Pencarian

Pembantai Dari Mongol 2

Dewa Arak 73 Pembantai Dari Mongol Bagian 2


layah utara ini tahu dugaannya benar. Targoutai me-
miliki tubuh yang kebal! Itulah sebabnya serang-an-
serangan mematikan dibiarkan saja. Sedangkan seran-
gan terhadap mata tidak disepelekan. Karena, betapapun saktinya seseorang tak
mungkin mampu membuat
sepasang mata menjadi kebal.
Dan, keyakinan Malaikat Utara menjadi kenya-
taan. Berbagai macam senjata yang mendarat di tubuh Targoutai hanya menyebabkan
senjata-senjata itu
membalik seperti berbenturan dengan karet keras yang kenyal. Kenyataan itu
rupanya mengejutkan pengikut-pengikut Malaikat Utara. Mereka baru menyadari Tar-
goutai memiliki tubuh yang kebal. Tidak mempan ter-
hadap segala macam senjata. Setan Kipas dan yang
lain-lainnya jadi hanya mempunyai sasaran serangan
yang sedikit. Berbeda dengan Targoutai. Hingga, tak sampai menginjak jurus
kedelapan salah seorang di
antara mereka tewas tertusuk lembing Targoutai.
Beberapa jurus kemudian, seorang lagi tewas
karena tertangkap Targoutai kemudian dibantingnya
keras-keras. Jeritan menyayat terdengar susul menyusul. Tak sampai dua puluh
lima jurus tidak ada satu pun di antara mereka yang masih berdiri tegak. Mereka
semua tewas dengan mengerikan. Malaikat Utara
tidak berubah wajahnya meski melihat semua pengi-
kutnya tewas. Dia tidak sudi melarikan diri. Apalagi, keadaannya memang tidak
memungkinkan. Malaikat
Utara lebih suka tewas sebagai harimau daripada mati sebagai babi! Dia tidak
takut mati. Hanya saja lelaki ini merasa kecewa karena impiannya untuk menjadi
jago nomor satu harus kandas sebelum tercapai. Justru di saat dia baru merintis!
5 "Ha ha ha...!"
Tawa bergelak keras yang bernada meremehkan
terdengar memecah suasana malam yang dingin. Tawa
itu berasal dari dalam sebuah ruangan yang luas dan megah di dalam bangunan
besar. Tampak seorang pemuda tampan berpakaian mewah. Kulitnya halus dan
mulus seperti kulit wanita. Sebuah cangklong yang
mengepulkan asap ter-genggam di tangan kanannya.
Pemuda itu tidak lain putra dari Raja Sihir Penyebar Maut. Pemuda yang telah
menggemparkan rumah makan dengan tindakannya yang luar biasa.
"Kalau tidak mendengar sendiri dari mulutmu,
aku tidak akan percaya, Setan Timur! Kau yang men-
guasai wilayah timur dan menjadi datuk nomor satu di sana datang ke tempatku
untuk menceritakan hal ini"
Ha ha ha...! Lucu! Lucu sekali...!"
"Kau terlalu menganggap remeh persoalan ini,
Dewa Tampan!" sambut sebuah suara yang nyata-
nyata menyiratkan kekesalan. "Aku tahu kau datuk wilayah selatan sekarang. Tapi
aku sangsi apakah kau
mampu menandingi ku. Dan...."
"Bisa kau buktikan sendiri nanti. Dua hari lagi
kita akan mengadakan pertemuan untuk menentukan
siapa yang lebih sakti di antara kita. Ia pantas berjuluk jago nomor satu."
sambut pemuda berpakaian mewah cepat seraya menghembuskan asap cangklongnya.
"Bukan itu maksudku, Dewa Tampan." sergah Setan Timur. Ia seorang lelaki berusia
sekitar empat puluh lima tahun. Berkepala botak dan bercambar
bauk lebat. Pakaiannya berwarna coklat dengan lengan baju sampai di bawah siku.
Tampak gelang hitam meli-lit pergelangan tangan kanan dan kirinya. "Aku hanya
memperbandingkan saja. Harap kau ingat. Bukan berarti aku takut padamu. Tapi,
biar bagaimanapun juga kau perlu kuberitahu."
"Hm...!"
Dewa Tampan yang julukan lengkapnya Dewa
Tampan Dari Selatan, yang mendapat julukan itu setelah kemenangannya dalam
memperebutkan kedudu-
kan datuk wilayah selatan yang berlangsung di Puncak Kabut Putih, menggumam.
Sikapnya memperlihatkan
dia mulai tertarik mendengarkan pernyataan Setan
Timur. "Kau tahu Malaikat Utara dan Raksasa Barat, kan?" Setan Timur yang pandai
mempergunakan kesempatan segera memotong. Tidak ada jawaban dari
mulut Dewa Tampan Dari Selatan. Tapi dia tidak pedu-li. "Raksasa Barat bisa kita
perkirakan kepandaiannya.
Dia adalah murid terkasih Raja Racun Sakti. Malaikat Utara tidak perlu kita
perhitungkan dulu karena dia tidak bisa kita perkirakan kepandaiannya, meski
dari keberhasilannya menjadi datuk di wilayah utara sudah cukup untuk
membuktikan kelihaiannya. Tapi kita tidak bisa mencari patokan. Berbeda dengan
Raksasa Barat" Dewa Tampan Dari Selatan hanya menggerakkan alisnya ke atas dan
mengepulkan asap cangklong-
nya. Dia tidak berbicara sedikit pun untuk memberi-
kan tanggapan terhadap pernyataan rekannya.
"Kita tahu, Raja Racun Sakti memiliki kemam-
puan setaraf dengan gurumu, Raja Sihir Penyebar
Maut. Karena itu mereka hanya dapat menguasai dua
wilayah yang memang sebelumnya telah dikuasai me-
reka. Jadi, kita bisa memperkirakan kemampuan Rak-
sasa Barat sebagai murid terkasih Raja Racun Sakti
yang tidak berselisih jauh denganmu sebagai putra Ra-ja Sihir Penyebar Maut"
Setan Timur menyambung.
"Dan, perlu kau ketahui, Dewa Tampan. Raksasa Barat seperti juga halnya Malaikat
Utara telah tewas di tangan tokoh baru dunia persilatan."
"Aku telah mendengar berita itu. Apa anehnya?"
Dewa Tampan Dari Selatan yang memiliki watak som-
bong langsung menimpali. "Justru apabila hal itu benar, aku tidak perlu lagi
bersusah payah mengalahkan mereka untuk mendapatkan wilayah kekuasaan mereka.
Meskipun andaikata mereka masih hidup aku
mampu merebut wilayah mereka, itu menjadikan aku
datuk nomor satu di seluruh penjuru mata angin"
"Kau terlalu sombong, Dewa Tampan!" Setan Timur tak kuasa menahan rasa kesalnya.
"Aku tidak heran kalau kau akhirnya akan tewas di tangan tokoh sakti yang telah
menewaskan Raksasa Barat dan Malaikat Utara. Mengapa aku berani berkesimpulan
de- mikian" Karena kau memiliki kemampuan di bawah
Raksasa Barat!"
"Keparat!"
Dewa Tampan Dari Selatan yang tidak boleh
tersinggung sedikit pun langsung mengirimkan gedo-
ran telapak tangan terbuka ke arah dada Setan Timur.
Tapi, Setan Timur memang sudah menduga. Tanpa ra-
gu disambutinya serangan itu dengan sikap serupa.
Plakkk! Benturan keras yang terjadi mengguncangkan
tubuh Dewa Tampan Dari Selatan dan Setan Timur.
Saat itu mereka tengah duduk di kursi, saling berhadapan dan hanya dibatasi
sebuah meja bundar yang
indah. Kegagalan serangan ini membuat Dewa Tampan
Dari Selatan tak kuasa menahan amarah.
Cangklongnya diayunkan ke arah pelipis Setan
Timur. Meskipun hanya cangklong, tapi di tangan De-
wa Tampan Dari Selatan tak kalah berbahayanya den-
gan hantaman sebuah tongkat baja!
Trakkk! Lagi-lagi serangan itu kandas. Setan Timur
memapakinya dengan pisau belati di tangan kiri. Dewa Tampan Dari Selatan
bergegas menyusulinya dengan
tiupan mulutnya. Bukan sembarang tiupan. Tadi dia
baru saja mengisap tembakaunya. Sehingga, sekarang
asap itu meluncur ke arah wajah Setan Timur. Asap
yang dapat membuat mata perih dan pandangan ter-
halang. Sungguh sebuah serangan yang berbahaya ka-
rena dilakukan dalam jarak dekat. Dua datuk sesat ini melakukan pertarungan di
atas kursi dalam keadaan
masih duduk. Setan Timur memang seorang tokoh sesat yang
luar biasa. Tidak percuma tokoh ini menjadi jago nomor satu wilayah timur.
Menghadapi serangan Dewa
Tampan Dari Selatan, dia tidak menjadi gugup. Tanpa membuang-buang waktu lagi,
Setan Timur mengambil
sesuatu dari balik bajunya, kemudian dikebutkan.
Asap yang semula menghambur ke arahnya berbalik
kembali ke arah Dewa Tampan Dari Selatan. Sesuatu
yang diambil Setan Timur adalah sebuah kipas.
Tentu saja serangan asap yang membalik itu ti-
dak ada artinya bagi Dewa Tampan Dari Selatan.
Serbuan asap yang menuju ke arahnya tidak
pedulikan. Dewa Tampan Dari Selatan pusatkan per-
hatian pada serangan lain. Dan ketika asap itu berhasil diusirnya, Setan Timur
membarengi dengan totokan kipasnya ke arah hati. Namun serangan itu berhasil
dipunahkan Dewa Tampan Dari Selatan dengan tang-kisannya.
Tidak hanya kedua tangan saja yang dipergu-
nakan kedua datuk itu. Tapi, juga kedua kaki mereka.
Kaki-kaki mereka saling menendang dan menangkis di
bawah meja. Cukup lama juga pertarungan itu ber-
langsung. Ketika untuk kesekian kalinya tubuh kedua da-
tuk itu terguncang, Setan Timur segera mengambil kesempatan.
"Apakah kau ingin kita terlibat dalam pertarungan, Dewa Tampan" Tahukah kau di
saat kita lemah,
tokoh baru itu akan datang dan membantai kita den-
gan mudah?"
"Aku tidak takut!" sentak Dewa Tampan Dari Selatan keras. "Akan kubunuh dia di
sini, apabila berani datang!"
