Pencarian

Si Linglung Sakti 2

Dewa Arak 65 Si Linglung Sakti Bagian 2


"Dan kau siapakah, Sobat?" tanya pemuda tampan yang ternyata Arya Buana.
"Kepandaianmu luar biasa. T api, sayang kau tersesat.
Menggunakan ketinggian ilmumu untuk melakukan hal yang tidak baik."
"T utup mulutmu! Kau boleh berbangga hati dan merasa sakti di hadapan orang
lain. Tapi di hadapanku jangan coba-coba bersikap seperti itu. Kau bukan
lawanku, De wa Arak! Bersiaplah menerima kematian atas tindakan lancangmu!"
"Hih!"
Sosok berpakaian serba putih meluruk ke arah Dewa Arak dengan mengirimkan
tusukan mematikan ke dahi. Bunyi mendesing yang menyakitkan telinga mengiringi
serangan itu. "Heh..."!"
T anpa sadar Arya mengeluarkan.seruan kaget. Dia pernah melihat gerakan
penyerangan seperti itu sebelumnya. T api kapan dan di mana dia lupa. Yang
jelas, bentuk serangan itu tidak dilihatnya dari sosok berpakaian serba putih,
melainkan orang lain!
Sosok berpakaian serba putih menggeram keras melihat serangannya mengenai tempat kosong, karena Arya telah melompat melewati atas
kepala. T api dengan kecerdikan luar biasa. Dia se gera memalangkan kedua
tangannya di atas kepala, berjaga-jaga terhadap serangan yang akan dilancarkan
lawan. T indakan itu membuat Dewa Arak tidak bisa melakukan serangan.
Bertepatan dengan Dewa Arak menjejakkan kaki di tanah, sosok berpakaian serba
putih telah membalikkan tubuh. Hingga, mereka berdiri saling berhadapan dalam
jarak tiga tombak. Sepasang mata sosok berpakaian serba putih merah membara
ketika menatap wajah Arya. Sekilas sempat dilihatnya keadaan di dalam pondok. T
idak dijumpainya Srini yang menjadi tawanannya. Dia tahu, Srini telah kabur. Ini
menjadikan kemarahannya semakin bertambah.
Sosok berpakaian serba putih lalu memalangkan kedua tangannya di depan dada
sebelum menariknya ke sisi pinggang. Kemudian perlahan-lahan kedua tangan itu
didorong ke depan bergantian.
T erdengar bunyi angin bertiup sangat lemah. Bahkan, hampir tidak tertangkap
telinga. Arya kelihatan terkejut. Sebagai tokoh persilatan yang telah cukup punya nama,
dia tahu betapa berbahayanya serangan lawan.
Semakin halus bunyi yang terdengar berarti semakin kuat tenaga dalam yang
terkandung. Kesadaran akan adanya bahaya membuat Arya tidak berani menangkis.
Dia belum mengetahui kekuatan tenaga dalam itu.
T api, wajah pemuda berambut putih keperakan itu langsung pucat ketika menyadari
kedua kakinya tidak mampu digeser
dari tempatnya. Ada kekuatan dahsyat yang tidak tampak telah
membelenggunya. Betapapun Arya memaksa, tetap saja sia-sia.
Maka, dengan sangat terpaksa dipapaknya serangan itu dengan jurus
'Pukulan Belalang'.
Bresss! Keluhan tertahan dikeluarkan Dewa Arak ketika benturan terjadi.
T ubuh pemuda itu terpental jauh ke belakang dan melayang-layang, lalu jatuh
terguling-guling di tanah. Sementara lawannya terhuyung-huyung beberapa langkah
ke belakang, dan mampu memperbaiki kedudukannya kembali.
Gulingan tubuh Arya terhenti ketika menabrak sepasang kaki bulat pendek yang
berdiri menjejak tanah. Dengan pandangan mata nanar pemuda itu menengok ke atas.
Dilihatnya dua raut wajah.
Salah satu di antaranya dikenalinya. Pemilik kaki bulat pendek itu adalah
Gempar! Sementara sosok yang satu tidak diketahui Arya. Tapi pemuda yang cerdik itu tahu
kalau sosok yang berdiri di sebelah Gempar dan memiliki sikap tidak kalah angker
mempunyai hubungan dengan Branta Wali. Ini bisa diketahui pakaian kakek itu yang
berkembang-kembang, meskipun berwarna kuning.
T anpa mempedulikan keadaan
Arya, Gempar, dan Ketua Perguruan Lembah Seribu Bunga melewati tubuh pemuda berambut putih keperakan
itu. Dihampirinya sosok berpakaian serba putih yang masih berdiri di tempatnya
dengan sikap tenang.
"He he he...!"
Sosok berpakaian serba putih tertawa terkekeh. "Rupanya kalian sudah ingin
melayat ke akherat, heh" Sehingga tidak sabar lagi untuk
segera kubunuh."
"Manusia terkutuk! Kaulah yang harus mati atas tindakan kejimu yang telah
membunuh murid-muridku!" tandas kakek berpakaian kuning marah.
"Serahkan tawanan itu padaku, Penculik Hina!" ujar Gempar tak kalah keras sambil
tersenyum lebar yang merupakan ciri khasnya.
"Barangkali saja dengan tindakan itu aku bisa mengampunimu. T api, tentu saja
dengan pertimbangan-pertimbangan tertentu!"
"Kalian singa-singa ompong. Berani benar memamerkan mulut yang bau di hadapanku"
Mumpung aku masih bersikap baik,
cepatlah pergi dari sini! Jangan tunggu sampai aku berubah pikiran!"
"Sombong!" maki Ketua Perguruan Lembah Seribu Bunga.
"Kaulah yang harus mampus!"
Seperti telah disepakati sebelumnya, kedua tokoh itu melompat menerjang sosok
berpakaian serba putih. Gempar menyerang dari kanan, sementara kakek berpakaian
kuning dari arah kiri. Masing-masing mengeluarkan ilmu andalannya.
Namun lawan yang memang memiliki kepandaian tinggi. Sekali kakinya digerakkan
dia telah membuat serangan kedua tokoh itu mengenai tempat kosong. Bahkan, mampu
mengirimkan serangan balasan yang tidak kalah dahsyat. Dalam sekejap ketiga
tokoh tingkat tinggi itu telah terlibat pertarungan sengit.
Jalannya pertarungan sempat disaksikan Arya. Meskipun hanya sebentar
karena kemudian pemuda itu memutuskan untuk menyembuhkan luka di dada. Arya yakin dia tidak terluka dalam yang parah. Pemuda
berambut putih keperakan itu tenggelam dalam semadinya, setelah sempat merasa
bingung memikirkan mengapa Gempar bisa berada di sini bersama seorang kawan yang
memiliki kepandaian tinggi pula.
Pertarungan berlangsung secara cepat. Yang terlihat hanya
kelebatan bayangan hitam, kuning, dan coklat. Dalam waktu singkat pertarungan
telah berlangsung sepuluh jurus. Dan, selama itu belum satu pun serangan Ketua
Perguruan Lembah Seribu Bunga dan ahli
waris Perguruan Laut Mati mendarat di sasaran. T usukan-tusukan sumpit kakek
berpakaian kuning selalu mengenai tempat kosong.
Kenyataan ini membuat Ketua Perguruan Lembah Seribu Bunga
penasaran bukan main. Dan perasaan itu pula yang melanda Gempar, karena ilmu
'Pukulan Gelombang Laut' yang menjadi andalannya mati kutu. Kedahsyatan ilmu itu
lenyap seperti api termakan air.
Bahkan beberapa kali ketika sosok berpakaian serba putih mengayunkan tangan memapak, tubuhnya terhuyung-huyung ke
belakang dengan dada terasa sesak.
"Haaat...!"
Hampir bersamaan kakek berpakaian kuning dan Gempar
mengeluarkan teriakan keras. Belum lagi gema teriakan itu pupus, tubuh kedua
tokoh itu melesat ke arah sosok berpakaian putih.
Dalam puncak kegeramannya, Ketua Perguruan Lembah Seribu
Bunga maupun Gempar mengeluarkan ilmu andalan untuk mengadu nyawa. Serangan yang
mereka lakukan menutup jalan keluar bagi lawan. T api tidak memiliki pertahanan
sama sekali. Agaknya, kedua tokoh tingkat tinggi itu mulai putus asa.
"Uhhh...!"
Seruan kaget terlontar dari mulut sosok berpakaian serba putih.
Dia tahu kedua lawannya telah bertindak nekat, sedangkan dia sendiri bingung
mencari jalan keluar. Maka....
T uk, plak, desss!
"Akh...!"
Jerit kesakitan pun terdengar. Ketiga tokoh persilatan itu terjengkang ke
belakang. Ketua Perguruan Lembah Seribu Bunga jatuh terguling-guling di tanah.
Dia diam tidak bergerak lagi untuk selamanya. Nyawanya telah melayang saat itu
juga. Dada kiri kakek itu pecah terkena hantaman tangan kanan sosok berpakaian
serba putih. Gempar terhuyung-huyung dan hampir jatuh, namun masih dapat bertahan. Walaupun
demikian, dari sudut-sudut mulutnya mengalir darah segar. Dia terluka dalam
karena serangan kedua tangannya
berhasil ditangkis lawan. T enaga dalam Gempar masih di ba wah sosok berpakaian
serba putih. Se dangkan sosok itu hanya terhuyung-huyung dengan agak
terpincang-pincang. Sepasang sumpit kakek berpakaian kuning mendarat
di tubuhnya meskipun meleset dari tujuan semula.
Sasarannya pada pelipis hanya mengenai pangkal bahu kanan.
Sementara yang tertuju ke arah ulu hati menghantam pangkal paha kiri. Kedua
bagian itu langsung terasa lumpuh.
Rupanya sosok berpakaian serba putih menyadari keadaannya
yang tidak menguntungkan. Walau keadaannya masih lebih baik dari kedua lawannya.
Tapi kalau Dewa Arak sampai ikut campur tangan, dia bisa celaka. Maka, segera
sosok berpakaian serba putih itu melesat pergi menyambar tubuh murid wanita
Perguruan Lembah Seribu Bunga yang tadi dilemparkannya di atas tanah.
Arya tahu maksud sosok berpakaian putih melarikan wanita
bertubuh montok itu. Pemuda itu tidak membiarkannya kabur.
Kebetulan saat itu dia telah selesai dengan semadinya. Buru-buru Arya melesat
mengejar. Gempar yang menyadari keadaannya sangat lemah hanya bisa
menatap kepergian Dewa Arak. Kemudian, dicarinya tempat yang tersembunyi dan
aman untuk mengobati lukanya seraya memanggul tubuh Ketua Perguruan Lembah
Seribu Bunga. Sempat terbayang pertemuannya
dengan Ketua Perguruan Lembah Seribu Bunga yang menyebabkan mereka bekerja sama.
