Pencarian

Neraka Asmara 2

Pendekar Mata Keranjang 9 Neraka Asmara Bagian 2


berjumpa. Dan sein-gatku, di antara kita tidak ada silang sengketa. Kalau boleh
tahu, dosa apakah yang telah kulakukan, sehingga kau tampaknya tidak main-main
dengan uca- panmu..."!"
"Dasar laki-laki pembual! Pura-pura atau tidak, tak ada bedanya!" maki Ratu
Sekar Langit, sengit.
Wanita ini menyeringai. Sepasang matanya
yang bulat berbinar berkilat-kilat membelalak. Wajahnya dibuang ke samping.
"Ada apa sebenarnya ini..." Tak ada ujung
pangkalnya, tahu-tahu mengancamku. Bingung
aku...," kata Pendekar Mata Keranjang dalam hati.
Dengan langkah mantap, Aji maju dua tindak.
Matanya tetap menatap Ratu Sekar Langit.
"Ratu Sekar Langit. Ada apa sebenarnya..." Kau jangan membuat hatiku dag-dig-dug
tak karuan?"
tanya Aji, murid Wong Agung ini.
"Manusia satu ini benar-benar gila. Dia seper-
tinya menganggap sepele segala persoalan. Tapi sebenarnya dia laki-laki menarik.
Hmm.... Sayang, uca-
pannya tak bisa dipegang...," kata Ratu Sekar Langit dalam hati.
Dalam hatinya yang paling dalam, Ratu Sekar
Langit memang sangat mengagumi ketampanan dan
kejantanan Pendekar Mata Keranjang. Namun karena
merasa pernah disakiti, dia berusaha menepis pera-
saan itu. "Laki-laki buaya! Jangan berpura-pura!" maki Ratu Sekar Langit dengan suara
tinggi melengking.
Wajah perempuan ini tampak bersemu merah.
Alis matanya yang hitam tebal naik sedikit ke atas. Dia tampaknya hampir tidak
dapat lagi menahan gejolak
amarahnya yang selama ini ditahannya.
Pendekar Mata Keranjang hanya menggeleng.
Bukan karena tak mengerti arti ucapan gadis cantik di hadapannya. Namun, karena
paras Ratu Sekar Langit
semakin mempesona di matanya tatkala keadaan ma-
rah begitu. "Busyet! Gadis ini makin cantik saja kalau saat meradang begini...."
Seraya membatin begitu, sepasang mata Pen-
dekar Mata Keranjang tak lepas-lepasnya menatap pa-
ras Ratu Sekar Langit. Dan ini membuat yang ditatap tambah memerah wajahnya.
Malah matanya semakin
mendelik. "Laki-laki pembual! Bersiaplah! Aku tidak akan pulang ke Istana Padalarang tanpa
membawa sebagian
tubuhmu!" Sambil berkata Ratu Sekar Langit mementang
sedikit kedua kakinya. Sementara kedua tangannya ditarik ke belakang, siap
melepas pukulan.
"He! Rupanya kau bersungguh-sungguh...?" ka-ta Pendekar Mata Keranjang kalem.
Malah bibirnya masih menampakkan senyum.
"Bangsat! Apa kau kira aku main-main. He..."!"
umpat Ratu Sekar Langit jengkel.
"Oh, begitu...?"
Pendekar Mata Keranjang menganga lebar. Se-
mentara air mukanya tampak tenang, membuat Ratu
Sekar Langit semakin jengkel dan geram.
"Kau akan menghukumku tanpa memberitahu-
kan dahulu, apa kesalahanku. Hmm.... Itu kukira hal yang kurang bijaksana.
Sekali lagi, kalau kau tak keberatan, katakan apa kesalahanku!" ujar Aji.
Untuk beberapa saat Ratu Sekar Langit diam
tak menjawab. Hanya kedua matanya menusuk tak
kesiap. "Kau tak mau menyebutkan dosa-dosaku. Berarti, memang aku tidak
bersalah. Atau, kau mungkin punya masalah pada orang yang mirip denganku, lalu
kau tumpahkan padaku...?"
Yang diajak bicara diam saja.
"Ratu Sekar Langit.... Sebenarnya, aku sangat gembira bertemu denganmu. Kau
tahu" Aku selama ini
juga rindu padamu. Aku bahkan punya pikiran, jika
suatu ketika bertemu, ingin berlama-lama dengan-
mu.... Namun setelah bertemu, semuanya jadi buyar.
Ratu Sekar Langit.... Rupanya kali ini kau tak berke-nan. Dan dari pada urusan
ini berlarut-larut, lebih baik aku pergi.... Meski sebenarnya, hatiku berat...,"
jelas Aji seraya menyembunyikan senyum di bibirnya.
Kakinya melangkah, hendak meninggalkan gadis itu.
Mendengar ucapan Pendekar Mata Keranjang,
dada Ratu Sekar Langit berdetak lebih kencang. Kepalanya berpaling,
menyembunyikan wajahnya yang ma-
kin mengelam serta senyumnya yang menyeruak aneh.
"Dia mengatakan kangen dan ingin berlama-
lama denganku..." Apakah dia..., oh! Laki-laki buaya macam dia mana dapat
dipercaya" Aku dahulu sudah
pernah ditipu.... Namun aku tak dapat menipu hatiku.
Aku senang mendengar dia mengatakan rindu pada-
ku...," gumam batin Ratu Sekar Langit.
Gadis ini lantas memandang ke depan. Dan
demi melihat Pendekar Mata Keranjang sudah melang-
kah agak jauh, dia segera melompat.
"Laki-laki pembual! Kau kira dapat meninggal-
kan tempat ini dengan mulut masih dapat bicara...?"
teriak Ratu Sekar Langit.
Ratu Sekar Langit kini telah berdiri tegak
menghadang langkah Pendekar Mata Keranjang.
"Seandainya belum kukenal dan bukan gadis
cantik, aku sudah sejak tadi meninggalkannya...," gumam batin Pendekar Mata
Keranjang. Aji menghentikan langkahnya. Dipandanginya
gadis cantik di hadapannya.
"Ratu Sekar Langit. Aku tak punya banyak
waktu. Katakan terus terang, apa maksudmu sebenar-
nya"!" "Hmm.... Kau ingat peristiwa di Teluk Gonggong"!" Ratu Sekar Langit
mengajukan pertanyaan.
"Tentu! Aku tentu ingat peristiwa itu. Karena, di sanalah aku bertemu gadis
cantik bergelar Ratu Sekar Langit...," sahut Pendekar Mata Keranjang, enteng.
"Uh, manusia ini benar-benar gila. Bagaimana
aku bisa menghadapi manusia satu ini?" keluh Ratu Sekar Langit dalam hati.
Gadis ini berusaha menekan perasaan hatinya.
Diam-diam hatinya dilanda perasaan bercampur aduk,
antara senang dan jengkel.
"Kau ingat pernah mengucapkan janji pada-
ku..."!" Dahi Pendekar Mata Keranjang berkerut. Dico-banya mengingat-ingat,
namun gagal. "Rasa-rasanya aku tidak pernah..."
"Dasar laki-laki mata keranjang! Kau memang
tak bisa dikasih hati!"
Pendekar Mata Keranjang tidak meneruskan
kata-katanya. Karena, Ratu Sekar Langit telah menu-
kas dengan nada keras. Bahkan seketika kedua tan-
gannya mendorong ke arah Aji.
Serangkum angin deras seketika keluar dari
kedua tangan Ratu Sekar Langit, menyambar memba-
wa suara menggemuruh dahsyat.
Dengan menahan rasa terkejut, Pendekar Mata
Keranjang segera melompat ke samping untuk meng-
hindar. Namun baru saja kakinya menginjak tanah,
angin deras yang bahkan disertai sekuntum bunga
berwarna hitam melesat ke arahnya.
Dengan kening masih berkerut mencoba berpi-
kir keras mengingat-ingat apa yang pernah diucapkan pada Ratu Sekar Langit,
Pendekar Mata Keranjang melesat ke udara. Dibuatnya gerakan berputar dua kali,
lalu mendarat sambil memberi isyarat dengan kedua
tangan agar Ratu Sekar Langit tak meneruskan seran-
gan. "Ratu Sekar Langit! Akhir-akhir ini aku banyak menghadapi masalah besar.
