Pencarian

Pembantai Dari Mongol 1

Dewa Arak 73 Pembantai Dari Mongol Bagian 1


PEMBANTAI DARI MONGOL oleh Aji Saka Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting : Tuti S.
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Aji Saka Serial Dewa Arak
Dalam episode Pembantai Dari Mongol
128 hal ; 12 x 18 cm
1 Kereta itu kecil namun indah, bahkan terkesan
mewah. Dua ekor kuda yang menarik kereta berjalan
dengan lambatnya. Rupanya, tali kendali dilepaskan
oleh kusir kereta yang sekaligus penumpangnya.
Sang kusir kereta itu seorang pemuda berpe-
nampilan rapi. Ia mengenakan pakaian yang mewah
dan indah. Wajahnya tampan dengan kulit putih ke-
merahan. Pemuda itu tampak seperti seorang wanita!
Pemuda berpakaian mewah itu duduk seenaknya di
atas kereta sambil meniup suling yang tergenggam
dengan kedua tangan. Terdengar alunan nada-nada
indah yang enak didengar.
Paduan bunyi langkah kaki kuda, derit roda ke-
reta, dan bunyi suling mengiringi perjalanan kereta kuda memasuki sebuah desa.
Beberapa orang yang
kebetulan berpapasan meluangkan waktu untuk meli-
hat kusir kereta itu.
Pemuda berpakaian mewah itu baru menghen-
tikan permainan sulingnya ketika telah berada di depan sebuah rumah makan.
Suling segera diselipkan di pinggang yang dilingkari sehelai sabuk lebar yang
terbuat dari benang keemasan. Ditariknya tali kekang
kuda untuk menghentikan laju kereta.
Setelah menambatkan kudanya pada sebatang
pohon yang berada di dekat tempat itu dan membiar-
kan kudanya merumput, pemuda berpakaian mewah
itu mengayunkan kaki memasuki rumah makan. Den-
gan dada membusung, pemuda itu menghampiri se-
buah meja bundar yang terlihat masih kosong. Terlebih dulu ia mengedarkan
pandangan ke sekeliling kedai
yang cukup ramai dipenuhi pengunjung.
Seorang lelaki berkulit hitam dengan tergopoh-
gopoh menghampiri pemuda berpakaian mewah itu.
"Mau pesan apa, Tuan?" tanya lelaki berkulit hitam yang adalah pelayan rumah
makan "Bawa kemari semua masakan yang paling
enak dan paling mahal!" tandas pemuda berpakaian mewah angkuh. Lalu, tanpa
mempedulikan pelayan
yang mengangguk mengiyakan, pemuda itu mengambil
sebatang cangklong dari selipan pinggangnya.
Pemuda berpakaian mewah tidak menoleh keti-
ka pelayan kedai membalikkan tubuh untuk me-
nyiapkan pesanannya. Dia sibuk dengan cangklong
yang telah diselipkan di celah-celah bibirnya. Ujung cangklong yang berbentuk
seperti mangkok kecil dima-sukkan racikan-racikan tembakau. Dengan sepasang
batu api, dinyalakannya cangklong itu. Sesaat kemu-
dian tercium bau semerbak yang aneh dan keras. Bau
itu memenuhi rumah makan.
"Aku yakin kau yang akan menjadi pemenang
dalam pertandingan nanti, Ketua. Bukankah demikian, Baroksa?"
Terdengar percakapan dari meja di sebelah kiri
pemuda berpakaian mewah. Terlihat riak pada wajah
pemuda itu. Rupanya, percakapan yang didengarnya
cukup menarik perhatiannya. Bahkan, meski wajah-
nya tertuju ke depan, ekor matanya melirik ke arah
meja tempat percakapan itu berasal.
"Benar, Ketua."
Orang yang dipanggil Baroksa mengangguk. Di
sebelah Baroksa duduk seorang laki-laki bertubuh kurus jangkung. Sedangkan di
depannya, duduk seorang
lelaki kekar berkumis melintang. Ketiga orang ini mengelilingi sebuah meja
bundar yang dipenuhi makanan
dan minuman. "Kalian terlalu menganggap remeh orang lain."
lelaki berkumis melintang yang dipanggil ketua, me-
nanggapi dengan suara berat dan berwibawa. "Orang-orang pandai di dunia ini
terlampau banyak. Seperti Raja Racun Sakti di utara dan Raja Sihir Penyebar
Maut di selatan. Dua tokoh tingkat tinggi itu tak akan mungkin bisa ku
tandingi."
"Apa yang Ketua katakan memang tidak salah.
Di samping utara, Raja Racun Sakti pun menguasai
barat. Sedangkan wilayah timur juga dikuasai Raja Sihir Penyebar Maut, di
samping daerah selatan yang
memang menjadi tempat tinggalnya. Tapi, bukankah
kedua datuk itu telah mengundurkan diri karena telah berusia lanjut" Mereka
sudah bukan merupakan lawan lagi?" Baroksa mengajukan bantahan. Tapi, terasa
betul sikap hati-hatinya.
Lelaki tinggi kurus yang menjadi kawan Barok-
sa mengangguk, mendukung ucapan rekannya. Malah,
dengan sikap bangga dia menambahkan.
"Siapa sih yang tidak mengenal kita, Ketua"
Perkumpulan kita, Perkumpulan Iblis Merah, amat
terkenal di dunia persilatan. Disegani kawan dan dita-kuti lawan. Jangankan
Ketua, kami berdua atau bah-
kan salah seorang di antara kami jika maju, tokoh-
tokoh persilatan akan mundur teratur. Mereka akan
berpikir beberapa kali sebelum maju menandingi kami"
Lelaki tinggi kurus mengucapkannya dengan
suara lantang sambil berdiri dan membusungkan da-
da. Tapi karena dadanya memang tidak berdaging,
tingkahnya jadi kelihatan menggelikan. Meski demi-
kian, tidak mengurangi kadar kesombongan yang ter-
kandung dalam ucapan dan sikapnya.
Ketua Perkumpulan Iblis Merah tersenyum le-
bar. Kesombongannya bangkit melihat sikap yang di-
tunjukkan anak buahnya. Sepasang matanya diedar-
kan ke sekeliling ruangan kedai. Diperhatikannya
orang-orang yang berada di ruangan itu. Sinar ma-
tanya seperti mengajukan tantangan.
"Pelayan...!"
Pemuda berpakaian mewah melambaikan tan-
gan. Di saat pelayan kedai tergopoh-gopoh mengham-
piri, pemuda itu mengeluarkan sapu tangan indah pe-
nuh sulaman dari bagian dalam bajunya. Diperguna-
kannya sapu tangan itu untuk menyeka mulutnya
yang agak berminyak. Rupanya, ia telah selesai dengan makannya. Memang, di saat
pemuda itu mendengarkan pembicaraan orang-orang Perguruan Iblis Merah
makanan telah siap dihidangkan di meja. Pemuda ber-
pakaian mewah itu menyantap hidangannya sambil
mendengarkan. Makanan yang dipesannya banyak, ta-
pi tidak dihabiskan. Sebagian besar hanya dicicipinya.
"Ada apa, Tuan?" tanya pelayan kedai seraya membungkuk hormat.
Tingkah pemuda berpakaian mewah dan pe-
layan kedai sempat dilihat oleh para pengunjung yang menikmati hidangan di meja
masing-masing. Teriakan
pemuda berpakaian mewah yang cukup lantang tadi
membuat mereka mengalihkan perhatian. Tidak terke-
cuali orang-orang Perkumpulan Iblis Merah. Bahkan,
alis Ketua Perkumpulan Iblis Merah berkerut. Ia mera-sa seruan lantang pemuda
berpakaian mewah itu dike-
luarkan untuk menimpali seruan anak buahnya tadi.
Pemuda berpakaian mewah tidak segera mem-
berikan jawaban. Dengan sikap tenang dan penuh
keangkuhan, diselipkannya cangklong yang tadi dile-
takkan di meja ke dalam mulutnya. Kemudian, dinya-
lakan dan menyedotkannya dalam-dalam. Ia menge-
pulkan asapnya pada sisa makanan yang berada di
atas meja. "Berikan sisa makanan ini pada orang-orang
kurang makan di depan sana!" ujar pemuda berpakaian mewah dengan angkuh.
"Baik, Tuan!" Pelayan kedai mengangguk dan segera merapikan makanan di atas
meja. Dibawanya
makanan itu keluar untuk diberikan pada para pen-
gemis yang berkerumun di luar kedai.
*** "Besar lagak...!" Lelaki tinggi kurus yang menjadi kawan Baroksa mendengus
gemas. Rupanya, dia
merasa jengkel melihat tingkah pemuda berpakaian
mewah yang angkuh. "Ingin rasanya kuhajar dia agar berkurang sombongnya!"
"Kau jangan bersikap sembarangan, Tangkaran.
Pemuda itu bukan orang sembarangan. Dia pasti
mempunyai kepandaian yang cukup hingga berani ber-
tindak seperti itu," ujar lelaki berkumis melintang.
Ucapan itu bagaikan minyak menyambar api.
Lelaki tinggi kurus yang bernama Tangkaran semakin
merasa tidak senang. Ucapan ketuanya tidak hanya
membuatnya kesal karena seakan-akan memberikan
pembelaan terhadap pemuda berpakaian mewah, tapi
juga seperti memukulnya! Tangkaran merasakan ketu-
anya meragukan kepandaiannya.
Tangkaran bangkit dari kursinya dengan wajah
merah padam. "Biar aku yang akan menghentikan sikap som-
bongnya, Ketua! Pemuda tidak tahu aturan itu kalau
tidak diberi pelajaran akan besar kepala dan menganggap di dunia ini hanya dia
yang memiliki kepandaian!"
Lelaki berkumis melintang tidak memberikan
tanggapan sama sekali. Bahkan, seperti tidak mendengar ucapan Tangkaran. Dengan
tenang dia menikmati
makanannya. Sikap lelaki berkumis melintang itu di-
anggap oleh Tangkaran sebagai tanda perkenan atas
tindakan yang akan dilakukannya. Maka, dengan
langkah lebar, kakinya diayunkan menuju meja pemu-
da berpakaian mewah.
"Sungguh tidak kusangka kalau di rumah ma-
kan seperti ini ada seekor anjing merah kurus kering yang suka menyalak!"
Ucapan yang cukup keras dan lantang itu ke-
luar dari mulut pemuda berpakaian mewah. Dia men-
gucapkannya setelah menghembuskan asap dari mu-
lutnya. Kelihatannya, ucapan itu tak tertuju jelas pada siapa. Tapi Tangkaran
merasakan dadanya seperti
hendak meledak. Dia tahu ucapan pemuda itu dituju-
kan padanya. "Pemuda sombong! Berani kau menghinaku"
Rupanya, kau ingin merasakan kehebatan orang-orang
Perkumpulan Iblis Merah!" teriak Tangkaran dengan suara menggelegar ketika telah
berada di depan pemuda berpakaian mewah, yang masih enak-enakan du-
duk di kursinya bermain dengan asap tembakau. Bah-
kan, seperti tidak mempedulikan Tangkaran yang telah berdiri di depannya dan
hanya terpisah oleh meja
bundar. "Menyingkirlah dari depanku dan berhentilah menyalak, Anjing Kurus!"
sentak pemuda berpakaian mewah. Ditudingnya Tangkaran dengan cangklongnya.
