Pencarian

Panggilan Ke Alam Roh 1

Dewa Arak 74 Panggilan Ke Alam Roh Bagian 1


PANGGILAN KE ALAM ROH Oleh Aji Saka Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting: Tuti S.
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Aji Saka Serial Dewa Arak
Dalam episode Panggilan Ke Alam Roh
128 hal; 12 x 18 cm
1 Angin bertiup kencang. Hujan turun dengan
deras laksana dicurahkan dari langit. Kilat yang sesekali muncul di langit
menyilaukan mata. Bunyinya
yang keras menggelegar mengiringi langkah kaki mun-
gil itu. Pemilik sepasang kaki mungil berlari tanpa mempedulikan keadaan alam
yang seperti tengah
mengamuk. Tubuh sosok terbungkus pakaian hijau
yang telah basah kuyup itu sesekali menggigil, karena dinginnya cuaca yang
ditimbulkan oleh deru angin
kencang. "Ukh...!"
Pemilik kaki mungil itu ternyata seorang wani-
ta muda. Usianya kira-kira dua puluh tahun. Ia men-
geluh tertahan ketika jatuh tertelungkup di tanah karena kakinya tersandung
batu. Lari gadis berpakaian hijau ini memang tidak tetap, terhuyung-huyung ke
sana kemari. Pandangannya tidak tertuju ke jalan melainkan menatap ke depan
dengan sinar mata kosong.
Matanya itu tampak sembab seperti habis menangis.
Wajahnya pun muram. Pendeknya, tidak terlihat kece-
riaan pada wajahnya.
"Ibu...!"
Bukannya bergegas bangkit dari jatuhnya, ga-
dis berpakaian hijau ini malah berseru tertahan. Terasa benar nada kepiluan
dalam suaranya. Sarat dengan kedukaan yang mendalam.
"Aku tidak tahan menanggung aib ini.... Lebih
baik aku pergi menyusulmu, Ibu...!" seru gadis berpakaian hijau meremas-remas
tanah berlumpur di de-
pannya. "Aku tak sanggup terus hidup.... Wahai, dewa petir sambarlah aku...!
Pertemukan aku dengan ibu-
ku...!" Seperti menyambuti ucapan gadis berpakaian hijau, petir menyambar keras
bagai hendak menghan-curkan bumi. Tapi, tidak menyambar gadis berpakaian hijau,
melainkan menghantam sebatang pohon yang
berada cukup jauh dari tempat gadis itu berada.
Gadis berpakaian hijau terkejut dan menatap
ke arah pohon yang terbakar hangus menjadi arang.
Tiba-tiba dia menggertakkan gigi. Wajahnya tampak
beringas! Sinar matanya menyiratkan pembunuhan!
Andaikata saat itu ada orang yang dibencinya di situ, mungkin telah diserangnya
habis-habisan. "Apabila aku mati, terlalu enak bagi bangsat
itu! Aku harus hidup dan membalas semua kekejian
yang ditimpakannya padaku. Akan ku cabik-cabik se-
luruh tubuhnya. Akan kubunuh dia! Akan ku jadikan
dia menyesal telah bermusuhan denganku!" desis gadis berpakaian hijau geram.
Entah karena sambaran petir, atau kesadaran
yang timbul dari hatinya, gadis berpakaian hijau yang semula tidak
memperlihatkan kemauan untuk hidup
kini terlihat penuh semangat. Pada sinar mata dan tarikan wajahnya terlihat
perasaan kejam. Ada sesuatu yang mengerikan di dalamnya.
Gadis berpakaian hijau bergegas bangkit berdi-
ri. Sesaat ia tegak di tempatnya. Matanya menatap tajam ke depan dengan sinar
mata penuh dendam. Ke-
dua tangannya terkepal dan mengejang kaku. Baru
sekarang terlihat kalau pakaian gadis berwajah cantik dengan tahi lalat di pipi
kanannya itu compang-camping di beberapa bagian. Bagian anggota tubuhnya yang
tidak tertutup tampak terlihat mulus.
"Demi langit dan bumi aku bersumpah akan
membalas dendam perbuatan keji itu. Akan ku cabik-
cabik tubuhnya. Akan kubuat dia menyesal dilahirkan
ke dunia ini. Ha ha ha...!"
Bagai orang kurang ingatan, gadis berpakaian
hijau tertawa terbahak-bahak. Sepasang matanya ber-
gerak liar, terlihat mengerikan. Beberapa saat kemudian, ia berlari cepat
meninggalkan tempat itu menuju puncak gunung!
Gadis berpakaian hijau tidak mempedulikan
hujan lebat yang mengguyur sekujur tubuhnya. Angin
dingin yang menusuk tulang serta kilatan petir yang diselingi bunyi menggelegar.
Langkah kakinya terus
diayunkan. Kali ini ia tidak terhuyung-huyung seperti sebelumnya. Air kecoklatan
bercampur tanah memer-cik ke sana kemari ketika kaki-kaki gadis berpakaian hijau
menjejak tanah.
*** "Nenek...!"
Dengan mengeluarkan seruan yang cukup lan-
tang, gadis berpakaian hijau itu menubruk sebuah
gundukan tanah tidak terurus. Tidak dipedulikannya
pakaian dan sekujur tubuhnya yang semakin kotor
dan berlepotan tanah lumpur. Gadis itu men-jatuhkan tubuhnya di sebuah gundukan
tanah kuburan. Saat itu hujan telah reda. Hanya tinggal geri-
mis saja. Angin pun tidak terlalu keras berhembus. Petir sudah tidak menyalak,
hanya kilatan-kilatan me-
nyilaukan di langit. Gadis berpakaian hijau tiba di tempat yang dituju. Ia
berlari tanpa henti hampir se-perempat hari. Padahal, gadis berpakaian hijau
telah menggunakan ilmu lari cepat
Pelan tapi meyakinkan, gelap mulai menyeli-
muti alam. Sang surya perlahan tenggelam di pera-
duannya. Hari telah petang. Gadis berpakaian hijau
telah berlari sejak siang hari. Sejak matahari seharus-
nya berada tepat di atas kepala.
"Nenek..."
Dengan terbata-bata karena menahan isak
tangis, gadis berpakaian hijau mengeluh tertahan.
"Cucumu sungguh bernasib amat malang, Nek.
Sekelompok penjahat datang menyatroni tempat ting-
gal kami. Ayah mereka bunuh. Sedangkan aku menga-
lami nasib yang mengerikan. Mereka memperkosa aku
secara brutal dan kasar...! Mereka menodai ku bergantian, Nek. Tiga hari tiga
malam mereka melakukannya.
Baru kemudian mereka meninggalkan aku pergi dan
memberi kesempatan padaku untuk membunuh diri."
Seperti mengadu pada seseorang yang masih
hidup dan tengah mendengar ucapannya, gadis ber-
pakaian hijau bercerita tersendat-sendat. Air matanya mengalir laksana air
sungai. "Aku tidak mau bunuh diri, Nek.... Aku bukan
seorang pengecut. Meski sebelumnya aku merasa lebih baik mati saja daripada
hidup. Aku merasa diriku begitu kotor sehingga aku jijik dengan diriku sendiri.
Aku jijik, Nek! Jijik...! Tapi, sekarang aku sadar. Aku tidak boleh tenggelam
dalam kedukaan ini. Aku harus membalas perlakuan binatang-binatang itu. Untuk
itu aku harus memiliki kepandaian tinggi. Binatang-binatang bermuka manusia itu
memiliki kepandaian
tinggi, Nek. Karena itu, aku datang kepadamu. Aku ingin meminta bantuanmu agar
dapat membalaskan sa-
kit hati ini. Bukankah kau dulu sering datang men-
jumpai ku dan mengatakan agar aku meminta perto-
longan padamu bila mendapat kesulitan" Malah, dulu
kau sering datang dan mengajarkan ku ilmu silat. Sekarang mengapa kau tidak
mengajarkan silat lagi pa-
daku, Nek"! Apakah kau takut terhadap Ayah, karena
aku mempelajari ilmu darimu" Jawablah, Nek, Tolon-
glah aku!"
Kedua tangan gadis itu memeluk gundukan ba-
tu nisan. Tubuh dan wajahnya menelungkupi gundu-
kan tanah. Gadis berpakaian hijau terus mengelua-
rkan semua uneg-uneg yang ada dalam dadanya.
Semakin lama seruan-seruan yang keluar dari
mulutnya semakin mengecil. Mungkin kelelahan kare-
na terlalu lama berlari dan menanggung beban yang
menghimpit batinnya. Gadis berpakaian hijau tertidur sambil memeluk gundukan
tanah. Dia tidak tahu ke-gelapan telah turun. Langit tidak terhias bintang dan
bulan. Langit mendung.
Waktu terus merayap, Tengah malam pun tiba.
Tepat pada saat itu hembusan angin mendadak keras.
Bunyi anjing hutan melolong panjang. Gadis berpa-
kaian hijau yang sejak tadi tertidur dengan tenang kini menggeliat gelisah.
Sesuatu dari alam lain masuk ke dalam mimpi
gadis itu. Gadis berpakaian hijau bermimpi bertemu
dengan seorang wanita berusia sekitar tiga puluh lima tahun. Tubuhnya padat
menggiurkan. Wajahnya pun
cantik. Terlalu cantik malah. Penuh daya pikat dan
penarik yang amat kuat! Wanita yang diketahui gadis berpakaian hijau sebagai
neneknya dan memiliki usia hampir tujuh puluh tahun! Gadis berpakaian hijau
tidak pernah tahu mengapa neneknya mampu membuat
dirinya terlihat awet muda.
"Nenek...!"
Dalam mimpinya gadis berpakaian hijau me-
manggil wanita cantik itu. Teriakannya tidak hanya
sarat dengan kegembiraan tapi juga keterkejutan. Neneknya dijumpai tidak dalam
keadaan seperti bi-
asanya. Tidak seperti dalam mimpi-mimpi sebelum-
nya. Nenek yang dulu di dalam mimpi sering menga-
jarinya ilmu silat kini tampak sangat mengenaskan
keadaannya. Neneknya di kelilingi bambu-bambu se-
tinggi manusia. Bambu-bambu itu berduri. Bagian
atasnya tertutup oleh bambu yang sama. Neneknya
terlihat ketakutan. Ia berputaran ke sana kemari mencari jalan keluar.
"Arum...! Arum Sari...! Cucuku, tolong be-
baskan aku dari kurungan terkutuk ini. Aku ingin
menolongmu. Tapi, aku tidak bisa keluar dari penjara keparat ini. Tolonglah aku,
Arum. Tolong...! Bukakan kurungan ini...!"
