Neraka Untuk Sang Pendekar 2
Dewa Arak 38 Neraka Untuk Sang Pendekar Bagian 2
cepat menempuh arah yang berbeda.
*** "Hih!"
Sesosok bayangan kuning melambung ke atas, kemudian mendarat di atas sebongkah
batu yang menonjol. Kembali kakinya menjejak, maka tubuhnya pun kembali
melambung ke udara. Begitu hinggap di tonjolan batu yang lebih atas. Kakinya
menotol lagi. Demikian seterusnya. Rupanya, sosok bayangan kuning itu tengah mendaki lereng
sebuah gunung. Ternyata bukan hanya bayangan kuning saja yang mendaki. Terbukti di belakangnya
menyusul sosok bayangan hitam, dan sosok bayangan ungu. Gerakan mereka rata-rata
gesit dan lincah. Terutama sekali, sosok bayangan ungu.
"Hup!"
Ringan hampir tanpa suara, sosok bayangan kuning itu mendarat di tanah datar.
Memang, dia telah berada di bagian gunung yang mempunyai permukaan datar.
Sesampainya di sini, sosok bayangan kuning itu menghentikan gerakannya dan
berdiri diam di situ, seakan-akan tengah menunggu sesuatu.
Sesaat kemudian, melesat sosok bayangan hitam dan disusul sosok bayangan ungu.
Kini, tiga sosok bayangan itu telah berkumpul di bagian yang datar.
Mereka ternyata Adipati Subali, Dewa Arak, dan Rara Kunti.
"Masih jauhkah tempat yang akan kita tuju, Ayah?"
Tanya Rara Kunti, agak terengah-engah.
Rupanya gadis berpakaian hitam ini telah merasa lelah. Bahkan wajahnya yang
cantik itu pun dipenuhi butir-butir keringat.
"Memang masih cukup jauh, Kunti," kata Adipati Subali sambil menganggukkan
kepala. "Kita masih harus melalui jalan setapak, padang ruput yang cukup tinggi
dan luas, serta sebuah sungai untuk tiba di sana."
"Hhh...!" Rara Kunti menghela napas berat. "Bagaimana kalau kita beristirahat
dulu, Ayah?"
"Sebuah usul yang cukup baik," Arya yang menyahuti. "Sebaiknya kita memang
beristirahat dulu."
Adipati Subali sama sekali tidak membantah. Terus terang, dia sendiri juga
merasa lelah, meskipun tidak selelah putrinya. Hanya Arya sendiri yang terlihat
biasa-biasa saja, tidak terlihat adanya tanda-tanda kelelahan. Padahal, mereka
bertiga telah men-daki hingga ke lereng.
Kini Arya, Adipati Subali, dan Rara Kunti mengedarkan pandangan berkeliling
untuk mencari tempat istirahat. Sekitar beberapa tombak di kanan mereka,
tampak sebatang pohon yang cukup rindang. Maka ke sanalah ketiga orang ini
menuju, karena hanya itulah satu-satunya yang dapat dijadikan tempat
beristirahat. Tempat itu memang sebuah lapangan terbuka.
Pada, saat itu matahari telah mulai beranjak menuju titik tengahnya, sehingga
suasana terasa panas bukan kepalang.
Tapi langkah ketiga orang itu langsung terhenti ketika mendengar suara riuh,
yang berasal dari lereng yang dituju. Karuan saja hal itu membuat mereka
terperanjat. Baik Adipati Subali maupun Arya langsung bisa menduga apa yang telah terjadi.
Dari ciri-ciri suaranya, sepertinya ada seseorang yang tengah mendaki puncak.
Tapi sewaktu menjejakkan kaki, batu yang dipijaknya ternyata menggelincir dan
menggelinding ke bawah.
Perasaan ingin tahu mendorong Arya, Adipati Subali, dan terutama sekali Rara
Kunti yang tidak menduga apa pun, untuk bergegas meluruk ke sana. Tapi baru
beberapa tindak, langkah ketiga orang itu kontan terhenti. Karena, sesosok
bayangan hitam itu bersalto beberapa kali di udara dari bawah lereng, lalu.
"Hup!"
Ringan laksana daun kering, kedua kaki sosok bayangan hitam itu mendarat di
tanah. Jaraknya hanya empat tombak dari Arya, Adipati Subali, dan Rara Kunti.
Ada perubahan di wajah kedua belah pihak, pertanda tidak menyangka akan terjadi
hal seperti ini.
Untuk beberapa saat, mereka hanya saling tatap penuh selidik.
"Lutung Tangan Baja! Dia... Lutung Tangan Baja."
desis Adipati Subali.
Ada nada kegentaran dalam ucapan laki-laki tinggi besar ini. Masalahnya, Adipati
Subali kenal betul tokoh yang berjuluk Lutung Tangan Baja ini.
Arya menganggukkan kepala, dengan sikap
tampak waspada. Memang, dia telah mendengar tentang tokoh yang berjuluk Lutung
Tangan Baja. Baik dari mulut Adipati Subali sendiri, maupun dari kabar dalam
dunia persilatan. Dewa Arak langsung teringat Iblis Mayat Hidup yang memiliki
kepandaian amat tinggi. Dan sekarang, dia bertemu lagi dengan tokoh yang
mempunyai tingkat setara dengan Iblis Mayat Hidup. Lutung Tangan Baja,
julukannya! Sementara itu, Lutung Tangan Baja yang juga memperhatikan ketiga sosok di
hadapannya, mulai berkernyit dahinya.
"Kau...," tuding kakek berwajah kera ini pada Adipati Subali. "Apa hubunganmu
dengan Eyang Mandura"!"
Ucapan Lutung Tangan Baja benar-benar mengejutkan. Bukan hanya Adipati Subali
yang merasa kaget, tapi juga Rara Kunti dan Arya! Dari mana kakek berwajah kera
ini tahu kalau Adipati Subali mempunyai hubungan dengan Eyang Mandura"
"Kau tidak bisa mungkir, Keparat! Kau pasti mempunyai hubungan dengan Eyang
Mandura" Entah sebagai anaknya atau cucunya!" Cetus Lutung Tangan Baja lagi,
ketika melihat Adipati Subali malah diam.
"Kalau kau bukan seorang pengecut, mengakulah!
Atau..., keturunan Eyang Mandura adalah seorang pengecut hina"!"
"Tutup mulutmu yang busuk, Manusia Kera!"
tandas Rara Kunti keras sambil menudingkan
telunjuknya. "Ayahku memang keturunan Eyang Mandura! Tokoh sakti yang telah
membuatmu lari terkentut-kentut!"
Keras dan tajam bukan kepalang ucapan Rara Kunti, sehingga membuat Lutung Tangan
Baja sampai menggemeretakkan gigi karena hawa amarah yang melanda.
"Bocah liar! Rupanya kau dan ayahmu adalah keturunan-keturunan si Keparat Eyang
Mandura"! Kalau demikian, kalian berdua harus mampus!"
Usai berkata demikian, Lutung tangan Baja langsung menerjang Adipati Subali!
Tanpa ragu-ragu lagi, segera seluruh kemampuannya dikerahkan dalam serangan
pembukaannya. Kakek berwajah kera ini menyangka kalau Adipati Subali sebagai
keturunan Eyang Mandura, pasti memiliki kepandaian amat tinggi.
Wuttt! Deru angin keras terdengar ketika Lutung Tangan Baja melancarkan serangan. Kakek
berwajah kera ini menyampokkan tangan kanannya yang terkembang membentuk cakar
ke arah pelipis kiri Adipati Subali.
Kalau mengenai sedikit saja, sepertinya cukup untuk mengirim nyawa laki-laki
tinggi besar itu ke neraka!
*** Dewa Arak tahu, Adipati Subali tidak mungkin bisa mengelakkan serangan yang
datang secara tiba-tiba dan cepat bukan kepalang. Maka buru-buru tubuhnya
melesat ke arah orang nomor satu di Kadipaten Blambang itu. Dengan tangan kanan,
didorongnya tubuh Adipati Subali. Sedangkan, tangan kirinya memapak serangan
Lutung Tangan Baja.
Tappp! Plakkk! Berbarengan dengan terdorongnya tubuh Adipati Subali hingga jatuh terpelanting,
tangan kiri Dewa Arak berbenturan dengan tangan kanan Lutung Tangan Baja.
Akibatnya, baik tubuh Arya maupun tubuh Lutung Tangan Baja sama-sama terjengkang
ke belakang. Hanya saja, Dewa Arak terpental lebih jauh, dan tangannya terasa
nyeri. Hal. ini bukan karena tenaga dalam Arya kalah kuat dibanding lawannya,
tapi karena tenaganya terbagi. Sebagian digunakan untuk mendorong tubuh Adipati
Subali, sebagian lagi untuk memapak.
"Hup!"
Hampir berbarengan, Lutung Tangan Baja dan Dewa Arak sama-sama mendaratkan kedua
kaki di tanah tanpa terhuyung sedikit pun. Sementara, Adipati Subali dan Rara
Kunti telah menyingkir dari situ. Memang, mereka mengetahui betapa besar bahaya
yang mengancam apabila berada di sekitar pertarungan.
Kini dari jarak yang aman, Adipati Subali dan Rara Kunti menatap ke arah Dewa
Arak dan Lutung Tangan Baja yang tengah berdiri berhadapan dalam jarak empat
tombak. "Hm.... Rupanya kau tokoh yang berjuluk Dewa Arak," Lutung Tangan Baja
mengangguk-anggukkan kepala, setelah memperhatikan Arya beberapa saat lamanya.
"Memang, julukanmu sempat juga mampir ke telingaku. Kau terkenal sebagai tokoh
luar biasa, Dewa Arak. Tapi nyaliku tidak ciut karenanya. Aku bahkan
berkeinginan untuk mengajakmu bertarung!
Dan keinginan itu semakin membesar ketika Iblis Mayat Hidup kudengar telah
bertarung denganmu.
Hm.... Dia pun memujimu."
"Sayang sekali, Kek. Aku tidak ingin bertarung denganmu," kalem ucapan Arya.
"Apakah kau tetap tidak ingin bertarung denganku, apabila aku berminat membunuh
kedua orang kawanmu itu!"
Usai berkata demikian, Lutung Tangan Baja melesat ke arah Adipati Subali dan
Rara Kunti. Cepat dan indah gerakannya. Apalagi, ketika bersalto beberapa kali
di udara. Kemudian, tubuhnya menukik ke bawah dengan kedua tangan terkembang
membentuk cakar. Tingkahnya mengingatkan orang akan seekor burung garuda yang
tengah menyambar mangsa.
Hebatnya, dalam sekali serang kakek berwajah kera ini telah mengancam ke arah
Adipati Subali dan Rara Kunti. Sasaran kedua cakar itu adalah ubun-ubun kepala.
"Ihhh...!"
Rara Kunti tidak bisa menahan jeritan yang keluar dari mulutnya. Memang, dia dan
ayahnya merasa terkejut bukan kepalang melihat serangan yang tengah meluncur
itu. Tapi untuk yang kedua kalinya, Dewa arak kembali menyelamatkan Adipati Subali
dan putrinya. Pemuda berambut putih keperakan itu menghentakkan kedua tangannya
kedepan, mengeluarkan serangan pukulan jarak jauh. Langsung dipotongnya jalur
lompatan Lutung Tangan Baja. Apabila kakek berwajah kera itu melanjutkan
serangan, pukulan jarak jauh Dewa Arak akan lebih dulu menghempaskan tubuhnya.
Sebagai seorang tokoh tingkat tinggi, Lutung Tangan Baja tahu akan hal itu. Dan
tentu saja dia tidak ingin bertindak bodoh dengan meneruskan serangan. Buru-buru
maksudnya diurungkan. Dan
dengan menjadikan tangan sebagai tumpuan, tubuhnya melenting ke udara. Sehingga,
serangan pukulan jarak jauh itu meluncur di bawah kakinya.
Jliggg! Begitu kedua kaki Lutung Tangan Baja mendarat di tanah, Dewa Arak telah berada
didepan Adipati Subali dan Rara Kunti. Pemuda berambut putih keperakan itu
berdiri membelakangi. Sikap yang ditunjukkannya memberi tanda seperti bermaksud
melindungi ayah dan anak itu.
"Hiaaat..!"
Kali ini Dewa Arak yang membuka serangan lebih dulu. Hal itu terpaksa dilakukan
untuk menghindar-kan bahaya yang akan mengancam Adipati Subali dan Rara Kunti,
kalau Lutung Tangan Baja dibiarkan menyerang lebih dahulu. Karena bukan
mustahil, angin serangannya akan mengenai kedua orang itu.
Serangan Dewa Arak dibuka dengan sebuah
terjangan. Hebatnya begitu berada di tengah jalan, tubuhnya langsung berbalik.
Pada saat yang bersamaan, kaki kanannya bergerak mengibas ke arah pelipis lawan.
Dan apabila mengenai sasaran, meskipun hanya menyerempet saja, cukup untuk
mengirim nyawa ke alam baka.
Lutung Tangan Baja tidak berani bertindak gegabah. Dari deru angin yang
mengawali serangan lawan, bisa diperkirakan kekuatan tenaga dalam yang
terkandung di dalamnya. Memang, Dewa Arak telah mengetahui kalau lawan yang
dihadapinya sekarang tidak bisa dianggap sembarangan. Maka, langsung saja
dikeluarkannya seluruh kemampuannya.
Wukkk! Kibasan kaki Dewa Arak lewat di atas kepala, ketika Lutung Tangan Baja
merundukkan tubuhnya.
Pada saat yang bersamaan, kakek itu mengirimkan serangan berupa tusukan jari-
jari tangan terbuka ke arah ulu hati Dewa Arak. Terpaksa pemuda berambut putih
keperakan itu memapaknya, karena untuk mengelak sudah tidak memungkinkan lagi.
Pratrt! Benturan keras yang terjadi membuat kedua belah pihak sama-sama mundur. Lutung
Tangan Baja terhuyung-huyung, sedangkan Dewa arak terpental belakang.
Masalahnya, kedudukan Arya tengah berada di udara.
Lutung Tangan Baja dan Dewa Arak saling berpandangan sejenak. Dalam adu pandang
itu, tampak sinar kekagumam terhadap lawan di dalamnya. Tapi hal itu hanya
berlangsung sekejap saja, karena se-saat kemudian keduanya telah saling
menggebrak kembali.
Hebat bukan kepalang pertarungan antara dua tokoh sakti berkepandaian tinggi
itu. Suara mencicit mengaung, dan menderu mengiringi setiap gerakan tangan atau
kaki. Tanah kontan terbongkar di sana sini, sehingga menimbulkan kepulan debu
tebal. Keadaan di sekitar tempat itu seperti habis dibajak belasan kerbau liar saja
layaknya. Adipati Subali dan Rara Kunti menatap ke arah pertarungan penuh takjub. Hati
ayah dan anak ini diliputi perasaan kagum bukan kepalang, terutama sekali
terhadap Dewa Arak.
Sementara, tokoh-tokoh yang dikagumi sama sekali tidak tahu-menahu. Keduanya
sibuk mengerahkan seluruh kemampuan yang dimiliki untuk bisa mengalahkan satu
sama lain. Lima puluh jurus telah berlalu. Dan selama ini belum nampak tanda-tanda yang
akan keluar sebagai
pemenang. Pertarungan masih berlangsung, dan saling bergantian melancarkan
serangan. "Hih...!"
Di jurus keenam puluh tiga, Lutung Tangan Baja melentingkan tubuh ke belakang.
Kemudian, dia bersalto beberapa kali ke belakang.
Dewa Arak sama sekali tidak mengejar. Dia tahu, lawan ingin mengeluarkan ilmu
andalan. Maka guci araknya segera dijumput, dan diangkatnya di atas kepala.
Kemudian, isinya dituangkan ke dalam mulut.
Gluk.... Gluk.... Gluk...!
Suara tegukan terdengar ketika arak itu melewati tenggorokan Dewa Arak. Sesaat
kemudian, kedua kaki pemuda berambut putih keperakan itu mulai oleng ke sana dan
oleng ke sini. Itu berarti pertanda Dewa Arak telah siap menggunakan ilmu
'Belalang Sakti' andalannya.
Di saat tubuh Dewa Arak tengah limbung itu, Lutung Tangan Baja melompat
menerjang! Dan ketika telah berada di tengah perjalanan, tubuhnya berputaran.
Inilah ilmu 'Hujan Angin Badai Neraka' yang dahsyat.
*** 6 Hebat bukan kepalang ilmu 'Hujan Angin Badai Neraka'. Seiring meluncurnya tubuh
Lutung Tangan Baja yang sambil berputaran seperti gasing, bertiup angin keras
berhawa panas membawa debu. Inilah salah satu keistimewaannya. Debu yang bertiup
membuat pandangan lawan terhalang. Padahal, serangan yang dilancarkan belum
tiba. Dewa Arak kebingungan melihat ilmu lawannya.
Tubuh Lutung Tangan Baja yang berputaran, membuatnya mengalami kesulitan untuk
menjatuh-kan serangan. Karena yang terlihat hanyalah segulungan bayangan hitam
yang berputaran.
Belum juga kebingungannya itu lenyap, dari balik tubuh yang berputaran mencuat
serangan-serangan ke arah bagian-bagian berbahaya di tubuh Dewa Arak.
Terkadang tangan, tapi tidak jarang kaki. Dan yang lebih gila lagi, setiap
serangan itu selalu didahului sergapan angin panas.
Menghadapi ilmu aneh lawannya ini, Dewa Arak tidak berani bertarung jarak dekat.
Disadari kalau hal itu amat berbahaya, sehingga akan menjadi sasaran empuk
lawannya. Sedangkan tubuh Lutung Tangan Baja sepertinya sukar diserang.
Untuk pertama kali dalam pertarungan yang sudah tidak terhitung, Dewa Arak
menghadapi penyerbuan lawan dengan elakan-elakan jauh. Dia tidak berani
mengelak, tanpa menggerakkan kaki. Malah, itu pun dengan melompat jauh ke
belakang. Untuk beberapa jurus lamanya, tokoh muda yang menggemparkan itu
hanya mengelak saja. Kalau pun beberapa kali melancarkan serangan, itu hanya
berupa semburan araknya saja.
Akibatnya bisa ditebak. Dewa Arak berada di bawah angin, dan terus-menerus
terdesak. Meskipun demikian, bukan berarti Dewa Arak harus putus asa. Jelas tidak ada kata
putus asa dalam kamus hidup Dewa Arak. Dia tahu, dalam setiap persoalan selalu
ada jalan keluarnya. Maka sambil terus mengelak, benaknya berputar keras.
Disadari kalau betapa pun tingginya setiap ilmu, selalu mempunyai kelemahan.
Dewa Arak 38 Neraka Untuk Sang Pendekar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Apalagi, ilmu-ilmu yang diciptakan tokoh sesat seperti Lutung Tangan Baja.
Sementara itu, Adipati Subali dan Rara Kunti yang menyaksikan jalannya
pertarungan menjadi cemas.
Meskipun, tak bisa menyaksikan jalannya pertarungan secara jelas, tapi Adipati
Subali dan Rara Kunti dapat memperkirakannya. Sehingga yang jadi patokan ayah
dan anak ini hanyalah kelebatan bayangan hitam dan ungu. Memang, gerakan-gerakan
Dewa Arak dan Lutung Tangan Baja terlalu cepat. Dan tidak bisa tertangkap oleh
pandang mata mereka.
Dan karena melihat bayangan ungu terdesak dan bergerak mundur, Adipati Subali
dan Rara Kunti cemas. Rupanya, Dewa Arak yang berpakaian ungu terus bermain
mundur. Tak terasa, pertarungan sudah berlangsung masuk seratus jurus. Dan selama itu,
Lutung Tangan tetap belum mampu merobohkan Dewa Arak. Padahal, sejak jurus kedua
puluh kakek berwajah kera telah mendesak lawannya. Memang, meskipun kelihatan-
nya ilmu 'Belalang Sakti' tidak berdaya, tetap saja ilmu itu menunjukkan
keanehannya. Dalam penggunaan ilmu itu, Dewa Arak laksana bayangan. Sulit
dijadikan sasaran serangan lawan.
Beberapa kali, Dewa Arak sangat terhimpit. Tapi dengan semburan arak dan jurus
'Pukulan Belalang", desakan lawannya berhasil dikendurkan. Itulah sebabnya,
sampai seratus jurus tetap saja Lutung Tangan Baja yang mendesak tetap tidak
mampu merobohkan lawan.
Karuan saja hal ini membuat Lutung Tangan Panjang penasaran bukan kepalang.
Apalagi, ketika melihat Dewa Arak mengelak sambil masih sempat menengak araknya
beberapa kali. Hal ini membuat kegeraman kakek berwajah kera ini semakin kalap.
Disangkanya, Dewa Arak melakukan hal itu untuk mengejek dirinya. Sama sekali
Lutung Tangan Baja tidak mengetahui kalau ilmu 'Belalang Sakti' memang harus
demikian. Akibatnya, serangan-serangan yang dilancarkan tokoh sesat itu semakin
menggebu-gebu. Dengan sendirinya, Arya semakin kerepotan dibuat-nya.
Menginjak jurus keseratus sepuluh, Dewa Arak mulai menemukan cara untuk
menghadapi ilmu
'Hujan Angin Badai Neraka' itu. Maka tanpa menunggu lebih lama lagi, segera
dipergunakannya.
"Hih!"
Dewa Arak menggertakkan gigi dalam usahanya mengerahkan seluruh kemampuan sampai
ke puncaknya. Sekejap kemudian, tubuhnya melesat seraya berputar mengelilingi tubuh
Lutung Tangan Baja disertai ilmu meringankan tubuhnya yang telah mencapai
tingkat kesempurnaan. Hanya saja, arah putarannya berbeda dengan kakek berwajah
kera itu. Dan kini bentuk tubuh Dewa Arak pun lenyap. Yang terlihat hanyalah sekelebatan
bayangan ungu tak jelas bentuknya mengelilingi tubuh Lutung Tangan
Baja yang berputaran.
