Pencarian

Misteri Dewa Seribu Kepalan 1

Dewa Arak 39 Misteri Dewa Seribu Kepalan Bagian 1


MISTERI DEWA SERIBU KEPALAN oleh Aji Saka Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting: Puji S.
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak Sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa
Izin tertulis dari penerbit
Aji Saka Serial Dewa Arak
Dalam episode: Misteri Dewa Seribu Kepalan
128 hal. ; 12 x 18 cm.
1 Sang Surya menyorot garang ke bumi.
Saat ini, bola api raksasa itu memang telah berada tepat di atas kepala. Dan
siraman cahayanya jatuh tepat ke persada bagai hendak membakar apa saja di
bawahnya. "Hhh!"
Seorang pemuda berpakaian coklat
mendongakkan kepala ke atas sebentar.
Dengan sepasang matanya yang tajam berkilat-kilat, ditatapnya kemilau bola apa
raksasa di langit. Tapi hanya sekejap saja hal itu dilakukannya, karena sesaat
kemudian matanya telah silau, tak mampu menentang matahari. Pandangannya kini
beralih ke arah jalan di hadapannya.
Pemuda itu bertubuh kekar, berotot, dan berisi. Langkah kaki maupun sorot
matanya menunjukkan kalau dirinya bukan orang sembarangan. Buktinya, langkahnya
terlihat gesit. Sedangkan sepasang matanya tampak berkilat-kilat tajam.
Sambil memanggul sebuah buntalan
kain cukup besar yang tersampir di ketiak, pemuda berusia sekitar dua puluh satu
tahun itu melangkah cepat. Pandangannya terus tertuju ke depan, karena beberapa
tombak di depan sana tampak tembok batas sebuah desa. Ke sanalah, pemuda
berpakaian coklat tengah menuju.
Tak lama kemudian, pemuda ber-
pakaian coklat itu berhenti begitu telah memasuki mulut desa. Dan langsung saja
pandangannya beredar berkeliling. Tapi, yang dilihatnya hanya kesunyian belaka.
Sepanjang jalan utama desa itu tampak lengang.
Memang tidak aneh kalau suasana di sekitar tempat itu sepi, karena suasana saat
ini panas bukan kepalang. Tampaknya orang-orang lebih suka beristirahat di
tempat-tempat yang teduh, daripada di jalan yang panas berdebu.
Mulut pemuda berpakaian coklat itu menyunggingkan senyum kecil
ketika menyadari hanya dirinya yang berada di tempat terbuka dalam suasana seperti ini.
Masih dengan senyum di bibir, kakinya kembali melangkah untuk menyusuri jalan
utama desa. Pemuda berpakaian coklat itu terus saja melangkah sambil mengedarkan pandangan
ke kanan kiri. Tapi yang dijum-painya hanya rumah-rumah penduduk yang pintunya
tertutup rapat. Hanya jendela nya saja yang terbuka. Tanpa mempedulikan semua
itu, kakinya terus saja melangkah.
Entah, sudah berapa lama pemuda
berpakaian coklat itu melangkah. Dia sama sekali tidak menghitung nya. Apalagi
ketika pandangannya tertumbuk pada sebuah kedai. Maka, wajahnya berseri-seri.
Se- pasang matanya pun bersinar-sinar. Raut kegembiraan terlihat pada wajahnya.
Memang, pemuda berpakaian coklat itu telah merasa lapar dan haus bukan
kepalang. Dengan langkah agak bergegas,
dihampirinya kedai itu. Hanya dalam beberapa langkah, dia telah berada di ambang
pintu kedai. Di tempat ini
langkahnya dihentikan. Lalu, sepasang matanya beredar ke seluruh penjuru bagian
dalam kedai. Dan rupanya, kedai itu telah
dipenuhi orang, sehingga hampir semua meja telah terisi. Untung masih tersisa
sebuah meja. Maka, tanpa membuang-buang waktu lagi, dia melangkah menuju ke
sana. "Hhh!"
Sambil menghembuskan napas lega,
pantatnya dihempaskan ke kursi.
Namun baru saja punggung pemuda
berpakaian coklat itu bersentuhan dengan sandaran kursi, seorang laki-laki
setengah tua dan bertubuh kecil kurus melangkah menghampiri.
"Pesan apa, Den?" tanya laki-laki kecil kurus yang ternyata pemilik kedai.
"Singkong goreng, pisang rebus, dan teh hangat, Ki," sebut pemuda berpakaian
coklat itu. Laki-laki kecil kurus itu pun
berlalu untuk menyiapkan pesanan tamunya.
Dan tak lama kemudian, dia telah kembali sambil membawa baki yang berisi
pesanan. "Apa nama desa ini, Ki?"
Pemuda berpakaian coklat mengajukan pertanyaan di saat laki-laki pemilik kedai
tengah meletakkan makanan dan minuman ke atas meja.
"Desa Sawang," jawab laki-laki kecil kurus itu. "Memangnya kenapa, Den?"
"Ah, tidak ada apa-apa. Hanya tanya saja, Ki," sahut pemuda itu buru-buru.
"Kalau ada yang ingin ditanyakan, katakan saja, Den. Dengan senang hati akan
kujawab pertanyaan itu, kalau aku bisa menjawabnya," ujar lelaki kecil kurus
itu, setelah selesai meletakkan semua pesanan.
"Apakah tawaran seperti itu kau ajukan pada setiap orang yang bersantap di sini,
Ki?" tanya pemuda berpakaian coklat itu.
"Tidak, Den. Tawaran ini hanya ku ajukan
pada orang-orang yang menarik
hatiku," jawab pemilik kedai jujur.
"Jadi..., aku menarik hatimu, Ki?"
Laki-laki kecil kurus itu langsung menganggukkan kepala.
"Wajahmu mengingatkan ku pada orang yang keluarganya telah banyak berjasa pada
desa ini," lirih jawaban yang keluar dari mulut pemilik kedai.
Sementara, pemuda berpakaian coklat
itu mulai mengupas ujung kulit pisang nya.
"Memang, paman guruku sendiri mengatakan kalau aku mempunyai wajah yang mirip
ibuku. Sayang, aku lupa nama ibuku.
Aku masih terlalu kecil untuk bisa mengetahui nama ibu."
Wajah laki-laki kecil kurus itu
kontan berubah hebat. Tapi, pemuda berpakaian coklat itu seperti tidak
mengetahuinya. Bahkan terus saja melanjutkan ucapannya.
"Malah, nama ayahku sendiri aku tidak tahu. Untungnya, aku sering
mendengar kalau julukannya disebut-sebut orang..., Pendekar Tombak Sakti,
demikian julukannya. Dan...."
"Kau..."! Kau..."!" sepasang mata laki-laki kecil kurus itu terbelalak lebar,
seakan tengah melihat hantu. "Ya Tuhan! Kau pasti..., Palasena!"
Pemuda berpakaian coklat yang
ternyata bernama Palasena itu menganggukkan kepala. Pisang rebus yang telah
terkupas kulitnya dimasukkan ke dalam mulut, digigit, dan dikunyah nya. Pelan
dan lembut sekali Palasena mengunyahnya.
"Duduklah, Ki. Kita rayakan pertemuan ini," ujar Palasena masih sambil mengunyah
potongan pisang di mulutnya.
Bagai kerbau dicocok hidungnya,
laki-laki kecil kurus itu meletakkan
pantatnya di kursi di hadapan Palasena.
Sebuah meja berbentuk persegi menjadi pembatas antara mereka berdua.
"Makanlah, Ki," ujar Palasena mempersilakan.
"Terima kasih, Sena!" hanya itu yang bisa diucap-kan laki-laki kecil kurus itu.
"Oh, ya. Coba ceritakan, hingga kau sampai disini dan sudah demikian besar
seperti ini."
Palasena kemudian menerawang jauh, ke masa silam nya. Dia berusaha
mengingat-ingat peristiwa enam tahun yang lalu, ketika masih berusia lima belas
tahun. *** Malam ini langit terlihat cerah.
