Pencarian

Penjarah Perawan 1

Dewa Arak 53 Penjarah Perawan Bagian 1


PENJARAH PERAWAN oleh Aji Saka Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting : Tuti S.
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Aji Saka Serial Dewa Arak
dalam episode: Penjarah Perawan
128 hal ; 12 x 18 cm.
1 "Benarkah... penjahat terkutuk itu memiliki ilmu
menghilang, Kang?" sebuah suara lembut menguak
keheningan malam yang sudah mendekati dini hari.
Sosok berpakaian ungu yang diajukan pertanyaan
tidak segera menjawab. Kakinya terus saja dilangkahkan.
Saat itu dia dan temannya, seorang wanita muda berpakaian putih, tengah
menyusuri Jalan tanah di luar sebuah desa.
Tampaknya mereka tidak sedang tergesa-gesa.
"Entahlah, Melati. Aku tidak bisa memastikan. Tapi kalau menurut pendapatku,
tidak," jawab pemuda berpakaian ungu yang berambut putih keperakan seraya
menoleh. Gadis berpakaian putih yang ternyata Melati tidak
memberi tanggapan. Pandangannya diarahkan ke tanah,
seperti tengah menghitung langkahnya.
Sekarang dapat diduga siapa sepasang muda-mudi
itu. Ya! Mereka adalah Arya Buana yang berjuluk Dewa Arak, dan Melati. Di bahu
kanan Melati terpanggul tubuh seorang wanita berpakaian biru. Wanita itu adalah
Trijati. (Untuk lebih jelasnya silakan baca serial Dewa Arak episode 'Manusia
Kelelawar'). "Kalau tidak menghilang, bagaimana mungkin dia
bisa lenyap begitu saja, Kang"!" tanya Melati setelah beberapa saat tercenung.
"Aku sendiri belum bisa menduganya, Melati," Arya mengangkat bahu. "Hhh...!
Kalau nanti bertemu lagi, tak akan kubiarkan dia lolos!"
"Benar, Kang! Makhluk keji seperti dia sudah
sepantasnya dilenyapkan dari muka bumi!" sambung Melati geram.
Arya diam. Pemuda itu tidak menanggapi ucapan
kekasihnya. Dan karena Melati tidak melanjutkan ucapannya, suasana pun jadi
hening. Yang terdengar hanya suara
serangga malam. Sepasang muda-mudi itu mengayunkan
langkah tanpa berkata-kata. Mendadak...
"Kakang...! Lihat...!" seru Melati menudingkan jari telunjuknya ke depan.
Arya mengangguk-anggukkan kepala. Sebenarnya
tanpa diberitahu pun dia telah melihatnya. Yang ditunjukkan kekasihnya adalah
serombongan orang yang tengah bergerak menuju ke arah mereka berdua. Sekali
lihat, Arya dan Melati dapat menduga jumlah rombongan itu tak kurang dari dua
puluh orang. Beberapa di antara mereka membawa obor.
"Apakah mereka orang-orang yang melakukan
pengejaran terhadap penjahat keji itu, Kang"!" tanya Melati meminta kepastian.
"Kurasa demikian, Melati," jawab Arya, "Bukankah berkat petunjuk mereka kita
dapat menemukan penjahat keji itu"!"
"Aku agak ragu, Kang. Tadi jumlah mereka tidak
sebanyak itu. Bahkan tidak ada yang membawa obor," bantah Melati.
"Barangkali tadi kejadiannya belum diketahui banyak orang," jelas Arya.
Melati mengangguk-angguk. Rupanya gadis itu
menerima penjelasan kekasihnya. Tidak ada lagi pertanyaan yang diajukan. Maka
dengan berdiam diri, Arya dan Melati melanjutkan perjalanan.
Pasangan pendekar muda itu menempuh arah yang
tengah ditinggalkan rombongan di depan. Sedangkan
rombongan itu menempuh arah sebaliknya. Tampaknya
mereka saling mendekati. Kedua kelompok itu akhirnya
bertemu di tengah perjalanan.
"Maaf, benarkah wanita ini yang dibawa kabur
penjahat itu, Ki?" dengan sopan Arya mengajukan pertanyaan pada salah seorang di
antara dua kakek yang berada di baris terdepan dalam rombongan yang cukup besar
itu. Pandangan anggota rombongan itu serentak
mengarah pada Arya. Untung Melati cepat tanggap. Gadis itu menurunkan tubuh
Trijati dari panggulannya. Maka orang-orang itu pun mengarahkan pandangannya
pada Trijati yang masih tak sadarkan diri.
"Benar," jawab orang yang ditanya sambil
menganggukkan kepala. Dia seorang kakek bertubuh tinggi besar dan terlihat
angker karena kumis, jenggot, dan
cambang bauknya yang lebat. Siapa lagi kalau bukan Jayeng Praja.
"Terima kasih atas pertolonganmu, Anak Muda," ujar kakek berkumis melintang yang
berdiri di sebelah Jayeng Praja. Dia adalah Pendekar Tinju Maut.
"Lupakanlah, Ki," jawab Dewa Arak bijaksana.
"Merupakan kewajiban kita semua untuk tolong-menolong.
Kebetulan aku lewat tempat ini dan mendengar penculikan mempelai wanita."
Jayeng Praja dan Pendekar Tinju Maut mengangguk-
angguk membenarkan ucapan Arya. Kemudian keduanya
saling bertukar pandang. Hanya sebentar saja. Tapi sudah cukup untuk mengetahui
perasaan masing-masing.
Ternyata perasaan yang bergayut di hati mereka
sama. Keduanya heran melihat Arya dan Melati berhasil
membawa pulang Trijati. Sebab Jayeng Praja maupun
Pendekar Tinju Maut tahu Sangkala tidak akan mungkin
merelakan Trijati dibawa begitu saja oleh pasangan muda-mudi itu. Arya dan
Melati pasti membawa Trijati dengan
kekerasan! Mungkinkah itu" Pertanyaan itu bergayut di benak
Jayeng Praja dan Pendekar Tinju Maut. Kalau benar, berarti Arya dan Melati telah
berhasil mengalahkan Sangkala!
Rasanya mustahil! Kedua kawan Ki Ageng Sora tidak percaya pasangan muda itu
mampu mengalahkan Sangkala. Mereka
saja, ditambah murid-murid Perguruan Banteng Putih, tidak mampu menghalangi
kepergian Sangkala. Mungkinkah Arya
dan Melati mampu"
*** "Maaf, Ki. Kurasa sudah saatnya kami mohon diri.
Perjalanan yang akan kami tempuh masih jauh," ucap Arya ketika telah menyerahkan
Trijati pada Jayeng Praja.
"Ah! Mengapa terburu-buru, Anak Muda," ujar Ki Rawung. "Kalian berdua baru saja
tiba. Tentu masih lelah.
Apakah tidak sebaiknya tinggal dulu di desa kami untuk
beberapa hari?"
"Benar, Anak Muda," sambung Jayeng Praja,
"Rasanya tidak pantas menerima pertolongan tanpa
memberikan balasan."
"Maaf, Ki. Kami memberikan pertolongan dengan
ikhlas. Tidak terbersit sedikit pun keinginan untuk mendapat balasan," jelas
Arya sopan tapi tegas.
"Kami pun tidak menganggap kau memberikan
pertolongan dengan pamrih, Anak Muda," lanjut Jayeng Praja cepat karena
menyadari kesalahan ucapnya. "Tapi..., maksud kami begini, Anak Muda. Hm....
Rasanya tidak pantas Jika kami tidak mengenalmu, orang yang telah
memberikan pertolongan pada kami. Aku, Jayeng Praja."
"Aku Loka Arya," sambung Pendekar Tinju Maut.
"Dan aku, Rawung, Kepala Desa Kawung," sambut Ki Rawung.
"Namaku Arya dan kawanku ini, Melati," balas Arya memperkenalkan diri.
"Arya...."
Hampir bersamaan Jayeng Praja dan Pendekar Tinju
Maut menggumamkan nama itu seraya berpandangan satu
sama lain. Dahi keduanya berkerut dalam seperti tengah
mengingat-ingat sesuatu. Dan rupanya Pendekar Tinju Maut berhasil mengingatnya.
"Arya..."! Rasanya aku pernah mendengar nama
itu.... Kalau tidak salah Arya Buana...," Pendekar Tinju Maut
menggantung ucapannya.
"Memang itulah namaku selengkapnya, Ki," terpaksa Arya mengakuinya.
"Ah...! Jadi..., sekarang kami berhadapan dengan
seorang pendekar muda yang julukannya telah membuat
persada ini gempar...!" ujar Jayeng Praja dan Pendekar Tinju Maut bersamaan.
"Bukankah kau Dewa Arak..."!"
Seketika itu pula wajah Arya merah padam karena
malu dan tidak enak.
"Rasanya berita itu terlalu berlebihan, Ki. Dan...."
"Berlebihan atau tidak yang penting sekarang kau
harus tinggal di desa ini dulu, Dewa Arak," potong Pendekar Tinju Maut yang
memang mempunyai watak sangat terbuka.
"Banyak hal yang ingin kami perbincangkan denganmu. Kami yakin kau akan berminat
mendengarkannya. Sebab ini ada
hubungannya dengan tugasmu sebagai seorang pendekar!
Bagaimana" Kau setuju"!"
Dewa Arak tidak segera memberi tanggapan. Pemuda
itu tercenung sebentar mempertimbangkannya. Tapi sesaat kemudian kepalanya
dianggukkan. Wajah Pendekar Tinju
Maut, Jayeng Praja, dan Ki Rawung berseri-seri mendengar persetujuan pemuda
berambut putih keperakan itu.
