Pencarian

Nyawa Kedua Dari Langit 1

Dewa Arak 84 Nyawa Kedua Dari Langit Bagian 1


NYAWA KEDUA DARI
LANGIT oleh Aji Saka Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting : Puji S.
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Aji Saka Serial Dewa Arak
Dalam episode Nyawa Kedua dari Langit
128 hal ; 12 x 18 cm
1 Seorang lelaki gagah berkumis tipis dan beralis
tebal tengah duduk sambil memeluk lutut di pinggir
Sungai Serayu yang cukup lebar ini. Tubuhnya yang
kekar, terbungkus pakaian putih. Usianya sekitar lima puluh lima tahun. Sejak
matahari muncul dia bersikap seperti itu. Sepasang matanya tertuju ke permukaan
air. Tapi, bola matanya tidak bergerak-gerak sama sekali. Lelaki ini tetap tidak
bergeming dari tempatnya, kendati pendengarannya menangkap adanya suara
langkah kaki mendekati. Bahkan, ketika langkah di be-lakangnya telah berhenti,
tubuhnya masih belum ber-
geming. "Kak Gandrung...." Terdengar suara panggilan dari belakang laki-laki
itu. Asalnya, dan mulut seorang wanita muda berusia sekitar dua puluh lima
tahun. Wajahnya cantik manis dengan tubuh sintal. Penampi-
lannya begitu menarik!
"Hmmm...!"
Lelaki berkumis tipis hanya menggumam pelan,
tanpa menoleh sama sekali. Apalagi sampai mengge-
mingkan tubuhnya. Dia tak ubahnya patung batu!
"Kucari kemana-mana, kiranya ada di sini. Ma-
ri, Kak. Kita pulang. Makan siang telah kusiapkan. Kalau keburu dingin, tidak
enak menikmatinya," ajak wanita berpakaian serba hijau itu. Sedikit pun tidak
merasa tersinggung atau kecil hati melihat tanggapan laki-laki berkumis tipis
yang dipanggil Gandrung, atau bernama lengkap Kebo Gandrung.
"Aku belum lapar, Cempaka. Kalau kau sudah
lapar, makan duluan saja," tukas Kebo Gandrung, te-
tap tidak menoleh. Nada suaranya masih tetap seperti semula. Datar, dan tidak
bersemangat Wajah wanita berpakaian serba hijau yang di-
panggil Cempaka sejak datang memang tidak kelihatan
berseri-seri. Dan kini dia semakin gelap. Meski demikian, kecantikannya sama
sekali tidak berkurang. Apalagi ketika mengukir senyum di bibirnya, walau terasa
dipaksakan. "Mungkin kau tidak tahu, Kak Gandrung. Aku
telah membuat masakan kegemaranmu. Ikan mujair
panggang. Aku yakin kau pasti akan ketagihan karena
bumbunya pun istimewa. Mari, Kak. Bukankah kau
sudah lama tidak menikmati masakan kegemaran-
mu"!" Cempaka masih berusaha membujuk.
"Pulanglah, Cempaka. Makan saja duluan. Saat
ini aku tengah tidak ingin makan. Aku ingin sendi-
rian...," desah Kebo Gandrung.
"Kalau begitu, aku juga tidak ingin makan!"
sentak Cempaka, agak keras. "Aku pun ingin di sini!
Barangkali enak memandang permukaan Sungai Se-
rayu sambil melarikan diri dari kenyataan!"
Tanpa menunggu tanggapan Kebo Gandrung,
wanita cantik ini duduk memeluk lutut di sebelah Ke-
bo Gandrung, terpaut jarak sekitar dua tombak.
Kebo Gandrung hanya menghela napas berat.
Namun, tetap tidak berkutik dari tempatnya.
Sementara Cempaka, hanya sebentar dapat
bertahan duduk memeluk lutut. Dia segera bangkit
dan pindah, lalu duduk di sebuah batu sebesar kamb-
ing yang ada di situ. Tanpa menoleh pada Kebo Gan-
drung, dipungutnya batu sebesar kepalan bayi yang
berserakan di tepian Sungai Serayu ini. Lalu, dilempar-lemparkannya ke dalam
sungai. Plung! Mula-mula Kebo Gandrung tidak peduli. Tapi,
ketika batu-batu itu terus saja menghunjam ke per-
mukaan sungai, hatinya mulai merasa tidak nyaman.
Padahal saat ini hatinya ingin suasana tenang dan
hening. Tak heran kalau bunyi-bunyi itu benar-benar
mengganggunya. "Bisakah kau biarkan pikiranku tenang seben-
tar, Cempaka"!" tegur Kebo Gandrung. Kali ini kepalanya menoleh, menatap Cempaka
yang berada di se-
belahnya. "Kau tidak adil, Kak Gandrung!" sambut Cempaka, agak keras. "Kau pikir hanya kau
saja yang membutuhkan ketenangan"! Aku pun demikian!"
"Tapi, tidak harus dengan menggangguku,
Cempaka," bantah Kebo Gandrung.
"Aku tidak bermaksud mengganggumu. Tapi,
memang beginilah caraku mencari ketenangan."
Kebo Gandrung tidak menanggapi lagi. Dia ma-
lah berdiri, kemudian melangkah meninggalkan tempat
ini. Cempaka ikut bangkit, tapi tidak bergerak
mengejar. "Kau mengecewakanku, Kak Gandrung! Kau
bukan seperti Kebo Gandrung yang dulu! Kau lemah!
Cengeng! Pengecut!" sembur Cempaka berapi-api.
Langkah Kebo Gandrung kontan terhenti. Tu-
buh kekarnya berbalik. Sepasang matanya yang tajam,
menatap Cempaka.
"Bukankah sudah kukatakan sejak dulu, sebe-
lum kita memutuskan untuk menjadi suami istri,
Cempaka"! Sudah kukatakan, akhirnya kau akan ke-
cewa. Tapi kau keras kepala! Sekarang, kekhawatiran-
ku terbukti, bukan?"
"Masalah ini tidak ada hubungannya dengan
hal-hal di waktu dulu, Kak Gandrung! Aku yakin, pan-
danganmu tidak picik untuk mengetahuinya. Dan...."
"Aku memang picik pandangan, Cempaka!" po-
tong Kebo Gandrung. "Aku tua bangka tak tahu diri!
Pengecut! Lemah! Cengeng! Orang sepertiku, mana
pantas menjadi suami dari wanita muda dan cantik
sepertimu...!"
"Kak...! Kak Gandrung...!"
Cempaka memanggil-manggil, ketika melihat
Kebo Gandrung berlari cepat meninggalkan tempat itu.
Dia cepat mengejar, tapi tak sampai lima puluh tom-
bak segera dihentikan. Lari Kebo Gandrung terlalu cepat untuk dapat disusulnya.
Wanita itu hanya bisa berdiri memandangi,
hingga tubuh Kebo Gandrung lenyap di kejauhan. Be-
berapa saat dia bersikap seperti itu, lalu dengan langkah gontai kakinya
melangkah meninggalkan tempat
ini. Dia segera kembali ke pondoknya, yang selama ini menjadi tempat tinggal
bersama Kebo Gandrung, suaminya.
*** Bunyi berderit terdengar, ketika Cempaka men-
dorong daun pintu pondoknya yang tertutup tapi tidak terkunci. Wajahnya menunduk
menekuri tanah.
Namun mendadak saja, wanita ini baru terjing-
kat ke belakang, begitu mengangkat wajah seiring
ayunan kakinya saat memasuki ambang pintu. Sepa-
sang matanya terbelalak lebar, seperti melihat hantu siang bolong.
"Kau..."!" seru Cempaka dengan suara tercekat.
Tenggorokannya mendadak kering, melihat sosok di
hadapannya. Di ruangan tengah duduk seorang pemuda ber-
pakaian serba hitam di sebuah kursi. Kaki kanannya
ditumpangkan pada paha kirinya. Pemuda ini me-
nyunggingkan senyum lebar sambil mengunyah.
Semula, Cempaka tidak begitu mengetahui apa
yang dikunyah pemuda ini. Tapi ketika pandangannya
beralih pada seekor dari dua ekor ikan panggang di
atas meja yang sisinya telah koyak-koyak, Cempaka
langsung tahu. Jelas, yang dikunyah pemuda ini ada-
lah ikan panggang mujair yang semula disediakan un-
tuk suaminya! "Untuk apa kau kemari, Jahanam..."! Dan,
mengapa berani lancang mengambil masakan itu"!
Masakan itu kusediakan untuk suamiku, tahu"!"
"Untuk si tua bangka yang tidak punya malu
itu..."!" ejek pemuda berpakaian hitam sambil mengunyah potongan ikan yang baru
saja diambilnya lagi.
"Keluar kau, Jahanam...! Tinggalkan tempat
ini...! Cepat...! Jangan tunggu kesabaranku habis.