Bulan bersinar penuh, menggantung di langit. Sinarnya yang putih keperakan
menyorot ke bumi, lembut menguak kegelapan malam. Bintang yang bertebaran di
angkasa, membuat angkasa tambah semarak.
Tapi ternyata hal itu tidak ber-
langsung lama, begitu sekelompok awan hitam dan pekat tiba-tiba muncul. Secara
perlahan-lahan, gerombolan awan itu mulai bergerak menyebar. Langit tampak mulai
gelap. Dan dengan sendirinya keadaan di persada pun menjadi temaram. Apalagi
ketika kumpulan awan itu mulai
menyembunyikan sang Dewi Malam, sehingga sinarnya tidak lagi sampai ke persada.
Seiring mulai gelapnya keadaan di
persada, hembusan angin pun mulai berubah dingin. Semakin lama, semakin keras
hembusannya dan semakin menggigit tulang.
Sesaat kemudian, hujan mulai turun.
Semula hanya berupa titik-titik air yang jatuh satu persatu, tapi tak lama
kemudian hujan lebat mengguyur bumi.
Air yang turun bagaikan dicurahkan dari langit. Hembusan angin kencang berhawa
dingin, seakan-akan ingin
menumbangkan sekaligus membekukan benda-benda yang ada di persada. Itu pun masih
ditambah gelegar halilintar! Alam benar-benar menunjukkan kekuasaannya sekarang
ini. Glarrr! Halilintar menggelegar lagi. Kontan suasana di persada yang semula gelap gulita
sekejap jadi terang benderang.
Meskipun hanya sekejap, tapi cukup memperlihatkan sesosok tubuh sedang
berpakaian coklat yang tengah berlari keluar dari pintu sebuah bangunan yang
cukup megah. Sosok tubuh sedang itu ternyata
anak lelaki berusia sekitar lima belas tahun. Tubuhnya kurus seperti orang
kurang makan. Wajahnya berbentuk bulat telur. Dan ada setitik tahi lalat di
bibir bawahnya.
Anak lelaki berpakaian coklat itu
berlari cepat, melintasi halaman ketika telah berada di luar
pintu. Tak dihiraukannya lagi curahan hujan lebat dan hembusan angin kencang yang menerpa
tubuhnya. Prat, prat...! Air berwarna kecoklatan muncrat ke sana kemari ketika anak lelaki berpakaian
coklat itu berlari di halaman. Dan memang, hujan telah membuat sebagian halaman
depan bangunan itu tergenang air.
Baru saja beberapa tombak bocah
berpakaian coklat itu menempuh halaman, sesosok tubuh lain muncul di ambang
pintu yang baru saja ditinggalkan.
"Kang Palasena...! Jangan pergi...!
Jangan tinggalkan aku...!" teriak sosok tubuh yang berdiri di ambang pintu,
keras. Rupanya, seluruh kemampuan
berteriak nya dikerahkan. Terbukti,
panggilannya mampu menembus riuhnya suara hujan dan angin.
Anak berpakaian coklat dalam
siraman hujan yang ternyata bernama Palasena itu menghentikan larinya. Kemudian
tubuhnya berbalik menatap ke arah sosok tubuh yang memanggilnya. Keberadaan
sosok tubuh di ambang pintu memang bisa
terlihat karena di sudut-sudut rumah itu
tergantung obor-obor.
Halilintar kembali menggelegar
bagai hendak merobohkan bumi. Suasana di persada kembali terang-benderang
sekejap. Dan kini, sosok yang berdiri di ambang pintu bisa melihat Palasena. Sosok tubuh
di ambang pintu itu ternyata seorang gadis sedang berusia tiga betas tahun,
mengenakan pakaian serba hitam.
Tampak oleh gadis itu, Palasena
tengah berdiri mematung menatap ke arahnya. Anak lelaki berpakaian coklat itu
sama sekali tidak mempedulikan curahan hujan dan debu angin keras yang berhawa
dingin menusuk tulangnya.
"Kang Palasena...! Kembali...!"
teriak gadis berpakaian hitam itu lagi, seraya melambaikan tangannya.
Palasena terpaku. Tarikan wajahnya memancarkan kebimbangan. Jelas, ucapan bocah
perempuan itu yang membuat hatinya ragu. Tapi sebelum Palasena sempat memutuskan
sesuatu, di belakang tubuh gadis berpakaian hitam itu muncul seorang wanita
berusia tiga puluh tahun dan berpakaian hijau. Raut wajahnya memperlihatkan
kecantikan yang sudah matang.
Begitu tiba, wanita berpakaian
hijau itu langsung saja menyentuh bahu gadis di depannya.
"Biarkan anak jahanam itu pergi, Widuri," ujar wanita berpakaian hijau.
Sambil berkata demikian, pandangannya dilayangkan ke depan. Tapi, yang terlihat
hanya kegelapan belaka.
''Tapi.... Tapi, kasihan Kang
Palasena, Bu. Cuaca begitu dingin. Kang Sena bisa sakit, Bu. Jangan biarkan Kang
Sena pergi...," ratap gadis cilik yang ternyata bernama Widuri.
"Biar anak sialan itu mampus!"
dengus wanita berpakaian hijau yang ternyata ibu Widuri. "Sudah! Mari kita
masuk, Widuri!"
Sambil berkata demikian, wanita
berpakaian hijau itu menarik tangan putrinya. Diajaknya gadis itu masuk ke
dalam. Tapi Widuri tidak mau, dan malah meronta-ronta.
"Tidaaak...! Aku tidak mau...! Kang Sena...!" jerit Widuri sambil terus meronta-
ronta. Tangan kiri Widuri cepat memegang pinggir ambang pintu erat-erat, agar tidak
bisa ditarik ke dalam oleh ibunya.
Namun perlawanan Widuri membuat wanita berpakaian hijau itu menjadi kehilangan
kesabaran. Ditambahkan lagi, tenaga untuk membawa gadis itu masuk ke dalam rumah
jauh lebih kuat.
Widuri berusaha keras untuk
bertahan. Seluruh tenaganya dikerahkan.
Tapi, apa artinya tenaga seorang anak berusia tiga belas tahunan dalam
menghadapi tenaga orang dewasa" Mau tak mau tubuhnya pun tertarik ke dalam.
Widuri terus menjerit-jerit keras, tapi sama sekali tidak dipedulikan oleh
ibunya. Dan ketika tubuh gadis itu telah melewati ambang pintu, wanita
berpakaian hijau itu melepaskan tangan kiri.
Kemudian, tangan kirinya itu diulurkan untuk menjangkau daun pintu. Dan....
Blammm...! Daun pintu itu tertutup kembali
disertai suara yang demikian keras. Dan tanpa membuang-buang waktu lagi, wanita
berpakaian hijau itu memasang palang pintu, leluasa lah dia membawa Widuri ke
dalam. "Aku tidak mau...! Kang Sena...!"
teriak Widuri, sehingga sampai terdengar keluar.
Sementara itu Palasena mengusap
wajahnya. Di samping untuk mengusap air hujan yang telah membasahi selebar
wajahnya, juga untuk mencegah mengalirnya keluar air mata. Nyatanya, sepasang
mata anak laki-laki itu memang telah berkaca-kaca sejak tadi, karena Palasena
menyaksikan adegan yang terjadi di sekitar empat tombak di hadapannya.
Adegan yang terjadi antara Widuri dengan ibunya.
Tapi, ternyata Palasena bukan orang yang berjiwa cengeng. Dia tidak ingin
terlalu berlarut-larut tenggelam dalam kesedihan. Kepalanya segera digeleng-
gelengkan untuk mengusir gambaran-gambaran tadi. Lalu, dipandanginya bangunan
yang baru ditinggalkannya beberapa saat.
Dan setelah menggertakkan gigi untuk menguatkan hati, tubuh Palasena berbalik,
kemudian berlari cepat meninggalkan tempat itu.


Dewa Arak 39 Misteri Dewa Seribu Kepalan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Hujan masih terus turun deras.
Hembusan angin berhawa dingin yang sesekali bertiup keras, masih juga
berlangsung. Gelegar halilintar pun tidak juga terhenti. Namun, Palasena terus
saja berlari. Bahkan tidak ingin
berhenti untuk berteduh. Dia tahu, apabila hal itu dilakukan, perjalanannya tak akan bisa
diteruskan. Hawa dingin akan semakin menyiksanya.
