Pencarian

Perawan Buronan 1

Dewa Arak 93 Perawan Buronan Bagian 1


PERAWAN BURONAN
oleh Aji Saka Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting : Turi S.
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Pembuat Ebook :
Scan buku ke djvu : Abu Keisel
Convert : Abu Keisel
Editor : Fujidenkikagawa
Ebook oleh : Dewi KZ
http://kangzusi.com/ http://dewi-kz.info/
http://kangzusi.info/ http://ebook-dewikz.com/
Aji Saka Serial Dewa Arak
dalam episode : Perawan Buronan
128 hal. ; 12 x 18 cm
1 Hari ini sungguh b erb eda d engan hari-h ari bi asanya. Suas ana di
Keraj aan Kamulan terlihat ramai. Hiasan dan umbul-umbul dipasang di
sepanjang j alan di s ekitar lingkungan istana. Di setiap sudut kota pun
terpancang berb agai hiasan yang menyemaraki suasana.
Kead aan di istana lebih meriah lagi. Tampak di alun-alun yang luas
dan ditumbuhi pohon beringin raksasa, raky at sedang berkumpul. Mereka
ingin menyaksikan peristiwa yang j arang t erjadi. Raja Kamulan h endak memilih
salah satu dari sekian banyak putranya untuk menjadi pewaris tahta kerajaan.
Di bangsal agung ratusan undang an memenuhi temp at yang cukup
luas dan megah itu. Seorang kakek berusi a tujuh puluh lima tahun dan
mengeak an jubah panjang putih bangkit dari kursinya. Seketika rombongan pemain
degung merendahk an alunan musik dan akhi rnya berhenti sama
sekali. Kakek b erjubah putih ini bern ama Ey ang Cakra. Dia seo rang
penasihat k eraj aan dalam h al-hal yang berhubung an d engan ilmu gaib.
Kakek ini pula yang dipercay a Raja Kamulan untuk memimpin upacara
penting ini. Eyang Cakra memutar tubuhnya ke k anan. Berdirinya kini
menghadap R aja Kamulan, Prabu Suwand ana, y ang duduk di singgas ana
emas. Di sebel ah kiri s ang Prabu duduk permaisuri. Di belak angnya
berderet-d eret duduk keluarg a istana. Putra-putra Prabu Suwandan a duduk di
singgasana kecil berh adap an d engan singgasana sang Prabu. Ad a tiga buah
singgasan a k ecil yang diduduki para put ra Prabu Suwand ana. Di
kanan kiri singgas ana-singgasana kecil itu berdiri s eorang prajurit k erajaan
yang bersenjatak an tombak dan perisai.
"Para h adirin sek alian...!" ujar Eyang C akra setelah memberi penghormatan p
ada Prabu Suwan dana. "Hari ini Yang Mulia Gusti Prabu Suwandana berkenan meng
adak an acara untuk memilih pangeran yang
berhak menjadi Pangeran Putra Mahkota. Sang Pangeran Putra Mahkota
kelak akan mengg antikan Gusti Prabu Suwandana m enjadi Raja Kamulan
yang kita cintai ini. Seperti yang kita ketahui bersama, dari Gusti Permaisuri
sang Prabu memperol eh b eberapa keturun an. Tepatnya tiga orang. Mereka sama-
sama cakap d an memiliki kelebihan masing-masing. Oleh k aren a itu, Gusti Prabu
harus men entukan pilihan untuk menunjuk orang y ang berhak menjadi raja. Gusti
Prabu Suwand ana memutuskan untuk mempergunakan
pusaka leluhur k erajaan. Kujang Emas yang akan menentukan siapa di
antara ketiga pang eran itu untuk menggantikan Gusti Prabu Suwandana!"
Eyang Cakra m enutup ucapannya deng an meng angkat tangan
kanan ke atas. Rombongan pemain degung pun kembali memainkan
musiknya. Bunyi yang merupakan paduan dari suara gong, gendang,
bonang, gambang, dan rebab kembali mengalun.
Dari s alah s atu bangun an di d ekat bangsal agung seorang g adis
melangkah perl ahan-l ahan mengikuti alunan bunyi degung. Gadis cantik ini
membawa sebu ah baki em as. Di atasnya terletak Kujang Emas yang dial asi
selembar kain indah. Gadis sembilan belas tahun itu memiliki tahi lalat di pipi
kiri. Tahi lalat kecil itu tampak jelas karena kulitnya yang putih dan halus.
Dengan langk ah satu-satu si gadis memasuki bangsal agung, dan
beringsut ke hadapan putra-pu tra Prabu Suwandana. Kemudian dengan
berdiri mempergunak an kedua lutut dan wajah ditundukkan, si gadis
mengangkat bakiny a tinggi-tinggi. Eyang Cakra deng an sikap penuh
khidmat mengulurkan tangan h endak meng ambil baki yang berisi Kujang
Emas. Benda ini merupakan s alah satu dari sekian b anyak pusak a kerajaan.
Gadis pembawa baki lalu beringsut-ingsut mundur dan meninggalkan
bangsal agung. Eyang Cak ra meng angkat b aki tempat Kujang Em as berada dengan
kedua tangan tinggi-tinggi.
"Ini adalah Kujang Emas! Senjata y ang luar biasa ampuh. Hanya
orang yang berjodoh s aja mampu m encabutny a keluar dari sarung. Dengan pusaka
inilah kita akan meng etahui siapa di antara p ara p angeran yang berhak kelak
memimpin kerajaan!" ujar Eyang Cakra deng an suara lantang.
Eyang Cakra menekuk lututnya. Baki di tangannya diangsurkan
pada pang eran yang duduk di singgasana paling kan an. Pangeran ini
merupakan pangeran tertua. Dia bernama R ajamala. Di seb elahnya
Pangeran Samudra. Dan di sebelahnya lagi Pangeran Dan alay a.
Pangeran Raj amala y ang berusia dua puluh tujuh tahun segera
bangkit berdiri. Dengan sikap hormat dan khidmat Kujang Emas di
ambilnya dari b aki. Pangeran t ertua ini memeg ang deng an kedu a tang an.
Tangan kanan m emegang hulu kujang, sedangk an tang an kiri m emegang
bagian sarungnya. Pang eran Rajamal a meng angkat Kujang Em as tinggi ke atas.
Kemudian, dengan s enyum penuh rasa p ercaya di ri diturunkannya
perlahan -lahan s ampai di depan dada. Hulu Kujang digenggamny a.
Pangeran tertua ini bersiap untuk mencabut.
"Aaakh...!"
Pekik kesakitan Pangeran R ajamala m embuat semua orang yang
menunggu dengan tegang terperanjat kaget. Merek a terkejut bukan main
melihat sang pangeran memp erlihatkan k enyeri an heb at pada wajahny a.
Apalagi dari telap ak tangan Pangeran Rajamala meng epul asap. Kujang
Emas terjatuh ke lantai memperdengark an bunyi nyaring.
Semua yang berada di b angsal terk esima. Kejadian y ang mereka
saksikan terlalu tiba-tiba. Mereka h anya d apat menat ap di dengan
pandangan bingung.
"Rajamala...!"
"Gusti Pangeran...!"
Seruan kaget itu dilontarkan hampir berbarengan oleh Prabu
Suwandana dan Ey ang Cakra. Pangeran Rajamala ambruk ke lantai. Sang
Pangeran mengelu arkan keluh an tertahan sebelum terjatuh.
Eyang Cakra y ang berad a paling dek at dengan Pang eran R ajamala
tiba lebih dulu di dekat sang Pangeran. Kakek ini langsung b erjongkok dan
memeriksa kead aan Pangeran Rajamal a. Seruan Eyang Cakra dan Prabu
Suwandana k emudian menyad ark an orang-orang di bangsal. Seketika
timbul kegemparan di t empat itu. Permaisuri menangis ses enggukan
menutupi wajah dengan kedua telapak tangan.
Sementara itu wajah Eyang Cakra langsung memucat. Pangeran
Rajamala telah tewas. Wajah sang Pangeran tamp ak bersemu kehijau an dan tak
memancarkan tand a-tand a kehidupan. Prabu Suwand ana memanggil-manggil nama
putranya. Raja Kamulan ini menubruk tubuh Pangeran
Rajamala yang terbujur.
Eyang Cakra yang bis a memperkirak an mengap a Pangeran
Rajamala tewas t erkejut buk an m ain melihat k ecerobohan Prabu Suwandana. "Gusti Prabu...! Tahan! Jangan sentuh! Tubuh Gusti Pangeran
Rajamala mengandung racun ganas y ang mematikan !" seru Ey ang Cakra, kalap.
Seruan Eyang Cakra terd engar ke seantero bangsal agung. Tapi
Prabu Suwandana yang t elah kehilangan akal sehatny a melihat kejadian
yang menimpa putranya seperti tak mendengar peringatan itu.
Pangeran Samudra seg era bertindak. Keselamatan ay ahand anya
terancam. Maka, pangeran ini mengulurkan kedua tangannya yang terbuk a.
"Maafk an atas kel ancang an Anand a, Ayahand a Prabu!" u cap Pangeran Samudra.
Deru angin keras meluncu r dari kedua telapak
tanganny a. Hembusan angin itu ternyata cukup kuat untuk mendorong tubuh Prabu
Suwandana hingga terduduk kembali di singgasanany a. Dan sebelum Prabu
Suwandana berbuat sesuatu, Eyang Cakra telah lebih dulu bertindak. Kakek ini
bergegas menghampiri junjungannya lalu memberi hormat.
"Maafk an. kelancangan h amba, Gusti Prabu. Menurut hemat
hamba, amat berb ahay a menyentuh tubuh Gusti Pangeran Rajamal a. Di
sekujur tubuhnya mengalir racun mematikan y ang membuat siapa pun
menyentuhnya akan tewas."
Prabu Suwandana menghembuskan nap as berat beberap a kali
untuk menenangkan diri.
"Sebenarny a apa y ang telah terjadi, Eyang?" tanyanya k emudian.
Suaranya terd engar begitu sedih.
"Semua ini terjadi akibat Kujang Emas, Gusti Prabu."
Sepasang alis Prabu Suwandana terk erut men dengar jawaban
Eyang Cakra. Tanggapan Prabu Suwandan a berb eda d engan Ladoy a.
Ladoya ad alah k epala p asukan istana y ang seg era m engeluarkan seruan
lantang. "Cari wanita yang membawa Kujang Emas...!"
Seketika itu pula belas an pasukan istana b erlari an mencari g adis
pembawa baki b erisi Kuj ang Emas. Ladoya sendiri ikut s erta dalam
pencarian itu. "Jaga mulutmu, Eyang Cakra...!" sembur Prabu Suwandana tak
senang. "Sungguh lancang kau berani bersikap tak sopan terhad ap pusaka leluhur
kami!" "Ampunkan hamba, Gusti Prabu," sembah Eyang Cakra buru-buru.