Gempar penasaran bukan main atas kejadian yang menimpa
rombongannya sewaktu mengawal tawanan beberapa hari yang lalu.
Maka, begitu rombongan telah sampai di kerajaan, dia mohon diri untuk mencari
sosok berpakaian serba putih guna membuat
perhitungan. Pada saat yang sama, beberapa prajurit kerajaan diutus untuk
menyampaikan berita kematian Branta Wali ke Perguruan Lembah Seribu Bunga.
Baru tiga hari kemudian, dia melihat kakek berpakaian kuning tengah berlari
cepat sambil menampakkan sikap marah. Setelah
disusul dan ditanya, mereka bersepakat akan menghadapi sosok berpakaian serba
putih bersama-sama.
Semula kedua tokoh itu yakin sekali akan dapat menamatkan
riwayat tokoh tingkat tinggi itu. T api, ternyata harapan hanya tinggal harapan.
Usaha mereka kandas.
Entah bagaimana lagi cara membinasakan sosok berpakaian serba putih. Gempar menggelenggelengkan kepalanya.
*** "Hup...!"
Dengan melompat tinggi melewati kepala sosok berpakaian serba putih, Arya
bersalto beberapa kali di udara, kemudian mendarat beberapa tombak di depannya.
Dewa Arak berhasil menghadang lari sosok berpakaian serba putih. Itu pun setelah
terjadi kejar-mengejar yang cukup lama dan melelahkan.
Sosok berpakaian serba putih itu terpaksa menghentikan larinya.
Dengan sorot mata beringas ditatapnya pemuda berambut putih keperakan yang
berada di depannya.
"Kau merasa yakin mampu mengalahkanku, Dewa Arak" Begitu beraninya kau
menghadang perjalananku. Apakah karena luka yang kuderita" Kau keliru kalau
begitu. Meskipun terluka, aku masih mampu membunuhmu!"
Usai berkata demikian, tanpa menunggu tanggapan Arya, sosok berpakaian serba
putih menurunkan tubuh yang terpanggul di bahu kanannya. Arya segera bersiap.
Dia tahu lawannya luar biasa tangguh meski telah terluka.
"Eh..."!"
Arya tidak tahan untuk menahan jeritan ketika sosok berpakaian serba putih
dengan tidak disangka-sangka melemparkan tubuh yang dipanggulnya ke arah Dewa
Arak. Tentu saja pemuda itu kelabakan karena tidak menyangkanya. Tanpa pikir
panjang lagi diulurkannya kedua tangan untuk menerima, agar tubuh wanita cantik
itu tidak terluka bila jatuh ke tanah.
T appp! Baru saja tubuh
wanita itu berhasil ditangkapnya, sosok
berpakaian serba putih melakukan gerakan mendorong dengan
tangan kiri. Untuk kedua kalinya Dewa Arak kewalahan. T api meskipun demikian,
pemuda berambut putih keperakan itu tidak kehilangan akal. Dia melakukan gerakan
yang sama. Sayang, Arya tidak sempat mengerahkan seluruh tenaga dalamnya.
Blarrr! T ubuh Arya terlempar jauh. Murid wanita Perguruan Lembah
Seribu Bunga yang berada di bahunya terjatuh.
Byurrr! Setelah meluncur beberapa lama Arya jatuh ke dalam sebuah
sungai yang berada sepuluh tombak di belakangnya. Dan, tubuh yang tak sadarkan
diri itu segera dibawa arus sungai yang deras.
Sepasang mata sosok berpakaian serba putih berbinar gembira.
T api, kemudian tubuhnya agak terbungkuk seraya menekan dada.
Kalau saja tidak ada selubung yang menutup wajahnya akan terlihat ada seringai
di sana. Sebenarnya, benturan dengan Dewa Arak tidak akan mempengaruhinya kalau
saja saat itu dia tidak sedang terluka.
Dengan langkah agak terhuyung sosok berpakaian serba putih menghampiri tubuh
murid wanita Perguruan Lembah Seribu Bunga.
Dipondongnya tubuh itu dan dibawa pergi meninggalkan tempat itu.
*** "T olong...! Tolooong...!"
Jeritan melengking penuh ketakutan dan suara derap langkah kaki, memecah
kesunyian di dalam hutan lebat itu.
T ampak seorang wanita muda yang berusia sekitar dua puluh tahun berlari
kencang. Napasnya terdengar memburu. Namun,
kakinya terus saja diayunkan. Beberapa tombak di belakang wanita cantik yang
berpakaian biru itu berlari beberapa lelaki berwajah kasar. Sambil tertawa-tawa
mereka mengejar.
"Larilah terus, Manis. Lari...," ucap lelaki berkumis tebal yang berlari paling
depan. Sementara itu, wanita berpakaian biru terus saja berlari sambil menjerit-jerit
minta tolong. T api rupanya dia telah merasa lelah.


Dewa Arak 65 Si Linglung Sakti di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Beberapa kali tubuhnya terhuyung dan hampir jatuh. Sehingga mengundang gelak
tawa para pengejarnya.
Namun, ayunan kaki wanita itu mendadak cepat dan bersemangat ketika melihat dua
sosok tubuh di depannya. Mereka tengah berjalan, ke arahnya.
"T olooong...!" seru wanita berpakaian, biru sambil melambaikan tangan.
Rupanya, orang yang dimintai tolong mendengar jeritan itu.
Langkah mereka yang hanya semula bergerak lambat menjadi cepat.
Bahkan, terlihat mereka berlari. Sosok yang berpakaian jingga dan bertubuh
ramping tampak lebih lihai dari rekannya. Dengan cepat dia meninggalkan
rekannya, seorang pemuda bertubuh kekar. Ini
memaksa wanita berpakaian jingga beberapa kali memperlambat larinya agar dapat
mensejajari langkah kawannya.
"Ah...!"
Wanita berpakaian biru mengeluarkan seruan tertahan. Sepasang matanya menatap
tidak percaya pada pemuda kekar yang berada di sebelah wanita berpakaian jingga.
"T uan Muda Bandawa...!"
Seruan dan sikap wanita berpakaian biru membuat kedua orang yang hendak
menolongnya terkejut bercampur heran. Tanpa sadar keduanya menoleh ke belakang
karena mengira ada orang yang berlari di belakang mereka. Orang itulah yang
dipanggil wanita berpakaian biru sebagai T uan Muda Bandawa. T api, tidak ada
seorang pun yang terlihat. Di belakang mereka tidak ada siapa-siapa.
Jadi, siapa yang dipanggil wanita berpakaian biru itu"
Pertanyaan itu baru terjawab ketika wanita berpakaian biru segera memberi hormat
di hadapan pemuda bertubuh kekar. "T uan Muda...!
Syukur, aku dapat bertemu denganmu di sini. Ah.... Ke mana T uan Muda dan T uan
Besar pergi" Perkebunan tidak terurus sejak tidak ada T uan Muda dan T uan
Besar...," ucap wanita itu penuh hormat
Pemuda bertubuh kekar yang diajak bicara tampak kebingungan.
Kepalanya menoleh menatap wanita berpakaian jingga yang berdiri di sebelahnya.
Wanita itu segera bertindak.
"Maaf.... Kalau boleh aku tahu siapa Anda, Nona" Mengapa memanggil kawanku
dengan sebutan seperti itu" Perlu Nona ketahui, nama kawanku ini bukan Bandawa,
apalagi dengan embel-embel T uan Muda segala. Namanya adalah Suhita. Dan aku
sendiri Kemboja." "Ah...! Maaf, maafkan sikapku yang tidak pantas, Nona Kemboja.
Namaku Sukaesih. Panggil saja Esih. Mengenai kawanmu ini, aku yakin sekali kalau
dia adalah T uan Muda Bandawa, majikan kami.
Semuanya mengenai dirinya persis sekali," ujar wanita berpakaian biru.
Wanita berpakaian jingga yang ternyata bernama Kemboja, dan pemuda bertubuh
kekar yang tidak lain Suhita kembali saling berpandangan.
"Maaf. Dik," Suhita terpaksa turun tangan. "Kurasa perkataan Nona Kemboja tidak
salah. Aku memang bukan orang yang kau
maksud. Namaku bukan Bandawa, tapi Suhita."
"T api...," Sukaesih bimbang. "Mengapa potongan tubuh, wajah, dan ucapanmu mirip
betul dengan T uan Muda Bandawa" Aku yakin kau T uan Muda Bandawa yang telah
lama hilang."
Kemboja mengernyitkan kening. Dia percaya Sukaesih tidak
berbohong. T api, benarkah Suhita ternyata bernama Bandawa, dan seorang juragan
muda berkebunan yang memiliki banyak anak buah"
Rasanya mungkin saja. Kemboja teringat kembali saat kedatangan Suhita di
tempatnya untuk meminta kerja. Pemuda kekar itu
mengatakan dia hanya ingat bernama Suhita dan lupa asal-usulnya.
Maka, ketika dilihatnya Suhita hendak membantah ucapan Sukaesih, dia memberi
isyarat pada pemuda itu untuk diam.
"Kau yakin kawanku ini memang juragan mudamu yang bernama Bandawa?" tanya
Kemboja seraya menatap Sukaesih penuh selidik.
"Yakin sekali!" jawab Sukaesih mantap.
"Bisa kau tunjukkan buktinya" Yah.... Misalnya ciri-ciri khususnya."
Sukaesih terdiam. Dia tidak segera menjawab pertanyaan itu.
T ampak semburat merah menyergap wajahnya. Sukaesih kelihatan malu-malu.
"Juragan Bandawa mempunyai tanda khusus di kedua pangkal lengannya. Itu
kuketahui ketika beliau berlatih silat. Maaf, aku memergokinya secara tak
sengaja. T uan Muda Bandawa memiliki kepandaian silat amat tinggi."
"Coba ceritakan tanda khusus yang kau maksudkan itu," desak Kemboja dengan suara
bergetar. Dia merasakan misteri kehidupan kusir keretanya itu akan terungkap.
Sekarang Kemboja mulai merasa yakin kalau Suhita sebenarnya adalah T uan Muda
Bandawa. T elah disaksikan sendiri pemuda bertubuh kekar itu memiliki kepandaian
tinggi, seperti yang dikatakan Sukaesih.
"Di pangkal lengan kanan bergambar naga. Sedangkan di sebelah kiri bergambar
harimau," jelas Sukaesih.
"Coba kulihat, Suhita."
Sambil berkata demikian, Kemboja mengeluarkan pedangnya.
Lalu disentaknya dengan sekali gerakan. Pakaian Suhita pada kedua pangkal
lengannya tersayat dan jatuh ke tanah tanpa meninggalkan luka sedikit pun di
kulitnya. T iga pasang mata itu langsung terbelalak. T erlihat jelas gambar yang
dimaksud Sukaesih tertera di kedua pangkal lengan Suhita.
