Pencarian

Pembalasan Dari Liang Lahat 1

Dewa Arak 78 Pembalasan Dari Liang Lahat Bagian 1


PEMBALASAN DARI
LIANG LAHAT oleh Aji Saka Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting : Puji S.
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Aji Saka Serial Dewa Arak
Dalam episode Pembalasan Dari Liang Lahat
128 hal ; 12 x 18 cm
http://duniaabukeisel.blogspot.com
1 Hujan turun begitu deras, bagai ditumpah-
kan dari langit. Angin berhembus kencang menya-
pu apa saja yang dilalui. Sesekali kilat menjilat angkasa, membuat yang semula
gelap gulita menjadi terang-benderang meski hanya sekilas. Alam seperti tengah
murka. Malam yang gelap pekat
menjadikan suasana semakin menyeramkan!
Keadaan demikian seperti tidak dipeduli-
kan oleh sebuah kereta sederhana yang ditarik
kuda hitam tinggi besar. Pengendaranya adalah
seorang lelaki kekar bertelanjang dada. Tanpa
henti-henti cambuknya dilecutkan, membuat kuda
penarik kereta terus berlari semakin cepat. Bunyi lecutan cambuk senantiasa
terdengar, tapi nyaris tertindih oleh suasana alam yang tengah menga-muk.
Kelihatannya sang kusir ingin segera melakukan perjalanan secepat mungkin.
Kendati demi- kian, keadaan alam yang tidak bersahabat dan tanah lunak karena hujan, membuat
perjalanannya terhambat "Masih jauhkah perjalanan kita, Gempita"!"
Terdengar suara serak dan parau dari da-
lam kereta, berusaha menyeruak riuh-rendahnya
bunyi air hujan dan desir angin yang keras.
"Tidak! Sebentar lagi pun kita akan sam-
pai...!" teriak sang kusir tidak kalah keras.
Kusir yang dipanggil Gempita memiliki
cambang bauk lebat itu terlihat ketika alam terang benderang sejenak oleh
kilatan di langit.
Berat dan mantap suara Gempita. Tidak
terlihat gemetar atau tersendat-sendat, seperti layaknya orang kedinginan!
Padahal, saat ini udara dingin menusuk hingga ke tulang sumsum!
Bahkan lelaki bercambang bauk lebat itu malah
bertelanjang dada!
Tidak terdengar sahutan sama sekali dari
dalam kereta. Rupanya, jawaban Gempita tadi cu-
kup memuaskan hati orang di dalam kereta. Se-
mentara kereta terus melaju terseok-seok melalui jalan tanah becek
"Kita telah sampai...!" seru Gempita, seraya menarik tali kekang kudanya.
Tanpa mempedulikan kudanya yang terus
meringkik, lelaki bertelanjang dada dan bercam-
bang bauk lebat itu melompat. Pada saat yang
hampir bersamaan, dari belakang kereta melompat sesosok tubuh lain sambil
membopong sebuah pe-ti mati! "Kita harus bertindak cepat..! Kalau terlambat,
akan celaka...!" ujar Gempita sambil berlari cepat menuju hamparan tanah luas
yang berja- rak beberapa tombak di depan.
Di belakangnya, mengikuti sosok yang tadi
di dalam kereta sambil membopong peti mati. Si-
nar bulan sepotong cukup menerangi sekitarnya.
Sebuah tempat yang pemandangannya cukup
mendirikan bulu roma. Hamparan tanah itu ter-
nyata tidak kosong sama sekali. Pada beberapa
bagian, tampak gundukan-gundukan tanah. Ya...
tempat ini memang kuburan liar!
Pada bagian lapangan yang tidak terdapat
gundukan, Gempita menghentikan langkahnya.
Cangkul yang tadi diambil dari kereta, langsung dihunjamkan ke bumi.
"Uhhh...!"
Lelaki bercambang bauk itu berseru terta-
han ketika ayunan cangkulnya yang sekuat tenaga bagai tertahan secara mendadak.
Ketika menghunjam tanah, hanya sebagian mata cangkulnya
yang amblas, Gempita penasaran bukan main.
Sambil menggertakkan gigi seluruh kekuatannya
dikerahkan, hendak mencangkul kembali. Tapi,
hasilnya sama saja. Rasa penasaran dan heran
mulai berganti rasa takut. Dan dia tetap saja meneruskan pekerjaannya.
"Cepat sedikit, Gempita! Jangan main-
main! Waktu kita sedikit. Lihat! Bulan sudah me-nampakkan diri, dan hujan mulai
mereda. Kalau sampai hujan berhenti dan peti ini belum ditanam, malapetaka besar akan
terjadi!" kata lelaki yang membopong peti, berseru tak sabar.
Nada suara lelaki bertubuh kecil kurus ini
menyiratkan kegelisahan yang tidak bisa disem-
bunyikan. Dan memang bukan tanpa alasan dia
memberi teguran. Apalagi, dia tahu, siapa Gempi-ta. Bukan saja memiliki tenaga
dalam luar biasa, tapi kepandaiannya juga boleh dibanggakan. Jangankan menggali
tanah yang telah menjadi lunak
karena tersiram hujan dengan cangkul! Menggali
tanah keras dengan sebatang kayu pun dapat ce-
pat dilakukannya. Tapi sekarang mengapa dengan
cangkul justru pekerjaannya demikian lambat"!
"Aku tidak bermain-main, Marong! Seluruh
kemampuanku telah kukerahkan! Tapi, memang
ada sesuatu yang aneh di sini! Sesuatu yang
membuat tenagaku seperti lenyap!" jelas Gempita, tanpa menghentikan
pekerjaannya. Jawaban itu membuat laki-laki kecil kurus
yang dipanggil Marong merasa jantungnya seperti berhenti berdetak. Dia tahu,
Gempita tidak main-main dan berkata benar. Begitu tiba di tempat ini pun, Marong
telah merasa sesuatu yang aneh. Ra-sa takut tanpa sebab mendadak muncul di ha-
tinya. Bulu-bulu di tubuhnya, terutama sekali di tengkuk kontan berdiri!
Marong seketika merasakan tenggorokan-
nya kering. Malah dengan susah payah ludahnya
baru dapat ditelan. Keringat sebesar-besar biji ja-gung mulai mengalir di
wajahnya. Padahal, kenda-ti hujan semakin mereda, udara masih amat din-
gin! Baik Marong maupun Gempita mulai bisa
menarik napas lega ketika akhirnya lubang yang
hendak digunakan untuk mengubur peti mati se-
lesai digali. Tapi bertepatan dengan itu, hujan yang sejak tadi telah terus
mereda, berhenti sama sekali. "Celaka, Gempita! Hujan telah berhenti...!
Usaha yang kita lakukan sia-sia belaka...!" keluh Marong, tanpa mampu
menyembunyikan rasa ge-lisahnya.
"Nasi telah menjadi bubur, Marong," jawab Gempita, bernada keluhan. "Kita tidak
mempunyai pilihan lain lagi, kecuali menguburkan peti ini. Tidak mungkin kita
bertindak setengah jalan. Mu-
dah-mudahan saja, perkiraan guru meleset!"
Marong tidak berkata apa-apa lagi. Dengan
perasaan dicekam rasa takut, kedua lelaki ini menaruh peti mati ke dalam lubang
dan mengubur- kannya. "Mudah-mudahan saja perkiraan guru me-
leset. Bukankah itu hanya perkiraan saja!" hibur Marong, seperti untuk diri
sendiri. Marong mulai menjatuhkan gundukan de-
mi gundukan tanah ke dalam lubang. Sebenarnya,
mereka tidak perlu menggunakan kaki, mendorong
gundukan tanah yang tadi berada di sisi lubang
yang baru dibuat. Tapi, mereka tidak mempunyai
pilihan lagi. Tadi, dorongan angin pukulan mereka untuk pertama kalinya tidak
membuahkan hasil,
karena tanah-tanah itu seperti tak ingin bergem-
ing. "Jangan bicara hal-hal yang menyeramkan,
Marong," tegur Gempita dengan tengkuk terasa dingin. Sementara bulu-bulu
kuduknya terus berdiri semakin banyak. Percakapan yang dibuka Ma-
rong semakin membuat memperseram keadaan.
"Aku pun sebenarnya tidak ingin membica-
rakan hal ini, Gempita. Tapi, berdiam diri saja membuatku tidak enak. Aku bisa
mati ketakutan!"
sahut Marong. "Bisa saja kau buat percakapan lainnya.
Jangan percakapan tentang hal-hal yang membuat
keadaan semakin seram," tangkis Gempita.
Marong diam. Bisa dirasakan kebenaran
ucapan kawannya. Hal ini membuat suasana men-
jadi hening. "Heaaa...!"
Tiba-tiba terdengar suara ringkikan kuda.
Sehingga membuat dua lelaki ini terperanjat kaget dengan jantung seperti
berhenti berdetak. Kalau saja suasana tidak remang-remang, akan terlihat wajah
masing-masing yang pucat bagai tak dialiri darah. Rasa takut dan seram, membuat
bunyi yang dalam keadaan biasa seperti berubah lain
dan aneh. Malah sepertinya mampu membuat
nyawa terbang sesaat
Sementara itu ringkikan yang ternyata dari
mulut kuda yang telah membawa mereka ke tem-
pat itu seperti bernada ketakutan. Bahkan setelah mengeluarkan ringkikan, kuda
itu berlari cepat
bagai tengah dikejar sesuatu yang menakutkan,
berikut membawa kereta yang ditariknya.
Kejadian ini membuat Marong dan Gempita
kaget bukan main. Padahal, kuda hitam itu bukan kuda sembarangan. Tapi,
merupakan kuda pilihan
yang amat taat pada majikan. Tapi, mengapa kali
ini sampai berani meninggalkan tempat itu sebe-
lum diperintah"
"Hitam...! Kembali...!"
Gempita berseru keras memanggil kudanya
yang terus berlari membawa kereta. Padahal bi-
asanya, setiap kali diberi perintah, kuda hitam itu menurut dan mengerti. Tapi,
kali ini perintah itu tidak dipedulikan sama sekali.
"Heran..., apa yang terjadi dengan si Hi-
tam...,"! Tidak biasanya dia beriaku seperti itu..."!"
gumam Gempita kebingungan.
"Sepertinya dia sangat ketakutan, Gempi-
ta," bisik Marong, membuat Gempita terperanjat Marong sadar kalau ketelepasan
bicara. Karena kata-katanya akan membuat mereka se-
makin ketakutan. Tapi dia tahu, tidak ada gu-
nanya lagi. Karena, perkataannya telah keluar.
Malah kebenarannya tidak diragukan. Si Hitam
memang ketakutan. Tapi, ketakutan terhadap
apa"! Gempita dan Marong saling berpandangan.
Mereka tahu, binatang mempunyai naluri amat ta-
jam. Bahkan kabarnya, binatang-binatang akan
berteriak ketakutan kalau ada makhluk halus le-
wat. Dengan tingkah si Hitam kali ini"! Gempita dan Marong sama sekali tidak
mempedulikan kalau pakaian bagian bawah mereka mendadak ba-
sah. Dan.... "Gempita...! Lihat..!"
*** Marong berusaha berseru. Tapi yang keluar
hanya keluhan bagai orang yang tengah sekarat.