Wajahnya tampak berubah pucat "Hamba kesalah an bicara. Maksud Ham-ba...,
penyebab kematian Gusti Pangeran Rajamal a adal ah racun yang
ditaburkan pada Kujang Emas."
"Bagaimana k au bisa m engambil kesimpulan sep erti itu, Eyang"
Tidakkah dugaan itu terlalu dini untuk dilontarkan"!"
"Ampunkan hamba, Gusti Prabu. Untuk menguatkan k ebenaran
dugaan itu bolehkan hamba membuktikannya."
Prabu Suwandana meng anggukkan k epala. Seketika itu pula,
Eyang Cakra b angkit berdiri dan memberi isyarat pad a salah seo rang
prajurit "Ambilkan baskom berisi air."
Sang prajurit mengangguk cepat d an berl ari untuk melaksan akan
perintah itu. Eyang Cakra mengh ampiri tempat di man a Kuj ang Emas
terjatuh. Kakek ini mengambil baki tempat pusaka Kerajaan Kamulan itu.
Eyang Cakra menj ejakkan kaki. Kujang Emas pun melay ang naik
ke atas dan hinggap di atas b aki yang dipegangny a. Pusaka itu jatuh ke atas
baki perl ahan-l ahan s eperti diletakkan dengan tangan. Kakek ini kemudian
bergeg as menghampiri Prabu Suwandana. Tak lama prajurit yang membawa
baskom berisi air tiba.
"Hamba akan cob a membuktikan keben aran u capan hamb a, Gusti
Prabu." Usai berk ata, Eyang C akra m engambil keris y ang ters elip di
pinggang. Dimasukkannya senjata itu ke dalam b askom berisi air.
"Sekarang ak an hamba masukkan Kujang Emas, Gusti Prabu," ujar Eyang Cakra seray
a menatap waj ah Prabu Suwandana.
Eyang Cakra memasukk an Kujang Emas ke d alam baskom dengan
memiringkan baki, sehingga pusaka kerajaan itu merosot ke dalam baskom.
Terdengar bunyi b erdesis sep erti besi pan as terk ena air. Pusaka Kerajaan
Kamulan itu tenggelam ke dalam dasar baki deng an menimbulkan
gelembung-gelembung bag ai air mendidih. Permukaan air di dalam baki
bergolak hebat memperd engarkan bu nyi bergemuruh.
Semua mata yang menyaksikan peristiwa ini membelalak kaget
bercampur ng eri. Peristiwa s eperti ini tak t erjadi k etika k eris Ey ang Cak
ra dimasukkan ke dalam air. Sekejap kemudian air di dalam baki berubah.
Tidak lagi bening dan jernih, melainkan hijau k eruh. Bau yang memualkan perut
pun menyebar. Orang-o rang sampai menutup hidungnya.
"Dugaan hamba tidak k eliru, Gusti Prabu. Kuj ang Emas telah
ditaburi bubuk racun m ematikan! Racun yang amat gan as. Racun itu
menjalar p ada Gusti Pangeran Raj amala m elalui kedua tangannya yang
mencek al pusaka," beri tahu Eyang Cakra.
Kakek berjubah putih ini memang banyak memiliki ilmu aneh.
Benda-bend a an eh pun b anyak dimilikinya. Benda-b enda y ang mempunyai
keistimewaan tersendi ri. Tadi sebelum merendam keris dan Kujang Emas,
kakek ini telah lebih dulu men aburkan bubuk ke dalam air. Bubuk yang
akan memberikan pertanda bila terdap at racun pad a benda-b enda yang
hendak direndamny a. Bubuk itu merupakan hancuran dari batu mirah.
"Bagaimana mungkin itu bisa terjadi, Eyang"!" g eram Prabu
Suwandana, murk a. Deng an wajah merah p adam dia menoleh ke kan an.
"Patih! Apa saja kerjamu sehingga kejadian seperti ini bisa terjadi!"
Wajah Patih Singabarong memucat. Bibirnya menggigil ketika
berbicara. "Ampunkan hamba, Gusti Prabu. Hamb a bersedia men erima
hukuman. Tapi sebelum itu hamba tak akan tinggal diam. Hamba akan usut
sampai tuntas peristiwa ini."
Prabu Suwandana mendengus.
"Kuberi k au waktu dua minggu untuk mengungk ap mas alah ini.
Jika gagal, tiang gantungan siap menunggumu!"
"Terima kasih atas kemurahan hati Gusti Prabu. Hamba mohon diri
untuk mempersiapkan segala sesuatunya."
Prabu Suwandan a menganggukk an kep ala deng an sikap k aku.
Sementara itu Eyang Cakra telah mengangk at Kujang Emas dari dasar baki.
Kakek ini tak merasa khawatir lagi untuk menyentuhnya. Racun pada
pusaka kerajaan itu telah ditawark an oleh bubuk batu mirah. Ditimang-
timangnya Kujang Emas lalu di ciumnya beberapa kali. Sepasang alis
Eyang Cakra yang telah memutih tampak berkerut dalam.
"Ampunkan hamba, Gusti Prabu. Hamba akan m engatak an hal
yang tidak berken an di hati Gusti," ucap Eyang Cakra kemudian hati-h ati
sekali. "Katakan saja, Ey ang. Aku lebih suka kalau Eyang bicara terus
terang," sambut Prabu Suwandana.
"Ampunkan hamba, Gusti Prabu. Kujang Emas ini bukan Kujang
Emas yang asli. Senjata ini palsu dan bukan pusaka kerajaan...."
"Apa"!" Biji mata Prabu Suwandan a h endak m elompat keluar.
"Oh, Sang Hyang Widi! kutuk apa yang telah menimpa kerajaan ini?"
Permaisuri menangis semakin k eras. Prabu Suwand ana mengepalkan kedua tinjunya kuat-ku at. Rahangnya tampak mengg embung.
Kelihatan jelas kalau sang Prabu tengah murka.
"Patih...!"
Patih Singabarong yang baru saja b eberapa tindak meninggalkan
bangsal agung buru-buru menghentikan langkah.
"Kau deng ar ap a yang dikat akan Eyang Cakra"! Tugasmu
bertambah ! Cari Pusak a Kuj ang Emas s ampai d apat d an seret p elakunya
kemari!" titah Prabu Suwandana.
"Akan hamba laksanak an, Gusti Prabu!"


Dewa Arak 93 Perawan Buronan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Eyang," Prabu Suwand ana meng alihkan p erhatian pada Eyang
Cakra. "Kuras a perlu diberitahuk an pada rakyat kal au kerajaan berkabung
selama dua puluh satu hari."
*** Seorang g adis muda tamp ak memacu kud a tunggang annya tengah
dikejar setan. Pecutny a senantias a mend arat di bagi an belak ang tubuh kuda
coklatnya. Tali kekang yang di cek al dengan t angan kiri pun tak henti-hentinya
digeprakkan. Bunyi derap kaki kud a berdebam -debam
menghantam bumi.
Lari kuda coklat itu telah luar bias a cepat. Tapi, si gadis terus saja
memacunya. Gadis ini memiliki tahi lalat di pipi kiri. Berkulit putih halus.
Rambutnya digulung, dan p ada b agian depan diikat d engan hiasan emas
berbentuk bulan sabit.
Si gadis memacu kudanya seray a berk ali-kali menolehkan k epala
ke belakang, seak an di belakangny a ada orang yang mengej ar. Tanpa
memperlambat laju kud anya si g adis kemudian m enggoyang-goy angkan
kepala. Hias an rambutnya pun terl epas. Demikian pula d engan gelungannya. Ram butnya yang p anjang s egera mel ambai-lambai diterpa
angin. Gadis yang m engenak an p akaian ringkas warn a kuning itu terus
memacu kud anya di pinggir aliran Sungai Citarum. Medan y ang terk adang naik
turun tidak mengh alangi laju lari kuda. Menj elang matah ari menuju titik
tengahnya, si gadis melihat mulut sebuah hutan di k ejauhan. Wajah gadis itu
seketika terlihat berseri-seri.
"Apabila tel ah mem asuki hutan itu, tak ak an sulit bagiku untuk
menyembunyikan diri dari kejaran," pikir gadis berpak aian kuning penuh keya-
kinan. "Setidak-tidakny a pasuk an kerajaan ak an mendap at kesulitan.
Dan b erkat pusaka yang kudap atkan ini, aku ak an menj adi seo rang wanita yang
sakti. Rahasti, dunia akan berad a di tanganku. Tidak hany a wilayah Jawa Barat,
tapi s eantero tan ah Jawa. Dan bukan hanya dunia p ersilatan saja, namun juga
kekuas aan pemerintahan. Aku akan men jadi ratu,
Disembah-sembah oleh sekian puluh ribu manusia! B etapa m enyenangk an!
Hi hi hik...!"
Harap an itu membuat gadis berp akai an kuning yang bernama
Rahasti semakin bersemang at memacu binatang tungganganny a. Hanya
dalam beberap a saat hutan k ecil itu telah dimasukinya. Sampai di tengah hutan,
Rahasti melompat turun dari punggung kuda. Binatang berwarna
coklat itu diusirnya untuk menempuh arah y ang berlawanan deng an yang
akan ditempuhnya. Rahasti yang merasa yakin dirinya dikejar-k ejar
bermaksud mengecoh para peng ejarny a.
Melihat binatang tunggang annya telah b erada cukup jauh, Rah asti
membalikkan tubuh dan berlari ke arah yang b erlawanan. Semak b elukar
diterjangnya sehingga menimbulkan bunyi gaduh. Binatang-binatang kecil
yang berada di temp at itu kalang kabut meny elamatk an diri. Dengan
pengerahan ten aga dalam Rah asti tak perlu khawatir kulitnya terluka oleh duri-
duri tajam. Hanya pakaiannya yang koyak -koyak di sana sini.
Rahasti masih mengayunkan kedu a kakinya k etika mendeng ar
bunyi yang telah cukup akrab di t elinganya. Bunyi berdentum-dentum tapi
mempunyai nad a y ang en ak did engar. Bunyi bon ang (jejeran gong kecil yang
merupakan salah satu perangkat degung).
Kleung dengdek buah kopi rarang geuyan
Keun anu dewek ulah pati diheureuyan
Cing cangkeling manuk cingkleung cindeten
Plos ka kolong bapak satar buleneng
"Orang gila d ari mana yang main bon ang dan b ernyanyi di tempat
sesepi ini?" pikir Rahasti.
