Pencarian

Neraka Asmara 3

Pendekar Mata Keranjang 9 Neraka Asmara Bagian 3


tingkat tenaga dalam Sakawuni masih jauh dibanding
Pendekar Mata Keranjang. Dan sebelum oleng dan ja-
tuh, tubuhnya segera melenting ke udara seraya mem-
bentak lengking.
Dari udara, Sakawuni cepat membuat gerakan
berputar satu kali. Kecepatannya hampir tak dapat diikuti mata. Lalu tiba-tiba,
tubuhnya menukik deras
dengan kedua tangan menghantam ke arah kepala
Pendekar Mata Keranjang. Hantaman tangan itu belum
sampai, namun deru dahsyat sudah melesat mendahu-
lui. Pendekar Mata Keranjang tak tinggal diam. Se-
gera tubuhnya miring ke samping, membuat hantaman
tangan Sakawuni menerabas tempat kosong di samp-
ing lengan Pendekar Mata Keranjang.
Karena serangannya begitu mudah dielakkan
Pendekar Mata Keranjang membuat amarah Sakawuni
makin memuncak. Begitu sepasang kakinya menjejak
tanah, tubuhnya segera berbalik. Dan seketika tenaga dalamnya disalurkan pada
tangannya. Didahului bentakan keras, Sakawuni menghentakkan kedua tangan-
nya ke arah Aji.
Saat itu juga berlarik-larik sinar putih ke abu-
abuan yang mengeluarkan suara menderu-deru dan
berhawa panas melesat menyambar ke depan.
"Edan! Dia benar-benar ingin menyabung nya-
wa!" rutuk Pendekar Mata Keranjang dalam hati.
Segera Aji menyambut serangan Sakawuni den-
gan pukulan 'Segara Geni'. Namun kali ini tenaga dalamnya tidak dikerahkan
penuh. Des! Blum! Dua pukulan sakti bentrok di atas udara,
membuat tanah di sekitar tempat itu bergetar hebat.
Pohon-pohon bergoyang, menggugurkan dedaunan.
Tubuh Sakawuni tampak terhuyung-huyung. Rambut-
nya yang panjang berkibar-kibar. Sementara sekujur
tubuhnya telah mandi keringat.
Dilain pihak, Pendekar Mata Keranjang tampak
tetap tegar di tempatnya. Hal ini membuat Sakawuni makin sadar kalau tingkat
kepandaiannya jauh di
banding pemuda di hadapannya. Namun tampaknya
hal itu bukannya membuatnya takut, tapi semakin pe-
nasaran. Saat itu juga tekanan tenaga dalamnya di-
tambah dan segera kembali melakukan serangan. Pa-
dahal, di bagian kedua tangannya telah terasa ngilu.
Dalam hati, diam-diam Pendekar Mata Keran-
jang terkesima. Sungguh tak diduga jika gadis di hadapannya selain mempunyai
kemampuan lumayan,
bahkan juga berhati baja.
"Gadis tangguh! Hanya sayang termakan kata-
kata kakak seperguruannya, tanpa menyelidik terlebih dahulu.... Dan tampaknya
dia...." Pendekar Mata Keranjang tidak bisa mene-
ruskan kata hatinya, karena saat itu Sakawuni telah berkelebat. Dan mendadak,
sepasang kakinya telah
menerjang ke arah Aji. Sementara, kedua tangannya
bersiutan ke sana kemari.
Saat itu juga Aji memalangkan kedua tangan-
nya, dengan tubuh bergerak satu tindak ke samping.
Maka pukulan tangan serta terjangan sepasang kaki
Sakawuni hanya menerpa angin di sebelah Pendekar
Mata Keranjang.
Di lain kejap Pendekar Mata Keranjang cepat
mendorongkan telapak tangannya ke depan perlahan.
Karena pukulannya baru saja meleset, mem-
buat tubuh Sakawuni terdorong ke depan. Padahal,
bersamaan dengan itu dorongan tangan Pendekar Ma-
ta Keranjang datang. Hebatnya meski dalam keadaan
terjepit begitu, raut wajah gadis ini tidak mengisyaratkan rasa kebingungan.
Bahkan mencoba menangkis
dengan menarik tangannya dan menghentakkannya
secara mendadak ke depan.
Prak! Prak! Terdengar benturan keras dua kali berurutan.
Tubuh Sakawuni terbanting di tanah. Sementara Pen-
dekar Mata Keranjang hanya terhuyung-huyung se-
bentar, sebelum akhirnya tegak kembali dengan kaki
kokoh. Dengan muka merah padam dan bibir pecah
mengeluarkan darah, Sakawuni merambat bangkit.
Dan begitu tubuhnya telah berdiri tegak, sepasang matanya langsung menyengat
tajam. Namun, cuma seki-
las. Wajah cantik Sakawuni lantas menoleh ke samp-
ing. "Pembunuh licik! Jangan kau kira aku kalah!"
Habis berkata, Sakawuni tampak memejamkan
kedua matanya. Kedua tangannya menakup di depan
dada. Dan dari mulutnya terdengar suara yang tak bi-sa dimengerti.
"Tunggu!" teriak Aji.
Sakawuni membuka kelopak matanya, lantas
memandang terbeliak.
"Jahanam! Apa maumu...?" desis Sakawuni
tatkala melihat Pendekar Mata Keranjang 108 melang-
kah mendekat sambil tersenyum.
"Aku tak mau melayanimu dengan jalan begini.
Kita berdua nanti akan sama-sama rugi. Lebih baik
tinggalkan tempat ini. Nanti suatu saat, aku pasti akan datang ke Lembah Baka
dengan membawa kepala
orang yang menewaskan gurumu!"
"Kau kira aku mempercayai omongan mu"
Meski kau bersumpah pun, aku tidak akan percaya...,"
gumam Sakawuni, membatin.
Tiba-tiba, gadis ini tersenyum sinis.
"Baik! Aku akan tinggalkan tempat ini. Tapi,
denganmu!"
"Gila! Dengar, Sakawuni. Aku masih ada uru-
san lebih penting yang harus diselesaikan. Setelah
urusan ini selesai, aku akan menyusulmu ke Lembah
Baka!" ujar Pendekar Mata Keranjang.
"Urusan penting mengejar gadis itu, bukan"
Laki-laki pengecut! Kau tak pantas menyandang nama
besar jika ternyata tidak berani mengakui kesalahan!"
Di saat keduanya saling bertukar pandang satu
sama lain, terdengar langkah-langkah mendatangi
tempat itu. "Celaka! Kalau Ajeng Roro..., oh! Urusannya
akan makin rumit!" keluh Pendekar Mata Keranjang dalam hati, tak berani melihat
orang yang mendatangi.
Sementara itu dahi Sakawuni segera berkernyit
tatkala melihat siapa orang yang datang.
8 Orang yang datang mendadak tertawa bergelak-
gelak pendek. Bersamaan dengan itu, serangkum ge-
lombang angin dahsyat menghempas deras ke arah
Pendekar Mata Keranjang dan Sakawuni.
Aji terlengak kaget, karena dugaannya meleset.
Secepat kilat Pendekar Mata Keranjang berbalik. Dia sedikit tersentak, melihat
orang yang baru datang.
Bahkan tiba-tiba telah melepaskan serangan, meski
sepertinya tidak disengaja!
Namun Pendekar Mata Keranjang tidak sempat
lagi berbuat lebih jauh. Karena saat itu juga, gelombang angin yang dikeluarkan
orang yang barusan da-
tang telah menggebrak.
