Pencarian

Pendekar Gunung Bromo 1

Dewa Arak 94 Pendekar Gunung Bromo Bagian 1


PENDEKAR GUNUNG BROMO Oleh Aji Saka Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting: Tuti S.
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Aji Saka Serial Dewa Arak
Dalam episode Pendekar Gunung Bromo
128 hal ; 12 x 18 cm
https://www.facebook.com/pages/Dunia-
Abu-Keisel/511652568860978
1 Semut-semut besar berwarna merah merayap tu-
run dari pucuk pohon mangga yang sudah tak ber-
buah lagi. Binatang-binatang kecil itu kemudian ber-
bondong-bondong merayapi sekujur tubuh seorang
pemuda yang duduk di salah satu cabang pohon.
Semut-semut merah itu tak hanya merayapi, tapi
juga menggigit tubuh pemuda itu.
Tapi, pemuda berpakaian ungu itu tak terusik se-
dikit pun. Dia tetap duduk di tempatnya dengan pan-
dangan tertuju ke arah sebuah kedai. Antara kedai dan pohon mangga dipisahkan
jalan tanah yang cukup lebar. Pemuda berpakaian ungu memiliki ciri-ciri aneh.
Wajahnya tampan dan menyiratkan kejantanan.
Usianya tak lebih dari dua puluh lima tahun. Tapi,
aneh rambutnya memiliki warna sebagaimana yang
dimiliki orang-orang berusia lanjut. Rambut pemuda
yang panjang tergerai ke bawah pundak itu berwarna
putih keperakan.
Pemuda berpakaian ungu ini bukan orang semba-
rangan. Dia merupakan tokoh besar dunia persilatan!
Seorang pendekar muda yang julukannya menggem-
parkan dunia persilatan. Ditakuti lawan dan disegani
kawan. Ia adalah Arya Buana. Lebih dikenal dengan
julukan Dewa Arak.
Arya sama sekali tak merasa terganggu dengan gi-
gitan semut-semut merah. Dengan tenaga dalamnya
yang telah mencapai tingkat sempurna, Arya mampu
membuat kulit tubuhnya menjadi kebal. Jangankan
gigitan semut, bacokan senjata tajam pun tak akan be-
rarti. Kecuali senjata itu berada di tangan tokoh yang
memiliki tenaga dalam lebih kuat.
Sang surya telah tergelincir dari titik tengahnya.
Arya tetap mengawasi kedai. Tindakan itu dilakukan-
nya sejak matahari belum mencapai titik tengah. Tapi
bukan kedai itu yang menjadi pusat perhatiannya, me-
lainkan sosok yang berada di emper kedai dekat pintu
masuk. Sosok itu duduk bersandar pada dinding kedai
dengan kedua kaki terjulur ke depan. Pakaiannya
kumal dan koyak di beberapa tempat. Tubuhnya kurus
kering. Berwajah pucat dengan sepasang mata sayu.
Sosok yang memiliki jenggot jarang-jarang ini tampak-
nya telah beberapa hari tak makan.
"Kasihan, Den.... Kasihan, Tuan... Berilah aku
uang untuk membeli makanan. Sudah tiga hari aku
tak makan, Tuan. Berilah aku uang.... Aku akan mem-
balas dengan Ramalan yang jitu. Akan kuberikan pe-
tunjuk angka yang akan keluar dan dapat membuat-
mu kaya, Den," hiba lelaki kurus kering itu dengan suara lemah dan bibir
gemetar. Entah sudah berapa puluh kali lelaki kurus kering
menggunakan kata-kata demikian, tapi tak ada seo-
rang pun yang mempedulikannya. Padahal, banyak
orang berdatangan ke kedai itu. Bunyi riuh rendah
menyeruak dari dalam kedai yang tak berapa besar.
"Ayo! Mari... Silakan pasang lagi. Pasang satu dapat tiga. Silakan pasang!
Barangkali saja Tuan berun-
tung!" Hibaan lelaki kurus kering maupun seruan-seruan
keras dari dalam kedai yang mengajak pengunjung
bermain judi terdengar jelas oleh Dewa Arak. Tapi,
sampai sekian jauh pemuda berambut putih kepera-
kan ini tak berbuat apa pun.
Arya mempunyai alasan yang kuat untuk bertindak
demikian. Kalau menuruti perasaan, sudah sejak tadi
dia melompat turun dan memberikan uang pada lelaki
kurus kering. Arya jadi teringat kembali dengan keja-
dian yang dialaminya kemarin pagi. Saat itu Arya ten-
gah berjalan menyusuri tepian Sungai Brantas.
Arya melangkahkan kaki seenaknya. Beberapa kali
ujung kakinya menendangi batu-batu kecil yang dite-
muinya di jalan. Pemuda berpakaian putih keperakan
ini berjalan dengan pikiran menerawang.
"Melati... Oh, Melati... Betapa rindunya aku pada-mu. Apakah kau pun demikian"
Sabarlah, Melati. Saat
ini pun aku tengah dalam perjalanan untuk mene-
muimu," gumam Arya pelan. Sepasang mata menera-
wang ke angkasa, seakan-akan di sana gadis itu bera-
da. Tak terlalu lama Arya tenggelam dalam pikirannya.
Pendengarannya yang tajam mendengar bunyi riak air.
Sesuatu melalui permukaan Sungai Brantas. Dan,
bunyi itu berasal dari belakangnya.
Arya bersikap seakan-akan tak mengetahui. Ayu-
nan kakinya tetap dilanjutkan. Tapi, lamunannya se-
gera dihentikan. Semua perhatiannya kini dipusatkan
pada pendengaran. Bahkan, sekujur urat-urat saraf
dan otot-otot tubuhnya menegang penuh kewaspa-
daan. Bunyi yang terdengar semakin keras. Sesuatu yang
menimbulkan bunyi itu semakin dekat. Tanpa meno-
lehkan kepala untuk melihat, Arya bisa mendengar
bunyi itu timbul dari laju perahu. Arya menangkap
bunyi kayuhan pada permukaan air.
Dewa Arak tetap bersikap tak peduli Bahkan ketika
perahu melewatinya, Arya hanya mengerling dengan
sudut matanya. Arya mulai merasa tertarik ketika me-
lihat satu-satunya penumpang perahu, terus menoleh
ke arahnya kendati perahu terus melaju.
Meski hanya melihat sekilas, tampaknya orang
yang berada di perahu bukan orang persilatan. Arya
sempat melihat adanya jala di perahu. Pakaian yang
dikenakan pemilik perahu pun pakaian seorang ne-
layan. Arya tersenyum. Tindakan pemuda ini membuat
nelayan lebih berani. Dia mengayuh perahunya ke
pinggir sungai.
"Maafkan aku, Den," ujar nelayan itu seraya menghampiri Arya. Perahunya
ditambatkan di sebatang po-
hon di pinggir sungai. "Apakah kau orang yang bernama Arya Buana, Den?" tanyanya
kemudian. "Benar," jawab Arya sambil tersenyum lebar. "Kau mencariku, Paman" Apa yang bisa
kubantu?" "Sebenarnya bukan aku yang mencarimu, Den," kilah si nelayan. "Aku hanya
penyambung dari seseorang. Tapi sebelum aku yakin kau orang yang dimak-
sudkannya, bisa kau sebutkan julukanmu?"
"Dewa Arak, itulah julukanku, Paman."
"Kalau begitu, memang kaulah orang yang dimak-
sudkan Kakek itu," sahut si nelayan penuh perasaan gembira. "Ini titipan yang
harus kuberikan padamu, Den Arya."
Arya mengulurkan tangan menerima gulungan ku-
lit binatang yang diberikan lelaki berpakaian nelayan.
"Terima kasih, Paman," ucap Arya. Dibukanya gulungan kulit binatang itu.
"Sama-sama, Den. Sekarang aku mohon diri."
"Silakan, Paman," jawab Arya seraya menganggukkan kepala.
Arya memandangi hingga nelayan itu mengayuh
perahunya dan lenyap di kejauhan. Kemudian, perha-
tiannya dialihkan pada gulungan kulit binatang yang
terbentang lebar di kedua tangannya. Arya memba-
canya dalam hati.
Dewa Arak. Selamat berjumpa lagi, meski hanya lewat tulisan.
Kuberitahukan padamu, aku mendapat petunjuk kalau di daerah Pandakan tenagamu
sangat dibutuhkan. Kau dapat melibatkan diri dalam masalah di sana. Carilah
sebuah kedai di daerah Pandakan dan tunggulah hingga tengah hari. Kedai itu
merupakan tempat munculnya urusan yang akan kau hadapi.
Tertanda, Penyair Cengeng.
Arya menggulung kembali kulit binatang itu. Pe-
nyair Cengeng adalah seorang kakek berpakaian abu-
abu yang dikenalnya sebagai Ki Jaran Sangkar. Kakek
ini memiliki kepandaian tinggi. Juga kemampuan ilmu
gaib yang menakjubkan. Beberapa kali Dewa Arak
mendapatkan petunjuk darinya (Untuk jelasnya men-
genai tokoh Ki Jaran Sangkar alias Penyair Cengeng,
silakan baca episode 'Kembalinya Raja Tengkorak').
"Kurasa sudah saatnya aku pergi ke kedai itu dan mengetahui masalah yang
dimaksud Penyair Cengeng,"
pikir Arya, setelah memperhatikan matahari melalui
celah-celah daun mangga.
Arya lalu mengerahkan tenaga dalamnya dan di-
alirkan ke sekujur tubuh. Seketika, semut-semut yang
tengah merayap di tubuhnya berjatuhan. Tanpa mem-
pedulikan binatang-binatang kecil itu, Dewa Arak me-
lompat dari cabang pohon. Tinggi tempat itu sekitar
empat tombak. Tapi, Arya mampu menjejak tanah tan-
pa menimbulkan bunyi sedikit pun. Padahal tanah
tempat kedua kaki Arya menjejak tertutupi daun-daun
kering! Dengan langkah pasti Arya menghampiri kedai
yang berjarak sekitar lima tombak dari tempatnya be-
rada. Seperti juga orang-orang yang hendak masuk ke
dalam kedai, Dewa Arak pun segera mendapat sambu-
tan dari lelaki kurus kering yang duduk di depan pintu kedai.
"Kasihan, Den.... Berilah aku uang untuk membeli makanan. Sudah tiga hari aku
tak makan, Den. Kasihan, Den...."
