Pencarian

Perawan Buronan 2

Dewa Arak 93 Perawan Buronan Bagian 2


"Bila itu terjadi," pikir Hinggil. "Semuanya akan sia-si a. Ayah tak tahu orang-
orang yang telah meny ebar bencana di tempat kediamanny a.
Pembantaian ini akan menjadi rahasia besar. Aku harus selamat!"
Pikiran-pikiran demikian membuat Hinggil memutar benak untuk
menyelamatkan diri. Untungnya cara itu segera didapatkanny a. Sambil terus
bergulingan, gadis ini menyep ak sebu ah kursi d an mengarahk annya p ada lawan.
Pada saat yang bersamaan Hinggil melompat ke arah pintu.
Semua tindakan itu dilakukan Hinggil secara cepat. Sosok kecil
kurus yang t ak mendug a ak an terjadinya h al sep erti ini tak sempat b erbuat
apa pun untuk mencegahnya. Apalagi saat itu dia menerima serangan dari
Hinggil. Sosok kecil kurus menggeram keras saking marahny a. Tangan
kanannya dihantamk an
memapaki datangnya luncu ran
kursi. Bunyi berderak keras terd engar k etika tangan berbenturan. Kursi pecah berkeping-
keping, dan pecahanny a berp entalan ke san a ke mari. Sebagian di antaranya
justru menyerbu lima sosok hitam. Mereka pun kelabakan mengel akkannya.
Sosok kecil kurus kemudian melesat k eluar untuk meng ejar
Hinggil. Sementara Hinggil telah berada di bawah und akan tangga b aru dan
tengah meles at melewati pintu gerb ang. Sang pemimpin sosok hitam tak
putus asa. Dia terus melakukan pengejaran.
Hinggil cukup cerdik. Dia t ahu sosok kecil kurus memiliki ilmu
lari cep at yang berada di atasny a. Kalau sosok itu terus mengejar,
kemungkinan besar dia akan tersusul. Karen a itu, Hinggil memilih tempat-tempat
yang m enguntungkannya. Dipilihnya med an b erupa semak belukar.
Terkadang gadis ini menyelinap ke b alik pohon. Dan memang, siasat g adis itu
cukup berhasil. Sosok kecil ku rus meng alami kesulitan untuk
mengejarny a. Sayang, medan berupa semak -semak dan p epohonan tak berapa
luas. Setelah beberap a saat berm ain kucing-kucingan, Hinggil terpaksa menempuh
medan berupa hamparan tanah lap ang.
"Mau lari ke man a lagi kau, Wanita Liar"!" seru sosok kecil kurus penuh nad a
kem enangan. Hinggil berad a beb erapa b elas tombak di
depannya. Hinggil tak memberikan jawaban. Gadis ini memusatkan seluruh
perhariannya pad a lari. Pandang mata Hinggil yang cukup awas melihat
adanya hutan kecil ratusan tombak di depannya. Hinggil berusaha keras tiba di
sana sebelum pengejarnya berhasil menangkapnya.
Pemimpin sosok hitam pun rupanya bukan o rang bodoh. Di a tahu
Hinggil berusaha men capai hutan di d epan sana. M aka s eluruh ilmu lari
cepatny a dikerahkan. Sedikit demi sedikit jarak antara merek a semakin dekat.
Dan ketika jarak itu tinggal sepuluh tombak lagi, sosok kecil kurus menjejakkan
kaki kananny a ke tanah.
Derrr...! Tanah terget ar h ebat. Beberapa tombak di d epan sana Hinggil
merasak an peng aruhnya. Seperti ada kaki-k aki kuat menyapu kakiny a.
Tanpa mampu dicegah lagi gadis ini terjatuh.
Tubuh Hinggil terguling-guling. Meski masih bingung akan apa
yang terjadi, Hinggil berusah a keras untuk menyelamatk an diri. Gulingan pada
tubuhnya s egera diman faatkan. Tenaga gulingan itu ditambah dan
dipergunakan untuk bangkit, lalu melesat meninggalkan tempat itu.
Tapi, maksud Hinggil hanya terlaksana s ampai di pikiran saj a.
Baru saja berguling beberapa tombak dia membentur s epasang kaki yang
berad a di d epanny a. Tanpa menoleh untuk men atap wajah pemiliknya.
Hinggil tahu pemilik sepasang kaki itu adalah sosok kecil kurus.
Hinggil merasa tak ad a gunanya l agi melakukan perbuatan apa
pun. Lawanny a telah menguas ai keadaan. Maka, Hinggil yang saat itu
berad a dalam sikap tengkurap mal ah mereb ahkan k epalany a di tanah. Gadis ini
pasrah pada apa yang akan terjadi.
"Balikkan tubuhmu, Wanita Liar!" seru sosok kecil kurus.
Hinggil tak berani membantah. Dirasakanny a ada tek anan yang tak
menghendaki bantah an dalam ucapan itu. Hinggil segera membalikkan
tubuh. Sekarang dia terlent ang. Sosok kecil kurus berdiri tepat di atasnya,
menghunus golok besar yang terselip di pinggang.
"Sebenarny a aku t ak ingin membunuhmu. Tapi, itu sebelum kau
menimbulkan kejengkelanku. Sekarang aku tak bisa berlaku lunak lagi. Kau boleh
menyusul ibumu sekarang!"
Sambil menggertakkan gigi, sosok kecil kurus mengayunkan golok
besarny a ke perut Hinggil. Hinggil yang tak bisa bertindak apa-ap a lagi hanya
pasrah. Dia berdiam diri menanti datangnya malaikat maut!
Trangngng...! "Uh..."
Sosok kecil kurus mengeluh tertahan. Sesuatu yang tak jelas
bentuknya meluncur cep at dan mem bentur goloknya. Benturan y ang terjadi luar
biasa k eras. Timbul percikan bunga api. Tubuh pemimpin sosok hitam itu pun
sampai terhuyung ke belakang.
Hinggil segera bertindak cep at. Kesemp atan s ekejap itu dimanfaatkan seb aik-baiknya. Tubuhnya digulingkan menjauhi sosok kecil kurus.
Kemudian, melenting ke udara dan menjejak tanah dengan mantap.
Pimpinan sosok hitam tak membiarkan Hinggil selamat. Begitu
getaran pad a tang annya berhasil dihalau, di a meles at mend ekati Hinggil.
Tapi, sosok kecil kurus ini segera mengh entikan maksudnya. Sesosok
bayangan ungu tel ah meles at lebih dulu menghad ang jal annya. Berg egas
lesatannya dipatahk an dan bersalto beb erapa k ali ke belak ang, kemudian
menjejak tanah secara mantap.
Dengan mat a sep erti mengeluarkan api sosok hitam memperhatikan penolong Hinggil. Sosok itu seorang pemuda berp akaian
ungu. Wajahnya tam pan dan terlihat matang. Ap alagi deng an rambut putih
keperakan. Bukan hanya sosok hitam yang memperhatikan pendatang baru.
Hinggil pun secara s embunyi-sembunyi menat apnya d ari samping. Sosok
itu bukan lain Arya Buana alias Dewa Arak.
"Terima kasih atas pertolonganmu, Sobat. Kau telah menyelamatkan nyawaku," ucap Hinggil penuh rasa terima kasih.
"Lupakanlah, Non a. Kebetulan aku lewat tem pat ini dan melihat
kau tengah terancam. Lagi pula, sudah k ewajiban kita untuk saling tolong-
menolong," kilah Arya.
Hinggil ingin memberikan tanggapan lagi. Tapi, ucapan yang telah
berad a di ujung lidah itu ditelannya. Tepat pada saat itu sosok hitam
mengeluark an pekikan nyaring untuk mengawali inceran seranganny a.
Hinggil menutup mulutnya dengan t angan. Gadis ini hampir tak
kuasa untuk menahan jeritan. Golok sosok hitam berubah banyak.
"Menyingkirlah, Nona!" seru Arya.
Hinggil segera m elompat menjauh. Gadis ini sad ar kal au tetap
berad a di tempat itu bisa terancam bahay a maut. Terkena serangan ny asar sosok
hitam yang diarahk an pad a Dewa Arak. Sementara Arya berg egas
mengambil guci perak yang ters ampir di punggung. Senjata and alannya itu
diputar di depan dad a. Sebentuk gulungan sinar b agai benteng s eketika
melindungi tubuh Dewa Arak. Keman apun golok sosok hitam bergerak
akan bertemu deng an gulungan sinar keperak an di sekujur tubuh Arya.
Trang, trang, trang...!
Benturan keras terdengar berk ali-kali ketika golok berbenturan
dengan guci. Percikan bunga api pun tercipta. Arya maupun sosok hitam
terhuyung-huyung dua langkah ke belak ang.
"Keparat! Kirany a kau memiliki kepandaian juga, Orang Usilan!"
desis sosok hitam penuh g eram. "Tapi, jangan harap ak an mampu
menandingiku!"
Belum lenyap gema u cap annya, sosok hitam telah meng ayunkan
goloknya ke leher Dewa Arak.
Tapi hanya dengan merendahk an tubuhnya pemu da itu berhasil
memunahkan serang an lawan.
Dewa Arak kini tak ragu -ragu lagi untuk mengerahk an seluruh
kemampuannya. Di samping sosok hitam itu memiliki kepandaian tinggi,
serang an-serangan yang dilan cark annya pun selalu membawa maut. Kalau Arya
mengh adapinya s etengah -seteng ah nyawanya ak an melay ang ke
akhirat Perlawan an sungguh-sungguh
yang dib erikan Dewa Arak membuat pertarung an berj alan sengit. Kedua petarung itu ternyata memiliki
kemampuan berimbang. Merek a silih berganti melan carkan serang an.
Beberap a kali keduanya terhuyung-huyung ketika terj adi benturan.
Ketika lagi-lagi sosok hitam mengirimkan tusukan k e arah dad a,
Dewa Arak melompat k e at as. Dari s ana dikirimkannya cengkeraman ke
arah ubun-ubun sosok hitam.
Kecepatan g erak Dewa Arak pad a mulany a membuat sosok hitam
kebingungan. Tapi dari d esir angin tajam yang mengarah k epal anya, dia
langsung menyadari adany a serang an dari atas. Secepat kilat goloknya
dibabatkan ke atas.
