Pencarian

Pembunuh Gelap 1

Dewa Arak 66 Pembunuh Gelap Bagian 1


PEMBUNUH GELAP oleh Aji Saka Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting : A. Suyudi
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian
atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Aji Saka Serial Dewa Arak
dalam episode: Pembunuh Gelap
128 hal. ; 12 x 18 cm.
1 "Arum..., betapa malangnya nasibmu, Anakku.
Ohhh...!" Keluhan-keluhan penuh perasaan sedih yang
terdengar parau itu keluar dari mulut seorang lelaki
setengah baya berpakaian coklat. Tanpa sadar tangan-
nya mengepal-ngepalkan tanah merah dari sebuah
gundukan kuburan yang masih baru.
"Haruskah kutinggalkan tempat ini, Arum..."
Haruskah aku membalaskan kematianmu pada orang-
orang yang telah membunuhmu"! Kalau saja dulu aku
tak pernah berjanji di depan jenazah mendiang ibumu
tentu sekarang aku telah turun gunung. Maafkan
Ayah, Arum! Ayah tak bisa mengingkari sumpah," ucap lelaki berpakaian coklat itu
lagi, tetap dengan nada sedih.
"Tidak perlu hal itu harus kau lakukan, Sala-
ban!" Lelaki berpakaian coklat menolehkan kepala ke arah asal suara dengan
perasaan kaget Dia tidak mendengar bunyi langkah, tapi tahu-tahu tepat di bela-
kangnya, hanya berjarak satu tombak, telah berdiri sesosok tubuh tinggi kurus,
orang itu menatap ke arah-
nya dengan sorot kebencian! Sosok tinggi kurus inilah yang telah memotong
ucapannya secara ketus.
"Kau..."!" Suara lelaki berpakaian coklat tercekat di tenggorokan. Raut wajahnya
membiaskan keter-
kejutan yang tidak tersembunyikan.
"Benar, Salaban. Ini aku! Kau kaget"!" sambut sosok tinggi kurus itu dengan nada
sinis. "Mengapa kau bersikap seperti ini"! Dan apa
maksud ucapanmu tadi"!" tanya lelaki berpakaian cok-
lat yang ternyata bernama Salaban setelah berhasil
menenangkan diri.
Sosok tinggi kurus yang ternyata seorang lelaki
itu mendengus dengan kasar.
"Sebenarnya pertanyaan seperti itu tak perlu
kau ajukan, Salaban. Sadarilah dirimu! Arum telah te-
was, tapi orang yang telah menyebabkan dia terbunuh
kau biarkan pergi begitu saja! Dan kau berlindung di
balik sumpahmu. Menjijikkan sekali!" Ucapan tajam lelaki tinggi kurus itu
membuat wajah Salaban berubah
merah padam. Sayang, Salaban tidak pandai berdebat seperti
halnya lelaki tinggi kurus itu. Maka mendapat desakan dengan kata-kata tajam,
dia tidak mampu memberikan
tanggapan, sanggahan, atau bantahan. Dia hanya ter-
tegun dengan tarikan wajah kebingungan.
"Memang kau memiliki nasib malang, Arum,"
lelaki tinggi kurus meneruskan ucapannya, tapi kali ini seperti ditujukan pada
orang yang telah tertidur di dalam gundukan tanah merah yang masih baru. "Kau
mati secara mengenaskan, tapi ayahmu sendiri tidak
berbuat apa-apa untuk menenteramkan rohmu agar
tidak penasaran di alam baka!"
Tubuh Salaban menggigil mendengar ucapan
lelaki bertubuh tinggi kurus.
Ucapan itu dengan telak menghujam ke lubuk
hatinya yang paling dalam. Sakit sekali rasanya seperti luka berdarah tersiram
air garam. "Tapi, kau tidak usah khawatir, Arum. Meski-
pun ayahmu sendiri tidak mau membalaskan rasa pe-
nasaran yang membuat rohmu tidak bisa kembali ke
alam kekal, masih ada aku! Akulah yang akan mem-
buat jiwamu tenteram di sana Arum !"
"Diaaam...!" Akhirnya keluar juga kata-kata
yang tertekan di hati Salaban. Mencuat begitu saja dalam bentuk pekikan keras.
"Cepat menyingkir dari sini, sebelum aku lupa diri dan membunuhmu, Keparat!"
Lelaki tinggi kurus tidak bergeming sama sekali
dari tempatnya.
Padahal dia tahu kalau ucapan yang dikelua-
rkan Salaban tidak main-main. Bahkan dia balas me-
natap dengan tajam.
"Dan... orang yang pertama kali mendapatkan
balasannya adalah ayahmu sendiri, Arum! Karena aku
tahu, hatimu merasa kecewa dan sakit hati terhadap-
nya!" Ucapan lelaki tinggi kurus langsung disergap oleh teriakan nyaring
Salaban. Lelaki berpakaian coklat ini langsung mengirimkan serangan mematikan
da- ri sebuah sampokan tangan kanan ke arah pelipis.
"Hmh...!"
Lelaki tinggi kurus itu hanya mendengus meli-
hat serangan Salaban. Lalu dengan gerakan semba-
rangan dipapaknya serangan itu. Tangan kirinya men-
gibas sebelum serangan mendarat pada sasaran.
Plakkk! Rrrtt! Salaban mengeluh tertahan ketika tangannya
tidak hanya tertangkis dan sakit akibat benturan itu.
Namun dengan gerakan aneh, dan kecepatan yang
mengagetkan, pergelangan tangannya telah kena ceng-
keram. Tidak hanya sampai di situ tindakan lelaki
tinggi kurus itu. Jari-jari tangannya kemudian berge-
rak meremas. Wajah Salaban langsung pucat pasi. Keringat
dingin bersembulan memenuhi selebar wajahnya yang
putih laksana kertas. Tulang pergelangan tangannya
dirasakan seperti remuk. Kemudian terdengar bunyi
gemeretak keras ketika tulang-tulang jarinya hancur!
Salaban melolong menyayat hati. Rasa sakit
yang diderita membuatnya tidak kuasa untuk mena-
han jerit. Dan sebelum tindakan sesuatu sempat dila-
kukannya, lelaki tinggi kurus itu menarik tangannya.
Salaban berusaha mempertahankan, meski tin-
dakan yang dilakukan lelaki tinggi kurus itu terlalu
cepat untuk dapat diikuti. Akhirnya ia harus menerima kenyataan yang mengejutkan
hati. Dia tidak mampu
mempertahankan diri, karena ternyata tenaga lawan
demikian kuat. Saat itu tangan kanan lelaki tinggi kurus berge-
rak secara cepat. Dan Salaban pun tewas dengan
ubun-ubun pecah. Darah bercampur otak keluar dari
bagian yang terluka, mengiringi ambruknya tubuh Sa-
laban di tanah, tepat di samping kuburan Sekar Arum.
Lelaki tinggi kurus menatap mayat Salaban se-
kilas, kemudian mengalihkan perhatian pada kuburan
Sekar Arum. "Lihatlah, Arum !" ucap lelaki tinggi kurus itu dengan suara parau sambil
sesekali mendongak ke
langit. "Salah seorang di antara mereka yang terlibat kematianmu telah menerima
pembalasannya! Yang
lainnya pun akan menyusul pula!"
Lelaki tinggi kurus terdiam di depan kuburan
itu setelah selesai mengucapkan katanya. Kemudian
dengan sekali lesatan tubuhnya telah berada jauh dari tempat itu.
*** Baru saja tubuh lelaki tinggi kurus itu lenyap
di kejauhan, dari arah yang berlawanan, melesat cepat bagaikan kilat sesosok
tubuh. Dan hanya dalam sekejap sosok itu telah berada di dekat kuburan Sekar
Arum. "Ah...!" Sosok yang ternyata seorang pemuda tampan gagah berambut panjang
itu, berseru kaget.
Sepasang matanya tertuju pada sosok berpakaian co-
klat yang tergeletak tak bergerak dengan ceceran darah dan otak, di kepalanya.
Sekali lihat pemuda ini tahu
kalau sosok yang tak lain Salaban itu telah tewas.
Pemuda tampan itu berjongkok di dekat mayat
Salaban, dan memeriksanya sebentar. Kemudian sam-
bil menghela napas berat pemuda itu kembali berdiri
tegak. "Malang sekali nasibmu, Kang Salaban," ucap pemuda tampan sambil
menundukkan kepala. "Baru
saja kau kehilangan putrimu..., sekarang harus kehi-
langan nyawamu pula. Tapi..., percayalah, Kang! Akan
kucari orang yang telah melakukan kekejian ini! Aku
percaya dia belum jauh dan...."
Pemuda tampan ini menghentikan ucapannya
secara mendadak, lalu menelengkan kepala dengan
kening berkenit. Mendadak pendengarannya yang ta-
jam menangkap bunyi langkah di sebelah kanannya.
