Pencarian

Nyawa Kedua Dari Langit 2

Dewa Arak 84 Nyawa Kedua Dari Langit Bagian 2


permukaan tanah dengan pakaiannya yang hitam. Ja-
galpati. "Kiranya kau...!" desis si Rantai Penggulung Jagad, kaget tapi tidak
kelihatan gentar.
"Hmh...."
Jagalpati yang sekarang telah berdiri tegak di
tanah mengeluarkan deheman, membuat tanah dan
debu-debu yang menempel terusir dari sekujur tubuh-
nya. Sama sekali tidak dipedulikan ucapan lelaki pendek kekar di hadapannya.
Rantai Penggulung Jagad menggeram keras.
Hatinya benar-benar tersinggung melihat sikap Jagal-
pati yang meremehkannya. Dia tahu, Jagalpati adalah
lawan tangguh. Kira-kira lima tahun lalu, dia pernah bertarung melawan
Jagalpati. Dan penyebabnya, pe-
muda itu dipergoki tengah menculik seorang gadis.
Sayang, pemuda itu terlalu lihai untuknya. Jagalpati berhasil lolos setelah
melukainya. Si Rantai Penggulung Jagad harus bersyukur
bisa selamat, karena Jagalpati tengah tidak berselera untuk bertarung. Pemuda
itu ingin segera bermain-main dengan gadis yang diculiknya. Sedangkan waktu
itu Rantai Penggulung Jagad segera kembali ke tempat tinggalnya dengan membawa
dendam. Dan sekarang, si Rantai Penggulung Jagad ber-
temu lagi dengan Jagalpati. Dendam lamanya pun ber-
kobar kembali. Dia bertekad untuk mengirim pemuda
berpakaian serba hitam ini ke alam baka.
4 "Kukira Kau sudah mampus ditelan setan ne-
raka, Pemuda Iblis! Aku mencari-carimu untuk mene-
bus kekalahanku. Tapi, tak kutemukan! Di mana kau
bersembunyi setelah gerombolanmu dihancurkan
kaum pendekar di bawah pimpinan Ular Angkasa?"
Jagalpati tersenyum mengejek.
"Kau sudah tahu, tapi masih berpura-pura bo-
doh, Rantai Karatan! Kalau aku ada di tempat, mana
mungkin Gerombolan Setan Merah dapat dihancur-
kan"! Keberhasilan Ular Angkasa dan para pendekar
keparat itu karena aku tidak ada! Aku mempunyai
urusan lebih penting saat itu! Sekarang, urusanku telah selesai. Dan orang-orang
yang telah bertindak lancang itu akan menerima balasannya. Beberapa dari
mereka telah kukirim ke neraka! Dan sekarang, kau
pun akan pergi ke sana pula!" kilah Jagalpati.
"Jangan mimpi, Pemuda Sombong!" bentak si
Rantai Penggulung Jagad, keras. "Kaulah yang akan binasa di tanganku!
Hiyaaat...!"
Begitu selesai kata-katanya, si Rantai Penggu-
lung Jagad memutar-mutar rantai bajanya di atas ke-
pala hingga mengeluarkan bunyi menderu-deru keras.
Wuttt! Ketika senjatanya itu terayun, bola berduri se-
besar kapalan tangan meluncur ke arah kepala Jagal-
pati! Namun Jagalpati tersenyum mengejek tanpa
bergerak sama sekali dari tempatnya. Bahkan keliha-
tannya tak ingin mengelak atau menangkis.
Si Rantai Penggulung Jagad merasakan jan-
tungnya berdetak lebih cepat, melihat tindakan Jagalpati. Benarkah pemuda itu
membiarkan serangannya
mengenai sasaran"
Sementara Taruna merasa gembira melihat Ja-
galpati diam saja. Menurut pikirannya, ayahnya telah bertindak demikian cepat,
sehingga Jagalpati tidak
memiliki kesempatan untuk mengelak.
Werrr...! "Heh?"
Dan Taruna baru melongo ketika melihat bola
berduri milik ayahnya yang jelas sekali menghantam
kepala Jagalpati. Tapi, anehnya bola berduri itu lewat begitu saja tanpa
terdengar adanya benturan, seperti menghantam asap!
Si Rantai Penggulung Jagad yang sempat terpe-
rangah menarik kembali senjatanya, tanpa melancar-
kan serangan susulan. Dia memang masih terperanjat
melihat kenyataan ini.
Perasaan yang mencekam itu baru menguap,
ketika Jagalpati mengeluarkan tawa mengejek
"Kaget, Rantai Karatan" Kalau kurang puas, si-
lakan pilih bagian yang kau sukai! Agar kau tidak mati penasaran, kini kuberi
kau kesempatan menyerang se-puas hati!"
Geraham si Rantai Penggulung Jagad berkerut-
kerut geram, mendengar ejekan dan sikap jumawa Ja-
galpati. Lelaki kekar ini kembali memutar-mutar senja-ta andalannya, kemudian
melontarkannya ke arah Ja-
galpati. Wuttt!
Kali ini benturan bandul berduri itu lebih dah-
syat. Seperti juga serangan pertama, serangan-
serangan si Rantai Penggulung Jagad kali ini pun tidak berarti sama sekali!
Lelaki pendek kekar ini seperti menyerang bayangan.
"Ha ha ha...!" Di lain pihak Jagalpati terus mengumandangkan tawa mengejek.
Setelah sepuluh jurus menyerang tanpa hasil
sama sekali, si Rantai Penggulung Jagad pun tahu ka-
lau Jagalpati tak akan bisa dirobohkan. Kemungkinan
besar malah dirinya yang akan tewas.
Bagi orang persilatan macam si Rantai Penggu-
lung Jagad, mati dalam pertarungan adalah suatu ke-
banggaan. Tapi, ada sesuatu yang memberatkan ha-
tinya. Taruna! Dia tidak ingin, putranya yang masih
muda itu mati, sebelum cita-citanya tercapai.
"Taruna...! Cepat pergi dari sini...! Cepat, sebelum terlambat..!" ujar Rantai
Penggulung Jagad, penuh tekanan melalui ilmu pengirim suara dari jauh.
Lelaki kekar ini sebenarnya lebih suka berteriak
blasa. Tapi menyadari watak tokoh seperti Jagalpati
yang telengas dan suka kesengsaraan orang lain, ter-
paksa dia menggunakan ilmu itu.
Sayangnya maksud si Rantai Penggulung Jagad
ini tidak berjalan mulus. Taruna yang memang men-
dengar pemberitahuan tadi, bukannya melarikan diri
tapi malah ikut terjun bertarung membantu ayahnya.
Taruna memang pengecut. Tapi, hatinya tidak tega
membiarkan ayahnya menentang maut sendirian.
Tampak jelas, ayahnya tidak berdaya dalam menekan
Jagalpati! Si Rantai Penggulung Jagad hanya bisa mengu-
rut dada dalam hati melihat akibat nasihatnya. Kenda-ti demikian, di lubuk
hatinya timbul perasaan bangga.
Putranya yang memiliki sifat agak bodoh ini ternyata berani ikut bertarung
membelanya. "Aku tidak mau pergi, Ayah. Biarlah kita mati
atau hidup bersama!" kata Taruna gagah, sambil me-nusukkan pedangnya ke ulu hati
Jagalpati. Seperti juga ayahnya, hasil yang didapat Taru-
na hanya seperti menusuk asap!
*** Jagalpati tersenyum keji. Sekarang pemuda ini
tahu kalau tadi secara diam-diam, si Rantai Penggu-
lung Jagad telah memerintahkan Taruna pergi. Berarti lelaki kekar ini
mengkhawatirkan keselamatan putranya. Jagalpati memaki dalam hati. Mengapa
begitu pelupa" Mengapa repot-repot membunuh si Rantai
Penggulung Jagad, meski dengan menyiksanya habis-
habisan" Ada hal yang lebih menarik! Menyiksa pera-
saan lelaki kekar itu dengan mempermainkan Taruna
habis-habisan. Kalau saja Jagalpati tidak terlalu memusatkan
perhatian pada si Rantai Penggulung Jagad, pasti Ta-
runa juga akan terpikirkan. Dan akan ditemukannya
cara nikmat dengan membuat permainan menarik.
Hanya sekali pikir, Jagalpati telah menemukan
permainan menarik.
Tappp! Si Rantai Penggulung Jagad telah lebih dulu
menangkap pergelangan tangan kiri Taruna. Sekali
disentakkan, tubuh pemuda itu terjengkang ke bela-
kang. "Cepat pergi, Taruna! Jangan bertindak bodoh!
Penjahat keji ini tak akan bisa kita kalahkan!" ujar si Rantai Penggulung Jagad
tanpa menoleh di depan putranya. Lelaki kekar ini berdiri berhadapan dengan
Jagalpati yang sejak tadi berdiam diri. Pemuda ini me-
mang belum memberi serangan balasan!
"Tapi, Ayah...."