"Sebelumnya kami ucapkan terima kasih atas
kesediaanmu memenuhi ajakan kami, Dewa Arak,'' ujar
Jayeng Praja gembira.
"Lupakanlah, Ki."
"Kalau demikian, mari ikut kami, Dewa Arak," lanjut Jayeng Praja.
Sesaat kemudian rombongan dari Desa Kawung
bergerak ke arah semula. Kali ini jumlah mereka lebih banyak dari sebelumnya.
Rombongan itu bertambah dua orang. Arya dan Melati.
*** "Ki...."
Arya membuka pembicaraan ketika dirinya, Melati,
Jayeng Praja, Pendekar Tinju Maut, Ki Rawung, Ranjita, dan dua orang murid utama
Perguruan Banteng Putih telah
duduk bersila di ruang tengah bangunan Perguruan Banteng Putih.
"Ada apa, Dewa Arak?" tanya Jayeng Praja pelan Ucapan Arya memang ditujukan pada
Ketua Perguruan Harimau Terbang. Meskipun demikian, semua
yang hadir ikut memasang telinga. Mereka ingin mengetahui masalah yang akan
dibicarakan Dewa Arak dengan Jayeng
Praja. "Boleh aku mengajukan pertanyaan?" tanya Dewa Arak hati-hati.
''Tentu saja boleh, Dewa Arak," jawab Jayeng Praja cepat, "Dengan senang hati
aku akan menjawabnya. Tapi..., tentu saja sebatas pengetahuanku...."
' Terima kasih, Ki. Ucapanmu akan kuperhatikan,"
janji Arya. "Begini, Ki.... Dalam perjalanan kami berdua menemukan beberapa
mayat yang masih baru. Kalau tidak
salah... sembilan orang! Ya, sembilan orang! Mereka
mengenakan pakaian yang warna dan lambangnya sama
dengan pakaianmu. Aku tidak tahu... apakah ini hanya
kebetulan... atau memang ada hubungannya?"
"Apakah kau menemukan mayat-mayat itu di dalam
Hutan Sawan, Dewa Arak?" tanya Jayeng Praja meminta penegasan setelah termenung
sejenak. "Benar, Ki!" sambut Arya bersemangat. "Kau juga mengetahui kejadian itu?"
"Hhh...!"
Jayeng Praja menghela napas berat. Membuang
beban yang mengganjal hatinya.
"Mayat-mayat yang kau temukan itu memang ada
hubungannya denganku, Dewa Arak. Mereka murid-
muridku," kemudian dengan singkat tapi jelas, Ketua Perguruan Harimau Terbang
itu menceritakan tentang usaha
sampingan perguruan silat yang dikelolanya.
"Jadi..., begitulah akhirnya, Dewa Arak. Putri
saudagar itu lenyap. Kami tidak tahu nasib yang dialaminya.
Tapi menurut Sangkala, gadis itu telah mati. Sangkala yang membunuhnya. Begitu
pengakuannya," tutur Jayeng Praja mengakhiri kisahnya.
"Sangkala..."!" Arya mengernyitkan kening.
Pemuda itu memang tidak tahu orang yang dikejar-
kejarnya bernama Sangkala.
"Orang yang menculik mempelai wanita itu bernama
Sangkala, Dewa Arak," kali ini Pendekar Tinju Maut yang memberikan jawaban.
Arya mengangguk-anggukkan kepala tanda mengerti.
"Rupanya kalian mengenalnya dengan baik?" Melati ikut berbicara.
"Aku dan dia tidak," jawab Jayeng Praja menunjuk Pendekar Tinju Maut, "Kami
bukan penduduk sini. Tapi kenalan Ki Ageng Sora yang kebetulan datang karena
mendapat undangan untuk menghadiri pesta pernikahan."
"Jadi..., Sangkala... penduduk desa ini"!" Arya melanjutkan pertanyaan
kekasihnya. "Begitulah, Dewa Arak!" Ki Rawung menyambuti,
"Dia adalah murid Ki Ageng Sora, Ketua Perguruan Banteng Putih."
Lalu Kepala Desa Kawung itu menceritakan semua
kejadian mengenai Sangkala. Arya dan Melati mendengarkan dengan penuh perhatian.
Mereka tidak memotong hingga Ki Rawung menyelesaikan ceritanya.
Sementara itu di luar bangunan Perguruan Banteng
Putih, murid-murid perguruan itu tampak berjaga-jaga. Sikap mereka sangat
waspada. Terlihat jelas kesungguhan murid-murid Perguruan Banteng Putih. Padahal
saat itu suasana di persada terasa panas. Matahari yang berada tepat di atas
kepala memancarkan sinarnya dengan garang.
Meskipun wajah mereka memancarkan kegarangan,
tapi raut kesedihan yang mendalam tetap terlihat! Semalam Ketua Perguruan
Banteng Putih tewas di tangan Sangkala.
Baru tadi pagi mereka memakamkan nya.
Kekhawatiran akan terulangnya peristiwa semalam
menyebabkan murid-murid Perguruan Banteng Putih
berjaga-jaga, meskipun di siang hari. Sebab tindakan
Sangkala tentu tidak akan berhenti sampai di situ. Pemuda berwajah bopeng itu
pasti akan terus merongrong hingga sakit hatinya terbalas.
Karena itu mereka terus berjaga-jaga. Mata mereka
diedarkan ke sekeliling tempat itu. Bahkan di kejauhan. Tapi kelihatannya
keadaan aman. Tidak terlihat tanda-tanda akan ada orang menyatroni Perguruan
Banteng Putih. Karena terlalu memusatkan perhatian pada sosok
manusia, murid-murid Perguruan Banteng Putih tidak
menaruh perhatian ketika sesosok bayangan hitam sebesar kepalan tangan melesat
masuk wilayah perguruan. Padahal, beberapa di antaranya melihat sosok hitam itu
adalah kelelawar! Tapi guncangan perasaan akibat kematian guru sekaligus ketua membuat
mereka tidak menyadari keanehan itu. Mana ada kelelawar berkeliaran siang hari"
Maka leluasalah kelelawar yang merupakan penjelmaan Sangkala melaksanakan
keinginannya. Lagi-lagi keuntungan berpihak pada Sangkala.
Dengan bentuknya yang kecil, pemuda itu tidak mengalami kesulitan memasuki
setiap kamar melalui jendela. Baik yang terbuka lebar maupun yang terkuak
sedikit. Entah untuk ke berapa kali menyelusup ke dalam


Dewa Arak 53 Penjarah Perawan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ruangan-ruangan yang ada. Kelelawar penjelmaan Sangkala akhirnya menjumpai
ruangan yang dihuni Trijati. Kilatan aneh tampak pada sepasang mata kelelawar
jadi-jadian itu melihat Trijati terbaring lemas di pembaringan. Rupanya
guncangan batin yang dialami karena kematian ayahnya
cukup berat. Sejak kemarin malam hingga sekarang Trijati belum juga sadarkan
diri. Bluppp! Begitu telah berada di dalam ruangan, kelelawar itu
berubah bentuk menjadi... Sangkala! Kepulan asap tipis menyebar.
Baru saja Sangkala hendak beranjak mendekati
pembaringan, tiba-tiba kelopak mata Trijati bergerak
membuka. Bulu mata lentik itu pun mengerjap-ngerjap pelan.
Sepasang mata Trijati terbuka. Namun seketika itu pula
membelalak lebar memperlihatkan keterkejutan yang sangat.
Sebelum mulut mungil itu mengeluarkan jeritan,
Sangkala telah lebih dulu bertindak. Jari telunjuk kanannya ditudingkan! Dan....
Tukkk! Sekujur tubuh Trijati yang menegang langsung
lunglai. Dengan jitu dan dari jauh, Sangkala berhasil
menotoknya hingga lemas! Sungguh sebuah ilmu yang
mukjizat. Inilah salah satu keistimewaan jurus 'Kelelawar'.
He he he...! Sangkala tertawa dalam hati melihat rencananya
berjalan dengan baik. Kemudian tanpa menunggu lebih lama, mengingat kesempatan
yang tidak memungkinkan,
dihampirinya Trijati dengan sorot mata liar.
Trijati hanya bisa menatap dengan ngeri. Hanya itu
yang dapat dilakukannya. Sangkala telah menotok urat
bicaranya, sehingga gadis itu tidak mampu mengeluarkan
suara sedikit pun.
"Trijati...," terdengar Sangkala berdesis pelan,
"Sungguh tidak kusangka bisa menikmati tubuhmu..."
Usai berkata, pemuda berwajah bopeng itu menindih
Trijati. Dengan kasar dan buas diciuminya wajah putri Ki Ageng Sera. Tidak hanya
itu. Bagaikan bermata, kedua
tangannya menanggalkan pakaian calon korbannya satu
persatu. Dengan mulut mengulum bibir Trijati dengan buas,
Sangkala berhasil melucuti pakaiannya dan pakaian Trijati.
Sekarang tubuh keduanya telah polos sama sekali, tanpa selembar benang pun
menutupi. Seperti juga waktu menjarah tubuh Wulan dan
Widuri, kali ini pun Sangkala terlihat demikian bersemangat.
Tidak hanya wajah Trijati saja yang dicium. Dengan ganas, kasar, dan penuh nafsu
diciuminya juga leher Trijati, terus turun ke dada.