Arya melepaskan buntalan kain hitam yang terselip
di pinggang, kemudian dilemparkannya pada lelaki ku-
rus kering. "Terimalah ini, Paman. Gunakan untuk mengisi pe-
rutmu. Dan jangan kau hambur-hamburkan tanpa
guna," ujar pemuda berpakaian ungu itu bernada me-nasihati.
Keluhan tertahan tanpa sadar dikeluarkan Arya.
Pemuda ini merasa kaget. Begitu buntalan kecil yang
diberikannya dipegang lelaki kurus kering, dirasakan
ada kekuatan menarik yang dahsyat. Kekuatan itu
membuat tangan Dewa Arak tak bisa ditarik kembali.
Pemuda itu memang telah mempunyai dugaan ka-
lau lelaki kurus kering bukan orang sembarangan.
Namun, sungguh di luar dugaannya akan memiliki ke-
kuatan tenaga dalam sekuat ini. Arya tak membiarkan
tenaga dalamnya disedot. Segera dikerahkan tenaga
dalamnya dan balas menarik. Adu tenaga dalam pun
berlangsung. Arya semakin kaget. Lelaki kurus kering benar-
benar memiliki tenaga dalam amat kuat. Setelah Arya
mengerahkan hampir seluruh tenaga dalamnya, baru
berhasil mengungguli lawan. Perlahan-lahan tubuh le-
laki kurus kering ikut tertarik. Pantatnya yang semula
menempel di tanah sedikit demi sedikit terangkat ke
atas. "Cukup, Den," ucap peminta-minta itu ketika tubuhnya terus terangkat naik.
Lelaki kurus kering ini rupanya sadar kalau Dewa
Arak lebih kuat daripadanya. Arya segera menarik
kembali tenaganya. Pada saat yang bersamaan lelaki
kurus kering menyimpan tenaganya pula.
"Aku tak mengerti maksud perbuatanmu ini, Pa-
man," ujar Arya.
"Tak perlu kau pusingkan hal yang tak berarti ini, Den," kilah si peminta-minta.
"Sekarang aku ingin memenuhi janjiku. Kau akan kuberikan nomor agar
dapat memenangkan taruhan. Dan...."
"Terima kasih, Paman," potong Arya buru-buru.
"Tanpa mengurangi rasa hormatku akan janjimu, aku tak bisa menerima kebaikan
yang kau berikan padaku.
Aku tak menginginkan balasan atas apa yang kuberi-
kan padamu. Dan yang terpenting, aku tak suka ber-
main dadu. Jadi, dengan sangat menyesal kukatakan
aku tak bisa menerima kebaikanmu...,"
"Tunggu dulu, Den," sambut si peminta-minta cepat. "Mungkin perlu kau tahu,
bukan hanya kau saja yang mempunyai aturan. Aku pun demikian. Sudah
menjadi sifatku tak bisa menerima pemberian seseo-
rang tanpa memberikan balasan. Aku, Kertapati, tak
suka berhutang budi. Kalau kau tak mau kuberikan
balasan, pemberianmu pun tak akan kuterima!"
Arya bisa merasakan kesungguhan dalam ucapan
Kertapati. "Percayalah, Paman. Aku ikhlas memberikan uang
itu padamu. Dan aku tak menganggapnya sebagai bu-
di. Jadi, balasan yang kau berikan padaku tak bisa kuterima," bantah Arya,
bersikeras dengan pendapatnya.
"O ya, perlu kuberitahukan, Paman. Kau tak usah
memanggilku dengan demikian hormat. Sapa saja aku
dengan namaku, Arya Buana."
Kertapati bangkit berdiri. Ada seri gembira di wa-
jahnya. Arya melihatnya dan pemuda ini merasa he-
ran. "Apa yang membuat lelaki ini kelihatan gembira"
Mudah-mudahan bukan karena dia menemukan siasat
untuk memaksaku menerima pembalasan budinya,"
pikir Arya agak cemas.
Kertapati tak mengetahui kecemasan Arya. Nada
ucapan lelaki ini sarat dengan kegembiraan ketika ia
kembali berbicara.
"Kau katakan tak bisa menerima balas budiku ka-


Dewa Arak 94 Pendekar Gunung Bromo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

rena kau tak suka main dadu. Bagaimana kalau kube-
rikan dalam bentuk lain" Bukan nomor yang akan ke-
luar dalam permainan judi di dalam kedai. Apakah kau
akan menerimanya, Arya?" tanya Kertapati ingin tahu.
"Tergantung," jawab Arya setelah berpikir sejenak.
"Aku tak bisa langsung menerimanya."
"Ha ha ha...!" Kertapati tertawa terkekeh. "Kau memang cerdik sekali, Arya.
Cerdik dan hati-hati. Kau membuatku kagum. Nah! Dengar baik-baik. Balas budi
yang akan kuberikan padamu adalah Ramalan atas
nasib dirimu. Bagaimana?"
Arya tercenung sebentar memikirkan jawaban yang
akan diberikan. Sesaat kemudian kepalanya diangguk-
kan, kendati pemuda ini tak merasa tertarik sedikit
pun. "Bagus! Kau memang orang yang tak mudah men-
gingkari janji, Arya. Sekarang ulurkan tangan kanan-
mu. Buka telapaknya," ujar Kertapati penuh gairah, Tanpa banyak bicara, pemuda
berambut keperakan
ini memenuhi permintaan Kertapati. Dengan penuh
minat lelaki kurus kering memperhatikan garis-garis
telapak tangan Arya. Beberapa kali ujung jarinya me-
nyentuh telapak tangan.
"Hhh...."
Kertapati menghela napas berat. Dahi lelaki ini
berkernyit dalam, seakan ada sesuatu yang membeba-
ni pikirannya. Arya jadi penasaran melihat tingkah
Kertapati. Tadi sewaktu memeriksa telapak tangannya
beberapa kali Kertapati menggeleng-gelengkan kepala.
"Kau akan menghadapi berbagai macam bahaya,
Arya. Kau harus berhati-hati. Kulihat kau akan men-
dapat masalah yang membuatmu selalu dikelilingi ba-
haya besar. Malah, ada bahaya terbesar yang senan-
tiasa berada di dekatmu," beritahu Kertapati dengan sungguh-sungguh.
"Terima kasih atas peringatanmu, Paman. Akan
kuingat baik-baik semua nasihatmu," Arya menarik kembali tangannya. "O ya,
bagaimana kalau kita masuk ke dalam?"
Kertapati menatap Arya penuh selidik. Ada sorot
keheranan di sana. Semula Arya tak mempedulikan,
tapi ketika teringat sesuatu wajahnya jadi merah pa-
dam. "Jangan kau salah menduga, Paman. Aku bukan
hendak bermain dadu, perutku kosong dan kerong-
konganku terasa kering kerontang," jelas Arya buru-buru.
"Ah...!" seru Kertapati tertahan. Wajahnya memerah oleh rasa malu. "Maafkan
dugaanku yang buruk, Arya."
"Lupakanlah, Paman. Mari, " ajak Arya. Kemudian ia mendahului melangkahkan kaki
ke pintu kedai.
*** 2 Seorang gadis berpakaian kuning melangkah mon-
dar-mandir di hadapan seorang lelaki setengah baya
yang tengah duduk bersila. Sikap gadis itu kelihatan
gelisah bukan main. Lelaki bertubuh kurus kering dan
berpakaian abu-abu seperti tak tahu tingkah si gadis.
Dia tak bergeming dari duduknya. Sepasang matanya
terpejam. Padahal, lelaki ini tidak tengah bersemadi.
Gadis berusia dua puluh tahun dan berwajah can-
tik jelita dengan bentuk tubuh menggiurkan itu meng-
hentikan langkahnya tepat di depan lelaki berpakaian
abu-abu. Langkahnya tak dihentakkan, tapi dinding
ruangan bergetar. Debu-debu halus berguguran ke ta-
nah. Sepasang mata lelaki kurus kering bergerak
membuka. Sinarnya tampak penuh kelembutan dan
kasih sayang ketika menatap si gadis.
"Ada apa, Ratna?" tanya lelaki berpakaian abu-abu.
"Kau kelihatan gelisah sekali."
Jawaban yang diberikan si gadis yang bernama
lengkap Dewi Ratna, adalah meruncingkan bibirnya.
Meski demikian, tak terlihat buruk. Bentuk sepasang
bibir itu indah dan berwarna merah muda.
Lelaki kurus kering yang bernama Ardaraja terse-
nyum. Dia tak merasa kaget melihat sambutan Dewi
Ratna. Watak gadis itu memang manja sekali.
"Apakah keinginanmu yang dulu kambuh lagi?"
masih tetap lembut pertanyaan Ardaraja.
"Aku jemu terus-menerus tinggal di tempat ini,
Paman," jawab Dewi Ratna seraya mengedarkan pan-
dangan ke sekitarnya. Mereka berada di dalam sebuah
gua di lereng Gunung Welirang. "Apakah sampai nenek-nenek aku tak boleh keluar?"
"Sabarlah, Ratna," hibur Ardaraja dengan senyum terkembang di bibir. "Akan
datang saatnya kau boleh meninggalkan tempat ini. Bahkan ke mana pun kau
mau. Tapi tak sekarang. Ada beberapa alasan yang
membuatku tak bisa mengizinkan kau pergi."
"Kapan, Paman?" desak Dewi Ratna penasaran.
"Apakah setelah rambutku ini memutih"!"
"Tak perlu sampai selama itu, Ratna. Cukup sam-
pai kau mampu menahan hawa beracun yang menye-
bar di puncak Gunung Bromo."
"Bukankah itu sama artinya dengan memaksaku
tinggal di sini hingga rambutku memutih" Kau yang
sudah setua ini, Ayah, dan Paman Buluk Siwu tak
mampu menahan hawa beracun itu. Apalagi aku?" keluh Ratna putus asa.
Wajah Ardaraja berubah muram. Kelihatan jelas
ucapan Dewi Ratna menyinggung perasaannya.
"Kau jangan berkecil hati dulu, Ratna. Ketidak-
mampuan kami menahan hawa racun itu karena tak
bersiap menghadapinya. Lain halnya dengan mu, Rat-
na. Selama hampir dua tahun kau kupersiapkan. Aku
yakin sebelum purnama tiba, kau akan sampai di tem-
pat manusia terkutuk itu. Jangan sia-siakan usahaku
selama bertahun-tahun hanya karena kau tak kerasan
tinggal di tempat yang memang tak menyenangkan ini,
Ratna. Jangan kecewakan harapan kami."