"Tidak ada bantahan!" potong si Rantai Penggulung Jagad tanpa menoleh. "Kalau
kau masih ingin kuanggap anak, cepat tinggalkan tempat ini!"
Taruna jadi melongo. Sungguh tak terduga
ucapan ayahnya. Otaknya yang kurang, tidak bisa me-
nangkap maksud yang terkandung dalam ancaman
itu. Pemuda ini merasa terpukul bukan main! Dan, pe-
rasaan ini yang membuat tubuhnya berbalik dan mele-
sat meninggalkan tempat itu.
Si Rantai Penggulung Jagad bukannya tidak
tahu, tapi mencoba untuk tidak peduli! Dia lebih suka dibenci putranya daripada
membiarkannya mati ko-nyol di tangan Jagalpati yang menggiriskan!
Sementara kening Jagalpati mengernyit, meli-
hat kepergian Taruna. Dan dia mengambil keputusan
untuk membuat hati si Rantai Penggulung Jagad ter-
siksa melalui Taruna. Seketika itu juga pemuda berpakaian hitam ini melesat
mengejar. Si Rantai Penggulung Jagad tidak tinggal diam.
Dengan berani, dihadangnya lesatan Jagalpati Rantai
bajanya diayunkan laksana baling-baling di sekitar tubuhnya.
Jagalpati murka bukan kepalang karena tinda-
kannya dihalangi. Dengan berani, disampoknya bola
berduri yang berputaran itu dengan tangannya.
"Hih!"
Prak! Si Rantai Penggulung Jagad kontan melotot ke-
tika bola berduri yang tersampok, balik berputaran ke arahnya. Dicobanya untuk
mempertahankan, tapi tetap tidak mampu! Sampokan itu kuat bukan main
Tanpa ampun lagi, tubuh si Rantai Penggulung Jaga
terlilit rantai bajanya sendiri, mulai dari betis sampai ke dada. Bahkan kedua
tangannya pun ikut terlilit.
"Aaah...!"
Seringai kesakitan muncul di bibir si Rantai
Penggulung jagad ketika rantai berhenti melilit, begitu bola berdurinya
menghantam punggung.
Belum juga si Rantai Penggulung. Jagad ber-
buat sesuatu, Jagalpati terus melesat ke depan. Arahnya lurus! Padahal, si
Rantai Penggulung Jagad berada tepat di depannya, sehingga besar kemungkinan
akan tertabrak! Tapi sebelum terjadi benturan, tubuh si Rantai
Penggulung Jagad terjengkang ke belakang.
Buk! Kecuali melesat, Jagalpati tidak bertindak apa-
apa! Seakan-akan dari tubuhnya keluar kekuatan
dahsyat yang melontarkan si Rantai Penggulung Ja-
gad! Jagalpati tidak mempedulikan keadaan lelaki
kekar itu sama sekali. Tubuhnya terus melesat, men-
gejar Taruna yang terus berlari meneruskan perjala-
nannya. Kuda putihnya tidak teringat lagi!
"Taruna...! Awas di belakangmu...!" Si Rantai Penggulung Jagad yang masih
terperangkap senjatanya sendiri masih sempat memberi peringatan den-
gan suara keras. Sehingga Taruna mendengarnya.
Taruna menoleh. Wajahnya langsung pias, ke-
tika melihat Jagalpati mengejarnya. Perasaan takut
membuat kecepatan larinya bertambah.
Jagalpati jengkel bukan main melihat jarak
yang semula sudah semakin dekat tidak berubah sama
sekali. Padahal menurut perkiraannya Taruna akan bi-
sa disusulnya. Rasa takut rupanya, membuat kecepa-
tan lari Taruna bertambah!
Kejengkelan membuat Jagalpati tidak sabar la-
gi. Cepat sabuk yang melilit pinggang diloloskan dan dilemparkannya. Sabuk itu
bagaikan hidup, melayang-layang mengejar Taruna dan berusaha membelit!
Jagalpati mengembangkan senyum ketika
ujung sabuknya telah hampir melilit pinggang Taruna.
Dia yakin akan berhasil menangkap putra si Rantai
Penggulung Jagad.
"Heh?"
Namun senyum Jagalpati lenyap dan berubah
keterkejutan ketika dari arah samping kanan depan
melesat cepat sebuah benda berwarna hijau yang lang-
sung membentur ujung sabuknya.
Splash! Bunyi benturan sabuk dengan benda hijau ke-
ras. Dan sabuk itu pun gagal melilit sasaran, karena ujungnya terpental balik
akibat benturan barusan.
"Keparat...!"
Jagalpati menggeram, seperti binatang buas
kehilangan buruan. Pemuda ini marah bukan main
melihat usahanya yang telah hampir berhasil digagal-
kan. Jagalpati tidak perlu menunggu lama untuk
mengetahui orang yang berani bertindak usil. Dari
tempat sinar hijau berasal kini melesat sesosok bayangan ungu, yang kemudian
menjejak tanah tempat Ta-
runa tadi hampir terbelit sabuk.
Taruna sendiri sudah jauh meninggalkan tem-
pat itu. Sedangkan Jagalpati tidak mengejarnya, kare-na telah memutuskan untuk
memberi hajaran terha-
dap sosok yang usilan di depannya. Sebentar matanya
melirik ke arah benda hijau yang telah membuat ujung sabuknya terpental.
Hati Jagalpati agak bergetar ketika melihat
benda hijau itu ternyata adalah sehelai daun. Luar biasa! Lontaran sehelai daun
telah membuat ujung sa-
buknya terpental. Dan bahkan tangannya bergetar he-
bat! Jagalpati tahu kalau sosok yang usilan itu memiliki tenaga dalam amat kuat.
*** Sosok berpakaian ungu yang telah menyela-
matkan Taruna tak lain dari Arya Buana alias Dewa
Arak Dan agaknya dia tidak mau kalah gertak. Lang-
sung dibalasnya pandangan penuh selidik dari Jagal-
pati. Dua tokoh muda yang sama-sama memiliki ke-
pandaian tinggi ini saling pandang, seperti dua ekor ayam jago hendak bertarung.
"Sungguh berani kau mencampuri urusanku,


Dewa Arak 84 Nyawa Kedua Dari Langit di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Anjing Kecil"! Akan kau rasakan akibat perbuaranmu
itu!" desis Jagalpati penuh hawa amarah.
"Kau Jagalpati, bukan"!"
Arya mengajukan pertanyaan setengah mene-
bak, setelah memperhatikan sekujur tubuh Jagalpati.
Kakek Dipangga yang ditemukannya dalam keadaan
terluka dl sungai, telah memberikan ciri-ciri jelas mengenai pemuda berpakaian
serba hitam ini.
"Kau telah mengenalku. Tapi, masih berani
mencampuri urusanku"! Sungguh berani kau, Anjing!
Sedikit perlu kutambahkan, aku dulu bekas pimpinan
Gerombolan Setan Merah. Mungkin kau pernah men-
dengarnya."
"Sedikit," jawab Arya, kalem. Tapi, dalam hatinya kaget. "Jadi kau pemimpin
gerombolan sesat yang telah dihancurkan kaum pendekar lima tahun
yang lalu"!"
Sekarang Arya telah jelas dengan masalah yang
melibat Kakek Dipangga. Benar. Ternyata kakek itu telah salah mengambil murid.
Pemuda yang dididiknya
mati-matian, ternyata memang bejat! Bukan lagi seri-
gala berbulu domba, tapi iblis!
Dewa Arak bisa menduga kalau terlukanya Ja-
galpati bukan karena dikeroyok orang jahat seperti ceritanya, tapi pasti
sebaliknya. Jagalpatilah yang jahat!
"Benar. Tapi perlu kau tahu, Anjing! Jika saat
penyerbuan itu aku ada di tempat, jangan harap anak
buahku dapat dihancurkan! Mereka licik! Saat aku ti-
dak ada, baru melakukan penyerbuan!" kutuk Jagalpati, berapi-api.
"Tidak usah menyembunyikan kejadian sebe-
narnya, Jagalpati. Aku tahu, kaulah yang pengecut!
Kau justru melarikan diri, saat gerombolanmu mende-
kati kehancuran. Kuakui, kau hebat. Meski terluka parah tapi masih sanggup
melarikan diri!"
"Dari mana kau mendapatkan cerita keliru itu,
Anjing Goblok"!" bentak Jagalpati, geram.
"Tidak dari siapa-siapa. Hanya perkiraanku sa-
ja! Bukankah kau mengaku, kalau luka-luka yang kau
derita karena keroyokan dua tokoh sesat"! Karena kau sendiri sesat, aku yakin
tokoh yang kau anggap sesat adalah para pendekar! Kapan lagi kau dikeroyok dua
pendekar kalau tidak saat terjadi penyerbuan terhadap kelompokmu"! Sederhana
bukan"! Mudah sajakan untuk menerkanya?" urai Arya panjang lebar.