Suara serak-serak p enyanyi ini menunjukkan kalau dia sudah tidak
muda lagi. Dan tampaknya yang menyanyi ad alah laki-laki. Tapi, Rahasti tak
mempunyai keinginan untuk mengetahui orang y ang berm ain bonang.
Gadis itu lebih memikirkan urusannya. Tanpa dipikirkan lebih jauh, ayunan
kakinya terus dipacu. Beberap a lama berlari, kening Rahasti mulai
berkernyit. Ia merasakan ada kej anggalan pad a tempat yang dilaluinya.
"Aneh...! Sepertinya aku telah melalui tempat ini sebelumnya. Aku
yakin tidak salah. Kead aan sem ak-semak y ang porak-poranda menjadi
alasan kuat kalau tempat ini telah kulalui!"
Perasaan heran meng apa bisa kemb ali ke tem pat semula membuat
Rahasti memperlamb at lari. Sekarang gadis ini b erlari seraya memperhatikan sekitarny a.
"Tidak salah lagi...," pikir Rahasti kemudian. "Aku telah tersesat jalan dan
hany a berputar-putar di tempat ini. Aku ing at betul tempat ini telah kulalui
sebelumnya. Tempat pertama k ali kudengar bunyi bonang dan nyanyian itu!"
Karen a y akin betul dirinya t elah tersesat jal an, Rahasti sekarang
memperhatikan ben ar-b enar jalan dan tempat-temp at yang dilaluinya. Dan selama
Rahasti mengayunkan kaki, bunyi bonang d an nyanyian terus
terdengar. "Gila...!"
Kali ini Rahasti tak ku asa m enah an seruan. Cetusan d ari p eras aan
bingung dan putus asa. Ia kembali menempuh tempat semula! Sambil
mengumpat panjang pendek seb agai pel ampiasan ras a jengkel, Rahasti
menghapus peluh y ang membas ahi dahi d engan s apu tangan. Rah asti
kemudian berdiam diri, memperhatikan sekitarnya.
"Aku yang bodoh sehingga tak bisa mengenali arah, atau... ada
yang mengganggu p erjal ananku" Mungkinkah penunggu hutan ini telah
menutup pandanganku sehingga hany a jalan yang menuju ke tempat ini
yang terlihat olehku! Tapi jika benar hutan ini ada penunggunya,
mungkinkah di siang hari seperti ini lelembut itu bertindak usil?" gumam Rahsti,
bingung. Seperti menyambuti keluhan gadis ini, terdengar seruan yang tidak
keras tapi tegas. Seruan yang mengandung teguran dan cel aan.
"Mengandalk an kemampuan dengan perantaraan nyanyian untuk
mempermainkan seorang wanita muda sungguh suatu tindakan tak terpuji.
Apalagi jika dilakukan oleh orang yang tel ah dekat deng an lubang kubur,
seperti kau Kek...!"
2 Ucap an itu menyadark an Rahasti dari kebingunganny a. Kiranya
karen a bunyi bonang dan nyanyian itu! Tapi, bagaimana hal itu bisa terjadi"
Rahasti mengedark an pandangan untuk mengetahui pemilik suara
yang menegur pem ain bonang. Sia-sia! Asal suara itu sulit dilacak karena
seperti beras al dari segenap arah.
Kenyataan ini mengejutkan Rahasti. Jantungnya berd etak jauh
lebih cep at karen a p eras aan tegang yang meland a. Pemilik suara itu agaknya
mempuny ai ilmu memindahkan suara. Ilmu seperti itu hanya
dimiliki oleh orang-orang yang memiliki tenaga dalam sangat tinggi.
"He he he...!" Tiba-tiba terdengar tawa menge-k eh. Tawa pemain bonang. "Kau tak
usah bertin dak seperti pendekar, Anak Muda. Aku tahu mengapa kau m embela
wanita itu. Dia masih muda, cantik, dan bertubuh
montok! Kau ingin mencari perhatianny a, bukan" He he he...! Aku tahu apa yang
berkecamuk di hatimu. Aku dulu pernah muda, Anak Muda!
"Mulutmu kotor sekali, Kek!" sembur pemilik suara kedu a yang disapa sebagai
anak muda. Nada suaranya terd engar penuh teguran.
"He he he...! Masih juga kau bertingkah seperti orang suci, Anak
Muda! Aku tahu apa yang ada di benak orang-orang muda seperti kau!
Ataukah..., perkataanku membuatmu sukar untuk bers andiwara di depan
gadis montok itu"!"
Pemilik suara kedu a belum semp at memberik an tangg apan, ketika
Rahasti yang merasa jengk el karena dirinya merasa diremehkan menyambuti ucapan pemain bonang.
"Kalian ini manusia peng ecut y ang h anya bis a menggonggong
keras-k eras tanpa b erani menunjukkan muka! Kalau m emang mempunyai
nyali, tunjukkan diri!"
Seruan Rah asti nadany a tajam bukan m ain. Apalagi diucapkan
secara keras. Terasa jelas kas arnya isi ucap an itu. Hal ini rupanya dirasakan
oleh kedua orang yang belum memunculkan diri. Keduanya terdi am tak
memberikan tanggap an apa pun. Suasana menjadi hening beberapa saat.
Rahasti kebingungan. Gadis itu khawatir mereka telah pergi.
"Mulutmu tajam sekali, Gadis Liar! Ucapanmu terl alu keji sekeji
kedua tangan dan otak yang ad a di kepalamu. Aku tak bersembunyi, dan tak pernah
b ermaksud d emikian. Sejak kau belum tiba aku tel ah berada di sini.
Kau saja yang mempunyai mata buta, sehingga tak mampu melihat
keberadaanku...!"
Ucap an pemilik bonang kali ini dapat diketahui secara jelas oleh
Rahasti. Lelaki itu tak menggunakan kemampuanny a memindahkan suara.
Begitu mengetahui asal su ara itu, Rahasti tanpa sad ar menutup mulutnya agar
tak keluar jeritan.
Suara p emilik bonang berasal d ari gunduk an tan ah sep anjang satu
tombak dan lebar seteng ah tombak. Gundukan tanah y ang terletak tiga
tombak di sebelah kanan Rahasti. Dan itu adalah... kuburan!
Rahasti adalah seorang gadis yang memiliki kepandaian tinggi. Dia
pun tak gentar mengh adapi maut. Tapi biar b agaimanapun dia seo rang
wanita. Melihat asal suara itu dari kuburan, nyalinya langsung menciut.
Kalau saja s aat itu bukan siang h ari, melainkan malam, mungkin Rahasti sudah
lari pontang-panting meninggalkan tempat itu.
Jantung Rahasti berd ebur k encang. Dadany a yang padat membusung tampak berombak dengan keras. Gundukan tanah berg etar
seakan ad a sesuatu yang akan kelu ar. Sudah terbayang di benak ,gadis ini kalau
sesuatu y ang ak an keluar itu adalah sesosok mayat y ang telah
membusuk. Apalagi yang berada di dalam kuburan kalau bukan mayat"!
Rahasti sampai terlonjak ke belakang k etika melihat sebuah tangan
terjulur kelu ar s eiring d engan terbongkarnya tanah ke san a k emari. Tapi
melihat kead aan tang an sep erti lay aknya milik manusia hidup, rasa takut dan
ngeri gadis ini s edikit lenyap. Dan rasa takut murid Kuntilanak Hitam Gunung
Salak ini semakin menipis tatkala 'mayat hidup' itu keluar
seutuhnya. Sosok itu tak patut disebut mayat.
Dia terny ata seo rang k akek p endek. Bentuk tu buh dan tingginya
tak ubahnya an ak berusia sepuluh t ahun. Kepal anya s angat b esar. Kakek
berkep ala besar ini tidak hanya memiliki wajah dan kulit keriput. Wajahnya
penuh ditumbuhi kumis, jenggot, dan cambang yang telah memutih.
Bahkan, sepasang alisnya pun berwarn a putih.
"Kukira siapa, kiranya hany a seorang yang sudah dek at dengan
lubang kubur!" dengus Rahasti, sinis.
"Memang aku telah d ekat d engan liang kubur, Nona. Tapi, itu
tidak menjadikan alasan buatku membiarkan kel ancangan yang kau
lakukan!" tandas kakek berkep ala besar.
"Aku tak p eduli ap a pun y ang kau kat akan, Kep ala Besar! Aku
ingin lewat. Kuharap kau bersedia menyingkir sebelum aku terpaksa
menyingkirkanmu dengan kekerasan !"
"Begitukah..."!" sahut si kakek setengah tertawa meremehk an.
"Aku justru ingin tahu bagaimana caramu melakukan hal itu!"
Tanpa mempedulikan Rahasti yang semakin g eram melihat
ancam annya tak dipedulikan, kak ek an eh ini duduk di atas seb atang pohon
tumbang. Bonang yang semula tersampir di punggung diletakkan di
depannya. Sikap si kakek membuat Rah asti kehabisan kesab aran. Gadis ini
merogoh buntalan kecil yang terikat di pinggang. Dari tempat itu
diambilnya beberapa bat ang paku, kemudian dilempark annya ke arah si
kakek. Lima b atang paku meluncu r menuju lima temp at mematikan di
tubuh kakek berkepal a besar. Ubun-ubun, bawah hidung, leher, ulu hati, dan
pusar! Kakek an eh menundukkan kep ala seakan tak tahu bah aya yang
tengah mengancamnya. Tapi ketika paku-paku menyambar semakin dekat,
si kakek memukul salah satu dari jajaran gong kecilnya.
Tungngng...! Seiring terdeng arnya bunyi gong, s alah satu p aku yang tengah
meluncur berh enti mendadak lalu jatuh ke tan ah! Rah asti terbelalak melihat
kejadian di dep annya. Belum lagi hilang rasa kagetny a, empat bat ang paku yang
lain ikut runtuh ketika si kakek kembali memukul bonangnya.
Sungguh pun demikian Rahasti tak menjadi gentar. Ketika
peras aan kag et berh asil ditekannya, rant ai bajanya s egera diuraikan dan
diputar di atas kep ala. Kemudian, deng an diawali bentak an nyaring
diayunkan ke arah kep ala si kakek.
Seperti juga seb elumnya k akek aneh itu menunggu hingga jarak
Rahasti mendekat, setelah itu bonang dipukul. Akibatnya bola berduri
Rahasti tak dapat terus mel aju ke sasaran. Rahasti menggertakkan gigi.
Dikerahk an selu ruh kem ampuan y ang dimilikinya. Bunyi menderu-d eru
mengiringi gerakan rant ai Rahasti.
