Pencarian

Titisan Darah Terkutuk 1

Pendekar Mata Keranjang 10 Titisan Darah Terkutuk Bagian 1


TITISAN DARAH TERKUTUK Darma Patria Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Cover oleh Henky
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Darma Patria Pendekar Mata Keranjang 108
dalam episode: Titisan Darah Terkutuk
128 hal. SATU HAMPARAN bumi menggeliat gersang terpang-
gang jilatan sinar matahari. Rimbunan daun pohon-
pohon besar berusia ratusan tahun yang berdiri kokoh tampak berguguran diterpa
angin kemarau dengan keluarkan desau. Awan putih tak sebongkah pun meng-
gelantung di angkasa, membuat sengatan bola jagad
itu semakin leluasa menikmati gerak geliat bumi.
Di Lereng Gunung Mahameru, tepatnya di Du-
sun Amadanom, di dalam sebuah bangunan rumah
tua yang terletak di ujung dusun, seorang laki-laki tua tampak melangkah
perlahan mengelilingi sebuah batu
yang membentuk altar, di mana di atasnya terlihat
seorang perempuan tidur telentang.
Laki-laki ini mengenakan pakaian putih pan-
jang. Bentuk tubuhnya telah doyong ke depan, mem-
buat punggungnya sedikit melengkung. Janggut laki-
laki ini tampak telah ditumbuhi jenggot panjang dan memutih. Meski beg itu wajah
laki-laki ini tak begitu jelas, karena dia mengenakan caping dari daun pandan
lebar. "Hmm.... Kurasa tak berapa lama lagi, jabang
bayi yang kuharapkan itu akan lahir...," gumam laki-laki bercaping seraya terus
melangkah mengelilingi ba-tu altar. Sambil bergumam, orang tua ini menggerak-
kan tangan kirinya, mengangkat caping pandan di atas kepalanya, hingga wajahnya
kini jelas terlihat. Ternyata kepala bagian atas dan samping laki-laki tua ini
tak ditumbuhi rambut sama sekali. Rambut itu hanya
tumbuh mulai kepala bagian belakang dan memanjang
hingga punggung. Keningnya telah membentuk bebe-
rapa lipatan, pertanda usianya telah lanjut. Sepasang
matanya agak sipit, namun demikian, sepasang mata
itu menyorot tajam.
Dalam kancah perjalanan panjang sejarah per-
silatan, laki-laki tua ini sudah tidak asing lagi. Dia dikenal dengan nama Restu
Canggir Rumekso. Seorang
tokoh dari jajaran atas golongan sesat yang tingkat ke-pandaiannya tidak
diragukan lagi, karena selama ber-kecimpung dalam kancah rimba persilatan telah
ba- nyak tokoh-tokoh silat yang memiliki nama besar ha-
rus mengakui ketinggian ilmunya. Hingga wajar saja
jika laki-laki ini dimasukkan dalam salah satu barisan dari momok-momok rimba
persilatan yang disegani
dan ditakuti. Lain daripada itu, selain dikenal sebagai tokoh hitam yang berilmu
tinggi, laki-laki tua itu juga dikenal sebagai seorang tabib, hingga membuat
dirinya semakin ditakuti, baik oleh kawan maupun lawan.
Namun setelah sekian puluh tahun malang me-
lintang dengan nama besar, Restu Canggir Rumekso
tiba-tiba saja menghilang dari percaturan dunia persilatan. Orang-orang tak ada
yang tahu, apa sebabnya
momok ini mendadak lenyap begitu saja tanpa ada ka-
bar berita. Hanya kabar burung yang tersiar waktu itu, Restu Canggir Rumekso
melakukan tapa sambil mem-perdalam ilmu ketabiban. Karena lama tak muncul
itulah, membuat nama besar Restu Canggir Rumekso per-
lahan-lahan dilupakan orang.
"Ha... ha... ha.... Tak lama lagi, tak lama lagi nama besar Restu Canggir
Rumekso akan kembali ber-gaung. Menyentak rimba persilatan...," Restu Canggir
Rumekso berkata seraya mendongakkan kepala memandang langit-langit bangunan.
Tawa-nya meledak
menyibak kesunyian bangunan. Namun ledakan tawa
Restu Canggir Rumekso serta merta terputus menda-
dak saat dari mulut perempuan di atas altar terdengar
erangan perlahan. Kepala laki-laki ini menunduk dengan sepasang mata menatap tak
kesiap ke arah pe-
rempuan di atas batu altar.
"Tenang-tenanglah manis. Segalanya akan se-
gera berakhir...," kata Restu Canggir Rumekso sambil melangkah mendekati
perempuan di atas altar.
Seolah mendengar kata-kata orang, kedua ke-
lopak mata perempuan yang di atas altar perlahan
membuka. Bola mata itu sejenak memandang lurus-
lurus ke atas, memandang langit-langit bangunan. Sesaat kemudian, bola mata itu
memutar ke samping, ke arah Restu Canggir Rumekso.
Untuk beberapa saat lamanya dua mata gadis
ini terpaku memandangi laki-laki di sampingnya. Na-
mun agak lama, karena tak mengenali siapa adanya
laki-laki di sampingnya, kening perempuan ini men-
gernyit menampakkan keterkejutan hebat. Dan seiring dengan itu dari mulutnya
terdengar suara bernada
menegur. "Si..., siapa kau..."!" suara perempuan ini datar dan agak tersendat.
Restu Canggir Rumekso tak menjawab. Dia
hanya sunggingkan senyum, membuat perempuan di
atas batu altar semakin nampak ketakutan. Dia terlihat hendak bergerak bangkit,
namun perempuan ini
makin terperangah tatkala mendapati tubuhnya lemas
tak bisa digerakkan. Hingga sebagai nada protes dia berkata kembali.
"Siapa kau..."! Dan apa yang kau perbuat ter-
hadapku..."!"
Lagi-lagi Restu Canggir Rumekso menjawab
pertanyaan nada menegur sang perempuan dengan
seulas senyum. Namun tak berapa kemudian, dia buka
mulut. "Kau tak usah banyak berkata dulu. Nanti se-
muanya akan jelas! Yang kau perlukan sekarang ada-
lah istirahat, agar saat melahirkan nanti, kau tak ke-habisan tenaga!"
Mendengar ucapan Restu Canggir Rumekso,
perempuan di atas altar yang ternyata adalah seorang gadis muda berwajah cantik
jelita, mengenakan pakaian warna kuning terlihat terkejut. Terbukti dari
sepasang matanya yang tiba-tiba membelalak besar
meski mata itu sayu redup. Mulutnya menganga den-
gan dahi mengkerut. Lantas kedua bola mata gadis
muda ini menatap pada Restu Canggir Rumekso sesaat
kemudian beralih pada perutnya. Raut muka sang ga-
dis semakin terlihat kaget, karena ternyata perutnya sudah kelihatan besar dan
terasa bergerak-gerak.
"Aku.... Perutku kenapa sudah begini besar...?"
"Bukankah waktu itu aku ditolong oleh Pende-
kar Mata Keranjang" Dan bukankah waktu itu perutku
belum tampak buncit" Ke mana Pendekar Mata Keran-
jang..." Dan siapa laki-laki tua ini..."!"
Segala pertanyaan sang gadis yang tersimpan
dalam benaknya terputus seketika tatkala perutnya dirasa bergerak-gerak lebih
keras dan di bagian samping terasa ditendang-tendang. Makin lama gerakan itu
makin keras, membuat gadis ini keluarkan suara jeritan tertahan menahan rasa
sakit. "Oh, Anakku...," kata sang gadis dalam hati dengan meringis.
Sementara itu, melihat perut gadis di hadapan-
nya bergerak-gerak keras, Restu Canggir Rumekso ma-
ju mendekat. Bibirnya mengulas senyum. Lalu tan-
gannya bergerak menepuk-nepuk perut gadis di hada-
pannya, membuat gadis itu terkejut. Dia tampak hen-
dak menepis tangan Restu Canggir Rumekso, namun
gadis itu tak kuasa menggerakkan kedua tangannya,
hingga hanya nada mencegah dari mulutnya yang ter-
dengar. "Orang tua! Jangan kau berani berbuat yang tidak-tidak!"
Restu Canggir Rumekso seakan tak mendengar
kata-kata gadis di hadapannya, yang bernada sedikit mengancam. Orang tua ini
terus menepuk-nepuk, malah kini mengurut-urut perut sang gadis seraya berka-ta.