Siasat Dewa Arak ternyata tidak meleset. Begitu cara ini dipergunakan, Lutung
Tangan Baja tampak kebingungan. Gerakan Dewa Arak yang berputar mengelilingi,
membuatnya kesulitan untuk menjatuh-kan serangan. Keadaan yang berbeda didapat
Dewa Arak. Pemuda berambut putih keperakan itu sambil berlari mengelilingi,
terkadang melancarkan serangan-serangan. Kadang dengan jurus 'Pukulan Belalang',
tak jarang dengan semburan araknya.
Tanpa disadari, tempat pertarungan mulai bergeser.
Tak sampai dua puluh jurus, Lutung Tangan Baja sudah kebingungan. Pandangan
matanya mulai ber-kunang-kunang, karena berusaha mencari-cari tubuh lawan yang
terus berputaran untuk diserang. Perlahan-lahan kakek berwajah kera ini mulai
terdesak. Memang bila diperbandingkan, keadaan Arak lebih menguntungkan. Putaran tubuhnya
yang tidak di satu tempat, membuatnya lebih sulit diserang lawan.
"Haaat..!"
Di jurus keseratus empat puluh lima, Lutung Tangan Baja mengeluarkan teriakan
melengking nyaring sambil menghentikan putaran tubuhnya.
Sekarang dia berdiri diam, tidak bertindak apa-apa pun. Hanya sepasang matanya
yang melirik kesana ke-mari memperhatikan Dewa Arak yang masih mengelilinginya.
Mendadak.... "Haaat...!"
Lutung Tangan Baja mengeluarkan teriakan
kencang menggeledek, sehingga mampu membuat Adipati Subali terhuyung-huyung dan
Rara Kunti jatuh terduduk. Memang, teriakan itu dikeluarkan lewat pengerahan
tenaga dalam tinggi. Bukan hanya itu saja akibatnya. Suasana di sekitar tempat
itu pun sampai bergetar hebat.
Dan berbareng keluarnya teriakan menggeledek itu, Lutung Tangan Baja melesat
menerjang Di Arak yang masih berputar mengelilinginya Kakek berwajah kera ini
berlari, menyambut tubuh Dewa Arak yang tengah berputar. Tentu saja tidak hanya
hal itu yang dilakukan. Sambil meluruk menghadang laju gerakan Dewa Arak, kedua
tangan dihentakkan kedepan.
Dewa Arak terkejut bukan kepalang. Tindakan Lutung Tangan Baja sama sekali tidak
diduga. Tambahan lagi, tubuhnya saat itu tengah melesat dengan kecepatan penuh. Jadi,
tidak mungkin untuk menahannya. Maka tidak ada jalan lain baginya kecuali
menghadapi serangan itu sama kerasnya.
"Hih!"
Dewa Arak pun menghentakkan kedua tangan pula untuk menyambuti. Seluruh tenaga
dalamnya dikerahkan dalam tangkisan ini, karena betapa besar bahayanya mengadu
tenaga dalam secara langsung seperti ini. Akibatnya, yang kalah kuat sedikit
saja akan tewas. Apalagi, bila perbedaan tenaga dalam itu terpaut hanya sedikit
Tapi memang, pertemuan tenaga dalam seperti itu tidak bisa dicegah lagi.
Dan... Blanggg...! Suara menggelegar keras seperti halilintar menyambar di tempat itu kontan
terdengar ketika benturan itu terjadi. Bahkan lereng gunung itu bergetar hebat
seperti akan runtuh. Sampai-sampai, Rara Kunti dan Adipati Subali terhuyung-
huyung. Dengan raut wajah memancarkan kengerian yang amat sangat, Adipati Subali dan
putrinya itu memandang ke arah pertarungan. Dan seketika itu pula, sepasang mata
mereka terbelalak.
Betapa tidak" Tampak jelas tubuh Dewa Arak dan Lutung Tangan Baja sama-sama
melayang ke belakang, seperti daun kering tertiup angin. Beberapa saat lamanya tubuh kedua
tokoh sakti itu melayang-layang di udara.
"Arya...!"
Hampir berbarengan, Adipati Subali dan Kunti menjerit. Mereka terkejut bukan
kepalang melihat keadaan yang diderita Dewa Arak. Apalagi, ketika melihat arah
melayangnya tubuh pemuda berambut putih keperakan itu. Bagai diperintah,
keduanya ber gegas melesat mengejar ke arah tubuh Dewa Arak yang melayang ke
jurang! Tapi, ternyata usaha yang dilakukan sia-sia. Tubuh Dewa Arak telah melayang
deras ke jurang yang sama sekali tidak kelihatan dasarnya.
"Arya...!"
Adipati Subali dan Rara Kunti kembali memang untuk yang kedua kalinya, ketika
telah berada di bibir jurang. Pandangan mata mereka terhunjam ke bawah tapi sama
sekali tidak melihat apa-apa. Di bawah sana terlalu pekat, terselimut kabut yang
meng-halangi pandangan.
Beberapa saat lamanya ayah dan anak itu terpaku di bibir jurang. Raut wajah
mereka menampakkan kedukaan besar. Kemudian sambil menghela nafas berat dan
menggumam ucapan selamat tinggal, mereka beranjak dari tempat itu. Adipati
Subali dan Rara Kunti melanjutkan perjalanan, mencari tempat leluhur mereka.
Sama sekali tidak dipedulikan tubuh Lutung Tangan Baja yang tergolek tak jauh
dari situ. Kakek berwajah kera itu memang telah tewas, aklbat benturan tadi yang telah
membuat seluruh isi dadanya hancur!
*** Wusss! Tubuh Arya terus melayang ke dalam jurang, tanpa disadarinya. Entah, sudah mati
atau masih hidup.
Sukar diketahui, karena tidak nampak adanya gerakan apapun yang dilakukan.
Mendadak.... Brusss! Srakkk!
Sebuah keajaiban terjadi. Tubuh pemuda berambut putih keperakan ini berhenti
meluncur, begitu menimpa sebuah pohon berdaun rimbun yang tumbuh di dinding
jurang. Cabang-cabangnya yang alot dan rapat, membuat tubuhnya tersangkut di
situ. Tapi, Arya tetap tidak tahu apa-apa.
Matahari terus bergulir. Hari pun berganti. Malam telah tiba. Dan persada kini
disaput kegelapan. Bulan yang tampak di langit, hanya mampu membuat suasana
menjadi remang-remang. Dan Arya tetap belum sadarkan diri dari pingsannya.
Ketika sang Surya mulai muncul di ufuk Timur berupa sebuah bola raksasa berwarna
merah menyala, baru tampak adanya gerakan-gerakan Arya.
Memang masih lemah, tapi sudah menunjukkan adanya tanda-tanda kehidupan. Dan
semakin lama, gerakan yang timbul semakin terlihat. Sampai akhirnya....
"Uhhh...!"
Dewa Arak menggeliat Tapi seketika itu pula, mulutnya menyunggingkan seringai
kenyerian. Perlahan-lahan kelopak matanya dibuka, tapi langsung ditutup kembali.
Ada keterkejutan yang amat sangat pada sorot mata pemuda berambut putih
keperakan itu. Arya membuka kembali kedua kelopak matanya setelah beberapa saat. Tapi, ternyata
pemandangan yang tampak di hadapannya sama sekali tidak berubah. Yang dilihatnya
hanya tebing-tebing yang men-julang tinggi ke atas, tanpa teriihat ujungnya.
Sekarang Arya baru yakin kalau dirinya berada atas cabang sebatang pohon yang
berada di dalam jurang.
Mengapa bisa sampai ada di sini" Beberapa pertanyaan yang bergayut di benaknya.
Masih dengan pertanyaan yang belum terjawab Dewa Arak bangkit dari berbaringnya.
Tapi baru badannya terangkat sedikit...
"Ukh...!"
Arya batuk-batuk setelah sebelumnya menyunggingkan seringai kenyerian. Dadanya
terasa sakit bukan kepalang. Bahkan ketika batuk, tampak ada percikan-percikan
cairan kemerahan keluar dari mulutnya.
Sebagai seorang tokoh tingkat tinggi, Dewa Arak langsung bisa mengetahui kalau
dirinya telah terluka dalam. Arya berusaha mengingat-ingat kejadian yang menimpa
dirinya. Tak memakan waktu lama, pemuda berambut putih keperakan itu sudah
teringat. "Jadi..., aku telah terjatuh ke dalam jurang sehabis berbenturan dengan Lutung
Tangan Baja," desah Arya sambil mengangguk-anggukkan kepala.
Masalahnya telah jelas sekarang. Dan yang penting, Dewa Arak harus mengobati
luka dalamnya dulu. Paling tidak, agar bisa mencari jalan untuk lolos dari dalam
jurang ini. Berpikir sampai di sini, Arya memaksakan diri untuk bangkit. Betapapun besar
rasa sakit dan nyeri yang melanda, sama sekali tidak dipedulikan. Yang penting,
dirinya harus bisa duduk bersila untuk ber-
semadi. Pohon itu bergoyang-goyang ketika Arya berusaha bangkit, dan akhirnya gagal.
Tapi, pemuda berambut putih keperakan itu tidak putus asa, dan terus mengulangi
sampai akhimya bisa duduk bersila. Tampak airan merah kental di sudut-sudut
mulutnya mengalir, ketika telah mulai bersemadi.
Sesaat kemudian, pemuda berambut putih
keperakan itu telah tenggelam dalam keheningan semadinya. Kini yang terdengar
hanyalah alunan napasnya yang secara teratur dan berirama tetap.
Punggung Arya tampak lurus, dengan kedua telapak tangan dipertemukan di depan
dada. Arah ujung-ujung jari tangannya mengarah ke langit.
Arya terus menarik, menahan, dan mengeluarkan napas tanpa mempedulikan suasana
sekelilingnya. Yang ada di benaknya hanya satu, mengobati luka dalamnya. Sama sekali tidak
diketahui kalau letak matahari kini sudah hampir berada di atas kepala.
Krrrkkk! Terdengar suara gemeretak pelan, disusul goyang-goyangnya pohon tempat Arya
bersemadi. Tanah tempat akar pohon itu terhunjam mulai guguran.
Tampaknya, pohon itu sudah tidak kuat lagi menahan bobot tubuhnya.
Goyangan pada pohon itu sama sekali tidak meng-ganggu keheningan semadi Arya.
Tapi, semakin liar goyangan itu semakin sering dan menjadi-jadi. Mau tidak mau,
semadi Dewa Arak mulai terusik. Dengan agak segan, tarikan napasnya dihentikan.
Kemudian sepasang matanya dibuka.
Krakkk! Pada saat yang bersamaan dengan terbukanya kedua kelopak mata Dewa Arak, pohon
itu tidak lagi bertahan. Bahkan langsung tumbang ke jurang bersama akar-akamya.
Arya terkejut bukan kepalang ketika menyadari tubuhnya melayang turun seiring
robohnya pohon yang didudukinya. Padahal, dasar jurang sama sekali tidak
terlihat Seandainya jatuh ke bawah sana, kemungkinan nyawanya akan melayang.
Dewa Arak tentu saja tidak menginginkan hal itu terjadi. Maka, dia berusaha
menyelamatkan diri, dengan sebisa-bisanya menjejakkan kakinya pada pohon yang
tengah meluncur turun.
Tukkk! Tubuh Arya pun kembali melayang ke atas.
Sasarannya adalah lubang tempat tumbuhnya akar pohon tadi. Karena, memang hanya
itulah satu-satunya tempat yang bisa dijadikan pegangan.
Tappp! Usaha Arya tidak sia-sia, begitu kedua tangannya berhasil menggapai mulut
lubang. Tak pelak lagi, tubuh pemuda berambut putih keperakan ini pun tergantung
di dinding jurang.
"Ukh...!"
Arya menyeringai ketika dadanya terasa sesak.
Cairan merah kental pun kembali mengalir di sudut-sudut mulutnya. Memang, luka
dalam yang diderita Dewa Arak terlalu parah. Meskipun telah diobati dengan
semadi, tapi rupanya belum sembuh betul.
Maka ketika tenaga dalamnya dipergunakan kembali, luka dalamnya pun kambuh.
Arya menggigit bibirnya untuk menguatkan tekad-nya. Biar bagaimanapun, Dewa Arak
harus tiba dulu di dalam lubang. Apapun yang terjadi! Tidak mungkin dia mampu
bertahan tergantung seperti ini.
Berpikir demikian, Arya segera menggerakkan
kedua tangan untuk mengangkat tubuhnya ke atas.
Cairan merah kental yang mengalir melalui sudut bibirnya semakin banyak. Bahkan
rasa nyeri yang amat sangat pun semakin melanda. Tapi Arya berusaha keras untuk
bertahan. Dan ternyata, usahanya tidak sia-sia. Dia kini telah berhasil sampai
di dalam lubang.
Dan lubang itu ternyata besar juga. Garis tengahnya lebih dari setengah tombak.
Sebuah lubang yang cukup besar untuk akar sebatang pohon. "Hehhh...?"
Arya terperanjat ketika melihat lubang tempat akar pohon itu ternyata panjang,
sehingga berbentuk lorong. Seketika itu pula timbul harapan di hati Arya untuk
bisa lotos dari jurang ini. Dia yakin, lubang yang ternyata lorong ini mempunyai
hubungan dengan dunia luar. Dan hal seperti itu sudah dibuktikan sendiri
kebenarannya (Untuk jelasnya, silakan baca Serial Dewa Arak dalam episode
"Runtuhnya Sebuah Kerajaan").
Meskipun demikian, Arya tidak gegabah oleh perasaan gembira. Disadari, ada hal
terpenting yang harus dilakukannya, yakni mengobati luka dalamnya.
Paling tidak agar perjalanan bisa dilakukan secara cepat. Di samping itu, untuk
menghindari adanya bahaya yang tidak diinginkan. Maka pemuda berambut putih
keperakan itu pun kembali bersemadi.
Bagian tubuh depannya menghadap keluar lubang, sedangkan punggungnya berhadapan
dengan bagian dalam gua.
Arya baru menghentikan semadinya ketika malam telah menyelimuti persada. Rasa
nyeri yang menusuk-nusuk dada setiap kali napas ditarik, sudah tidak terasa
lagi. Sekarang yang tertjnggal adalah perasaan lapar. Masalahnya, sudah dua hari
perutnya tidak diisi. Minuman pun demikian pula. Malah, Dewa Arak sendiri tengah dilanda
kebingungan tentang keberadaan gucinya! Yang diketahui, guci itu sudah tidak ada
lagi sewaktu tersadar dari pingsannya.
Tapi, Dewa Arak berusaha untuk tidak mempedulikan perasaan lapar dan haus yang
menyerang-nya. Bahkan dia malah memulai usahanya, merayapi lorong itu.
Dewa Arak mengernyitkan dahi ketika menyadari lorong ini ternyata panjang dan
berkelok-kelok. Tapi anehnya, arahnya selalu menanjak. Karena tinggi lorong ini
tidak sama, sehingga membuat pemuda berambut putih keperakan itu terpaksa
menyusuri-nya dengan beberapa cara. Terkadang merayap seperti seekor ular, tapi
tak jarang merangkak seperti seekor kambing.
Dewa Arak 38 Neraka Untuk Sang Pendekar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Entah berapa lama menempuh perjalanan itu, Dewa Arak sama sekali tidak tahu.
Yang jelas, bajunya di bagian perut telah koyak-koyak. Demikian pula celananya.
Bahkan kedua tangan dan kakinya pun telah terasa pegal-pegal ketika akhirnya
berhadapan dengan jalan buntu. Kini, di hadapannya terpampang dinding batu yang
menghambat jalannya.
Berbeda dengan lorong sebelumnya, atap lorong ini berjarak tak kurang satu
tombak dari tanah. Sehingga, di sini Arya bisa berdiri secara leluasa.
Meskipun berhadapan dengan jalan buntu, Dewa Arak tidak putus asa. Dia sudah
terlalu sering bertemu ruangan-ruangan rahasia. Maka begitu melihat kenyataan
kalau lorong yang ditelusurinya buntu, dia tidak begitu saja percaya. Dia yakin,
ada cara untuk membuka jalan.
Itulah sebabnya, pemuda berambut putih
keperakan ini mengedarkan pandangan berkeliling.
Seketika itu pula, sepasang matanya tertumbuk pada sebatang obor yang bertengger
di dinding sebelah kiri.
Maka buru-buru tangannya terulur, dan menekan obor ke bawah.
Grrrggghhh...! Entah bagaimana caranya, tahu-tahu dinding batu yang menghadang jalan bergeser
ke kanan. Perlahan-lahan namun pasti, dinding batu itu memperlihatkan
pemandangan di baliknya. Ternyata, di balik dinding itu terdapat sebuah ruangan
luas. Dewa Arak bergegas melangkah maju. Pandangannya seketika beredar ke sekeliling
ruangan. Tampak di bagian kanan ruangan terdapat sebuah gua.
Dengan langkah perlahan-lahan Arya segera me-masukinya. Ruangan itu berbentuk
memanjang. Dan dalam jarak sekitar tujuh tombak dari ambang gua terdapat sebuah
gundukan batu setinggi dua jengkal, dan mempunyai bagian atas pipih.
Di atas gundukan itu tampak sesosok kerangka manusia yang tengah duduk bersila.
Dan kini, mata Dewa Arak tertumbuk pada sebuah benda di
pangkuan kerangka itu. Sebuah buntalan kain yang cukup besar dan berwarna hitam.
Dewa Arak terkesima melihat hal ini. Tapi ketika matanya tertumbuk pada sebuah
papan yang tergantung di atas gua dengan dua buah tali, dia langsung mengerti.
Jaraknya sekitar dua tombak darinya, dan letaknya di sebelah kanan.
Sebuah papan berukir dan berwarna hitam, sehingga terlihat indah. Tidak terlalu
panjang atau terlalu lebar. Tapi, bukan itu yang membuat Dewa Arak nengangguk-
anggukkan kepala pertanda mengerti, melainkan tulisan-tulisan yang tertera di
atasnya. Arya segera membacanya dalam hati.
7 Aku ucapkan selamat atas keberuntunganmu.
Kaulah yang telah berhasil mengungkapkan rahasia syair itu. Kini terimalah hasil
jerih payahmu. Semua pusaka ini menjadi milikmu. Di dalam buntalan itu ada
kitab-kitab ilmu silat, senjata-senjata pusaka, buku pengobatan, dan pel-pel
yang dapat membuat dirimu mempunyai tenaga dalam dahsyat yang berhawa dingin dan
panas, apabila menuruti saran-saran yang tertera.
(Eyang Mandura)
"Eyang Mandura...."
Arya mendesis setengah tak percaya. Jadi, ini tempat pusaka leluhur Adipati
Subali. Sungguh gila!
Mengapa jadi dirinya yang menemukan tempatnya"
Yang lebih gila lagi, Eyang Mandura malah mewaris-kan pusaka itu padanya.
Bukankah dalam papan itu tidak disebut-sebut tentang keturunannya" Dia hanya
mengatakan kalau orang yang telah berhasil menemukan tempat itu akan menjadi
pemiliknya. Tapi, Arya bukan termasuk orang yang serakah terhadap ilmu dan pusaka-pusaka.
Apalagi, diketahuinya ada orang yang lebih berhak atas pusaka-pusaka itu.
Adipati Subali dan Rara Kunti! Tidak! Dia tidak akan mengambil hak orang lain!
Maka Arya menundukkan kepala iintuk memberi hormat.
"Maafkan aku, Eyang. Aku tidak bisa menerima ke-baikanmu. Aku telah mempunyai
guru. Pantang bagi-
ku menerima warisan ilmu orang lain, tanpa seizin guruku," ucap Arya, pelan.
Mendadak Arya mengernyitkan dahi ketika tertumbuk pada guratan-guratan halus di
tanah. Secara kebetulan saja, guratan itu tertangkap matanya. Dan itu terjadi
karena dia bermaksud memberi hormat pada Eyang mandura.
Sekali lihat saja, Dewa Arak tahu kalau guratan-guratan itu adalah tulisan.
Hanya yang membuatnya heran bercampur curiga, mengapa ditulis di tempat yang
begitu tersembunyi" Kecil-kecil lagi! Seakan-akan memang sengaja ditulis agar
tidak diketahui orang!
Perasaan penasaran pun bersemayam di hati Dewa Arak. Dan perasaan itulah yang
menyebabkannya membungkukkan tubuh untuk melihat lebih jelas lagi. Kemudian
dibacanya tulisan yang tertera di dalam hati.
Cucuku.... Apabila kau maju setindak saja melewati guratan tulisan, kau akan mati
keracunan. Karena di sekitar tempat ini telah kutaburkan racun yang mematikan.
Di samping itu, ada jebakan-jebakan maut lainnya.
Kalau kau ingin selamat, gunakan ilmu 'Enam Jurus Tingkah Raja'. Tapi hanya
gerakan-gerakan langkah kakinya saja yang perlu dipergunakan.
Eyang Mandura Arya mengangguk-anggukkan kepala, menyiratkan kemengertiannya. Perasaan kagum di
hatinya terhadap Eyang Mandura semakin membesar. Sama sekali tidak diduga kalau
kakek Adipati Subali itu ternyata memiliki kecerdikan yang mengagumkan!
Semua jalan untuk mendapatkan pusaka-pusaka peninggalannya hanya ditujukan untuk
keturunannya. Karena bila orang ingin selamat dalam mengambil pusaka, harus menggunakan ilmu
milik Eyang Mandura turun-temurun. Jadi yang tidak mempunyai ilmu itu, mustal
akan berhasil. Bahkan di bagian terakhir, Eyang Mandura
mengadakan penyaringan juga. Sekalipun, orang itu keturunannya. Dan andaikata
orang itu lupa daratan begitu melihat pusaka sehingga tidak memberi peng-
hormatan terlebih dulu, jelas tidak akan pemah berhasil mendapatkan pusaka.
Bahkan ajallah yang akan menjemput.
Arya menghela napas berat, kemudian melangkah kembali ke tempat semula. Tempat
dia tadi keluar dinding batu. Kemudian pandangannya beredar berkeliling. Tampak
sebuah gua di depannya, dan nampak terlihat terang. Maka bergegas langkahnya
diayunkan menuju kesana.
Arya terkejut ketika melihat gua itu, seperti terang benderang. Sekitar satu
tombak di depannya, berkas-berkas cahaya tampak menyinari dari atasnya. Sesaat
kemudian, Dewa Arak tahu kalau bagian gua yang berbentuk bundar ini mirip sebuah
sumur. Jadi kalau digambarkan, seperti sebuah sumur yang berhubungan dengan
sebuah gua tempat Arya berdiri.