Wutttt..! Dewa Arak menyad ari ancaman maut itu. Pemuda ini bersalto ke
atas melewati kepala lawan dengan serangan yang tetap tertuju pada kepal a.
Crattt! "Akh...!"
Rentetan kejadianny a berlangsung d emikian cep at. Ujung golok
sosok hitam merobek perut Ary a. Sebaliknya, cengkeraman Dewa Arak
hanya merenggut selubung lawanny a. Selubung hitam yang mempunyai dua
lubang kecil untuk mata itu sekarang berad a dalam tangan Dewa Arak.
"Ahhh...!"
Seruan k aget itu k eluar dari mulut Hinggil. Itu terjadi ketika ia
melihat wajah yang berad a di balik selubung. Wajah seorang kakek
berkep ala botak dengan kumis panjang menjuntai melampaui bibir. Wajah
itu pernah dilihat Hinggil!
Kakek botak tak kalah terkejutnya. Penyamarannya telah terbuk a.
Si kakek tak mau mengambil resiko lebih banyak lagi dengan terus berdiam diri di
tempat itu. Bergegas dia melesat pergi.
Kakek botak berl ari bebas tanpa khawatir ada yang meng ejarny a.
Dewa Arak maupun Hinggil tak melakuk an peng ejaran. Arya merasa tak
mempunyai urusan deng annya. Sementara Hinggil masih terpaku di
tempatnya, sibuk mengingat-ingat siapa sosok hitam yang diyakini pernah
dilihatnya itu.
"Ada apa, Nona?" tanya Ary a ketika melihat Hinggil menghela
napas berat. "Kau mengen alnya?"
"Entahlah," jawab Hinggil tak yakin s eray a meng angkat k edua bahunya.
"Rasanya aku pern ah melihat wajah itu. Sayang, aku lupa kapan dan di mana."
"Mengapa k au bentrok deng an kakek itu, Nona?" tanya Arya
mengalihkan persoalan.
Arya yang semula menduga akan mendap atkan jawaban terperanjat
kaget melihat Hinggil seperti tersentak. Wajah gadis itu langsung memucat.
Belum sempat Ary a meng ajukan p ertany aan Hinggil telah mel esat p ergi.
Dari mulutnya yang berbibir mungil Arya menangkap gumaman lemah.
"Ibu.... Ibu...."
Sesaat Ary a k ebingungan. Pemuda ini h anya menatap kep ergian
Hinggil dengan p enuh tanda tanya. Tapi ketika putri Patih Singabarong itu telah
berjarak belasan tombak, Arya teringat pada sesuatu.
"Bagaimana kal au kakek botak itu belum pergi jauh, dan
menyerangny a lagi jika mereka bertemu?"
Pikiran yang muncul selintas ini membuat Dewa Arak memutuskan untuk menyusul Hinggil. Dia terpaks a b erlari -lari di b elakang
Hinggil, sebelum akhirnya melihat bangun an rumah yang dikelilingi
dinding batu tinggi di kejauhan.
Begitu melewati ambang pintu gerbang Arya meng ernyitkan
alisnya. Mayat-may at berseragam p asukan kerajaan tergol ek di san a-sini.
Sebuah du gaan jelek terh adap g adis yang dikejarny a mulai di h ati Ary a.
Arya meles at menuju bangunan y ang dimasuki Hinggil. Sepanjang
perjalan an melewati undak -undakan tangg a batu dan lorong ruang an,
tampak mayat-mayat bers erag am pasukan kerajaan.
"Keji sekali!" rutuk Arya dalam hati. "Siapa orangnya yang telah melakukan
pembantaian seperti ini?"
Arya terus meng ayunkan k aki mengikuti arah yang ditempuh Rati
Hinggi. Tapi begitu memasuki ambang pintu salah satu kamar, Arya terpaku bagai
orang terkena sihir. Pandangan segera t ertumbuk pad a sosok g adis yang
dikejarny a tengah duduk b ersimpuh di hadap an sesosok tubuh yang tergolek di
lantai. "I... ib....Ibu...," rintih Hinggil. Air mata mengalir membasahi kedua belah
pipinya. Tampak jelas kesedihan pada raut wajahnya.
Arya j adi merasa kasihan sekali m elihatnya. Gadis itu kelihatan
begitu kehilangan.
Setelah memperhatikan k ead aan dal am ruangan y ang porak
poranda, Ary a melangkah mend ekati Hinggil. Ingin rasanya dia menghiburnya, tapi tangis Hinggil malah semakin menjadi-jadi.
Cukup lama juga Dewa Arak m enunggu tangis Hinggil mered a.
Kini yang tinggal hanya isak tertahan.
Hinggil bangkit berdiri dan membalikkan tubuh. Ditatapnya Arya
yang tengah menatapnya.
"Maafk an atas sikapku yang cengeng," ujar Hinggil dengan suara serak.
"Aku bisa mengerti. O ya, kenalk an, namaku Ary a Buana. Panggil
saja Arya."
"Aku Hinggil. Rati Hinggil," balas putri Patih Singabarong.
"Sebuah nama yang bagus," puji Arya. "Boleh kutahu mengapa kakek kecil kurus
tadi hendak membunuhmu" Dan, apakah dia yang telah
melakukan pembantaian di tempat ini?"


Dewa Arak 93 Perawan Buronan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku tak t ahu, Arya. Kak ek itu dat ang bersama rombonganny a.
Kejam bagai haus darah mereka membantai semua peng awal dan ibuku."
"Jadi kakek itu tak sendiri an" Dia dat ang mem bawa rombong an?"
tanya Arya meminta penegas an.
"Kakek k eji itu datang b ersam a belas an orang berkep andaian
cukup tinggi. Entah apa kesalah an kami sehingga merek a sampai hati
melakukan pembantaian ini," keluh Hinggil.
"Kulihat bangunan ini dijaga b anyak p rajurit. Apak ah kelu argamu mempunyai
hubungan dengan kerajaan?"
"Ayah adalah Patih Kerajaan Kamulan. Beliau bernama Singabarong...."
"Singabarong?" selak Arya, kaget
"Kau mengen ai ay ahku, Arya?" Hinggil bertany a penuh ras a ingin tahu.
Sepasang matanya menatap wajah Ary a tajam-tajam.
"Tidak," jawab Arya. "Aku hanya mendengar dari percak apan para prajurit Keraj
aan Kamulan."
Kemudian, secara singkat Dewa Arak menceritakan tentang
percakap an serombongan pasukan k erajaan y ang dipimpin Ladoya. Mereka tengah
mengejar pen curi Kujang Emas.
"Itu sebuah fitnah keji, Ary a!" sentak Hinggil begitu Arya selesai bercerita.
"Ahhh...! Malang ben ar n asib Ayah. Tak h enti-hentinya p etaka menimpa. Saat
ini saja beliau tengah mencari Kujang Emas yang dicuri
orang. Sekarang ada fitnah yang ditimpakan pad anya, yang meng atakan
Ayah bersekongkol dengan sang Pencu ri."
"Jalan satu-satunya untuk membersihkan tuduhan itu adalah
dengan menangk ap pelakuny a, Hinggil," ujar Arya setelah tercenung sejenak.
"Jadi kita mulai mengungkapkan rah asia ini dengan meng ejar
pencuri Kujang Emas, Arya?" tanya Hinggil "Bagaimana mungkin" Pencuri itu pasti
sudah jauh. Lagipula, kita tak tahu kemana perginya."
"Aku tahu arah yang ditujunya, Hinggil. Itu sebabnya kuusulkan
untuk mengejarny a. Memang tak h anya di a yang dap at kita jadik an titik
terang untuk mengungkap masalah ini. Masih ada lainnya, yaitu gerombolan orang-o rang berseragam hitam yang telah membantai keluargamu. Tapi sayang hany a k akek bot ak yang bisa kita k enali. Itu pun dia
telah melarikan diri."
"Kurasa usulmu itu ada b enarny a, Ary a," ucap Hinggil akhirnya setelah
tercenung sesaat. "Kuharap kau bersedia untuk mengajakku."
Arya hany a membisu. Hinggil jadi khawatir kal au-kalau pemuda
itu akan menolaknya. Buru-buru ucapannya disambung.
"Aku tak mungkin tinggal di sini lagi, Arya. Gerombolan penjahat
itu pasti akan menyatroniku. Aku juga ingin mencari ayahku untuk
mengabark an kejadi an ini. Kurasa mengad akan perjalan an bersam amu akan aman,
Arya. Ayahku tak p ernah membiarkanku pergi jauh-jauh seo rang
diri." "Apa yang dik atakan ayahmu mem ang ben ar, Hinggil. Dunia
persilatan sangat keras. Kau boleh ikut bersamaku. Sebelumnya, mari kita urus
dulu mayat-mayat ini sebelum pergi"
"Terima kasih at as kes ediaanmu untuk meng ajakku, Arya," wajah Hinggil tampak
berseri-seri. Sepasang m atanya b erbinar ceria. "Percayal ah.
Aku berjanji tak akan merepotkanmu."
Arya hany a ters enyum. Sesaat kemudian, pasang an muda-mudi ini
sibuk mengurus mayat-mayat yang berserakan untuk dikuburk an seb agai-
mana mestinya. 6 Seorang lelaki b erp akaian abu-abu melompat turun d ari punggung
kuda. Binatang berbulu coklat putih itu meringkik sebentar karen a lelaki
separuh bay a yang menungganginya men arik tali kekang deng an agak
keras. Lel aki itu terlihat agung dan p enuh wib awa. Dia bukan l ain Patih
Singabarong dari Kerajaan Kamulan. Bergeg as dihampirinya sosok-sosok
yang bergel etakan sekitar tiga tombak di depannya. Sosok-sosok yang
menyebabk annya menghentikan lari kuda.
"Biadab! Terkutuk...!"
Sambil terus mengayunkan kaki, Patih Singabarong memaki penuh
geram. Pandangannya tertuju pada sosok-sosok yang bergeletak an bermandi darah.
Sosok-sosok itu mengen akan pakai an serag am Kerajaan Kamulan.
Merek a ad alah p ara p rajurit yang dibawa Senap ati Ladoy a. Tak ada satu pun
yang selamat. Hanya mayat Ladoya tak ada di situ!
Perasaan curiga tiba-tiba mencuat di lubuk hati Patih Singabarong.