"T uan Muda...!" seru Sukaesih keras. Wajahnya tampak berseri.
"Aku bersyukur sekali dapat menemukan T uan. Dan.... Akh....!"
"Esih...!"
Kemboja memekik kaget melihat tubuh Esih tiba-tiba terkulai.
Mata Kemboja yang tajam dapat melihat seleret sinar terang melesat sebelum
wanita berpakaian biru itu memekik kesakitan. Secepat kilat Kemboja menarik
tubuh Sukaesih dan memeriksanya....
Kemboja mengeluh dalam hati menemukan di punggung Sukaesih
tertancap sebatang pedang yang menembus dada kirinya. T anpa memeriksa lebih
jauh dia segera bisa mengetahui pedang itu menembus jantung Sukaesih.
"Esih...!"
Suhita alias T uan Muda Bandawa ikut berseru. Sejak tadi pemuda bertubuh kekar
itu mematung dengan sorot mata linglung. Hanya dahinya berkerut yang menjadi
pertanda kalau Suhita tengah berpikir.
"T u.... T uan.... Mu... mu.... Muda...."
Se belum sempat menyelesaikan ucapannya, Sukaesih terkulai karena nyawanya telah
melayang meninggalkan raga. Wanita
berpakaian biru itu tewas.
Kemboja menggertakkan gigi. Dia marah bukan main melihat
kematian Sukaesih yang mengenaskan. Ini menyebabkan asal-usul Suhita kembali
tertutup. Sebab, hanya Sukaesih yang dapat
menunjukkan di mana tempat tinggal Bandawa alias Suhita. Siapa gurunya dan
mengapa Bandawa bisa ja di seperti ini. Juga, dari mana dia mendapatkan nama
Suhita. Dengan hati-hati
Kemboja membaringkan tubuh
Sukaesih. Kemudian pandangannya dilayangkan pada tempat melesatnya
pedang. Di sana dilihatnya sesosok tubuh ramping berpakaian hijau tengah
bertarung menghadapi rombongan lelaki kasar yang tadi mengejar-ngejar Sukaesih.
Kemboja menggertakkan gigi. Dia merasa sangat menyesal,
mengapa bisa melupakan pengejar-pengejar Sukaesih. Dia sampai tak tahu kalau
para pengejar itu telah bertarung dengan wanita berpakaian hijau.
Kemboja tidak tahu kalau di saat dia, Suhita, dan Sukaesih terlibat pembicaraan,
rombongan pengejar sudah hampir tiba. Namun
sebelum maksud rombongan itu terlaksana....
"Anjing-anjing
kelaparan! T indakan kalian sungguh menjijikkan!"
Bersamaan dengan teriakan itu, sesosok tubuh ramping berpakaian hijau bersalto beberapa kali di atas kepala mereka dan mendarat
ringan di depan laki-laki itu. Sebuah pedang telanjang tergenggam di tangannya.
Rombongan lelaki kasar itu langsung menghentikan
lari. Ditatapnya sosok di hadapan mereka sejenak sebelum akhirnya mengumbar tawa
gembira penuh ejekan.
"Luar biasa sekali, Kawan-kawan," seru lelaki berkumis tebal yang menjadi
pimpinan sambil menoleh ke belakang. "Hari ini kita amat beruntung. Belum juga
kelinci lunak berhasil kita dapatkan, sudah ada lagi kuda betina liar yang minta
dijinakkan! Ha ha ha...!"
Jawaban bagi ucapan lelaki berkumis tebal itu adalah tusukan pedang wanita
cantik berpakaian hijau yang mengarah ke lehernya.
Kenyataan ini membuat pimpinan lelaki kasar terkejut bukan main.
Namun cepat dia bertindak dengan melempar tubuhnya ke belakang.
"Keparat!"
Lelaki berkumis tebal menggeram keras ketika berhasil lolos dari maut. Hampir
saja nyawanya melayang ke alam baka. "Kuda liar ini cukup alot juga rupanya.
Mari kita taklukan dia, Kawan-kawan...!"
Lelaki berkumis tebal mencabut senjatanya. Lalu, bersama
dengan lima rekannya mereka meluruk maju menerjang gadis
berpakaian hijau. T ak pelak lagi pertarungan sengit pun terjadi.
Wanita berpakaian hijau ternyata memiliki kepandaian mengagumkan. Pedang di tangannya menyabar-nyambar laksana
halilintar. Kalau saja orang-orang kasar itu tidak melakukan pengeroyokan,
dengan mudah wanita berpakaian hijau akan dapat merobohkan
mereka. Namun kenyataan menghendaki lain. T ambahan lagi, orang-orang kasar itu telah terbiasa bertarung untuk menyabung
nyawa, sehingga penuh pengalaman dan tipu daya. Ini menjadikan keunggulan wanita
berpakaian hijau tertutupi.
Setelah pertarungan berlangsung sepuluh jurus, dengan gerak luar biasa wanita
berpakaian hijau melakukan gerakan mengait, sehingga pedang di tangan lelaki
berkumis tebal terlepas. T api sayangnya, dia kurang memperhitungkan keberadaan
orang di belakangnya. Maka,
pedang lelaki berkumis tebal itu pun meluncur deras menembus punggung Sukaesih.
*** 6 Diawali teriakan melengking nyaring, dengan pedang di tangan, Kemboja melompat
memasuki arena pertarungan. T api, sebelum gadis berpakaian jingga itu berhasil
masuk, terdengar geraman keras yang telah sering didengarnya. Geraman seperti
seekor binatang buas murka. Walaupun sebenarnya keluar dari mulut Suhita alis T
uan Muda Bandawa.
Dan sebelum Kemboja sempat menoleh, di sebelahnya bertiup
angin dingin. Kelebatan sosok yang tidak jelas melesat memasuki arena
pertempuran. Sosok yang tidak lain Suhita langsung bertindak.
Kedua tangannya yang terkepal kecuali jari telunjuk, melancarkan totokan-totokan
dahsyat. T entu saja keenam lelaki kasar itu tidak membiarkan begitu saja serangan Suhita
mendarat di tubuh mereka. Maka, sedapat mungkin dipapakinya. Bahkan mengirimkan
serangan balasan. Tapi, sayang sebagian dari mereka gagal. Gerakan tangan Suhita
alias Bandawa terlalu cepat untuk dapat diikuti mata mereka. Jari telunjuk
Bandawa telah lebih dulu membuat lubang di dahi mereka. Dengan jeritan menyayat
hati tubuh orang-orang kasar itu pun roboh ke tanah.
T ewas. T iga di antara orang-orang kasar yang berhasil menangkis
mengalami keterkejutan tidak kalah hebat. Golok yang dipakai untuk menangkis
jadi berlubang. Bahkan senjata itu sampai terlempar dari genggaman. Sebelum
ketiga orang itu tersadar dari keterkejutannya, tangan-tangan Bandawa telah
kembali meluncur. Dan, ketiga orang itu pun menyusul rekan-rekannya yang telah
lebih dulu melayat ke akherat.
Kejadian itu hanya berlangsung satu gebrakan saja. Sehingga wanita berpakaian
hijau tidak sempat berbuat sesuatu. Dia terkejut
bukan main melihat lawan-lawannya telah bergeletakan tanpa nyawa.
Dan sebelum wanita itu menyadari sepenuhnya apa yang terjadi, Suhita telah
menerjang ke arahnya dengan jari telunjuk lurus terbuka.
Wanita berpakaian hijau tidak melihat dengan jelas jari telunjuk yang meluncur
ke arah dahinya. Tapi, dia sempat melihat kelebatan sesosok bayangan. Wanita itu
segera tahu ada bahaya yang tengah mengancamnya. Maka, dengan untung-untungan
pedang dibabatkan ke arah sosok yang berkelebat itu.
T akkk! Babatan pedang wanita berpakaian hijau membentur pergelangan tangan Bandawa.
Pedang itu pun langsung terlepas dari pegangan dan terlempar jauh. Sedang tangan
pemiliknya tergetar hebat. T api akibat tangkisan itu jari telunjuk Bandawa
tertahan sejenak. Dan ketika meluncur lagi, wanita berpakaian hijau telah
mempunyai kesempatan
untuk mengelak dengan
melempar tubuhnya ke
belakang. Namun Bandawa benar-benar mempunyai kepandaian menggiriskan dan tidak masuk akal. Meski lawannya telah melempar tubuh ke
belakang, jari telunjuk Bandawa terus meluncur mengikuti ke mana wanita itu
pergi! "Bandawa...! T ahan...!" Seruan keras dan tinggi yang diucapkan dengan penuh
kekhawatiran itu membuat Bandawa, yang jari
telunjuknya baru saja akan menembus dahi wanita berpakaian hijau, tertahan di
udara. Dengan pandang mata masih beringas ditatapnya wanita berpakaian hijau
kelinglungan. T api rupanya pemilik suara itu cukup mempunyai pengaruh terhadap
dirinya, hingga Bandawa tidak berani melanjutkan serangannya. Jika pemuda
bertubuh kekar ini meneruskan, nyawa wanita berpakaian hijau itu pasti akan
melayang. Ini disadari oleh lawan Bandawa. Karena itu dahinya dipenuhi keringat dingin
sebesar biji-biji jagung. Se dangkan pemilik seruan tadi yang ternyata Kemboja,
mengayunkan langkah mendekati.
T iba-tiba Bandawa mengeluarkan keluhan tertahan. Kedua
tangannya sibuk memegangi kepala. T ubuhnya limbung ke sana
kemari. Karuan saja wanita berpakaian hijau sangat heran. Meskipun wajahnya
menyiratkan kelegaan karena nyawanya telah lolos dari lubang jarum,
dia bingung melihat
keadaan lawannya yang
mendadak seperti orang sakit. Dengan disertai keluhan panjang tubuh Bandawa
ambruk ke tanah. Wanita berpakaian hijau itu pun tahu Bandawa jatuh pingsan.
***

Dewa Arak 65 Si Linglung Sakti di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Srini...!"
Sapaan itu membuat wanita berpakaian hijau menolehkan kepala.
Dia merasakan ada getaran aneh pada suara itu. Ditatapnya lekat-lekat wajah
Kemboja. "Kemboja...!" pekik wanita berpakaian hijau. "Kaukah itu" Ah!
Sungguh tidak disangka kau berada di sini. Lalu..., mana yang lainnya?"
Kemboja tidak menjawab. Kedua tangannya terkembang hendak
memeluk wanita berpakaian hijau. Srini segera menyambutnya, kedua wanita itu pun
saling berpelukan erat.
"Panjang ceritanya, Srini," jawab Kemboja setelah melepaskan pelukannya. Kemboja
dan Srini adalah anak kandung lelaki setengah baya yang dipenggal kepalanya oleh
Gempar. Mereka berdua anak kembar.