"Nenek...!"
Gadis berpakaian hijau yang bernama Arum
Sari menjerit di dalam tidurnya. Tidak hanya sekali, tapi berkali-kali. Arum
Sari yang merasa gelisah dalam tidurnya menggeliat ke sana kemari. Terdengar
keluhan tak jelas dari mulutnya.
"Uh...!"
Arum Sari baru terbangun dari tidurnya ketika
tubuhnya terguling dari gundukan tanah.
Arum Sari tercenung begitu sadar sepenuhnya.
Mimpi menyeramkan itu melekat kuat di benaknya.
Mungkinkah mimpi itu hanya merupakan bunga tidur,
ataukah memang kenyataan yang sebenarnya"
Arum Sari bingung memikirkan hal itu. Karena
memikirkan mimpi yang menyeramkan itu, Arum Sari
jadi tidak terlalu memikirkan keadaan sekelilingnya.
Kalau saja pikirannya tidak dipenuhi mimpi buruk
tentu Arum Sari akan ketakutan sekali berada di pe-
kuburan sendiri. Betapapun beraninya Arum Sari ada-
lah seorang wanita. Masih muda lagi.
Tapi, tak lama Arum Sari memikirkan mimpi
itu. Kelelahan amat sangat yang mendera lahir dan batinnya membuat gadis
berpakaian hijau itu merebah-
kan tubuhnya kembali di atas kuburan. Lagi-lagi
Arum Sari dihantui mimpi mengerikan itu. Mimpi bu-
ruk yang tadi mengganggunya datang kembali. Tidur
Arum Sari tidak tenang.
"Tolong, Arum...! Aku tidak betah dipenjara seperti ini. Aku ingin menolongmu,
Arum. Aku ingin berjumpa denganmu seperti dulu. Bebaskan aku dari
penjara ini, Arum...!"
Kembali neneknya Arum Sari yang awet muda
meminta tolong dengan suara meratap-ratap pilu.
"Bagaimana aku bisa membebaskan mu, Nek?"
Alam bawah sadar Arum Sari mengajukan pertanyaan.
"Aku ingin mengeluarkan mu, Nek. Tapi, bagaimana caranya. Tubuhku lemah sekali.
Urat-urat ku kaku
semua. Bahkan tenagaku seperti lenyap entah ke ma-
na. Aku tidak bisa menolongmu, Nek."
"Amat mudah kalau kau benar-benar ingin
menolongku, Arum!" Nenek gadis berpakaian hijau itu memberi petunjuk. "Jika kau
bangun dari tidurmu nanti, galilah, kuburan ku. Ambillah bambu runcing
kuning yang ditancapkan di atas peti mati ku. Maka, aku akan bebas."
Seperti disentakkan oleh sesuatu yang kasat
mata, Arum Sari tiba-riba membuka sepasang ma-
tanya. Gadis berpakaian hijau ini merasakan kantuk-
nya mendadak lenyap. Dia segera bertindak sigap.
Arum Sari tidak mempunyai pilihan lain. Dia
yakin mimpi yang dialaminya bukan sembarang mim-
pi, tapi sebuah petunjuk. Keyakinannya itu semakin
besar ketika teringat neneknya bukanlah orang sem-
barangan. Neneknya seorang tokoh yang lihai dalam
ilmu-ilmu gaib.
Arum Sari jadi berpikir. Beberapa puluh hari
yang lalu neneknya selalu hadir dalam mimpinya. Ia
mengajarkan ilmu-ilmu melalui mimpi. Tapi, hal itu
hanya berlangsung beberapa minggu, tepatnya dela-
pan belas hari. Ayahnya keburu mengetahui.
Ayahnya merasa curiga ketika melihat gadis
berpakaian hijau itu melatih ilmu silat yang diketahuinya tidak pernah
diajarkannya. Setelah didesak
bertubi-tubi, Arum Sari akhirnya membuka rahasia
siapa yang telah memberi pelajaran itu padanya. Dua hari kemudian neneknya Arum
Sari tidak pernah datang lagi di dalam mimpinya. Baru pada malam hari
ini, malam keempat puluh satu dari kematiannya,
Arum Sari bertemu kembali dengan neneknya dalam
mimpi. Itu pun setelah Arum Sari memanggil-manggil
neneknya dan tidur di kuburannya.
Arum Sari yang cukup cerdik mulai merasa ya-
kin ada hubungan antara ketidakhadiran neneknya di
dalam mimpi dengan terbukanya rahasia itu. Arum
Sari malah percaya neneknya terpenjara karena per-
buatan ayahnya. Gadis berpakaian hijau ini tahu
ayahnya tidak menyukai neneknya! Ayahnya Arum Sa-


Dewa Arak 74 Panggilan Ke Alam Roh di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ri memang seorang pendekar, sedangkan neneknya
Arum Sari seorang tokoh hitam.
Tanpa mempedulikan keadaan malam gelap
gulita, Arum Sari mulai menggali gundukan tanah ku-
buran neneknya. Ia mempergunakan sebatang ranting
yang ditemukannya berada di dekat tempat itu.
Arum Sari ternyata bukan seorang gadis le-
mah. Meski hanya dengan sebatang ranting, dia mam-
pu menggali tanah kuburan itu dengan cepat. Tidak
kalah cepat dengan lelaki bertenaga kuat yang meng-
gali dengan mempergunakan cangkul.
Dalam gelora semangat yang menggebu, Arum
Sari seperti mendapat tambahan tenaga baru. Tan-
gannya bergerak cepat bukan main. Tanah bergumpal-
gumpal berpindah ke sisi gundukan tanah kuburan.
Seperti telah bersepakat dengan Arum Sari,
langit yang semula tertutup awan hingga bintang-
bintang dan sang dewi malam tidak dapat menerangi
persada perlahan terusir pergi. Ketika gundukan ta-
nah sudah tergali cukup dalam, langit di atas tempat Arum Sari berada telah
bersih. Sungguh suatu kejadian yang aneh. Bulan bulat penuh pun muncul di
langit. Bulan purnama. Sinarnya kuning berkilauan.
Suasana di pekuburan menjadi cukup terang.
Dengan mudah Arum Sari segera dapat melihat
sebatang bambu kuning yang menancap di tutup peti
mati. Tidak panjang. Hanya sepanjang jari telunjuk!
Hati Arum Sari tercekat. Bambu kuning ini se-
makin mempertebal keyakinannya kalau mimpi itu
bukan sembarang mimpi. Tanpa ragu-ragu lagi, Arum
Sari segera mencabutnya!
Baru saja bambu kuning itu tercabut, dari se-
la-sela tutup peti mati keluar asap. Arum Sari yang tidak menyangka hal ini
terkejut bukan main. Dia sam-
pai melompat ke belakang. Sepasang matanya terbela-
lak lebar. Diperhatikannya asap tipis yang semakin
lama semakin tebal. Samar tapi pasti asap itu mem-
bentuk satu sosok tubuh manusia!
"Nenek...!" Arum Sari berseru tertahan ketika melihat bentuk gumpalan asap.
"Arum Sari, Cucuku...!" Sosok berbentuk wanita itu mengembangkan senyum lebar.
Senyum ramah penuh kasih. "Nenek...!"
Arum Sari kembali berseru. Kali ini sambil
mengembangkan kedua lengannya, siap untuk meme-
luk. Tapi langkahnya terhenti ketika mendengar ucapan sosok itu. Lembut dan
halus, tapi terkesan dingin dan kaku. Kesan yang menimbulkan dugaan kalau seruan
itu bukan keluar dari mulut manusia. Hanya
pantas keluar dari mulut setan atau makhluk halus
lainnya. "Tidak usah kau teruskan niatmu, Arum. Per-
cuma. Kau tidak akan dapat. Aku hanya dapat kau li-
hat tapi tidak dapat kau raba apalagi dipeluk."
"Ah...!"
Arum Sari berseru kaget. Tapi, sesaat kemu-
dian ia sadar kalau neneknya telah meninggal dunia
empat puluh satu hari yang lalu.
"Kau mungkin bertanya-tanya mengapa demi-
kian" Mungkin kau lupa kalau aku sudah meninggal
dunia?" "Aku ingat, Nek," jawab Arum Sari tanpa merasa takut sama sekali.
Neneknya itu amat mencin-
tainya. "Bagus! Tapi, apakah kau sudah tahu mengapa
aku tidak menjumpai mu lagi di dalam tidurmu dan
memberikan pelajaran ilmu silat tingkat tinggi?" Dengan suaranya yang berat tapi
bergaung neneknya
Arum Sari kembali bertanya.
Arum Sari mengangguk.
"Semula aku tidak mengetahui mengapa kau
tidak lagi mengajarkan ilmu silat padaku. Tapi, sekarang aku sudah
mengetahuinya."
"Hm...!" Neneknya Arum Sari menggumam pe-
lan. Sikap dan sinar matanya jelas menantikan jawa-
ban Arum Sari. "Aku yakin ini ada hubungannya dengan ter-
bongkarnya rahasia kalau aku telah belajar ilmu silat darimu, Nek. Semua ini ada
hubungannya dengan
Ayah." Neneknya Arum Sari tersenyum pahit. Senyum yang keluar tidak dari hati
yang gembira. "Dugaanmu memang tidak meleset, Arum.
Ayahmu itulah yang membuatku tidak bisa keluar dan
menemuimu di dalam mimpi- Begitu mengetahui kau
belajar ilmu silat dariku, ayahmu lalu mendatangi
makamku. Ia menggalinya kemudian menancapkan
sebatang bambu kuning yang didapatnya dari seorang
ahli kebatinan untuk mencegah rohku keluar."
Wajah Arum Sari memucat mendengar kete-
rangan itu. Gadis berpakaian hijau ini merasa ayah-
nya telah bertindak terlalu kejam.
"Sungguh tidak kusangka Ayah dapat bertin-
dak sekejam itu. Mengurung mu di tempat yang demi-
kian mengerikan!" tandas Arum Sari. Ia bergidik seperti orang ketakutan.
Neneknya Arum Sari yang sebenarnya telah be-
rusia tujuh puluh tahun tapi kelihatan seperti orang yang berusia tiga puluh
tahun menggelengkan kepala.
"Pendapatmu keliru, Arum. Ayahmu sama se-
kali tidak jahat. Justru dia melakukan hal itu karena sayangnya padamu. Dia
tidak ingin kau tersesat ke
lembah kehinaan. Aku juga tidak menghendakinya.