Kecurig aanny a semakin b esar ketika t eringat d engan s ebuah
kejanggalan b eberapa waktu lalu. Dia melihat sepasang su ami isteri
membawa s eorang anak g adis pad a Ladoy a. Perasaan tertarik membuat
Patih Singabarong langsung k eluar untuk meng etahui ap a y ang terjadi.
Ternyata mereka menginginkan putrinya m enjadi day ang istana. Katany a, anak
tetangga mereka telah menjadi dayang di istana.
Saat itu Patih Singabarong mendeng ar Ladoya, yang telah melihat
keberadaannya, menolak niat pasangan suami isteri itu. Ladoya mengatakan kalau
day ang-day ang istana tak didap atkan secara semb arang an. Karena ditolak,
suami isteri itu meninggalkan istana sambil membawa anakny a.
Patih Singabarong yang terlanjur curiga s egera men cari keterangan. Dan, hasil
yang didapat membuat patih ini cukup kaget. Ternyata telah belasan gadis masuk
menjadi dayang-dayang.
Padahal, tak satu pun ad a tambah an tenag a day ang-day ang baru.
Dengan k ata lain, gadis-gadis itu leny ap begitu saja! Patih Singabarong tak
tinggal diam. Dia melakukan penyelidikan. Senapati Ladoya hampir-hampir tak
pernah luput dari pengawas an. Tapi penyelidikannya sia-sia. Sampai terjadinya
musibah kematian Pang eran Rajamala, Patih Singabarong tak
mampu menemukan jawabanny a.
Patih Singabarong bergegas melompat naik ke atas punggung kuda
lalu memacunya. Menurut dugaannya Senap ati Ladoya belum pergi jauh. Ia hendak
mengejar senapati itu yang dicurigainya sebagai pembunuh anak
buahnya sendiri.
*** Seorang lelaki berjenggot lebat yang meng enakan p akaian seragam
kerajaan tamp ak berlari mengind ap-indap m enyibak k erimbunan sem ak.
Lelaki ini adalah Senapati Ladoy a. Dia berlari terhuyung-huyung. Beberapa kali
Ladoya tersungkur. Dari mulutnya mengalir darah segar.
Entah untuk yang keb erap a kalinya Sen apati Ladoy a kemb ali
tersungkur. Dia jatuh tertelungkup ketika kakinya terkait semat-sem ak.
Senapati ini tak langsung bangkit berdiri. Agakny a luka yang dideritanya cukup
parah. Ketika kemudian dia mengangkat kepal anya sedikit, wajah
lelaki ini terlihat semakin pias. Dua batang k aki berdiri tep at di depan
wajahnya. Ladoya seg era mendongakk an kepal a.
"Gusti Pangeran...," desah Senapati Ladoya.
Pemilik sepasang kaki itu memang pang eran Kerajaan Kamulan.
Pangeran Samudra, adik dari Pangeran Rajamala. Pangeran Samudra
tampak tersenyum sehingga wajahnya yang tampan semakin menarik.
"Kau, Ladoya" Apa yang terjadi terh adap dirimu" Di mana
pasukan yang kaum pimpim?" tanya Pangeran Samudra s ambil berjongok agar bisa
melihat Ladoya lebih jelas.
"Malapetak a besar telah menimpa, Gusti Pangeran," lapor Ladoy a.
"Kami diserang segerombolan orang berp akaian serb a hitam yang mengenak an selubung wajah. Mereka m emiliki kemampuan di atas kami.
Semua prajurit tewas. Hany a aku y ang berh asil selamat. Itu pun karen a aku
berpura-pura meninggal. Itu kulakukan agar dapat memberik an laporan ke istana,
Gusti Pangeran. Masalahnya, aku melihat adanya kejanggal an...."
"Kejanggal an"! Kej anggalan
bagaiman a y ang
kau maksud, Ladoya"! desah Pangeran Samudra.
"Pimpinan orang-orang b ers elubung itu, Pangeran," beritahu
Senapati Ladoya. "Sepertinya aku pernah meng enalnya. Potongan tubuh dan sorot
matanya dapat kukenali, kendati dia mencoba menyamarkan
suarany a. Aku yakin ap abila berhasil hidup dan meny elidikinya akan dapat
kuketahui siapa pimpinan gerombolan itu."
"Sekarang bangkitlah, Ladoya," ujar Pangeran Samudra seraya
bangkit berdiri.
"Hamba tidak mampu, Gusti Pangeran. Mung kin hamba memerlukan waktu untuk..."
"Kepergianmu dari istana untuk mengejar pen curi pusaka kerajaan,
bukan"!" Pangeran Samudra segera memotong ucapan Ladoy a.
Ladoya merasakan jantungny a seperti berh enti berdetak. Diras akan
adanya kejangg alan dal am ucapan s ang Pangeran. Nad anya t ak sen ang dan
penuh kebencian.
"Benar, Gusti Pangeran," jawab Ladoya lirih.
"Tapi sayang hamba gagal."
"Itulah akibatnya bagi orang yang terlalu lancang, Ladoy a!"
dengus Pangeran Samudra t ak senang. "Kal au saja kau tak m elakukan pengejaran
terhad ap pencu ri Kujang Emas, kau tak akan mengalami nasib seperti ini!"
"Apa... maksud Gusti Pangeran"!" tany a Lado ya terb ata. Senap ati ini sampai
mendongakkan kepala saking terperanj atnya.
"Kau menany akan maksudku, Ladoya"! Dengar baik-baik! Kalau
saja kau tak mendap at serang an d ari g erombolan b ers erag am hitam, aku yang
akan menyingkirkanmu!" tandas Pangeran Samudra.
"Tapi... tapi mengapa, Gusti Pangeran" Apa Salah hamba"!"
Pangeran Samudra tert awa mengej ek.
"Menurut pend apatmu pen curi itu b ekerj a sen diri atau m endapat bantuan dari
orang dalam, Ladoya" tanya Pangeran Samudra.
Senapati Ladoya m enelan ludah d engan susah p ayah. Pertany aan
dan sikap yang ditunjukkan Pangeran Samudra terlihat sang at aneh. Rasa curiga
membelit hati Senapati Ladoya.
"Kalau melihat dari rapiny a ren can a yang dibuat p encuri itu,
sepertinya ad a orang dalam yang telah membantunya, Gusti Pangeran.
Seseorang yang mempunyai kedudukan cukup penting."
"Bukan cukup penting lagi, Ladoy a. Tapi sangat penting!" sahut Pangeran
Samudra. "Orang itu adal ah aku. Pangeran Samudra. Dan p encuri itu adalah
kekasihku."
Senapati Ladoya terpaku. Sepasang m ata lelaki ini membelalak
lebar, mulutnya ikut membuka. Kalau saja saat itu ada lalat, pasti akan masuk.
"Hamba... hamba tak pern ah mendeng ar Gusti Pangeran mempunyai seorang kek asih. Dan lagi, samp ai hati Gusti Pangeran
membunuh kakak sendiri...."
"Kalau tak kubunuh, kesempatanku untuk menjadi raja di Kerajaan
Kamulan akan lenyap. Rajamala pasti yang akan diangkat menjadi raja. Apa boleh
buat, demi cita-citaku kehilangan seorang k akak tak terlalu penting.
Kau tahu Ladoya, untuk mencap ai keinginan y ang besar memang
merubutuhkan p engorban an yang bes ar pula. J angankan hany a Rajamal a, Ayah
pun akan kusingkirkan demi tercapainya cita-citaku. Ha ha ha...!"
Pangeran Samudra tertawa berg elak memp erlihatkan
kegembiraannya. Perutnya sampai terguncang -guncang.
"Sedangkan mengen ai wanita yang kau tanyakan, dia adalah
Rahasti. Aku bertemu dengannya b eberapa bulan lalu waktu berburu. Dia
tengah mandi di sungai. Kecantikan dan kemulusan tubuhnya membuatku
langsung jatuh hati. Rahasti hanya mau menikah deng anku ap abila aku
menjadi Raja di Kamulan. Itulah seb abnya kuren can akan hal s eperti ini!
Jelas, Ladoya" Sekarang kau mengejar untuk menangkapnya. Itu berarti kau akan
menghancu rkan rencan aku."
"Kau gila, Gusti Pangeran!" d esis Ladoya. Dia t ak ingat lagi kalau pemuda
tampan yang dicercanya itu adalah junjungannya sendiri.
"Kau boleh m emakiku hingga su aramu habis, Ladoya! Sekarang
bersiap-siapl ah untuk menerima kematianmu!"
Pangeran Samudra menghunus ped ang yang ters elip di pinggang.
Seketika, sinar menyilaukan mata mencuat. Ladoya sad ar ak an adany a maut yang
mendek at. Dengan mata m embelalak lebar lelaki itu mengikuti setiap gerak
Pangeran Samudra.
"Terimalah kematianmu, Ladoya...!"
Pangeran Samud ra meng angkat p edangny a tinggi-tinggi. Kemudian, dihujamkannya secep at kilat ke arah kuduk Senapati Ladoya
yang tetap mendongakkan kepal a untuk melihat maut menjemputnya!
Crappp! "Aaakh...!"
Jeritan kematian yang p anjang dan memilukan terd engar dari
mulut Pangeran Samudra. Tubuh sang Pangeran limbung. Pedang yang
tergenggam di t angan terlepas lalu jatuh ke tanah. Sesaat pang eran ini berusah
a untuk tetap berdiri tegak, namun terny ata dia tak mampu.
Pangeran Samudra ambruk ke tanah deng an mata membelalak lebar.
Senapati Ladoya y ang sudah p asrah p ada maut terpaku tidak
percaya. Sang Pangeran malah am bruk ke tanah. Tewas di depan
hidungnya. Pada punggung Pangeran Samudra tertancap seb atang pisau
bergag ang kepal a ular. Sepasang mata Ladoya hampir tak berk edip. Senjata yang
memiliki gagang berbentuk khas ini amat dikenalnya!
"Itulah hukuman bagi orang yang berani mengacaukan ren can aku!"
Belum lenyap gema u cap an itu sesosok bayang an berkeleb at. Di
belakang tubuh Pangeran Samudra yang tergolek tampak berdiri sesosok tubuh kecil
kurus, berpakaian serba hitam dan berselubung kepala hitam pula.