Ingin rasanya Trijati menjerit sekeras-kerasnya agar
ada yang datang menolong. Tapi ada daya" Tidak ada sedikit pun suara keluar dari
kerongkongannya. Karena takut dan ngeri akan bahaya yang tengah mengancam,
Trijati menangis tanpa suara. Hanya linangan air mata yang menjadi tanda ke
hancuran hatinya.
2 Napas Sangkala memburu seperti habis berlari jauh
ketika menciumi sekujur tubuh Trijati. Tangannya sibuk
bergerilya. Meraba dan meremas apa yang dapat diremas.
Tak lama kemudian, sekujur tubuh Sangkala menegang
beberapa saat sebelum akhirnya mengendur kembali.
Sangkala tersenyum puas seraya bangkit dari tubuh
Trijati. Dihapusnya peluh yang membasahi sekujur tubuh, tanpa mempedulikan
Trijati yang merasa dunia mendadak
gelap. Linangan air mata pada kedua pipinya menjadi tanda kehancuran hati putri
Ki Ageng Sora. Tapi, di saat Sangkala tengah sibuk dengan pekerjaannya,
pendengarannya yang
tajam menangkap suara langkah-langkah kaki mendekati
tempat itu. Walaupun dari bunyi langkahnya Sangkala tahu
kepandaian pemiliknya tidak perlu dikhawatirkan, tapi
pemuda itu tidak berani menganggap remeh. Jika
keberadaannya diketahui, bahaya besar mengancamnya. Di
situ ada Dewa Arak dan kawannya! Kalau mereka
mengeroyoknya pasti dia akan dapat dirobohkan! Sangkala tidak menginginkan hal
itu terjadi. Maka, Sangkala buru-buru memberesi pakaiannya dan mengenakan dengan
tergesa-gesa. Kriiittt...! Bertepatan dengan selesainya Sangkala berpakaian
terdengar bunyi bergerit nyaring diiringi membukanya daun pintu kamar.
Sangkala terkejut. Saat itu juga dia sadar tidak ada
kesempatan baginya untuk kabur atau bersembunyi.
Dugaannya tidak keliru. Di ambang pintu berdiri sesosok tubuh kekar seorang
pemuda. Ranjita!
"Kau...! Keparat...!"
Ranjita bukan main terkejutnya melihat
pemandangan yang terpampang di hadapannya. Saat itulah
Sangkala mengibaskan tangan kirinya.
Wusss! Serangkum angin dahsyat menyambar ke arah
Ranjita. Tibanya begitu mendadak, sangat cepat. Padahal saat itu putra Ki Rawung
sedang tidak bersiap. Maka....
Desss! "Aaakh...!"
Pekikan menyayat keluar dari mulut Ranjita.
Tubuhnya terlempar ke belakang. Darah segar memancar
deras dari mulut, hidung, dan telinga. Seketika itu pula nyawa Ranjita melayang
ke alam baka. Tapi Sangkala hanya memperhatikan sekilas.
Pemuda itu menyadari keadaannya yang tidak
menguntungkan, maka tubuhnya segera berbalik. Sangkala
bermaksud melarikan diri. Dasar Sangkala memang memiliki watak keji! Dalam
kedudukan seperti itu, masih sempat juga dikirimkan totokan jarak jauh ke arah
Trijati. Cittt, tasss! Tanpa mampu menjerit karena urat bicaranya telah
ditotok, Trijati terkulai lemas. Nyawanya telah melayang.
Totokan jarak jauh Sangkala memecahkan ubun-ubunnya!
Saat itulah Dewa Arak muncul di ambang pintu.
Jeritan menyayat Ranjita terdengar jelas olehnya dan yang lainnya, yang masih
terlibat percakapan. Serempak mereka melesat ke arah asal suara. Dewa Araklah
yang tiba lebih dulu.
Sekarang, begitu berada di ambang pintu dan melihat
Sangkala melesat keluar, kedua tangannya segera
dihentakkan. Dewa Arak mengirimkan serangan pukulan
jarah jauh. Wusss! Gelombang angin dahsyat meluncur ke arah
Sangkala. Pemuda berwatak bejat itu tampak sangat terkejut.
Disadarinya betapa berbahaya serangan jarak jauh Dewa
Arak. Tangannya segera dikibaskan memapaki serangan itu
dengan pengerahan seluruh tenaga dalamnya. Sehingga....
Blarrr! Bunyi menggelegar seperti halilintar menyambar
terdengar begitu dua pukulan jarah jauh berbenturan.
Ruangan itu bergetar hebat seperti akan runtuh. Tubuh Dewa Arak terjengkang ke
belakang. Demikian pula Sangkala.
Benturan dahsyat itu mengakibatkan tubuhnya terpental ke depan menabrak sebagian
jendela. Brakkk! Tubuh Sangkala terus meluncur ke bawah. Kamar
Trijati memang berada di lantai dua.
Rupanya nasib buruk masih menyertai Sangkala. Di
saat tubuhnya melayang ke bawah, murid-murid Perguruan Banteng Putih yang sudah
mengetahui ada keributan di
dalam bangunan menyambut luncuran tubuh Sangkala
dengan tusukan senjata.
Sangkala kelihatan tidak gugup. Tanpa ragu
dipapakinya tusukan beraneka ragam senjata itu dengan
tangan dan kaki telanjang!
Tak, tak, takkk!
Bunyi berdetak keras terdengar ketika tangan dan
kaki Sangkala berbenturan dengan senjata-senjata itu. Tubuh murid-murid
Perguruan Banteng Putih terhuyung-huyung ke belakang dengan tangan terasa sakit.
Sedangkan Sangkala mempergunakan tenaga
benturan itu untuk bersalto beberapa kali. Kemudian
mendarat di luar kepungan. Dan dengan secepatnya melesat meninggalkan tempat
itu. Tentu saja murid-murid Perguruan Banteng Putih tidak membiarkannya. Mereka
bergegas mengejar. Tapi, mereka kalah cepat dengan Dewa Arak!
Laksana bayangan, pendekar muda yang julukannya
menggemparkan dunia persilatan itu menguntit di belakang Sangkala.
Di belakang Dewa Arak, Melati, Jayeng Praja,
Pendekar Tinju Maut, dan yang lainnya ikut mengejar.
Meskipun kecepatan lari mereka tidak seperti Dewa Arak maupun Sangkala, tapi
tetap saja pengejaran terus dilakukan.
Semua itu diketahui dengan pasti oleh Sangkala. Itu sebabnya kecepatan larinya
ditambah. Dewa Arak mengerutkan sepasang alisnya ketika
melihat Sangkala melesat ke belakang. Mengapa penjahat keji itu tidak melesat ke
depan" Pemuda berambut putih
keperakan itu tidak menduga Sangkala mempunyai rencana
lain sehingga memilih melarikan diri melalui jalan belakang.
Sebagai bekas murid Perguruan Banteng Putih
Sangkala tentu saja mengetahui seluk-beluk bangunan.
Pemuda itu tahu di belakang terdapat gudang. Sebuah tempat yang kumuh karena
jarang dibersihkan. Malah dibiarkan begitu saja. Ke sanalah Sangkala menuju!
Masih berjarak beberapa tombak dari pintu gudang, Sangkala telah
menghentakkan kedua tangannya.
Wusss! Brakkk! Daun pintu gudang langsung hancur berantakan.
Serpihan kayu berpentalan tak tentu arah. Tak mampu
menahan pukulan jarak jauh Sangkala yang dahsyat.
Tanpa menunggu lebih lama, Sangkala melesat ke
dalam dan menyelinap! Dewa Arak tidak berani bertindak
gegabah dengan begitu saja masuk. Bukan tidak mungkin
Sangkala telah menunggu dan akan membokongnya. Pemuda
itu tampak sangat hati-hati ketika melesat masuk ke dalam gudang. Tapi sikap
Dewa Arak sia-sia. Tidak terjadi hal-hal yang dikhawatirkan saat telah berada di
dalam. "Hm...."
Dewa Arak menggumam pelan seraya merayapi
tempat itu dengan pandang matanya. Terlihat jelas tempat itu sudah lama tidak
terurus. Debu tebal memenuhi ruangan.
Bahkan sarang laba-laba tersebar di setiap sudut.
Gudang itu berbentuk persegi panjang. Ukurannya
kurang lebih tiga kali dua tombak. Cukup luas. Bahkan
kelihatan terlalu luas. Karena isinya tidak banyak dan tidak ada yang tinggi
atau besar. Jadi, tak ada yang dapat dijadikan tempat untuk bersembunyi.
Demikian kesimpulan pemuda
berambut putih keperakan itu.
Arya menjadi penasaran. Itu berarti Sangkala
berhasil mengecoh dirinya lagi. Sangkala lenyap kembali seperti sebelumnya!
"Apa yang terjadi, Kang?" tanya Melati yang telah berada di belakang Arya.
"Si keparat itu lenyap lagi, Melati," jawab Arya putus asa.
Bisa dimaklumi perasaan hati Arya saat itu. Di
gudang tidak terlihat Sangkala. Padahal, pintu dan jendela tertutup rapat serta
dipenuhi debu tebal. Ini membuktikan tidak ada seorang pun yang telah keluar
dari dalam gudang.
"Lalu ke mana perginya, Sangkala?" pertanyaan itu bergayut di benak Dewa Arak.
"Bagaimana, Dewa Arak?" begitu tiba, Jayeng Praja mengajukan pertanyaan.
Sementara pandangannya
diedarkan ke sekeliling ruangan.
Dewa Arak hanya mengangkat bahu.
"Mustahil!" desis Pendekar Tinju Maut yang juga telah tiba. Nada suaranya
menyiratkan ketidakpercayaan,
"Mungkinkah dia bisa menghilang atau menembus dinding?"