Kekerasan Dewi Ratna pun luluh mendengar uca-
pan bernada memelas itu. Selalu demikian akhirnya.
Setiap kali gadis ini mengutarakan keinginannya.
"Lagi pula apa untungnya keluar ke dunia bebas,
Ratna. Dunia persilatan amat keras. Kalau tak memili-
ki kepandaian tinggi, kau akan menjadi sasaran keja-
hatan. Juga, kau tak terkurung sepenuhnya di gua ini.
Setiap hari kau bisa keluar."
Dewi Ratna menundukkan kepala. Ucapan Ardara-
ja yang terakhir membuat keinginannya untuk meng-
hirup udara bebas semakin menciut. Gadis ini mera-
sakan kebenaran dalam nasihat-nasihat pamannya.
Sungguhpun demikian, masih ada yang mengganjal di
hati Dewi Ratna.
"Mengapa Paman seperti merendahkan kemam-
puan yang kumiliki" Bukankah seluruh ilmu Ayah te-
lah ku kuasai dengan baik" Aku telah pula menguasai
ilmu-ilmu yang Paman ajarkan."
Ardaraja terdiam sebentar mencari jawaban. Lalu
ditatapnya Dewi Ratna dalam-dalam.
"Jangan kau salah mengira, Ratna. Kepandaian
yang kau miliki memang telah cukup tinggi. Malah aku
yakin lebih tinggi dari kepandaian ayahmu. Kau telah
menguasai ilmu-ilmu ciptaanku. Namun camkan Rat-
na, dunia persilatan dipenuhi orang-orang sakti berkepandaian tinggi. Sekitar
lima tahun lalu dunia persilatan di tanah Jawa Timur ini dikuasai tokoh-tokoh
se- sat beraliran hitam yang menamakan diri Kelompok
Penjagal Manusia. Kepandaian mereka tinggi-tinggi.
Terutama ketuanya yang berjuluk Iblis Penghisap Da-
rah. Kepandaiannya luar biasa dan mengiriskan hati!"
Dewi Ratna diam-diam tak senang mendengar ceri-
ta pamannya. Dia menganggap Ardaraja terlalu men-
ganggap tinggi Kelompok Penjagal Manusia. Apalagi,
karena dirasakan adanya nada kegentaran dalam uca-
pan lelaki kurus kering itu.
"Apa yang perlu dikagumi pada Kelompok Penjagal
Manusia?" pikir Dewi Ratna tak puas.
Setahunya Kelompok Penjagal Manusia telah di-
hancurkan Ardaraja, ayahnya, dan Buluk Siwu, yang
terkenal sebagai Pendekar-Pendekar Gunung Bromo.
Ketuanya-sendiri, Iblis Penghisap Darah, telah mereka
kalahkan dan ditawan di salah satu gua di puncak
Gunung Bromo. "Bukankah kelompok mereka telah Paman hancur-
kan" Malah, Ketua Kelompok Penjagal Manusia sampai
sekarang tertawan di Gua Landak. Lalu... apa lagi yang harus ditakuti?"
Ardaraja menghela napas berat.
"Aku tak menyalahkan kalau kau tak menganggap
mereka. Hal itu memang kami rahasiakan darimu
maupun putri Buluk Siwu, Winarni," beritahu lelaki kurus kering dengan suara
lirih. Ardaraja menghentikan ucapannya. Sesaat ditarik-
nya napas berat. Dewi Ratna menunggu dengan pera-
saan tak sabar.
"Tapi sekarang aku tak bisa menyembunyikan lebih lama lagi," sambung Ardaraja.
"Kurasa sudah tiba wak-tunya bagimu untuk mengetahui. Aku ingin kau tahu
betapa mengerikan Kelompok Penjagal Manusia. Juga
karena aku telah mendapat firasat jelek. Aku khawatir apabila tak
menyampaikannya sekarang, tak mendapatkan kesempatan lagi...."
"Paman!" seru Dewi Ratna kaget. "Mengapa kau berkata seperti itu. Kau tidak akan
mati, Paman"
Ardaraja tersenyum melihat sikap Dewi Ratna yang
terlihat begitu mengkhawatirkan dirinya.
"Apa yang kau katakan itu tak akan mungkin ter-
jadi, Ratna," ujar Ardaraja lembut. "Tak ada manusia yang tak mati. Semua pasti
akan mati. Kau tahu itu,
bukan?" "Aku tahu, Paman," jawab Dewi Ratna. "Tapi, itu tak berarti Paman harus mati
dalam waktu dekat ini!"
"Apa kau lupa kalau aku telah terkena hawa bera-
cun di puncak Gunung Bromo" Hawa beracun itu
mengeram di dalam tubuhku dan tak dapat ku kelua-
rkan. Ayah dan ibumu serta ibu dari Winarni tewas ka-
rena hawa beracun itu. Kurasa kau tahu pula kalau
aku dan Buluk Siwu terkena akibatnya pula. Ilmu
yang kumiliki jadi semakin rendah karena hawa bera-
cun menghalangi peredaran tenaga dalamku. Masih
ingatkah kau akan semua ini, Ratna?"
Dengan sepasang mata berkaca-kaca Dewi Ratna
menganggukkan kepala. Bibir bawahnya digigit untuk
menekan rasa haru dan sedih yang tiba-tiba menye-
ruak. "Mengapa kau menjadi manusia yang cengeng dan
mengikuti perasaan?" sentak Ardaraja. "Kalau almar-hum Guru mengetahui, tentu
beliau akan malu dan
marah. Kecengengan tak layak berada di batin orang
keturunan Pendekar-Pendekar Gunung Bromo! Kau
harus tegar dan tabah, Ratna. Kalau tidak, aku tak
bersedia menceritakan Kelompok Penjagal Manusia
dan Iblis Penghisap Darah!"
Dewi Ratna mengepalkan jari-jari tangannya seraya
menggertakkan gigi.
"Aku tak apa-apa, Paman!" ujar gadis itu mantap sekali. Dikuatkannya perasaan
hatinya. "Bagus!" puji Ardaraja dengan wajah berseri-seri.
"Kau memang tak memalukan menjadi keluarga Pen-
dekar Gunung Bromo yang terkenal gagah perkasa dan
tak takut mati! Sesuai janji yang ku ucapkan, akan
kuceritakan semuanya tentang Kelompok Penjagal Ma-
nusia dan Iblis Penghisap Darah!"
Ardaraja menghentikan ucapannya sejenak. Da-
hinya berkernyit karena berpikir, mencari kata-kata
yang tepat untuk memulai ceritanya.
"Sekitar sepuluh tahun lalu dunia persilatan di-
gemparkan dengan munculnya sekelompok tokoh sesat
yang menamakan dirinya Kelompok Penjagal Manusia.
Kepandaian mereka rata-rata tinggi. Mereka pun kejam
bukan main. Membunuh manusia bagi kelompok itu
tak ubahnya membunuh nyamuk. Tak terhitung sudah
orang-orang yang menjadi korban. Empat tahun sete-
lah merajalela dengan kebengisannya, Kelompok Pen-
jagal Manusia dicari oleh guru kami. Beliau adalah
pertapa di Gunung Bromo. Iblis Penghisap Darah yang
tahu kalau dirinya dicari, balas mencari. Pertarungan pun tak bisa dielakkan."
Sesaat Ardaraja menghentikan ceritanya. Hendak
dilihatnya tanggapan Dewi Ratna. Tapi gadis cantik itu tampak dengan bersungguh-
sungguh mendengarkan
ceritanya. "Iblis itu ternyata memiliki kepandaian menakjubkan! Kakek gurumu tewas, Ratna.
Tentu saja kami tak
bisa berdiam diri. Kami ajukan tantangan terhadap Ib-
lis Penghisap Darah. Tokoh sesat yang yakin dirinya
tak terkalahkan itu memenuhi tantangan kami. Dia
datang sendiri. Iblis itu memang benar-benar sukar di-tandingi. Meski telah
mengeroyoknya, kami tak mam-
pu mengalahkannya. Di saat kami hampir celaka mun-
cullah sahabat kakek gurumu, Eyang Nararya. Beliau-
lah yang membuat pimpinan Kelompok Penjagal Ma-
nusia tak berdaya. Dengan sela aji yang tak kuketahui apa namanya, kekuatan
Iblis Penghisap Darah berkurang. Semakin lama kekuatan tokoh sesat itu semakin
menyusut. Sampai akhirnya dia rubuh di tanah. Itulah
kejadian sebenarnya, Ratna."
Dewi Ratna terdiam. Gadis ini tak tahu harus ber-
kata bagaimana. Dia terlalu terkejut mendengar cerita selengkapnya mengenai
kemenangan Pendekar-Pendekar Gunung Bromo. Selama ini dia hanya tahu
pimpinan Kelompok Penjagal Manusia dikalahkan oleh
Pendekar Gunung Bromo.
"Lalu bagaimana dengan Kelompok Penjagal Manu-
sia itu, Paman" Apakah benar Paman telah menghan-
curkannya?" tanya Dewi Ratna, setengah tak yakin akan kebenaran cerita yang
pernah didengarnya.
"Memang kami datang mengunjungi markas mere-
ka untuk menghancurkannya. Tapi rupanya maksud
kedatangan kami telah diketahui Kelompok Penjagal
Manusia sudah merasa gentar. Mereka kehilangan ke-
beranian ketika mendengar ketuanya telah kami ka-


Dewa Arak 94 Pendekar Gunung Bromo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lahkan." "Jadi Paman mendapati markas yang kosong?" du-ga Dewi Ratna.
"Tidak sampai demikian, Ratna," kilah Ardaraja.
"Kami tetap menemukan sisa-sisa Kelompok Penjagal Manusia. Kami pun menumpasnya.
Setelah itu markas
mereka kami bakar habis."
Suasana jadi hening ketika Ardaraja menghentikan
ucapannya. Dewi Ratna terlihat agak terpukul. Cerita
yang disampaikan pamannya itu terlalu mengejutkan.
"Sekarang aku mengerti mengapa Paman sangat
menginginkan aku dapat menguasai ilmu-ilmu warisan
Paman dan Ayah," ujar Dewi Ratna sambil mengang-
guk-anggukkan kepalanya. "Paman khawatir aku menjadi sasaran balas dendam
Kelompok Penjagal Manu-
sia." "Tidak terlalu tepat demikian, Ratna. Kuharapkan kau tidak hanya bersiaga
terhadap balas dendam mereka. Tapi juga berjaga-jaga kalau mereka mengacau-
kan dunia persilatan kembali. Kau pun harus menjaga
tawanan kami agar tak dapat dibebaskan. Jangan
khawatir, Ratna. Kau tak perlu menjaganya seumur
hidup. Apabila kau berhasil menjaganya hingga pur-
nama berakhir dan lewat dua pekan, kau boleh ting-
galkan tempat itu."