Dewa Arak 93 Perawan Buronan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Seketika wajah Ladoya menjadi pias. Sosok yang baru datang ini
adalah pimpinan gerombolan y ang menghad ang pasukanny a. Ladoya cepat-
cepat b erusah a men enangk an peras aan. Diperhatikannya sekujur tubuh sosok
kecil kurus. Sesaat kemudian, kata-katanya keluar dengan suara
gemetar. "Tak ada gunany a lagi k au menyembunyikan diri, Eyang Cakra.
Rahasiamu telah terbongkar. Senjata yang kau hujamkan di punggung
Pangeran Samudra telah memberik an jawaban yang jelas. Kau ceroboh."
Sosok kecil kurus merenggut selubungnya. Seketika, tampak seraut
wajah tua berk epala botak yang am at dikenal Senapati Ladoya. Wajah milik Eyang
Cakra, penasihat kerajaan dalam hal-h al yang berhubung an dengan ilmu gaib!
"Ha ha ha...!" Eyang Cakra tertawa bergelak. "Dugaanmu tak betul, Ladoya. Aku
tak ceroboh s ama sek ali. Aku hanya ingin melihat
apakah kau mempunyai otak yang cukup cerdik untuk menduga siapa
sebenarnya!"
"Sejak semula pun aku sud ah merasa k alau pemimpin gerombolan
penyerbu itu o rang y ang sang at kuken al. Perawakan d an sorot m atamu kukenal
b etul, Eyang Cakra! Pisau itulah yang mem buatku dapat menduga
tepat orang yang berdiri di balik peristiwa itu."
"Bukan hanya terh adap kau d an pasukanmu saj a, Ladoya!" sahut Eyang Cakra.
"Tapi juga terhadap Patih Singabarong. Asal kau tahu saja, keluarga patih
keparat itu telah kubasmi!"
"Mengapa kau lakukan itu, Eyang Cakra?" desis Ladoya.
"Kau bertany a mengap a"!" ujar Eyang Cakra set engah mengej ek.
"Karena kau, Pangeran Rajamala, dan Patih Singabarong telah meneium adanya
ketidakb eresan di istana. Hanya saja, kalian tak bers atu dan justru saling
curiga, sehingga aku mudah menghad api kalian. Kendati demikian, aku tak berani
mengambil risiko lebih besar."
"Jadi, beberap a prajurit berk eret a kuda y ang mengangkut p emuda-pemudi gagah
dan cantik-cantik itu merupakan perintahmu?"
"Benar!" jawab Eyang Cakra. "Dan kau mengira Singabarong yang berdiri di bel
akang p enculikan itu, bukan" demikian pul a deng an Pangeran Rajamala.
Sang Pangeran mel aporkan kecurigaan itu pad a Prabu Suwandana. Sang Prabu k emudian hend ak menyingkirk an Singabarong,
tapi tidak mempunyai alasan. Terbunuhnya Rajamal a membuat Baginda
berani untuk menek an Singab arong. Keaman an merupakan tanggung
jawabnya, dan dia lalai. Ha ha ha...!"
"Padahal," sela Ladoy a penuh nafsu. "Kau yang membunuh
Pangeran Rajamala!"
"Sayang sekali bukan aku, Ladoya. Padahal aku telah merencanak annya demikian rapi. Selain aku, orang yang melepaskan
Kujang Emas dari s arungnya akan mati. Orang itu hany a ak an selamat
apabila aku membacany a beb erap a mant era penangk al. Tapi ternyata ada
seseorang yang menuk ar Kujang Emas kemudian melumurinya dengan
racun. Orang y ang menjadi biang keladi kekacauan itu adalah Pangeran
Samudra. Sekarang dia telah berhasil kusingkirkan!"
"Lalu, untuk apa kau culik pemuda dan pemudi?"
"Pertama, darah merek a seb agai campuran ramuan y ang membuat
Kujang Emas mampu m embunuh siapa pun yang b erusah a menghunusny a.
Alasan kedu a, bermain cinta itu ternyat a luar biasa nikmat, Ladoya. Setelah
aku puas bermain cinta deng an pemudinya, campuran d arah antara si pemuda dan
pemudi kumasukkan dalam ramuan un tuk memandikan Kujang
Emas. Nah! Kurasa penjelas anku telah cukup. Bersiaplah untuk menghadapi
malaikat maut!"
"Kaulah y ang ak an menghad api malaikat maut, Cakra...!" sentak sebuah suara.
"Tak kusangka kau o rangny a yang memiliki watak demikian keji!"
"Singabarong"!" seru Eyang Cakra melihat k emunculan Patih
Singabarong di tempat itu. Dia sama sekali tak mendengar bunyi langkah
kakinya. "Benar! Aku, Singabarong, orang yang ingin kau bunuh. Tapi kau
keliru, Cakra. Kaulah y ang akan kubunuh karen a tindak anmu terh adap
keluargaku !"
desis Patih Singabarong menahan kemarahan yang meluapluap. Patih Singabarong memang telah mend engar semua u cap an Eyang
Cakra. Dia telah berada di situ sejak Eyang Cakra membuk a selubungny a.
Keberadaan Patih Singabarong karen a mendeng ar jerit kematian Pangeran Samudra.
"Ha ha ha...!" Eyang Cak ra t ergel ak gembira. "Syukur kau datang ke tempat
ini, Singabarong. Aku tak repot-repot lagi mencarimu!"
"Kaulah yang akan mati ditanganku, Cakra!"
Patih Singabarong mencabut keris yang t erselip di pinggul.
Kemudian, secepat kilat ditusukkannya ke perut Eyang Cakra.
Wusss...! Tusukan keris mengenai tempat kosong ketika Eyang Cakra
menarik kakinya ke b elakang. Sesaat kemudian k aki kanannya b ergerak
menendang, tiga kali berturut-turut
Tukkk, desss, desss...!
Tubuh Patih Singabarong terjengk ang jauh k e belak ang. Tendangan pertama meng enai perg elangan tang an sehingga kerisnya
terlempar. Tendangan kedua dan ketiga menghantam pah a kanan kirinya.
"Ayaaah...!"
Sesosok bayangan kuning berk elebat k e arah Patih Singabarong.
Sesosok lainnya yang berpakaian ungu menghadang langkah Eyang Cakra.
"Hinggil...!" seru Patih Singabarong ketika melihat siapa sosok kuning yang
tengah meluruk ke arahnya.
Sosok itu memang Rati Hinggil. Dengan mata berk aca-kaca
Hinggil menubruk tubuh ayahnya. Patih Singabarong memeluk putrinya dan
mengelus-elus rambutnya penuh kasih sayang.
"Ayah... Ib... Ibu...."
"Aku sudah tahu, Hinggil. Aku sudah mendengarnya sendiri dari
mulut si jahanam Eyang Cak ra. Syukur kau selamat. Kukira kau jug a telah
dibunuhnya."
"Pemuda itulah yang menolongku, Ayah," beritahu Hinggil seraya menunjuk Arya.
Patih Singabarong mengarahkan pandang an k e arah y ang ditunjuk
Hinggil. Saat itu sosok ungu tengah berdiri berhad apan d engan Eyang
Cakra. "Kau..."!" seru Eyang Cakra tertah an. Penghadangnya bukan lain Arya Buana alias
Dewa Arak. "Selamat berjumpa lagi, Kek," sahut Dewa Arak tenang.
Tanggapan Eyang Cakra adalah s erbuan k e arah Dewa Arak.
Kakek ini memutar tongkatny a laksan a b aling-baling. Kemudian, secepat kilat
tongkat itu disodokkan ke arah Dewa Arak. Deru angin yang luar biasa keras
mengiringi luncuran serangan itu.
Dewa Arak t ak mau kalah g ertak. Gu cinya diambil lalu isinya
dituangkan ke dalam mulut. Dipapaknya serangan tongkat lawan d engan
guci. Trangngng...! Arak dalam guci bermuncratan ke san a kemari. Tubuh kedua
petarung itu terhuyung dua langkah ke belak ang. Namun, mereka berh asil
memperbaiki kedudukan. Sesaat kemudian telah sating gebrak kembali.
"Eyang Cakra...," gumam Hinggil lirih sekali. "Pantas aku merasa pernah
melihatnya."
Patih Singabarong tak m emberikan tanggap an. Lelaki tinggi b esar
ini tengah memperhatikan jalannya pert arungan deng an penuh perh atian.
Pertarungan dahsy at yang harus diakuinya baru pertama kali dilihatnya.
Hinggil sendiri seperti tak membutuhkan tanggapan ayahny a. Dia
juga kemudian sibuk memperhatikan jalannya pertarung an. Kekaguman
yang sudah terpancang di hatinya terhadap Dewa Arak semakin membesar.
Sementara itu, pertarung an antara Arya d an Eyang Cakra telah
mencap ai puncakny a. Diawali teriak an melengking nyaring mereka s aling
melancarkan serangan di tengah udara.
Tukkk, desss...!
Hampir berb areng an serangan Dewa Arak dan Ey ang Cakra
mendarat di tubuh masing-masing lawannya. Tubuh Dewa Arak d an Eyang
Cakra kembali terlempar ke bel akang lalu terbanting di tanah. Dewa Arak masih
mampu merayap bangkit, meski dari mulutnya menitik darah segar.
Sambungan tulang bahu pemuda ini lepas terkena hantaman tongkat.
Eyang Cakra mengal ami nasib yang lebih mengenaskan. Guci
Dewa Arak tel ah menghant am dada hingga tulang -tulangnya remuk. Kakek ini
menggelepar s ekali, kemudian tewas. Darah meny embur dari mulut,
hidung, dan telinganya.
Ladoya dan Patih Singabarong menghela napas leg a melihat
kematian Eyang Cakra. Kedua pej abat tinggi Kerajaan Kamulan ini saling berpand
angan dan tersenyum. Tak ada lagi permusuhan dalam sorot mata
mereka. Rati Hinggil sendiri dengan malu-malu menghampiri Ary a.
Wajahnya bersemu merah ketika bicara.
"Kau tak apa-apa, Arya?"
Arya menggelengk an kepala sambil tersenyum.
"Aku hanya perlu bers emadi untuk mengob ati luka ini, agar tak
semakin parah."
Hinggil mengangguk-anggukkan k epal a. Dengan sudut mata
dikerlingnya ay ahnya. Sang Patih itu pura-pu ra tak melihat ringkah
putrinya. Pandangannya diarahk an pada Ladoya.