"Apa pun caranya, yang jelas Sangkala mampu
meloloskan diri dari kejaran kita!" timpal Ki Rawung tanpa menyembunyikan rasa
takut dan ngeri yang mencekam
hatinya. "Maaf, Ki. Kalau menurut pendapatku... tidak
mungkin Sangkala meloloskan diri dengan menembus
dinding atau menghilang," ujar Dewa Arak.
Jayeng Praja, Pendekar Tinju Maut, dan Ki Rawung
segera mengalihkan tatapannya.
"Mengapa kau berpendapat demikian, Dewa Arak?"
tanya Pendekar Tinju Maut tidak sabar. Sementara Jayeng Praja dan Ki Rawung
menganggukkan kepala mendukung
pertanyaan itu.
Arya tidak segera menjawab. Pemuda itu terdiam
beberapa saat "Memang aku mempunyai alasan yang cukup kuat,"
ujar pemuda berambut putih keperakan itu, "Pertama, berdasarkan pengalamanku
sendiri ketika untuk pertama kali dia berhasil menyelamatkan diri secara aneh.
Kedua adalah sifat ilmu yang disebutkan Pendekar Tinju Maut. Maaf, bukan maksud-
ku menggurui."
"Buang jauh-jauh perasaan tidak enak itu, Dewa
Arak. Dan jelaskan maksud ucapanmu. Aku belum mengerti
maksudmu!" sergah Pendekar Tinju Maut.
"Baiklah, Ki. Aku akan menjelaskannya. Pertama kali Sangkala berhasil meloloskan
diri dariku adalah ketika dia menyelinap ke balik semak-semak. Berdasarkan itu
rasanya tidak mungkin dia menggunakan ilmu yang dapat membuat
raganya menembus dinding! Sebab untuk apa ilmu itu
digunakan" Tubuhnya tetap terlihat. Jadi, kemungkinan dia
menggunakan ilmu 'Halimun'."
Sampai di sini Dewa Arak menghentikan uraiannya.
Dilihatnya Jayeng Praja, Pendekar Tinju Maut, Ki Rawung, dan yang lainnya
mengangguk-angguk membenarkan
pendapatnya. "Tapi, pendapat ini pun kurasa tidak benar. Bila
Sangkala memiliki ilmu 'Halimun' pasti digunakannya dalam pertarungan. Dengan
tubuh yang tidak terlihat, lebih mudah baginya untuk mengalahkan lawan," lanjut
Arya. "Rasanya hal itu mustahil bila melihat keadaan di sini. Tidak mungkin
lenyapnya Sangkala karena menggunakan ilmu 'Halimun'."
"Jelaskan alasan ketidaksetujuanmu dengan dugaan
itu, Dewa Arak!" sergah Pendekar Tinju Maut
"Karena... sepengetahuanku..., ilmu 'Halimun' tidak membuat raga kita
menghilang. Tapi hanya menipu
pandangan orang. Dengan kata lain, orang yang
bersangkutan tetap berada di tempat itu. Hanya mata orang lain tidak melihatnya.
Jadi... bila Sangkala mempergunakan ilmu 'Halimun', dia masih berada di sini!
Apakah kalian semua yakin dia masih berada di sini"!"


Dewa Arak 53 Penjarah Perawan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Arya menutup penjelasannya dengan pertanyaan.
Pandangannya diedarkan berkeliling ingin melihat tanggapan orang-orang yang
hadir. Tapi semuanya terdiam. Tak satu pun memberikan tanggapan.
"Menurutku, Sangkala tidak berada di sini. Kalau dia ada..., tentu kita akan
diserangnya. Dengan keadaannya yang tidak terlihat sangat mudah baginya membunuh
kita satu persatu," sambung Arya menguatkan pendapatnya.
Tanpa sadar semua yang berada di situ kembali
mengangguk-anggukkan kepala.
"Kalau begitu..., bagaimana penjahat bejat itu bisa berada di kamar Trijati,
Dewa Arak"! Padahal, penjagaan sangat ketat. Kami yakin bila Sangkala melakukan
cara yang wajar akan diketahui kedatangannya," ujar Bongara.
Murid-murid Perguruan Banteng Putih tampak
mendukung ucapan Bongara. Pandangan mereka
mengatakan semua itu. Mereka merasa telah menunaikan
tugas dengan baik. Tapi, mengapa Sangkala dapat masuk
juga" Itu yang tidak mereka mengerti.
"Hal itulah yang ingin kutanyakan pada kalian," ujar Dewa Arak cepat, "Perlu
kalian ketahui, menurut dugaanku kemungkinan besar ini benar. Sangkala masuk ke
tempat ini dengan tidak wajar. Apa ilmu yang digunakannya, belum bisa ditebak.
Yang pasti jenis ilmu di dunia persilatan sangat beragam. Banyak! Bahkan tidak
terhitung. Banyak di
antaranya yang tidak masuk akal! Karena itu, aku ingin mengajukan pertanyaan
pada para penjaga. Apa kalian tidak melihat sesuatu selama berjaga-jaga. Apa
saja, masuk akal maupun tidak!"
Suasana langsung hening ketika Dewa Arak
menyelesaikan perkataannya. Murid-murid Perguruan
Banteng Putih saling berpandangan. Dahi mereka berkernyit mencoba mengingat-
ingat "Ah...! Aku ingat...!" ucap salah seorang dari mereka yang bertubuh kecil kurus.
Ucapan yang dikeluarkan
setengah berteriak itu membuat semua orang menoleh ke
arahnya. "Katakan, Tambu...!" perintah Ki Rawung tak sabar.
"Di saat tengah berjaga aku melihat sosok hitam
sebesar kepalan tangan melesat masuk. Tapi, aku tidak
peduli. Saat itu pikiranku hanya tertuju pada Sangkala.
Seorang manusia! Bukan binatang!" jelas murid Perguruan Banteng Putih yang
bernama Tambu. "Sosok hitam sebesar kepalan tangan"! Apa kau tidak melihat dengan lebih jelas,
Tambu?" tanya Arya meminta penegasan.
Tambu terdiam. Laki-laki itu kelihatan ragu-ragu
untuk mengatakannya.
"Katakanlah, Tambu. Jangan ragu-ragu. Percayalah.
Sedikit apa pun keterangan yang kau berikan akan berguna
banyak untuk melenyapkan Sangkala selama-lamanya,"
dukung Arya. "Apa yang dikatakan Dewa Arak benar, Tambu.
Katakanlah. Jangan ragu-ragu," timpal Jayeng Praja ikut memberi semangat.
"Aku tidak yakin akan penglihatanku.... Sosok hitam itu terbang sangat cepat.
Tapi, dari cara terbangnya bisa kutebak sosok hitam itu adalah kelelawar!"
"Kelelawar"!"
Ucapan itu serempak keluar dari mulut semua orang
yang berada di situ. Tak terkecuali Dewa Arak dan Melati.
"Apa kau tidak salah lihat, Tambu"!" sergah Ki Rawung. "Kelelawar" Di siang hari
seperti ini"! Ah! Kurasa kau mengada-ada!"
Seketika itu pula wajah Tambu merah padam
menahan malu. Tapi sebelum sempat menyesali keterangan
yang diberikannya, dukungan untuknya pun datang.
"Kurasa dia tidak mengada-ada, Ki! Aku yakni
Tambu tidak salah lihat! Sosok hitam yang dilihat Tambu mungkin saja kelelawar.
Sedang kemunculannya pada waktu yang tidak tepat karena binatang itu bukan
kelelawar biasa.
Kelelawar itu merupakan penjelmaan Sangkala!" urai Arya.
"Kau mempercayai keterangannya, Dewa Arak?"
tanya Kepala Desa Kawung setengah tak percaya.
"Benar!" Mantap dan tegas jawaban pemudi
berambut putih keperakan itu. "Tidak ada alas an bagiku meragukannya, Ki. Bukti-
bukti yang kutemukan cukup
mendukung keterangan Tambu!"
"Bisa kau jelaskan bukti-bukti yang kau maksud,
Dewa Arak?" kejar Ki Rawung masih tak percaya.
"Tentu, Ki," Dewa Arak menganggukkan kepala,
"Pertama, waktu Sangkala lenyap ketika menyelinap di balik semak-semak dan
pepohonan aku menemukan beberapa ekor
kelelawar. Aku yakin satu di antaranya merupakan jelmaan Sangkala. Kedua,
lenyapnya Sangkala di sini. Kalian saksikan
sendiri, hanya binatang kecil seperti kelelawar yang mampu melewati lubang kecil
di atas pintu itu"
Ki Rawung terdiam. Demikian pula Jayeng Praja,
Pendekar Tinju Maut, dan yang lainnya. Sesaat kemudian, beberapa murid Perguruan
Banteng Putih yang bertugas di bagian belakang angkat bicara.
"Dugaan Dewa Arak benar! Kami melihat seekor
kelelawar keluar dari dalam gudang ini. Sayang kami tidak tahu kelelawar itu
penjelmaan Sangkala. Kalau tidak... sudah kami sate dia!" geram lelaki bertahi
lalat besar di pipi kanan.
"Ah...! Benar demikian"!" tanya Arya penuh
semangat. "Benar!" jawab laki-laki bertahi lalat sambil menganggukkan kepala.
"Kalau demikian, sekarang telah kita ketahui cara
Sangkala menghilang. Tapi, ingat jangan ada seorang pun yang membocorkannya.