Bahkan tangan kanannya yang ditudingkan ke
atas, tampak menggigil hebat
Sementara, Gempita mengarahkan pan-
dangan ke arah yang ditunjuk Marong. Dan wa-
jahnya pun seketika berubah pucat. Bulan tampak berwarna merah seperti tersiram
darah. Bahkan sekeliling permukaan bulan pun merah membara.
Apa yang mereka takuti ternyata terjadi
"Bulan Merah...," desis Gempita lebih mirip keluhan. "Berarti malapetaka itu
akan muncul. Cepat kita tinggalkan tempat ini, Marong...!"
Saat itu juga, bagai tengah berlomba lari,
Marong dan Gempita berlari cepat meninggalkan
tempat ini. Perasaan takut yang amat sangat,
membuat kedua lelaki ini mengerahkan seluruh
kemampuannya. Baik Gempita maupun Marong merasa lega
ketika berlari beberapa saat, tidak terlihat adanya tanda-tanda akan adanya
sesuatu yang mengejar.
Kendati demikian, karena rasa penasaran dan un-
tuk lebih meyakinkan, kepala mereka menoleh ke
belakang. Dan mendadak saja jantung Marong dan
Gempita bagai berhenti berdetak, begitu melihat ke belakang. Ternyata apa yang
mereka lihat masih berupa gundukan tanah yang baru saja dibuat.
Padahal, mereka telah berlari sekian lama! Ketika kedua pandangan mereka
diarahkan ke kaki dan
tanah, baru disadari kalau sejak tadi hanya berlari-lari di tempat.
Rasa takut dan cemas yang mencekam ba-
gai membuat kedua lelaki ini menjadi gila. Lari mereka pun semakin dipercepat.
Tapi kesudahan-nya tidak berbeda. Sepasang kaki mereka hanya
bermain-main di tempat semula.
Marong dan Gempita terkenal sebagai to-
koh persilatan yang berkepandaian tinggi. Dan
mereka tahu, kejadian ini tidak wajar. Ada kekua-
tan tak nampak yang tidak dimengerti.
Sebagai tokoh yang telah memiliki kepan-
daian tinggi, Marong dan Gempita tahu kalau ke-
jadian ini hanya dapat dilakukan oleh tokoh ber-tenaga dalam tinggi hanya dengan
menjulurkan tangan. Tapi, di belakang mereka tidak terlihat seorang tokoh pun! Jadi, siapa
yang telah melakukannya.
Akhirnya, setelah tahu kalau tindakan
yang dilakukan sama sekali tidak berarti, Gempita dan Marong bertindak nekat.
Mereka menghentikan lari, dan langsung mencabut senjata masing-
masing. Gempita meloloskan goloknya, sedang
Marong mencabut sepasang trisulanya.
"Siapa pun adanya kau, Siluman atau bu-


Dewa Arak 78 Pembalasan Dari Liang Lahat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kan, jangan bertindak pengecut begini. Silakan keluar! Tunjukkan rupamu,
Pengecut! Jangan dikira kami takut mati...!" bentak Gempita keras sambil
mengedarkan pandangan ke sekeliling. Perasaan
takut yang melanda berubah menjadi nekat!
Marong tidak ikut berteriak Tapi, pandan-
gannya beredar ke sana kemari dengan sikap was-
pada. Jantung yang berdetak dalam dadanya dira-
sakan bagai dentum tambur.
*** Keadaan menjadi hening setelah Gempita
berteriak. Ternyata memang tidak ada sambutan
sama sekali atas seruannya. Suasana jadi terasa menegangkan bagi Marong dan
Gempita. Menunggu hal-hal yang tidak diketahui, membuat kete-
gangan memuncak. Bahkan keringat dingin makin
mengalir membasahi sekujur wajah! Padahal, cua-
ca amat dingin menusuk tulang! Dan tiba-tiba....
Blarrr! Terdengar ledakan yang tidak terlalu keras,
membuat Gempita dan Marong yang tengah tegang
menunggu, kontan terlompat ke belakang. Mereka
terkejut bukan main. Bahkan seketika itu pula,
nyawa dua lelaki perkasa itu bagai melayang ke
alam baka. Setelah perasaan kaget yang melanda be-
rangsur lenyap, dengan mata terbelalak kaget Marong dan Gempita menatap ke arah
gundukan ta- nah yang menjadi sumber ledakan keras tadi. Ka-
rena, di situlah tempat peti mati yang dibawa dikuburkan! Tampak tanah
bergumpal-gumpal ber-
pentalan ke atas ketika ledakan terjadi!
Belalakan mata mereka semakin membesar
ketika dari dalam lubang kuburan yang telah
menganga keluar sesuatu. Mula-mula hanya dua
buah tangan yang mencekal pinggir lubang. Ke-
mudian disusul kepala berwajah pucat dengan
mata bersinar kehijauan mirip mata kucing, liar!
Sehingga membuat wajah itu semakin mengerikan!
"Ambar...," desis Marong dan Gempita
hampir berbarengan. Suara dan sorot mata mere-
ka seperti tidak percaya. Nama yang disebutkan
adalah nama dari mayat dalam peti yang baru saja mereka kuburkan!
"Hi hi hi...!"
Terdengar tawa mengikik dari sosok men-
gerikan dari lubang kubur yang ternyata seorang gadis muda. Seram mengiris
telinga dan menyayat jantung.
"Aku memang Ambar. Tapi, bukan Ambar
seperti yang kalian kenal dulu. Kebangkitanku la-gi, adalah untuk membalaskan
semua sakit hati-
ku. Hi hi hi...! Dan, kalian adalah orang-orang yang pertama kali mendapatkan
giliran untuk menerima kematian!" kata sosok mayat hidup yang
bernama Ambar dengan suara menggiriskan.
"Tidak akan semudah itu kau dapat mela-
kukannya, Setan Penasaran!" sentak Gempita yang telah bangkit keberaniannya.
"Justru kaulah yang akan kami binasakan, untuk tidak bisa
bangkit lagi selamanya!"
Gempita tanpa berpikir panjang lagi segera
melompat menerjang. Goloknya diputar bagai kitiran, kemudian ditusukkan secara
cepat ke arah perut manusia yang telah bangkit dari kematian-
nya. Zebbb! Secara telak dan keras, golok Gempita
mengenai sasaran dan menghunjam. Tapi, ternya-
ta Ambar sama sekali tidak menjerit kesakitan.
Gadis ini malah tertawa cekikikan. Tawa yang se-patutnya tidak keluar dari mulut
manusia! Gempita membaui adanya bahaya. Maka
goloknya yang amblas menembus sampai ke
punggung Ambar segera ditarik kembali. Tapi, hati lelaki ini mencelos ketika
mengetahui senjatanya tidak bisa ditarik kembali.
Gempita menjadi gugup, sehingga mem-
buatnya kehilangan akal. Dan tiba-tiba Ambar
menggerakkan kepalanya ke depan, membentur-
kan pada kepala Gempita. Dan....
Prakkk! Gempita tidak bisa mengeluarkan jeritan
lagi, ketika kepalanya hancur berantakan berbenturan dengan kepala Ambar. Darah
bercampur otak langsung muncrat-muncrat dari kepalanya
yang hancur berkeping-keping! Sebagian dari da-
rah itu malah menempel di dahi dan wajah Ambar
yang terus tertawa kegirangan.
"Gempita...!"
Marong menjerit kaget bercampur marah,
ketika melihat kematian kawannya secara demi-
kian mudah dan mengenaskan! Kejadian itu ber-
langsung cepat, sehingga lelaki kecil kurus ini tidak sempat berbuat sesuatu
untuk menyela- matkan Gempita.
"Kau harus mampus, Siluman Penasaran!
Nyawa kawanku harus kau tebus dengan nyawa-
mu!" dengus Marong.
Ambar berhenti tertawa. Kini sepasang ma-
tanya menatap Marong yang mulai bergerak men-
dekatinya sambil mempermainkan sepasang trisu-
la. Bunyi mengaung mengiringi gerakan trisula
Meski diliputi marah meluap Marong bersi-
kap hati-hati dan tidak mau sembarangan menye-
rang. Telah disaksikannya sendiri kehebatan
mayat hidup itu. Dia tidak ingin mati konyol seperti Gempita. Maka kakinya
melangkah hati-hati mendekati lawannya.
Namun tiba-tiba Marong menghentikan
langkahnya ketika melihat perut Ambar bergolak.
Bergerak turun naik, bergelombang! Ada bunyi
menggelogok seperti air tengah mendidih hebat!
Marong tak tahu, apa yang akan dilakukan mayat
hidup ini. Tapi, dengan sebentar saja Marong terpaku
selanjutnya diawali teriakan melengking nyaring, lelaki ini melompat menerjang
Ambar. Sepasang
trisula di tangan dikelebatkan bertubi-tubi ke arah berbagai bagian berbahaya di
tubuh mayat hidup
itu. "Huakh...!"
Pada saat yang sama, dari mulut Ambar
melesat keluar segumpal cairan merah kental, sebelum serangan Marong tiba.
Marong terperanjat saat gumpalan cairan
merah yang diketahui sebagai darah itu meluncur
cepat, laksana anak panah lepas dari busur, tu-
buhnya tengah berada di udara. Tidak ada pilihan lain bagi Marong, kecuali
menangkis serangan.
Lelaki kecil kurus ini terpaksa membatal-
kan serangannya. Sementara sepasang trisulanya
segera dipergunakan untuk memapak kedatangan
gumpalan darah itu. Marong tahu, meski hanya
gumpalan darah, tapi menilik bunyinya yang ber-
desing nyaring, bisa diketahuinya kalau serangan itu tak kalah berbahayanya
dengan lemparan batu karang! Apabila mengenai sasaran, akan berakibat sangat
parah. Apalagi bagian yang dijadikan tujuan adalah kepala!
Jantung Marong bagai berhenti berdetak,
ketika melihat gumpalan darah itu bagaikan hi-
dup. Sebelum tertangkis trisula, darah itu meliuk ke bawah bak seekor kelelawar.
Hal ini membuat
sepasang trisula yang hendak dipergunakan men-
jepit gumpalan darah, saling berbenturan mener-
bitkan bunyi nyaring. Sementara, gumpalan darah itu sendiri meluncur deras ke
arah leher. Dan....
"Akh...!"
Marong hanya mampu menjerit tertahan
ketika gumpalan darah itu menghantam lehernya.
Tulang lehernya kontan hancur berantakan men-
geluarkan bunyi berderak keras. Begitu ambruk di tanah, tubuhnya menggelepar-
gelepar sesaat sebelum diam tidak bergerak lagi. Marong tewas me-
nyusul Gempita.
"Hi hi hi...!"
Ambar yang berupa sosok mayat hidup ter-
tawa cekikikan. Penuh kegembiraan. Dengan pe-
nuh rasa puas, ditatapnya mayat dua orang kor-
bannya. "Dukun keparat! Setiaji! Kalian pun akan
mengalami nasib seperti dua monyet ini! Kalian
bahkan akan menerima kematian yang lebih men-
gerikan! Tunggulah saatnya! Hi hi hi..!"
Glarrr! Mendadak saja terdengar bunyi halilintar
yang luar biasa keras begitu Ambar tertawa. Suaranya bagaikan akan menghancurkan
persada! Dan dengan tawa yang tidak terputus-putus, tu-
buhnya melesat meninggalkan tempat itu. Me-
ninggalkan dua sosok mayat yang telah menjadi
korban kebuasannya.