7 Di saat Dewa Arak teng ah terlibat pertarung an dengan Eyang
Cakra, di tempat y ang berjarak ribuan tombak dari tempat mereka, Rah asti
mengayunkan k aki satu-s atu. Wajahnya tertuju lurus ke dep an. Sepasang bola
matanya tampak berputaran liar memperh atikan sekitarnya. Di kanan kiri gadis
ini terdapat pohon-pohon besar.
"Kau menepati janji, Nona Muda. Aku kagum padamu!"
Rahasti sampai terlonjak kaget. Dia buru-bu ru menghentikan
langkahnya. Kep alanya didongakk an memperhatikan ke atas pepohon an.
Dari sana seruan tadi didengarnya.
Di atas cabang pohon y ang berjarak lima tombak dari Rah asti
tampak sesosok tubuh berpakaian serba merah. Sosok itu berdiri di atas
pohon dengan mempergun akan j ari telunjuk k ananny a! Rah asti membelalakkan mat a melihat tingkah sosok merah. Pertunjukan itu
membutuhkan tenaga dalam yang amat tinggi.
"Bagaimana" Apak ah telah k au bawa bend a yang kuminta?" tanya sosok merah
setelah melompat turun dari atas pohon. Sosok itu melompat
turun dengan menek ankan telunjuknya y ang bertel ekan pad a cab ang pohon.
Tubuhnya kemudian bersalto beberapa kali di udara dan menjejak tanah
secara mantap dengan kedu a kaki.
"Benar, Kek," Rahasti menganggukk an kep ala. "Tapi sebelum kuserahk an benda
ini, aku ingin kau tunjukkan padaku benda yang kau
janjikan!"
Sosok merah yang ternyata seo rang kak ek berkulit hitam dan
bertubuh jangkung itu tersenyum. Tangan kan annya dimasukk an ke b alik baju.
Dan k etika dikeluarkan lagi di tang an itu terdapat sebuah buntalan kain hitam
yang mempunyai tali pada ujungnya.
"Lempark an bend a y arig kuinginkan, maka ak an kuberikan ajimat
ini padamu," ujar kakek hitam memberikan penawaran.
"Kau yang lebih dulu melemp ar, Kek. Baru setelah itu akan
kuberikan b enda yang kau inginkan," Rahasti tak mau m enuruti begitu saja usul
kakek hitam. Gadis ini rupanya takut ditipu.
"Kau tak m empercayaiku, Nona"!" d engus kakek hitam tak
senang. "Sungguh lancang! Ucapanmu itu seben arnya sudah cukup untuk membuatku
membunuhmu. Pantang bagi Ardawalika menerima hinaan
seperti ini. Ingat Nona, aku telah b erlaku murah hati kep adamu. Sedangkan kau"
Jangan-j angan kau b ermaksud menipuku d engan berpu ra-pura telah mendapatkan
Kujang Emas. Padahal, kau tak memilikinya sama sekali!"
Rahasti mendengus tak s enang. Tangannya seg era dimasukkan ke
balik baju untuk mengambil benda y ang diyakini Ardawalika s ebagai
Kujang Emas. "Bagaimana, Kek" Masih takp ercaya kalau aku mempunyai b enda
yang kau inginkan?" tanya Rahasti setengah mengejek.
Ardawalika terkek eh.
Kakek ini memang tetap berdiri di tempatnya. Tapi, sepasang bola matanya y ang tertuju ke arah Kujang Emas di
tangan Rahasti menyiratkan keinginan yang besar.
"Sekarang aku percay a kau m emiliki kujang itu, Nona. Nah!
Tunggu apa lagi" Lempark an bend a itu, dan aku pun ak an melemparkan
benda ini pula! seru Ardawalika.
Rahasti tersenyum mengejek. "Seben arny a aku ingin mempercayai
ucapanmu, Kek Tapi sayang, aku belajar dari peng alaman yang kuterima.
Terlalu percay a pada o rang lain hanya akan merugikan diri sendiri. Siapa yang
berani menjamin kalau kau tak akan menipuku?"
"Hm.... Lalu, bagaimana baiknya menurutmu, Nona?"
Rahasti mengerutkan sepasang alisnya yang indah. Benaknya
diputar untuk mencari jalan keluar.
"Aku ada usul, Kek," ujar Rahasti kemudian hampir terpekik
kegirangan. "Kau dan aku sam a-sam a meletakk an kedua b enda ini di tanah.
Dari tempatku b erad a, aku ak an melangk ah ke k anan s ejauh sepuluh
tombak dan meletakk an Kujang Em as di situ. Sedangkan kau menempuh
arah yang s ebaliknya d an mel etakkan ajimat itu di san a. Setelah itu kita
kembali ke tempat masing-masing dan meng ambil benda itu. Bagaimana"
Usul yang baik, bukan?"
"Baik sih tidak," sahut Ard awalika t ak mau m emuji. "Tapi karena aku tak ingin
masalah ini berlarut-larut, biarlah usul jelekmu ini kuterima."
Rahasti meletakkan Kujang Em as sepuluh tom bak di sebelah
kanannya. Sementara Ard awalika men aruh buntalan k ain hitam yang
disebutnya ajimat sepuluh tombak dari tempatnya b erdiri tadi. Arahnya
berlawanan dengan Rah asti.
"Jangan kau lakukan itu, Nona! Ambil kembali Kujang Emas itu!"
Rahasti dan Ardawalika terperanjat kag et. Seruan itu begitu k eras


Dewa Arak 93 Perawan Buronan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menggelegar. Dari bunyinya, sepertinya pemilik seruan itu berad a di tempat ini.
Tapi ketika Rahasti dan Ardawalika mengarahk an pandang an, pemilik seruan itu
masih berjarak puluhan tombak di belakang Rahasti.
Rahasti dan Ardawalika seg era meny adari kalau kemunculan orang
itu dapat mengacaukan ren can a mereka. Mak a, bagai telah dis epakati seb
elumnya, keduanya berlomba untuk seg era mendap atkan bend a yang mereka idam-
idamkan. Ardawalika lebih dulu mendap atkan Kujang Emas. Baru
sekejapan kemudian, Rahasti menjumput buntalan kain hitam.
"Ha ha ha...!"
Ardawalika tertawa bergelak p enuh keg embiraan k etika Kujang
Emas telah berada di genggam annya. Sepasang matanya menat ap pusaka itu dengan
sorot mata liar, seperti orang kelaparan melihat makan an.
"Akhirnya bend a yang kuidam-idamkan berhasil kudapatkan ! Aku
dapat terjun lagi ke dunia persilatan! Ha ha ha...!"
Saat Ardawalika y ang bagai o rang ku rang waras itu menciumi
Kujang Emas, sosok yang tadi berseru tiba di tempat itu. Sosok yang bukan lain
dari Sampang ini wajahnya tampak pucat pasi. Kakek itu berdiri lima tombak dari
Rahasti. "Celaka! Ben can a di dunia persilatan ak an muncul lagi. Iblis itu pasti akan
menyebar angk ara murka," desis Sampang penuh kekhawatiran.
Di lain pihak, Rahasti tanpa mempedulikan tingkah Ardawalika
segera menyelipkan
buntalan kain hitam ke pinggangnya.
Jari-jari tangannya t ampak menggigil k etika mengikatk an tali buntalan. Kelihatan jelas
kalau gadis ini terpengaruh oleh perasaannya.
"Ha ha h a...!" Ardawalika kemb ali tertawa berg elak. Kali ini terdengar nada
ej ekan di dalamnya. "Kau tertipu, Nona Dungu! Kau tertipu!
Kau kira aku demikian bodoh memberikan ajimat yang kau inginkan"!"
"Apa"! Rahasti ters entak kag et. Buntalan kain hitam yang sudah
terikat di pinggang direnggutnya k embali hingga lepas. "Kak ek curang!
Licik!" "Ha ha h a...!" Ardawalika h anya tertawa bergelak melihat
kemarah an yang melanda Rahasti.
"Jangan tertawa dulu, Kakek Licik !" geram Rahasti. "Kau kira aku juga demikian
bodoh meny erahk an pusak a berharga itu kep adamu b egitu saja" Aku sudah
memperhitungkan kau akan menipuku. Maka, kusediakan
sebuah Kuj ang Emas palsu untuk b erjag a-jag a! Terny ata k ekhawatiranku
terbukti. Kita sama-sama mendapatkan benda tak bergun a!"
"Keparat...!" geram Ardawalika. Wajah kakek hitam yang semula berseri -seri
berubah b eringas. Sepasang matanya m emancark an hawa maut.
Ditatapnya Kujang Emas hampir tak percay a.
"Kujang Emas ini palsu"!" gumam Ardawalika sep erti bicara p ada dirinya
sendiri. Nada ucapannya terd engar mengambang.
Rahasti tak menjawab. Sementara Sampang yang semula kebingungan kini agak berseri wajah nya. Ada harap an bersemi di hati kakek itu
begitu mendengar ucap an Rahasti.
"Benarkah apa yang k au katak an itu, Nona?" tanya Sampang
seray a menghampiri Rahasti.
"Untuk apa aku berbohong?" Rah asti malah b alas m engajukan
pertanyaan. "Kalau kakek itu tak percay a, silakan mencobanya!"
Ardawalika menggeram b agai harimau luka. Kujang Emas di
tangannya diperhatikan lebih lam a. Terlihat jelas kakek ini masih merasa
bimbang dengan keterang an yang diberikan Rahasti.
Sampang menatap Ardawalika dengan so rot mata penuh kemenang an. Kakek ini percaya penuh ak an kebenaran ucapan Rahasti.
"Tunggu apa lagi, Arda"!" tantang Samp ang penuh keyakin an.
"Mengapa k au tak seg era membuktikannya" Ayo, ayunkan k akimu! Lewati garis
gaib yang selama ini memenjarakanmu! Bukank ah kau amat
menginginkan hal itu?"
Ardawalika tak mempedulikan ucapan Sam pang. Tetap di tatapnya
Kujang Emas di tang annya. Kemudian, pandang annya dialihkan pad a garis yang
dimaksud Sampang. Garis yang tak tampak mata, tapi diketahui
keberadaannya ol eh Ardawalika. Garis gaib y ang dimaksudk an Sampang
membentang tiga langkah di depannya.