Gua ini ternyata tidak beda dengan sebuah sumur, namun tidak terlalu dalam sinar
terang yang menyinari dasarnya, memang karena sinar matahari dari langit yang
cerah. Rupanya, hari telah siang.
*** "Hih!"
Arya menjejakkan kaki. Sesaat kemudian, tubuh pemuda berambut putih keperakan
itu melayang ke atas. Dan....
"Hup!"
Ringan laksana daun kering, tubuh Dewa Arak telah mendarat di tanah, tidak jauh
dari letak sumur.
Suara bergemerisik nyaring terdengar ketika kaki pemuda berambut putih keperakan
hinggap di tumpu-kan daun dan rerumputan mengering.
"Hey!"
Terdengar seruan kaget, disusul dengan berpaling-nya tiga sosok tubuh yang
tengah membersihkan tangan dan wajah, di sebuah sungai yang terletak bawah
sebatang pohon besar.
Kontan wajah tiga orang yang tengah membersihkan diri di sungai jernih itu,
berubah ketika melihat Dewa Arak. Hal yang sama juga melanda pemuda berambut
putih keperakan itu. Menilik dari sikap kedua belah pihak yang langsung waspada,
bisa diketahui kalau masing-masing telah saling mengenal.
Tentu saja Arya mengenali ketiga orang itu, karena belum lama ini telah
berjumpa. Bahkan telah bertarung dengan salah satu di antara mereka.
"Kita berjumpa lagi, Dewa Arak," kata salah seorang pemuda yang berwajah pucat
dan berpakaian merah menyala. Pada bagian dadanya tertera gambar sebuah peti
mati berwarna hitam. Dialah Jaranta.
"Sungguh suatu hal yang sangat kebetulan," sambung seorang lagi yang berkepala
botak. Namanya, Taliwang. Tubuhnya pendek gemuk, dan hanya mengenakan celana
pendek putih. "Kita tuntaskan urusan yang belum selesai," lanjut wanita berpakaian serba putih
dan bertopeng teng-
korak, yang tidak lain dari Ratna Ningsih.
Dewa Arak sama sekali tidak menanggapi ucapan ketiga orang keturunan datuk-datuk
sesat di empat penjuru angin itu. Disadari, tidak ada gunanya hal itu dilakukan.
"Terimalah kematianmu, Dewa Arak!"
Usai berkata demikian, Jaranta menyerang Dewa Arak. Tak tanggung-tanggung,
sekali menyerang langsung menggunakan ilmu andalannya, 'Tangan Delapan Penjuru
Angin'. Hasilnya, sebelum secangan itu tiba, muncul kekuatan tak nampak yang
menekan Dewa Arak dari berbagai arah. Semakin serangan Jaranta mendekat,
kekuatan tekanan itu semakin membesar pula. Kontan Dewa Arak merasakan sesak
pada dadanya. Dewa Arak tidak berani bertindak setengah-setengah lagi. Segera tenaga dalamnya
dikerahkan untuk melawan pengaruh kekuatan tak nampak yang menekannya. Dan
ketika pengaruh tekanan itu lenyap, kakinya cepat melangkah mundur. Sehingga,
serangan-serangan Jaranta hanya mengenai tempat kosong, beberapa jengkal di
depan sasaran yang dicari.
Jaranta, Taliwang, dan Ratna Ningsih seketika mengernyitkan kening. Mereka
merasa heran bukan kepalang melihat tindakan yang diambil Dewa Arak!
Mengapa pemuda berambut putih keperakan itu tidak menangkis, tapi malah
mengelak" Bukankah dengan tenaga dalamnya yang jauh lebih kuat, dia bisa menekan
Jaranta" Tapi mengapa malah mengelak"
Tidak seperti pertemuan di waktu lalu!
Ketiga pemuda sesat itu sama sekali tidak tahu kalau Dewa Arak baru saja
berhasil memulihkan tenaga dalamnya akibat luka dalam yang baru-baru ini
diderita. Memang, luka dalamnya telah sembuh. Tapi, tenaga yang dimilikinya
belum pulih seluruhnya.
Paling tidak masih membutuhkan beberapa kali semadi untuk mengembalikan
kekuatannya seperti semula.
Meskipun heran, Jaranta tidak mengambil pusing.
Sebagai seorang pemuda cerdik, maka bisa diduga ada sesuatu yang terjadi pada
Dewa Arak. Kalau tidak terjadi apa-apa, tak akan mungkin pemuda berambut putih
keperakan itu bertindak demikian. Pasti ada penyebabnya.
Yakin pada dugaannya, Jaranta semakin bersemangat melancarkan serangan-serangan.
Ilmu 'Tangan Delapan Penjuru Angin' dikerahkan sampai di puncaknya. Dewa Arak
dicecarnya dengan serangan-serangan beruntun yang mematikan.
Celakalah bagi Dewa Arak! Keadaan pemuda berambut putih keperakan ini bagai
telur di ujung tanduk. Tenaga dalamnya belum pulih semua.
Senjata andalannya yang berupa guci arak pun tidak berada di tangannya. Maka,
leluasalah Jaranta melancarkan desakan.
Taliwang dan Ratna Ningsih yang semula akan membantu, jadi mengurungkan niatnya
melihat rekan mereka berhasil mendesak Dewa Arak. Tampak jelas pemuda berambut
putih keperakan itu terpontang-panting kesana kemari untuk menyelamatkan diri.
Kedua orang ini pun saling berpandangan dengan perasaan heran. Benarkah orang
ini adalah Dewa Arak yang beberapa waktu lalu mereka temui" Kalau benar
demikian, mengapa kepandaiannya begitu cepat menurun" Serangan-serangannya pun
tidak terlalu hebat.
Memang, hanya di jurus-jurus awal saja Dewa Arak
berhasil mengimbangi lawannya. Begitu menginjak jurus kedua puluh, dia sudah
terdesak. Hal ini membuat Jaranta semakin bernafsu untuk dapat merobohkan
lawannya secepat mungkin.
Merupakan hal yang tidak aneh kalau Dewa Arak sampai terdesak. Kali ini dia
kalah segala-galanya dibanding Jaranta. Kalah tenaga, kegesitan, dan mutu ilmu
silat. Dan tanpa adanya guci, Dewa Arak sama sekali tidak bisa menggunakan ilmu
'Belalang Sakti', yang hanya bisa muncul apabila dalam keadaan mabuk! Di samping
itu juga, membutuhkan arak untuk diminum dalam pertarungan.
Tanpa arak, menggunakan ilmu 'Belalang Sakti'
untuk menghadapi lawan samasaja mencari celaka.
Apalagi di saat keadaan seperti ini. Mempergunakan ilmu andalan itu sama saja
mencari mati! Dan hal itu memang sudah dibuktikan Dewa Arak dalam pertarungan-
pertarungannya terdahulu.
Maka Dewa Arak hanya menggunakan ilmu
'Delapan Cara Menaklukkan Harimau' dan ilmu 'Sepasang Tangan Penakluk Naga'.
Padahal, ilmu 'Tangan Delapan Penjuru Angin' milik Jaranta mempunyai mutu di
atas kedua ilmu yang dipergunakan Dewa Arak.
Di jurus kelima puluh satu, Dewa Arak tidak mampu lagi bertahan. Tekanan
kekuatan tak nampak yang berasal dari berbagai penjuru dan membuat dadanya sesak
itulah, yang menjadikan Dewa Arak tidak berdaya. Tubuhnya kini tampak terhuyung-
huyung. Dan sebelum sempat berbuat sesuatu, kedua tangan Jaranta telah meluncur
ke arah dadanya.
Bukkk! "Huakh...!"
Cairan merah kental terlontar dari mulut Arya
seiring tubuhnya yang melayang, begitu serangan Jaranta menghantam sasaran
dengan telak. Untungnya, pemuda berwajah pucat itu tidak mengerahkan seluruh
tenaga dalamnya. Kalau tidak, mungkin Dewa Arak sudah tewas. Memang Jaranta
mempunyai rencana atas diri Dewa Arak. Byurrr!
Tubuh Dewa Arak tercebur di permukaan air dan langsung tenggelam ke dasar. Dewa
Arak yang sudah terluka tidak bisa berbuat apa-apa lagi, sehingga banyak menelan
air sungai. Tak aneh kalau beberapa saat kemudian, gelap melingkupi pandangan
pemuda berambut putih keperakan itu. Tapi sebelum tidak sadarkan diri, matanya
masih sempat melihat kalau di dekat pohon ada air mengalir keluar. Mata air!
Jadi, inilah tempat yang dimaksud Eyang Mandura.
Sekejap kemudian, Dewa Arak sudah tidak ingat apa-apa lagi.
*** Dewa Arak membuka matanya ketika merasakan perih menyengat sekujur punggungnya.
Dia membutuhkan waktu beberapa saat untuk mengetahui kalau dirinya tengah
diseret-seret melalui jalan berbatu.
Tampak oleh Dewa Arak, Jaranta tengah menyeret tubuhnya. Kedua kakinya diikat
dan disatukan. Demikian pula tangannya, yang diikat pada bagian pergelangan. Sedangkan ujung
tali lainnya dipegang Jaranta. Dengan keadaan telentang, tubuh Dewa Arak ditarik
oleh pemuda berwajah pucat itu. Tak pelak lagi, tubuh tak berdaya itu terseret-
seret. Srettt! "Akh...!"
Sebuah pekikan tertahan keluar dari mulut Dewa Arak ketika sebuah gundukan batu
kerikil tajam, menggurat punggungnya. Seketika itu pula pakaian di bagian
punggungnya koyak-koyak. Bahkan darah yang keluar dari bagian punggung semakin
banyak. Dewa Arak hanya bisa menggigit bibir, dan tidak mampu berbuat apa pun. Jangankan
mengerahkan tenaga dalam untuk membuat kulit tubuhnya kebal, menggerakkan ujung
jari kelingkingnya saja tidak mampu! Rupanya, Jaranta telah menotok lumpuh
tubuhnya. Maka, leluasalah Jaranta menyiksa Dewa Arak.
Sambil tertawa-tawa, diseretnya tubuh Arya melewati jalan-jalan yang berbatu
runcing. Darah pun memba-sahi sepanjang jalan yang dilalui pemuda berwajah pucat
itu. Bisa dibayangkan penderitaan yang dialami Dewa Arak. Pakaian di bagian
punggungnya sampai habis tergesek, berbarengan dengan kulitnya. Darah merembes
keluar ketika kulit pemuda berambut putih keperakan itu mulai direncah-rencah
batu-batu runcing. Sakitnya sukar dilukiskan. Bahkan Dewa Arak yang terkenal
paling kuat menahan rasa sakit.
Sepertinya sudah tak sanggup bertahan lagi. Suara kesakitan dan desah kenyerian,
bercampur baur dengan suara tawa Jaranta dan kedua orang sekutu-nya. Jaranta
baru menghentikan siksaannya ketika Dewa Arak tidak kuat lagi menahan rasa
sakit, dan akhirnya jatuh pingsan. "Hmh...!"
Jaranta mendengus kesal ketika melihat korban-nya pingsan. Dicampakkannya tubuh
pemuda berambut putih keperakan itu di tanah. Kemudian, dia bergerak meninggalkan
tempat itu. Tapi tak lama, Jaranta sudah kembali sambil membawa sebuah
guci. "He he he...!"
Dewa Arak 38 Neraka Untuk Sang Pendekar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Taliwang dan Rama Ningsih tertawa terkekeh, karena tahu apa isi guci itu. Air
cuka! "Tunggu sebentar, Jaranta! Terlalu enak baginya kalau kau melakukannya pada saat
dia tak sadar diri.
Lebih baik kusadarkan dulu, dan kuberi beberapa tambahan pekenaan yang membuat
calon korban kita menggeliat-geliat karena perasaan nikmat!"
Sambil berkata demikian, Taliwang menghampiri tubuh Arya yang tergolek. Di
tangan pemuda berkepala botak ini terjinjing sebuah ember kayu berisi air. Lalu,
disiramkannya air itu pada Dewa Arak.
Byurrr! Air sungai itu tepat mengguyur wajah Arya. Kontan pemuda berambut putih
keperakan itu gelagapan, dan langsung tersadar dari pingsannya. Sesaat sepasang
mata itu kebingungan, tapi langsung sadar akan kejadian yang tengah dialami
ketika melihat raut-raut wajah yang tengah memperhatikannya dengan sinar mata
bengis! Wajah Ratna Ningsih, Jaranta, dan Taliwang.
"Nah! Sekarang, baru kuberikan latihan tambahan padanya!" desis Taliwang dengan
sinar mata menyiratkan kekejaman.
Tangan pemuda berkepala botak ini pun bergerak ke arah pinggang. Ternyata,
pinggangnya terbelit cambuk berwarna coklat dan berbulu kasar. Hanya dengan
sekali sentak saja, Taliwang telah membuat cambuk itu lolos dari pinggangnya.
"Hih!"
Ctarrr, ctarrr, ctarrr...!
Arya hanya mampu menggigit bibir. Dia berusaha untuk tidak berteriak, ketika
cambuk itu melecuti
sekujur dadanya yang memang dalam keadaan telentang.
Dari tersentaknya tubuh Dewa Arak setiap kali cambuk melecut tubuhnya, bisa
diketahui kalau rasa sakit benar-benar melanda tubuhnya. Garis-garis kehitaman
memanjang pun menghias sekujur tubuh Dewa Arak seiring terkoyak-koyak pakaian
yang dikenakan.
Bukan hanya di perut dan di dada, tapi juga di wajah. Untungnya, seperti juga
Jaranta, Taliwang mencambuk hanya mengerahkan tenaga kasar saja.
Kalau disertai pengerahan tenaga dalam, Dewa Arak yang sudah tidak berdaya itu
pasti akan tewas!
Taliwang menghentikan tindakannya ketika
seluruh tubuh Arya telah dipenuhi garis-garis meng-hitam bekas cambukan.
"Hanya seperti itu saja hasil pekerjaanmu, Taliwang," cibir Jaranta, bernada
mencomooh. "Hanya sebuah perbuatan yang membuang-buang tenaga percuma!"
"Tutup dulu bacotmu, Jaranta! Lihat apa yang terjadi"!"
Ternyata bukan hanya Jaranta saja yang mengalihkan pandangan ke arah Arya. Ratna
Ningsih pun demikian pula. Rupanya wanita bertopeng tengkorak ini ingin tahu
juga peristiwa yang dialami Dewa Arak.
Bagaikan menyaksikan sebuah tontonan yang menarik, Ratna Ningsih, Taliwang, dan
Jaranta menatap ke arah Dewa Arak. Ternyata, pemuda berambut putih keperakan itu
tengah mendesis-desis. Sepasang bola matanya berputaran liar. Jelas, ada sesuatu
yang amat dahsyat tengah dirasakan pemuda berambut putih keperakan itu.
Dan memang demikian kenyataannya. Ada rasa
gatal yang tidak tertahankan menjalar dari bilur-bilur bekas cambukan. Kalau
bisa, tentu Arya akan meng-garuknya, sekalipun kulitnya sampai terkelupas. Tapi
karena hal itu tidak bisa dilakukan, bisa dibayangkan rasa tersiksa yang
melandanya. Meskipun demikian, Arya berusaha bertahan sekuat tenaga. Dia tidak ingin
mengeluarkan keluhan sedikit pun dari mulutnya. Tapi karena tubuhnya tidak bisa
bergerak, tidak ada pelampiasan lain yang harus dikeluarkannya. Dan akhirnya,
Dewa Arak tidak tahan.
Maka desisan-desisan kesakitan pun meluruk dari mulutnya.
"Ha ha ha...!"
Jaranta, Ratna Ningsih, dan Taliwang malah ter-bahak-bahak melihat adegan yang
terpampang di hadapan mereka. Seakan-akan yang mereka saksi-kan adalah sebuah
pertunjukkan lucu yang meng-gelitik hati.
"Kurasa, sekaranglah saat yang paling tepat untuk menyiramkan ini!" ujar Jaranta
sambil menuangkan isi gucinya ke tubuh Arya. Dan...
Cuuur...! "Aaakh...!"
Arya memekik tertahan ketika air cuka itu mengguyur sekujur tubuhnya yang telah
dipenuhi luka. Rasanya, sukar dilukiskan lagi. Rasa gatal, panas, dan nyeri yang tidak
tertahankan bercampur aduk menjadi satu. Kalau saja Dewa Arak mampu
bergerak, tentu sudah bergulingan ke sana kemari seperti ayam disembelih. Tapi
karena tidak mampu melakukannya, dia hanya memekik tertahan. Rupanya, kekerasan
hati saja tidak cukup untuk bertahan terhadap siksaan.
Beberapa saat lamanya pendekar muda yang telah
menggemparkan itu hanya mendesis-desis karena siksaan ketiga orang lawannya,
sebelum akhirnya tidak sadarkan diri. Pingsan.
*** 8 Hari sudah agak siang. Sang Mentari tampak menyorot cukup garang ke bumi.
Sinarnya yang cukup panas itu menyengat tubuh Arya yang tergantung di atas
cabang pohon dengan kepala di bawah dan kaki di atas. Pergelangan kaki kanannya
diikat dengan seutas tali yang kuat ke cabang pohon itu.
Sudah sejak matahari terbit Dewa Arak tergantung seperti itu. Kepalanya telah
terasa panas bukan kepalang. Terutama sekali, matanya. Hal ini disebabkan, semua
darah mengalir ke kepala. Kalau dibiarkan terus, Arya akan tewas dengan
pembuluh-pembuluh darah di bagian kepala pecah!
Luar biasa perubahan yang dialami Dewa Arak Tidak sampai sehari di tangan
Jaranta, Ratna Ningsih dan Taliwang, dia sudah berubah demikian jauh.
Sekujur tubuhnya mulai dari wajah sampai kaki, penuh luka-luka. Bahkan rambutnya
yang semula berwarna putih keperakan, dan meriap-riap, kini tampak kotor, kumuh,
dan rusak di sana-sini. Dewa Arak benar-benar mengalami perubahan yang amat
cepat. Untung saja Dewa Arak yang mengalami siksaan seperti itu. Kalau saja orang lain,
mungkin sudah tewas. Memang, meskipun saat itu kemampuan Arya yang sesungguhnya
tidak keluar, tapi tetap saja tubuhnya yang sudah terlatih mempunyai kekuatan di
atas orang lain.
Tapi kalau disiksa seperti itu, rasanya Arya tidak akan bertahan lama. Kepalanya
sudah terasa panas demikian pula sepasang matanya. Rasanya tidak
akan lama lagi, pendekar muda yang menggemparkan itu akan tamat riwayatnya.
"Hi hi hi...! Bagaimana siksaanku, Dewa Arak"'
Tegur sebuah suara kecil dan melengking nyaring.
Sepertinya suara seorang wanita. Siapa lagi kalau bukan Ratna Ningsih"
Arya sama sekali tidak berminat menyambuti, dan hanya diam saja. Lagi pula andai
kata berminat pun belum tentu mampu menyambuti ucapan Ratna Nigsih. Yang dapat
dilakukannya hanya menatap tiga orang lawannya dengan sepasang mata yang telah
berwarna merah membara.
Terlihat olehnya, meskipun dalam keadaan ter-balik, Rama Ningsih, berdiri paling
depan. Sementara Taliwang dan Jaranta berdiri di belakangnya. Wajah wajah mereka
tampak menyiratkan kegembiraan.
"Ah!" Terdengar jeritan kaget dari mulut Ratna Ningsih. "Kau tidak boleh mati
dulu, Dewa Arak! Aku mempunyai permainan yang menyenangkan untuk-mu!"
Setelah berkata demikian, Ratna Ningsih
menudingkan dua buah jarinya ke arah tambang.
Cittt, tasss! Brukkk!
Tubuh Arya jatuh berdebuk keras di tanah, ketika tali pengikat kakinya putus
tersambar angin pukulan Ratna Ningsih. Luar biasa ilmu yang dimiliki wanita
bertopeng tengkorak ini. Angin pukulannya tak kalah tajam dengan babatan pedang
atau pisau yang ber-mata paling tajam!
Dewa Arak menyeringai kesakitan. Memang bukan kepalanya yang jatuh lebih dahulu
melainkan bahu kanannya, tapi, tetap saja terasa sakit bukan kepalang. Dan dia
tidak mengeluh sedikit pun.
Mendadak, tubuh Dewa Arak terangkat naik.
Ketika matanya melirik, ternyata Ratna Ningsih yang telah mengangkatnya. Lalu
bagaikan menjinjing se-helai kain basah, wanita bertopeng tengkorak itu
membawanya pergi. Sedangkan Taliwang dan Jaranta melangkah di belakangnya.
"Aku ingin tahu, permainan apa yang akan kau suguhkan, Ratna Ningsih!" Kata
Jaranta bernada mengejek.
Tawa bergelak bernada mendukung Jaranta diper-dengarkan Taliwang. Tapi semua itu
hanya disambut dengusan Ratna Ningsih. Jelas, murid Ratu Tengkorak Putih ini
tidak terpengaruh ejekan rekan-rekannya, dan terus saja berjalan.
Tak lama kemudian, terdengar decak kekaguman dari mulut Jaranta dan Taliwang.
"Luar biasa! Sama sekali tidak kusangka, kalau kau mempunyai pemikiran yang
demikian cemerlang, Ratna Ningsih! Permainanmu akan menjadi tontonan yang paling
menarik," puji Jaranta.
"Benar, Ratna Ningsih. Kau benar-benar luar biasa!
Aku sama sekali tidak terpikir sampai kemari. Kau memang pintar mencari
permainan!" Taliwang ikut memuji.
"Hi hi hi...!" Ratna Ningsih hanya tertawa mengikik saja mendengar pujian kedua
orang rekannya.
*** Arya memandang ke depan. Seketika, sepasang matanya terbelalak lebar. Betapa
tidak" Sekitar lima tombak di depannya nampak empat ekor kuda yang masing-masing
menghadap arah mata angin. Binatang-binatang itu berdiri seperti patung, tidak
bergerak-gerak sama sekali. Jelas, kuda-kuda itu
telah ditotok oleh tokoh yang mengerti jalan-jalan darah binatang itu.