"Aku akan sabar mendengarkannya, Kemboja. Ceritakanlah," ujar Srini penuh minat.
"Aku sendiri tidak tahu pasti cerita sebenarnya. Ayah tidak pernah
memberitahukannya padaku," ujar Kemboja memulai ceritanya setelah menghela napas
berat. "T api, suatu malam Ayah menyuruhku membawa Ibu pergi meninggalkan rumah.
Pasukan kerajaan akan datang untuk menangkap atau membunuh Ayah sekeluarga
dengan tuduhan melakukan pemberontakan. Dengan berat hati aku terpaksa memenuhi
permintaannya. Kami berangkat dengan pengawalan dua belas orang prajurit dan
kusir kereta yang bernama Suhita alias Bandawa."
"Dia"!" Srini menunjuk Bandawa yang tergolek di tanah.
Kemboja mengangguk.
"Di tengah jalan rombongan kami dicegat oleh orang-orang Perguruan Lembah Seribu
Bunga. Kami kalah kuat. Semua para pengawal binasa, be gitu juga Ibu. Se dangkan
aku akan dijadikan pemuas nafsu mereka. Untung, Suhita yang semula tidak
memiliki kepandaian, entah dengan cara bagaimana ia mendapat kepandaian luar
biasa, mampu membinasakan orang-orang Perguruan Lembah Seribu Bunga. Kejadian
itu membuatku merasa tidak ada gunanya lagi melanjutkan perjalanan. Maka,
kuputuskan untuk kembali pada Ayah. Sayang sekali...."
"Mengapa, Kemboja?" tanya Srini tak sabar. Kemboja tidak segera menjawab. Dia
tercenung teringat pengalamannya beberapa hari yang lalu. T erbayang kembali di
benaknya ketika dia mengajak Suhita kembali ke rumah ayahnya.
"Cepat, Suhita...!" Kemboja tidak sabar di tengah derap kaki binatang
tunggangannya. Wanita berpakaian jingga itu menoleh ke belakang karena Suhita
agak tertinggal.
Seruan Kemboja membuat Suhita berusaha keras mensejajari lari binatang
tunggangan wanita itu. T api, tetap saja sia-sia. Hingga Kemboja beberapa kali
terpaksa memperlambat lari kudanya untuk menunggu Suhita.
Hari menjelang fajar ketika Suhita dan Kemboja berada di mulut sebuah hutan.
Menurut perhitungan Suhita, menjelang petang mereka akan tiba di tempat kediaman
ayah Kemboja. Itu kalau perjalanan terus dilakukan dengan cepat.
T api sebelum kuda-kuda Suhita dan Kemboja berhasil keluar dari hutan, terdengar
bunyi berdesing nyaring. T ahu-tahu di depan mereka telah menancap sebatang
tombak yang pada gagangnya dililit rantai baja berhias tulang tengkorak manusia.
Melihat besarnya yang tidak wajar, agaknya tengkorak itu adalah tengkorak anak
kecil. Kejadian yang tidak disangka-sangka ini membuat Suhita dan Kemboja menarik tali
kekang untuk menghentikan lari binatang-
binatang itu. Baru saja kuda-kuda itu berhenti, terdengar bunyi berkerosak. Di
sekeliling mereka telah berdiri banyak orang-orang berwajah kasar. Suhita dan
Kemboja segera tahu mereka tengah berhadapan dengan gerombolan perampok.
"He he he...!"
Seorang lelaki bertubuh tinggi besar dan berotot kuat laksana seekor banteng
tertawa terkekeh menatap Kemboja dengan kurang ajar.
"Mimpi apa aku semalam sehingga sekarang bertemu dengan seorang bidadari" T
urunlah, Manis. Dan mari ikut aku. Percayalah.
Kau akan bahagia bila bersama denganku. T inggalkan orang jelek itu!"
Ucapan lelaki tinggi besar langsung disambut dengan tawa kurang ajar lelaki
kasar lainnya. Seperti juga lelaki tinggi besar, mereka memandang Kemboja dengan
penuh minat. Kemboja yang menjadi sasaran kekaguman penuh nafsu birahi
laki-laki kasar itu jadi mual perutnya. Dia kesal bukan main. Sejak tadi dia
sudah menghunus pedangnya. T api ditahannya karena menunggu tindakan Suhita. Dia
yakin Suhita memiliki kepandaian, namun sengaja disembunyikan. Ingin diketahui,
apakah pemuda itu akan tetap berpura-pura tidak bisa bersilat bila gerombolan
perampok mulai menyerang.
"Harap kalian sudi menyingkir dan memberi jalan pada kami,"
ucap Suhita seraya memajukan kuda hingga berdekatan dengan lelaki tinggi besar
yang menjadi pimpinan orang-orang kasar. "Kami sedang buru-buru. Atas pengertian
kalian kuucapkan terima kasih yang tak terhingga."
"Ah, begitu kiranya?" sambut
lelaki tinggi besar dengan
mengulum senyum. Sinar matanya penuh ejekan. "Tentu saja aku tidak akan
menghalangi kepergianmu. Pergilah. Kami tidak akan menghalangi."
"Ah.... Terima kasih atas kebaikanmu, Sobat. Sudah kuduga kau adalah orang yang
bijaksana," ucap Suhita sambil memberi hormat.
"Mari, Nona. Kita tinggalkan tempat ini. Kita harus bergegas agar tiba di sana
pada waktunya."
Kemboja pun bersiap-siap akan menggebah kudanya. T api....
"T unggu dulu, Anak Muda!" sergah lelaki tinggi besar membuat Suhita mengalihkan
pandangan ke arahnya. "Rupanya kau tidak menyimak ucapanku. Kukatakan, kau boleh
meninggalkan tempat ini. T api mengapa harus mengajaknya" Dia akan tetap tinggal
di sini karena harus menjadi istriku."
"Keparat!"
Kemboja sudah tidak tahan lagi menahan sabar. Dihunus
pedangnya hingga menimbulkan kilatan sinar yang menyilaukan mata. Sambil
memegang tali kekang kuda dengan tangan kiri, senjata itu ditusukkan ke leher
lelakitinggi besar.
"Lihai!"
Lelaki itu berteriak memuji. T api dia tidak berdiam diri.
T angannya bergerak cepat. Tahu-tahu di tangan kirinya tergenggam sebuah
perisai berbentuk bulat. Dengan alat pertahanan itu dipapaknya serangan Kemboja.
Trang! Kemboja menyeringai ketika merasakan tangannya tergetar hebat.
Dia tahu tenaga dalam lawan jauh lebih kuat. Dan sebelum gadis berpakaian jingga
itu melancarkan serangan kembali, tangan kanan lelaki tinggi be sar telah
bergerak meraih sehelai cambuk. Senjata itu langsung dilecutkan pada Kemboja.
Meluncurlah ujung cambuk ke arah bahu kanan gadis itu. Rupanya, lelaki tinggi
besar ingin melumpuhkan perlawanan Kemboja.
Serangan ini memaksa Kemboja untuk melompat dari punggung
kudanya dan mendarat di tanah. Sangat sulit baginya bertarung di atas punggung
binatang itu. Sesaat kedua kakinya menjejak tanah, Suhita yang melihat
majikannya diserang segera bertindak. Pemuda bertubuh kekar itu memajukan
kudanya menghalangi langkah lelaki tinggi besar. Karuan saja pemimpin orang-
orang kasar itu marah.
Serangan susulan cambuk yang semula ditujukan pada Kemboja kini
dikarahkan pada Suhita.
Ctarrr! Suhita linglung melihat
kelebatan sinar hitam kemerahan
meluncur ke arah kepalanya. Dia tidak tahu kalau yang diserang lawan
adalah ubun-ubunnya, bagian yang mematikan. Yang
dilakukan Suhita hanya tertegun. Tak tahu harus berbuat apa.
Rupanya, malaikat maut belum berminat mengambil nyawa
Suhita. Di saat yang gawat itu muncullah binatang penolong. Kuda tunggangan
Suhita yang kaget dan ketakutan mendengar bunyi ledakan cambuk merasakan bahaya
mengancam bila orang yang
berada di punggungnya tetap di situ. Ia meringkik panjang seraya mengangkat
kedua kaki depannya tinggi ke udara.
T indakan kuda itu membuat tubuh Suhita jatuh berdebuk ke
tanah. Maka, dia pun selamat dari bahaya maut. Tapi, pemuda itu benar-benar
tidak mampu berbuat apa pun. Saat tubuhnya jatuh ke tanah dia tidak melakukan
gerakan yang membuat kedua kakinya mendarat lebih dulu. Akibatnya, belakang
kepalanya lebih dulu membentur tanah. Seketika itu juga Suhita tak sadarkan
diri. Kemboja menggeram keras melihat Suhita tidak berdaya. Dia
khawatir pemuda bertubuh kekar yang diyakininya pandai bermain silat
itu tewas. Maka, dengan kemarahan yang memuncak diserangnya lelaki tinggi besar itu.
Seperti juga se belumnya, pimpinan perampok itu langsung
menyambutnya. Pertarungan pun kembali berlangsung. Kemboja berjuang keras
mengirimkan serangan-serangan maut. Sedangkan lelaki tinggi besar melayani
dengan sikap tenang. Serangan-serangan yang dikirimkannya tidak ada yang
mematikan, karena memang ingin menangkap Kemboja hidup-hidup. Ujung cambuknya
selalu meluncur menuju tempat-tempat yang tidak berbahaya.
T indakan yang dilakukan lelaki tinggi besar membuatnya rugi sendiri. Karena
sikap mengalahnya, perisai dan cambuknya dapat dijatuhkan Kemboja. Sehingga ia
terpaksa mengeluarkan golok dan memerintahkan anak buahnya untuk membantu.
Kemboja pun dikeroyok enam orang lelaki kasar. Dalam beberapa gebrakan saja dia sudah
terdesak hebat.
"T api karena mereka ingin menangkapku hidup-hidup, jalannya pertarungan jadi
lama," ujar Kemboja terus melanjutkan ceritanya.
"Pertarungan berlangsung hingga matahari muncul. Saat itulah pertolongan tidak
terduga-duga datang. Seorang pemuda berambut aneh muncul dan langsung menghadapi
mereka...."
"Apakah yang kau maksudkan itu seorang pemuda berambut putih keperakan dan
mengenakan pakaian ungu?" potong Srini tak sabar.
"Kau mengenalnya, Srini?" tanya Kemboja tak kalah kagetnya.
"Kenal sih, tidak," jawab Srini dengan wajah merah. "T api.... Dia pun pernah
menolongku. Nanti aku ceritakan. Sekarang, teruskan saja ceritamu."
"Di saat pemuda berambut putih keperakan itu hampir merobohkan lawan-lawannya. T iba-tiba terdengar geraman keras yang pernah
kudengar sebelumnya. Suhita,telah bangkit
dari tergoleknya. Dia menjelma sebagai tokoh silat berkepandaian tinggi.