Tampak di kejauhan sesosok tubuh bergerak
menuju ke arahnya. Tanpa sadar hati pemuda tampan
ini berdebar tegang. Segumpal dugaan bergulat di ha-
tinya. "Apakah sosok ini yang telah membunuh Sa-
laban?" Sosok yang ternyata seorang gadis cantik bertubuh montok dan
menggiurkan, dengan pakaian war-
na merahnya menyolok, menghentikan larinya. Kemu-
dian menatap wajah pemuda tampan di hadapannya
penuh selidik. "Siapa kau" Mengapa berada di tempat pema-
kamam keluargaku?" tanya gadis berpakaian merah
dengan tatapan penuh curiga.
Pemuda berambut panjang tidak langsung
memberikan jawaban. Dia malah tersenyum lebar ka-
rena tahu kalau gadis berpakaian merah ini bukan
orang yang telah membunuh Salaban. Bahkan mung-
kin anggota keluarganya. Itulah sebabnya dia me-
nyunggingkan senyum.
"Jadi... kau anggota keluarga dari orang-orang
yang telah menjadi penghuni alam kekal ini?" tanya pemuda tampan meminta
kepastian, agak mengha-luskan kata-katanya.
"Benar," gadis berpakaian merah mengangguk-
kan kepala, tapi tetap tak menghilangkan kecurigaan-
nya. "Kau siapa?" tanyanya kemudian.
"Aku salah seorang dari sahabat... maaf, kau
kenal dengan orang yang bernama Salaban"!"
"Tentu saja!" sahut wanita berpakaian merah itu. "Aku anaknya!"
"Ah...! Kalau begitu... kau Sekardati..."!" terka pemuda tampan berambut
panjang, agak heran dan tidak percaya. "Ayahku banyak bercerita tentangmu,
Sekardati."
"Kau siapa?"
Untuk kesekian kalinya pertanyaan itu keluar
dari mulut gadis berpakaian merah yang ternyata ber-
nama Sekardati, karena sejak tadi belum mendapat
jawaban. "Ah, maaf. Namaku Arya Buana... tapi bisa kau
panggil Arya!" pemuda berambut panjang itu memberikan jawaban.
Sekardati mengangguk-anggukkan kepala. Se-
jak tadi dia merasa heran melihat ciri-ciri pemuda
tampan di hadapannya ini. Kalau melihat wajah dan
perawakannya sih, masuk golongan pemuda. Tapi,
rambutnya yang panjang itu berwarna putih kepera-
kan. Warna rambut yang hanya dimiliki orang berusia
lanjut! Tapi anggukan kepala Sekardati terhenti ketika melihat sikap Arya.
Pemuda berpakaian ungu itu tampak bingung.
"Jadi..., kau sahabat ayahku, Arya?" tanya Sekardati, tanpa canggung lagi
langsung memanggil na-
ma pemuda berambut putih keperakan itu.
"Benar," Arya menganggukkan kepala. "Tapi..., tahukah kau apa yang telah terjadi
dengan ayah dan
saudaramu?"
Pemuda berambut putih keperakan itu hati-hati
sekali mengatakannya karena khawatir akan menge-
jutkan Sekardati. Toh, tak urung wajah gadis berpa-
kaian merah itu berubah hebat. Sepasang matanya
yang indah menyiratkan kekhawatiran yang dalam.
"Apa..., apa maksudmu, Arya?" tanya Sekardati terbata-bata. Meskipun belum
jelas, tapi telah bisa diperkirakan hal yang akan diberitakan pemuda beram-
but putih keperakan itu.
"Arum, saudaramu itu dan juga ayahmu telah
pergi mendahuluimu, Sekardati," ujar Arya lirih.
"Tidak...!" Sekardati menangis dan menjerit menyayat hati mendengar
pemberitahuan Arya. "Tidak mungkin Ayah dan Arum meninggalkanku seorang diri
di dunia ini. Tidak mungkin! Katakan kalau kau bo-
hong, Arya! Katakan!"
Arya diam saja ketika dengan kalap Sekardati
mencengkeram baju dan mengguncang-
guncangkannya. Air mata bercucuran membasahi pi-
pinya yang halus.
"Aku tidak bohong, Sekardati. Dan aku tidak
akan pernah berbohong, ayahmu memang telah tiada.
Begitu juga dengan Arum, saudaramu," ucap Arya,
masih tetap lembut tapi lebih keras daripada sebelum-
nya. "Lihatlah sendiri!"
Arya bergeser dari tempatnya sehingga tubuh
Salaban yang tergolek di tanah tidak terhalang lagi
oleh tubuhnya. Dan Sekardati langsung melihatnya.
Dia meraung keras dan menubruk tubuh yang sudah
tidak bernyawa itu.
"Ayah...! Mengapa kau tinggalkan aku, Ayah...!"
seru gadis berpakaian merah itu, keras.
Arya hanya bisa berdiri diam di tempatnya dan
memandangi Sekardati dengan perasaan terharu. Dia
tahu tidak ada yang bisa dilakukannya kecuali mem-
biarkan saja Sekardati menangis. Hanya itu jalan satu-satunya yang terbaik.
Mendadak dengan cepat, Sekardati bangkit dan
menoleh ke arah Arya dengan wajah beringas dan se-
pasang mata seperti mengeluarkan api.
"Pasti kau yang telah membunuhnya! Mayat
ayahku masih hangat pertanda belum lama mati, bah-
kan mungkin baru saja. Satu-satunya orang yang ada
di sini hanya kau, Arya! Pasti kau yang telah membu-
nuhnya! Kubunuh kau...!"


Dewa Arak 66 Pembunuh Gelap di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tunggu, Sekar! Aku...!"
Arya terpaksa menghentikan ucapannya karena
Sekardati telah menerjangnya dengan serangan dah-
syat. Sebuah tendangan lurus ke arah ulu hati yang
keras dan mengeluarkan angin menderu hebat diki-
rimkan gadis berpakaian merah itu.
Menyadari akan adanya serangan maut, Arya
segera melompat ke belakang, sehingga tendangan Se-
kardati mengenai tempat kosong. Tapi, Sekardati yang
telah kalap, tidak berhenti hanya sampai di situ. Sambil memekik nyaring, tangan
kanannya bergerak. Dan
Arya melihat sinar terang menyilaukan mata meluncur
deras ke arahnya. Sebagai seorang pendekar yang te-
lah kenyang pengalaman dia tahu kalau sinar terang
itu berupa senjata tajam yang ampuh!
Wuttt! Hampir saja kepala Arya terpisah dari tubuh-
nya kalau dia tidak segera merunduk dengan cepat.
Dan pedang di tangan Sekardati yang semula mengan-
cam Arya pun meluncur tipis sekali di atas kepalanya.
Sehingga beberapa helai rambutnya yang putih kepe-
rakan putus tersambar!
Pada gebrakan-gebrakan selanjutnya Arya di-
paksa mengeluarkan kemampuannya untuk menyela-
matkan selembar nyawa. Sekardati ternyata memiliki
ilmu kepandaian hebat. Serangan-serangannya dah-
syat dan selalu mengarah bagian yang mematikan.
Arya tahu Sekardati salah paham sehingga ti-
dak bisa disalahkan. Ingin dia melawan, tapi tidak
sampai hati mengingat gadis berpakaian merah itu ba-
ru saja menerima pukulan batin yang amat berat. Na-
mun, membiarkannya pun bukan tindakan yang baik,
mengingat serangan gadis itu tak tanggung-tanggung
memburunya terus.
Itu sebabnya, begitu mendapat sebuah kesem-
patan, Arya segera melemparkan tubuh ke belakang
dan berlari meninggalkan tempat itu. Dikerahkan selu-
ruh ilmu lari cepat yang dimiliki karena khawatir Se-
kardati yang lihai akan menyusulnya.
"Keparat! Jangan lari kau, Pengecut..!" seru Sekardati keras seraya berlari
mengejar. Tapi hanya se-
bentar dilakukan karena jarak antara mereka semakin
menjauh. Sekardati hanya bisa melampiaskan amarahnya
pada benda-benda di sekitarnya. Pukulan-pukulan ja-
rak jauh dan kepalan tangan serta kakinya membuat
tempat-tempat di sekitar pemakaman keluarganya
hancur berantakan.
*** Sambil menggigit dan mengunyah potongan
ayam yang baru saja matang, Arya berpikir keras. Na-
mun, sampai beberapa kali mengunyah dan menelan
potongan daging ayam panggang itu, belum juga dite-
mukan cara yang tepat
"Rupanya di sini kau bersembunyi, Orang Sok
Suci!" Arya sampai terjingkat kaget dari duduk ber-sandarnya di batang pohon
mendapat teguran seperti
itu. Cepat kepalanya ditolehkan ke samping kanan.