Sesaat kemudian, tubuh Palasena pun lenyap ditelan kegelapan malam yang
menyelimuti sekitarnya.
*** Sang Surya muncul di ufuk Timur,
Sinarnya yang lembut menguak kegelapan, yang semalaman mengungkung persada.
Semilir angin yang bertiup terasa nikmat di kulit.
Perasaan yang sama dirasakan pula
oleh seorang anak lelaki berpakaian
coklat. Dia tak lain dari Palasena!
Sejuknya hembusan angin pagi cukup menghibur hatinya. Walaupun memang, tidak
bisa mengobati rasa lapar yang
menggerogoti perutnya.
Sudah lima hari lamanya Palasena
meninggalkan bangunan tempatnya selama ini bernaung. Perjalanan ditempuhnya
tanpa mempunyai arah dan tujuan, dan hanya mengikuti langkah kakinya saja. Dan
kini, dia telah tiba di sebuah padang pasir luas! Sejauh mata memandang, yang
terlihat hanyalah hamparan pasir.
Palasena memegang perutnya ketika
terdengar suara berkeruyuk yang cukup nyaring. Perutnya memang sudah menagih
minta diisi. Tapi, dengan apa harus diisi" Sejak tadi belum ditemukan sesuatu
yang dapat digunakan untuk mengganjal perutnya. Sudah lima hari Palasena
kelaparan! Kalau toh makan, itu hanya sekadarnya saja. Bahkan hanya memakan
pucuk-pucuk daun muda serta buah yang ditemukan di jalan.
"Hhh...!"
Palasena menghela napas berat.
Diusapnya peluh yang membasahi wajah dengan punggung tangan. Ditatapnya sejenak
bola raksasa di langit.
Sebagai anak laki-laki yang baru
berusia lima belas tahun dan belum berpengalaman menempuh hidup secara liar
seperti ini, maka dia tidak tahu kalau nyawanya laksana telur di ujung tanduk.
Tempat Palasena berada adalah
sebuah padang pasir yang luas. Sejauh mata memandang, yang tampak hanyalah
hamparan pasir belaka. Bahkan untuk menemukan jejak-jejak bekas orang lewat di
hamparan padang pasir ini, rasanya sulit sekali.
Sementara suasana di tempat itu
panas! Jelas hal ini akan membuat orang mati secara menyedihkan! Kehausan!
Palasena terus melangkah.
Harapannya, hamparan pasir bisa cepat ditinggalkannya. Lalu, dia akan bertemu
sebuah hutan yang penuh buah-buahan segar dan nikmat.
Tapi harapan hanya tinggal harapan.
Nyatanya, kedua kakinya hampir tidak kuat lagi melangkah. Malah, tanda-tanda
kalau hamparan padang pasir ini akan berakhir, sama sekali belum tampak.
Sementara, matahari telah naik semakin tinggi. Dan dengan sendirinya, sinar yang
dipancarkan pun semakin terasa panas menyengat kulit.
Palasena hampir tidak kuat lagi
melangkah. Rasa lapar yang melanda perut, haus yang mencekik tenggorokan,
tambahan lagi sinar sang Mentari yang menyorot, membuat ayunan kakinya goyah.
Bahkan pandangannya pun mulai mengabur.
Samar-samar, sepasang mata Palasena
mulai melihat adanya hamparan air
beberapa tombak di hadapannya. Kontan semangatnya bangkit.
"Air...! Air...!" seru Palasena kalap.
Sambil berteriak-teriak demikian,
Palasena berlari ke arah hamparan air yang nampak. Dan ketika sudah dekat,
langsung saja tubuhnya diceburkan ke hamparan air, kemudian meraupnya.
Kontan Palasena kecewa ketika
hamparan air itu mendadak lenyap. Tidak ada air sama sekali di situ. Bahkan
titik-titik air saja tidak. Yang ada, tidak lebih hanya hamparan pasir saja.
Tempat dia menceburkan diri, dan juga air yang diraupnya, sebenarnya hanya pasir
belaka. Di samping perasaan kecewa, rasa
heran juga menggayuti hari Palasena.
Bocah berpakaian coklat ini sama sekali tidak tahu kalau peristiwa yang
dialaminya itu merupakan sebuah hal yang biasa di padang pasir. Di tempat
seperti itu, tipuan mata memang sering terjadi.
Kontan tubuh Palasena lemas. Rasa
lapar, pusing dan terutama sekali haus, membuat pandangannya berkunang-kunang.
Sesaat kemudian, bocah berpakaian coklat ini terguling pingsan.
Entah berapa lama pingsan, Palasena sama sekali tidak tahu. Yang jelas, tahu-
tahu seluruh tubuhnya terasa sejuk, seperti orang yang tengah kepanasan berendam
di sungai yang berair jernih dan segar. Perasaan nikmat yang timbul sukar
diutarakan dengan kata-kata.
Perlahan-lahan Palasena membuka
mata. Tampak matahari sudah agak
tergelincir dari titik tengahnya.
Padahal, tadi bola raksasa itu belum berada di atas kepala. Rupanya dia telah
tergolek pingsan cukup lama!
Tapi anehnya, tubuhnya kini terasa sejuk. Padahal, sepatutnya kepanasan.
Hamparan pasir tempat tubuhnya tergolek, sebenarnya masih menyisakan panas
menyengat kulit. Tapi mengapa tubuhnya malah terasa sejuk" Yang jelas, ada suatu
kekuatan tak nampak, yang membuat
Palasena merasa sejuk. Entah dari mana datangnya. Karena tidak juga menemukan
jawabannya, Palasena, memutuskan untuk melupakan masalah itu. Kemudian ia
bangkit berdiri, dan mengedarkan pandangan berkeliling. Hampir saja bocah remaja
ini terjingkat kaget ketika melihat segundukan benda di kejauhan.
Jaraknya, tak akan kurang dari lima tombak di sebelah kanan.
Perasaan ingin tahu mendorong
Palasena untuk menghampiri dua buah benda yang tergolek di situ. Memang, seiring
munculnya perasaan sejuk, kelelahan yang
diderita berkurang jauh! Walaupun rasa lapar dan haus tetap merajalela, tapi
tidak segila sebelumnya.
Selangkah demi selangkah, jarak
antara Palasena dengan dua benda itu semakin mendekat. Dengan sendirinya, benda-
benda itu semakin terlihat jelas.
Dan, ternyata sebuah buntalan kain dan sebuah guci air.
Sejenak Palasena bimbang. Dita-
tapnya buntalan kain dan sebuah guci air.
Betapapun besar keinginan untuk membuka buntalan dan guci air untuk menikmati
isinya, namun anak lelaki berpakaian coklat ini berusaha keras untuk bertahan.
Dia tak ingin bertindak lancang, sebelum mengetahui secara pasti kalau barang-
barang itu tidak ada pemiliknya.
Tapi setelah menunggu beberapa saat lamanya tidak juga ada tanda-tanda
kemunculan pemilik barang, Palasena memutuskan untuk mengambil. Barangkali saja
di dalamnya ada sesuatu yang bisa dimakan atau diminum. Setidak-tidaknya, untuk
mengurangi rasa haus dan lapar yang menyiksanya.
Namun, begitu tangan Palasena
terjulur untuk meraih buntalan itu, terdengar suara rintihan halus. Seketika
Palasena menghentikan gerakannya. Matanya langsung ditajamkan, mencari-cari asal
suara. Dan sekitar lima tombak di
hadapannya, tampak tergolek sosok tua berpakaian seperti pengemis. Gerakan orang
tua itu demikian lemah, seperti hendak mati.
"Air..., air.... Aku haus...."
Ucapan kali ini membuat Palasena
mengambil keputusan. Sosok tubuh yang tergolek itu pasti membutuhkan
pertolongan. Bukan tidak mungkin kalau dia memang sudah sejak tadi tergolek di
situ. Hanya saja mungkin matanya tadi tidak melihat, karena hari memang sudah
agak gelap. Dan lagi, pikirannya masih diliputi kebingungan.