Sementara bulan telah kembali seperti bi-
asa, berwarna kuning keemasan. Langit pun kem-
bali cerah, seakan-akan tadi tidak pernah terjadi apa-apa. Bahkan bintang-
bintang yang sejak tadi tidak terlihat, seperti saling berlomba untuk me-
nampakkan diri. Awan tebal yang tadi menggan-
tung di langit pun telah sirna ditiup angin.
2 Sang surya mengintip malu-malu di ufuk
timur, mengusir kegelapan malam yang melingku-
pi persada. Kehadirannya disambut kicau riang
burung-burung dan binatang-binatang lainnya.
Bertepatan dengan itu, sesosok tubuh berpakaian coklat yang tidak terlihat jelas
ciri-cirinya tampak-nya melesat cepat memasuki hutan kecil. Gera-
kannya cepat bukan main, sehingga sulit dikenali.
"Uh...!"
Sosok berpakaian coklat itu mengeluarkan
keluhan tertahan, seraya menghentikan larinya.
Dan dengan penuh rasa heran, matanya menatap
ke arah jejeran pepohonan yang berada di depan-
nya. Namun yang membuat tertarik sosok yang
ternyata seorang kakek ini bukan pepohonan di
depannya. Laki-laki yang telah tidak mempunyai
sepasang kaki itu menatap heran ke arah mayat
seekor kuda hitam bertubuh kekar dan besar yang tergolek di tanah dengan kepala
hancur! Kakek berpakaian coklat berlompatan
mendekati bangkai kuda, Gerakannya sama sekali
tidak terlihat mengalami kesulitan, kendati tidak memiliki kaki lagi. Karena
pada kedua ketiaknya terselip dua batang tongkat penyangga yang ber-guna sebagai
pengganti kaki.
Sepasang alis putih lelaki berusia amat
lanjut itu bertautan, seperti tengah berpikir keras.
Hanya dengan melihat sekilas, dia tahu kalau ku-da hitam itu bukan kuda liar.
Karena di bagian belakangnya, bersambung dengan sebuah kereta.
Kakek berpakaian coklat ini tidak merasa
heran melihat kuda itu tewas.
Tapi melihat keadaannya yang menge-
naskan, membuat keningnya berkerut Kuda itu
agaknya habis dilanda ketakutan hebat, sampai-
sampai tidak memperhatikan keadaan sekitarnya.
Binatang itu berlari sejadi-jadinya, melewati celah dua batang pohon. Meskipun
cukup untuk lewat
tubuhnya, tapi tidak bisa dilewati kereta yang dibawanya. Akibatnya, kereta itu
tertahan. Dengan sendirinya, lari kuda itu tertahan. Dan kakek ini yakin, kuda
hitam itu telah berusaha cukup keras untuk meloloskan diri sebelum maut
menjemput-nya, melalui tangan kejam orang yang menghan-
curkan kepalanya.
"Sungguh kejam orang yang membunuh-
nya!" desis kakek berpakaian coklat ini penuh perasaan penasaran, seraya
mengarahkan pandan-
gan ke tempat kuda itu berasal.
Tidak sulit bagi kakek ini untuk memasti-
kannya. Karena di samping terjawab oleh arah bi-
natang itu dan keretanya, juga oleh jejak kaki dan bekas roda kereta yang tampak
jelas di tanah becek akibat hujan deras semalam. Dari bekas-bekas yang ada,
memang tidak ada hambatan untuk
mengikuti arah awal kuda hitam itu. Dan semakin jauh tempat kuda tergeletak
ditinggalkannya, semakin banyak kerutan pada dahinya.
"Ah...!"
Kakek berpakaian coklat berseru kaget, be-
gitu melihat tempat asal kuda itu berlari. Beberapa tombak di depannya, tampak
hamparan tanah lapang yang sedikit ditumbuhi rumput mengering.
Pada beberapa bagian, tampak gundukan-
gundukan tanah agak memanjang. Dan tempat ini
memang sebuah makam!
Bukan hanya makam-makam itu saja yang
ada di hamparan tanah lapang itu. Tapi, juga dua sosok tubuh yang tergolek di
tanah dalam keadaan tewas menyedihkan.
"Ya, Tuhan...!"
Seruan bernada kaget dan penyesalan di-
keluarkan kakek itu, seiring lesatan tubuhnya ke depan menghampiri dua sosok
mayat yang tergolek.
Tanpa memeriksa lagi pun, kakek berpa-
kaian coklat ini telah mengenali dua sosok itu telah jadi mayat. Yang seorang
bertelanjang dada
dengan kepala pecah. Sedangkan yang satu lagi
kecil kurus, dengan leher terkulai. Dan tepat pada bagian lehernya, tampak
lubang besar menganga!
Pemandangan ini saja sudah membuat ka-
kek berpakaian coklat terkejut. Dan lebih terkejut lagi ketika melihat adanya
lubang kuburan yang
menganga beberapa tombak dari situ. Maka den-
gan wajah pucat dan tergesa-gesa, dihampirinya
lubang itu. Lalu dengan bertopang pada sepasang
tongkat di ketiaknya, kepalanya dilongokkan ke
dasar lubang. "Apa yang aku khawatirkan akhirnya terja-
di juga. Tuan Muda terbebas dari kungkungan.
Malapetaka besar akan merajalela di dunia persilatan. Ahhh...! Haruskah aku


Dewa Arak 78 Pembalasan Dari Liang Lahat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

melakukan tindakan seperti yang diperintahkan tuan besar" Sang-gupkah aku"!"
gumam kakek itu dalam hati.
Kakek berpakaian coklat ini termenung be-
berapa saat di pinggir lubang. Kelihatannya dia bingung sekali. Bahkan beberapa
kali menghela napas berat, seperti ada beban yang mengganjal dalam batinnya.
Dan, setelah menarik napas beberapa kali
untuk menenangkan batinnya, kakek ini melang-
kah tertatih-tatih mendekati sebuah gundukan tanah lain yang lebih besar. Pada
bagian tengah makam ini, tampak sebongkah batu hitam mengkilat.
"Tuan Besar," kata kakek ini dengan kepala tertunduk hormat. Seakan-akan orang
yang disapa berada di depannya. "Apa yang kau khawatirkan, akhirnya terjadi.
Tuan Muda telah lolos dari kungkungan. Dan aku khawatir dia akan menyebar maut
di dunia persilatan. Banyak gadis cantik yang akan jadi korbannya lagi. Aku
mohon restu-mu, Tuan Besar. Aku akan mencoba memenuhi ti-
tahmu untuk mencegah angkara murka Tuan Mu-
da." Kakek berpakaian coklat lalu membungkuk beberapa kali, sebelum berdiri
tegak seperti sedia kala. "Maafkan aku, Tuan Muda. Aku terpaksa mengganggu
istirahat mu."
Kakek itu menutup ucapannya dengan ti-
upan pelan dari mulutnya. Tapi, yang terjadi adalah hembusan angin keras yang
mampu membuat batu hitam mengkilat sebesar kepala kerbau itu
berpentalan jauh bagaikan dilempar tokoh persilatan yang memiliki tenaga
raksasa! Kakek berpakaian coklat ini lalu duduk
bersila, berjarak satu tombak dari makam. Sepa-
sang matanya yang semula sayu sarat dengan pe-
nyesalan, mencorong dengan sinar kehijauan se-
perti mata kucing dalam gelap. Sekejap kemudian, mulutnya meniup.
Seketika kembali angin keras. berhembus
dari mulut si kakek. Gundukan tanah itu ber-
goyang-goyang keras. Kian lama kian keras. Bongkahan-bongkahan tanah lembek
berpentalan ter-
pisah dari gundukannya. Semakin banyak, seiring tiupan kakek itu. Dan ketika
wajah kakek berpakaian coklat telah dibasahi keringat, gundukan
tanah itu sudah tidak nampak lagi. Yang tinggal hanya lubang besar menganga
memperlihatkan sebuah peti mati di dalamnya.
Kakek ini kemudian menghembuskan na-
pas lega, seraya bangkit berdiri. Dengan mempergunakan tongkat yang tadi
ditaruhnya di tanah
ketika duduk bersila, dia mulai melangkah.
Tapi baru juga beberapa langkah kakek itu
menghampiri lubang, terdengar bunyi berkesiutan nyaring dari sebuah benda. Dia
tahu pemilik lemparan benda itu mempunyai tenaga dalam luar bi-
asa. Kendati demikian, hatinya tidak menjadi gentar untuk memapaknya dengan
tongkat yang se-
mula terjepit di ketiaknya.
Sebelum menangkis, kakek berpakaian
coklat masih sempat melihat kalau benda yang
meluncur ke arahnya mirip batu berbentuk agak
bulat, sebesar kepalan tangan. Maka tanpa ragu-
ragu dipapaknya.
Pyarrr...! *** Kejadian selanjutnya benar-benar mem-
buat kakek ini kaget bukan kepalang. Ternyata
benda itu meledak, walaupun pelan. Tapi berba-
reng ledakannya, berhamburan benda-benda ha-
lus ke arahnya.
Kejadian yang berlangsung demikian cepat
ini tidak membuat kakek itu gugup. Dan tampak-
nya sepasang matanya awas bukan main. Meski
meluncurnya benda-benda halus yang cepat bu-
kan main, masih mampu ia lihat kalau itu adalah jarum yang puluhan jumlahnya!
Kakek berpakaian coklat tidak memiliki ke-
sempatan sedikit pun untuk mengelak. Maka selu-
ruh tenaga dalamnya segera dikerahkan untuk
membuat kulit tubuhnya kebal. Tapi belum juga
tenaga dalamnya penuh dikeluarkan, mendadak....
Blammm! Tiba-tiba terdengar bunyi berdebam nyar-
ing, bagai bunyi halilintar!
Kakek berpakaian coklat ini mengeluh da-
lam hati. Bunyi berdetak keras tadi tidak hanya membuat telinganya tuli, tapi
juga membuat pengerahan tenaga dalamnya buyar. Sekujur tubuh-
nya kontan lemas. Bahkan dia hampir jatuh, ka-
rena tenaga yang tidak tersedia membuat goyah
tongkat yang terjepit di ketiak. Dan saat itulah, puluhan jarum beracun
menghunjaminya!
Seketika itu pula, tubuh kakek ini ambruk
ke tanah. Namun dia tidak putus asa. Dicobanya
untuk bangkit hendak membalas orang yang telah
melakukan penyerangan secara gelap dan licik.
Tapi maksudnya segera diurungkan, karena tidak
mampu melakukannya. Seluruh tenaga dalamnya
seperti lenyap. Bahkan sekujur otot tubuhnya ti-
dak bisa digerakkan lagi. Kaku dan lemas.
Kakek itu tersenyum pahit. Tanpa berpikir
lebih jauh lagi, bisa ditebak kalau pengaruh jarum-jarum beracun dahsyat yang
menancap di se-
kujur tubuhnya telah menjalar. Daya kerjanya
demikian cepat, sehingga langsung bisa melum-
puhkan sekujur tubuhnya.
Begitu kakek ini menghentikan maksud-
nya, mendadak terdengar angin berkesiut pelan.