Biarlah aku saja yang tersesat!"
Wajah Arum Sari semakin memucat. Tapi, si-
nar sang dewi malam membuat perubahan wajah
Arum Sari tidak terlihat.
"Dengan jalan menyiksamu, Nek"!" Terdengar penuh penasaran pertanyaan itu keluar
dari mulut gadis berpakaian hijau.
"Dia tidak bermaksud demikian, Arum. Dia
hanya ingin agar kau tidak tersesat. Hanya itu. Karena itu aku memaklumi
tindakannya."
2 Arum Sari menundukkan kepala. Kedua tan-
gannya memijat-mijat pelipisnya. Gadis berpakaian hijau ini tampak kebingungan.
"Aku jadi semakin tidak mengerti, Nek. Aku
minta kau tidak berteka-teki. Ceritakan tentang diri-
mu dan Ayah secara jelas. Jangan sampai ada yang
disembunyikan. Aku ingin tahu mengapa kau dan
Ayah terlibat permusuhan."
Neneknya Arum Sari menatap ke langit Kemu-
dian pandangannya kembali di arahkan pada Arum
Sari, cucunya. "Memang sebaiknya kau mendengar cerita ku
dulu sebelum kau menarik kesimpulan tentang siapa
yang salah, aku atau ayahmu," ujar nenek itu dengan suara berat
"Aku memang bukan orang baik-baik, walau-
pun sebenarnya dulu aku tidak berkeinginan menjadi
orang jahat. Malah, aku bercita-cita menjadi seorang pendekar wanita!" Neneknya
Arum Sari memulai ceritanya. "Aku masih berusia sepuluh tahun ketika ayahku
meninggal dunia. Ibuku dan kawan-kawan se-permainanku memanggilku Yayang,
walaupun nama- ku sebenarnya adalah Mayang. Tiga tahun setelah
kematian Ayah, ibuku menikah lagi. Aku mempunyai
ayah tiri. Sayang dia bukan manusia melainkan bina-
tang. Ketika umurku menginjak enam belas tahun, dia membujuk ku untuk mau
digaulinya. Aku menolak,
tapi dia memaksa. Pertarungan antara kami pun ter-
jadi. Aku memang mempunyai kepandaian silat yang
lumayan yang aku pelajari dari ibuku."
Sampai di sini neneknya Arum Sari yang ter-
nyata bernama Mayang menghentikan ceritanya. Tapi,
Arum Sari sudah bisa memperkirakan kelanjutan ke-
jadian yang menimpa neneknya. Dia pun mengalami
hal serupa. "Ayah tiriku itu ternyata lihai bukan main.
Apalagi saat itu dia tengah diamuk nafsu birahi. Tan-pa mengalami kesulitan dia
berhasil merubuhkanku.
Aku diperkosa ayah tiriku. Rupanya dia telah cukup
lama memendam hasrat birahi terhadapku. Hanya sa-
ja dia tidak pernah berhasil melampiaskannya karena ada ibuku. Saat itu
kebetulan ibuku tengah pergi ke desa lain untuk mengobati seorang penduduk.
Kesempatan itu dipergunakan ayah tiriku sebaik-baiknya.
Tanpa mengenal puas ayah tiriku memperkosaku."
Arum Sari bergidik. Dia sudah mengalami ke-
jadian seperti yang dikatakan Mayang. Arum Sari bisa merasakan betapa ngeri dan
takutnya sewaktu malapetaka itu akan terjadi. Dan, betapa hancur hatinya ketika
semua telah selesai.
"Di saat ayah tiriku yang tidak mengenal puas
itu menggeluti ku, ibu pulang! Beliau terperanjat melihat keadaan kami. Melihat
sepasang mataku yang
bengkak-bengkak karena terlalu banyak menangis,
ibuku langsung bisa menduga apa yang telah terjadi.
Dengan kemarahan meluap-luap ibu menyerang sua-
minya. Terpaksa ayah tiriku melayaninya. Tapi, ayah tiriku memang lihai bukan
main, ibu akhirnya tewas
di tangannya."
"Oh...!"
Arum Sari menutup wajahnya dengan kedua
tangan. Sungguh tidak disangka kejadian yang me-
nimpa Mayang dan ibunya mirip dengan kejadian yang
diterimanya bersama ayahnya. Ayahnya pun tewas ke-
tika berusaha membela dia dari perkosaan!
"Dengan tewasnya Ibu," Mayang melanjutkan.
"Ayah tiriku mempunyai kesempatan seluas-luasnya untuk mengangkangi diriku. Aku
seperti istrinya saja.
Biadab sekali dia! Aku menjadi benci dan dendam. Perasaan tak tahan kadang
memaksaku ingin melarikan
diri atau membunuh diri. Tapi, Ayah tiriku itu sangat cerdik. Dia selalu menotok
dan membelenggu ku apabila nafsu birahinya telah di-lampiaskan. Makan pun aku
ditungguinya!"
Arum Sari tertegun. Sama sekali tidak pernah
disangka riwayat neneknya demikian mengenaskan.
Bahkan, jauh lebih menyedihkan dari kejadian yang
menimpanya. "Kegilaan Ayah tiriku tidak berhenti sampai di situ. Ketika dia terlibat dalam
judi, aku disuruh melayani setiap orang yang diinginkannya. Dia menjadikan ku
sebagai pelacur dengan bayaran tinggi! Jadilah tubuhku permainan orang-orang
berduit. Aku memang mempunyai daya tarik kuat yang membuat la-
wan jenisku terbangkit birahinya meski hanya melihat rupaku atau mendengar
suaraku. Tak aneh kalau putra Ayah tiriku pun tergila-gila dan menggauli ku! Mu-
la-mula secara diam-diam karena takut ketahuan
ayahnya. Tapi, lama-kelamaan secara terang-terangan.
Gilanya, Ayah tiriku membiarkannya saja. Dendam ku
pun semakin bertumpuk. Selama lima tahun lebih tu-
buhku menjadi permainan. Selama itu pula aku me-
nanggung dendam. Aku tidak ingin mati dulu. Aku in-
gin membalas semua sakit hati yang bertumpuk ini!
Jalan untuk itu akhirnya terbuka ketika seorang lelaki hidung belang tidak hanya
datang untuk menikmati
tubuhku. Ia menawarkan jalan untuk membalas den-
dam. Dia seorang dukun! Dia tahu aku memendam
dendam karena dia telah menyelidikinya melalui ilmu hitamnya!"
Arum Sari yang sejak tadi mendengarkan den-
gan perasaan ngeri mulai merasa lega. Mayang telah
mempunyai jalan untuk membalas dendam.
"Dia menawarkan kepadaku suatu kesaktian.
Tentu saja kesaktian yang tidak sewajarnya. Kesaktian yang didapat dengan jalan
hitam. Dengan syarat yang amat berat. Aku berpikir cukup lama sampai akhirnya
memutuskan kalau lebih baik aku menerimanya. Demi
membalas dendam dan sakit hati bertahun-tahun, aku
rela menanggung syarat-syarat yang berat itu."
"Apa syarat-syarat itu, Nek?" tanya Arum Sari ingin tahu.
"Bersetubuh dengan seekor ular yang sangat
besar!" jawab Mayang dengan nada pahit
"Ular"!" Arum Sari membelalakkan sepasang matanya.
"Benar! Seekor ular jantan yang panjangnya
sekitar lima belas meter dan besarnya lebih dari paha manusia dewasa!"
Arum Sari tercenung dengan hati jijik. Jangan-
kan bersetubuh, membayangkan saja dia sudah jijik
bukan main. Dan, Mayang melakukannya.
"Demikianlah! Setiap seminggu sekali di malam
Jum'at ular raksasa itu datang dan menggauli ku.
Ucapan dukun itu ternyata benar. Hanya dalam sebu-
lan aku telah memiliki kepandaian amat tinggi. Ke-
pandaian silat dan juga ilmu gaib. Musuh-musuhku
semua berhasil ku binasakan. Tapi Ayah tiriku dan
anaknya tidak berhasil kubunuh. Mereka dapat melo-
loskan diri. Aku tidak tinggal diam. Terus ku-cari mereka hingga usiaku
menjelang tiga puluh. Tapi, mere-ka tetap tak kutemukan. Justru aku bertemu
dengan seorang petani gagah yang usianya beberapa tahun di atasku. Kami saling jatuh
cinta dan akhirnya menikah! Sejak itu aku melupakan usahaku mencari Ayah
tiriku. Aku hidup seperti petani. Tenang. Kebahagiaan ku bertambah ketika ibumu,
Nuri, lahir. Dia tumbuh menjadi gadis cantik sehingga menjadi rebutan banyak
pemuda. Yang beruntung mendapatkannya ada-
lah seorang pendekar muda yang kemudian berjuluk
Pendekar Macan Hitam."
"Ayah..."!" ujar Arum Sari tanpa sadar.
"Benar." Mayang mengangguk. "Saat itu ibumu
berumur dua puluh tahun, dan aku telah berusia lima puluh. Kebahagiaan ku mulai
berkurang ketika ibumu
pergi mengikuti ayahmu. Sepuluh tahun kemudian
suamiku, Salaka, meninggal. Aku terpukul sekali. Aku tidak betah sendirian. Aku
kesepian. Maka, aku pergi menjenguk ibumu. Nasibmu memang malang, Arum.
Ibumu meninggal saat melahirkan mu."
"Aku ingat itu, Nek. Kau baik sekali." Sepasang mata Arum Sari menerawang ke
langit, mengenang dirinya sewaktu masih menjadi gadis cilik.
"Kau amat menyenangkan, Arum. Kau lucu
dan lincah, membuat kesedihan ku berhasil kulupa-
kan. Aku merasa terhibur. Sayang, lagi-lagi gangguan kembali muncul. Sepuluh
tahun kemudian kudengar
berita mengenai musuh besarku. Tapi, mereka telah


Dewa Arak 74 Panggilan Ke Alam Roh di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berbeda jauh. Keduanya telah memiliki kepandaian
tinggi. Sialnya lagi bagiku, mereka berhasil menemukan rahasia aku mendapatkan
ilmu. Tempat tinggal
mereka pun dipasangi benda-benda penangkal ular.
Aku tidak bisa masuk ke tempat mereka. Apalagi
membunuhnya. Terlebih setelah mereka mengenakan
benda-benda anti ular. Aku tidak berdaya. Ketika aku bersikeras untuk
membunuhnya karena tak kuat menanggung dendam, aku tewas di tangan mereka."