"Kaulah yang akan mati, Dewa Tampan!" sergah Setan Timur. "Kau tahu, tokoh yang
kudengar berasal dari negeri seberang itu memiliki kemampuan luar biasa. Seorang
diri dia mampu membinasakan Malaikat
Utara dengan kelompoknya. Juga Raksasa Barat dan
pengikut-pengikutnya. Di tempat kediaman kedua da-
tuk itu pula. Markas mereka kemudian, dibumihan-
guskan!" Dewa Tampan Dari Selatan terdiam. Dia me-
mang belum mendengar berita ini. Dia buru-buru me-
nyuruh anak buahnya berhenti bicara ketika mereka
memberitahukan tentang kematian Malaikat Utara dan
Raksasa Barat. Padahal, Dewa Tampan Dari Selatan
yang menyuruh pengikut-pengikutnya mencari berita
yang tersebar di dunia persilatan. Tapi, watak som-
bongnya tidak mengizinkan untuk mendengar berita
tentang keunggulan seseorang. Baru sekarang Dewa
Tampan Dari Selatan mendengar berita ini dari mulut Setan Timur.
"Apakah kedua datuk itu tewas dalam perta-
rungan satu lawan satu?" tanya Dewa Tampan Dari Selatan.
"Mula-mula demikian." Setan Timur menganggukkan kepala. "Setelah datuk-datuk itu
kalah dan tewas, pengikut-pengikutnya langsung mengeroyok to-
koh asing itu. Tapi, mereka semua habis dibantai"
"Tokoh asing"!" Dewa Tampan Dari Selatan
mengernyitkan kening. "Dari mana asalnya?"
"Kalau aku tidak salah, dari Mongol. Tokoh itu bernama Targoutai. Kedatangannya
kemari adalah untuk mencari jago-jago nomor satu. Ia ingin menandinginya dalam
hal ilmu silat. Targoutai haus pertarungan." "Dari Mongol?" Dewa Tampan Dari
Sela menggumam. Keningnya berkerut dalam.
"Benar...!" Setan Timur mengiyakan. "Ku dengar dari penyelidik-penyelidik yang
kukirim, di samping ilmu silatnya tinggi, jago dari Mongol itu memiliki ilmu
kebal yang luar biasa. Ilmu gulat, ilmu memanah, dan permainan lembing yang amat
mahir. Bahkan, Raja
Panah Berbaju Emas tewas dalam pertandingan adu
panah dengan Targoutai."
"Ah...!"
Kali ini Dewa Tampan Dari Selatan tidak mam-
pu menahan keterkejutannya. Berita tentang tewasnya Raja Panah Berbaju Emas di
tangan Targoutai sangat
mengejutkan putra Raja Sihir Penyebar Maut ini.
Dewa Tampan Dari Selatan tahu siapa Raja Pa-
nah Berbaju Emas. Seorang ahli panah yang boleh di-
bilang tidak tertandingi. Tak ada seorang tokoh persilatan pun yang mampu
menandinginya apalagi menga-
lahkannya. Tapi kenyataannya" Targoutai mampu me-
lakukan hal itu. Berarti Targoutai memiliki ilmu memanah yang sungguh luar
biasa! "Perlu kau ketahui, Dewa Tampan." Setan Timur menyambung perkataannya. "Aku
datang kemari dan menceritakan semua ini karena aku tidak ingin
orang asing itu menjadi jagoan di tempat kita. Biar bagaimanapun juga, andaikata
aku tidak men-jadi datuk nomor satu di dunia persilatan, aku tidak ingin gelar
itu jatuh ke tangan orang dari negeri seberang!"
Dewa Tampan Dari Selatan menatap wajah Se-
tan Timur lekat-lekat, seperti ingin mencari kebenaran ucapan tokoh nomor satu
wilayah timur itu.
"Karena itu, aku ingin perebutan gelar antar ki-ta ditunda lebih dulu. Bukankah
sesuai kesepakatan
akan diadakan minggu depan?"
"Kalau itu keinginanmu, apa boleh buat?" Dewa Tampan Dari Selatan mengangkat
bahunya. "Asal kau tahu saja, Setan Timur. Aku tidak takut dengan orang yang
bernama Targoutai. Bahkan, aku akan merobohkan tokoh-tokoh di daerah barat dan
utara supaya wilayah kekuasaanku tidak hanya meliputi daerah sela-
tan!" "Lakukan apa yang kau mau, Dewa Tampan.
Dan, selamat melawat ke akherat!"
Bersamaan dengan selesainya ucapan itu, tu-
buh Setan Timur melayang ke belakang bersama den-
gan kursinya. Padahal, lelaki berkepala botak itu
hanya mengibaskan kedua tangannya ke bawah.
"Tunggu sebentar, Setan Timur! Jelaskan mak-
sud ucapanmu!"
Dewa Tampan Dari Selatan tidak mau kalah
melakukan unjuk kepandaian. Dia pun menekan ke-
dua tangannya ke bawah. Tubuhnya bersama kursi
yang didudukinya mencelat ke atas melewati meja dan melayang mengejar kursi
Setan Timur. Tepat ketika
kaki-kaki kursi Setan Timur hinggap di lantai, kaki-kaki kursi Dewa Tampan
Selatan pun mendarat pula.
"Aku hanya mengucapkan tanda bukti ikut
berduka cita atas kematianmu, Dewa Tampan. Kau ti-
dak akan mampu mengungguli Targoutai! Dia miliki
kulit tubuh yang amat kuat. Jangankan tangan, senja-ta tajam pun tidak mampu
melukainya. Selamat ting-
gal." Tanpa mempedulikan Dewa Tampan Dari Selatan yang masih termangu-mangu,
Setan Timur melesat
meninggalkan ruangan itu. Dalam sekelebatan bayan-
gannya sudah tidak terlihat lagi.
*** "Tolong turunkan aku, Dewa Arak! Aku berjalan
sendiri." Seruan itu diucapkan seorang gadis berpakaian


Dewa Arak 73 Pembantai Dari Mongol di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

biru yang berada dalam bopongan Dewa Arak. Pemuda
berambut putih keperakan itu tengah berlari cepat
meninggalkan bangunan mewah dan megah tempat
tinggal Malaikat Utara. Arya mempergunakan kesem-
patan di saat kemunculan Targoutai untuk pergi.
"Ah.... Kalau demikian, bagus sekali, Nisanak,"
Arya menyahuti. Kebetulan tempat tinggal Malaikat
Utara sudah tertinggal jauh.
Sebenarnya Arya tahu Citra Sari tidak akan bi-
sa berjalan akibat luka yang dideritanya. Tapi, karena gadis itu memaksa,
permohonan Citra Sari pun dipenuhi. Gadis itu dibawa Arya ke tempat yang agak
rindang dan dipenuhi pohon-pohon, baru kemudian ditu-
runkan. Citra Sari terhuyung ketika berdiri dengan ke-
dua kakinya. Arya sudah bersiap hendak menangkap
apabila gadis itu terjatuh. Tapi, ternyata tidak. Citra Sari mampu berdiri
tegak. Gadis itu lalu duduk bersila, ia bersemadi untuk memulihkan lukanya.
Terpaksa Arya berdiri menunggu. Di dalam hati
pemuda berambut putih keperakan ini merasa bersyu-
kur kebetulan lewat di tempat itu. Di depan bangunan besar milik Malaikat Utara,
ia merasa heran melihat dua sosok tubuh tergolek di tanah. Arya mendeka-tinya.
Kemudian, terdengar bunyi riuh rendah pertempuran. Tanpa membuang-buang waktu
lagi, Arya me- lesat ke dalam dan melihat Citra Sari tengah terancam bahaya. Dia pun bergegas
menolongnya. Arya mengeluh dalam hati ketika teringat Ma-
laikat Utara. Pemuda berambut putih keperakan ini
memang telah mendengar selentingan kabar di dunia
persilatan. Telah didengarnya kalau dua datuk kaum
sesat yaitu Raja Racun Sakti dan Raja Sesat Penyebar Maut telah lenyap. Terjadi
pergolakan dunia kaum sesat untuk menjadi pengganti kedua datuk tersebut.
Arya tahu perebutan kedudukan telah berlangsung di
empat wilayah. Di utara keluar sebagai pemenang, Malaikat Utara. Di timur, Setan
Timur. Di selatan, Dewa Tampan Dari Selatan, sedangkan di barat, Raksasa
Barat. Dua nama terakhir adalah putra dan murid dua datuk terdahulu. Arya
mengeluh bukan karena takut,
tapi karena risau. Malaikat Utara saja sudah merupakan lawan yang demikian
berat. Bisa diperkirakan kalau ditambah dengan tiga datuk yang lain. Kepandaian
mereka pasti tidak berbeda jauh. Bahkan mungkin imbang. Kalau mereka bergabung,
ini merupakan anca-
man berat bagi keamanan dunia persilatan.
Benak Arya kemudian disibukkan dengan to-
koh Mongol yang sempat dilihatnya. Tokoh Mongol itu
memiliki kepandaian tinggi. Apakah tokoh itu terma-
suk salah seorang di antara datuk-datuk lainnya"
Raksasa Barat barangkali" Atau tokoh yang berjuluk
Setan Timur"
Kesibukan berpikir membuat Arya tidak tahu
Citra Sari telah lama tenggelam dalam semadinya. Pemuda berambut putih keperakan
itu hanya tahu Citra
Sari menyelesaikan semadi ketika mendengar helaan
napas gadis itu.
"Bagaimana keadaanmu sekarang, Nisanak?"
"Lebih baik dari sebelumnya," jawab Citra Sari lembut. "Tapi kuharap kau tidak
memanggilku 'Nisanak', Dewa Arak. Panggil saja aku Citra, atau Sa-ri."
"Kaupun harus demikian, Ni... eh, Citra." Arya ikut membetulkan,
"Kau tidak usah memanggilku dengan sebutan
yang membuat telingaku gatal mendengarnya. Panggil
saja aku, Arya. Namaku adalah Arya Buana. Jadi, kau mempunyai nama lengkap Citra
Sari?" Gadis berpakaian biru itu mengangguk.
"Terima kasih atas pertolongan yang kau beri-
kan, Arya. Kalau tidak ada kau, mungkin nyawaku su-
dah tidak berdiam di raga lagi. Benar juga peringatan ayahku."
"Peringatan ayahmu?"