Masalah itu berhubungan
langsung dengan keselamatan jiwaku dan juga kete-
nangan dan ketenteraman dunia persilatan. Jadi kau
harus maklum jika aku sama sekali tak ingat dengan janji ku padamu. Katakan
saja, janji apa yang pernah kuucapkan padamu...!"
Ratu Sekar Langit sejenak menatap, Pendekar
Mata Keranjang seraya menepiskan helaian rambut
yang menghalangi pemandangannya. Wajahnya lantas
berpaling. "Waktu di Teluk Gonggong, kau berjanji akan
mengunjungi ku di Istana Padalarang, serta akan
membantuku mendirikan perguruan silat. Sekarang
kau ingat"!" sahut Ratu Sekar Langit, mengingatkan.
Pendekar Mata Keranjang menepuk jidatnya
berkali-kali. Lantas bibirnya tersenyum sambil men-
gangguk-angguk.
"Pendekar Mata Keranjang!" tambah Ratu Sekar Langit dengan suara agak rendah.
"Sejak peristiwa di Teluk Gonggong, aku selalu menanti kedatanganmu.
Namun setelah sekian purnama kau tak juga muncul,
aku mulai menyesal. Menyesal kenapa terlalu memper-
cayai janji-janjimu. Kau tahu..." Seandainya kau tak mengucapkan janji, waktu
itu aku tidak akan meninggalkan Te luk Gonggong. Apalagi pengasuh ku, Ki
Buyut Linggar Dipa tewas di tangan temanmu! Seka-
rang, aku ingin menagih janji yang pernah kau
ucapkan!" Untuk beberapa saat Pendekar Mata Keranjang
terdiam. "Gawat! Kenapa saat itu mulutku tak bisa di-
am" Bicara soal janji-janji. Padahal, aku mengucapkan janji itu hanya untuk
meredakan suasana dan agar dia berpihak padaku...," rutuk Aji, dalam hati.
"Pendekar Mata Keranjang! Kenapa kau diam"
Apa kau tak mendengar penjelasanku"!" tegur Ratu Sekar Langit.
Seakan baru tersadar, Pendekar Mata Keran-
jang hanya menganggukkan kepala. Padahal, hatinya
kebingungan mencari jalan keluar agar kali ini dapat menghindar dari Ratu Sekar
Langit. Karena, perjalanannya ke Karang Langit menemui Wong Agung jauh
lebih penting. "Hmm.... Terima kasih jika kau mau mengerti.
Kita berangkat sekarang?" tawar Ratu Sekar Langit seraya melangkah mendekat.
Senyumnya mengembang
dengan mata bersinar.
"Tunggu...," ujar Pendekar Mata Keranjang, membuat langkah Ratu Sekar Langit
terhenti. "Maksudku bukan begitu. Aku mengerti penjelasan mu.
Namun untuk menepati janji ku, aku minta penger-
tianmu. Sementara ini aku minta waktu padamu. Ka-
rena, aku masih ada masalah yang sekarang harus
diselesaikan. Kalau sekarang aku ke tempatmu, uru-
sanku bisa terabaikan. Dan itu akan membawaku pa-
da keadaan sulit!"
"Pendekar Mata Keranjang! Kau ternyata laki-
laki pengecut yang kata-katanya sulit dipegang!" bentak Ratu Sekar Langit.
"Dengar dahulu, Ratu Sekar Langit...," ujar Pendekar Mata Keranjang perlahan.
"Aku sekarang dalam perjalanan ke tempat guruku...."
"Siapa percaya ocehanmu"!" damprat Ratu Sekar Langit dengan seringai.
"Kau boleh percaya, boleh tidak. Namun untuk
sekarang ini, aku tidak bisa memenuhi permintaanmu.
Meski, sebenarnya itu janji ku!" kilah Pendekar Mata Keranjang agak jengkel.
"Mulutmu memang pantas dirobek, biar tidak
mudah menebar janji-janji palsu!"
Sambil berkata, Ratu Sekar Langit melesat ke
depan. Kedua tangannya cepat menghentak.
"Gadis ini sepertinya tidak main-main dengan
ucapannya...," kata batin Pendekar Mata Keranjang seraya melompat ke samping,
menghindari pukulan Ratu
Sekar Langit. Namun Pendekar Mata Keranjang dibuat terke-
jut bukan alang kepalang. Karena baru saja mendarat, Ratu Sekar langit telah
berdiri dua langkah di belakangnya. Dan sekonyong-konyong dilepaskannya han-
taman tangan kiri dan kanan ke arah kepalanya.
Kalau saja Pendekar Mata Keranjang tidak
waspada dengan segera merunduk, niscaya kepalanya
akan terhantam telak tinju kanan dan kiri Ratu Sekar Langit.
Namun selagi Pendekar Mata Keranjang me-
runduk menghindari hantaman tangan, Ratu Sekar
Langit sudah menerjang kaki kanannya.
Wuuut! Buk! "Aaakh...!"
Begitu cepatnya gerakan kaki Ratu Sekar Lan-
git, hingga kali ini Pendekar Mata Keranjang tak sempat lagi berkelit.
Punggungnya kontan terhajar kaki kanan Ratu Sekar Langit. Tubuhnya langsung
tersu-ruk. Dengan menggumam tak karuan, Pendekar Ma-
ta Keranjang merambat bangkit. Namun begitu berdiri dan berbalik, sepasang
matanya tak lagi menangkap
sosok Ratu Sekar Langit.
Saat kebingungan begitu, tiba-tiba terdengar
tawa cekikikan. Pendekar Mata Keranjang segera ber-
paling. Dari arah sebuah pohon, Ratu Sekar Langit
tampak melayang turun. Namun sebelum tubuhnya
mendarat, empat kuntum bunga berwarna hitam su-
dah melesat cepat mengeluarkan suara mendesing.
Hebatnya, empat kuntum bunga itu langsung berpen-
car dan menukik deras ke arah Pendekar Mata Keran-
jang dari empat jurusan.
Aji hampir tak mempercayai penglihatannya.
Dia meracu tak karuan, seraya melesat ke udara. Tangan kanan cepat dihantamkan
ke depan. Sementara,
kaki kanannya disapukan menyamping.
Bet! Bet! Dua rangkum angin kencang bergemuruh sege-
ra menerpa, memapak kuntum bunga yang mengarah
dari arah depan. Tiga kuntum bunga serta merta han-
cur berhamburan. Namun, satu kuntum lainnya lolos
dan kini menukik deras menerabas dari arah atas ke-
pala Pendekar Mata Keranjang!
Begitu kencangnya lesatan bunga itu, hingga
tak ada kesempatan lagi bagi Pendekar Mata Keranjang untuk menangkis. Maka mau
tak mau dia hanya bisa
menghindar dengan melangkah ke samping.
Namun baru saja Aji dapat selamat, dari arah
depan Ratu Sekar Langit telah kembali menghentak-
kan kedua tangannya.
Seketika arak-arakan asap berwarna keputih-
putihan yang sesekali tampak menggumpal disertai
hawa panas menyengat menggebrak ke arah Pendekar
Mata Keranjang!


Pendekar Mata Keranjang 9 Neraka Asmara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pendekar Mata Keranjang yang masih tampak
terhuyung-huyung setelah dapat menghindari seran-
gan kuntuman bunga Ratu Sekar Langit jadi tersadar
kalau serangan kuntuman bunga hanyalah serangan
tipuan untuk mengalihkan perhatiannya. Melihat hal
itu, segera tubuhnya direbahkan di tanah dan cepat
bergulingan. Pada gulingan keenam, sepasang kakinya segera menendang ke tanah,
membuat tubuhnya melesat ke atas. Dan bersamaan dengan itu dilepaskannya pukulan
'Segara Geni'. Des! Bum! Bum! Tempat itu laksana diterpa gempa dahsyat. Ta-
nahnya bergetar. Pohon berderak tumbang dalam kea-
daan hangus menghitam.