"Kurasa sudah cukup kesemp atan yang kuberik an! Sekarang
giliranku menyerang!" u cap si k akek meng atasi bunyi gaduh put aran rantai
Rahasti. Rahasti tak mempedulikan seruan itu. Malah, semangatnya untuk
menyarangk an serangan s emakin bertambah. Kakek b erkep ala b esar
ternyata tak berm ain-main deng an ucap annya. Jajaran gong k ecilnya s ecara
bertubi-tubi dipukul. Bunyi berdentum-dentum yang tertangk ap telinga
bagai bunyi derap puluhan ekor kud a. Si kakek sem akin memukul
bonangnya dengan kecep atan yang menakjubkan.
Akibat yang t erjadi l ebih luar biasa! Rah asti kehilangan kend ali
atas senjatanya. Rantai berujung bola berduri menjadi liar. Senjata ini melayang
ke arah pemiliknya sendiri, bertubi-tubi mengikuti irama bunyi bonang! Jika
bunyi melambat maka sambaran rant ai pun perlahan. Begitu
pula sebaliknya.
Rahasti kelabakan! Seumur hidupnya belum pern ah dialami
kejadian seperti ini. Hanya dengan bunyi, senjatanya diambil alih lawan dan
dipaksa untuk menyerang p emiliknya sendiri. Kal au saja ada orang yang
menyaksikan pertempuran ini tentu akan melongo keh eran an. Rahasti yang
memegang pangk al rantai, tapi justru senjata itu yang meny erangny a!
Kalang k abut dan m enderu -deru.


Dewa Arak 93 Perawan Buronan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Betapapun g adis itu berus aha mengendalikan senjatany a, namun usahanya sia-sia!
Rahasti terpontang-panting menyelam atkan diri. Sampai beberapa
belas jurus hanya itu yang dapat dilakukannya. Mengelak dan terus
mengelak! Sampai akhirny a g adis itu putus as a. Di jurus k edua puluh
sentajanya dilepas dari cek alan!
Ternyata, tindakan yang diambil Rahasti tak membu atnya terlepas
dari masalah. Rantai itu masih tetap mengejarnya. Malah lebih liar dan
ganas d ari seb elumnya! Keadaan Rah asti semakin mengkh awatirk an.
Mengelak terus-men erus ak an membuatnya lelah. Dan jika keadaan
demikian terus berlangsung dia akan celak a!
"Benar-b enar
ket erlaluan tindakanmu, Kek! Bukan hanya menghalangi p erjalan an orang, tapi s ekarang k au h endak m embunuhnya!
Terpaksa aku tak bisa tinggal diam!"
Seruan yang tadi memihak Rahasti kembali terdengar. Lagi-lagi
menegur kakek pem ain bonang. Nadanya kali ini lebih keras.
Rahasti mengarahkan pand angan ke satu arah. Sementara kakek
pemain bonang tetap dengan kesibukanny a semula, memukul bonang!
Wajahnya tetap meneku ri tanah. Tak sedikit pun timbul keinginan untuk
melihat orang yang sejak tadi mencampuri urusannya.
Rahasti yang merasa pen asaran terp eranj at kaget bukan main. Pada
sebatang pohon kelapa yang amat tinggi tampak berjalan seseo rang dari atas
puncaknya m enuju ke b agian bawah. Sosok berpak aian ungu itu berjalan seenakny
a seakan-akan b atang pohon k elapa tidak berdiri teg ak, melainkan rebah !
Tak lama kemudian sosok berpakaian ungu itu menjejak tanah.
Rahasti semakin terkejut mendapati sosok yang dikiranya telah berusia amat
lanjut itu ternyata seorang pemud a tampan berwajah tenang. Rambutnya
berwarna putih keperak an.
"Menyingkirlah, Nona. Biar aku yang menghadapi kakek usilan,"
ujar pemuda berpak aian ungu. Suaranya tenang dan kalem.
Bagai kerb au dicocok hidungnya, dengan wajah masih memancarkan k eheranan Rah asti menyingkir dari tempat itu. Ingin
diketahuinya apa yang ak an dilakukan pemuda berambut putih keperak an.
Rahasti dapat dengan mudah menyingkir karena si kakek tak menyerangnya
lagi. Memang bonangny a tetap dimainkan, tapi nad a permainanny a tak
ditujukan untuk membuat rantai Rah asti menyerang p emiliknya. Rantai itu hanya
berg erak -gerak di udara.
"Ha h a ha...! Kau hebat, An ak Muda. Kau m embuatku yang telah
bertulang rapuh ini jadi tertarik untuk b ertarung l agi. Asal kau tahu saj a,
sejak beberapa bel as tahun lalu aku tak pernah lagi mengadu otot. Kau patut
merasa bangga Anak Mu da!" uj ar k akek b erkep ala b esar seraya m enatap Arya
Bu ana Alias Dewa Arak penuh selidik. "Dan sebag ai tand a rasa kagumku atas
kepand aian yang k au miliki, aku bersedia memperk enalkan diri. Kebetulan aku
belum lupa dengan nama yang diberikan orang tuaku.
Sampang, itulah namaku, Anak Muda."
"Aku Arya, Kek. Arya Bu ana," balas Arya m emperk enalkan j ati dirinya.
"Kuucapk an terima kasih atas p enghormatan yang k au b erikan padaku, walaupun
ucap anmu bertentangan deng an perbu atanmu."
"Heh"! Atas dasar ap a kau berkata d emikian, Anak Muda"!" tanya Sampang agak
tersentak. Kakek ini tak menyapa Arya deng an namanya.
"Kau katak an tadi kalau kau telah b elasan tahun tak bertarung, dan baru
denganku k au akan melakuk annya lagi?" Arya meminta peneg asan seray a menatap
Sampang tepat pada bola matanya.
"Benar," jawab Sampang singkat
"Lalu apa y ang kau perbu at dengan wanita muda ini" Bukankah
kau mengeluarkan k emampuanmu untuk mengh alanginya m elakukan
perjalan an" Kulihat gadis itu melawan sehingga terjadi pertarungan antara
kalian?" "He he he...!" Sampang terkek eh sambil menggeleng-g elengkan kepala. "Kuakui
apa y ang kau kat akan mem ang tak salah. Tapi, aku mempunyai alasan yang amat
kuat. Sayang, hal itu tak bisa kuberitahukan padamu, Anak Muda."
"Aku pun mempunyai alasan untuk menolong gadis itu, Kek.
Terkecuali kalau kau dapat memberikan al asan yang tepat," timpal Arya.
"Seperti yang telah kukatak an tadi, aku tak bisa memberitahukan
alasannya. Perlu kau ketahui, sekali aku berk ata hitam tak akan nanti aku
berubah p endirian. Kau deng ar, Anak Muda"! Jadi apa pun yang terjadi, yang
kukatakan tak akan berub ah lagi. Jelas"!"
Arya hanya meng angkat bahu.
"Hei! Hendak kabu r ke mana kau"!"
Sampang yang melihat Rahasti meles at meninggalkan t empat itu
segera memperg encar pukulan bonangnya. Seketika itu pula rantai yang
sejak tadi meng awang di ud ara meluncu r ke arah si gadis. Ary a tak rela
membiarkan Rahasti dijegal. Pemuda ini buru-buru menjulurkan tangannya.
Wuttt! Angin yang meng eluark an deru keras k eluar dari t elapak tangan
Arya, dan mengh antam rantai y ang tengah meng ejar R ahasti. Rantai bola
berduri itu pun terpent al jauh, menyeleweng dari sas aran s emula. Rahasti
terbebas dari ancaman dan meles at tanpa terganggu.
Sampang tak tinggal di am. Bonangnya k embali dimainkan sambil
memperdeng arkan nyanyi an. Kakek ini hendak menyesatkan Rahasti seperti
sebelumnya. Tapi, Arya yang meny adari maksud Sampang seg era menjulurkan
tangan. Rantai y ang terjatuh di t anah m eluncur ke arahnya. Arya segera
menangkap dan memutarny a di atas kepala.
Wuk, wuk, wukkk...!
Bunyi menderu-deru seg era terdeng ar. Tak hanya satu nada,
melainkan bany ak n ada s eperti layakny a bunyi yang keluar d ari al at-alat
musik! "Gila...!" puji Sampang dalam hati. Bunyi bonangnya tertekan oleh bunyi putaran
rant ai sehingga tak menimbulkan pengaruh t erhad ap Rahas ti.
"Pemuda ini benar-b enar luar biasa! Kalau tidak, bagaiman a mungkin mampu
menimbulkan bunyi seperti suling hanya dengan sebelah rant ai"!"
Sampang penasaran. Tenaganya diperb esar dan jumlah pukulannya
pada bon ang ditambah sehingga keku atan p engaruhnya s emakin d ahsyat.
Dewa Arak tak tinggal diam. Perlawanan yang diberikannya pun semakin
gencar. Pertarungan tak lazim segera terj adi. Mesti Dewa Arak dan
Sampang berdiam diri di tempatnya, tapi kadar bahay anya tak kal ah dengan
pertarung an umumnya. Peluh membasahi wajah keduanya.
"Kakek ini memiliki tenag a dalam y ang amat kuat," pikir Dewa Arak." Mungkin
tak berada di bawah tenagaku. Apabila pertarungan
dibiarkan terus berlangsung, kami berdua akan terancam maut. Hal ini tak boleh
terjadi! Aku dan k akek itu tak m empunyai urusan s edikit pun
sehingga harus mengorbank an nyawa!"
"Pemuda ini hebat sek ali..." puji Sampang dalam hati sambil terus memainkan
bonangnya. "Belum pernah kutemukan pemuda sep erti ini.
Rasanya tenag a dalamnya s etingkat dengan tenagaku. Tak mengecewakan
kalau aku tewas di tangannya!"
Pikiran yang ada ini membuat Sampang semakin memperdahsyat
permaman bonangny a. Dia tak peduli lagi dengan keselamatan ny awany a.
Dewa Arak tentu saja k aget buk an main. Pemuda yang k enyang
pengalaman ini tahu betap a b erbah ayany a h al itu. Dan dia y akin pula
Sampang mengetahui bahay a yang mengan cam dirinya. Sampang rupanya
hendak mengadu nyawa!
Dewa Arak k ebingungan. Dia tak ingin Sam pang tewas. Maka
setelah memutar b enaknya men cari jalan k eluar, p emuda b erambut putih
keperakan ini memutuskan suatu cara. Ary a menambah tenag a pad a putaran
rantainya. Bedanya k alau Sampang menambah ten aga untuk memperb esar
daya s erang, Arya men ambah k ekuatan serangan untuk ditujukan p ada
bonang Sampang!
Pyarrr...! "Huakh...!"