Sehingga, pemuda berambut aneh itu pun tidak berdaya menghadapinya. Dengan keji Suhita membunuh keenam perampok itu. Dahi mereka
semua berlubang. Kemudian, Suhita berlari dengan membawaku setelah kugagalkan
maksudnya yang hampir saja
membunuh pemuda penolongku itu."
Kemboja menghentikan ceritanya sejenak. Ditatapnya Srini
dalam-dalam. "Setelah itu terjadilah hal yang aneh lagi, Srini," lanjut Kemboja.
"Setelah berlari dengan membawaku beberapa saat lamanya, Suhita berhenti dan
memegangi kepala dengan kedua tangan. T ubuhnya terhuyung-huyung sebelum
akhirnya jatuh ke tanah. Ketika kuperiksa dia ternyata pingsan. Tapi anehnya, begitu sadar kembali Suhita
linglung melihatku selamat. Dia malah menanyakan siapa yang telah menolongku dan
bersyukur aku selamat."
"Ah...!" Srini berseru kaget. "Dan kejadian seperti itu selalu
terulang kembali,
Kemboja?" Srini menatap wajah saudara kembarnya lekat-lekat. Sekilas diliriknya Suhita alias Banda wa yang masih
tergolek pingsan. "Aku yakin ada sesuatu yang tersembunyi, Kemboja."
"Bukan tersembunyi, Srini," bantah Kemboja. "T api aneh. Semula aku mengira
Suhita sengaja menyembunyikan kepandaiannya. T api ternyata tidak. Kepandaiannya
yang tinggi itu hanya muncul di saat-saat tertentu saja. Aku baru menyadarinya,
Srini." "Kau bisa menarik kesimpulan mengapa terjadi hal aneh itu, Kemboja?" Srini ingin
tahu. "Kira-kira begini," jawab Kemboja setelah terdiam beberapa saat.
"Suhita berubah menjadi orang yang memiliki kepandaian silat tinggi bila sedang
marah. Tidakkah kau melihatnya, Srini?"
"Hhh...," Srini menarik napas berat. "Ya. Aku melihatnya. T api karena aku baru
pertama kali berjumpa, aku tidak bisa menarik kesimpulan seperti itu. Malah, aku
mempunyai dugaan yang
mungkin tidak mengenakkan hatimu, Kemboja. Ini berdasarkan pengalamanku "
"Katakan Srini. Tidak usah ragu-ragu," Kemboja memberi kesempatan.
"Aku mempunyai dugaan bahwa Suhita alias Bandawa adalah seorang penjahat keji.
Dia seorang tokoh alat tingkat tinggi yang selalu menyembunyikan wajahnya di
balik selubung putih. Aku tidak sembarangan saja melemparkan dugaan ini,
Kemboja. Tokoh yang kusebutkan itu pun sengaja merahasiakan dirinya. Sosok
berpakaian serba putih itu selalu membunuh lawannya dengan mempergunakan sebuah
jari. Dia memiliki kepandaian yang menakjubkan. Dan, seperti yang kau katakan
tadi, pemuda berambut aneh itu juga menjadi musuh besar sosok berpakaian serba
putih. Cocok, bukan?"
Kemboja mengernyitkan alisnya. Gadis itu tampak berpikir.
"Kurasa lebih baik kau ceritakan pengalamanmu, Srini."
"Dari kawan-kawan Guru, kudengar Ayah telah ditangkap oleh pasukan kerajaan,
karena tekadnya yang ingin keluar dari kelompok
pasukan khusus kerajaan. Beberapa kawan-kawan guruku berusaha membebaskan Ayah.
Tapi mereka gagal dan tewas, sisanya dapat melarikan diri dengan membawa luka-
luka di tubuhnya. Kata
mereka, dalam rombongan pasukan kerajaan terdapat dua tokoh tingkat tinggi. Yang
seorang bernama Branta Wali, murid Perguruan Lembah Seribu Bunga yang memang
telah lama membantu kerajaan.
Yang satu lagi seorang tokoh yang lebih tinggi ilmunya dari Branta Wali. Sayang,
mereka tidak tahu siapa dia. T api belakangan aku tahu kalau tokoh pendek gemuk
itu adalah ahli waris terakhir Perguruan Laut Mati. Gempar namanya. Dia memang
memiliki kepandaian
yang menakjubkan. T api aku tidak peduli. Demi untuk membebaskan Ayah, aku rela
melepas nyawa. Kuhadang pasukan kerajaan dan kucoba membebaskan Ayah. Aku hampir
celaka, tapi untung guruku cepat datang. Beliau tewas di tangan Gempar, dan aku
tertawan."
"Resi Sindu Laga tewas?" tanya Kemboja hampir tidak percaya.


Dewa Arak 65 Si Linglung Sakti di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ia tahu betul ketinggian ilmu kakek yang menjadi gurunya Srini itu.
Sehingga dia heran sekali mendengar Resi Sindu Laga tewas.
Memang, sejak sepuluh tahun yang lalu, Ayah mereka mengirim Srini pada Resi
Sindu Laga, sahabat karibnya. Srini diangkat menjadi murid tokoh itu. Sedangkan
Kemboja tetap tinggal bersama ayahnya.
Srini menganggukkan kepala. Kemudian, melanjutkan ceritanya.
"Itulah, Kemboja," ujar wanita berpakaian hijau itu ketika sampai pada cerita
tentang sosok berpakaian serba putih. "Dia membawaku kabur, dan aku yakin ia
mempunyai maksud jahat dan keji, karena sepanjang perjalanan tangannya selalu
menggerayangi tubuhku. Dia membawaku ke sebuah pondok. Di sana dimintainya aku
menjadi istrinya. Rupanya, dia jatuh cinta kepadaku. Katanya, kalau sampai aku
tidak memberikan jawaban dalam waktu lima hari, aku akan menjadi korban seperti
wanita-wanita lainnya. Diperkosa dan dibunuh setelah dia merasa puas. Untung di
hari ketiga muncul pemuda berambut putih keperakan. Dia membebaskan aku dan
menyuruhkku pergi setelah mendengar kedatangan sosok berpakaian serba putih."
"Lalu..., bagaimana selanjutnya, Srini?"
Srini mengangkat kedua bahunya. "Aku tidak tahu, Kemboja. Aku langsung pergi
setelah mengucapkan terima kasih. Aku takut akan jatuh lagi ke tangan sosok
berpakaian serba putih. Karena, pemuda berambut putih keperakan itu bukan
tandingannya."
Kemboja mengangguk-anggukkan kepala membenarkan pendapat
saudara kembarnya. Dari cerita Srini bisa diketahui kalau pemuda berambut putih
keperakan itu memang bukan tandingan sosok
berpakaian serba putih. Dan juga, bukan tidak mungkin sosok itu adalah Suhita!"
Suasana menjadi hening ketka Srini maupun Kemboja tidak
berkata-kata lagi. Namun, itu tidak berlangsung lama karena dipecahkan oleh
keluhan Suhita. Pemuda bertubuh kekar itu rupanya mulai sadar dari pingsannya.
"Ah...!" begitu sepasang matanya terbuka, Suhita alias Bandawa segera berseru
kaget ketika melihat Kemboja. "Syukurlah kau selamat, Nona. Dan... maaf.
Siapakah Nona ini?"
Srini tersenyum. "Namaku Srini, Bandawa."
"Bandawa..."!" pemuda itu mengulang ucapan Srini dengan dahi berkerut linglung.
Tapi hanya sesaat saja. "O ya, aku ingat. Namaku bukan Suhita tapi Bandawa.
Seseorang yang bernama Sukaesih telah memberitahukannya padaku. Ya. Mungkin itu
memang benar namaku. Sepertinya nama Bandawa dan Sukaesih mempunyai arti bagiku"
Kemboja saling berpandangan dengan Srini.
"O ya, Bandawa," ucap Kemboja kemudian. "Perlu kau ketahui, Srini ini adalah
saudara kembarku. Kau ingat?"
"Ah, ya...!" seru Bandawa linglung, seraya tersenyum lebar dan menepuk dahinya.
"Mengapa aku begitu pelupa. Maafkan sikapku yang tidak pantas tadi, Nona Srini."
"Lupakan," ucap Srini cepat. "O ya, Kemboja. Bagaimana kalau kita pergi
menjumpai pemuda berambut aneh itu, maksudku ke tempat di mana aku ditahan.
Barang kali saja mereka masih ada.
Setidak-tidaknya jika penolong kita itu tewas, kita dapat mengurus mayatnya.
Hitung-hitung sebagai balas budi kita."
"Aku sih setuju saja, Srini. Dia memang tampan, kok," goda Kemboja. "T api,
jauhkah tempat itu?"
"Kau ngaco, Kemboja!" sergah Srini dengan wajah memerah.
"Kalau kau mau tahu juga, perjalanan ke sana membutuhkan waktu sehari penuh."
"Jadi...," ucap Kemboja setelah tercenung. "Kita telah ketinggalan waktu sehari
semalam." Srini terdiam. Apa yang dikatakan saudara kembarnya memang benar.
"Lalu..., bagaimana kalau kita bertemu sosok berpakaian serba putih di tengah
jalan" Apa yang akan kau lakukan, Srini" Menunggu pemuda berambut aneh itu
menolongmu?" Kemboja kelihatan bimbang.
"Mengapa kau begini bodoh, Kemboja!" ujar Srini sambil melirik Bandawa.
Sejenak Kemboja membisu. T api akhirnya dia mengerti maksud lirikan Srini. "Tapi
bagaimana membuatnya seperti itu, Srini"
Menunggu kita celaka lebih dulu?"
"T enang, Kemboja. Aku tahu caranya. Andaikata semua cerita yang kau tuturkan
padaku benar, aku yakin caraku ini pasti berhasil!"
tandas Srini yakin.
Sikap wanita berpakaian hijau ini membuat Kemboja mengangkat bahu. Dia tidak
membantah lagi. Disadari kalau Srini memang jauh lebih cerdas darinya. Itu
sebabnya ayahnya mengirim Srini pada Resi Sindu Laga.
Sambil masih terus bercakap-cakap tentang Bandawa tanpa yang bersangkutan
mengetahui, ketiga orang muda itu melanjutkan perjalanan menuju tempat Srini
pernah ditahan. Perjalanan itu sengaja dilakukan Srini dan Kemboja, untuk
membuktikan apakah Suhita alias Bandawa adalah sosok berpakaian serba putih yang
keji dan memiliki kepandaian tinggi itu"
*** 7 "Kau lihat pondok di depan itu, Kemboja?" tanya Srini seraya menudingkan jari
telunjuknya ke sebuah rumah sederhana tempat dulu dia disekap.