Dan tahu-tahu di dekatnya telah berdiri seorang kakek tinggi besar berkepala
botak. Ciri-ciri seperti seekor monyet, dengan tubuh dipenuhi bulu. Pada kedua
tangannya tergenggam kecer yang saling dibenturkan satu sama lain, hingga
menimbulkan bunyi berdentam nyaring.
"Siapa kau" Mengapa melakukan tindakan
sekeji itu terhadapku"!" tanya kakek berpakaian coklat ini lemah, kendati
sebenarnya bermaksud untuk bertindak tegas.
"Ha ha ha...!"
Laki-laki berkepala botak mirip monyet itu
tertawa bergelak.
"Mungkin kau tidak mengenalku, karena
kesibukanmu melayani orang lain. Tapi aku men-
genalmu. Bukankah kau Wara Kuri, budak ke-
luarga Wiraraja" Tapi tidak apa-apa aku memper-
kenalkan diri, agar kau tidak mati penasaran.
Namaku, Buluk Pitu. Dan kedatanganku kemari
sama dengan tujuanmu. Aku ingin menguasai bo-
cah gila keturunan dari Wiraraja. Ha ha ha...!" ka-ta laki-laki mirip monyet
yang mengaku bernama
Buluk Pitu. "Iblis Jahanam! Jangan kau kira aku akan
membiarkan saja!" tegas kakek berpakaian coklat yang ternyata Wara Kuri penuh
rasa geram. "Lalu kau ingin melakukan apa, Wara Ku-
ri"! Membunuhku"! Silakan! Percayalah, aku tidak akan melawan sama sekali!"
sambut Buluk Pitu, mengejek.
Wara Kuri hanya bisa mengutuk habis-
habisan. Memang disadari, Buluk Pitu berani
mengucapkan tantangan demikian, karena Wara
Kuri sudah tidak berdaya sama sekali untuk ber-
buat apa-apa. Jarum-jarum itu telah melumpuh-
kan sekujur uratnya. Dan dia hanya tinggal me-
nanti ajal saja!
"Mengapa kau diam saja, Wara Kuri"! Ayo
laksanakan ancamanmu! Ini dadaku. Pukul. Han-
tam! Pecahkan!" kata Buluk Pitu, semakin mema-nas-manasi dengan membusung-
busungkan da- danya. Melihat hal ini, Wara Kuri sadar kalau Buluk Pitu memang hendak
mengejeknya habis-
habisan. Kalau menunjukkan sikap tersinggung
atau terpengaruh ejek itu, lelaki tinggi besar mirip monyet itu akan semakin
menjadi-jadi. Maka be-tapapun panas hati, diredamnya semua amarah
sekuat tenaga. "Kau boleh berteriak-teriak sampai mulut-
mu keluar kotoran, Buluk Pitu. Tapi aku tidak
akan meladenimu! Hanya satu hal yang menggan-
jal hatiku. Tentu saja kalau kau tidak terlalu pengecut untuk memberi jawaban."
pancing Wara Ku-ri.
Wajah Buluk Pitu kontan merah padam.
Tampak jelas kalau hatinya merasa tersinggung
oleh ucapan Wara Kuri.
"Aku tahu, kau mencoba mencari keuntun-
gan dengan berdalih perkataan pengecut! Tapi,
apa ruginya untuk memberi jawaban pada orang
yang telah dekat liang kubur! Ayo, ajukan perta-nyaanmu, Wara Kuri! Dan aku akan
memberi ja- waban sampai kau puas!"
Wara Kuri tidak kelihatan gembira men-
dengar Buluk Pitu bersedia memenuhi tantangan-
nya. "Hanya sebuah pertanyaan tak berarti, Buluk Pitu. Dari mana kau tahu
mengenai putra Tuan Besar Wiraraja. Kau tahu, hal itu amat dira-hasiakan! Hanya keluarga saja
yang tahu."
Buluk Pitu tertawa terkekeh. Kemudian
dengan suara berbisik, diberitahukannya orang
yang dimaksud. "Tidak mungkin...!" sentak Wara Kuri ter-bata-bata, ketika Buluk Pitu selesai
memberi jawaban. "Aku tidak percaya! Kau bohong...!"
Buluk Pitu hanya mengangkat bahu den-
gan sikap tidak peduli.
"Aku tidak peduli apa pun tanggapanmu,
Wara Kuri. Yang jelas, aku telah mengatakan yang sebenarnya. Mau percaya atau
tidak, terserah.
Sayang sekali aku tidak bisa menemanimu lama-
lama di sini. Aku masih punya urusan yang lebih penting. Mungkin kau tahu, apa
yang harus kulakukan. Benar, Wara Kuri. Mengendalikan bocah
gila majikan mudamu dengan mayat tuan besar-
mu!" "Demi Tuhan, Buluk Pitu. Jangan lakukan itu!" teriak Wara Kuri meski yang
terdengar hanya seruan lemah. "Jangan ganggu makam Tuan Besarku!" Tapi, Buluk
Pitu tidak mempedulikan seruan Wara Kuri. Kakinya malah melangkah lebar,
menghampiri kuburan yang telah menjadi lubang
menganga. Setibanya di pinggir lubang, kaki ka-
nannya dihentakkan.
Wara Kuri hanya bisa mengeluh panjang
pendek, ketika melihat dari dalam lubang melesat
keluar sebuah peti mati hitam yang telah bercampur gumpalan-gumpalan tanah.
Dengan gerakan bagai menangkap segum-
pal kecil daun kering, Buluk Pitu mengulurkan
tangan, menangkap peti mati itu. Kemudian sete-
lah melepas tawa dan senyum mengejek pada Wa-
ra Kuri, tubuhnya melesat meninggalkan tempat
itu. "Buluk Pitu, kembalikan...! Kembalikan,
Buluk Pitu...!"
Wara Kuri merintih-rintih. Dan akhirnya
kedua tangannya didekapkan pada wajah ketika
melihat tubuh lelaki botak itu tidak berada di situ lagi. Hatinya benar-benar
merasa terpukul bukan main melihat peti mati tuan besarnya dibawa kabur Buluk
Pitu. Dalam waktu berturut-turut dua
makam yang berada dalam penjagaannya telah be-
rantakan! "Maafkan kebodohan ku, Tuan Besar. Aku,
orang tua bodoh. Aku tak mampu memenuhi
amanat. Aku lebih pantas mati...!"
Wara Kuri lantas mengambil ranting kering
dan runcing yang berada di dekatnya. Dengan si-
sa-sisa tenaga yang dimiliki, dihunjamkan ranting itu ke tenggorokannya.
Tapi.... "Trakkk!"
*** Wara Kuri memekik tertahan, ketika rant-
ing di tangannya terlempar jauh tersambar oleh
sebutir tomat sebesar buah ceremai. Benturan
bahkan mampu membuat tangannya terlempar ke
sisi pinggang! "Hanya orang pengecut yang melakukan
tindakan bodoh seperti itu!"
Berbarengan terdengarnya seruan yang di-
keluarkan bernada tajam dan penuh teguran, di
depan Wara Kuri telah berdiri seorang pemuda berambut putih keperakan. Sinar
matanya tampak penuh dengan teguran.
Wara Kuri balas menatap. Dua pasang ma-
ta yang sama-sama tajam pun bertemu. Tapi
hanya beberapa saat, karena Wara Kuri langsung
menundukkan kepala.
Kakek berpakaian coklat ini tak kuat ber-
lama-lama beradu pandang dengan pemuda tam-
pan berpakaian ungu itu. Bukan karena sinar ma-
ta pemuda itu lebih tajam, tapi karena sinar teguran dan penyesalan dalam
pandang mata pemuda
itu yang ditujukan terhadapnya. "Aku khilaf, Anak Muda. Ahhh...! Hampir saja aku
melakukan tindakan bodoh untuk yang kedua kalinya. Terima ka-
sih atas pertolonganmu. Kalau kau tidak campur
tangan, bagaimana aku nanti berhadapan dengan
Tuan Besarku di akherat"!" keluh Wara Kuri.
Sinar mata pemuda berpakaian ungu itu
melembut. Namun sesaat kemudian malah terbe-
lalak lebar, ketika melihat pukulan jarum yang
menancap di sekujur tubuh Wara Kuri. Tapi, ka-
rena sibuk dan terlalu memusatkan perhatian pa-
da tindakan kakek ini, pemuda itu tidak melihat hal-hal lainnya.
"Kau..., keracunan Kek. Jarum-jarum itu
beracun!" seru pemuda berpakaian ungu itu, kaget bercampur khawatir.
Jarum-jarum berwarna hitam bersemu ke-
hijauan. Sementara wajah Wara Kuri yang mulai
mengelam, membuat pemuda itu langsung tahu
kalau kakek berpakaian coklat ini tengah menderi-ta keracunan.
Wara Kuri tersenyum pahit.
"Tidak perlu repot-repot menolongku, Anak
Muda. Aku yakin nyawaku tidak akan tertolong la-gi. Racun ini luar biasa
sekali," ucap Wara Kuri tenang, ketika melihat pemuda berambut putih


Dewa Arak 78 Pembalasan Dari Liang Lahat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

keperakan itu sibuk memeriksanya.
"Mungkin kau benar, Kek," sambut pemu-da berpakaian ungu. "Tapi, hal ini tidak
pantas untuk dijadikan alasan tindakanmu yang tak pantas itu! Allah mengaruniai
kita kehidupan. Lantas mengapa harus disia-siakan" Apalagi dengan tindakan bodoh
seperti itu." kata pemuda itu, bijak-sana. "Aku tidak sepengecut itu, Anak Muda.
Meskipun memang harus kuakui kalau tindakan
yang hampir saja kulakukan, merupakan bukti
nyata sikap pengecutku."
"Mengapa kau mencoba untuk membunuh
diri, Kek"! Apakah kau mempunyai alasan lain-
nya"!" tanya pemuda itu.
Wara Kuri mengangguk sambil tersenyum.
Tapi pemuda berpakaian ungu ini tahu senyum itu tidak keluar dari hati yang
gembira. "Boleh kutahu masalah yang tengah kau
hadapi, Kek"!" tanya pemuda itu hati-hati.
Wara Kuri tidak langsung menjawab. Dia
malah menatap pemuda itu lekat-lekat
"Pertanyaan itu tidak perlu dijawab seka-
rang, Kek. Sekarang yang lebih penting adalah
menyelamatkan nyawamu," ujar pemuda beram-
but keperakan itu.
Tanpa menunggu tanggapan Wara Kuri,
pemuda itu mengambil guci perak yang tersampir
di punggungnya. Dan dengan kedua tangannya,
mulut guci itu didekatkan ke mulut si kakek.
"Minumlah ini, Kek. Mudah-mudahan saja
bisa melenyapkan keganasan racun yang tengah
menggerogoti nyawamu," ujar pemuda itu lagi.
Wara Kuri menatap wajah pemuda di de-
pannya lekat-lekat. Dia berusaha mencari kesungguhan dalam ucapan pemuda
berambut putih ke-
perakan itu. Hatinya merasa tindakan pemuda itu amat janggal. Tubuhnya tengah
keracunan hebat
yang mungkin akan merenggut nyawanya. Tapi,
malah ditawari minum arak dengan harapan agar
bisa sembuh! Apakah ini bukan sebuah ejekan"!