Berbarengan deng an hancu r berkeping-k epingnya bonang, tubuh
Sampang terjengkang. Dewa Arak jug a terj engkang ke belak ang seraya
memuntahkan darah seg ar. Rantai di tangan pemuda itu terpental dalam
keadaan hancur!
Baik Dewa Arak maupun Sampang mem ang mampu bangkit. Tapi
Arya b erdiri deng an limbung. Di sudut-sudut mulutnya masih mengalir
darah segar. Sampang menatap Dewa Arak deng an waj ah pucat. Sepasang
matanya terlihat meman carkan k eharuan. Dewa Arak telah merelakan
dirinya terluka parah untuk menghentikan p ertarung an adu ny awa ini.
Padahal, Sampang tahu jika diteruskan kemungkinan besar dirinya yang
akan menderita kerugian. Karena meski tenaga d alamnya setingkatan
dengan Dewa Arak, usianya yang telah lanjut membuatnya cepat lelah.
3 "Mengapa k au
lakukan h al ini, Anak Muda" Kau telah mengorbankan dirimu," tanya Sampang terb ata setelah seki an lamanya terpaku.
Arya berus aha mengulas senyum. Tapi dia gagal! Yang tampak
hanya seringai kes akitan. Kenyataan ini menyadark an Arya akan beratnya luka
dalam yang ditanggungnya. Tanpa mempedulikan
p ertany aan Sampang, Pemuda itu kemudian duduk bersila dan bersemadi untuk
mengobati luka-lukanya.
Sampang tahu diri. Dibiark annya s aja tingkah Arya. Bahk an,
kakek ini malah memperhatikan. Ada perasaan menyesal berm ain-main di
lubuk hati Sampang. Penyesalan meng apa dirinya y ang telah b erusia l anjut ini
masih memiliki watak tak mau mengalah.
Cukup lama juga Sampang harus menunggu. Matahari yang tadi
berad a tepat di atas kepala telah cukup jauh bergulir ke barat. Sinarnya yang
semula tak t eras a meny engat karena terh alang rindangnya pepohon an, kini
mulai menggigit. Saat itulah Dewa Arak menghentikan semadinya.
Arya membuka mata. Yang pertama kali dilihatnya adalah
Sampang yang tengah memperhatikanny a dengan penuh selidik. Pemuda ini
melihat sorot peny esalan dalam sinar mata Samp ang. Keny ataan ini cukup
menghibur hati Arya.
"Maaf aku tak s egera menjawab pert anyaanmu, Kek," ucap Arya seray a bangkit
berdiri. Wajah pemuda ini tampak lebih segar. Kendati demikian tenagany a belum pulih seluruhnya, walaupun luka-luka dalamnya telah
sembuh. Arya masih harus bers emadi lagi untuk memulihkan seluruh
tenagany a. "Tidak mengapa, Arya," jawab Sampang p enuh pengertian, seraya mengulas senyum
lebar di bibirnya. Kakek ini untuk pertama kalinya
menyapa Arya d engan n amanya. "Aku bisa m emaklumi keadaanmu.
Bagaimana sekarang" Lebih enak?"
"Begitukah, Kek. Jauh l ebih en ak daripada sebelumnya. Kau
memang hebat, Kek. Aku mengaku kalah...."
"Kau h anya membuatku malu saja, Arya," kilah Sampang d engan wajah memerah.
"Ucapanmu membuatku tering at akan ketidakp atutan yang telah kulakukan. Kalau s
aja k au ikut-ikutan b ersikeras sep ertiku, entah apa yang ak an terj adi pada
diriku. Mungkin saat ini aku h anya tinggal nama saja...."
"Kau terlalu merend ah, Kek."
"Kau yang terl alu merend ah dan meng alah, Arya!" bantah
Sampang, cepat. "Dan hal ini yang masih tidak kumengerti. Mengapa kau lakukan,
Arya" Tindakan yang kau ambil bisa mengakibatkan nyawamu
melayang!"
Arya mengh ela nap as berat "Aku tak ingin kita berdu a tewas. Aku yakin hal
itulah y ang akan terjadi apabila diterusk an. Maka mumpung
tenagaku belum terkuras habis, kulakukan tindakan itu. Kuhancurkan
alatmu dan kuambil risiko untuk terkena seranganmu. Aku yakin tak akan
sampai merenggut nyawaku. Telah kupersiapkan ten aga cadang an untuk
menangkalnya. Perhitunganku ternyat a hampir gagal! Nyawaku mungkin
telah melayang bila luka-luka yang kuderita tak segera kutanggulangi."
Sampang mengangguk-anggukkan k epala. Tapi kelihatan sorot
matanya, Arya tahu kak ek ini masih belum puas dengan jawabanny a.
Dugaan pemuda ini ternyata tak keliru.
"Keterangan y ang k au berikan belum lengk ap, Ary a. Kau m asih
belum memberikan jawaban mengap a hal itu kau lakukan?" tagih Sampang.
"Aku tak ingin kita berdua, terutama kau tewas Kek!"
"Itu aku tahu, Ary a. Tapi aku ingin t ahu alasanny a!" d esak Sampang.
"Karena ant ara kau dan aku tak ada u rusan ap a pun hingga
persoalan ini harus diselesaikan dengan melay angnya nyawa!"
Sampang terdiam. Alasan yang dikemuk akan Arya b enar-ben ar
menyentuh hatinya. Harus di akuinya k alau jawaban pemuda itu memang
tepat. "Hhh...!" Sampang menghela nap as berat seperti hend ak membuat peras aan yang
mengganj al di dalam dadanya. "Apa yang kau k atakan memang benar, Ary a. Kau
telah membuka mata hatiku yang tertutup oleh
keinginan untuk menjadi pemenang.
"Syukurlah kalau kau berpend apat sama deng anku, Kek," ujar
Arya, gembira. "Deng an demikian, sekarang antara kita tak ada persoalan lagi."
"Tentu saja, Arya!" tand as Sampang. " Kalau ada waktu aku ingin mengenalmu
lebih dekat. Sayang sek ali aku mempunyai urusan p enting
yang harus segera diselesaikan."
"Mengenai g adis muda itukah"!" tany a Arya s etelah berpikir sejenak.
Sampang tahu siapa yang dimaksud oleh Arya.
Tanpa ragu-ragu kep alanya dianggukk an.
"Mungkin perlu kuberitahukan p adamu alas an aku berurusan
dengan gadis muda itu, Arya," ujar Sampang.
"Kukira tindakan itu lebih bijaksan a, Kek. Tanpa mengetahui
alasanmu bermusuhan deng an gadis muda itu, aku terpaksa membelany a,"
beritahu Arya deng an nada menyesal.
"Kau memang seo rang pend ekar tulen, Arya. Dan menilik
ketenang an yang kau miliki, kau agakny a telah cukup p engal aman dalam meniti
kehidupan keras dunia persilatan. Bahkan, aku yakin kau telah
mempunyai nama besar...."
"Berhentilah memujiku, Kek. Nanti kepalaku ak an pecah karena
pujian yang terus kau b erikan. Ku rasa lebih baik s egera k au beritahukan
alasan permusuhanmu deng an gadis itu."
Sampang mengangguk -anggukkan kep ala m enyetujui usul yang


Dewa Arak 93 Perawan Buronan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

diajukan Arya. "Dengar baik-b aik, Anak Mud a. Gadis yang kau tolong itu adalah
seorang pen curi! Bahk an mungkin pembunuh. Meski belum memeriksanya,
aku tahu kalau dia m enyembunyikan pusak a Kerajaan Kamulan. Aku yakin
betul hal itu!"
"Pusaka Kerajaan Kamulan"! Pusaka apa, Kek" Aku pernah
mendengar tentang k eraj aan itu. Kalau tak salah rajanya bernama Prabu
Suwandana. Kudengar pusaka kerajaan itu cukup banyak...," ujar Arya yang rupanya
cukup bany ak mengetahui tentang Kerajaan Kamulan.
"Memang, pusaka Kerajaan Kamulan cukup b anyak. Tapi hanya
ada sebu ah pusak a yang bias an sinarny a mirip pelangi. Pusaka itu bernama
Kujang Emas!"
"Biasan sinarnya mirip pelangi, Kek"!" ulang Ary a seteng ah tak percaya.
"Mengapa aku tak melihatnya?"
'Tidak aneh, Arya," jawab Sampang, kalem. "Kau belum pernah
melihat pusaka ters ebut. Apabila kau tel ah pern ah melihatnya, ak an terlihat
biasan sinar yang kumaksud kendati tak terlihat oleh mata biasa."
Arya, tak memberik an tangg apan. Pemuda ini percay a Sampang
bicara seb enarnya. Banyak hal-hal yang tak terlihat oleh mata, tapi bisa
dilihat dengan mata hati. Arya sendiri sering mengalami hal itu. Belalang
raksasa miliknya tak pernah t erlihat olehnya ap abila dicoba deng an mata
biasa. Binatang itu baru terlihat apabila Arya menggunakan mata hatinya.
"Dengan kata lain, kau cukup mengenal Kujang Emas, Kek?"
"Begitulah kira-kira, Ary a. Aku cukup lama tinggal di Kerajaan
Kamulan, sekitar du a puluh lima tahun. Aku b ertugas mel atih pasukan
khusus kerajaan. Salah seorang muridku sekarang t elah m enjadi patih di sana.
Singabarong namanya," jelas Sampang.
"Ahhh...!" seru Arya, kag et. "Sungguh tak kusangka kau termasuk orang penting,
Kek. Maaf kalau aku berl aku kurang hormat"
"Tak usah memuji-mujiku, Arya. Sekarang kau bisa mengerti
mengapa aku berusaha menah an kep ergian gadis muda itu" Aku yakin
Kujang Emas didapatk annya s ecara tak sah. Benda pusak a itu tak boleh keluar
dari lingkungan istana."
"Aku mengerti, Kek," Ary a mengangguk. " Aku meminta maaf telah menyebabkan
wanita tadi berhasil melarikan diri."
"Tak mengapa, Ary a. Juga k esalah anku.
Kal au saja aku menjelaskan masalah seb enarny a, mungkin urusannya tak akan seperti ini.
Tapi kau kan mengerti aku tak bisa sembarangan memberi keterangan?"
"Tentu saja, Kek. Bila hal ini terdengar o rang-o rang p ersilatan akan lebih
sulit untuk mendapatkannya kembali. Aku yakin tokoh-tokoh
persilatan akan berusah a keras mend apatkan Kujang Emas. Kekacau an akan
terjadi, dan darah segera tumpah di sana-sini."
"Syukurlah kalau kau mengerti, Arya," timpal Sampang. "Sekarang juga aku akan
pergi mencari gadis itu."
"Sebenarny a aku ingin membantumu Kek. Sayang, kead aanku
belum mengizinkan," sahut Arya bernada penyes alan.