Sementara itu Ratu Sekar Langit menjerit ter-
tahan. Tubuhnya tampak gemetaran. Kedua tangannya
memerah. Sementara pakaian yang dikenakannya ber-
kibar-kibar, membuat lekukan tubuhnya semakin ter-
lihat jelas. Namun hebatnya, sosok gadis ini tak bergeming sama sekali, laksana
tiang menancap kokoh.
Sementara, Pendekar Mata Keranjang yang me-
lancarkan serangan sambil meloncat ke udara sudah
kembali mencelat dua tombak ke belakang. Untung dia masih sempat membuat gerakan
salto, hingga tubuhnya selamat dari pengaruh ledakan barusan.
"Gadis ini benar-benar nekat! Bagaimana ini"
Kalau aku terus menerus bertahan, tak mustahil suatu kesempatan aku akan
terhantam pukulannya. Sementara, aku tak tega untuk melepaskan pukulan secara
langsung ke arahnya. Aku..., khawatir dia akan cide-ra...." Di lain pihak, Ratu
Sekar Langit yang masih tampak berdiri kokoh segera menakupkan kedua tangannya
sejajar dada. Dan begitu telapak tangannya
membuka dan hendak dihantamkan, mendadak berke-
lebat sesosok bayangan. Dan tahu-tahu sosok itu telah berdiri tegak, seakan
menghadang serangan yang akan dilancarkan Ratu Sekar Langit.
"Gadis cantik! Apakah layak melakukan pem-
bunuhan pada orang yang bertarung setengah hati"!"
tegur sosok yang kini memandang pada Ratu Sekar
Langit. Pendekar Mata Keranjang melengak tak per-
caya, begitu mengenali siapa orang yang menghadang
serangan Ratu Sekar Langit. Dia adalah seorang gadis berparas cantik. Rambutnya
panjang sebahu dan bermata bulat.
"Ajeng Roro...," sebut Pendekar Mata Keranjang seraya melangkah mendekat.
Mendapat sapaan Pendekar Mata Keranjang,
gadis yang memang Ajeng Roro tidak menyahut, apala-
gi berpaling. Dan ini membuat murid Wong Agung
menggeleng seraya menarik napas dalam-dalam.
"Benar apa yang dikatakan Eyang Selaksa. Sa-
dis satu ini keras kepala. Hmm.... Mungkin dia masih memendam rasa jengkel
padaku, atas kejadian di Ko-
taraja Malowopati. Atau mungkin juga cemburu pada
Ratu Sekar Langit.... Namun dengan kedatangannya
aku bisa menghindar dari Ratu Sekar Langit.... Ya,
seandainya saja aku tidak dalam perjalanan menuju
Karang Langit, tentu mau saja ke Istana Padalarang.
Apalagi, diajak gadis secantik Ratu Sekar Langit...," ka-ta batin Pendekar Mata
Keranjang seraya mendehem
beberapa kali. "Siapa kau"!" tegur Ratu Sekar Langit, dengan suara meradang. "Jangan berani
mencampuri urusan ini, bila masih ingin tetap hidup!"
Untuk sesaat Ajeng Roro tidak menjawab.
Hanya sepasang matanya yang bulat memandang tak
kedip ke arah Ratu Sekar Langit. Sinar matanya men-
gisyaratkan ketidaksenangan.
"Aji. Kau benar-benar laki-laki mata keranjang!
Di mana-mana selalu dan selalu terlibat persoalan
dengan gadis-gadis cantik. Aku jadi tak percaya pada diriku sendiri. Gadis yang
tampaknya tertarik padamu begitu banyak dan cantik-cantik. Sedangkan aku...?"
kata batin Ajeng Roro dengan menarik napas panjang
dan dalam-dalam.
"He...! Kau jangan berpura-pura tak mendengar
pertanyaanku!" bentak Ratu Sekar Langit dengan mata membesar. Sementara dahinya
membentuk kerutan.
Bentakan Ratu Sekar Langit seakan menyen-
takkan lamunan Ajeng Roro. Sehingga gadis ini tam-
pak gugup dan gelagapan. Namun sebentar kemudian
dia sudah dapat menguasai diri dan tersenyum seraya berkata dengan tenang.
"Aku, Roro! Dan perlu kau camkan baik-baik.
Aku tidak suka diancam oleh siapa pun! Aku juga tak ingin ikut campur masalah
dengan pemuda ini. Namun
karena aku juga punya persoalan dengan pemuda ini,
maka kuharap kau mengerti! Kau sendiri siapa..."!"
sahut Ajeng Roro seraya balik bertanya.
Ratu Sekar Langit tersenyum dingin. Matanya
membeliak lebar dan memandang bergantian pada
Ajeng Roro dan Pendekar Mata Keranjang. Lantas pan-
dangannya dibuang jauh ke jurusan lain. Tawanya
perlahan segera terdengar. Dan begitu tawanya ber-
henti, ekor matanya melirik tajam pada Ajeng Roro.
"Aku sebenarnya sungkan untuk menyebutkan
nama. Namun karena kau tadi telah memperkenalkan
diri, maka tak ada salahnya jika aku pun memperke-
nalkan diri. Orang-orang memanggilku Ratu Sekar
Langit! Dan perlu juga kau perhatikan baik-baik. Aku tak mau tahu kau punya
persoalan atau tidak dengan
pemuda itu. Namun yang pasti, kau telah mencampuri
urusanku dengan caramu barusan. Dan jika kau tidak
segera tinggalkan tempat ini, berarti membuka ajang sengketa denganku!" tegas
Ratu Sekar Langit.
Ajeng Roro tersenyum rawan.
"Hmm..., begitu?" tukas Ajeng Roro tanpa menunjukkan rasa gentar sama sekali.
Gadis ini lantas berpaling pada Pendekar Mala
Keranjang yang kini berdiri tak jauh darinya. Dan Aji tampak kebingungan tak
tahu harus berbuat apa.
Saat Ajeng Roro berpaling, Pendekar Mata Ke-
ranjang juga sedang menoleh. Seketika keduanya sal-
ing berpandang. Hati Ajeng Roro berdetak lebih ken-
cang. Raut wajahnya bersemu merah.
Pendekar Mata Keranjang tersenyum. Namun
Ajeng Roro tak membalas. Hanya pandangan matanya
tak beralih dari bola mata Aji.
"He! Kuperingatkan sekali lagi, tinggalkan tempat ini!" seru Ratu Sekar Langit.
"Hmmm.... Tampaknya kau terkesima dengan
pemuda itu. Apa hubunganmu dengannya" Keka-
sih...?" sambung Ratu Sekar Langit, begitu agak lama Ajeng Roro tidak menyahuti
kata-katanya. Bahkan
memandang pun tidak!
Mendengar ucapan Ratu Sekar Langit. buru-
buru wajah Ajeng Roro berpaling. Rautnya semakin
merah padam. Dari mulutnya terdengar gumaman
yang tak jelas. Matanya kini memandang tajam pada
Ratu Sekar Langit.
"Kau tak usah tahu, apa hubungan ku dengan-
nya! Dan kaulah yang seharusnya segera meninggal-
kan tempat ini!" balas Ajeng Roro seraya melangkah maju. "Ah! Urusan ini akan
semakin rumit jadinya....
Apa yang harus kulakukan" Jika aku menengahi, ke-
duanya pasti tidak ada yang saling mengerti. Dasar
gadis-gadis keras kepala...," rutuk Pendekar Mata Keranjang.
Aji memandang satu persatu pada Ajeng Roro
dan Ratu Sekar Langit.
"Hm..., sebaiknya aku segera meninggalkan
tempat ini. Dengan begitu, mereka pasti akan bubar
sendiri... Tapi, aku harus mencari saat yang tepat.
Hm..., terpaksa akan kubiarkan dahulu mereka saling menukar jurus. Dengan
demikian, perhatiannya padaku pasti berkurang...," pikir Pendekar Mata
Keranjang, seraya menyapukan pandangan ke sekeliling.
Apa yang menjadi dugaan Pendekar Mata Ke-
ranjang ternyata benar. Begitu Ajeng Roro melangkah maju, Ratu Sekar Langit
tidak tinggal diam. Tubuhnya pun berkelebat. Dan tahu-tahu dia telah berdiri
tegak lima langkah di hadapan Ajeng Roro.