Dengan memaki panjang pendek dalam hati,
Pendekar Mata Keranjang cepat merebahkan diri hing-
ga sejajar tanah. Maka serangan orang yang baru da-
tang melesat di atas tubuhnya. Namun, tak urung juga sambaran serangan yang
ternyata menebarkan hawa
panas itu menyerempet rambutnya. Akibatnya, rambut
Pendekar Mata Keranjang terpangkas sebagian!
Di bagian lain, Sakawuni yang tidak menyang-
ka akan diserang secara tiba-tiba, tidak sempat lagi berkelit. Maka tanpa ampun
lagi terdengar jeritan dari mulutnya. Tubuhnya mencelat hingga tiga tombak ke
belakang, serta menyuruk tanah menimbulkan suara
berdebam. Orang yang baru saja datang ternyata seorang
laki-laki tua berjubah putih kusam. Di atas kepalanya tampak sebuah caping lebar
dari daun pandan. Sehingga, membuat wajahnya hanya tampak sebagian.
Berjenggot panjang berwarna putih. Tubuhnya agak
bungkuk. "Restu Canggir Rumekso!" seru Pendekar Mata Keranjang, dalam hati sambil menatap
tak berkedip. "Apa maksudnya dengan semua ini" Tampaknya apa yang dikatakan Eyang Wong Agung
tentang dia ternyata benar. Hmm.... Aku harus waspada. Rupanya dia
berilmu tinggi.... Lantas, ke mana perginya Ajeng Ro-ro...?" Pendekar Mata
Keranjang memandang ke arah belakang, lalu beralih pada Sakawuni yang baru saja
bangkit. "Orang tua!" panggil Pendekar Mata Keranjang, lantang. "Apa kau telah merasa
benar dengan tindakan yang baru saja kau lakukan?"
Orang tua bercaping lebar yang memang Restu
Canggir Rumekso meluruskan tubuhnya. Lalu kepa-
lanya mendongak seraya tertawa bergelak.
"Pendekar Mata Keranjang! Aku tak mau meni-
lai perbuatanku. Namun satu hal yang sudah pasti,
kau telah melakukan kesalahan pada muridku. Maka
dari itu, sekarang juga kau harus ikut ke tempatku!"
"Manusia satu ini sulit ditebak jalan pikiran-
nya. Saat bertemu pertama kali dulu, dia tampaknya
baik-baik. Hmm..., lalu siapa muridnya" Putri Tunjung Kuning" Orang ini benar-
benar licin...."
Selagi Pendekar Mata Keranjang berpikir begitu,
mendadak sebuah bayangan berkelebat. Dan di kejap
lain, telah berdiri tegak di hadapan Restu Canggir Rumekso. "Orang tua! Harap
segera menyingkir dari sini!
Jangan cari-cari alasan untuk membawa dan menye-
lamatkan pemuda itu!" tegur sosok yang baru saja berdiri dan ternyata Sakawuni.
Mendengar teguran ini, Restu Canggir Rumekso
terkekeh. Namun belum lenyap kekehannya, caping-
nya sengaja ditekan turun. Seketika, membuat raut
wajahnya hampir tak kelihatan.
"Gadis cantik! Kau bilang aku akan menyela-
matkan dia?" tukas Restu Canggir Rumekso seraya menunjuk pada Pendekar Mata
Keranjang. "Kau salah besar! Justru aku menjemputnya
agar dia tak lari lagi dari tanggung jawab!"
Sakawuni sejenak memalingkan wajahnya me-
mandang Pendekar Mata Keranjang.
"Apa lagi yang diperbuatnya" Apakah benar
yang dikatakan orang tua ini..." Dia sendiri siapa..."
Dan siapa juga muridnya..." Seorang gadis?"
Batin Sakawuni terus bertanya-tanya. Namun
wajahnya kini sudah dipalingkan ke arah Restu Cang-
gir Rumekso. "Orang tua! Coba katakan perbuatan apa yang
dilakukannya!" ujar Sakawuni seraya menarik kedua tangannya, siap melepaskan
pukulan apabila orang
tua di hadapannya bertindak.
"Gadis cantik! Aku sebetulnya tidak suka mem-
beberkan hal ini. Namun karena kepentingan kita sa-
ma, yakni membawa pemuda ini, maka setelah kau
nanti mendengar keteranganku, kuharap bersedia me-
lepaskannya untukku. Namun jika kau masih tidak
juga melepaskannya untukku, aku tak keberatan
membuatmu jadi bangkai!" gertak Restu Canggir Rumekso dengan senyum mengejek.
"Orang tua! Kau terlalu tua untuk menggertak
ku. Jangan dikira aku takut. Katakan saja terus te-
rang, apa yang dilakukan pemuda itu! Mungkin, aku
nanti bisa mengerti dan melepasnya untukmu. Meski,
bukan berarti urusanku dengannya selesai!" balas Sakawuni, sengit.
"Dia telah menghamili muridku!"
Sakawuni kontan ternganga. Kepalanya berde-
nyut keras. Tubuhnya terlihat bergetar hebat. Bahkan langkahnya surut tiga
tindak ke belakang. Dari mulutnya terdengar gumaman yang tak bisa ditangkap
telin-ga. Mendadak saja Sakawuni berbalik dan berkele-
bat. Dan di kejap lain, telah berdiri satu langkah tepat di depan Pendekar Mata
Keranjang. Aji yang masih tak mempercayai pendengaran-
nya atas ucapan Restu Canggir Rumekso, terkesiap
kaget. Namun belum habis rasa terkejutnya, Sakawuni telah melayangkan tangan
kanan ke pipinya.
Plak! Plak! Tamparan keras tangan kanan Sakawuni seje-
nak membuat pendekar murid Wong Agung ini bagai
orang gagu. Menahan rasa sakit dan terkejut, serta geram. Berkali-kali diusapnya
bekas tamparan tangan
Sakawuni Sedangkan sepasang matanya membelalak
merah, memandang Restu Canggir Rumekso dan Sa-
kawuni bergantian.
"Dengar, Pendekar Mata Keranjang. Masalah
kematian guru sebenarnya belum bisa kupastikan
orangnya. Mungkin saja kau, dan mungkin saja bu-
kan. Namun pengakuan yang diucapkan orang tua itu,
jelas tidak bisa kau pungkiri lagi. Kau harus bertanggung jawab. Kau adalah
seorang pendekar! Tunjukkan-
lah bahwa kau adalah seorang laki-laki bertanggung
jawab dan tak mau enaknya saja!" bentak Sakawuni.
Paras Pendekar Mata Keranjang kembali merah
padam. Matanya semakin mendelik.
"Sakawuni! Kau tak usah menggurui ku! Lekas
tinggalkan tempat ini!" sergah Aji.
Suaranya terdengar parau dan bergetar. Entah
jengkel belum bisa menerima hal yang baru saja di-
dengarnya dari Restu Canggir Rumekso, Sakawuni be-
ringsut mundur menjauhi Pendekar Mata Keranjang.
Kedua matanya tampak berkaca-kaca.
"Baiklah. Aku akan meninggalkan tempat ini.
Namun, ingat. Masalah kita masih belum selesai! Sua-tu hari nanti, aku pasti
datang!" kata Sakawuni dengan suara ditekan.
Pendekar Mata Keranjang trenyuh melihat si-


Pendekar Mata Keranjang 9 Neraka Asmara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kap Sakawuni. Sepertinya dia sadar kalau sebenarnya Sakawuni mencintainya. Sikap
gadis ini yang kasar ta-di, hanya karena terdorong cemburu pada Ajeng Roro.
Dan Aji segera melangkah mendekati Sakawuni.
"Aku akan ingat baik-baik ucapanmu, Tapi satu
hal yang perlu dicamkan, aku belum pernah menggauli seorang perempuan. Apalagi,
membunuh gurumu!"
ujar Pendekar Mata Keranjang.