"Kalau tidak, aku akan memukulmu hingga kau terkaing-kaing pergi dari sini
sambil menggulung ekor
mu!" "Keparat!"
Perkataan pemuda berpakaian mewah yang te-
rakhir membuat Tangkaran tidak bisa menahan sabar
lagi. Dengan sepasang mata membelalak lebar seperti hendak melompat keluar dari
rongganya, dia membuka
serangan dengan sebuah pukulan keras ke arah wajah
pemuda berpakaian mewah. Dalam kemarahannya,
Tangkaran mengerahkan seluruh tenaga dan kecepa-
tannya. Terdengar bunyi berdesing ketika tangannya
yang kurus meluncur datang.
Sudah terbayang dalam benak Tangkaran kepa-
la pemuda yang sombong dan besar mulut ini akan
hancur berantakan. Karena, jangankan kepala manu-
sia, batu karang yang paling keras pun akan hancur
terhantam tangannya.
Wukkk! Dugaan Tangkaran ternyata tidak sesuai den-
gan kenyataan. Pukulannya mengenai tempat kosong.
Pemuda berpakaian mewah itu sudah tidak berada di
tempatnya. Padahal, dia tidak kelihatan bergerak atau melakukan tindakan apa
pun. Tapi, tubuhnya berikut
kursi yang didudukinya bergeser jauh ke belakang seperti memiliki roda. Bunyi
berkerit tajam mengiringi bergesernya kursi.
Amarah Tangkaran semakin berkobar. Dengan
tangan kirinya, didorongnya meja bundar yang berada di depannya. Meja itu pun
meluncur ke arah pemuda
berpakaian mewah yang enak-enakan duduk di kur-
sinya sambil mengisap cangklong.
Semua pasang mata pengunjung kedai, tak ter-
kecuali lelaki berkumis melintang dan Baroksa, mulai tertarik untuk menyaksikan
keributan kecil ini. Mereka ingin tahu bagaimana caranya pemuda berpakaian
mewah itu meloloskan diri dari luncuran meja.
Sedikit lagi meja bundar itu menghantam pe-
muda berpakaian mewah, tiba-tiba pemuda itu bersa-
ma dengan kursinya terangkat tinggi ke atas! Meja itu pun meluncur di bawah
keempat kaki kursi yang diduduki pemuda berpakaian mewah! Padahal, pemuda
itu hanya menjejakkan kaki kanannya pelan ke lantai.
Tapi, tindakan itu mampu mengangkat tubuh dan
kursinya melayang ke atas setinggi hampir tiga tom-
bak! Yang lebih mengherankan Tangkaran dan ham-
pir semua pengunjung kedai adalah ketika kursi yang diduduki pemuda berpakaian
mewah itu mampu hinggap di atas meja tanpa menimbulkan bunyi berarti.
Bagaikan sehelai daun kering mendarat di tanah! Pe-
muda itu sendiri dengan sikap tidak peduli enak-
enakan bermain dengan asap cangklongnya.
Tindakan pemuda ini lagi-lagi membuat para
pengunjung membelalakkan mata. Bahaya yang men-
gancam pemuda itu belum lagi sirna. Meja itu masih
meluncur. Bahkan kini dengan membawahi pemuda


Dewa Arak 73 Pembantai Dari Mongol di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berpakaian mewah bersama kursinya, meja itu melun-
cur menuju meja-meja para pengunjung, yang berada
di belakang meja pemuda berpakaian mewah.
Pengunjung yang berada di belakang dan kha-
watir tertabrak meja yang meluncur cepat itu bergegas meninggalkan tempat
mereka. Ketika meja itu mena-brak meja yang ada di belakangnya terdengar bunyi
berderit tajam. Lantai kedai tergurat se-dalam beberapa jari sepanjang luncuran
itu. Keempat kaki meja
tampak amblas sedalam beberapa jari di lantai!
Sekujur tubuh Tangkaran bergetar hebat kare-
na perasaan geram. Dia merasa dipermainkan! Apalagi, ketika dilihatnya pemuda
berpakaian mewah itu masih dengan tenang mengisap cangklongnya.
*** "Tangkaran! Mundur...!"
Lelaki berkumis melintang yang sejak tadi
memperhatikan peristiwa itu memerintahkan dengan
suara keras. Ketua Perkumpulan Iblis Merah ini tahu pemuda berpakaian mewah itu
terlalu tangguh untuk
muridnya. Sebelum terjadi sesuatu yang tidak diinginkan, lelaki berkumis
melintang segera mencegah.
Ketua Perkumpulan Iblis Merah ini tahu calon
lawannya memiliki ilmu meringankan tubuh dan tena-
ga dalam yang sangat tinggi. Pemuda berpakaian me-
wah itu telah mengerahkan ilmu meringankan tubuh
untuk mengangkat kursinya. Dan, untuk menghenti-
kan luncuran meja ia harus mengerahkan tenaga da-
lamnya. Seruan lelaki berkumis melintang terdengar jelas oleh Tangkaran. Meski-
masih merasa penasaran,
lelaki tinggi kurus ini tidak berani membantah. Setelah melepaskan pandangan
penuh ancaman dan sikap
terpaksa, Tangkaran membalikkan tubuhnya.
"Anjing merah yang kurus dan buduk hendak
pergi begitu saja setelah membuang kotorannya yang busuk dekat seorang tuan
muda" Rasanya tidak adil
kalau tuan muda itu tidak memberikan balasan yang
setimpal."
Tangkaran bergegas membalikkan tubuhnya
kembali. Ia khawatir pemuda berpakaian mewah itu
menyerangnya secara gelap. Kemarahan yang belum
sirna dari hatinya semakin membesar.
Tapi, pemuda berpakaian mewah tidak me-
nampakkan tanda-tanda akan menyerang. Dengan te-
nang pemuda itu menyelipkan cangklongnya ke ping-
gang, setelah membuang sisa-sisa tembakau. Kemu-
dian, diambilnya suling dan diselipkan di bibirnya.
Tangkaran mengerutkan sepasang alisnya. Ia
heran melihat tingkah pemuda itu. Apakah ia hendak
bermain suling" Bukankah katanya hendak memberi-
kan pembalasan setimpal atas tindakannya"
Perasaan heran juga membelit hati para pen-
gunjung lainnya. Mereka semula sudah memperkira-
kan pemuda berpakaian mewah itu akan menghukum
Tangkaran. Maka, hati mereka pun kecewa ketika me-
lihat pemuda itu malah hendak bermain suling.
"Pemuda itu sudah gila," pikir para pengunjung yang sebagian besar tokoh-tokoh
persilatan. "Ini sih bukannya menghukum tapi menghibur."
Namun lelaki berkumis melintang tidak sepen-
dapat dengan mereka. Wajah Ketua Perkumpulan Iblis
Merah ini berubah ketika melihat tindakan pemuda
berpakaian mewah. "Menyingkir, Tangkaran!" seru lelaki itu keras. Sekali kaki
lelaki empat puluh lima tahun ini bergerak mengungkit, meja yang berada di
depannya melayang ke arah pemuda berpakaian mewah.
Makanan dan minuman yang berada di atas meja ber-
serakan di lantai dengan suara riuh rendah.
"Hih...!"
Pemuda berpakaian mewah mendengus marah.
Sepasang matanya yang tajam berkilat melirik sejenak ke arah meja yang tengah
meluncur. Kemudian, dengan tangan kanan masih memegang suling yang terse-
lip di celah-celah bibir, tangan kirinya digerakkan ke arah meja yang tengah
meluncur. Dari tangan kiri pemuda berpakaian mewah
yang kelihatan lembut itu berhembus angin dahsyat
laksana badai. Meja yang tengah meluncur ke arahnya melaju lambat. Begitu sampai
di tengah jalan, meja itu meluncur kembali ke pemiliknya, lelaki berkumis
melintang. Mula-mula lambat, tapi semakin lama semakin cepat! "Uh...!"
Lelaki berkumis melintang mengeluarkan kelu-
han tertahan. Tangannya pun segera dijulurkan ke depan, agak menyerong ke atas.
Seperti juga yang terjadi pada pemuda berpakaian mewah, dari tangan Ketua
Perkumpulan Iblis Merah keluar angin dahsyat yang
menahan luncuran meja, untuk kemudian meluncur
kembali ke arah pemuda berpakaian mewah.
Pemuda berpakaian mewah itu pun sadar la-
wannya kali ini tidak bisa disamakan dengan Tangka-
ran. Maka sebelum meja itu meluncur lebih dekat ke
arahnya, tambahan tenaga untuk tangan kirinya sege-
ra dikirimkan. Meja itu kembali meluncur ke arah lawan. Lelaki berkumis
melintang bersikeras bertahan.
Tak pelak lagi, pemandangan yang unik pun terjadi.
Meja bundar itu meluncur berganti-ganti. Terkadang
ke arah pemuda berpakaian mewah, dan tak jarang ke
arah lelaki berkumis melintang.
Tangkaran dan Baroksa serta semua pengun-
jung kedai berdebar tegang. Mereka semua tahu antara pemuda berpakaian mewah
dengan Ketua Perkumpulan Iblis Merah tengah terjadi pertarungan mengadu
kekuatan tenaga dalam. Siapa yang lebih unggul akan memenangkan pertarungan ini.
Di antara para penonton, Tangkaran yang pal-
ing tegang. Sekarang dia mengerti mengapa gurunya
memerintahkannya mundur. Pemuda itu terlalu tang-
guh untuk dilawan. Jangankan dirinya, gurunya sen-
diri tidak mudah mengalahkannya. Bahkan, Tangka-
ran merasa ragu gurunya akan keluar sebagai peme-
nang. Pemuda berpakaian mewah itu sepertinya belum
mengeluarkan semua kemampuannya. Sikapnya terli-
hat demikian sembarangan. Tangan yang diperguna-
kan hanya sebelah kiri. Padahal, Ketua Perkumpulan
Iblis Merah telah menggunakan kedua tangannya!
2 Kekhawatiran Tangkaran ternyata beralasan.
Setelah beberapa saat lamanya meja itu meluncur bergantian, sekarang terlihat
jelas meja itu lebih sering meluncur ke arah gurunya. Bahkan, jaraknya telah le-
bih dekat dengan Ketua Perkumpulan Iblis Merah itu.