Wajah Jagalpati menegang. Jelas, uraian Arya
mengena tepat di hatinya. Suaranya terdengar penuh
ancaman ketika dikeluarkan.
"Dari mana kau tahu aku pernah terluka"!"
"Dari seorang kakek yang telah kau perlakukan
secara keji. Padahal, beliau telah mewariskan seluruh ilmunya padamu, Babi
Buduk!" tandas Arya, mantap.
"Kiranya tua bangka bau tanah itu belum ma-
ti"!" gumam Jagalpati, pelan. Seperti bicara pada diri sendiri. Kepalanya
mengangguk-angguk.
"Benar, Babi Busuk! Bahkan seekor babi masih
bisa membalas budi! Tapi kau lebih busuk daripada
seekor babi yang paling busuk dan kotor!" maki Arya, tak sanggup menekan
kemarahan yang sejak tadi ditahan-tahan. "Allah belum mengizinkan beliau mati!
Aku menemukan dan menolongnya. Dari beliaulah aku ta-hu tentang kau, Jagalpati.
Dan, beliau telah memberi amanat padaku untuk membunuhmu!" jelas Dewa
Arak. "Ha ha ha...!"
Jagalpati tertawa bergelak. Kelihatan geli sekali.
"Membunuhku" Jangan mimpi kau, Anjing Ku-
rap! Tidak ada satu orang pun yang akan mampu
membunuhku! Apalagi orang sepertimu. Tua bangka
bau tanah itu sendiri, tidak mampu membunuhku!
Aku tidak akan bisa dibunuh! Kau hanya akan men-
gantarkan nyawa percuma, Anjing! Ha ha ha...!"
"Mungkin kau benar, Babi Sombong!" sahut
Arya kalem. "Tapi, aku tetap tidak akan mundur! Aku tidak takut mati, apalagi
untuk menentang angkara
murka!" balas Arya mantap.
Tawa Jagalpati semakin keras. Ucapan-ucapan
Arya yang dikeluarkan secara mantap dan penuh ke-
gagahan sepertinya dianggap sesuatu yang menggeli-
kan! "Apakah tua bangka itu tidak memberitahukan padamu mengenai ilmu-ilmu yang
kumiliki" Ilmu-ilmu
dahsyat yang membuatku tidak bisa dilukai atau di-
bunuh"!" kilah Jagalpati, setelah menutup tawanya secara mendadak. Dan kini
berganti dengan dengus pe-
nuh ejekan. "Aku yakin sudah!"
Arya diam, tidak memberikan tanggapan sama
sekali. Jagalpati sedikit kecewa melihatnya. Tapi, dia memiliki kartu mati untuk
Arya. "Kau masih mencoba menyimpan rahasia ter-
hadapku, Anjing"! Sayang sekali! Mungkin, kau kira
aku akan mengorek rahasia dirimu" Tidak! Tldakkah
tua bangka itu bercerita, kalau aku memiliki kemam-
puan untuk mengetahui adanya bahaya yang mengan-
cam keselamatanku"! Apakah kau tidak diberitahu,
kalau aku memiliki pelacak untuk mengetahui di mana
adanya bahaya itu, kemudian menangkalnya"! Kau ti-
dak diberitahu"!"
Arya tetap diam. Dia tidak mau terpancing un-
tuk membuka rahasia. Kendati menilik sikapnya, keli-
hatannya Jagalpati tidak tengah mengorek rahasia.
Tapi, Arya tetap tidak berani gegabah!
"Baiklah, Anjing!"
Jagalpati yang terpaksa mengalah. Dia tidak
marah melihat sikap diam Arya, karena memang tidak
membutuhkan jawaban dari pemuda berambut putih
keperakan ini. "Karena kau tidak mau bicara, biar aku yang
bicara! Tua bangka itu pasti menyuruhmu untuk men-
cari tanaman cabai hitam dan putih, bukan"! Aku ta-
hu! Karena, naluriku membisikkan adanya ancaman
dari tanaman itu. Ayo kalau kau bukan pengecut, ka-
takan benar tidak jawabanku"!"
Arya tetap berdiam diri sambil berpikir. Ternya-
ta kekhawatiran Kakek Dipangga benar! Jagalpati tahu tentang ancaman terhadap
dirinya. Jagalpati tertawa bergelak
"Kau boleh cari sampai ke ujung dunia, Anjing.
Pphon-pohon terkutuk itu sudah kumusnahkan sebe-
lum sempat menjadi cabai beberapa hari lagi. Kalau tidak percaya, silakan kau
cari sebuah dataran yang
bernama Lembah Api Abadi! Di sana, kau akan jumpai
kebenaran ucapanku! Tapi, dengan syarat. Beritahu-
kan dulu arah yang dituju tua bangka itu, ketika pergi.
Dan, di mana kau menemukannya. Kalau tidak, jan-
gan harap kau bisa menuju tempat yang kumaksud!
Bagaimana, Anjing"!"
"Aku tidak sudi membuat perjanjian dengan ib-
lis macam kau, Jagalpati!" tandas Arya. "Bersiaplah!
Aku akan berusaha mengirim nyawamu ke akhirat!"
"Dasar, Anjing Buduk! Dikasih tulang, malah
minta tai! Kupenuhi permintaanmu! Ayo, tunggu apa
lagi"! Serang aku! Ingin kulihat, apakah kau pantas mendapatkan perlawanan
dariku," balas Jagalpati dengan sikap memandang rendah.
Sementara, Arya tidak berani memandang re-
meh. Tantangan Jagalpati yang bernada meremehkan,
pembuatnya mengambil keputusan untuk sekali me-
nyerang dengan mempergunakan seluruh kemam-
puannya. Dep! Arya menghentakkan kedua tangannya ke de-
pan. Seluruh tenaganya, 'Tenaga Dalam Inti Matahari'
dikerahkan untuk melancarkan pukulan jarak jauh
mempergunakan jurus 'Pukulan Belalang'!
Wusss! Saat itu juga angin keras berhawa panas me-
nyengat, meluruk ke arah Jagalpati. Tapi, pemuda be-
rilmu menggiriskan ini tidak bergeming dari tempat-
nya. Bahkan kelihatan mudah saja menerima serangan
yang dilancarkan Dewa Arak. Meski demikian, mulut-
nya berkeming mengeluarkan pujian.
"Sebuah serangan hebat! Rupanya kau memiliki
kepandaian boleh juga, Anjing! Pantas, tua bangka itu mempercayakan padamu untuk
menumpasku!"
Hampir berbareng dengan selesainya ucapan
Jagalpati, pukulan jarak jauh Arya menghantam tu-
buhnya. Namun, ternyata hasilnya membuat Dewa
Arak tercengang.
Brakk! Justru, pohon besar di belakang Jagalpati yang
berjarak sekitar dua tombak yang hancur berantakan,
tumbang mengeluarkan bunyi hiruk-pikuk! Daun-
daunnya kering, hangus bagai tersambar petir!
Dewa Arak hampir tidak percaya. Mengapa pu-
kulan jarak jauhnya seperti menembus asap" Apakah
yang diserangnya hanya berupa hasil sihir Jagalpati"
Arya mengerahkan kekuatan batinnya untuk
memunahkan pengaruh sihir, jika Jagalpati benar
mempergunakan sihir. Tapi, tetap saja Jagalpati masih ada. Kini Dewa Arak baru
yakin, Jagalpati tidak mempergunakan sihir.
Dugaan kedua muncul di benak Dewa Arak.
Mungkinkah Jagalpati menggunakan sejenis ilmu se-
perti 'Pecah Raga' yang dimiliki Kuntilanak Alam Ku-
bur" (Untuk jelasnya silakan baca episode: "Prahara Hutan Bandan".)
Tapi, dugaan itu pun pupus. Karena di samping
Jagalpati yang ada hanya seorang, Jagalpati yang diserang pun bukan bayangan
belaka. Terlihat jelas, so-
sok Jagalpati mempunyai bayangan di tanah. Saat ini, hari sudah agak siang.
Matahari telah naik cukup
tinggi, memancarkan sinarnya yang terik ke bumi.
Arya menjadi bingung mendapati kenyataan ini.
Ilmu apakah yang dipergunakan Jagalpati"! Pantas sa-
ja Kakek Dipangga demikian khawatir!
5 "Bingung, Anjing"!" ejek Jagalpati yang mengetahui perasaan yang berkecamuk di
hati Dewa Arak.
"Kalau mau, dengan cara ini aku bisa mengalahkanmu tanpa membuang tenaga sama
sekali. Kubiarkan saja
kau menghabiskan tenagamu melancarkan serangan-
serangan terhadapku! Setelah kau kehabisan tenaga
aku yang ganti menyerang. Mudah saja bagiku untuk
membunuhmu, bukan?"
Arya diam saja, tanpa memberi tanggapan. Di-
akui ada benarnya ucapan Jagalpati. Tapi dia yakin,
tak akan mudah bagi Jagalpati untuk membunuhnya.
