang-kembang langsung membuktikan ancamannya.
Dua kakek ini tentu saja tidak takut mendapat gebu-
kan. Mereka ingin melihat, tindakan apa yang akan dilakukan gadis yang memiliki
tenaga dalam amat kuat
itu. Terlihat gadis berpakaian kembang-kembang
berdiri tegak dengan kedua tangan terbuka bersilang
di depan dada. Sepasang matanya berputar liar, khas
orang kurang waras. Padahal, Pendekar Jari Maut dan
Petani Berambut Putih tahu kalau gadis itu tengah
mengumpulkan kekuatan batin. Tapi anehnya dengan
sikap seperti itu. Luar biasa!
"Heh"!"
Pendekar Jari Maut dan Petani Berambut Putih
tersentak kaget, ketika melihat dua batang ranting sebesar itu jari kaki yang
panjangnya bagai pedang me-
layang naik. Padahal, ranting itu berada di sekitar tiga tombak dari tempat
gadis gila berpakaian kembang-kembang ini.
Semula ranting itu bergerak naik ke udara per-
lahan. Tapi kemudian, meluncur ke arah Pendekar Jari Maut dan Petani Berambut
Putih. Bahkan mulai melesat menyerang bagaikan hidup! Hanya saja ranting itu
melesat berjajar di kanan dan kiri sebagaimana layaknya dipegang sepasang tangan
manusia. Kalau kedua kakek sakti itu saja terperanjat,
apalagi Lanang! Malah biji matanya bagai hendak me-
lompat keluar melihat kejadian ini. Lanang yakin, apa yang dilihatnya bukan
sihir! Keterkejutan Lanang semakin menjadi-jadi, ke-
tika Pendekar Jari Maut dan Petani Berambut Putih
mulai sibuk menyambut serangan. Seakan-akan rant-
ing di depan mereka dipegang oleh seseorang yang kini menyerang mereka berdua.
Tentu saja sebagai tokoh-tokoh besar dunia
persilatan, Pendekar Jari Maut dan Petani Berambut
Putih tidak mau menghadapi serangan seperti itu ber-
sama-sama. Petani Berambut Putih mengelak dengan
melompat mundur, menjauhi tempat itu. Sedangkan
Pendekar Jari Maut menangkis, kemudian balas me-
nyerang. Pertarungan aneh pun terjadi. Lanang dan Pe-
tani Berambut Putih menyaksikannya dengan sinar
mata penuh perhatian. Pertarungan semacam ini me-
mang tidak pernah disaksikan Lanang sebelumnya.
Serangan-serangan yang tertuju pada Pendekar
Jari Maut selalu berbahaya dan mematikan. Tokoh tua
itu dipaksa menguras seluruh kemampuannya. Namun
yang menyulitkan, serangan tidak bisa dibalas karena tidak adanya orang yang
memegang ranting! Jadi, di-alah yang terus-menerus menjadi korban serangan.
Petani Berambut Putih mengernyitkan alis. Il-
mu seperti ini rasanya pernah disaksikannya. Hanya
saja dia lupa, kapan, di mana, dan siapa pemiliknya.
Untuk itu seluruh perhatiannya dicurahkan pada per-
tarungan. Akibatnya dia tidak memperhatikan sekitar-
nya. Bahkan....
"Heh"!"
Petani Berambut Putih dan Pendekar Jari Maut
kaget bukan main ketika mendadak saja ranting-
ranting itu ambruk ke tanah begitu saja. Dan serentak mereka segera mengalihkan
pandangan ke arah gadis
berpakaian kembang-kembang berada. Kosong! Gadis
itu telah lenyap! Demikian pula Lanang.
Sementara Petani Berambut Putih hanya bisa
tersenyum lebar bagaikan orang tidak bersalah. Pa-
dahal, Pendekar Jari Maut menatap ke arahnya den-
gan sinar mata penuh penyesalan.
"Bagaimana gadis itu bisa lolos, Petani"!"
"Aku terlalu sibuk melihat pertarungan aneh
itu, Jari Maut. Aku lupa kapan di mana aku melihat.
Bahkan aku pernah menghadapi hal semacam ini. Aku
lupa siapa pemiliknya," kilah Petani Berambut Putih.
"Aku yakin dia meninggalkan tempat itu secara hati-hati, sambil memperhatikan
jalannya pertarungan. Ka-
lau tidak, bagaimana mungkin perlawanan yang dibe-
rikan sepasang ranting itu masih tetap sengit, sebelum akhirnya roboh secara
tiba-tiba?"