Dalam jarak sekitar dua tombak berdiri angker seorang kakek berkepala botak
dengan tangan menggenggam
sebatang tongkat besar yang batangnya melingkar-
lingkar. "Maaf, siapa kau, Kek"! Dan, apa maksud ucapanmu?" tanya Arya seraya
bangkit berdiri. Pemuda berambut putih keperakan ini bisa menduga bahkan
yakin kalau ucapan tadi ditujukan padanya. Tapi, sifat hati-hati dan rasa sopan
membuatnya tidak langsung
bertindak keras.
"'Tidak usah berpura-pura sopan dan tahu atu-
ran, Orang Usilan!" sahut kakek berkepala botak, tetap dengan nada tinggi.
Bahkan semakin meningkat
Meskipun demikian, Arya tetap bersikap te-
nang. Memang, rasa tidak puas bergelora di hatinya,
tapi berusaha ditindasnya karena menduga ada hal-
hal tidak beres di sini. Barangkali saja kakek berkepala botak ini salah paham.
"Aku tidak mau berpanjang kata." Kakek berke-
pala botak itu melanjutkan ucapannya, "Cukup hanya kukatakan kalau kedatanganku
kemari untuk membalaskan sakit hati muridku! Ingin kurasakan sendiri ke-
lihaianmu yang telah menggemparkan dunia persila-
tan, Dewa Arak! Sehingga kau sampai begitu lancang
berani membunuh murid orang, tanpa memandang
muka gurunya! Bersiaplah kau, Dewa Arak!"
Sekarang Arya mengerti kalau masalah yang
dihadapi bukan sekadar salah paham seperti halnya
dengan Sekardati.
"Tunggu sebentar, Kek," ucap Arya buru-buru karena khawatir kakek berkepala
botak itu akan lebih
dulu menyerangnya. "Bisa kau jelaskan siapa murid-mu yang kau katakan terbunuh
di tanganku"!"
"Muridku adalah salah seorang anggota Pasu-
kan Iblis Neraka!" tandas kakek berkepala botak, "Ku-akui kau benar, dan dia
telah salah jalan. Tapi, masih ada aku yang akan menghukumnya. Tidak perlu kau
harus membunuhnya dengan melewati kepalaku! Awas
serangan!"
Kakek berkepala botak menubruk maju. Kemu-
dian tongkat besar di tangannya ditusukkan sehingga
menimbulkan bunyi angin menderu keras.
Arya sadar tindakan kakek berkepala botak itu
tidak bisa dicegahnya lagi. Tidak ada jalan lain baginya kecuali membela diri
kalau tidak ingin mati konyol.
Maka, kakinya dijejakkan sehingga tubuhnya melent-
ing ke atas. Brakkk! Pohon yang berada di belakang Dewa Arak ber-
getar hebat. Tongkat si Kakek Botak sampai hampir se-
tengahnya lebih amblas ke dalam batang pohon. Ka-
ruan saja Arya kaget bukan kepalang, karena kenya-
taan itu memperlihatkan kalau kakek berkepala botak
ini memiliki tenaga dalam tinggi dan terarah. Sehingga semua tenaga serangan
berpusat pada ujung tongkat.
Pada serangan biasa, mungkin pohon itu akan hancur
berantakan. Namun ternyata kakek berkepala botak itu ti-
dak hanya memiliki tenaga besar, melainkan juga ge-
rakan gesit. Begitu serangannya tidak mengenai sasa-
ran dan langsung amblas ke batang pohon, tangannya
bergerak menyentak. Secepat itu dikirimkan ayunan
secara mendatar ke belakang seraya membalikkan tu-
buh. Sebagai orang yang kenyang pengalaman, dia ta-
hu kalau lawan pasti berada di belakangnya.
Serangan susulan ini membuat Dewa Arak yang
baru saja menjejakkan kaki, terpaksa melompat lagi.
Dan hanya itu yang dapat dilakukannya dalam bebera-
pa saat, karena kakek berkepala botak, secara gencar
dan terus mengirimkan serangan-serangan laksana ge-
lombang laut. Dewa Arak dipaksa untuk menguras ilmu me-
ringankan tubuhnya. Serangan-serangan lawan terlalu
gencar sehingga membuatnya belum memperoleh ke-
sempatan melancarkan serangan balasan.
Di saat Dewa Arak bermaksud mengirimkan se-
rangan balasan, mendadak terdengar pekikan me-
lengking tinggi, panjang, dan berturut-turut. Secara ti-ba-tiba, kakek berkepala
botak melompat mundur dan
bersalto beberapa kali di udara, lalu menjejak tanah.
Sikapnya terlihat masih penasaran bukan kepalang.
"Untuk kali ini kau boleh bernapas lega, Dewa
Arak. Aku masih mempunyai urusan lain yang lebih
penting. Kau kuberi kesempatan untuk hidup lebih
lama di dunia ini. Manfaatkanlah sebaik-baiknya! Ka-
rena bila kita ketemu lagi, aku akan mencabut nya-
wamu!" Setelah berkata demikian, tanpa memberi ke-
sempatan pada Arya, yang sekarang telah bisa berna-
pas lega untuk memberikan tanggapan, kakek berke-
pala botak itu melesat cepat meninggalkannya. Sekali
lihat saja Arya tahu kalau kakek berkepala botak itu
menuju ke arah asal suara lengkingan keras tadi.
Arya menghela napas berat. Sama sekali tidak
pernah disangkanya kalau dalam waktu sebentar saja
dia telah mendapatkan dua orang musuh yang cukup
berat. Ditatapnya sekali lagi, tubuh kakek berkepala
botak yang semakin mengecil di kejauhan. Baru sete-
lah itu diayunkan kaki menuju tempat ayam pang-
gangnya yang masih tersisa. Sesaat kemudian, mulut-
nya telah sibuk menggerogoti daging ayam panggang
itu. 2 "Ha ha ha...! Hendak lari ke mana kau, Manis"!
Sampai di ujung dunia pun kau pergi dan bersem-
bunyi, akan kukejar dan kutangkap! Ha ha ha...!"
Suara itu membuat Arya yang baru saja meng-
habiskan ayam panggangnya buru-buru bangkit. Dite-
lengkan kepalanya agar dapat lebih jelas mengetahui
arah suara itu berasal. Suara itu seperti berasal dari berbagai arah, sukar
untuk diperkirakan dengan pasti.
Hal ini membuat Dewa Arak bersikap waspada karena
tahu kalau pemilik suara itu adalah seorang yang me-
miliki tenaga dalam dan kepandaian tinggi. Hanya
orang-orang yang memiliki kepandaian sukar diukur-
lah yang mampu membuat suara yang dikeluarkan ti-
dak jelas asalnya.
"Ah...! Apa kubilang"! Lebih baik menyerah sa-
ja, Manis. Tidak ada gunanya melarikan diri dariku.
Percuma, karena aku akan berhasil menangkapmu!"
Jantung dalam dada Arya semakin cepat berde-
tak karena rasa tegang yang melanda, dia tahu ada se-
seorang yang pasti wanita tengah menghadapi bahaya.
Tapi sialnya, meski telah dua kali mendengar, pemuda
berambut putih keperakan itu tetap belum dapat me-
nentukan arahnya.
"Hih!"
Dewa Arak menjejakkan kaki sehingga tubuh-
nya melayang ke atas dan hinggap di sebuah cabang
pohon yang tinggi. Dan dari sana diedarkan pandan-
gannya ke sekeliling. Tempat yang tinggi memungkin-
kan dirinya untuk melihat ke sekitar tempat itu den-
gan leluasa. Tak berapa jauh dari pohon tempat Dewa Arak
berada tampak sebuah bangunan, atau lebih tepatnya
bekas bangunan karena yang tinggal hanya bagian lan-
tainya. Atap dan dinding bangunan itu sudah tidak
ada lagi, mungkin karena terlalu tua hingga roboh
tinggal puing-puingnya.
Bekas bangunan itu tidak akan tampak kalau
tidak dilihat dari tempat tinggi, karena letaknya cukup tersembunyi oleh
kerimbunan semak-semak yang cukup lebat. Namun bukan hal itu yang membuat Arya
merasa heran dan tertarik. Melainkan sesosok tubuh
kecil berpakaian teramat sederhana yang warna kain-
nya telah tidak tampak lagi. Sosok itu berlutut dan
menelungkup dengan menempelkan telinganya di lan-
tai. "Keparat!"
Terdengar oleh Arya mulut sosok kecil itu men-
geluarkan makian. Suaranya ternyata sama dengan
dua buah suara pertama yang didengarnya. Maka pe-
muda berambut putih keperakan itu tahu kalau sosok
kecil inilah yang tadi mengeluarkan seruan-seruan
yang tidak dapat ditangkap di mana asalnya.