Melihat garis gaib itu membuat Ardawalika teringat ak an masa
lalunya. Sekitar empat puluh tahun lalu dia malang melintang di dunia
persilatan deng an menyeb ar mal apetak a. Sepak terjangny a membuat tokoh-tokoh
golongen putih tak senang. Salah satu di ant arany a ad alah seo rang tokoh
besar yang bernama Wiku Ampyang. Pandai besi yang juga memiliki
kepandai an tinggi, baik dalam ilmu silat maupun ilmu gaib. Sayang, Wiku Ampyang
tak ingin terjun ke d alam dunia persilatan. Kakek ini tahu, sekali dia terjun
dan mencampuri urus an, selamanya ak an mendap at masal ah.
Padahal dia ingin hidup ten ang. Maka, Wiku Ampyang memutuskan untuk
tak ikut campur. Kak ek ini yakin akan ada o rang y ang dap at menghentikan
tindakan Ardawalika.
Sementara itu tindakan Ardawalika semakin menj adi-jadi. Tokoh
sesat ini bahkan b erani mengacau s ebuah k adipaten, membunuh sang
adipati dan men culik putrinya. Kadipat en itu berada di b awah kekuas aan Keraj
aan Kamulan. Raja Kamulan yang m eras a bertanggung jawab akan keam anan di
wilayahnya mengutus Sampang untuk menangkap Ardawalika. Sampang
yang tahu kepandai an tokoh sesat itu meminta bantuan Wiku Ampyang atas nama
Raja Kamulan. Wiku Ampyang, karena memand ang Raja Kamulan dan dia
termasuk penduduk kerajaan itu, bersedia memenuhi p ermintaan Samp ang.
Hanya, kak ek itu t ak ingin terlibat pertempuran. J adi Sampang yang harus
bertempur. Baru jika tokoh istan a itu tak mampu mengal ahkannya, Wiku
Ampyang akan bertindak. Itu pun tidak dengan terang-t erang an. Wiku
Ampyang tak ingin Ardawalika mengenalinya. Sampang memenuhi syarat
yang diajukan Wiku Ampyang.
Dua tokoh itu bersama-sama m encari Ardawalika. Tak hanya
berhari-hari, mel ainkan b erbulan -bulan
Ketika t erjadi p ertemu an, pertarung an pun tak bisa dielakkan lagi. Ard awalika b enar-ben ar luar bias a.
Sampang tak mampu menundukk annya. Bahkan Sampang sampai t erluka
parah ! Melihat kenyataan ini, dari balik semak-s emak Wiku Ampyang
menggunakan ilmu g aibnya untuk m emenjarakan Ard awalika dengan garis
gaib yang t ak tampak. Pand ai besi itu men ciptakan ruang an b erbentuk persegi
panjang sebag ai tempat tinggal Ardawalika.
Wiku Ampyang memang luar biasa. Pagar gaib yang diciptakannya
mampu mengurung Ardawalika. Setiap kali tokoh sesat itu melanggar garis, dia
akan terjungkal kembali masuk ke d alam kurungan. Keb erh asilan usaha Wiku
Ampyang membuat Sampang lega. Meski tak bisa membunuh
Ardawalika, kakek itu kembali k e k erajaan d an mel aporkan keb erhasilan
usahanya. Sejak saat itu Ardawalika memang t ak bisa t erjun k e dunia
persilatan. Kakek itu terpenj ara s ecara g aib. Ardawalika tak tinggal diam.
Di dalam p engasinganny a dia bersemadi untuk m encari petunjuk agar bisa bebas
dari kurung an. Kakek itu terpenjara dua puluh tahun lalu. Dia baru mendapatkan
petunjuk sekitar sepuluh tahun lalu. Garis g aib ciptaan Wiku Ampyang bisa
dilewati apabila membawa Kujang Emas.
Bertahun-tahun Ardawalika menunggu o rang yang dapat dimintanya tolong. Akhirnya seorang gadis bern ama Rahasti melalui tempat itu.
Rahasti tengah terluka dan melarikan diri dari kejaran perampok yang hendak
melakukan tindakan tak senonoh terhad apnya.
Sebenarny a Rahasti memiliki kepand aian di at as rombongan
perampok, tapi karena kurang peng alaman, dia terken a racun yang
membuatnya lemas. Ard awalika s egera meman faatkan nasib baikny a.
Ditolongnya Rahasti. Rombongan peram pok itu dibunuhnya. Rahasti
bahkan diaj arinya sedikit ilmu silat dan dijanjikan ak an diberikan ajimat yang
membuat gadis itu tak bisa dilukai.
Rahasti yang haus kepand aian menjadi tertarik ketika melihat
pertunjukan ajimat yang dipamerkan Ard awalika. Dia langsung menerima
permintaan tokoh sesat itu untuk mencuri Kujang Emas dari Kerajaan
Kamulan. Tapi sekarang, kedua orang yang sama-sama serakah dan licik itu
memberikan benda palsu pada orang yang dijanjikannya.
Karen a yakin Ardawalika tak akan b erani mel ewati garis gaib,
Sampang mengalihkan perhatianny a pada Rahasti.
"Antara kita tak ad a masal ah, Nona. Mak a, kuminta kau serahkan
Kujang Emas pad aku. Kujamin kau ak an pergi dengan s elamat. Aku bukan termasuk
orang y ang hany a bisa berjanji tanp a mampu memenuhinya," ujar Sampang.
"Hentikan langk ahmu di situ, Kek!" an cam Rah asti. "Jika tidak, akan kuberikan
Kujang Emas ini pada Ardawalika!"
Ancaman Rah asti ternyata cukup manjur. Sampang tak berani
melangkah maju. Apal agi ketika dilihatnya mu rid Kuntilanak Hitam
Gunung Salak itu mengacungkan sebuah Kujang Emas di atas kepalanya.
"Jangan bertindak geg abah, Nona!" seru Sam pang keras tanpa
menyembunyikan ras a khawatirnya. "Hati-hati
dengan b enda itu! Ardawalika dap at mengambilnya d arimu tanp a perlu b erg erak
dari tempatnya!"
"Kalau d emikian, mundur!" ancam Rah asti dengan suara lebih
keras. "Kal au tidak ak an kulempark an bend a ini padany a, biar kau
dibinasakannya!"
Lagi-lagi Sampang tak berani membantah an caman Rah asti. Kakek
ini melangkah mundur.
"Baik, aku mundur. Tapi hati-hati deng an b enda itu!" ujar
Sampang. Perasaan kh awatir k alau Kujang Em as terjatuh k e tangan
Ardawalika membuat kak ek ini memperh atikan gerak-g erik tokoh sesat itu.
Dan, dia melihatny a! " Awas, Non a! Kakek licik itu hend ak merampas
senjatamu!"
Rahasti bergegas menol eh. Ternyata Ardawalika tengah menjulurkan tangannya, bersiap meram pas Kujang Emas dari jauh.
"Kau boleh teruskan maksudmu kalau ingin Kujang Emas ini
kuberikan pada lawanmu!" tandas Rahasti.
Ardawalika langsung kehilangan keinginanny a. Tangannya yang
semula meneg ang k aku kembali m elemas. Malah, tang annya di turunkan
dan diletakkan di sisi pinggang.
Rahasti tersenyum di dal am hati. Meski Ardawalika d an Sampang
saat ini tak bisa b erbuat apa-ap a, tapi gadis ini tetap kh awatir. Terutama
terhadap Sampang. Bagaiman a dia bisa meninggalkan k akek itu dengan
aman" Rahasti juga masih dicemaskan oleh masalah lainnya. Kujang
Emas yang ada di tangannya adalah yang palsu. Sedangkan pusaka yang asli ada
pada Ard awalika!
Memang, semula Rahasti berni at menyerahkan pus aka y ang palsu.
Tapi, dia salah ambil karena saking senangny a melihat ajimat yang
dipertunjukkan Ard awalika. Meskipun d emikian, berkat k elicikannya
Rahasti mampu berpura-pura!
8 "Mau lari ke mana kau, Murid Murtad..."!"
Seruan serak penuh keg eram an terdeng ar keras bukan main.
Ardawalika dan Sampang tak terkejut mendengar seru an itu.
Beberap a saat seb elum seruan itu terdeng ar, mereka telah lebih dulu
mendengar bunyi langkah -langkah kaki mend ekati temp at mereka. Bunyi
yang sangat halus. Sampai-sampai hampir tak tertangkap telinga.
Dua kakek ini segera tahu ak an munculnya seorang tokoh baru
yang memiliki kepandaian tinggi. Setidak-tidaknya,
pendatang ini mempunyai ilmu meringankan tubuh yang tinggi. Ini bisa mereka ketahui
dari ringannya bunyi langkah yang terdengar.
Kalau Ardawalika d an Sampang tak terkejut, tak demikian halnya
dengan Rahasti. Bagi gadis itu sosok yang akan datang jauh lebih
menyeramk an dari pada s etan penjag a nerak a! Suara itu amat dikenal
Rahasti. Suara yang pernah akrab d engan telinganya selam a bertahun-t ahun.
Siapa lagi kalau bukan gurunya" Kuntilanak Hitam Gunung Salak!
Guru dari Rahasti terny ata seorang nenek b erpak aian hitam.
Rambutnya putih panjang dan terg erai awut-awutan. Tubuhnya agak
bungkuk. Hidung mancung dengan ujung agak mel engkung seperti paruh
burung kakak tua. Sepasang mat anya leb ar. Nenek ini berdiri menggun akan
tongkat yang di cekal dengan tangan kanan.
"Murid Murtad!" d engus nen ek berp akaian hitam. "Rupanya kau hendak
mengkhianatiku, heh" Hendak kau bawa ke mana benda itu"!"
"Aku... aku...," Rahasti gagap karena tak tahu harus bicara ap a.
"Tak perlu bany ak alasan, Pengkhian at! Aku tahu k au h endak
mengangkangi sendiri bend a itu. Dan untuk tindakanmu itu, jangan harap aku akan
mengampunimu. Kau harus kuberi hukuman yang setimpal. Mulai
saat ini kau tak kuanggap sebagai muridku lagi."
"Apa... apa yang akan kau lakukan, Guru?" tanya Rahasti dengan bibir bergetar.