"He... he... he.... Kau benar-benar bayi istime-wa! Apa kau sudah ingin keluar
sekarang..."!"
Seakan-akan mengerti kata-kata Restu Canggir
Rumekso, gadis muda itu merasakan bayi dalam kan-
dungannya semakin bergerak keras, menendang dan
menyodok, hingga tak ampun lagi gadis muda ini se-
makin meringis dengan erangan tertahan-tahan.
"Putri Tunjung Kuning...!" panggil Restu Canggir Rumekso pada gadis di
hadapannya. Gadis muda
itu yang bukan lain memang Putri Tunjung Kuning
terperangah kaget demi mendapati orang tua di hada-
pannya itu mengetahui siapa dirinya. Namun sebelum
Putri Tunjung Kuning sempat berkata, Restu Canggir
Rumekso telah berkata melanjutkan ucapannya.
"Kau tidak usah risau. Kuatkan sedikit. Bayi
dalam kandungan mu memang lain daripada yang lain.
Aku akan berusaha menolongmu...."
Sebenarnya Putri Tunjung Kuning hendak me-
nolak, namun karena tubuhnya begitu lemas dan tak
bisa digerakkan, membuat dia hanya diam pasrah,
meski dalam hati masih didera beberapa pertanyaan.
"Pejamkan matamu!" tiba-tiba Restu Canggir Rumekso keluarkan kata memerintah.
Seraya berkata,
Restu Canggir Rumekso nampak memejamkan sepa-
sang matanya, mulutnya berkemik-kemik mengu-
capkan sesuatu yang tak jelas. Tak berapa lama ke-
mudian, Restu Canggir Rumekso membuka kelopak
matanya. Dia pandang sejenak Putri Tunjung Kuning.
Dan demi dilihatnya Putri Tunjung Kuning tidak juga memejamkan mata, malah
memandang padanya,
orang tua ini melotot sedikit matanya dan berkata agak keras. "Pejamkan matamu!
Atau aku terpaksa memejamkan dengan tanganku!"
Mendengar nada ancaman orang, meski dong-
kol akhirnya Putri Tunjung Kuning memejamkan juga
matanya. Bersamaan dengan itu kedua tangan Restu
Canggir Rumekso bergerak mengurut perut Putri Tun-
jung Kuning, dan dengan cepat pula pakaian bagian
bawah Putri Tunjung Kuning disingkapkan hingga pa-
ha, membuat Putri Tunjung Kuning sedikit terkejut.
Namun begitu tahu kain itu hanya disingkap sebatas
paha, dia tampak menarik napas lega. Namun pera-
saan lega itu hanya sekejap. Karena saat itu juga perutnya seperti diaduk-aduk.
"Tarik napas panjang dalam-dalam!" terdengar Restu Canggir Rumekso berkata
seraya mengurut-urut
perut Putri Tunjung Kuning.
Menyadari kalau orang tua di hadapannya hen-
dak menolong, Putri Tunjung Kuning menuruti kata-
katanya. Dia menarik napas dalam-dalam.
"Bagus. Bagus.... Lepaskan pelan-pelan sambil
ditekan...."
Dengan menahan sakit tak terperikan, Putri
Tunjung Kuning terus mengikuti perintah Restu Cang-
gir Rumekso. Hingga tak lama kemudian tubuhnya te-
lah basah kuyup oleh keringat. Sementara Restu
Canggir Rumekso sendiri tak jauh berbeda. Keringat
mulai tampak menetes dari pelipis dan lehernya. Dan mungkin karena dia ingin
bayi dalam kandungan Putri Tunjung Kuning lahir dengan selamat, membuat orang
tua ini bertindak dengan sangat hati-hati sekali.
Hingga pada suatu kesempatan, Putri Tunjung
Kuning merasakan seluruh persendian tubuhnya sea-
kan tercerabut. Hingga gadis ini menjerit lengking.
Dan bersamaan dengan jeritan Putri Tunjung
Kuning, kedua tangan Restu Canggir Rumekso berge-
rak ke bawah paha Putri Tunjung Kuning yang nam-
pak telah sedikit diangkat.
Restu Canggir Rumekso tidak terlalu lama me-
nunggu. Dia lantas merasakan sesuatu membasahi
kedua tangannya, lalu seonggok daging lembut me-
nyentuh tangannya. Dengan perasaan was-was, Restu
Canggir Rumekso terus menunggu. Dan begitu daging
lembut di atas kedua tangannya terasa bergerak-gerak, dengan cepat tangannya
bergerak keluar dari bawah
paha Putri Tunjung Kuning.
Ketika kedua tangan Restu Canggir Rumekso
ditarik keluar, tampaklah di atas tangan itu sesosok bayi mungil dan sehat serta
berwarna merah.
Sejenak Restu Canggir Rumekso memperhati-
kan orok itu, senyumnya lantas menyeruak di bibir-
nya. Bersamaan dengan sunggingan senyum Restu
Canggir Rumekso terdengar ledakan sang orok!
DUA AKU.... Aku masih hidup...?" Itulah suara per-
tama yang terdengar dari mulut Putri Tunjung Kuning saat dia siuman. Dengan
masih merasakan ngilu di
sekujur tubuh serta perih di pangkal pahanya, gadis
berwajah cantik ini membuka kelopak matanya. Diker-
jap-kerjapkan mata itu sebentar, setelah dapat me-
nyiasati keadaan sekelilingnya, dia palingkan wajah ke samping kanan dan kiri.
Dia terlihat kaget, karena dia tidak lagi menemukan Restu Canggir Rumekso.
"Apakah aku bermimpi...?" seraya bergumam, Putri Tunjung Kuning melirik sepasang
matanya ke bawah. Dia masih berada di atas bahu altar. Dan begi-tu matanya menumbuk ke
perutnya, dia terlengak.
"Tidak! Aku tidak bermimpi. Perutku telah
mengecil, berarti aku telah benar-benar melahirkan
seorang bayi! Mana bayiku..." Dan mana orang tua
itu?" Didorong ingin mengetahui bayi yang telah dilahirkannya, Putri Tunjung
Kuning segera bergerak
bangkit. Dia heran, tubuhnya kini tak lagi lemas dan bisa digerakkan meski ngilu
di persendiannya masih
terasa sakit. "Ya, pasti orang tua itu yang mengambil bayi-
ku!" gumam Putri Tunjung Kuning seraya duduk. "Jika orang tua itu sampai berbuat
yang tidak-tidak, siapapun dia adanya, tak akan kubiarkan hidup!"
Selagi Putri Tunjung Kuning bergumam sendiri,
telinganya menangkap langkah-langkah kaki dari arah belakangnya mendekat. Serta
merta Putri Tunjung
Kuning palingkan wajah ke belakang.


Pendekar Mata Keranjang 10 Titisan Darah Terkutuk di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Mana anakku..."!" tanya Putri Tunjung Kuning begitu tahu siapa adanya orang
yang melangkah ke
arahnya. Orang yang ditanya hanya menyunggingkan
senyum sebagai jawaban. Orang yang ditanya yang
bukan lain adalah Restu Canggir Rumekso terus me-
langkah mendekati altar di mana Putri Tunjung Kun-
ing duduk. "Mana anakku!" tanya ulang Putri Tunjung
Kuning dengan suara agak tinggi. Habis bertanya, tan-pa mempedulikan rasa sakit
yang mendera sekujur tu-
buhnya Putri Tunjung Kuning melompat turun dari
atas altar dan menyongsong langkah Restu Canggir
Rumekso. "Siapa kau sebenarnya..."! Jangan coba-coba
memisahkan aku dengan anakku!" ancam Putri Tunjung Kuning seraya membelalakkan
sepasang ma- tanya. Restu Canggir Rumekso hentikan langkahnya.
Dia masih tersenyum meski sepasang matanya mem-
balas tatapan mata gadis di hadapannya. Setelah ba-
tuk-batuk beberapa kali, Restu Canggir Rumekso ber-
kata dengan suara perlahan dan berat.
"Putri Tunjung Kuning! Kau tak usah cemas,
anakmu dalam keadaan sehat. Dia seorang laki-laki!"
"Laki-laki..."!" ulang Putri Tunjung Kuning.
"Oh...," Putri Tunjung Kuning seakan-akan mengeluh, meski kegembiraan tak dapat
dia sembunyikan dari
pancaran wajahnya.