Wara Kuri akhirnya mengalah. Pandangan
matanya yang telah kenyang makan garam kehi-
dupan, langsung bisa melihat adanya kesunggu-
han. Baik dalam sikap, maupun suara pemuda be-
rambut putih keperakan ini. Maka akhirnya ditu-
ruti juga kemauan pemuda itu. Hati kecilnya sempat meragukan kewarasan akal
pemuda itu. "Gluk... gluk... gluk...."
Terdengar bunyi tegukan beberapa kali, ke-
tika arak dari guci perak itu berpindah ke dalam perut Wara Kuri.
"Sekarang kau istirahat saja dulu, Kek.
Mudah-mudahan saja nyawamu bisa tersela-
matkan," ujar pemuda berpakaian ungu berharap sambil menaruh kembali guci
araknya di punggung. Wara Kuri hanya tersenyum getir. Pemuda
di hadapannya masih dianggapnya kurang waras.
Atau, sengaja melakukan tindakan itu untuk
menghibur hatinya.
Sementara itu pemuda berpakaian ungu ini
bangkit berdiri tegak. Tubuhnya lantas dibung-
kukkan separo berjongkok untuk meminumkan
arak pada Wara Kuri.
Dan kini, pemuda itu memperhatikan ke
sekeliling. Sepasang alisnya bertautan, ketika melihat dua sosok yang tergolek
dalam keadaan te-
was mengenaskan. Dan kerutan itu semakin da-
lam, ketika menjumpai adanya sebuah lubang ku-
buran menganga yang menunjukkan kalau isinya
telah diambil orang. Dia tidak merasa aneh. Bahkan tahu kalau maksud yang
terkandung di dalam
melakukan pencurian itu banyak macamnya. Tapi
yang jelas, kemungkinan terbesar digunakan me-
lakukan kejahatan.
"Boleh kutahu siapa kau, Anak Muda"!
Dan, atas dasar apa kau memberi pertolongan pa-
daku"!"
Pertanyaan dari arah belakang membuat
pemuda itu berbalik. Bibirnya lantas tersenyum
lebar. Dirasakan adanya nada kecurigaan dalam
pertanyaan kakek berpakaian coklat. Memang bisa dimaklumi, mengapa kakek ini
bersikap seperti
itu. Dasarnya, karena berdua tidak saling kenal
"Kau tidak perlu khawatir, Kek. Aku meno-
longmu bukan karena alasan tertentu yang bisa
merugikanmu atau menguntungkanku. Yang jelas,
aku tidak pernah bisa diam jika melihat adanya
sesuatu yang tidak berkenan di hatiku. Selama
aku bisa menolong, dan kupandang pertolongan
itu sesuai kaidah-kaidah kebenaran, maka aku tidak segan-segan melakukannya.
Jadi kau tidak perlu khawatir."
Sorot mata penuh curiga yang memancar
pada sepasang mata Wara Kuri mulai berkurang.
Lagi-lagi dia merasakan adanya kesungguhan da-
lam jawaban yang diberikan pemuda di hadapan-
nya. Pengalaman hidup dan usia setua ini, mem-
buat Wara Kuri sedikit banyak bisa memperkira-
kan jawaban tulus pemuda itu.
Dan ketika Wara Kuri merasa kan adanya
perubahan pada tubuhnya, keyakinannya makin
bertambah. Kini sekujur tubuhnya yang tadi tera-
sa sakit menggigit-gigit bak digigit puluhan semut api, telah jauh berkurang.
Kalau tidak merasakan sendiri, hatinya tidak akan percaya kalau arak
mampu menyembuhkan luka akibat racun di tu-
buhnya. Apalagi ketika dirasakan, tenaganya mu-
lai berangsur timbul. Kalau tadi berbicara sangat menyakitkan dada dan
tenggorokan. Bahkan harus dilakukan dengan pengerahan seluruh tenaga.
Sekarang, tidak lagi. Meskipun memang diakui
masih agak sukar, tapi jauh lebih baik daripada sebelumnya.
"Rupanya kau seorang pendekar, Anak
Muda"!" ujar Wara Kuri sekenanya.
Kakek ini tidak yakin akan pertanyaannya
sendiri. Kalau melihat dari keadaannya yang ma-
sih muda, pemuda berambut putih keperakan itu
mungkin baru keluar dari perguruan silat.
3 Pemuda berambut putih keperakan itu ter-
senyum malu. "Sebutan pendekar terlalu tinggi untukku,
Kek. Apa sih yang telah kulakukan" Aku hanya
seorang pemuda biasa yang selalu berkelana me-
nuruti langkah kakiku ini. Memang harus kuakui, aku tidak pernah bisa berdiam
diri jika melihat sesuatu yang menurutku tidak sesuai kaidah-kaidah kebenaran."
Perasaan kagum mulai timbul di hati Wara
Kuri. Sekarang, sedikit banyak sudah bisa diraba-raba watak pemuda di
hadapannya. Tidak som-
bong atau menyombongkan tindakannya. Bersikap
rendah hati, dan tidak berbohong!
"Boleh kutahu namamu, Anak Muda"! Per-
kenalkan, aku Wara Kuri."
Kakek berpakaian coklat ini lebih dulu
mengulurkan tangan. Tindakannya dilakukan
sambil bangkit dari berbaringnya. Lalu dia duduk bersila di tanah. Bahkan kini
tenaganya telah semakin pulih.
"Aku Arya Buana, Kek. Tapi, panggil saja
Arya," sahut pemuda berpakaian ungu itu buru-buru, seraya menyambut uluran
tangan Wara Kuri
dengan agak membungkukkan tubuh sedikit.
Wara Kuri tersentak kaget. Bahkan geng-
gaman tangannya pada tangan pemuda berambut
putih keperakan itu terlepas tanpa sadar. Ditatapnya sekujur tubuh pemuda
berambut putih kepe-
rakan yang ternyata Arya alias Dewa Arak dari
atas sampai ke bawah.
"Ada yang salah, Kek"!" tanya Arya Buana.
"Sama sekali tidak," sahut Wara Kuri sambil menggeleng dengan sikap kaku karena
terlalu terburu-buru. "Hanya saja, namamu mengin-gatkan aku pada tokoh yang saat
ini tengah men-
julang namanya di tengah rimba persilatan karena tindakan-tindakannya yang
perkasa. Namamu
sama benar dengan namanya. Bahkan sekarang,
aku ingat kalau ciri-cirimu semua sama dengan
tokoh itu. Maka jangan katakan kalau kau bukan
Dewa Arak, Anak Muda"!"
Arya tersenyum lebar.
"Memang, aku orang yang kau maksudkan
itu, Kek. Tapi sebagian besar berita yang terdengar terlalu berlebihan. Aku
hanya seorang pemuda biasa yang sering mengembara. Dan..."
"Kau terlalu merendah, Dewa Arak!" sergah Wara Kuri dengan perasaan girang.
"Justru aku percaya kalau semua berita yang tersebar di dunia persilatan benar.
Ahhh! Aku jadi malu hati, karena
telah mencurigaimu. Bahkan aku menganggapmu
sebagai seorang pemuda hijau yang tidak tahu kerasnya dunia persilatan. Semula,
kukira kau seorang pemuda yang baru selesai berguru dan ten-
gah mencari pengalaman. Tapi, nyatanya?"
"Nyatanya benar kan, Kek"!" potong Arya sambil tertawa bergelak, sehingga
membuat Wara Kuri pun tergelak,
"Setelah tahu siapa dirimu, aku tidak ragu-ragu lagi menceritakan masalah yang
tengah ku- hadapi, Arya. Barangkali saja, kau bisa menolong.
Meskipun harus kuakui, semua ini merupakan
tanggung jawabku. Tapi banyaknya masalah,
membuatku terpaksa membutuhkan bantuan
orang lain. Kini aku percaya kepadamu. Dan aku
yakin, Tuan Besar tidak akan marah bila menge-
tahui. Bahkan aku yakin, beliau akan merasa se-
tuju sekali. Kini, aku meminta bantuanmu untuk
menyelesaikan masalah ini," jelas Wara Kuri, mulai membeberkan masalah yang
tengah dihada- pinya. Melihat Wara Kuri bermaksud mengutara-
kan masalah yang dihadapinya, Arya segera du-
duk bersila di hadapannya. Pemuda berambut pu-
tih keperakan ini sudah bisa memperkirakan ka-
lau penuturan yang akan didengarnya cukup pan-
jang. "Yang akan kuceritakan ini adalah suatu rahasia. Maka, kuharap kau tidak
menceritakannya pada orang lain, Arya. Aku tidak memintamu
untuk berjanji. Karena aku tahu, orang macam
apa kau ini,"
"Mudah-mudahan aku bisa melaksanakan
amanatmu, Kek," jawab Arya singkat, sudah cukup memuaskan hati Wara Kuri
Kakek ini tahu, bagi orang seperti Dewa
Arak, ucapan itu sudah lebih bisa dipercaya daripada sumpah orang lain!
"Aku sendiri tidak tahu pasti, kejadian-
kejadian sebelumnya. Yang kuceritakan hanya
hal-hal yang kuketahui. Dan kurasa, hal ini cukup untuk diceritakan, karena
memang menyangkut
ketenteraman dunia persilatan."
Sampai di sini, Wara Kuri terdiam. Dan
Arya melihat adanya sinar kecemasan balk dalam
wajah maupun sikap kakek itu. Hatinya pun agak
khawatir dan ikut tidak enak. Arya tahu, Wara Ku-ri bukan seorang kakek lemah.
Sinar mata yang
mencorong tajam dan bersinar kehijauan, telah
menguatkan dugaan Arya kalau Wara Kuri berke-
pandaian sangat tinggi. Toh, kakek ini masih merasa cemas. Sedikit banyak, Arya
bisa memperki- rakan masalah berat yang tengah dialaminya.
"Kira-kira lima belas tahun yang lalu aku
hanya seorang penebang kayu. Aku sebatang kara, Arya," tutur Wara Kuri, memulai
kisahnya dengan pandang mata menerawang ke angkasa. Seakan-akan di sana
terpampang kejadian belasan tahun
yang lalu. "Biasanya saat menebang kayu tidak terja-
di apa-apa. Tapi suatu saat aku terjebak hujan
yang membuatku terpaksa berteduh di bawah se-
batang pohon yang berbatang besar, empat kali
pelukan orang dewasa. Usiaku yang telah menje-
lang senja, tak memungkinkan untuk berhujan-
hujan bila kembali ke pondokku. Tapi belum lama berada di sana, halilintar
menyambar. Aku masih sempat melihat kalau halilintar itu menuju ke
arah pohon tempatku berteduh. Bergegas aku me-
lompat meninggalkan tempat itu untuk menyela-
matkan nyawa dari sambaran halilintar. Tapi,
usahaku ternyata tidak berhasil sepenuhya. Pohon
yang tersambar halilintar itu tumbang ke arahku.
Aku berusaha mengelak sedapat mungkin, tapi te-
tap saja batang pohon itu menimpaku. Aku hanya
merasakan sakit amat sangat pada kaki, sebelum
semuanya menjadi gelap. Begitu sadar, aku telah berada dalam sebuah rumah besar.
Sementara kedua kakiku ini telah tidak ada lagi."