Gadis ini tahu betapa bengis gurunya. Karena itu dia terkenal dengan julukan
Kuntilanak Hitam Gunung Salak. Seorang tokoh hitam yang
ditakuti kawan dan lawan!
Kuntilanak Hitam Gunung Salak m enyering ai. Bagi si nenek yang
memiliki watak keji ini tak secuil pun ada ras a say ang di h atinya. Rasa
sayangnya hanya ad a bila muridnya s ejalan denganny a d an menu ruti
keinginannya. Bila si murid tak sepaham dengannya, lenyap pula rasa
sayang itu. "Aku tak akan menghukummu, Murid Murtad. Aku hany a akan


Dewa Arak 93 Perawan Buronan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengambil milikku. Ilmu-ilmu yang kau miliki sekarang adalah milikku.
Aku yang mengajark annya. Maka, sekarang aku ak an meng ambil ilmu-ilmu itu,"
ujar Kuntilanak Hitam Gunung Salak, kalem.
Rahasti mundur-mundur deng an k etakutan. Ucapan gu runya
kelihatan ringan. Tapi gadis ini tahu apa artinya. Mengambil ilmu sama saja
dengan menyiksa s eumur hidup! Rahasti ak an lebih menderita daripada
mati. Kedua tangan d an kakiny a ak an lumpuh. Rahasti akan menj adi orang cacat
seumur hidup! Rahasti meras akan lututnya goy ah. Keb erani an gadis itu terbang
entah ke mana. Keringat dingin tampak bermunculan di dahu Rahasti.
Sementara itu, Kuntilanak Hitam Gunung Salak melangkah
menghampiri Rahasti. Langkahnya segera terhenti ketika mendeng ar
ancam an Sampang.
"Kau maju selangk ah lagi, aku tak
akan ragu -ragu untuk
menyerangmu, Kuntilanak!"
Sampang telah lama m endengar julukan Kun tilanak Hitam. Nenek
golongan sesat ini jarang kelu ar dari tempat tinggalnya di Gunung Salak.
Kendati demikian, n ama b esarny a terkenal ke s eluruh dunia persilatan.
Beberap a kali p asukan k erajaan dan k adipaten y ang mel alui Gunung Salak
dirampoknya. Di samping untuk menunjukk an kal au dirinya tak g entar
terhadap p asukan kerajaan, nenek ini mempunyai penyakit an eh. Dia gemar
mencuri milik orang lain kendati barang yang dicurinya tak terlalu berharga.
Untuk menegakkan wibawa kerajaan, Raja Kamulan mengutus
Sampang. Dia diberi tugas untuk m embunuh Kuntilanak Hitam. Tapi
sampai berminggu-minggu Sampang men cari tak jug a berh asil menemukan
buruannya. Malah, Sampang hampir celaka ketika mendat angi Gunung
Salak. Dia hampir cel aka terjerumus ke d alam lumpur hidup. Sampang pun pulang
ke kerajaan tanpa hasil.
Sampang memang sial. Sewaktu di a men cari Kuntilanak Hitam,
nenek itu tengah b ersemadi di sarangny a yang ters embunyi. Itu sebabnya nenek
itu tak diketemukannya sampai dia kembali ke kerajaan.
Kuntilanak Hitam memperdeng arkan tawanya y ang mengerik an.
Tawa yang lebih patut disebut ringkik keledai.
"Kalau saja tak mempunyai urusan yang lebih penting, saat ini juga kukirim
nyawamu ke neraka, Sampang! Aku tahu kau dulu mencariku!
Sayang, saat itu aku teng ah men ekuni ilmu baru. Kalau tidak, akan
kubuktikan kalau jagoan istana tak ada artinya bagiku!" geram Kuntilanak Hitam
Gunung Salak. "Bukan hanya kau y ang mempuny ai keinginan d emikian, Kuntilanak!" sergah Sampang tak kalah g ertak !" Setelah kud apatkan Kujang
Emas, kau akan kub awa ke k erajaan. Di s amping mempertanggungjawabkan p erbu atanmu yang dulu, kau h arus m endapat
hukuman atas perbuatanmu yang sek arang, membantu pencurian atas
pusaka Kerajaan Kamulan!"
"Sombong!" bentak Kuntilanak Hitam. "Meski sudah tak terpakai lagi oleh raja,
kau masih sok berbakti. Sabarl ah! Akan tiba saatny a bagiku untuk membunuhmu!"
Rahasti yang semula sudah merasa g embira melihat keributan
antara gu runya deng an Sampang, jadi kecewa lagi. Sepertinya tak akan
terjadi pertarungan. Kedua tokoh itu rupany a lebih mementingkan urusan dengan
Rahasti dari pada urusan merek a.
Sungguh pun demikian Rahasti
tak putus asa. Dia telah mempunyai sebuah ren cana. Rah asti yang memiliki otak cerdik dan licik telah
bisa memperhitungkan kalau saat ini y ang dap at menolongnya adalah Ardawalika.
Tokoh itu memiliki kepandaian tinggi. Kalau tidak, Sampang
tak akan demikian khawatir Ardawalika bebas dari kurung an.
"Kek," sapa Rah asti lembut. "Aku menawark an sebu ah kerj a sama padamu.
Kuberikan Kujang Em as ini padamu. Tapi, bersumpahlah atas
nama leluhurmu k alau k au b ersedia menolongku d an memberikan ajimat
yang asli. Bagaimana?"
Sampang menyad ari akan mun culnya m asalah b aru. Kakek ini
segera bertindak cepat. Dia melompat menerjang Rahasti. Dari atas, laksana
seekor burung garuda, kedua tang annya yang berbentuk cak ar diulurkan
untuk merampas Kujang Emas.
Rahasti yang mendapat serang an, tapi yang memberikan tanggapan
tak hanya gadis itu. Ardawalika dan Kuntilanak Hitam pun tak tinggal diam.
Merek a tak ingin Kujang Emas terjatuh ke tangan Sampang. Bila itu terjadi,
sudah bisa dip erkirak an k alau m eramp as Kujang Emas dari tangan
Sampang jauh lebih sulit.
Kuntilanak Hitam melompat dan menerjang Sampang dari samping. Jika Sampang bersikeras melanjutkan serangan, seb elum maksudnya itu berhasil cak ar-cak ar Kuntilan ak Hitam akan merobek
lehernya! Sampang menyad ari ak an bah aya itu. Mak a, serang annya diurungkan dan cep at dirubah menjadi sampokan untuk memapaki serangan
Kuntilanak Hitam.
Prattt...! Benturan jari-jari tangan yang tak k alah kerasnya dari baja pilihan,
karen a ditopang tenaga dalam kuat, menimbulkan bunyi nyaring. Tubuh
keduanya terjengk ang k e b elakang. Dengan gerakan yang ind ah baik
Sampang maupun Kuntilanak Hitam mampu mematahkan daya lontar tubuh
mereka, kemudian menjejak tanah deng an mantap.
Kuntilanak Hitam menggeram. Jari-j ari tang an nya teras a sakit dan
nyeri. Malah, sekujur tangannya bagai lumpuh. Tenaga dalamnya masih
kalah kuat dibanding lawan.
Di lain pihak, akibat men angkis serangan Kun tilanak Hitam,
Sampang selamat dari pukulan jarak jauh Ardawalika. Angin pukulan yang
mampu menghancurkan seb atang pohon besar itu mengenai tempat kosong.
"Jangan mimpi bisa mendap atkan Kuj ang Emas s elama masih ada
aku di sini, Sampang!" tandas Kuntilanak Hitam seraya men atap tajam-tajam tokoh
istana Kerajaan Kamulan yang telah mengundurkan diri itu.
Sampang tak memberikan tangg apan. Hanya, di dal am hatinya
kakek ini mengutuk keberad aan Kuntilanak Hitam. Sampang khawatir
Ardawalika ak an mendap atkan Kuj ang Emas d an berhasil keluar dari
kurungan gaib Wiku Ampyang.
Ardawalika sendiri y ang merasa t ertarik d engan t awaran Rah asti
segera membuka mulut.
"Kau saj a y ang bersumpah atas n ama leluhu rmu untuk memenuhi
janji yang kau ucapkan itu, Nona!" saran Ard awalika. "Bila itu kau lakukan,
akan kuberikan ajimat yang kumaksud!"
Sampang semakin gelisah m endengar percakapan Rahasti dan
Ardawalika. Kakek ini khawatir ak an tetjadinya pers ekutuan antara
keduanya. "Kuntilanak Hitam! Apabila muridmu itu bersekutu dengan
Ardawalika, bukan saja kita b erdua tak ak an mendap atkan Kujang Emas.
Nyawa kita pun akan sulit untuk diselamatkan!"
Jawaban yang didapatkan Sampang h anya dengusan mengej ek.
Nenek ini tak terl alu mempedulikan ucapan Sampang. Memang, dia pernah
mendengar n ama Ard awalika y ang terken al memiliki kepandaian amat
tinggi. Tapi wanita tua ini belum pernah m eras akan s endiri kelihaianny a.
Jadi, dia tak terlalu mem andang tinggi Ard awalika. Bah kan Kuntilanak Hitam
tak tahu kalau saat itu Ardawalika tengah terkurung.
Rahasti tak mau berpikir panj ang lagi. Sambil membusungkan
dada, dia berteriak lantang.
"Demi leluhurku, Rahasti bersumpah akan memberik an Kujang
Emas ini pada Kakek Ardawalika! Apabila kakek itu memberikan ajimatnya
padaku dan membantuku menghadapi lawan -lawanku !"
Wajah Sampang langsung pucat pasi. Kuntilanak Hitam pun
terkejut bukan main. Tapi sebelum Sampang maupun si nenek sempat
berbuat s esuatu, Ard awalika t elah lebih dulu melemparkan buntal an kain hitam
yang diambil dari bagian dalam baju.
"Terima itu, Nona. Demi roh leluhurku, kuberitahukan kalau
buntalan itu asli!"
Rahasti menangkap buntalan kain hitam dengan tangan kiri.
Sedangkan tangan kanan dipergun akan untuk melempark an Kujang Emas.
Di saat pusaka Kerajaan Kamulan itu melay ang, Sampang dan
Kuntilanak Hitam bahk an Ardawalika, melompat untuk menangkap lebih
dulu Ardawalika s ampai lupa kalau Kujang Emas y ang ak an ditangk apnya masih
berada di luar garis gaib.