Perasaan kasihan mendorong Palasena mendekati sosok tubuh yang tergolek itu.
Dijumputnya buntalan yang ternyata berisi buah-buahan segar dengan tangan
kirinya, dan guci air dengan tangan kanan.
Palasena mengambil keputusan untuk memberikan sebagian penemuannya pada sosok
tubuh yang tergolek itu.
"Dia pasti sangat menderita," ucap hati Palasena. "Pakaian yang dikenakan sudah
sangat lusuh dan penuh tambalan.
Mungkin sudah berhari-hari lamanya dia kelaparan."
Palasena membungkukkan tubuhnya
ketika telah berada di dekat sosok tubuh yang mengeluh tadi.
"Ki..., ini air. Minumlah."
Usai berkata demikian, Palasena
segera mengangsurkan guci berisi air yang belum sempat dinikmatinya.
Sosok yang tergolek itu ternyata
memang seorang kakek yang bertubuh kurus kering. Kulitnya yang tak tertutup
pakaian tampak coklat. Tapi anehnya, kulit wajahnya berwarna merah.
Pengemis berwajah kemerahan itu
membuka matanya, yang sejak tadi
tertutup. Dan secepat mata itu melihat guci, secepat itu pula tangannya
diulurkan untuk menyambuti. Tampak ke dua tangan pengemis itu menggigil ketika
terulur. Tangannya juga gemetar ketika
pengemis tua itu menuangkan guci itu ke mulutnya. Sehingga Palasena yang
khawatir kalau-kalau guci itu akan jatuh dan airnya tumpah, segera membantu
meme-ganginya. Baru ketika mulut guci telah menempel dengan mulut pengemis
bermuka merah itu, tangannya dilepaskan dari guci.
Glek.... Glek.... Glek...!
Tegukan air ketika melewati
tenggorokan terdengar jelas. Tampaknya kakek itu minum dengan lahap. Malah
sampai agak lama, guci itu tak juga diturunkan dari mulutnya. Dan selama itu,
suara menggeluguk keras terus terdengar.
Palasena memandangi tindakan kakek pengemis itu disertai perasaan kasihan.
Rupanya, pengemis berwajah merah ini amat kehausan.
"Hhh...!"
Kakek berpakaian pengemis itu
menghela napas penuh kepuasan, begitu gucinya diturunkan. Kemudian punggung
tangannya diusapkan ke sudut-sudut mulutnya untuk membersihkan ceceran air di
sekitar bibirnya.
"Terima kasih, Anak Baik," ucap pengemis tua itu, seraya mengulurkan guci itu
pada Palasena. Palasena menerima angsuran guci itu dengan senyum terkembang di bibir.
"Apakah kau tidak mempunyai sesuatu yang bisa dimakan, Anak Baik"!" tanya
pengemis berwajah merah itu ketika Palasena telah memegang guci yang
diangsurkannya.
"Oh! Ada, Ki," jawab Palasena cepat Usai berkata demikian, anak lelaki
berpakaian coklat itu mengangsurkan buntalan yang berisi buah-buahan. Maka
dengan sigap, pengemis tua itu mene-rimanya.
"Terima kasih..., terima kasih. Kau memang seorang anak yang baik," puji
pengemis bermuka merah.
Pada saat yang bersamaan dengan
keluarnya ucapannya, kakek pengemis itu mulai memasukkan butir buah merah segar
pertama ke dalam mulutnya.
Dan semua itu dipandangi Palasena
dengan senyum senang. Gembira rasa hatinya ketika melihat pengemis tua itu
terlihat segar kembali.
Ketika pengemis bermuka merah itu
memasukkan butir buah yang ke tiga, Palasena baru mengalihkan pandangannya.
Memang, dia pun tengah kehausan, sehingga berniat untuk minum juga. Dapat
dibayangkan, betapa kagetnya hati anak lelaki itu ketika tidak mendapati setetes
air pun di gucinya. Rupanya, kakek pengemis itu telah menghabiskan semuanya!
Tanpa bicara apa-apa, Palasena
meletakkan guci itu ke tanah. Sepasang matanya diedarkan ke arah kakek pengemis
yang masih sibuk memasukkan butir demi butir buah merah segar sebesar kepalan
bayi ke dalam mulutnya.
Palasena menduga, pengemis tua itu tidak akan mampu menghabiskan buah itu,
karena jumlahnya cukup banyak! Dan tampaknya, buah itu sangat nikmat bila
dimakan pada tempat panas seperti ini, karena mengandung air. Tampak jelas
percikan-percikan air ketika pengemis berwajah merah menggigitnya, hingga
terlihat bagian dalamnya yang berwarna putih bersih.
Tapi, keyakinan Palasena mulai
pupus ketika melihat kakek pengemis itu terus saja memasukkan butir demi butir
buah ke dalam mulutnya. Bahkan masih terlihat kelahapannya, tanpa terlihat
tanda-tanda kalau akan berhenti.
Akhirnya, hal yang dikhawatirkan
Palasena pun terjadi. Dengan sepasang mata membelalak lebar, anak laki-laki itu
menatap pengemis tua itu mengambil sisa dua butir buah sekaligus, dan langsung
menggigitnya. Kini tidak ada lagi yang tersisa!
Palasena hanya bisa menelan ludah
untuk membasahi tenggorokannya yang kering. Itu pun dilakukannya dengan susah
payah, karena di dalam mulutnya
persediaan air ludah hampir sudah tidak tersisa lagi! Tapi Palasena tetap
melakukan hal itu, karena hanya itulah satu-satunya yang bisa dilakukan.
"Siapa namamu, Anak Baik. Aku, Lawata."
Meskipun masih sibuk mengunyah
buah, kakek pengemis itu sudah
memperkenalkan diri.
"Aku..., Palasena, Ki," lirih jawaban Palasena.
"Palasena.... Sebuah nama yang bagus. Akan ke mana kau, Sena?" tanya pengemis
berkulit kemerahan yang ternyata bernama Lawata.
Palasena menggelengkan kepala.
"Kalau begitu, bagaimana kalau ikut aku saja?" Lawata menawarkan.
Anak berpakaian coklat itu
termenung sejenak, tapi kemudian
menganggukkan kepala.
"Mari...!"
Setelah berkata. demikian, Lawata
berjalan mendahului Palasena. Mau tidak mau anak lelaki berpakaian coklat itu
bergegas mengikuti.
2 Palasena melangkah tersuruk-suruk
mengikuti Lawata yang telah berada beberapa tombak di depan. Beberapa kali
tubuhnya hampir jatuh tersungkur. Memang, anak lelaki itu telah lelah bukan
kepalang. Masalahnya, dia telah menderita rasa lapar dan haus yang amat sangat.
Tambahan lagi, teriknya sinar matahari menyorot kepala membuatnya pusing dan
pandangannya berkunang-kunang. Terlihat oleh Palasena tubuh kakek pengemis itu
mulai terbayang dan mengabur.
"Kek..!"
Palasena memanggil Lawata ketika
menyadari kenyataan kalau tidak kuat lagi mengikuti kakek itu. Seluruh tenaga
yang tersisa dalam panggilannya dikerahkan.
Tapi, yang keluar hanyalah bisikan lirih.
Dan seiring selesainya ucapan itu, pandangan Palasena pun gelap. Kemudian,
dia roboh tersungkur di hamparan pasir.
Brukkk! Lawata langsung berbalik, dan
menatap Palasena dengan bibir
menyunggingkan senyum. Beberapa saat, diperhatikannya tubuh yang tergolek
sebelum akhirnya menghampiri.
"Seorang anak yang luar biasa,"
puji kakek berpakaian penuh tambalan itu sambil menggeleng-gelengkan kepala
setelah berada di dekat Palasena. "Dia bukan hanya mempunyai watak yang baik,
tapi juga mempunyai kemauan keras. Hhh...!
Inilah anak yang kucari-cari selama ini!
Hm... tidak sia-sia aku mengujinya tadi."