Bukan hanya Tangkaran yang sekarang men-
duga kekalahan akan terjadi di pihak gurunya. Para
pengunjung lainnya pun demikian. Apalagi ketika me-
reka melihat keadaan Pimpinan Perkumpulan Iblis Me-
rah itu. Sekujur tubuh lelaki berkumis melintang
menggigil keras. Wajahnya penuh dibanjiri peluh. Ada asap tipis mengepul dari
kepalanya. Semua itu membuktikan kalau Ketua Perkumpulan Iblis Merah telah
mengerahkan tenaga dalam melebihi batas kemam-
puannya! Di lain pihak, pemuda berpakaian mewah terli-
hat masih biasa-biasa saja. Hanya pada dahinya tam-
pak sedikit peluh. Pertanda kalau dia telah mengeluarkan tenaga cukup banyak.
"Huakh...!"
Ketua Perkumpulan Iblis Merah memuntahkan
darah segar. Tubuhnya terhuyung-huyung ke bela-
kang. Kekerasan hati lelaki berkumis melintang untuk tetap bertahan melanjutkan
pertarungan tidak diim-bangi dengan kekuatan tenaga dalamnya. Pengerahan
tenaga dalam yang melampaui batas membuatnya ter-
luka dalam sehingga memuntahkan darah segar.
Kejadian yang menimpa Ketua Perkumpulan Ib-
lis Merah dengan sendirinya menghentikan pertarun-
gan. Karena terjadi secara mendadak, aliran tenaga dalam yang dikeluarkan pemuda
berpakaian mewah ti-
dak menghadapi hambatan sama sekali. Meja itu me-
luncur dengan kecepatan tinggi ke arah Ketua Per-
kumpulan Iblis Merah yang masih terhuyung-huyung
dengan kedua tangan mendekap dada.
Baroksa yang melihat adanya bahaya yang
mengancam ketuanya, tidak tinggal diam. Kedua tan-
gannya segera dihentakkan ke arah meja yang tengah
meluncur. Lelaki pendek gemuk ini mengerahkan selu-
ruh tenaga dalamnya.
Brakkk! Meja itu hancur berkeping-keping sebelum
mencapai sasaran. Pecahannya berpentalan ke segala
penjuru. Tapi, tanpa menemui kesulitan sedikit pun
dapat dihindarkan oleh para pengunjung yang seba-
gian besar orang-orang persilatan. Meskipun tidak bisa disamakan dengan Baroksa,
Tangkaran, apalagi Ketua
Perkumpulan Iblis Merah dan pemuda berpakaian
mewah. Wajah Ketua Perkumpulan Iblis Merah yang ta-
di memucat kini tampak lega. Meskipun sinar kekha-
watiran belum sirna dari wajahnya. Lelaki berkumis
melintang itu tahu nyawanya dan nyawa kedua mu-
ridnya bergantung pada pemuda berpakaian mewah
itu. Tidak ada yang dapat dilakukan Ketua Perkumpu-
lan Iblis Merah.
Lelaki berkumis melintang itu hanya menatap
pemuda berpakaian mewah untuk melihat tindakan
yang akan dilakukannya. Dilihatnya pemuda itu den-
gan tenang mengeluarkan sehelai sapu tangan indah.
Dengan sapu tangan itu dibasuhnya keringat yang
membasahi keningnya.
Baru setelah itu, pemuda berpakaian mewah
menyimpan kembali sapu tangannya. Kemudian, den-
gan sekali mengibaskan tangan dan tanpa menggerak-
kan kaki, pemuda itu mampu membuat tubuh dan
kursinya melayang meninggalkan meja. Ia mendarat di dekat Ketua Perkumpulan
Iblis Merah. "Kau Ketua Perkumpulan Iblis Merah?" tanya pemuda berpakaian mewah dengan sikap
angkuh yang tidak bisa disembunyikan.
"Benar. Namaku Marong Jurig!" jawab lelaki berkumis melintang tegas. Dia
berusaha untuk menunjukkan kalau keadaan dirinya biasa-biasa saja, ti-
dak terluka sama sekali. Tapi sayang maksud itu tidak terkabul. Seringai
kesakitan menghias wajahnya.
"Kudengar kau ingin ikut dalam perebutan ke-
dudukan menjadi datuk untuk wilayah timur ini?" desak pemuda berpakaian mewah.
Sinar matanya tajam
menusuk wajah Marong Jung. Sikap pemuda itu se-
perti ingin membaca perasaan yang terkandung di da-
lam hati Marong Jurig.
"Benar. Karena kudengar kabar Raja Sihir Pe-
nyebar Maut lenyap entah ke mana. Apa salahnya ka-
lau aku mencoba untuk menjadi datuk" Andaikata ti-
dak bisa menguasai timur dan selatan seperti yang dikuasai Raja Sihir Penyebar
Maut, setidak-tidaknya wilayah timur ini dapat ku kuasai," jelas Marong Jurig.
"Keinginanmu terlalu muluk, Marong!" kecam pemuda berpakaian mewah keras. "Lebih
baik kau urungkan niatmu. Karena, aku akan ikut memperebutkan kedudukan itu. Aku
tidak akan membiarkan
wilayah kekuasaan ayahku jatuh ke tangan orang lain.
Dan, kudengar pertarungan untuk memperebutkan
kedudukan datuk itu diadakan di puncak Gunung
Atap Langit Apakah benar demikian?"
"Benar!" Marong Jurig masih dapat menjawab dengan agak keras. Meski jantung
dalam dadanya berdetak lebih cepat. Ia tidak menyangka sedikit pun pemuda
berpakaian mewah ini adalah putra Raja Sihir
Penyebar Maut. "Kapan pertemuan itu dilangsungkan?" desak pemuda berpakaian mewah.
"Tiga hari lagi. Tepat pada waktu malam bulan
purnama. Tapi, pertemuan di puncak Gunung Atap
Langit itu hanya untuk memperebutkan kedudukan
datuk wilayah timur. Sedangkan wilayah-wilayah lain, bukan di sana tempatnya,"
Marong Jurig menambahkan.
Pemuda berpakaian mewah itu tidak memberi-
kan tanggapan. Dia telah tahu kalau di empat wilayah terjadi persaingan untuk
memperebutkan kedudukan
datuk kaum sesat. Sehubungan dengan santernya be-
rita yang tersiar di dunia persilatan, bahwa Raja Sihir Penyebar Maut dan Raja
Racun Sakti lenyap tanpa ke-tahuan rimbanya, seperti di telan bumi!
"Bersyukurlah kau, Marong." Pemuda berpa-
kaian mewah berujar dengan wajah dan sikap dingin.
"Keterangan yang kau berikan membuat aku mengurungkan niat untuk mencabut
nyawamu. Tapi, hanya
kau yang mendapatkannya, sedangkan anjing merah
kurus itu akan mendapatkan hukuman yang setim-
pal!" Tangkaran yang dituding oleh pemuda berpakaian mewah menjadi pucat pasi
wajahnya. Dengan
sinar mata minta tolong, lelaki tinggi kurus ini menatap wajah gurunya. Tapi
yang ditatap hanya menun-
dukkan kepala dengan wajah muram. Melihat hal ini,
Tangkaran tahu Marong Jurig tidak mampu meno-
longnya. Pemuda berpakaian mewah hanya tersenyum
keji melihat tindakan Tangkaran. Sekilas ditatapnya Baroksa yang kebingungan
mengetahui rekannya berada dalam bahaya. Baroksa pun menatap Marong Ju-
rig. Tapi, wajah lelaki berkumis melintang itu tertutup oleh rambutnya yang
tergerai karena kepalanya ditun-dukkan dalam-dalam.
Baroksa beralih menatap pemuda berpakaian
mewah. Dilihatnya pemuda tampan yang pesolek itu
mengeluarkan suling yang tadi telah diselipkan di
punggungnya. Ditempelkannya suling yang indah itu
di bibirnya. Kemudian, mulai ditiupnya.
Nada tinggi dan melengking yang mengusik te-
linga pun menyebar. Semakin lama semakin tinggi.
Semua orang yang berada di dalam kedai mendekap
telinga untuk menahan masuknya bunyi yang menya-
kitkan itu. Tangkaran pun demikian. Lelaki tinggi kurus
ini mendekap kedua telinganya kuat-kuat. Tapi, ber-
beda dengan orang-orang lain yang sepertinya tidak
terlalu terpengaruh, Tangkaran merasa tersiksa bukan main. Telinganya seperti
ditusuk-tusuk jarum. Sakit dan nyeri. Kian lama kian sakit. Sehingga, Tangkaran
duduk bersila dan mengerahkan tenaga dalam untuk
melawan pengaruh suara suling. Tangkaran yang dija-
dikan sasaran serangan kelihatan sangat tersiksa.
Hanya dalam waktu singkat sekujur tubuh
Tangkaran menggigil keras. Dia tidak lagi duduk bersila. Tangkaran tidak kuat
menahan sakit yang melanda.


Dewa Arak 73 Pembantai Dari Mongol di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Lelaki tinggi kurus ini berguling-guling di tanah sambil menjerit-jerit. Dari
hidung, mulut, dan telinganya
mengalir darah segar.
Beberapa saat lamanya Tangkaran berada da-
lam keadaan tersiksa. Berguling-guling, berkelojotan, seperti ayam disembelih
sebelum akhirnya diam tidak bergerak lagi. Ia tewas dengan seluruh pembuluh
darah pecah karena tak kuat menahan serangan tenaga
dalam yang keluar dari suara suling.
Dengan wajah dingin, pemuda berpakaian me-
wah menyimpan kembali sulingnya. Tatapannya ke-
mudian beredar menyapu isi ruangan. Sinar matanya
tampak penuh tantangan.
"Barang siapa yang tidak senang dengan tinda-
kanku dan merasa penasaran, silakan maju!" tantang pemuda berpakaian mewah itu.
Tidak seorang pun membuka suara apalagi
mengajukan diri untuk menandingi pemuda itu. Seba-
gian besar dari mereka menundukkan kepala, takut
bertemu pandang dengannya. Siapa tahu akibat hal itu
akan mengerikan. Pemuda berpakaian mewah itu akan
membunuh mereka. Hal seperti itu tidak aneh mengin-
gat pemuda ini adalah putra Raja Sihir Penyebar Maut.
Hati semua tokoh persilatan yang berada di da-
lam kedai menjadi tegang ketika pemuda berpakaian
mewah menatap semua yang berada di situ dengan so-
rot mata tajam berkilat.
"Akh...! Aaa...! Aaa...!"
Para pengunjung kedai, tak terkecuali Marong
Jurig dan Baroksa, terlonjak kaget. Jeritan-jeritan menyayat yang terdengar
susul-menyusul itu menge-
jutkan semua orang yang berada di dalam rumah ma-
kan. Jeritan-jeritan itu ternyata berasal dari luar rumah makan. Dari ambang
pintu kedai yang tidak ditutup terlihat sebagian dari pemilik jeritan. Mereka
adalah orang-orang berpakaian compang-camping.
Pengemis! Pemuda berpakaian mewah tersenyum keji.