Arya menghela napas berat. Hatinya dapat
merasakan betapa hancur hati Wara Kuri ketika
menerima musibah itu. Tapi, Dewa Arak tidak me-
nyelak. Dia terus diam mendengarkan.
"Orang yang menolongku itu adalah seo-
rang kakek berusia lebih tua daripada usiaku. Katanya, kedua kakiku remuk
sehingga untuk meno-
long nyawaku terpaksa harus dipotong. Kakek
bernama Wiraraja itu merawatku secara telaten.
Sampai akhirnya, lukaku pulih. Suatu saat, dia
menawarkan untuk tinggal bersamanya. Tanpa
banyak pikir lagi tawaran itu kuterima. Sejak saat itu, aku pun tinggal
dengannya. Wiraraja adalah seorang yang baik hati.
Bahkan tak segan-segan untuk menurunkan se-
mua ilmunya padaku. Sayang, aku terlalu bodoh.
Maka meski telah belajar mati-matian, dan Tuan
Besar mengajarku sungguh-sungguh, hanya seba-
gian saja ilmunya yang berhasil kuserap," lanjut Wara Kuri.
Arya mengangguk-angguk. Dalam hati, dia
tidak menganggap Wara Kuri seorang yang bebal.
Saat pertama kali belajar ilmu silat, kakek itu telah berusia paling sedikit


Dewa Arak 78 Pembalasan Dari Liang Lahat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

enam puluh tahun. Bagaimana mungkin akan dapat belajar dengan ce-
pat"! "Di tempat itu, ternyata tidak hanya aku.
Masih ada dua orang bocah berusia sekitar sepu-
luh tahun, dan seorang wanita cantik berusia seki-
tar tiga puluh lima tahun. Belakangan kuketahui, kalau wanita itu adalah istri
Tuan Besar Wiraraja.
Sayang, salah satu dari dua bocah itu memiliki
otak yang tidak waras. Kendati demikian, dia memiliki bakat luar biasa. Meski
belajar berbarengan, bocah yang tidak waras itu jauh meninggalkan bocah yang
satunya lagi dalam pelajaran ilmu silatnya." Sampai di sini, Wara Kuri menghela
napas berat Arya yang kenyang pengalaman bisa mene-bak kalau sumber malapetaka
yang dimaksudkan
kakek ini pasti berasal dari salah satu di antara dua bocah itu. Meski demikian,
dugaannya tidak
diutarakan. "Sekitar sepuluh tahun kemudian, kedua
bocah itu menjelma menjadi pemuda perkasa. Bo-
cah tak waras itu ternyata putra Tuan Besar Wiraraja. Sedangkan bocah satunya
lagi adalah anak
telantar yang dipungut untuk menjadi kawan
bermain anaknya. Dan ketika bocah-bocah itu be-
sar, malapetaka mulai timbul. Putra Tuan Besar
Wiraraja yang bernama Tuan Muda Gautama, si-
kap tak warasnya semakin menjadi-jadi. Maka ke-
kacauan demi kekacauan pun ditimbulkan. Un-
tung sebelum terjadi hal-hal yang lebih mengkhawatirkan, Tuan Besar Wiraraja
telah memperhi-
tungkannya. Dan aku diperintahkan untuk men-
gawasi setiap gerak-gerik Tuan Muda Gautama.
Setiap menimbulkan kekacauan, aku datang dan
membujuknya dengan baik-baik. Bocah itu ternya-
ta patuh padaku. Aku sendiri tak tahu kenapa.
Mungkin karena aku selalu mengurusnya sejak
masih kecil. Tuan Besar Wiraraja dengan hati
hancur terpaksa mengurung Tuan Muda Gauta-
ma. Dia tidak ingin kejadian memalukan terhadap dirinya terjadi kembali."
*** "Kak Setiaji."
Panggilan itu datangnya dari seorang wani-
ta muda berpakaian biru. Lembut dan mesra sua-
ranya. Lelaki tampan dan gagah berpakaian kun-
ing yang berkuda di sebelah wanita berpakaian bi-ru, menoleh. Tali kekang kuda
tunggangannya di-
tarik agak melangkah lambat-lambat
"Ada apa, Marni"!" sahut lelaki berpakaian kuning, yang dipanggil Setiaji.
Suaranya juga terdengar lembut dan mesra.
Wanita berpakaian biru yang bernama
Marni tidak segera menjawab. Terlihat jelas kalau hatinya merasa ragu untuk
mengutarakan sesuatu
yang akan disampaikannya.
Setelah menatap sesaat, Setiaji tahu ada
perasaan yang berkecamuk di hati Marni. Seketika langkah kudanya dihentikan.
Dibalikkannya arah
binatang itu, hingga berada di hadapan kuda Mar-ni. Seulas senyum penuh rasa
sabar dilemparkan-
nya. "Kau tidak usah ragu-ragu, Marni. Katakan saja, apa yang hendak kau
sampaikan. Tidak baik memendam persoalan. Apalagi kau telah hamil
muda. Aku khawatir, hal itu akan berakibat buruk pada bayi yang tengah kau
kandung. Bayi kita,"
ujar Setiaji panjang lebar, tetap tenang dan penuh kesabaran.
Wajah Marni kelihatan bersemu merah.
Malu. Pandangannya pun ditujukan pada perut-
nya yang mulai agak menonjol ke depan. Kemu-
dian perhatiannya dialihkan pada Setiaji, sua-
minya. "Kau benar, Kak Setiaji. Tapi.., aku khawatir apa yang akan kusampaikan ini
tidak menye- nangkan hatimu,"
Senyum Setiaji semakin lebar.
"Ingat-ingatlah, Marni. Apakah selama per-
kawinan kita, aku pernah marah-marah"!"
Marni tersenyum tipis. Perlahan-lahan ke-
palanya menggeleng.
"Nah! Kalau begitu, apa lagi yang dikhawa-
tirkan. Katakan saja."
Marni menatap wajah Setiaji lekat-lekat.
Dia yakin betul akan cinta kasih suaminya. Sela-ma hampir enam bulan berumah
tangga, tak per-
nah suaminya itu marah padanya. Kehidupan ru-
mah tangga mereka selalu rukun, tenang, dan pe-
nuh kebahagiaan. Dan Marni tidak sampai hati
menuduh Setiaji akan marah karena masalah
yang hendak diutarakannya. Justru tanggapan
lainnya yang merisaukan hati Marni.
"Sebetulnya aku tidak ingin mengatakan-
nya, Kak. Tapi karena sudah telanjur, apa boleh buat," kata Marni seraya
menghela napas berat, seakan-akan ada sesuatu yang mengganjal batinnya.
"Beberapa hari belakangan ini, aku selalu dilanda perasaan cemas yang tidak ku
mengerti. Malah, setiap tidur aku selalu bermimpi buruk. Aku khawatir sekali,
Kak. Aku takut kecemasan ini
merupakan sebuah firasat..."
Setiaji hampir tertawa begitu mendengar
masalah yang diutarakan istrinya. Semula dikira masalah besar. Tak tahunya,
hanya persoalan se-pele. Tapi untuk menjaga perasaan Marni, dia menelan rasa
geli dan memasang wajah sungguh-
sungguh. "Sudah cukup lama juga kau diganggu pe-
rasaan itu rupanya, Marni. Mengapa kau simpan
saja" Bukankah lebih baik kalau diberitahukan
padaku sejak dulu" Barangkali saja aku bisa me-
mecahkan persoalan ini," ujar Setiaji, sengaja meladeni ucapan Marni. Padahal,
bisa saja istrinya disuruh untuk tidak usah memikirkannya. Apalagi mimpi-mimpi
yang dianggap sebagai penghias tidur. Tapi Setiaji tahu, tindakan seperti itu
tidak akan menyelesaikan masalah. Lebih bagus diba-has dan dicarikan jalan
keluar, agar Marni terbebas dari rasa takutnya. Jalan satu-satunya adalah dengan
membahas masalah itu.
"Beberapa hari sebelum keberangkatan kita
untuk mengirimkan barang Tuan Marjuki, pera-
saan demikian muncul. Kemudian dituruti mimpi-
mimpi yang menyeramkan. Aku khawatir sekali
akan adanya ancaman bahaya terhadap kita," papar Marni.
Setiaji tersenyum lebar. Hal yang sengaja
dilakukan untuk menenangkan hati istrinya;
"Tenangkan hatimu, Marni. Bukankah
urusan mengantar barang Tuan Marjuki telah se-
lesai dikerjakan dengan baik. Jelas, kekhawati-
ranmu tidak beralasan. Mungkin saja itu tercipta, karena kecemasanmu menanti
saat-saat lahirnya
bayi kita. Meskipun demikian, untuk menenang-
kan hatimu, aku tidak akan menerima pesanan
lagi. Mulai sekarang hingga bayi ini lahir, aku tidak pergi-pergi lagi. Tidak
Juga denganmu. Kita beristirahat, sampai bayi kita lahir. Kita habiskan waktu di
rumah," janji Setiaji, mantap.
Wajah Marni kontan berseri-seri. Tampak
jelas kalau pernyataan Setiaji amat melegakan hatinya. Laki-laki ini telah hafal
betul watak istrinya, merasa terharu melihat sambutan ini. Dan di dalam hatinya,
dia bertekad untuk memenuhi jan-
jinya meski apa pun yang akan terjadi.
"Benarkah, Kak"! Ah! Betapa girang dan le-
ganya hatiku. Aku memang was-was dengan kese-
lamatanmu, Kak. Pekerjaan yang kau lakoni ini
penuh bahaya. Aku khawatir akan terjadi sesuatu padamu. Aku takut kehilangan mu,
Kak." "Tenangkanlah hatimu, Marni. Dan mari
kita pulang. Rumah menunggu kita."
Setaji langsung memutuskan pembicaraan.
Apalagi tidak ada lagi masalah lain lagi yang lebih besar. Sepasang suami-istri
berusia muda yang
penuh kebahagiaan ini pun meneruskan perjala-
nan yang tadi tertunda. Seperti juga sebelumnya, percakapan dl perjalanan
berlangsung seenaknya.
Tidak terburu-buru
Tapi baru juga beberapa belas tombak per-
jalanan dilakukan, pasangan suami-istri yang masih baru ini menarik tali kekang
kudanya. Maka seketika binatang-binatang itu pun menghentikan langkahnya.
Sekitar enam tombak di depan pasangan
suami-istri ini, berdiri sesosok tubuh dengan kedua tangan berkacak di pinggang.
Wajah Setiaji dan Marni tampak beriak. Mereka kenal betul
dengan orang yang berdiri menghadang perjala-
nan. "Bukankah dia wanita yang tak tahu malu itu, Kak Setiaji"!" bisik Marni,
khawatir terdengar oleh sosok yang berdiri menghadang jalan.
Setiap mengangguk kaku. Suaranya ter-
dengar kering dan kaku ketika memberi jawaban.
"Benar, Marni. Dia Ambar."
Wajah Marni membesi. Sinar matanya ber-
kilat memancarkan kemarahan dan kebencian ke-
tika menatap sosok yang menghadang jalan. Sosok
yang dikatakannya sebagai Ambar.
Sebelum Setiaji memberi tanggapan, Marni
dengan gerakan lincah dan manis melompat dari
punggung kuda. Langkah kakinya lebar-lebar, ke-
tika menghampiri sosok yang berdiri di depannya.