Usai berkata demikian, Lawata


Dewa Arak 39 Misteri Dewa Seribu Kepalan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mencungkil tubuh Palasena dengan ujung kaki kanannya. Luar biasa! Kelihatannya
pelan, dan tanpa tenaga gerakan yang dilakukan Lawata. Tapi akibatnya, tubuh
anak lelaki berpakaian coklat itu
terpental ke atas.
"Hup!"
Tubuh Palasena bagaikan segumpal
kapas di tangan Lawata, Buktinya tubuh yang semula terlontar ke atas dan
kemudian melayang turun, hendak
ditangkapnya dengan tangan kiri.
Tappp! Tidak terlihat adanya tanda-tanda
kalau Lawata mengerahkan tenaga sewaktu menangkap tubuh Palasena. Dari sini
saja, bisa diperkirakan kalau kakek pengemis itu memiliki tenaga dalam cukup tinggi.
"Tak akan ku sia-siakan permata terpendam seperti ini," ujar kakek berpakaian
tambal-tambalan itu.
Lawata memandangi sekali lagi tubuh Palasena, sebelum meletakkan di bahunya.
Kemudian, kakinya melangkah. Luar biasa!
Hanya dalam sekali langkah saja, tubuhnya telah berjarak belasan tombak dari
tempat semula. Jelas, ilmu meringankan tubuh Lawata telah mencapai tingkatan
yang sukar diukur.
Hanya dalam beberapa kali lesatan, tubuh Lawata telah tidak terlihat lagi.
Yang tampak hanyalah sebuah titik hitam di kejauhan yang kian lama kian
mengecil. Dan akhirnya, titik itu lenyap ditelan kejauhan.
*** "Uhhh...!"
Palasena menggeliatkan tubuhnya
untuk mengendorkan urat-urat tubuhnya yang kaku. Kemudian, perlahan-lahan
kelopak matanya terbuka. Yang pertama kali dilihatnya adalah wajah kakek
berpakaian penuh tambalan. Dialah
pengemis yang telah ditolongnya ketika tergolek di hamparan padang pasir.
"Syukur kau sadar juga, Sena,"
lembut ucapan Lawata.
"Di manakah aku, Kek?" tanya Palasena, seraya beringsut bangun.
Bocah berpakaian coklat itu sama
sekali tidak mempedulikan ucapan Lawata.
Pandangannya beredar berkeliling. Memang, pemandangan yang terpampang di
hadapannya jauh berbeda dengan yang waktu itu dilihatnya. Pemandangan di sini
kini tampak sangat subur. Di kanan kirinya, berderet pepohonan hijau. Tanpa
menegaskan lebih jauh pun, bisa diduga kalau dirinya berada di puncak sebuah
gunung. "Di sebuah tempat yang nyaman, Sena," jawab Lawata sambil menyunggingkan senyum
lebar. Palasena menatap redup wajah kakek berpakaian abu-abu itu.
"Kaukah yang telah membawaku
kemari, Kek?" tanya Palasena lagi.
"Benar," sahut Lawata sambil menganggukkan kepala. "Dan ini kupetikkan makanan
untukmu." Lawata mengangsurkan beberapa buah tempurung kelapa yang di dalamnya telah
terisi berbagai macam buah-buahan.
Semuanya berwarna merah segar dan
mengandung air. Kakek itu pun rupa-rupanya memberikan air minum yang
berwarna jernih dengan wadah tempurung.
Maka, melihat semua itu kontan rasa lapar
dan haus Palasena kembali timbul. Dengan lahap disantapnya buah-buahan yang
tersedia. Lawata tersenyum saja melihat
tingkah Sena. Tapi, sepasang matanya menatap penuh sinar aneh. Pandangan Lawata
seperti orang yang tengah
menyelidik. Sementara, orang yang tengah diperhatikan sama sekali tidak tahu.
Atau mungkin memang tidak mempedulikannya.
Tangan dan mulutnya sibuk mengunyah buah-buahan dan menenggak minuman, saling
silih berganti.
Tapi setelah memakan kira-kira dua belas butir buah, Palasena menghentikan
kegiatannya. "Mengapa tidak kau habiskan, Sena"
Buah itu semuanya kuberikan untukmu.
Atau..., perutmu sudah tidak sanggup menampung lagi?" tanya Lawata, memancing.
"Terima kasih, Kek. Kurasa ini sudah lebih dari cukup. Aku tidak biasa makan
sampai kekenyangan," sahut Palasena.
Lawata mengangguk-anggukkan kepala.
Kekagumannya pada anak berpakaian coklat ini pun semakin menjadi-jadi. Memang,
makan terlalu kenyang tidak baik untuk perut
"Kau benar, Sena," sambut kakek berpakaian pengemis ini. "O, ya. Dari mana
asalmu dan akan ke mana tujuanmu?"
Kontan wajah Palasena murung ketika mendengar pertanyaan yang diajukan Lawata.
Karena hal itu akan
mengingatkannya kembali pada kejadian yang menimpa dirinya.
Dan Lawata bukan orang bodoh.
Sekali lihat saja, bisa diketahui ada kejadian tidak enak yang telah dialami
Palasena. "Apakah kau masih mempunyai
orangtua, Sena?" tanya Lawata lembut Palasena menggelengkan kepala.
"Mereka sudah tiada, Kek," lemah jawaban yang terdengar dari mulut
Palasena. Lawata mengangguk-anggukkan kepala sambil mengelus-elus dagunya yang tidak
ditumbuhi rambut sehelai pun.
"Bagaimana kematian mereka. Secara wajar, atau dibunuh orang lain, Sena?"
kejar kakek berwajah kemerahan itu lagi.
"Kedua orangtua ku tewas dibunuh orang, Kek. Kemudian, aku dipelihara adik
seperguruan ayahku. Sampai akhirnya, aku terpaksa harus pergi dari tempat
tinggalnya."
"Apakah kau ingin membalas dendam atas kematian orangtua mu, Sena?" pancing
Lawata. "Tentu, Kek! Kalau aku telah
memiliki kepandaian tinggi, akan kucari manusia laknat yang telah membunuh kedua
orang tuaku!" mantap dan tegas kata-kata yang keluar dari mulut Palasena.
"Apakah kau mengenalnya,
Sena?" Lawata ingin tahu.
Palasena mengangguk mantap. "Kenal, Kek. Nama orang itu telah tertanam dalam
hatiku!" "Apakah aku boleh mengetahuinya, Sena?"
''Tentu saja boleh, Kek. Manusia
laknat itu berjuluk Dewa Kaki Maut!"
jawab Palasena lantang.
"Hugh!"
Lawata merasakan dadanya seketika
mendadak sesak. Dewa Kaki Maut! Jadi, orang yang telah membunuh kedua orangtua
Palasena adalah Dewa Kaki Maut. Ah!
Betapa banyaknya tokoh itu menyebar maut
"Ada apa, Kek?" tanya Palasena cemas ketika melihat wajah Lawata memucat Lawata
pun sadar dari keterkejutannya. Buru-buru perasaannya ditenangkan.
"Aku tidak apa-apa, Sena. Hanya..., aku merasa heran mengapa Dewa Kaki Maut
membunuh orang tuamu!"
"Ayahku adalah seorang pendekar pembela kebenaran!" tandas Palasena penuh
kebanggaan. "Dunia persilatan menju-lukinya, Pendekar Tombak Sakti. Jadi, orang
yang berjuluk Dewa Kaki Maut itu pasti seorang tokoh sesat!"
Lawata mengelus-elus dagunya.
"Ternyata, kau keturunan pendekar juga, Sena."
"Jadi, kau mengenal ayahku juga, Kek?" tanya Palasena penuh gairah.
"Mengenal sih, tidak. Tapi aku sering mendengar mengenai kegagahan dan
kesaktiannya. Sayang, dia harus mati muda," desah Lawata. Ada nada penyesalan
dalam ucapan kakek berwajah kemerahan itu.
Suasana kontan berubah hening,
karena Lawata menghentikan ucapan dan Palasena pun diam. Masing-masing
tenggelam dalam alun lamunannya.
"O ya, Sena. Apakah kau berminat menjadi orang yang memiliki kepandaian tinggi?"
tanya Lawata memecahkan keheningan.