Arya mengedarkan pandangan ke sekitar tem-
pat sosok kecil itu berada, mencari-cari wanita yang
membutuhkan pertolongan. Namun tetap saja tidak di-
jumpainya. Hatinya merasa heran. Bukankah mestinya
wanita itu berada di dekat sekitar situ, karena katanya sudah tidak dapat
meloloskan diri lagi" Tapi, mana"
"Rupanya kau tetap tidak mau keluar, Manis"!
Rupanya kau ingin kupaksa, ya"! Ha ha ha...!"
Sosok kecil berpakaian sederhana itu lalu me-
nepuk-nepuk lantai tempat kepalanya tadi ditempel-
kan. Seketika itu pula Arya terlongo keheranan. Berarti wanita yang dipanggil
manis oleh sosok kecil itu berada di dalam tanah! "Tapi, mungkinkah itu?" pikir
Dewa Arak keheranan.
Perasaan tertarik dan ingin tahu yang amat
kuat, membuat Arya melompat turun dari atas pohon.
Kemudian dengan hati-hati karena takut ketahuan dan
tidak ingin mencari permusuhan, bergerak mendekati
sosok itu berada.
"Terkutuk! Kadal Busuk! Kucing Pincang! Lalat
Gemuk! Rupanya kau benar-benar bermaksud mem-
permainkan aku, Manis"!"
Kembali sosok kecil itu mengeluarkan makian-
makian aneh ketika Arya telah berada dekat tempat
sosok Itu berada. Pemuda berambut putih keperakan
ini bersembunyi di balik kerimbunan semak-semak.
"Kalau begitu terpaksa kau kusuruh keluar
dengan ini!"
Sosok kecil itu bangkit, kemudian membuka ce-
lananya dan mengencingi tempat telinganya tadi ditem-
pelkan. Di situ ternyata ada sebuah lubang kecil.
Wajah Arya seketika memerah ketika melihat
kelakuan sosok kecil yang ternyata seorang lelaki su-
dah tua. Rambutnya tampak riap-riapan. Kumis serta
jenggotnya telah memutih semua dan tidak terurus,
awut-awutan. Ternyata orang gila!
"Ha ha ha...!" Kakek kecil itu tertawa bergelak-gelak penuh kegembiraan setelah
mengencingi tempat
telinganya tadi ditempelkan. "Benar tidak kalau kau tidak bisa lari dariku,
Manis"!"
Kakek kecil itu lalu menjulurkan tangan men-
gambil sebuah benda kehitaman yang terapung di atas
air kencingnya. Rupanya lubang kecil itu tidak dalam, sehingga langsung penuh
ketika dikencingi kakek kecil itu, dan si Manis buruan kakek itu pun terbawa


Dewa Arak 66 Pembunuh Gelap di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

keluar. Arya menjadi geli ketika melihat si Manis bu-
ruan kakek kecil itu ternyata seekor jangkrik. Hampir kepalanya digeleng-
gelengkan karena tak kuat menahan rasa geli. Untung saja dia bisa menahannya
kare- na tahu kalau gerakan itu bisa mengakibatkan kebe-
radaannya diketahui. Dirinya tahu kakek kecil itu me-
miliki kepandaian luar biasa.
"Sebenarnya aku ingin mengadumu dengan
jangkrik milikku, Manis," ucap kakek kecil itu sambil menatap jangkrik hitam di
tangannya. "Tapi sayang, kau telah mengecewakanku. Lagi pula, di sini ada
orang muda yang dapat kuajak bermain-main. Perta-
rungan antara kau dengan jangkrik milikku terpaksa
kubatalkan!"
Kakek itu lalu memasukkan jangkrik kecil hi-
tam itu ke dalam mulutnya dan mengunyahnya penuh
perasaan nikmat. Sehingga terdengar bunyi gemeretuk
ketika gigi kakek kecil itu beradu dengan badan jang-
krik. Arya terkejut bukan main di persembunyian-
nya. Bukan karena kakek kecil itu memakan jangkrik
secara bulat-bulat seperti itu, karena dia tahu banyak tokoh persilatan yang
memiliki tingkah dan kebiasaan
aneh-aneh. Dewa Arak kaget karena menyadari kalau
kakek kecil itu ternyata mengetahui keberadaan di-
rinya. "Ha ha ha...! Tidak usah malu-malu seperti perawan tingting, Anak Muda.
Keluarlah, dan mari kita
bermain-main! Ha ha ha...! Setelah sekian lamanya ti-
dak bermain-main, akhirnya kutemukan juga seorang
kawan main yang aneh."
Mendengar ucapan kakek kecil ini, Arya tahu
kalau tidak ada gunanya lagi terus berdiam di tempat
persembunyiannya. Maka dengan wajah merah padam
karena malu ketahuan mengintai orang, dia melang-
kah keluar. "Maafkan aku, Kek! Bukan maksudku untuk
mengintai perbuatanmu. Tapi...!"
"Kentut busuk! Siapa peduli ceritamu"! Ayo,
cepat kita bermain!" potong kakek kecil itu tidak sabar.
"Bermain-main"!" Arya mengerutkan alisnya.
Baru pertama kali dalam hidupnya ada orang, apalagi
seorang kakek mengajaknya bermain-main. Memang-
nya anak kecil" Tapi karena tahu kalau kakek kecil
yang berada di hadapannya bukan orang sembaran-
gan, melainkan tokoh persilatan yang memiliki watak
aneh, dia tidak mau melakukan tindakan yang dapat
menyebabkan terjadinya suatu permusuhan di antara
mereka. "Rupanya kau tuli, Anak Muda. Kasihan sekali!
Tapi, tak apa! Yang penting kau merupakan orang sa-
tu-satunya yang kujumpai di sini. Ayo, kita bermain!
Kau mau bermain apa?"
Lagi-lagi Arya melongo. Tanpa sadar dia men-
gernyitkan dahi. Main apa" Kakek ini benar-benar
aneh! "Sayang sekali, Kek Aku tidak tahu kita harus main apa..., maksudku... aku
tidak pernah bermain-main...."
"Ah...! Sudahlah...! Biar aku yang tentukan!"
sentak kakek itu penuh perasaan tidak sabar.
Lalu, tanpa mempedulikan Dewa Arak yang
masih kebingungan mendapatkan pengalaman tidak
disangka-sangka itu, kakek kecil telah memunguti ba-
tu-batu kecil di sekitarnya. Batu-batu sebesar buah
ceremei. "Ayo, tunggu apa lagi"! Mengapa masih ben-
gong" Apakah kau takut kalah" Jangan khawatir, hu-
kuman bagi yang kalah tidak berat"
"Apa yang harus kulakukan, Kek?" tanya Arya, akhirnya.
Kakek itu menghentikan kegiatannya mencari
batu-batu kecil dan menatap Arya dengan sewot.
"Rupanya kau ini tidak hanya tuli, tapi juga bo-
doh! Kalau saja ada orang lain, tak akan kuajak kau
bermain-main. Tentu saja mencari batu-batu kecil ini, Tolol! Terpaksa pantatmu
harus kutendang agar keto-lolanmu pergi!"
Setelah berkata demikian, kakek kecil itu men-
gayunkan kakinya dan benar-benar bermaksud me-
nendang pantat Arya. Tentu saja pemuda berambut
putih keperakan ini tidak membiarkannya, dan segera
mengelak. Tapi, entah dengan cara bagaimana, kaki
kakek itu tetap mendarat di pantat Arya dengan keras.
Tubuhnya langsung terpental jauh dan terguling-
guling. Arya bangkit dengan wajah berubah. Kenyataan
ini menyadarkannya kalau kakek kecil memiliki kepan-
daian luar biasa. Untung saja tidak bermaksud jahat.
Kalau tidak, dia sudah terluka akibat tendangan itu. Si Kakek Kecil hanya
bermaksud membuatnya terlempar
tanpa terluka. "Nah! Sekarang sifat tololmu itu pasti sudah le-
nyap. Cepat, kumpulkan batu-batu, dan kita bermain!"
perintah kakek kecil itu tanpa mempedulikan keheran-
an Arya. "Tapi..., bagaimana kalau sebelum bermain batu kita bermain tebak-
tebakan dulu?"
Arya diam, tidak memberikan tanggapan. Di-
rinya tengah sibuk memutar akal untuk mencari cara
agar dapat melarikan diri dari kakek kecil yang aneh
itu. "Batu kecil ini," kakek kecil itu berkata tanpa mempedulikan Arya yang tidak
memperhatikan sikapnya. "Kalau kulemparkan jadi apa. Ayo tebak, Anak Muda!
Apabila kau tak bisa menjawabnya harus menggendongku sampai ke pohon sana!"
Tanpa sadar, Arya mengarahkan pandangan ke
arah telunjuk kakek kecil itu menuding. Ternyata yang dimaksud pohon tempatnya
bersandar tadi.
"Ayo, jawab! Cepat, kalau tidak bisa... kau ha-
rus menggendongku...!"