Tanpa berkata apa-apa dia melangkah meninggalkan
rumah makan. Ketika telah berada di luar dan tubuh
para pengemis yang tergolek di tanah menghalangi
langkahnya, dengan tanpa peduli dilangkahinya. Bah-
kan, beberapa sosok yang masih menggelepar-gelepar
menahan kesakitan dengan tenang diinjaknya tanpa
mengenal kasihan sedikit pun. Terdengar bunyi berke-rotokan tulang-tulang yang
patah. Tak pelak lagi, jeritan kesakitan mereka pun semakin bertambah.
Tapi, pemuda berpakaian mewah tidak mempe-
dulikannya. Ia mengayunkan kaki menuju kereta dan
melajukan keretanya yang mewah secara perlahan. Ba-
ru ketika pemuda itu dan keretanya telah jauh me-
ninggalkan rumah makan, para pengunjung kedai ber-
larian keluar untuk melihat. Mereka bergidik ngeri ketika tahu para pengemis
yang jumlahnya belasan itu
mati keracunan. Pasti makanan yang diberikan para
orang-orang melarat itu telah diberi racun lebih dulu.
*** "Tunggu sebentar, Nisanak" Tidak boleh sem-
barangan orang boleh masuk ke dalam!"
Seruan itu membuat seorang gadis berpakaian
biru yang tergesa-gesa mengayunkan langkah menuju
pintu gerbang sebuah bangunan besar, menghentikan
langkahnya. Apalagi, karena dua lelaki kekar berpa-
kaian rompi hitam yang menjaga pintu gerbang, berdiri tepat di depan jalan yang
akan dilalui gadis berpakaian biru. Gadis berwajah cantik dengan bentuk tubuh
menggiurkan itu membelalakkan sepasang matanya
yang indah. "Kalian berani melarangku masuk"!" tegur gadis itu ketus sambil
bertolak pinggang. "Tahukah kalian siapa aku?"
Dua lelaki kekar berompi hitam itu saling ber-
tukar pandang. Sikap gadis berpakaian biru membuat
mereka agak ragu.
"Cepat kalian menyingkir sebelum kesabaranku
habis!" seru gadis berpakaian biru. Nada suaranya terdengar lebih tinggi. "Aku
ingin bertemu dengan Danar Jati secepatnya! Ada urusan penting!"
"Sayang sekali, Nisanak." Salah satu dari dua penjaga, yang memiliki rajahan
bergambar cakar burung di pangkal lengan kanan, berkata dengan nada
menyesal. "Permohonan mu tidak bisa kami kabulkan.
Tidak ada orang yang bernama Danar Jati di tempat
ini!" "O, begitu...." Gadis berpakaian biru mengangguk-anggukkan kepala seraya
tersenyum sinis. "Rupanya sekarang dia tidak memakai nama aslinya lagi.
Baiklah kalau kalian tidak mengenal nama Danar Jati.
Mungkin perlu kuberitahu kalau Danar Jati itu seka-
rang telah berjuluk Malaikat Utara. Jelas"! Sekarang cepat panggil dia kemari!
Katakan aku, Citra Sari, datang untuk menghukumnya karena tindakannya yang
lancang!" "Mulutmu semakin kurang ajar, Nisanak Can-
tik!" Lelaki berompi hitam yang satunya mulai berani bertindak kurang ajar.
Sepasang matanya menatap
pada bagian-bagian tertentu di tubuh gadis berpakaian biru dengan sinar mata
penuh minat. Semula, kedua
lelaki ini tidak berani bertindak demikian karena khawatir gadis berpakaian biru
ini merupakan kawan baik pimpinan mereka. "Sekali lagi kau berani menghina
pimpinan kami, kau akan ku telanjangi!" lanjut lelaki itu
"Keparat!"
Gadis berpakaian biru mengeluarkan makian
keras. Dia melesat menerjang. Tidak kelihatan tangannya bergerak, tahu-tahu
tubuh kedua lelaki berompi
hitam itu telah terlempar ke sana kemari. Gadis berpakaian biru itu dengan
kecepatan kilat menggerakkan tangan mengirimkan tamparan-tamparan. Beruntung
gadis itu tidak bermaksud membunuh sehingga tam-
paran-tamparannya hanya ditujukan pada bagian-
bagian yang tidak berbahaya. Kendati demikian, cukup untuk membuat kedua penjaga
itu tidak mampu
bangkit lagi. Mereka menderita luka dalam yang cukup parah. Tanpa mempedulikan
nasib kedua lawannya,
gadis berpakaian biru melangkah lebar memasuki pin-
tu gerbang. Dalam beberapa langkah tubuhnya telah
berada di halaman depan sebuah bangunan besar
yang kokoh dan indah. Pada bagian sebelah kiri ban-
gunan besar itu terdapat hamparan taman yang indah
dan enak dipandang. Taman itu penuh dengan bunga-
bunga dan patung-patung yang indah.
"Danar Jati...! Murid Murtad! Keluar kau...!" se-ru gadis berpakaian biru dengan
mengerahkan tenaga
dalam sehingga suaranya terdengar sampai jauh.
Belum juga gema ucapan Citra Sari lenyap,
daun pintu bangunan yang terbuat dari kayu jati be-
rukir bergerak membuka. Dari dalamnya keluar seso-
sok tubuh berpakaian serba putih. Di belakang sosok berpakaian putih ini tampak
beberapa sosok lain. Dari gerak-geriknya dan sorot mata mereka, Citra Sari dapat
mengetahui mereka adalah orang-orang golongan
hitam. Tapi Citra Sari tidak mempedulikan mereka.
Pandangan gadis berpakaian biru itu tertuju pada sosok berpakaian putih. Jari-
jari tangannya yang lentik bergerak menuding.
"Danar Jati...! Manusia tidak kenal budi! Ber-
siaplah untuk menerima hukuman!"
Sosok berpakaian putih yang ternyata seorang
lelaki tinggi besar dengan wajah persegi seperti wajah singa, tidak menunjukkan
rasa marah mendengar makian tajam itu. Dia terkekeh pelan seraya melangkah
menghampiri Citra Sari.
"Kukira siapa. Rupanya kau, Citra Sari. Silakan masuk dan bergabung dengan kami.
Dengan adanya kau, kedudukan kami menjadi lebih kuat. Bukan tidak mungkin kalau aku menjadi
datuk nomor satu, perkumpulan yang akan kita dirikan menjadi sebuah per-
kumpulan terkuat!" Lelaki berwajah singa yang berusia tidak lebih dari tiga
puluh lima tahun dan bernama
Danar Jati itu berkata dengan tenang.
"Tutup mulutmu, Danar Jati! Kedatanganku
kemari untuk membunuhmu. Kau telah murtad. An-
daikata guru-guru tahu semua tindakanmu, mereka
akan bangkit dari lubang kuburnya!"
"Ah...! Rupanya begitu menurutmu, Citra Sari
yang manis?" Danar Jati malah mengejek. "Keyakinan-ku tidak sepaham denganmu.
Aku yakin guru-guru ju-
stru merasa bangga aku berhasil menjadi datuk wi-
layah utara. Tapi, tak akan lama lagi aku akan menjadi datuk nomor satu di
seluruh penjuru dunia! Ha ha
ha...!" "Itu tidak akan terlaksana karena kau akan mampus di tanganku, Danar
Jati Keparat!"
Begitu ucapannya selesai, Citra Sari mencabut
sepasang pisau yang berkilat tajam dari balik bajunya.
Kemudian, melesat menerjang Danar Jati dengan tu-
sukan pisaunya yang kanan ke arah ulu hati! Bunyi
berdesing nyaring yang mengiringi luncuran pisau menunjukkan kekuatan tenaga
dalam serangan Citra Sa-
ri. "Biar aku yang mewakilimu menaklukkan kuda
betina liar ini, Malaikat Utara!"
Salah seorang dari perkumpulan orang-orang
yang berada di belakang Danar Jati menyeruak maju.
Dia adalah seorang lelaki bertubuh kecil kurus tapi memiliki kumis tebal dan
hitam. Bibirnya tampak selalu menyunggingkan senyum. Pakaian yang dikenakan-
nya kuning bergaris-garis hitam. Sehelai kipas indah dan lebar tercekal di
tangan kanan dan selalu dikebut-kebutkan pelan di wajahnya.
Malaikat Utara menatap lelaki kecil kurus itu
sejenak sebelum menganggukkan kepala. "Silakan, Setan Kipas. Kuserahkan dia
padamu. Kau boleh bertin-
dak apa saja padanya." ujar Malaikat Utara seraya melangkah ke belakang.
Sehingga, serangan Citra Sari
mengenai tempat kosong.
Sebelum Citra Sari sempat melancarkan seran-
gan susulan, lelaki berkumis tebal itu telah lebih dulu mendahuluinya. Ia
melancarkan serangkaian serangan
dahsyat dengan totokan ujung kipasnya yang dikun-
cupkan. Trak, trakk, trakkk!
Citra Sari yang tidak mempunyai kesempatan
mengelak, menangkis serangan itu dengan sepasang
pisaunya. Akibat benturan yang cukup keras itu tubuh keduanya terhuyung-huyung
ke belakang. Setan Kipas
terhuyung dua langkah lebih jauh. Se tan Kipas yang sejak semula yakin akan
mampu menundukkan Citra
Sari jadi berubah wajahnya.
Kenyataan ini sangat memalukan Setan Kipas.
Ia bertekad akan menutup kekalahannya. Serangan
bertubi-tubi yang tidak terduga-duga pun dilancarkan.
Kipas yang indah dalam sekejap berkali-kali berubah bentuk. Terkadang menutup,
terkadang mengembang.
Namun, Citra Sari bukan dara sembarangan. Dia
mampu mengimbangi permainan kipas si Setan Kipas.
Bahkan, mengirimkan serangan yang tidak kalah dah-
syatnya. Setelah bertempur beberapa jurus, Setan Kipas
mulai merasa ragu dapat mengalahkan Citra Sari. La-
wannya ini meski masih muda tapi memiliki kepan-
daian demikian hebat. Baik dalam hal tenaga dalam
maupun ilmu meringankan tubuh. Hanya karena Citra
Sari kurang banyak pengalaman bertanding maka ga-
dis itu tidak bisa mengembangkan permainannya.
Hingga, Setan Kipas mampu bertahan cukup lama.
Setan Kipas penasaran bukan main. Di samp-
ing itu dia pun merasa malu. Di hadapan sekian ba-
nyak tokoh-tokoh persilatan dia didesak. Mau ditaruh di mana mukanya" Perasaan
malu ini yang mendorong
Setan Kipas untuk terus melakukan perlawanan.
Setan Kipas menyerang bertubi-tubi ke arah ga-
dis itu. Kipas yang indah dalam sekejap berkali-kali berubah bentuk. Terkadang
menutup, di lain waktu sudah mengembang. Namun, Citra Sari bukan dara
sembarangan. Dia mampu mengimbangi permainan kipas lelaki kurus itu. Bahkan,
sesekali mengirimkan serangan dengan sepasang pisaunya!
Dan, kalau bisa mengalahkan lawan.
Setan Kipas adalah seorang tokoh hitam yang
telah lama malang-melintang di dunia persilatan.