"Tentu, Kek. Aku mau sekali!" sahut Palasena penuh gairah.
"Tapi, di mana bisa kutemukan orang yang bersedia mengajarkan kepandaian
kepadaku?"
Nada ucapan Palasena melemah dengan sendirinya, ketika teringat keadaannya.
"Mengapa kau berpikiran seperti itu, Sena?" sela Lawata.
"Banyak orang sakti yang bersedia mengajarkan ilmu kepadamu!!!"
"Aku tidak percaya, Kek! Jangankan tokoh yang tidak mempunyai hubungan
denganku. Sedangkan, paman dan bibi guruku saja tidak sudi mengajarkanku."
"Hehhh..."! Benarkah paman gurumu sejahat itu"!"
Palasena menggelengkan kepala.
"Sebenarnya, paman tidak jahat.
Bahkan boleh dibilang baik. Tapi dia tidak mempunyai waktu untuk mengajarkan aku
dan Widuri. Dia selalu sibuk dengan tugasnya selaku panglima kerajaan. Maka
tugas untuk mengajarkan hal itu,
diberikan pada bibi."
Anak berpakaian coklat ini meng-
hentikan ucapannya sejenak. Sementara, terdengar helaan napas berat Lawata.
"Tapi bibi sama sekali tidak pernah mengajarkan aku, dan hanya mengajarkan
anaknya yang bernama Widuri saja. Dia memang tidak suka padaku tanpa diketahui
sebabnya. Dia seperti membenciku. Malah, aku jarang diberi makan. Tapi, kalau
menyiksaku sering sekali."
"Sudahlah, Lawata. Lupakan saja kejadian yang telah berlalu. Sekarang,
tenangkanlah hatimu. Percayalah. Kau akan memiliki kepandaian tinggi, Sena. Aku
akan membawamu pada sahabatku yang memiliki kepandaian tinggi. Percayalah.
Kau pasti akan diterima menjadi muridnya!
Bagaimana" Kau setuju, Sena"!"
"Setuju sekali, Kek. Kapan kita
akan berangkat"!" tanya Palasena penuh
gairah. "Itu terserah padamu, Sena. Kapan pun kau siap, dengan senang hati aku akan
mengantarmu!"
Sepasang mata Palasena berputar.
"Kalau begitu, aku ingin sekarang juga, Kek."
"Ha ha ha...!"
Tawa Lawata kontan meledak.
"Kau memang anak yang cerdik, Sena!
Tapi, baiklah. Sekarang juga kau akan kubawa menghadap sahabatku!"
Usai berkata demikian, Lawata lalu menyambar tubuh Palasena. Dan sekali kakinya
digerakkan, tubuhnya telah berada belasan tombak di depan. Hebat bukan kepalang
ilmu meringankan tubuh kakek berpakaian pengemis. Tapi anehnya, mulutnya
menyunggingkan seringai
kesakitan. Bahkan dari sudut-sudut bibirnya mengalir darah segar. Tampaknya
Lawata tengah terluka dalam. Dan hal ini belum diketahui Palasena.
3 "Haaat...!"
Teriakan keras menggelegar meme-
cahkan kesunyian pagi. Dan sebelum gema teriakan itu lenyap, melesat sesosok
tubuh ke arah sebatang pohon dengan
ukuran batang sepelukan orang dewasa.
Sosok tubuh yang tampak bertelanjang dada itu melakukan tendangan menggunting!
Tappp! "Hih!"
Krakkk! Brukkk!
Kejadiannya berlangsung cepat
sekali. Batang pohon itu berhasil dijepit di antara kedua kaki sosok bayangan
tadi, dengan gerakkan menggunting. Hebat!
Batang pohon itu langsung terpenggal pada bagian yang digunting, kemudian roboh
mengeluarkan suara gemuruh.
"Hup!"
Setelah bersalto beberapa kali,
sosok bayangan itu mendaratkan kedua kakinya di tanah. Tanpa suara sedikit pun,
seperti layaknya sehelai daun kering. Dan hinggapnya kedua kaki itu hampir
berbarengan dengan robohnya batang pohon yang terpenggal.
"Bagus sekali, Sena!"
Terdengar seruan memuji. Itu pun
masih disertai tepukan tangan yang berkepanjangan dari arah belakangnya.
Sebenarnya, tanpa menoleh pun sosok tubuh yang telah merobohkan pohon dan
dipanggil Palasena, telah mengetahui orang yang telah mengeluarkan pujian tadi.
Suara itu amat dikenalnya, karena memang suara gurunya! Tapi, Palasena tetap
membalikkan tubuh.
Di hadapan Palasena kini berdiri
seorang kakek bertubuh kecil kurus.
Wajahnya pun pucat, seperti orang
penyakitan. Garuda Cakar Lima, demikian julukannya. Dia seorang tokoh aliran
putih yang memiliki kepandaian tinggi.
Tak terhitung tokoh sesat yang telah ditewaskannya. Julukannya telah menjadi
momok yang menakutkan di kalangan rimba persilatan belasan tahun yang lalu. Tapi
sejak tujuh tahun yang lalu, dia telah mengundurkan diri dan tinggal di Gunung
Kumang. Sejak saat itu, julukannya pun tidak terdengar lagi.
"Kau benar-benar tidak mengecewakanku dan sahabatku, Sena," tambah Cakar Lima
lagi. Tampak jelas kalau Garuda Cakar
Lima gembira bukan kepalang. Hal ini terlihat dari wajahnya yang tampak berseri-
seri. Sepasang matanya pun berbinar-binar, bagai kerlipan bintang.
"Ah! Semua itu adalah atas jerih payahmu, Guru," sahut Sena merendah sambil
menghampiri Garuda Cakar Lima.
"Kau memang pandai menyenangkan hati, Sena!" celetuk sebuah suara merdu.
"Bukankah demikian, Kek?"
Dan sebelum gema suara itu lenyap, berkelebat cepat sesosok bayangan hijau.
Dan tahu-tahu, di sebelah Garuda Cakar Lima telah berdiri seorang gadis cantik
manis berusia sekitar enam belas tahun.
Rambutnya berwarna hitam mengkilap, tampak dikepang indah.
"Ha ha ha...! Benar! Benar...!
Ucapanmu sama sekali tidak keliru, Kuntari," sambut Garuda Cakar Lima cepat,
seraya menoleh ke arah gadis cantik manis yang tidak lain adalah cucunya
sendiri. "Palasena memang pintar menyenangkan hati orang!"
Sambil berkata demikian, Garuda
Cakar Lima menatap wajah Palasena penuh rasa bangga. Keadaan Palasena yang
sekarang, memang jauh berbeda dengan waktu dulu. Memang, tanpa terasa kini
tubuhnya telah berubah tinggi tegap dan kekar.
Putra Pendekar Tombak Sakti ini
telah berusia delapan belas tahun. Genap tiga tahun dia menuntut ilmu dari
Garuda Cakar Lima. Pakaian coklat yang
membungkus tubuhnya pun sudah tidak lusuh lagi.
"Terima kasih atas pujianmu,
Kuntari. Kau memang seorang gadis cantik yang baik," Palasena balas memuji.
Kontan wajah Kuntari memerah.
"Sudah! Sudah! Lupakan dulu
perselisihan ini! Apakah kalian berdua tidak tahu, kalau sekarang sudah tiba
saatnya untuk berpisah"!" lerai Garuda Cakar Lima.
"Berpisah"!"
Hampir berbareng ucapan itu keluar dari mulut Kuntari dan Palasena.
"Apa maksud ucapanmu, Kek?" tanya Kuntari, penuh rasa penasaran.
"Hhh!"
Garuda Cakar Lima menghela napas
berat. Rupanya, kakek kecil kurus ini merasa berat juga untuk berpisah dengan
Palasena. Sementara, dua muda-mudi di


Dewa Arak 39 Misteri Dewa Seribu Kepalan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dekatnya hanya menunggu keluarnya ucapan lanjutan Garuda Cakar Lima, dengan
perasaan tidak sabar.