Atau, nyawamu kulenyapkan...!" ancam Cempaka, keras. Wanita ini begitu marah
mendengar hinaan yang
ditujukan pada suaminya.
Pemuda berpakaian hitam ini hanya tertawa si-
nis. Dia tidak merasa gentar sedikit pun, meski mendapat ancaman yang jelas
bukan ancaman kosong be-
laka. "Sama sekali tidak kusangka kalau kau akan betah hidup dengan tua bangka
bau tanah, Cempaka.
Apa yang kau harapkan dari tubuh renta itu"! Kau ti-
dak usah berpura-pura, Cempaka. Kau rindu belaian
bukan" Katakan saja. Aku tidak akan sungkan-
sungkan memberikannya padamu. Dan..."
"Tutup mulutmu yang kotor itu, Jagalpati...!"
potong Cempaka marah bukan main.
Cempaka cepat mengambil jarum-jarum yang
tersimpan di buntalan kain kecilnya.
Wrettt! Set! Set! Sekali Cempaka mengibaskan lengannya, maka
meluncurlah jarum-jarum itu ke arah pemuda berpa-
kaian hitam yang ternyata bernama Jagalpati.
Sementara Jagalpati hanya tersenyum menge-
jek. Ditunggunya hingga jarum-jarum itu menyambar
dekat. Kemudian....
"Phuhhh!"
Sekali Jagalpati meniup, deru angin keras lang-
sung menyambar. Maka jarum-jarum itu berguguran
ke tanah, seperti membentur dinding tidak nampak
Melihat hat ini Cempaka menggertakkan gigi.
Hatinya geram melihat serangannya berhasil dikan-
daskan. Seketika dicabutnya kipas baja hitam yang
terselip di pinggang. Sebuah kipas yang ujungnya terbuat dari baja runcing. Dan
bila dikebutkan, baja-baja runcing itu akan melesat ke arah sasaran.
Hnging! Hnging!
Maka ketika Cempaka mengebutkannya, seke-
tika terdengar bunyi berdesing nyaring dari baja-baja runcing meluncur mengancam
keselamatan Jagalpati.
Namun, pemuda itu seperti tak peduli sama se-
kali. Padahal, baja-baja runcing itu meluncur menuju bagian-bagian yang
berbahaya, terutama leher dan da-da. Sehingga....
Tap! Tap! Cempaka sudah tersenyum lebar ketika baja-
baja runcing itu mendarat telak di sasaran. Tapi, senyumnya langsung lenyap
ketika Jagalpati malah bi-
asa-biasa saja. Sepertinya tak ada sesuatu yang terjadi pada di dirinya,
"He he he...!"
Pemuda berpakaian hitam ini malah tertawa
gembira yang terdengar aneh di telinga. Mungkin kare-na leher dan dadanya yang
tertembus baja-baja runc-
ing, sehingga kemungkinan besar menghalangi sua-
ranya yang keluar.
Namun yang membuat Cempaka lebih terbela-
lak, tidak setetes pun darah yang mengalir dari tubuh Jagalpati. Bagaimana
mungkin hal ini terjadi" Apakah Jagalpati tidak memiliki darah dalam tubuhnya"
"Kaget, Cempaka"!" ejek Jagalpati, penuh kemenangan. "Ini belum seberapa. Masih
banyak ke- mampuan dahsyat lain yang kumiliki. Dan dengan se-
mua itu, akan kutebus penghinaan yang diberikan Ke-
bo Gandrung padaku!"
"Kau datang dengan maksud keji itu"!" tanya Cempaka, terbata-bata.
"Tentu saja!" tandas Jagalpati, mantap. "Kau pikir untuk apa aku kemari" Tentu
saja tidak lain untuk menghukum tua bangka yang berkhianat itu!"
"Untuk itu kau harus melangkahi mayatku, Ja-
galpati...!" tandas Cempaka, gagah.
"Tentu saja, Cempaka. Tapi perlu kutambahkan
sedikit kata-katamu. Mayatmu akan kulangkahi, tapi
setelah tubuhmu kugerayangi. Apakah kau tidak rindu
untuk mengulang kemesraan yang dulu kuberikan"!"
"Keparat!"
Sekujur tubuh Cempaka kontan menggigil ke-
ras bersama keluarnya ucapan itu. Dia kelihatan be-
rang, mendengar kata-kata Jagalpati.
Kata-kata Jagalpati mengingatkan Cempaka
saat dirinya hampir digauli secara paksa oleh pemuda itu. Tepatnya, lima tahun
lalu. Untungnya Kebo Gandrung yang sebenarnya masih satu komplotan dengan
Jagalpati, sadar dari kesesatannya. Cempaka segera
dibawanya kabur sebelum kegadisannya hilang.
Lelaki gagah berkumis tipis yang waktu itu be-
rusia lima puluh tahun, tidak sampai hati melihat nasib yang diderita Cempaka,
sehingga segera membe-
baskannya. Kebo Gandrung membuat kekacauan di
saat Jagalpati tengah berusaha memperkosa Cempaka.
Dia membakari bangunan markas dan membunuhi
anak buahnya sendiri. Usaha Kebo Gandrung menarik
perhatian Jagalpati, sehingga usahanya untuk mem-
perkosa Cempaka tertunda dan dia segera keluar un-
tuk melihat kekacauan. Maka kesempatan itu diguna-
kan Kebo Gandrung untuk menolong Cempaka dan
membawanya kabur.
Sayang, usaha Kebo Gandrung tidak berhasil
mulus ketika Jagalpati memergokinya. Maka pertarun-
gan antar dua tokoh sesat yang semula kawan itu pun
terjadi. Kebo Gandrung memang bukan tandingan Ja-
galpati. Untung baginya saat itu Cempaka ikut turun


Dewa Arak 84 Nyawa Kedua Dari Langit di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tangan. Jagalpati yang tidak sanggup melawan dua
orang, berhasil kabur meski menderita luka-luka cu-
kup parah. Karena terharu melihat pengorbanan dan ketu-
lusan cinta kasih Kebo Gandrung, Cempaka menerima
sebagai suaminya. Pasangan yang mempunyai perbe-
daan usia menyolok ini pun menikah dan tinggal di lereng Gunung Karang. Sebuah
tempat terpencil yang
panas. Tak heran kalau orang jarang menyukainya.
"Aku yakin, permainan asmara yang kuberikan
jauh tebih nikmat daripada yang diberikan si tua
bangka Kebo Goblok itu!" sambung Jagalpati, mengusir lamunan Cempaka akan masa
lalunya. Sambil berkata demikian, dengan tenang Jagal-
pati mencabut baja-baja runcing yang menghunjam
leher dan dadanya. Tampak garis tipis bekas hunja-
man baja-baja runcing. Tapi anehnya, tidak ada setitik darah pun yang keluar.
Luar biasa! Pemandangan itu saja sudah membuat Cempa-
ka terkejut bukan main. Tapi lebih terkejut lagi ketika melihat tanda hunjaman
pada leher dan dada langsung lenyap, ketika Jagalpati mengusapnya.
*** Jagalpati terkekeh penuh rasa puas melihat si-
kap Cempaka. Dia tahu, wanita muda ini merasa tak-
jub dan ngeri melihat keanehan-keanehan yang diper-
lihatkannya. Dan masih dengan kekeh yang terus ber-
hambur, pemuda ini bangkit berdiri.
"Oh...!"
Cempaka tak kuasa untuk menahan jeritan ka-
get, melihat meja di depannya terangkat pelan-pelan
begitu Jagalpati bangkit. Bahkan ketika, Jagalpati telah berdiri tegak, meja itu
masih terus bergerak naik!
Gerakan meja itu baru berhenti, ketika telah
mencapai jarak satu tombak dari lantai.
Dengan sikap tidak peduli melihat keterkejutan
Cempaka, Jagalpati bergerak menghampiri. Pemuda
itu berjalan melalui bawah meja yang tetap melayang.
Baru ketika telah tidak berada di bawahnya, meja itu bergerak turun pelan-pelan.
Bahkan ketika keempat
kakinya menyentuh tanah, sedikit pun tidak menim-
bulkan bunyi. Tepat ketika meja itu mendarat di lantai, Cem-
paka sadar dari terkesimanya. Seketika langsung dikeluarkannya kipas berujung
baja runcing lainnya yang
berwama merah darah!
"Hiaaat...!"
Sambil mengeluarkan pekikan nyaring me-
lengking, Cempaka menerjang Jagalpati!
Jagalpati sebenarnya memang memiliki watak
keji. Ketika di atas angin saat berhadapan dengan lawan, dia tak pernah buru-
buru membunuh. Sang la-
wan dipermainkan dulu, seperti halnya seekor kucing
yang mempermainkan dulu tikus sebelum dimakan.