Sakawuni terdiam. Kebimbangan jelas nampak
di raut wajahnya.
"Hmm.... Itu tak perlu kau katakan. Nanti, wak-tulah yang akan membuktikan!"
Habis berkata begitu, Sakawuni memandang
tajam pada Pendekar Mata Keranjang, lalu beralih pa-da Restu Canggir Rumekso.
Lalu tubuhnya berbalik,
membuat lompatan beberapa kali, sebelum akhirnya
lenyap. "Restu Canggir Rumekso! Aku tak bisa mengerti, apa maksudmu
sebenarnya"!" tanya Pendekar Mata Keranjang minta penjelasan seraya melangkah
maju. Restu Canggir Rumekso tertawa panjang.
"Kau tak akan bisa mengerti, karena kau me-
mang bodoh!" sahut Restu Canggir Rumekso, enteng.
"Jahanam!" hardik Pendekar Mata Keranjang.
"Kau cari penyakit!"
"Bukan cari penyakit. Tapi, cari kematianmu!"
balas Restu Canggir Rumekso.
Pendekar Mata Keranjang habis kesabaran.
Lantas telunjuk jarinya ditudingkan tepat pada muka Restu Canggir Rumekso.
"Kau ternyata manusia munafik. Berbuat baik
karena mempunyai maksud-maksud tertentu. Manusia
macam kau, terlalu berbahaya jika dibiarkan hidup!"
Kembali Restu Canggir Rumekso hanya tertawa
terkekeh mendengar ucapan Pendekar Mata Keran-
jang. "Bicaramu terlalu tinggi, Anak Sombong. Kaulah yang membahayakan jika
dibiarkan hidup! Karena, kau akan menebar benih di mana-mana tanpa berani
bertanggung jawab!"
"Fitnah keji!" desis Pendekar Mata Keranjang
marah. Saat itu juga Aji berkelebat, membuat tubuh-
nya hilang dari pandangan. Namun di kejap lain, tu-
buhnya mendadak muncul dengan kedua tangan siap
menghajar kepala Restu Canggir Rumekso.
Namun yang diserang sepertinya tak mempedu-
likan. Restu Canggir Rumekso tetap berdiri. Bahkan
mengeraskan gelak tawanya. Dan sejengkal lagi han-
taman tangan Pendekar Mata Keranjang menghajar
kepalanya, tiba-tiba tubuhnya rebah kaku bagai ba-
tangan pohon di atas tanah!
Wesss! Wesss! Hantaman tangan Pendekar Mata Keranjang
yang telah dialiri tenaga dalam hanya menghajar angin di atas tubuh Restu
Canggir Rumekso.
"Sial! Rupanya dia memang tokoh yang sulit di-
duga, baik jalan pikiran atau ilmunya...," maki batin Pendekar Mata Keranjang
seraya berbalik dan meloncat setengah tombak ke udara.
Dan tiba-tiba saja Pendekar Mata Keranjang
menaikkan kedua kakinya ke depan. Kini tubuhnya
seakan melayang deras satu jengkal di atas tanah, menyusur ke arah Restu Canggir
Rumekso yang masih
kaku rebah di atas tanah.
Namun, Pendekar Mata Keranjang dibuat terke-
jut bukan kepalang. Karena begitu kedua kakinya
hampir menggebrak, dengan kecepatan yang sulit di-
tangkap mata orang tua itu bergerak cepat. Tubuhnya melesat ke udara, membuat
gerakan berputar satu
kali. Lalu tiba-tiba tubuhnya menukik deras ke arah punggung Pendekar Mata
Keranjang yang kini tengah
melayang menyusur di atas tanah.
Aji tersentak kaget dan cepat berpaling. Orang
tua yang disangkanya akan terhajar kedua kakinya,
kini menerjang ke arahnya!
"Bedebah!"
Hanya itu suara yang terdengar dari mulut
Pendekar Mata Keranjang. Karena sesaat kemudian,
punggungnya terasa ambrol dan tubuhnya melesat le-
bih kencang ke depan.
Bukan hanya sampai di situ. Sebelum Pendekar
Mata Keranjang sempat mengerahkan tenaga dalam
untuk menghentikan gerak laju tubuhnya, Restu
Canggir Rumekso telah berkelebat cepat. Dan tahu-
tahu, sepasang kakinya telah menjepit ketat leher Pendekar Mata Keranjang!
Dengan menindih rasa tercekat, Pendekar Mata
Keranjang mengeluarkan bentakan-bentakan mengge-
ledek sambil menghantamkan kedua tangannya ke
arah tubuh Restu Canggir Rumekso yang kini duduk
di atas lehernya. Namun hantaman-hantaman itu sea-
kan tak dirasakan Restu Canggir Rumekso. Bahkan
tatkala orang tua itu menghentakkan sepasang ka-
kinya ke samping, Pendekar Mata Keranjang tak bisa
lagi menahan tubuhnya. Hingga tak ampun lagi, tu-
buhnya terbanting keras di atas tanah!
"Jangkrik! Gerakannya seperti setan. Leherku
bagai hendak putus!" keluh Pendekar Mata Keranjang, sambil merambat bangkit.
Namun baru saja bangkit, tubuh Aji oleng kem-
bali dan jatuh terkapar!
Untuk beberapa saat Pendekar Mata Keranjang
tak bergerak di atas tanah. Kepalanya terasa berputar-putar. Lehernya panas
bagai terjilat api. Sementara punggungnya serasa jebol. Dan begitu kelopak
matanya membuka pandangannya berkunang-kunang.
Tanah tempatnya terkapar seperti berputar.
Pada saat demikian itulah, terdengar gelak tawa
Restu Canggir Rumekso. Lalu, terdengar langkah-
langkah berat mendatangi. Dan sebelum Pendekar Ma-
ta Keranjang bergerak hendak mengetahui apa yang dilakukan Restu Canggir
Rumekso, sebuah tangan tera-
sa mengambil kepalanya. Lalu, tiba-tiba saja sebuah tangan lain menghantam deras
dadanya. Des! "Ukhhh...!"
Pendekar Mata Keranjang merasa dadanya ter-
timpa beban berat. Tubuhnya melayang. Dan sebelum
jatuh di atas tanah, dia tak merasakan apa-apa lagi.
Pandangannya seketika gelap.
Melihat lawan roboh, Restu Canggir Rumekso
menghentikan gelak tawanya. Kakinya melangkah
mendekati tubuh Pendekar Mata Keranjang yang telah
terpuruk di atas tanah.
Sejenak orang tua bercaping ini melihat Pende-
kar Mata Keranjang. Matanya yang sayu sejenak mene-
lusuri sekujur tubuh pemuda di hadapannya, lalu
jongkok. Diraba-rabanya tubuh Aji.
Sesaat kemudian, wajah orang tua ini tampak
meredup, menandakan rasa kecewa. Entah marah en-
tah kecewa, kedua tangannya segera meraba-raba
kembali sekujur tubuh Pendekar Mata Keranjang. Na-
mun, kali ini dengan sentakan-sentakan keras. Se-
hingga, pakaian Pendekar Mata Keranjang tampak cen-
tang perentang tak karuan.
"Setan alas! Dia tidak membawa benda itu!" ge-rutu Restu Canggir Rumekso.
Orang tua ini pun bangkit. Dicampakkannya
kipas hijau milik Pendekar Mata Keranjang.
"Bukan kipas butut ini yang kucari!" dengus Restu Canggir Rumekso, seraya
melangkah pergi meninggalkan Pendekar Mata Keranjang. "Untuk kali ini, nyawanya
masih ku tunda. Aku masih mengharapkan
sesuatu darinya!"