Arya pun terpaksa harus meladeni kemauan
kakek kecil itu. Dia memutar otak untuk mencari ja-
waban. "Tapi... kalau aku bisa menjawabnya kau harus membiarkanku pergi dari
sini. Kau mau berjanji,
Kek"!" "Itu soal mudah! Yang penting jawab dulu!"
"Tentu saja tetap jadi batu," jawab Arya, man-
tap. "Salah!" seru kakek kecil itu penuh perasaan gembira seperti seorang anak kecil.
"Bagaimana mungkin bisa salah"!" Arya bersikeras. "Kecuali kalau kau menggunakan
ilmu sihir!"
"Ini tebak-tebakan, Anak Muda. Tidak ada hu-
bungannya dengan sihir. Ayo, cari jawabannya yang
tepat. Atau... kau harus menggendongku ke sana!"
Arya mengarahkan seluruh kemampuan berpi-
kirnya untuk menjawab pertanyaan kakek itu. Tapi, te-
tap saja tidak menemukan jawaban yang mungkin se-
suai dan disetujui kakek itu.
"Aku menyerah," ucap Arya, akhirnya dengan
dahi berkeringat karena berpikir keras.
"Ha ha ha...!" Kakek kecil itu tertawa penuh perasaan gembira. "Jawaban yang
benar, batu ini apabila kulemparkan akan jadi... jauh! Ha ha ha...! Ayo, gendong
aku, Anak Muda!"
Arya melongo. Dia sadar kalau kakek kecil ber-
maksud mencari kemenangan sendiri dengan teba-
kannya yang unik itu. Tapi, bagaimanapun janji ada-
lah janji. Dan dia tidak mau mengingkarinya. Maka dia berdiam diri saja ketika
kakek itu melompat cepat dan mendarat di punggungnya.
Arya menghela napas lega ketika merasakan
tubuh kakek itu ringan sekali tak ubahnya kapas. Ma-
ka bergegas diayunkan kaki agar segera tiba di tempat pohon yang dimaksud. Tapi,
Arya hampir berteriak
saking kagetnya ketika secara mendadak tubuh kakek
kecil itu menjadi berat. Bahkan amat berat, sehingga
jangankan untuk membawanya melangkah, tetap
mempertahankan tubuh kakek itu dengan berdiam diri
di tempat saja, seakan tak kuasa. Dewa Arak terpaksa
mengerahkan seluruh tenaga dalamnya untuk mena-
han bobot tubuh kakek itu. Dia seperti bukan meng-
gendong seorang kakek kecil. Tubuhnya dirasakan se-
perti tergencet dua buah bukit!
Adu tenaga dalam pun berlangsung. Tubuh
Arya tampak menggigil keras. Keringat sebesar-besar
biji jagung membasahi wajahnya yang merah padam.
Pemuda berambut putih keperakan ini telah menge-
rahkan seluruh tenaga dalam yang dimilikinya untuk
menahan bobot tubuh kakek kecil yang diketahuinya
telah mengerahkan tenaga dalam sehingga menjadi
sangat berat Perlahan-lahan kedua kaki Arya mulai amblas
ke dalam tanah. Bahkan dengan cepat telah sampai
mata kaki. Adu tenaga dalam tingkat tinggi itu ru-
panya tidak kuat ditanggung oleh tanah!
Dewa Arak menggertakkan gigi untuk menge-
rahkan seluruh tenaga dalam sampai tingkatan terak-
hir. Bahkan pemuda berambut putih keperakan ini te-
lah mengeluarkan 'Tenaga Dalam Inti Matahari' yang
membuat tubuhnya panas, sehingga mengepulkan uap
tipis dari sekujur tubuh. Tapi, kakek kecil itu seperti tidak merasakannya dan
tetap enak-enakan bertengger
di punggung Arya,
Arya hampir putus asa, sadar kalau keselama-
tannya bagai telur di ujung tanduk! Dia dapat terkubur hidup-hidup oleh kakek
kecil yang luar biasa ini. Sekarang sampai hampir lutut kakinya terbenam di da-
lam tanah. "Tidak mengecewakan... tidak mengecewakan!"
di tengah-tengah pertarungan tenaga dalam itu, kakek
kecil berucap. Dan ini membuat Dewa Arak kaget bu-
kan kepalang. Dalam pertarungan tenaga dalam seper-
ti ini merupakan pantangan terbesar untuk berbicara.
Karena tenaga jadi mengendur, dan terbagi, sehingga
kemungkinan untuk terluka dalam akibat tenaga sen-
diri yang membalik. Tapi, toh, kakek kecil itu melakukannya!
Dan begitu kakek kecil itu selesai berbicara, tu-
buhnya melesat dari gendongan Arya, bersalto bebe-
rapa kali di udara dan kemudian hinggap berjarak be-
berapa tombak dari tempat semula.
"Sayang sekali, Anak Muda. Aku tidak bisa me-
neruskan permainan karena ada permainan lebih me-
narik yang menungguku!"
Tanpa menunggu tanggapan Arya, kakek kecil
melesat meninggalkan tempat itu. Dan Arya yang sem-
pat melihatnya terbelalak kaget. Kakek kecil itu ternyata berlari dengan
mempergunakan kedua tangannya!
Tapi, kecepatan larinya mengagumkan!
Diam-diam Arya merasa heran melihat kela-
kuan si Kakek Kecil. Tadi, kakek itu begitu berhasrat untuk mengajaknya bermain,
tapi mengapa malah pergi. Padahal, sekali lihat saja Arya tahu kalau kakek itu
masih ingin bermain.
Namun pertanyaan itu langsung terjawab keti-
ka Arya mendengar bunyi geraman keras dari kejau-
han, tempat yang dituju kakek kecil itu. Sebagai seo-
rang pendekar yang telah kenyang pengalaman, Arya
tahu kalau suara itu bukan berasal dari mulut hari-
mau atau binatang buas lainnya, melainkan dari mu-
lut tokoh sakti yang memiliki tenaga dalam tinggi.
Rasa tertarik dan ingin tahu membuat Arya me-
lesat menuju ke arah asal suara!
*** Jantung Arya berdetak lebih cepat dari semula
ketika melihat pemandangan yang terpampang di ha-
dapannya. Tiga sosok tengah terlibat dalam pertarung-
an sengit yang amat dahsyat. Sedangkan tak jauh dari
tempat itu, si Kakek Kecil yang aneh tadi tengah me-
nyaksikan jalannya pertarungan sambil bermain batu-
batu kecil yang dijadikannya kelereng!
Arya merasa kaget bercampur gembira ketika
mengenali dua di antara tiga orang yang tengah berta-
rung itu. Satu seorang kakek berkepala botak yang ta-
di telah menyerangnya kalang kabut untuk menuntut
balas kematian muridnya. Sedangkan satu lagi, yang
justru membuatnya merasa gembira, seorang nenek
bertubuh tinggi kurus dan berhidung melengkung se-
perti burung kakaktua. Rambutnya yang panjang tam-
pak besar-besar dan tebal karena beberapa helai ram-
but dipilin menjadi satu. Nenek ini ternyata orang yang tengah dicari-cari oleh
Arya. Namun Arya tidak langsung secara sembrono
terjun dalam kancah pertarungan, sungguhpun telah
melihat orang yang tengah dicari-carinya. Diperhati-
kannya jalan pertarungan secara seksama. Sebentar
saja telah diketahuinya kalau nenek berhidung me-
lengkung dan kakek berkepala botak berjuang bahu-
membahu menghadapi lawannya.
Baik nenek berhidung melengkung maupun
kakek berkepala botak sama-sama memiliki kepan-
daian yang amat tinggi. Namun harus diakui oleh Arya
bahwa lawan kedua orang ini, seorang kakek kurus
kering seperti mayat hidup, tampaknya memiliki ilmu
lebih tinggi ketimbang kedua lawannya. Kakek kurus
yang hanya mengenakan celana pendek kusam, tanpa
baju itu mampu mengimbangi keroyokan kedua la-
wannya, meskipun terlihat kerepotan.
Sekarang Arya mengerti mengapa kakek berke-
pala botak meninggalkannya begitu mendengar leng-
kingan. Rupanya lengkingan tadi merupakan isyarat
permintaan bantuan dari nenek berhidung meleng-
kung. Jelas mereka berdua merupakan kawan baik.
Tapi, yang menjadi pertanyaan bagi Arya mengapa ka-
kek kecil itu ikut kemari begitu mendengar geraman.
Apakah ada hubungan antara kakek kecil dengan ka-
kek kurus kering yang berilmu tinggi itu.