Yang membuat Arya terkejut adalah ketika melihat di leher masing-masing binatang
itu, tampak di situ terlilit tali panjang yang terhampar ke belakang. Bisa
diperkirakan hal yang akan dilakukan Ratna Ningsih dengan kuda-kuda itu.
Tapi, Dewa Arak tidak bisa berpikir lebih lama lagi, karena Ratna Ningsih telah
membawanya ke arah tempat kuda-kuda itu berada. Tubuh pemuda berambut putih
keperakan itu diturunkannya.
Kemudian, masing-masing tali yang terhampar di tanah, diikatkan pada pergelangan
kedua tangan dan kaki Arya.
"Mhh...!"
Arya mengeluh dalam hati. Disadari akan bahaya yang tengah mengancamnya. Apabila
dikejutkan, maka seketika itu pula kuda-kuda ini akan berlari cepat ke arah
masing-masing menghadap. Dan karena masing-masing kuda menghadap satu mata
angin, maka tubuh Arya dapat dipastikan akan tercerai-berai ke tempat-tempat
yang terpisah. "Hi hi hi...!"
Ranta Ningsih tertawa terkikih ketika telah selesai mengikatkan tali-tali itu
pada pergelangan tangan dan kaki Arya. Lalu, tangannya bergerak menepuk punggung
Arya. Maka totokan pada tubuh pemuda berambut putih keperakan itu pun punah.
Kini, Arya berdiri limbung di tengah-tengah empat ekor kuda yang akan menamatkan
riwayatnya secara mengerikan.
Hanya sekali lesatan, Ratna Ningsih telah berada di sebelah Jaranta Dan Taliwang
yang sejak tadi terkekeh-kekeh penuh kegembiraan. Sudah terbayang di
benak kedua orang itu tubuh Dewa Arak yang akan tercerai-berai.
"Mari kita mulai...!"
Seiring ucapannya, Ratna Ningsih mengayunkan tangannya. Maka meluncurlah dua
buah benda kecoklatan sebesar ibu jari kaki ke arah dua dari empat ekor kuda
yang berdiri mematung.
Pada saat yang bersamaan, Taliwang dan Jaranta pun mengayunkan tangan pula.
Maka, benda-benda coklat sebesar ibu jari yang tak lain adalah kerikil itu
meluncur menuju dua ekor kuda lainnya.
Sing, sing, sing...!
Sementara itu pemuda berambut putih keperakan ini menyadari akan adanya bahaya
yang tengah mengancam. Disadari pula kalau saat ini dia tidak bisa menyelamatkan
selembar nyawanya. Maka pada saat yang bersamaan dengan ketiga orang lawannya
me-nyambitkan kerikil untuk membebaskan totokan pada keempat ekor kuda, Dewa
Arak cepat me-musatkan pikiran pada belalang raksasa. Hati dan pikirannya
disatukan untuk memanggil binatang yang terdapat di alam gaib itu.
Seketika itu pula, tubuh Arya bergetar ketika belalang Raksasa masuk ke dalam
dirinya. Dan masuknya binatang dari alam gaib itu, berbarengan waktunya dengan
tibanya kerikil-kerikil yang diluncurkan Ratna Ningsih dan rekan-rekannya pada
tubuh empat ekor kuda.
Tuk, tuk, tukkk...!
Begitu kerikil-kerikil itu mengenai sasaran, totokan yang membelenggu kuda-kuda
itu langsung punah.
Bagai diberi perintah, maka binatang-binatang itu segera berlari ke arah
menghadapnya. Tapi baru beberapa langkah kuda-kuda itu berlari,
terdengar suara geraman keras yang mengejutkan.
"Grrrhhh...!"
Suara geraman keras yang membuat suasana di sekitar tempat itu bergetar ternyata
berasal dari mulut Arya! Dan secepat geraman itu keluar, secepat itu pula tangan
dan kaki Dewa Arak bergerak aneh!
Luar biasa! Tali-tali yang membelenggu pergelangan tangan dan kakinya langsung
terputus. Hasilnya, kuda-kuda itu berlari cepat meninggalkan tempat itu tanpa
membuat tubuh Dewa Arak cerai berai.
Pemandangan yang tidak disangka-sangka itu tentu saja terlihat jelas oleh Ratna
Ningsih, Taliwang dan Jaranta. Sepasang mata mereka kontan terbelalak.
Tapi bukan karena kejadian yang tidak disangka-sangka itu, karena melihat adanya
bayangan seekor binatang berwarna coklat dan bersayap di belakang tubuh Dewa
Arak. Bentuknya besar bukan kepalang, tapi hanya tampak seperti bayangan. Samar
namun jelas. Mereka tidak tahu, binatang apa itu.
Dan sebelum Jaranta, Ratna Ningsih, dan Taliwang sadar dari keterkejutan yang
mendera, Dewa Arak telah melesat ke arah mereka disertai suara geraman
mengerikan. Bahkan geraman seperti itu rasanya tidak layak keluar dari mulut
manusia. Jaranta, Ratna Ningsih dan Taliwang, kontan terkejut ketika melihat gerakan Dewa
Arak. Saat itu, Dewa Arak seperti bukan manusia, melainkan seekor burung.
Gerakannya ketika meluruk, tak ubahnya seekor burung garuda menyambar mangsa.
Hati Jaranta, Taliwang, dan Ratna Ningsih kontan tercekat melihat hal ini.
Sekerika mereka saling men-dahului untuk menyelamatkan diri. Ratna Ningsih ke
kiri, Taliwang ke kanan, dan Jaranta yang berada di tengah-tengah segera
melompat ke belakang.
Menakjubkan! Masih dengan keadaan tubuh berada di udara, Dewa Arak menghentakkan
tangannya ke arah Jaranta. Tidak hanya sekali saja tangan itu dihentakkan dalam
penggunaan jurus 'Pukulan belalang', tapi berkali-kali. Seketika deru angin ke
berhawa panas menyengat, meluncur bertubi-tubi arah Jaranta.
Jaranta kelabakan bukan main. Seluruh ilmu meringankan tubuh yang dimilikinya
dikerahkan untuk mengelakkan diri dari incaran serangan pukulan jarak jauh Dewa
Arak. Beberapa kali dia memang berhasil mengelakkan. Dan pukulan jarak jauh itu
hanya me-ngenai tanah, sehingga menimbulkan lubang yang mengepulkan asap tipis.
Tapi pada hentakan tangan Dewa Arak yang ketiga, keturunan Iblis Makhluk Hidup
ini tidak bisa menghindari lagi.
Telak dan sekali jurus 'Pukulan Belalang' menghantam dada Jaranta.
Tanpa dapat dicegah lagi, tubuh Jaranta langsung melayang jauh ke belakang
diiringi pekik kesakitan.
Darah segar langsung memancur deras dari mulut.
Tubuh Jaranta jatuh berdebuk keras di tanah setelah melayang-layang sejauh
beberapa tombak. Jaranta seketika tidak bergerak lagi untuk selamanya. Tewas
dengan seluruh tubuh gosong. Samar-samar tercium bau hangus daging yang
terbakar. *** Ratna Ningsih dan Taliwang terperanjat melihat hal ini. Mereka sama sekali tidak
sempat bertindak apa-apa untuk membantu Jaranta. Memang, kejadian itu
berlangsung cepat bukan kepalang, Mereka juga baru saja bangkit dari
mengelaknya, ketika tubuh Jaranta
terhantam jurus 'Pukulan Belalang'.
Tapi hanya sebentar saja Ratna Ningsih dan Taliwang dilanda perasaan itu, karena
sebentar kemudian telah mampu menguasai diri. Dan mereka langsung mencabut
senjata masing-masing, siap menyerang Dewa Arak.
Wuk, wuk, wuk! '
Suara mengaung keras terdengar ketika Ratna Ningsih memutar tongkat berujung
kepala tengkorak-nya di depan dada. Hebat! Kontan bentuk senjata itu lenyap, dan
kini menjadi segulungan sinar berwarna kecoklatan.
Ctar! Taliwang tidak mau kalah. Cambuknya segera di-cabut dan dilecutkan. Sehingga,
memperdengarkan suara menggelegar keras laksana halilintar. Samar-samar terlihat
kepulan asap tipis keluar ketika cambuk itu dilecutkan.
"Haaat...!"
Dewa Arak 38 Neraka Untuk Sang Pendekar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Hampir berbareng, Taliwang dan Ratna Ningsih mengeluarkan teriakan keras
menggeledek. Tubuh mereka melesat menuju Dewa Arak. Senjata-senjata yang
tergenggam di tangan, siap diarahkan ke tubuh lawan.
Wukkk! Setelah sebelumnya memutar-mutarkan tongkatnya laksana baling-baling di atas
kepala, Ratna Ningsih menyodokan senjata itu ke arah dada Dewa Arak.
Pada saat yang bersamaan, dari arah samping kanan Taliwang meluncurkan cambuknya
ke arah ubun-ubun. Hebat! Cambuk itu bergerak mematuk-matuk seperti gerakan
seekor ular. Serangan-serangan yang dilancarkan kedua tokoh sesat ini memang serangan maut.
Apabila salah satu
ada yang mengenai sasaran, cukup untuk mengirim nyawa tokoh berkepandaian
tanggung ke akhirat.
Dewa Arak tentu saja tahu hal itu. Meskipun telah kemasukan belalang raksasa,
pikirannya berjalan seperti biasa. Hanya saja, gerakan-gerakan yang dilakukannya
lebih liar dan ganas. Gerakannya mirip tingkah laku binatang. Dan dengan
perantaraan belalang raksasa, Dewa Arak tidak mengalami kesulitan sedikit pun
dalam menggunakan ilmu 'Belalang Sakti'!
Kegunaan arak dan gucinya, telah digantkan belalang alam gaib itu.
Kini, Dewa Arak bersiap-siap menghadapi
serangan-serangan yang datang dari Ratna Ningsih dan Taliwang. Luar biasa!
Serangan-serangan yang meluncur ke arahnya, dihadapi. dengan cara menakjubkan.
Tangan kanan ditetakkan ke bawah, sedangkan tangan kiri diangkat ke atas kepala
untuk melindungi ubun-ubun.
Takkk, tappp, tappp...!
Gila! Dalam waktu demikian singkat, senjata-senjata milik Ratna Ningsih dan
Taliwang telah tertang-kap! Hanya bedanya tongkat Ratna Ningsih lebih dulu
ditangkis, dan baru ditangkap!
Karuan saja Ratna Ningsih dan Taliwang kaget bukan kepalang melihat senjata
andalan masing-masing tercengkeram tangan lawan. Buru-buru mereka mengerahkan
tenaga untuk menarik pulang senjata itu. Tapi sampai terdengar suara keluhan
berat dari mulut mereka, tetap saja senjata-senjata itu tidak bergeming dari
cengkeraman tangan Dewa Arak.
Mendadak Dewa Arak melepaskan cekalannya.
Tak pelak lagi, tubuh kedua orang itu terjengkang ke belakang, terbawa tenaga
tarikan sendiri.
Namun dengan sebuah jejakan kaki pada tanah, Ratna Ningsih dan Taliwang telah
berhasil memperbaiki keadaannya. Dan saat itulah Dewa Arak meluruk ke arahnya.
Ratna Ningsih dan Taliwang bergegas menyambutnya. Maka, pertarungan sengit pun
berlangsung. Baik Ratna Ningsih, Taliwang, maupun Dewa Arak sama-sama mengerahkan seluruh
kemampuan yang dimiliki. Masing-masing pihak berkeinginan merobohkan lawan
secepat mungkin. Suara mengaung, meledak-ledak, dan menderu dari setiap gerakan
tangan, kaki, atau senjata-senjata pihak yang bertarung, menyemaraki
pertarungan. Di awal jurus, pertarungan berlangsung imbang.
Masing-masing pihak saling melancarkan serangan.
Tapi begitu menginjak jurus kelima puluh, Ratna Ningsih dan Taliwang mulai
terdesak. Serangan-serangan mereka yang semula gencar, kian lama kian berkurang.
Sebaliknya, gerakan mengelak lebih sering dilakukan.
Memang, meskipun tanpa adanya guci dan arak, kelihaian Dewa Arak sama sekali
tidak berkurang.
Bahkan sepertinya malah bertambah. Keberadaan belalang raksasa di dalam tubuhnya
ternyata jauh lebih menguntungkan daripada hanya guci dan arak saja.
"Haaat..!"
Di jurus kerujuh puluh dua, Ratna Ningsih memba-batkan tongkatnya ke arah
pinggang Dewa Arak. Pada saat yang bersamaan, dari sebelah kanan Taliwang
melecutkan cambuknya ke arah pelipis. Dua buah serangan yang benar-benar
berbahaya. Tapi, Dewa Arak tidak gugup menghadapi
Kenyataan seperti ini. Kakinya segera dijejakkan,
sehingga tubuhnya melayang ke atas. Dan tangan kanannya langsung digerakkan
untuk menangkap cambuk Taliwang yang meluncur ke arahnya.
Wukkk! Bukkk! "Akh...!"
Begitu babatan tongkat Ratna Ningsih lewat bawah kakinya, kaki kanan Dewa Arak
langsung meluncur ke arah dada. Bidang lowong itu sama sekali tidak disadari
Ratna Ningsih. Akibatnya, tendangan Dewa Arak telak mengenai sasaran. Suara
bergeme-retak keras terdengar diiringi terpentalnya tubuh wanita bertopeng
tengkorak itu ke belakang disertai jerit memilukan dari mulutnya. Dapat
dipastikan, wanita itu langsung tewas sekerika.
Pada saat yang bersamaan dengan terpentalnya tubuh Ratna Ningsih, tangan kanan
Dewa Arak bergerak menangkap cambuk Taliwang yang tengah meluncur ke arah
pelipis. Tappp! Cambuk itu berhasil dicengkeram. Lalu, cepat-cepat Dewa Arak menyentakkannya.
"Ah...!"
Tubuh Taliwang seketika melayang ke atas, meluncur ke arah tubuh Dewa Arak yang
tengah berada di udara. Maka, Dewa Arak buru-buru melepaskan cekalan cambuknya.
Dan secepat cambuk itu terlepas, secepat itu pula tangan kanannya bergerak ke
arah ubun-ubun Taliwang.
Taliwang terperanjat bukan kepalang. Rentetan kejadian yang demikian cepat
sungguh membuatnya gugup. Meskipun demikian, dia berusaha sekuat tenaga
menyelamatkan selembar nyawanya. Sebisa-bisa tubuhnya digeliatkan. Tapi....
Crokkk! "Aaakh...!"
Taliwang menjerit memilukan ketika jari-jari tangan Dewa Arak mencucuk ubun-
ubunnya. Darah bercampur otak langsung muncrat-muncrat.
Brukkk! Tubuh Taliwang jatuh di tanah, dan diam tidak bergerak lagi untuk selama-
lamanya. Mati! "Hup!"
Begitu kedua kaki Dewa Arak hinggap di tanah, belalang raksasa itu pun keluar
dari dalam tubuhnya.
Anehnya, saat itu juga semua luka dalam yang diderita Arya sembuh sama sekali!
Luar biasa! "Hehhh..."!"
Arya terperanjat ketika mendengar jeritan di kejauhan. Apalagi, ketika
dikenalinya betul pemilik jeritan itu. Rara Kunti! Maka secepat kilat, pemuda
beram-but putih keperakan itu melesat cepat menuju ke arah asal suara. Dan
ternyata, suara itu berasal dari sumur yang tadi ditinggalkannya.
Begitu telah berada di pinggir sumur, tanpa ragu-ragu lagi Dewa Arak melompat
turun. Ringan laksana daun kering, kedua kakinya mendarat di tanah. Lalu, dia
melesat cepat ke arah tempat pusaka peninggalan Eyang Mandura.
Tapi beberapa tombak sebelum mencapai pintu gua ruangan pusaka peninggalan Eyang
Mandura, Dewa Arak terpaksa menghentikan langkahnya.
Memang, dari arah depannya tengah bergerak, dua sosok tubuh menghampirinya.
Mereka tak lain dari Adipati Subali dan Rara Kunti. Dan di tangan Adipati Subali
sudah terjinjing buntalan kain hitam.
Sementara tidak jauh dari situ, tergolek sosok mayat yang sepertinya jasad Iblis
Mayat Hidup. "Arya...!"
Hampir berbareng, Adipati Subali dan Rara Kunti berseru kaget ketika melihat
Dewa Arak. Apalagi ketika melihat keadaan pendekar muda yang menggemparkan itu.
Bagai berlomba, keduanya melesat cepat mendekati Dewa Arak.
"Apa yang terjadi terhadapmu, Arya?"
Begitu telah berada di dekat Arya, gadis berpakaian hitam ini langsung
mengajukan pertanyaan.
Sepasang matanya seperti juga sepasang mata ayahnya, beredar memperhatikan
sekujur tubuh Dewa Arak.
"Tidak apa-apa," jawab Arya.
Kemudian secara singkat tapi jelas, Dewa Arak menceritakan semua kejadiannya.
Rara Kunti dan Adipati Subali mendengarkan penuh perhatian. Tidak sekali pun ada
yang menyelak, hingga cerita yang di-tuturkan selesai. Tentu saja Arya tidak
menceritakan kalau telah berhasil lolos dari maut karena bantuan belalang
raksasa. "Hhh...!"
Rara Kunti dan Adipati Subali menghela napas berat mendengar cerita Dewa Arak.
"Sekarang, ganti kau dan putrimu yang harus ber-cerita, Kang. Mengapa Iblis
Mayat Hidup sampai tewas?" Tanya Arya sambil menudingkan jari telunjuknya ke
arah tubuh Iblis Mayat Hidup yang tergolek dengan tubuh hangus.
"Hhh..!" Adipati Subali menghembuskan napas berat terlebih dulu. "Setelah kau
jatuh ke dalam jurang, terpaksa kami melanjutkan perjalanan tanpa dirimu. Terus
terang, kami berkeyakinan kau telah tewas. Di tengah perjalanan, atau tepatnya di pinggir sebuah
sungai, kami bertemu Sagala yang tengah sekarat. Tapi sebelum tewas, dia sempat
men- ceritakan banyak hal pada kami."
Sampai di sini, Adipati Subali menghentikan cerita.
Dengan gerak isyarat diperintahkannya Rara Kunti melanjutkan ceritanya.
"Paman Sagala mengakui, bahwa dia dan adik seperguruannya yang menyamar sebagai
diriku, memang menjadi dalang kehancuran Kadipaten Blambang. Begitu pula
pembunuhan terhadap ibuku.
Namun pelaku yang telah membunuh anggota
rombongan ayah, telah dibinasakannya," tutur Rara Kunti.
"Sagala dan adik seperguruannya telah tewas di tangan Lutung Tangan Baja, karena
sebuah kesalahan. Itulah yang diceritakan Sagala sebelum tewas." urai Adipati Subali.
"Kami melanjutkan perjalanan, hingga menemukan tempat tinggal Eyang Mandura.
Kemudian, kami mengikuti petunjuk yang telah didapat hingga berhasil sampai di
sini. Tapi sayang, Iblis Mayat Hidup menguntit perjalanan kami, tanpa diketahui
mulai dari mana. Begitu melihat pusaka peninggalan Eyang Mandura, dia lalu
muncul dan langsung melesat ke arah buntalan itu," lanjut Rara Kunti.
Tapi sebelum maksudnya tercapai, tubuhnya kontan menggelepar-gelepar. Rupanya,
lantai gua di depan pusaka itu telah ditaburi racun ganas, yang mampu menembus
alas kaki. Dan akhirnya dia tewas dengan tubuh hangus. Malah Rara Kunti sampai
menjerit!" sambung Adipati Subali.
Arya mengangguk-anggukkan kepala. Kini dia mengerti, mengapa Rara Kunti tadi
menjerit. "Semula kami kebingungan. Tapi sewaktu memberi hormat pada tengkorak manusia
yang diyakini adalah leluhur kami, tampaklah tulisan-tulisan tertera
di atas lantai. Kami pun mengikuti petunjuknya. Dan inilah hasilnya," tutur
Adipati Subali sambil meng-acungkan buntalan kain itu.
"Selamat, Kang, Kunti. Mudah-mudahan harapan leluhur kalian terkabul," ujar
Arya. "Terima kasih, Arya," sahut Rara Kunti dan Adipati Subali berbareng.
Arya mengembangkan senyum lebar.
"O ya, Kang. Aku ingin memberi hadiah padamu atas segala jasa yang kau berikan
pada kami. Bukan begitu, Ayah?"
Adipati Subali tampak kebingungan. Tapi ketika melihat kerdipan pada mata
anaknya, buru-buru kepalanya terangguk.
"Benar... Benar sekali, Arya. Memang, kami akan menghadiahkan sesuatu padamu,"
kata laki-laki tinggi besar itu agak gagap.
"Tapi...," Arya mencoba membantah.
"Tidak ada penolakan, Arya. Lagi pula, aku yakin kau akan menerimanya. Inilah
hadiah dari kami!"
Sepasang mata Arya membelalak lebar ketika melihat benda yang tergenggam di
tangan Rara Kunti.
Benda itu adalah guci araknya. Maka buru-buru tangannya diulurkan untuk
menerimanya. "Terima kasih, Kunti, Kang," ucap Arya penuh kegembiraan.
"Aku menemukannya di dekat mulut jurang.
Rupanya, benda ini terjatuh sewaktu tubuhmu terpental," jelas Rara Kunti, senang
karena melihat kegembiraan Arya melihat pemberiannya.
Sementara Adipati Subali hanya bisa mengangguk-anggukkan kepala, bingung.
Memang, dia tidak tahu-menahu akan masalah ini.
Matahari mulai tergelincir dari titik tengahnya
ketika Dewa Arak, Adipati Subali, dan Rara Kunti keluar dari sumur yang menjadi
kunci masuk tempat pusaka peninggalan Eyang Mandura.
SELESAI Created ebook by
Scan & Convert to pdf (syauqy_arr)
Edit Teks (a-kriee)
Weblog, http://hana-oki.blogspot.com
Thread Kaskus: http://www.kaskus.us/showthread.php"t=B97228
Tapak Tapak Jejak Gajahmada 6 Pendekar Gila Karya Cao Re Bing Si Cakar Rajawali 1
cepat menempuh arah yang berbeda.