Dengan ilmu 'Belalang Sakti'nya, Dewa Arak masih
mampu berbuat banyak untuk menyelamatkan nya-
wanya. "Tapi seperti yang telah kukatakan tadi," lanjut Jagalpati. "Aku tidak
mau menjilat ludahku sendiri.
Karena kau memiliki kepandaian, aku akan memberi
perlawanan agar pertarungan berlangsung adil!"
Sementara itu angin dingin berhembus ketika
Jagalpati baru saja menyelesaikan ucapannya. Di lan-
git awan hitam dan tebal tampak bergumpal-gumpal
menutupi sang surya. Agaknya hujan tak akan lama
lagi segera turun.
Tapi, keadaan alam seperti itu tidak membuat
Jagalpati dan Dewa Arak urung untuk meneruskan
maksud! Kedua tokoh sakti berusia muda ini saling
melangkah mendekati. Sikap masing-masing penuh
kewaspadaan. "Heaaat...!"
Dewa Arak memulai serangan disertai bentakan
keras. Guci arak di tangannya, diayunkan ke arah ke-
pala Jagalpati.
Namun pemuda berwatak cabul ini dengan be-
rani memapak! Prattt! Guci arak milik Dewa Arak kontan terpental ba-
lik ke arah semula. Tubuh pemuda berambut putih
keperakan itu pun terhuyung-huyung agak terputar,
terbawa kekuatan sampokan tangan Jagalpati.
"Chia...!"
Namun Jagalpati tidak memberikan kesempa-
tan lama sekali. Pemuda ini segera lompat menyerang
dengan dahsyat!
Dewa Arak meski dalam keadaan kurang men-
guntungkan, masih mampu membuktikan kalau di-
rinya bukan tokoh yang mudah dipecundangi. Dengan
jurus 'Delapan Langkah Belalang' serangan Jagalpati
dielakkan. Pertarungan sengit antara kedua tokoh muda
ini pun berlangsung. Dewa Arak harus mengakui, ka-
lau tenaga dalam pemuda berbaju serba hitam itu be-
rada di atasnya. Namun berkat keajaiban ilmu
'Belalang Sakti'nya, keunggulan Jagalpati dalam ilmu meringankan tubuh pun dapat
ditanggulanginya.
Jagalpati yang semula sudah merasa gembira
dengan beberapa keunggulannya mulai kehilangan ra-
sa sabar ketika Dewa Arak tetap mampu menangkal-
nya. Sampai dua puluh jurus bertarung, dia belum
mampu mendesak. Apalagi merobohkan pemuda be-
rambut putih keperakan ini.
Jagalpati mulai naik darah ketika menginjak
jurus kedua puluh lima, pertarungan belum mengala-
mi perubahan. Dia dan Dewa Arak masih saling ber-
gantian melancarkan serangan. Kemarahan yang men-
guasai hati, membuatnya memutuskan untuk meng-
gunakan ilmu-ilmu yang menggiriskan!
"Uh...!"
Sebuah keluhan keluar dari mulut Dewa Arak,
ketika Jagalpati tidak berusaha mengelak dari seran-
gan yang dilancarkannya. Pemuda berpakaian hitam
itu malah balas melancarkan serangan.
Sikap waspada membuat Dewa Arak memu-
tuskan untuk membatalkan serangan. Sebelumnya te-
lah disaksikan kalau Jagalpati memiliki ilmu-ilmu
aneh. Siapa tahu, kali ini pemuda itu menggunakan


Dewa Arak 84 Nyawa Kedua Dari Langit di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ilmunya, yang menggiriskan.
Jagalpati memaki dengan kata-kata kotor meli-
hat Dewa Arak menarik kembali serangannya. Tinda-
kan pemuda berambut putih keperakan itu membuat
serangan yang dilancarkannya hanya menyambar
tempat kosong! Kemarahan yang melanda Jagalpati
pun bergolak semakin hebat!
"Hiaaa...!"
Jagalpati semakin memperhebat serangannya.
Bahkan pertahanannya tidak dipedulikan sama sekali.
Yang ada dalam pikirannya adalah menyerang terus!
Arya dibuat kelabakan. Serangan Jagalpati
yang bertubi-tubi, membuatnya tidak mempunyai ke-
sempatan balas menyerang. Beberapa belas jurus, De-
wa Arak hanya mengelak. Terlihat olehnya banyak ce-
lah pada pertahanan Jagalpati yang rapuh. Tapi gen-
carnya serangan, membuat Arya tidak mempunyai ke-
sempatan untuk memasukkan serangan.
Namun Dewa Arak tidak hilang kesabarannya.
Ditunggunya hingga keadaan menguntungkan. Dan
ketika Arya melihat celah kosong saat Jagalpati me-
nyerang, tubuhnya cepat bergeser ke kanan. Kemudian
dengan kecepatan dahsyat, guci araknya dikibaskan.
Dan... Desss! Hantaman guci arak yang sebenarnya mampu
menghancurkan batu karang yang paling keras, den-
gan telak menghantam dada Jagalpati. Tubuh pemuda
ini terjengkang ke belakang dan terguling-guling, hingga beberapa tombak.
Dewa Arak telah menghembuskan napas lega.
Bisa diperkirakan kalau hantaman serangannya paling
tidak akan membuat Jagalpati tidak berdaya. Jika tidak tewas, dia akan
tergeletak dengan luka parah!
Namun Arya jadi melongo, kaget dan heran.
Ternyata tubuh Jagalpati mampu melenting, sebelum
gulingannya berakhir. Lalu mantap sekali kedua ka-
kinya menjejak tanah. Tidak terlihat adanya tanda-
tanda kalau serangan Dewa Arak berpengaruh terha-
dap dirinya! "Jangan harap akan mampu membunuhku,
Anjing kecil! Kaulah yang akan mati di tanganku seca-ra mengerikan! Seluruh
anggota tubuhmu kuceraibe-
raikan dan kuberikan pada anjing kurap!" desis Jagalpati, penuh geram.
"Heaaat...!"
*** Dan seperti hendak membuktikan ancaman-
nya, disertai teriakan keras Jagalpati melompat menerjang Dewa Arak. Serangannya
dahsyat dan menggi-
riskan. Dewa Arak tidak mempunyai pilihan lain, ke-
cuali meladeninya. Kini pertarungan sengit pun ber-
langsung kembali,
Dewa Arak benar-benar dipaksa untuk menge-
rahkan seluruh cara, guna mengalahkan Jagalpati
yang berkepandaian luar biasa. Sampai saat ini semua cara yang dipakai Dewa Arak
selalu gagal. Begitu tahu kalau gucinya tidak berguna
menghantam dada, Dewa Arak menyarangkannya ke
arah kepala. Tapi tetap saja kepala Jagalpati tetap
utuh. Perasaan penasaran membuat Arya mencoba
menghantam bagian tubuh Jagalpati dengan bacokan
sisi tangannya.
Dalam pengerahan tenaga dalam tinggi Dewa
Arak mampu membuat sisi tangannya tak kalah tajam
bagai pedang. Memang bacokan sisi tangannya mampu
mendarat di bagian yang dipapas. Tapi bagian tubuh
itu tidak terpisah! Padahal, Dewa Arak merasa yakin
kalau sisi tangannya berhasil menebas, tapi rasanya
hanya seperti menebas asap saja. Tidak ada anggota
tubuh Jagalpati yang terpisah!
Dewa Arak terkejut bukan main melihatnya. Il-
mu apakah yang dimiliki Jagalpati, sehingga tidak terpengaruh sama sekali oleh
serangan-serangannya.
Tak sampai dua puluh lima jurus pertarungan
berlangsung, Dewa Arak telah dibuat kelabakan dan
terdesak hebat! Serangan-serangan Jagalpati mem-
buatnya terpontang-panting. Kini pemuda berambut
putih keperakan ini seperti terjepit dan terhimpit!
Tap! Sukma Dewa Arak bagaikan melayang ke alam
baka, ketika tangan jagalpati berhasil menangkap pergelangan tangannya. Dalam
waktu yang demikian
singkat, benaknya segera berputar mencari jalan un-
tuk meloloskan diri. Disadari betul kalau keadaannya amat berbahaya!
"Hiahhh...!"
Klak! Tiba-tiba Dewa Arak menarik sambil memutar
tangannya dengan pergelangan sebagai porosnya. Ja-
galpati sendiri sebenarnya kuat mencekal dengan jari-jari tangannya. Tapi cara
yang dilakukan Arya benar-
benar mengagumkan. Pemuda berambut putih kepera-
kan itu berhasil menarik tangannya lepas dari cekalan.
Sungguh pun demikian usahanya tidak terlalu mulus,
karena disadari kalau sambungan tulangnya lepas!
Bibir Arya menyeringai menahan rasa nyeri
yang mendera tangannya. Tindakan itu bahkan mem-
buat tubuhnya terhuyung-huyung. Di lain pihak, Ja-
galpati menggeram. Dia bukan tidak tahu kalau Dewa
Arak telah cedera. Tapi hatinya tidak puas.