"Marni! Tunggu...!" cegah Setiap ketika istrinya telah menempuh jarak dua
tombak. Lelaki berpakaian kuning ini melompat tu-
run dari punggung kuda, langsung mengejar Mar-
ni Marni yang telah menghentikan langkah
langsung berbalik. Ditatapnya wajah suaminya lekat-lekat. Sorot penentangan
terlihat jelas me-
mancar dari sepasang matanya yang bening dan
indah. "Jangan kau menghalangi tindakanku, Kak Setiaji. Wanita tak tahu malu ini
tidak patut untuk mendapat perlakuan layak. Kalau tidak diberikan tindakan
tegas, dia akan terus datang dan meron-grong kehidupan kita!"
"Mungkin kau benar, Marni. Tapi biar ba-
gaimanapun juga, dia adalah teman bermain ku
sewaktu kecil. Ayahnya adalah kawan baik ayah-
ku. Mana mungkin aku akan membiarkan kau
membunuhnya"! Apa kata ayahnya dan juga
ayahku nanti"!" Jelas Setiaji dengan sikap serba salah dan bingung.
"Kau tidak perlu merasa bertanggung ja-
wab atas keselamatannya, Kak Setiaji. Dan kau tidak perlu khawatir akan
disalahkan ayahmu dan
ayahnya. Karena, bukan wanita tak tahu malu itu yang akan mati. Tapi, aku!
Kematianku tidak akan membuatmu disalahkan orang!"
Setiaji kontan melongo mendengar jawaban
Marni. Dia sama sekali tidak bermaksud menying-
gung perasaan istrinya. Tapi dari nada jawaban
Marni, bisa diketahui kalau perasaannya terluka.
Sakit hati! Jawaban Marni meski diutarakan den-
gan keras, tapi jelas mengandung isak tangis!
Setiaji terkesima di tempatnya beberapa
saat. Jawaban Marni yang ketus, membuatnya
menelan kembali ucapan yang tadi dikeluarkan.
Dia yakin hal ini karena ucapannya sendiri.
4 Setiaji membutuhkan waktu cukup lama
untuk mengetahui keanehan sikap Marni. Sebuah
dugaan yang diyakini benar menyeruak di hatinya.
Marni pasti cemburu dan tersinggung. Ucapan Se-
tiaji tadi, terasa jelas adanya perhatian dan kekhawatiran terhadap Ambar. Di
lain pihak, sedikit pun tidak terlihat adanya kekhawatiran atau perhatian atas
nasib yang akan menimpa Marni. Itu-
lah sebabnya, Marni tadi kehilangan akal sehat-
nya. Sementara itu Marni, malah bergegas
menghampiri Ambar yang tetap dalam sikap semu-
la. Berdiri tegak dengan kedua tangan berkacak di pinggang, mirip patung batu.
Sikapnya kelihatan angker bukan main.
Begitu jarak antara kedua wanita itu ting-
gal tiga tombak lagi, Marni menghentikan ayunan kakinya. Dengan wajah merah
padam dan dada turun naik menahan gejolak amarah, jari telun-
juknya ditudingkan ke arah wajah Ambar.
"Hey, Wanita tak tahu malu! Sekarang kita
buktikan, siapa yang akan terus hidup! Kau, atau aku!" kini Marni dengan suara
bergetar dan sepasang mata seperti akan keluar dari rongganya.
Ambar yang meski berdiri tegak dengan
wajah tertunduk dan sepasang mata menekuri ta-
nah, perlahan mengangkat kepala. Sepasang ma-
tanya diarahkan pada orang yang telah memaki
dan mengajaknya bertarung.
"Ihhh...!"
Seketika jeritan tertahan yang sarat pera-
saan kaget keluar dari mulut Marni. Dan seiring terdengar jeritan, wanita
berpakaian biru itu melangkah mundur dua tindak. Sepasang matanya
yang bening indah sekarang bergantian redup, bak sorot mata seekor kelinci
melihat kedatangan seekor harimau lapar.
Tepat dengan keluarnya jeritan, Setiaji te-
lah berhasil sadar dari terkesimanya. Kini lelaki ini mampu menemukan jawaban
dari keanehan sikap
Marni. Bagaikan disengat ular berbisa, tubuhnya melesat ke depan menyusul Marni.
Dan hanya dengan sekali lesatan, dia telah berada di sebelah istrinya.
Laki-laki itu kontan merasakan jantungnya
berhenti berdenyut, begitu melihat sepasang mata Ambar! Mata yang dulu bening
indah, sekarang
berubah mengerikan! Bentuknya telah menyipit
dengan sorot menggiriskan. Rasanya, bukan mata
yang dimiliki manusia! Bahkan tengkuk Setiaji terasa dingin!
"Kau berani memakiku, Perempuan Peram-
pas Jodoh Orang"!"
Ucapan Ambar terdengar parau dan me-
nyakitkan telinga. Nadanya seperti tidak patut keluar dari mulut seorang wanita.
Apalagi, wanita yang masih muda seperti Ambar.
Setiaji dan Marni saling berpandang. Pa-
sangan suami-istri ini mulai merasakan adanya
sesuatu yang aneh dan tidak wajar terhadap diri Ambar. Bukan hanya nada suaranya
yang beru- bah jauh. Cara Ambar mengucapkannya pun


Dewa Arak 78 Pembalasan Dari Liang Lahat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

membuat mereka bergidik! Ambar tidak kelihatan
membuka mulut atau mengemikkan bibir. Tapi,
suara yang keluar demikian lantang dan penuh
ancaman! "Dulu kau boleh menang terhadapku. Tapi
sekarang, jangan harap! Hari ini semua sakit hatiku yang berbulan-bulan
kupendam, akan terlam-
piaskan! Bersiaplah untuk menerima pembalasan
dariku, Wanita Jalang!" dengus Ambar.
Makian Ambar membuat Marni berhasil
mengusir perasaan takutnya. Perasaan marah dan
tersinggung yang besar, mengalahkan rasa takut-
nya. Dengan tangkas, Marni mengeluarkan senjata andalannya yang terselip di
pinggang. Sebuah kebutan! "Kaulah yang akan kukirim ke akherat, Wanita Gila
Lelaki!" Berbarengan teriakannya, Marni melompat
menerjang Ambar. Bulu-bulu kebutan di tangan-
nya yang semula lemas, menegang kaku bak ja-
rum-jarum. Dan dengan keadaan seperti itu, istri Setiaji ini mengirimkan totokan
bertubi-tubi ke arah leher, bawah hidung, dan ubun-ubun. Dalam
sekali gerak, Marni mampu mengirimkan tiga se-
rangan mematikan!
Sementara, Ambar tidak bergeming dari
tempatnya. Bahkan kedua tangannya yang berada
di pinggang pun tetap dibiarkan. Padahal, serangan, Marni menimbulkan bunyi
bercicitan nyaring, yang menandakan kuatnya tenaga dalam yang
terkandung. Baru ketika ujung kebutan itu menyambar
dekat, Ambar mengembungkan mulutnya. Seketi-
ka ditiupnya kebutan yang tengah meluncur ke
arahnya. Marni terperanjat. Seketika dirasakannya
ada hembusan angin yang luar biasa kuatnya dari mulut Ambar. Bulu-bulu
kebutannya yang semula
menegang kaku, kontan melemas dan membuyar.
Dengan sendirinya, serangan Marni kandas.
Dan bahkan tiupan Ambar tidak hanya se-
kali. Wanita yang telah bangkit dari kematiannya kembali meniup. Sasarannya
masih ditujukan pa-da kebutan Marni.
Bak dicabuti tangan kuat yang tidak tam-
pak, bulu-bulu kebutan itu meluncur ke arah pe-
miliknya dalam keadaan menegang kaku, laksana
jarum-jarum kuat.
Melihat hal itu wajah Marni seketika me-
mucat. Saat itu tubuhnya tengah berada di udara.
Dan lagi, rentetan serangan itu berlangsung demikian cepat. Maka hal ini membuat
Marni gugup. Disadari betul kalau tidak apa waktu yang cukup.
Untuk berbuat sesuatu untuk menyelamatkan di-
ri. Pada saat yang genting itu, Setiaji cepat
bertindak. Dia memang tidak sempat mencegah
tindakan istrinya. Maka tidak ada pilihan lain, kecuali berjaga-jaga terhadap
sesuatu yang tidak di-harapkan. Setiaji khawatir, Marni akan celaka.
Keanehan diri Ambar, membuat Setiaji jadi mera-
gukan kalau Marni bisa berhasil keluar sebagai
pemenang dalam pertarungan itu.
Karena kewaspadaan ini, Setiaji dapat ber-
tindak cepat ketika Marni tengah kelabakan. Maka langsung dikirimkannya pukulan
jarak jauh dengan kedua tangannya untuk meruntuhkan bulu-
bulu kebutan yang akan mencelakakan istrinya.
Deb! Deb! Seketika itu pula arah bulu-bulu kebutan
itu melenceng terkena dorongan pukulan Setiap.
Sepasang mata Ambar yang sudah menco-
rong, terlihat semakin berkilatan ketika menatap Setiaji yang telah membawa
Marni untuk menyingkir.
Marni meronta pelan, berusaha mele-
paskan cekalan tangan Setiaji pada pergelangan
tangannya. Tindakan itu karena rasa kesal terhadap suaminya.
Hanya sampai di situ tindakan Marni. Dan
sebenarnya bila menuruti perasaan, dia ingin
menggerutu habis-habisan mengingat pembelaan
Setiaji terhadap Ambar. Tapi rasa hormat dan cin-ta, tambahan lagi Setiaji telah
turun tangan me-nyelamatkannya dari ancaman, membuat Marni
tidak sampai hati untuk menuruti ledakan pera-
saannya. Setiaji merasakan adanya penolakan itu.
Maka untuk tidak membuat keributan bertambah
besar, pegangannya dilepaskan. Perhatiannya
kembali dialihkan pada Ambar. Tampak gadis
yang dulu mencintainya habis-habisan tengah
menatapnya dengan sinar mata bengis.
"Rupanya kau masih membela perempuan
perampas itu, Setiaji"!" dengus Ambar dingin penuh ancaman.
"Itu sudah merupakan kewajibanku seba-
gai suami, sekaligus orang yang mencintainya,
Ambar. Kuharap kau mau memahaminya. Masih
banyak orang lain yang jauh lebih gagah dan tampan daripadaku. Dan aku yakin,
kau akan dengan
mudah menemukan dan mendapatkannya. Orang
secantik kau, tidak sulit untuk mendapatkan
penggantiku," ujar Setiaji kalem dan tenang.
"Tutup mulutmu, Setiaji!" bentak Ambar, keras. "Aku tidak butuh nasihatmu! Aku
hanya butuh jawaban. Dan perlu kau ketahui, kedatan-
ganku kemari tidak untuk membicarakan masalah
cinta! Aku mempunyai urusan lain yang lebih
penting!" Wajah Setiaji langsung berubah berseri-
seri. Jawaban Ambar sedikit banyak melegakan
hatinya. Karena itu berarti, dara ini telah berhasil mengusir rasa cinta
terhadap dirinya. Perasaan
yang keras membuatnya merasa bersalah. Le-
nyapnya rasa cinta di hati Ambar, membuat ba-
tinnya lega. "Syukurlah kalau demikian, Ambar. Aku
turut bergembira karenanya. Sejak semula, aku
sudah yakin. Lambat laun, kau akan menyadari
kalau cinta itu tidak bisa dipaksakan," desah Setiaji. "Telan dulu rasa
gembiramu, Setiaji!" sergah Ambar keras dan kasar.