Telah puluhan kali dia terlibat pertarungan.
Sebagian besar dapat dimenangkan. Dalam kemenan-
gan itu tidak sedikit yang didapatnya dengan cara tidak wajar. Setan Kipas
berlaku curang. Kali ini pun dia bermaksud bertindak demikian.
Desss! Sebuah tendangan kaki kanan Citra Sari yang
mengenai paha kanan Setan Kipas membuat lelaki
berkumis tebal itu terlempar dan jatuh terguling-
guling. Citra Sari yang marah segera memburu. Setan Kipas segera bangkit dan
berjungkir balik beberapa
kali di udara. Citra Sari yang mengetahui maksud lawannya segera mengejar. Tapi
dia terlambat Setan Kipas telah lebih dulu menjejak tanah di saat Citra Sari
meluruk maju dengan tusukan pisaunya.
Setan Kipas menggesek-gesekkan kedua ka-
kinya di tanah. Hingga, tanah yang cukup keras itu
terkikis cukup banyak. Citra Sari yang tengah menerjang melihatnya. Tapi dia
tidak mempedulikan-nya.
Gadis itu tidak tahu maksud tindakan lawannya.
Wusss! Setan Kipas baru mengebutkan kipasnya ketika
Citra Sari telah semakin dekat. Kali ini kipasnya mengebut tempat yang berbeda.
Tanah! Akibat kebutan
yang keras itu, debu tanah yang telah terkikis beterbangan ke arah Citra Sari.
Citra Sari kaget bukan main. Buru-buru ma-
tanya dipejamkan. Takut kalau-kalau matanya kema-
sukan debu. Ini memang kesempatan yang ditunggu-
tunggu Setan Kipas. Tindakan Citra Sari sudah masuk perhitungannya. Secepat
kilat, Setan Kipas melompat mengirimkan sebuah tendangan.
Citra Sari tahu serangan terhadap dirinya. Pen-
dengarannya yang tajam dapat mendengar bunyi men-
deru serangan Setan Kipas.
Desss! "Hukh...!"
Citra Sari mengeluarkan seruan kesakitan. Ka-
ki Setan Kipas dengan telak mendarat di perutnya.
Gadis berpakaian biru ini tidak mempunyai kesempa-
tan untuk mengelak. Di samping keadaan tubuhnya
yang tengah berada di udara, serangan lawan pun tiba demikian cepat. Citra Sari
hanya dapat mengerahkan
tenaga dalam untuk melindungi bagian dalam tubuh-


Dewa Arak 73 Pembantai Dari Mongol di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

nya. Meskipun demikian, gadis berpakaian biru ini terlempar jauh ke belakang.
Darah segar membasahi su-
dut-sudut mulutnya. Kalau saja saat ini Citra Sari tidak mengerahkan tenaga
dalam, nyawanya akan me-
layang saat itu juga.
Setan Kipas yang dalam cekaman perasaan ma-
lu dan marah karena sempat terdesak oleh Citra Sari kini menjadi beringas. Citra
Sari yang tengah tidak berdaya dan tubuhnya melayang deras, diburunya. Kipasnya
ditotokkan ke arah leher gadis berpakaian biru itu.
3 Trakkk! "Uh...!"
Setan Kipas mengeluarkan keluhan tertahan.
Di saat ujung kipasnya hampir berhasil mengenai sa-
saran, dari arah yang berlawanan melesat bayangan
hitam dengan disertai bunyi berdesing nyaring. Cepat bukan main dan membentur
ujung kipasnya. Setan
Kipas merasakan kedua tangannya bergetar hebat
Setan Kipas berjungkir balik ke belakang. Begi-
tu menjejak tanah, dilihatnya sesosok tubuh kekar
berpakaian ungu tengah menurunkan tubuh Citra Ha-
ri dari kedua tangannya. Gadis berpakaian biru itu te-
lah ditangkap sosok tubuh kekar berambut putih pan-
jang sebelum membentur tanah.
Setan Kipas menatap sosok berpakaian ungu
yang sekarang telah membalikkan tubuh menghadap-
nya. Sosok berpakaian ungu itu ternyata seorang pe-
muda berambut putih keperakan dan berwajah tam-
pan. Pemuda itu memiliki kepandaian tinggi. Ini bisa diperkirakan Setan Kipas
dari hebatnya getaran tangannya yang memegang kipas ketika benda gelap yang
ternyata sebutir kerikil sebesar ibu jari kaki memben-turnya. "Siapa kau,
Keparat"! Berani betul mencampuri urusan Setan Kipas"!" gertak Setan Kipas penuh
ancaman. "Dia pasti Dewa Arak...!"
Seruan itu keluar dari mulut seorang nenek
berpakaian penuh tambalan yang berada di belakang
Malaikat Utara. "Ah...!"
Hampir semua yang berada di situ terlonjak ka-
get mendengar siapa yang telah menolong Citra Sari.
Hanya beberapa di antara mereka yang kelihatan tidak terkejut. Mereka mampu
menguasai perasaannya sehingga tidak terlihat di wajah. Salah satu di antara
mereka adalah Malaikat Utara. Dia tetap berdiri tegak dengan sikap angkuhnya.
"Benarkah kau tokoh yang sombong itu, Pemu-
da Usilan"!" Setan Kipas meminta penegasan seraya menudingkan kipasnya.
"Tidak salah! Akulah Dewa Arak!" jawab pemuda berambut putih keperakan yang
tidak lain Arya
alias Dewa Arak. Suaranya mantap dan tegas.
"Ha ha ha...!"
Setan Kipas tertawa terbahak. "Rupanya benar
berita yang kudengar mengenai dirimu, Dewa Arak.
Kau memang sombong dan usilan. Merasa diri sendiri
paling hebat sehingga berani mencampuri urusan
orang lain. Selama ini kau boleh beruntung. Tapi sekarang, setelah bertemu
dengan aku, Setan Kipas, kebe-runtunganmu akan berakhir! Namamu yang besar dan
menggemparkan dunia persilatan akan pupus di sini!"
Wukkk! Setan Kipas menutup ucapannya dengan se-
buah kebutan kipasnya. Cara yang telah berhasil
memperdaya Citra Sari dipergunakan lagi terhadap
Dewa Arak. Debu mengepul tinggi dan meluruk ke
arah Dewa Arak seperti ingin membungkus tubuhnya.
Meski terperanjat melihat serangan yang dila-
kukan secara tiba-tiba dan demikian curang ini, Arya tidak kelihatan bingung
apalagi gugup. Dia terlalu sering berhadapan dengan bahaya dan ancaman maut.
Sehingga, menghadapi ancaman tiba-tiba seperti ini ia tidak kehilangan akal.
Pemuda berambut putih keperakan itu mela-
kukan gerakan mendorong ke depan. Hembusan angin
keras bertiup melemparkan sekumpulan debu yang
menuju ke arahnya berbalik ke arah pemiliknya. Kha-
watir tidak semua debu terusir pergi, Arya membarengi dorongannya itu dengan
tiupan mulutnya. Debu-debu
itu pun melayang kembali ke arah Setan Kipas.
Lelaki berkumis tebal itu yang baru saja menje-
jakkan kaki untuk melancarkan serangan gelap terke-
jut bukan main. Debu-debu yang meluncur ke arah
Dewa Arak berbalik ke arahnya. Buru-buru dia meme-
jamkan mata dan melempar tubuhnya ke belakang
dengan sebuah letikan laksana seekor lumba-lumba.
"Hik hik hik...! Kurasa sudah waktunya bagimu
untuk mundur, Setan Kipas! Kau bukan tandingan
Dewa Arak. Lagi pula kau sudah bertarung melawan
gadis ingusan itu. Sekarang menyingkirlah. Biar aku yang menghadapi Dewa Arak!"
Setan Kipas hendak membantah, tapi niatnya
segera diurungkan. Orang yang berbicara itu adalah
nenek berpakaian penuh tambalan. Nenek yang ter-
kenal dengan julukan Pengemis Tongkat Merah itu
berwatak aneh. Ia akan marah dan menyerang apabila
niatnya dihalangi. Setan Kipas tidak mau hal itu terjadi. Pengemis Tongkat Merah
memiliki kemampuan di
atasnya. Apalagi ketika diliriknya Malaikat Utara menganggukkan kepala dan
memberikan isyarat agar dia
mundur. Tanpa banyak cakap lagi, Setan Kipas pun
melangkah mundur.
"Aku rasa kalian semua salah menduga dengan
maksud kedatanganku." Arya buru-buru berujar seraya menatap Pengemis Tongkat
Merah, Malaikat Uta-
ra dan tokoh-tokoh persilatan yang berada di belakang datuk wilayah utara. "Aku
datang kemari tidak untuk bermusuhan dengan kalian. Aku datang kemari tidak
sengaja, karena mendengar bunyi riuh-rendah suara
pertempuran. Jadi...."
"Kau takut Dewa Arak..."!" Pengemis Tongkat Merah menukas tak sabar.
Merah padam wajah Dewa Arak. "Dalam kamus
hidupku tidak ada kata takut, Nek! Hanya saja aku tidak ingin bertarung dan
menanam permusuhan tanpa
alasan yang jelas."
"Alasan!" Pengemis Tongkat Merah membentak.
"Kau kira menolong wanita itu dari tangan Setan Kipas tidak membuatmu jadi
mempunyai urusan dengan
kami" Katakan saja kalau kau takut! Aku tidak akan
menyerangmu, Dewa Arak!"
"Majulah, Nek! Buktikan kalau sesumbar mu
sesuai dengan kemampuan yang kau miliki!" tandas Arya mantap.
"Pemuda Sombong!" Sepasang mata nenek berpakaian penuh tambalan membelalak
lebar. "Aku su-
dah terkenal di dunia persilatan. Dan, menjadi tokoh yang tak tertandingi
sebelum kau lahir! Terimalah ini, Pemuda Sombong!"
Wukkk! Babatan tongkat kayu merah di tangan Penge-
mis Tongkat Merah yang mengancam pinggangnya
berhasil dielakkan. Arya menjejakkan kaki dan tubuhnya melayang ke atas. Tongkat
itu menyambar bebera-
pa jari di bawah kaki pemuda berambut putih kepera-
kan itu. Tapi, nenek berpakaian penuh tambalan tidak percuma mendapat julukan
Pengemis Tongkat Merah.
Permainan tongkatnya memang menakjubkan. Begitu
berhasil dielakkan Dewa Arak, tongkat itu berputar
melingkar dan meluncur dengan sebuah tusukan ke
arah dada. Serangan ini memaksa pemuda berambut
putih keperakan melompat jauh ke belakang. Pengemis Tongkat Merah segera
mengejar. Debu mengepul tinggi. Bunyi mengaung dan
menderu-deru mengiringi gerakan tongkat Pengemis
Tongkat Merah. Tongkat itu lenyap menjadi kelebatan bayangan merah yang
bergulung-gulung seperti hendak membungkus tubuh Dewa Arak. Tapi, dengan lin-
cahnya pemuda berambut putih keperakan itu meng-
hindar. Bahkan, beberapa kali melancarkan serangan
balasan. Dewa Arak menghadapi amukan Pengemis
Tongkat Merah dengan tangan kosong.