"Biar aku yang akan membalaskan dendammu,
Nek!" tandas Arum Sari geram.
"Bukan kau, Arum Sari." Mayang menggelengkan kepala. "Tapi kita. Kita berdua
yang akan membasmi mereka. Bersiaplah menerima kedatanganku di
dalam dirimu, Arum!"
"Apa maksudmu, Nek?" Arum Sari tidak men-
gerti dengan perkataan neneknya.
"Itulah yang membuat ayahmu memutuskan
untuk memenjarakan ku, Arum. Ayahmu tahu raha-
siaku. Maka, ditancapkannya bambu kuning di atas
peti mati ku agar aku tidak bisa menitis ke dalam dirimu. Ayahmu tahu kalau
empat puluh satu hari se-
lama kematianku, aku bisa menitis ke dalam dirimu.
Lewat dari empat puluh satu hari aku tidak bisa berbuat apa-apa. Semula aku
sudah putus asa. Tapi, sia-pa sangka malapetaka menimpa kau dan ayahmu. Ke-
betulan kau datang kemari dan mengadu padaku.
Panggilanmu sampai ke alam tempat rohku. Panggi-
lanmu membuat aku memiliki sedikit kekuatan se-
hingga mampu timbul di dalam mimpimu. Inilah ha-
silnya, Arum."
Arum Sari mengangguk-anggukkan kepala.
"Sekarang, bersiaplah menerima kedatanganku
ke dalam dirimu, Arum!"
Belum lenyap gema ucapan Mayang tubuhnya
telah lenyap dari pandangan. Dan, tiba-tiba tubuh
Arum Sari mengejang seperti orang terkena demam
tinggi. Kejadian itu hanya berlangsung sesaat Arum kembali seperti biasa. Hanya,
ada sesuatu yang menyeramkan memancar dari sorot mata dan biasan wa-
jahnya. "Hi hi hi...!"
Arum Sari yang raganya telah dimasuki roh
Mayang tertawa terkekeh. Suara tawa itu lebih pantas keluar dari mulut
kuntilanak! *** Tok, tok, tokkk!
"Ketua...! Ketua...!"
Ketukan keras pada pintu yang diiringi panggi-
lan tergesa-gesa membuat sesosok tubuh kekar berku-
lit hitam kecoklatan dan terbungkus pakaian putih
bergaris-garis hitam menoleh ke arah pintu yang tertu-
tup. Sorot mata lelaki berkumis tebal ini tampak menyiratkan perasaan tidak
senang. Meski kepalanya ditolehkan, lelaki berkumis
tebal tidak menghentikan kegiatannya. Kedua tangan-
nya tetap dijulurkan ke depan dengan telapak tangan menghadap ke atas. Ketika
tangan itu digerakkan ke
atas, sebuah meja besar dan bulat terbuat dari kayu jati hitam berukir ikut
terangkat setinggi satu tombak!
Lelaki berkumis tebal berada di sebuah ruangan luas.
"Ketua...! Ketua...!"
Seruan itu kembali terdengar. Ketukan pada
daun pintu semakin gencar. Lelaki berkumis tebal
menggertakkan gigi, geram. Kedua tangannya yang di-
julurkan ditarik. Meja bundar itu pun jatuh ke lantai menimbulkan bunyi hiruk-
pikuk. "Hih!"
Dengan wajah merah padam membayangkan
amarah, lelaki berkumis tebal berusia empat puluh li-ma tahun itu mendorongkan
kedua tangannya ke de-
pan. Seketika serangkum angin deras berhembus!
Blakkk! Daun pintu langsung jebol. Lepas dari am-
bangnya dan melayang keluar menerpa orang yang be-
rada tepat di depannya. Karuan saja orang yang tidak menyangka kejadian tersebut
kaget. Ia hanya bisa
mengeluarkan seruan kaget ketika tubuhnya melayang
deras ke belakang dan jatuh di tanah tertimpa daun
pintu. Orang yang malang itu berusaha bangkit setelah terlebih dulu hendak
menyingkirkan daun pintu
yang menindih tubuhnya. Tapi sebelum maksudnya
terlaksana, di atas daun pintu itu telah berdiri lelaki berkumis tebal. Tidak
terlihat lelaki berkumis tebal itu bergerak, tahu-tahu ia telah berada di atas
daun pintu. "Monyet kecil! Sungguh berani kau menggang-
gu ketenanganku, heh"! Rupanya kau sudah kepingin
mampus!" Lelaki bertubuh kecil kurus itu terengah-engah
menahan himpitan keras yang menyesakkan dadanya.
Wajahnya pucat pasi. Adanya ancaman maut dalam
ucapan lelaki berkumis tebal yang menjadi ketuanya.
"Tidak demikian maksudku, Ketua. Di luar sa-
na ada orang yang datang mencari Ketua. Dia lihai sekali! Kawan-kawan banyak
yang tewas di tangannya!"
"Hmh!"
Lelaki berkumis tebal mendengus. Sekali men-
jejakkan kaki tubuhnya telah melesat ke depan. Pada saat yang bersamaan, nyawa
lelaki kecil kurus itu melayang ke alam baka. Tewas dengan dada remuk keti-
ka kaki lelaki berkumis tebal bergerak menekan.
Dalam beberapa kali lesatan, tubuh lelaki ber-
kumis tebal telah berada cukup jauh. Bangunan di
mana lelaki berkumis tebal berada, dikelilingi pagar kayu bulat dan terletak
agak jauh terpisah dari bangunan-bangunan lainnya yang berada di depan.
Sekarang lelaki berkumis tebal telah berada di
halaman luar di mana terdapat pintu gerbang yang
terbuka lebar. Lelaki berkumis tebal menggeram ketika meli-
hat beberapa sosok tubuh bergeletakan di tanah. Se-
mentara beberapa muridnya tengah bertarung dengan
sesosok bayangan putih. Orang-orang berpakaian pu-
tih bergaris-garis hitam itu bagaikan semut-semut
yang menerjang api. Mereka tewas sebelum berhasil
mendekat. "Mundur semua...!"
Lelaki berkumis tebal berseru keras mengge-
rakkan tenaga dalamnya. Suaranya terdengar bagai-
kan guntur. Ada kekuatan gaib yang membuat semua
orang yang tengah bertarung melompat ke belakang
dan menghentikan pertarungan.
Sosok bayangan putih yang ternyata seorang
lelaki setengah baya, berwajah gagah dengan kumis
dan jenggot terawat rapi, mengalihkan perhatian ke
arah lelaki berkumis tebal yang tengah melangkah gagah mendekatinya.
"Kukira siapa, rupanya hanya seorang tikus
kecil dari tokoh-tokoh sombong yang berjulukan be-
sar! Kau datang hendak mengantar nyawa, Pendekar
Macan Putih"!" ejek lelaki berkumis tebal menghentikan langkahnya tiga tombak di
depan lelaki berpa-
kaian putih. Pada bagian dada kirinya tersulam gam-
bar kepala seekor macan dengan benang emas.
Lelaki berpakaian putih yang berjuluk Pende-
kar Macan Putih tersenyum pahit Dia tidak terlihat
marah atau tersinggung mendengar ejekan keras itu.
"Kau masih sombong dan besar mulut seperti
dulu, Serigala Belang. Sayang, waktu itu kami bertindak kepalang tanggung
sehingga kau dapat lolos. Tapi sekarang, jangan harap kau akan bernasib baik
seperti dulu!"
"Kaulah yang akan mampus menyusul kawan-
mu, Pendekar Macan Putih yang malang!" tandas lelaki berkumis tebal yang
ternyata berjuluk Serigala Belang. "Mana mungkin seekor serigala mampu
membinasakan seekor macan, betapapun saktinya serigala itu" Andaikata serigala
berhasil menewaskan macan,
tentu tidak dengan cara yang jujur!" Pendekar Macan Putih menyindir. Serigala
Belang yang mengerti hinaan halus lawannya menjadi kalap.
"Haattt...!"
Diawali teriakan nyaring, Serigala Belang men-
dorongkan kedua telapak tangannya. Gerakannya perlahan saja, seperti tengah
mendorong sebuah benda yang teramat berat
Tetapi, Pendekar Macan Putih merasakan satu
kekuatan meluncur ke arahnya. Ia pun tidak tinggal di-am. Segera dilakukannya
tindakan serupa.
Dengan diawali teriakan melengking nyaring
yang membuat belasan anak buahnya menutup telin-
ga, Serigala Belang melompat melakukan dorongan
kedua tangan. Gerakannya perlahan seperti tengah
mendorong sebuah benda besar yang amat berat.
"Hih!"
Pendekar Macan Putih merasakan kekuatan
tak nampak meluncur ke arahnya. Semakin lama se-
makin keras. Ia pun tidak tinggal diam. Segera dilakukannya tindakan serupa.
Pendekar Macan Putih tidak
ingin dianggap takut oleh Serigala Belang. Di samping itu ia juga ingin menguji
kemajuan pimpinan Gerombolan Serigala Belang ini! Sepuluh tahun yang lalu
kepandaian mereka berimbang.
Blarrr! Dua pukulan jarak jauh yang mengandung te-
naga dalam amat tinggi berbenturan di tengah jalan.
Terdengar bunyi menggelegar yang menggetarkan seki-
tar tempat itu. Tubuh Pendekar Macan Putih terjeng-
kang ke belakang dan terhuyung-huyung hampir ja-
tuh! "Ha ha ha...!"
Serigala Belang tertawa bergelak. Sementara
wajah Pendekar Macan Putih berubah hebat melihat
hasil benturan itu. Dia sama sekali tidak menyangka.
Kekuatan tenaga dalam Serigala Belang benar-benar
mengejutkan. "Bagaimana, Pendekar Macan Putih" Masihkah
kau ragu kalau serigala mampu mengalahkan seekor
harimau"!"
Pertanyaan yang mengandung ejekan itu mem-
buat wajah Pendekar Macan Putih semakin merah pa-
dam. Meski demikian, lelaki berpakaian putih ini masih tidak percaya kalau
tenaga dalam lawan benar-
benar telah sehebat ini!
"Jangan berbesar hati dulu, Serigala Belang!"
Pendekar Macan Putih menutup ucapannya
dengan lemparan tiga batang logam berbentuk segiti-
ga. Senjata rahasia yang menjadi andalan Pendekar
Macan Putih meluncur ke arah Serigala Belang dengan diiringi bunyi berdesing
nyaring, pertanda kuatnya tenaga dalam yang terkandung dalam serangan itu.