Kemboja, dan bahkan Bandawa mengarahkan pandangan ke arah
yang ditunjuk Srini. T idak hanya ke tempat itu saja, tapi juga ke sekitarnya.
"Sepi saja, Srini," ucap Kemboja pelan. "Kurasa tidak ada seorang pun di sini."
Srini tidak memberikan tanggapan. Yang dilakukannya adalah mengayunkan kaki
menuju pondok sederhana di depan sana. Mau tidak mau Kemboja dan Bandawa
mengikuti. "Ha ha ha...! T ernyata untungku. Nasib baikku kembali datang....
Sungguh tidak kusangka kalau di tempat seperti ini akan bisa kutemui putri
keparat pemberontak. Ha ha ha...! Raja pasti akan sangat gembira melihatnya. Ha
ha ha...!"
Hampir bersamaan Srini, Kemboja, serta Bandawa menolehkan
ke belakang. Dari salah satu cabang pohon yang mereka lewati tadi melompat turun
sesosok tubuh pendek gemuk yang berwajah
senantiasa tertawa. Dialah Gempar, ahli waris terakhir Perguruan Laut Mati.
Srini yang telah mengetahui betapa lihainya lelaki pendek gemuk ini,
tanpa membuang-buang waktu lagi segera menghunus pedangnya. T indakan ini segera ditiru Kemboja. Hanya Bandawa yang berdiam diri
dengan tatapan linglung.
"Ah...!" Gempar mengeluarkan seruan kaget bercampur gembira.
T ernyata putri pemberontak yang telah dibunuhnya itu ada dua. "Kau pun anaknya
juga, Cah Ayu?"
Lelaki pendek gemuk itu mengajukan pertanyaan pada Kemboja, seraya memperhatikan
wajah Srini dan Kemboja yang mirip dengan bergantian.
"Kaukah yang telah membunuh guru saudaraku, Manusia Katak"
Mampuslah!"
Kemboja meluruk ke arah Gempar dengan tusukan pedang yang
bertubi-tubi. Ke arah ulu hati, pusar, dan dada. Saking cepatnya gerakan pedang,
mata pedangnya seperti berubah menjadi banyak.
T api serangan itu tidak dianggap Gempar sebagai ancaman
bahaya. Dia tertawa bergelak.
"Bukan hanya Resi Sindu Laga saja yang kubunuh, Anak Manis.
T api ayahmu juga. Kepalanya telah kupenggal. Dan, tubuhnya kubuang di tengah
jalan!" T erdengar teriakan melengking nyaring. Srini menyusul sa udara kembarnya
melakukan serangan. Pedang di tangannya lenyap
menjadi segulungan sinar menyilaukan membungkus tubuhnya.
Kemudian, diluncurkan ke berbagai bagian tubuh Gempar.
Sekali lihat saja Gempar tahu serangan Srini jauh lebih berbahaya daripada
serangan Kemboja. T api, dia pun tahu serangan Kemboja tiba lebih dulu. Maka,
ditariknya napas dalam-dalam. Seketika itu pula perutnya yang memang sudah
gendut menggembung seperti balon. Ketika itulah ujung pedang Kemboja menghantam
sasaran dengan tepat.
"Akh...!"
Kemboja memekik tertahan. Pedangnya terpental balik ketika mengenai perut
Gempar. Sasaran yang dihantamnya bagaikan
segundukan karet keras. Sehingga tangannya tergetar hebat. Sampai-sampai senjata
andalannya terlepas dari genggaman.
Pada saat yang hampir bersamaan serangan Srini datang
menyusul. T api sebelum mencapai sasaran, Gempar telah lebih dulu menggerakkan
kedua tangannya mempergunakan ilmu 'Pukulan
Gelombang Laut'. Dan seperti kejadian yang sudah-sudah, Srini merasakan tubuhnya
lemas seakan-akan tulang-tulangnya dilolosi.
T enaganya lenyap entah ke mana. Kekuatan serangannya menjadi lumpuh. Gadis itu
kemudian ambruk ke tanah sebelum berhasil mengirimkan serangan.
"Srini...!" Kemboja berteriak melihat keadaan saudara kembarnya.
"Ha ha ha...!" Gempar tertawa bergelak penuh kemenangan.
Keyakinannya akan dapat menangkap Srini dan Kemboja membuatnya membiarkan kedua gadis itu, dan tidak melakuan
serangan susulan yang dapat melumpuhkan mereka.
Dengan susah payah Srini bangkit. Masih terhuyung-huyung
karena pengaruh ilmu 'Pukulan Gelombang Laut', Srini menghampiri Bandawa.
Sebelumnya ia memberikan isyarat pada Kemboja agar mengikuti.
Meski merasa heran Kemboja mengikuti kemauan Srini. Dia
yakin saudara kembarnya tidak bermain-main dalam saat genting seperti ini.
Begitu Kemboja telah berada di dekat Bandawa yang keheranan melihat kedua gadis
itu mendekatinya. Srini memberi tanda. Kemboja bimbang meskipun dia mengerti
maksud isyarat itu.
Namun ketika melihat sorot mata Srini yang begitu memaksa, mau tidak mau
perintah itu dilakukannya. Kemboja tahu andaikata Srini dalam keadaan biasa,
gadis itu akan melaksanakannya sendiri.
Dukkk! "Hukh!"
Bandawa mengeluarkan keluhan tertahan sebelum roboh ke tanah dan tidak sadarkan
diri. Pukulan sisi tangan yang dihantamkan Kemboja mendarat telak di kuduknya.
Kelakuan kedua gadis muda yang cantik itu tidak lepas dari perhatian Gempar. T
entu saja lelaki pendek gemuk itu heran bukan main. "Apa yang dilakukan putri-
putri pemberontak ini?" tanyanya dalam hati. Apakah karena rasa takut yang
sangat lantas mereka menjadi gila dan tidak tahu harus berbuat apa"
"Mengapa kau menyuruhku melakukan hal ini, Srini?" tanya Kemboja tak dapat
menahan rasa ingin tahunya.
Baru saja Srini hendak memberikan jawaban, Gempar telah lebih dulu menyelak.
"Bersiaplah, Putri-putri Pemberontak! Kalian akan kuhadapkan pada raja!"
"Boleh aku mengajukan satu permintaan?" tanya Srini seraya
menatap wajah lelaki pendek gemuk itu lekat-lekat
Gempar tercenung, bingung. Kesempatan itu tidak disia-siakan oleh Srini yang
cerdik. "Kami berdua tahu, sebagai putri-putri pemberontak tidak akan mungkin
mendapatkan ampunan.
Kami akan dihukum mati. Bukankah pantas kalau kami mempunyai permintaan" Sebuah saja.
Untuk... yahhh... anggaplah sebagai permintaan terakhir kami."
"Baiklah. Selama tidak mengada-ada dan masuk akal aku akan mengabulkannya,"
jawab Gempar setelah berpikir sejenak.
"T erima kasih," jawab Srini dengan wajah gembira. "Aku hanya meminta agar kami,
maksudku aku dan saudaraku diberi kesempatan berbincang-bincang untuk yang
terakhir kali."
Kemudian, tanpa menunggu tanggapan Gempar, Srini kembali
mengalihkan perhatiannya pada Kemboja. "Kau ingat
semua ceritamu, Kemboja?" tanya Srini mengingatkan. "Bukankah Bandawa selalu berubah pandai dan beringas setelah sadar dari pingsan atau
sedang murka?"
"Ahhh.... Jadi, itukah maksudmu menyuruhku memukulnya?"
Kemboja kini mengerti. "T api, mengapa bisa seperti itu, Srini?"
"Entahlah." Srini menggelengkan kepala. "T api, kalau melihat tindak-tanduknya
yang tidak gila dan hanya lupa pada masa lalunya, kurasa dia telah mendapatkan
guncangan jiwa. Batinnya terguncang hebat hingga tak kuat ditanggung oleh
sarafnya. Mungkin itu yang membuatnya lupa pada masa lalu. Hebatnya,
kepandaiannya sampai dia lupakan. Dia kembali teringat akan kepandaiannya saat
mendapat guncangan
di kepala. Karena terpukul
atau terbentur batu membuatnya linglung, misalnya."
"T api, mengapa setiap kali dia teringat selalu dalam keadaan beringas" Dan,
perubahan itu hanya berlangsung sebentar saja"
Karena guncangan jiwa yang hebat dia lupa pada masa lalunya, namanya, dan
kepandaiannya. T api, seharusnya begitu mendapat guncangan selanjutnya, semua
yang terlupa akan teringat kembali, bukankah begitu, Srini?"
"Hhh...!" Srini menghela napas berat. "Memang seharusnya demikian, Kemboja. Aku
juga heran. Tapi...."
"Waktu untuk kalian sudah habis!" T eriakan Gempar membuat Srini menghentikan
ucapannya. Dengan terkejut kedua gadis itu menatap Gempar yang berjalan
menghampiri mereka. Srini dan Kemboja dengan harap-harap cemas memandang Bandawa
yang masih tergolek di tanah. Kedua saudara kembar itu kemudian jadi nekat. Pedang
yang semula telah disimpan dikeluarkan kembali.
Mereka bertekad untuk melakukan perlawanan sampai titik darah penghabisan.
"Haaat..!"
Se belum Gempar mengirimkan serangan, Srini dan Kemboja telah lebih dulu
menyerang. Kedua gadis itu melancarkan serangan dari arah yang berlawanan. Srini
dari kanan sedangkan Kemboja dari arah kiri. Pedang di tangan mereka berkelebat
cepat mengirimkan serangan-serangan mematikan.
T api, hanya dengan menggerakkan kedua tangannya secara
sembarangan saja, Gempar telah mengkandaskan serangan Srini dan Kemboja. Bahkan,
tubuh kedua ga dis itu terhuyung-huyung ke belakang dengan tangan tergetar.
T idak hanya berhenti di situ saja tindakan Gempar. Dia bergerak meluruk ke arah
Srini untuk melumpuhkannya. Srini berusaha sekuat tenaga menangkis serangan
Gempar. Pedangnya diputar untuk
melindungi diri. Namun, hanya dengan tangan telanjang, entah dengan cara
bagaimana, lelaki pendek gemuk itu berhasil membuat pedang Srini terlempar. T
angan Gempar terus meluncur ke bahu kanan gadis berpakaian hijau itu.
Kemboja melihat bahaya mengancam diri saudara kembarnya.
Maka, dia pun melesat untuk menolong dengan sebuah tusukan ke arah ubun-ubun
Gempar. T api, melihat jarak dan kecepatan wanita berpakaian jingga itu usahanya
pasti akan gagal.
"Grrrhhh...!"
Di saat tangan Gempar hampir menyentuh bahu kanan Srini, dan
tubuh Kemboja tengah berada di tengah jalan, terdengar geraman keras bagai
binatang buas terluka. Keras sekali sehingga Srini dan Kemboja merasakan seluruh
tenaga mereka lenyap. Gempar pun merasakan dadanya tergetar hebat dan kedua
kakinya menggigil.