Tappp! Pengemis Tongkat Merah terperanjat. Ujung
tongkat merahnya tertangkap oleh lawan saat ia melakukan sodokan ke arah ulu
hati. Nenek berpakaian
penuh tambalan ini tidak tinggal diam. Dengan mengerahkan seluruh tenaga
dalamnya, sodokannya dite-
ruskan. Ketika tidak bergeming juga segera ditariknya pulang. Tapi gagal.
Tongkat itu seperti dicengkeram je-
pitan baja. Padahal, jelas terlihat oleh Pengemis Tongkat Merah kalau Dewa Arak
hanya memegangnya den-
gan satu tangan.
"Ah...!"
Pengemis Tongkat Merah mengeluarkan seruan
tertahan. Tubuhnya terangkat ketika Arya menggerak-
kan tongkatnya ke atas. Betapa pun nenek bertongkat merah ini mengerahkan tenaga
dalam untuk memberatkan tubuhnya, usahanya sia-sia. Tubuhnya sema-
kin terangkat ke atas.
Tindakan pemuda berambut putih keperakan
itu tidak berhenti sampai di situ saja. Tangan yang mencengkeram tongkat
disodokkan ke depan. Tongkat
itu pun dengan telak menghantam perut Pengemis
Tongkat Merah. Terdengar bunyi keluh kesakitan dari mulut nenek berpakaian penuh
tambalan. Pengemis Tongkat Merah terpental ke belakang.
Tongkat merah di tangannya terlempar dari pegangan
dan jatuh ke tanah. Karena Arya yang menggenggam-
nya melepaskan pegangan pada tongkat begitu tubuh
Pengemis Tongkat Merah terpental.
Malang bagi Pengemis Tongkat Merah. Tidak
ada seorang pun tokoh persilatan yang sudi menolongnya. Maka, ketika dia
berusaha mendarat dengan ke-
dua kaki, tubuhnya terhuyung-huyung belakang dan
jatuh dengan menggunakan kedua lututnya.
"Kurasa sudah cukup sampai di sini," ujar De-wa Arak. Ditentangnya pandang mata
Malaikat Utara yang diyakininya sebagai pemimpin tokoh persilatan
yang berada di situ. "Aku pergi!"
Dengan sikap yakin kalau lawan-lawannya ti-
dak akan membokongnya, Arya membalikkan tubuh.
Langkahnya terayun mendekati Citra Sari yang masih
tergolek di tanah. Arya memutuskan untuk membawa
Citra Sari meninggalkan tempat itu. Meski ia belum
merasa jelas dengan masalah mereka. Tapi, melihat sikap Setan Kipas dan Pengemis
Tongkat Merah, Arya
lebih condong untuk membela Citra Sari.
"Tunggu, Dewa Arak!"
Terdengar teriakan lantang. Arya terpaksa
menghentikan ayunan kakinya. Tapi, pemuda beram-
but putih keperakan ini tidak membalikkan tubuh. Ia berdiri tenang dengan
sekujur urat syaraf menegang
waspada. Belum lenyap gema teriakan itu, Arya menden-
gar bunyi angin mendesir di atas kepalanya. Tapi pemuda itu tetap bersikap
tenang. Ia tahu itu bukan
bunyi angin yang ditimbulkan oleh serangan.
Sekejap kemudian, tanpa menimbulkan bunyi
berarti, beberapa tombak di depan Arya telah berdiri lelaki berpakaian serba
putih. Dialah Malaikat Utara alias Danar Jati.
"Kau memang hebat, Dewa Arak!" puji Malaikat Utara. Kemenangan demi kemenangan
yang diraih De-wa Arak atas Setan Kipas dan Pengemis Tongkat Me-
rah telah membuatnya kagum. Seorang yang masih be-
rusia demikian muda telah mempunyai kepandaian
tinggi. "Sama sekali tidak, Sobat. Orang-orang yang kuhadapi kebetulan telah
berbaik hati mau mengalah.
Kalau tidak, mana mungkin aku akan dapat mengung-
guli mereka?" sambut Arya merendah.
"Ha ha ha...!" Malaikat Utara tertawa bergelak.
Keras sekali. Tapi hanya sebentar. Kemudian langsung ditutup dengan dengusan.
Wajahnya kembali dingin
seperti semula. "Kau memang pandai merendah, Dewa Arak. Tapi, itu tidak penting!
Perkenalkan, aku adalah Malaikat Utara!"
Arya terkejut mendengar pemberitahuan ini.
Dia telah mendengar berita kalau telah muncul seo-
rang tokoh kaum sesat yang merajai wilayah utara. Ia berjuluk Malaikat Utara.
Jadi, inikah tokoh yang terkenal itu" Meski demikian, pada wajah tampan Arya
tidak terlihat bias perasaannya. Wajahnya tampak tetap tenang.
"Kiranya kau datuk sesat wilayah utara ini, Malaikat Utara." Datar dan ringan
ucapan yang dikeluarkan Arya. "Maaf kalau aku mengacau tempat mu. Ini sungguh
tidak ku sengaja. Kuharap kau mau berbesar
hati membiarkan aku pergi dari sini. Untuk itu, aku mengucapkan banyak terima
kasih dan penghargaan
yang setinggi-tingginya."
Kembali Malaikat Utara tertawa bergelak. Dan
diakhiri dengan dengusan tajam.
"Sayang sekali, Dewa Arak. Aku tidak mungkin
melakukan hal seperti itu. Kau sudah memasuki tem-
pat tinggalku, menimbulkan kekacauan dan meroboh-
kan pengikut-pengikut ku. Kalau kubiarkan pergi, apa kata orang nanti" Mereka
akan menganggap aku takut
padamu. Ini akan menjatuhkan namaku. Orang-orang
akan berani keluar masuk tempat tinggalku dengan
seenaknya."
"Jadi...." Arya menggantungkan ucapannya. Di-tunggunya jawaban Malaikat Utara.
Sekujur urat-urat syarafnya menegang penuh kewaspadaan. Arya tahu
betapa pun lihai dirinya, tapi apabila Malaikat Utara dan semua pengikutnya
turun tangan dia tidak akan
bisa keluar dari tempat ini dalam keadaan hidup.
"Kau boleh keluar dari tempat ini bila mampu
memenuhi persyaratan ku!" tandas Malaikat Utara penuh wibawa. "Bagaimana" Kau
setuju?" "Tergantung persyaratan yang kau ajukan, Ma-
laikat Utara!" Arya menjawab tak kalah tegas. "Aku tidak langsung menyetujui
bila tidak mengetahui syarat yang akan kau ajukan!"
"Tidak berat. Dewa Arak. Kau hanya mencoba
untuk memenangkan adu ketrampilan dengan seorang
anak buahku. Apabila kau menang, aku akan mem-
biarkan kau pergi dari sini dengan membawa gadis liar itu! Tapi bila kau kalah,
kau harus berhadapan denganku! Kau berani?"
"Tidak ada kata tidak bagi sebuah tantangan
yang diajukan padaku!" Dengan lantang Arya menjawab. Hatinya panas karena
mendapat pertanyaan apa-
kah dirinya berani menerima tantangan yang diajukan Malaikat Utara.
"Bagus!" Malaikat Utara berseru gembira. Hal itu akan mengangkat namanya tinggi-


Dewa Arak 73 Pembantai Dari Mongol di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tinggi dalam pandangan para pengikutnya. Dia mampu memaksa
Dewa Arak untuk mengikuti aturannya. Itu keuntun-
gan pertama. Yang kedua, dia telah mengangkat di-
rinya karena Dewa Arak hanya akan dapat menghada-
pinya bila memenangkan pertarungan dari anak buah-
nya. Malaikat Utara telah dengan cerdiknya menem-
patkan diri di atas Dewa Arak.
Dengan senyum lebar karena merasa yakin
akan kemenangan di pihaknya, Malaikat Utara mengu-
lapkan tangan pada seorang pengikutnya. Ia seorang
lelaki kekar memakai rompi dari kulit harimau. Kulitnya hitam kecoklatan dengan
rambut kemerahan. Di
belakang punggungnya tampak sebilah busur dengan
sekotak panjang anak panah.
"Pengikut ku ini berjuluk Raja Panah Berbaju
Emas." Malaikat Utara memperkenalkan lelaki ber-rambut kemerahan pada Arya.
"Dialah yang akan menjadi lawanmu, Dewa Arak."
Meski terkejut melihat calon lawannya, Dewa
Arak tetap bersikap tenang. Dalam hati dia memuji ke-cerdikan Malaikat Utara.
Tapi, Arya tidak berkecil hati.
Kalau hanya permainan panah, dia mampu melaku-
kannya. Bagi orang seperti Dewa Arak, memanah bu-
kan merupakan kepandaian asing. Pemuda berambut
putih keperakan itu mampu melakukannya dengan
baik. "Silakan kalian bertarung," ujar Malaikat Utara.
Ditinggalkannya Arya dan Raja Panah Berbaju Emas.
"Pertarungan macam apa yang kau inginkan
Raja Panah?" tanya Arya. Ditatapnya wajah lelaki berambut kemerahan itu sejenak.
Raja Panah Berbaju Emas tidak segera menja-
wab. Dia melangkah dengan menengadahkan kepala,
seperti ada yang dicarinya. Dan, wajahnya berseri ketika melihat titik-titik
hitam di angkasa. Burung-burung yang tengah beterbangan.
"Itulah yang akan kita pertarungkan!" Raja Panah Berbaju Emas ke angkasa. "Kau
sanggup?" "Mengapa tidak?" jawab Dewa Arak cepat. Pemuda berambut putih keperakan ini
merasa yakin. Ka-
lau hanya membidik burung-burung itu, Arya yakin
akan mampu melakukannya.
"Kalau begitu, kita mulai!"
Raja Panah Berbaju Emas mengeluarkan seba-
tang anak panah dari kantong yang tergantung di
punggungnya. Kemudian, dipasangnya pada tali busur
dan dibidikkan ke angkasa mencari sasaran. Tampak
burung-burung terbang berkelompok hendak pulang
ke sarang. Memang waktu itu hari telah sore. Matahari mulai terbenam di kaki
langit. Terdengar bunyi berdesing dari luncuran anak panah. Sesaat kemudian,
terlihat sesuatu melayang jatuh dan berdebuk di tanah.
Seketika orang-orang berdecak kagum ketika melihat
seekor burung telah terpanggang lehernya oleh panah Raja Panah Berbaju Emas.
"Lakukanlah seperti yang kulakukan." Raja Panah Berbaju Emas menyerahkan anak
panah dan bu- surnya pada Dewa Arak.