"Di mana dia sekarang..." Aku ingin melihat-
nya...!" "Dengan syarat!" kata Restu Canggir Rumekso, membuat Putri Tunjung
Kuning mengernyit. Wajahnya
berubah merah padam mendengar kata-kata orang tua
di hadapannya. Sambil menahan marah yang mulai
mendesak dadanya, Putri Tunjung Kuning berkata.
"Orang tua! Kau jangan macam-macam. Dia
adalah anakku, darah daging ku! Kau tak berhak men-
gajukan syarat!"
"Terserah apa katamu, hanya saja, jika kau ti-
dak menyetujui syarat yang ku ajukan, kau tak akan
bisa melihat darah dagingmu!"
"Bajingan! Kau kira aku gentar kau takut-
takuti, he..."!" kata Putri Tunjung Kuning seraya melangkah maju dengan kedua
tangan siap melepaskan
pukulan. Dia sebenarnya merasakan sakit yang tak
terperikan saat mengerahkan tenaga dalam yang dis-
alurkan pada kedua tangannya, namun rasa sakit itu
ditindihnya. Di seberang, mendapati Putri Tunjung Kuning
melangkah maju dengan siap menyerang, Restu Cang-
gir Rumekso hanya tersenyum dingin. Dia tak berusa-
ha untuk ambil ancang-ancang meski tahu Putri Tun-
jung Kuning hendak menyerang.
"Putri Tunjung Kuning!" kata Restu Canggir Rumekso perlahan. "Ingat.... Tenagamu
masih lemah, kau masih perlu istirahat!"
"Persetan dengan itu. Kalau kau tak menun-
jukkan dan memberikan anakku, terpaksa aku bertin-
dak kasar padamu, meski kau telah menolongku!"
"Begitu...?" kata Restu Canggir Rumekso dengan tertawa kecil. "Kau telah
berpikir masak-masak dengan ucapanmu itu..."!"
"He, Orang Tua! Kau jangan terlalu banyak
omong! Lekas tunjukkan!" bentak Putri Tunjung Kuning.
Belum lenyap gema suara bentakan, kedua ka-
ki Restu Canggir Rumekso menghentak dua kali di
atas tanah pijakannya. Mendadak bangunan itu bagai
dilanda gempa. Bangunan itu bergetar hebat.
Putri Tunjung Kuning terperangah kaget. Dia
buru-buru mengerahkan tenaga untuk menahan tu-
buhnya yang tampak oleng. Namun tenaga Putri Tun-
jung Kuning seakan tak berarti apa-apa. Hingga tak
berapa lama kemudian tubuh Putri Tunjung Kuning
terhuyung-huyung dan roboh terduduk!
"Orang tua! Siapa kau sebenarnya..."!" tanya Putri Tunjung Kuning seraya
merambat bangkit dengan mata menusuk tajam.
Untuk beberapa saat Restu Canggir Rumekso
tak segera menjawab. Baru setelah agak lama dan se-
telah batuk beberapa kali Restu Canggir Rumekso
angkat bicara. "Orang-orang di luar memanggilku Restu Cang-
gir Rumekso!"
Demi mendengar orang tua di hadapannya me-
nyebutkan nama, terkejutlah Putri Tunjung Kuning.
"Astaga! Jadi inikah orang yang dahulu kabar-
nya pernah menggegerkan dunia persilatan, yang lan-
tas menghilang begitu saja tanpa ada kabar berita..."
Menurut kabar di luar, orang yang bernama Restu
Canggir Rumekso adalah seorang berkepandaian tinggi dan juga seorang ahli
pengobatan...," membatin Putri Tunjung Kuning seraya memperhatikan dengan
seksama orang tua di hadapannya dari atas hingga ba-
wah. "Putri Tunjung Kuning!" kata Restu Canggir Rumekso. "Kuharap kau menuruti
kata-kataku. Tak ada gunanya kau berkeras kepala. Itu tindakan bodoh!"
"Tapi...," belum sampai Putri Tunjung Kuning meneruskan kata-katanya, Restu
Canggir Rumekso telah menyela.
"Aku tahu. Dia adalah anakmu, darah daging-
mu. Namun untuk sementara ini kau harus turut pe-
rintahku! Kau untuk sementara ini hanya boleh meli-
hat, tanpa bisa menyentuhnya!"
"Gila! Apa maksudmu sebenarnya" Dan kau
apakan anakku"!"
"Aku bermaksud baik dengan anakmu. Dengar
baik-baik. Anakmu adalah seorang bayi yang lain daripada yang lain. Dia memiliki
kelebihan yang tidak dimiliki bayi-bayi lain di jagad ini!"
Mendengar keterangan Restu Canggir Rumekso,
Putri Tunjung Kuning sedikit terkejut dan hampir tak percaya, hingga dia
bergumam mengulangi.
"Kelebihan" Kelebihan apa..."!"
"Aku tak bisa menjelaskan sekarang. Kalau kau
ingin melihat, ikut aku. Tapi ingat, kau hanya bisa melihat tanpa bisa
menyentuh!"
Habis berkata, tanpa menunggu jawaban dari
Putri Tunjung Kuning, Restu Canggir Rumekso balik-
kan tubuh dan melangkah menuju ke sebuah ruangan
yang pintunya tampak tertutup. Dengan dorongkan
tangan kirinya, pintu itu terbuka, sejenak Restu Canggir Rumekso memandang pada
Putri Tunjung Kuning,
namun dari mulutnya tak terdengar ucapan.
Di lain pihak, Putri Tunjung Kuning tampak ra-
gu-ragu. Namun sesaat kemudian ia melangkah ke
arah Restu Canggir Rumekso yang telah masuk ke da-
lam ruangan. Begitu memasuki ruangan, Putri Tunjung Kun-
ing serentak membelalakkan sepasang matanya. Bibir-
nya saling menggegat. Setelah bisa menguasai diri, dia melangkah menghampiri
Restu Canggir Rumekso yang
berdiri di samping sebuah meja bundar agak besar.
"Lepaskan ikatan itu! Kau jangan berbuat gila!"
tiba-tiba terdengar suara membentak dari mulut Putri Tunjung Kuning. Sambil
membentak, mata gadis ini
tak kesiap memandang ke arah atas meja, di mana
tampak sesosok bayi mungil sedang tidur lelap. Namun ada suatu yang membuat
gadis ini trenyuh. Bayi itu
seluruh tubuhnya diikat dengan seutas tali. Demikian ketatnya ikatan tali itu,
hingga kulit tubuh sang bayi
terlihat berkerut-kerut. Anehnya, meski kulitnya masih kemerah-merahan, kulit
itu tak lecet! Apalagi mengeluarkan darah,
Merasa ucapannya tak didengar Restu Canggir
Rumekso, Putri Tunjung Kuning melangkah maju
mendekati meja. Namun baru akan bergerak, Restu
Canggir Rumekso membentak garang.
"Ingat kata-kataku! Kalau kau memaksa, aku
tak segan-segan bertindak kasar padamu!"
Putri Tunjung Kuning hentikan gerakan ka-
kinya. Matanya menusuk pada orang tua di samping-
nya. "Kau jangan berbuat tidak-tidak pada bayi yang baru lahir! Dia bisa mati!"
kata Putri Tunjung Kuning seraya berpaling memandang pada bayi di atas meja
Restu Canggir Rumekso tertawa bergelak-gelak
mendengar kata-kata Putri Tunjung Kuning, membuat
gadis ini heran dan geram.
Belum lenyap gema suara tawanya, Restu
Canggir Rumekso telah berkata.
"Tadi sudah kukatakan, bayimu adalah bayi
lain daripada yang lain. Lihat! Dalam waktu satu hari dia sudah seperti bayi
berumur tiga bulan! Dan kau lihat sendiri, kulitnya tidak lecet atau
mengeluarkan darah! Dengar Putri Tunjung Kuning, bayimu kelak tidak akan mempan
senjata atau pukulan apa pun juga! Dia
kelak akan menjadi seorang sakti tiada tanding...!"
"Tapi dia masih memerlukan air susu...," ujar Putri Tunjung Kuning seraya tak
berkedip memandang
bayi yang baru saja dilahirkannya.
"Dia tak memerlukan air susu! Karena dalam
jangka waktu sepuluh hari, dia akan seperti bocah berumur dua tahun yang sudah
tak perlu lagi menyusui"
"Apa kata-katanya bisa dipercaya" Tapi melihat
sekarang, kata-kata orang tua ini benar adanya. Lantas kelainan apa yang
sebenarnya merasuki tubuh
anakku ini..." Apa darah dari ayahnya...?" membatin Putri Tunjung Kuning.