Tindakan itu pula yang dilakukan Jagalpati terhadap
Cempaka. Sebenarnya bisa saja Jagalpati bertindak cepat
dengan mengandalkan tubuhnya yang tidak bisa dilu-
kai senjata, untuk merobohkan Cempaka. Tapi, itu ti-
dak dilakukannya. Seolah-olah yang dihadapinya ada-
lah lawan tangguh.
Pemuda ini cepat mengelakkan setiap serangan
Cempaka, namun cepat pula membalasnya. Dan tin-
dakannya tidak pantas disebut serangan, karena tidak membuat lawan terluka atau
terbunuh. Serangan-serangan aneh Jagalpati ini ditujukan pada bagian-
bagian tertentu di tubuh Cempaka, seperti payudara
atau bawah pusar.
Karuan saja Cempaka menjadi berang bukan
main. Beberapa kali makiannya terlontar, ketika jari-jari tangan Jagalpati
meremas dua bukit indahnya
atau mengusap bagian selangkangannya.
Ingin rasanya Cempaka menjerit-jerit dan me-
nangis. Dia telah berusaha sedapat mungkin agar da-
pat mengelakkan dari serangan cabul Jagalpati, tapi
tetap saja selalu gagal.
Jagalpati terkekeh-kekeh gembira dengan per-
mainannya. Tapi kian lama, kekehnya diiringi deru napas memburu. Birahinya telah
terangsang oleh per-
mainan yang dibuatnya sendiri.
Ketika pertarungan telah berlangsung dua pu-
luh jurus, Jagalpati mendengus.
"Kurasa permainan ini harus segera diakhiri,
Cempaka. Aku yakin kau sudah merindukan belaian-
ku...!" Ujar Jagalpati, dengan napas memburu.
Berbareng keluarnya ucapan itu, ia tiba-tiba
menjulurkan tangannya, merenggut pakaian Cempaka
di bagian dada.
Brett! "Aaaww!"
Tanpa dapat dicegah lagi, Cempaka memekik
kaget bercampur malu dan marah ketika pakaiannya
di bagian dada koyak. Seketika bukit kembarnya yang
indah berkulit putih mulus, mencuat seperti hendak
melompat keluar.
Jagalpati langsung menelan ludahnya dengan
susah payah. Jakunnya bergerak turun naik dengan
cepat. Napasnya memburu. Sepasang matanya terbela-
lak. Biji matanya seperti hendak keluar dari rong-
ganya. "Keparat! Cabul!"
Cempaka melompat mundur disertai makian
tak karuan. Dengan sebisa-bisanya payudaranya beru-
saha ditutupi agar tidak menjadi santapan mata Ja-
galpati yang liar.
"Hih...!"
Bret! Brettt! Tapi hanya sebentar saja hal itu bisa dilaku-
kan, karena Jagalpati telah kembali melancarkan se-
rangan berupa renggutan-renggutan. Cempaka beru-
saha keras menangkal, tapi tetap sia-sia belaka.
Tak sampai sepuluh jurus pertarungan ber-
langsung, Cempaka telah berdiri di hadapan Jagalpati dalam keadaan tanpa benang
sehelai pun! Jagalpati
beberapa kali menelan ludah.
Sekarang Cempaka kebingungan, berusaha
menutupi tubuhnya yang terlarang dengan kedua tan-
gannya. Namun tetap saja keadaan ini membuat Ja-
galpati berkali-kali menelan ludahnya dengan tatapan liar.
Jagalpati kembali terkekeh. Tiba-tiba ujung ka-
ki kanannya dibenturkan ke lantai. Pelan saja, seperti tidak mengandung arti.
Tapi, tidak demikian halnya
yang dirasakan Cempaka. Mendadak saja tubuhnya te-
rasa mendapatkan daya tarik luar biasa. Tarikan yang membawa tubuhnya meluncur
ke arah Jagalpati.
Cempaka tidak tinggal diam. Dicobanya untuk
bertahan, tapi sia-sia belaka. Karena di samping tarikan Itu amat kuat, kedua
tangannya yang berada da-
lam sikap melindungi bagian tubuhnya yang terlarang, membuat segi-segi yang
menguntungkan Jagalpati semakin besar.
"Aaah...!"
Cempaka menjerit tertahan ketika tubuhnya
sudah hampir jatuh ke pelukan Jagalpati. Tapi, pemu-
da itu rupanya tidak menginginkan hal demikian. Tan-
gan kirinya cepat dikibaskan maka tubuh Cempaka
kembali melayang.
Saat tubuhnya melayang untuk kedua kali ini,
Cempaka berusaha mempergunakan sebaik-baiknya.
Wanita itu melihat arah jatuh tubuhnya adalah di atas meja, di mana masih
terdapat ikan-ikan panggang.
Cempaka berpikir cepat. Dia telah memutuskan
untuk menggulingkan tubuh bila jatuh di meja, kemu-
dian melesat cepat meninggalkan tempat ini. Disadari, menentang Jagalpati hanya
akan merugikan diri sendiri.
Tapi harapan hanya jatuh di angan-angan. Be-
berapa saat sebelum tubuh Cempaka jatuh di atas me-
ja, Jagalpati meniup.
"Fhuhh...!"
Cempaka tidak melihat apa pun, kecuali sesua-
tu yang menyentuh salah satu tubuhnya. Saat itu juga sekujur tubuhnya langsung
lemas. Meski belum pernah menemukan sendiri, tapi disadari kalau Jagalpati telah
menotoknya dari jarak jauh dengan mempergunakan tiupan.
Begitu selesai meniup, Jagalpati mengejangkan
sekujur tubuhnya. Sementara Cempaka yang sempat
melihat, merasa ngeri bukan main. Karena begitu se-
kujur tubuh Jagalpati kembali melemas, tak sehelai
pakaian pun yang melekat. Semuanya tergolek di lan-
tai! Tanpa menjejakkan kaki atau menekuk lutut,
tubuh Jagalpati melayang bagai seekor burung me-
nyusul tubuh Cempaka yang sudah hampir menimpa
meja. Sedangkan di atas meja masih tergolek ikan-ikan panggang di baki.
Dalam keadaan masih melayang di udara, Ja-
galpati mengibaskan tangan.
Wutt! Prang! Seketika baki yang berisi ikan-ikan panggang
pun melayang jauh, membentur dinding. Sekejap ke-
mudian, tubuh Cempaka tiba di atas meja.
Bruk! Disusul tubuh Jagalpati yang tepat di atasnya,
menindih. "Oh...!"
Jagalpati benar-benar ingin menikmati permai-
nannya. Begitu menindih, totokan pada Cempaka di-
bebaskannya. Karuan saja hal ini membuat wanita itu
meronta-ronta. Akibatnya, dua tubuh tanpa busana
pun bergulat di atas meja.
"Lepaskan aku, Bangsat Terkutuk! Bunuh saja
aku!" teriak Cempaka.
Wanita ini berjuang keras untuk memperta-
hankan kehormatannya. Di lain pihak, Jagalpati beru-
saha keras merenggutnya. Perlawanan mati-matian
Cempaka membuat usaha pemuda itu mengalami
hambatan. Cukup lama hal itu berlangsung, sebelum ak-
hirnya Cempaka kehabisan tenaga. Jagalpati terlalu
kuat untuk ditahan. Apalagi dalam keadaan diamuk
nafsu yang membuat kekuatannya seperti berlipat
ganda. Jagalpati tersenyum penuh kemenangan, ketika
Cempaka tidak mengadakan perlawanan lagi. Disertai
nafsu birahi yang bergolak semakin hebat, dipermain-
kannya gadis itu dengan buas.
*** Cempaka hanya bisa merintih dalam hati ketika
Jagalpati mulai menjarah sekujur tubuhnya. Jagalpati benar-benar telah kerasukan
setan. Tidak hanya kedua tangannya yang bergerak liar menjarah tapi juga
mulutnya. Dengan nafsu menggebu-gebu dan napas men-
deru-deru, Jagalpati menciumi sekujur wajah Cempa-
ka. Tidak puas hanya dengan menciumi, tangannya
meremas-remas ke sana kemari.
Jagalpati tidak mempedulikan sama sekali rin-
tihan Cempaka yang memohon agar Jagalpati tidak
menyetubuhinya. Tapi, justru hal itu semakin menam-
bah semangat pemuda ini. Bagi Jagalpati, rintihan
Cempaka, bagaikan yang menambah besar nafsu bira-
hinya yang meletup-letup menuntut pelampiasan.
Tak lama kemudian, Jagalpati terperanjat, keti-
ka merasakan adanya sesuatu yang lain. Sesuatu yang
sama sekali tidak diduganya, tapi jelas dirasakannya.