"Sekarang, terimalah akibat kelancanganmu,
Anjing Dungu!" Begitu selesai kata-katanya, Jagalpati bergerak menerjang.
Dewa Arak terkesiap. Kedudukannya saat ini
memang tidak menguntungkan. Dan dia telah bersiap
untuk mengadu nyawa kalau saat itu memang harus
terjadi. Seluruh kekuatannya dikumpulkan pada ke-
dua tangan Tapi, ternyata serangan Jagalpati tidak kunjung
datang. Pemuda yang memiliki ilmu menggiriskan hati
ini malah menghentikan serangan secara tiba-tiba.
Arya jadi heran. Dan keheranannya kian ber-
tambah ketika melihat sikap Jagalpati yang tampak gelisah! Seakan-akan ada
sesuatu yang ditakutinya!
Dewa Arak sekilas merayapi keadaan sekeli-
lingnya, mencoba mencari sesuatu yang ditakuti Ja-
galpati. Tapi sekitar tempat itu kelihatannya sepi saja.
Hujan memang telah turun dengan deras, tepat ketika
Jagalpati bersiap mengirimkan serangan susulan.
Hujan lebat yang diikuti deru angin kencang
turun mengguyur bumi. Halilintar pun tak ketingga-
tan, beberapa kali menyalak ke bumi!
Persada kembali bergetar ketika halilintar kem-
bali menyalak, setelah terlebih dulu diawali sinar terang dari langit. Arya
melihat jelas tubuh Jagalpati menggigil keras. Dan dia yakin, bukan air hujan
yang dingin, atau hembusan angin yang membuat Jagalpati
bersikap seperti dilanda takut yang hebat!
Sebuah dugaan langsung berkelebat di benak
Arya. Jagalpati yang seperti terkesima membuat Dewa
Arak mempunyai kesempatan berpikir.
Halilintarkah yang membuat Jagalpati ketaku-
tan" Tapi, rasanya tidak mungkin juga! Bukankah se-
jak sebelum hujan turun, halilintar telah menyalak beberapa kali. Buktinya
pemuda itu tidak terlihat terpengaruh sama sekali! Apalagi ketakutan! Jadi,
rasanya tidak mungkin halilintar! Lalu, apa"
Di saat pertanyaan yang belum terjawab itu
bergayut di benak, Jagalpati terlihat sadar dari terkesima dan perasaan
gelisahnya. Sedangkan Arya bersi-
kap waspada. Bukan tidak mungkin kalau Jagalpati
sekarang, akan melanjutkan serangan.
Tapi kekhawatiran Dewa Arak ternyata keliru,
Jagalpati tidak melanjutkan serangan. Pemuda ini ma-
lah berbalik dan berlari cepat meninggalkan tempat
itu. Melihat hal ini, Dewa Arak heran bukan main!
Jagalpati kelihatan ketakutan sekali! Apa yang ditakutinya" Menyadari tidak ada
gunanya memikirkan ja-
waban itu, Dewa Arak cepat menepisnya. Ditatapnya
tubuh Jagalpati hingga lenyap di kejauhan. Arya tahu, tak ada gunanya mengejar.
Apalagi dia tak akan mampu berbuat banyak untuk menangkal serangan Jagal-
pati! Dalam keadaan biasa saja, pemuda berpakaian
serba hitam itu tidak mampu ditandingi. Apalagi, tangannya yang sebelah tidak
berguna! "Ehemm...!"
Bunyi deheman membuat Arya sadar dari ter-
kesimanya. Begitu perhatiannya beralih, tampak seo-
rang lelaki pendek kekar berdiri bersandar pada sebatang pohon.
*** "Kau hebat, Anak Muda."
Lelaki pendek kekar yang tak lain si Rantai
Penggulung Jagad memuji penuh kagum sambil men-
gayunkan kaki menghampiri Dewa Arak. "Kau mampu menanggulangi iblis keji itu!"
"Apanya yang hebat, Paman?" sahut Arya bernada tidak setuju. "Nyawaku hampir
saja melayang di tangannya. Untungnya saja, sebelum itu terjadi ada
sesuatu yang membuatnya gelisah dan ketakutan!
Mungkinkah kau yang menyebabkannya, Paman?"
"Ha ha ha...!"
Si Rantai Penggulung Jagad malah tertawa, tapi
bukan karena gembira. Terasa ada nada kepahitan di
sana. "Aku membuatnya takut, Anak Muda"! Kau
bercanda! Kau tahu, baru saja Jagalpati si iblis keji itu mencundangiku dengan
mudah! Kalau saja karena tidak ingin menyelamatkan putraku, mungkin saat ini
aku hanya tinggal nama saja!"
"Jadi..., pemuda berpakaian coklat yang dikejar Jagalpati tadi putramu, Paman"!"
Si Rantai Penggulung Jagad mengangguk. "Oleh
karena itu, Anak Muda. Aku amat berterima kasih pa-
damu. Kalau tidak karena pertolonganmu, entah apa
yang akan terjadi pada kami. Kau benar-benar luar biasa, Anak Muda! Boleh
kutahu, julukanmu di dunia
persilatan" Melihat sikapmu yang tenang dan matang,
aku yakin kau telah cukup lama berkecimpung di du-
nia persilatan!"
"Dunia persilatan menjulukiku Dewa Arak, Pa-
man. Tapi nama asli pemberian orangtuaku adalah
Arya Buana," jelas Arya.
Sepasang mata si Rantai Penggulung Jagad ter-
belalak lebar. "Jadi, kau tokoh yang mempunyai julukan itu,
Anak Muda"! Sayang sekali, aku telah mengundurkan
diri, dari dunia persilatan. Sehingga aku banyak tertinggal dengan berita
mengenai perkembangan dunia
persilatan. Tapi, julukanmu sempat mampir ke telin-
gaku. Kau mengagumkan, Anak Muda. Semuda ini te-
lah mengukir nama besar! Aku yang tua ini pantas me-
rasa malu padamu...."
Wajah Arya kontan merah. "Apalah artinya di-
bandingkan dirimu, Paman"!" tukas Arya untuk meng-
hilangkan rasa risih akibat pujian si Rantai Penggu-
lung Jagad. "Pengalamanmu di dunia persilatan jauh lebih matang dibandingkan
denganku. Dan aku yakin,
sebelum mengasingkan diri, kau merupakan tokoh
persilatan golongan putih yang amat terkenal! Dan aku yakin akan pernah
mendengar julukanmu, apabila kau
sudi memperkenalkannya padaku, Paman."
Si Rantai Penggulung Jagad tersenyum pahit
meski memang sebelumnya ada kilatan rasa bangga
dari sepasang matanya. "Sebelum mendapat malu karena dirobohkan Jagalpati, aku
memang mempunyai
kedudukan lumayan di persilatan, Dewa Arak. Tokoh-
tokoh persilatan menjuluki aku, si Rantai Penggulung Jagad. Sebuah julukan yang
berlebihan, karena Jagalpati berhasil membuktikan kalau rantaiku tumpul, ka-
ratan, dan rapuh!" Jelas si Rantai Penggulung Jagad, dengan sikap merendah.
"Kau terlalu merendahkan diri, Paman. Aku
ternyata tidak keliru. Kau memang seorang tokoh be-
sar. Aku telah mendengar berita mengenai tokoh-tokoh terkenal belasan tahun
lalu. Di antaranya adalah kau dan Ular Angkasa. Dan aku tidak menganggap kau
kalah terhadap Jagalpati. Karena, pemuda itu menggu-
nakan ilmu iblis!" hibur Arya, sekenanya.
"Apa yang kau katakan itu sebagian benar, De-
wa Arak," si Rantai Penggulung Jagad mengganti sa-paannya. "Dulu, aku dan Ular
Angkasa memang cukup terkenal. Tapi mungkin perlu kau tahu, Jagalpati memang
terlalu kuat untukku. Tidak hanya sekarang.
Tapi juga bertahun-tahun yang lalu, sebelum iblis itu mendapatkan ilmu luar
biasa...."
Arya pun diam. Pemuda ini tidak mempunyai
kata-kata untuk menghibur hati si Rantai Penggulung
Jagad yang tengah terpukul.
"Kau hendak pergi ke mana, Dewa Arak"!"
tanya si Rantai Penggulung Jagad, ingin tahu.
"Entahlah, Paman," desah Arya. "Kalau menuruti keinginan, aku ingin segera
memburu Jagalpati.
Aku ingin melenyapkannya, sebelum malapetaka baru
dibuatnya. Tapi..., kemampuanku tidak berarti ba-
ginya...."
Si Rantai Penggulung Jagad tahu Arya tidak
berkata bohong. Telah dilihatnya sendiri kalau Dewa Arak tengah cedera.