"Aku mengerti, Arya. Selamat tinggal. Mudah-mudahan kita bisa
bertemu lagi."
"Mudah-mudahan, Kek," harap Ary a.
Sampang melesat meninggalkan tempat itu. Arya hanya bisa
memandanginya s ampai tubuh k akek itu lenyap dari pand angan. Pemuda
berambut putih keperak an ini kemudian b erjalan t ertatih-tatih men cari tempat
sepi untuk bersemadi. Tenaga lamanya perlu segera dipulihkan. Di tempat yang
agak tersembunyi ak an mengu rangi kemungkinan timbulnya
gangguan. *** Entah berapa lama tenggelam d alam semadinya, Arya terjaga
ketika pend engarannya men angkap bunyi derap kaki-k aki kuda. Arya
membuka mata d an bangkit berdiri. Dengan p endeng arannya yang t ajam, Arya
dapat menget ahui kalau belasan ekor kuda tengah berlari cep at menuju tempat
dirinya dan Sampang tadi terlibat pertarung an. Dewa Arak sendiri saat ini
berada b eberapa bel as tombak dari tempat tersebut. Tempat pemuda berambut
putih kep erakan ini b erad a terlindung oleh k erimbunan s emak-semak.
Perasaan ingin tahu mendorong Arya untuk meng ayunkan kaki
mendekati tempat y ang dituju rombongan berkud a. Deng an ilmu meringankan tubuhnya yang tinggi diinjaknya kerimbunan semak dan daun-
daun kering tanpa menimbulkan bunyi. Dugaan Ary a ternyat a tepat.
Belasan eko r kuda tampak ditunggangi laki-l aki gag ah berpakai an seragam
pasukan k erajaan. Rombongan ini berhenti tep at di tempat terjadinya
pertarung an Dewa Arak d an Sampang. Rombongan ini adalah p asukan Ke-
rajaan Kamulan ! Jumlah m erek a lima b elas orang, termasuk pemimpin
rombongan. "Apa yang membu at pasukan kerajaan berada di temp at ini?" pikir Arya ditempat
p ersembunyianny a. Tapi, sekelebat dugaan lain meny elinap.
"Apakah pasukan ini rombong an Keraj aan Kamulan" Mungkinkah mereka telah
mengetahui hilangny a pusak a kerajaan dan sekarang teng ah meng ejar
pencurinya?"
Arya memperhatikan sosok pemimpin pasukan kecil itu. Seorang
lelaki berusia empat puluh tahun, berjenggot tebal. Dialah Ladoya, kepala
pasukan khusus Istana Keraj aan Kamulan.
"Periksa sekitar temp at ini!" seru Ladoya, lantang. "Aku yakin wanita itu lewat
tempat ini. Dan buk an tak mungkin porak -porand anya
tempat ini karena dia bentrok dengan seseorang."
Serentak para praju rit melompat turun dari punggung kuda dan
memeriksa sekitar tempat itu. Ladoya sendiri tet ap duduk di atas punggung kuda.
Dia hanya memperhatikan kead aan di sekitarnya secara sekilas.
Seruan Ladoy a menj awab p ertany aan y ang mengg ayuti benak
Dewa Arak. "Rupanya dugaanku ben ar. Mereka p asukan Kerajaan Kamulan
yang tengah memburu pencuri pusaka Kujang Emas," pikir Arya.
Kendati demikian Ary a tetap diam di tempatnya. Dia ingin
mengetahui lebih banyak mengenai penyeb ab tercu rinya Kujang Emas.
Untuk mencuri pusaka kerajaan bukanlah pekerjaan mudah. Di samping
dijaga ketat, banyak tokoh istana berkepandaian tinggi. Rasanya orang
seperti Rahasti ak an sulit bisa men curi pusak a deng an meng andalkan kepandai
an yang dimilikinya.
"Bagaimana h asil penyelidikan kalian?" tanya Ladoya s etelah para prajurit
kembali. "Wanita liar itu memang benar telah melewati tempat ini,
Senapati!" lapo r s eorang praju rit. "Rupanya di sini dia terlibat p ertarungan
sengit sehingga menyebabkan ada yang terluk a. Dan melihat banyaknya
darah di tempat ini, sepertinya yang bertarung tak hanya dua orang!"
"Hm...!" Ladoya mengelus-elus jenggotnya. "Rupanya berita mengenai tercu rinya
Kujang Emas telah tersebar luas."
"Bukan tak mungkin pula pertempuran yang terjadi bukan karena
Kujang Emas, Senapati. Rasanya tak mungkin pusaka yang baru saja tercuri
beritanya telah ters ebar," bantah si prajurit tak setuju.
"Mudah-mudahan saj a demikian, Prajurit! Aku lebih suka begitu.
Tugas kita akan lebih mudah. Kal au berita mengen ai Kujang Emas telah
tersebar luas dan pusak a itu terampas d ari buru an kita, akan lebih sulit bagi
kita untuk melacakny a," timpal Ladoya. "Dan agar kita tak k eduluan pihak lain,
kita harus bergegas ! Aku t ak yakin pus aka itu d apat tercuri d engan mudahnya
tanpa bantuan orang dalam!"
Senapati Ladoy a menutup ucapanny a deng an meng epalkan tangan
kuat-kuat hingga menimbulkan bunyi berkerotok an keras. Kelihat an jelas
perasaan geram Senapati ini.
"Maksud Senap ati, ada y ang b erkhian at di istana"!" tanya prajurit yang
melapor. "Benar! Ses eorang yang m empunyai peng aruh s ehingga mudah
saja menyuruh s eorang p encu ri menjadi pembawa pus aka d alam upacara.
Dan, aku telah bisa menduga siapa orang itu. Patih Singabarong!"
Wajah para prajurit langsung berubah. Merek a tahu siapa Patih
Singabarong. Bila tuduhan itu terdeng ar olehny a, ak an terjadi kek acauan
besar di kerajaan.
"Sekarang kita cari wanita liar itu untuk membuka kedok Patih
Singabarong! Berangk at!" seru Ladoy a, keras.
Bumi kembali berget ar oleh derap l angkah b elasan kaki kud a.
Debu mengepul tinggi ke udara. Tak berapa lam a kemudian suasan a di
tempat itu menjadi hening.
Angin malam berhembus agak keras. Hawanya dingin menusuk
hingga ke tulang sumsum. Beberap a orang prajurit jaga di rumah Patih
Singabarong merapatk an kedu a t angan k e tubuh untuk sekad ar mendapatkan keh angatan.
Dinginnya suasan a mal am tak dirasak an o rang -orang yang berada
di dalam rumah. Bangunan megah yang ditinggali Senap ati Singabarong
bersama istri dan seorang anak p erempu an merek a telah berusia hampir dua
puluh tahun. Saat ini istri dan anak Patih Singabarong tak bisa tidur. Kedua
wanita itu tetap m embelalakk an mata kend ati telah mereb ahkan diri di peradu
an. "Mengapa kau k elihatan gelisah, Bu" Memikirkan Ay ah" Tenangkanlah hati Ibu. Aku yakin Ayah akan segera menyel esaikan
masalah yang t engah dihad apinya," ujar wanita yang l ebih muda, berusia dua
puluh tahun dan memiliki wajah cantik.
Wanita ini adalah putri Patih Singabarong. Tentu saja sebagai putri
seorang patih kerajaan, Rati Hinggil bukan seorang gadis lemah. Sejak kecil
gadis ini telah digembleng ilmu-ilmu silat. Yang menjadi pengajarnya tak hanya
ayahny a, juga tokoh-tokoh silat istana. Patih Singabarong sengaja mendatangkan
mereka untuk mendidik putrinya semat a wayang itu. Mak a,
tak mengherankan di usiany a sek arang ini Rati Hinggil memiliki tingkat
kepandai an tak kalah dengan ayahny a.
"Kau tak tahu, Hinggil," cela ibunya deng an n ada lembut. "Kalau saja mengalami
kejadian aneh, aku tak akan segelisah ini."
"Kejadian an eh"!" Rati Hinggil mengerutkan alisnya.
"Kejadian an eh apa, Bu?"
Sumbadra tak segera menjawab pertanyaan itu. Dia malah
menghela nap as berat, seperti ada sesuatu yang men ekan batinnya. Rati Hinggil
dengan sabar menunggu ibunya memberikan jawab an.
"Ibu bermimpi, Hinggil," ujar Sumbadra lirih.
"Mimpi, Bu..."!" tanya Rati Hinggil dengan peras aan g eli. Hampir saja tawany a
meledak. "Mimpi apa" Dan apa hubung annya deng an masalah yang tengah dihadapi
Ayah?" "Aku yakin masalah yang menimpa ayahmu mempunyai hubungan
erat deng an mimpi-mimpi-ku. Yang Dewata t elah memberi p etunjuk
padaku melalui mimpi itu. Sayang aku kurang tanggap bertindak sehingga
tak sempat memberitahuk an ay ahmu. Mimpi-mimpi itu datang tiga hari
sebelum kejadian mengerikan yang menimpa Gusti Pangeran Rajamala,"
"Sebenarny a mimpi-mimpi apa sih, Bu" Sehingga, kau demikian
yakin mimpi itu merupakan petunjuk dari Dewata?" tanya Rati Hinggil lagi.
"Telah kuperiksa arti mimpi-mimpi yang kudapat d engan mencocokk an pad a k eterangan orang -orang tua dulu. Semuanya cocok ! Isi dan
maksud yang terkandung dalam setiap mimpi itu mirip satu sama lain!"
"Maksud Ibu bagaimana" Aku masih belum mengerti."
"Makna mimpi-mimpiku itu semuanya mengandung arti akan
datangnya m alapetak a p ada k eluarg a kita, Hinggil. Dan terbukti, ayahmu
mendapat musibah itu!"
"Aku jadi penasaran, Bu. Sebenarnya mimpi apa yang kau terima?"
Rati Hinggil tak kuasa menahan rasa ingin tahunya.
"Dengar baik-b aik, Hinggil," ujar Sumbadra penuh tek anan. Rati Hinggil sampai
menahan napas, kh awatir u cap an ibunya tak terd engar. "Di malam pertama
bermimpi ibu melihat hujan deras dan angin ribut. Kau tahu apa arriny a?"
Rati Hinggil menggeleng.
"Mimpi itu mempunyai arti kalau kita kedatangan musuh. Kau dan
aku rasany a tak mungkin punya musuh. Ini sudah pasti ayahmu. Beliau
yang banyak b erhubungan d engan orang. Bukan tak mungkin ayahmu itu
pernah menyakiti orang lain. Atau..., barangkali kedudukannya membuat
orang menjadi iri."