Pemuda berambut putih keperakan itu mema-
sang anak panah pada tali busur dan membidikkan ke
atas. Agak lama baru terdengar suara berdesing ketika anak panah itu lepas dari
busurnya. Sesaat kemudian, terdengar bunyi berdebuk. Seekor burung jatuh ke
tanah dengan dada tertembus panah. Raja Panah Berba-
ju Emas tersenyum gembira. Dia tidak merasa gusar
dengan keberhasilan Dewa Arak. Ia mendapat seorang
lawan yang cukup tangguh. Kalau dalam segebrakan
saja pemuda berambut putih keperakan itu berhasil
dikalahkan, dia malah akan kecewa.
"Kau boleh juga, Dewa Arak. Tapi, sekarang
aku yakin kau tidak akan mampu menandingi ku. Tadi
hanya permulaan saja. Hanya untuk menguji apakah
kau pantas berhadapan denganku. Raja Panah Berba-
ju Emas!" 4 Begitu menerima angsuran busur dari Dewa
Arak, Raja Panah Berbaju Emas segera mengambil tiga batang anak panah dan
memasangkan ke busurnya.
Arya menatapnya dengan sepasang mata heran. Pe-
muda berambut putih keperakan ini menduga-duga
dalam hati. Apakah Raja Panah Berbaju Emas ber-
maksud melepaskan tiga batang anak panah itu ber-
samaan" Tanpa mempedulikan keheranan Dewa Arak,
Raja Panah Berbaju Emas menarik tali busurnya. Ke-
mudian, dilepaskannya hingga terdengar bunyi berdesing nyaring. Tiga batang anak
panah itu melesat ke
atas. Dan, tak lama kemudian terdengar bunyi berde-
buk dari jatuhnya tiga ekor burung di tanah.
Sekarang Dewa Arak benar-benar melihat buk-
ti. Julukan yang disandang lelaki berambut kemera-
han itu tidak berlebihan kalau julukan Raja Panah
Berbaju Emas diberikan padanya. Kemampuannya da-
lam memanah memang luar biasa. Tiga ekor burung
itu terpanggang anak panah pada bagian yang sulit.
Leher! Dengan perasaan bimbang, Dewa Arak meneri-
ma busur dan tiga batang anak panah yang diangsur-
kan Raja Panah Berbaju Emas. Arya tahu kemungki-
nan untuk dapat melakukan hal seperti Raja Panah
Berbaju Emas kecil sekali. Memanah dengan tiga ba-
tang anak panah sekaligus, dan ketiga-tiganya mengenai sasaran yang berbeda,
merupakan pekerjaan yang
amat sulit. "Apakah Malaikat Utara, datuk yang merajai wi-
layah utara berada di dalam" Kami harap kau keluar
dan menemui kami. Atau, kami yang akan masuk ke
dalam!" Seruan keras itu menggema ke seluruh penjuru kediaman Malaikat Utara.
Getarannya sanggup mengguncangkan isi dada. Hingga, semua tokoh persilatan yang
berada di situ mengerahkan tenaga dalam untuk
mencegah getaran yang dapat merusak isi dada.
Seruan itu tidak hanya mengejutkan Malaikat
Utara, tapi juga semua pengikutnya. Bahkan Dewa
Arak pun demikian. Pemilik suara itu memiliki kepandaian tinggi, terutama tenaga
dalamnya. "Tidak perlu banyak basa-basi, Sobat! Jika kau ingin menemuiku, silakan masuk!"
Malaikat Utara tak mau kalah gertak. Ia menge-
rahkan kemampuan tenaga dalamnya. Tidak terlihat
lelaki itu berteriak. Hanya sedikit menggerakkan bibir, tapi bunyi yang keluar
dari mulutnya laksana halilintar! Keras bukan main.
Baru saja seruan Malaikat Utara keluar, dari
arah pintu gerbang tampak berkelebat sesosok bayan-
gan. Tahu-tahu di tempat itu telah berdiri tegak sesosok tubuh yang mengejutkan
semua orang. Bukan ka-
rena kecepatan gerakannya, tapi karena jati dirinya!
Sosok itu memiliki tubuh kekar terbungkus pa-
kaian dari bulu binatang, semacam kambing. Sepa-
sang matanya agak sipit. Wajahnya kokoh. Tampak ke-
ras, dan kasar. Tapi, memperlihatkan perbedaan yang menyolok dengan kerasnya
wajah Malaikat Utara. Dan
lagi, sosok yang baru datang ini mengenakan sebuah
topi baja bundar setengah tempurung kelapa.
Tepat pada bagian tengah topi baja itu terdapat
besi runcing sepanjang dua jari. Pada bagian bawah-
nya, di sekelilingnya, terdapat hiasan-hiasan dari bulu binatang. Pada bagian
belakang topi baja itu, menutup tengkuk dan bagian belakang lehernya, ada
sehelai kain hitam dari kulit harimau kumbang. Lebar dan
panjang kulit itu tak lebih dari dua jengkal.
"Siapa kau, Sobat" Aku yakin kau berasal dari
tempat yang jauh...." Malaikat Utara membuka pembicaraan dengan suara berwibawa.
Dia sudah mampu
mengusir perasaan kaget yang semula mendera ha-
tinya. Sejak pertama kali terdengar seruan sosok itu, Malaikat Utara sudah
merasa heran. Logat yang terdengar demikian aneh. Ternyata pemiliknya memang
orang aneh. "Namaku Targoutai! Aku berasal dari negeri
yang jauh dari tempat ini. Mongol, nama negeri ku"
sahut lelaki kekar berusia empat puluh lima tahun dan bertopi baja bundar itu.
Suaranya patah-patah dan
kaku. "Mongol"!" Malaikat Utara mengernyitkan dahi.
Sikapnya seperti orang yang tengah berpikir keras.
"Aku pernah mendengar akan adanya pasukan tentara
Mongol yang datang ke negeri ini"
"Memang benar!" Targoutai menjawab cepat.
"Aku datang bersama rombongan tentara itu tanpa sepengetahuan mereka. Tapi aku
tidak terus mengikuti
mereka. Aku memisahkan diri. Kedatangan mereka ka-
rena urusan kerajaan, sedangkan aku tidak. Aku da-
tang karena ingin membuktikan sendiri berita yang
kudengar. Di negeri ku, aku merupakan salah seorang tokoh yang hampir tidak
pernah tertandingi. Kesenan-ganku yang utama adalah bertarung. Kudengar kau
merupakan tokoh terkenal wilayah utara, maka aku
datang kemari."
"Kau tidak salah, Sobat!" Malaikat Utara menjawab sambil membusungkan dada,
menampakkan kesombongan. "Aku bukan hanya tokoh terkenal di wilayah utara ini. Tapi, juga
tokoh nomor satu di wilayah utara! Tak lama lagi aku akan menjadi tokoh nomor
satu untuk semua wilayah. Aku akan menjadi tokoh
tersakti di seluruh penjuru mata angin! Ha ha ha...!"
"Syukurlah kalau demikian. Memang kedatan-
ganku untuk mencari tokoh-tokoh nomor satu!"
"Ku turuti kemauanmu, Targoutai!" timpal Malaikat Utara angkuh.
"Hih!"
Targoutai membuka serangannya dengan se-
buah pukulan sederhana. Tangan kanannya terkepal
dihantamkan ke arah dada Malaikat Utara. Meski ter-
lihat sederhana, bunyi mengaung keras mengiringi
luncuran kepalannya yang cukup besar.
Malaikat Utara yang tidak ingin dianggap pen-
gecut, di samping ingin menunjukkan kalau dirinya ja-go nomor satu wilayah
utara, tanpa pikir-pikir panjang lagi menyambuti serangan Targoutai dengan sikap
serupa. Bresss!
Sepasang mata Malaikat Utara membelalak le-
bar. Akibat benturan itu Targoutai hanya terhuyung-
huyung dua langkah. Padahal, dia sendiri terhuyung
sampai tiga langkah! Jari-jari tangannya yang berbenturan dengan jari lawan
terasa sakit bukan main, seperti membentur gumpalan besi.
Kalau Malaikat Utara sangat terkejut, tidak
demikian halnya dengan Targoutai. Lelaki kekar Mon-
gol ini malah tertawa bergelak. Ia kelihatan gembira sekali. "Kau hebat,
Malaikat Utara. Kau merupakan seorang lawan yang amat menyenangkan! Tapi keta-
huilah. Aku tidak bertindak main-main. Sekali aku
bertarung, tidak akan berhenti sampai lawanku meng-
geletak tak berdaya!"
"Tidak usah banyak cakap, Targoutai!" Malaikat Utara hampir saja keseleo
lidahnya. Nama lelaki Mongol itu memang sulit untuk dihafalkan. "Aku belum
kalah!" Malaikat Utara membuka serangan dengan sebuah tendangan ke arah perut
Pada saat itu Targoutai tengah berdiri dengan tubuh agak membungkuk. Kedua
tangannya terkembang di sisi pinggang. Dan, se-
pasang matanya mengintai dari bawah.
Desss! Tubuh Targoutai terhuyung-huyung ke bela-
kang ketika kaki Malaikat Utara dengan telak bersa-
rang di sasaran. Tapi, lelaki Mongol ini seakan-akan memiliki tubuh dari baja.
Begitu kekuatan yang membuat tubuhnya terhuyung usai, dia berdiri seperti
semula. Bahkan kemudian menubruk ke arah pinggang
Malaikat Utara dengan kedua tangannya.
Malaikat Utara kaget melihat bentuk penyeran-
gan yang tampak aneh itu. Dia tidak berani bertindak gegabah. Dengan
mengandalkan ilmu meringankan
tubuh, dielakkannya serangan itu. Bahkan, kemudian
balas menyerang dengan tak kalah dahsyatnya.
Pertarungan unik pun berlangsung. Malaikat
Utara harus mengakui kalau baru pertama kali ini dia menemukan lawan yang
memiliki ilmu demikian aneh
seperti ini. Malaikat Utara tidak tahu kalau Targoutai memiliki ilmu khas suku
Mongol, yaitu ilmu gulat!
Dengan ilmu itu, Targoutai berusaha secepat mungkin mengalahkan Malaikat Utara.
Tappp! "Uh...!"
Malaikat Utara mengeluarkan keluhan terta-
han. Pergelangan tangannya berhasil dicekal tangan
Targoutai. Dan, kekagetannya semakin bertambah ke-
tika dengan sigap dan sangat cepat, Targoutai memu-
tar tangannya. Tubuh Malaikat Utara pun ter-paksa
berbalik kalau tidak ingin tangannya patah.
Malaikat Utara baru menyadari kehebatan ilmu
gulat Targoutai. Ia tahu keadaan amat berbahaya. Ke-dudukannya sekarang
membelakangi Targoutai! Tan-
gan kanannya telah ditelikung dan ditekan ke atas.