Pemuda berpakaian hitam ini bergegas bangkit
dari tubuh Cempaka yang ditindihnya. Dengan penuh
rasa penasaran, dipandangnya bagian bawah tubuh
wanita itu. Dan, dia langung terkejut ketika melihat jelas pada daun meja cairan
merah segar. Darah. Dan,
darah itu berasal dari celah-celah paha Cempaka!
Jagalpati terkesima. Apa yang tadi dirasakan
sebelum mencapai puncak pelampiasan nafsunya, ter-
nyata tidak salah. Bukti jelasnya telah disaksikannya sendiri. Cempaka masih
perawan! Dan dialah yang telah merobek selaput dara Cempaka pertama kali! Di-
alah yang merampas kegadisan Cempaka!
Di saat Jagalpati terkesima menerima kenya-
taan yang tidak disangka-sangkanya, Cempaka tengge-
lam dalam alun kesedihannya. Wajahnya basah oleh
air mata bening yang mengalir deras.
"Ha ha ha...!"
Jagalpati tertawa bergelak. Kelihatan gembira
sekali. Dia tertawa dalam keadaan berdiri mempergu-
nakan kedua lututnya di atas meja.
"Kiranya tua bangka itu banci, Cempaka"! Ka-
sihan sekali! Pasti selama ini kau kesepian...! Kau pasti sangat kehausan...!
Mari kita ulangi kenikmatan
itu...!" *** 2 Kebo Gandrung berdiri di pinggir sungai, yang
masih satu aliran dengan Sungai Serayu tempatnya
duduk termenung. Hanya saja, jaraknya telah ribuan
tombak dari tempat semula. Di tempat ini beberapa
kali, lelaki yang masih kelihatan gagah dan tampan ini menarik dan menghembuskan
napas. Tingkahnya seakan-akan tengah membuang ganjalan dalam dadanya.
"Istriku benar...!" desis Kebo Gandrung, terdengar tajam. Ucapan yang ditujukan
untuk dirinya sendi-ri. "Aku tidak hanya cengeng, pengecut, dan lemah!
Aku juga bodoh! Ah...! Semua ucapanmu benar sekali,
Cempaka. Aku memang picik! Aku hanya mementing-
kan diriku sendiri. Tidak pernah kupikirkan kalau kau juga menanggung perasaan
sama. Ah..., aku tua bangka yang tidak punya pikiran! Hih!"
Kebo Gandrung baru saja hendak mengelua-
rkan uneg-unegnya lagi, tiba-tiba terdengar bunyi
langkah-langkah kaki. Cepat kepalanya menoleh. Wa-
jahnya seketika berseri, ketika melihat seorang kakek cebol berkepala besar.


Dewa Arak 84 Nyawa Kedua Dari Langit di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sehingga, yang terlihat hanya kepalanya saja.
"Bagaimana, Tunggul"! Apakah kau berhasil
memenuhi permintaanku..."! Apakah bahan-bahan
untuk ramuan telah berhasil kau temukan"!" tanya Kebo Gandrung pada lelaki cebol
yang dipanggil Tunggul.
Kakek cebol itu tersenyum lebar, merasakan
adanya harapan besar dalam pertanyaan Kebo Gan-
drung. Buktinya langkah kaki lelaki gagah itu lebar-
lebar ketika menghampirinya.
"Ucapkan syukur pada Tuhan, Gandrung," ujar
kakek cebol bernada menggurui. "Bahan-bahan yang aku inginkan, berhasil
kutemukan. Dan dengan demikian, aku pun berhasil meramunya!"
"Apakah sekarang kau membawanya, Tung-
gul"!" desak Kebo Gandrung, penuh harap.
Kakek cebol itu mengangguk, kemudian men-
gambil sebuah kendi kecil dari selipan pinggangnya.
Tanpa basa-basi sama sekali dilemparkannya pada
Kebo Gandrung. "Selamat bermalam pengantin, Gandrung. In-
gat! Jangan terlalu rakus. Nanti kau dan istrimu tidak bisa bangun" gurau Aki
Tunggul sambil berbalik dan meninggalkan tempat itu. Tawanya yang bernada canda
terdengar terus sepanjang ayunan kakinya mening-
galkan tempat ini.
Kebo Gandrung merasakan selebar wajahnya
panas. Tapi untungnya, Aki Tunggul tidak memperha-
tikannya lebih lanjut. Meskipun demikian, rasa ma-
lunya tidak sebesar perasaan gembiranya melihat
pemberian Aki Tunggul.
Dengan wajah berseri-seri dan khayalan tinggi,
Kebo Gandrung berlari meninggalkan tempat itu. Dia
ingin segera tiba menjumpai Cempaka, istrinya. Akan
ditunjukkan pada istrinya kalau dirinya adalah seo-
rang lelaki sebagaimana lelaki lainnya.
"Cempaka...!"
Dua tombak sebelum mencapai pintu pondok,
Kebo Gandrung telah memanggil-manggil istrinya.
Lembut dan sarat kasih sayang yang besar. Di dalam-
nya pun telah tersirat permintaan maaf.
Ketika tidak ada sahutan sama sekali, Kebo
Gandrung tidak kecil hati. Dugaannya, mungkin Cem-
paka masih marah atas kejadian yang belum lama ber-
langsung. Kebo Gandrung menghentikan larinya. Kini dia
berjalan pelan-pelan mendekati daun pintu.
"Cempaka.... Istriku sayang. Ini aku datang...!
Aku...." Kata-kata itu dikeluarkan Kebo Gandrung sambil mendorong daun pintu.
Kakinya terayun masuk
ke dalam, namun langsung tertahan di tengah jalan.
Mendadak saja, kedua kaki Kebo Gandrung
menggigil keras. Sepasang matanya terbelalak lebar
begitu melihat pemandangan yang terpampang di de-
pannya. Di ruang tengah, di atas meja tergolek sesosok
tubuh mulus dan putih milik Cempaka dalam keadaan
tanpa busana, tak bergerak sedikit pun.
Saat itu juga Kebo Gandrung merasakan tu-
buhnya limbung. Terpaksa tangannya berpegangan
pada ambang pintu agar bisa berdiri tegak. Wajahnya
pucat laksana mayat. Mulutnya mengeluarkan rinti-
han-rintihan tak jelas, walau sebenarnya berusaha
menggulirkan nama istrinya.
Kebo Gandrung tahu kalau Cempaka telah me-
ninggal dunia. Pergi meninggalkan secara amat menge-
rikan! Sebagai tokoh yang telah kenyang pengalaman
dia tahu kalau Cempaka telah diperkosa sebelum di-
bunuh secara amat mengerikan.
Beberapa saat, setelah berhasil mengusir gun-
cangan perasaannya, Kebo Gandrung menghampiri
mayat Cempaka. Rasa sesal dan dendam bercampur
jadi satu. Dia merasa malapetaka itu terjadi karena sikapnya. Itu yang
membuatnya menyesal. Sedangkan
rasa dendam terhadap pelakunya, karena istrinya di-
perkosa dan dibantai demikian keji.
Sepasang mata Kebo Gandrung seperti meman-
carkan api ketika melihat pisau berbatang merah dan
bergagang ukiran tengkorak manusia!
"Jahanam...! Akan kubalaskan kekejian ini...!
Tunggulah kedatanganku, Keparat...!" desis Kebo Gandrung penuh dendam dan sakit
hati. Lelaki gagah ini amat mengenal benda itu yang
merupakan senjata rahasia khas milik Pimpinan Ge-
rombolan Setan Merah. Kelompok kaum sesat yang
hancur lima tahun lalu, karena serbuan para pende-
kar. Perlahan sekali lelaki ini menutupi tubuh Cem-
paka yang bugil. Dengan hati-hati seakan memegang
benda dari bahan yang mudah hancur, Kebo Gandrung
mengangkat tubuh wanita ini.
Kebo Gandrung mencium kening Cempaka.
"Maafkan aku, Cempaka. Kalau tidak karena sikapku, peristiwa ini tak akan
terjadi. Tapi, percayalah. Ke ma-na pun pelaku ini lari, akan kucari! Hanya ada
satu pilihan, kalau tidak penjahat itu, aku yang mati," janji lelaki gagah ini
di tetinga istrinya, nadanya tajam penuh dendam.
Kebo Gandrung melangkah hati-hati mening-
galkan pondoknya. Setibanya di luar, tubuh itu digeletakkan di tanah. Lalu
digalinya sebuah lubang kubu-
ran untuk tempat peristirahatan istrinya yang terakhir.
Di tempat yang jauh lebih tinggi dari sekitarnya.
"Tenanglah kau di alam baka, Cempaka. Aku
yang akan membalaskan semua sakit hatimu," tandas Kebo Gandrung, tanpa
menghentikan kesibukannya
membuat lubang kuburan.
*** Bunyi kecipak air mengiringi langkah kaki seo-
rang gadis berpakaian kuning dengan dua buah tong
dari kayu pada bahunya. Rasanya tidak tepat bila disebut langkah, karena kaki-
kakinya yang mungil men-
darat pada ranting-ranting sebesar ibu jari tangan
yang ditancapkan secara teratur di tanah.