"Aku mengerti, Paman. Kepercayaan yang Paman
berikan tak akan ku sia-siakan. Akan ku coba meme-
nuhi semua harapan Paman. Akan kucari orang-orang
Kelompok Penjagal Manusia dan kuhancurkan!" janji Dewi Ratna sambil mengepalkan
jari-jari tangannya.
Sepasang mata Ardaraja tampak berkaca-kaca. Le-
laki ini merasa terharu mendengar janji keponakan-
nya. Bahkan, suaranya terdengar agak serak ketika dia berbicara.
"Aku bangga terhadapmu, Ratna. Aku yakin andai-
kata Mundarang masih hidup dia akan merasa bangga
pula." Dewi Ratna tertunduk. Kesedihan mendadak me-
lingkupi hatinya. Ucapan Ardaraja mengingatkannya
akan kematian ayahnya. Mundarang tewas karena ke-
racunan dan mayatnya tertinggal di lereng Gunung
Bromo. "Bukan hanya Mundarang saja, Ardaraja! Buluk
Siwu pun telah mati! Dan, sebentar lagi kau akan me-
nyusul mereka ke neraka!"
Ucapan itu menyambuti perkataan Ardaraja. Bu-
nyinya tidak keras. Tapi mampu membuat ruangan
tempat Ardaraja dan Ratna berada tergetar hebat.
Ardaraja terjingkat ke belakang bagai disengat ular
berbisa. Lelaki ini kelihatan tak mampu meredam rasa
kagetnya. Dewi Ratna tampak kebingungan. Gadis ini
menatap wajah Ardaraja.
"Siapa itu, Paman" Apa maksud ucapannya?"
tanya Dewi Ratna.
Ardaraja menggelengkan kepala. "Aku tidak tahu,
Ratna," ujar lelaki kurus kering itu. Sepasang matanya tertuju ke luar gua. Tapi
karena lorong gua tak lurus, Pendekar Gunung Bromo ini tak bisa melihat apa pun.
"Siapa pun orang yang berada di luar itu, dia tak me-
miliki maksud baik. Aku mempunyai firasat tak enak,
Ratna. Mungkin aku akan menyusul ayahmu. Tapi aku
sudah ikhlas. Pergilah, Ratna. Aku tak ingin kau cela-ka. Gunakan jalan
belakang. Dan...."
"Keluar kau, Ardaraja! Aku tahu kau berada di dalam! Kau tak bisa bersembunyi
lagi. Sudah tiba saat-
nya kau mempertanggungjawabkan perbuatanmu lima
tahun lalu!"
Suara dari luar gua kembali berkumandang. Na-
danya tetap seperti semula. Tapi getaran pada bagian
dalam gua jauh lebih besar.
"Karena kau tak mau keluar, biar aku yang me-
maksamu, Ardaraja!" sambung sebuah suara lain dari luar gua. Lebih lembut dari
suara sebelumnya.
Ardaraja tampak cemas. Tamu tak diundangnya
tak hanya seorang. Padahal dari suaranya Ardaraja bi-
sa menilai orang-orang di luar gua memiliki kepan-
daian tinggi. Dia tak mencemaskan keselamatannya.
Yang dipikirkan hanya Dewi Ratna. Gadis itu masih
berdiam diri di tempatnya. Ardaraja segera mengi-
baskan tangan kanan.
"Cepat pergi, Ratna!" seru Ardaraja keras.
Angin keras yang berhembus dari tangan Ardaraja
membuat tubuh Dewi Ratna terpental ke belakang, Ar-
daraja sendiri segera melesat keluar.
Saat lelaki kurus kering ini melesat terdengar
bunyi mendenging seperti suara nyamuk. Guncangan
menghebat secara tiba-tiba. Lantai gua terbelah. Atap gua runtuh membawa batu-
batu dan debu yang ber-hamburan.
"Ratna!"
Ardaraja memekik kaget, lesatannya keluar gua di-
hentikan. Ardaraja bermaksud menolong keponakan-
nya. Tapi tindakannya terpaksa diurungkan. Batu-
batu besar berguguran dari atap gua diiringi bunyi
bergemuruh. Tak ada gunanya lagi menolong Dewi Ratna. Tem-
pat di mana tubuh gadis itu tergolek banyak dijatuhi
batu-batu besar. Debu tebal menghalangi pandangan.
Ardaraja terpaksa melesat keluar.
Lelaki kurus kering ini tak ingin mati konyol den-
gan terkubur hidup-hidup di dalam gua. Dia tak ingin
mati percuma seperti yang dialami Dewi Ratna. Dan,
kematian Dewi Ratna harus dibalaskannya.
*** 3 Seorang lelaki pendek berperut buncit tampak ber-
gegas menghampiri Dewa Arak dan Kertapati. Kedua-
nya tengah duduk saling berhadapan dibatasi meja
berbentuk empat persegi panjang.
Lelaki pendek berperut gendut yang ternyata pemi-
lik kedai meletakkan pesanan tamunya. Arya maupun
Kertapati tak memperhatikan kehadiran pemilik kedai.
Pandangan mereka tertuju pada salah satu meja besar
yang banyak dikerumuni orang. Dari meja ini terden-
gar seruan-seruan keras.
"Ayo.... Mari...! Silakan pasang lagi! Pasang satu keping dapat tiga keping.
Silakan pasang. Barangkali
saja Tuan yang beruntung!" seru seorang lelaki gemuk.
Ia lelaki berusia enam puluh tahun. Tubuhnya
tinggi gemuk. Dia hanya mengenakan rompi dari bulu
burung garuda. Di depan lelaki gemuk duduk bebera-
pa orang lelaki. Mereka semua tokoh-tokoh persilatan.
Di permukaan meja besar tampak selembar kulit
kambing berbentuk bujur sangkar yang berukuran tiga
jengkal. Di atas kulit kambing tertera garis-garis yang membentuk enam buah
kotak. Pada tiap kotak terdapat noktah merah seukuran buah ceremei. Noktah pa-
da tiap kotak tidak sama jumlahnya. Angkanya beru-
rut mulai dari satu sampai enam. Pada kotak-kotak in-
ilah tokoh-tokoh persilatan itu meletakkan uangnya.
Lelaki gemuk memegang sebuah kotak kecil ber-
bentuk kubus. Kotak yang bersisi sama itu mempunyai
noktah-noktah seperti pada lembaran kulit kambing.
Di depannya terdapat sebuah mangkuk dari tempu-
rung kelapa. Lelaki gemuk mengambil mangkuk itu
dan menangkupkannya pada kotak bernoktah
"Tidak ada yang memasang lagi atau merubah pa-
sangan?" tanya lelaki gemuk. "Kalau sudah tidak ada, kita tentukan siapa yang
akan beruntung!"
Lelaki berompi bulu burung garuda itu memo-
nyongkan bibir, meniup bagian atas mangkuk. Tidak
terjadi apa-apa atas mangkuk tempurung kelapa. Tapi,
di dalamnya terdengar bunyi berkerotokan dari kotak
yang berputaran keras.
"Ayo! Kesempatan terakhir! Masih adakah yang in-
gin ikut serta atau merubah pilihannya" Masih ada ke-
sempatan sebelum mangkuk ini dibuka!" seru lelaki gendut ketika bunyi putaran
kotak kecil di dalam tempurung kelapa tak terdengar lagi.
Lelaki gemuk mengedarkan pandangan menatap
wajah-wajah penasaran di hadapannya. Tak satu pun
menunjukkan gelagat ingin merubah pilihan.
"Kalau sudah tak ada lagi, sekarang mangkuk ini
akan kubuka. Kita lihat bersama siapa yang akan be-
runtung!" Lelaki gemuk ini batuk sekali begitu ucapannya se-
lesai. Semua orang yang ada di situ tahu kalau batuk
itu hanya buatan.
Dugaan mereka memang tak salah. Begitu batuk
lelaki gemuk usai, mangkuk melayang naik ke atas se-
tinggi tiga jengkal. Sebuah pertunjukan tenaga dalam!
Tapi, tak seorang pun yang mempedulikan. Mereka
semua menunjukkan perhatian pada kotak kecil yang
semula berada di dalam mangkuk.
"Bagaimana, Arya?" celetuk Kertapati sambil mengunyah makanannya. "Apakah kau
berubah pikiran
dan merasa tertarik dengan permainan itu" Cobalah
Arya. Amat menyenangkan!"
Arya menggelengkan kepala seraya tersenyum.
"Aku tetap pada pendirianku, Paman. Kuakui aku
memang tertarik. Tapi, bukan berarti aku berminat un-
tuk main. Aku hanya ingin tahu mengapa orang-orang
menyukainya," jawab Arya.
Kertapati tersenyum mendengar jawaban Dewa
Arak. "Mereka bermain judi bukan untuk menda-
patkan uang, tapi karena kesenangan. Mereka telah
kecanduan bermain judi. Asal kau tahu saja Arya,
permainan itu berlangsung jujur. Tak ada yang ber-
main curang dengan mengakali putaran dadu. Terke-
cuali kalau mereka bermain berdua."
"Ha ha ha,..!"
Tawa bergelak penuh kegembiraan membuat Arya
dan Kertapati menolehkan kepala. Tindakan ini me-
nimbulkan kejadian yang lucu. Tangan mereka mem-
bawa makanan ke dekat mulut yang telah dibuka, tapi
gerakan itu tak berkelanjutan.
Tampak oleh mereka seorang lelaki kecil berpa-
kaian dari kulit macan tutul tertawa bergelak-gelak.
Lelaki yang memiliki keanehan pada matanya itu gem-
bira bukan main. Kedua tangannya diangkat-angkat ke
atas, "Aku yang menang! Ha ha ha...! Aku yang menang!"
seru lelaki berpakaian kulit macan tutul. Mata kanan-
nya membengkak sebesar buah kedondong, sehingga
bola matanya tak kelihatan. Sedang mata kirinya begi-
tu kecil dan hampir merupakan satu garis.
Lelaki kecil ini menatap ke arah dadu yang menun-
jukkan noktah dua buah. Pada noktah ini lelaki ber-
pakaian dari kulit macan tutul meletakkan taruhan
uangnya. "Kau kenal orang yang tengah tertawa gembira
itu?" bisik Kertapati.