"Lalu..., keputusanmu bagaimana, Dewa
Arak"!" kejar si Rantai Penggulung Jagad.
"Mencari sesuatu yang dapat digunakan untuk
memunahkan ilmu Jagalpati, Paman. Tapi..., rasanya
harapan ini kecil sekali. Aku tidak yakin berhasil," jawab Arya, ragu-ragu.
"Dari mana kau tahu kalau ilmu Jagalpati me-
miliki kelemahan, Dewa Arak"! Dan lagi, apakah kau
tahu sesuatu yang dapat membuat kedahsyatan ilmu
iblis keji itu hilang?"
Si Rantai Penggulung Jagad kelihatan tertarik
sekali. Pertanyaan-pertanyaan yang dikeluarkannya
bertubi-tubi penuh semangat.
Tanpa ragu-ragu, Arya menceritakan ikhwal
pertemuannya dengan Kakek Dipangga yang menjadi
guru Jagalpati. Semuanya diceritakan, tak ada yang
disembunyikannya sedikit pun.
"Aku yakin, ilmu Jagalpati mempunyai penang-


Dewa Arak 84 Nyawa Kedua Dari Langit di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kal, Paman. Karena menurut guruku, Allah mencipta-
kan untuk alam ini berpasang-pasangan. Ada jahat,
ada baik. Ada penjahat, ada pendekar. Ada racun, ada obat. Ada kelebihan dan ada
kekurangan. Maka, aku
yakin ilmu Jagalpati pun ada penangkalnya," ujar Arya menutup kisahnya.
Si Rantai Penggulung Jagad mengangguk-
angguk menyatakan persetujuannya.
"Apa yang kau katakan itu memang benar, De-
wa Arak. Allah Maha Adil! Aku yakin penangkal ilmu
milik Jagalpati ada. Tapi, bukankah penangkalnya te-
lah dimusnahkan Jagalpati sendiri" Berarti pemunah
ilmunya sudah lenyap! Kudengar, cabai hitam dan pu-
tih itu tumbuh tiap dua belas purnama sekali. Berarti kau mesti menunggunya,
apabila ingin melenyapkan
Jagalpati, Dewa Arak!" kata lelaki pendek kekar ini dengan kening berkerut
"Mungkinkah ucapan Jagalpati tentang telah
dimusnahkannya tanaman itu hanya bualan belaka,
Paman"!" Arya mengajukan pendapatnya.
"Jadi, kau ingin melihat tanaman itu, Dewa
Arak?" tanya si Rantai Penggulung Jagad. Arya mengangguk.
"Lebih baik urungkan niatmu, Dewa Arak!" ujar si Rantai Penggulung Jagad,
memberi nasihat. "Kalau aku menjadi Jagalpati pun, hal pertama yang akan
kulakukan adalah memusnahkan tanaman-tanaman itu.
Jadi, aku yakin tanaman-tanaman itu telah punah!
Dan andaikata hal itu belum dilakukannya, tak akan
mungkin diberitahukannya tempat tanaman itu pada-
mu, Dewa Arak!"
"Aku pun berpikir demikian, Paman. Hanya sa-
ja, aku tidak mempunyai pilihan lain! Menunggu dua
belas purnama, akan menimbulkan banyak korban di
tangan Jagalpati! Sementara menghadapi tanpa per-
siapan, sama saja bunuh diri! Dan aku yakin, itu bu-
kan tindakan tepat!" sanggah Dewa Arak, halus.
Suasana menjadi hening ketika Arya selesai
berbicara. Kini mereka sama-sama diam. Masing-
masing merenung, seakan-akan tengah memikirkan ja-
lan untuk memecahkan masalah rumit ini.
"Aku mempunyai saran, Dewa Arak," cetus si Rantai Penggulung Jagad memecahkan
keheningan. "Kurasa tidak ada salahnya kalau kau mencobanya."
"Apa saranmu itu, Paman"!"
"Kau tadi menceritakan tentang nenek yang
menanam cabai-cabai ajaib itu, bukan"!"
"Benar, Paman. Guru Jagalpatilah yang mence-
ritakannya padaku," sahut Arya, setengah memperbai-ki ucapan lelaki pendek kekar
itu. "Ya. Tapi tahukah kau, siapa nenek yang di-
maksudkan guru Jagalpati itu"!"
Arya menggeleng.
"Nenek itu, sebelumnya merupakan tokoh ra-
hasia. Tidak ada yang tahu namanya. Tapi menurut
kabar, hampir seratus tahun yang lalu, nenek itu tinggal di sebuah tempat
bernama Istana Iblis. Sejak ma-
sih kecil, dia tinggal di sana."
Si Rantai Penggulung Jagad memulai ceritanya.
Sementara Dewa Arak ganti mendengarkan penuh
perhatian. "Istana Iblis itu sering didatangi orang-orang
persilatan tingkat atas. Mereka tertarik untuk men-
gungkap tempat yang penuh rahasia itu. Tapi tak seo-
rang pun ada yang kembali. Karena hal tersebut sering terjadi, Istana Iblis
menjadi tempat yang ditakuti. Menurut kabar, istana itu dihuni sepasang suami
istri yang sama-sama berwatak aneh. Dan nenek yang di-
maksud guru Jagalpati, menurut berita adalah ketu-
runan terakhir dari Istana Iblis."
Rantai Penggulung Jagad menghentikan ceri-
tanya. Sedangkan Dewa Arak dengan sabar menunggu
kelanjutannya. "Berbeda dengan orangtuanya, nenek itu tidak
betah tinggal di Istana Iblis yang sepi. Dia sering keluar. Kepandaiannya memang
luar biasa. Hanya saja,
dia tidak suka mencampuri urusan orang lain. Kege-
marannya adalah menanam. Dan anehnya tanaman-
nya selalu aneh-aneh, seperti cabai-cabai tak lumrah itu. Kau boleh percaya
boleh tidak, Dewa Arak. Aku
pernah berjumpa dengannya. Nenek itu ternyata amat
menyukai bayi-bayi mungil. Namun bukan untuk dija-
hati. Dia sering mendatangi kampung-kampung hanya
untuk memandangi bayi yang tidur di samping ibunya.
Anakku sendiri, Taruna, mendapat giliran. Karena
mengalami sendirilah aku tahu kegemarannya. Dia da-
tang ke rumahku, langsung mengawasi Taruna yang
tidur di samping ibunya. Karena asyiknya mengintai
Taruna, nenek itu tidak tahu kalau aku memperhati-
kannya. Sampai menjelang subuh, nenek itu pergi.
Hanya itulah yang bisa kuceritakan padamu, Dewa
Arak." "Apakah nenek itu masih tinggal di istananya, Paman"!" kejar Dewa Arak.
"Benar. Padahal, bangunan itu sudah tidak pa-
tut lagi dinamakan istana. Yang tinggal hanya puing-
puing, sedikit tembok yang mengelilingi dari reruntuhan bangunan. Apakah kau
ingin ke sana, Dewa
Arak"!" sahut si Rantai Penggulung Jagad.
Arya mengangguk mantap.
"Barangkali saja nenek itu punya cadangan ta-
naman cabai hitam dan putih, Kek," desah Dewa Arak.
"Aku bangga padamu, Dewa Arak!" ucap si Rantai Penggulung Jagad. "Kau benar-
benar seorang pendekar tulen! Hanya pesanku, hati-hatilah. Meski sudah berupa
puing, Istana Iblis bukan tempat sembarangan!
Menurut berita, jalan menuju Istana Iblis itu dikelilingi maut. Lumpur hidup,
rawa beracun, tanaman-
tanaman beracun dan binatang-binatang berbisa.
Bahkan ada taman yang membuatmu tidak bisa keluar
lagi setelah memasukinya. Camkan itu baik-baik, De-
wa Arak" "Terima kasih atas nasihat yang kau berikan,
Paman. Apakah Paman tidak ingin ikut pergi bersama-
ku"!" "Sayang sekali, Dewa Arak," desah si Rantai Penggulung Jagad, disertai
helaan napas berat. "Aku mempunyai urusan lain yang cukup penting. Aku
mengkhawatirkan keselamatan Taruna, anakku. Aku
cemas, kalau-kalau Jagalpati mengejarnya dan mem-
bunuhnya."
"Tak apa, Paman. Dan lagi urusan kita sama-
sama penting," timpal Arya. "O, ya. Boleh kutahu, mengapa kau yang telah
mengasingkan diri, sampai
keluar kembali ke dunia persilatan, Paman"!"
Si Rantai Penggulung Jagad tersenyum simpul.
"Urusan anak dan tanggung jawab orangtua, Dewa Arak." Arya mengernyitkan kening.
Kelihatan bingung.
"Taruna akan kukawinkan dengan Putri Ular Angkasa, Dewa Arak! Setelah itu, aku
dapat tenang di pengasin-gan!" "Ah...!"
Arya berseru gembira.
"Kalau begitu, selamat, Paman. Percayalah. Bila sempat, aku akan datang untuk
menghadiri pernika-han itu," janji Dewa Arak, tulus.