*** "Hih!"
Sesosok bayangan kuning melambung ke atas, kemudian mendarat di atas sebongkah
batu yang menonjol. Kembali kakinya menjejak, maka tubuhnya pun kembali
melambung ke udara. Begitu hinggap di tonjolan batu yang lebih atas. Kakinya
menotol lagi. Demikian seterusnya. Rupanya, sosok bayangan kuning itu tengah mendaki lereng
sebuah gunung. Ternyata bukan hanya bayangan kuning saja yang mendaki. Terbukti di belakangnya
menyusul sosok bayangan hitam, dan sosok bayangan ungu. Gerakan mereka rata-rata
gesit dan lincah. Terutama sekali, sosok bayangan ungu.
"Hup!"
Ringan hampir tanpa suara, sosok bayangan kuning itu mendarat di tanah datar.
Memang, dia telah berada di bagian gunung yang mempunyai permukaan datar.
Sesampainya di sini, sosok bayangan kuning itu menghentikan gerakannya dan
berdiri diam di situ, seakan-akan tengah menunggu sesuatu.
Sesaat kemudian, melesat sosok bayangan hitam dan disusul sosok bayangan ungu.
Kini, tiga sosok bayangan itu telah berkumpul di bagian yang datar.
Mereka ternyata Adipati Subali, Dewa Arak, dan Rara Kunti.
"Masih jauhkah tempat yang akan kita tuju, Ayah?"
Tanya Rara Kunti, agak terengah-engah.
Rupanya gadis berpakaian hitam ini telah merasa lelah. Bahkan wajahnya yang
cantik itu pun dipenuhi butir-butir keringat.
"Memang masih cukup jauh, Kunti," kata Adipati Subali sambil menganggukkan
kepala. "Kita masih harus melalui jalan setapak, padang ruput yang cukup tinggi
dan luas, serta sebuah sungai untuk tiba di sana."
"Hhh...!" Rara Kunti menghela napas berat. "Bagaimana kalau kita beristirahat
dulu, Ayah?"
"Sebuah usul yang cukup baik," Arya yang menyahuti. "Sebaiknya kita memang
beristirahat dulu."
Adipati Subali sama sekali tidak membantah. Terus terang, dia sendiri juga
merasa lelah, meskipun tidak selelah putrinya. Hanya Arya sendiri yang terlihat
biasa-biasa saja, tidak terlihat adanya tanda-tanda kelelahan. Padahal, mereka
bertiga telah men-daki hingga ke lereng.
Kini Arya, Adipati Subali, dan Rara Kunti mengedarkan pandangan berkeliling
untuk mencari tempat istirahat. Sekitar beberapa tombak di kanan mereka,
tampak sebatang pohon yang cukup rindang. Maka ke sanalah ketiga orang ini
menuju, karena hanya itulah satu-satunya yang dapat dijadikan tempat
beristirahat. Tempat itu memang sebuah lapangan terbuka.
Pada, saat itu matahari telah mulai beranjak menuju titik tengahnya, sehingga
suasana terasa panas bukan kepalang.
Tapi langkah ketiga orang itu langsung terhenti ketika mendengar suara riuh,
yang berasal dari lereng yang dituju. Karuan saja hal itu membuat mereka
terperanjat. Baik Adipati Subali maupun Arya langsung bisa menduga apa yang telah terjadi.
Dari ciri-ciri suaranya, sepertinya ada seseorang yang tengah mendaki puncak.
Tapi sewaktu menjejakkan kaki, batu yang dipijaknya ternyata menggelincir dan
menggelinding ke bawah.
Perasaan ingin tahu mendorong Arya, Adipati Subali, dan terutama sekali Rara
Kunti yang tidak menduga apa pun, untuk bergegas meluruk ke sana. Tapi baru
beberapa tindak, langkah ketiga orang itu kontan terhenti. Karena, sesosok
bayangan hitam itu bersalto beberapa kali di udara dari bawah lereng, lalu.
"Hup!"
Ringan laksana daun kering, kedua kaki sosok bayangan hitam itu mendarat di
tanah. Jaraknya hanya empat tombak dari Arya, Adipati Subali, dan Rara Kunti.
Ada perubahan di wajah kedua belah pihak, pertanda tidak menyangka akan terjadi
hal seperti ini.
Untuk beberapa saat, mereka hanya saling tatap penuh selidik.
"Lutung Tangan Baja! Dia... Lutung Tangan Baja."
desis Adipati Subali.
Ada nada kegentaran dalam ucapan laki-laki tinggi besar ini. Masalahnya, Adipati
Subali kenal betul tokoh yang berjuluk Lutung Tangan Baja ini.
Arya menganggukkan kepala, dengan sikap
tampak waspada. Memang, dia telah mendengar tentang tokoh yang berjuluk Lutung
Tangan Baja. Baik dari mulut Adipati Subali sendiri, maupun dari kabar dalam
dunia persilatan. Dewa Arak langsung teringat Iblis Mayat Hidup yang memiliki
kepandaian amat tinggi. Dan sekarang, dia bertemu lagi dengan tokoh yang
mempunyai tingkat setara dengan Iblis Mayat Hidup. Lutung Tangan Baja,
julukannya! Sementara itu, Lutung Tangan Baja yang juga memperhatikan ketiga sosok di
hadapannya, mulai berkernyit dahinya.
"Kau...," tuding kakek berwajah kera ini pada Adipati Subali. "Apa hubunganmu
dengan Eyang Mandura"!"
Ucapan Lutung Tangan Baja benar-benar mengejutkan. Bukan hanya Adipati Subali
yang merasa kaget, tapi juga Rara Kunti dan Arya! Dari mana kakek berwajah kera
ini tahu kalau Adipati Subali mempunyai hubungan dengan Eyang Mandura"
"Kau tidak bisa mungkir, Keparat! Kau pasti mempunyai hubungan dengan Eyang
Mandura" Entah sebagai anaknya atau cucunya!" Cetus Lutung Tangan Baja lagi,
ketika melihat Adipati Subali malah diam.
"Kalau kau bukan seorang pengecut, mengakulah!
Atau..., keturunan Eyang Mandura adalah seorang pengecut hina"!"
"Tutup mulutmu yang busuk, Manusia Kera!"
tandas Rara Kunti keras sambil menudingkan
telunjuknya. "Ayahku memang keturunan Eyang Mandura! Tokoh sakti yang telah
membuatmu lari terkentut-kentut!"
Keras dan tajam bukan kepalang ucapan Rara Kunti, sehingga membuat Lutung Tangan
Baja sampai menggemeretakkan gigi karena hawa amarah yang melanda.
"Bocah liar! Rupanya kau dan ayahmu adalah keturunan-keturunan si Keparat Eyang
Mandura"! Kalau demikian, kalian berdua harus mampus!"
Usai berkata demikian, Lutung tangan Baja langsung menerjang Adipati Subali!
Tanpa ragu-ragu lagi, segera seluruh kemampuannya dikerahkan dalam serangan
pembukaannya. Kakek berwajah kera ini menyangka kalau Adipati Subali sebagai
keturunan Eyang Mandura, pasti memiliki kepandaian amat tinggi.
Wuttt! Deru angin keras terdengar ketika Lutung Tangan Baja melancarkan serangan. Kakek
berwajah kera ini menyampokkan tangan kanannya yang terkembang membentuk cakar
ke arah pelipis kiri Adipati Subali.
Kalau mengenai sedikit saja, sepertinya cukup untuk mengirim nyawa laki-laki
tinggi besar itu ke neraka!
*** Dewa Arak tahu, Adipati Subali tidak mungkin bisa mengelakkan serangan yang
datang secara tiba-tiba dan cepat bukan kepalang. Maka buru-buru tubuhnya
melesat ke arah orang nomor satu di Kadipaten Blambang itu. Dengan tangan kanan,
didorongnya tubuh Adipati Subali. Sedangkan, tangan kirinya memapak serangan
Lutung Tangan Baja.
Tappp! Plakkk! Berbarengan dengan terdorongnya tubuh Adipati Subali hingga jatuh terpelanting,
tangan kiri Dewa Arak berbenturan dengan tangan kanan Lutung Tangan Baja.
Akibatnya, baik tubuh Arya maupun tubuh Lutung Tangan Baja sama-sama terjengkang
ke belakang. Hanya saja, Dewa Arak terpental lebih jauh, dan tangannya terasa
nyeri. Hal. ini bukan karena tenaga dalam Arya kalah kuat dibanding lawannya,
tapi karena tenaganya terbagi. Sebagian digunakan untuk mendorong tubuh Adipati
Subali, sebagian lagi untuk memapak.
"Hup!"
Hampir berbarengan, Lutung Tangan Baja dan Dewa Arak sama-sama mendaratkan kedua
kaki di tanah tanpa terhuyung sedikit pun. Sementara, Adipati Subali dan Rara
Kunti telah menyingkir dari situ. Memang, mereka mengetahui betapa besar bahaya
yang mengancam apabila berada di sekitar pertarungan.
Kini dari jarak yang aman, Adipati Subali dan Rara Kunti menatap ke arah Dewa
Arak dan Lutung Tangan Baja yang tengah berdiri berhadapan dalam jarak empat
tombak. "Hm.... Rupanya kau tokoh yang berjuluk Dewa Arak," Lutung Tangan Baja
mengangguk-anggukkan kepala, setelah memperhatikan Arya beberapa saat lamanya.
"Memang, julukanmu sempat juga mampir ke telingaku. Kau terkenal sebagai tokoh
luar biasa, Dewa Arak. Tapi nyaliku tidak ciut karenanya. Aku bahkan
berkeinginan untuk mengajakmu bertarung!
Dan keinginan itu semakin membesar ketika Iblis Mayat Hidup kudengar telah
bertarung denganmu.
Hm.... Dia pun memujimu."
"Sayang sekali, Kek. Aku tidak ingin bertarung denganmu," kalem ucapan Arya.
"Apakah kau tetap tidak ingin bertarung denganku, apabila aku berminat membunuh
kedua orang kawanmu itu!"
Usai berkata demikian, Lutung Tangan Baja melesat ke arah Adipati Subali dan
Rara Kunti. Cepat dan indah gerakannya. Apalagi, ketika bersalto beberapa kali
di udara. Kemudian, tubuhnya menukik ke bawah dengan kedua tangan terkembang
membentuk cakar. Tingkahnya mengingatkan orang akan seekor burung garuda yang
tengah menyambar mangsa.
Hebatnya, dalam sekali serang kakek berwajah kera ini telah mengancam ke arah
Adipati Subali dan Rara Kunti. Sasaran kedua cakar itu adalah ubun-ubun kepala.
"Ihhh...!"
Rara Kunti tidak bisa menahan jeritan yang keluar dari mulutnya. Memang, dia dan
ayahnya merasa terkejut bukan kepalang melihat serangan yang tengah meluncur
itu. Tapi untuk yang kedua kalinya, Dewa arak kembali menyelamatkan Adipati Subali
dan putrinya. Pemuda berambut putih keperakan itu menghentakkan kedua tangannya
kedepan, mengeluarkan serangan pukulan jarak jauh. Langsung dipotongnya jalur
lompatan Lutung Tangan Baja. Apabila kakek berwajah kera itu melanjutkan
serangan, pukulan jarak jauh Dewa Arak akan lebih dulu menghempaskan tubuhnya.
Sebagai seorang tokoh tingkat tinggi, Lutung Tangan Baja tahu akan hal itu. Dan
tentu saja dia tidak ingin bertindak bodoh dengan meneruskan serangan. Buru-buru
maksudnya diurungkan. Dan
dengan menjadikan tangan sebagai tumpuan, tubuhnya melenting ke udara. Sehingga,
serangan pukulan jarak jauh itu meluncur di bawah kakinya.
Jliggg! Begitu kedua kaki Lutung Tangan Baja mendarat di tanah, Dewa Arak telah berada
didepan Adipati Subali dan Rara Kunti. Pemuda berambut putih keperakan itu
berdiri membelakangi. Sikap yang ditunjukkannya memberi tanda seperti bermaksud
melindungi ayah dan anak itu.
"Hiaaat..!"
Kali ini Dewa Arak yang membuka serangan lebih dulu. Hal itu terpaksa dilakukan
untuk menghindar-kan bahaya yang akan mengancam Adipati Subali dan Rara Kunti,
kalau Lutung Tangan Baja dibiarkan menyerang lebih dahulu. Karena bukan
mustahil, angin serangannya akan mengenai kedua orang itu.
Serangan Dewa Arak dibuka dengan sebuah
terjangan. Hebatnya begitu berada di tengah jalan, tubuhnya langsung berbalik.
Pada saat yang bersamaan, kaki kanannya bergerak mengibas ke arah pelipis lawan.
Dan apabila mengenai sasaran, meskipun hanya menyerempet saja, cukup untuk
mengirim nyawa ke alam baka.
Lutung Tangan Baja tidak berani bertindak gegabah. Dari deru angin yang
mengawali serangan lawan, bisa diperkirakan kekuatan tenaga dalam yang
terkandung di dalamnya. Memang, Dewa Arak telah mengetahui kalau lawan yang
dihadapinya sekarang tidak bisa dianggap sembarangan. Maka, langsung saja
dikeluarkannya seluruh kemampuannya.
Wukkk! Kibasan kaki Dewa Arak lewat di atas kepala, ketika Lutung Tangan Baja
merundukkan tubuhnya.
Pada saat yang bersamaan, kakek itu mengirimkan serangan berupa tusukan jari-
jari tangan terbuka ke arah ulu hati Dewa Arak. Terpaksa pemuda berambut putih
keperakan itu memapaknya, karena untuk mengelak sudah tidak memungkinkan lagi.
Pratrt! Benturan keras yang terjadi membuat kedua belah pihak sama-sama mundur. Lutung
Tangan Baja terhuyung-huyung, sedangkan Dewa arak terpental belakang.
Masalahnya, kedudukan Arya tengah berada di udara.
Lutung Tangan Baja dan Dewa Arak saling berpandangan sejenak. Dalam adu pandang
itu, tampak sinar kekagumam terhadap lawan di dalamnya. Tapi hal itu hanya
berlangsung sekejap saja, karena se-saat kemudian keduanya telah saling
menggebrak kembali.
Hebat bukan kepalang pertarungan antara dua tokoh sakti berkepandaian tinggi
itu. Suara mencicit mengaung, dan menderu mengiringi setiap gerakan tangan atau
kaki. Tanah kontan terbongkar di sana sini, sehingga menimbulkan kepulan debu
tebal. Keadaan di sekitar tempat itu seperti habis dibajak belasan kerbau liar saja
layaknya. Adipati Subali dan Rara Kunti menatap ke arah pertarungan penuh takjub. Hati
ayah dan anak ini diliputi perasaan kagum bukan kepalang, terutama sekali
terhadap Dewa Arak.
Sementara, tokoh-tokoh yang dikagumi sama sekali tidak tahu-menahu. Keduanya
sibuk mengerahkan seluruh kemampuan yang dimiliki untuk bisa mengalahkan satu
sama lain. Lima puluh jurus telah berlalu. Dan selama ini belum nampak tanda-tanda yang
akan keluar sebagai
pemenang. Pertarungan masih berlangsung, dan saling bergantian melancarkan
serangan. "Hih...!"
Di jurus keenam puluh tiga, Lutung Tangan Baja melentingkan tubuh ke belakang.
Kemudian, dia bersalto beberapa kali ke belakang.
Dewa Arak sama sekali tidak mengejar. Dia tahu, lawan ingin mengeluarkan ilmu
andalan. Maka guci araknya segera dijumput, dan diangkatnya di atas kepala.
Kemudian, isinya dituangkan ke dalam mulut.
Gluk.... Gluk.... Gluk...!
Suara tegukan terdengar ketika arak itu melewati tenggorokan Dewa Arak. Sesaat
kemudian, kedua kaki pemuda berambut putih keperakan itu mulai oleng ke sana dan
oleng ke sini. Itu berarti pertanda Dewa Arak telah siap menggunakan ilmu
'Belalang Sakti' andalannya.
Di saat tubuh Dewa Arak tengah limbung itu, Lutung Tangan Baja melompat
menerjang! Dan ketika telah berada di tengah perjalanan, tubuhnya berputaran.
Inilah ilmu 'Hujan Angin Badai Neraka' yang dahsyat.
*** 6 Hebat bukan kepalang ilmu 'Hujan Angin Badai Neraka'. Seiring meluncurnya tubuh
Lutung Tangan Baja yang sambil berputaran seperti gasing, bertiup angin keras
berhawa panas membawa debu. Inilah salah satu keistimewaannya. Debu yang bertiup
membuat pandangan lawan terhalang. Padahal, serangan yang dilancarkan belum
tiba. Dewa Arak kebingungan melihat ilmu lawannya.
Tubuh Lutung Tangan Baja yang berputaran, membuatnya mengalami kesulitan untuk
menjatuh-kan serangan. Karena yang terlihat hanyalah segulungan bayangan hitam
yang berputaran.
Belum juga kebingungannya itu lenyap, dari balik tubuh yang berputaran mencuat
serangan-serangan ke arah bagian-bagian berbahaya di tubuh Dewa Arak.
Terkadang tangan, tapi tidak jarang kaki. Dan yang lebih gila lagi, setiap
serangan itu selalu didahului sergapan angin panas.
Menghadapi ilmu aneh lawannya ini, Dewa Arak tidak berani bertarung jarak dekat.
Disadari kalau hal itu amat berbahaya, sehingga akan menjadi sasaran empuk
lawannya. Sedangkan tubuh Lutung Tangan Baja sepertinya sukar diserang.
Untuk pertama kali dalam pertarungan yang sudah tidak terhitung, Dewa Arak
menghadapi penyerbuan lawan dengan elakan-elakan jauh. Dia tidak berani
mengelak, tanpa menggerakkan kaki. Malah, itu pun dengan melompat jauh ke
belakang. Untuk beberapa jurus lamanya, tokoh muda yang menggemparkan itu
hanya mengelak saja. Kalau pun beberapa kali melancarkan serangan, itu hanya
berupa semburan araknya saja.
Akibatnya bisa ditebak. Dewa Arak berada di bawah angin, dan terus-menerus
terdesak. Meskipun demikian, bukan berarti Dewa Arak harus putus asa. Jelas tidak ada kata
putus asa dalam kamus hidup Dewa Arak. Dia tahu, dalam setiap persoalan selalu
ada jalan keluarnya. Maka sambil terus mengelak, benaknya berputar keras.
Disadari kalau betapa pun tingginya setiap ilmu, selalu mempunyai kelemahan.
Dewa Arak 38 Neraka Untuk Sang Pendekar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Apalagi, ilmu-ilmu yang diciptakan tokoh sesat seperti Lutung Tangan Baja.
Sementara itu, Adipati Subali dan Rara Kunti yang menyaksikan jalannya
pertarungan menjadi cemas.
Meskipun, tak bisa menyaksikan jalannya pertarungan secara jelas, tapi Adipati
Subali dan Rara Kunti dapat memperkirakannya. Sehingga yang jadi patokan ayah
dan anak ini hanyalah kelebatan bayangan hitam dan ungu. Memang, gerakan-gerakan
Dewa Arak dan Lutung Tangan Baja terlalu cepat. Dan tidak bisa tertangkap oleh
pandang mata mereka.
Dan karena melihat bayangan ungu terdesak dan bergerak mundur, Adipati Subali
dan Rara Kunti cemas. Rupanya, Dewa Arak yang berpakaian ungu terus bermain
mundur. Tak terasa, pertarungan sudah berlangsung masuk seratus jurus. Dan selama itu,
Lutung Tangan tetap belum mampu merobohkan Dewa Arak. Padahal, sejak jurus kedua
puluh kakek berwajah kera telah mendesak lawannya. Memang, meskipun kelihatan-
nya ilmu 'Belalang Sakti' tidak berdaya, tetap saja ilmu itu menunjukkan
keanehannya. Dalam penggunaan ilmu itu, Dewa Arak laksana bayangan. Sulit
dijadikan sasaran serangan lawan.
Beberapa kali, Dewa Arak sangat terhimpit. Tapi dengan semburan arak dan jurus
'Pukulan Belalang", desakan lawannya berhasil dikendurkan. Itulah sebabnya,
sampai seratus jurus tetap saja Lutung Tangan Baja yang mendesak tetap tidak
mampu merobohkan lawan.
Karuan saja hal ini membuat Lutung Tangan Panjang penasaran bukan kepalang.
Apalagi, ketika melihat Dewa Arak mengelak sambil masih sempat menengak araknya
beberapa kali. Hal ini membuat kegeraman kakek berwajah kera ini semakin kalap.
Disangkanya, Dewa Arak melakukan hal itu untuk mengejek dirinya. Sama sekali
Lutung Tangan Baja tidak mengetahui kalau ilmu 'Belalang Sakti' memang harus
demikian. Akibatnya, serangan-serangan yang dilancarkan tokoh sesat itu semakin
menggebu-gebu. Dengan sendirinya, Arya semakin kerepotan dibuat-nya.
Menginjak jurus keseratus sepuluh, Dewa Arak mulai menemukan cara untuk
menghadapi ilmu
'Hujan Angin Badai Neraka' itu. Maka tanpa menunggu lebih lama lagi, segera
dipergunakannya.
"Hih!"
Dewa Arak menggertakkan gigi dalam usahanya mengerahkan seluruh kemampuan sampai
ke puncaknya. Sekejap kemudian, tubuhnya melesat seraya berputar mengelilingi tubuh
Lutung Tangan Baja disertai ilmu meringankan tubuhnya yang telah mencapai
tingkat kesempurnaan. Hanya saja, arah putarannya berbeda dengan kakek berwajah
kera itu. Dan kini bentuk tubuh Dewa Arak pun lenyap. Yang terlihat hanyalah sekelebatan
bayangan ungu tak jelas bentuknya mengelilingi tubuh Lutung Tangan
Baja yang berputaran.
Siasat Dewa Arak ternyata tidak meleset. Begitu cara ini dipergunakan, Lutung
Tangan Baja tampak kebingungan. Gerakan Dewa Arak yang berputar mengelilingi,
membuatnya kesulitan untuk menjatuh-kan serangan. Keadaan yang berbeda didapat
Dewa Arak. Pemuda berambut putih keperakan itu sambil berlari mengelilingi,
terkadang melancarkan serangan-serangan. Kadang dengan jurus 'Pukulan Belalang',
tak jarang dengan semburan araknya.