Tatkala berpikir begitu, ingatan gadis ini melayang pada sosok ayah sang bayi.
"Bagaimana jika besar nanti dia tanya soal ba-
paknya..." Apakah aku harus mengatakan terus terang dan menceritakan siapa
sesungguhnya ayahnya..."
Seorang dedengkot tokoh sesat yang berjuluk Malaikat Berdarah Biru, hmm.... Tak
pernah kuduga, jika akhirnya aku harus melahirkan benihnya. Tapi apa boleh buat,
dia adalah anakku.... Siapa pun dia ayahnya!"
"Kau sudah puas...?" Restu Canggir Rumekso menegur.
Putri Tunjung Kuning tidak menjawab. Dia ba-
gai terbuai dengan alam pikirannya sendiri. Namun ketika tangan kanan Restu
Canggir Rumekso menyentuh
pundaknya, Putri Tunjung Kuning berpaling, dan me-
natap tajam. Restu Canggir Rumekso mengangguk,
memberi isyarat agar Putri Tunjung Kuning segera keluar. "Restu Canggir Rumekso,
ku mohon padamu izinkanlah untuk sejenak aku menimang anakku....
Aku...," Putri Tunjung Kuning hendak menghambur, namun tangan Restu Canggir
Rumekso telah mena-hannya.
"Dengar! Jika bayi itu tersentuh tangan seseo-
rang sebelum satu purnama, maka kekuatan yang ada
dalam dirinya akan punah!"
Selesai berkata, Restu Canggir Rumekso mena-
rik tangan kanannya yang masih mencekal pundak Pu-
tri Tunjung Kuning. Anehnya, meski Putri Tunjung
Kuning mengerahkan tenaga untuk memberontak, ka-
kinya tetap saja terseret mengikuti langkah Restu
Canggir Rumekso keluar dari ruangan!
Begitu sampai di luar ruangan, dan tiba di
ruangan di mana terdapat altar, Restu Canggir Ru-
mekso melepaskan cekalan tangannya.
"Putri Tunjung Kuning!" kata Restu Canggir Rumekso. "Sekarang terserah padamu.
Ka mau tinggal di sini boleh, atau ingin meninggalkan tempat ini sila-kan. Dan
juga perlu kau camkan, kau baru bisa me-
nyentuh anakmu jika anak itu telah berusia satu purnama!" Untuk beberapa lama
Putri Tunjung Kuning tercenung. Lantas tanpa memandang pada Restu
Canggir Rumekso dia ajukan pertanyaan.
"Di mana Pendekar Mata Keranjang yang telah
menolongku...?"
Restu Canggir Rumekso tersenyum lebar men-
dengar pertanyaan Putri Tunjung Kuning.
"Apa dia ayah dari anakmu...?" Restu Canggir Rumekso balik bertanya.
Putri Tunjung Kuning berpaling memandang
pada orang tua itu. Wajahnya berubah merah padam.
"Siapa ayah dari anakku, kau tak berhak men-
getahuinya! Itu urusanku!"
"Ucapanmu benar, namun aku perlu mengeta-
huinya. Karena tak mustahil dia suatu saat kelak akan menanyakannya padaku!"
"Hmm.... Sayang sekali aku tak bisa mengata-
kannya padamu. Biar aku sendiri kelak yang akan
mengatakannya padanya!" ujar Putri Tunjung Kuning seraya melangkah hendak pergi.
"Jika demikian, baiklah. Aku pun tak memerlu-
kan siapa ayahnya. Yang kubutuhkan adalah anak
itu!" kata Restu Canggir Rumekso pula.
"Orang tua! Aku sekarang akan pergi. Dan satu
purnama kemudian aku akan datang lagi ke sini!"
Restu Canggir Rumekso tak menanggapi uca-
pan Putri Tunjung Kuning. Dia hanya tersenyum sinis.
Dalam hati orang tua itu berkata.
"Hmm.... Kau kira satu purnama kemudian kau
akan menemukan anak itu..." Kau bermimpi, Bocah
Ayu! Satu purnama kemudian, anak itu sudah akan
malang melintang menggegerkan rimba persilatan. Dan kau tahu, anak itu tidak
akan memiliki rasa perikemanusiaan, karena sejak lahir dia tak merasakan
sentuhan atau air susu ibu yang membuat seorang anak
mempunyai rasa kemanusiaan.... Dan satu purnama
kemudian, nama Restu Canggir Rumekso akan kemba-
li bergema, ditakuti dan disegani. Ha... ha... ha...!"
Di lain pihak, sambil melangkah meninggalkan
bangunan, Putri Tunjung Kuning juga membatin
"Aku harus mencari Pendekar Mata Keranjang.
Aku..., sepertinya tak bisa melupakannya. Tapi apakah dia juga mengetahui
perasaan yang selama ini kupen-dam..." Kalau dia kelak tahu aku sudah mempunyai
seorang anak, apakah dia mau mengerti...?"
Lantas pikiran gadis itu melayang pada seseo-
rang lainnya. "Malaikat Berdarah Biru.... Hmm.... Meski kau
adalah ayah dari anakku, namun kau tetap musuhku!
Apakah waktu itu Pendekar Mata Keranjang berhasil
menewaskannya atau bangsat itu berhasil lolos..."
Hmm.... Kejadian itu berarti enam purnama yang lalu, tapi sepertinya masih
kemarin. Apa karena usia kandungan ku yang begitu cepat..." Seperti pertumbuhan
bayiku..." Restu Canggir Rumekso orangnya aneh. Apa sebenarnya yang diharapkan
dari anakku..." Tapi bagaimana caranya, suatu saat nanti aku harus memba-
wa anak itu...!"
Selagi Putri Tunjung Kuning berpikir begitu,
mendadak terdengar suara tangisan. Tangisan seorang bayi. Serta merta Putri


Pendekar Mata Keranjang 10 Titisan Darah Terkutuk di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tunjung Kuning menghentikan langkahnya. Dia balikkan tubuh memandangi bangunan,
di mana Restu Canggir Rumekso tinggal, karena
suara tangisan itu bersumber dari sana.
"Anakku...," gumam Putri Tunjung Kuning seraya bergegas melangkah. Namun baru
lima langkah kakinya, terdengar suara menegur keras.
"Kau teruskan perjalanan Putri Tunjung Kun-
ing! Anak itu tidak apa-apa!"
Namun Putri Tunjung Kuning tidak menghi-
raukan kata-kata teguran yang dia tahu pasti di-
ucapkan oleh Restu Canggir Rumekso.
Putri Tunjung Kuning terus melangkah menuju
arah bangunan. Namun belum sampai masuk, serang-
kum angin deras menyambar keluar dari pintu bangu-
nan dan menggebrak ke arah Putri Tunjung Kuning.
Putri Tunjung Kuning terperangah kaget. Na-
mun gerakannya untuk menghindar terlalu lambat,
hingga tanpa ampun lagi tubuhnya tersambar deras-
nya angin dan melayang jauh sebelum akhirnya jatuh
bergulingan di atas tanah.
Dan baru saja Putri Tunjung Kuning merambat
bangkit, telinganya menangkap suara. Meski suara itu diucapkan dari jarak jauh,
namun jelas sekali seperti di depan telinga.
"Putri Tunjung Kuning! Jika kau tetap mem-
bandel, membunuhmu bagai membuka telapak tangan
bagiku!" Putri Tunjung Kuning mendengus keras. Mu-
kanya merah padam, pelipisnya bergerak-gerak. Na-
mun merasa dia bukan tandingan Restu Canggir Ru-
mekso, pada akhirnya dengan membawa perasaan ge-
ram dan kecewa Putri Tunjung Kuning melangkah
menjauhi bangunan.
Seiring langkahan kaki Putri Tunjung Kuning
yang menjauhi bangunan, terdengar suara tawa berge-
lak yang makin lama makin keras.
"Orang tua gila! Aku tak akan membiarkan
anakku dalam cengkeraman mu selamanya!" seraya berkata Putri Tunjung Kuning
kerahkan tenaga dan
berkelebat cepat.
TIGA SEORANG pemuda tampan berbadan tegap,
mengenakan pakaian warna hijau yang dilapis dengan
baju kuning lengan panjang, rambut panjang dan di-
kuncir ekor kuda terlihat melangkah perlahan menyu-
suri jalan setapak dalam hutan kecil yang sunyi. Namun demikian, wajah pemuda
ini yang bukan lain ada-
lah Aji Saputra, atau Pendekar Mata Keranjang 108
tampak riang. Sesekali dia tersenyum lebar, malah tertawa tergelak-gelak.