Rati Hinggil mengangguk-anggukkan k epala. Gadis ini dapat
menerima penjelas an ibunya.
"Lalu, mimpi Ibu yang lain?"
4 "Mimpi kedua kalinya tak kalah buruk. Ibu mendengar bunyi
halilintar. Mimpi itu mempunyai makna yang buruk. Kita akan m endapat
bahaya, Hinggil."
"Bahaya! Bahay a apa, Bu"!" tanya Rati Hinggil ingin tahu
"Semula aku tak tahu, Hinggil. Tapi setelah kupikir-pikir, mimpiku itu satu
dengan yang lainnya saling berhubungan. Di mimpiku yang terakhir aku, kau, dan
ayahmu berh adap an d engan sebuah sungai b esar. Aku tak ingat apak ah k au d
an ay ahmu melompatinya. Yang j elas, saat itu aku melompati sungai besar
itu...." Sampai di sini Sumbadra menghentikan ucapannya. Di a men angis
seray a menutup wajah dengan kedu a tang an. Wanitu itu kelihatan bingung dan
sedih. Rati Hinggil buru-buru memeluk ibunya. Rati Hinggil merasa
terharu sek ali. Ibunya bukan termasuk perempuan cengeng. Gadis ini tahu kalau
sejak dia m asih kecil ibunya tak p ernah m enangis, betapapun b erat masalah y
ang dihad api. Kalau sekarang wanita ini sampai m enangis,
bahkan d engan demikian sedih dan t akutnya. Pasti masalah
yang dihadapinya amat berat.
"Mengapa k au men angis, Bu" Apakah arti mimpi itu?" bujuk Rati Hinggil dengan
suara halus. Sumbadra men atap wajah putriny a lek at-lekat dengan air mata
berlinang. Wajahnya yang sembab m embuat wanita set engah bay a itu
tampak menyedihkan.
"Jika kau bermimpi berh adap an dengan s ebu ah sungai besar lalu
kau melompatinya, itu pertanda kalau ajalmu telah dekat."
"Ibu!" jerit Rati Hinggil, kaget. "Tidak! Arti mimpi itu tidak benar.


Dewa Arak 93 Perawan Buronan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ibu tak akan mati!"
Rati Hinggil bagai kehilangan akal sehatnya. Dia bert eriak keras-
keras seray a bangkit dari berbaringnya. Sumbadra yang tak m endapat
kesempatan b erbicara h anya m enggeleng -gelengk an kep ala. Dia amat
sayang pada Rati Hinggil, dan tak siap untuk meninggalkannya selama-
lamanya. Tapi jika yang berhak atas ny awa manusia telah m enentukan, siapa yang
dapat menghalangi?"
"Kau tidak boleh berkata b egitu, Hinggil," beritahu Sumbadra dengan suara
serak. Air mata mengalir deras sepanj ang kedua belah pipinya.
Semua yang hidup pasti akan mati. Tak ada satu pun makhluk yang tidak
akan mati. Dan...."
"Tidak!" potong Rati Hinggil. "Pokoknya aku tak ingin Ibu mati!
Ibu tak akan mati!"
"Hinggil...!" seru Sumbadra, terharu melihat Rati Hinggil kelihatan demikian
terpukul. Hati wanita ini serasa diremas-remas. Ibu dan anak ini kemudian saling
berangkulan. Saat Sumbadra mulai men ceritak an mimpi-mimpinya, beberapa
sosok bayangan berk elebat mendek ati bangunan rumah y ang dikelilingi
dinding batu setinggi satu tombak itu. Sosok-sosok ini mempunyai gerakan yang
gesit s ekali. Mereka m engen akan p akai an serba hitam sert a selubung wajah.
Jumlah mereka terny ata belas an. Di setiap tangan sosok hitam
tergenggam sebat ang golok besar!
Suasana malam d emikian sunyi. Yang terd engar hanya bunyi
jengkerik dan serangga malam. Tapi suasana itu dipecahkan tiba-tiba oleh bunyi
burung hantu. Suaranya yang keras meng ejutkan para praju rit jaga.
Merek a yang telah terkantuk-kantuk karena hawa dingin terjaga sesaat.
Para prajurit itu tak tahu kalau bunyi bu rung hantu yang t erdeng ar
bukan bunyi burung yang s eben arnya. Bunyi itu dikeluark an pemimpin
gerombolan sosok hitam, dan merupakan isyarat bagi anak buahny a untuk
mulai menyerang. Bagai h antu-hantu berg entayang an, belas an sosok hitam
langsung melancark an peny erbu an. Tidak hanya dari depan yang pintu
gerbangny a tidak memiliki daun pintu, tapi juga dari dinding-dinding batu
Lincah laksan a kera m erek a berlompatan ke atas dinding batu lalu
melompat ke b agian d alam. Begitu menjejak tanah keb erad aan mereka
segera diketahui oleh para prajurit.
"Siapa kalian"!"
Pertanyaan keras b ern ada kecu rigaan itu dilontarkan prajurit yang
menjaga pintu gerb ang. Tapi jawaban y ang didapat adalah b abatan golok besar
di tangan sosok hitam!
Dua penjaga pintu gerb ang yang bersenj atakan tombak segera
melompat ke belakang. Tombaknya ditusukkan ke arah perut para
penyerangnya. Ternyata dua sosok hitam memiliki kepandai an jauh di atas
prajurit-prajurit
itu. Mereka mengg eser kaki ke samping seraya mendoyongkan tubuh. Serangan ujung tombak lewat di sisi tubuh keduanya.
Melalui samping tubuh sosok-sosok hitam kemudian mengulurkan
tangan men angkap b atang tombak. Gerakan m erek a y ang tak t erduga-duga
membuat kedua p enjaga pintu
gerb ang tak ku asa meny elamatkan
tombaknya. Begitu tercek al ditariknya deng an keras. Tubuh dua prajurit itu pun
tertarik ke depan. Mereka tak sempat berbu at apa-apa lagi ketika dua sosok
hitam membabatkan golok ke batang leher keduanya!
Crasss, crasss...!
Hampir berbarengan
terd engar bunyi sep erti bat ang pisang
ditebang. Kepala dua penjag a pintu gerbang terpisah dari tubuhnya, dan
menggelinding dengan darah meman cur deras dari bagian yang terluka. Saat itu
pula nyawa kedua prajurit itu melayang ke alam baka.
Kematian kedu a praju rit itu ternyata lebih beruntung dibanding
rekan -rek annya. Mereka meningg al dunia tanpa m engalami sakit yang
berarti, sementara para prajurit yang lain tewas dalam keadaan menyedihkan. Nyawa mereka t erpisah d ari rag a set elah mengg elep ar-
gelepar dal am cekaman rasa sakit yang mendera.
Rombongan sosok hitam itu memang luar bi asa. Kep andaian
mereka rat a-rata di atas para p rajurit. Memang terjadi p ertarungan, tapi tak
sampai tiga jurus setiap sosok hitam mampu merobohk an lawan-l awanny a.
Jerit kematian terdengar di sana-sini. Darah pun m embanjiri tempat yang
biasanya tenang itu.
"Apa yang terjadi, Hinggil"!" tanya Sumbadra dengan cemas. Dari dalam rumah
keributan itu terdengar jelas.
"Aku pun tak tahu, Ibu," jawab R ati Hinggil, setelah terlebih dulu
menggelengkan kep ala untuk mendengarkan bunyi-bunyi mencurigak an di
luar. "Sepertinya terjadi keributan di luar. Aku juga m endengar suara
langkah-langk ah kaki menaiki anak tangga."
Apa yang dikat akan Rati Hinggil memang tep at sekali. Sosok-
sosok hitam tengah menaiki undakan anak tangga batu yang menuju ke
bangunan tempat tinggal Patih Singabarong.
"Mimpi Ibu tak salah, Hinggil. Ibu yakin ini merupakan saat
terakhir hidup Ibu. Dan...."
"Tidak, Ibu!" bantah Rati Hinggil memotong ucapan Sumbadra
yang belum selesai. "Ibu tak akan mati! Selama ada aku, biar iblis sekalipun tak
akan kubiark an menyentuh Ibu. Apalagi hany a pengacau-p engacau
hina!" Seperti menyambuti tant angan Rati Hinggil, daun pintu k amar
mereka h ancur b erant akan di dobrak du a tangan kokoh dari luar. Kepingan-
kepingan d aun pintu berpental an k e san a k emari. Dengan mempergun akan
sebelah t angan, Rati Hinggil menangkisi potongan -potongan kayu yang
menyambar ke arahnya dan ibunya.
Rati Hinggil segera melompat dari peraduan. Ibunya ditempatkan
di belakangnya. Gadis itu menatap n anar ke arah ambang pintu. Tampak
dua sosok hitam bergerak masuk deng an sikap waspad a. Tangan mereka
menggenggam sebatang golok besar yang berlumuran darah.
"Pengacau -peng acau k eparat! Kalian harus memb ayar m ahal atas
kekejian y ang kalian l akukan di temp at ini!" desis Rati Hinggil penuh kemarah
an. "Kaulah y ang harus mati, Wanita Liar!" b alas sosok hitam yang memiliki tubuh
jangkung. Belum hilang gema suara itu, sosok hitam jangkung meluruk ke
arah Rati Hinggil. Golok berlumuran darah di tanganny a diayunk an ke
pinggang. Keras bukan main. Apabila meng enai sas aran tubuh Rati Hinggil akan
terpisah menjadi dua bagian.
Gerak an sosok hitam terny ata ku rang cepat. Sekali menj ejakkan
kaki tubuh Rati Hinggil telah melayang ke atas sehingg a serangan l awan lewat
di bawah kakinya. Dan begitu berada di atas Rati Hinggil segera
melancarkan tend angan k e kepal a sosok hitam. Lawannya terperanjat dan berusah
a mengel akkan s erangan d engan m elompat ke b elakang. Tapi,
tindakan itu kurang cepat
Krakkk...! Diiringi bunyi gemeretak nyaring, sosok hitam terlempar ke
belakang. Tulang-tulang lehernya p atah akibat tend angan Rati Hinggil yang
keras buk an main. Seketika itu juga ny awa sosok hitam melayang ke alam baka.
Sosok hitam yang tersisa terkejut melihat kematian rekanny a.
Maka begitu Rati Hinggil mendarat di lantai, sosok hitam menyerbunya
sambil berseru keras. Goloknya dibaling-balingkan
hingga lenyap bentuknya. Putaran golok membuat putri Patih Singabarong tak bisa melihat jelas
sasaran yang ak an dituju.