"Gadis liar! Jangan menyesal jika aku berlaku
kasar padamu!" bentak Ratu Sekar Langit, seraya
mengirimkan serangan jarak jauh menggunakan tan-
gan kosong. Seketika arak-arakan asap putih segera me-
nyambar. Namun Ajeng Roro yang telah waspada sege-
ra melompat ke samping menghindar seraya mengi-
rimkan serangan dengan pukulan jarak jauh.
Des! Des! Terdengar bentrok pukulan dua kali berturut-
turut di udara. Arak-arakan asap putih serangan Ratu Sekar Langit yang
menyambar-nyambar seketika, terkena papasan angin serangan Ajeng Roro.
Setelah itu jurus demi jurus segera berlang-
sung. Kekuatan mereka tampaknya seimbang. Terbuk-
ti hingga menginjak jurus kedua puluh lima, satu sa-ma lain masih tampak tegar.
Namun, tak berapa lama kemudian Ajeng Roro
tampak mulai terdesak hebat. Dan dalam suatu gebra-
kan yang dilancarkan secara beruntun, gadis itu tampak terkurung serangan
kuntuman bunga hitam Ratu
Sekar Langit. Merasa terdesak, Ajeng Roro segera-melesat ke
udara. Namun tanpa diduga sama sekali, pada saat
itulah hantaman kedua tangan Ratu Sekar Langit da-
tang menyambar.
Dengan gerakan cepat, Ajeng Roro sempat me-
nangkis dengan menghentakkan tangan kanan dan ki-
ri. Namun, tak urung sambaran serangan Ratu Sekar
Langit yang telah dialiri tenaga dalam tinggi sempat menghajar kaki kanannya.
Digkh...! "Aaakh...!"
Hingga kejap itu juga terdengar jeritan tertahan
dari mulut Ajeng Roro. Sosoknya langsung berputar,
dan menukik deras terbanting di atas tanah. Begitu
bangkit, darah segar tampak mengalir dari sudut bi-
birnya. Sementara pakaian di bagian paha tampak ro-
bek, memperlihatkan kulit yang membiru!
Sementara, Ratu Sekar Langit tampak terse-
nyum mengejek. Kakinya lantas melangkah maju,
mendekati Ajeng Roro yang kini telah bangkit dengan raut wajah meringis menahan
sakit di pahanya.
"Tampaknya dia ingin membunuhku! Apa boleh
buat" Aku tidak akan tinggal diam!" bisik Ajeng Roro seraya menyiapkan pukulan.
Namun segera urungkan niat, ketika melihat
Ratu Sekar Langit mengurungkan niatnya seraya
menghentikan langkahnya.
"Keparat! Dia kabur!" desis Ratu Sekar Langit dengan menyapukan pandangannya ke
sekeliling. Wajahnya menampakkan rasa kecewa. Dari mulutnya
terdengar gumaman tak karuan.
Melihat keadaan ini, Ajeng Roro pun ikut-
ikutan menyapukan mata ke sekeliling. Dia pun juga
menggumam panjang pendek yang tak bisa dimengerti
sambil memukulkan kedua tangannya satu sama lain
untuk melampiaskan rasa kecewa dan jengkel.
"Hmm..,. Berbulan-bulan kucari. Setelah ber-
temu, akhirnya pergi lagi. Ke mana perginya" Menurut kabar yang berhasil
kusirap, dia baru saja berhasil menumpas Malaikat Berdarah Biru serta sekutu-
sekutunya. Apa tak mungkin dia pergi ke Karang Lan-
git menemui Eyang Wong Agung..." Atau, ke Kampung
Blumbang menemui Eyang Selaksa..." Hmm..., Eyang
Selaksa.... Telah lama aku meninggalkanmu. Aku ingin bertemu denganmu...," kata
batin Ajeng Roro dengan wajah menekuri tanah. Rasa sakit yang mendera kakinya
seakan tak dirasakan.
Di lain pihak, Ratu Sekar langit diam-diam juga
membatin. "Melihat sikapnya, nampaknya gadis ini men-
cintai pemuda bergelar Pendekar Mata Keranjang 108
itu. Hmm..., masa bodoh dengan semua itu! Tadi Pen-
dekar Mata Keranjang berkata akan menemui gurunya.
Aku akan mencari tahu, di mana tempat tinggal gu-
runya!" Berpikir begitu, Ratu Sekar Langit lantas memandang Ajeng Roro. Tak
terhindarkan, keduanya se-
jenak saling bentrok pandangan. Dan belum sempat
Ajeng Roro berkata, Ratu Sekar Langit telah berbalik.
"Aku ada kepentingan lain. Semoga kita sama-
sama berumur panjang, hingga dapat melanjutkan
masalah yang belum tuntas ini!" kata Ratu Sekar Langit.
Ratu Sekar Langit segera berkelebat pergi, me-
ninggalkan Ajeng Roro yang tampak memandangi den-
gan senyum dingin.
Sementara, Ajeng Roro lantas terlihat men-
gangkat kepala memandang langit.
"Kau kutunggu sampai kapan pun untuk me-
nuntaskan masalah ini!" seru Ajeng Roro, keras.
5 Mentari merah jingga perlahan unjuk diri, me-
napak dari celah pinggiran ufuk sebelah timur Gunung Semeru. Udara malam samar-
samar merambat terusir,
berganti udara baru yang memberi kehangatan bagi
mayapada ini. Di tengah laut utara yang bergelombang dah-
syat, tepatnya di atas salah satu batu karang yang
mengelilingi sebuah batu karang menjulang yang di-
kenal sebagai Karang Langit, terlihat seorang pemuda berpakaian hijau dilapis
dengan pakaian lengan panjang warna kuning. Rambutnya dikuncir ekor kuda.
Dia berdiri tegak, memandangi batu karang tinggi di depannya.
Pemuda yang tak lain Aji Saputra alias Pende-
kar Mata Keranjang 108 sepagi itu tampak mandi ke-
ringat. Nafasnya berhembus panjang-panjang tak bera-turan. Sebentar-sebentar
tangannya terangkat, men-
gusap peluh yang mengalir di keningnya.
Semalam penuh, Pendekar Mata Keranjang
memang habis memacu larinya sekencang mungkin.
Segenap ilmu meringankan tubuh yang dimiliki dike-
rahkan. Ini dilakukan karena khawatir jika Ajeng Roro atau Ratu Sekar Langit
akan dapat mengendus keper-giannya.
Waktu terjadi bentrok antara Ajeng Roro dan
Ratu Sekar Langit, diam-diam Pendekar Mata Keran-
jang yang merasa serba salah, berkelebat meninggal-
kan kedua gadis itu yang sedang bertukar jurus.
"Gadis-gadis itu, hm.... Aku tak mengerti, apa maksud mereka sebenarnya...,"
gumam Aji seraya mengalihkan pandangan pada gelombang laut yang tak
henti-hentinya menghempas kisi-kisi batu karang.


Pendekar Mata Keranjang 9 Neraka Asmara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ratu Sekar Langit.... Tak dapat dipungkiri, dia memang cantik jelita. Namun aku
belum bisa menduga, apa tujuannya ingin mendirikan sebuah perguruan silat! Aneh!
Seorang gadis ingin punya perguruan silat.... Dan aku sangat menyesal, kenapa
begitu gam- pang membuat janji-janji...," lanjut Aji dalam hati, seraya membayangkan Ratu
Sekar Langit. Membayangkan wajah Ratu Sekar Langit, mau
tak mau membawa murid Wong Agung ini teringat pa-
da Ajeng Roro. "Ajeng Roro.... Kau juga nampak semakin can-
tik. Namun, aku tak habis pikir, kenapa kita dipertemukan pada saat ada masalah"
Kapan kita bisa ber-
temu dalam suasana tenang dan damai" Seperti saat
pertemuan pertama di Kampung Blumbang dahulu?"
Sewaktu Aji merenung mengenang masa-masa
lalunya, tiba-tiba....
"Aji, udara di tempatmu kurang baik untuk ke-
sehatan. Angin laut yang membawa butiran garam bisa menyumbat jalan nafasmu.
Bergegaslah pergi dari
tempat itu!"
Terdengar sebuah suara bernada menegur.