"Ya. Beliau mengingatkan aku agar tidak usah
menyatroni tempat kediaman Malaikat Utara. Karena
itu hanya akan mencelakakan nyawaku sendiri. Tapi,
aku memang keras kepala. Aku sudah kesal bukan
main pada murid murtad itu. Secara diam-diam aku
pergi untuk menghukum Malaikat Utara. Tapi jangan-
kan menghadapinya, baru bertarung dengan pengikut-
nya saja aku sudah tidak berdaya," Citra Sari mengeluh.
"Jadi.... Malaikat Utara itu kakak sepergu-
ruanmu?" duga Arya agak ragu.
"Bukan." Citra Sari menggelengkan ke "Dia bukan kakak seperguruanku. Tapi paman
perguruan."
"Jadi..., Malaikat Utara itu adik seperguruan
ayahmu?" tanya Arya lagi. Ketika dilihatnya Citra Sari mengangguk, ucapannya
kembali diteruskan. "Bisa ku perkirakan betapa tingginya kepandaian ayahmu,
Citra. Malaikat Utara saja yang menjadi adik sepergu-
ruannya memiliki kepandaian demikian tinggi."
"Tidak demikian, Arya," ujar Citra Sari. "Meski memang ayahku termasuk kakak
seperguruannya, tapi
bila diperbandingkan, kepandaian Malaikat Utara lebih tinggi. Bahkan mungkin
berselisih jauh. Dia tidak
hanya memiliki satu guru saja."
Arya mengernyitkan alis, bingung mendengar
penjelasan Citra Sari.
"Ayahku mempunyai seorang guru." Citra Sari memutuskan untuk menerangkan
semuanya agar jelas. "Guru Ayah itu seorang pertapa di sebuah pegu-nungan. Entah
di gunung mana aku tidak tahu. Seki-
tar dua puluh lima tahun yang lalu, Ayah selesai belajar dan turun gunung.
Kemudian, dia mempunyai seo-
rang keturunan, aku. Saat aku berusia lima tahun,
Ayah mengajakku untuk menemui gurunya. Di tengah
perjalanan kami menemukan seorang anak lelaki be-
rusia sekitar lima belas tahun yang dikejar-kejar seekor macan. Ayah segera
menolongnya. Karena anak itu sudah tidak punya keluarga, Ayah lalu membawanya
serta kepada gurunya. Ternyata guru Ayah tertarik untuk mengangkat anak lelaki
yang bernama Danar Jati
itu menjadi murid. Bahkan, dua pertapa lain yang kebetulan tengah mengunjungi
guru Ayah ikut tertarik
untuk menjadikan Danar Jati sebagai murid. Danar
Jati pun menjadi murid tiga pertapa sekaligus.
Citra Sari menghentikan ceritanya sejenak. Di-
tatapnya Arya yang asyik mendengarkan. Melihat Arya tampak berminat untuk terus
mendengarkan, Citra
Sari pun melanjutkan ceritanya.
"Aku dan Ayah tinggal di situ hanya tiga bulan.
Kemudian kami kembali. Sedangkan Danar Jati tinggal di sana. Tapi, ketika dua
bulan yang lalu aku datang ke sana, kujumpai tiga pertapa itu telah lumpuh dan
buta semua. Danar Jati telah sampai hati meracuni
mereka. Anak itu ternyata tidak berwatak baik. Setelah melapor pada Ayah, aku
lalu mencari Danar Jati. Ber-minggu-minggu aku mencarinya. Sampai aku menda-
pat berita kalau Danar Jati telah menjadi datuk di wilayah utara dan berjuluk
Malaikat Utara. Aku datang untuk membunuhnya. Tapi hasilnya?"
Dewa Arak menghela napas berat
"Apa rencanamu sekarang, Citra?"
"Memberitahukan ayahku mengenai hal ini.
Kau mau ikut Arya" Ayahku sudah cukup lama men-
dengar kebesaran namamu. Dia ingin sekali bertemu
denganmu. Sayang belum kesampaian."
"Ayolah kalau demikian."
Wajah Citra Sari langsung berseri mendengar
kesediaan Arya untuk menemui ayahnya.
6 "Hey...!"
Citra Sari menudingkan jari telunjuknya ke de-
pan. Menunjuk seseorang yang tengah melesat keluar
dari pintu gerbang sebuah rumah yang daun pintunya
terbuka lebar. Gerakan sosok itu gesit bukan main.
Kebetulan arah yang ditujunya adalah arah yang di-
tinggalkan Citra Sari bersama Dewa Arak. Saat itu mereka sedang dalam perjalanan
menuju tempat tinggal
ayahnya Citra Sari.
"Ada apa, Citra?" tanya Arya seraya menatap sosok bayangan yang semakin dekat
dengan tempatnya. Ia tidak bisa melihat orang itu dengan jelas karena cepatnya
gerakan larinya.
"Sosok bayangan itu baru keluar dari tempat
tinggalku!" jawab Citra Sari penuh kekhawatiran. "Aku jadi mencemaskan keadaan
Ayah...!" "Kalau demikian, jangan kita biarkan sosok itu lolos sebelum kita mendapat
keterangan apa yang telah dilakukannya di tempat kediaman ayahmu."
Usai berkata, Arya segera menghentikan jalan-
nya dan berdiri di tengah jalan. Dihadangnya arah
yang akan dilalui sosok bayangan yang tengah melaju cepat itu.
"Perlahan dulu, Sobat. Aku mau bicara." Untuk menarik perhatian sosok yang
tengah meluncur dengan cepat itu, Dewa Arak tidak ragu-ragu mengerah-
kan tenaga dalamnya. Tindakan itu membuat ucapan-
nya terdengar menggema, seperti berteriak di pegu-
nungan. Sosok yang tengah melesat itu mendadak men-
gurangi kecepatannya. Bahkan, beberapa saat kemu-
dian menghentikan larinya. Ia berdiri tegak dalam jarak tiga tombak dari Arya
dan Citra Sari.
Wajah Arya dan Citra Sari berubah ketika meli-
hat sosok di depan mereka. Sosok itu bertubuh kekar dengan pakaian terbuat dari
kulit binatang. Wajahnya keras. Ia mengenakan topi baja bulat yang pada bagian
atasnya tepat di tengah tampak besi runcing. Sedangkan pada bagian bawahnya
terdapat hiasan dari bulu
binatang. Wajah yang keras itu tampak asing, sosok ini adalah Targoutai!
Pendekar Mongol yang sakti.
Seperti halnya Arya dan Citra Sari, Targoutai
pun agak berubah wajahnya. Targoutai merasa pernah
melihat Dewa Arak. Sedangkan Citra Sari meski dari tempatnya yang agak
tersembunyi dan tengah terluka, di tempat kediaman Malaikat Utara tetapi ia
melihat kedatangan Targoutai.
"Bukankah kau orang yang akan bertarung
dengan Raja Panah Berbaju Emas?" Targoutai membuka suara dengan logat aneh. "Apa
maksudmu menghentikan perjalananku"!"
"Tidak ada maksud apa pun kecuali untuk
mengajukan sebuah pertanyaan. Aku yakin kau bisa
menjawabnya, Saudara...."
"Targoutai. Namaku Targoutai. Jago dari negeri seberang, Mongol. Aku sengaja
datang kemari untuk
menjajal kelihaian jagoan-jagoan negeri ini. Sayang, tak ada seorang pun lawan
yang benar-benar tangguh.
Hanya tinggal dua tokoh lagi yang namanya kudengar
cukup menggegerkan dunia persilatan. Tapi aku tidak yakin mereka akan mampu
melawanku. Dua orang
yang mempunyai kedudukan setingkat dengan mereka
berhasil kukalahkan tanpa banyak mendapat kesuka-
ran!" "Targoutai"!" Arya dan Citra Sari saling berpandangan mendengar nama asing
itu. Tapi, perasaan he-
ran itu masih tidak seberapa bila dibandingkan dengan rasa tersinggung mendengar
ucapan Targoutai yang
merendahkan jago-jago negeri mereka. Hati sepasang
muda-mudi ini panas seperti terbakar api!
"Boleh ku tahu dua tokoh terkenal yang kau
maksudkan, dan dua tokoh setingkat mereka yang te-
lah kau kalahkan?" Arya lebih dulu membuka suara sebelum Citra Sari mengajukan
pertanyaan Pemuda
berambut putih keperakan ini khawatir Citra Sari akan bertindak macam-macam
dengan pertanyaannya.
"Dua tokoh yang telah kukalahkan itu adalah
Raksasa Barat dan Malaikat Utara. Sedangkan dua to-
koh setingkatan mereka yang akan kucari dan tandingi adalah...."
"Setan Timur dan Dewa Tampan Dari Selatan!"
potong Citra Sari cepat.
"Benar!" Targoutai sama sekali tidak marah ucapannya dipotong dengan kasar
seperti itu. Mendengar jawaban ini, Dewa Arak merasa jan-
tungnya berdetak lebih cepat. Kalau benar Malaikat
Utara dan Raksasa Barat berhasil dikalahkan oleh
Targoutai, berarti lelaki Mongol ini memiliki tingkat kepandaian yang amat
tinggi. Arya sendiri tidak berani memutuskan kalau kepandaian yang dimilikinya
berada di atas Malaikat Utara. Ia hanya tahu Malaikat Utara merupakan lawan yang
amat tangguh. "Jadi..., sewaktu kau kulihat berada di tempat kediaman Malaikat Utara, kau
sedang menantang Malaikat Utara untuk bertarung?" Arya mulai mengerti dengan
duduk persoalannya.
"Benar!" Targoutai menjawab singkat.
"Lalu, bagaimana dengan pengikut-pengikut
Malaikat Utara?" desak Arya.
"Karena mereka mencabut senjata dan menye-
rangku, aku tidak mempunyai pilihan lain selain
menghadapi mereka dan membinasakannya. Mereka
terpaksa bernasib sama seperti Malaikat Utara!"
Arya menahan nafasnya. Sekarang dia baru ta-
hu: Malaikat Utara telah tewas. Pemuda itu menelan
keterkejutannya mendengar pengikut-pengikut Malai-
kat Utara tewas semua. Berita ini membuat pemuda
berambut putih keperakan ini sukar untuk memperki-
rakan ketinggian ilmu yang dimiliki Targoutai. Arya sendiri tidak yakin akan
mampu menghadapi keroyo-kan pengikut-pengikut Malaikat Utara yang diketa-
huinya memiliki kepandaian tinggi.
"Kau sendiri siapa, Anak Muda" Kulihat kau
memiliki kepandaian yang tidak rendah. Tenaga dalam yang kau kerahkan dalam
teriakan tadi cukup kuat.
Mungkin tingkat kepandaianmu tidak berada di bawah
tua bangka tidak berguna yang baru saja kubunuh!"