"Terima kasih, Dewa Arak. Selamat tinggal.
Dan, selamat bertugas!"
Si Rantai Penggulung Jagad seketika melesat.
Sementara Arya menunggu hingga tubuh itu mengecil
di kejauhan. Kemudian, dia sendiri melesat menempuh
arah yang berlainan.
6 "Bagaimana, Ular?"
Pertanyaan itu datangnya dari mulut si Rantai
Penggulung Jagad, yang ditujukan pada seorang lelaki berusia sekitar lima puluh
lima tahun di depannya.
Sedangkan lelaki bertubuh tinggi kurus yang menda-
pat pertanyaan hanya tercenung. Sinar mata dan raut
wajahnya menyiratkan berbagai macam perasaan. Ada
penyesalan dan kedukaan yang sarat di sana.
Si Rantai Penggulung Jagad tampak dudul geli-
sah, seperti tidak sabar. Duduk di sebelahnya adalah Taruna. Pemuda ini duduk
bagaikan patung batu. Wajahnya menunduk dalam-dalam ke lantai, seakan-akan
di sana ada yang menarik perhatiannya.
Lelaki bermuka kuning yang dipanggil Ular
memang berjuluk Ular Angkasa. Dia bukannya mem-
beri jawaban, tapi malah menghela napas berat.
Sikap Ular Angkasa membuat kesabaran si
Rantai Penggulung Jagad jadi hilang. Wajahnya agak
menegang. Suaranya bergetar menahan perasaan ter-
singgung ketika berkata lagi.
"Kalau menolak tawaranku, katakan saja, Ular.
Wajar saja bila kau menolak tawaranku. Aku tidak
akan marah. Tapi bila kau bersikap seperti ini, kesabaranku bisa hilang! Bila
menerima, katakan. Dan bila
tidak, kemukakan saja. Aku lebih menyukai keterus-
terangan! Dan aku yakin, kau tahu hal itu!"
Ular Angkasa tidak langsung memberi jawaban.
Ditatapnya wajah si Rantai Penggulung Jagad lekat-
lekat. Sementara itu seorang wanita berusia tiga pulu-
han tahun yang duduk di sebelah Ular Angkasa tam-
pak merah padam wajahnya. Wanita itu kelihatan can-
tik. Apalagi dengan bentuk tubuh yang padat menggi-
urkan dan kelihatan matang. Mendengar kata-kata si
Rantai Penggulung Jagad, dia bangkit dari kursinya.
Ditudingnya wajah lelaki pendek kekar itu.
"Kau hendak meminang atau hendak mengajak
bertarung"!" sembur wanita berpakaian biru langit itu, keras. Si Rantai
Penggulung Jagad sampai memun-durkan tubuhnya karena khawatir wajahnya terkena
tudingan jari telunjuk yang runcing dan lentik itu. "Kalau ingin putramu menjadi
menantu di sini, bersikap-
lah sopan! Kalau tidak suka dengan cara kami, silakan angkat kaki! Kami pun
tidak butuh kehadiranmu!"
Wajah si Rantai Penggulung Jagad kontan me-
negang. Ucapan wanita itu dinilainya keterlaluan. Tapi mengingat orang yang
memakinya ini seorang wanita
yang diyakini mempunyai hubungan erat dengan Ular
Angkasa, kemarahannya ditahan. Juga diyakini, Ular
Angkasa tidak akan tinggal diam.
Dugaan si Rantai Penggulung Jagad memang
tidak meleset. Wajah Ular Angkasa berubah hebat. Ke-
lihatan jelas kalau ia merasa tidak enak hati melihat sikap wanita berpakaian
biru langit "Harap jangan dimasukkan dalam hati ucapan
istriku ini, Rantai. Maklumlah...," ujar Ular Angkasa buru-buru.
Ketegangan di wajah si Rantai Penggulung Ja-
gad seketika mengendur. Kemarahannya pun pupus.
Namun tidak demikian halnya wanita berpa-
kaian biru langit. Dengan sinar mata memancarkan
kemarahan besar, ditatapnya Ular Angkasa.
"Kalian berdua memang tua-tua bangka tidak
tahu diri!"
Kemudian wanita itu bangkit dari kursinya.
Kakinya dibanting dengan perasaan kesal, kemudian
berjalan cepat meninggalkan ruang tengah di salah sa-tu bangunan dari sekian
banyaknya bangunan yang
ada. Tempat ini memang sebuah perguruan bernama
Perguruan Ular Sakti. Ular Angkasa sendiri adalah ketua perguruan itu.
Ular Angkasa hanya mengangkat kedua ba-
hunya; Dia tidak berkata apa pun. Sementara si Rantai Penggulung Jagad mengawasi
wajah ketua perguruan
itu lekat-lekat.
"Istrimu, Ular..."!" tanya si Rantai Penggulung Jagad, hati-hati.
Ular Angkasa menghela napas berat lebih dulu
sebelum memberikan jawaban. Kepalanya mengangguk
pertanda membenarkan pertanyaan lelaki pendek ke-
kar yang telah sangat dikenalnya.
"Sekitar enam tahun yang lalu dia kunikahi.
Mulanya, sifatnya tidak seperti ini. Tapi.... Sudahlah, Rantai. Kurasa sebaiknya
kita tidak membahas masalah yang bukan menjadi tujuanmu."
"Kau benar, Ular!" sambut si Rantai Penggulung Jagad, tersentak. "Hampir saja
aku lupa dengan tuju-anku semula. Syukur kau mengingatkan!"
"Begini, Rantai," Ular Angkasa memulai. "Sebenarnya aku gembira mendapat tawaran
dari seorang sepertimu. Aku menerima putramu. Tapi sayang. Aku
tidak bisa melakukannya..."
"Mengapa, Ular"!" desak Rantai Penggulung Jagad, tak menyembunyikan
keheranannya. Senyumnya
mendadak lenyap. "Apakah karena putraku tidak pantas?" "Bukan karena itu,
Rantai," kilah Ular Angkasa
menggoyang-goyangkan tangannya. "Putramu lebih da-ri pantas dan patut untuk
menjadi menantuku. Aku
justru bangga! Dan, aku merasa lebih berhahagia dan
bangga apabila Arimbi menjadi menantumu."
"Lalu..., mengapa kau tidak menerimanya,
Ular"! Kuharap kau tidak menyimpan laki-laki lagi!
Apakah putrimu itu sudah menjadi murid orang lain"!"
"Tidak, Rantai. Dugaanmu keliru," sahut Ular Angkasa dengan wajah muram. "Aku
tidak bisa menerima tawaranmu, karena Arimbi tidak berada di sini."
Wajah si Rantai Penggulung Jagad kembali ce-
rah. Bila itu masalahnya, berarti masih ada harapan
baginya. "Kalau hanya itu masalahnya, tidak mengapa,
Ular. Wajar saja toh, seorang wanita dewasa berilmu
tinggi seperti putrimu itu pergi mengembara. Biar pen-galamannya luas! Sekarang,
bisa saja kau putuskan,
bagaimana tanggapanmu atas tawaranku. Nanti, sete-
lah Arimbi kembali, kau beritahukan masalah ini.
Gampang, kan?" usul si Rantai Penggulung Jagad.
"Tidak gampang, Rantai," bantah Ular Angkasa.
"Aku tidak berani memutuskan tawaranmu karena aku tidak yakin, apakah Arimbi
akan kembali. Hampir
enam tahun dia pergi meninggalkan tempat ini. Entah
dia mau kembali atau tidak. Aku ragu. Aku malah ya-
kin, dia tidak ingin kembali lagi!"
Rantai Penggulung Jagad tercenung. Dirasaka
adanya nada kedukaan dan penyesalan yang besar da-
lam ucapan Ular Angkasa. Sikap lelaki ini seperti tengah menanggung beban batin
berat, karena merasa
bersalah! "Sekarang begini saja, Rantai," ujar Ular Angkasa hati-hati seperti khawatir


Dewa Arak 84 Nyawa Kedua Dari Langit di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Rantai Penggulung Jagad akan tersinggung. "Putramu tinggal saja dulu di sini.
Mudah-mudahan Arimbi cepat kembali. Bagaimana
Rantai" Kau setuju"!"
Rantai Penggulung Jagad dengan tegas mengge-
leng. Lelaki ini memang memiliki harga diri tinggi. Pan-tang baginya menunggu
tanpa kejelasan.
"Apakah Arimbi minggat dari rumah ini.."!"
tanya Rantai Penggulung Jagad hampir tidak terdengar mengalihkan masalah.
Ular Angkasa mengangguk sambil menghela
napas berat. "Kepergiannya mengapa seperti itu, Ular"! Maaf, bila aku terlalu lancang."
"Tidak, Rantai. Kau sahabatku. Tidak ada sa-
lahnya kau tahu masalah ini. Mungkin kau bisa mem-
beri pertimbangan, apakah aku salah atau benar da-
lam hal ini," tukas Ular Angkasa.