Tapi Rati Hinggil tak terpengaruh. Gadis ini berdiri diam di
tempatnya menunggu serang an lawan tiba. Kemudian, laksana bay angan
Hinggil menyelinap di antara keleb atan golok lawan. Selama tiga jurus Rati
Hinggil mempermainkan lawan nya. Dia membiarkan sosok hitam kelelahan
mengirimkan serangan. Baru di jurus keempat gadis ini bertindak.
"Ukh...!"
Sosok hitam mengeluh ketika m eras akan
t angannya yang
menggenggam golok tiba-tiba bagai lumpuh. Sebelumnya terasa ada sesuatu yang
menyentuh sikunya. Sosok hitam tak tahu kalau Rati Hinggil telah
menotok bagian tubuh tersebut.
Lumpuhnya tangan sosok hitam membuat cekalannya terh adap
golok terlepas. Tanpa menemui kesulitan Hinggil merampasnya. Kemudian,
dihunjamkannya ke perut lawan.
Blesss! "Aaakh...!"
Sosok hitam mengeluarkan jerit memilukan. Goloknya sendiri
menembus perut hingga ke pung gung. Darah seg ar mem ancar keluar dari
luka yang yang terbentuk.
Rati Hinggil sendiri buru-buru melompat mundur. Bersama
Sumbadra, gadis ini memperhatikan lawan meregang m aut. Sosok hitam itu berdiri
limbung dengan mata m embelalak leb ar, seakan tak p ercaya d engan kejadian
yang diterimanya.
Bertepatan d engan ambruknya sosok hitam k e lantai, terdeng ar
bunyi ribut-ribut disusul masuknya belasan sosok hitam ke dalam ruangan.
Rati Hinggil bersikap tenang. Dengan mata dihitungnya jumlah
calon lawannya. Lima bel as orang ! Hinggil yakin dirinya akan mampu
menghadapi keroyokan merek a. Dari tingkat kep andaian du a sosok hitam yang
berhasil ditewaskannya, dia telah bisa memp erhitungkan k emampuan lawan.
Rati Hinggil tetap berdiri di tempatnya. Dilihatnya belasan orang
itu belum memperlihatkan tanda-tand a hendak mel ancarkan serang an.
Merek a hanya berg erak meny ebar membentuk kepungan.
Rati Hinggil mengernyitkan sepasang alisnya yang indah. Dia
merasa heran deng an tindakan sosok-sosok hitam itu. Apa lagi yang mereka
tunggu" Keheranan Rati Hinggil tak berlangsung lama. Dia baru mengerti
mengapa belas an sosok hitam tak segera menyerangnya. Di ambang pintu
muncul sosok hitam lainnya. Dari gerak-g eriknya Hinggil tahu kalau sosok yang
baru datang ini merupakan pimpinan mereka.
Sosok hitam yang baru dat ang memiliki tubuh kecil kurus. Ciri-
cirinya tak menimbulkan perasaan ap apun di hati Hinggil. Tapi, tak
demikian halnya k etika gadis ini menat ap mata sosok k ecil kurus itu. Mata
tersebut bersinar kehijauan. Menco rong bagai mata s eekor h arimau dalam gelap.
Hinggil merasakan jantungnya berdetak lebih cepat. Sinar mata
seperti itu hany a dimiliki tokoh-tokoh yang tel ah memiliki tenaga dalam sangat
tinggi. "Bagaimana" Apak ah kalian meng etahui di mana si kep arat
Singabarong itu"!" tanya sosok kecil kurus kemudian.
Rati Hinggil merasakan tengkuknya dingin.
Suara sosok kecil kurus terdengar aneh sekali. Suara itu patutnya
keluar dari mulut setan penghuni kuburan. Yang lebih mengejutkan hati
Hinggil, setiap perkataan yang keluar menimbulkan g etaran di dalam
dadanya! Hinggil
sampai harus mengerahkan ten aga d alam untuk melindungi bagian dalam dadanya.
"Tidak, Tuan! Kami tak melihat si k eparat Si ngabarong di sini!
Mungkin keparat itu telah m engetahui tindakan kita dan bu ru-buru k abur
menyelamatkan diri!" sahut salah satu sosok hitam.
"Tutup mulutmu, Keparat!" bentak Hinggil yang tak kuasa
menahan kemarahan mendeng ar ayahny a dimaki-m aki. "Kalau tidak,
kuhancurk an!"
Sosok hitam yang mendapat teguran merasa tersinggung. Dia
menggertakk an gigi. Ditatapnya Hinggil dengan mata melotot. Kemudian,
kakinya diayunkan cep at menghampiri si gadis. Melihat itu Sumbadra yang
memiliki sedikit kepandaian segera melangk ah maju.
Rati Hinggil tentu saja tak membiarkan tindakan ibunya. Buru-
buru dicekal perg elangan tangan ibunya. Sang ibu menoleh dan melihat
Hinggil menggelengkan kepala.
"Biar aku yang menyelesaikan masal ah ini, Ibu," bujuk Hinggil dengan suara
lembut Seperti mengikuti tindakan Hinggil yang menyuruh mundur
ibunya, sosok kecil kurus mengeluarkan bentakan nyaring.
"Sebelum kuperintahkan, jangan ada seorang pun di antara kalian
yang bergerak!"
Tanpa banyak membantah sosok hitam yang b aru maju tiga
langkah kembali ke tempat semula. Sementara sosok
kecil kurus mengedark an pandang an ke sekeliling.
"Kalian dengar baik-baik ! Wanita liar itu terlalu tangguh untuk
kalian. Kepandaian yang dimilikinya tak berada di bawah kepand aian si
keparat Singabarong! Biar aku yang m engirimnya ke n erak a. Kalian urus ibunya.
Binasakan siapa pun yang ada di tempat ini! Mengerti"!"
"Mengerti, Tuan...!" sahut sosok-sosok hitam serempak, membuat ruangan tempat
merek a berada bergetar.
"Kalau begitu tunggu apa lagi" Kerjakan segera!"
Sosok-sosok hitam bagai sekelompok semut yang didekatkan api.
Merek a semua berlari berpencaran ketika sosok kecil kurus memberikan
perintah. Yang tinggal di tempat itu hanya lima orang. Mereka b ersiap
untuk menangkap Sumbadra.
Rati Hinggil yang merasa geram mendengar perintah sosok kecil
kurus segera men erjang pimpinan gerombolan itu. Gadis yang mengen akan pakaian
hijau ini mengirimkan serangan berupa ten dangan.
Sosok kecil kurus mendengus melihat serangan yang tertuju ke
arahny a. Di saat serang an Hinggil masih melayang, dia melompat pula.
Disambutinya serangan itu dengan mengirimkan tendangan terbang pula.
Desss...! Benturan dua bat ang kaki secara keras di udara tak bis a di elakkan
lagi. Disusul kemudian dengan terl emparny a tubuh kedu a pemiliknya.


Dewa Arak 93 Perawan Buronan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Hinggil terlempar lebih jauh ke belakang. Bahkan sampai menab rak
dinding. Sedangkan sosok kecil kurus m ampu mematahk an day a lontar
dengan bersalto beberap a kali dan menjejak lantai secara mantap.
Hinggil bangkit berdiri sambil meny eringai. Dirasakan kakinya
yang berbenturan sakit bukan main. Sementara lawannya tampak sedikit
pun tak terpengaruh.
"Biarlah kali ini aku gagal menangkap si keparat Singabarong. Aku
cukup puas bila telah berh asil membunuh an ak dan istrinya!" ujar sosok kecil
ku rus seray a meng alihkan perh atian p ada lima o rang anak bu ahnya yang
tersisa. "Bunuh wanita tua itu!" perintah sosok kecil kurus kemudian.
Lima sosok hitam bagai saling berlomba lebih dulu memenuhi
perintah pimpinannya. Melihat hal ini Hinggil tak tinggal diam. Gadis ini
berusah a untuk menghadang. Tapi, pimpinan gerombolan menyadari
maksud Hinggil. Dia melompat menerjang si gadis. Dan ketika berada di
udara, dilancark an kibasan yang dilakukan dengan membalikkan tubuh.
Hinggil tahu sasaran serangan itu adal ah leherny a. Apabila terk ena
babatan k aki lawan, kepalany a bisa t erpisah d ari tubuh. Maka, dia
melompat ke samping dan bergulingan menjauh.
Sosok kecil kurus tak tinggal diam. Dikejarnya calon korbanny a.
Sosok yang belum ket ahuan j ati dirinya ini mengirimkan serangan dahsyat
bertubi-tubi. 5 Setelah bertarung beb erapa jurus, Rati Hinggil harus mengakui
kepandai an lawan jauh di atas tingkatanny a. Suatu keberuntungan baginy a.
Karena lawan tampaknya tak berniat membunuh. Serangan-s erangan yang
dilancark an tak terlalu berb ahaya. Bahkan, sosok kecil kurus itu terlihat
berhati-h ati. Kead aan Hinggil jauh lebih baik dari Sumbadra. Istri Patih
Singabarong itu harus berjuang keras untuk b ertah an. Lewat empat jurus
kemudian sebu ah tend angan lawan membu atnya terhuyung. Belum sempat
Sumbadra berbuat s esuatu, lawan yang l ain telah memukul perutny a.
Sekejapan k emudian sebuah s ampokan mend arat telak di p elipis. Sapuan kaki
lawan lainnya membu at Sumbadra t erjengk ang dan j atuh terlent ang.
Istri Patih Singabarong ini tak bangkit lagi. Seiring jatuh tubuhnya,
nyawany a melayang karena tulang pelipisnya retak!
Rati Hinggil kendati tengah sibuk menghad api lawan sempat
melihat kejadian yang menimpa ibunya. Gadis ini menangis dalam hati.
Kegeraman nya dilampiaskan
d engan semakin d ahsyatnya s erang an-
serang an yang dilancark an. Kendati demi kian, karena memang tingkat
kepandai an Hinggil berada di b awah lawan, semua amukannya dapat
dipatahkan. Bahkan lawan berhasil menyapu kakinya sehingg a dia jatuh
terguling-guling di lantai.
Sosok kecil kurus yang yakin akan k emenang annya tak terburu-
buru mengirimkan serangan susulan. Dia melangkah s atu-satu ketika
mendekati Hinggil. Sementara di saat tubuhnya terguling-guling Hinggil
sempat berpikir. Kal au menuruti perasaan ingin rasanya di a mengamuk
untuk membalaskan kem atian ibunya. Tapi, akal sehatnya m elarang.
Hinggil sadar lawan terlalu kuat. Jika di a tetap m emaksak an keinginanny a,
kemungkinan besar dia akan tewas menyusul ibunya.
Raksasa Rimba Neraka 1 Kelana Buana You Jian Jiang Hu Karya Liang Ie Shen Sepasang Pendekar Kembar 1
^