Targoutai baru teringat untuk mengajukan perta-
nyaan. "Siapa yang kau maksudkan, Orang Asing Keparat"!" Citra Sari telah lebih
dulu memotong sebelum Arya sempat mengajukan pertanyaan.
"Pendekar Golok Salju! Dia...."
"Keparat! Kubunuh kau...!"
Citra Sari yang sudah setengah menduga tokoh
yang dimaksudkan Targoutai langsung menggeram
murka. Ia mendengar dengan telinganya sendiri tokoh yang baru saja tewas di
tangan Targoutai lah Pendekar Golok Salju, ayahnya. Gadis kaian biru itu
menerjang dengan pukulan-pukulan berantai ke arah dada dan
ulu hati. Serangan-serangan yang mematikan dan da-
pat mengirim nyawa Targoutai ke akherat
"Hmh...!"
Targoutai mengeluarkan dengusan menghindari
hidungnya. Kemudian, dengan kecepatan gerak yang
mengejutkan, tangan kanan lelaki berpakaian dari bu-lu binatang itu terulur.
Arya tampak kaget ketika melihat tangan Targoutai mampu menangkap pergelangan


Dewa Arak 73 Pembantai Dari Mongol di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Citra Sari. Dengan kesigapan yang mengagumkan, Targou-
tai membanting tubuh Citra Sari melewati kepala lelaki Mongol itu sendiri.
Targoutai melakukan bantingan itu sambil membalikkan tubuh.
Dewa Arak yang sudah sejak tadi bersikap sia-
ga untuk menjaga keselamatan Citra Sari, karena tidak sempat mencegah gadis
berpakaian biru itu menye-
rang, tidak tinggal diam. Pemuda berambut putih ke-
perakan ini tahu bantingan seorang tokoh seperti Targoutai tidak bisa dianggap
ringan. Meski Citra Sari memiliki kepandaian tinggi dan tenaga dalam yang lu-
mayan, tulang-tulangnya akan hancur berantakan.
Itu sebabnya, Arya segera bertindak cepat. Be-
gitu tubuh Citra Sari diayunkan untuk dibanting pe-
muda itu menghentakkan kedua tangannya ke arah
Citra Sari. Wusss! Dari dua tangan yang dipukulkan terbuka itu
meluncur segundukan angin keras. Hembusan angin
itu tidak berbahaya karena Arya mengirimkan untuk
melemparkan tubuh Citra Sari jauh-jauh. Setidak-
tidaknya membuat daya banting tubuh Citra Sari pu-
pus tertiup pukulan jarak jauh itu.
Meski maksud Arya tidak terpenuhi sepenuh-
nya, tapi karena hembusan angin keras itu ayunan tubuh Citra Sari ke tanah
berkurang jauh. Ada kekuatan lain yang berusaha membawanya melayang ke samping.
Kekuatan ini sedikit banyak mengurangi lontaran tubuh Citra Sari ke tanah. Maka
meski tubuh Citra
Sari tetap terbanting, kekuatan bantingannya telah
berkurang amat banyak.
Targoutai tidak mempedulikan Citra Sari yang
bergulingan menjauh. Pandangan dan perhatian lelaki Mongol ini tertuju pada
Arya. "Kau lawan yang cukup berharga juga, Anak
Muda." Targoutai berkata sedikit gembira. "Sejak tadi kau belum memperkenalkan
diri. Apakah kau tak
punya nama atau julukan" Atau, kau takut menye-
butkannya barangkali" Aku yakin orang dengan ke-
pandaian seperti kau pasti memiliki julukan. Tua
bangka tolol yang baru saja kubunuh itu pun mempu-
nyai julukan. Pendekar Golok Salju. Hmh! Sebuah ju-
lukan yang terlalu berlebihan!"
"Aku bukan seorang pengecut, Targoutai!" tandas Arya agak keras, tersinggung
dengan ejekan Tar-
goutai. "Kalau kau ingin tahu namaku, akan kuberikan. Namaku Arya Buana. Tapi,
lebih dikenal dengan
panggilan Arya saja. Singkat bukan?"
"Arya Buana" Nama yang cukup bagus!" puji Targoutai datar. "Apakah kau hanya
mempunyai nama saja, Buana" Tidak julukan" Apakah kau tidak punya
julukan, Buana" Eh, bolehkan kalau aku memanggil-
mu Buana?"
Arya tersenyum getir.
"Aku tidak keberatan, Targoutai!. Kau bebas
untuk memanggilku. Mengenai julukan memang kua-
kui aku memilikinya. Tapi aku yakin tidak terlalu berarti." Arya memutuskan
untuk lebih dulu mengecil-kan diri sebelum memberikan julukannya. Pemuda be-
rambut putih keperakan ini yakin Targoutai telah
mendengar julukannya. Bukankah julukan Dewa Arak
telah tersebar di dunia persilatan sebelum julukan Malaikat Utara dan yang lain-
lainnya" "Biarlah, Buana. Aku yakin julukan yang kau
sandang cukup bagus. Mungkin Pendekar Berambut
Perak atau Pendekar Berambut Siluman. Boleh jadi
malah Pendekar Berambut Tua." Targoutai mengajukan dugaan yang lucu-lucu.
"Salah semua, Targoutai!" Arya menggeleng.
"Yang benar, julukanku adalah.... Dewa Arak...!"
"Apa..."!"
Targoutai terjingkat ke belakang seperti disen-
gat ular berbisa. Sepasang mata lelaki Mongol ini
membelalak lebar. Wajahnya menampakkan keterkeju-
tan. "Dewa Arak..."!"
"Benar. Itulah julukanku, Targoutai. Sebuah ju-
lukan yang sederhana. Sesederhana kepandaian yang
kumiliki," Arya merendahkan diri.
"Kurasa tidak!" Targoutai menggelengkan kepala. "Sebelum mati Pendekar Golok
Salju berkata kepa-daku, kalau aku berniat menjajagi kepandaian jago
nomor satu dunia persilatan negeri ini, aku harus
mencari seorang tokoh yang berjuluk Dewa Arak. To-
koh ini masih muda tapi memiliki kepandaian hebat.
Bahkan, kata Pendekar Golok Salju kepandaian empat
datuk sesat masih berada di bawah Dewa Arak! Jadi,
kalau aku telah mengalahkan Dewa Arak, katanya ba-
ru aku boleh menganggap diriku jago tidak terkalah-
kan di negeri ini! Sungguh tidak kusangka aku dapat bertemu denganmu, Dewa Arak!
Silakan bersiap untuk
bertarung!"
"Berita yang kau dapat terlalu berlebihan, Targoutai. Banyak tokoh persilatan
negeri ini yang memiliki kepandaian melebihi ku. Malah beberapa tokoh
yang kutemui mampu mengalahkanku tanpa berkerin-
gat sama sekali. Tanpa menggeser kaki dari tempatnya berdiri. Jadi, ucapan
Pendekar Golok Salju mengenai kepandaian yang kumiliki dan tokoh tersakti negeri
ini adalah aku, hanya isapan jempol belaka. Tapi, tentu saja aku tidak takut
untuk meladeni mu bertarung!"
"Bagus! Silakan jaga ini, Dewa Arak!"
Targoutai membuka serangan dengan sebuah
tusukan tangan kanan. Jari telunjuk dan tengahnya
diluruskan, menotok ke arah dahi Arya. Bunyi berdecit nyaring mengiringi
luncuran jari-jari tangan itu. Jari-jari itu mampu melubangi dahi Dewa Arak.
Arya tidak ingin membuat lawannya berbesar
hati. Ia memiringkan kepala sedikit. Lalu, menangkis dari dalam dengan tangan
kirinya. Trakkk! Rrrttt!
"Eh..."!"
Dewa Arak terperanjat ketika pergelangan tan-
gan kirinya membentur tangan lawan. Dengan gerakan
laksana ular, tangan Targoutai berhasil mencekal pergelangan Dewa Arak. Bahkan,
sebelum Arya sempat
berbuat sesuatu, tubuhnya telah di-angkat ke atas dan dibanting ke tanah.
Tapi Targoutai kecewa kalau mengira akan se
mudah itu menaklukkan Dewa Arak. Ketika tubuhnya
dibanting, karena tidak sempat mengerahkan tenaga
dalam untuk memberatkan tubuh, Dewa Arak sempat
mengirimkan sebuah tendangan belakang!
Laksana ular, tangan Targoutai berhasil membe-
lit salah satu pergelangan Dewa Arak. Bahkan, sebelum Arya sempat berbuat
sesuatu, tubuhnya telah diangkat
tinggi-tinggi ke atas oleh tokoh dari mongol itu! Dan...
siap dibanting ke tanah!.
Desss! Tendangan Dewa Arak itu keras bukan main.
Dan mendarat di sasaran dengan telak, di dada. Tar-
goutai terhuyung-huyung ke belakang. Sedangkan
Arya sebelum tubuhnya membentur tanah telah men-
gerahkan tenaga dalam untuk mencegah kerusakan
tulang-tulang dan bagian dalam tubuhnya. Bagi orang dengan tingkat kepandaian
seperti Dewa Arak, melakukan hal seperti itu tidak terlalu sulit. Tubuhnya jadi
selunak kapas ketika berbenturan dengan tanah. Pemuda berambut putih keperakan
ini langsung menggu-
lingkan tubuh. Ketika Dewa Arak telah berdiri tegak, dilihatnya
Targoutai telah bersiap untuk melancarkan serangan
kembali. Arya sempat kaget. Sikap Targoutai menun-
jukkan tokoh dari Mongol ini biasa-biasa saja. Segar-bugar seperti tidak
terluka. Padahal, Dewa Arak yakin tendangannya bersarang dengan telak. Ataukah
tadi hanya perasaannya saja" Arya jadi bingung sendiri.
Targoutai kelihatan tidak terluka. Padahal, tendangan itu cukup untuk
menghancurkan batu karang paling
keras sampai hancur berkeping-keping! Tapi, kenya-
taannya" Arya tidak memiliki kesempatan untuk berpikir
lebih lama. Targoutai telah kembali menerjang. Serangan-serangan lelaki dari
Mongol ini sempat membuat
Arya gelagapan karena penuh dengan gerakan-gerakan
aneh. Tidak hanya menangkis, mengelak, memukul,
atau menendang, tapi sering dipenuhi dengan tangka-
pan-tangkapan. Diikuti dengan gerakan membanting
atau memuntir yang sanggup mematahkan tulang-
tulang lawan. Dewa Arak tidak tahu ilmu yang diguna-
kan lawannya. Tapi, dia tahu Targoutai seorang lawan yang amat tangguh! Maka,
Arya segera menggunakan
ilmu 'Belalang Sakti' yang menjadi andalannya.