Namun seakan tidak percaya, orang tua ini
kembali melangkah mendekati Aji. Tapi niatnya segera diurungkan tatkala
telinganya menangkap suara langkah dan orang berseru memanggil.
"Aku mendengar akan ada orang yang datang.
Hmm..., aku sebaiknya pergi sekarang. Masih ada ma-
salah penting yang harus kuselesaikan. Merawat Putri Tunjung Kuning, hingga
jabang bayinya lahir. Hmm,
aku akan mempunyai seorang murid! Firasat ku men-
gatakan, jabang bayi dalam kandungan gadis itu
mempunyai keanehan dan keajaiban...."
Berpikir begitu, Restu Canggir Rumekso segera
berkelebat menghilang dari tempat Pendekar Mata Ke-
ranjang 108 terkapar.
9 Ajeng Roro tampak duduk tepekur di depan gu-
buk. Sesekali pandangan matanya berpaling ke bela-
kang. Namun ketika pandangannya tak juga menang-
kap sosok yang diharapkan, wajahnya yang cantik terlihat cemberut.
"Manusia satu itu memang suka menggoda.
Hingga bagaimanapun rasa jengkel yang telah lama
kupendam, tatkala bertemu orangnya, kejengkelan itu lenyap seketika. Hmm....
Apakah dia akan di sini terus" Ah! Betapa senangnya jika demikian...."
"Roro...."
Sebuah suara berat dari dalam menyentakkan
lamunan Ajeng Roro.
"Kulihat kau tadi menyusul Aji. Mana anak
itu...?" tanya suara yang berasal dari mulut Eyang Se-
laksa. Ajeng Roro tidak segera menjawab. Dibasahinya bibirnya sebentar.
"Ngg... Tadi, kulihat dia juga melangkah ke arah sini...," sahut Ajeng Roro
setelah berhasil menguasai rasa gugupnya.
"Aneh"! Kalian ini ada apa sebenarnya..." Sejak bertemu di sini, kalian berdua
seperti kucing bertemu tikus...," desah Eyang Selaksa.
Ajeng Roro sepertinya tidak mengindahkan ka-
ta-kata dari dalam gubuk. Karena saat itu, pikirannya berkata-kata sendiri.
"Jangan-jangan dia jengkel dengan sikapku ta-
di, yang memberosot dari...."
Ajeng Roro tidak meneruskan kata hatinya. Wa-
jahnya merona merah.
"Jangan-jangan dia mendapat halangan...,"
gumam gadis ini, tercenung sejenak. "Jika tak ada apa-apa, tentunya dia telah
sampai di sini. Atau kalau menggoda, tentunya telah berbuat yang tidak-tidak....
Hm.... Sebaiknya aku kembali ke tempat tadi!"
Gadis cantik ini lantas berdiri. Matanya mena-
tap sebentar ke arah gubuk, lalu berbalik dan berkelebat ke arah dia tadi
datang. "Roro...," panggil suara dari dalam gubuk. "Apa tak sebaiknya kau kembali
melihat...."
Suara Eyang Selaksa dari dalam gubuk terhenti
seketika. Tak lama Orang tua itu muncul dari dalam
gubuk. Matanya sebentar memandang berkeliling, lan-
tas menggeleng-geleng.
"Dasar anak muda...!" desah Eyang Selaksa seraya kembali masuk ke dalam gubuk.
Di tempat lain, begitu dari kejauhan Pendekar
Mata Keranjang 108 tampak terkapar di atas tanah,
Ajeng Roro mempercepat larinya.
"Astaga! Apa yang terjadi dengan dirinya..."
Tampaknya dia...."
Begitu tiba, Ajeng Roro cepat jongkok di samp-
ing tubuh Aji. Lalu matanya berputar menyelidik ke
sekeliling. Pendengarannya dipasang baik-baik. Namun hingga agak lama, tak
menemukan sesuatu yang mencurigakan. Segera wajahnya dipalingkan pada Aji. Kedua
tangannya bergerak memeriksa.
"Dia pingsan. Tubuhnya tampaknya terluka....
Siapa yang melakukannya..." Jika berniat jahat, kena-pa dia dibiarkan begitu
saja..." Lagi pula, kipas ini juga tak diambil!"
Ajeng Roro lantas mengambil kipas hijau milik
Aji dan menyimpannya di balik pakaian.
Saat itulah terdengar erangan dari mulut Aji.
Kedua mata Pendekar Mata Keranjang lantas perlahan
terbuka, memandang langit.
"Aji..., apa yang terjadi" Dan siapa yang melakukan ini...?" tanya Ajeng Roro
langsung. Kedua mata Aji berputar. Lalu ditatapnya Ajeng
Roro. Sejenak mata itu menyipit, lalu membelalak.
"Roro...."
Sebuah suara meluncur dari mulut pemuda itu.
Ajeng Roro tersenyum, lalu mengangguk perla-
han. "Siapa orang yang berniat jahat padamu, Aji?"
Pendekar Mata Keranjang tak menjawab. Tu-
buhnya bergerak bangun, dan duduk. Keningnya men-
gernyit. Bibirnya meringis menahan sakit yang mende-ra punggung dan dadanya. Dia
terbatuk beberapa kali, lalu meludah ke tanah. Ternyata, ludahnya telah
bercampur darah, pertanda terluka dalam. Menyadari hal itu, Pendekar Mata
Keranjang segera menyalurkan te-
naga dalam untuk mengurangi rasa sakit.
"Orang tua gila! Aku tak menduga jika dia ber-
kepandaian begitu tinggi. Hmm..., aku harus menye-
lamatkannya...," gumam Pendekar Mata Keranjang setelah dapat menguasai rasa
nyeri di dadanya.
"Orang tua..." Orang tua siapa..." Dan, siapa
pula yang harus kau selamatkan...?" desak Ajeng Roro, tak mengerti gumaman
Pendekar Mata Keranjang.
Sejenak Pendekar Mata Keranjang menatap ga-
dis di sampingnya.
"Waktu aku akan melangkah menyusulmu, ti-
ba-tiba sebuah bayangan berkelebat menghadangku.
Aku sempat bertukar beberapa jurus dengannya. Na-
mun, aku tak menduga sama sekali jika dia berilmu
demikian tinggi...," jelas Aji
"Kau kenal dengannya" Apa dia musuhmu...?"
tanya Ajeng Roro.
Pendekar Mata Keranjang mengangguk lalu
menggeleng, membuat Ajeng Roro keheranan.
"Aku mengenalnya. Namanya, Restu Canggir
Rumekso. Dia bukan musuhku. Karena, antara aku
dan dia tidak ada silang sengketa!" jelas Aji, tetap memandangi wajah Ajeng
Roro. Dan gadis ini jadi jengah sendiri. "Lantas, kenapa dia berbuat kejam
padamu...?"
cecar Ajeng Roro.
Pendekar Mata Keranjang menggeleng.
"Itulah yang tak habis ku mengerti! Dia tiba-
tiba saja menyerangku...."
Aji lantas memperhatikan pakaiannya. Dahinya
berkernyit. Dan tiba-tiba dia teringat pada kipas miliknya. Serta merta
tangannya bergerak meraba di balik pakaiannya yang tampak centang perentang.
Sekejap wajahnya berubah, karena tak menemukan kipasnya.
"Kau mencari barang mu...?" tanya Ajeng Roro.


Pendekar Mata Keranjang 9 Neraka Asmara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pendekar Mata Keranjang tersenyum lebar,
membuat Ajeng Roro semakin keheranan.