"Ayo, kejar aku...," kata Pendekar 108 seraya palingkan wajahnya ke belakang.
Ternyata meski dia
nampak melangkah perlahan, namun karena langkah-
nya dengan pengerahan tenaga dalam, membuat di-
rinya bagai terbang di atas jalan setapak.
"Pendekar Mata Keranjang! Tunggu. Aku men-
gaku kalah...," terdengar suara memanggil dari arah belakang. Dan bersamaan
dengan itu dari belokan jalan setapak muncul seorang dara jelita. Dia mengenakan
pakaian putih-putih. Rambutnya panjang dan di-
biarkan bergerai. Sepasang matanya bulat dan berbi-
nar. Kulitnya putih agak kemerahan karena ditimpa te-
rik matahari. Di leher dara ini nampak melingkar
seuntai kalung dari bunga-bunga berwarna hitam. Di
atas telinga kirinya juga tampak menyelip sekuntum
bunga berwarna hitam.
Mendengar teriakan sang dara, Pendekar Mata
Keranjang 108 menghentikan langkahnya. Dan begitu
sang dara sampai di dekatnya, Pendekar Mata Keran-
jang 108 cepat berpaling dan berkata seraya terse-
nyum lebar. "Sesuai perjanjian, jika kau tak dapat menang-
kapku, maka...," Pendekar Mata Keranjang 108 tak meneruskan ucapannya.
Sebaliknya kedua tangannya
segera mencekal bahu dara di sampingnya. Dan di lain kejap, bibir Pendekar Mata
Keranjang 108 telah merambat memagut bibir dara di sampingnya.
Karena begitu cepat gerakan Pendekar Mata Ke-
ranjang 108, hingga dara itu tak bisa lagi berkelit menghindar. Mula-mula dia
memang terlihat hendak
meronta memberosot dari rengkuhan tangan Pendekar
Mata Keranjang 108. Namun hal itu hanya berjalan
sekejap. Sesaat kemudian, dara ini membalas pagutan-pagutan Pendekar Mata
Keranjang 108 dengan berapi-
api. Hingga dadanya yang membusung kencang dan
menempel di dada Pendekar Mata Keranjang 108 itu
terlihat bergerak cepat turun naik, membuat Pendekar Mata Keranjang 108 lebih
merapatkan dadanya.
Selagi kedua orang ini sedang dibuai kenikma-
tan, terdengar suara tawa perlahan. Namun hebatnya
meski tawa itu begitu perlahan, suaranya begitu me-
nusuk gendang telinga.
Serta merta Pendekar Mata Keranjang 108 me-
lepaskan pagutan bibirnya, dia memandang sejenak
pada dara di depannya.
"Ratu Sekar Langit. Menilik suara tawanya, aku
bisa memastikan jika si pemilik suara adalah seorang yang berilmu tinggi. Kau
menjauhlah...," kata Pendekar 108 perlahan.
Yang diajak bicara, yang ternyata adalah Ratu
Sekar Langit tidak mengangguk dan tidak menggeleng.
Dia hanya menatap pada Pendekar Mata Keranjang
108. Wajahnya jelas mengisyaratkan kekecewaan. Se-
mentara dadanya masih tampak turun naik.
Tanpa mempedulikan perasaan Ratu Sekar
Langit yang masih tampak kecewa, Pendekar Mata Ke-
ranjang 108 berpaling pada sumber suara, demikian
juga Ratu Sekar Langit.
Kedua orang ini sama melengak. Tak jauh dari
tempat mereka terlihat sesosok manusia berdiri tanpa memandang ke arah mereka.
Namun sikapnya mengisyaratkan mengejek.
Setelah mendehem, sosok manusia itu menga-
lihkan pandangan, menatap pada Pendekar Mata Ke-
ranjang 108 dan Ratu Sekar Langit dengan senyum si-
nis. Ia adalah sesosok manusia bertubuh pendek.
Rambutnya panjang sebahu, namun rambut bagian
atas dan samping dipotong demikian pendek hingga
tampak jabrik. Menilik pakaian dan dandanannya, bisa segera ditebak jika sosok
manusia pendek ini adalah seorang perempuan, karena wajahnya dibedaki dengan
bedak putih demikian tebal, sementara bibirnya yang tebal sebelah atas diberi
pemerah. Sepasang matanya lebar dengan hidung besar agak bengkok.
Pendekar Mata Keranjang sejenak menatap se-
raya berpikir keras.
"Siapa manusia ini..." Aku tak pernah dengar
dan lihat tokoh dunia persilatan yang mempunyai ciri-ciri seperti dia. Apakah
dia tokoh yang baru saja muncul" Namun siapa pun dia adanya, rupanya dia beril-
mu tinggi. Suara tawanya saja mampu membuat telin-
ga berdenging sakit...," membatin Pendekar 108 dengan memperhatikan lebih
seksama. Merasa dipandangi rupa, sosok manusia pen-
dek yang ternyata berdiri dengan menyilangkan kaki
kanannya di atas betis kaki kirinya, serta tangan kanannya mencengkeram sebuah
tombak yang pangkal-
nya membentuk sekuntum bunga berwarna hitam,
mendelik dan berkata.
"Bocah! Kalau kau mendampingiku terus, jan-
gan menyesal jika kedua matamu akan kutembus den-
gan tombakku!"
Seraya berkata manusia pendek ini pindahkan
tombaknya ke samping kiri tubuhnya. Dan bersamaan
dengan itu bersiur serangkum angin deras yang men-
deru. "Hmm.... Manusia ini tampaknya sengaja unjuk kebolehan...," pikir Pendekar
Mata Keranjang 108 dengan alihkan pandangan seraya tersenyum-senyum. La-
lu dia berkata.
"Kalau boleh kami tahu, siapakah kau...?"
"Siapa kau..."!" ulang si manusia pendek dengan nada sinis mengejek. Tawanya
lalu meledak, mem-
buat Pendekar Mata Keranjang 108 dan Ratu Sekar
Langit segera mengerahkan tenaga dalam untuk me-
nangkis tenaga dalam yang keluar bersama dengan
suara tawa si manusia pendek.
"He.... Jangan hanya berha.... Ha... ha... ha....
Siapa kau"!" kali ini yang keluarkan teguran adalah Ratu Sekar Langit.
Mendapat teguran, manusia pendek ini serta
merta memenggal suara tawanya secara mendadak.
Sepasang matanya yang lebar menyengat tajam pada
Ratu Sekar Langit dengan pandangan tak senang. Dia
lantas berkata dengan nada membentak.
"Gadis jelek! Kalau kau ingin mulutmu tak be-
rubah bentuknya, jaga ucapanmu. Dengar kalian se-
mua! Aku tak suka ditanyai, kalianlah yang harus katakan siapa kalian
sebenarnya. Manusia-manusia yang tak tahu malu bermain cinta di jalanan!"
Mendengar kata-kata manusia pendek, Pende-
kar Mata Keranjang 108 serta Ratu Sekar Langit berubah wajah masing-masing
menjadi merah padam. Na-
mun sesaat kemudian, Pendekar Mata Keranjang 108
segera palingkan wajah memandang pada Ratu Sekar
Langit seraya mengerdipkan sebelah matanya, mem-
buat gadis ini semakin merah mengelam.
"Kalau kau tak ingin ditanyai, sebaiknya kau
segera tinggalkan tempat ini, karena kami juga tak senang ditanyai dan diganggu.
Bukankah begitu keka-
sihku...?" kata Pendekar Mata Keranjang dengan tak mengalihkan pandangannya pada
Ratu Sekar Langit.
Ratu Sekar Langit semakin salah tingkah den-
gan perasaan bercampur aduk mendengar dirinya dis-
ebut kekasih oleh Pendekar Mata Keranjang 108.
Di lain pihak, manusia pendek di seberang ter-
lihat tersenyum hambar namun adanya menghina.
"Kekasih.... Hik... hik... hik.... Rupanya kalian sepasang kekasih. Huah.... Aku
tahu.... Tahu jika sepasang kekasih sedang dimabuk asmara mereka tak
ingin diganggu. Namun karena kalian telah telanjur
menanyai ku, terpaksa aku tidak bisa meninggalkan
kalian sebelum aku mengetahui siapa adanya kalian!