"Hmh!"
Serigala Belang mendengus penuh ejekan.
Dengan sikap sembarangan, kedua tangannya dijulur-
kan ke depan. Dan, akibat yang terjadi membuat se-
pasang mata Pendekar Macan Putih membelalak lebar.
Senjata rahasia itu membalik sebelum bertemu den-
gan kedua tangan yang dijulurkan. Seakan ada kekua-
tan tak tampak yang menahan luncuran bintang-
bintang segitiga dan membuatnya meluncur kembali
ke pemiliknya. Pendekar Macan Putih kini percaya Serigala Belang memiliki
kekuatan tenaga dalam yang
tinggi. Kendati demikian, Pendekar Macan Putih tidak menjadi gugup. Sebagai
seorang ahli melempar senjata rahasia dia tentu saja mampu menangkalnya. Ketika
bintang-bintang segitiga itu kembali ke arahnya, Pendekar Macan Putih
mengeluarkan tiga bintang segitiga lainnya dan bergegas melemparkannya.
Bunyi berdentang pelan terdengar ketika enam
senjata rahasia berbenturan di udara. Semuanya run-
tuh ke tanah. Tapi, terlihat jelas akibat benturan itu bintang-bintang segitiga
yang dilepaskan Pendekar
Macan Putih terpental mundur. Ini menjadi pertanda
kalau bintang-bintang segitiga yang meluncur balik di-topang oleh tenaga dalam
tinggi! Padahal, Pendekar
Macan Putih hanya menjulurkan kedua tangannya,
bukan menangkis!
Pendekar Macan Putih tidak menjadi gentar
melihat kenyataan itu. Dia mencabut pedang berga-
gang kepala macan yang menjadi senjata andalannya.
Dengan pedang telanjang di tangan, lelaki berpakaian putih ini menyerbu Serigala
Belang. Serigala Belang yang tahu kedahsyatan per-
mainan pedang Pendekar Macan Putih tidak berani
bertindak sembarangan. Dia pun mencabut senjata
andalannya. Sebatang golok yang bercabang. Dengan
senjata ini telah beberapa kali Serigala Belang berhasil merampas senjata lawan
dengan mengkaitnya.
Dalam sekejap dua lelaki itu telah terlibat per-
tarungan seru. Bunyi dentang senjata beradu yang diiringi percikan-percikan
bunga api ke udara menyema-raki jalannya pertarungan.
"Hih!"
Setelah hampir sepuluh jurus dan terjadi bebe-
rapa kali benturan, dengan akibat tubuh Pendekar
Macan Putih terhuyung mundur, Serigala Belang ber-
hasil menjepit pedang Pendekar Macan Putih di ten-
gah-tengah cabang senjatanya.
Pendekar Macan Putih kaget. Tapi sebelum ia
sempat berbuat sesuatu, Serigala Belang telah memu-
tar goloknya sedemikian rupa sehingga pedang Pende-
kar Macan Putih ikut terputar. Dan, ketika Serigala Belang melakukan gerakan
menyentak, senjata Pendekar Macan Putih terlepas dari pegangan. Pedang itu
terlempar cukup jauh.
Di saat tubuh Pendekar Macan Putih ter-
huyung akibat sentakan, Serigala Belang memasuk-
kan kembali goloknya ke dalam sarungnya di ping-
gang, kemudian melompat ke atas. Dari atas tubuhnya menukik turun dengan kedua
telapak tangan terbuka
menghantam pundak Pendekar Macan Putih.
Pendekar Macan Putih tidak mempunyai pili-
han lain kecuali memapaki serangan itu dengan kedua
telapak terbuka ke atas.
Plakkk! Dua pasang telapak tangan berbenturan dan
saling melekat. Tubuh Serigala Belang berada di atas Pendekar Macan Putih. Tubuh
lelaki berkumis tebal
itu lurus ke atas dengan kedua tangan berada di ba-


Dewa Arak 74 Panggilan Ke Alam Roh di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

wah, menempel dengan tangan Pendekar Macan Putih
yang terjulur ke atas.
Terjadilah pertarungan yang mendebarkan.
Pertarungan adu tenaga dalam. Mula-mula tidak terlihat hasilnya. Tapi sesaat
kemudian, tampak kedua
tangan dan kaki Pendekar Macan Putih menggigil ke-
ras. Dari kepalanya mengepul uap putih. Tampaknya,
lelaki berpakaian putih ini telah mengerahkan seluruh kekuatan tenaga dalamnya.
Meski tenaga dalamnya kalah jauh, Pendekar
Macan Putih tetap bersikeras bertahan. Dan kekera-
san hatinya membuatnya cukup lama bertahan.
Sayang landasan tempat kaki Pendekar Macan Putih
bertumpu tidak kuat menanggung kekuatan tenaga
dalam yang dahsyat itu. Dengan cepat tanah tempat-
nya berpijak amblas! Kedua kaki Pendekar Macan Pu-
tih tenggelam sampai ke betis.
"Hukh...!"
Pendekar Macan Putih akhirnya harus menye-
rah ketika darah segar memancur deras dari mulut-
nya. Pendekar ini telah terluka dalam yang amat pa-
rah. Kedua tangannya langsung terkulai. Patah! Dan
tangan-tangan Serigala Belang dengan keras meng-
hantam kedua bahunya. Pendekar Macan Putih tewas
dengan kedua kaki masih terbenam di dalam tanah!
"Ha ha ha...!"
Begitu berhasil menjejak tanah dengan mantap
setelah berjungkir balik beberapa kali di udara, Serigala Belang tertawa
bergelak. Tawa kemenangan. Kemu-
dian, tanpa mempedulikan mayat lawannya, lelaki
berkumis tebal ini melangkah pergi meninggalkan
tempat itu. Serigala Belang menuju bangunan tempat
tadi dia berada.
3 "Hiya...! Hiya...!"
Seruan-seruan keras yang dibarengi pecutan
bertubi-tubi memaksa seekor kuda coklat berlari secepat mungkin. Keempat kaki
binatang itu bagai tidak
menyentuh tanah. Debu mengepul tinggi di udara.
"Uh...!"
Seorang pemuda berambut putih keperakan
dan berpakaian ungu mengeluarkan seruan kaget ke-
tika melihat kuda coklat itu berlari cepat ke arahnya.
Padahal, saat itu dia tengah berada di sebuah jalan tanah yang lebarnya tak
lebih dari dua tombak. Di kanan kiri jalan itu ditumbuhi semak-semak dan pepo-
honan kecil. Pemuda berambut putih keperakan tidak ingin
wajah dan pakaiannya dikotori debu yang mengepul
tinggi karena lari kuda yang seperti kesetanan. Dia bergegas melompat ke samping
dan menggunakan
ujung-ujung atas semak-semak untuk berlompatan
menjauh. "Luar biasa...!"
Teriakan penuh kagum itu keluar dari mulut
penunggang kuda coklat. Seorang pemuda berpakaian
kuning tua dengan warna ikat kepala yang sama. Wa-
jahnya tampan. Apalagi dengan adanya sebaris kumis
tipis di bawah hidungnya. Pemuda berpakaian kuning
tua sempat melihat tindakan pemuda berambut putih
keperakan. Dan, pemuda berpakaian kuning tahu ge-
rakan seperti itu hanya dapat dilakukan oleh seorang tokoh persilatan tingkat
tinggi. Tapi, hanya sampai di situ saja tanggapan pe-
muda berpakaian kuning tua. Lari kudanya sedikit
pun tidak diperlambat. Dalam sekejapan saja ia telah jauh meninggalkan tempat
itu. Setelah debu yang mengepul sirna, baru pe-
muda berpakaian ungu melompat meninggalkan pu-
cuk semak-semak yang dihinggapinya. Semak-semak
itu bergoyang ketika tubuh pemuda berambut putih
keperakan menjejakkannya. Sebelum bersalto bebera-
pa kali di udara dan mendarat di tanah.
Pemuda berpakaian ungu menatap ke arah pe-
nunggang kuda coklat yang terus menggebah ku-
danya. Sepasang alisnya berkerut heran melihat tingkah pemuda berpakaian kuning
tua yang seperti dike-
jar-kejar sesuatu.
Pemuda berpakaian ungu itu pun berdiri me-
natap ke arah yang tadi ditinggalkan pemuda berpa-
kaian kuning tua. Dia menduga akan melihat satu
atau sekelompok orang yang melakukan pengejaran.
Sementara, jauh di depan pemuda berbaju
kuning tua memperlambat lari kudanya ketika melihat sebuah pondok kecil di
kejauhan. Ketika telah berada tepat di depannya, pemuda itu menarik tali kekang
kuda. Belum juga berhenti dia telah melompat turun.
Ketika pemuda berpakaian kuning tua hendak
mengetuk pintu, daun pintu telah lebih dulu dikua-
kkan dari dalam. Tersembullah seraut wajah wanita
berusia sekitar empat puluh lima tahun. Meski demi-
kian, masih terlihat sisa kecantikannya di waktu mu-da.
"Gunaran...!"
"Ibu...!"
Wanita setengah baya dan pemuda berpakaian
kuning tua saling berpelukan erat
"Apa yang terjadi, Ibu?" tanya pemuda berpakaian kuning setelah melepaskan
pelukannya. "Kudengar dari guru, Ibu mengirim seorang kurir untuk
menyuruhku pulang karena ada urusan yang sangat
penting." "Itu memang tidak salah, Gunaran!" Ibunya Gunaran yang mengenakan pakaian biru
menyahut seraya mengangguk. "Berita yang amat penting dan menyangkut nasib ayahmu..
Karena itu, aku buru-buru mengirim kabar padamu."
"Ayah"!" Gunaran rupanya baru teringat akan ayahnya. "Mana Ayah, Ibu" Mengapa
dia tidak datang menemuiku?"
"Itulah, Gunaran." Wanita berpakaian biru itu menghela napas berat. "Dua hari
yang lalu ayahmu pergi untuk menjumpai rekannya di masa muda. Kau
tahu kan siapa rekan ayahmu itu?"
"Ya." Gunaran mengangguk. "Bukankah orang itu berjuluk Pendekar Macan Hitam?"
Wanita berpakaian biru mengiyakan.
"Seminggu yang lalu seorang lelaki datang ke-
mari menyampaikan berita mengenai Pendekar Macan
Hitam. Lelaki itu terhitung murid Pendekar Macan Hitam, kendati pada kenyataan
sebenarnya Pendekar
Macan Hitam tidak pernah mempunyai murid kecuali
putri tunggalnya. Arum Sari. Nah, lelaki itu menga-
barkan kalau Pendekar Macan Hitam dan putrinya
mengalami malapetaka karena perbuatan sekelompok
orang yang dipimpin Serigala Belang.