"Orang ini benar-benar edan! Dalam keadaan
begini masih bisa senyum-senyum....," gumam gadis itu, tak diungkapkan lewat
mulutnya. "Barang ku rasa-rasanya masih ada dan tetap
utuh. Apa kau tidak merasakannya?" seloroh Pendekar Mata Keranjang sambil
melirik ke bawah.
"Edan! Mulutmu kotor...," cibir Ajeng Roro seraya mengalihkan pandangan. Karena
tatkala mengi- kuti arah pandangan Aji, mata pemuda itu berhenti
pada pangkal pahanya.
Namun hal itu hanya berlangsung sekejap. Di
kejap lain, Pendekar Mata Keranjang tampak bingung.
"Kau melihat senjataku...?" tanya Aji.
Yang ditanya tidak menjawab, dan juga tidak
menoleh. Ajeng Roro terlihat menyembunyikan wajah-
nya yang merah padam.
"Roro...," panggil Aji bersungguh-sungguh. "Kau melihatnya...?"
"Bukankah kau tadi mengatakannya sendiri"
Kenapa sekarang berkata?" tukas Ajeng Roro acuh.
Padahal sebenarnya dia tahu yang dimaksud senjata
oleh Aji adalah kipas.
"Ngg.... Yang ku maksud, kipas ku...."
Ajeng Roro segera mengeluarkan kipas milik
Pendekar Mata Keranjang dari balik pakaiannya. Sege-ra benda itu diangsurkan
pada Aji. Sambil menarik napas lega, Pendekar Mata Ke-
ranjang mengambil kipasnya dan menyimpan di balik
pakaian. "Hmm.... Aku tak mengerti, apa tujuan sebe-
narnya manusia bernama Restu Canggir Rumekso itu.
Kalau memang berniat jelek, tentunya mudah baginya
membunuhku saat aku pingsan tadi. Juga, tampaknya
dia tak tertarik dengan kipas ini. Nyatanya, kipas ini tidak diambilnya...,"
gumam Pendekar Mata Keranjang dalam hati.
"Namun, aku menangkap sesuatu yang tersem-
bunyi di baliknya. Menghadapinya benar-benar dibu-
tuhkan akal sehat.... Aku akan menyelidikinya. Kare-na, akulah yang bertanggung
jawab atas keselamatan
Putri Tunjung Kuning...."
"Eh! Kau melamunkan seseorang...?" usik Ajeng Roro membuyarkan lamunan Pendekar
Mata Keranjang. Untuk menyembunyikan rasa terkejut, Pende-
kar Mata Keranjang tersenyum lebar.
"Di sampingku ada gadis cantik. Untuk apa me-
lamunkan seseorang?"
"Kau telah agak baikan?" tanya Ajeng Roro, mengalihkan pembicaraan. "Eyang
Selaksa mengkhawatirkan kau!"
Sambil berkata begitu, Ajeng Roro bangkit dan
melangkah ke arah Kampung Blumbang. "Eyang Se-
laksa atau...."
Pendekar Mata Keranjang tak meneruskan
ucapannya. Karena pada saat itu, Ajeng Roro telah
berbalik dan membelalakkan sepasang matanya.
Selagi mereka berdua saling berpandangan be-
gitu, sebuah bayangan berkelebat.
"Anak-anak konyol! Ada apa ini...?"
"Eyang...," desah Pendekar Mata Keranjang, seraya bangkit dan melangkah
mendekati. "Aku akan mohon diri sekarang.... Ada sesuatu yang harus
kuselesaikan...."
Habis bicara, Pendekar Mata Keranjang menju-
ra hormat pada sosok yang baru datang yang tak lain Eyang Selaksa. Orang tua ini
sebentar memandang
pada Pendekar Mata Keranjang, lalu beralih pada
Ajeng Roro. "Kau hendak ke mana...?" tanya Eyang Selaksa.
"Aku harus pergi ke Dusun Amadanom. Dan,
maaf. Aku tak bisa menceritakan hal ini sekarang...,"
jelas Aji. Eyang Selaksa hanya mengangguk.
"Kalau itu memang demi kebaikan, pergilah...."
Sementara itu, Ajeng Roro yang tak menduga
secepat itu Aji mengambil keputusan untuk pergi, segera menundukkan kepala.
Wajahnya redup. Bias ke-
kecewaan jelas terpancar dari sikapnya.
"Eyang, Roro.... Aku pergi sekarang...," pamit Aji.
Habis berkata, sejenak Pendekar Mata Keran-
jang menatap Ajeng Roro.
Seperti tahu, gadis itu mengangkat kepalanya,
memandang Aji. Pendekar Mata Keranjang tersenyum. Namun,
Ajeng Roro tidak membalas. Hingga untuk beberapa
saat, kedua orang ini saling pandang. Satunya tersenyum, satunya cemberut.
Melihat suasana kaku, Eyang Selaksa batuk-
batuk beberapa kali. Dan membuat Pendekar Mata Ke-
ranjang tahu diri. Tubuhnya segera berbalik, lantas melangkah meninggalkan Eyang
Selaksa dan Ajeng Ro-ro.
"Roro.... Kau tampaknya bersedih. Aku tahu pe-
rasaanmu. Tapi, kau harus dapat mengerti jiwa seo-
rang pendekar. Dia harus ada di tempat ketidakadilan dan kesewenang-wenangan
berlangsung. Kau paham
maksudku...?" tegur Eyang Selaksa.
Ajeng Roro mengangguk, meski matanya masih
menatap punggung Aji yang makin lama makin kecil,
sebelum akhirnya hilang dari pandangan.
"Apakah kita akan tetap di sini...?" lanjut Eyang Selaksa, begitu agak lama
Ajeng Roro tidak juga beranjak dari tempatnya.
Dengan raut merah padam, Ajeng Roro cepat
melangkah mendatangi Eyang Selaksa. Dua langkah
lagi, gadis ini nampak tersenyum. Lantas tangannya
menggandeng tangan Eyang Selaksa. Dan mereka pun
melangkah menuju Kampung Blumbang.
10 Lembah Bandar Lor tampak hitam pekat dis-
elimuti awan hitam yang menggantung. Suara guntur
menggelegar terdengar bersahutan, menyalak bagai tak habis-habisnya. Lidah petir
sambung menyambung,
seakan ingin melahap bumi dan isinya. Udara dingin
yang berhembus kencang, membuat keadaan semakin
mencekam. Di dalam sebuah gua di ujung lembah yang
hanya diterangi sebuah obor yang ditancapkan begitu saja di sela batu, samar-
samar terlihat dua orang sedang duduk berhadapan.
Namun, ada sesuatu yang membuat mata sea-
kan tak percaya. Salah seorang di antaranya, ternyata duduk di atas sebuah tiang
kecil. Dan ternyata, tiang kecil yang dibuat duduk adalah sebuah tombak yang
menancap hampir setengah ke dalam tanah dalam
gua. Hebatnya, tombak yang pangkalnya membentuk
sekuntum bunga berwarna hitam itu tidak terus am-
blas ke dalam tanah. Sedangkan sosok yang duduk ju-
ga terlihat tenang-tenang saja.
Melihat hal ini, bisa dibayangkan kalau sosok
yang duduk tentu seorang memiliki ilmu meringankan
tubuh yang benar-benar sempurna. Dan mungkin
hanya satu dua orang yang bisa melakukannya.
Yang duduk di atas tombak ternyata seorang
perempuan. Usianya tidak mudah untuk ditebak. Ka-
rena, wajahnya ditutupi bedak tebal. Bibirnya yang
tebal sebelah atas berwarna merah menyala. Rambut-
nya panjang sebahu. Tapi, rambut bagian atasnya di-
potong amat pendek, hingga jabrik! Sepasang matanya lebar. Hidungnya mancung,
tapi bengkok. Dan yang
membuat semakin janggal, ternyata tubuhnya pendek!