Bila hal ini sampai terdengar
Sangkala, pasti dia akan bertindak lebih hati-hati!" ujar Dewa Arak
mengingatkan. "Apa yang kau katakan benar, Dewa Arak. Lebih baik kita bersikap seolah-olah
tidak mengetahui cara dia
meloloskan diri. Mau tidak mau ini akan membuat
kewaspadaannya berkurang. Dengan demikian, kesempatan
meringkusnya hanya tinggal menunggu waktu yang tepat!"
dukung Pendekar Tinju Maut, "Bukankah demikian, Jayeng"''
"Benar," Jayeng Praja mengangguk, "Tapi...
kemungkinan besar aku tidak bisa ikut membantu meringkus penjahat keji itu...."
"Mengapa, Jayeng" tanya Pendekar Tinju Mau heran.
"Hhh...!" Jayeng Praja menghela napas, "Kau kan tahu, Loka. Perguruanku tengah
dilanda musibah. Aku harus kembali ke perguruan dan mengabarkan kepada saudagar
itu akan kejadian yang menimpa putrinya. Entah bagaimana
jadinya...."
Seketika orang-orang pun terdiam. Mereka bisa
menerima alasan yang dikemukakan Ketua Perguruan
Harimau Terbang. Mereka tahu tidak mungkin menahan-
nahan kepergian Jayeng Praja.
"Lagi pula... di sini tenagaku tidak berarti. Berbeda dengan di perguruanku. Di
sana kehadiran dan tenagaku
sangat dibutuhkan! Dengan keberadaan Dewa Arak di sini, sepuluh orang sepertiku
pun sudah tidak berarti. Sekarang juga aku mohon diri kepada kalian semua...,"
usai berkata, Jayeng Praja mengayunkan kaki meninggalkan tempat itu.
Sementara semua yang hadir hanya bisa menatap
kepergiannya. "Hhh...!"
Terdengar helaan napas berat. Ternyata Ki Rawung
yang mengeluarkannya, "Aku pun tidak bisa berlama-lama di sini. Ranjita anakku,
telah meninggal. Aku harus mengurus pemakamannya."
"Sabar, Rawung," cegah Pendekar Tinju Maut, "Lebih baik kita mengurusnya
bersama-sama. Bukan hanya Ranjita yang tewas di tangan Sangkala. Trijati pun
demikian. Biarlah aku mewakili kawanku, Ki Ageng Sora, untuk mengurus
perguruannya. Kurasa dia tidak keberatan."
Sesaat kemudian dengan didahului Pendekar Tinju
Maut dan Ki Rawung, rombongan itu bergerak meninggalkan gudang. Tujuan mereka
jelas. Tempat pemakaman.
3 Sementara itu, jauh dari Perguruan Banten Putih,
orang yang tengah dibicarakan sedang terbaring lemah
dilantai sebuah rumah kosong yang sudah tidak berpenghuni.
Tampaknya Sangkala terluka.
''Keparat! Kalau tidak ada kawan-kawannya, sudah
kuhancur lumatkan pemuda berambut setan itu'' Desis
Sangkala sangat geram. Kemudian pemuda berwatak bejat itu mengusap dadanya.
Bagian itu terasa sesak akibat
berbenturan pukulan jarak jauh dengan Dewa Arak.
Tapi ini tidak menjadi bukti tenaga dalam Sangkala
berada di bawah Dewa Arak. Yang jelas kedudukan Dewa
Arak lebih menguntungkan. Sangkala tidak sempat
mengerahkan seluruh tenaganya ketika mengadu benturan
dengan lawan. Sebab waktunya tidak memungkinkan.
''Kelak akan kucari pemuda berambut setan itu. Akan
kubuktikan siapa di antara kami yang paling hebat!'' Desis Sangkala penuh
dendam. "Hhh...!"
Sangkala menghela napas berat. Dibiarkannya
angan-angannya melayang ke masa beberapa bulan lalu.
Sewaktu dirinya belum memiliki kekuatan seperti ini. Saat itu dia sedang
dikejar-kejar rombongan dari Desa Kawung yang dipimpin Ki Ageng Sora.
Sangkala tidak tahu Ranjita dan Bongara ikut terjun
ke dalam danau untuk menangkapnya. Sayangnya Ranjita
tidak berani meneruskan pencariannya karena lubang
dinding danau yang mempunyai daya tarik luar biasa.
Rombongan dari Desa Kawung pun gagal menangkapnya.
(Untuk lebih jelasnya, silakan baca serial Dewa Arak dalam episode "Manusia
Kelelawar")
Sebenarnya ke manakah perginya Sangkala"
Benarkah seperti yang diduga Ranjita" Benarkah Sangkala masuk ke dalam rongga di
salah satu dinding danau"
Kesimpulan yang didapat Ranjita memang tidak
keliru! Sangkala berenang melalui rongga itu. Bukan karena sengaja, tapi secara
kebetulan! Kalau Ranjita langsung mundur begitu melihat
keanehan pada lobang itu, tidak demikian dengan Sangkala!
Ketidakinginan mati secara menyedihkan membuat Sangkala bertindak nekat. Tanpa
kenal takut didekatinya lubang itu.
Luar biasa! Meskipun jaraknya masih dua tombak,
tubuh Sangkala terseret ke arah lubang. Sangkala yang telah nekat dan lebih rela
mati di danau itu tidak melakukan perlawanan. Maka dengan mudah tubuhnya
tertarik ke lubang hingga masuk ke dalamnya.
Ternyata kekuatan yang ada di balik lobang itu lebih
dahsyat. Sangkala yang telah lelah karena pengaruh luka-lukanya tidak kuat
bertahan. Dia pingsan!
Entah berapa lama pemuda itu tidak sadarkan diri.
Yang diketahuinya begitu sadar dia telah berada di sebuah ruangan berhawa
lembab. Di dekatnya terdapat sebuah
sumur yang airnya bergolak ke atas.
Dari keadaan ini Sangkala segera dapat menarik
kesimpulan. Tubuhnya dilemparkan ke sini oleh air yang bergolak ke atas itu.
Sangkala memperhatikan keadaan
sekelilingnya. Lumut dan tumbuhan air menghiasi sekeliling ruangan.
"Akh...!"
Sangkala memekik kesakitan ketika berusaha
bangkit. Pemuda itu segera teringat akan luka-luka yang dideritanya. Ya! Pada
empat bagian tubuhnya telah
menancap pisau-pisau Ki Ageng Sora.
Teringat akan hal itu Sangkala mengarahkan
pandangan ke belakang pahanya. Pemuda berwajah bopeng
itu terkejut. Tidak dijumpainya pisau-pisau itu ada di sana.
Sangkala terheran-heran. Bukankah dia belum mencabutnya"
Mengapa pisau-pisau itu tidak ada lagi"
Rasa penasaran membuatnya memeriksa pung-
gungnya. Hasil yang didapatkan Sangkala tak berbeda. Pisau-pisau yang menancap
punggung kanan dan kirinya juga
sudah tidak ada, walaupun rasa sakit masih mendera.
Mungkinkah pisau-pisau itu terlepas sendiri ketika tubuhnya tertarik ke rongga
dinding danau kecil itu" Tanya Sangkala dalam hati. Atau ada kemungkinan lain"
Tapi hanya sebentar Sangkala membiarkan benaknya
dipenuhi pertanyaan-pertanyaan itu. Sesaat kemudian
dilupakannya. Dia tahu pertanyaan itu tak bisa dijawabnya.
Sangkala memutuskan untuk memeriksa ruangan
tempatnya terdampar. Meskipun rasa sakit mendera sekujur tubuh dan tenaga yang
ada hanya tinggal sisa-sisa, pemuda itu berusaha bangkit. Dengan tertatih-tatih
dan lebih mendekati merangkak
daripada berjalan, Sangkala
meninggalkan tempatnya berbaring. Pemuda itu mulai
memeriksa sekitar ruangan. Hasil yang didapatkannya benar-benar mengejutkan!
Ruangan itu ternyata tidak mempunyai jalan keluar.
Tapi ada dua buah lubang. Yang satu sebuah lubang bergaris tengah hampir satu
tombak dan berjarak sekitar enam
tombak dari sumur aneh itu. Tapi lubang itu tertutup batu besar dari luar. Besar
dan tampak kokoh.
Sementara lubang yang lain tidak menghubungkan
tempat itu dengan dunia luar. Lubang yang ukurannya lebih kecil dari yang
pertama menghubungkan ruangan tempat
Sangkala berada dengan ruangan lain yang lebih kecil, berbentuk persegi panjang.
Ukurannya tak lebih dari tiga dua tombak.
Tapi justru karena tempat yang kecil itu Sangkala
terpekik kaget. Langkahnya terhenti di pinggiran lubang.
Sepasang matanya hampir tidak berkedip. Sangkala menatap ke salah satu dinding
ruangan itu. Pemandangan yang
mengejutkan memang berada di sana. Tampak sebuah
kerangka manusia dalam keadaan duduk bersila. Kedua
tangannya dengan jari-jari terbuka berada di atas lutut.
Setelah berhasil menguasai perasaan, baru Sangkala
mengayunkan langkah mendekat. Rasa kagum dan sangat
ngeri menggayuti hatinya. Sangkala tahu kerangka itu pasti milik seorang tokoh
persilatan. Yang aneh, mengapa meski telah mati tengkoraknya tidak rubuh" Ini
merupakan peristiwa yang mengejutkan. Sangkala menduga tokoh itu
sangat pandai dan berilmu tinggi. Tapi mengapa dia tewas
dalam keadaan seperti itu"
Sambil terus melangkah, Sangkala mengedarkan
pandangan berkeliling. Pada dinding yang berada di sebelah ruangan dilihatnya
guratan-guratan berbentuk tulisan.