Begitu bergebrak beberapa jurus, baik Targou-
tai maupun Dewa Arak harus mengakui di dalam hati,
lawan yang dihadapi tangguh bukan main. Targoutai
merasa sempat gembira mendapat lawan yang setim-
pal. Lelaki dari Mongol ini telah menguras seluruh kemampuan dan kecepatannya.
Tapi, ia tetap tidak
mampu menangkap dan melumpuhkan Dewa Arak.
Malah serangan-serangannya banyak yang kandas.
Dewa Arak demikian licin laksana belut!
Yang membuat Targoutai lebih penasaran ada-
lah ketika melihat gaya Dewa Arak mengandaskan se-
rangannya. Dengan gerakan aneh yang sebagian besar
dilakukan dengan langkah terhuyung-huyung, Arya
berhasil mengelakkan semua serangan. Kadang-
kadang pemuda itu berlari-lari di tempat, berputar
mengelilingi Targoutai. Namun yang lebih gila adalah ketika Dewa Arak memapaki
datangnya serangan dengan tubuhnya. Tapi hebatnya, justru dengan gerakan
itu Dewa Arak dapat lolos dari serangan!
Hal lain yang membuat Targoutai kagum ada-
lah karena Dewa Arak tidak hanya memiliki kehebatan dalam mengelak. Serangan-
serangannya pun luar biasa. Bila mengelak tubuh pemuda berambut putih ke-
perakan itu seperti lemas tidak bertulang. Dan, sewaktu melancarkan serangan
tampak kokoh dan kuat. Ti-
dak hanya tangan, kaki, atau gucinya yang digerakkan Arya, tapi juga semburan
araknya! Targoutai harus
mengakui Dewa Arak adalah lawan paling berat yang
pernah dihadapinya.
Tapi, bukan hanya Targoutai saja yang merasa
kagum. Dewa Arak pun demikian. Berkali-kali seran-
gan yang dilancarkan mendarat di berbagai bagian tu-
buh yang berbahaya, tapi hasilnya tidak terlihat sama sekali. Tubuh Targoutai
bagaikan terbuat dari baja. Tidak bergeming sedikit pun. Meski setiap kali
serangan Arya mendarat, tubuh lelaki dari Mongol ini terjengkang ke belakang.
Namun, ia segera maju kembali
dengan semangat berlipat ganda.
Untuk kesekian kalinya, Dewa Arak dan Tar-
goutai terhuyung mundur ketika tangan-tangan mere-
ka berbenturan. Tubuh mereka terhuyung tiga langkah ke belakang.
"Kau hebat, Dewa Arak!" Targoutai yang berwatak jantan, tak lupa untuk memuji.
Tulus dari lubuk hatinya yang paling dalam. Karena untuk pertama kalinya dia
bertemu lawan yang demikian tangguh.
"Kau pun tak kalah hebat, Targoutai!" Arya balas memuji.
Kedua tokoh itu tidak saling gebrak kembali.
Mereka berpandangan dalam jarak sekitar dua tom-
bak. Sepasang mata kedua orang itu memancarkan
kekaguman terhadap orang yang berdiri di hadapan-
nya. Tapi, di dalam kekaguman itu terpancar perasaan penasaran.
Targoutai memutar lembingnya di atas kepala
hingga mengeluarkan bunyi mengaung. Kemudian,
dengan langkah silang dan satu-satu, didekatinya De-wa Arak yang tetap berdiri
di tempatnya. Tapi, tiba-tiba Targoutai menghentikan lang-
kahnya. Bahkan, ayunan lembingnya dihentikan. Se-
pasang matanya menatap lurus ke belakang Dewa
Arak. Arya yang tahu kegagahan Targoutai dan tak
mungkin tokoh ini akan membokongnya, tanpa curiga
segera menolehkan kepala ke belakang untuk melihat
apa yang telah membuat Targoutai bertindak demi-
kian. 7 Beberapa tombak, mungkin sekitar sepuluh
tombak lebih di belakang Dewa Arak tampak berdiri
dua sosok lelaki yang mengenakan seragam pasukan
kerajaan. Melihat topi dan hiasan yang dikenakan di atas kepala, Dewa Arak yakin
kedua orang ini adalah Bangsa Mongol. Bangsanya Targoutai!
Kenyataan ini membuat jantung Dewa Arak
berdetak lebih cepat. Satu lawan saja belum bisa dis-elesaikan sekarang muncul
dua lagi. Meski belum ke-
tahuan kemampuannya, tapi sedikit banyak menam-
bah kekuatan lawan. Dan lagi, Dewa Arak jadi khawa-
tir akan keselamatan Citra Sari.
Tampak salah seorang dari kedua lelaki berse-
ragam aneh itu menuding. Kepada siapa sosok itu me-
nunjuk, Arya bisa memperkirakan. Tapi, yang jelas
sambil menunjuk kedua lelaki itu berseru. Karena terlalu pelan, Arya tidak mampu
mendengarnya. Saat itulah Dewa Arak mendengar seruan yang
membuatnya merasa heran.
"Sayang sekali ada gangguan, Dewa Arak. Lain
kali aku akan mencarimu untuk meneruskan perta-
rungan kita!"
Arya telah hafal siapa pemilik suara itu meski
baru mendengarnya beberapa kali. Secepat kilat kepalanya ditolehkan ke tempat
Targoutai berdiri. Tapi, Targoutai hanya melemparkan senyum sebelum membalikkan
tubuh dan melesat meninggalkan tempat itu.
Dalam beberapa kali lompatan, tubuh lelaki perkasa
dari Mongol itu telah berubah menjadi titik hitam yang semakin mengecil di
kejauhan. Arya yang masih kebingungan dan heran meli-
hat sikap Targoutai yang seperti ketakutan, tidak
mampu mencegah kepergian lelaki dari Mongol itu. Dia hanya dapat menatap
kepergian Targoutai dengan
pandangan kagum.
Pemuda berambut putih keperakan ini baru
menolehkan kepala ketika mendengar bunyi langkah
kaki mendekati tempatnya. Ternyata dua orang yang
mengenakan seragam pasukan aneh itu.
"Sayang sekali.... Lagi-lagi dia lolos...!" ujar salah seorang yang bertubuh


Dewa Arak 73 Pembantai Dari Mongol di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

agak kurus. "Ini berarti banyak lagi orang yang akan menja-di korbannya," sambung temannya.
Seperti juga rekannya, logat bicara orang kedua ini pun terdengar
aneh dan menggelitik di telinga.
"Sebenarnya ada apa, Tuan-tuan?" tanya Arya ingin tahu, setelah yakin kedua
orang prajurit Mongol ini tidak bermaksud jahat. Mereka agaknya bukan kawan
Targoutai. "Sebenarnya ini urusan pribadi kami". Pasukan Mongol yang bertubuh agak kurus
menjawab setelah
terlebih dulu menghela napas panjang. Ucapan yang
dikeluarkannya satu-satu dan terputus-putus. Terlihat kalau dia sulit mencari
kata-kata, "Tapi... karena Targoutai telah bentrok dengan saudara, tidak ada
salahnya kalau kami menceritakannya...."
"Benar." Prajurit Mongol yang satu membantu rekannya yang terdiam dengan kening
berkerut "Targoutai adalah anggota suku kami. Dia seorang jagoan nomor satu di
negeri kami. Kegemarannya adalah
mengadu ilmu. Tanpa sepengetahuan pemerintah ka-
mi, Targoutai ikut rombongan pasukan. Untung kami
dapat mengetahui dia ikut pergi meninggalkan negeri.
Maka, kami diperintahkan untuk membawa Targoutai
kembali agar tidak menimbulkan bencana di negeri ini, khususnya terhadap orang-
orang persilatan."
"Sayang, kami terlambat." Prajurit Mongol yang
bertubuh agak kurus kembali berbicara. "Dia telah menimbulkan cukup banyak
malapetaka. Tapi, beruntung kami lebih dulu datang sebelum kau dicelakai."
"Terima kasih atas pertolongan Tuan-tuan. Ka-
rena kedatangan Tuan-tuan, aku bisa selamat. Terima kasih," ujar Arya dengan
sikap dongkol yang disembunyikan. Pemuda berambut putih keperakan ini merasa
jengkel. Ucapan Prajurit Mongol itu menunjukkan ia
memandang rendah dirinya. Padahal, dia yakin belum
tentu kalah menghadapi Targoutai yang orang asing!
"Tidak mengapa. Sudah kewajiban kami untuk
mencegah tindakan sewenang-wenang Targoutai," sahut Prajurit Mongol yang
bertubuh agak kurus. Ia tersenyum seraya mengangguk-anggukkan kepala.
Arya semakin jengkel melihatnya. "Bagaimana
mungkin Targoutai bisa kalian tangkap" Menurut pen-
glihatanku, kalian berdua bukan tandingan Targoutai yang demikian lihai!"
Perasaan jengkel membuat Arya tidak ragu-ragu menyatakan penilaiannya.
"Tidak perlu heran," prajurit Mongol yang bertubuh kurus memberikan jawaban.
"Meski kami berdua bukan tandingan Targoutai, tapi Targoutai tidak berani
melawan kami. Dia tidak ingin melawan pasukan kerajaan, pasukan pemerintah.
Targoutai tidak
mau menjadi pemberontak. Jadi, apabila terjepit dia pasti akan menyerah. Dan,
selama bisa kabur, dia
akan kabur!"
Sekarang Arya baru mengerti. Saat itu pula dia
teringat pada Citra Sari. Betapa kagetnya hati pemuda berambut putih keperakan
itu. Ia tidak melihat kebe-radaan Citra Sari di situ.
"Citra...!" Arya mengerahkan tenaga agar pang-gilannya bisa terdengar sampai
jauh. Dua prajurit Mongol tampak terperanjat men-
dengar teriakan yang seperti ledakan halilintar itu. Me-
reka saling berpandangan dengan sikap takjub. Kemu-
dian, bergegas melanjutkan langkah melakukan penge-
jaran terhadap Targoutai!
Sementara Arya sambil memanggil-manggil
mengedarkan pandangan. Pemuda berambut kepera-
kan ini merasa khawatir akan keselamatan Citra Sari.
Ketika pandangan Arya tertumbuk pada bangunan cu-
kup megah di kejauhan, kekhawatirannya pun mulai
berkurang. Dia yakin Citra Sari berada di sana. Pemu-da itu segera melangkah
menuju ke sana.