Malaikat Utara mati kutu. Mudah saja bagi Targoutai untuk mengirimkan serangan
susulan yang mematikan! Tapi Malaikat Utara ternyata bukan sembaran-
gan tokoh. Dalam keadaan yang mengkhawatirkan itu,
dia mampu menunjukkan kalau dirinya pantas berge-
lar tokoh nomor satu wilayah utara. Setelah menjejakkan kaki, dia mampu membuat
tubuhnya jungkir balik
di udara. Kemudian, hinggap di belakang tubuh Tar-
goutai! Tapi hal ini tidak berlangsung lama. Tangan Targoutai bergerak menyentak
ke depan. Tubuh Malaikat Utara pun terbawa ke depan dan terbanting ke tanah!
Meski kepalanya terasa pening bukan main,
Malaikat Utara menggulingkan tubuhnya menjauh.
Malaikat Utara menyeringai ketika merasakan sakit
yang sangat mendera pada bagian kiri tubuhnya.
Mungkin salah satu tulang iganya ada yang patah. Padahal, tadi Malaikat Utara
telah mengerahkan tenaga dalam untuk melindungi tubuhnya.
Targoutai tidak tinggal diam. Tangannya segera
digerakkan mengambil busur dan anak panah yang
tersampir di punggung. Sesaat kemudian, terdengar
bunyi berdesing nyaring ketika tiga batang anak panah meluncur ke arah tubuh
Malaikat Utara yang tengah
bergulingan. Malaikat Utara mendengar bunyi desingan ta-
jam yang mengiris telinga itu. Dia pun tahu apa ar-
tinya. Tapi apa dayanya" Saat itu dia tengah bergulingan. Tidak ada yang dapat
dilakukannya. Di saat berbahaya itu, terdengar bunyi tali busur berdentang
nyaring. Raja Panah Berbaju Emas melepaskan tiga


Dewa Arak 73 Pembantai Dari Mongol di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

batang anak panah untuk mencegah anak-anak panah
Targoutai! Tiga pasang anak panah itu berbenturan di udara. Anak-anak panah Raja
Panah Berbaju Emas
agak terpental ke belakang, dan runtuh ke tanah! Sedangkan anak panah Targoutai
hanya melenceng
arahnya. Dari benturan ini bisa diketahui kalau tenaga dalam Raja Panah Berbaju
Emas tidak bisa diperbandingkan dengan Targoutai.
Targoutai menggeram keras. Dia tampak marah
sekali. Bukan karena kegagalannya membunuh Malai-
kat Utara, tapi karena campur tangan Raja Panah Berbaju Emas. Sebagai seorang
Mongol, ia mempunyai
aturan aneh di negerinya. Dalam sebuah pertandingan satu lawan satu, tidak boleh
seorang pun membantu!
Begitu pun andaikata dirinya yang terdesak oleh lawan dan terancam maut, dan
kebetulan dia mempunyai
teman. Targoutai dan suku bangsanya lebih memen-
tingkan kegagahan daripada nyawa! Itu sebabnya dia
geram bukan main terhadap Raja Panah Berbaju
Emas. Targoutai menganggap Raja Panah Berbaju
Emas sebagai seorang pengecut. Targoutai sangat
membenci hal itu.
"Kau ingin mengadu kepandaian memanah
denganku, Pengecut Hina"!" bentak Targoutai menantang dengan suara kaku.
"Tidak ada alasan bagiku untuk menolak.
Orang Asing!" tandas Raja Panah Berbaju dengan suara keras. Terbakar amarah atas
hinaan penuh tantan-
gan itu. "Bagus!" Targoutai agak berkurang rasa sebal-nya. Sambutan lelaki
berambut kemerahan terhadap
tantangannya membuat lelaki kekar dari Mongol ini
menjadi lebih hormat. Sikap Raja Panah Berbaju Emas menunjukkan kegagahan.
Hampir bersamaan dua lelaki gagah yang sa-
ma-sama memiliki keahlian memanah itu mundur be-
berapa langkah untuk mengambil jarak. Kesempatan
itu dipergunakan sebaik-baiknya oleh Malaikat Utara untuk menepi. Lelaki ini
sebenarnya mengalami luka
dalam yang cukup parah. Pergelangan tangan kanan-
nya patah. *** "Sekarang, semua pasang mata tertuju ke arah
Raja Panah Berbaju Emas dan Targoutai. Semuanya
merasakan jantung dalam dadanya berdetak lebih ce-
pat. Biasanya para pengikut Malaikat Utara tidak pernah meragukan kemampuan Raja
Panah Berbaju Emas. Tapi sekarang mereka semua meragukannya.
Telah mereka saksikan sendiri kemampuan Targoutai
mempergunakan anak panah.
Setelah saling menatap lawan di hadapannya
dengan mata tidak berkedip, anak-anak panah yang
telah dipasang di busur pun dilepaskan. Tidak tang-
gung-tanggung. Tiga batang anak panah sekaligus.
Masing-masing tertuju pada bagian-bagian berbahaya
di tubuh lawan.
Untuk pertama kalinya semua tokoh yang be-
rada di situ membelalakkan mata melihat pertarungan memanah. Tiga anak panah
yang dilepaskan dari arah
yang berlawanan itu berbenturan di udara. Tepat di
tengah-tengah kedua jago panah itu. Seperti sebelumnya, karena Targoutai
memiliki tenaga dalam yang
jauh lebih kuat, tiga batang anak panahnya berhasil melemparkan panah lawan.
Meski demikian, tiga batang anak panah Targoutai kemudian runtuh karena
lajunya telah terhambat.
Tapi masing-masing pihak tidak mempedulikan
hal itu. Mereka segera mengambil anak panah dan me-
lepaskannya kembali, saling adu cepat. Untuk kedua
kalinya, tiga pasang anak panah itu berbenturan di
tengah jalan, tapi agak lebih dekat pada Raja Panah Berbaju Emas. Dan ketiga
kalinya, benturan itu lebih dekat lagi dengan Raja Panah Berbaju Emas. Agaknya,
tokoh golongan hitam pengikut Malaikat Utara ini kalah cepat dalam mengambil
anak panah! Kalah gesit di samping kalah tenaga.
Cappp! "Aaakh...!"
Raja Panah Berbaju Emas menjerit keras. Tiga
batang anak panah yang dilepaskan Targoutai menem-
bus leher, dada, dan pusarnya. Lelaki berambut kemerahan ini baru saja selesai
memasang anak-anak pa-
nah pada busurnya. Rupanya dia kalah cepat. Anak-
anak panah itu melesat ke udara karena. Raja Panah
Berbaju Emas roboh ke tanah. Dia tewas!
"Ah...!"
Meski telah menduga sebelumnya, Malaikat
Utara, Setan Kipas, Pengemis Tongkat Merah, dan te-
man-temannya berseru kaget. Kehidupan Raja Panah
Berbaju Emas berakhir menyedihkan. Tewas di ujung
anak panah! Targoutai dengan wajah dingin menyimpan bu-
surnya kembali. Kemudian, tatapannya tertuju pada
Malaikat Utara.
"Kita masih mempunyai urusan, Malaikat Uta-
ra. Sudah kukatakan aku tidak akan bertindak tang-
gung-tanggung bila telah bertarung denganku!" tandas Targoutai dingin.
Tanpa sadar Malaikat Utara bergerak mundur
selangkah. Meski sebenarnya dia bukan seorang pen-
gecut, tapi sikap Targoutai benar-benar mengerikan.
Setan Kipas dan Pengemis Tongkat Merah serta bela-
san tokoh-tokoh persilatan lain segera melangkah ma-ju. Senjata-senjata mereka
terhunus di tangan.
"Ha ha ha...!"
Targoutai langsung tertawa bergelak. Dia tidak
kelihatan gentar. Bahkan, merasa gembira melihat sikap pengikut-pengikut
Malaikat Utara.
"Tidak usah ragu-ragu. Ayo maju! Hadapi aku!
Seorang demi seorang hanya akan memakan waktu sa-
ja! Majulah!"
Targoutai segera melangkah mundur dan men-
gambil sebatang lembing yang tadi ditancapkan di tanah ketika dia bertarung
dengan Malaikat Utara. Dekat bagian ujung lembing yang tajam berkilat terhias
bulu-bulu binatang, sejenis kambing.
Baru saja Targoutai menggenggam lembing, be-
lasan tokoh persilatan itu menerjang maju seraya
mengayunkan senjata masing-masing. Sambil tertawa
bergelak, Targoutai menyambutnya. Pertarungan tak
seimbang pun terjadi.
Malaikat Utara yang tidak ikut dalam penge-
royokan memperhatikan tanpa berkedip. Sebagai seo-
rang tokoh besar, tentu saja lelaki ini tidak mau melakukan pengeroyokan.
Baginya, lebih baik mati daripa-da melakukan tindakan pengecut seperti itu.
Apalagi saat ini keadaannya tidak mengizinkan untuk melakukan hal seperti itu
Malaikat Utara ingin membuktikan kebenaran
dugaannya. Tadi dia mendapati kenyataan yang men-
gejutkan sewaktu bertarung dengan Targoutai.
Lelaki dari Mongol itu tidak terluka meski ter-
kena tendangan telak. Malaikat Utara seperti meng-
hantam gumpalan karet keras yang kenyal.
Malaikat Utara tahu pengeroyokan Setan Kipas
dan yang lain-lain, bila dia sendiri yang menghadapi tak akan bisa
ditanggulangi. Mereka terlalu tangguh untuk ditanggulangi sendiri. Targoutai pun
tak akan mampu menghadapi mereka. Tapi, itu dalam keadaan
biasa. Padahal, Malaikat Utara tahu Targoutai memiliki kekuatan lain yang
membuatnya jadi luar biasa.
Malaikat Utara tengah menanti hal yang luar
biasa itu. Sesuatu yang ditunggu-tunggu Malaikat Uta-ra ternyata tidak muncul
begitu saja. Dalam gebrakan-gebrakan pertama yang terlihat adalah ramainya
pertarungan. Tapi, Malaikat Utara sudah dapat melihat hal-hal yang mencurigakan.
Terlihat jelas oleh Malaikat Utara, Targoutai
hampir tidak mempedulikan pertahanan. Yang dilaku-
kan lelaki kekar dari Mongol ini adalah menyerang!
Bahkan ketika lawan mengirimkan serangan memati-
kan, dia tidak mempedulikan sama sekali. Ia balas
menyerang seperti hendak mengajak mati bersama.
Hal itu membuat lawan yang menyerang membatalkan
serangan. Sepasang mata Malaikat Utara yang tajam me-
lihat kalau Targoutai hanya mengelak bila serangan itu tertuju ke arah sepasang
matanya. Tak jarang serangan yang meluncur ke bagian itu ditangkisnya. Pada
hal, serangan terhadap mata paling parah hanya akan membuat sepasang mata itu
buta. Tapi Targoutai
menghindarinya! Serangan yang mematikan justru di-
biarkan meluncur ke arah sasaran.
Hal itu sepertinya mengherankan. Tapi, tidak
demikian halnya dengan Malaikat Utara. Datuk wi-
Pendekar Bodoh 9 Playboy Dari Nanking Karya Batara Naga Naga Kecil 11
^