Tanpa disadari, tempat pertarungan mulai bergeser.
Tak sampai dua puluh jurus, Lutung Tangan Baja sudah kebingungan. Pandangan
matanya mulai ber-kunang-kunang, karena berusaha mencari-cari tubuh lawan yang
terus berputaran untuk diserang. Perlahan-lahan kakek berwajah kera ini mulai
terdesak. Memang bila diperbandingkan, keadaan Arak lebih menguntungkan. Putaran tubuhnya
yang tidak di satu tempat, membuatnya lebih sulit diserang lawan.
"Haaat..!"
Di jurus keseratus empat puluh lima, Lutung Tangan Baja mengeluarkan teriakan
melengking nyaring sambil menghentikan putaran tubuhnya.
Sekarang dia berdiri diam, tidak bertindak apa-apa pun. Hanya sepasang matanya
yang melirik kesana ke-mari memperhatikan Dewa Arak yang masih mengelilinginya.
Mendadak.... "Haaat...!"
Lutung Tangan Baja mengeluarkan teriakan
kencang menggeledek, sehingga mampu membuat Adipati Subali terhuyung-huyung dan
Rara Kunti jatuh terduduk. Memang, teriakan itu dikeluarkan lewat pengerahan
tenaga dalam tinggi. Bukan hanya itu saja akibatnya. Suasana di sekitar tempat
itu pun sampai bergetar hebat.
Dan berbareng keluarnya teriakan menggeledek itu, Lutung Tangan Baja melesat
menerjang Di Arak yang masih berputar mengelilinginya Kakek berwajah kera ini
berlari, menyambut tubuh Dewa Arak yang tengah berputar. Tentu saja tidak hanya
hal itu yang dilakukan. Sambil meluruk menghadang laju gerakan Dewa Arak, kedua
tangan dihentakkan kedepan.
Dewa Arak terkejut bukan kepalang. Tindakan Lutung Tangan Baja sama sekali tidak
diduga. Tambahan lagi, tubuhnya saat itu tengah melesat dengan kecepatan penuh. Jadi,
tidak mungkin untuk menahannya. Maka tidak ada jalan lain baginya kecuali
menghadapi serangan itu sama kerasnya.
"Hih!"
Dewa Arak pun menghentakkan kedua tangan pula untuk menyambuti. Seluruh tenaga
dalamnya dikerahkan dalam tangkisan ini, karena betapa besar bahayanya mengadu
tenaga dalam secara langsung seperti ini. Akibatnya, yang kalah kuat sedikit
saja akan tewas. Apalagi, bila perbedaan tenaga dalam itu terpaut hanya sedikit
Tapi memang, pertemuan tenaga dalam seperti itu tidak bisa dicegah lagi.
Dan... Blanggg...! Suara menggelegar keras seperti halilintar menyambar di tempat itu kontan
terdengar ketika benturan itu terjadi. Bahkan lereng gunung itu bergetar hebat
seperti akan runtuh. Sampai-sampai, Rara Kunti dan Adipati Subali terhuyung-
huyung. Dengan raut wajah memancarkan kengerian yang amat sangat, Adipati Subali dan
putrinya itu memandang ke arah pertarungan. Dan seketika itu pula, sepasang mata
mereka terbelalak.
Betapa tidak" Tampak jelas tubuh Dewa Arak dan Lutung Tangan Baja sama-sama
melayang ke belakang, seperti daun kering tertiup angin. Beberapa saat lamanya tubuh kedua
tokoh sakti itu melayang-layang di udara.
"Arya...!"
Hampir berbarengan, Adipati Subali dan Kunti menjerit. Mereka terkejut bukan
kepalang melihat keadaan yang diderita Dewa Arak. Apalagi, ketika melihat arah
melayangnya tubuh pemuda berambut putih keperakan itu. Bagai diperintah,
keduanya ber gegas melesat mengejar ke arah tubuh Dewa Arak yang melayang ke
jurang! Tapi, ternyata usaha yang dilakukan sia-sia. Tubuh Dewa Arak telah melayang
deras ke jurang yang sama sekali tidak kelihatan dasarnya.
"Arya...!"
Adipati Subali dan Rara Kunti kembali memang untuk yang kedua kalinya, ketika
telah berada di bibir jurang. Pandangan mata mereka terhunjam ke bawah tapi sama
sekali tidak melihat apa-apa. Di bawah sana terlalu pekat, terselimut kabut yang
meng-halangi pandangan.
Beberapa saat lamanya ayah dan anak itu terpaku di bibir jurang. Raut wajah
mereka menampakkan kedukaan besar. Kemudian sambil menghela nafas berat dan
menggumam ucapan selamat tinggal, mereka beranjak dari tempat itu. Adipati
Subali dan Rara Kunti melanjutkan perjalanan, mencari tempat leluhur mereka.
Sama sekali tidak dipedulikan tubuh Lutung Tangan Baja yang tergolek tak jauh
dari situ. Kakek berwajah kera itu memang telah tewas, aklbat benturan tadi yang telah
membuat seluruh isi dadanya hancur!
*** Wusss! Tubuh Arya terus melayang ke dalam jurang, tanpa disadarinya. Entah, sudah mati
atau masih hidup.
Sukar diketahui, karena tidak nampak adanya gerakan apapun yang dilakukan.
Mendadak.... Brusss! Srakkk!
Sebuah keajaiban terjadi. Tubuh pemuda berambut putih keperakan ini berhenti
meluncur, begitu menimpa sebuah pohon berdaun rimbun yang tumbuh di dinding
jurang. Cabang-cabangnya yang alot dan rapat, membuat tubuhnya tersangkut di
situ. Tapi, Arya tetap tidak tahu apa-apa.
Matahari terus bergulir. Hari pun berganti. Malam telah tiba. Dan persada kini
disaput kegelapan. Bulan yang tampak di langit, hanya mampu membuat suasana
menjadi remang-remang. Dan Arya tetap belum sadarkan diri dari pingsannya.
Ketika sang Surya mulai muncul di ufuk Timur berupa sebuah bola raksasa berwarna
merah menyala, baru tampak adanya gerakan-gerakan Arya.
Memang masih lemah, tapi sudah menunjukkan adanya tanda-tanda kehidupan. Dan
semakin lama, gerakan yang timbul semakin terlihat. Sampai akhirnya....
"Uhhh...!"
Dewa Arak menggeliat Tapi seketika itu pula, mulutnya menyunggingkan seringai
kenyerian. Perlahan-lahan kelopak matanya dibuka, tapi langsung ditutup kembali.
Ada keterkejutan yang amat sangat pada sorot mata pemuda berambut putih
keperakan itu. Arya membuka kembali kedua kelopak matanya setelah beberapa saat. Tapi, ternyata
pemandangan yang tampak di hadapannya sama sekali tidak berubah. Yang dilihatnya
hanya tebing-tebing yang men-julang tinggi ke atas, tanpa teriihat ujungnya.
Sekarang Arya baru yakin kalau dirinya berada atas cabang sebatang pohon yang
berada di dalam jurang.
Mengapa bisa sampai ada di sini" Beberapa pertanyaan yang bergayut di benaknya.
Masih dengan pertanyaan yang belum terjawab Dewa Arak bangkit dari berbaringnya.
Tapi baru badannya terangkat sedikit...
"Ukh...!"
Arya batuk-batuk setelah sebelumnya menyunggingkan seringai kenyerian. Dadanya
terasa sakit bukan kepalang. Bahkan ketika batuk, tampak ada percikan-percikan
cairan kemerahan keluar dari mulutnya.
Sebagai seorang tokoh tingkat tinggi, Dewa Arak langsung bisa mengetahui kalau
dirinya telah terluka dalam. Arya berusaha mengingat-ingat kejadian yang menimpa
dirinya. Tak memakan waktu lama, pemuda berambut putih keperakan itu sudah
teringat. "Jadi..., aku telah terjatuh ke dalam jurang sehabis berbenturan dengan Lutung
Tangan Baja," desah Arya sambil mengangguk-anggukkan kepala.
Masalahnya telah jelas sekarang. Dan yang penting, Dewa Arak harus mengobati
luka dalamnya dulu. Paling tidak, agar bisa mencari jalan untuk lolos dari dalam
jurang ini. Berpikir sampai di sini, Arya memaksakan diri untuk bangkit. Betapapun besar
rasa sakit dan nyeri yang melanda, sama sekali tidak dipedulikan. Yang penting,
dirinya harus bisa duduk bersila untuk ber-
semadi. Pohon itu bergoyang-goyang ketika Arya berusaha bangkit, dan akhirnya gagal.
Tapi, pemuda berambut putih keperakan itu tidak putus asa, dan terus mengulangi
sampai akhimya bisa duduk bersila. Tampak airan merah kental di sudut-sudut
mulutnya mengalir, ketika telah mulai bersemadi.
Sesaat kemudian, pemuda berambut putih
keperakan itu telah tenggelam dalam keheningan semadinya. Kini yang terdengar
hanyalah alunan napasnya yang secara teratur dan berirama tetap.
Punggung Arya tampak lurus, dengan kedua telapak tangan dipertemukan di depan
dada. Arah ujung-ujung jari tangannya mengarah ke langit.
Arya terus menarik, menahan, dan mengeluarkan napas tanpa mempedulikan suasana
sekelilingnya. Yang ada di benaknya hanya satu, mengobati luka dalamnya. Sama sekali tidak
diketahui kalau letak matahari kini sudah hampir berada di atas kepala.
Krrrkkk! Terdengar suara gemeretak pelan, disusul goyang-goyangnya pohon tempat Arya
bersemadi. Tanah tempat akar pohon itu terhunjam mulai guguran.
Tampaknya, pohon itu sudah tidak kuat lagi menahan bobot tubuhnya.
Goyangan pada pohon itu sama sekali tidak meng-ganggu keheningan semadi Arya.
Tapi, semakin liar goyangan itu semakin sering dan menjadi-jadi. Mau tidak mau,
semadi Dewa Arak mulai terusik. Dengan agak segan, tarikan napasnya dihentikan.
Kemudian sepasang matanya dibuka.
Krakkk! Pada saat yang bersamaan dengan terbukanya kedua kelopak mata Dewa Arak, pohon
itu tidak lagi bertahan. Bahkan langsung tumbang ke jurang bersama akar-akamya.
Arya terkejut bukan kepalang ketika menyadari tubuhnya melayang turun seiring
robohnya pohon yang didudukinya. Padahal, dasar jurang sama sekali tidak
terlihat Seandainya jatuh ke bawah sana, kemungkinan nyawanya akan melayang.
Dewa Arak tentu saja tidak menginginkan hal itu terjadi. Maka, dia berusaha
menyelamatkan diri, dengan sebisa-bisanya menjejakkan kakinya pada pohon yang
tengah meluncur turun.
Tukkk! Tubuh Arya pun kembali melayang ke atas.
Sasarannya adalah lubang tempat tumbuhnya akar pohon tadi. Karena, memang hanya
itulah satu-satunya tempat yang bisa dijadikan pegangan.
Tappp! Usaha Arya tidak sia-sia, begitu kedua tangannya berhasil menggapai mulut
lubang. Tak pelak lagi, tubuh pemuda berambut putih keperakan ini pun tergantung
di dinding jurang.
"Ukh...!"
Arya menyeringai ketika dadanya terasa sesak.
Cairan merah kental pun kembali mengalir di sudut-sudut mulutnya. Memang, luka
dalam yang diderita Dewa Arak terlalu parah. Meskipun telah diobati dengan
semadi, tapi rupanya belum sembuh betul.
Maka ketika tenaga dalamnya dipergunakan kembali, luka dalamnya pun kambuh.
Arya menggigit bibirnya untuk menguatkan tekad-nya. Biar bagaimanapun, Dewa Arak
harus tiba dulu di dalam lubang. Apapun yang terjadi! Tidak mungkin dia mampu
bertahan tergantung seperti ini.
Berpikir demikian, Arya segera menggerakkan
kedua tangan untuk mengangkat tubuhnya ke atas.
Cairan merah kental yang mengalir melalui sudut bibirnya semakin banyak. Bahkan
rasa nyeri yang amat sangat pun semakin melanda. Tapi Arya berusaha keras untuk
bertahan. Dan ternyata, usahanya tidak sia-sia. Dia kini telah berhasil sampai
di dalam lubang.
Dan lubang itu ternyata besar juga. Garis tengahnya lebih dari setengah tombak.
Sebuah lubang yang cukup besar untuk akar sebatang pohon. "Hehhh...?"
Arya terperanjat ketika melihat lubang tempat akar pohon itu ternyata panjang,
sehingga berbentuk lorong. Seketika itu pula timbul harapan di hati Arya untuk
bisa lotos dari jurang ini. Dia yakin, lubang yang ternyata lorong ini mempunyai
hubungan dengan dunia luar. Dan hal seperti itu sudah dibuktikan sendiri
kebenarannya (Untuk jelasnya, silakan baca Serial Dewa Arak dalam episode
"Runtuhnya Sebuah Kerajaan").
Meskipun demikian, Arya tidak gegabah oleh perasaan gembira. Disadari, ada hal
terpenting yang harus dilakukannya, yakni mengobati luka dalamnya.
Paling tidak agar perjalanan bisa dilakukan secara cepat. Di samping itu, untuk
menghindari adanya bahaya yang tidak diinginkan. Maka pemuda berambut putih
keperakan itu pun kembali bersemadi.
Bagian tubuh depannya menghadap keluar lubang, sedangkan punggungnya berhadapan
dengan bagian dalam gua.
Arya baru menghentikan semadinya ketika malam telah menyelimuti persada. Rasa
nyeri yang menusuk-nusuk dada setiap kali napas ditarik, sudah tidak terasa
lagi. Sekarang yang tertjnggal adalah perasaan lapar. Masalahnya, sudah dua hari
perutnya tidak diisi. Minuman pun demikian pula. Malah, Dewa Arak sendiri tengah dilanda
kebingungan tentang keberadaan gucinya! Yang diketahui, guci itu sudah tidak ada
lagi sewaktu tersadar dari pingsannya.
Tapi, Dewa Arak berusaha untuk tidak mempedulikan perasaan lapar dan haus yang
menyerang-nya. Bahkan dia malah memulai usahanya, merayapi lorong itu.
Dewa Arak mengernyitkan dahi ketika menyadari lorong ini ternyata panjang dan
berkelok-kelok. Tapi anehnya, arahnya selalu menanjak. Karena tinggi lorong ini
tidak sama, sehingga membuat pemuda berambut putih keperakan itu terpaksa
menyusuri-nya dengan beberapa cara. Terkadang merayap seperti seekor ular, tapi
tak jarang merangkak seperti seekor kambing.
Dewa Arak 38 Neraka Untuk Sang Pendekar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Entah berapa lama menempuh perjalanan itu, Dewa Arak sama sekali tidak tahu.
Yang jelas, bajunya di bagian perut telah koyak-koyak. Demikian pula celananya.
Bahkan kedua tangan dan kakinya pun telah terasa pegal-pegal ketika akhirnya
berhadapan dengan jalan buntu. Kini, di hadapannya terpampang dinding batu yang
menghambat jalannya.
Berbeda dengan lorong sebelumnya, atap lorong ini berjarak tak kurang satu
tombak dari tanah. Sehingga, di sini Arya bisa berdiri secara leluasa.
Meskipun berhadapan dengan jalan buntu, Dewa Arak tidak putus asa. Dia sudah
terlalu sering bertemu ruangan-ruangan rahasia. Maka begitu melihat kenyataan
kalau lorong yang ditelusurinya buntu, dia tidak begitu saja percaya. Dia yakin,
ada cara untuk membuka jalan.
Itulah sebabnya, pemuda berambut putih
keperakan ini mengedarkan pandangan berkeliling.
Seketika itu pula, sepasang matanya tertumbuk pada sebatang obor yang bertengger
di dinding sebelah kiri.
Maka buru-buru tangannya terulur, dan menekan obor ke bawah.
Grrrggghhh...! Entah bagaimana caranya, tahu-tahu dinding batu yang menghadang jalan bergeser
ke kanan. Perlahan-lahan namun pasti, dinding batu itu memperlihatkan
pemandangan di baliknya. Ternyata, di balik dinding itu terdapat sebuah ruangan
luas. Dewa Arak bergegas melangkah maju. Pandangannya seketika beredar ke sekeliling
ruangan. Tampak di bagian kanan ruangan terdapat sebuah gua.
Dengan langkah perlahan-lahan Arya segera me-masukinya. Ruangan itu berbentuk
memanjang. Dan dalam jarak sekitar tujuh tombak dari ambang gua terdapat sebuah
gundukan batu setinggi dua jengkal, dan mempunyai bagian atas pipih.
Di atas gundukan itu tampak sesosok kerangka manusia yang tengah duduk bersila.
Dan kini, mata Dewa Arak tertumbuk pada sebuah benda di
pangkuan kerangka itu. Sebuah buntalan kain yang cukup besar dan berwarna hitam.
Dewa Arak terkesima melihat hal ini. Tapi ketika matanya tertumbuk pada sebuah
papan yang tergantung di atas gua dengan dua buah tali, dia langsung mengerti.
Jaraknya sekitar dua tombak darinya, dan letaknya di sebelah kanan.
Sebuah papan berukir dan berwarna hitam, sehingga terlihat indah. Tidak terlalu
panjang atau terlalu lebar. Tapi, bukan itu yang membuat Dewa Arak nengangguk-
anggukkan kepala pertanda mengerti, melainkan tulisan-tulisan yang tertera di
atasnya. Arya segera membacanya dalam hati.
7 Aku ucapkan selamat atas keberuntunganmu.
Kaulah yang telah berhasil mengungkapkan rahasia syair itu. Kini terimalah hasil
jerih payahmu. Semua pusaka ini menjadi milikmu. Di dalam buntalan itu ada
kitab-kitab ilmu silat, senjata-senjata pusaka, buku pengobatan, dan pel-pel
yang dapat membuat dirimu mempunyai tenaga dalam dahsyat yang berhawa dingin dan
panas, apabila menuruti saran-saran yang tertera.
(Eyang Mandura)
"Eyang Mandura...."
Arya mendesis setengah tak percaya. Jadi, ini tempat pusaka leluhur Adipati
Subali. Sungguh gila!
Mengapa jadi dirinya yang menemukan tempatnya"
Yang lebih gila lagi, Eyang Mandura malah mewaris-kan pusaka itu padanya.
Bukankah dalam papan itu tidak disebut-sebut tentang keturunannya" Dia hanya
mengatakan kalau orang yang telah berhasil menemukan tempat itu akan menjadi
pemiliknya. Tapi, Arya bukan termasuk orang yang serakah terhadap ilmu dan pusaka-pusaka.
Apalagi, diketahuinya ada orang yang lebih berhak atas pusaka-pusaka itu.
Adipati Subali dan Rara Kunti! Tidak! Dia tidak akan mengambil hak orang lain!
Maka Arya menundukkan kepala iintuk memberi hormat.
"Maafkan aku, Eyang. Aku tidak bisa menerima ke-baikanmu. Aku telah mempunyai
guru. Pantang bagi-
ku menerima warisan ilmu orang lain, tanpa seizin guruku," ucap Arya, pelan.
Mendadak Arya mengernyitkan dahi ketika tertumbuk pada guratan-guratan halus di
tanah. Secara kebetulan saja, guratan itu tertangkap matanya. Dan itu terjadi
karena dia bermaksud memberi hormat pada Eyang mandura.
Sekali lihat saja, Dewa Arak tahu kalau guratan-guratan itu adalah tulisan.
Hanya yang membuatnya heran bercampur curiga, mengapa ditulis di tempat yang
begitu tersembunyi" Kecil-kecil lagi! Seakan-akan memang sengaja ditulis agar
tidak diketahui orang!
Perasaan penasaran pun bersemayam di hati Dewa Arak. Dan perasaan itulah yang
menyebabkannya membungkukkan tubuh untuk melihat lebih jelas lagi. Kemudian
dibacanya tulisan yang tertera di dalam hati.
Cucuku.... Apabila kau maju setindak saja melewati guratan tulisan, kau akan mati
keracunan. Karena di sekitar tempat ini telah kutaburkan racun yang mematikan.
Di samping itu, ada jebakan-jebakan maut lainnya.
Kalau kau ingin selamat, gunakan ilmu 'Enam Jurus Tingkah Raja'. Tapi hanya
gerakan-gerakan langkah kakinya saja yang perlu dipergunakan.
Eyang Mandura Arya mengangguk-anggukkan kepala, menyiratkan kemengertiannya. Perasaan kagum di
hatinya terhadap Eyang Mandura semakin membesar. Sama sekali tidak diduga kalau
kakek Adipati Subali itu ternyata memiliki kecerdikan yang mengagumkan!
Semua jalan untuk mendapatkan pusaka-pusaka peninggalannya hanya ditujukan untuk
keturunannya. Karena bila orang ingin selamat dalam mengambil pusaka, harus menggunakan ilmu
milik Eyang Mandura turun-temurun. Jadi yang tidak mempunyai ilmu itu, mustal
akan berhasil. Bahkan di bagian terakhir, Eyang Mandura
mengadakan penyaringan juga. Sekalipun, orang itu keturunannya. Dan andaikata
orang itu lupa daratan begitu melihat pusaka sehingga tidak memberi peng-
hormatan terlebih dulu, jelas tidak akan pemah berhasil mendapatkan pusaka.
Bahkan ajallah yang akan menjemput.
Arya menghela napas berat, kemudian melangkah kembali ke tempat semula. Tempat
dia tadi keluar dinding batu. Kemudian pandangannya beredar berkeliling. Tampak
sebuah gua di depannya, dan nampak terlihat terang. Maka bergegas langkahnya
diayunkan menuju kesana.
Arya terkejut ketika melihat gua itu, seperti terang benderang. Sekitar satu
tombak di depannya, berkas-berkas cahaya tampak menyinari dari atasnya. Sesaat
kemudian, Dewa Arak tahu kalau bagian gua yang berbentuk bundar ini mirip sebuah
sumur. Jadi kalau digambarkan, seperti sebuah sumur yang berhubungan dengan
sebuah gua tempat Arya berdiri.