Arya menggeleng.
"Pernah mendengar tokoh hitam yang berjuluk Ma-
ta Iblis?" tanya Kertapati lagi.
"Pernah, Paman," jawab Arya sambil mengingat-ingat. "Kalau tak salah dia berasal
dari Jawa Timur."
"Benar. Tepatnya dari Tuban. Di sana dia amat ditakuti karena tindakan-
tindakannya yang menggem-
parkan," sambung Kertapati menambahkan.
"Aku ingat," timpal Arya. "Bukankah dia bajak laut?"
"Bajak laut tunggal yang merajai pesisir."
Arya mengangguk-angguk.
"Sungguh tak kusangka bajak laut itu berkelana
sampai ke tempat ini. Mungkinkah dia datang jauh-
jauh hanya untuk permainan ini?" gumam Arya tak
menyembunyikan rasa herannya.
"Kemungkinan itu kecil, Arya," bantah Kertapati.
"Kalau hanya untuk urusan demikian, tak akan
mungkin Mata Iblis sampai meninggalkan tempatnya.
Pasti ada alasan lain."
Arya tak memberikan tanggapan. Dengan tenang
makannya dilanjutkan. Kertapati pun demikian. Lelaki
ini mengunyah makanannya perlahan-lahan. Sikap
yang tak pantas ditunjukkan seorang gelandangan ke-
laparan. Di meja judi permainan kembali berlangsung. Lela-
ki gemuk berteriak-teriak menyuruh orang-orang me-
masang. Kepingan-kepingan uang pun diletakkan di
dalam kotak-kotak. Bunyinya gaduh bercampur den-
gan tegukan-tegukan kasar dari mereka yang me-
nyempatkan diri untuk minum.
Di saat Arya dan Kertapati asyik menikmati maka-
nan, sementara di meja besar permainan terus ber-
langsung, terdengar bunyi gaduh yang semakin lama
semakin keras. Bunyinya bertubi-tubi menghantam
bumi. Suara langkah kaki kuda yang tengah berlari
cepat. "Itu dia! Aku yakin kuda yang sebentar lagi lewat di depan kedai ini ditunggangi
gadis liar itu!" Ucap Mata Iblis seraya bangkit dari kursinya.
"Tenang saja, Mata Iblis," sela lelaki gemuk agak kesal. "Gadis itu tak akan
pergi jauh. Kita saksikan du-lu siapa yang akan beruntung kali ini!"
"Tapi, ada baiknya kalau kita pastikan dulu apa-
kah benar itu kuda tunggangan si gadis liar!" bantah Mata Iblis tanpa
menyembunyikan ketidaksenangan-nya. Kendati demikian, Mata Iblis masih menyem-
patkan diri mengerling ke arah dadu yang masih ber-
putaran! Ternyata tak hanya Mata Iblis yang bangkit dari
kursinya. Tokoh-tokoh lain pun demikian. Sebentar-
sebentar bola mata mereka berputar ke pintu kedai
kemudian beralih pada dadu yang masih berputar.
"Mengapa mesti bingung" Dari sini pun kita bisa
mengetahui siapa penunggang kuda yang sebentar lagi
akan lewat!"
Setelah mengeluarkan perkataan yang ditutup
dengan dengusan itu, lelaki gemuk menarik napas
panjang. Wajah dan tubuhnya menampakkan peruba-
han. Perut dan wajah lelaki itu menggembung seperti


Dewa Arak 94 Pendekar Gunung Bromo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

balon ditiup. Kemudian, lelaki gemuk menghembuskan
udara yang berkumpul pada kedua pipinya.
"Puuuh...!"
Brakkk...! Daun pintu kedai yang tertutup hancur berkeping-
keping. Pecahan papan berpentalan ke jalan. Pintu ke-
dai memang sengaja ditutup oleh pemiliknya karena di
luar angin keras musim kemarau bertiup membawa
debu. Pemilik kedai dan pelayannya hanya bisa membela-
lakkan mata kaget. Di samping itu mereka pun merasa
ngeri. Mereka khawatir akan terjadi keributan yang
menimbulkan kerusakan di dalam kedai.
Dewa Arak, Kertapati, Mata Iblis, dan tokoh-tokoh
lainnya kaget melihat pertunjukan tenaga dalam yang
amat kuat itu. Tapi, mereka semua mampu menyem-
bunyikan keterkejutan itu. Bahkan Arya dan Kertapati
memperlihatkan sikap seakan pertunjukan yang dila-
kukan lelaki gemuk adalah hal yang biasa.
"Kau tahu siapa lelaki gemuk itu?" tanya Kertapati pelan pada Dewa Arak. Saat
itu kegaduhan telah mereda. Kertapati tak berani bicara keras-keras.
"Tidak, Paman," jawab Arya dengan pelan pula.
"Wajar kalau kau tak mengenalnya, Arya. Lelaki
gemuk itu memang belum lama berada di tanah Jawa
Timur ini. Dia terkenal di daerah Madura dengan julu-
kan Raja Babi Bertenaga Raksasa. Menurut kabar
yang tersiar, Raja Babi gemar berkelana ke tempat-
tempat asing."
"Kepandaiannya cukup tinggi. Terutama tenaga da-
lamnya," puji Arya sejujurnya.
"Bukan hanya itu saja, Arya," Kertapati menambahkan. "Raja Babi pun banyak
memiliki ilmu-ilmu aneh. Ilmu-ilmu yang didapatkan dari orang-orang
aneh. Mereka memiliki tubuh seperti anak berusia be-
lasan tahun. Bicaranya pun aneh seperti orang ber-
kumur-kumur."
Arya mengernyitkan alis mendengar penjelasan
Kertapati. Dia percaya cerita lelaki ini kemungkinan
besar benar. Arya sendiri telah beberapa kali bertemu dengan orang-orang yang
memiliki ciri-ciri aneh {Untuk jelasnya, silakan baca episode "Pembantai Dari
Mon-gol" dan "Petualang-Petualang Dari Nepal"), Raja Babi Bertenaga Raksasa
sendiri bersikap tak
peduli dengan tanggapan orang-orang yang berada di
situ. Dengan nada datar tapi mengandung tekanan, le-
laki gemuk ini kembali berbicara.
"Kurasa tak ada lagi yang perlu dikhawatirkan. Begitu gadis itu lewat, kita
dapat melihatnya. Perlu ku tekankan sekali-lagi, kita tak perlu khawatir dia
akan lolos. Di tempat yang akan dilaluinya telah ku tempatkan beberapa orangku."
"Di mana kau tempatkan orang-orangmu itu, Raja
Babi?" tanya lelaki berikat kain hitam di kepala.
"Sekitar dua puluh tombak dari tempat ini, puas?"
"Tidak!" sentak Mata Iblis keras. "Aku tak ingin karena kesombongan sikapmu, aku
hanya membuang-
buang tenaga datang ke tempat ini!"
Sepasang mata Raja Babi berkilat-kilat memancar-
kan hawa maut. Mata Iblis yang telah lama berkecim-
pung di dunia persilatan dapat mengetahui artinya.
Tapi, tokoh tenar dari Tuban ini tak merasa gentar sedikit pun. Dibalasnya
tatapan Raja Babi dengan sinar
mata penuh tantangan.
Sementara itu putaran dadu semakin lambat. Tapi
hampir tak ada yang memperhatikan lagi. Semua yang
duduk di depan Raja Babi Bertenaga Raksasa bersiap-
siap untuk meninggalkan kursi mereka. Sebentar lagi
akan terjadi keributan. Bukan tak mungkin mereka
akan terkena serangan nyasar.
"Apa pun pendapatmu, silakan kau tujukan untuk
dirimu sendiri! Aku datang jauh-jauh hanya untuk
mencari gadis itu. Aku akan keluar dan mencegah ga-
dis itu mencapai maksudnya. Siapa pun yang menen-
tang maksudku akan ku terjang. Tak terkecuali kau,
Raja Babi!" tandas Mata Iblis penuh tantangan.
Raja Babi mendengus. Sepasang alisnya terangkat
tinggi-tinggi melihat tanggapan Mata Iblis yang dianggapnya keterlaluan.
Meskipun demikian, lelaki ini tak bangkit dari kursinya.
"Mungkin perlu kuberitahukan padamu, Mata Ib-
lis!" desis Raja Babi penuh tekanan. "Aku mempunyai aturan yang selama ini
kupegang teguh. Tak seorang
pun boleh meremehkan aturan ini. Dengar baik-baik,
Mata Iblis! Aturanku adalah, jika permainan belum se-
lesai maka tak seorang pun boleh pergi, kecuali orang itu tak menyayangi
nyawanya lagi. Jelas"!"
"Jelas sekali!" tegas Mata Iblis mantap. "Dengan ka-ta lain, bila aku hendak
meninggalkan tempat ini, kau akan membunuhku"!"
"Kau memang cepat mengerti, Mata Iblis!"
"Kau boleh melakukan itu apabila kau mampu me-
lakukannya, Raja Babi! Sekarang aku akan pergi. Ingin kulihat apa yang akan kau
lakukan!" "Aku ragu kau dapat meninggalkan tempat ini!"
ejek Raja Babi Bertenaga Raksasa penuh keyakinan.
Ketegangan yang semakin memuncak membuat to-
koh-tokoh persilatan lainnya meninggalkan kursi mas-
ing-masing. Raja Babi membiarkan saja. Saat itu puta-
ran dadu sudah berhenti. Tapi tak seorang pun yang
mempunyai keinginan melihat jumlah angka yang ter-
cipta. Mata Iblis bergerak paling akhir. Dengan mata
tunggalnya yang terpaku menatap semua gerak-gerik
Raja Babi, bajak laut dari Tuban ini bergerak bangkit dari kursinya. Semua
pasang mata hampir tak berke-dip menatap ke arah Raja Babi dan Mata Iblis.
Mereka terbelalak keheranan ketika melihat Mata Iblis tampak terkejut.
Mata Iblis yang hendak bangkit dari kursinya me-
rasakan betapa kekuatan dahsyat yang tak nampak
membuat pantatnya sukar diangkat dari kursi. Mata
Iblis menatap Raja Babi. Tokoh yang terkenal di Madu-
ra itu tersenyum sinis. Mata Iblis tahu apa artinya. Tokoh itu telah membuktikan
ancamannya! Mata Iblis melihat kedua telapak tangan Raja Babi
yang terbuka ditempelkan ke daun meja. Melalui pe-
rantaraan kedua tangan itu Raja Babi membuatnya
tak bisa mengangkat pantat!