Kejadiannya berlangsung cepat
sekali. Batang pohon itu berhasil dijepit di antara kedua kaki Palasena dengan
gerakan menggunting. Hebat!
Krakkk! Brukkk!
Batang pohon itu langsung
terpenggal pada bagian yang digunting dengan kaki tersebut!
"Kau ingat Lawata, Sena?" tanya Garuda Cakar Lima.
Palasena yang telah menjadi pemuda gagah hanya menganggukkan kepala. Tentu saja
pemuda itu ingat pada kakek
berpakaian pengemis yang ditemukannya secara tidak sengaja di padang pasir. Dan
ternyata, bukan hanya Palasena saja yang menganggukkan kepala. Dan tanpa sadar,
Kuntari pun demikian pula. Memang, Kuntari mengenal sewaktu Lawata
menyerahkan Palasena pada Garuda Cakar Lima.
"Nah! Perlu kalian ketahui, Sena, Kuntari! Lawata menitipkan Palasena di sini,
dan memesan agar aku menurunkan ilmuku selama tiga tahun. Dan setelah itu, dia
akan datang untuk mengambil Lawata kembali. Dan..."
"Mengapa begitu, Kek?" selak Kuntari tidak sabar.
"Karena Lawata ingin menurunkan seluruh ilmu yang dimiliki pada
Palasena!" jawab Garuda Cakar Lima cepat.
"Jadi, Ki Lawata memiliki kepandaian juga, Guru?" tanya Palasena, heran.
Garuda Cakar Lima tersenyum getir.
"Bukan hanya punya, Sena! Lawata adalah seorang tokoh sakti! Kepandaiannya sukar
diukur. Bahkan kepandaian yang kumiliki ini sama sekali tidak berarti apa-apa
bila dibandingkan kepandaiannya,"
jelas kakek kecil kurus itu.
"Ahhh! Tapi, kenapa dia tidak mau mengajarkanku sejak dulu, Guru"!" Ada nada
penasaran dalam pertanyaan Palasena.
"Karena dia tengah terluka, Sena!
Dengan cara licik, seorang musuh telah meracuninya dengan racun yang mematikan.
Tapi, ternyata Lawata terlalu tangguh untuk dibinasakan seperti itu. Orang yang
memberi racun mengira, Lawata telah tewas. Sama sekali tidak diketahuinya kalau
Lawata ternyata berhasil menyelamatkan diri dengan semadi. Hanya saja, perlu
waktu bertahun-tahun untuk
melenyapkan racun itu. Dan menurut perhitungan, tahun ini semua racunnya telah
tuntas," jelas Garuda Cakar Lima panjang lebar.
Palasena dan Kuntari termenung
ketika Garuda Cakar Lima menghentikan ceritanya. Kini keduanya tenggelam dalam
lamunan masing-masing.
"Perlu kau ketahui, Sena! Semadi, pernapasan, dan latihan ilmu meringankan tubuh
yang kuajarkan padamu adalah berasal dari Lawata. Dia telah menga-jarkannya
padaku untuk kuajarkan padamu, apabila kau telah cukup mengalami
kemajuan selama menjadi muridku. Aku sendiri tidak mempelajarinya. Bahkan kepada
Kuntari pun tidak kuajarkan,"
sambung kakek kecil kurus itu lagi.
Mendengar penjelasan ini, Kuntari
dan Palasena kontan mengerti. Jelas sudah, mengapa Palasena lebih cepat mendapat
kemajuan ketimbang Kuntari.
Meskipun Palasena menjadi murid Garuda Cakar Lima belakangan, namun tingkatan
yang dimilikinya jauh lebih tinggi daripada cucu Garuda Cakar Lima itu. Hal itu
tidak aneh, karena baik dalam ilmu meringankan tubuh maupun tenaga Kuntari jauh
di bawah Palasena.
"Semua yang dikatakan Garuda Cakar Lima tidak salah, Sena!"
Suara keras mengguntur yang
menggema di sekitar tempat itu terdengar.
Jelas, suara itu dikeluarkan lewat pengerahan tenaga dalam tinggi.
*** Hampir berbareng, Garuda Cakar
Lima, Palasena, dan Kuntari menolehkan kepala ke arah asal suara. Maka,
tampaklah seorang kakek berpakaian penuh tambalan. Kulit wajahnya tampak
berwarna kemerahan.
"Kek..!" seru Palasena.
"Lawata...!" teriak Garuda Cakar Lima pula. Bagai diperintah Garuda Cakar Lima
dan Palasena bergegas menghampiri Lawata. Mau tidak mau, Kuntari pun ikut pula
melangkah di belakang mereka pada saat yang bersamaan, Lawata pun
menghampiri pula.
"Kau datang tepat pada waktunya, Lawata," kata Garuda Cakar Lima sambil
mengulurkan tangan.
"Syukurlah kalau demikian, Garuda Cakar Lima," sahut Lawata.
Pada saat yang bersamaan dengan
keluar ucapannya, kakek pengemis itu menyambut uluran tangan Garuda Cakar Lima
dan menggegamnya erat-erat.
"Bagaimana?"
Meskipun Lawata hanya mengeluarkan ucapan seperti itu, Garuda Cakar Lima sudah
tahu maksudnya.
"Luar biasa! Kau benar-benar
beruntung, Lawata. Dia mampu menguasai dengan baik semua yang kuajarkan.
Palasena memang mempunyai bakat yang luar biasa!" sahut Garuda Cakar Lima penuh
kegembiraan. "Ha ha ha...!" Sudah kuduga demikian, dan ternyata dugaanku tidak meleset! Ha ha
ha...!" Masih dengan tawa yang tidak putus-putus, Lawata melepaskan genggaman tangannya.
Sementara, Palasena hanya bisa
tersenyum dikulum melihat pertemuan antara Garuda Cakar Lima dengan Lawata.
Hanya Kuntari yang terlihat agak murung.
Jelas, gadis berambut dikepang ini tengah dilanda perasaan sedih. Dan kalau dia
mau berterus terang, perpisahan dengan Palasena lah yang membuatnya sedih.
Apabila Palasena pergi, maka dia tidak punya teman main lagi.
Kesedihan yang melanda hari Kuntari sama sekali tidak diketahui dua orang tokoh
sakti yang tengah bergembira. Tapi, tidak demikian halnya Palasena. Perasaan
yang tengah melanda Kuntari bisa
diketahuinya, karena dia sendiri juga dilanda perasaan yang sama. Yang jelas,
tanpa disadari benih-benih asmara mulai bersemi di hati mereka berdua.
Tapi Palasena tidak bisa berbuat
apa-apa, karena Garuda Cakar Lima telah menoleh ke arahnya seiring lepasnya
genggaman tangan dari tangan Lawata.
"Cepat tunjukkan hasil latihanmu selama ini pada Lawata, Sena!" seru kakek
kecil kurus itu pada Palasena.
"Baik, Guru. Dan, harap Guru dan kakek Lawata bersedia memberi petunjuk,"
jawab Palasena lembut.
Setelah memberi hormat pada Garuda Cakar Lima dan Lawata, Palasena mulai
memperagakan ilmu-ilmu silat yang
dimilikinya. Memang tidak salah kalau Lawata
merasa bangga bukan kepalang terhadap Palasena. Pemuda berpakaian coklat itu
memang patut dibanggakan, karena mampu memainkan jurus demi jurus hampir tanpa
cela. Ilmu meringankan tubuhnya yang sudah mencapai tingkatan tinggi, membuat
bentuk tubuhnya lenyap. Yang terlihat hanyalah kelebatan bayangan coklat yang
tidak jelas bentuknya, bergerak ke sana kemari.
Yang lebih menggiriskan lagi,
setiap gerakan Palasena selalu menimbulkan deru angin keras. Hal ini menandakan
tenaga dalam yang menyertai gerakannya cukup tinggi.
Lawata mengangguk-anggukkan kepala setelah menyaksikan beberapa saat lamanya.
Seulas senyum tampak tersungging di bibirnya. Jelas, harinya merasa puas
menyaksikan kemampuan Palasena.