Gua ini ternyata tidak beda dengan sebuah sumur, namun tidak terlalu dalam sinar
terang yang menyinari dasarnya, memang karena sinar matahari dari langit yang
cerah. Rupanya, hari telah siang.
*** "Hih!"
Arya menjejakkan kaki. Sesaat kemudian, tubuh pemuda berambut putih keperakan
itu melayang ke atas. Dan....
"Hup!"
Ringan laksana daun kering, tubuh Dewa Arak telah mendarat di tanah, tidak jauh
dari letak sumur.
Suara bergemerisik nyaring terdengar ketika kaki pemuda berambut putih keperakan
hinggap di tumpu-kan daun dan rerumputan mengering.
"Hey!"
Terdengar seruan kaget, disusul dengan berpaling-nya tiga sosok tubuh yang
tengah membersihkan tangan dan wajah, di sebuah sungai yang terletak bawah
sebatang pohon besar.
Kontan wajah tiga orang yang tengah membersihkan diri di sungai jernih itu,
berubah ketika melihat Dewa Arak. Hal yang sama juga melanda pemuda berambut
putih keperakan itu. Menilik dari sikap kedua belah pihak yang langsung waspada,
bisa diketahui kalau masing-masing telah saling mengenal.
Tentu saja Arya mengenali ketiga orang itu, karena belum lama ini telah
berjumpa. Bahkan telah bertarung dengan salah satu di antara mereka.
"Kita berjumpa lagi, Dewa Arak," kata salah seorang pemuda yang berwajah pucat
dan berpakaian merah menyala. Pada bagian dadanya tertera gambar sebuah peti
mati berwarna hitam. Dialah Jaranta.
"Sungguh suatu hal yang sangat kebetulan," sambung seorang lagi yang berkepala
botak. Namanya, Taliwang. Tubuhnya pendek gemuk, dan hanya mengenakan celana
pendek putih. "Kita tuntaskan urusan yang belum selesai," lanjut wanita berpakaian serba putih
dan bertopeng teng-
korak, yang tidak lain dari Ratna Ningsih.
Dewa Arak sama sekali tidak menanggapi ucapan ketiga orang keturunan datuk-datuk
sesat di empat penjuru angin itu. Disadari, tidak ada gunanya hal itu dilakukan.
"Terimalah kematianmu, Dewa Arak!"
Usai berkata demikian, Jaranta menyerang Dewa Arak. Tak tanggung-tanggung,
sekali menyerang langsung menggunakan ilmu andalannya, 'Tangan Delapan Penjuru
Angin'. Hasilnya, sebelum secangan itu tiba, muncul kekuatan tak nampak yang
menekan Dewa Arak dari berbagai arah. Semakin serangan Jaranta mendekat,
kekuatan tekanan itu semakin membesar pula. Kontan Dewa Arak merasakan sesak
pada dadanya. Dewa Arak tidak berani bertindak setengah-setengah lagi. Segera tenaga dalamnya
dikerahkan untuk melawan pengaruh kekuatan tak nampak yang menekannya. Dan
ketika pengaruh tekanan itu lenyap, kakinya cepat melangkah mundur. Sehingga,
serangan-serangan Jaranta hanya mengenai tempat kosong, beberapa jengkal di
depan sasaran yang dicari.
Jaranta, Taliwang, dan Ratna Ningsih seketika mengernyitkan kening. Mereka
merasa heran bukan kepalang melihat tindakan yang diambil Dewa Arak!
Mengapa pemuda berambut putih keperakan itu tidak menangkis, tapi malah
mengelak" Bukankah dengan tenaga dalamnya yang jauh lebih kuat, dia bisa menekan
Jaranta" Tapi mengapa malah mengelak"
Tidak seperti pertemuan di waktu lalu!
Ketiga pemuda sesat itu sama sekali tidak tahu kalau Dewa Arak baru saja
berhasil memulihkan tenaga dalamnya akibat luka dalam yang baru-baru ini
diderita. Memang, luka dalamnya telah sembuh. Tapi, tenaga yang dimilikinya
belum pulih seluruhnya.
Paling tidak masih membutuhkan beberapa kali semadi untuk mengembalikan
kekuatannya seperti semula.
Meskipun heran, Jaranta tidak mengambil pusing.
Sebagai seorang pemuda cerdik, maka bisa diduga ada sesuatu yang terjadi pada
Dewa Arak. Kalau tidak terjadi apa-apa, tak akan mungkin pemuda berambut putih
keperakan itu bertindak demikian. Pasti ada penyebabnya.
Yakin pada dugaannya, Jaranta semakin bersemangat melancarkan serangan-serangan.
Ilmu 'Tangan Delapan Penjuru Angin' dikerahkan sampai di puncaknya. Dewa Arak
dicecarnya dengan serangan-serangan beruntun yang mematikan.
Celakalah bagi Dewa Arak! Keadaan pemuda berambut putih keperakan ini bagai
telur di ujung tanduk. Tenaga dalamnya belum pulih semua.
Senjata andalannya yang berupa guci arak pun tidak berada di tangannya. Maka,
leluasalah Jaranta melancarkan desakan.
Taliwang dan Ratna Ningsih yang semula akan membantu, jadi mengurungkan niatnya
melihat rekan mereka berhasil mendesak Dewa Arak. Tampak jelas pemuda berambut
putih keperakan itu terpontang-panting kesana kemari untuk menyelamatkan diri.
Kedua orang ini pun saling berpandangan dengan perasaan heran. Benarkah orang
ini adalah Dewa Arak yang beberapa waktu lalu mereka temui" Kalau benar
demikian, mengapa kepandaiannya begitu cepat menurun" Serangan-serangannya pun
tidak terlalu hebat.
Memang, hanya di jurus-jurus awal saja Dewa Arak
berhasil mengimbangi lawannya. Begitu menginjak jurus kedua puluh, dia sudah
terdesak. Hal ini membuat Jaranta semakin bernafsu untuk dapat merobohkan
lawannya secepat mungkin.
Merupakan hal yang tidak aneh kalau Dewa Arak sampai terdesak. Kali ini dia
kalah segala-galanya dibanding Jaranta. Kalah tenaga, kegesitan, dan mutu ilmu
silat. Dan tanpa adanya guci, Dewa Arak sama sekali tidak bisa menggunakan ilmu
'Belalang Sakti', yang hanya bisa muncul apabila dalam keadaan mabuk! Di samping
itu juga, membutuhkan arak untuk diminum dalam pertarungan.
Tanpa arak, menggunakan ilmu 'Belalang Sakti'
untuk menghadapi lawan samasaja mencari celaka.
Apalagi di saat keadaan seperti ini. Mempergunakan ilmu andalan itu sama saja
mencari mati! Dan hal itu memang sudah dibuktikan Dewa Arak dalam pertarungan-
pertarungannya terdahulu.
Maka Dewa Arak hanya menggunakan ilmu
'Delapan Cara Menaklukkan Harimau' dan ilmu 'Sepasang Tangan Penakluk Naga'.
Padahal, ilmu 'Tangan Delapan Penjuru Angin' milik Jaranta mempunyai mutu di
atas kedua ilmu yang dipergunakan Dewa Arak.
Di jurus kelima puluh satu, Dewa Arak tidak mampu lagi bertahan. Tekanan
kekuatan tak nampak yang berasal dari berbagai penjuru dan membuat dadanya sesak
itulah, yang menjadikan Dewa Arak tidak berdaya. Tubuhnya kini tampak terhuyung-
huyung. Dan sebelum sempat berbuat sesuatu, kedua tangan Jaranta telah meluncur
ke arah dadanya.
Bukkk! "Huakh...!"
Cairan merah kental terlontar dari mulut Arya
seiring tubuhnya yang melayang, begitu serangan Jaranta menghantam sasaran
dengan telak. Untungnya, pemuda berwajah pucat itu tidak mengerahkan seluruh
tenaga dalamnya. Kalau tidak, mungkin Dewa Arak sudah tewas. Memang Jaranta
mempunyai rencana atas diri Dewa Arak. Byurrr!
Tubuh Dewa Arak tercebur di permukaan air dan langsung tenggelam ke dasar. Dewa
Arak yang sudah terluka tidak bisa berbuat apa-apa lagi, sehingga banyak menelan
air sungai. Tak aneh kalau beberapa saat kemudian, gelap melingkupi pandangan
pemuda berambut putih keperakan itu. Tapi sebelum tidak sadarkan diri, matanya
masih sempat melihat kalau di dekat pohon ada air mengalir keluar. Mata air!
Jadi, inilah tempat yang dimaksud Eyang Mandura.
Sekejap kemudian, Dewa Arak sudah tidak ingat apa-apa lagi.
*** Dewa Arak membuka matanya ketika merasakan perih menyengat sekujur punggungnya.
Dia membutuhkan waktu beberapa saat untuk mengetahui kalau dirinya tengah
diseret-seret melalui jalan berbatu.
Tampak oleh Dewa Arak, Jaranta tengah menyeret tubuhnya. Kedua kakinya diikat
dan disatukan. Demikian pula tangannya, yang diikat pada bagian pergelangan. Sedangkan ujung
tali lainnya dipegang Jaranta. Dengan keadaan telentang, tubuh Dewa Arak ditarik
oleh pemuda berwajah pucat itu. Tak pelak lagi, tubuh tak berdaya itu terseret-
seret. Srettt! "Akh...!"
Sebuah pekikan tertahan keluar dari mulut Dewa Arak ketika sebuah gundukan batu
kerikil tajam, menggurat punggungnya. Seketika itu pula pakaian di bagian
punggungnya koyak-koyak. Bahkan darah yang keluar dari bagian punggung semakin
banyak. Dewa Arak hanya bisa menggigit bibir, dan tidak mampu berbuat apa pun. Jangankan
mengerahkan tenaga dalam untuk membuat kulit tubuhnya kebal, menggerakkan ujung
jari kelingkingnya saja tidak mampu! Rupanya, Jaranta telah menotok lumpuh
tubuhnya. Maka, leluasalah Jaranta menyiksa Dewa Arak.
Sambil tertawa-tawa, diseretnya tubuh Arya melewati jalan-jalan yang berbatu
runcing. Darah pun memba-sahi sepanjang jalan yang dilalui pemuda berwajah pucat
itu. Bisa dibayangkan penderitaan yang dialami Dewa Arak. Pakaian di bagian
punggungnya sampai habis tergesek, berbarengan dengan kulitnya. Darah merembes
keluar ketika kulit pemuda berambut putih keperakan itu mulai direncah-rencah
batu-batu runcing. Sakitnya sukar dilukiskan. Bahkan Dewa Arak yang terkenal
paling kuat menahan rasa sakit.
Sepertinya sudah tak sanggup bertahan lagi. Suara kesakitan dan desah kenyerian,
bercampur baur dengan suara tawa Jaranta dan kedua orang sekutu-nya. Jaranta
baru menghentikan siksaannya ketika Dewa Arak tidak kuat lagi menahan rasa
sakit, dan akhirnya jatuh pingsan. "Hmh...!"
Jaranta mendengus kesal ketika melihat korban-nya pingsan. Dicampakkannya tubuh
pemuda berambut putih keperakan itu di tanah. Kemudian, dia bergerak meninggalkan
tempat itu. Tapi tak lama, Jaranta sudah kembali sambil membawa sebuah
guci. "He he he...!"
Dewa Arak 38 Neraka Untuk Sang Pendekar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Taliwang dan Rama Ningsih tertawa terkekeh, karena tahu apa isi guci itu. Air
cuka! "Tunggu sebentar, Jaranta! Terlalu enak baginya kalau kau melakukannya pada saat
dia tak sadar diri.
Lebih baik kusadarkan dulu, dan kuberi beberapa tambahan pekenaan yang membuat
calon korban kita menggeliat-geliat karena perasaan nikmat!"
Sambil berkata demikian, Taliwang menghampiri tubuh Arya yang tergolek. Di
tangan pemuda berkepala botak ini terjinjing sebuah ember kayu berisi air. Lalu,
disiramkannya air itu pada Dewa Arak.
Byurrr! Air sungai itu tepat mengguyur wajah Arya. Kontan pemuda berambut putih
keperakan itu gelagapan, dan langsung tersadar dari pingsannya. Sesaat sepasang
mata itu kebingungan, tapi langsung sadar akan kejadian yang tengah dialami
ketika melihat raut-raut wajah yang tengah memperhatikannya dengan sinar mata
bengis! Wajah Ratna Ningsih, Jaranta, dan Taliwang.
"Nah! Sekarang, baru kuberikan latihan tambahan padanya!" desis Taliwang dengan
sinar mata menyiratkan kekejaman.
Tangan pemuda berkepala botak ini pun bergerak ke arah pinggang. Ternyata,
pinggangnya terbelit cambuk berwarna coklat dan berbulu kasar. Hanya dengan
sekali sentak saja, Taliwang telah membuat cambuk itu lolos dari pinggangnya.
"Hih!"
Ctarrr, ctarrr, ctarrr...!
Arya hanya mampu menggigit bibir. Dia berusaha untuk tidak berteriak, ketika
cambuk itu melecuti
sekujur dadanya yang memang dalam keadaan telentang.
Dari tersentaknya tubuh Dewa Arak setiap kali cambuk melecut tubuhnya, bisa
diketahui kalau rasa sakit benar-benar melanda tubuhnya. Garis-garis kehitaman
memanjang pun menghias sekujur tubuh Dewa Arak seiring terkoyak-koyak pakaian
yang dikenakan.
Bukan hanya di perut dan di dada, tapi juga di wajah. Untungnya, seperti juga
Jaranta, Taliwang mencambuk hanya mengerahkan tenaga kasar saja.
Kalau disertai pengerahan tenaga dalam, Dewa Arak yang sudah tidak berdaya itu
pasti akan tewas!
Taliwang menghentikan tindakannya ketika
seluruh tubuh Arya telah dipenuhi garis-garis meng-hitam bekas cambukan.
"Hanya seperti itu saja hasil pekerjaanmu, Taliwang," cibir Jaranta, bernada
mencomooh. "Hanya sebuah perbuatan yang membuang-buang tenaga percuma!"
"Tutup dulu bacotmu, Jaranta! Lihat apa yang terjadi"!"
Ternyata bukan hanya Jaranta saja yang mengalihkan pandangan ke arah Arya. Ratna
Ningsih pun demikian pula. Rupanya wanita bertopeng tengkorak ini ingin tahu
juga peristiwa yang dialami Dewa Arak.
Bagaikan menyaksikan sebuah tontonan yang menarik, Ratna Ningsih, Taliwang, dan
Jaranta menatap ke arah Dewa Arak. Ternyata, pemuda berambut putih keperakan itu
tengah mendesis-desis. Sepasang bola matanya berputaran liar. Jelas, ada sesuatu
yang amat dahsyat tengah dirasakan pemuda berambut putih keperakan itu.
Dan memang demikian kenyataannya. Ada rasa
gatal yang tidak tertahankan menjalar dari bilur-bilur bekas cambukan. Kalau
bisa, tentu Arya akan meng-garuknya, sekalipun kulitnya sampai terkelupas. Tapi
karena hal itu tidak bisa dilakukan, bisa dibayangkan rasa tersiksa yang
melandanya. Meskipun demikian, Arya berusaha bertahan sekuat tenaga. Dia tidak ingin
mengeluarkan keluhan sedikit pun dari mulutnya. Tapi karena tubuhnya tidak bisa
bergerak, tidak ada pelampiasan lain yang harus dikeluarkannya. Dan akhirnya,
Dewa Arak tidak tahan.
Maka desisan-desisan kesakitan pun meluruk dari mulutnya.
"Ha ha ha...!"
Jaranta, Ratna Ningsih, dan Taliwang malah ter-bahak-bahak melihat adegan yang
terpampang di hadapan mereka. Seakan-akan yang mereka saksi-kan adalah sebuah
pertunjukkan lucu yang meng-gelitik hati.
"Kurasa, sekaranglah saat yang paling tepat untuk menyiramkan ini!" ujar Jaranta
sambil menuangkan isi gucinya ke tubuh Arya. Dan...
Cuuur...! "Aaakh...!"
Arya memekik tertahan ketika air cuka itu mengguyur sekujur tubuhnya yang telah
dipenuhi luka. Rasanya, sukar dilukiskan lagi. Rasa gatal, panas, dan nyeri yang tidak
tertahankan bercampur aduk menjadi satu. Kalau saja Dewa Arak mampu
bergerak, tentu sudah bergulingan ke sana kemari seperti ayam disembelih. Tapi
karena tidak mampu melakukannya, dia hanya memekik tertahan. Rupanya, kekerasan
hati saja tidak cukup untuk bertahan terhadap siksaan.
Beberapa saat lamanya pendekar muda yang telah
menggemparkan itu hanya mendesis-desis karena siksaan ketiga orang lawannya,
sebelum akhirnya tidak sadarkan diri. Pingsan.
*** 8 Hari sudah agak siang. Sang Mentari tampak menyorot cukup garang ke bumi.
Sinarnya yang cukup panas itu menyengat tubuh Arya yang tergantung di atas
cabang pohon dengan kepala di bawah dan kaki di atas. Pergelangan kaki kanannya
diikat dengan seutas tali yang kuat ke cabang pohon itu.
Sudah sejak matahari terbit Dewa Arak tergantung seperti itu. Kepalanya telah
terasa panas bukan kepalang. Terutama sekali, matanya. Hal ini disebabkan, semua
darah mengalir ke kepala. Kalau dibiarkan terus, Arya akan tewas dengan
pembuluh-pembuluh darah di bagian kepala pecah!
Luar biasa perubahan yang dialami Dewa Arak Tidak sampai sehari di tangan
Jaranta, Ratna Ningsih dan Taliwang, dia sudah berubah demikian jauh.
Sekujur tubuhnya mulai dari wajah sampai kaki, penuh luka-luka. Bahkan rambutnya
yang semula berwarna putih keperakan, dan meriap-riap, kini tampak kotor, kumuh,
dan rusak di sana-sini. Dewa Arak benar-benar mengalami perubahan yang amat
cepat. Untung saja Dewa Arak yang mengalami siksaan seperti itu. Kalau saja orang lain,
mungkin sudah tewas. Memang, meskipun saat itu kemampuan Arya yang sesungguhnya
tidak keluar, tapi tetap saja tubuhnya yang sudah terlatih mempunyai kekuatan di
atas orang lain.
Tapi kalau disiksa seperti itu, rasanya Arya tidak akan bertahan lama. Kepalanya
sudah terasa panas demikian pula sepasang matanya. Rasanya tidak
akan lama lagi, pendekar muda yang menggemparkan itu akan tamat riwayatnya.
"Hi hi hi...! Bagaimana siksaanku, Dewa Arak"'
Tegur sebuah suara kecil dan melengking nyaring.
Sepertinya suara seorang wanita. Siapa lagi kalau bukan Ratna Ningsih"
Arya sama sekali tidak berminat menyambuti, dan hanya diam saja. Lagi pula andai
kata berminat pun belum tentu mampu menyambuti ucapan Ratna Nigsih. Yang dapat
dilakukannya hanya menatap tiga orang lawannya dengan sepasang mata yang telah
berwarna merah membara.
Terlihat olehnya, meskipun dalam keadaan ter-balik, Rama Ningsih, berdiri paling
depan. Sementara Taliwang dan Jaranta berdiri di belakangnya. Wajah wajah mereka
tampak menyiratkan kegembiraan.
"Ah!" Terdengar jeritan kaget dari mulut Ratna Ningsih. "Kau tidak boleh mati
dulu, Dewa Arak! Aku mempunyai permainan yang menyenangkan untuk-mu!"
Setelah berkata demikian, Ratna Ningsih
menudingkan dua buah jarinya ke arah tambang.
Cittt, tasss! Brukkk!
Tubuh Arya jatuh berdebuk keras di tanah, ketika tali pengikat kakinya putus
tersambar angin pukulan Ratna Ningsih. Luar biasa ilmu yang dimiliki wanita
bertopeng tengkorak ini. Angin pukulannya tak kalah tajam dengan babatan pedang
atau pisau yang ber-mata paling tajam!
Dewa Arak menyeringai kesakitan. Memang bukan kepalanya yang jatuh lebih dahulu
melainkan bahu kanannya, tapi, tetap saja terasa sakit bukan kepalang. Dan dia
tidak mengeluh sedikit pun.
Mendadak, tubuh Dewa Arak terangkat naik.
Ketika matanya melirik, ternyata Ratna Ningsih yang telah mengangkatnya. Lalu
bagaikan menjinjing se-helai kain basah, wanita bertopeng tengkorak itu
membawanya pergi. Sedangkan Taliwang dan Jaranta melangkah di belakangnya.
"Aku ingin tahu, permainan apa yang akan kau suguhkan, Ratna Ningsih!" Kata
Jaranta bernada mengejek.
Tawa bergelak bernada mendukung Jaranta diper-dengarkan Taliwang. Tapi semua itu
hanya disambut dengusan Ratna Ningsih. Jelas, murid Ratu Tengkorak Putih ini
tidak terpengaruh ejekan rekan-rekannya, dan terus saja berjalan.
Tak lama kemudian, terdengar decak kekaguman dari mulut Jaranta dan Taliwang.
"Luar biasa! Sama sekali tidak kusangka, kalau kau mempunyai pemikiran yang
demikian cemerlang, Ratna Ningsih! Permainanmu akan menjadi tontonan yang paling
menarik," puji Jaranta.
"Benar, Ratna Ningsih. Kau benar-benar luar biasa!
Aku sama sekali tidak terpikir sampai kemari. Kau memang pintar mencari
permainan!" Taliwang ikut memuji.
"Hi hi hi...!" Ratna Ningsih hanya tertawa mengikik saja mendengar pujian kedua
orang rekannya.
*** Arya memandang ke depan. Seketika, sepasang matanya terbelalak lebar. Betapa
tidak" Sekitar lima tombak di depannya nampak empat ekor kuda yang masing-masing
menghadap arah mata angin. Binatang-binatang itu berdiri seperti patung, tidak
bergerak-gerak sama sekali. Jelas, kuda-kuda itu
telah ditotok oleh tokoh yang mengerti jalan-jalan darah binatang itu.