Dalam kancah dunia persilatan, wanita pendek yang
bernama asli Kunyil ini berjuluk Bawuk Raga Ginting.
Sementara orang satunya yang duduk di hada-
pan dengan Bawuk Raga Ginting adalah pemuda ber-
wajah tampan. Pakaiannya putih. Sepasang matanya
tajam dengan alis tebal. Rambutnya panjang sebahu.
"Pandu...!"
Setelah saling berdiam diri agak lama, Bawuk
Raga Ginting yang duduk di atas tombak membuka
mulut, membuncah kesunyian yang sesekali hanya di-
pecahkan oleh suara guntur menggelegar.
"Kau telah melaksanakan tugas membawa
penggalan kepala Ageng Panangkaran. Maka seperti
janji ku padamu, mulai saat ini kau kuangkat menjadi muridku!" lanjut perempuan
pendek itu. "Terima kasih..., Guru...!" ucap pemuda yang memang Pandu, bekas murid Ageng
Panangkaran, seraya menjura hormat.
"Pandu.... Sekarang, jawablah dengan jujur.
Dari mana sebenarnya kau mengetahui tempat dan
namaku...?" ujar Bawuk Raga Ginting.
Pandu tidak segera menjawab. Wajahnya tam-
pak bimbang. "Setelah terjadi peristiwa perselisihan dengan adik seperguruanku, aku yang sejak
semula mencuri-gai Ageng Panangkaran menyembunyikan sesuatu,
menyelidik ke ruangannya. Namun, ternyata apa yang
kuduga meleset. Sampai akhir hayatnya, ternyata
Ageng Panangkaran tak menyembunyikan sesuatu
yang kuduga berupa kitab atau benda pusaka. Yang
kutemukan hanyalah sebuah buku kecil. Setelah ku-
buka, ternyata hanya berisi nama-nama orang...," jelas Pandu setelah agak lama
dengan suara bergetar.
"Hmm..., lantas kenapa kau memilih ku...?"
tanya Bawuk Raga Ginting.
Sementara sambil bertanya, mata perempuan
pendek ini tak berkedip menatap pemuda yang kini telah diangkat menjadi
muridnya. "Aku memilihmu, karena dari sekian nama-
nama itu, hanya ada dua nama yang diberi bundaran
merah tebal. Aku berpikir, nama yang diberi bundaran merah adalah nama yang
paling menonjol. Dan berarti, orangnya pun demikian juga," papar pemuda itu.
"Selain namaku, siapa lagi nama lainnya...?"
desak Bawuk Raga Ginting.
"Restu Canggir Rumekso...," sahut Pandu, perlahan. Bawuk Raga Ginting manggut-
manggut. Dalam hati manusia pendek ini memuji kalau pemuda ini cerdik juga. Selain itu,
tampaknya juga licik. Hanya saja, Pandu pandai menyembunyikannya. Dan memang,
orang seperti inilah yang diinginkan Bawuk Raga Ginting.
"Kira-kira siapa sebenarnya yang membunuh
Ageng Panangkaran...?" tanya perempuan pendek itu.
Pandu menggeleng perlahan.
"Hanya saja, waktu itu aku mendapati seorang
pemuda berjuluk Pendekar Mata Keranjang berada di
samping mayat Ageng Panangkaran...," jelas Pandu.
"Tunggu!" seru Bawuk Raga Ginting tiba-tiba seakan terkejut. "Kau menyebut
Pendekar Mata Keranjang. Apakah dia yang akhir-akhir ini menjadi buah
bibir dalam rimba persilatan...?"
Pandu menyeringai tak senang. Namun akhir-
nya menganggukkan kepala.
"Aku menyirap kabar di luaran, Pendekar Mata
Keranjang berhasil mengikis habis tokoh dan momok
rimba persilatan yang bergelar Malaikat Berdarah Biru.
Apa benar demikian...?" sahut Bawuk Raga Ginting.
"Itu hanya kabar yang beredar di luaran. Na-
mun, yang terjadi sebenarnya sulit diduga...," kata Pandu dengan suara agak
berat. Pelipisnya terlihat
bergerak-gerak. Dagunya terangkat membatu. Semen-
tara, alis matanya menukik bertautan, seakan-akan
menahan hawa amarah besar.
Melihat perubahan pada wajah muridnya setiap
kali membicarakan Pendekar Mata Keranjang, mem-
buat Bawuk Raga Ginting sedikit heran.
"Dari raut wajahmu, sepertinya kau tidak se-
nang dengan pemuda bergelar Pendekar Mata Keran-
jang. Apakah...."
"Dialah pemuda yang mengecewakan hatiku!
Adik seperguruanku yang kucintai, ternyata jatuh cin-ta padanya.... Dan aku akan
berusaha, bagaimanapun
caranya untuk membalas pemuda keparat itu...!"
Belum habis Bawuk Raga Ginting bicara, Pandu
telah menyela dengan suara sedikit keras, untuk me-
nindih luapan amarahnya.
Bawuk Raga Ginting tertawa ngikik.
"Kau tak usah khawatir, Pandu! Segala yang
kau inginkan, pasti akan tercapai. Aku akan menu-
runkan segala ilmuku padamu. Namun, kau harus
mengerti. Setelah lancar, kau harus turuti segala pe-rintahku! Kalau coba-coba
membelot, aku tak segan-
segan membunuhmu!" kata Bawuk Raga Ginting tegas.
"Aku mendengarkan mu, Guru. Segala keingi-
nan dan perintahmu akan ku turuti...," sahut Pandu, mantap.
"Bagus! Namun, kau harus sungguh-sungguh!
Karena masalah yang akan kuhadapi sangat berat! Ta-
pi, aku percaya kau akan berhasil menghadapinya!"
Pandu yang mendengarkan keterangan Bawuk
Raga Ginting sedikit terkejut.
"Guru! Kalau boleh tahu, kira-kira tugas apa
nantinya yang harus kulakukan..."!" tanya Pandu hati-hati, takut gurunya
tersinggung. Bawuk Raga Ginting menatap lekat-lekat wajah
muridnya. Sebentar kemudian pandangan matanya be-
ralih memandang ke lobang gua, dan tembus ke luar.
Seolah-olah dia tengah mengingat-ingat masa lalunya, yang kini membayang jelas
di pelupuk matanya.
"Dengar, Pandu. Bertahun-tahun aku hidup
menyendiri dengan menyimpan dendam membara. Aku
sebenarnya tahu, siapa pemuda berjuluk Pendekar
Mata Keranjang itu. Karena, dia sebenarnya adalah
murid Jayang Parama, tokoh yang akhirnya terkenal
bergelar Wong Agung dari Karang Langit. Waktu itu,
dalam rimba persilatan beredar kabar bahwa senjata
ciptaan Eyang Empu Jaladara jatuh ke tangan Wong
Agung. Aku yang waktu itu juga mencari jejak senjata ciptaan Empu Jaladara, pada
akhirnya bertemu Wong
Agung. Namun, nyatanya aku tak bisa menaklukkan-
nya." Sejenak Bawuk Raga Ginting menghentikan ceritanya. Sepertinya, dia
berusaha mengumpulkan sega-la ingatannya untuk diungkapkan pada muridnya.