Bagi tokoh persilatan yang memiliki tenaga dalam
kuat, apa yang dilakukan Raja Babi bukan merupakan
hal yang luar biasa. Tenaga dalam dialirkan ke permu-
kaan meja terus ke kaki-kakinya, merambat melalui
lantai ke kaki kursi Mata Iblis.
Mata Iblis tak tinggal diam. Dia tak melakukan per-
lawanan langsung dengan mengarahkan tenaga dalam,
Mata tunggal tokoh dari Tuban ini membelalak, se-
hingga terlihat lebih besar dari biasanya. Sebentar kemudian bagian matanya yang
berwarna putih berubah
hijau. Raja Babi yang memperhatikan semua gerak-gerik
Mata Iblis segera melihat hal yang mencurigakan itu.
Kewaspadaannya membisikkan akan adanya bahaya.
Kewaspadaan inilah yang menyelamatkan Raja Ba-
bi Bertenaga Raksasa. Karena, mata bajak laut dari
Tuban memancarkan sinar kehijauan yang menuju ke
arah dada Raja Babi! Melihat sinar kehijauan melun-
cur ke arahnya, Raja Babi segera bertindak. Lelaki gemuk itu mengerahkan tenaga
dalamnya untuk membe-
ratkan tubuh. Blosss...! Bunyi gaduh terdengar ketika empat kaki kursi
amblas ke dalam lantai. Amblasnya kaki kursi menye-
babkan sinar hijau dari mata bajak laut dari Tuban
meluncur di atas kepala Raja Babi.
Brakkk..! Dinding papan yang berada beberapa tombak di be-
lakang Raja Babi menjadi sasaran sinar hijau. Dinding itu hancur berkeping-
keping diiringi bau hangus terbakar. Asap tipis menyebar di tempat itu.
Tindakan yang dilakukan Raja Babi Bertenaga
Raksasa membuatnya melepaskan tenaga dalam untuk
menahan Mata Iblis dari tempat duduknya. Mata Iblis
merasakan kekuatan yang membelenggunya telah sir-
na. Buru-buru dia bangkit berdiri. Bertepatan dengan
itu di luar kedai terlihat seekor kuda hitam putih melesat dengan kecepatan
tinggi. Semua orang di dalam
kedai mengalihkan perhatian ke sana. Tampak oleh
mereka seorang gadis berpakaian merah duduk di
punggung binatang itu,
Bagai anjing-anjing kelaparan melihat tulang, to-
koh-tokoh persilatan tak terkecuali Mata Iblis dan Raja Babi, melesat keluar
kedai. Mereka bagai berlomba untuk tiba lebih dulu di dekat gadis berpakaian
merah. Arya dan Kertapati saling berpandangan. Dalam per-
temuan mata itu keduanya mengerti apa yang berke-
camuk di benak masing-masing.
"Sekarang aku mengerti tujuan mereka berada di
sini, Paman," cetus Arya. "Rupanya mereka semua me-nanti kemunculan gadis
berpakaian merah itu."
"Kau baru mengetahui tujuannya, Arya. Tapi belum tentang alasan mereka mencari
gadis itu. Satu persoalan berhasil kau pecahkan, tapi persoalan lain justru
muncul," sahut Kertapati kalem.
"Tak sulit untuk mengetahuinya, Paman," kilah Arya. "Aku akan ikut mereka
menjumpai gadis itu. Aku yakin akan dapat mengetahui hal yang mereka ri-butkan."
"Silakan, Arya. Dan selamat berpisah. Kuharap kau berhasil dengan maksudmu itu.
O ya, sampaikan sa-lamku pada Jaran Sangkar. Terima kasih kuucapkan
atas kesediaannya mengirimmu kemari. Katakan dari
Eyang Nararya."
*** 4 "Selamat tinggal, Paman."
Arya mengucapkan selamat berpisah sebelum me-
lesat meninggalkan tempat duduknya. Kertapati alias
Eyang Nararya menggeleng-gelengkan kepala kagum
melihat pemuda berambut putih keperakan itu melesat
begitu cepat. Dia tak melihat Arya mengambil ancang-
ancang, tapi tahu-tahu sudah tak berada di tempatnya
lagi. "Seorang pemuda yang hebat!" puji Kertapati penuh rasa kagum.
Sementara itu, gadis berpakaian merah sudah
hampir dua puluh lima tombak meninggalkan jalan di
depan kedai. Kudanya terus dipacu dengan kecepatan
tinggi, sehingga menimbulkan gumpalan debu tebal di
belakangnya. Beberapa tombak di depan si gadis, tam-
pak di kanan kiri jalan sebatang pohon besar yang
mempunyai semak-semak di sekitarnya. Gadis berpa-
kaian merah tak ambil peduli. Pandangannya dituju-
kan lurus ke depan. Kedua tangan tak henti-hentinya
menggeprak tali kekang kuda.
Gadis itu tak melihat seutas tambang yang tergolek
di tanah memanjang dari pohon di kanan jalan ke po-
hon di sisi jalan lain. Tambang itu mempunyai warna
yang hampir sama dengan tanah hingga sulit dikenali.
"Ahhh...!"
Seruan keterkejutan gadis berpakaian merah ham-
pir berbarengan dengan ringkikan kuda. Tubuh bina-
tang dan penunggangnya terjungkal. Tambang yang
semula tergolek menegang tiba-tiba saat kuda si gadis melewatinya.
Berbeda dengan binatang tunggangannya yang tak
mampu bangun lagi dari tanah, gadis berpakaian me-
rah tak semudah itu dapat dipecundangi. Dia bersalto
beberapa kali di udara dan menjejak tanah dengan
mantap. "Kunyuk-kunyuk dari mana berani menjegal perja-
lananku"!" bentak gadis berpakaian merah seraya
mengedarkan pandangan berkeliling.
Tiga lelaki berompi hitam yang tahu-tahu mengu-
rung si gadis malah tersenyum mendapat makian itu.
Merekalah yang memasang tambang itu. Lalu langsung
bergerak mengurung ketika si gadis mendarat di ta-
nah. "He he he...!" sahut lelaki yang bermuka hitam seperti arang. Digaruk-garuknya
dada dengan kedua
tangan. "Matamu awas juga, Gadis Liar! Kami memang
kunyuk-kunyuk. Lebih tepat lagi Tiga Kunyuk Pangan-
daran! Kami bertiga anak buah Raja Babi Bertenaga
Raksasa. Aku dijuluki Kunyuk Muka Hitam.
"Aku Kunyuk Muka Merah," sambung lelaki yang kulit mukanya merah seperti udang
direbus. "Dan aku.... Kunyuk Muka Putih!" tandas lelaki terakhir yang kulit mukanya putih
seperti dikapur.
Gadis berpakaian merah memiliki wajah yang can-
tik. Kulitnya putih halus. Berhidung mancung dan bi-
bir tipis merah delima. Bentuk tubuhnya menggiurkan!
Seorang gadis yang sangat menarik.
Sayang, kecantikan wajah gadis ini terlihat agak
menyeramkan. Gadis berpakaian merah menampilkan
sikap yang diagung-agungkan. Itu terlihat jelas dari sikapnya yang sombong.
"Aku tak peduli siapa kalian! Kuperingatkan, kalau masih ingin selamat
tinggalkan tempat ini!" tandas gadis berpakaian merah dengan kedua tangan di
ping- gang. "Sombong!" bentak Kunyuk Muka Putih. Ia merasa tersinggung melihat sikap yang
ditunjukkan gadis berpakaian merah. Sepasang mata anggota Tiga Kunyuk
Pangandaran ini bak hendak melompat keluar dari
rongganya. "Berani kau menghina kami Tiga Kunyuk Pangandaran"!"
Dengan kedua tangan tetap bertolak pinggang, ga-
dis berpakaian merah mendengus. Sepasang matanya
yang bening indah menatap tiga pengepungnya dengan
sorot mata seperti majikan menatap budak-budaknya.
"Jangankan hanya Tiga Kunyuk Pangandaran yang
tak lebih dari kucing-kucing tua, raja setan sekalipun tak akan membuat tokoh
dari Gunung Bromo gentar!
Aku, Winarni, Pendekar dari Gunung Bromo tak per-
nah merasa gentar terhadap siapa pun! Jelas"!"
"Luar biasa! Luar biasa! Benar-benar tak percuma menjadi salah satu Pendekar
Gunung Bromo!"
Suara yang dikeluarkan dengan lantang itu lebih
dulu menyambuti ucapan Winarni. Tampak beberapa


Dewa Arak 94 Pendekar Gunung Bromo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lelaki menghampiri tempatnya berada. Mereka berasal
dari kedai yang tadi dilaluinya.
Winarni mengalihkan pandangan kepada orang
yang berbicara. Seorang lelaki gemuk yang memiliki
sorot mata mencorong tajam. Kendati demikian, gadis
yang memiliki watak tinggi hati ini tetap bersikap memandang rendah. Seperti
biasa, dia menatap seseorang
dengan agak mendongak. Memberitahukan kalau di-
rinya lebih tinggi dari orang lain.
Lelaki gemuk itu bukan lain Raja Babi Bertenaga
Raksasa. Tokoh ini tak muncul sendiri. Di sebelah Raja Babi berdiri Mata Iblis.
Di belakang kedua tokoh sesat itu berjalan mendekat beberapa tokoh hitam dunia
persilatan. Mereka memiliki maksud yang sama den-
gan Raja Babi dan Mata Iblis.
Tokoh-tokoh sesat yang berasal dari berbagai dae-
rah di Jawa Timur itu bersikap cerdik. Mereka tak in-
gin lebih dulu terlibat dalam bentrokan. Biarkan anj-
ing-anjing lain memperebutkan tulang, nanti apabila
anjing-anjing itu kelelahan, baru mereka turun tangan!
Begitu akal licik mereka.
"Tepat sekali berita yang kudengar selama ini,"
tandas Raja Babi Bertenaga Raksasa melanjutkan
ucapannya. "Tokoh-tokoh dari Gunung Bromo memiliki kesombongan yang tak terukur.
Mereka menganggap
keluarganya berbeda dengan kebanyakan orang. Seka-
rang aku melihat sendiri buktinya!"
"Tak usah banyak bicara seperti nenek-nenek ke-
habisan sirih! Kemukakan saja apa maksud kalian
menghadang perjalananku. Cepat! Aku tak punya ba-
nyak waktu!" tandas Winarni keras.