Meski amat pelan, namun jelas mengiang di dekat te-
linga. Aji mengenal jelas, siapa orang yang mengeluarkan suara itu. Lantas
kepalanya menengadah me-
mandang batu karang yang tinggi menjulang. Kedua
tangannya lalu ditakupkan di depan dada. Matanya
terpejam sebentar. Bersamaan dengan itu kedua tan-
gannya disentakkan ke bawah. Sementara kedua ka-
kinya menjejak.
Saat itu juga batu karang tempat Aji berpijak
bergetar hebat. Dan bersamaan dengan itu, tubuhnya
melenting tinggi, melewati sisi-sisi batu karang. Dan akhirnya Pendekar Mata
Keranjang mendarat kokoh di
pelataran batu karang yang tinggi menjulang.
Sepasang mata Aji sejenak menebar ke sekelil-
ing. Bangunan batu yang ada di Karang Langit itu tak berbeda dengan waktu
pertama kali dia datang pada
beberapa puluh bulan yang silam. Bagian depannya
tampak porak poranda dengan salah satu tiangnya ro-
boh. Pendekar Mata Keranjang menghela napas da-
lam-dalam. Kakinya lantas melangkah mendekati ban-
gunan batu. Dan begitu sampai di depan bangunan
langkahnya berhenti.
"Eyang...," panggil Pendekar Mata Keranjang pelan. "Aji.... Kau tak usah
berbasa-basi lagi. Masuk-lah!" Kembali terdengar suara dari dalam bangunan.
Dengan langkah perlahan, Pendekar Mata Ke-
ranjang meneruskan langkahnya memasuki bangunan
batu. Tiba di ruangan depan, sepasang matanya me-
mandang berkeliling.
"Hmmm..,. Tak ada yang berubah...," bisik Pendekar Mata Keranjang seraya terus
melangkah ke se-
buah pintu di bagian belakang.
Setelah melewati pintu dan menuruni tangga
yang juga terbuat dari batu-batu karang, Aji mendapati sebuah ruangan. Di situ,
tampak seorang laki-laki be-rambut putih berjubah putih. Kedua matanya tertutup
sehelai kulit yang diikatkan ke belakang. Laki-laki tua ini duduk bersila di
atas sebuah batu.
"Eyang...," seru Aji seraya melangkah mendekati laki-laki berjubah.
Pendekar Mata Keranjang segera mengambil
tangan laki-laki itu dan menciumnya. Setelah menjura hormat, Aji duduk di depan
laki-laki berjubah yang tak lain dari Wong Agung.
"Bagaimana perjalananmu, Aji?" tanya Wong Agung seraya tersenyum.
"Baik, Eyang...," sahut Aji, pelan. "Hm.... Lantas soal tugasmu...?"
"Juga bisa berjalan baik, Eyang...," jawab Aji yang kemudian disambungnya dengan
cerita tentang petualangannya. Juga tentang pertemuannya dengan
perempuan aneh yang memberi bumbung bambu, ser-
ta pertemuannya dengan Malaikat Berdarah Biru. Dan
cerita itu diakhiri soal pertemuannya dengan Ajeng Ro-ro (Untuk lebih jelasnya
silakan baca serial Pendekar Mata Keranjang 108 dalam episode: "Persekutuan Para
Iblis" dan "Geger Para Iblis").
Wong Agung manggut-manggut mendengar ce-
rita Pendekar Mata Keranjang.
"Mana bumbung bambu dan kipas hitam itu?"
tanya Wong Agung, setelah Aji selesai dengan ceri-
tanya. Dari balik baju hijaunya, Aji segera mengeluarkan bumbung bambu serta
kipas hitam. Segera kedua
benda itu diangsurkan pada Wong Agung.
Sejenak Wong Agung menimang kedua benda
pusaka tersebut. Lalu tangannya bergerak meraba-
raba. Bersamaan dengan itu, kepalanya mengangguk-
angguk perlahan.
"Aji...," panggil Wong Agung setelah agak lama memeriksa bumbung bambu dan kipas
hitam. "Untuk sementara ini, biarkan bumbung bambu dan kipas hitam ini aku yang
simpan. Bukan karena apa-apa,
hanya aku merasa khawatir. Sebagai laki-laki muda,
kau nanti tidak kuat menghadapi godaan. Karena ki-
pas hitam ini membawa pengaruh besar sekali pada
siapa yang membawanya. Sebab, siapa pun yang me-
megang kipas ini, maka jiwanya akan terus menerus
dihantui rasa ingin membunuh dan mempermainkan
perempuan.... Kau tidak keberatan dengan hal ini bukan?" Pendekar Mata Keranjang
menggeleng perlahan sambil menengadah memandang Wong Agung.
Wong Agung mengangguk, lalu memasukkan
bumbung bambu dan kipas hitam ke balik jubah pu-
tihnya. "Eyang.... Ngg...."
"Adakah sesuatu yang hendak kau tanyakan?"
potong Wong Agung bertanya, begitu melihat muridnya ragu-ragu untuk meneruskan
kata-katanya. Sejenak Aji terdiam.
"Katakan...!" ujar Wong Agung.
"Soal Ageng Panangkaran, Eyang.... Dia...."
Wong Agung melintangkan telunjuk jarinya di depan
mulut memberi isyarat agar muridnya tak meneruskan
ucapannya. Laki-laki tua itu terlihat menarik napas dalam-dalam.
"Aku sudah tahu nasib yang menimpa Paman
Ageng Panangkaran. Kematian memang tak dapat di-
tentukan kapan datangnya, meski hal itu pasti tiba.
Dan juga, tak bisa ditentukan apa penyebabnya.
Hanya saja, soal Paman Ageng Panangkaran, aku san-
gat menyesalkan orang yang berbuat keji padanya...,"
kata Wong Agung dengan suara berat dan sengau.
Sejenak Wong Agung menghentikan ucapannya.
Tubuhnya tampak sedikit bergetar. Jari-jari tangannya gemetar dan mengepal.
"Aji.... Kalau sudah tidak ada yang ingin kau
sampaikan, istirahatlah dahulu- Besok pagi-pagi benar, turunlah. Temui Paman
Selaksa...," ujar Wong Agung. "Ada satu hal yang ingin kutanyakan, Eyang...,"
kata Aji sambil menatap lekat-lekat gurunya.
"Apakah Eyang mengenal orang yang bernama
Restu Canggir Rumekso?"
Wong Agung nampak sedikit tersentak men-
dengar pertanyaan muridnya.
"Hmm.... Ada apa dengan dia...?"
"Tidak apa-apa, Eyang. Hanya waktu menuju
kemari, aku sempat bertemu dengannya...."
"Kau jangan berdusta, Aji. Nada suaramu men-
gisyaratkan ada sesuatu yang ingin dikatakan, namun kau urungkan..."
Paras Pendekar Mata Keranjang merah padam.
Tapi bibirnya tetap menyunggingkan senyum.
"Jangan cengengesan. Ada apa dengan Restu
Canggir Rumekso" Kau punya masalah dengannya...?"
desak Wong Agung.
Aji menggeleng perlahan
"Tidak, Eyang. Hanya saja seorang temanku
yang terluka parah sempat dibawanya. Katanya, dia
mau menolong. Bukankah dia memang seorang tabib
yang masyhur...?"
"Dengar, Aji. Kau harus berhati-hati mengha-
dapi manusia bernama Restu Canggir Rumekso. Dia
adalah salah seorang tokoh berkepandaian tinggi yang ilmunya sulit dijajaki.
Selain itu, dia juga cerdik dan licik. Di luar, dia memang terlihat baik. Suka
menolong, dan menebar kebaikan di mana-mana. Namun di balik
semua itu, sebenarnya dia adalah seorang tokoh sesat.
Berpuluh-puluh tahun dia tak ada kabar beritanya.
Maka bila sekarang dia muncul lagi ke gelanggang, berarti ada sesuatu yang
diinginkannya. Jika berhada-
pan dengannya kau harus waspada. Menghadapi orang
seperti dia, dibutuhkan akal jernih...," papar Wong Agung. "Celaka!" desis Aji
dalam hati, mengutuk dirinya sendiri. "Kenapa aku begitu percaya padanya"
Bagaimana nasib Putri Tunjung Kuning nantinya" Bu-
syet! Lagi-lagi aku tertipu...."