"Ah! Musuh besar Ayah yang waktu itu lolos
dari maut"!" Gunaran yang mendengar cerita itu dari ayahnya, berseru kaget.
"Benar. Maka, ayahmu segera pergi ke sana. Ia
ingin mengecek sendiri kebenaran berita itu, juga hen-
dak membinasakan Serigala Belang dan komplotannya
apabila benar mereka berada di sana."
"Kalau benar demikian, Ibu tidak perlu khawa-
tir. Aku yakin Ayah akan berhasil mengirim nyawa Serigala Belang dan
komplotannya ke akherat. Aku ya-
kin!" tandas Gunaran mantap.
"Tidak baik kau bersikap seperti itu, Gunaran!"
cela wanita berpakaian biru. "Sikap memandang remeh hanya akan memperlemah
kewaspadaan kita. Itu
bukan tidak mungkin akan berakibat buruk. Ingat,
kemenangan ayahmu dan kawannya itu terjadi pulu-
han tahun yang lalu. Banyak hal mengejutkan bisa
terjadi dalam waktu sepuluh tahun! Siapa tahu Seriga-la Belang mendapat kemajuan
pesat dalam kepan-
daiannya. Misalnya saja berhasil menciptakan ilmu-
ilmu tinggi. Kau perlu ingat, Gunaran. Pendekar Macan Hitam berhasil
ditewaskannya. Ini menjadi per-
tanda kalau Serigala Belang mempunyai andalan. In-
gat Gunaran. Jangan suka memandang rendah lawan.
Betapapun kau telah mengetahui tingkat kepandaian-
nya!" "Ya, Ibu"!" Gunaran mengangguk dengan sikap kagum. Dia tahu ibunya hanya
memiliki kepandaian
silat sekadarnya. Tapi, ia mampu memberikan pan-
dangan yang demikian luar biasa.
"Sekarang pergilah dan susul ayahmu. Aku
khawatir terjadi apa-apa terhadapnya. Aku mempu-
nyai firasat buruk!"
"Tapi, bagaimana dengan, Ibu?" Gunaran ragu.
"Jangan pikirkan aku. Aku tidak apa-apa. Per-
gilah, Gunaran!"
Gunaran tidak membantah. Setelah berpami-
tan, ia segera melangkah keluar. Sesaat kemudian,
kuda coklat itu kembali melesat cepat membawa Gu-
naran di punggungnya.
Wanita berpakaian biru yang adalah istri Pen-
dekar Macan Putih tidak segera masuk ke dalam ru-
mah. Dia menatap Gunaran hingga tubuh putranya
bersama kudanya lenyap di ujung jalan, menimbulkan
kepulan debu tebal.
Lama istri Pendekar Macan Putih termenung di
depan rumah. Sebenarnya, hati wanita ini merasa be-
rat melepaskan putra tunggalnya setelah hampir sepuluh tahun belajar di tempat
kakek gurunya. Yaitu guru Pendekar Macan Putih dan Pendekar Macan Hitam.
Tapi, apa daya" Tenaga Gunaran dibutuhkan untuk
membantu Pendekar Macan Putih. Istri Pendekar Ma-
can Putih baru saja hendak masuk kembali ke dalam
rumah, tapi terpaksa diurungkan ketika melihat kepulan debu dikejauhan.
"Mungkinkah Gunaran balik kembali?" tanya wanita berpakaian biru dalam hati.
Istri Pendekar Macan Putih pun berdiri menunggu.
Tapi, setelah beberapa saat kemudian penye-
bab kepulan debu tinggi itu mulai terlihat, istri Pendekar Macan Putih bergegas
masuk ke dalam. Itu bukan
Gunaran. Kuda yang ditungganginya pun bukan cok-
lat melainkan hitam legam. Maka, buru-buru wanita
berpakaian biru membalikkan tubuh dan melangkah
cepat ke dalam rumah. Ia khawatir akan terjadi sesua-tu yang tidak diinginkan.
Wanita berpakaian biru yang merasa lega keti-
ka berhasil menyentuh daun pintu dan siap mendo-
rongnya jadi terkejut setengah mati. Ada satu kekuatan yang memaksanya tertarik
ke belakang. Betapa-
pun istri Pendekar Macan Putih berusaha berlari, ia tetap tidak mampu berpindah
tempat. Lari yang dilakukannya hanya di tempat saja.
Istri Pendekar Macan Putih menoleh. Dilihat-
nya penunggang kuda yang rupanya telah turun dari
kudanya berdiri lima tombak darinya. Ia tengah men-
julurkan kedua tangan ke arahnya. Tidak terlihat
mengerahkan tenaga, tapi wanita berpakaian biru ini tahu kedua tangan itulah
yang menyebabkan dia tidak mampu berpindah tempat.
Istri Pendekar Macan Putih tidak putus asa. Ia
terus berusaha. sekuat tenaga untuk bebas. Tapi,
usahanya sia-sia belaka. Ketika sosok yang baru da-
tang itu melakukan gerak menarik dengan kedua tan-
gannya, tubuh wanita berpakaian biru dengan deras
tertarik ke belakang. Istri Pendekar Macan Putih menjerit kaget.
Brukkk! Tubuh istri Pendekar Macan Putih ambruk di
tanah. Tepat di depan sosok yang baru datang. Wanita itu merasakan sekujur
tubuhnya sakit-sakit karena
terbanting keras. Dengan menguatkan diri dia memba-
likkan tubuh dan berdiri menatap sosok di hadapan-
nya. "Siapa kau" Mengapa mempertunjukkan sulap untuk anak-anak terhadapku"!"
bentak wanita berpakaian biru dengan berani.
Sosok yang semula dikira Gunaran oleh wanita
berpakaian biru tampak tersenyum lebar. Wajahnya
yang hitam legam seperti juga kulit tubuhnya menam-
pakkan deretan gigi yang kuning dan besar-besar.
Kumis, jenggot, dan cambang bauk kasar menghias
wajahnya yang penuh ditumbuhi jerawat.
"Kau ingin tahu siapa aku" Aku kawan dari
musuh suamimu! Serigala Belang adalah kawanku.
Sekarang kurasa kau tahu mengapa aku mempertun-
jukkan sulap anak-anak terhadapmu!" Lelaki berkulit hitam legam membuka suaranya
yang keras dan mengguntur. "Namaku Malisang!"
Wajah wanita berpakaian biru kelihatan beru-
bah. Ia menyadari adanya bahaya mengancam dari so-
sok yang berdiri di hadapannya. Meski demikian, istri Pendekar Macan Putih tidak
menjadi gentar.
"Kalau begitu apa maksudmu datang kemari,
Malisang" Kalau untuk menemui suamiku perlu kube-
ritahu kalau dia tengah menuju tempat Serigala Be-
lang berada. Kawanmu itu akan dibinasakan oleh su-
amiku. Bahkan mungkin sekarang dia telah binasa!"
tandas istri Pendekar Macan Putih berapi-api.
"Ah! Begitu kiranya?" Malisang tersenyum lebar. "Berarti sekarang suamimu telah
pergi ke alam baka. Kau pun akan mengalami nasib yang sama.
Bahkan, mungkin lebih menyedihkan apabila tidak
mau menjawab pertanyaanku!"
"Chuih!"
Istri Pendekar Macan Putih meludah dengan
sikap memandang rendah.
"Jangan kau kira aku takut dengan ancaman-
mu! Aku bukan seorang pengecut!"
"Lebih baik kau jawab saja pertanyaanku sebe-
lum kau menderita. Aku bukan seorang pengecut yang
hanya berani dengan wanita lemah seperti kau!" tegas Malisang dengan senyuman
yang telah lenyap dari bi-birnya. "Katakan di mana Harimau Terbang Berkuku
Seribu!" "Tidak! Sekali kukatakan tidak, sampai mati pun tetap tidak!" jawab
istri Pendekar Macan Putih setengah menjerit. Tokoh yang ditanyakan Malisang
adalah guru suaminya! Juga guru dari Pendekar Macan
Hitam dan Gunaran.
"Rupanya kau termasuk seorang wanita yang
ingin dikasari dulu sebelum tunduk! Baik kalau itu
yang kau inginkan!" ancam Malisang dengan wajah bengis. Malisang lalu mengambil
dua buah batu sebe-
sar kepalan tangan dan mengamang-amangkannya di
depan istri Pendekar Macan Putih. Wanita berpakaian biru yang berhati tabah itu
tampak bersikap tidak peduli, kendati jantungnya berdetak lebih cepat. Ia
bertanya-tanya apa yang hendak dilakukan Malisang"


Dewa Arak 74 Panggilan Ke Alam Roh di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Malisang yang sengaja bertindak lambat untuk
melihat tanggapan istri Pendekar Macan Putih jadi geram bukan main melihat sikap
tidak acuh wanita ber-
pakaian biru. Dia merasa ditantang. Kemarahan lelaki berkulit hitam legam ini
pun meledak. Siksaan yang
diancamkan terhadap calon korbannya langsung di-
mulai! Batu-batu itu dibenturkan satu sama lain.
Tak, tak, tak! Bunyi berdetak pun terdengar ketika batu-batu
itu saling berbenturan. Kelihatannya tidak ada hal
yang aneh. Tapi, tidak demikian yang dialami istri
Pendekar Macan Putih. Ketika batu itu pertama kali
berbenturan seperti ada yang menumbuk dadanya.
Bahkan, sepasang telinganya berdenging hebat! Sakit bukan main.
Istri Pendekar Macan Putih segera mendekap
telinganya dengan kedua tangan untuk mencegah ma-
suknya bunyi menyakitkan itu. Tapi usaha wanita itu sia-sia. Betapapun kuat
telinganya didekap bunyi yang tidak mengenakkan itu tetap saja merasuk dan me-
nyerangnya. Semakin lama pengaruh benturan baru itu se-
makin menghebat. Sekarang istri Pendekar Macan Pu-
tih tidak hanya menutup kedua telinganya. Tapi, ber-gulingan di tanah karena
tidak kuat menahan siksaan yang melanda. Wanita berpakaian biru itu merasakan
telinganya seperti ditusuk-tusuk jarum panas yang
amat tajam. Demikian pula dengan bagian dalam da-
danya. "Bagaimana" Apakah kau masih mencoba un-
tuk bertahan"!" Di tengah gemuruh benturan dua batu dan jerit menyayat istri
Pendekar Macan Putih, Malisang menawarkan keringanan hukuman.