Dan bila kalian tak mau jawab, aku tak segan-segan
memaksa!" Wesss! Blemmm! Si manusia pendek pindahkan lagi tombaknya,
serta pindahkan kaki kirinya dari betis dan dihentak-
kan di atas tanah, hingga serangkum angin deras yang disertai berguncangnya
tanah seraya menyentak tempat itu. "Hmm.... Manusia macam begini kalau dituruti
bisa menjadikan penghalang dalam perjalananku ke lereng Gunung Mahameru. Lebih
baik aku turuti saja
permintaannya, biar segalanya lekas beres...," lalu Pendekar Mata Keranjang 108
berkata. "Baik. Kemauanmu ku turuti. Aku akan mem-
beri tahu siapa aku dan kekasihku itu. Aku bernama
Aji Saputra, seorang pengelana jalanan. Sementara kekasihku adalah Ratu Sekar
Langit...."
Manusia pendek di hadapan Pendekar Mata Ke-
ranjang 108 tak menunjukkan rasa terkejut sama se-
kali. Sebaliknya dia seakan tak percaya dengan ucapan Pendekar 108. Dia menatap
menyelidik. "Hmm.... Melihat ciri-ciri bocah laki-laki ini, dia tampaknya berdusta. Aku
tahu, dia berilmu tinggi. Aku harus mengujinya. Apakah dia pemuda seperti du-
gaanku...."
Berpikir begitu, si manusia pendek ini lantas
membentak garang.
"Bocah. Aku tak suka dibohongi. Kau telah
menjawab pertanyaanku dengan dusta, dan sebagai
bayarannya, aku inginkan barang mu, biar kau tak
seenaknya saja bermain cinta. Hik... hik... hik...."
Ratu Sekar Langit katupkan bibirnya dengan
raut muka berubah mendengar kata-kata manusia
pendek. Dia segera melangkah maju dan siap hendak
menyerang, namun dia urungkan tatkala Pendekar
Mata Keranjang 108 berkata.
"Tahan...!" dia lantas memandang pada manusia pendek dan berkata.
"Kami telah mengatakan apa adanya siapa ka-
mi. Kalau kau tak percaya itu urusanmu. Dan kalau
kau tetap memaksa berarti kau memang cari masalah!"
"Benar! Katakan saja apa maksudmu sebenar-
nya" Kalau kau ingin barang' aku bisa mencarikan un-tukmu. Kau minta yang
bagaimana...?" timpal Ratu Sekar Langit, meski dalam hatinya diam-diam dia
mengutuk dirinya sendiri mengatakan hal begitu.
Si manusia pendek menyeringai. Dia berpaling
memandang pada Ratu Sekar Langit. Matanya berkilat
dengan dahi mengkerut, membuat bedaknya rengkah
dan jatuh sedikit.
"Gadis liar! Mulutmu memang pantas dirubah
bentuknya!" habis berkata, si manusia pendek batuk dua kali, lalu tiba-tiba
tubuhnya berkelebat lenyap, meninggalkan tombaknya yang menancap hampir setengah
ke dalam tanah.
Sebuah seruan tertahan segera terdengar. Dan
di lain kejap si manusia pendek telah kembali tegak di samping tombaknya. Dia
berdiri dengan kaki kiri dis-ilangkan di atas betis kaki kanan sementara tangan
kanannya memegang ujung tombak dengan tersenyum
menyeringai. Pendekar 108 terkesiap melihat apa yang terja-
di, dan semakin terperangah ketika mengetahui Ratu
Sekar Langit tampak mundur dua langkah ke belakang
dengan muka pias.
Ternyata, bibir Ratu Sekar Langit yang tadinya
telah merah tanpa pemerah, kini semakin merah me-
nyala. Jika saja si manusia pendek benar-benar ingin melaksanakan ancamannya,
maka sewaktu tubuhnya
lenyap dan mengolesi bibir Ratu Sekar Langit dengan pemerah di bibirnya, si
manusia pendek ini bisa
menghantam bibir Ratu Sekar Langit hingga berubah
bentuknya seperti ancamannya!
"Aku masih merasa kasihan jika kekasihmu tak
bisa mencium bibirmu lagi, maka untuk kali ini cukup itu saja sebagai pelajaran
agar kau tahu, membunuh
kalian berdua bukanlah hal sulit bagiku. Sekarang katakan siapa kau bocah!"
"Tadi sudah kukatakan. Namaku Aji Saputra!"


Pendekar Mata Keranjang 10 Titisan Darah Terkutuk di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

jawab Pendekar Mata Keranjang 108 agak tinggi seraya menahan rasa geram.
"Bohong!" bentak manusia pendek.
Di sebelah belakang, Ratu Sekar Langit terden-
gar batuk-batuk beberapa kali seraya menutup hi-
dungnya, karena ternyata pemerah yang dioleskan si
manusia pendek itu berbau anyir! Dan bersamaan
dengan itu tangan kanannya segera bergerak mengu-
sap bibirnya dengan mengumpat habis-habisan.
"Beraninya kau berkata dusta padaku!" sambung manusia pendek seraya melangkah
maju mende- kati Pendekar Mata Keranjang 108. Namun begitu ma-
nusia pendek ini melangkah maju, Pendekar Mata Ke-
ranjang 108 segera menyongsong.
"Pendekar Mata Keranjang!" seru Ratu Sekar Langit. "Serahkan manusia itu
padaku!" seraya berkata Ratu Sekar Langit pun melangkah maju.
Mendengar seruan Ratu Sekar Langit yang me-
manggil Aji dengan Pendekar Mata Keranjang, manusia pendek menghentikan langkah.
Matanya menyorot tajam. "Pendekar Mata Keranjang...," membatin manusia pendek.
"Hm.... Dugaanku nyatanya tidak meleset.
Meski aku telah lama tak muncul ke gelanggang dunia persilatan, aku telah
menyirap kabar jika manusia sa-tu ini berkepandaian tinggi. Namun yang lebih
dari semua itu, dia adalah murid Wong Agung. Musuh be-
sarku. Tak ada salahnya aku mencoba ilmunya dan
kalau perlu membunuhnya sekalian. Setelah itu baru
gurunya...."
"Pendekar Mata Keranjang!" ucap manusia
pendek dengan sinis. "Agar kau nantinya tak penasaran saat memasuki alam kubur,
dengarkan baik-baik
aku akan mengatakan siapa diriku. Orang-orang dahu-
lu memanggilku dengan nama Bawuk Raga Ginting!"
Pendekar Mata Keranjang 108 dan Ratu Sekar
Langit sating bertukar pandang mendengar manusia
pendek menyebutkan siapa dirinya. Malah Ratu Sekar
Langit undurkan langkah ke belakang. Raut wajahnya
memperlihatkan keterkejutan sementara Pendekar Ma-
ta Keranjang 108 meski dalam hati diam-diam terce-
kat, namun dia tetap bersikap tenang. Di lain pihak, melihat perubahan wajah
Ratu Sekar Langit, Bawuk
Raga Ginting tertawa bergelak.
"Hmm.... Aku lamat-lamat memang pernah
dengar nama itu.... Lantas aku tak habis pikir kenapa tiba-tiba dia membuka
sengketa..." Apa maksud-nya..."!" membatin Pendekar Mata Keranjang 108. Lalu dia
berkata. "Sobat! Aku memang telah dengar siapa kau
adanya. Manusia berilmu tinggi yang sukar dicari tan-dingnya, namun antara kita
tak ada silang sengketa
sebelumnya! Mengapa kau mendadak bertingkah begi-
tu..."!" "Tanyalah nanti di alam kubur pada gurumu yang nanti akan menyusulmu!"
jawab Bawuk Raga
Ginting dengan mata melotot angker.
Selesai berkata, Bawuk Raga Ginting segera
meloncat ke atas setinggi setengah tombak. Lalu dia hentakkan sepasang kakinya
empat kali berturut-turut, sementara tangan kanannya bertumpu pada
pangkal tombak.
Pangkal tombak itu melesak, membuat ujung-
nya amblas ke dalam tubuh, dan bersamaan dengan
itu bumi tempatnya menghentak tiba-tiba bergetar hebat bagai dilanda gempa.
Pendekar 108 cepat kerahkan tenaga dalamnya
untuk menangkis agar tubuhnya tidak ikut bergetar.
Demikian juga Ratu Sekar Langit.