"Ada lagi yang hendak kau tanyakan...?" tegur Wong Agung.
"Tidak Eyang...," sahut Aji.
"Jika begitu, istirahatlah dahulu. Karena, besok
pagi kau harus segera ke Kampung Blumbang...."
6 Langit di atas Kampung Blumbang tampak ce-
rah. Sinar mentari begitu leluasa menerobos sela-sela pohon yang tampak berjajar
di sekitarnya. Sehingga, membuat kehangatan melingkupi tempat ini.
Di dalam sebuah gubuk yang terletak di sebe-
lah timur Kampung Blumbang, tampak dua orang du-
duk berhadap-hadapan. Bahu salah seorang terlihat
berguncang-guncang menahan isak tangis. Sementara
orang satunya tampak memandang dengan sinar mata
sayu. Namun, kegembiraan jelas sekali memancar dari raut wajahnya.
Yang terisak menahan tangis ternyata seorang
gadis berparas jelita. Pakaiannya warna biru. Rambutnya panjang tergerai.
Sementara orang yang duduk di hadapannya adalah seorang laki-laki berusia lanjut
berpakaian warna putih panjang. Sepasang matanya
telah terlihat sayu. Janggutnya ditumbuhi jenggot panjang dan telah berwarna
putih. "Roro...," panggil orang tua di hadapan gadis yang ternyata Ajeng Roro dengan
suara serak. "Aku begitu gembira sekali melihat kau kembali. Kau ta-hu..." Sejak
kepergianmu, aku begitu kesepian. Tak
ada teman yang bisa diajak berbincang. Maka dari itu, ku mohon setelah ini
jangan lagi meninggalkan Kampung Blumbang! Apapun alasannya.... "
Ajeng Roro mengangkat kepalanya. Dipandang-
nya orang tua itu dengan sinar mata redup. Tampak-
nya dia masih berusaha menahan diri agar air ma-
tanya tak bergulir.
"Eyang.... Maafkan aku," ucap Ajeng Roro, begitu bisa menguasai diri. "Aku
memang terlalu memen-tingkan diri sendiri. Tak menghiraukan kata-kata
Eyang...."
Orang tua yang dipanggil Eyang dan tak lain
Eyang Selaksa ini menarik napas dalam-dalam. Pan-
dangan matanya tak beranjak dari Ajeng Roro.
"Aku tahu. Aku bisa mengerti apa yang kau ra-
sakan. Sekarang, yang lalu biarlah berlalu. Kau berjanji tak akan meninggalkan
Kampung Blumbang lagi,
bukan...?"
Yang ditanya mengangguk perlahan, membuat
Eyang Selaksa tersenyum. Tatapan orang tua ini lantas beralih jauh keluar gubuk
yang pintunya tampak terbuka. "Roro..., apa selama ini kau sempat berjumpa Aji?"
tanya Eyang Selaksa.
Ajeng Roro tampak sedikit terkejut mendengar
pertanyaan Eyang Selaksa. Hingga untuk beberapa
saat, dia terdiam.
"Kau tampaknya terkejut. Kenapa" Kau pernah
bertemu dengannya, bukan?" desak Eyang Selaksa.
Ajeng Roro kembali hanya menganggukkan ke-
pala. Wajahnya lantas berpaling menyembunyikan ro-
na merah. "Aku mendengar berita, dia telah berhasil me-
numpas Malaikat Berdarah Biru. Apakah kau juga
mendengarnya?"
"Benar, Eyang. Aku juga mendengar berita
itu.... Namun, aku sendiri belum dengar dari dia sendiri.... Karena saat
bertemu, kami tidak sempat ber-
tanya...!" sahut Ajeng Roro.
"Kau ini aneh. Sempat bertemu, tapi tak sempat
bertanya. Lantas apa yang kalian bicarakan...?" tanya Eyang Selaksa, bingung.
Ajeng Roro tak menjawab. Wajahnya semakin
memerah. "Bagaimana aku harus mengatakannya..." Apa
aku harus berterus terang" Tidak! Eyang tidak boleh tahu apa yang terpendam
dalam hatiku...," kata batin Ajeng Roro, seraya menatap ke jurusan lain.
"Kalau kau tak mau mengatakannya, tak apa-
lah. Yang penting, bagiku kau telah kembali dan tak akan meninggalkan ku lagi.
Dan...." Ucapan Eyang Selaksa terputus ketika tiba-tiba
melihat sesosok tubuh berkelebat di sekitar Blumbang.
"Hmm.... Ada orang di luar!" seru Eyang Selaksa.
Serta merta laki-laki tua ini berdiri. Tubuhnya
segera berkelebat ke arah sekitar Blumbang, lalu mengendap-endap di samping
tembok Blumbang.
Melihat Eyang Selaksa berkelebat, Ajeng Roro
tak tinggal diam. Segera diikutinya dari belakang, dan mengendap di belakang
Eyang Selaksa. "Hmm.... Dia rupanya berkepandaian tinggi.
Gerakannya begitu cepat. Namun aku percaya, dia ma-
sih berada di sekitar sini. Melihat sosoknya, sepertinya dia mengenakan pakaian
hijau. Apa kira-kira bukan...." Kata-kata Eyang Selaksa tidak berlanjut, tatkala
sepasang matanya menangkap seseorang sedang
berdiri di dekat pintu masuk Blumbang.
"Ah, rupanya dia!" sentak Ajeng Roro dengan mata menatap ke arah sosok yang
tampak membelakangi. "Anak konyol! Kenapa dia berlaku seperti anak main petak
umpet!" umpat Eyang Selaksa, begitu men-
getahui sosok yang berdiri membelakangi.
Sosok yang berdiri membelakangi berbalik,
menghadap Eyang Selaksa dan Ajeng Roro dengan bi-
bir cengengesan. Dia ternyata Pendekar Mata Keran-
jang! "Eyang, Ajeng Roro...," sapa Pendekar Mata Keranjang seraya melangkah
mendekati. Eyang Selaksa menggumam tak karuan. "Anak
kurang ajar! Kenapa kau berlaku seperti anak-anak"
Kau patut disodok berani mempermainkan orang tua!"
Aji semakin tersenyum lebar. Dan begitu dekat
dengan Eyang Selaksa, dia segera menjatuhkan diri
dan menjura hormat berulang kali.


Pendekar Mata Keranjang 9 Neraka Asmara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Eyang Selaksa meluruskan tubuhnya, lalu
menggeleng-geleng. Sementara Ajeng Roro mengalih-
kan pandangan, tak berani menatap Aji yang kini telah mengangkat kepalanya.
Pemuda ini memandang bergantian pada kedua orang di hadapannya.
"Eyang..., maafkan muridmu yang telah mem-
buatmu terkejut...," ucap Pendekar Mata Keranjang.
"Untung aku mengenalimu, meski dari arah be-
lakang. Kalau tidak, kepalamu mungkin sudah benjot-
benjot! Ayo masuk!" ujar Eyang Selaksa seraya berbalik dan melangkah ke arah
gubuk. Namun karena hingga sampai gubuk tak ter-
dengar suara langkah-langkah mengikuti, Eyang Se-
laksa segera berbalik kembali. Dan dahinya berkerut ketika mengetahui Ajeng Roro
dan Aji masih tegak di-am di tempat. Mereka berdua tampak saling berpan-
dangan. Namun di antara keduanya, tak satu pun
yang bicara. "He..." Sebenarnya ada apa di antara kalian
berdua" Yang Gadis tak bicara. Bahkan bermuka cem-
berut seperti orang bertemu musuh. Sementara yang
satunya hanya memandang dengan senyum-
senyum...."
"Eyang.... Manusia satu ini memang pantas di-
hajar! Di mana-mana dia selalu membuat masalah
dengan ga...."
"Roro.... Kalau kau meneruskan kata-katamu,
aku akan mengatakannya pada Eyang. Kau berkata
begitu, hanya karena cemburu...."
Ajeng Roro tak meneruskan ucapannya, karena
saat itu juga Aji telah menyela kata-katanya. Perlahan memang, hingga Eyang
Selaksa tak mendengarnya.