Sementara itu, Rahasti seh abis melemparkan
Kujang Emas langsung melesat meninggalkan tempat itu. Siasat yang direncanak annya
berhasil. Seperti yang sudah diperhitungkannya, begitu Kujang Emas
dilemparkan mak a ak an seg era menjadi rebutan. Deng an begitu dirinya luput
dari perhatian.
Kuntilanak Hitam Gunung Salak menggeram k etika melihat
Sampang telah dek at dengan Kujang Emas. Nenek ini tahu k alau dirinya
kalah cepat. Bergeg as diayunkan tongkatnya ke arah pinggang Sampang.
"Uh...!"
Sampang mengeluh tertah an. Saat itu semua perh atiannya
dipusatkan pada Kujang Emas. Maka, serang an Kuntilanak Hitam agak
membuatnya kelabak an.
Dalam waktu yang demikian singkat Samp ang sempat memperhitungkan k emungkinan. Kalau serangan itu dielakk an, Kuntilanak Hitam
tak mungkin menghentikan perburuan atas Kujang Emas. Dia akan
lebih dulu mendapatkan pusaka itu. Sampang tak kalah cerdik. Babatan
tongkat lawan di terima tangan kiri dengan menggunakan tenag a lemas.
Kemudian, dicekalnya batang tongkat dan disentakkan.
Tindakan Sampang membuat tubuh Kuntilanak Hitam t erdorong
ke belak ang. Si nenek tak m au kalah
bertindak. Dengan putaran
pergelang an tangan yang mem egang tongkat, dia membuat Sam pang ikut
terbawa ke belakang.
Sampang dan Kuntilanak Hitam melihat k emungkinan jatuhnya
Kujang Emas ke tangan Ardawalika. Kedua tokoh ini tak menginginkan hal
itu terjadi. Bagai telah disepakati sebelumnya, merek a bers amaan
mengulurkan tang an. Kedu anya mengerahk an ten aga d alam untuk m enarik Kujang
Emas ke arah merek a.
Pemandangan yang men akjubkan pun terjadi. Kujang Emas
mengambang di ud ara, t ertarik k e s ana k emari. Sesek ali mendek ati
Ardawalika, dan tak jarang mend ekati Sampang dan Kuntilan ak Hitam.
Gabungan k edua tokoh yang s emula bermusuhan ini mampu men andingi
tenaga Ardawalika. Keuntung an Ard awalika adal ah karena letakny a yang lebih
dekat dengan Kujang Emas.
Pyarrr...! Kujang Emas hancu r berk eping-keping set elah beb erap a saat
lamanya tertarik ke sana k emari. Rupanya, senj ata itu tak mampu men ahan
dahsyatnya gabungan tiga tenaga dal am yang memperebutkanny a.
Ardawalika, Kuntilanak Hitam, dan Sampang
menghentikan pengerahan tenag a dalam mereka. Sepasang mata ketigany a membelalak
lebar menatap kepingan-kepingan Kujang Emas yang terjatuh.
"Tidak salahkah apa yang kulihat" Mengapa Kujang Emas hancu r"
Bukankah pusak a itu terk enal am at alot dan lu ar bias a kuat"!" pikir
Ardawalika, Kuntilanak Hitam, dan Sampang.
Tapi, keheranan itu segera buyar ketika tidak melihat ad anya
Rahasti di tempat itu. Satu dugaan langsung bergayut di benak k etiga tokoh itu.
Rahasti telah menipu mereka! Kujang Emas yang dilempark annya
adalah palsu! Seketika rasa p ersaingan lenyap. Yang ada di benak mereka
sekarang ad alah p erasaan geram. Mereka menged ark an pand angan ke
sekitar tempat itu untuk memperkirakan ke mana perginy a Rahasti.
Tapi baru juga memperh atikan seb entar, Sam pang langsung pucat
wajahnya. Dia melihat sesuatu yang amat mengejutkannya. Ardawalika juga melihat
hal yang sama. Dia telah berada di luar kurung an! Dia telah
melewati garis gaib dan tak terkena pengaruh pagar kas at mata itu!
"Ha ha ha...!"
Ardawalika tertawa bergelak. Dik eluarkanny a Kujang Emas dari
selipan pinggangnya. Memang, kend ati sudah dirasakan R ahasti kalau
pusaka Ku jang Emas itu p alsu, Ardawalika d engan p erasaan ag ak terpukul
menyelipkannya di pinggang sebelum berus aha merebut Kujang Emas yang
di lemparkan Rahasti. Dia mengangk at pusak a itu tinggi-tinggi dengan
penuh kemenangan.
"Kuntilanak Hitam! Sampang! Lihat b aik-baik. Inilah Kujang
Emas yang asli. Sungguh pandai bocah itu mempermainkan orang ! Ha ha
ha...!" Sampang dan Kuntilanak Hitam saling berpandangan. Dalam


Dewa Arak 93 Perawan Buronan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pertemuan pand ang itu, keduanya bersepakat untuk menentang Ardawalika.
"Akhirnya aku bebas ! Ak an kuporak -porandakan dunia persilatan!
Tapi, sebelum itu kalian berdua yang akan kuhancurk an!"
Diawali teriak an menggel edek Ardawalika melan cark an serangan
dahsyat. Kakek ini mengirimkan bacokan sisi tangan miring ke arah leher Sampang.
Dalam pengerahan t enaga d alamnya b acok an kakek berp akaian merah ini tak
kalah berbahay anya deng an bacok an golok. Apabila mengenai sasaran, mampu
memisahkan kepala dari tubuh.
Sampang segera m elompat ke b elakang. Serangan itu lewat di
depannya. Ard awalika tak berusaha mengejar. Perhatianny a kini dialihkan pada
lawan yang seorang lagi. Diserangnya Kuntilan ak Hitam dengan
sapuan kaki kan an. Nenek itu melompat ke atas. Sesaat kemudian, ketika Sampang
dan Kuntilanak Hitam balas meny erang, pertarung an sengit pun
berlangsung. Jalannya pertarung an sengit hanya b erlangsung lima puluh jurus.
Selewat itu Ardawalika berh asil
menekan lawan-l awanny a.
Bahkan menjempitnya sedemikian rupa!
Di jurus ke tujuh puluh lima Kuntilanak Hitam dan Sampang yang
terdesak nek at menerobos himpitan. Mereka bersamaan menerj ang Ardawa-
lika. Ardawalika sudah memperhirungkan ad anya serang an seperti ini.
Dia bersalto melewati atas kep ala Kuntilanak Hitam Gunung Salak dan
Sampang. Jari-jari kedua tangannya mengetuk ubun-ubun mereka.
Tukkk, tukkk...!
Bersamaan d engan menjejakny a kedua k aki Ardawalika di tanah,
tubuh Sampang dan Kuntilanak Hitam Gunung Salak amb ruk. Nyawa
mereka melay ang dengan pecahnya ubun-ubun kedu anya.
"Ha ha h a...!" Ardawalika tertawa p enuh kegembiraan m enatap mayat kedua
lawanny a. "Sekarang Kujang Emas menjadi milikku. Aku
akan kem bali merajai dunia persilatan ! Tak ada satu pun yang tahu kalau pusaka
ini ada padaku. Wanita sial itu mungkin sek arang su dah mati,
terkena racun yang kutaburk an di buntalan itu! Ha ha ha...!"
Tepat di saat Ardawalika berkata d emikian, Rahasti telah hampir
mencap ai tempat rombongan Arya berad a. Dewa Arak dan rombongannya
melihat Rahasti. Sebaliknya, Rahasti tak melihat mereka k arena l etaknya yang
tersembunyi. "Itu pencuri Kujang Emas," beritahu Arya yang telah selesai
dengan semadinya.
Ladoya dan Patih Singabarong hanya bisa menatap gemas pada
Rahasti. Keduanya merasa meny esal bertemu gadis itu pada saat seperti ini.
"Biar aku yang menghajarnya!" desis Hinggil, geram.
"Tunggu dulu, Hinggil. Tenangkan hatimu. Lihat! Apa yang
terjadi"!" cegah Ary a
Hinggil membelalak ngeri ketika melihat Rahas ti menghentikan
lari secara mendad ak. Gadis itu kemudian menggelepar-g elep ar seperti binatang
disembelih. Hinggil tak kuasa untuk menahan pekikan. Tubuh Rahasti perlahan
mencair. Sekejap k emudian Rahasti lenyap! Cairan yang tercipta meresap ke dalam
tanah. "Apa yang terjadi, Arya"!" tanya Hinggil dengan suara menggigil.
"Entahlah. Tapi, jawabanny a ada di san a!" tuding Ary a ke arah yang
ditinggalkan Rahasti. Mari kita ke sana!"
*** Dengan tawa yang belum putus Ardawalika menghunus Kujang
Emas. Tapi baru saja badan keris muncul separuh, tiba-tiba memancar sinar
kebiruan dari batangny a dan meluruk ke arah Ard awalika.
Ardawalika terp eranjat. Kakek ini meny adari adany a bah aya
mengancam. Dia ingin mengelak. Tapi, seluruh kemampuannya sirna ketika
matanya menatap sinar menyilaukan seb elum munculnya sinar biru terang.
Ardawalika menjerit-j erit ketika sinar biru t erang m enerp a ubun-
ubunnya. Ubun-ubun tokoh s esat itu langsung bolong. Ardawalika t ewas
seketika itu juga.
Tak lama kemudian, rombongan Dewa Arak tiba di tempat Rahasti
datang. Mereka melihat mayat-m ayat berg elimpangan. Kujang Emas
tergolek di tanah. Keb eradaan Kujang Emas s angat menggembirakan h ati Ladoya d
an Patih Singabarong. Mereka akhirnya berhasil mend apatkan
kembali Pusaka Kerajaan Kamulan. Hukum an yang menanti jika mereka
gagal tak akan pernah terwujud.
SELESAI Pembuat Ebook :
Scan buku ke djvu : Abu Keisel
Convert : Abu Keisel
Editor : Fujidenkikagawa
Ebook oleh : Dewi KZ
http://kangzusi.com/ http://dewi-kz.info/
http://kangzusi.info/ http://ebook-dewikz.com/
Jeratan Ilmu Iblis 1 Boma Gendeng 4 Muridku Macho Amanat Marga 5
^