Wajah Raja Babi Bertenaga Raksasa mulai meme-
rah. Lelaki gemuk ini terbakar amarahnya. Sikap Wi-
narni yang demikian sombong sangat menyinggung
harga dirinya. "Kau terlalu sombong, Gadis Liar! Orang seperti
kau harus diberi pelajaran. Agar tahu kalau yang me-
miliki kepandaian tinggi bukan hanya kau dan keluar-
gamu!" geram Raja Babi.
"Begitukah?" sambut Winarni tenang. "Buktikanlah kebenaran ucapanmu, Gendut!
Kalau kau tak berani
maju sendirian, boleh ajak gerombolanmu itu untuk
membantu!"
Hampir semua orang yang berada di tempat itu
menggeleng-gelengkan kepala. Mereka tak senang
mendengar ucapan sombong Winarni. Bahkan Arya
yang menguntit mereka menyayangkan sikap Winarni.
Dewa Arak bisa menilai Winarni memang memiliki
kepandaian. Tapi meskipun demikian, tak sepatutnya
gadis itu bertingkah demikian sombong. Padahal, se-
makin tinggi kepandaian seseorang seharusnya sema-
kin sadar kalau betapa banyaknya orang-orang pandai
di dunia ini. Padi pun semakin berisi semakin tunduk!
Raja Babi yang mendengar ucapan tajam Winarni
hampir-hampir tak bisa menahan kemarahan. Kalau
menuruti perasaan sudah diterjangnya Winarni. Tapi,
lelaki gemuk ini merasa malu menghadapi seorang la-
wan yang masih muda. Apalagi seorang gadis. Karena
itu, Raja Babi berpaling pada Tiga Kunyuk Panganda-
ran yang menjadi orang-orangnya.
"Serang wanita liar itu! Lakukan apa yang kalian inginkan terhadapnya!"
"Baik, Raja Babi!" sahut Tiga Kunyuk Pangandaran bersamaan. Serempak pula ketiga
tokoh sesat berompi
hitam ini mempersempit ruang gerak Winarni.
Winarni hanya mendengus seraya menyunggingkan
senyum sinis. Meski lawan-lawannya telah bersiap
hendak menyerang, gadis ini tetap diam di tempatnya.
Malah, kedua tangannya yang berada di pinggang tak
dipindahkan. Bola matanya yang indah tertuju pada
Raja Babi Bertenaga Raksasa. Sikapnya tetap seperti
semula, memandang rendah.
"Kiranya kau yang berjuluk Raja Babi Bertenaga
Raksasa. Kudengar tempat tinggalmu di Madura.
Sungguh jauh perjalananmu hingga sampai di tempat
ini. Dan, semua itu kau lakukan untuk menemuiku.
Luar Biasa! Rupanya aku telah menjadi orang yang
demikian penting. Kulihat Mata Iblis dari Tuban pun
ada pula!"
"Jebol perutmu, Wanita Liar!" seru Kunyuk Muka Hitam, bertepatan dengan
selesainya ucapan Winarni.
Lelaki berkulit muka hitam ini mengirimkan ten-
dangan lurus ke arah perut Winarni. Deru keras yang
mengiringi serangan menunjukkan betapa kuatnya te-
naga yang terkandung. Batu karang yang keras sekali-
pun akan hancur jika terkena dengan telak.
Di saat Kunyuk Muka Hitam melancarkan seran-
gan, Kunyuk Muka Merah mengirimkan pukulan me-
nyamping ke arah kepala. Dari arah lain Kunyuk Muka
Putih bergulingan ke depan dan mengirimkan sapuan
ke arah kaki. Tiga buah serangan sekaligus tertuju ke arah Winarni!
Tatapan semua orang terarah pada Winarni. Mere-
ka semua ingin melihat tindakan yang akan dilakukan
gadis itu. Ternyata Winarni tak bergeming dari tem-
patnya. Kendati demikian, kewaspadaannya terpasang
penuh. Winarni mengetahui bagian-bagian yang dija-
dikan serangan.
Tendangan Kunyuk Muka Hitam dipapaknya den-
gan gerakan yang sama. Serangan Kunyuk Muka Me-
rah ditangkis dengan mengangkat tangan kiri. Sedang-
kan sapuan Kunyuk Muka Putih dibiarkan menghan-
tam kaki kirinya. Gadis berpakaian merah ini tak lupa mengerahkan tenaga dalam
untuk membuat kakinya
yang kecil dan indah seperti berakar dengan tanah.
Desss, bukkk, desss...!
Tiga benturan terjadi hampir bersamaan. Jerit-jerit
kesakitan dari mulut Tiga Kunyuk Pangandaran pun
terdengar. Kunyuk Muka Hitam merasakan kaki ka-
nannya lumpuh. Tubuhnya terjengkang ke belakang.
Bahkan kemudian terbanting cukup keras di tanah.
Keadaan yang sama diterima Kunyuk Muka Merah.
Sekujur tangannya yang berbenturan dengan Winarni
sakit bukan main. Seakan bukan dengan tangan ma-
nusia, melainkan besi baja yang amat kuat. Akibat
benturan ini tubuh Kunyuk Muka Merah terputar!
Keadaan yang diterima Kunyuk Muka Putih tak le-
bih baik. Lelaki ini malah yang paling keras menjerit.
Dia seperti menyapu batang baja yang amat keras.
Kunyuk Muka Putih tak ingin memberi kesempatan
pada Winarni. Dia segera menggulingkan tubuh men-
jauh. Tindakan ini menyelamatkannya dari serangan
balasan yang akan dilancarkan Winarni.
Gadis itu mendengus dengan sikap yang menun-
jukkan kesombongan besar,
"Orang-orang dengan kepandaian seperti kalian ingin menangkapku" Kalian hanya
bermimpi! Seperti
sudah kukatakan tadi, lebih baik julukan Tiga Kunyuk
Pangandaran diganti dengan Tiga Kucing Pincang Tua.
Kalian sama sekali tak punya kepandaian!" dengus Winarni dengan kedua tangan
terlipat di depan dada.
Tiga Kunyuk Pangandaran menggertakkan gigi me-
nahan perasaan geram. Tangan mereka mengepal ke-
ras. Ucapan Winarni terlalu menyakitkan hati.
"Tahan...!"
Seruan keras yang amat mereka kenal membuat
Tiga Kunyuk Pangandaran yang telah bersiap melan-
carkan serangan segera menghentikan gerakannya. Ti-
ga tokoh hitam itu mengalihkan perhatian pada pemi-
lik suara. "Menyingkir kalian!" seru Raja Babi penuh wibawa.
"Biar aku yang menghadapi wanita liar itu!"
Berbarengan dengan langkah maju Raja Babi, Tiga
Kunyuk Pangandaran melangkah mundur. Namun me-
reka masih sempat mengarahkan pandangan penuh
ancaman kepada Winarni.
Raja Babi menghentikan ayunan kakinya pada ja-
rak lima tombak dari Winarni. Gadis itu sendiri tetap berdiri tenang di
tempatnya. Malah, sejak tadi me-nyaksikan gerak-gerik Raja Babi dengan kedua
tangan terlipat di depan dada.
Raja Babi menatap Winarni. Gadis berpakaian me-
rah itu tak mau kalah gertak. Dia balas menatap den-
gan sorot mata penuh tantangan.
"Kalau menuruti perasaan...," ucap Raja Babi dengan suara bergetar menahan
amarah. "Sikap dan ucapanmu telah cukup untuk membuatku membunuhmu,
Wanita Liar! Setidak-tidaknya aku harus menghukum
mu. Tapi, hal itu tak akan kulakukan apabila kau ber-
sedia bekerja sama denganku. Bagaimana"!"
"Kerja sama"!" dengus Winarni penuh ejekan, "Suatu penghinaan besar! Apakah kau
pernah mendengar
ada anggota keluarga Gunung Bromo yang bekerja sa-
ma dengan penjahat"!"
"Orang seperti kau memang harus dikasari dulu
baru mau mendengarkan ucapan orang lain. Tapi se-
belum kuberikan hajaran, kuberitahukan padamu,
Wanita Sombong! Aku hanya ingin kau pergi bersama-
ku ke Gua Landak di Gunung Bromo! Bagaimana?" Ra-ja Babi masih berusaha membujuk
"Rupanya kau mempunyai otak bebal dan telinga
yang tuli, Babi Gemuk!" sentak Winarni kasar. "Tidakkah kau dengar ucapanku"!
Aku, selaku Pendekar dari
Gunung Bromo, tak akan mungkin bekerja sama den-
ganmu. Jelas"!"
"Kau membuat kesabaranku habis, Wanita Liar!"
geram Raja Babi.
Berbarengan dengan terkatupnya mulut Raja Babi,
kedua tangannya ditempelkan di depan dada lalu sal-
ing digesekkan satu sama lain. Sesaat kemudian, pada
bagian telapak tangan itu tampak sinar kemerahan.
Winarni tetap bersikap seperti semula. Tenang dan
menatap dengan sinar mata merendahkan. Tapi orang-
orang yang bermata tajam seperti Raja Babi, Dewa
Arak, dan Mata Iblis sekilas dapat melihat sorot keterkejutan dalam sinar mata
Winarni. Sementara itu Raja Babi Bertenaga Raksasa tak
hanya saling menggesekkan kedua telapak tangannya.
Begitu warna merah semakin membara, kedua tan-
gannya dihentakkan bersama-sama ke arah Winarni.
Serangkum sinar kemerahan meluncur. Winarni me-
lompat ke atas lalu bersalto beberapa kali untuk men-
dekati Raja Babi. Tindakan gadis ini membuat sinar
kemerahan menghantam batang pohon besar. Pohon
yang sial itu pun ambruk ke tanah memperdengarkan
bunyi bergemuruh.
Saat tubuhnya tengah meluncur ke arah Raja Babi,
Winarni menghunus pedang dan membabatkannya ke
arah leher lelaki gemuk itu. Raja Babi menyadari
adanya ancaman maut ketika melihat kilatan sinar
menyilaukan menyambar ke arahnya. Tanpa banyak
membuang waktu dihunusnya ruduih (golok di Sumatera Barat) dari sarungnya.
Secepat kilat diayunkan
memapak pedang lawan.
Trangngng...! Bunga-bunga api berpercikan ke udara ketika pe-
dang dan ruduih berbenturan. Tubuh Winarni dan Ra-
ja Babi terpental ke belakang. Raja Babi merasakan
sekujur tangannya bagaikan lumpuh.