Ajeng Roro mendengus seraya memalingkan
wajahnya yang bersemu merah. Membuat Eyang Se-
laksa semakin heran.
"Hmm.... Begitu" Baik. Tapi, ingat. Aku tak me-nerimakan perlakuanmu padaku! Dan
kau pasti men- dapati ganjaran!" desis Ajeng Roro-Paras Aji sesaat berubah. "Roro...," panggil
Aji seraya mendongak ke atas dan tersenyum. "Kalau itu maumu, aku menyerah.
Kau boleh menghukumku, sekehendak hatimu. Na-
mun satu hal yang harus kau ketahui. Biar terlibat
dengan banyak gadis, aku tak dapat melupakanmu!
Kau selalu dan selalu di hatiku...."
Entah malu atau marah, tanpa bicara apa-apa
lagi Ajeng Roro segera melangkah cepat ke arah Eyang Selaksa. Raut mukanya
tampak semakin merah padam. Begitu Ajeng Roro melangkah, Aji pun ikut-
ikutan melangkah mengikuti. Sedangkan Eyang Selak-
sa yang melihat tingkah kedua orang ini hanya meng-
geleng-geleng. Sebentar-sebentar matanya memandang
Ajeng Roro, lalu beralih pada Aji. Lantas, kakinya melangkah memasuki gubuk.
"Aji! Apakah kau selama ini baik-baik saja"
Dan, apakah kau telah menjenguk gurumu di Karang
Langit?" tanya Eyang Selaksa begitu mereka bertiga telah berada di dalam gubuk
dan duduk melingkar.
"Aku baik-baik saja, Eyang. Dan aku pun me-
mang telah menjenguk Eyang Wong Agung di Karang
Langit. Dia menyuruhku ke sini...!" sahut Aji, gam-blang. "Aku memang berpesan
pada gurumu. Jika se-waktu-waktu kau datang, kau kusuruh datang ke
Kampung Blumbang.... Aku hanya ingin mendengar
cerita tentang perjalananmu. Karena aku menyirap
kabar, kau telah berhasil menunaikan tugas yang di-
embankan padamu."
Aji lantas menceritakan perjalanannya dari aw-
al hingga sampai di Kampung Blumbang. Sedang
Eyang Selaksa mendengarkan dengan seksama sambil
sesekali batuk dan berdecak. Sementara, Ajeng Roro
sepertinya tak tertarik dengan cerita Aji, meski dalam hatinya diam-diam juga
kagum dan senang.
"Hmm.... Aku bangga dan gembira mendengar
ceritamu, Aji. Namun, kau jangan cepat puas dengan
apa yang telah diperoleh selama ini. Dunia persilatan tidak akan pernah sepi
dari huru-hara. Karena selama dunia ini masih berputar, kejahatan tidak akan
pernah mati. Dan kau telah ditakdirkan untuk meredamnya.
Kau harus tetap berlaku waspada...," ujar Eyang Selaksa, mengingat.
Pendekar Mata Keranjang mengangguk-angguk.
Namun matanya tak henti-hentinya melirik Ajeng Roro.
Sementara, gadis itu sendiri sesekali sempat mencuri pandang. Tapi begitu
matanya tertumbuk dengan liri-kan mata Pendekar Mata Keranjang, cepat-cepat mem-
buang muka ke arah lain.
Begitu asyiknya mereka berbincang-bincang,
hingga tanpa disadari sesosok tubuh tampak mengen-
dap-endap mencuri dengar pembicaraan.
Pendekar Mata Keranjang yang segera merasa
ada yang tak beres di sekitar gubuk, segera memberi isyarat agar pembicaraan
dihentikan. "Hmm.... Ada orang di sekitar gubuk yang men-
curi dengar pembicaraan kita. Biar aku tangkap dia...,"
gumam Aji perlahan, sambil bangkit dan berkelebat keluar gubuk.
7 "Setan!" rutuk Pendekar Mata Keranjang. "Dia berhasil melarikan diri. Hmm....
Siapa dia" Melihat sosoknya dia sepertinya seorang perempuan!"
Saat itu Pendekar Mata Keranjang berada agak
jauh dari Kampung Blumbang, karena terus mengejar
bayangan yang telah mencuri dengar pembicaraan.
"Sialan! Lagi-lagi seorang perempuan!" umpat Pendekar Mata Keranjang berbisik
sambil menyapukan
pandangannya sekali lagi ke sekeliling. Namun kedua matanya tak menangkap sosok
yang dicari. Dengan perasaan kecewa, Aji berbalik hendak
meninggalkan tempat itu. Namun langkahnya tertahan
seketika, tatkala telinganya menangkap langkah-
langkah perlahan mendatangi dari arah samping.
Berpaling, pendekar murid Wong Agung ini ter-
kejut. Ajeng Roro tampak melangkah mendatangi. Se-
pasang matanya menyorot tajam tak berkedip.
Pendekar Mata Keranjang 108 mencoba terse-
nyum. Namun yang diajak senyum tak membalas. Ma-
lah segera mengangkat kepalanya memandang ke atas.
"Aji! Sekarang saatnya kau menerima huku-
man! Kau telah mengecewakanku! Meninggalkan aku
begitu saja. Sementara, kau enak-enakan bercinta!"
kata Ajeng Roro, agak keras.
"Hei! tunggu...!" cegah Aji sambil melangkah dua tindak ke belakang. "Kau waktu
itu salah tafsir, Roro! Aku tak berniat meninggalkanmu dan enak-enakan bercinta.
Gadis itu adalah...."
"Aku tak akan lagi bisa dimuslihatkan dengan
kata-kata manis mu!" Ajeng Roro menghardik memo-tong ucapan Aji seraya mendelik.
"Dengar, Roro! Aku menyayangi mu. Jadi tak
mungkin menipumu!" ujar Aji sambil balas memandang. Hingga untuk beberapa saat
keduanya saling
beradu pandang. Namun sesaat kemudian, Ajeng Roro
mencibir serta mengangkat kedua tangannya, siap me-
lepas pukulan. Namun kali ini tampaknya Pendekar Mata Ke-
ranjang tak hendak membuat gerakan menangkis atau
berkelit menghindar. Dia tetap berdiri, seolah pasrah.
Hanya kedua matanya yang menatap tak berkedip,
menusuk dalam-dalam ke arah bola mata gadis di de-
pannya yang telah siap melakukan serangan.
Ajeng Roro merasakan getaran aneh menyeruak
di dadanya. Makin memandang Pendekar Mata Keran-
jang, dadanya semakin bergerak. Dia coba menahan
getaran-getaran itu. Namun semakin ditahan, dadanya semakin dibuncah perasaan
tidak karuan. Hingga
lambat laun tangannya yang telah diangkat luruh ke
bawah. "Gila! Kenapa aku jadi begini" Aku tidak sanggup melakukannya! Benar-
benar memalukan!" umpat
gadis ini dalam hati seraya berbalik hendak pergi.
"Tunggu!" sergah Pendekar Mata Keranjang
mencegah sambil menarik napas lega.
Aji lantas melangkah mendekati Ajeng Roro.
"Roro..., aku tak mau di antara kita ada ganjalan. Kalau kau memang masih mau
menghukumku, lakukan-
lah." Ajeng Roro tidak menjawab, Juga, tidak berpaling.
Pendekar Mata Keranjang mengusap-usap
ujung hidungnya. "Kau tak mau melakukan, berarti hukuman yang akan kau jatuhkan
impas..,."
"Tidak!" sahut Ajeng Roro masih dengan nada jengkel. "Saat ini, hukuman itu ku
tunda. Dari mungkin lain kali akan ku tepati!"
Pendekar Mata Keranjang anggukkan kepala.
Dalam hati dia membatin. "Gadis itu benar-benar sukar ditaklukkan. Keras kepala!
Untungnya dia cantik.
Kalau tidak..., hmm...."
Sejenak suasana jadi hening. Belum ada yang
bersuara. "Kenapa kau menyusul ku ke sini...?" tanya Pendekar Mata Keranjang, memecah
keheningan. "Kau mengkhawatirkan aku bukan?" pancingnya seraya
menahan senyum.
Serta merta Ajeng Roro berpaling menghadap
Pendekar Mata Keranjang.