"Aku pun tahu itu, Petani. Bahkan aku tahu
pula, siapa yang telah memiliki ilmu itu. Karena, aku pun pernah menghadapinya.
Hanya saja aku tidak lu-pa!"
"Benarkah itu, Jari Maut"! Lalu, siapakah
orangnya"!" tanya Petani Berambut Putih penuh penasaran. "Siapa lagi kalau bukan
Iblis Buta"!"
"Ah...! Mengapa aku demikian pelupa"! Benar!
Iblis Buta! Tapi, apa hubungannya gadis itu dengan-
nya. Mungkinkah dia muridnya"!"
"Kemungkinan itu besar sekali," timpal Pendekar Jari Maut.
"Aku jadi ingin mengusut hal aneh ini. Ahhh...!
Sama sekali tidak kusangka urusan jadi bertambah
banyak." "Kita usut bersamaan saja, Petani. Bukankah
tempatnya di sini juga"! Mudah-mudahan saja Iblis
Buta tidak terlalu pelit untuk menyerahkan beberapa
butir telur elang perak pada kita!"
Petani Berambut Putih diam. Kendati demikian,
Pendekar Jari Maut tahu kalau rekannya setuju. Ma-
ka, tubuhnya segera melesat meninggalkan tempat itu, diikuti Petani Berambut
Putih. Mereka segera memperhatikan keadaan jalan, untuk mencari jejak gadis
berpakaian kembang-kembang yang diduga ada hu-
bungannya dengan Iblis Buta!
*** "Hhh...!"
Seorang kakek berpakaian abu-abu menghela
napas berat, seperti hendak melepaskan ganjalan da-
lam batinnya. Sepasang matanya yang merah memba-
ra seperti orang sakit mata menyapu dua sosok yang
berdiri di hadapannya. Terutama sekali, pada sosok
yang satu. Seorang pemuda berpakaian mewah dan
indah serta pesolek. Lanang!
Lanang merasakan bulu kuduknya satu persa-
tu berdiri, ketika kakek bermata merah yang rambut,
alis, kumis, jenggotnya telah memutih. Sepasang mata kakek teramat tua itu
seperti hendak meraba-raba sekujur tubuhnya.
Lanang yakin, orang ini sepertinya kakek dari
gadis berpakaian kembang-kembang yang berada di
sebelahnya. Dan kakek ini tampaknya tengah meni-
lainya. "Jadi..., pemuda ini yang kau inginkan menjadi calon suamimu, Suri"!"
tanya kakek bermata merah itu tanpa menggerakkan bibirnya sama sekali. Namun
suaranya terdengar keras dan lantang. Bahkan dinding gua tempat mereka bertiga
sekarang berada, bergetar
hebat. Debu-debu halus tampak berjatuhan ke bawah.
Dengan wajah menunduk, tangan saling belit
dan putar, serta kaki yang digurat-guratkan ke tanah, gadis berpakaian kembang-
kembang yang dipanggil
Suri mengangguk. Sikap gilanya berganti dengan sikap malu-malu.
"Bukankah kau kuperintahkan untuk men-
gambil pemuda lainnya" Pemuda yang ku maksud
adalah, berpakaian ungu dan berambut putih kepe-
rakan"! Pemuda yang kutolong nyawanya dari tangan
maut Naga Sakti Berwajah Hitam"! Mengapa dia yang
kau bawa kemari"!" sembur kakek bermata merah ini.
Sementara Lanang merasakan jantungnya ber-
detak jauh lebih cepat dari semula. Dia tahu, siapa
yang dimaksud kakek itu. Pasti Dewa Arak! Jadi, pe-
muda sakti yang hampir tewas oleh ayahnya, berhasil
ditolong kakek ini" Bagaimana cara kakek itu meno-
longnya" "Tapi, aku lebih suka pada dia, Kek!" bantah Suri, berani. Sepasang bola matanya
mulai berputar liar. "Kalau tidak dengan dia, aku tidak mau!"
Kakek bermata merah itu menggeleng-geleng
kepala dengan sikap prihatin.
"Lagi pula, pemuda yang kau maksudkan su-
dah tidak ada di situ lagi!" tambah Suri.
Kakek bermata merah diam. Terbayang kembali
di benaknya, bagaimana dia menyelamatkan nyawa
Dewa Arak dari kematian. Dengan ilmu 'Memindahkan
Semangat', tindakan Naga Sakti Berwajah Hitam
mampu dicegahnya. Hanya saja sampai pada batas
menahan, dan tidak mampu menyerang.