Tapi, istri Pendekar Macan Putih benar-benar
seorang wanita yang tahan uji. Meski tidak mampu
menjawab karena rasa sakit yang melanda, dia mem-
beri isyarat tidak mau dengan gelengan kepalanya.
"Keparat!"
Malisang yang sudah merendahkan diri menga-
jukan tawaran jadi semakin kalap. Dia memutuskan
untuk memberi siksaan yang lebih menyakitkan. Ben-
turan batu-batuan semakin dipergencar.
"Terimalah kematianmu, Wanita Keras Kepala!
Kau akan mati dengan mata, telinga, dan hidung yang mengeluarkan darah karena
urat-urat syaraf mu pecah tak kuat menahan siksaan ini!"
Malisang memang tidak main-main dengan an-
camannya. Begitu benturan batu-batunya dipergencar, istri Pendekar Macan Putih
mendadak meraung memi-lukan. Ia menggelepar-gelepar di tanah seperti cacing
dilempar ke abu panas!
"Ha ha ha...!"
Malisang tertawa bergelak melihat istri Pende-
kar Macan Putih tersiksa seperti itu. Kedongkolannya yang menggebu-gebu
tersalurkan melihat korbannya
yang keras kepala demikian menderita.
"Manusia Keji! Manusia Berhati Binatang...!"
Tawa Malisang terhenti di tengah jalan karena
seruan keras yang mampu menindih gelak tawanya.
Teriakan keras itu jelas-jelas memakinya.
Di saat Malisang hendak mencari asal suara
itu, angin tiba-tiba berhembus cukup keras. Tahu-
tahu di depan Malisang dan istri Pendekar Macan Pu-
tih telah berdiri seorang gadis berpakaian merah menyala. Seorang gadis yang
amat cantik. Berkulit putih,
halus, dan mulus. Beberapa tahi lalat menghias wa-
jahnya, menambah kecantikannya.
Tanpa menunggu lebih lama, gadis berpakaian
merah mengambil sebatang kipas yang terselip di
pinggang. Kemudian, ia mengirimkan totokan bertubi-
tubi ke berbagai bagian tubuh Malisang!
Malisang melompat jauh ke belakang dan me-
lemparkan batu-batu di tangannya pada gadis berpa-
kaian merah! Kedatangan gadis itu membuat Malisang
menghentikan serangannya terhadap istri Pendekar
Macan Putih. 4 Gadis berpakaian merah mengembangkan ki-
pasnya dan mengebutkan hingga batu-batu itu terpu-
kul runtuh. Tapi, saking kerasnya tenaga Malisang,
tubuh gadis berpakaian merah terhuyung dan tan-
gannya bergetar hebat.
Kesempatan emas itu tak dibiarkan begitu saja
oleh Malisang. Malisang segera meloloskan sabuknya.
Kemudian, dilemparkan ke arah gadis berpakaian me-
rah. Bagaikan memiliki nyawa, sabuk hitam pekat mi-
lik Malisang meluncur dan melibat erat gadis itu sebelum sempat berbuat sesuatu.
Bahkan, sabuk itu
membuat simpulan yang erat dari pangkal lengan
sampai ke bawah pinggang. Kejadian itu terjadi demikian cepat.
Gadis berpakaian merah berusaha melepaskan
diri dengan mengerahkan tenaga dalam. Tapi, sabuk
itu bukan sabuk sembarangan. Walaupun gadis itu te-
lah mengerahkan seluruh tenaga dalamnya sabuk la-
wan tetap tidak mampu diputuskan. Sabuk itu lentur
seperti karet! Malisang tidak berani menanggung akibat bila
gadis berpakaian merah sampai lepas. Di saat gadis
itu tengah berjuang untuk membebaskan diri dari belitan sabuk. Lelaki berkulit
hitam menudingkan jari telunjuk kanannya.
Tidak terlihat Malisang bergerak mendekat un-
tuk melakukan totokan, tapi gadis berpakaian merah
mengeluarkan keluhan tertahan ketika tudingan jari
telunjuk Malisang mengenai salah satu jalan darah-
nya. Tubuh gadis berpakaian merah pun ambruk ke
tanah seperti karung basah.
Gadis berpakaian merah tampak kaget bukan
main. Malisang ternyata memiliki ilmu totokan jarak jauh. Dengan mempergunakan
angin serangannya sa-ja, lelaki berkulit hitam ini mampu merobohkan lawan!
"He he he...!"
Malisang terkekeh melihat gadis berpakaian
merah sudah tidak berdaya. Masih dengan kekeh yang
tidak lenyap dari mulutnya, Malisang melakukan ge-
rakan menarik dengan kedua tangan kepada istri Pen-
dekar Macan Putih.
Wanita berpakaian biru yang memperhatikan
jalannya pertarungan terkejut bukan main merasakan
adanya tarikan yang luar biasa dari kedua tangan Malisang. Istri Pendekar Macan
Putih ini tahu gadis berpakaian merah tidak bisa diandalkan lagi untuk me-
nyelamatkan nyawanya. Sayang, Malisang telah lang-
sung bertindak sebelum istri Pendekar Macan Putih
mengambil tindakan penyelamatan.
Dari pandangan mata Malisang, wanita itu ta-
hu maut telah dekat dengan dirinya. Ia tidak mampu
berbuat sesuatu untuk menyelamatkan diri. Wanita
berpakaian biru ini hanya bisa pasrah menanti da-
tangnya maut. Gadis berpakaian merah meski sudah tidak
berdaya tidak menghalangi pandangannya ke arah
Malisang dan istri Pendekar Macan Putih. Matanya
terbelalak melihat tubuh Ibunya Gunaran tertarik deras ke arah Malisang.
Gadis berpakaian merah menduga Malisang
akan menyambuti datangnya tubuh wanita berpakaian
biru dengan tusukan jari tangan atau pukulan. Po-
koknya serangan mematikan yang dapat mengirim
nyawa istri Pendekar Macan Putih ke neraka. Tapi,
dugaannya ternyata meleset. Malisang menjulurkan
kedua tangannya ke arah sebatang pohon besar ber-
daun rimbun yang berada tak jauh darinya. Sesaat
tangan lelaki berkulit hitam legam ini bergetar dan daun-daun pohon itu
berguguran. Cukup banyak bagai dilanda angin topan.
Tindakan Malisang tidak berhenti sampai di si-
tu. Dengan kedua tangannya dia melakukan gerakan
mengibas ke arah istri Pendekar Macan Putih. Seketi-ka itu pula daun-daun
meluncur ke arah wanita ber-
pakaian biru dengan kecepatan menakjubkan. Bunyi
mencicit yang menyayat telinga terdengar ketika daun-daun meluncur menyambut
luncuran tubuh istri Pen-
dekar Macan Putih.
Cap, cap, cappp!
Laksana benda-benda dari logam, daun-daun
pohon itu menancapi sekujur tubuh istri Pendekar
Macan Putih, mulai dari kepala sampai ke pinggang.
Wanita berpakaian biru itu tidak tahan untuk tidak
mengeluarkan jeritan menyayat. Darah pun deras
mengalir dari bagian tubuh yang ditancap daun-daun
yang tak ubahnya mata pisau akibat pengerahan te-
naga dalam Malisang yang luar biasa.
Nyawa wanita berpakaian biru pun melayang
ke alam baka dengan tubuh masih meluncur deras ke
arah Malisang. Tapi, hanya dengan menjulurkan ke-
dua tangan ke depan, Malisang telah membuat tubuh
istri Pendekar Macan Putih kembali terpental ke belakang. Dari kedua tangan yang
dijulurkan itu keluar
angin keras. *** "Sekarang giliranmu, Gadis Liar!" Malisang me-nyorotkan tatapan dingin pada
gadis berpakaian me-
rah. Bukannya takut, gadis berpakaian merah ma-
lah menentang tatapan Malisang, Hal ini membuat
Malisang semakin merasa tidak senang. Terlebih ia
gagal mendapatkan keterangan tentang Harimau Ter-
bang Berkuku Seribu.
"Aku tidak mau berpanjang kata, Gadis Liar!
Aku bukan orang yang sabar. Cepat jawab atau kau
akan mengalami hal yang mengerikan di tanganku!
Kau akan ku telanjangi dan tubuhmu yang bagus itu
kuumpankan pada gerombolan semut merah yang ku-
bawa!" Malisang menghentikan ucapannya ketika melihat perubahan di wajah gadis
berpakaian merah. Dia tahu hati gadis itu terguncang. Kalau tidak karena ancaman
dengan semut, tentu karena takut ditelanjangi!
Sebagai seorang tokoh persilatan yang berpengalaman, Malisang tahu ancaman
siksaan yang paling mengerikan bagi seorang gadis adalah perkosaan. Tapi, sayang
Malisang bukan orang semacam itu. Dia tidak mempunyai keinginan untuk menguasai
tubuh seorang wanita secara paksa.
"Apa... yang hendak kau tanyakan padaku...?"
tanya gadis berpakaian merah.
Suaranya agak bergetar karena perasaan te-
gang yang melanda hati.
"Katakan di mana Harimau Terbang Berkuku
Seribu!" tandas Malisang cepat
Wajah gadis berpakaian merah berubah pias.
Mungkin kalau gadis ini dapat bergerak, ia akan ber-jingkat ke belakang seperti
orang disengat kalajengking!
Melihat gadis berpakaian merah tercenung bin-
gung malah seperti kaget Malisang jadi kalap.
"Cepat jawab sebelum aku kehilangan kesaba-
ran dan memberikan hukuman terhadapmu! Jangan
paksa aku untuk membuktikan ancaman ku!" desak Malisang tidak sabar.
Gadis berpakaian merah tidak juga memberi-
kan keputusan meski ucapan Malisang terdengar se-
makin keras. Rupanya, pertanyaan yang diajukan Ma-
lisang terlalu rahasia. Sehingga, sukar bagi gadis berpakaian merah untuk
memberikan jawaban.
Tindakan gadis itu membuat kesabaran Mali-
sang habis. Lelaki berkulit hitam ini tahu gadis berpakaian merah mengetahui
jawabannya. Karena itu, Ma-
lisang jadi geram ketika melihat gadis itu tidak juga memberikan jawaban.
Malisang murka bukan main. Dia merasa di-
tantang untuk membuktikan kebenaran ancamannya.