Dugaan Arya ternyata tepat Begitu mendekati
tembok yang mengelilingi bangunan, dari dalam ter-
dengar isak tangis. Ketika Arya tiba di depan pintu gerbang yang terbuka lebar,
terlihat Citra Sari tengah menangis seraya memangku sesosok tubuh yang telah
terkulai lemas.
Dewa Arak tahu tidak ada yang bisa dilaku-
kannya sekarang ini. Obat yang paling baik bagi Citra Sari saat ini adalah
menangis. Maka, Arya tidak meng-ganggunya. Bahkan tidak masuk ke dalam pintu
ger- bang. Ia malah mengayunkan kaki meninggalkan tem-
pat itu. Arya sibuk dengan alun pikirannya. Bagaimana caranya dia dapat
menaklukkan Targoutai yang demikian lihai"
*** Lapangan tanah yang ditumbuhi rumput-
rumput kecil dan tidak hijau itu cukup luas. Bahkan sangat luas. Tapi, saat itu
tanah lapang yang luas tidak cukup untuk menampung banyaknya orang yang
berkumpul. Orang-orang dengan berbagai macam ku-
lit, beraneka model pakaian, dan berlainan rupa dan tingkah laku. Tapi, yang
jelas mereka semua adalah
orang-orang persilatan. Dan, yang lebih jelas lagi dari golongan hitam.
Jumlah orang-orang golongan hitam itu kurang
lebih dua ratus orang. Mereka semua berdiri mengelilingi sebuah panggung
berbentuk persegi panjang.
Tinggi panggung itu dua tombak. Cukup tinggi!
"Hih!"
Dari kerumunan ratusan orang tokoh golongan
hitam itu meloncat ke atas sesosok bayangan. Ia bersalto beberapa kali di udara
sebelum menjejakkan kaki dengan ringan di lantai panggung.
"Wahai kawan-kawan sehaluan, dengarkan
baik-baik...!"
Sosok yang ternyata seorang pemuda berpa-
kaian mewah dan berwajah tampan membuka suara
seraya mengangkat tangannya ke atas tinggi-tinggi.
Bunyi riuh-rendah seperti tawon marah yang
tadi terdengar pun segera terhenti. Suasana mendadak senyap. Pemuda berpakaian
mewah yang mengenakan
sabuk dari benang emas, yang terselip suling dan
cangklong di sana, memang mengerahkan tenaga da-
lam. Hingga, suaranya tak kalah dengan ledakan halilintar. "Aku adalah Dewa
Tampan Dari Selatan. Datuk wilayah selatan. Aku berdiri di sini karena ingin
mengajukan diriku sebagai datuk tidak hanya di wilayah selatan saja, tapi juga
di tiga mata angin lainnya. Aku telah menguasai satu mata angin. Dan, dua mata
angin lain tidak dikuasai oleh seorang datuk pun. Maka, aku mengajukan diri
untuk menjadi penguasa atau datuk yang merajai wilayah utara dan barat pula.
Siapa yang tidak setuju harap maju untuk menjajal kemam-puanku!"
Ratusan tokoh persilatan yang datang karena
mendengar kabar akan dilangsungkan pemilihan da-
tuk nomor satu, tentu saja tidak memenuhi tantangan itu. Sebagian besar di
antara mereka hanya ingin menyaksikan jalannya pertarungan. Sebagian lain karena
ingin mendapat seorang pemimpin untuk dijadikan
tempat meminta tolong bila berhadapan dengan kaum
golongan putih.
"Kau terlalu sombong, Dewa Tampan!"
Terdengar seruan parau menyambuti tantangan
Dewa Tampan Dari Selatan, setelah beberapa saat la-
manya tantangan itu tidak mendapat tanggapan. Be-
lum juga gema ucapan itu lenyap, sesosok tubuh melesat cepat melompat ke atas
panggung. Ia bersalto beberapa kali di udara. Kemudian, melemparkan seutas
tambang ke lantai panggung.
Cappp! Laksana sebatang tombak, tambang yang pan-
jangnya tak lebih dari empat tombak itu menancap di lantai panggung yang terbuat
dari papan tebal dan
kuat. Sekejap kemudian, pemilik seruan itu telah menjejakkan salah satu telapak
kakinya di ujung tambang yang menegang seperti sebatang tombak.
Seketika tepuk tangan membahana menyambut
pertunjukan tenaga dalam yang luar biasa ini.
*** Sosok yang hinggap di atas tambang yang me-
negang kaku itu adalah seorang lelaki setengah baya.
Berkepala botak dan berpakaian coklat. Gelang-gelang hitam melingkari
pergelangan tangan kanan dan kirinya. "Setan Timur...!" desis beberapa mulut
dari bawah panggung.
Setan Timur membusungkan dadanya. Sepa-
sang matanya merayapi wajah-wajah yang berada di
bawah panggung dengan sinar menantang. Tapi, setiap tokoh yang menerima
tantangan Setan Timur menundukkan kepala, khawatir akan disuruh maju atau ter-
kena amukan lelaki berkepala botak itu. Seorang tokoh sesat seperti Setan Timur
memiliki perangai yang sukar ditebak. Bisa saja tanpa alasan membunuh orang
yang kebetulan tidak menyenangkan hatinya.
"Aku mengajukan diri sebagai datuk nomor sa-
tu untuk seluruh mata angin! Barang siapa yang tidak setuju silakan maju dan
melawanku!" teriak Setan Timur lantang.
Suasana langsung hening ketika datuk nomor
satu wilayah timur itu menyelesaikan perkataannya.
Tak ada seorang pun yang memberikan sambutan. Se-
bagian besar tokoh malah saling pandang. Sisanya
menundukkan kepala dan mencari-cari tokoh yang
merupakan tandingan Setan Timur, yaitu Dewa Tam-
pan Dari Selatan.
Dewa Tampan Dari Selatan sendiri tetap bersi-
kap tenang. Pemuda berpakaian mewah yang datang
bersama pengikutnya, seperti juga Setan Timur, den-
gan sikap angkuh bermain-main dengan cangklong-
nya. Kepulan asap sesekali dikeluarkan dari mulutnya.
Keheningan suasana langsung pecah dan se-
mua kepala, tak terkecuali datuk timur dan selatan, menoleh ke atas ketika
terdengar bunyi mendesing tajam yang menyakitkan telinga.
Dari belakang kumpulan tokoh-tokoh persila-
tan melesat sesosok tubuh berpakaian bulu binatang
dengan kecepatan menakjubkan! Semua mata membe-
lalak penuh kekaguman. Sosok itu berdiri di atas busur anak panah yang tengah
meluncur. Ketika telah berada di atas kepala kumpulan
tokoh persilatan yang berada di sekitar panggung, sosok yang tidak lain
Targoutai menekan kaki kanannya
yang berada di depan. Maka, luncuran anak panah
menukik ke bawah, ke arah punggung.
"Aku yang akan maju dan menjajal kepan-
daianmu, Setan Timur!" seru Targoutai lantang.
Setan Timur telah dapat menguasai rasa kaget-
nya. Ketika melihat anak panah yang dikendalikan
Targoutai meluncur ke arahnya, buru-buru tubuhnya
dilempar ke belakang dan bersalto beberapa kali di
udara. Ia mendarat di pinggir lantai panggung.
Targoutai tidak meneruskan serangannya. Dia
berhasil mendaratkan anak panah itu di lantai pang-
gung secara menakjubkan. Kemudian, berdiri di ten-
gah-tengah menatap di sekitar bawah panggung.
"Aku dari Mongol. Sebuah negeri yang jauh.
Kedatanganku kemari untuk menantang jago-jago no-
mor satu negeri ini! Siapa yang merasa memiliki ke-
pandaian, silakan maju! Tapi, sebelumnya aku akan
menghadapi Setan Timur lebih dulu!"
Setan Timur melangkah mendekati Targoutai
yang berdiri tegak di tengah panggung.
"Jadi..., kau rupanya tokoh yang telah membu-
nuh Raksasa Barat dan Malaikat Utara"!" tanya Setan Timur mencoba bersikap penuh
wibawa meski jan-tungnya berdebar. Diam-diam lelaki berkepala botak
ini memang telah mengkhawatirkan kedatangan Tar-
goutai. Dan, ternyata kekhawatirannya beralasan!
"Benar!" Targoutai mengangguk. Dicabutnya lembing yang tadi diselipkan di
belakang punggungnya. "Sekarang bersiaplah untuk menerima kematian di tangan
Targoutai!"
"Orang asing yang sombong! Kaulah yang akan
tewas di sini! Mati tanpa ada yang mengurusi kubu-
ranmu!" Setan Timur mendahului mengirimkan seran-
gan. Pisau yang telah tergenggam di tangan sewaktu
dia maju menghampiri Targoutai langsung ditusukkan
bertubi-tubi ke arah sepasang mata lelaki perkasa dari Mongol ini. Setan Timur
yang telah mendengar kekebalan tubuh Targoutai tidak berani bertindak gegabah.
Ia langsung mengirimkan serangan pada bagian tubuh
yang diketahuinya tidak akan bisa dibuat kebal!
Targoutai melompat ke belakang dan mengi-
rimkan serangan dengan tusukan lembingnya. Setan
Timur terpaksa melompat ke atas. Lelaki berkepala botak ini bersalto beberapa
kali untuk mendekati Targoutai. Dari atas ia mengirimkan tusukan-tusukan ke
arah mata lelaki dari Mongol.
Targoutai yang banyak berpengalaman dalam
pertarungan segera bisa menduga maksud Setan Ti-
mur. Lelaki dari Mongol ini tahu lawan mengajaknya
bertarung dalam jarak dekat. Hal itu tidak diinginkan Targoutai. Dia melompat
mundur dan mengandalkan
jangkauan senjatanya yang panjang untuk mengirim-
kan serangan. Targoutai berusaha memaksa lawannya
terlibat dalam pertarungan jarak jauh. Senjata Targoutai yang berupa lembing
memang memiliki jangkauan
lebih jauh daripada sepasang pisau Setan Timur.
Pertarungan dua tokoh yang sama-sama hebat
itu segera saja menyita perhatian semua tokoh persilatan. Terutama Dewa Tampan
Dari Selatan. Pemuda in-
ilah yang kelihatan paling tertarik dengan jalannya pertarungan. Sepasang
matanya yang tajam hampir tidak berkedip.