Kalau saja dia tidak bertindak cepat mengerahkan tenaga dalam, tentu tubuhnya
sudah ambruk ke tanah. Sungguh pun demikian, tak urung wajah lelaki pendek gemuk
itu pucat pasi!


Dewa Arak 65 Si Linglung Sakti di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Gempar adalah seorang tokoh persilatan tingkat tinggi yang telah kenyang dengan
pengalaman. Maka dia segera mengetahui akan ada seorang lawan tangguh yang
muncul di situ. Karena itu, perhatiannya segera dialihkan ke arah asal geraman.
Dan, seketika lelaki pendek gemuk itu terperanjat.
Beberapa tombak di sebelah kirinya berdiri dengan sepasang mata merah membara
dan wajah menyiratkan keganasan, seorang pemuda bertubuh kekar yang tadi bersama
Srini dan Kemboja. Pemuda yang tadi dipukul Kemboja hingga pingsan.
Sejenak Gempar terpaku di tempatnya. Benarkah pemuda kekar yang tadi kelihatan
linglung dan tidak bisa ilmu silat memiliki tenaga dalam yang demikian dahsyat"
Rasanya mustahil! Bahkan tadi dia tidak
mampu mengelakkan serangan Kemboja. Apalagi melindunginya dengan tenaga dalam sehingga serangan itu tidak membuatnya
pingsan. Lalu, bagaimana sekarang dia bisa mempunyai tenaga dalam demikian
hebat. Gempar tidak mempunyai waktu lebih lama untuk berpikir. Sesaat kemudian. Bandawa
telah menerjangnya dengan kecepatan yang menggiriskan. Luar biasa. T ak ubahnya
angin yang berhembus kencang.
Dan ketika tubuh pemuda kekar itu hampir mencapai tempatnya, kedua tangan
Bandawa mengirimkan tusukan-tusukan ke dahi
dengan mempergunakan jari telunjuk! Bunyi berdecit tajam dan udara yang terobek
mengiringi tibanya serangan.
Wajah Gempar seketika berubah. Bukan karena kedahsyatan
serangan itu, tapi karena dia pernah melihat serangan seperti itu dari
seorang tokoh yang memiliki kepandaian menggiriskan hati. Seorang tokoh
misterius! Mengapa Bandawa juga memiliki ilmu serupa"
Adakah hubungan antara mereka" Atau... jangan-jangan keduanya adalah orang yang
sama" Prattt! T ubuh Gempar terjengkang ke belakang dan jatuh terguling-
guling ketika memapaki serangan Bandawa. Cepatnya serangan yang dilancarkan
Bandawa membuat lelaki pendek gemuk itu memaksakan diri untuk menangkis. Tidak tanggung-tanggung lagi.
Seluruh tenaga dalamnya dikerahkan dengan memainkan ilmu
'Pukulan Gelombang Laut'. T api toh akibatnya tetap saja tubuhnya terguling-
guling dengan dada terasa sesak dan tangan sakit-sakit.
Sementara lawannya hanya terhuyung ke belakang. Itu pun sebentar saja. Serangan
lanjutan yang tidak kalah dahsyatnya kembali dilancarkan.
T erpaksa Gempar mengerahkan seluruh kemampuannya untuk
menyelamatkan selembar nyawanya. Ilmu 'Pukulan Gelombang Laut'
dikerahkan sampai ke puncak kemampuan. T api untuk kesekian kalinya Gempar harus
menelan kepahitan. Ilmu yang menjadi
andalannya mati kutu dan tidak berguna. Seperti ketika menghadapi sosok
berpakaian serba putih, ilmunya pun kembali pupus. Beberapa kali ketika terpaksa
berbenturan tangan, Gempar terhuyung-huyung ke belakang. Sementara lawannya
seperti tidak menderita sedikit pun. Padahal, belum pernah dalam penggunaan ilmu
andalannya itu Gempar dapat dijatuhkan lawan.
Setiap kali ilmu 'Pukulan Gelombang Laut' dipergunakan, angin serangannya saja
sudah cukup untuk merobohkan lawannya karena tenaganya terkuras. Bahkan, Dewa
Arak yang terkenal itu pun mengalami kejadian yang sama. T api mengapa sekarang
seperti ketika menghadapi sosok berpakaian serba putih" Ilmu andalannya tidak
berarti. Ilmu yang dikeluarkan Bandawa dapat membuat pengaruh ilmu 'Pukulan
Gelombang Laut' yang dimilikinya pupus.
Hanya dalam beberapa gebrakan saja Gempar sudah kewalahan.
Lelaki pendek gemuk itu terpaksa bermain mundur. Mengelak lebih banyak
dilakukannya. Karena
untuk menangkis akan sangat merugikan dirinya.
Plak! Plak! Gempar terpaksa menangkis serangan Bandawa yang datang
bertubi-tubi karena tidak sempat dielakkan. Akibatnya, tubuh lelaki pendek gemuk
itu kembali terjungkal ke belakang. Saat itu pula dengan kecepatan yang sulit
diikuti mata, Bandawa menggerakkan kedua tangannya. Gempar yang menyadari adanya
serangan maut dengan gugup menggerakkan kedua tangannya di depan wajah untuk
menangkis. Beberapa kali tangkisan itu berhasil dilakukan, tapi pada totokan
yang entah keberapa, jari telunjuk Bandawa berhasil membuat lubang di dahi
Gempar. Pewaris terakhir Perguruan Laut Mati itu pun pergi ke akherat.
Srini dan Kemboja gembira bukan main melihat Gempar berhasil ditewaskan.
Keduanya bergegas mendekati Bandawa yang tengah limbung. Kedua ga dis kembar itu
tahu kalau saat itu Bandawa tengah berada dalam masa lalunya. Mereka ingin
mengorek keterangan tentang siapa sebenarnya Bandawa sebelum pemuda itu roboh
tak sadarkan diri.
"Siapakah namamu, Sobat?" tanya Kemboja yang lebih dikenal oleh alam bawah sadar
Banda wa karena telah sering didengar suaranya.
"Aku..." Namaku.... Bandawa...," jawab pemuda bertubuh kekar itu dengan suara
mengambang. Kedua tangannya memegangi kepala.
Srini dan Kemboja merasa cemas Bandawa akan keburu pingsan.
"Kau memiliki ilmu silat ini dengan bergur u pada siapa, Bandawa?"
"Ayahku," jawab Bandawa. Suaranya semakin tidak jelas.
"Siapa ayahmu" Maksudku..., nama atau julukannya?"
T idak ada jawaban dari Bandawa. T ubuh pemuda itu mulai
terhuyung-huyung. Kedua tangannya sibuk memegangi kepala.
Se dangkan tarikan wajahnya menyiratkan kesakitan.
"Kenalkah kau dengan seorang gadis yang bernama Sukaesih, Bandawa?" tanya Srini
hati-hati. "Dia... calon istriku...," sampai di sini tubuh Bandawa ambruk.
T api sebelum terjerembab ke tanah, Kemboja sudah lebih dulu menangkapnya.
Bandawa telah jatuh pingsan.
Srini dan Kemboja saling bertukar pandang. Mereka cukup puas meskipun belum
dapat mengorek banyak keterangan dari Bandawa.
T api, sedikit banyak sudah dapat diketahui kalau cerita Sukaesih memang benar.
Hanya yang masih menjadi tanda tanya, mengapa Bandawa memakai nama Suhita. Dari
mana nama itu didapatkannya"
Pertanyaan itu hanya tinggal pertanyaan karena orang yang
seharusnya memberikan jawaban tidak sadarkan diri. Dengan hati-hati Kemboja
membaringkan tubuh Banda wa di tanah. Rasa kasihan kalau pemuda itu akan
kepanasan oleh terik sinar matahari, Kemboja membawanya ke sebatang pohon dan
membaringkannya di sana.
*** "Rupanya kita memang berjodoh, Anak Manis. Kenyataannya kita berjumpa lagi."
Seruan yang diucapkan pelan tapi menggaung ke sekitar tempat itu mengejutkan
Srini dan Kemboja. Terutama Srini yang masih ingat betul siapa pemilik suara
itu. Wajah gadis berpakaian hijau itu mendadak berubah pucat.
T iupan angin dingin berhembus. Dan, di dekat kedua gadis cantik itu berdiri
sesosok tubuh berpakaian serba putih. Tokoh misterius yang menggiriskan.
Seketika itu pula Srini melangkah mundur.
Kemboja yang telah mendengar dari saudara kembarnya mengenai tokoh tingkat
tinggi yang keji ini meremang bulu kuduknya. Diakui kalau sosok berpakaian serba
putih memilliki perbawa yang
menyeramkan. T erutama sepasang matanya yang tajam mencorong dan berwarna
kehijauan. Kemboja melangkah mundur seraya
mengerling ke arah tempat Bandawa diletakkan. Ia berharap pemuda kekar itu
segera sadar dari pingsannya.
"Ha ha ha...!"
T awa sosok berpakaian serba putih membahana melihat keberadaan Kemboja. "Sungguh besar untungku kali ini. Tidak hanya satu bidadari
yang kujumpai, tapi dua. Ah.... Luar biasa...!
Baru saja kunikmati tubuh empuk murid wanita Perguruan Lembah Seribu Bunga. Kini
sudah ada lagi dua kuda betina liar yang minta ditunggangi. Betapa beruntungnya
aku." Sosok berpakaian serba putih kemudian mengayunkan kaki
mendekati. T anpa sadar, dalam cekaman rasa takut Srini dan Kemboja melangkah
mundur, sehingga jarak antara mereka dengan sosok berpakaian serba putih tetap
seperti semula. Bahkan, bertambah jauh karena kedua gadis itu melangkah lebih
banyak. "Kemarilah, Manis. Kalian berdua memang berwajah manis-manis. Bahkan, beberapa
ciri-ciri kalian mirip dengan Sukaesih.
Kemarilah, Sukaesih-Sukaesihku...!"
Srini dan Kemboja saling berpandangan. Sukaesih! Jadi, sosok berpakaian serba
putih ini kenal dengan Sukaesih" Bukan tidak mungkin kalau sosok berpakaian
serba putih juga kenal dengan Bandawa! T api, apa hubungannya dengan Bandawa"
Dan dengan Sukaesih"
"Kau kenal dengan Sukaesih?" tanya Srini ingin tahu.
Pertanyaan Srini rupanya mengejutkan sosok berpakaian serba putih. T ubuhnya
sampai terjingkat ke belakang. "Dari mana kau tahu nama Sukaesih" Apakah kau
mengenalnya?" tanyanya dengan penuh ancaman.
"Aku tidak mengenalnya. T api tahu kalau Sukaesih adalah seorang gadis yang
berhati mulia. Dan..."