Maka, segera tangan kanannya dijulurkan ke arah
punggung kudanya yang sejak tadi dengan tenang me-
rumput. Lelaki berkulit hitam itu menggetarkan tan-
gannya mengerahkan tenaga dalam.
Sesaat kemudian, sebuah buntalan sebesar
kepala yang berada di atas punggung kuda melayang
ke arah Malisang. Pada saat yang bersamaan, dari
atas pohon melinjo yang berada di sebelah kiri Malisang dan berlawanan arah
dengan kuda Malisang, me-
layang dua butir buah melinjo ke arah gadis berpa-
kaian merah. Malisang meski tengah sibuk tidak kehilangan
kewaspadaan. Bunyi luncuran buah melinjo yang
mencicit cukup nyaring membuat kepalanya menoleh.
Lelaki berkulit hitam legam ini melihat luncuran dua buah melinjo dari atas
pohon. Sayang, Malisang tidak dapat berbuat apa-apa.
Tuk, tukkk! Begitu buah-buah melinjo mengenai tubuh ga-
dis berpakaian merah, ia merasa totokan yang membe-
lenggu buyar. Jalan darahnya kembali lancar. Dengan sekali lentingan, gadis
berpakaian merah langsung
dapat berdiri meski kedua tangannya masih terbeleng-gu.
Melihat hal ini Malisang jadi naik darah. Begitu
buntalannya berhasil ditangkap. Tangan kanannya se-
gera digunakan untuk mengirimkan pukulan jarak
jauh ke atas pohon tempat buah melinjo tadi berasal!
Hembusan angin deras yang menandakan kekuatan
tenaga dalam dahsyat pun meluncur ke atas pohon.
Sebelum pukulan jarak jauh Malisang tiba
yang akan mengakibatkan sebagian besar daun-daun
dan ranting pohon berguguran, dari balik kerimbunan dedaunan mencuat dua buah
telapak tangan. Yang
kanan mengarah pada luncuran pukulan jarak jauh
Malisang. Sedangkan tangan kirinya tertuju pada tempat gadis berpakaian merah
berada. Malisang hampir tidak percaya dengan pengli-
hatannya ketika pukulan jarak jauhnya berhasil di-
kandaskan. Malah tidak pantas disebut kandas, me-
lainkan lenyap begitu saja bagai tertelan tangan kanan yang keluar dari
kerimbunan pohon. Tidak terjadi benturan tenaga dalam yang seperti biasanya
terjadi. Yang lebih gila lagi, tangan kiri yang mengarah
ke tubuh gadis berpakaian merah kelihatan bergetar
sesaat. Sabuk yang melilit tubuh gadis itu pun ter-
lepas. Kejadian ini lebih membuat Malisang kaget
Malisang bukan orang bodoh! Ia tahu sosok


Dewa Arak 74 Panggilan Ke Alam Roh di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang bersembunyi di atas pohon memiliki kepandaian
sangat tinggi. Hanya dengan sebelah tangan ia mampu menelan pukulan jarak
jauhnya. Hebatnya lagi, pada
saat yang bersamaan ia mampu membebaskan gadis
berpakaian merah dari belenggu lilitan sabuknya. Sua-tu tindakan yang Malisang
sendiri tak akan mampu
melakukannya meski dengan kedua tangan. Membuka
ikatan lebih sulit daripada mengikatnya.
Yang lebih membuat Malisang yakin akan ke-
tangguhan sosok yang berada di atas pohon adalah
karena kedua tangan itu berasal dari satu orang. Karena gerakan itu dilakukan
pada waktu yang bersa-
maan, sosok yang berada di atas pohon pasti membagi tenaganya untuk memunahkan
pukulan jarak jauh
dan melepaskan belenggu gadis berpakaian merah.
Jadi, tiap tangan mengandung separo dari pengerahan tenaga dalamnya. Kalau
separo saja mampu meneng-gelamkan pukulan jarak jauhnya, bagaimana pula
dengan seluruh kekuatan tenaga dalamnya" Pikir Ma-
lisang. Maka setelah me-lempar pandangan gentar pa-
da sosok yang tersembunyi di balik pohon, lelaki berkulit hitam legam ini
melompat ke atas punggung ku-
da dan menggebahnya untuk segera meninggalkan
tempat itu. *** "Kalau bukan seorang pengecut dan memang
memiliki maksud baik mengapa tidak turun dari atas
pohon..."!"
Gadis berpakaian merah yang merasa kagum
melihat Malisang yang demikian lihai lari ketakutan, sengaja mengeluarkan ucapan
pedas untuk memaksa
penolongnya keluar dari tempat persembunyian.
Gertakan gadis berpakaian merah ternyata
berhasil. Sesaat kemudian, dengan didahului helaan
napas berat, melayang turun sesosok bayangan yang
mendarat ringan bagai sehelai daun jatuh.
"Ah...!"
Gadis berpakaian merah tidak mampu mena-
han keterkejutannya melihat sosok di atas pohon yang telah berdiri empat tombak
di depannya. Sepasang
mata gadis itu membelalak lebar seperti tengah melihat hantu.
Tentu saja tindakan gadis berpakaian merah
membuat sosok yang baru turun dari pohon kebin-
gungan. Apakah ada sesuatu yang salah dengan di-
rinya" Sosok itu bertanya sendiri dalam hati. Barangkali ada sesuatu yang tanpa
diketahui menempel di
wajah atau kepalanya" Kotoran atau sarang burung
barangkali"
Karena pandangan gadis itu sebagian besar di-
tujukan pada wajah dan kepalanya, sosok yang baru
turun dari atas pohon menggunakan kedua tangannya
untuk menyeka kepala serta wajahnya.
"Apa yang kau lakukan, Sobat?" Gadis berpakaian merah merasa heran.
Pertanyaan ini menyadarkan penolong gadis
berpakaian merah kalau pada wajah dan kepalanya ti-
dak terdapat apa-apa. Dia telah salah duga.
"Hanya iseng saja, Nisanak. Bukankah lebih
baik mengusap-usap wajah dan kepala daripada aku
mengisap-isap jempol?" Untuk menutupi perasaan ma-lunya, pemuda yang baru turun
dari atas pohon dan
berambut putih keperakan itu mencoba berkelakar.
"Hi hi hi...!"
Gadis berpakaian merah tertawa lucu menden-
gar jawaban itu. Dia tahu bukan itu jawaban yang se-
benarnya. Tapi, dia tidak mempedulikannya dan tidak bertanya lebih lanjut.
Pemuda berambut putih keperakan ikut terse-
nyum lebar. Apalagi gadis itu kelihatan geli sekali. Pemuda berambut putih
keperakan tidak menduga kalau
tadi gadis berpakaian merah terkesima bukan karena
ada sesuatu pada wajah dan kepalanya. Tapi, karena
heran melihat orang yang telah menyebabkan Mali-
sang pergi adalah seorang yang masih sangat muda!
Tadi, gadis berpakaian merah menduga kalau yang
melompat turun adalah seorang kakek yang sudah
sangat tua, mengingat kesaktian yang dipertunjuk-
kannya. "Terima kasih atas pertolonganmu, Sobat. Ka-
lau tidak ada kau mungkin aku telah celaka di tan-
gannya," ujar gadis berpakaian merah kemudian. "Kenalkan namaku Pergiwa. Kau
boleh memanggilku Gi-
wa. Asal jangan kau panggil aku dengan sapaan Pergi saja. Aku tidak akan
menoleh. Hi hi hi...!"
Pemuda berambut putih keperakan itu tertawa.
Bukan karena lelucon gadis berpakaian merah yang
bernama Pergiwa. Lelucon itu sama sekali tidak lucu.
Tapi, pemuda berambut putih keperakan tertawa ka-
rena melihat betapa gelinya Pergiwa tertawa. Pergiwa tidak tahu hal itu. Gadis
berpakaian merah itu menduga pemuda berambut putih keperakan tertawa ka-
rena leluconnya.
"Lupakanlah, Pergiwa." Pemuda berambut putih keperakan menyapa secara lengkap.
"Tolong menolong sudah merupakan kewajiban setiap manusia. Ja-
di, tidak perlu dibesar-besarkan. Lagi pula hanya kebetulan aku lewat tempat
ini. Karena aku tidak tahu permasalahannya, aku menolong secara sembunyi-
sembunyi. Aku tidak mau mencari permusuhan den-
gan orang yang tidak mempunyai urusan denganku."
Pemuda itu memang baru saja tiba setelah me-
nunggu orang-orang yang disangkanya mengejar pe-
muda berpakaian kuning tua. Cukup lama ia menung-
gu sebelum akhirnya menempuh arah yang dituju pe-
muda berpakaian kuning. Dia melakukan perjalanan
seenaknya sehingga tiba di tempat ini dengan mema-
kan waktu cukup lama. Apalagi karena agak kesulitan mengikuti jejak kuda yang
sebagian besar telah hilang akibat tiupan angin keras.
"Meskipun orang itu telah membunuh wanita
tua yang tidak bersalah?" Pergiwa meminta penegasan.
"Benarkah demikian?"
Pemuda berambut putih keperakan kelihatan
agak terkejut. Ia mengalihkan pandangannya ke arah
istri Pendekar Macan Putih yang tergolek tanpa nyawa di tanah. Memang, pemuda
tampan berwajah jantan
itu telah melihatnya. Hanya ia tidak tahu siapa yang telah membunuhnya.
"Tentu saja!" tandas Pergiwa keras. "Kau kira aku orang yang suka berbohong"
Apakah aku tampak
seperti orang yang suka menipu orang"!"
"Tentu saja tidak!" jawab pemuda berambut putih keperakan cepat, khawatir
Pergiwa meledak
amarahnya. "Siapa pun yang melihatmu bisa segera mengetahui kalau kau seorang
wanita yang jujur. Kau tidak terlihat mempunyai sifat pembohong. Apalagi jahat
dan sampai membunuh orang."
"Benarkah demikian?" Wajah Pergiwa berubah cerah. Lenyap sudah bayang kemarahan
dari wajahnya. Pemuda berambut putih keperakan menahan
geli. Dia memasang wajah serius. Kepalanya diang-
gukkan. "Kau pun baik. Maksudku... aku yakin kau
pun bukan orang jahat. Setidak-tidaknya demikian
perkiraan ku. Apakah... kau seorang pendekar yang
terkenal" O, ya. Aku belum mengetahui siapa nama-
mu. Kau curang! Sejak tadi kau belum memperkenal-
Pedang Kunang Kunang 3 Si Bayangan Iblis Karya Kho Ping Hoo Kisah Si Rase Terbang 13
^