Diam-diam Dewa Tampan Dari Selatan harus
mengakui kekhawatiran Setan Timur. Lelaki dari Mon-
gol, Targoutai itu, memang memiliki kemampuan luar
biasa. Beberapa kali dilihatnya apabila terjadi benturan senjata, tubuh Setan
Timur terhuyung-huyung ke
belakang sambil menyeringai kesakitan.
Bukan hanya itu saja keunggulan Targoutai.
Dewa Tampan Dari Selatan melihat keanehan ilmu-
ilmu Targoutai, di samping kekebalan tubuh dan kelin-cahan gerakannya. Ilmu aneh
yang membuat Setan
Timur kelabakan!
Dewa Tampan Dari Selatan tahu robohnya Se-
tan Timur hanya tinggal menunggu waktu saja. Tar-
goutai memang hebat bukan main. Ia memiliki ke-
mampuan di atas Setan Timur. Bahkan, Dewa Tampan
Dari Selatan pun menyadari tingkat kepandaiannya
masih berada di bawah Targoutai. Kecemasan pun me-
landa hati datuk wilayah selatan ini.
8 "Arrrggghhh...!"
Setan Timur menjerit memilukan hati. Lembing
Targoutai menembus perutnya hingga ke punggung.
Ketika lelaki dari Mongol itu menarik kembali lembingnya darah beserta usus
Setan Timur terburai keluar.


Dewa Arak 73 Pembantai Dari Mongol di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Setan Timur menatap tak percaya. Dia berdiri
gontai sebelum akhirnya ambruk untuk tidak pernah
bangkit lagi. Targoutai mengangkat lembingnya tinggi-tinggi.
Ditatapnya wajah-wajah tokoh persilatan yang berada di bawah panggung.
Lembingnya yang dipenuhi darah
menetes-netes di lantai panggung.
"Siapa lagi yang bersedia bertarung dengan
Targoutai"! Tidak ada lagikah tokoh sakti di negeri ini"
Hanya sampai di sini sajakah kemampuan datuk-
datuk persilatan negeri ini" Mengecewakan sekali!"
Tantangan bernada penghinaan dari Targoutai
membuat wajah orang-orang persilatan berubah me-
rah. Mereka merasa terhina oleh ucapan orang asing
seperti Targoutai yang meremehkan kemampuan jago-
jago negeri mereka.
Tapi hanya sampai di situ saja tindakan tokoh-
tokoh persilatan itu. Mereka tahu Targoutai amat pandai dan tidak akan dapat
ditandingi. Tanpa sadar semua pasang mata tertuju ke arah Dewa Tampan Dari
Selatan dan kelompoknya berada. Sebuah tempat yang
dibangun kelompok datuk selatan itu dengan memiliki atap dan kursi untuk pemuda
berpakaian mewah itu
duduk Dewa Tampan Dari Selatan tentu saja menge-
tahui maksud tatapan tokoh-tokoh persilatan, tapi dia tidak peduli. Pemuda ini
berpura-pura tidak tahu.
Dengan tenang, Dewa Tampan Dari Selatan menyibuk-
kan diri dengan cangklongnya.
Ketegangan terasa sekali melingkupi sekitar
tempat itu. Masing-masing tokoh merasakan jantung-
nya berdetak lebih cepat. Terutama sekali Dewa Tam-
pan Dari Selatan. Mau tidak mau ia harus berhadapan dengan Targoutai, kalau
tidak ingin nama besarnya
hancur berantakan karena dia dianggap takut!
"Aku yang akan menghadapimu, Targoutai!"
Seruan lantang dan nyaring memecahkan ke-
heningan. Dewa Tampan Dari Selatan yang bermaksud
bangkit dari kursinya dan menghadapi Targoutai jadi menahan keinginannya. Ia
duduk kembali di kursinya.
Belum lagi gema ucapan itu lenyap, sesosok
bayangan ungu berkelebat. Di hadapan Targoutai telah berdiri seorang pemuda
berambut putih keperakan.
"Ah...! Kiranya kau, Dewa Arak! Memang kau-
lah lawan yang kutunggu-tunggu!" seru Targoutai gembira.
Dewa Arak tersenyum pahit. Pemuda ini tidak
menanggapi seruan gembira lelaki dari Mongol itu.
Bahkan, Arya tidak mempedulikan pekikan-pekikan
tertahan tokoh-tokoh persilatan. Hampir sebagian besar tokoh persilatan telah
mendengar julukan Dewa
Arak yang menggemparkan. Dewa Tampan Dari Sela-
tan sendiri sampai menyipitkan sepasang matanya un-
tuk melihat lebih jelas tokoh yang telah lama didengar nama besarnya itu.
"Tidak usah banyak cakap lagi, Targoutai!" tandas Dewa Arak. "Bukankah kau
menantang jago-jago negeri ini" Meski aku bukan orang yang tersakti di negeri
ini, aku maju untuk memenuhi tantanganmu!"
"Apa pun katamu, Dewa Arak. Apabila aku te-
lah berhasil mengalahkanmu, berarti aku telah mengalahkan seluruh jago di
negerimu. Kau lawan terlihai yang pernah kuhadapi. Aku akan berbangga hati bila
sampai kalah di tanganmu, Dewa Arak!"
Targoutai menutup kata-katanya dengan se-
buah tusukan lembing ke arah lambung Dewa Arak.
Serangan itu berhasil dipatahkan Arya dengan men-
gayunkan gucinya ke depan. Ketika benturan terjadi, tubuh kedua orang itu
terhuyung-huyung ke belakang.
Targoutai yang bernafsu dapat merobohkan
Dewa Arak segera melancarkan serangan bertubi-tubi.
Dewa Arak menghadapinya dengan ilmu 'Belalang Sak-
ti'. Pertarungan tingkat tinggi pun berlangsung.
Hanya dalam sebentar saja pertarungan telah
memakan puluhan jurus. Dewa Arak mengeluh dalam
hati. Telah beberapa kali pukulan dan tendangannya
bersarang di tubuh Targoutai, tapi tak satu pun yang menimbulkan hasil.
Sebaliknya, beberapa kali pemuda berambut putih keperakan ini harus menguras
kemampuannya agar mampu lolos dari tangkapan kedua
tangan Targoutai. Arya tahu, sekali tertangkap bahaya besar akan mengancamnya.
Dewa Arak sadar jika keadaan berlangsung se-
perti ini terus, dia akan menderita kerugian. Harus di-
carinya cara lain agar dapat mengalahkan Targoutai.
Tapi, kekebalan Targoutai belum diketemukan kele-
mahannya. Serangan-serangannya dibiarkan saja oleh
Targoutai. Sebaliknya, serangan-serangan Targoutai
memaksanya untuk menangkis atau mengelak.
"Seranganmu bila kau lakukan melalui pukulan
atau tendangan akan bertemu dengan kulit tubuh
yang keras laksana kulit badak. Pergunakan serangan yang mampu mendarat di
sasaran tanpa terhalang
oleh kulit tubuhnya!"
Suara itu terdengar di telinga Dewa Arak. Arya
tahu suara itu dikirimkan dari jarak jauh. Ada seseorang yang memberi petunjuk
padanya. "Lihat ke belakang, Dewa Arak. Aku akan men-
gangkat tinggi-tinggi senjata yang dapat menembus
kekebalan tubuh orang Mongol itu. Ambillah." Lagi-lagi suara itu tertangkap
telinga Arya, saat pemuda itu ba-ru saja mengelakkan serangan Targoutai.
Arya melompat ke belakang menjauhi Targou-
tai. Pemuda itu menolehkan kepalanya ke belakang.
Tampak di bawah punggung, di deretan belakang, se-
batang bambu sepanjang hampir dua jengkal teracung
tinggi-tinggi ke atas. Arya tahu bambu itu adalah sebatang suling.
Pemuda berambut putih keperakan ini segera
bertindak cepat. Dia tahu kalau mengambil suling itu membutuhkan sedikit waktu.
Maka, kedatangan Targoutai yang memburunya dengan lembing di tangan,
disambutnya dengan pukulan jarak jauh dari jurus
'Pukulan Belalang'!
Bresss! Tubuh Targoutai terpental ke belakang ketika
hembusan angin keras berhawa panas menerpa tu-
buhnya. Kesempatan itu dipergunakan sebaik-baiknya
oleh Arya untuk mengambil suling yang teracung. Pe-
muda ini menjulurkan tangannya ke arah deretan ba-
wah punggung. Bagai ditarik oleh tangan tak nampak, suling yang berada sepuluh
tombak dari Arya terbang melayang! Lalu, Dewa Arak segera menangkapnya.
Dewa Arak segera duduk bersila dan menem-
pelkan suling itu ke bibirnya. Tepat pada saat itu Targoutai yang tidak
terpengaruh sedikit pun akibat pukulan jarak jauh jurus 'Pukulan Belalang'
bergerak bangkit dan melesat ke arah Dewa Arak. Padahal, bi-
asanya jurus 'Pukulan Belalang' telah cukup untuk
membuat melayang tokoh yang bagaimanapun tang-
guhnya. Tubuh korban akan menghitam menjadi
arang. Terjangan Targoutai langsung terhenti di tengah jalan ketika bunyi suling
yang ditiup Dewa Arak mulai terdengar. Bunyi yang mengalun laksana gen-dang
perang. Dalam tiupan suling itu seakan terdengar derap kaki puluhan ekor kuda,
dentang senjata bera-du, dan jeritan kematian yang menyayat hati.
Bunyi seperti itu yang didengar orang-orang
yang berada di bawah panggung. Tapi tidak demikian
halnya dengan Targoutai. Tidak hanya bunyi itu yang tertangkap telinganya. Tapi,
kehebatan serangan yang terkandung di dalamnya. Bunyi yang bagi orang lain
terdengar mengasyikkan bagi Targoutai amat mengeri-
kan. Tidak hanya telinganya saja yang sakit, isi dadanya pun seperti dikoyak-
koyak! Targoutai tahu adanya ancaman bahaya. Maka,
terjangannya dihentikan. Lelaki perkasa dari Mongol ini lalu mencabut dua batang
anak panah dan meng-gosok-gosokkannya. Terdengar bunyi bergerit nyaring yang
semakin lama semakin meninggi. Targoutai berusaha menahan gelombang serangan
bunyi suling Dewa
Arak dengan suara gesekan anak panahnya.