Semula kakek ini tidak tahu akan adanya per-
tarungan di tempat yang cukup jauh dari tempatnya
berada, kendati juga berada di Gunung Cikuray. Na-
mun karena mata batinnya yang tengah mencari begi-
tu kuat, langsung terasa adanya getaran-getaran aneh.
Dan itu terjadi karena ilmu gaib yang tercipta dari ilmu hitam Naga Sakti
Berwajah Hitam.
"Di mana sekarang pemuda berambut putih
keperakan itu"!" tanya kakek ini dalam hati
"Bagaimana, Kek"!" desak Suri tidak sabar lagi, ketika melihat kakeknya bermata
merah itu malah
termenung. "Kau benar-benar bersedia menjadi suaminya,
Anak Muda"!" tanya kakek itu, pada Lanang.
Lanang yang tidak mengira akan mendapatkan
pertanyaan itu dengan gugup mengangguk.
"Bersedia, Kek. Tapi dengan satu syarat," jawab Lanang, memberanikan diri.
Memang Lanang cukup cerdik. Setelah berhasil
mengusir rasa jijiknya terhadap Suri, dia bersedia
memenuhi keinginan gadis gila itu. Tentu saja demi
mendapatkan ilmu yang tinggi.
Kakek bermata merah menatap dengan sinar
mata tajam, membuat Lanang bergidik. Tapi pemuda
itu cepat menguasai perasaan dan bersikap tenang.
"Katakan apa syaratmu"!" tanya kakek itu penuh ancaman.
"Aku harus memiliki kepandaian lebih tinggi
daripada Suri, Kek. Sebagai seorang suami, aku tidak berharga bila memiliki
kepandaian di bawahnya. Bagaimana aku dapat melindunginya dari bahaya"!" jawab
Lanang mengajukan alasan cepat dan masuk ak-
al. "Syaratmu kuterima. Tapi, ingat! Jangan coba-
coba main gila. Karena aku dapat membunuhmu den-
gan mudah! Mengerti"!"
"Mengerti, Kek. Kuminta, pengesahan menjadi
suami Suri apabila aku telah memiliki kepandaian le-
bih daripada Suri."
"Itu mudah saja, Anak Muda. Besok pun kau
akan memiliki kepandaian lebih hebat daripada Suri.
Cucuku kelihatan sakti, karena memiliki tenaga dalam tinggi. Tapi, itu berkat
Telur Elang Perak. Kau pun
akan kuberikan telur itu, agar besok telah memiliki tenaga dalam amat tinggi.
Aku tahu, kau telah memiliki ilmu-ilmu tingkat tinggi. Dan secara perlahan-
lahan, kau pun akan kuajarkan ilmuku!"
Lanang hampir berseru saking kagetnya. Sama
sekali tidak disangka kalau dirinya akan mendapatkan Telur Elang Perak. Bukankah
kabarnya telur itu berada di tangan Iblis Buta" Jadi, inikah Iblis Buta" Di-akah
tokoh yang menggemparkan itu"! Tapi, mengapa
ciri-cirinya tidak sesuai.
"Boleh aku tanya sesuatu, Kek"!"
Perasaan ingin tahu, membuat Lanang berani
mengajukan pertanyaan. Apalagi dia yakin kakek itu
tidak akan membunuhhya, karena Suri mencintainya.
Dan kakek yang diduga Iblis Buta ini amat sayang pa-
da cucunya.
Dewa Arak 80 Misteri Gadis Gila di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kakek bermata merah itu diam.
"Sepengetahuanku, Telur Elang Perak itu ada di
tangan Iblis Buta. Mengapa...."
"Akulah yang berjuluk Iblis Buta!" potong kakek bermata merah, yang ternyata
berjuluk Iblis Buta tidak sabar. "Dulu, aku menyamar karena tidak ingin dikenal
orang. Jelas"! Apabila kurang, nanti akan ku je-
laskan lebih lanjut. Kali ini, cukup! Aku tengah tidak ingin bercakap-cakap
lama-lama."
Lanang terdiam. Hatinya sudah merasa puas
mendapat kepastian demikian. Sama sekali tidak per-
nah disangka akan bernasib baik seperti ini. Ternyata, Iblis Buta hanya
merupakan samaran dari kakek mengerikan ini!
Sementara itu, Iblis Buta memejamkan mata.
Dan Lanang tahu diri, lalu bergerak untuk duduk. Ti-
dak mau mengganggu sedikit pun. Sedangkan Suri
tampak tersenyum-senyum sendiri, lantas duduk di
sebelah pemuda pesolek itu.
SELESAI Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
Keris Pusaka Nogopasung 2 Dewa Linglung 2 Geger Pedang Inti Es Senyuman Dewa Pedang 4