Saat itu juga, kening Setiaji berkerut. Se-
dangkan Marni menggertakkan gigi karena marah.
"Aku memang tidak berurusan dengan
yang namanya cinta. Aku ada di sini adalah untuk mencegat perjalananmu. Juga,
wanita tak tahu
malu itu. Semua ini karena urusan dendam!"
Seri di wajah Setiaji lenyap. Sedangkan di
belakang, Marni semakin keras menggertakkan gi-
gi. Sikap Ambar yang kasar meski Setiaji telah berusaha bersikap selembut
mungkin, membuat ke-
sabaran Marni hampir hilang. Dan dia bermaksud
menerjang Ambar.
"Apa yang hendak kau lakukan, Ambar"!"
tanya Setiaji lagi.
"Melenyapkan kalian dari muka bumi den-
gan cara menyedihkan. Sehingga, membuat kalian
menyesal dilahirkan di dunia ini!" desis Ambar dingin.
"Keparat!"
Marni yang tidak bisa menahan kesaba-
rannya lagi berseru keras, dan bersikap mener-
jang. Tapi Setiaji lebih dulu bertindak mencegahnya. "Biar aku yang akan
menyelesaikan masalah ini, Marni,". ujar Setiaji lembut.
Marni tidak berani membantah suaminya.
Dia hanya bisa melempar pandangan penuh ke-
bencian pada Ambar.
Sementara dara yang sudah berupa mayat
hidup itu tidak memberi tanggapan sama sekali.
Dingin seperti patung batu!
Perhatiannya malah dialihkan pada Setiaji
yang telah mencabut sebilah golok besar di punggung. Sinar terang berkelebat
dari golok Setiaji.
Lalu pinggulnya digerak-gerakkan sedemikian ru-
pa seperti seekor kuda. Senjatanya yang kelihatan cukup berat tampak melayang
naik ke atas. Tanpa melihat sama sekali, Setiaji mengulurkan tangan untuk
menangkap golok tepat pada gagangnya.
"Keluarkan senjatamu, Ambar. Terpaksa
aku harus mengusirmu dengan kekerasan seperti
dulu." Setiaji tak lupa untuk memberi kesempatan pada calon lawannya untuk
mengeluarkan senjata. Dia adalah seorang lelaki berjiwa ksatria, Pantang baginya untuk
menyerang lawan yang tidak bersenjata! Apalagi, lawannya adalah seorang wanita!
Ambar tersenyum, tapi tidak terlihat manis. Raut wajahnya dingin. Sorot sepasang
ma- tanya mengerikan. Kulit wajahnya pucat Dan se-
nyumnya lebih mirip seringai.
Setiaji mengeluh dalam hati. Sama sekali
tidak disangka kalau kegagalan cinta, membuat
Ambar yang dulu berwajah manis jadi demikian
mengerikan. "Aku tidak menggunakan senjata lagi, Se-
tiaji. Meskipun demikian, jangan dikira akan
mampu menundukkanku seperti dulu"! Jangan
harap! Majulah! Serang aku!" sambut Ambar.
Setiaji bimbang. Kegagahan telah mela-
rangnya untuk memenuhi permintaan yang tidak
wajar. Lelaki ini berdiri di tempatnya dengan tangan menggenggam senjata. Tapi
benaknya bingung
"Kalau kau tidak sampai hati untuk me-
nyerang, biar aku yang maju!" dengus Marni, mantap.
Seruan ketus dari Marni di belakangnya,
membuat Setiaji mengambil keputusan cepat. Go-
lok yang telah terhunus dilemparkan sembaran-
gan. Tapi di udara, golok itu meliuk secara aneh.
Lalu, meluncur turun dengan batang lebih dulu
dan mendarat tepat di dalam sarungnya seperti
dimasukkan oleh tangan saja!
Kini, Setiaji tidak ragu-ragu lagi menye-
rang. Walau diakui kalau Ambar bukan tergolong
gadis jahat, tapi sikap dan tindakannya telah ke-lewat batas. Mudah-mudahan
tindakannya akan
membuat gadis itu kapok dan tidak akan meng-
ganggu diri atau istrinya.
Seperti juga ketika menghadapi serangan
Marni, Ambar tidak bergeming dari tempatnya se-
mula. Padahal, Setiaji tengah menyerangnya den-
gan pukulan tangan kanan kiri bertubi-tubi ke
arah perut sampai mengeluarkan bunyi mendem.
Setiaji terperanjat melihat Ambar tidak
bergeming dari tempatnya. Dan dia bukan orang
kejam yang tega memukul orang tanpa perlawa-
nan. Maka secepat itu pula serangan berusaha ke-
ras untuk dibatalkan.
"Manusia Tolol! Jangan merasa paling sakti di kolong langit ini..."!" ejek
Ambar. Dara yang telah bangkit dari kematiannya
ini menutup ucapannya dengan gelengan kepala
secara keras. Saat itu juga rambutnya yang pan-
jang bergerak ke depan.
Setiaji kaget bukan main, begitu melihat
adanya sekelebatan rambut hitam yang melayang
ke arah kepalanya. Padahal jaraknya telah dekat.
Bahkan kecepatan gerak rambut hitam itu luar biasa. Melihat serangan mendadak
ini, lelaki itu gugup. Sehingga....
Prattt! Setiaji menjerit tertahan, ketika rambut
Ambar menampar telak pipinya. Kepalanya sampai
tertolak keras ke samping dengan pipi terasa panas dan perih bukan main.
Tubuhnya sampai ter-
gempur terhuyung-huyung.
Ketika berhasil memperbaiki keseimban-
gannya, Setiaji mengusap pipinya yang terasa perih. Dan seketika matanya
terbelalak begitu melihat cairan kental pada telapak tangannya. Tamparan rambut
Ambar telah membuat kulit wajahnya
pecah-pecah mengeluarkan darah. Sakit dan perih menyengat!
"Rupanya kau telah berlatih habis-habisan
selama ini, Ambar. Baik! Ku ladeni kemauanmu!"
dengus Setiaji.
Setiaji memutuskan untuk bertindak keras.
Dia tahu, Ambar tidak bisa dipandang rendah. Da-ra berpakaian serba hitam ini
pasti telah mendapatkan kemajuan pesat dalam ilmu silat. Buktinya dia mampu
membuat Marni hampir celaka dalam
segebrakan. Bahkan juga dapat menyarangkan
sebuah serangan yang menyebabkan Setiaji terke-
jut setengah mati. Maka seketika tubuhnya melu-
ruk ke arah Ambar dengan tendangan kaki kanan
lurus bertubi-tubi ke arah dada, ulu hati, dan pu-sar.
Plak, plak, Rrrttt!
Setiaji hampir tidak percaya dengan pen-
glihatannya sendiri. Ternyata tendangan bertubi-tubinya mudah sekali dipatahkan
dengan rambut Ambar. Berkali-kali rambut itu bergerak-gerak
memapak. Malah ketika serangannya berakhir,
rambut Ambar! bergerak membelit!
Setiaji sampai menggigit bibir ketika perge-
langan kaki yang dilibat rambut terasa sakit bukan main. Libatannya tak kalah
dengan libatan seekor ular sawah!
Saat itu juga Setiaji mengerahkan seluruh
tenaga dalam untuk mempertahankan agar tu-
lang-tulang pergelangan kakinya tidak hancur berantakan akibat belitan rambut.
Sekujur tubuhnya tampak, menggigil keras. Peluh mengalir deras
membasahi wajahnya.
Di lain pihak, Ambar terlihat biasa-biasa
saja. Sepertinya, dara ini tidak mengerahkan tenaga sedikit pun.
Marni yang memperhatikan jalannya perta-
rungan segera mengerti kalau suaminya berada
dalam bahaya. Sambil mengeluarkan pekik me-
lengking nyaring wanita itu mengirimkan totokan ke arah ubun-ubun Ambar dengan
bulu-bulu kebutan yang menegang kaku.


Dewa Arak 78 Pembalasan Dari Liang Lahat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Hmh...!"
Tapi Ambar rupanya sudah memperhi-
tungkannya. Ketika serangan Marni semakin de-
kat, dia mendengus. Sementara gumpalan ram-
butnya yang masih terasa di kepala dikibaskan,
hingga meluncur ke arah kebutan yang meluruk
ke arahnya. Namun Marni tidak terkejut. Telah disaksi-
kan sendiri keanehan ini sebelum mendapatkan
serangan secara langsung. Maka kebutannya ce-
pat ditarik kembali. Dia tidak ingin senjatanya ter-belit rambut. Dan,
berbarengan dengan itu, kaki kanannya diayunkan ke arah dada Ambar
Serangan susulan Marni dilakukan secara
cepat. Dia yakin, kalau serangannya berhasil, libatan terhadap kaki Setiaji akan
terlepas. Tapi, lagi-lagi sebelum serangan Marni
mengenai sasaran, rambut Ambar meliuk aneh.
Ujung-ujungnya meluncur ke arah lututnya.
Tuk, tukkk! Dua kali lutut Marni tertotok ujung rambut
yang telah menegang laksana rotan. Akibatnya,
kaki itu pun lumpuh. Seketika gerakan Marni terhenti seketika. Padahal pada saat
yang sama gumpalan rambut Ambar kembali bergerak. Kali
ini mengibas ke arah perut Dan....
Crasss...! "Aaaa...!"
Darah segar muncrat dari mulut Marni, ke-
tika kibasan rambut Ambar telak mengenai sasa-
rannya. Tubuh Marni terhuyung dan jatuh ter-
jengkang, karena salah satu kakinya tidak bisa digunakan lagi.
"Marni...!" jerit Setiaji kaget melihat kejadian yang menimpa istrinya.
Perasaan khawatir, membuat Setiaji yang
tengah berusaha melepaskan diri, tidak bertindak setengah-setengah lagi. Dan dia
tidak memikirkan masalah tindakan ksatria lagi.
Maka dengan tangan yang bebas diambil-
nya goloknya yang tersampir di punggung. Dan
dengan amarah meluap-luap, senjata itu dilem-
parkan ke arah kepala Ambar.
"Hmmm...!"
Ambar mendengus! Sepasang matanya jadi
lebih terang dari sebelumnya, dan semakin meng-
hijau. Setiaji sampai melongo melihatnya. Apalagi ketika menyaksikan kejadian
selanjutnya. Ternyata dari sepasang mata Ambar, meluncur dua leret sinar kehijauan yang secara
telak menghantam golok Setiaji.
Bagai lilin bertemu api. Demikian yang me-
nimpa golok Setiaji! Golok yang terbuat dari baja pilihan itu kontan lumer
sebelum menyentuh sasaran. "Kau lihat, Setiaji. Bila aku hendak mem-bunuhmu dan
Panji Sakti 13 Bara Diatas Singgasana Pelangi Di Singosari Karya S H Mintardja Irama Seruling Menggemparkan Rimba Persilatan 4
^