Tokoh-tokoh rendahan dan sebagian besar to-
koh persilatan menatap pertarungan ini dengan pera-
saan heran. Tapi tidak demikian halnya dengan Dewa
Tampan Dari Selatan dan beberapa tokoh tingkat ting-gi. Mereka tahu antara Dewa
Arak dan Targoutai ten-
gah terjadi pertarungan mati-matian. Pertarungan tenaga dalam. Selisih tenaga
dalam yang sedikit akan
membuat nyawa salah seorang di antara mereka me-
layang ke alam baka.
Keadaan Dewa Arak dan Targoutai semakin
mengkhawatirkan. Wajah kedua tokoh itu dipenuhi pe-
luh sebesar biji jagung. Bahkan, dari atas kepala mereka mengepul uap putih yang
semakin lama semakin
tebal. Terlihat kepulan uap di atas kepala Dewa Arak jauh lebih sedikit.
Kedudukan pemuda itu memang lebih menguntungkan. Alat yang digunakan memung-
kinkan ia untuk dengan mudah mengubah bentuk pe-
nyerangan. Kenyataan ini membuat Targoutai kewala-
han! Pyarrr! Bersamaan dengan patahnya anak-anak panah,
tubuh Targoutai terjengkang ke belakang. Darah segar memancur deras dari
mulutnya. Namun, Targoutai benar-benar seorang tokoh yang mengagumkan. Dia ma-
sih mampu berdiri meski kedua kakinya menggigil ke-
ras. "Kau..., kau hebat, Dewa Arak. Aku mengaku
kalah...!" Targoutai masih sempat memberikan pujian sebelum tubuhnya ambruk ke
tanah. Targoutai yang
perkasa itu tewas.
Dewa Arak pun buru-buru bersemadi untuk
memulihkan tenaganya. Pemuda ini pun memuntah-
kan darah segar dari mulutnya. Bila ia tidak bertindak cepat dan segera
mengobati luka dalamnya bukan tak
mungkin dia akan pergi menyusul Targoutai.
Tewasnya Targoutai menimbulkan kegembiraan
pada orang-orang yang menyaksikan jalannya perta-
rungan. Tewasnya Targoutai telah menolong muka ja-
go-jago negeri ini. Telah terbukti kalau jago negeri ini tak kalah oleh jago
dari negeri Mongol!
Saat itulah Dewa Tampan Dari Selatan melom-
pat dari kursinya. Dengan gerakan manis, pemuda ini bersalto beberapa kali
kemudian menjejak lantai panggung tanpa menimbulkan bunyi sedikit pun.
"Aku mengajukan diri sebagai datuk nomor sa-
tu dunia persilatan! Siapa yang tidak setuju silakan maju dan tandingi aku!"
seru Dewa Tampan Dari Selatan lantang seraya mengepulkan asap cangklongnya.
Tidak ada tanggapan apa pun dari bawah pang-
gung. Mereka semua tahu siapa adanya Dewa Tampan
Dari Selatan. Melawan hanya mencari mati belaka. Dalam hati sebagian besar di
antara mereka memaki-
maki Dewa Tampan Dari Selatan yang licik. Tadi ketika Targoutai berdiri sebagai
penantang, pemuda pesolek ini berdiam diri saja mengulur-ulur waktu. Sekarang
setelah Targoutai tewas dan Dewa Arak terluka parah, baru Dewa Tampan Dari
Selatan maju. Sungguh licik!
Dewa Tampan Dari Selatan tertawa bergelak.
Gembira. "Jadi, tak ada orang yang berani melawanku"!
Berarti sekarang akulah datuk nomor satu untuk seluruh wilayah. Datuk golongan
hitam! Dan, kalian semua adalah pengikut ku! Ingat, siapa yang tidak taat akan
kubunuh! Kalian mengerti"!"
Dewa Tampan Dari Selatan mengedarkan pan-
dangan ke bawah punggung. Ditatapnya wajah-wajah
yang ada di sana dengan sinar mata bengis. Sedikit sa-ja terlihat adanya
tantangan, pemuda pesolek ini akan menurunkan tangan kejam!
"Dan perintah pertama ku adalah... bunuh pe-
muda ini!" Dewa Tampan Dari Selatan menuding ke arah Dewa Arak. "Dia seorang
tokoh tingkat tinggi golongan putih! Tak terhitung sudah rekan-rekan kita
yang tewas di tangannya. Bukan tidak mungkin kalau
kalian yang akan menjadi giliran selanjutnya. Maka, daripada dia menimbulkan
korban lagi di kalangan ki-ta, cepat lenyapkan saja!"
Seketika belasan tokoh-tokoh persilatan yang
berada di situ berlompatan ke atas punggung untuk
memenuhi perintah Dewa Tampan Dari Selatan. Sedi-
kit pun tidak terbit di hati mereka rasa terima kasih atas jerih payah Dewa
Arak. Memang, bagi orang-orang golongan hitam seperti mereka tidak ada yang
namanya balas budi. Yang ada hanya bertindak demi
keuntungan diri sendiri.
Begitu menjejak lantai panggung, belasan tokoh
persilatan itu langsung mencabut senjata masing-
masing dan mengayunkannya ke tubuh Arya yang ma-
sih sibuk mengobati luka dalamnya.
Dewa Tampan Dari Selatan sudah bisa mem-
perkirakan Dewa Arak akan tewas. Maka, dengan si-
kap tidak peduli dibalikkannya tubuhnya sambil ter-
senyum lebar. Pemuda ini menunjukkan kesan kalau
tewasnya Dewa Arak bukan merupakan masalah besar
baginya. Sehingga, tidak perlu diperhatikan.
Tapi, senyum Dewa Tampan Dari Selatan lang-
sung lenyap ketika mendengar teriakan-teriakan kesakitan yang susul-menyusul.
Tubuh-tubuh tokoh persi-
latan yang tadi menyerbu Dewa Arak berpentalan ke
sana kemari seperti daun-daun kering diterbangkan
angin. Dewa Tampan Dari Selatan membalikkan tu-
buhnya kembali untuk melihat keanehan itu. Wajah
pemuda ini pun langsung pias. Berdiri membelakangi
Dewa Arak yang masih duduk bersemadi, dua orang
kakek. Yang seorang berbadan besar dan bermuka mi-
rip kuda. Sedangkan yang satunya lagi bermuka kun-
ing. "Aa... Ayah..."!" desis Dewa Tampan Dari Selatan dengan suara terbata-bata.
Sepasang mata pemuda pesolek itu menatap
penuh rasa tak percaya pada kakek bermuka dua. Ka-
kek yang tak lain Raja Sihir Penyebar Maut ini tertawa.
Suara tawanya lebih mendekati ringkik kuda!
"Masih ada muka kau memanggil Ayah, Anak
Tak Tahu Diuntung"!" bentak Raja Sihir Penyebar Maut. Suaranya parau dan
lantang. "Kau sadar siapa kau sebelumnya" Hanya anak terlantar! Ku pungut
dan ku asuh kau sebagai anak sendiri! Ku wariskan
ilmu-ilmu tinggi. Tapi, setelah besar kau balas semuanya dengan memenjarakan aku
dan Raja Racun Sakti
yang tengah mengadakan pertemuan. Kau pikir aku
mati" Aku berhasil keluar bersama Raja Racun Sakti
dengan menggali sebuah terowongan! Sekarang aku
datang untuk membinasakan mu!"
Dewa Tampan Dari Selatan tahu tak ada am-
punan untuknya dari Raja Sihir Penyebar Maut yang
sebenarnya adalah ayah angkatnya. Kakek bermuka


Dewa Arak 73 Pembantai Dari Mongol di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kuda itu memiliki watak keji! Tak akan ada ampunan
bagi orang yang mengkhianatinya! Dewa Tampan Dari
Selatan teringat kembali akan tindakannya. Ayah angkatnya dan Raja Racun Sakti
mengadakan pertemuan
di sebuah goa di suatu puncak gunung. Dengan long-
soran, pemuda pesolek ini menutup pintu keluar goa.
Hal itu dilakukannya agar dia dapat mengambil pusa-
ka-pusaka milik Ayah angkatnya. Karena telah lama
dia menginginkannya tapi tak diberikan oleh Raja Sihir Penyebar Maut.
Sekarang, Dewa Tampan Dari Selatan segera
melompat menerjang Ayah angkatnya dengan
cangklongnya. Raja Sihir Penyebar Maut menyambut-
nya. Pertarungan pun berlangsung.
Di lain pihak, Raja Racun Sakti dengan men-
gandalkan nama besar dan kekuasaannya memerin-
tahkan semua tokoh persilatan yang berada di situ untuk pergi. Kakek ini yang
telah memberi petunjuk pada Dewa Arak dan juga memberikan suling untuk
mengalahkan Targoutai. Tokoh-tokoh persilatan pun meninggalkan tempat itu.
Tapi, perasaan tertarik membuat mereka sese-
kali menoleh ke belakang. Mereka ingin mengetahui
akhir pertarungan Raja Sihir Penyebar Maut dengan
Dewa Tampan Dari Selatan.
Niat mereka kesampaian. Belum berapa jauh
mereka melangkah terdengar jeritan menyayat hati.
Dewa Tampan Dari Selatan tewas dengan kepala re-
muk terhantam cakar Raja Sihir Penyebar Maut.
Dengan kemunculan Raja Sihir Penyebar Maut
dan Raja Racun Sakti, pertarungan untuk mempere-
butkan kedudukan datuk pun berakhir. Bertepatan
dengan tewasnya Dewa Tampan Dari Selatan, Dewa
Arak menyelesaikan semadinya.
"Kau hebat, Dewa Arak!" puji Raja Sihir Penyebar Maut. "Tanpa adanya kau,
mungkin orang asing itu akan mengira tidak ada tokoh negeri ini yang mampu
menandinginya. Kau telah menutup kesombongan-
nya." "Atas bantuanmu juga, Kek." Arya merendah.
Dia tahu kalau dua datuk ini yang telah memberikan
jalan padanya untuk mengalahkan Targoutai.
"Tak perlu merendah," Raja Racun Sakti membantah. "Bukan tidak mungkin suatu
saat kita akan berhadapan sebagai lawan. Sekarang, kami akan pergi.
Tapi bila terjadi pertemuan di antara kita, aku akan menantangmu bertarung!"
Dewa Arak hanya menghela napas berat. Dia
tetap diam ketika dua datuk golongan hitam itu berkelebat cepat meninggalkan
tempat itu. Tinggallah Dewa Arak dan mayat Targoutai di atas panggung. Mayat
lainnya telah dibawa pergi oleh kelompoknya masing-masing.
SELESAI Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
Kupu Kupu Iblis 2 Seruling Perak Sepasang Walet Karya Khu Lung Pedang Darah Bunga Iblis 16
^