Perasaan ingin tahu membuat Sangkala
mengarahkan langkahnya ke tempat guratan berada. Hanya
dalam beberapa tindak, dia telah berada di dekat dinding itu.
Seperti yang diduganya semula, guratan-guratan itu memang berupa tulisan. Bekas
murid Perguruan Banteng Putih itu sempat kaget ketika mengetahui tulisan itu
dibuat dengan jari tangan manusia!
Sangkala semakin bertambah yakin orang yang telah
menjadi tengkorak itu memang seorang tokoh tingkat tinggi.
Sebab membutuhkan tenaga dalam tinggi untuk
mengguratkan jari pada dinding ruangan yang terbuat dari batu keras itu.
***

Dewa Arak 53 Penjarah Perawan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dengan penuh minat, Sangkala membaca tulisan
yang tertera di dinding.
Belasan tahun menanggung rindu
Menyiksa diri untuk menuntut ilmu
Semua itu demi si dara ayu
Yang menembakkan panah asmara di hatiku
Harapan hanya tinggal angan
Si dara ayu menolak pinangan
Tak ada guna semua kepandaian
Lebih baik kutemui kematian
"Hhh...!"
Sangkala menghela napas selesai membaca tulisan
itu. Kini telah diketahuinya sedikit riwayat hidup tokoh yang telah menjadi
tengkorak itu. Tokoh itu ternyata mencintai seorang wanita. Untuk
menarik hatinya, ia berkeras sampai memiliki ilmu yang
tinggi. Tapi sayang cintanya ditolak si dara ayu. Tokoh itu patah hati. Putus
asa. Lalu bunuh diri. Rasa simpati muncul di hati Sangkala. Nasib tokoh itu sama
benar dengan dirinya.
Teringat akan tokoh yang telah menjadi tengkorak
membuat Sangkala mengalihkan pandangan; ke arahnya.
Diperhatikannya beberapa saat sebelum kakinya
dilangkahkan mendekat.
"Kasihan kau, Kisanak," desis Sangkala penuh haru ingat akan dirinya sendiri.
"Kau hidup sendirian. Tidak ada yang menemani. Bahkan sampai mati kau masih
tersiksa. Tidak ada yang menguburmu. Tunggulah sebentar. Akan
kubuatkan tempat beristirahat yang layak untukmu. "
Sangkala lalu menggali sebuah lubang di dalam
ruangan. Untung pemuda itu menemukan sebuah pedang.
Dengan senjata itu, dia membuat lubang kuburan. Susah
payah Sangkala melakukan sema itu. Keadaan dirinya
memang tidak memungkinkan. Ditambah lagi tanah di
tempat itu keras bukan main.
Akhirnya setelah memakan waktu cukup lama
terbentuk juga sebuah lubang untuk mengubur kerangka itu.
Semangat Sangkala pun bangkit. Tanpa disadari tubuhnya
mulai agak segar karena terbawa semangat. Sangkala
kemudian beranjak menghampiri tengkorak tokoh yang
malang itu. Untuk terakhir kali, dipandanginya kerangka itu.
Setelah merasa cukup, Sangkala mengulurkan tangan
ingin mengangkat kerangka itu dan menguburkannya.
Khawatir akan menyebabkan kerusakan, Sangkala bertindak hati-hati sekali.
Dicarinya bagian yang sekiranya tidak menimbulkan kerusakan bila kerangka itu
diangkat. Dan ketika sudah merasa yakin akan pilihannya,
Sangkala menjulurkan tangan. Dengan hati-hati dicekalnya kerangka itu dan
diangkatnya. Tapi baru saja kerangka itu terangkat sedikit, tiba-tiba....
Grrrggghhh...! Bunyi berderak terdengar keras. Sangkala terperanjat
dan melangkah mundur. Ruangan itu terasa bergetar.
Dengan rasa tegang, Sangkala menunggu kejadian
selanjutnya. Ternyata bunyi berderak keras dan bergetarnya ruangan itu terjadi
karena bergesernya lantai ruangan
sehingga tercipta rongga! Di dalamnya tampak sebuah peti kecil berwarna hitam
dan berukir. Pemandangan yang terpampang di hadapannya
membuat Sangkala merasa heran. Apa isi peti itu"
Pertanyaan itu bergelayut di benaknya. Tapi Sangkala tidak memikirkan lebih
jauh. Diputuskannya untuk mengubur
kerangka itu lebih dulu. Seperti sebelumnya, Sangkala
memasukkan kerangka itu dengan hati-hati.
Saat itulah terjadi peristiwa yang mengejutkan. Dari
bagian atas ruangan yang tepat berada di atas lubang tempat peti hitam berada
meluncur puluhan batang tombak! Bunyi mendesing nyaring mengiringi luncuran
tombak-tombak hingga menancap di dasar lubang. Beberapa di antaranya
mengenai peti! "Ah...!"
Sangkala bergidik melihatnya. Kalau tadi dia
bertindak ceroboh dan langsung memutuskan mengambil
peti itu, pasti sudah tewas tersate. Lubang berbentuk bujur sangkar dengan
panjang sisi satu tombak itu dipenuhi
luncuran tombak dalam jumlah tak kurang lima puluh
batang! Bagaimana dia bisa selamat"
Sangkala lalu melanjutkan pekerjaannya yang
tertunda. Ditimbuninya lubang yang baru dibuatnya dengan batu-batu dan tanah.
Tak lupa dipasangnya sebuah batu
berbentuk persegi sebagai nisannya. Setelah itu, Sangkala mengalihkan perhatian
pada lubang tempat peti hitam
berada. Tapi lubang tidak bisa dimasuki lagi. Karena
dipenuhi tancapan tombak.
Namun itu tidak menjadi halangan bagi Sangkala.
Tanpa menemui kesulitan dicabutnya tombak-tombak itu.
Satu persatu! Berdiri bulu kuduk pemuda berwajah bopeng itu melihat ujung tombak
bersemu kehijauan pertanda
mengandung racun! Sangkala ngeri membayangkan dirinya
menjadi sasaran tombak-tombak itu.
*** Dalam waktu singkat semua tombak-tombak itu
berhasil dicabut Sangkala. Sekarang lubang itu terlihat lagi.
Demikian pula peti kecil berukir itu.
"Hhh...!"
Sangkala menghela napas lega. Tubuhnya direbahkan
sebentar untuk beristirahat. Tampaknya pemuda berwajah
bopeng itu telah banyak mengeluarkan tenaga. Padahal, saat itu keadaannya kurang
menguntungkan. Tak heran bila dia dilanda rasa lelah yang sangat. Sangkala tidak
terlalu lama beristirahat. Ketika rasa lelah mulai berkurang,
diputuskannya untuk meneruskan maksudnya.
"Hih!"
Jliggg! Meskipun dengan agak terhuyung, Sangkala berhasil
hinggap di dasar lubang tempat peti berada. Diambilnya peti itu, dan dibawanya
naik ke atas. Apa isi peti kecil ini"
Pertanyaan itu kembali muncul di benaknya.
Karena dorongan rasa ingin tahu yang memuncak,
Sangkala membukanya. Peti kecil itu ternyata tidak dikunci.
Sehingga Sangkala tidak menemui kesulitan.
Klakkk! Tutup peti berhasil dibukanya. Tampak setumpuk
lembaran kulit binatang berisikan tulisan. Sangkala
mengambil lembar pertama dan membacanya.
Muridku... Apabila surat ini telah kau baca, berarti kau telah menjadi muridku. Kuucapkan
selamat! Karena kau akan mewarisi ilmu-ilmu tingkat tinggi. Dengan berhasilnya
kau membaca surat ini, kau telah lulus dari dua buah ujian yang kuberikan.
Sekali lagi, selamat.
Tertanda: Gurumu.
Sangkala mengangguk-angguk tanda mengerti.
Diam-diam pemuda berwajah bopeng itu kagum akan siasat
yang dipergunakan tokoh misterius itu. Jika tadi dia bersikap tidak peduli pada
kerangka nya, pasti tidak akan menjadi murid tokoh itu.
Tapi hal yang lebih menyeramkan akan dialami bila
dia melupakan kerangka yang akan dikuburnya. Bila saat itu dia sampai
terpancing, mungkin sekarang Sangkala telah
menjadi sate. Sangkala kembali mengulurkan tangan
mengambil lembaran yang kedua. Kemudian dibacanya.
Muridku.... Telah kuputuskan untuk mewariskan sebuah ilmu
yang lebih pantas dikatakan ilmu mukjizat. Ilmu ini kunamakan jurus 'Kelelawar'.
Karena kuambil dan
kuciptakan berdasarkan perilaku binatang itu dalam
mempertahankan hidupnya. Baik ketika menghadapi musuh maupun calon korbannya.
Ilmu ini kuciptakan bertahun-tahun. Bahkan
belasan tahun. Tapi untukmu telah kubuat sedemikian rupa sehingga kau hanya
membutuhkan waktu empat puluh satu hari untuk menguasainya.
Caranya adalah dengan bertapa. Selama empat
puluh satu hari kau harus bertapa di tempat aku dulu duduk
bersemadi sampai ajal menjemputku.
Muridku... perlu kau ketahui, di waktu kau bertapa
akan terdapat cobaan-cobaan. Hanya dua macam. Setiap kali lulus dari satu
cobaan, kau akan mendapat ganjaran.
Akhirnya kuucapkan selamat berjuang, muridku.
Kudoakan kau berhasil menyelesaikan tapamu.