Di kancah pertarungan kakek berkepala botak
mengamuk dengan ayunan senjata andalannya. Tong-
kat besar dan berat di tangannya berkelebatan cepat
laksana tangan-tangan malaikat maut ke arah si Ka-
kek Kurus Kering. Tapi, ke mana pun tongkat itu me-
nyambar baik dalam bentuk tusukan maupun gebu-
kan selalu berbenturan dengan tangan atau kaki yang
kurus dari kakek kurus kering itu. Hal ini membuat


Dewa Arak 66 Pembunuh Gelap di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dewa Arak kagum bukan kepalang. Dia tahu untuk
kesekian kalinya bertemu dengan tokoh yang luar bi-
asa. Menangkis tongkat kakek berkepala botak dengan
tangan atau kaki telanjang membuktikan kalau kakek
itu memiliki kekuatan yang menakjubkan.
Namun yang lebih membuat Arya merasa ka-
gum, ketika melihat kakek kurus kering melakukan
hal yang sama terhadap serangan-serangan dari nenek
berhidung melengkung. Padahal, senjata nenek itu be-
rupa dua batang anak panah yang ujung-ujungnya
berwarna kehijauan pertanda mengandung racun jahat
Kenyataan ini membuat Arya menduga kalau
kakek kurus kering itu memiliki kekebalan tubuh yang
hebat dan luar biasa. Kekebalan yang terjadi bukan
karena tenaga dalam kuat, melainkan karena sebuah
ilmu mukjizat Desss! Gebukan tongkat kakek berkepala botak den-
gan telak dan keras menghantam paha kanan kakek
kurus kering hingga tubuhnya terpental ke belakang
dan terguling-guling. Namun, dengan cepat bangkit
tanpa kurang suatu apa. Sepertinya pukulan tongkat
yang sanggup menghancurkan batu karang itu tidak
berarti apa-apa baginya.
Sebelum kakek kurus kering itu sempat ber-
buat sesuatu, anak panah nenek berhidung meleng-
kung telah lebih dulu menyerempet lehernya. Seperti
juga serangan tongkat, anak panah itu sama sekali ti-
dak menimbulkan akibat yang berarti! Tubuh kakek
kurus kering itu hanya terjajar ke belakang, tanpa terluka sama sekali!
Hal ini membuat kakek berkepala botak dan
nenek berhidung melengkung penasaran bukan main.
Mereka menyerbu dengan lebih gencar dan kali ini
menjatuhkan serangan pada bagian-bagian yang ber-
bahaya dan lemah seperti mata dan ubun-ubun. Pili-
han mereka ternyata tepat. Sekarang kakek kurus ke-
ring itu tidak berani bertindak gegabah. Bahkan kini
mulai terdesak semakin hebat.
"Rongga...! Bantu aku...! Cepat, apa lagi yang
kau tunggu"!"
Kakek kurus kering itu berseru keras di ten-
gah-tengah kesibukannya menangkis dan mengelak-
kan serangan. Kepalanya ditolehkan pada kakek kecil
yang saat itu tengah sibuk bermain-main dengan lu-
dah, mencoba membuat bulatan-bulatan dengan
mempergunakan ludah dibantu bibir.
"Aku tak ingin bermain-main, Barureksa! Aku
sedang jenuh! Kau saja menghadapi mereka. Nanti ka-
lau aku mau, pasti aku akan turut campur tanpa kau
minta," sahut kakek kecil yang ternyata bernama
Rongga, tetap dengan kesibukannya bermain-main air
ludahnya. Kakek kurus kering menggeram. Tapi geraman-
nya langsung terhenti ketika tongkat kakek berkepala
botak dengan keras menghantam perutnya hingga tu-
buhnya terjengkang ke belakang. Waktu yang ada di-
pergunakan sebaik-baiknya oleh kakek berkepala bo-
tak dan nenek berhidung melengkung untuk melesat
meninggalkan lawannya. Keduanya sadar dan merasa
percuma untuk terus melanjutkan pertarungan karena
keadaan yang tidak menguntungkan itu.
Sebagai tokoh-tokoh tingkat tinggi, baik nenek
berhidung melengkung maupun kakek berkepala botak
tahu kalau kakek kecil yang merupakan kawan kakek
kurus kering merupakan lawan yang amat tangguh.
Sehingga apabila kakek kecil yang bernama Rongga itu
ikut campur tangan, keadaan mereka akan sangat ti-
dak menguntungkan. Itulah sebabnya mereka melesat
mengambil langkah seribu.
Barureksa menggeram hebat penuh kemurkaan
melihat kedua lawannya melarikan diri. Jarak yang su-
dah jauh, membuatnya berhenti. Baginya menyusul
mereka merupakan hal yang mustahil. Maka dia hanya
bisa menimpakan kesalahan itu pada kakek kecil. Ka-
kek kurus kering menatap Rongga penuh selidik.
"Kalau saja kau ikut campur tangan, mereka ti-
dak akan bisa kabur, Rongga. Tindakanmu telah
membuat mereka berdua lolos. Ingat Rongga, kalau
lain kali kau bertemu denganku, jangan harap nyawa-
mu kuampuni!"
Kakek kurus kering melesat meninggalkan ka-
kek bernama Rongga setelah mengucapkan ancaman
itu. Tapi, Rongga bersikap tidak peduli. Dia seperti tidak mendengar nada
ancaman dalam ucapan Baru-
reksa. Dia masih saja tenggelam dalam permainan lu-
dahnya. Arya tidak berani bertindak gegabah. Begitu di-
lihatnya kakek kecil kurus kering telah pergi jauh, dan Rongga tenggelam dalam
permainannya, dia melesat
cepat menyusul kakek berkepala botak dan nenek ber-
hidung melengkung, berlari.
3 Setelah berlari beberapa saat lamanya tidak ju-
ga menjumpai adanya sepotong tubuh pun, Arya ter-
paksa berhenti. Jangankan nenek berhidung meleng-
kung dan kakek berkepala botak, kakek kurus kering
pun tidak dijumpainya. Mereka lenyap seperti ditelan
bumi. Sekarang, pemuda berambut putih keperakan
ini berada di daerah yang kering karena berupa ham-
paran pasir. Gundukan-gundukan batu besar kecil,
dan bukit yang menjulang tampak di sekitar tempat
itu. Arya mengedarkan pandangan sekali lagi untuk
meyakinkan hati kalau usaha pengejarannya tidak
akan membuahkan hasil seperti yang diharapkan. Pe-
muda berambut putih keperakan itu pun memutuskan
untuk membatalkan maksudnya. Di samping mempu-
nyai tugas untuk mencari nenek berhidung meleng-
kung yang merupakan pimpinan tertinggi gerombolan
sesat yang telah berhasil dihancurkannya, Arya masih
mempunyai sebuah tugas, yaitu memenuhi amanat
Sekar Arum. Gadis itu tewas karena menyelamatkan-
nya. Sekar Arum menjadi tameng dirinya, menerima
hunjaman ratusan anak panah yang mengancam diri-
nya. Ingat akan Sekar Arum wajah Arya menjadi
murung. Ada perasaan sedih dan marah menusuk di
hatinya. "Jangan khawatir, Arum. Pesanmu ini akan ku-
sampaikan!"
Dewa Arak melesat meninggalkan tempat beru-
pa hamparan pasir itu. Tujuannya ke tempat pergu-
ruan Sekar Arum!
Meski Arya mengerahkan seluruh kemampuan-
nya dan jarang istirahat, setelah dua hari dua malam
dirinya baru sampai di kaki bukit tempat perguruan
yang dituju. Sebuah perjalanan cukup panjang telah
ditempuhnya. Menyusuri hutan belantara, menyebe-
rangi sungai serta naik turun perbukitan terjal.
Tak membutuhkan waktu banyak bagi Dewa
Arak untuk mendaki lereng, tempat perguruan itu. Se-
telah beberapa saat berjalan mendaki, pondok pergu-
ruan tempat Sekar Arum menjadi murid itu pun telah
terlihat. Namun sepasang alis pemuda berambut putih
keperakan itu berkerut dalam ketika melihat adanya
keanehan di sekitar bangunan perguruan. Keadaannya
sepi sekali, tidak terdengar suara apa pun. Hening seperti mati. Arya memang
telah mendengar cerita dari
Sekar Arum kalau perguruannya hanya mempunyai
beberapa orang murid. Selain dirinya, ada enam orang
belajar di perguruan itu. Tapi, mungkinkah akan se-
perti ini keadaannya" Hening dan seperti tanpa peng-
huni" Melihat kenyataan yang mencurigakan ini, De-
wa Arak berusaha mendekati pondok yang terkurung
papan kayu bulat. Dengan hati-hati pemuda berpa-
kaian ungu itu mengendap-endap mendekati sekelom-
pok bangunan pondok. Padahal, semula dia bermak-
sud datang secara terus terang.
Begitu tiba di depan pintu gerbang yang terbuka
lebar karena tidak mempunyai daun pintu itu, Arya mengintip. Dan..., seketika
itu pula dia segera mema-lingkan wajah dengan perut terasa mual! Jelas sekali
terlihat oleh Dewa Arak, sesosok ramping berpakaian merah tengah lahap memakan
benda putih bergumpal-gumpal sebesar kepalan!