Tong-tong yang mempunyai pegangan itu terus
berkecipak saat gadis ini melangkah. Karena, tong-
tong yang cukup besar itu dipikul hanya dengan rant-
ing sebesar ibu jari kaki.
Ranting yang dipijak dan yang dijadikan piku-
lan langsung melengkung, setiap kali kaki mungil ga-
dis ini menjejak. Meski demikian, tak setetes air pun yang memercik dari tong-
tong kayu yang penuh terisi
air itu. Setelah menempuh perjalanan sejauh tiga pu-
luh tombak, di kanan kiti gadis itu terhampar tanaman cabai yang tingginya tak
sampai seperempat tombak!
Pohon-pohon cabai telah berbuah. Namun anehnya
cabai itu sebagian berwarna putih dan sebagian lagi hitam! Ranting-ranting yang
ditancapkan di tanah itu ternyata berakhir pada tanaman cabai yang terakhir.
Dan begitu tiba, gadis ini menyiramkan air dari tong-tong kayu itu. Dan baru
sebagian tanaman cabai dis-
iram, mendadak....
"Rajin sekali...."
Terdengar sebuah ucapan pelan, namun mem-
buat gadis ini terjingkat ke belakang bagai disengat kalajengking. Kepalanya
langsung menolehkan ke sebe-
lah kanan, tempat asal suara yang bernada ejekan.
Ternyata di samping kanannya telah berdiri seorang
pemuda berpakaian serba hitam.
"Sayang, kerajinan ini tidak menghasilkan apa-
apa, kecuali kelelahan dan onggokan sampah tidak
berguna...," sambung pemuda itu.
Sepasang mata gadis berpakaian kuning ini
kontan berkilatan. Dirasakan adanya ancaman dari
mulut pemuda itu.
"Siapa kau, Manusia lancang..."! Apa maksud-
mu datang kemari" Hm.... Kau tahu, tempat ini bukan
untuk bersenang-senang"!" tegur gadis itu dengan na-da tinggi, tanpa ada
keramahan sedikit pun.
Tapi pemuda yang tak lain Jagalpati hanya ter-
senyum. Tidak kelihatan tersinggung sama sekali.
"Siapa bilang bukan tempat untuk bersenang-
senang"!" kilah Jagalpati kalem. "Kedatanganku kemari justru untuk bersenang-
senang. Semula..., yahhh....
Hanya bersenang-senang dengan tanaman-
tanamanmu. Tapi sekarang" Malah bertambah senang
bila kau terus di sini. Aku yakin gadis cantik dan sintal sepertimu memiliki
kenikmatan tersendiri untuk dijadikan kawan bermain asmara. Ha ha ha...!"
"Manusia berotak kotor...!" bentak si gadis.
Selebar wajah gadis ini merah padam karena
malu dan marah mendengar ucapan dan sikap Jagal-
pati yang jelas-jelas menyiratkan otaknya yang kotor.
"Orang sepertimu yang hanya akan mengotori
dunia, tidak patut dibiarkan hidup lama! Biarlah aku yang akan turun tangan
melenyapkanmu!"
Seketika gadis ini mengayunkan pukulannya.
Wuttt! Tong yang berada di salah satu ujungnya me-
layang deras ke arah kepala Jagalpati. Namun pemuda
cabul ini hanya tertawa. Sekali lututnya ditekuk, serangan itu hanya lewat di
atas kepalanya.
Si gadis semakin kalap melihat serangannya
gagal. Apalagi secara demikian mudah dan penuh hi-
naan sehingga, dia merasa diremehkan. Kini pikulan
sederhana yang ditangannya bisa menjadi senjata ber-
bahaya, digerakkan kalang-kabut
Wutt! Wutt! Bunyi menderu-deru terdengar ketika tong itu
lenyap dari pandangan saking cepatnya berputar. He-
batnya, tong-tong itu tidak terlempar. Padahal hanya dltempelkan begitu saja!
"Aih.,.! Kiranya kau galak juga, Nona Manis. Ingin kurasakan kegalakanmu ini
dalam permainan cinta
kita. Pasti menyenangkan sekali...!" leceh Jagalpati.
Kata-kata ini membuat amarah si gadis sema-
kin berkobar-kobar. Serangan-serangannya semakin
dahsyat. Tapi, Jagalpati tetap dapat menanggulan-
ginya. Beberapa kali serangan gadis ini dielakkan. Namun, tak jarang dibiarkan
saja mengenai tubuhnya.
Jagalpati yang memiliki watak keji dan gemar
mempermainkan orang, kembali menunjukkan kepan-
daiannya. Kalau dia mau, tong itu bisa dihancurkan.
Namun ketika mengenai tubuhnya, dia segera mem-
pergunakan tenaga lembut. Sehingga, tong itu seperti bertemu kapas saja layaknya
tanpa pengaruh apa-apa
terhadap tubuh Jagalpati.
Seperti korban-korban lainnya, si gadis ini pun
diperlakukan sama oleh Jagalpati. Wataknya yang ca-
bul dan gemar mempermainkan orang, membuatnya
bertindak demikian. Beperapa kali, gadis berpakaian
kuning terpekik karena kaget dan marah, ketika tan-
gan-tangan Jagalpati hinggap di bagian-bagian tubuh-
nya yang terlarang.
Jari-jari tangan Jagalpati mencolek dan mere-
mas buah dada gadis itu dengan gerakan yang sulit
tertangkap mata. Tak luput, selangkangannya pun
mendapat bagian. Jari-jari tangan pemuda cabul itu
mengusapnya. Tindakan-tindakan ini menimbulkan
rasa marah dan malu!
Karena beberapa kali kecolongan, gadis ini me-
lompat ke belakang. Tubuhnya bersalto beberapa kali, sebelum menjejak tanah. Dia
hinggap sekitar lima
tombak di depan Jagalpati.
Bukannya mengejar, Jagalpati malah terkekeh-
kekeh penuh ejekan. Dibalasnya tatapan penuh kema-
rahan dan kebencian gadis itu dengan mencium-cium
jari-jari tangannya sendiri yang tadi menjarah bagian-bagian rawan yang dimiliki
seorang wanita.
*** Seketika gadis itu mengeluarkan sapu tangan
dari balik bajunya yang berbau harum. Gerakannya di-
lakukan seperti sengaja, agar Jagalpati mengikuti gerak-geriknya tanpa berkedip.
Gadis itu mengebutkan sapu tangannya.
Pletar! Mendadak terdengar bunyi nyaring seperti ada
ledakan, ketika sapu tangan itu terlecut.
Disertai senyum mengejek yang tidak lepas dari
mulut, Jagalpati memperhatikan semua gerak-gerik si
gadis. Dia masih tidak mengerti, apa yang dilakukan
gadis itu. Ctar! Pletaar! Pemuda cabul ini baru merasa terkejut, ketika
letupan yang terdengar kian lama kian terasa nyaring.
Seakan-akan di dalam telinganya terdengar ledakan-
ledakan keras bagai halilintar. Bahkan rasa pusing
mulai mendera. Jagalpati bukan orang bodoh. Sebaliknya, pe-
muda ini telah kenyang pengalaman dan memiliki ke-
cerdikan matang. Maka langsung disadari kalau bunyi
letupan itu bukan sembarangan.
Jagalpati tahu ada pengaruh gaib yang mem-
pengaruhi dalam letupan sapu tangan tadi. Maka sege-
ra dikerahkannya kekuatan batin untuk melawannya.
Kendati demikian Jagalpati tidak berani bertindak gegabah. Usaha Jagalpati tidak
sia-sia. Sedikit demi sedikit, pengaruh ledakan itu mulai berkurang. Bahkan
akhirnya, terusir sama sekali. Pemuda cabul ini mem-
buka matanya yang tadi terpejam. Dia langsung meng-
geram ketika gadis berbaju kuning tidak berada di depannya lagi.
Kini baru disadari Jagalpati kalau gadis yang
hampir menjadi korbannya telah kabur meninggalkan
tempat itu. Sungguh gadis yang cerdik! Jagalpati me-
muji dalam hati, kendati bercampur rasa geram. Dag-
ing yang telah berada di mulut dan tinggal dikunyah, ternyata harus lepas dari
cengkeraman! Jagalpati mengedarkan pandangan berkeliling!
Kesibukannya untuk melawan pengaruh sapu tangan
tadi, membuatnya tidak bisa mengetahui arah yang di-


Dewa Arak 84 Nyawa Kedua Dari Langit di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tempuh gadis itu saat kabur.
Tapi, Jagalpati ternyata tidak bisa menentukan
sama sekali ke arah mana gadis itu pergi. Untuk per-
tama kalinya, wajah yang biasanya dihiasi senyum
mengejek, terlihat masam. Terlihat jelas kalau hatinya tengah jengkel.