Garuda Cakar Lima tentu saja
melihat anggukan kepala dan senyum pengemis berkulit kemerahan itu. Dan dia
tahu artinya. Maka perasaan bangganya pun semakin membesar.
"Terima kasih, Garuda Cakar Lima.
Memang, sudah kuduga kalau kau tidak akan mengecewakanku."
Ucapan terima kasih dari Lawata
membuat wajah Garuda Cakar Lima semakin berseri-seri.
"Kau tidak usah berterima kasih padaku, Lawata. Tapi bersyukurlah, karena telah
menemukan seorang anak yang
berbakat dan gigih. Yang kulakukan hanya sekedar mengajarnya saja. Hasil
semuanya, terpulang pada Palasena," sahut Garuda Cakar Lima merendah.
"Ucapanmu itu tidak seluruhnya benar, Garuda Cakar Lima," cela Pengemis berkulit
kemerahan. "Betapapun berbakat dan gigihnya seorang murid, tapi kalau sang Guru
tidak bisa memberi pelajaran dengan baik, maka hasilnya akan mengecewakan pula.
Kau tahu itu, bukan?"
Garuda Cakar Lima menganggukkan
kepala, karena memang ucapan Lawata benar belaka.
"Dan..., itu berarti kau adalah seorang guru yang mampu memberi pelajaran dengan
baik. Kau seorang guru yang pandai, Garuda Cakar Lima," sambung Lawata bernada
menang. "Kau memang pintar menyudutkan orang, Lawata," terpaksa Garuda Cakar
Lima mengalah. "Ha ha ha...! Tapi, semua yang kukatakan itu benar, bukan"! Coba bantah kalau
memang aku salah," tantang Lawata gembira.
"Aaah...! Sudahlah, Lawata! Kalau dilanjutkan, entah kapan akan berakhir
perdebatan ini. Dan...."
"Kau benar!" selak Lawata cepat, sebelum Garuda Cakar Lima melanjutkan
ucapannya. Usai berkata demikian, Lawata
mengalihkan perhatian pada Palasena yang masih sibuk berlatih.
"Cukup, Sena!" perintah Pengemis berkulit kemerahan itu pada Sena.
Remaja berpakaian coklat itu sama
sekali tidak berani membantah. Segera gerakannya dihentikan dan diberikannya
penghormatan pada Garuda Cakar Lima dan Lawata.
"Aku puas melihat hasil latihanmu selama ini, Sena. Ternyata kau tidak
mengecewakanku. Aku puas...," puji Lawata, bernada sungguh-sungguh.
"Semua itu berkat didikan Garuda Cakar Lima, Kek. Beliau melatihku secara
sungguh-sungguh," sahut Palasena merendah.
"Hal itu memang tidak bisa
kupungkiri, Sena. Nah! Sekarang, sudah tiba saatnya kau menjadi muridku. Sebelum
mati, aku ingin mewariskan seluruh ilmu yang kumiliki padamu. Kau sudah siap
meninggalkan tempat ini"!"
"Siap, Kek!" jawab Palasena tegas dan mantap. "Bagus! Sekarang, berpamitanlah!"
perintah Lawata.
Tanpa menunggu diperintah dua kali, Palasena segera meninggalkan Lawata.
Dihampirinya Garuda Cakar Lima dan Kuntari untuk yang terakhir kalinya.
Sementara itu, Garuda Cakar Lima
dan Kuntari memang sudah mengetahui kalau saat perpisahan akan datang juga. Maka
mereka pun bergerak menghampiri Palasena pula. Seketika itu pula, suasana haru
menyelimuti sekitarnya. Garuda Cakar Lima dan Kuntari memang menyukai Palasena,
karena sikapnya yang menyenangkan.
Demikian pula sebaliknya Palasena. Pemuda itu benar-benar mengagumi keramahan
mereka. "Aku pergi dulu, Guru, Kuntari,"
pamit Palasena setelah semuanya selesai.
"Jaga diri kalian baik-baik."
Garuda Cakar Lima dan Kuntari
menganggukkan kepala, meskipun sambil tersenyum getir.
"Jaga dirimu baik-baik, Sena!"
Hampir berbareng, kakek kecil kurus dan cucunya itu mengucapkan demikian.
Palasena hanya bisa mengangguk.
Perasaan haru yang menyesakkan dada dan
menyumbat tenggorokannya, membuatnya mengalami kesulitan untuk mengucapkan kata-
kata. Maka, hanya itulah yang bisa dilakukannya.
Tak lama kemudian, Palasena dan
Lawata melesat meninggalkan tempat itu.
Tentu saja setelah Lawata berpamitan pada Garuda Cakar Lima. Tubuh kedua orang
berbeda usia yang telah berpisah selama tiga tahun itu melesat menuruni lereng
gunung. Dengan ilmu meringankan tubuh yang dimiiki, bukan merupakan masalah sulit bagi
mereka menuruni lereng gunung.
Meskipun, banyak terdapat tonjolan baru.
Apalagi lereng itu sendiri cukup terjal.
Hanya dalam beberapa kali lesatan, tubuh Palasena dan Lawata telah lenyap dari
pandangan Garuda Cakar Lima dan Kuntari. Tapi, tetap saja kedua orang itu
berdiri mematung di situ.
*** Waktu berlalu tanpa terasa. Ter-
kadang melesat cepat laksana anak panah lepas dari busurnya, tapi tak jarang
bergerak lambat seperti seekor siput merayap.
Hari masih pagi. Sang Surya baru
saja muncul di langit dalam bentuk bola besar berwarna merah membara. Angin yang
bertiup pun masih terasa segar di dada dan nikmat di kulit. Dan dalam suasana
seperti ini, dua sosok tubuh tampak tengah berhadap-hadapan. Keduanya sama-sama
duduk bersila, dengan telapak tangan bertumpu pada lutut.
Hebatnya, dua sosok tubuh itu sama-sama duduk di atas tiang baru yang runcing,
yang tingginya tidak kurang dari dua tombak. Anehnya, sedikit pun tidak terlihat
kesulitan pada dua sosok tubuh duduk di sana! Jangankan jatuh. Bergo-yangpun
tidak. Jelas, kedua sosok tubuh itu bukan orang sembarangan.
Dua sosok tubuh itu terdiri dari
seorang kakek berpakaian pengemis dan seorang pemuda berpakaian coklat. Wajah
kakek itu berkulit kemerahan. Sementara si pemuda berwajah tampan dan jantan.
Tubuhnya tegap, kekar, dan berisi.
"Sena."
Pengemis berkulit kemerahan itu
membuka ucapan seraya menatap wajah pemuda berpakaian coklat di hadapannya.
"Ya, Kek," sahut pemuda berpakaian coklat yang ternyata Palasena, sambil
mengangkat wajah sejenak menatap wajah pengemis berkulit kemerahan yang tidak
lain Lawata. Kemudian, kepala pemuda itu menunduk kembali.
"Sudah tiga tahun kau tinggal bersamaku di sini," sambung Lawata lagi.
"Dan selama itu pula, kau mempelajari ilmu-ilmu yang kuturunkan padamu. Dan
sekarang, tidak ada lagi ilmu yang bisa kuajarkan padamu. Semua ilmuku telah
kuwariskan!"
Lawata menghentikan ucapannya
sejenak untuk mengambil napas.
"Kini sudah saatnya bagimu untuk terjun ke dunia persilatan. Amalkanlah semua
yang telah kau pelajari di sini, Sena! Kau harus menjadi seorang pendekar
pembela kebenaran. Cegahlah kejahatan semampumu!"
"Tapi, Kek. Aku tidak tega
meninggalkan Kakek sendirian di sini, di tempat yang terasing seperti ini.
Dan...." "Kau keliru, Sena!" potong Lawata cepat sebelum Palasena terus melanjutkan
ucapannya. Lawata memang sengaja melakukannya untuk mencegah Palasena meneruskan perkataan-
perkataan yang berisi kece-ngengan. Dia tidak ingin pemuda
berpakaian coklat itu tenggelam dalam kesedihan.
Bende Mataram 5 Pedang Pembunuh Naga Penggali Makam Karya Tan Tjeng Hun Utusan Dari Negeri Leluhur 2
^