"Di lain pihak, juga tersiar kabar kalau senjata ciptaan Empu Jaladara lainnya


Pendekar Mata Keranjang 9 Neraka Asmara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berada di tangan
Ageng Panangkaran. Menurut kabar itu, aku pun men-
cari Ageng Panangkaran. Tapi, lagi-lagi aku gagal. Karena waktu itu, Ageng
Panangkaran ternyata juga di-
bantu gurunya Junjung Balaga! Maka sejak saat itulah aku hidup menyendiri,
memendam, dendam pada mereka. Sekarang tersiar kabar kalau senjata itu jatuh ke
tangan Pendekar Mata Keranjang dan Malaikat Berdarah Biru. Dan jika benar kabar
Malaikat Berdarah Biru telah takluk di tangan pendekar sialan itu, berarti semua
senjata ciptaan Empu Jaladara sekarang berada
di tangannya. Dengar! Aku sekarang tidak mengingin-
kan senjata itu. Yang kuinginkan sekarang adalah, kepala Wong Agung! Selain itu,
masih banyak lagi. Dan kau akan tahu sendiri nantinya. Yang jelas mereka
adalah orang-orang yang dahulu menyingkirkan ku
dari pergaulan. Bahkan menghina karena aku begi-
ni...," lanjut Bawuk Raga Ginting, menuntaskan ceritanya. Pandu mendengarkan
keterangan gurunya den-
gan seksama. Seakan-akan dia ikut larut dengan apa
yang dirasakan gurunya.
"Jika saja aku sekarang mampu, sekarang juga
akan berangkat mencari kepala Wong Agung serta
orang-orang yang mengecewakan hatimu!" tegas Pandu, setelah agak lama.
Bawuk Raga Ginting tertawa keras mendengar
kata-kata Pandu. Sehingga, tubuhnya terlihat berguncang-guncang. Namun anehnya,
tombak yang didudu-
ki tak bergeming dan tak amblas!
"Semangat mu berkobar-kobar dan kebera-
nianmu besar! Aku tak salah mengangkatmu jadi mu-
rid. Hik... hik... hik...!"
"Guru! Ada satu hal lagi. Siapa orang yang bernama Restu Canggir Rumekso
itu...?" tanya Pandu, di sela-sela tawa Bawuk Raga Ginting.
Tawa Bawuk Raga Ginting terputus, ketika
mendengar pertanyaan Pandu. Sepasang matanya
yang lebar membeliak merah. Dahinya mengernyit,
membuat bedak di wajahnya luruh. Tubuhnya bergetar
hebat. Sehingga tombak di bawahnya amblas ke dalam
tanah, menyisakan pangkalnya yang berupa sekuntum
bunga berwarna hitam.
"Dia adalah pemuda yang dulu pernah kucintai.
Namun, dia menolak dan menghinaku. Untuk dia, biar
aku sendiri nantinya yang mengurus...," jelas Bawuk Raga Ginting, setelah dapat
menguasai gejolak yang
nampaknya mendera hatinya.
Kembali suasana jadi hening.
"Pandu!" panggil Bawuk Raga Ginting setelah keduanya agak lama diam. "Lepas baju
atasmu. Kita mulai latihan sekarang!"
Sejak hari itu, Pandu memulai hari-hari ba-
runya di Lembah Bandar Lor. Dia berlatih di bawah
bimbingan tokoh aneh berjuluk Bawuk Raga Ginting.
11 Begitu agak jauh meninggalkan Kampung
Blumbang, Pendekar Mata Keranjang 108 memperlam-
bat larinya. Bahkan kini terlihat melangkah perlahan.
Sambil berkipas-kipas. Mulutnya mengumandangkan
nyanyian yang tak jelas di telinga.
"Restu Canggir Rumekso.... Aku harus segera
menemukan tempat tinggalnya. Aku selalu mengkha-
watirkan keadaan Putri Tunjung Kuning. Apalagi, ka-
tanya dia sedang hamil.... Siapa kira-kira ayah jabang bayi dalam kandungannya?"
kata batin Pendekar Mata Keranjang sambil terus melangkah.
Namun langkah Aji mendadak tertahan tatkala
kedua telinganya menangkap suara mencurigakan.
Sambil tetap mendendangkan nyanyiannya, murid
Wong Agung ini cepat berbalik.
Sepasang mata Pendekar Mata Keranjang se-
rentak terbelalak hampir tidak percaya. Matanya dikucek-kucek, seakan ingin
meyakinkan. Dan nyatanya
pandangan matanya tidak menipu.
Di hadapan Aji, kira-kira sepuluh langkah tam-
pak berdiri tegak seorang gadis cantik jelita berpakaian putih-putih. Di
lehernya, melingkar untaian kalung da-ri bunga-bunga berwarna hitam. Sementara
di atas telinga kirinya, juga menyelip sekuntum bunga berwarna hitam. "Pendekar
Mata Keranjang! Kau tak akan bisa lari dari mataku!" tegur gadis berbaju putih
ini dengan nada tinggi.
"Ratu Sekar Langit...," sebut Pendekar Mata Keranjang, memandang tak berkedip.
"Gadis ini tak kenal menyerah. Terpaksa kali ini aku akan turuti permin-taannya,
daripada masalah ini tak ada ujung pangkalnya...," kata batin Pendekar Mata
Keranjang sambil tersenyum lebar.
"Laki-laki pembual! Kali ini kau tak akan lolos lagi!" teriak Ratu Sekar Langit.
Seraya berkata, gadis ini segera menarik kedua
tangannya, siap melepaskan pukulan.
"Tunggu!" tahan Pendekar Mata Keranjang. Cepat kipasnya dilipat dan disimpan di
balik baju hi- jaunya. Ratu Sekar Langit mengurungkan niat. Namun, tangannya tetap siap.
Sepasang matanya tetap menatap menyelidik.
"Dengar, Ratu Sekar Langit. Aku memang se-
dang dalam perjalanan ke tempatmu. Karena, urusan-
ku yang kukatakan dahulu telah selesai...."
Paras Ratu Sekar Langit menjadi berubah seke-
tika. Matanya yang bulat memperhatikan sejenak, seolah belum yakin. Tapi begitu
Pendekar Mata Keranjang tetap tersenyum dan malah mendekat ke arahnya, dia
terlihat sedikit gugup salah tingkah.
"Ucapanmu bisa dipercaya...?" tanya Ratu Sekar Langit. Tatapannya menusuk bola
mata Pendekar Mata Keranjang.
Murid Wong Agung ini hanya mengangguk.
"Kita berangkat sekarang...?" tantang Pendekar Mata Keranjang seperti
bersungguh-sungguh meski
dalam hati masih bingung tak tahu apa yang mesti diperbuat.
Seolah tersentak dari rasa terkejut, Ratu Sekar
Langit menggumam pelan seraya memalingkan wajah-
nya. "Hmm... Gadis ini benar-benar cantik. Dadanya dari arah samping begitu
kencang menantang. Ping-gulnya besar. Dan, hm... Bau harum tubuhnya menye-
ruak sampai sini...."
Sambil membatin begitu, sepasang mata Pen-
dekar Mata Keranjang tak henti-hentinya menatap.
Dan ini membuat gadis yang ditatap semakin salah
tingkah. "Pendekar Mata Keranjang. Maafkan perlakua-
nku padamu selama ini...," ucap Ratu Sekar Langit sambil melirik.
"Tak ada yang perlu dimaafkan. Yang salah se-
benarnya aku...," sahut Pendekar Mata Keranjang, mengerdipkan sebelah matanya.
"Pemuda ini menarik. Tak heran jika banyak
gadis yang menyukainya.... Dan aku sendiri, seper-
tinya tak bisa melupakannya...," kata batin Ratu Sekar Langit. Dengan berusaha
menghilangkan sikap salah
tingkahnya, Ratu Sekar Langit tersenyum manis pada
Pendekar Mata Keranjang.
"Silakan kau berjalan di muka...," ujar gadis ini.