Selagi Pendekar Mata Keranjang 108 berkutat
mengerahkan tenaga dalam, tiba-tiba saja Bawuk Raga Ginting berkelebat dan di
kejap lain tahu-tahu sepasang tangan dan kakinya telah satu depa di de-pan
hidung dan perut Pendekar Mata Keranjang 108.
Murid Wong Agung dari Karang Langit ini sege-
ra angkat kedua tangannya. Satu dia angkat menutupi mukanya sementara satunya
lagi dia palangkan di depan perut.
Namun Pendekar Mata Keranjang 108 terkejut
bukan alang kepalang, karena ternyata Bawuk Raga
Ginting tidak meneruskan hantaman tangan dan ka-
kinya. Sebaliknya dia membuat gerakan jungkir balik di udara, dan dengan cepat
mendarat di sebelah kanan Pendekar Mata Keranjang 108! Lalu didahului dengan
bentakan nyaring, Bawuk Raga Ginting sentakkan ke-
dua tangannya. Terdengar seperti deru gelombang dahsyat
menghampar di tempat itu. Bersamaan dengan itu ki-
latan-kilatan warna hitam redup yang membias hawa
panas segera menggebrak ke arah Pendekar Mata Ke-
ranjang 108. "Gila! Serangannya sulit diduga!" keluh Pendekar 108 seraya miringkan tubuhnya
menyongsong se-
rangan lawan dengan hantaman kedua tangannya le-
paskan pukulan 'Segara Geni'.
Untuk kali kedua Pendekar Mata Keranjang
108 dibuat melengak. Pukulan sakti 'Segara Geni', jurus ke empat dari Karang
Langit bagai lenyap ditelan kilatan-kilatan hitam serangan Bawuk Raga Ginting,
membuat serangan manusia pendek ini menerobos te-
rus ke arah kepala Pendekar Mata Keranjang 108!
Dengan menindih rasa terkejut, Pendekar Mata
Keranjang 108 cepat kerahkan pukulan 'Bayu Cakra
Buana'. Hingga kejap itu juga udara terang benderang.
Dan bersamaan dengan itu terdengar letupan beberapa kali. Bumi tempat itu
berguncang hebat. Debu beter-bangan melingkupi suasana. Sementara begitu letupan
lenyap, tanah tempat bertemunya dua serangan yang
telah sama-sama dialiri tenaga dalam itu terbongkar dan membentuk lobang besar
sedalam setengah tombak. Tubuh Pendekar Mata Keranjang 108 ter-
huyung-huyung dan jatuh terduduk, sementara tubuh
Bawuk Raga Ginting yang pendek dan kecil melayang
ke belakang, namun sebelum tubuhnya terjerembab,
Bawuk Raga Ginting membentak. Tubuhnya melenting
ke udara lebih tinggi, lalu membuat gerakan salto di udara sebelum akhirnya
mendarat kembali di samping
tombaknya dengan berdiri kokoh!
"Rupanya kabar yang tersebar selama ini benar
adanya. Manusia satu ini berilmu tinggi...," membatin Bawuk Raga Ginting dengan
tersenyum beringas.
Manusia pendek ini lantas kembali melangkah
maju. Matanya yang lebar memejam rapat sementara
kedua tangannya diputar-putar di samping tubuhnya.
Angin menderu-deru segera terdengar, dan di
kejap lain secara cepat Bawuk Raga Ginting hantam-
kan kedua tangannya. Matanya tetap tak dibuka.
Angin menderu-deru lebih dahsyat segera ter-
dengar tanpa terlihat adanya kilatan atau warna. Na-
mun sejenak sempat membuat Pendekar Mata Keran-
jang 108 seakan hendak tersapu.
Melihat serangan lawan, dan sebelum tubuhnya
sampai tersapu tunggang langgang, Pendekar Mata Ke-
ranjang 108 cepat lepaskan kembali 'Bayu Cakra Bua-
na'. Hantaman angin dari Bawuk Raga Ginting
mendadak seperti tertahan di udara, namun suara de-
ruannya tetap mendengung dahsyat, membuat tempat
itu semakin terbongkar.
Bawuk Raga Ginting terhenyak hampir tak per-
caya. Dengan berteriak keras dan mata mendelik, dia hantamkan kembali tangannya,
sementara kakinya tak
henti-hentinya dibanting-banting di atas tanah.
Pendekar Mata Keranjang 108 tambah tekanan
tenaga dalamnya. Beberapa kali kedua tangannya juga menghantam ke depan
menangkis angin pukulan lawan yang semakin deras dan dahsyat, hingga pakaian
dan rambutnya tampak berkibar-kibar.
Keringat mulai membasahi sosok-sosok Pende-
kar Mata Keranjang 108 dan Bawuk Raga Ginting. Se-
mentara tanah tempat mereka berpijak terus bergetar, membuat kaki Pendekar Mata
Keranjang 108 sedikit
demi sedikit melesak masuk! Di lain pihak tubuh Ba-
wuk Raga Ginting tak bergeming karena dengan cerdik dia segera memegangi
tombaknya. Dan mendadak setelah sekian lama saling ber-
tahan dengan mengerahkan tenaga dalam masing-
masing, Bawuk Raga Ginting berkelebat cepat menero-
bos pertemuan dua serangan.
Hebatnya, tubuhnya seperti tak mengalami bias
serangan, hingga tubuh kecil itu nyelonong mengge-
brak ke arah Pendekar Mata Keranjang 108 yang ma-
sih tampak menduga-duga arah serangan lawan.
Selagi Pendekar Mata Keranjang 108 menduga-
duga itulah, serangan Bawuk Raga Ginting datang me-
nerjang. Dess! Desss! Kedua tangan kecil Bawuk Raga Ginting meng-
hantam deras ke bahu Pendekar Mata Keranjang 108.
Meski tangan itu kecil namun karena telah dialiri tenaga dalam, membuat Pendekar
Mata Keranjang 108
menjerit keras dan bersamaan dengan itu tubuhnya
berputar keras dan terbanting menghujam tanah!
"Ratu Sekar Langit, kau menyingkirkan! Manu-
sia satu ini benar-benar ingin nyawaku!," kata Pendekar Mata Keranjang 108
tatkala dilihatnya Ratu Sekar Langit yang sedari tadi hanya melihat bergerak
melangkah maju.
Dan tanpa diduga sama sekali, begitu tubuh
Pendekar Mata Keranjang roboh, dua serangan yang
tadi bertemu di udara itu ambyar seketika dengan keluarkan ledakan dahsyat.
Bawuk Raga Ginting yang telah waspada dan
telah memikirkan hal itu, segera melompat jungkir balik ke belakang.
"Ratu Sekar Langit! Cepat menyingkir!" ingat Pendekar Mata Keranjang 108. Namun
peringatan itu datangnya sudah terlambat. Bias ledakan dahsyat itu menerpa tubuh Ratu Sekar
Langit. Hingga saat itu juga dari mulut gadis cantik itu terdengar jeritan
lengking. Tubuhnya mencelat.
Pendekar Mata Keranjang 108 yang baru saja
bangkit segera melesat mengikuti arah tubuh Ratu Sekar Langit, dan sebelum tubuh
itu menghempas di
atas tanah, Pendekar Mata Keranjang 108 segera me-
nangkapnya, dan dengan agak sempoyongan keduanya
mendarat di atas tanah.
"Kau berdiamlah di sini!" kata Pendekar 108.
Lalu tanpa melihat Ratu Sekar Langit yang ingin mengucapkan sesuatu, Pendekar
Mata Keranjang 108 ba-
likkan tubuh dan melangkah ke arah Bawuk Raga
Ginting dengan tangan kanan memegang kipas yang
telah dibuka. Sepasang mata Bawuk Raga Ginting sejenak
memandang tak kesiap ke arah kipas ungu di tangan
kanan Pendekar Mata Keranjang 108.
"Hmm.... Pasti itu kipas yang puluhan tahun la-lu pernah jadi rebutan tokoh-
tokoh silat...," membatin Bawuk Raga Ginting. Diam-diam dalam hati manusia
pendek ini jerih juga. Namun dia tampak menindihnya dengan berkata.
"Kipas mainan. Siapa takut!" Belum lenyap suaranya, Bawuk Raga Ginting telah
menyerbu dengan le-
paskan hantaman tangan kosong kiri kanan.