Begitu tiba di depan pintu gerbang yang terbu-
ka lebar karena tidak mempunyai daun pintu itu, Arya
mengintip. Dan..., seketika itu pula dia segera mema-
lingkan wajah dengan perut terasa mual! Secara jelas
sekali terlihat olehnya, sesosok ramping berpakaian
merah tengah dengan lahapnya memakan benda putih
bergumpal-gumpal sebesar kepalan. Pada beberapa
bagian terdapat cairan merah kental.
Karena di dekat tubuh sosok berpakaian merah
itu tergolek sosok tubuh dengan kepala terbelah men-
jadi dua, Dewa Arak langsung bisa mengetahui kalau
benda putih bergumpal sebesar kepalan itu tentunya
otak manusia! Seketika itu pula timbul perasaan geram di da-
lam hati Arya terhadap sosok berpakaian merah. Na-
mun, terselip juga rasa iba dan tidak sampai hati.
Meskipun hanya sekali melihatnya, dia yakin kalau so-
sok berpakaian merah itu adalah Sekardati!
Namun naluri kependekarannya yang tidak
pernah bisa membiarkan kekejian berlangsung di de-
pan matanya, langsung membuat Arya dapat mengam-
bil keputusan cepat.
"Tak pernah kusangka kalau dirimu akan ter-
sesat seperti ini, Sekardati!" seru Arya sambil melangkah keluar dari tempat
pengintaiannya.
Sosok berpakaian merah itu membalikkan tu-
buh dengan kaget karena tidak menyangka kalau ke-
lakuannya diketahui orang.
Namun ternyata bukan hanya sosok berpa-
kaian merah itu yang merasa kaget, Aryapun demi-
kian. Bahkan tubuh pemuda berpakaian ungu itu
sampai terjingkat ke belakang karena kagetnya. Hanya
saja ada tarikan kegembiraan pada sorot matanya di
samping keterkejutan yang melanda. Dan hal ini terja-
di karena Arya melihat sosok berpakaian merah ter-
nyata bukanlah Sekardati. Memang, dandanan ram-
butnya sama. Demikian juga potongan tubuh serta
model pakaiannya ketika terlihat dari belakang. Tapi, wajah yang tampak bukan
wajah Sekardati! Sekardati
memiliki wajah cantik manis dengan kulit halus. Se-
dangkan sosok berpakaian merah itu memiliki kulit
wajah penuh keriput. Wajah seorang nenek.
"Siapa kau, Bocah"! Menyingkirlah kalau tidak
ingin mengalami nasib sama dengan mereka ini!" bentak nenek berpakaian merah
seraya menuding sosok-
sosok yang bergelimpangan berlumuran darah.
Arya menggertakkan gigi. Dengan sepasang ma-
ta dihitungnya jumlah mayat yang tergolek di sana, tujuh orang! Berarti semua
penghuni rumah perguruan
ini telah dibunuh oleh nenek berpakaian merah ini. Tidak terkecuali guru Sekar
Arum! "Keji!" desis Arya tajam seraya mengalihkan perhatian pada nenek berpakaian
merah yang masih
sibuk menjilati jari-jari tangannya yang berlepotan darah dan otak. "Semula
kukira kau kawanku, dan aku bimbang untuk membasmimu agar kekejian ini tidak
terulang. Tapi kini lenyap keraguanku.... Orang seper-timu harus segera
dilenyapkan dari muka bumi!"
"Kaulah yang akan menerima kematian di tan-
ganku, Bocah Usilan!"
Nenek berpakaian merah mendahului menye-
rang Dewa Arak dengan tendangan kaki kanan kiri
bertubi-tubi yang mengeluarkan bunyi mengaung ke-
ras. Dewa Arak menyadari serangan itu berbahaya.
Sekali saja terkena kaki yang kelihatannya indah itu
nyawanya akan berada di pintu alam baka. Maka dia
bertindak cepat. Dengan kedua tangan ditangkisnya.
Plak, plak, plak!
Suara benturan terdengar berkali-kali ketika ta-
ngan dan kaki itu beradu. Dan setiap kali benturan
terjadi, tubuh kedua belah pihak sama-sama ter-
huyung-huyung ke belakang. Bahkan pada benturan
terakhir keduanya hampir terjengkang, karena begitu
kuatnya benturan itu terjadi.
Namun nenek berpakaian merah itu benar-
benar bermaksud membuktikan ancamannya. Dia
langsung mematahkan kekuatan yang membuat tu-
buhnya terhuyung, lalu melancarkan serangan susu-
lan yang tak kalah dahsyat. Setiap serangan yang dilakukan mengeluarkan bunyi
angin menderu. Dewa Arak yang tengah dilanda amarah karena
perbuatan keji nenek berpakaian merah itu memu-
tuskan untuk melawan dengan keras. Oleh karena itu
serangan susulan ini akan dipapakinya lagi. Namun
pemuda berpakaian ungu ini terkejut ketika menyadari
kedua tangan yang hendak digunakan memapak tidak
dapat digerakkan secara normal! Begitu dikerahkan
tenaga dalam, kedua tangannya terasa ngilu bukan ke-
palang. Melihat kedua tangannya mulai berwarna kela-
bu, Arya langsung tahu kalau kedua tangannya telah
terkena racun jahat. Ternyata kaki perempuan tua itu
mengandung racun jahat.
Itulah sebabnya Dewa Arak tidak berani mela-
kukan tangkisan lagi. Di samping memang tidak bisa
karena kedua tangannya berada dalam keadaan ngilu
dan nyeri. Akhirnya dia hanya menggunakan kelinca-
hannya untuk mengelak.
Nenek berpakaian merah tidak tinggal diam.


Dewa Arak 66 Pembunuh Gelap di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Malah serangan gencar yang dilancarkannya semakin
menjadi-jadi setelah tahu hal yang telah dialami pe-
muda itu. "Untung kau tidak terluka, Anak Muda. Kecil
saja kulitmu berdarah, racun itu akan terbawa aliran
darah menuju ke jantung. Apabila itu terjadi, nyawa-
mu akan melayang ke neraka! Hi hi hi...!"
Arya tahu kalau nenek berpakaian merah itu
tidak berbohong. Namun dia tidak merasa gentar, ka-
rena baginya mati bukan merupakan persoalan. Kehi-
dupannya sebagai seorang pembela kebenaran, mem-
buat hidupnya selalu terancam maut. Sewaktu-waktu
nyawanya bisa melayang. Luka merupakan hal yang
biasa. Dalam keadaan seperti itu Dewa Arak tidak
mampu mempergunakan kedua tangannya. Yang dipa-
kainya, sekarang, hanya kedua kaki untuk melancar-
kan serangan. Itu pun langsung ditariknya kembali ke-
tika melihat lawan berusaha menangkis.
Tentu saja keberadaan pemuda berambut putih
keperakan itu sangat tidak menguntungkan. Betapa
pun kuatnya pertahanan, apabila tanpa penyerangan
sama sekali akan bobol juga. Lama-kelamaan Dewa
Arak tampak semakin kewalahan. Keadaannya sema-
kin mengkhawatirkan ketika rasa pusing mulai melan-
danya. Semula Arya bingung mengapa hal itu bisa ter-
jadi. Namun segera disadari bahwa serangan-serangan
yang dilakukan perempuan tua itu menimbulkan angin
yang membawa uap racun.
Kalau saja kedua tangannya tidak dalam kea-
daan seperti itu, mungkin Arya mempunyai kesempa-
tan untuk mengambil guci dan mengobati luka racun-
nya. Desss! Akhirnya pukulan telapak tangan terbuka ne-
nek berpakaian merah berhasil mendarat di bagian kiri dada Dewa Arak. Tubuh
pemuda berambut putih keperakan itu terjengkang ke belakang dan menabrak
pagar kayu bulat hingga jebol!
Dewa Arak tidak kuasa untuk menahan jeritan
ketika tubuhnya melayang deras ke bawah. Di bela-
kang pagar kayu bulat itu ternyata menganga sebuah
jurang curam dan dalam. Tak pelak lagi, tubuh Dewa
Arak melayang ke jurang itu.
Nenek berpakaian merah kaget mendengar te-
riakan Arya. Dia pun melesat mengejar untuk melihat-
nya. Bulu kuduknya langsung berdiri ketika melihat
jurang menganga tampak kelihatan dasarnya itu. Se-
perti Arya, dia pun tidak menyangka kalau bagian be-
lakang perguruan ini ternyata sebuah jurang. Tanpa
berkata apa pun, nenek berpakaian merah itu men-
jauh. Kemudian, dia telah sibuk kembali memakan
otak mayat-mayat guru dan saudara seperguruan Se-
kar Arum. *** Setelah melayang-layang beberapa saat la-
manya, tubuh Arya jatuh di atas permukaan air. Tu-
buh pemuda itu terus meluncur ke dalam air. Tak la-
ma kemudian, berkat ilmu meringankan tubuhnya
pemuda berambut putih keperakan itu berhasil men-
gapung di atas permukaan air. Arya masih tetap sadar, meskipun telah melayang
jatuh dari ketinggian jurang.