"Ah! Kata-katamu masih menyimpan rasa curi-
ga padaku. Kau tak perlu curiga dan khawatir jika aku lari. Bagaimana jika kita
jalan bersamaan..." Aku sudah lama tak pernah jalan-jalan dengan gadis can-
tik...," desah Pendekar Mata Keranjang, mengge-maskan.
Wajah Ratu Sekar Langit mendadak bersemu
merah mendengar pujian Pendekar Mata Keranjang.
Dan sebelum menyatakan persetujuannya, Aji telah
menjajarinya. Kini mereka tampak berjalan seiring. Namun
hingga beberapa lama, tidak ada seorang pun yang
bersuara. Mereka tampaknya seperti terbuai angan
masing-masing. "Bagaimana sekarang...?" tanya batin Pendekar Mata Keranjang. "Apa aku ke
tempatnya dahulu, yang berarti tujuanku ke lereng Gunung Mahameru tertun-da.
Atau, aku akan memuslihatinya dan meninggal-
kannya" Tapi, itu akan berakibat lebih parah lagi. Karena, dia pasti akan tetap
mencariku.... Hmm..., bagaimana kalau dia kuajak serta ke lereng Gunung Ma-
hameru mencari tempat tinggal Restu Canggir Rumek-
so?" Sementara Pendekar Mata Keranjang memba-
tin, Ratu Sekar Langit pun membatin.
"Aku heran. Jika sudah berdua dengannya, se-
pertinya kehabisan bahan untuk bicara...," keluh Ratu Sekar Langit.
"Ratu Sekar Langit...!" panggil Pendekar Mata Keranjang, memecah kekakuan.
"Kalau boleh tahu, apa kau masih berniat mendirikan perguruan silat...?"
"Benar! Itu memang cita-citaku sejak kecil. Kau mau membantuku, bukan..."
Perguruan itu nantinya
akan kita pimpin bersama. Dan kau bisa menetap di
istanaku...!" sahut Ratu Sekar Langit, lugas.
Pendekar Mata Keranjang tertawa perlahan,
mendengar tawaran Ratu Sekar Langit. Dan ini mem-
buat gadis itu memalingkan wajahnya.
"Sayang sekali, aku tidak bisa menerima tawa-
ran baikmu itu, Ratu.... Karena, aku masih suka hidup begini. Ke sana kemari,
tanpa ada yang mengikat. Lagi pula, tak layak pemuda macam aku mendampingi gadis
cantik sepertimu! Kalau kau suka, aku punya be-
berapa kenalan yang mungkin cocok mendampingi-
mu!" tolak Pendekar Mata Keranjang, halus.
Wajah Ratu Sekar Langit meredup tiba-tiba. Di-
tariknya napas dalam-dalam. Tapi sepasang matanya
tiba-tiba mendelik.
"Pendekar Mata Keranjang! Sejak kapan kau
berubah jadi calo jodoh"!"
"Sejak bertemu kau!" jawab Pendekar Mata Keranjang, seenaknya.
Sebuah cubitan segera hinggap di lengan Pen-
dekar Mata Keranjang. Seketika murid Wong Agung ini memekik perlahan.
"Ratu Sekar Langit! Kita lupakan dulu soal perguruan silatmu. Terus terang, aku
sebenarnya hendak ke Dusun Amadanom yang terletak di lereng Gunung
Mahameru. Aku..., ada hal yang harus kuselesai-
kan...," kata Pendekar Mata Keranjang terus terang.
Terkejutlah Ratu Sekar Langit mendengar kata-
kata Pendekar Mata Keranjang
"Jadi, kau akan mungkir lagi...?" tukas Ratu Sekar Langit dengan nada tinggi.
"Tidak! Namun jika kau mau mengerti, aku
akan ke sana dahulu. Lantas, setelah itu akan ke ista-namu!" jelas Aji.
Ratu Sekar Langit menghela napas dalam-
dalam. Matanya memandang jauh. Lalu kepalanya
menggeleng. "Pendekar Mata Keranjang. Bagaimana kalau
aku ikut serta denganmu" Kau tak keberatan, bu-
kan...?" tanya Ratu Sekar Langit.
Pendekar Mata Keranjang tidak bisa segera
menjawab. Hingga mungkin karena tidak sabar me-
nunggu jawaban, Ratu Sekar Langit yang berdiri tepat di depan segera mencekal
bahu Pendekar Mata Keranjang. "Kau tidak keberatan bukan...?" desak Ratu Sekar
Langit, semakin mengencangkan cekalan tangannya. "Baik-baik. Tapi, lepaskan dulu
cekalan tanganmu. Kalau ingin cekal, yang lain saja...," jawab Pendekar Mata
Keranjang, bercanda.
Entah gembira entah karena disengaja, menda-
dak Ratu Sekar Langit melepaskan cekalan tangannya
pada lengan Pendekar Mata Keranjang. Namun men-
dadak dia bergerak merangkul tubuh pemuda itu.
Dada Pendekar Mata Keranjang menggemuruh
seketika. Jantungnya berdetak makin kencang. Lebih-
lebih, tatkala dada membusung indah milik Ratu Sekar Langit menempel rapat di
dadanya. "Pendekar Mata Keranjang...," bisik Ratu Sekar Langit, perlahan. "Terima kasih
kau mau mengajakku ikut serta...."
Karena begitu tercekat, membuat Pendekar Ma-
ta Keranjang tak segera menjawab kata-kata Ratu Se-
kar Langit. Hanya kedua tangannya lantas bergerak ke belakang tubuh Ratu Sekar
Langit, dan menekannya.
Ratu Sekar Langit sepertinya terlena. Tubuhnya
makin dirapatkan. Lalu, kepalanya terangkat menen-
gadah. Sementara, dadanya makin berguncang keras.
Pendekar Mata Keranjang merundukkan kepa-
lanya sedikit. Lalu, bibirnya memagut bibir Ratu Sekar Langit yang tampak
sedikit terbuka.
Lama kedua anak manusia ini saling berpagu-
tan. Malah karena begitu terbuainya, perlahan-lahan kaki Ratu Sekar Langit
tampak goyah. Dan tak lama
kemudian, tubuh keduanya oleng dan luruh di atas
tanah lalu bergulingan.
Begitu di atas tanah, sepertinya mereka masih
terbuai. Keduanya terus saling berpagutan. Baru
tatkala Ratu Sekar Langit pasrah menerima apa yang
akan diperbuat Pendekar Mata Keranjang....
"Astaga!" seru Pendekar Mata Keranjang begitu tersadar, segera dia melepaskan
rangkulannya di bawah punggung Ratu Sekar Langit
"Pendekar Mata Keranjang....." panggil Ratu Sekar Langit, lirih.
"Ratu Sekar Langit.... Kita harus cepat menuju lereng Gunung Mahameru...," ujar
Pendekar Mata Keranjang Aji segera bangkit. Kedua tangannya diulurkan,
memberi isyarat agar Ratu Sekar Langit segera bang-
kit. Dengan wajah memerah dan tak berani me-
mandang Pendekar Mata Keranjang, Ratu Sekar Langit
menyambuti uluran tangan itu. Segera gadis ini bangkit, dengan wajah berpaling.
"Nanti kita teruskan, jika kita telah selesai dengan urusan di lereng Gunung
Mahameru...," kata Pendekar Mata Keranjang sambil mengerdipkan sebelah
matanya. Yang dikerdipi mendelik. Namun, bibirnya me-
nyunggingkan senyum bahagia.
SELESAI Tunggu serial Pendekar Mata Keranjang 108
selanjutnya: TITISAN DARAH TERKUTUK
Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
Si Kumbang Merah 17 Dewa Linglung 9 Iblis Hitam Tangan Delapan Rahasia Mo-kau Kaucu 6
^