Pendekar Mata Keranjang yang belum sempat
kibaskan kipasnya merasa tubuhnya terhantam angin
deras. Dengan menggereng murid Wong Agung ini lan-
tas berkelit dengan meloncat ke samping. Namun lagi-lagi belum sempat gerakkan
kakinya. Bawuk Raga
Ginting telah menerjang kembali. Kali ini sepasang ka-ki mungilnya menerjang
hebat ke arah dada!
"Edan! Dia sepertinya tak memberiku kesempa-
tan untuk menyerang. Dia rupanya tahu, serangan te-
naga dalam akan terbendung jika terkibas kipas ini.
Hingga dia tak melancarkan serangan jarak jauh...,"
batin Pendekar Mata Keranjang 108 sambil palangkan
kedua tangannya di depan dada.
Prakk! Prakk! Terdengar dua kali benturan keras tatkala se-
pasang tangan mungil Bawuk Raga Ginting menghan-
tam punggung kedua tangan Pendekar Mata Keranjang
108. Pendekar Mata Keranjang 108 terjengkang dan
jatuh terduduk, sementara Bawuk Raga Ginting men-
tal balik. Dia mencoba membuat gerakan berputar,
namun karena jaraknya terlalu rendah dengan tanah,
membuatnya tak ada ruang untuk bergerak, hingga
tak ampun lagi tubuh kecil pendek itu menghujam di
atas tanah. "Jahanam!" seru Bawuk Raga Ginting seraya bangkit. Bedak tebal di wajahnya telah
jatuh berlulu-ran, karena menuruk ke atas tanah dan terkena keringat yang
membasahi wajahnya.
Pendekar Mata Keranjang 108 tersenyum meli-
hat hal itu, karena ternyata wajah Bawuk Raga Ginting bopeng-bopeng, sementara
bibirnya berwarna hitam!
Melihat senyuman Pendekar Mata Keranjang
108 yang bernada menertawakan, membuat Bawuk
Raga Ginting marah besar. Seraya melompat disertai
bentakan keras dia sentakan kedua tangannya!
EMPAT DUA rangkum angin deras berhawa panas me-
nyambar cepat ke arah Pendekar Mata Keranjang. Dan
belum sampai serangan ini melabrak, Bawuk Raga
Ginting telah bergerak cepat, mencabut tombaknya
dan serta merta dilemparkannya ke depan. Hebatnya,
di udara tombak itu pecah. Pangkalnya yang memben-
tuk sekuntum bunga mencelat dan membubung tinggi
ke atas, namun sekejap kemudian, kuntuman bunga
itu menukik deras ke bawah. Sementara tombaknya
lurus menerabas.
Mendapati hujan serangan yang bertubi-tubi
itu mau tak mau Pendekar Mata Keranjang tergagap
juga. Namun dia segera sadar dan dengan kibasan ki-
pasnya dia melompat ke samping.
Angin deras itu mendadak mental balik, namun
pangkal tombak itu sepertinya tak terpengaruh. Pangkal tombak yang membentuk
kuntum bunga berwarna
hitam itu terus menukik sementara batangan tombak-
nya juga terus melabrak.
"Gila!" umpat Pendekar Mata Keranjang 108 seraya hantamkan kedua tangannya
melepas pukulan


Pendekar Mata Keranjang 10 Titisan Darah Terkutuk di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sakti 'Bayu Cakra Buana'.
Sinar putih segera menyelimuti tempat itu dan
mendadak terdengar berderaknya dua benda hancur.
Begitu suasana kembali terang, tombak serta kuntum
bunga itu telah hancur berantakan di atas tanah.
Bawuk Raga Ginting melenggak marah melihat
serangannya begitu mudah ditangkis lawan. Dengan
membentak marah, manusia pendek ini langsung pu-
tar tubuhnya, hingga detik itu juga sosoknya lenyap dari pandangan.
Pendekar Mata Keranjang cepat pasang mata
dan telinganya untuk mengetahui di mana beradanya
lawan. Namun murid Wong Agung ini tiba-tiba terke-
sima. Karena mendadak saja dari segala jurusan tam-
pak sosok-sosok manusia pendek menerjang ke arah-
nya. Karena tak bisa menentukan mana Bawuk Ra-
ga Ginting sebenarnya, membuat Pendekar Mata Ke-
ranjang putar-putar kipas dan tangannya di atas kepa-la.
Suara angin menderu-deru segera berputar
menyelimuti tubuh Pendekar Mata Keranjang seakan
melindungi dirinya dari segala penjuru angin. Sosok Bawuk Raga Ginting yang kini
tampak menjadi empat
sosok itu bagai tertahan dan tersapu tunggang lang-
gang. Namun saat itu juga terdengar beberapa teria-
kan, dan sosok-sosok Bawuk Raga Ginting membalik
seraya menerjang. Tapi sosok-sosok ini tampaknya tak mampu menembus pertahanan
yang menyelimuti tubuh Pendekar Mata Keranjang. Hingga keempat sosok
Bawuk Raga Ginting ini mengapung di udara.
Pendekar Mata Keranjang terus menambah pu-
taran kedua tangannya untuk mementalkan sosok-
sosok manusia pendek ini. Namun sosok-sosok ini se-
pertinya mampu membendung, hingga keempatnya te-
tap mengapung di udara.
"Hmm.... Salah seorang di antaranya pasti Ba-
wuk Raga Ginting yang asli. Tapi yang mana" Keem-
patnya tak bisa dibedakan, padahal kekuatannya pasti berada di yang asli...,"
batin Pendekar 108 seraya mengawasi satu persatu manusia pendek yang kini mengi-
tari dirinya dari empat penjuru dan siap menerjang ji-ka Pendekar Mata Keranjang
lengah sedikit saja.
Keringat sudah membasahi seluruh tubuh Pen-
dekar Mata Keranjang, namun murid Wong Agung ini
nambah tekanan tenaga dalamnya, keempat sosok itu
tak juga bergeming. Bahkan ketika sosok yang berada di samping kanan keluarkan
bentakan dahsyat, pertahanan Pendekar Mata Keranjang ambrol!
Sosok ini langsung melejit menerabas dinding
pertahanan Pendekar Mata Keranjang dengan kedua
kaki lurus sementara kedua tangannya terpentang,
siap hendak memecah batok kepala.
"Celaka!" seru Pendekar Mata Keranjang kebingungan, karena jika dia menangkis
serangan sosok yang berhasil menerabas ini, mau tak mau pertahanan lainnya akan lowong, dan ini
makin membahayakan
jiwanya. Dengan menggerutu panjang pendek, akhirnya
Pendekar Mata Keranjang 108 berkelit dengan miring-
kan tubuhnya ke samping, sedangkan kepalanya dia
rundukkan sedikit. Hingga sosok yang berhasil mene-
rabas pertahanan itu menghujam tempat kosong di
samping Pendekar Mata Keranjang. Namun gerakan
Pendekar Mata Keranjang 108 itu membuat pertaha-
nan di samping kiri goyah dan ambrol. Hingga kali ini sosok Bawuk Raga Ginting
yang dari sebelah kiri menerjang deras.
"Sialan! Aku tak bisa bertahan begini terus-
terusan...," Pendekar Mata Keranjang segera hentikan putaran tangannya dan
dihantamkan ke kiri dan ke
depan. Sosok Bawuk Raga Ginting yang menerjang dari arah kiri mental balik,
sementara yang hendak menerjang dari arah depan tersapu dan melayang jauh den-
gan keluarkan jeritan tertahan.
Namun sosok yang berada di belakang, melihat
pertahanan Pendekar Mata Keranjang 108 bobol segera meluncur deras. Karena saat
itu Pendekar Mata Keranjang sedang menangkis sosok yang datang dari arah
kiri dan depan, membuat Pendekar Mata Keranjang
108 tak bisa lagi menghindar dari terjangan sosok yang datang dari belakang.
Hingga sesaat kemudian terdengar seruan keras dari mulut Pendekar Mata
Keranjang. Dan bersamaan dengan itu tubuh Pendekar Mata Ke-
ranjang terjerembab ke depan dengan menyusup ta-
nah! Dadanya terasa sesak menghantam tanah, se-
mentara punggungnya bagai ditembus kayu batangan.
Dari hidungnya serta sudut bibir keluar darah segar.
Matanya berkunang-kunang.
Sementara itu, keempat sosok Bawuk Raga
Ginting sama-sama keluarkan kekehan. Dan sesaat
Kembalinya Sang Pendekar Rajawali 8 Joko Sableng 38 Bidadari Delapan Samudra Irama Seruling Menggemparkan Rimba Persilatan 13
^