"Biarlah untuk kali ini kau lolos, Betina Jalang.
Tapi lain kali, jangan harap akan seberuntung ini," desis Jagalpati penuh
ancaman. Sekarang, pemuda cabul ini mengarahkan pan-
dangan ke arah deretan tanaman cabai.
"Untuk kali ini, tak kudapatkan apa yang kutu-
ju sejak semula," gumam Jagalpati lagi, sendirian.
Kemudian sambil menatap ke satu arah, pemu-
da ini mengeraskan suaranya. Tidak terlihat bibirnya berkemik. Namun, bunyi yang
terdengar keras bukan
main. Hingga sampai ke tempat amat jauh.
"Tua Bangka Gila! Guru dungu! Saksikanlah
sendiri.... Benda-benda yang akan membuat ilmuku
punah, menghancurkan keistimewaan ilmuku, akan
ku musnahkan! Dan aku tidak akan mempunyai lawan
lagi di dunia ini. Ha ha ha...!"
Jagalpati tertawa-tawa gembira. Kedua tangan-
nya disangga di pinggang. Wajahnya mendongak ke
langit, terlihat angkuh!
"Kau saksikanlah ini, Tua bangka bau tanah...!
Hih!" Begitu selesai kata-katanya, Jagalpati memutar-mutarkan kedua tangannya di
depan dada. Tangan
kiri di bawah tangan kanan dengan arah putaran dari
luar ke dalam. Tidak terdengar deru angin sama sekali. Tapi
sesaat kemudian, tanaman cabai di kedua sisi ranting-ranting yang menancap
berputaran keras seperti di-
hempas angin badai. Dimulai dari tanaman yang pal-
ing dekat. Sesaat kemudian, tanaman itu tumbang be-
rikut akar-akarnya saling susul hingga berserakan.
Jagalpati tertawa bergelak. Dan masih dengan
tawanya yang menggiriskan- tubuhnya melesat pergi.
3 Seorang pemuda berpakaian ungu duduk di se-
buah batang pohon sebesar pelukan orang dewasa
yang tengah mengapung di permukaan sungai berarus
deras. Namun batang pohon tempat pemuda itu bera-
da meluncur berlawanan dengan arus sungai.
Si pemuda berambut putih keperakan itu
menggunakan kedua kakinya untuk mengayuh. Dan
nyatanya, batang pohon itu melaju cepat membelah
permukaan air seperti anak panah lepas dari busur.
Pemuda yang tak lain dari Arya Buana alis si
Dewa Arak ini mengarahkan pandangannya ke depan.
Namun pikirannya menerawang jauh.
Kali ini Arya agaknya ingin menikmati. Memang
melakukan perjalanan melalui sungai yang penuh ti-
upan angin sepoi-sepoi. Mungkin saja, otaknya ingin
disegarkan lewat hawa sungai.
Namun baru saja Arya melewati sungai yang
membelok, alisnya berkerut. Ternyata di permukaan
air sungai tampak mengapung sesuatu. Pandangan
matanya yang tajam, segera dapat mengenali kalau
yang tengah mengapung adalah manusia. Arus air
yang deras membuat tubuh yang mengapung itu me-
luncur cepat. Maka hanya dalam sekejapan, tubuh itu
mulai mendekati tempat Dewa Arak berada.
Begitu berpapasan, bagaikan memungut sehelai
kain basah, Dewa Arak mengangkat tubuh yang tera-
pung itu. Lalu, cepat diletakkannya secara metintang pada batang pohon yang
diduduki. Sekali menyentuh tubuh di depannya, Arya
langsung tahu kalau sosok yang malang ini masih hi-
dup. Detak jantungnya memang sudah tidak terdengar
lagi, tapi denyut nadinya masih ada. Meskipun, lemah.
Sambil tetap mengayuhkan kedua kakinya,
Dewa Arak memberi pertolongan. Disadari kalau sosok
yang ternyata seorang kakek kecil kurus ini terluka dalam amat parah. Tapi
pemuda berambut keperakan ini
yakin, nyawa si kakek masih bisa ditolong.
Diam-diam Arya bersyukur, karena si kakek
sebelum tak sadarkan diri masih sempat meraih ba-
tang pisang yang hanyut di air. Benda itulah yang
membuatnya tidak cepat mati.
Tuk! Tuk! "Ahhh...!"
Hanya beberapa kali totokan dan urutan, si ka-
kek telah mengeluarkan keluhan. Bulu matanya berge-
rak-gerak, disusul gerakan kelopak mata.
Si kakek bergerak hendak bangkit, tapi cepat
dihentikan. Saat itu dadanya terasa sakit bukan main.
Mulutnya menyeringai.
"Jangan banyak bergerak dulu, Kek," ujar Arya, lembut "Luka-lukamu amat parah.
Kau pun baru saja sembuh. Banyak-banyaklah istirahat."
Si kakek menatap wajah Arya. Ada sorot kehe-
ranan dan kebingungan pada sinar matanya. Kemu-
dian pandangannya beredar ke sekeliling, menatap
permukaan air sekilas. Dan kini perhatiannya dialihkan lagi pada Arya.
"Terima kasih atas pertolonganmu, Pemuda Ga-
gah. Aku sekarang telah ingat akan apa yang telah terjadi. Kalau tidak karena
pertolonganmu, mungkin saat ini aku telah menghadap malaikat maut," ucap kakek
kecil kurus ini
"Allah-lah yang membimbing langkahku kemari
Kek. Kalau tidak karena kehendak-Nya, mana mung-
kin aku bisa memberikan sedikit pertolongan?" elak Dewa Arak, halus.
Si kakek tersenyum. Sorot matanya memancar-
kan perasaan suka terhadap pemuda ini. Rupanya, si-
kap Arya yang rendah hati dan tidak menonjolkan per-
tolongan, sangat menarik hatinya,
"Apa yang kau katakan itu benar, Cah Bagus.
Sayangnya, jarang orang yang bisa berkata seperti itu.
Orang-orang cenderung lebih menonjolkan diri sendiri, setiap kali membuat jasa,"
urai si kakek panjang lebar, bernada menggurui.
Dewa Arak menganggukkan kepala. Dia tahu
kalau yang dikatakan kakek ini sebagian besar benar.
"Namaku Dipangga. Kalau boleh tahu namamu,
Anak Baik"! Aku yakin, kau tidak seperti muridku
yang murtad!"
"Namaku Arya Buana, Kek," jawab Arya, sopan.
"Maaf. Kalau boleh kutahu, mengapa Kakek menyamakan aku dengan muridmu?"
Kakek yang mengaku bernama Dipangga ini ti-
dak langsung memberi jawaban. Dia malah menghela
napas berat, seperti membuang ganjalan dalam batin-
nya. "Kau benar-benar ingin mendengarkan cerita-ku, Cah Bagus" Apakah kau tidak
akan bosan nan-
tinya"!" Kakek Dipangga malah balas bertanya.
"Mungkin kuberitahukan padamu kalau cerita ini tidak menarik. Lagi pula cukup
panjang. Tapi kalau kau benar-benar ingin mendengarnya, akan kucoba untuk
menyingkatnya."
Sebentar kakek ini tercenung. Agaknya tengah
berpikir untuk memulai ceritanya.
"Sejak puluhan tahun yang lalu, sejak masih
remaja aku telah gemar menyepi. Aku memang me-
nyukai keheningan. Kendati demikian, aku juga suka
kesaktian. Maka selama puluhan tahun, hidupku kuisi
dengan kesaktian dan bertapa. Entah berapa banyak
guru yang kumiliki. Aku tidak ingat lagi," Kakek Dipangga mulai dengan kisahnya.
Arya diam. Di dalam hati, dia merasa kagum
terhadap kakek kecil kurus ini. Bisa dibayangkan be-
tapa tinggi ilmu yang dimilikinya. Dan bukti yang pal-
ing jelas telah dirasakannya.
Tadi, sewaktu memberi urutan dan beberapa
totokan, Dewa Arak hampir gagal dengan usahanya.
Arya merasakan ada getaran-getaran hawa di balik ku-
lit Kakek Dipangga yang memberi perlawanan. Demi-
kian kuatnya, sehingga hanya dengan memaksakan di-
ri Dewa Arak berhasil melakukan tugasnya.
Arya bisa memperkirakan, betapa kuatnya te-
naga dalam kakek ini. Bila dalam keadaan tidak sadar saja tenaga dalamnya
demikian kuat, bagaimana pula
jika dalam keadaan sadar"
"Tapi, mungkin memang sudah garis nasibku
untuk tidak bisa lepas sepenuhnya dari dunia," lanjut Kakek Dipangga dengan
suara mengandung keluhan.