Gurumu. Sangkala merapikan kembali lembaran-lembaran
kulit binatang itu. Kemudian ditutupnya peti itu, dan
dikembalikan ke tempat semula.
4 Sejak saat itu Sangkala melaksanakan petunjuk yang
diberikan guru tanpa nama itu. Sangkala mulai bertapa.
Dibentuknya sikap seperti orang hendak bersemadi. Duduk bersila dengan punggung
lurus. Tapi kedua tangan Sangkala tidak diletakkan di depan dada. Melainkan
ditaruh di atas kedua lututnya. Napasnya pun biasa. Tidak menuruti aturan
seperti orang bersemadi.
Pemberitahuan yang diberikan gurunya ternyata
bukan hanya bualan. Cobaan mulai datang. Tapi Sangkala
tidak tahu setelah bertapa berapa lama cobaan itu datang.
Cobaan itu terasa aneh bagi Sangkala. Pemuda
berwajah bopeng itu memejamkan mata, tapi dia seperti
melihat jelas cobaan yang melanda.
Cobaan pertama, muncul kobaran api di sekitar
tempatnya bertapa. Dia seperti berada di tengah-tengah.
Sangkala merasakan sekujur tubuhnya panas bukan main.
Semakin lama rasa panas yang mendera semakin menjadi-
jadi. Bahkan Sangkala merasakan tubuhnya seperti terbakar.
Kalau menuruti perasaan, mungkin Sangkala sudah
menyerah. Tapi teringat akan dendamnya pada orang-orang yang mengucilkan
kehidupannya membuat semangatnya
berkobar. Hingga bekas murid Perguruan Banteng Putih itu memutuskan tidak akan
menyerah. Betapapun rasa panas mendera dan dalam pikiran
terlihat tubuhnya ditelan api sehingga tidak terlihat lagi, Sangkala terus
bertahan. Entah berapa lama siksaan api itu melanda, Sangkala tidak tahu. Yang
dirasakan hanya satu, rasa panas yang sangat. Sampai akhirnya api itu mengecil
dan padam sama sekali.
Tapi itu tidak berarti ujian telah berakhir. Sama
sekali tidak! Begitu api padam, muncul cobaan lain. Angin puyuh datang dan
menyergap Sangkala. Kemudian
menerbangkannya ke sana kemari sekehendak hati.
Hampir saja Sangkala menjerit dan membatalkan
tapanya. Tapi kembali ingatan akan dendamnya membuat
pemuda itu berusaha bertahan. Dan seperti juga sebelumnya, angin topan itu
akhirnya lenyap. Seiring dengan lenyapnya angin topan, Sangkala merasakan
dirinya berada di sebuah tempat yang asing. Semua serba putih. Tidak kelihatan
bukit, gunung, batu, pohon maupun rumput. Yang ada hanya
hamparan tanah berwarna putih. Tidak ada sesuatu pun di atas tanah itu.
Sejenak Sangkala kebingungan. Kemudian tanpa
diketahui dari mana datangnya, di hadapan Sangkala telah berdiri seorang kakek
bertubuh sedang berpakaian coklat.
Sebenarnya perawakan tubuh kakek berpakaian coklat itu
gagah. Dadanya bidang, kekar, dan tegap berisi. Tapi, semua itu tertutup oleh
keadaan wajahnya. Wajah kakek itu penuh bopeng seperti bekas kena penyakit
cacar! "Bersiaplah, Sangkala," ujar kakek berpakaian coklat.
Nada suara kakek bopeng itu begitu dingin. Demikian
pula tarikan wajah dan sorot matanya. Sepertinya bukan
milik manusia! Sangkala agak bergidik juga melihatnya. Apalagi
ketika melihat gaya bicara kakek berpakaian coklat itu. Kedua bibirnya tidak
bergerak sedikit pun ketika berbicara. Sesuatu yang unik dan tidak masuk akal.
Demikian pendapat
Sangkala. "Mengapa bengong, Sangkala"!" tegur kakek bopeng tetap dengan nada dingin,
"Jangan membuang-buang waktu.
Aku akan mewariskan jurus 'Kelelawar' andalanku. Kau siap menerimanya?"
"Si... siap, Guru!"
Sangkala berusaha memantapkan jawabannya. Tapi
karena rasa takut masih melanda, suaranya gemetar seperti orang demam.
Namun rupanya kakek berpakaian coklat tidak
mempedulikan perasaan yang bergayut di hati Sangkala.
Begitu dilihatnya pemuda itu menyatakan kesediaan,
langsung saja diberikan petunjuk-petunjuk mengenai jurus
'Kelelawar'. Maka tanpa disadari Sangkala, meskipun pada lahirnya dia bertapa,
tapi badan halus atau apa pun namanya tengah mendapat bimbingan gurunya.
Aneh lagi di tempat yang unik itu Sangkala tinggal
selama sepuluh tahun! Selama itu dia berlatih keras
mempelajari jurus 'Kelelawar'. Hingga Sangkala dapat
mengubah dirinya menjadi kelelawar. Tepat sepuluh tahun, ketika dirasakan
Sangkala telah menguasai jurus 'Kelelawar'
dengan baik, kakek bopeng mengajaknya bicara empat mata.
"Sangkala...!"
"Ya, Guru," jawab Sangkala penuh rasa hormat.
"Kau telah menguasai jurus 'Kelelawar'. Itu berarti waktu perpisahan telah tiba.
Jagalah dirimu baik-baik,
Sangkala. Sekarang tapamu telah selesai. Selamat tinggal..!"
kakek berpakaian coklat yang selama ini telah
membimbingnya kemudian lenyap dari pandangan.
Sangkala yang tidak menyangka perpisahan akan
terjadi secepat ini tampak kaget bukan main,
"Guru...!" seru Sangkala kalap, "Jangan tinggalkan
aku, Guru! Kembalilah, Guru! Guru...!"
Sangkala berlari ke sana kemari memanggil gurunya.
Tapi usahanya sia-sia. Gurunya tetap tidak menunjukkan diri.
Namun Sangkala tidak putus asa. Terus dicarinya kakek
bopeng itu. Tenggorokan dan kakinya sampai lelah tetap saja tidak terlihat
tanda-tanda gurunya akan muncul.
"Ah...! Guru...! Kembalilah, Guru...!" keluh Sangkala setengah putus asa.
Pemuda berwajah bopeng itu menutup wajahnya
dengan kedua belah tangan. Cukup lama dia bersikap
demikian, sebelum akhirnya menyadari kenyataan gurunya
telah pergi. Maka diputuskan untuk menghentikan usahanya.
Kedua tangannya dijauhkan dari wajahnya. Kejadian
selanjutnya benar-benar membuat Sangkala membelalakkan
mata. Dia telah berada di tempat semula. Ruangan tempat dia menemukan kerangka.
Bahkan masih duduk tempat
kerangka itu semula berada.
*** "Ahhh...!"
Sebuah keluhan keluar dari mulut Sangkala. Keluhan


Dewa Arak 53 Penjarah Perawan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ketidak mengertian. Sungguh tidak dimengertinya semua
kejadian yang dialami. Apakah semua itu bukan mimpi dan benar-benar nyata"
Benarkah dia telah mempelajari jurus
'Kelelawar' dari seorang kakek bopeng selama sepuluh tahun di sebuah tempat yang
aneh" Tapi, mengapa sekarang dia berada di tempat ini"
Sangkala menggoyang-goyangkan kepala membuang
semua pertanyaan yang berkecamuk di benaknya. Kemudian
dicobanya untuk mengingat-ingat. Sangkala pun teringat.
Dirinya sedang bertapa agar mendapat ilmu dahsyat dalam waktu singkat. Apakah
ini berarti tapanya telah selesai dan dia telah mendapat jurus 'Kelelawar'"
Seketika itu pula timbul keinginan di hati Sangkala
untuk membuktikannya. Dan betapa gembiranya pemuda itu
ketika dirasakan di bawah pusarnya ada hawa aneh yang
berputaran keras. Sebagai seorang pesilat Sangkala tahu hawa yang berputar itu
adalah tenaga dalam.
"Benarkah aku telah memiliki ilmu yang tinggi?"
Karena penasaran, dicobanya bangkit berdiri. Ingin
dibuktikan sendiri benarkah dia telah menguasai jurus
'Kelelawar' dengan cara yang aneh"
Tapi Sangkala segera mengurungkan niatnya ketika
melihat keadaan dirinya. Tubuhnya kurus kering seperti tidak berdaging. Hanya
tinggal tulang dibungkus kulit!
Hampir saja Sangkala menjerit kaget. Pemuda itu
baru sadar telah sekian puluh hari tidak makan! Empat puluh satu hari hanya
bertapa tanpa makan dan minum. Itu
sebabnya, Sangkala membatalkan maksudnya. Khawatir
dirinya tidak akan sanggup melatih ilmunya.
Sangkala merubah keputusannya. Pemuda itu ingin
mencari makanan untuk mengembalikan keadaan tubuhnya
seperti semula. Tapi ternyata di tempat itu tidak ada sesuatu yang dapat
dimakan. Betapapun Sangkala berusaha mencari, tetap saja tidak diketemukan. Maka
dengan terpaksa
dilahapnya lumut dan jamur yang tumbuh di situ.
Selama beberapa hari Sangkala harus menghilangkan
rasa jijiknya untuk memakan tumbuh-tumbuhan itu.
Sebelum akhirnya dia berhasil keluar dari sana dengan cara menghancurkan batu
besar yang menutup lubang keluar
ruangan itu. *** "Hhh...!"