Yang membuat Arya terkejut adalah ketika melihat di leher masing-masing binatang
itu, tampak di situ terlilit tali panjang yang terhampar ke belakang. Bisa
diperkirakan hal yang akan dilakukan Ratna Ningsih dengan kuda-kuda itu.
Tapi, Dewa Arak tidak bisa berpikir lebih lama lagi, karena Ratna Ningsih telah
membawanya ke arah tempat kuda-kuda itu berada. Tubuh pemuda berambut putih
keperakan itu diturunkannya.
Kemudian, masing-masing tali yang terhampar di tanah, diikatkan pada pergelangan
kedua tangan dan kaki Arya.
"Mhh...!"
Arya mengeluh dalam hati. Disadari akan bahaya yang tengah mengancamnya. Apabila
dikejutkan, maka seketika itu pula kuda-kuda ini akan berlari cepat ke arah
masing-masing menghadap. Dan karena masing-masing kuda menghadap satu mata
angin, maka tubuh Arya dapat dipastikan akan tercerai-berai ke tempat-tempat
yang terpisah. "Hi hi hi...!"
Ranta Ningsih tertawa terkikih ketika telah selesai mengikatkan tali-tali itu
pada pergelangan tangan dan kaki Arya. Lalu, tangannya bergerak menepuk punggung
Arya. Maka totokan pada tubuh pemuda berambut putih keperakan itu pun punah.
Kini, Arya berdiri limbung di tengah-tengah empat ekor kuda yang akan menamatkan
riwayatnya secara mengerikan.
Hanya sekali lesatan, Ratna Ningsih telah berada di sebelah Jaranta Dan Taliwang
yang sejak tadi terkekeh-kekeh penuh kegembiraan. Sudah terbayang di
benak kedua orang itu tubuh Dewa Arak yang akan tercerai-berai.
"Mari kita mulai...!"
Seiring ucapannya, Ratna Ningsih mengayunkan tangannya. Maka meluncurlah dua
buah benda kecoklatan sebesar ibu jari kaki ke arah dua dari empat ekor kuda
yang berdiri mematung.
Pada saat yang bersamaan, Taliwang dan Jaranta pun mengayunkan tangan pula.
Maka, benda-benda coklat sebesar ibu jari yang tak lain adalah kerikil itu
meluncur menuju dua ekor kuda lainnya.
Sing, sing, sing...!
Sementara itu pemuda berambut putih keperakan ini menyadari akan adanya bahaya
yang tengah mengancam. Disadari pula kalau saat ini dia tidak bisa menyelamatkan
selembar nyawanya. Maka pada saat yang bersamaan dengan ketiga orang lawannya
me-nyambitkan kerikil untuk membebaskan totokan pada keempat ekor kuda, Dewa
Arak cepat me-musatkan pikiran pada belalang raksasa. Hati dan pikirannya
disatukan untuk memanggil binatang yang terdapat di alam gaib itu.
Seketika itu pula, tubuh Arya bergetar ketika belalang Raksasa masuk ke dalam
dirinya. Dan masuknya binatang dari alam gaib itu, berbarengan waktunya dengan
tibanya kerikil-kerikil yang diluncurkan Ratna Ningsih dan rekan-rekannya pada
tubuh empat ekor kuda.
Tuk, tuk, tukkk...!
Begitu kerikil-kerikil itu mengenai sasaran, totokan yang membelenggu kuda-kuda
itu langsung punah.
Bagai diberi perintah, maka binatang-binatang itu segera berlari ke arah
menghadapnya. Tapi baru beberapa langkah kuda-kuda itu berlari,
terdengar suara geraman keras yang mengejutkan.
"Grrrhhh...!"
Suara geraman keras yang membuat suasana di sekitar tempat itu bergetar ternyata
berasal dari mulut Arya! Dan secepat geraman itu keluar, secepat itu pula tangan
dan kaki Dewa Arak bergerak aneh!
Luar biasa! Tali-tali yang membelenggu pergelangan tangan dan kakinya langsung
terputus. Hasilnya, kuda-kuda itu berlari cepat meninggalkan tempat itu tanpa
membuat tubuh Dewa Arak cerai berai.
Pemandangan yang tidak disangka-sangka itu tentu saja terlihat jelas oleh Ratna
Ningsih, Taliwang dan Jaranta. Sepasang mata mereka kontan terbelalak.
Tapi bukan karena kejadian yang tidak disangka-sangka itu, karena melihat adanya
bayangan seekor binatang berwarna coklat dan bersayap di belakang tubuh Dewa
Arak. Bentuknya besar bukan kepalang, tapi hanya tampak seperti bayangan. Samar
namun jelas. Mereka tidak tahu, binatang apa itu.
Dan sebelum Jaranta, Ratna Ningsih, dan Taliwang sadar dari keterkejutan yang
mendera, Dewa Arak telah melesat ke arah mereka disertai suara geraman
mengerikan. Bahkan geraman seperti itu rasanya tidak layak keluar dari mulut
manusia. Jaranta, Ratna Ningsih dan Taliwang, kontan terkejut ketika melihat gerakan Dewa
Arak. Saat itu, Dewa Arak seperti bukan manusia, melainkan seekor burung.
Gerakannya ketika meluruk, tak ubahnya seekor burung garuda menyambar mangsa.
Hati Jaranta, Taliwang, dan Ratna Ningsih kontan tercekat melihat hal ini.
Sekerika mereka saling men-dahului untuk menyelamatkan diri. Ratna Ningsih ke
kiri, Taliwang ke kanan, dan Jaranta yang berada di tengah-tengah segera
melompat ke belakang.
Menakjubkan! Masih dengan keadaan tubuh berada di udara, Dewa Arak menghentakkan
tangannya ke arah Jaranta. Tidak hanya sekali saja tangan itu dihentakkan dalam
penggunaan jurus 'Pukulan belalang', tapi berkali-kali. Seketika deru angin ke
berhawa panas menyengat, meluncur bertubi-tubi arah Jaranta.
Jaranta kelabakan bukan main. Seluruh ilmu meringankan tubuh yang dimilikinya
dikerahkan untuk mengelakkan diri dari incaran serangan pukulan jarak jauh Dewa
Arak. Beberapa kali dia memang berhasil mengelakkan. Dan pukulan jarak jauh itu
hanya me-ngenai tanah, sehingga menimbulkan lubang yang mengepulkan asap tipis.
Tapi pada hentakan tangan Dewa Arak yang ketiga, keturunan Iblis Makhluk Hidup
ini tidak bisa menghindari lagi.
Telak dan sekali jurus 'Pukulan Belalang' menghantam dada Jaranta.
Tanpa dapat dicegah lagi, tubuh Jaranta langsung melayang jauh ke belakang
diiringi pekik kesakitan.
Darah segar langsung memancur deras dari mulut.
Tubuh Jaranta jatuh berdebuk keras di tanah setelah melayang-layang sejauh
beberapa tombak. Jaranta seketika tidak bergerak lagi untuk selamanya. Tewas
dengan seluruh tubuh gosong. Samar-samar tercium bau hangus daging yang
terbakar. *** Ratna Ningsih dan Taliwang terperanjat melihat hal ini. Mereka sama sekali tidak
sempat bertindak apa-apa untuk membantu Jaranta. Memang, kejadian itu
berlangsung cepat bukan kepalang, Mereka juga baru saja bangkit dari
mengelaknya, ketika tubuh Jaranta
terhantam jurus 'Pukulan Belalang'.
Tapi hanya sebentar saja Ratna Ningsih dan Taliwang dilanda perasaan itu, karena
sebentar kemudian telah mampu menguasai diri. Dan mereka langsung mencabut
senjata masing-masing, siap menyerang Dewa Arak.
Wuk, wuk, wuk! '
Suara mengaung keras terdengar ketika Ratna Ningsih memutar tongkat berujung
kepala tengkorak-nya di depan dada. Hebat! Kontan bentuk senjata itu lenyap, dan
kini menjadi segulungan sinar berwarna kecoklatan.
Ctar! Taliwang tidak mau kalah. Cambuknya segera di-cabut dan dilecutkan. Sehingga,
memperdengarkan suara menggelegar keras laksana halilintar. Samar-samar terlihat
kepulan asap tipis keluar ketika cambuk itu dilecutkan.
"Haaat...!"
Dewa Arak 38 Neraka Untuk Sang Pendekar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Hampir berbareng, Taliwang dan Ratna Ningsih mengeluarkan teriakan keras
menggeledek. Tubuh mereka melesat menuju Dewa Arak. Senjata-senjata yang
tergenggam di tangan, siap diarahkan ke tubuh lawan.
Wukkk! Setelah sebelumnya memutar-mutarkan tongkatnya laksana baling-baling di atas
kepala, Ratna Ningsih menyodokan senjata itu ke arah dada Dewa Arak.
Pada saat yang bersamaan, dari arah samping kanan Taliwang meluncurkan cambuknya
ke arah ubun-ubun. Hebat! Cambuk itu bergerak mematuk-matuk seperti gerakan
seekor ular. Serangan-serangan yang dilancarkan kedua tokoh sesat ini memang serangan maut.
Apabila salah satu
ada yang mengenai sasaran, cukup untuk mengirim nyawa tokoh berkepandaian
tanggung ke akhirat.
Dewa Arak tentu saja tahu hal itu. Meskipun telah kemasukan belalang raksasa,
pikirannya berjalan seperti biasa. Hanya saja, gerakan-gerakan yang dilakukannya
lebih liar dan ganas. Gerakannya mirip tingkah laku binatang. Dan dengan
perantaraan belalang raksasa, Dewa Arak tidak mengalami kesulitan sedikit pun
dalam menggunakan ilmu 'Belalang Sakti'!
Kegunaan arak dan gucinya, telah digantkan belalang alam gaib itu.
Kini, Dewa Arak bersiap-siap menghadapi
serangan-serangan yang datang dari Ratna Ningsih dan Taliwang. Luar biasa!
Serangan-serangan yang meluncur ke arahnya, dihadapi. dengan cara menakjubkan.
Tangan kanan ditetakkan ke bawah, sedangkan tangan kiri diangkat ke atas kepala
untuk melindungi ubun-ubun.
Takkk, tappp, tappp...!
Gila! Dalam waktu demikian singkat, senjata-senjata milik Ratna Ningsih dan
Taliwang telah tertang-kap! Hanya bedanya tongkat Ratna Ningsih lebih dulu
ditangkis, dan baru ditangkap!
Karuan saja Ratna Ningsih dan Taliwang kaget bukan kepalang melihat senjata
andalan masing-masing tercengkeram tangan lawan. Buru-buru mereka mengerahkan
tenaga untuk menarik pulang senjata itu. Tapi sampai terdengar suara keluhan
berat dari mulut mereka, tetap saja senjata-senjata itu tidak bergeming dari
cengkeraman tangan Dewa Arak.
Mendadak Dewa Arak melepaskan cekalannya.
Tak pelak lagi, tubuh kedua orang itu terjengkang ke belakang, terbawa tenaga
tarikan sendiri.
Namun dengan sebuah jejakan kaki pada tanah, Ratna Ningsih dan Taliwang telah
berhasil memperbaiki keadaannya. Dan saat itulah Dewa Arak meluruk ke arahnya.
Ratna Ningsih dan Taliwang bergegas menyambutnya. Maka, pertarungan sengit pun
berlangsung. Baik Ratna Ningsih, Taliwang, maupun Dewa Arak sama-sama mengerahkan seluruh
kemampuan yang dimiliki. Masing-masing pihak berkeinginan merobohkan lawan
secepat mungkin. Suara mengaung, meledak-ledak, dan menderu dari setiap gerakan
tangan, kaki, atau senjata-senjata pihak yang bertarung, menyemaraki
pertarungan. Di awal jurus, pertarungan berlangsung imbang.
Masing-masing pihak saling melancarkan serangan.
Tapi begitu menginjak jurus kelima puluh, Ratna Ningsih dan Taliwang mulai
terdesak. Serangan-serangan mereka yang semula gencar, kian lama kian berkurang.
Sebaliknya, gerakan mengelak lebih sering dilakukan.
Memang, meskipun tanpa adanya guci dan arak, kelihaian Dewa Arak sama sekali
tidak berkurang.
Bahkan sepertinya malah bertambah. Keberadaan belalang raksasa di dalam tubuhnya
ternyata jauh lebih menguntungkan daripada hanya guci dan arak saja.
"Haaat..!"
Di jurus kerujuh puluh dua, Ratna Ningsih memba-batkan tongkatnya ke arah
pinggang Dewa Arak. Pada saat yang bersamaan, dari sebelah kanan Taliwang
melecutkan cambuknya ke arah pelipis. Dua buah serangan yang benar-benar
berbahaya. Tapi, Dewa Arak tidak gugup menghadapi
Kenyataan seperti ini. Kakinya segera dijejakkan,
sehingga tubuhnya melayang ke atas. Dan tangan kanannya langsung digerakkan
untuk menangkap cambuk Taliwang yang meluncur ke arahnya.
Wukkk! Bukkk! "Akh...!"
Begitu babatan tongkat Ratna Ningsih lewat bawah kakinya, kaki kanan Dewa Arak
langsung meluncur ke arah dada. Bidang lowong itu sama sekali tidak disadari
Ratna Ningsih. Akibatnya, tendangan Dewa Arak telak mengenai sasaran. Suara
bergeme-retak keras terdengar diiringi terpentalnya tubuh wanita bertopeng
tengkorak itu ke belakang disertai jerit memilukan dari mulutnya. Dapat
dipastikan, wanita itu langsung tewas sekerika.
Pada saat yang bersamaan dengan terpentalnya tubuh Ratna Ningsih, tangan kanan
Dewa Arak bergerak menangkap cambuk Taliwang yang tengah meluncur ke arah
pelipis. Tappp! Cambuk itu berhasil dicengkeram. Lalu, cepat-cepat Dewa Arak menyentakkannya.
"Ah...!"
Tubuh Taliwang seketika melayang ke atas, meluncur ke arah tubuh Dewa Arak yang
tengah berada di udara. Maka, Dewa Arak buru-buru melepaskan cekalan cambuknya.
Dan secepat cambuk itu terlepas, secepat itu pula tangan kanannya bergerak ke
arah ubun-ubun Taliwang.
Taliwang terperanjat bukan kepalang. Rentetan kejadian yang demikian cepat
sungguh membuatnya gugup. Meskipun demikian, dia berusaha sekuat tenaga
menyelamatkan selembar nyawanya. Sebisa-bisa tubuhnya digeliatkan. Tapi....
Crokkk! "Aaakh...!"
Taliwang menjerit memilukan ketika jari-jari tangan Dewa Arak mencucuk ubun-
ubunnya. Darah bercampur otak langsung muncrat-muncrat.
Brukkk! Tubuh Taliwang jatuh di tanah, dan diam tidak bergerak lagi untuk selama-
lamanya. Mati! "Hup!"
Begitu kedua kaki Dewa Arak hinggap di tanah, belalang raksasa itu pun keluar
dari dalam tubuhnya.
Anehnya, saat itu juga semua luka dalam yang diderita Arya sembuh sama sekali!
Luar biasa! "Hehhh..."!"
Arya terperanjat ketika mendengar jeritan di kejauhan. Apalagi, ketika
dikenalinya betul pemilik jeritan itu. Rara Kunti! Maka secepat kilat, pemuda
beram-but putih keperakan itu melesat cepat menuju ke arah asal suara. Dan
ternyata, suara itu berasal dari sumur yang tadi ditinggalkannya.
Begitu telah berada di pinggir sumur, tanpa ragu-ragu lagi Dewa Arak melompat
turun. Ringan laksana daun kering, kedua kakinya mendarat di tanah. Lalu, dia
melesat cepat ke arah tempat pusaka peninggalan Eyang Mandura.
Tapi beberapa tombak sebelum mencapai pintu gua ruangan pusaka peninggalan Eyang
Mandura, Dewa Arak terpaksa menghentikan langkahnya.
Memang, dari arah depannya tengah bergerak, dua sosok tubuh menghampirinya.
Mereka tak lain dari Adipati Subali dan Rara Kunti. Dan di tangan Adipati Subali
sudah terjinjing buntalan kain hitam.
Sementara tidak jauh dari situ, tergolek sosok mayat yang sepertinya jasad Iblis
Mayat Hidup. "Arya...!"
Hampir berbareng, Adipati Subali dan Rara Kunti berseru kaget ketika melihat
Dewa Arak. Apalagi ketika melihat keadaan pendekar muda yang menggemparkan itu.
Bagai berlomba, keduanya melesat cepat mendekati Dewa Arak.
"Apa yang terjadi terhadapmu, Arya?"
Begitu telah berada di dekat Arya, gadis berpakaian hitam ini langsung
mengajukan pertanyaan.
Sepasang matanya seperti juga sepasang mata ayahnya, beredar memperhatikan
sekujur tubuh Dewa Arak.
"Tidak apa-apa," jawab Arya.
Kemudian secara singkat tapi jelas, Dewa Arak menceritakan semua kejadiannya.
Rara Kunti dan Adipati Subali mendengarkan penuh perhatian. Tidak sekali pun ada
yang menyelak, hingga cerita yang di-tuturkan selesai. Tentu saja Arya tidak
menceritakan kalau telah berhasil lolos dari maut karena bantuan belalang
raksasa. "Hhh...!"
Rara Kunti dan Adipati Subali menghela napas berat mendengar cerita Dewa Arak.
"Sekarang, ganti kau dan putrimu yang harus ber-cerita, Kang. Mengapa Iblis
Mayat Hidup sampai tewas?" Tanya Arya sambil menudingkan jari telunjuknya ke
arah tubuh Iblis Mayat Hidup yang tergolek dengan tubuh hangus.
"Hhh..!" Adipati Subali menghembuskan napas berat terlebih dulu. "Setelah kau
jatuh ke dalam jurang, terpaksa kami melanjutkan perjalanan tanpa dirimu. Terus
terang, kami berkeyakinan kau telah tewas. Di tengah perjalanan, atau tepatnya di pinggir sebuah
sungai, kami bertemu Sagala yang tengah sekarat. Tapi sebelum tewas, dia sempat
men- ceritakan banyak hal pada kami."
Sampai di sini, Adipati Subali menghentikan cerita.
Dengan gerak isyarat diperintahkannya Rara Kunti melanjutkan ceritanya.
"Paman Sagala mengakui, bahwa dia dan adik seperguruannya yang menyamar sebagai
diriku, memang menjadi dalang kehancuran Kadipaten Blambang. Begitu pula
pembunuhan terhadap ibuku.
Namun pelaku yang telah membunuh anggota
rombongan ayah, telah dibinasakannya," tutur Rara Kunti.
"Sagala dan adik seperguruannya telah tewas di tangan Lutung Tangan Baja, karena
sebuah kesalahan. Itulah yang diceritakan Sagala sebelum tewas." urai Adipati Subali.
"Kami melanjutkan perjalanan, hingga menemukan tempat tinggal Eyang Mandura.
Kemudian, kami mengikuti petunjuk yang telah didapat hingga berhasil sampai di
sini. Tapi sayang, Iblis Mayat Hidup menguntit perjalanan kami, tanpa diketahui
mulai dari mana. Begitu melihat pusaka peninggalan Eyang Mandura, dia lalu
muncul dan langsung melesat ke arah buntalan itu," lanjut Rara Kunti.
Tapi sebelum maksudnya tercapai, tubuhnya kontan menggelepar-gelepar. Rupanya,
lantai gua di depan pusaka itu telah ditaburi racun ganas, yang mampu menembus
alas kaki. Dan akhirnya dia tewas dengan tubuh hangus. Malah Rara Kunti sampai
menjerit!" sambung Adipati Subali.
Arya mengangguk-anggukkan kepala. Kini dia mengerti, mengapa Rara Kunti tadi
menjerit. "Semula kami kebingungan. Tapi sewaktu memberi hormat pada tengkorak manusia
yang diyakini adalah leluhur kami, tampaklah tulisan-tulisan tertera
di atas lantai. Kami pun mengikuti petunjuknya. Dan inilah hasilnya," tutur
Adipati Subali sambil meng-acungkan buntalan kain itu.
"Selamat, Kang, Kunti. Mudah-mudahan harapan leluhur kalian terkabul," ujar
Arya. "Terima kasih, Arya," sahut Rara Kunti dan Adipati Subali berbareng.
Arya mengembangkan senyum lebar.
"O ya, Kang. Aku ingin memberi hadiah padamu atas segala jasa yang kau berikan
pada kami. Bukan begitu, Ayah?"
Adipati Subali tampak kebingungan. Tapi ketika melihat kerdipan pada mata
anaknya, buru-buru kepalanya terangguk.
"Benar... Benar sekali, Arya. Memang, kami akan menghadiahkan sesuatu padamu,"
kata laki-laki tinggi besar itu agak gagap.
"Tapi...," Arya mencoba membantah.
"Tidak ada penolakan, Arya. Lagi pula, aku yakin kau akan menerimanya. Inilah
hadiah dari kami!"
Sepasang mata Arya membelalak lebar ketika melihat benda yang tergenggam di
tangan Rara Kunti.
Benda itu adalah guci araknya. Maka buru-buru tangannya diulurkan untuk
menerimanya. "Terima kasih, Kunti, Kang," ucap Arya penuh kegembiraan.
"Aku menemukannya di dekat mulut jurang.
Rupanya, benda ini terjatuh sewaktu tubuhmu terpental," jelas Rara Kunti, senang
karena melihat kegembiraan Arya melihat pemberiannya.
Sementara Adipati Subali hanya bisa mengangguk-anggukkan kepala, bingung.
Memang, dia tidak tahu-menahu akan masalah ini.
Matahari mulai tergelincir dari titik tengahnya
ketika Dewa Arak, Adipati Subali, dan Rara Kunti keluar dari sumur yang menjadi
kunci masuk tempat pusaka peninggalan Eyang Mandura.
SELESAI Created ebook by
Scan & Convert to pdf (syauqy_arr)
Edit Teks (a-kriee)
Weblog, http://hana-oki.blogspot.com
Thread Kaskus: http://www.kaskus.us/showthread.php"t=B97228
Tapak Tapak Jejak Gajahmada 6 Pendekar Gila Karya Cao Re Bing Si Cakar Rajawali 1