"Di waktu tengah mencari makanan, kutemukan seorang pemuda tergolek dalam
keadaan luka parah. Ka-
rena kasihan, kubawa dia ke tempatku dan kuobati
sampai sembuh."
Arya merasa kasihan terhadap Kakek Dipangga.
Sudah bisa diperkirakan kalau awal malapetaka yang
menimpa kakek itu, bermula dari pemuda yang dito-
longnya. Padahal, di usia yang uzur seperti itu, Kakek Dipangga seharusnya dapat
hidup tenang. "Pemuda yang kuangkat murid itu mengaku
bernama Jagalpati. Menurut ceritanya, dia terluka karena dikeroyok dua tokoh
sesat angkara murka yang
hendak dibasminya, karena telah membantai semua
keluarganya," lanjut si kakek dengan kepahitan yang terasa jelas dalam suaranya.
"Tapi ternyata, hanya kelicikan yang kudapatkan."
"Apakah Jagalpati itu jahat, Kek"!" Arya memberi tanggapan, merasa tidak enak
karena sejak tadi
hanya berdiam diri saja.
"Itu sudah pasti, Cah Bagus!" sahut Kakek Di-
pangga, cepat "Aku saja yang bodoh, sehingga dapat ditipu pemuda kemarin sore.
Jagalpati ternyata tak lebih dari serigala berbulu domba. Di usiaku yang telah
mendekati lubang kubur, terpikir olehku untuk mewariskan ilmu-ilmuku pada
seseorang agar tidak ter-
buang percuma. Menurut pikiranku, Jagalpati adalah
pemuda baik-baik. Maka kemampuanku kuwariskan
padanya." "Dan balasannya adalah perlakuannya yang
membuatmu hampir menemui malakaikat maut,
Kek"!" Kakek Dipangga mengangguk.
"Selama lima tahun dia menuntut ilmu. Bala-
sannya yang diberikan adalah kelicikannya. Aku dira-
cuni dan dianiaya dengan hajaran-hajaran untuk
membinasakanku. Untungnya aku hanya terluka pa-
rah, namun masih mampu terjun ke sungai. Dan
keuntungan yang kedua, aku bisa bertemu denganmu,
Cah Bagus. Hhh...! Aku menyesal sekali. Aku tidak
akan tenang dl alam kubur, karena yakin kalau ilmu-
ilmu yang kuwariskan dipergunakan murid murtad itu
untuk mengacaukan dunia persilatan...."
"Tenangkanlah hatimu, Kek," hibur Arya. "Percayalah. Aku akan berusaha untuk
mencegah sepak terjang Jagalpati dengan seluruh kemampuanku."
"Aku percaya akan janjimu, Nak. Bahkan aku
yakin, nyawamu akan kau pertaruhkan untuk meme-
nuhi janjimu. Aku bisa merasakan kesungguhan uca-
panmu. Tapi, mungkin perlu kuberitahukan. Kuharap
kau tidak salah mengerti dan menganggapku menga-
gungkan kemampuanku."
"Sama sekali tidak, Kek. Justru aku merasa
berterima kasih sekali kalau kau mau memberi petun-
juk untuk mengalahkan Jagalpati," jawab Arya, bijak-
sana. "Syukurlah kalau demikian, Nak," desah Kakek Dipangga lega. "Ketahuilah.
Jagalpati telah menerima Ilmu mengerikan yang kuciptakan, namun belum sempat
kuberi nama! Ilmu itu membuatnya tidak bisa di-
lukai lawan."
"Mungkin seperti ilmu.'Tameng Waja' Kek"!"
duga Arya. "Mirip itu, Nak. Tapi, ini lebih mengerikan," sahut Kakek Dipangga. "Kelemahan
ilmunya adalah, ramuan campuran antara tanaman cabai hitam dan ca-
bai putih. Kudengar tanaman aneh ditanam seorang
nenek aneh. Entah, untuk apa aku tidak tahu. Mung-
kin, dia mendapat petunjuk Allah, agar murid murtad
itu bisa dibinasakan."
Kening Arya berkernyit. Telinganya baru men-
dengar ada cabai yang memiliki warna seperti itu. Tapi dia tahu, kakek ini tidak
berbohong. Apalagi, Dewa
Arak sendiri juga banyak menyaksikan tanaman dan
hewan-hewan aneh di dunia ini.
"Di mana aku bisa menemukan tanaman itu,
Kek"!" Kakek Dipangga menggeleng.
"Sayang sekali, Cah Bagus. Aku tidak mengeta-
huinya. Yang kutahu, nenek itu tinggal di sekitar Gunung Karang. Hanya itulah
yang bisa kuberitahukan
padamu." "Itupun sudah cukup, Kek," hibur Arya, untuk menenangkan keresahan hati kakek
kecil kurus ini.
"Akan kuusahakan semampuku untuk menemukan-
nya." Kakek Dipangga tersenyum.
"Mungkin bisa sedikit kutambahkan, Nak. Ja-
galpati juga telah kuwariskan pula ilmu yang mem-
buatnya dapat mengetahui apa-apa yang mengancam
dirinya. Aku yakin, dia telah mengetahui akan tana-
man-tanaman yang kumaksudkan. Dan lebih cela-
kanya lagi berkat ilmunya itu, dia seperti mempunyai pelacak yang menunjukkan
keberadaan hal-hal yang
membahayakan dirinya. Aku khawatir, tanaman-
tanaman itu telah dimusnahkannya."
Kali ini Arya diam. Dewa Arak tahu tidak ada
lagi kata-kata yang bisa diberikannya untuk mene-
nangkan hati Kakek Dipangga.
"Tapi aku tahu, Anak Baik. Allah itu Maha Adil.
Setiap ilmu pasti ada penangkalnya. Dan bukan tidak
mungkin, kalau pada dirinya ada sesuatu yang mem-
buat keistimewaannya pupus. Selamat tinggal, Cah
Bagus. Selamat bertugas. Semoga kau berhasil."
Kakek kecil kurus itu bangkit dari duduknya
lalu melangkah. Arya hampir berseru untuk mengin-
gatkan Kakek Dipangga kalau tempat kakinya berpijak
adalah permukaan air. Tapi seruan itu cepat ditelan
lagi ketika melihat kedua kaki kakek ini tidak tengge-lam. Sepasang telapak kaki
Kakek Dipangga seperti


Dewa Arak 84 Nyawa Kedua Dari Langit di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mendarat di tanah. Dan dengan sikap seperti berjalan biasa, kakinya terus
melangkah meninggalkan Arya.
Dewa Arak hanya melongo. Kekagumannya ter-
hadap kakek itu semakin bertambah. Kakek Dipangga
benar-benar memiliki kepandaian sukar diukur. Arya
jadi khawatir bila mengingat Jagalpati. Pemuda yang
telah mewarisi kepandaian kakek itu pun, pasti memi-
liki kepandaian menggiriskan.
Sambil terus melajukan perahu sederhananya,
Arya menatap Kakek Dipangga sampai tubuhnya le-
nyap di kejauhan. Pemuda berambut putih keperakan
ini menghela napas berat. Disadari kalau untuk kese-
kian kalinya dia akan menghadapi lawan amat berat.
*** "Bagaimana, Taruna"! Kau sudah siap"!" Se-
buah suara bernada pertanyaan keluar dari mulut seo-
rang lelaki berkumis tebal bertubuh pendek kekar. Di pinggangnya melilit rantai
baja yang pada ujungnya
terdapat bola berduri sebesar kepalan.
Sementara itu sosok yang dipanggil Taruna
adalah seorang pemuda tampan berpakaian kuning.
Kepalanya mengangguk, tapi sinar kegelisahan tampak
di wajah dan sorot matanya.
"Ha ha ha...!"
Lelaki pendek kekar berusia sekitar lima puluh
tahun itu tertawa bergelak. Dia tahu, jawaban yang diberikan tidak sesuai
kenyataannya. "Kau tahu, ke mana arah pertanyaanku, Taru-
na"!" Taruna lagi-lagi mengangguk.
"Tentu saja berkenaan dengan urusan yang
akan kita tuju ini, Ayah. Bukankah demikian"!" tanya Taruna. "Benar," jawab
lelaki pendek kekar dengan senyum geli menghias bibir. "Bagaimana" Kau siap"
Maksudku, bukan siap untuk berangkat. Tapi, kekua-
tan hatimu menghadapi urusan ini."
"Aku siap, Ayah," sahut Taruna, cepat.
"Kalau memberikan jawaban, jawablah seba-
gaimana seorang lelaki, Taruna!" ujar lelaki pendek kekar dengan suara keras.
"Jawabanmu ini tidak sesuai dengan kedudukanmu sebagai putra tunggalku, si
Rantai Penggulung Jagad yang disegani kawan dan di-
takuti lawan! Jawaban dengan suara seperti itu, ha-
rusnya keluar dari mulut seorang perawan yang di-
tanya pelamar!"