Sangkala menghela napas berat ketika teringat
kembali akan nasibnya sekarang. Dia berlari tunggang-
langgang menyelamatkan selembar nyawanya. Itu terjadi
karena Dewa Arak ada di tengah-tengah musuhya.
Sangkala sadar selama ada Dewa Arak di Desa
Kawung sulit baginya untuk membalas dendam dengan
leluasa. Dewa Arak memiliki kepandaian yang tinggi dan
tidak berada di bawahnya. Padahal pemuda berambut putih keperakan itu tidak
sendiri, masih banyak kawan-kawannya yang lain. Kalau mereka semua turun tangan,
pasti dia akan celaka.
Sangkala tidak ingin pengalaman seperti itu terulang
lagi. Dia benci menjadi orang kalah. Sejak dulu dirinya selalu kalah. Sekarang
pemuda itu tidak ingin kalah lagi. Maka otaknya diputar mencari jalan keluar
memecahkan masalah ini.
Cukup lama Sangkala berpikir keras. Sampai
akhirnya dia berhasil menemukan cara yang dianggapnya
sangat jitu. Kalau Dewa Arak mempunyai pengikut, mengapa dia tidak" Ya! Dia
harus mempunyai pengikut agar dapat mengimbangi kedudukan!
Puas akan keputusannya Sangkala tersenyum. Tapi
untuk mencari pengikut, luka dalamnya harus disembuhkan lebih dulu. Memang,
tidak parah. Tapi Sangkala tidak mau meremehkan. Sesaat kemudian, bekas murid
Perguruan Banteng Putih itu terlelap dalam semadinya.
*** Sang Surya baru saja menampakkan diri di ufuk
timur dalam bentuk bola raksasa merah yang menyorotkan sinar lembut ke bumi.
Tiupan angin semilir, kicau burung, serta kokok ayam jantan menyemaraki suasana
pagi yang sejuk. Tapi kesejukan pagi itu tidak dirasakan orang-orang
yang berada di depan pintu gerbang Perguruan Harimau
Terbang. Sorot ketegangan tampak pada wajah kelima sosok tubuh itu. Dua di
antara mereka berpakaian kuning kentang dengan sulaman kepala seekor harimau di
bagian dada kiri.
Agaknya dua orang itu murid-murid Perguruan Harimau
Terbang. Sedangkan yang tiga orang adalah seorang laki-laki setengah baya
bertubuh kecil kurus dan berpakaian indah, didampingi dua orang bertubuh tinggi
besar dan bertampang seram.
"Sayang sekali, Tuan. Aku tidak bisa memberikan
keterangan. Kami harap sabar menunggu hingga Ki Jayeng Praja kembali," kata
murid Perguruan Harimau Terbang yang berambut kemerahan.
"Apa kau bilang?" sambut lelaki berpakaian indah dengan nada tinggi. "Aku harus
menunggu"! Hey! Dengar baik-baik! Bila sampai siang nanti tidak juga kudapatkan
jawaban mengenai keadaan putriku, jangan salahkan jika aku bertindak sendiri!"
"Keparat!"
Murid Perguruan Harimau Terbang yang lain
menggertakkan gigi mendengar ancaman itu. Tampak dia
sangat marah dan merasa tersinggung. Sepasang matanya
yang sipit semakin tidak terlihat karena kebiasaannya
menyipitkan mata jika sedang marah.
"Hehhh"! Kau berani memakiku"!" sergah lelaki berpakaian indah. Lelaki setengah
baya itu adalah saudagar yang menitipkan putrinya pada pengawalan murid-murid
Perguruan Harimau Terbang.
"Bodong! Beri dia pelajaran!"
Bodong, salah satu dari dua lelaki bertubuh tinggi
besar dan bertampang seram, mengepal-ngepalkan kedua
tangannya hingga terdengar bunyi berkerotokan keras. Itu dilakukan sambil
mengayunkan kaki lebar-lebar ke arah
murid Perguruan Harimau Terbang yang bermata sipit.
Tapi lelaki bermata sipit sedikit pun tidak merasa
gentar. Tanpa ragu disambutnya kedatangan Bodong dengan hangat. Dia ikut
melangkah maju. Hingga mereka saling
mendekati. Sementara saudagar itu, rekan Bodong, dan
murid Perguruan Harimau Terbang yang lain menonton.
Mereka ingin melihat kejadian selanjutnya.
Dengan mata hampir tidak berkedip, ketiga orang itu
menyaksikan Bodong dan murid Perguruan Harimau
Terbang telah siap bertarung. Kedua orang itu saling tatap sejenak dalam jarak
satu tombak. Mereka seperti sedang mengadu kekuatan pandang
mata. Dan sesaat kemudian, Bodong membuka serangan
dengan teriakan keras membahana.
Wuttt! Angin menderu cukup keras ketika Bodong
mengayunkan kepalanya yang besar. Arah yang dituju ulu hati!
"Hmh!"
Murid Perguruan Harimau Terbang mendengus.
Sikapnya menunjukkan dia tak menganggap serangan
Bodong suatu ancaman yang membahayakan.
"Hih!"
Sambil menggertakkan gigi, lelaki bermata sipit itu
menarik kaki kanannya mundur. Pada saat yang bersamaan
tangan kirinya diayunkan menetak serangan lawan dengan
gerakan dari luar ke dalam! Maka,
Takkk! Benturan keras dua tangan yang dialiri tenaga dalam
tidak dapat dihindarkan lagi. Tubuh mereka terhuyung
mundur. Bodong terhuyung dua langkah. Sementara
lawannya empat langkah. Seringai kesakitan terukir di wajah murid Perguruan
Harimau Terbang. Tenaga dalam Bodong
ternyata lebih unggul. Juga dalam kekuatan tulang
tangannya. "Ha ha ha...!" Bodong tertawa tergelak menyadari kelebihannya. "Sebentar lagi
bukan tanganmu, tapi kepalamu yang akan kuhancurkan!"
Usai berkata, Bodong melancarkan serangan bertubi-
tubi dengan pukulan kanan kiri. Kali ini bagian yang
diserangnya adalah wajah. Rupanya Bodong ingin
membuktikan sesumbarnya.
Murid Perguruan Harimau Terbang itu kelihatan
tidak berani bertindak gegabah. Disadari kalau lawan
memiliki kelebihan, baik dalam tenaga maupun kekuatan
tubuh. Maka diputuskannya untuk menghadapi dengan cara
lain. Lelaki bermata sipit itu pun melaksanakan
rencananya. "Hih!"
Serangan-serangan Bodong hanya mengenai tempat
kosong. Lewat beberapa jengkal di bawah kaki murid
Perguruan Harimau Terbang itu. Rupanya, lelaki bermata sipit itu melompat ke
atas untuk mengelakkan serangan
lawan. Tidak hanya itu. Begitu tubuhnya berada di atas, kakinya dijejakkan ke
arah kepala Bodong.
Wuttt! Bodong menyadari akan bahaya yang mengancam.
Lelaki tinggi besar itu tahu jejakan kaki murid Perguruan Harimau Terbang bisa
menghancurkan kepalanya. Maka
buru-buru dielakkannya serangan itu dengan melakukan
lompatan harimau.
"Hup!"
Dengan bertumpu pada kedua tangan, Bodong
menggulingkan tubuhnya di tanah. Dan segera bangkit
dengan cepat. Bertepatan dengan berhasilnya Bodong memperbaiki
kedudukan, laki-laki bermata sipit itu telah siap melancarkan serangan susulan.
Keduanya bertukar pandang sekilas
dengan sikap waspada karena tahu lawan yang dihadapi tidak dapat dipandang
ringan. Sesaat kemudian, dengan diawali teriakan keras yang
memecahkan keheningan suasana pagi, kedua orang itu
saling terjang. Pertarungan sengit pun tidak dapat dielakkan lagi. Kedua belah
pihak tampak memiliki kemampuan
seimbang. Masing-masing mempunyai kelebihan yang
berlainan. Bodong memiliki kelebihan pada tenaga dalam dan
kekuatan tubuh. Tapi dalam hal kelincahan lawannya lebih unggul. Dan karena
kedua belah pihak menyadari
kelebihannya dan mempergunakannya dengan penuh, maka
pertarungan pun berlangsung seimbang.
5 Jurus demi jurus berlalu. Tak terasa pertarungan
sudah memasuki jurus kedua puluh lima. Selama itu belum tampak tanda-tanda siapa
yang akan keluar sebagai
pemenang. Padahal di luar kancah pertarungan telah terjadi perubahan yang cukup
menyolok. Orang yang menyaksikan
jalannya pertarungan tidak hanya tiga orang, tapi belasan orang. Riuhnya bunyi
pertarungan mengundang murid-murid Perguruan Harimau Terbang lainnya untuk
mendatangi tempat itu.
"Kalau dibiarkan terus, pertarungan ini tidak akan pernah berakhir," ujar murid
Perguruan Harimau Terbang yang berjenggot panjang. Sambil berkata demikian,
lelaki itu mengelus-elus jenggotnya. Kemudian dengan sekali genjot tubuhnya
melayang memasuki kancah pertarungan. Dan....
Jliggg! Ringan laksana sehelai daun kering, lelaki berjenggot
panjang mendaratkan kedua kakinya di tanah. Tepat di
tengah-tengah arena pertarungan.
Tampak lelaki berjenggot panjang melakukan
tindakan yang tepat. Keberadaannya tepat pada saat Bodong dan laki-laki bermata
sipit tengah berjauhan. Agaknya dia telah memperhitungkan tindakannya.
Bangau Sakti 12 Hong Lui Bun Karya Khu Lung Mentari Senja 1
^