"Kau telah dewasa! Siapa yang mengkhawatir-
kan dirimu" Kau jangan terlalu besar kepala!"
"Ah, benar. Selama ini aku memang terlalu be-
sar kepala. Jadi selama ini juga aku mengharapkan
sesuatu yang sia-sia. Hmmm..., betapa malangnya na-
sibku...," desah Pendekar Mata Keranjang perlahan.
"Ngg..., bukan begitu masalah ku. Aku tidak
mengkhawatirkan mu, karena percaya kau dapat men-
jaga diri. Kau sekarang bukan lagi Aji yang dulu. Aji yang merengek-rengek minta
tolong, tatkala hendak
melewati rumput-rumput merah di sekitar Kampung
Blumbang. Kau sekarang telah menjadi seorang tokoh
bernama besar, hingga tak heran jika banyak gadis
yang memburu...," sergah Ajeng Roro.
Pendekar Mata Keranjang tersenyum kecut.
Cuping hidungnya mengembang mendengar pujian itu.
Tangannya lantas terangkat dan menarik-narik kuncir rambutnya.
"Ah, lupakan semua itu. Sekarang kita baikan
lagi. Bagaimana...?" tawar Pendekar Mata Keranjang sambil menatap tajam gadis di
hadapannya. Yang ditatap tidak menjawab. Hanya kepalanya
tampak bergerak mengangguk. Sedangkan Pendekar
Mata Keranjang tersenyum lebar. Lalu diambilnya tangan gadis di hadapannya, dan
diciumnya berkali-kali.
Sejenak Ajeng Roro memang tampak jengah.
Namun lama kelamaan, dia diam saja. Malah ketika
Pendekar Mata Keranjang menengadahkan kepala dan
mendekatkan ke wajahnya, gadis ini tak berusaha
menghindar. Tentu saja hal ini membuat Aji semakin berani. Dan tanpa bicara
lagi, murid Wong Agung ini memagut bibir gadis cantik yang kini merapat di
dadanya. Kedua tangannya pun bergerak merengkuh
punggung Ajeng Roro dan menekannya. Hingga kedua
orang ini untuk sesat dibuai kehangatan.
Namun tak lama kemudian, Ajeng Roro meron-
ta dan melepaskan diri dari rengkuhan tangan kokoh
Pendekar Mata Keranjang.
"Kita harus cepat kembali. Eyang nanti cemas
menunggu...," ujar Ajeng Roro dengan napas terengah-engah dan dada turun naik.
Sementara wajah yang
merah merona dihadapkan ke arah lain. Lantas tanpa
menoleh lagi. Kakinya melangkah mendahului Pende-
kar Mata Keranjang.
Tanpa disadari Aji dan Ajeng Roro, di balik se-
buah pohon tak jauh dari tempat itu, sepasang mata
dari tadi tampak mengawasi dengan terbeliak merah.
"Bajingan! Siapa gadis itu..." Hmm..., nampak-
nya pemuda itu telah mempunyai seorang kekasih. Ta-
pi, kenapa dia menyuruhku datang ke Kampung
Blumbang" Untuk menyaksikan dia bermain ciuman"
Dia rupanya benar-benar pemuda mata keranjang, se-
suai julukannya. Ternyata, mulut pemuda itu memang
tak bisa dipercaya. Jangan-jangan apa yang dikata-
kannya mengenai tewasnya guru, juga bualan saja!
Jangan-jangan dialah pembunuh guru, seperti apa
yang dikatakan Kakang Pandu.... Hmm..., aku harus
membuat perhitungan dengannya!" desis si empunya mata seraya keluar dari balik
pohon. Tubuhnya berkelebat cepat, karena Pendekar Mata Keranjang terlihat telah
melangkah agak jauh mengejar Ajeng Roro.
"Berhenti!" tegur sosok yang baru saja keluar dari balik pohon, begitu sudah
agak dekat dengan
Pendekar Mata Keranjang.
Dengan menahan rasa terkejut, Pendekar Mata
Keranjang menghentikan langkah. Seketika dia berba-
lik. Di hadapannya kini berdiri seorang gadis berwajah cantik. "Sakawuni!" seru
Pendekar Mata Keranjang disertai senyum lebar meski sepasang matanya lantas
melirik, takut jika Ajeng Roro mendengar dan kembali.
Gadis di hadapan Aji yang memang Sakawuni
mendengus keras sambil menyeringai. Niatnya semula
yang hendak ingin bertemu Pendekar Mata Keranjang
untuk mendengar cerita tentang siapa pembunuh gu-
runya serta melampiaskan rasa rindu yang selama ini dipendam pupus begitu saja,
berganti perasaan geram dan cemburu. Hingga yang muncul sekarang adalah
prasangka buruk.
"Laki-laki pembunuh!" dengus Sakawuni,
menghardik. "Menyerahlah kau! Dan, ikut aku ke Lembah Baka untuk
mempertanggungjawabkan per-buatanmu!"
Senyum Pendekar Mata Keranjang lenyap seke-
tika. Malah kakinya tampak mundur dua langkah ke
belakang. "Apa maksudmu dengan semua ini, Sakawuni?"
tanya Pendekar Mata Keranjang, bingung.
"Kau tak usah berbelit-belit. Kau sudah tahu
jawabannya! Sekarang, ikut aku!" tegas Sakawuni.
"Gila! Aku benar-benar tak mengerti maksud-
mu!" kilah Aji.
"Hmm.... Apa karena cumbuan gadis tadi, hing-
ga kau begitu pelupa"!" sindir Sakawuni.
Paras Pendekar Mata Keranjang berubah merah
mengelam. Kedua matanya membelalak melotot, me-
mandangi gadis di hadapannya.
"Hmm.... Jadi, orang yang mengendap-endap
mencuri dengar tadi ternyata Sakawuni. Dan tentunya, dia tadi mengetahui apa


Pendekar Mata Keranjang 9 Neraka Asmara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang kulakukan dengan Ajeng Roro. Walah gawat urusannya...! Dia pasti telah
termakan fitnah bahwa akulah pembunuh gurunya,
Ageng Panangkaran...," kata batin Pendekar Mata Keranjang, dalam hati.
"Pembunuh keji! Jangan membuat kesabaran-
ku habis. Cepat ikut aku!" bentak Sakawuni, seraya berkacak pinggang.
Pendekar Mata Keranjang terdiam. Sikapnya
tampak ragu-ragu mengambil keputusan. Kepalanya
sesekali berpaling ke belakang.
"Atau kau akan mengajak gadismu ikut serta"
Boleh...! Asal tahu saja, dia pun akan pulang nama!
Seperti kau!" sambung Sakawuni begitu Pendekar Ma-ta Keranjang hanya diam dan
tampak kebingungan.
"Tunggu, Sakawuni. Kau tampaknya telah ter-
makan ucapan Pandu. Percayalah, bukan aku yang
melakukannya!" cegah Aji.
"Bangsat! Kau terlalu banyak omong! Lagi pula, siapa sekarang mau percaya kata-
katamu!" hardik Sakawuni. "Kalau kau tidak bisa diajak baik-baik, aku pun tidak
keberatan berbuat kasar!"
Habis berkata begitu, Sakawuni segera menarik
kedua tangannya sedikit ke belakang. Sambil mengge-
reng, kedua tangannya didorong ke depan.
Seketika hembusan angin deras yang tidak ber-
suara terasa menghantam keras ke arah Pendekar Ma-
ta Keranjang. Dengan menindih rasa terpana, Pendekar Mata
Keranjang segera melompat ke samping. Namun dia
terkejut bukan alang kepalang, karena ternyata hem-
busan angin itu masih terasa menerpa. Malah, kini
semakin deras menghantam.
"Setan! Ilmu apa ini" Tidak ada suara dan rupa, tapi rasanya begitu dahsyat!"
rutuk batin Pendekar Mata Ke-ranjang sambil mengerahkan tenaga dalam
untuk menangkis.
Sebentar kemudian, kedua orang ini tampak
berdiri sambil mengerahkan tenaga dalam masing-
masing. Namun tak berselang lama, karena tampaknya
Harimau Mendekam Naga Sembunyi 17 Jaka Sembung 12 Terdampar Di Pulau Hitam Tangan Geledek 2
^