Kali ini, lelaki kekar berjuluk si Rantai Penggu-
lung Jagad bersikap sungguh-sungguh. Gurauan dan
senyuman yang menghias mendadak lenyap.
"Maafkan aku, Ayah," ucap Taruna. Mukanya
memerah karena malu mendapat teguran. Kemudian
dadanya dibusungkan. Rahangnya mengembung. "Aku siap, Ayah!"
Wajah si Rantai Penggulung Jagad berseri-seri.
Senyuman pun timbul lagi.
"Ini baru jawaban putra si Rantai Penggulung
Jagad!" ujar lelaki itu sambil menepuk-nepuk bahu Taruna. Kelihatan pelan saja
tepukan si Rantai Penggulung Jagad, tapi lain lagi yang dirasakan Taruna.
Tubuhnya seakan-akan dijatuhi seekor gajah besar. Te-
naganya cepat dikerahkan untuk melindungi tubuhnya
agar tulang-tulangnya tidak remuk. Dia berhasil. Tapi, tanah yang dipijak amblas
hingga semata kaki!
Si Rantai Penggulung Jagad tertawa gembira.
Dia sengaja menguji putranya, dan hasilnya cukup
menggembirakan dan memuaskan hatinya.
"Yang perlu kau ingat, Taruna," lagi-lagi si Rantai Penggulung Jagad bersikap
sungguh-sungguh.
"Jangan sampai kau memalukanku di depan si Ular Angkasa. Tunjukkan kalau kau
lebih dari pantas untuk menjadi muridnya!"
"Akan kuingat nasihatmu ini, Ayah!" sahut Taruna mantap.
"Bagus!" seru si Rantai Penggulung Jagad,
gembira, "Aku yakin! Dengan memandang mukaku,
Ular Angkasa pasti akan menerimamu! Mari berang-
kat!" Si Rantai Penggulung Jagad melompat ke atas,
lalu hinggap mantap di punggung kudanya. Sekali le-
laki ini menggeprakkan tali kekang, kuda coklat itu
melesat ke depan laksana anak panah lepas dari bu-
sur. Taruna tidak ingin tertinggal. Pemuda ini pun melompat ke atas kuda
putihnya. Seketika binatang itu
pun berlari cepat menyusul kuda si Rantai Penggulung Jagad. Si Rantai Penggulung
Jagad benar-benar tidak
khawatir kalau putranya tertinggal jauh. Binatang
tunggangannya terus dipacu. Bahkan ketika ada po-
hon besar melintang di tengah jalan, kecepatan lari
kudanya tidak dikurangi. Justru cambuknya terus me-
lecut-lecut, agar kudanya berlari semakin cepat dan
melompati rintangan itu.
Seperti yang diharapkan si Rantai Penggulung
Jagad, kuda coklat itu sama sekali tak mengalami ke-
sulitan saat melompati pohon yang melintang. Tapi ketika berada di udara, si
Rantai Penggulung Jagad yang kenyang pengalaman, merasakan adanya kelainan. La-
lu.... "Uts...!"
Lelaki pendek kekar ini melompat dari pung-
gung kuda coklatnya. Setelah berputaran beberapa
kali, kakinya menjejak tanah secara mantap. Sedang-
kan kudanya kontan ambruk ke tanah dan bergulin-
gan. Taruna yang melihat kejadian itu segera meng-
hentikan lari tunggangannya. Kuda putih itu berhenti tepat di depan pohon yang
melintang jalan.
"Hati-hati, Taruna...!"
Si Rantai Penggulung Jagad berteriak mempe-
ringatkan pada putranya sebelum pemuda itu menga-
jukan pertanyaan. Sikap lelaki itu kelihatan hati-hati
sekali. Pandangannya beredar ke sekeliling tempat itu.
"Pengecut Hina...! Keluar kau...! Jangan hanya
berani bertindak curang menyerang binatang. Keluar
dan hadapi aku! Aku, si Rantai Penggulung Jagad, ti-
dak menerima perlakuan ini! Keluar atau semua se-
mak-semak yang ada di sini kuporak-porandakan,..!"
teriak si Rantai Penggulung Jagad.
Taruna segera melompat dari punggung kuda
lambil mengedarkan pandangan. Sekarang dia tahu,
kuda tunggangan ayahnya diserang orang. Pantas saja
kuda itu tidak mampu mendarat dengan baik. Pemuda
ini merasakan jantungnya berdebar kencang. Dia tahu, penyerang gelap itu
memiliki kepandaian tinggi. Tidak adanya senjata rahasia pada tubuh kuda coklat
ini, menjadi pertanda kalau penyerang gelap itu menggu-
nakan pukulan atau totokan jarak jauh. Padahal, urat-urat kuda berbeda dengan
manusia! Keberhasilannya
merobohkan kuda dengan sekali serang, telah mem-
buktikan kelihaiannya.
"Kau masih saja seperti dulu, Rantai Rapuh!
Besar mulut dan sombong! Tapi, semua lagakmu ini
akan berakhir di sini! Niatmu tidak akan pernah ter-
sampaikan! Justru aku yang akan menikmati tubuh
Putri Ular Angkasa yang denok itu. Ha ha ha...!"
Sekarang, tidak hanya si Rantai Penggulung
Jagad yang mengedarkan pandangan ke sana kemari.
Taruna pun demikian. Ayah dan anak itu mencari-cari
asal suara yang tidak ketahuan dari mana.
Jantung Taruna berdetak lebih cepat. Meski
menjadi putra si Rantai Penggulung Jagad, sifatnya
memang tidak menuruti ayahnya. Pemuda ini memiliki
hati kecil. Pemalu dan mudah gentar.
Sementara si Rantai Penggulung Jagad tidak
merasa gentar sama sekali. Meski tahu kalau penye-
rang gelap itu memiliki kepandaian tinggi. Yang timbul di hatinya malah perasaan
marah, karena tersinggung
telah dipermainkan.
"Pengecut Hina...! Aku tahu kau seorang lelaki!
Tapi aku tidak yakin, apakah kau lelaki sungguhan!
Mungkinkah kau takut menunjukkan diri karena kau
banci"!" tantang lelaki pendek kekar ini
Si Rantai Penggulung Jagad sengaja memanasi
hati pemilik suara tanpa wujud itu, agar mau keluar
dari tempat persembunyiannya. Disadari kalau ma-
kiannya yang pertama tidak membuahkan hasil sama
sekali. "Keparat kau, Rantai Karatan! Kau akan menyesal seumur hidupmu, karena
berani mengucapkan
kata-kata demikian terhadapku!" geram pemilik suara tanpa wujud.
Si Rantai Penggulung Jagad tahu kalau pemilik
suara akan keluar dari persembunyiannya. Buktinya
makiannya mengenai sasaran. Maka, rantai bajanya
segera diloloskan. Lelaki kekar ini sadar kalau lawan yang akan dihadapi tangguh
bukan main! Sementara, Taruna pun menghunus senjatanya
berupa pedang berbentuk indah. Pemuda ini memang
tidak suka bersenjata rantai. Maka, si Rantai Penggulung Jagad terpaksa
menurunkan ilmu-ilmu pedang
yang digubahnya dari ilmu rantainya.
Waktu berlalu demikian lambat bagi Taruna
dan ayahnya. Mereka, terutama sekali Taruna, telah
berkeringat dingin. Keduanya menunggu ketuarnya
pemilik suara tanpa wujud dengan hati tegang.
Sambil mengedarkan pandangan ke kanan dan
kiri, si Rantai Penggulung Jagad memaki-maki di da-
lam hati. Dia tahu, pemilik suara itu sengaja memperlambat kemunculannya untuk
menimbulkan ketegan-
gan. Dan mendadak....
Brolll! "Heh?"
Si Rantai Penggulung Jagad terkejut bukan
main, hingga sampai terlonjak ke belakang ketika ta-
nah di depannya yang berjarak satu tombak berham-
buran ke atas. Sebuah kejadian yang sama sekali tidak disangka-sangka! Kalau si
Rantai Penggulung Jagad
saja terkejut, apalagi Taruna yang memiliki watak pengecut. Wajahnya kontan
pucat seperti tidak berdarah.
Bahkan pedangnya sampai diputar-putar kalang kabut
di depan dada, seperti layaknya orang yang tengah
menghadapi serangan gencar.
Kini si Rantai Penggulung Jagad dan Taruna
menatap dengan mata terbelalak pada gumpalan-
gumpalan tanah yang berhamburan ke atas. Bukan
hamburan tanah itu yang menjadi perhatian mereka,
tapi kemunculan sebuah kepala milik seorang pemuda.
Sebentar kamudian pemuda itu telah mencelat ke
Neraka Hitam 3 Gento Guyon 25 Gelombang Naga Tangan Berbisa 7
^