Dan sekarang, meskipun dalam keadaan terlu-
ka parah akibat racun dan pukulan pada dada kiri
yang juga beracun, Arya berusaha keras untuk menye-
lamatkan selembar nyawanya. Dengan keadaan tangan
hampir lumpuh, dia berjuang keras.
Namun dasar jurang yang ternyata air, dan me-
rupakan badan sungai itu mempunyai arus kuat seka-
li. Arya yang tengah berada dalam keadaan lemas, tak
mampu bertahan dari arus sungai yang sangat deras.
Tubuhnya terbawa arus, meskipun kedua kakinya
menjejak-jejak ke sana kemari berusaha menahan.
Entah berapa lama Dewa Arak yang dalam kea-
daan setengah pingsan terus terbawa arus air sampai
jauh. Ketika akhirnya sepasang matanya membuka
disadari kalau tubuhnya telah tidak terbawa air lagi.
Tapi, dia tahu kalau tubuhnya masih berada di dalam
sungai. Ketika Arya memperhatikan sekelilingnya, baru dia sadar tubuhnya
tersangkut pada sebuah batu yang
menonjol di tengah permukaan sungai. Dengan susah
payah Arya beringsut mendaki gundukan batu itu,
agar tidak terendam di aliran air. Dan ketika akhirnya berada di atas batu yang
kebetulan mempunyai permukaan rata, pemuda itu duduk bersila. Dia bersiap
untuk mengobati luka dalamnya.
Sebuah keuntungan masih berpihak pada Arya.
Guci araknya, sumber penangkal racun tidak terlepas
dari punggung. Bahkan isinya masih ada sungguhpun
tidak penuh. Sesaat kemudian, pemuda berpakaian
ungu itu telah sibuk dengan pengobatannya, luka da-
lam dan keracunan.
Cukup lama juga hal itu dilakukan, sejak ma-
tahari belum mencapai titik tengahnya sampai con-
dong ke barat, baru Arya merasakan luka di dalam tu-
buhnya telah mulai pulih. Bahkan kedua tangannya
telah kembali seperti sediakala.
Pemuda berambut putih keperakan ini mem-
perhatikan keadaan di sekelilingnya. Tempatnya bera-
da ternyata diapit oleh dinding tebing yang cukup ting-gi. Dinding-dinding yang
di atasnya banyak tumbuh
pepohonan besar kecil. Sungai ini ternyata berada di
dalam hutan. Dengan sorot matanya Arya mengukur keting-
gian tebing di kanan kirinya. Sekali lihat saja dia tahu kalau tebing di sebelah
kanan jauh lebih rendah. Maka dia segera memutuskan untuk menujukan tindakan ke
sana Meskipun demikian, Arya tahu untuk mencapai
atas tebing dengan sekali atau dua kali lompatan me-
rupakan sebuah perbuatan mustahil. Tinggi tebing itu
tak kurang dari dua puluh tombak. Tapi, Arya tidak
kehilangan akal. Dipungutnya beberapa buah batu ke-
cil yang didapatkan dari tempat dirinya berada.
"Hih!"
Arya langsung melemparkan sebuah batu ke
atas. Kemudian tubuhnya menyusul melompat, lalu
menjejak batu itu untuk melompat lagi ke atas. Pada
saat yang bersamaan, batu kedua dilemparkannya,
dan hal serupa pun dilakukan. Begitu seterusnya,
hingga dapat mendarat di atas tebing dengan selamat
"Hi hi hi...!"
Sebuah tawa bergelak langsung menyambut ke-
tika Arya baru saja menjejakkan kaki di tanah tepian
tebing. Karuan saja hal ini membuat pemuda beram-
but putih keperakan itu langsung bersikap waspada.
Sesaat kemudian sekujur urat saraf dan otot-
otot tubuhnya kembali mengendur setelah sekian la-
manya menunggu, dan juga memperhatikan suasana
sekitar, tidak nampak adanya seseorang tadi tertawa.
Namun tiba-tiba Arya kaget lagi mendengar
pemilik suara itu kembali mengumandangkan kata-
katanya yang sarat dengan perasaan gembira.
"Hi hi hi...! Sebentar lagi usahaku ini akan berhasil. Aku tidak akan pernah
tua. Aku akan hidup se-
ribu tahun lagi. Hi hi hi...!"
Arya mengernyitkan dahi mendengar ucapan
itu. Kemudian setelah memperkirakan dari mana asal
suara, diayunkan kaki menuju ke tempat itu. Dia ingin tahu orang yang telah
mengeluarkan perkataan seperti
itu. Apalagi di tempat terpencil seperti ini!
Dengan cerdik, Arya memperhatikan jalan yang
ditempuhnya. Medan yang berupa kumpulan semak-
semak dan ilalang serta pepohonan liar seperti tidak
pernah terjamah manusia itu, membuatnya hati-hati
memilih langkah. Sekali menyentuh dahan kering, ke-
beradaannya akan diketahui oleh pemilik suara itu.
Dan hal ini tidak diinginkannya.
Ternyata asal suara itu berasal dari tempat
yang cukup jauh. Setelah cukup lama berjalan, pemu-
da berambut putih keperakan itu baru melihat pemilik
suara itu. Arya kaget ketika mengenali sosok yang tengah tertawa-tawa gembira di
depan mulut sebuah goa.
Arya yang mengintai dari balik sebatang pohon men-
genal betul siapa sosok yang tertawa-tawa itu. Ternya-ta dialah yang selama ini
tengah dicari-carinya, nenek berhidung melengkung! Pimpinan tertinggi Pasukan
Iblis Neraka yang telah berhasil dihancurkannya bersa-
ma para pendekar lain. Segerombolan tokoh jahat yang
melakukan tindakan-tindakan keji, menculiki wanita-
wanita perawan dan bayi-bayi yang masih kecil. Entah
untuk apa hal itu dilakukannya. Arya tidak tahu, bah-
kan sampai pimpinan tertinggi, yaitu nenek berhidung
melengkung itu, melarikan diri!
Kemarahan Arya bangkit ketika melihat nenek
berhidung melengkung. Apalagi disadari kalau ke-
mungkinan besar nenek ini baru saja melakukan keja-
hatan keji lagi. Tapi, sebelum pendekar muda itu ke-
luar dari tempat persembunyiannya untuk melakukan
penyerbuan, dari arah sebelah kanan melesat sesosok
bayangan biru. Dan tahu-tahu di depan nenek berhi-
dung melengkung berdiri seorang pemuda berwajah ti-
rus berpakaian biru. Sikapnya terlihat menantang se-
kali. "Rupanya kau bersembunyi di sini, Nenek Pe-
nyihir!" bentak pemuda berpakaian biru, sambil me-nudingkan jari telunjuknya ke
muka nenek berhidung
melengkung. "Asal kau tahu saja, ke mana pun kau pergi tetap akan kucari!"
Nenek berhidung melengkung seketika murka
melihat sikap pemuda berpakaian biru di hadapannya.
Kaki kanannya bergerak menjejak tanah, dan seketika
itu pula tanah amblas hampir sedalam betis!
"Siapa kau, Pemuda Lancang"! Sungguh berani
kau bersikap seperti itu di depanku! Apa kau telah bo-san hidup?"
"Hmh!" Pemuda berpakaian biru mendengus
melihat kemarahan nenek berhidung melengkung. Dia
tidak kelihatan merasa kaget atau gentar. "Siapa adanya aku tidak perlu kau
tahu. Yang perlu kau tahu
maksud kedatanganku kemari. Aku ingin membu-
nuhmu, Nenek Tua!"
"Keparat!" Nenek berhidung melengkung mem-
bentak keras. "Rupanya kau sudah kepingin mati, Mo-nyet Jelek! Pergilah ke
neraka!" Nenek berhidung melengkung mengibaskan ta-
ngan kanannya. Bunyi berdesir pun langsung terden-
gar berbarengan dengan meluncurnya benda-benda
halus ke arah pemuda berpakaian biru.
Arya yang memperhatikan secara seksama, ta-
hu kalau nenek berhidung melengkung mengirimkan
serangan dengan mempergunakan senjata berupa ja-
rum. Tidak kurang dari sepuluh banyaknya. Dan meli-
hat bagaimana keadaan nenek berhidung melengkung,
jarum-jarum itu sudah pasti mengandung racun jahat
Arya mengkhawatirkan keselamatan pemuda berpa-
kaian biru itu.
Istana Pulau Es 19 Peristiwa Bulu Merak Karya Gu Long Golok Bulan Sabit 10
^