"Kalau kau tidak keberatan, apa boleh buat"!"
Rantai Penggulung Jagad mengangkat bahu.
"Dia pergi karena aku yang mengusirnya, Rantai," keluh Ular Angkasa. "Tapi, aku
tidak punya pilihan lain.
Keputusan itu kuberikan, karena rasa sayangku pa-
danya. Dia telah melanggar peraturan berat, karena
memasuki tempat larangan di perguruan ini! Padahal,
jauh sebelum itu, telah kuberitahukan pada semua
murid perguruan ini. Tak seorang pun boleh memasuki
ruang larangan. Apabila kedapatan ada di sana, siapa pun akan mendapatkan
hukuman berat! Sama sekali
tidak kusangka kalau Arimbi yang melanggarnya. Rasa
sayang, membuatku memilih mengusirnya di hadapan
murid-murid perguruan. Daripada, dia kuhukum ma-
ti!" Rantai Penggulung Jagad menghela napas be-
rat. Keputusan Ular Angkasa memang tidak bisa dis-
alahkan. Lelaki itu telah bertindak adil! Seorang ksa-
tria lebih mementingkan ucapan dan kehormatan dari-
pada hal lainnya. Dan tindakan Ular Angkasa benar.
Taruna yang sejak tadi menunduk, mengangkat
wajah. Sinar matanya berbalur kekecewaan. Sama se-
kali tidak disangka kalau Arimbi bernasib demikian
menyedihkan. "Apakah kau tahu penyebab Arimbi bertindak
demikian, Ular"! Aku yakin ada yang mendorongnya,
sehingga berani melanggar laranganmu. Padahal, hu-
kumannya berat!" kata si Rantai Penggulung Jagad, hati-hati.
"Memang dia mengatakannya. Dan hal inilah
yang sejak dulu mengganggu pikiranku, Rantai," kata Ular Angkasa. Semakin terasa
nada kekecewaan besar
dalam ucapannya. "Menurutnya, dia berani melanggar larangan karena hendak
menyelamatkan pusaka-pusaka perguruan. Memang, sudah menjadi rahasia
perguruan, kalau di tempat larangan itu terdapat ba-
nyak harta, senjata-senjata pusaka, dan kitab-kitab
ilmu kesaktian! Dan menurut Arimbi, orang yang hen-
da mengambilnya adalah istriku yang tadi! Ibu tirinya!
Aku, jadi bingung. Tapi, kemarahan dan kekecewaan
karena keberanian Arimbi melanggar larangan, tamba-
han lagi berani menyalahkan ibu tirinya, dia kujatuh hukuman! Aku bahkan tidak
mengakuinya sebagal
anak! Arimbi tidak kuperbolehkan menginjak halaman
perguruan!"
Rantai Penggulung Jagad terdiam.
"Jadi..., minggatnya putrimu setelah adanya is-
trimu yang baru itu, Ular?" tanya si Rantai Penggulung Jagad, tetap berhati-
hati. Ular Angkasa hanya menghela napas. Dia tidak
memberi jawaban sedikit pun. Tapi Rantai Penggulung
Jagad tahu, lelaki bermuka kuning itu mengakuinya.
Rantai Penggulung Jagad mengernyitkan ken-
ing. Nalurinya mulai membaui adanya hal-hal yang
mencurigakan di sini. Dugaannya ingin diutarakan,
tapi khawatir kalau Ular Angkasa salah terima.
"Mengapa, Ular"!" tanya Rantai Penggulung Jagad ketika melihat Ular Angkasa
menyeringai sambil
memegangi dadanya.
"Tidak apa-apa," jawab Ular Angkasa, berbohong. "Hanya sakit sedikit."
"Boleh kuperiksa"!" Rantai Penggulung Jagad menawarkan. "Barangkali saja kau
menderita luka dalam." Ular Angkasa tertawa yang tampak paksaan.
Mulutnya tertawa, tapi wajahnya tidak. Bahkan sinar
sepasang matanya, berbalur kekecewaan dan kedu-
kaan besar. "Luka dalam"! Ada-ada saja dugaanmu, Rantai!
Bagaimana mungkin aku terluka, kalau tidak pernah
bertarung"! Asal kau tahu saja, selama lima tahun lebih ini aku tidak pernah
berlatih! Bahkan tidak pernah bersemadi sama sekali. Hati dan pikiranku risau
jika mengingat Arimbi. Aku merasa bersalah padanya. Kau
tahu, Rantai. Setahun setelah Arimbi kuusir, kuha-
biskan waktu dua tahun lebih untuk mencarinya. Tapi, hasilnya sia-sia. Bocah itu
lenyap begitu saja, bagaikan ditelan bumi!"
Kembali Ular Angkasa menyeringai. Kali ini ke-
lihatan lebih parah daripada sebelumnya. Dia keliha-
tan tersiksa sekali. Wajahnya menegang, merah pa-
dam. Kemudian, batuk-batuk kecil keluar dari mulut-
nya. Ular Angkasa menutupi mulutnya dengan ke-
dua tangan, demi kesopanan. Baru setelah batuknya
reda, kedua tangannya diturunkan kembali.
Wajah Ular Angkasa bembah, ketika melihat
cairan merah kehitaman pada kedua telapak tangan-
nya. Parah! Tapi, lelaki ini tidak ingin Rantai Penggulung Jagad tahu
penderitaannya. Maka buru-buru
tangannya disembunyikan di bawah meja.
"Kau tidak bisa menipuku lagi, Ular," desah Rantai Penggulung Jagad, tenang.
"Tanganmu bisa kau sembunyikan. Tapi darah di pinggir mulutmu, telah
menceritakan semuanya. Kau terluka, Ular. Tidak
hanya luka dalam, tapi juga luka karena keracunan.
Darahmu tidak merah segar, tapi merah kehitaman.
Darah yang tercipta karena luka beracun!"
Ular Angkasa tidak bisa mengelak lagi. Dengan
punggung tangan, dicobanya membersihkan luka-luka
pada pinggir mulutnya.
"Masih mencoba menyembunyikan peristiwa
yang terjadi pada dirimu, Ular"!" desak Rantai Penggulung Jagad lagi.
"Terserah kau mau bilang apa, Rantai. Kau
mau percaya atau tidak. Aku tak pernah bertarung
denga siapa pun! Apalagi sampai terkena pukulan be-
racun. Juga aku sudah tidak peduli lagi akan kesela-
matanku. Perasaan bersalahku pada Arimbi, telah
membuatku tidak betah hidup lebih lama! Aku me-
mang tidak pernah mengurus diri lagi! Entah bagai-
mana aku memperi tanggungjawabkan masalah ini
pada mendiang ibu Arimbi!" tukas Ular Angkasa.
Rantai Penggulung Jagad memegang kedua ba-
hu Ular Angkasa, seraya mengguncangkannya sediki
keras. "Kau boleh tidak peduli pada dirimu, Ular. Tapi kau harus ingat! Keadaan
yang kau derita sekarang
ini, berarti disebabkan perbuatan seseorang yang telah meracunimu tanpa kau
tahu! Apakah kau tidak ingin
mencari tahu pelakunya"!"
Ular Angkasa menggeleng. Lemah dan tanpa
semangat. "Kau tidak boleh bersikap seperti itu, Ular!" ser-gah Rantai Penggulung Jagad,
keras. "Kalau kau seperti aku, boleh saja bersikap seperti itu! Tapi, kau lain!
Nasib puluhan orang berada di tanganmu! Apa
jadinya kalau kau mati nanti"!"
"Aku tidak khawatirkan hal itu, Rantai! Aku ya-
kin, sepeninggalku keadaan akan aman-anan saja!
Perguruan Ular Sakti yang kupimpin mempunyai mu-
rid-murid kepala. Merekalah yang akan mengganti-
kanku sebagai pimpinan! Lagi pula, masih ada istriku.
Dia memiliki kepandaian tidak rendah! Selama menjadi istriku, dia giat berlatih.
Malah, tingkat kepandaiannya tak akan kalah dengan muridku yang terlihai!"
sanggah Ular Angkasa.
"Kalau begitu, celakalah Perguruan Ular Sakti,
Ular! Tidakkah kau bisa berpikir jernih"! Apakah kau tidak bisa menduga orang
yang telah meracunimu"!"
Wajah Ular Angkasa berubah hebat
"Jadi..., kau menuduh istriku yang membuatku
seperti ini"! Kau gila bila berpikir demikian, Rantai!
Hati-hati ucapanmu! Atau..., kau akan berhadapan
denganku sebagai lawan!" desis Ular Angkasa tidak senang. "Aku yakin, istrimulah
pelakunya, Ular! Aku yakin betul. Percayalah, Ular! Ingat, baik-baik! Bukankah
Tembang Tantangan 13 Joko Sableng Tabir Asmara Hitam Pendekar Cacad 14
^