"Keparat!"
Sosok berpakaian serba putih menggeram. T idak tampak kalau dia menggerakkan
tangan atau kakinya. Tapi akibatnya, tubuh Srini terpental jauh ke belakang dan
terbanting ke tanah. Ketika bangkit wajah ga dis berpakaian hijau itu pucat
pasi. Beruntung sosok berpakaian serba putih tidak bermaksud melukainya. Kalau
tidak nyawa Srini tentu sudah melayang ke alam baka.
"Srini...!" Kemboja berseru kaget. Dia menghambur ke arah saudara kembarnya.
Hatinya lega ketika melihat Srini tidak terluka.
Sosok berpakaian serba putih yang telah bangkit amarahnya tidak menghentikan
tindakannya hanya sampai di situ. Kakinya dilangkahkan. Kelihatannya perlahan dan sembarangan saja, tapi akibatnya
tubuhnya tiba-tiba telah berada di dekat kedua gadis itu.
"Kalian berdua rupanya ingin aku bertindak kasar," desis sosok berpakaian serba
putih dingin. Mendadak terdengar seruan keras menyambuti ucapan sosok
berpakaian serba putih. T eriakan itu dikeluarkan dengan suara agak bergetar
penuh perasaan.
"Siapa kau" Rasanya aku pernah mendengar suara seperti itu...!"
Bukan hanya sosok berpakaian serba putih yang menoleh. Srini dan Kemboja pun
demikian. Berbeda dengan sosok berpakaian serba putih, kedua gadis itu telah
tahu siapa pemilik suara itu.
"Kau..."!"
Srini dan Kemboja terkejut melihat sikap sosok berpakaian serba putih. Seruan
yang dikeluarkan sosok itu begitu terkejut dan tidak percaya. Ada nada gentar di
dalamnya. "Siapa kau" Katakan...! Rasanya suaramu tidak asing di telingaku...!" suara
Bandawa semakin meninggi, menuntut jawaban lawan bicaranya. Kedua kakinya
kemudian melangkah menghampiri tempat sosok berpakaian serba putih berdiri.
Jawaban yang diberikan sosok itu adalah sebuah terjangan yang dilakukan dengan
sangat cepat. Kedua tangannya dengan jari telunjuk teracung ditusukkan bertubi-
tubi ke dahi Bandawa.
"Ihhh...!"
Hampir berbarengan Kemboja dan Srini menjerit tertahan.
Mereka tidak mampu memberikan pertolongan. Sementara Bandawa masih tetap
melangkah dengan berkerut. T ampaknya pemuda itu tengah berpikir. Jelas, dia
tidak tahu kalau dirinya diserang.
Rupanya, pertemuannya dengan sosok berpakaian serba putih
membuat Bandawa teringat akan masa lalunya. Saat itu segenap ingatannya tengah
berusaha masuk ke dalam benaknya.
T api sebelum serangan sosok berpakaian serba putih mendarat di sasaran, dari
sebelah kanan terdengar bunyi angin menderu. Hawa panas dan memotong arah yang
dituju penyerang Bandawa. Jadi andaikata ia bersikeras meneruskan serangannya,
sebelum tiba di sasaran akan terlebih dulu dihantam pukulan jarak jauh angin
berhawa panas menyengat itu.
Sosok berpakaian serba putih pun tahu akan hal itu. Maka,
serangannya terhadap Bandawa
dibatalkan. T angan
kanannya kemudian dikibaskan untuk memapaki serangan yang meluncur ke arahnya. Dalam
kemarahannya sosok berpakaian serba putih
mengerahkan seluruh tenaga dalamnya.
Bresss! Pemuda berambut putih keperakan yang melancarkan serangan
berhawa panas itu terpental ke belakang, kemudian terguling-guling di tanah.
Saat itu kedudukannya memang tidak menguntungkan.
T ubuhnya berada di udara karena serangan itu dilancarkan sambil berlari
mendekati. Ketika akhirnya berhasil bangkit berdiri, wajah pemuda berpakaian
ungu yang tidak lain Arya Buana alias Dewa Arak itu tampak pucat. Benturan keras
yang terjadi telah melukai bagian dalam tubuhnya.
Meskipun demikian ada seringai kegembiraan di mulut pemuda itu.
Serangan maut yang ditujukan pada
Bandawa berhasil digagalkan. T ubuh sosok berpakaian serba putih tergetar ke belakang dan agak
terhuyung. "Aku ingat... Suaramu. Rupanya kau.... Ya. Kau, Jahanam Suhita...! Kubunuh kau.
Ayah...! Sukaesih...! Lihatlah, jahanam ini akan kubunuh...!"
Usai berkata demikian, Bandawa melompat menerjang sosok
berpakaian serbah putih yang disebut sebagai Suhita. Jari-jari kedua tangannya
meluncur cepat bagai kilat ke arah dahi Suhita. Namun, Suhita yang tahu bahaya
maut itu tidak tinggal diam. Dia segera
bergerak mengelak. Bahkan mengirimkan serangan balasan yang tidak kalah dahsyat.
Pertarungan sengit, pun tidak bisa dielakkan lagi.
T idak hanya Srini dan Kemboja, Dewa Arak pun takjub melihat jalannya
pertarungan. Memang kelihatannya aneh karena kedua belah pihak menggunakan ilmu
yang sama. T api tetap saja tidak menyembunyikan kedahsyatannya. T anah
terbongkar di sana-sini hingga menimbulkan kepulan debu yang membubung tinggi ke
angkasa. Srini dan Kemboja memang heran melihat Bandawa dan sosok
berpakaian serba putih menggunakan ilmu yang sama. Tapi tidak dengan Dewa Arak.
Dia telah tahu semuanya setelah tercebur di sungai dan terbawa arus hingga jatuh
ke sebuah air terjun. Di sana Arya bertemu dengan seorang kakek yang
menceritakan tentang sosok berpakaian serba putih, begitu Arya memberitahukannya
kalau dirinya terjatuh ke sungai karena ulah sosok itu yang memiliki ilmu satu
jari yang sangat ampuh.
Kakek yang telah lumpuh kedua kakinya akibat terjatuh dari atas tebing itu
mengaku bernama Pandulaga. Sejak ratusan tahun yang lalu leluhur Pandulaga
memiliki ilmu-ilmu tinggi. T api mereka tidak pernah terjun ke dunia persilatan.


Dewa Arak 65 Si Linglung Sakti di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

T ujuan mereka mempelajari ilmu-ilmu silat hanyalah untuk melindungi diri dan
keluarga besar Pandulaga. Karena itu Pandulaga yang tidak suka menonjolkan diri,
maka dia memilih mengusahakan sebuah perkebunan.
Pandulaga memiliki seorang anak kandung yang bernama
Bandawa dan seorang anak angkat bernama Suhita. Semula Suhita pandai membawa
diri sehingga Pandulaga tidak segan-segan
menurunkan ilmu kepadanya. T api, sungguh tidak disangkanya Suhita sampai hati
meracuni dirinya dan Bandawa yang hanya karena ingin mendapatkan Sukaesih. Dalam
keadaan setengah sadar tubuhnya dijatuhkan dari atas tebing. Sedangkan Bandawa
sempat kabur. Entah karena racun yang kurang kuat atau karena masih muda, atau
mungkin kehendak Allah, Bandawa tidak meninggal
hanya pingsan. Sebelum pingsan Pandulaga sempat melihat keadaan Bandawa yang
agak aneh. "Mungkin ada bagian sarafnya yang terpengaruh racun, sehingga yang diingat
hanyalah nama Suhita," ucap Pandulaga pada Arya.
Kemudian dimintanya pemuda berambut putih keperakan itu untuk mencari Bandawa,
dan kalau bisa membawanya pada Pandulaga
untuk diobati, karena Suhita masih terus mencarinya. Pandulaga tidak tahu kalau
sebenarnya Suhita memiliki watak yang kurang baik. T erlebih setelah melihat
kelebihan-kelebihan yang dimiliki Bandawa. Banda wa le bih tampan, lebih pandai
darinya dan lebih disukai ga dis-gadis. Karena tidak tahan menahan rasa iri yang
bertumpuk-tumpuk,
Bandawa pun akhirnya dijadikan pelampiasannya.
Sekarang, pertarungan antara Suhita dan Bandawa tidak bisa dihindarkan lagi.
Bandawa telah teringat kembali akan masa lalunya.
Dan Arya memperhatikan tanpa berkedip seperti juga Srini dan Kemboja.
"Hiyaaat...!" "Haaat...!"
Di jurus kelima puluh Banda wa dan Suhita bersamaan mengeluarkan teriakan melengking tinggi yang membuat Srini dan Kemboja jatuh
terduduk. Kedua pemuda yang berilmu tinggi itu saling terjang dengan jari-jari
telunjuk menegang kaku.
T ak, tak, takkk!
"Akh...!"
Beberapa kali terdengar benturan keras. Sesaat kemudian jeritan tertahan
terdengar dan tubuh mereka terpental balik ke belakang.
Bandawa mendarat
dengan mantap di tanah. Sedang Suhita
terhuyung-huyung, kemudian ambruk dan tidak bergerak lagi untuk selamanya. Pada
dahinya tampak sebuah lubang yang tercipta dari tusukan tangan Bandawa.
Srini, Kemboja, dan Dewa Arak menyambut
kemenangan Bandawa dengan penuh gembira. Apalagi ketika mereka mengetahui Bandawa telah
sembuh sepenuhnya. Rupanya, salah satu pembuluh
darah yang berhubungan dengan safat ingatan masa lalu tersumbat dan menyempit
akibat pengaruh racun. Akibatnya aliran darah yang menuju ke arah sana
terhambat. Baru ketika mendapat guncangan aliran darah dapat mengalir lancar.
Guncangan yang agak keras hanya terjadi bila bagian kepala atau kuduknya
terpukul atau terbentur. Tapi itu hanya berlangsung se saat. Baru ketika
guncangan yang terjadi akibat pertempuran dengan Suhita, aliran darah itu
mengalir dengan deras karena Bandawa sibuk menguras ingatannya.
Meskipun demikian, setelah mendengar pesan ayahnya yang
disampaikan Arya, Bandawa memutuskan untuk pergi menemui
ayahnya. Ia akan menerima pengobatan untuk mencegah hal-hal lain yang tidak
diinginkan. SELESAI Pembuat E-book:
Scan buku ke DJVU: Abu Ke isel
Conve rt & Edit: Paulustjing
Ebook oleh: De wi KZ
http://kangzusi.com
http://dewi-kz.info/
http://www.tiraikasih.co.cc/
http://ebook-dewikz.com/
Bentrok Rimba Persilatan 13 Dewi Sri Tanjung 7 Rahasia Dewa Asmara Bergelut Dalam Kemelut Takhta Dan Angkara 5
^