Lelaki gemuk itu penasaran bukan main melihat
hasil benturannya. Dia terkenal memiliki tenaga yang
amat kuat. Tapi mengapa berbenturan dengan seorang
gadis muda bisa kalah" Kenyataan ini benar-benar
menjatuhkan namanya!
Raja Babi Bertenaga Raksasa buru-buru mema-
tahkan kekuatan yang membuat tubuhnya terhuyung.
Ia ingin segera mengirimkan serangan balasan.
Sayang, ternyata dia kalah cepat. Winarni telah lebih dulu melesat ke arahnya
dan mengamuk dengan pedang di tangan.
Bentuk pedang gadis itu lenyap menjadi segulun-
gan sinar menyilaukan mata. Berkelebatan dengan ce-
pat memperdengarkan bunyi berdesingan nyaring. Ra-
ja Babi tak mau kalah. Lelaki gemuk itu meluruk maju
memapaki serangan lawan.
Pertarungan sengit pun tak bisa dihindarkan lagi.
Kedua belah pihak saling mengerahkan kemampuan-
nya. Di jurus-jurus awal tampak pertarungan berlang-
sung sengit. Tapi ketika menginjak jurus kedua puluh, Raja Babi mulai terdesak.
Lelaki gemuk ini memang
kalah segala-galanya dibandingkan lawan. Sekarang
Raja Babi hanya bisa bertarung mundur. Jarang sekali
dia melancarkan serangan. Dan lebih sering mengelak
serta menangkis.
Desss! Sebuah tendangan kaki kanan Winarni mendarat
telak di paha kanan Raja Babi. Tubuh lelaki itu ter-
jengkang ke belakang lalu terguling-guling di tanah.
Winarni tak menyia-nyiakan kesempatan itu. Ia segera
memburu dengan pedang siap dihujamkan.
Mata Iblis yang sejak tadi memperhatikan jalannya
pertarungan segera mengetahui kalau Winarni lawan
yang amat tangguh. Dirinya sendiri bukan tandingan
gadis itu. Maka di saat perhatian Winarni tengah ter-
pusat untuk segera merobohkan Raja Babi Bertenaga
Raksasa, Mata Iblis mengirimkan serangan dengan
mempergunakan mata tunggalnya.
Zooot...! Sinar kehijauan meluncur ke arah Winarni. Cepat
bukan main lesatannya.
Ketika serangan maut itu menyambar dekat, Wi-
narni baru menyadari adanya bahaya mengancam. Ta-
pi tidak demikian halnya dengan Dewa Arak. Pemuda
ini sempat melihat ketika sinar hijau masih cukup
jauh. Dewa Arak segera bertindak. Dikirimkannya puku-


Dewa Arak 94 Pendekar Gunung Bromo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lan jarak jauh ke arah sinar kehijauan.
Bresss...! Pukulan jarak jauh Dewa Arak berhasil menghan-
tam sinar itu. Tapi karena pemuda berambut putih ke-
perakan ini terburu-buru, kekuatan pukulannya
hanya ditopang oleh sebagian kecil tenaga. Akibatnya
hanya membuat arah sinar kehijauan melenceng.
Kendati demikian, tindakan Dewa Arak berhasil
menyelamatkan nyawa Winarni. Sinar yang seharus-
nya tertuju ke tubuh gadis itu melesat beberapa jari di sisi tubuhnya.
"Keparat...!" geram Mata Iblis melihat hasil seran-
gannya. *** 5 Mata Iblis memang gagal menyarangkan serangan.
Tapi, serangan yang dilancarkannya tadi membuat Wi-
narni gugup. Desakan gadis itu terhadap Raja Babi
Bertenaga Raksasa segera dihentikan. Winarni bersiap
menghadapi gempuran Mata Iblis selanjutnya.
Kegugupan itu harus dibayar mahal. Kesempatan
ini dipergunakan sebaik-baiknya oleh Raja Babi. Lelaki gemuk itu menghentakkan
tangannya mengirimkan
pukulan jarak jauh.
Bresss...! Tubuh Winarni terjengkang ke belakang dan me-
layang. Dari mulutnya muncrat darah segar. Mata Iblis dan Raja Babi bagaikan
berlomba ingin segera menangkap tubuh Winarni.
Tappp...! Sesosok bayangan Ungu telah terlebih dulu me-
nyambar tubuh gadis itu. Mata Iblis dan Raja Babi
Bertenaga Raksasa hanya bisa menatap dengan sorot
mata geram. "Anjing kecil dari mana berani dengan lancang menentang Raja Babi"!" bentak Raja
Babi Bertenaga Raksasa. "Kalau masih ingin selamat, serahkan wanita yang kau
panggul itu padaku!"
"Enak saja!" sentak Mata Iblis gusar. "Bukan padanya harus kau serahkan wanita
itu. Serahkan pada-
ku, Bocah!"
Dewa Arak menatap Raja Babi dan Mata Iblis ber-
gantian. Sikapnya terlihat tenang bukan main. Tubuh
Winarni ada di panggulannya. Winarni tak meronta-
ronta karena tubuhnya lemas bukan main.
"Kalian dengar baik-baik, Raja Babi dan Mata Iblis!
Aku tak akan memberikan wanita ini pada siapa pun.
Kalian dengar"! Biarkan aku pergi dari tempat ini. Aku tak ingin membuat
keributan dengan kalian. Bagaimana?"
"Kau boleh pergi, Bangsat Kecil! Tapi ke neraka!"
bentak Mara Iblis seraya menerjang Dewa Arak.
Tokoh sesat dari Tuban ini bersenjatakan clurit,
senjata khas wilayah Jawa Timur. Mata Iblis memang
tak seperti Raja Babi yang merantau ke berbagai dae-
rah, sehingga bisa mempunyai senjata dari daerah
lain. Mata Iblis mengirimkan bacokan ke arah leher.
Clurit mengaung tanpa terlihat bentuk senjata itu.
Yang tampak hanya kelebatan sinar menyilaukan ma-
ta. Wusss...! Serangan Mata Iblis mengenai tempat kosong. Be-
berapa jari di depan sasaran ketika Dewa Arak mena-
rik kakinya ke belakang seraya mencondongkan tu-
buh. Kegagalan serangan membuat Mata Iblis semakin
beringas. Kakinya dilayangkan ke perut Dewa Arak
dengan tendangan lurus yang telak. Tendangan yang
mampu menghancurkan batu karang.
Untuk kedua kalinya Arya mengelakkan serangan
itu. Kali ini pemuda berambut putih keperakan itu me-
lompat tinggi ke atas melewati kepala Mata Iblis. Tepat di atas kepala tokoh
sesat bermata satu itu, Dewa Arak berjungkir balik dan mengirimkan totokan ke
arah ubun-ubun. Ternyata Mata Iblis bukan termasuk lawan yang
mudah dipecundangi. Serangan Dewa Arak tak mem-
buatnya gugup. Tubuhnya dicondongkan ke depan se-
raya mengayunkan cluritnya ke belakang melalui atas
kepala! Tokoh sesat dari Tuban ini tak hanya membuat
serangan Dewa Arak kandas, tapi juga mengancam
pemuda itu. Kedudukan tubuhnya yang berada di udara mem-
buat Dewa Arak tak mempunyai kesempatan untuk
mengelak. Pemuda ini mengambil gucinya dan mema-
pak serangan Dewa Arak mengerahkan seluruh tenaga
dalamnya. Klangngng...! Benturan keras yang terjadi menimbulkan berper-
cikannya bunga-bunga api dan muncratnya butiran
arak! Tubuh kedua petarung itu terhuyung-huyung.
Namun, Dewa Arak dan Mata Iblis segera dapat
memperbaiki kedudukan tubuhnya. Sekejap kemudian
kedua tokoh ini telah saling berhadapan kembali.
"Pantas kau berani bersikap sombong, Bocah!" geram Mata Iblis sambil mengangguk-
anggukkan kepala.
"Kiranya kau memiliki kepandaian lumayan. Tapi perlu kau ketahui, tak ada
seorang pun yang dapat mengalahkan Mata Iblis! Camkan itu!"
"Terima kasih atas pujian mu, Mata Iblis! Kau pun tokoh yang luar biasa!" puji
Dewa Arak. Pemuda berambut putih keperakan itu tak sekadar
berbasa-basi. Telah dirasakan sendiri kuatnya tenaga
dalam lawan. Arya harus mengakui kalau tenaga da-
lamnya hanya sedikit lebih kuat dari Mata Iblis. Pa-
dahal lawan yang harus dihadapinya bukan hanya to-
koh dari Tuban itu. Masih ada Raja Babi Bertenaga
Raksasa. Raja Babi yang berasal dari Madura ini tak berada
di bawah Mata Iblis. Sungguh merupakan lawan-lawan
yang amat berat! Apalagi di situ masih ada tokoh-tokoh persilatan aliran hitam
lainnya. "Aku benci dengan orang yang suka berbasa-basi
tanpa mau bertindak!"
Seruan keras itu dikeluarkan Raja Babi Bertenaga
Raksasa. Seiring dengan seruannya tokoh sesat dari
Madura ini melesat menerjang Dewa Arak.
Di tangan kanannya telah tergenggam sebatang
piarit (tombak berujung tiga dari Sumatera Barat).
Dengan piarit itu Raja Babi melancarkan tusukan ke
arah perut! Dewa Arak yang memang sudah memperhitungkan
kejadian seperti ini, melompat ke atas setinggi satu
tombak. Lalu menjejakkan kaki di atas piarit. Pemuda
berambut putih keperakan ini langsung mengerahkan
tenaga untuk memberatkan tubuhnya.
Raja Babi merasakan tekanan yang amat berat di
ujung piaritnya. Yang berdiri di atas senjata itu seperti bukan seorang manusia,
melainkan beberapa ekor ga-jah besar. Tapi, tokoh dari Madura ini tak mau kalah
gertak. Dikerahkannya seluruh tenaga dalam.
Raja Babi benar-benar memang memiliki tenaga
luar biasa! Ujung piarit yang sudah tertekan ke bawah kembali naik ke atas
dengan bagian ujung agak mendongak ke atas.
Kenyataan ini benar-benar mengejutkan Dewa
Arak! Sungguh tak disangkanya demikian besar tenaga
dalam Raja Babi.
"Ambrol dadamu!" seru Mata Iblis keras seraya mengirimkan serangan sinar hijau
melalui matanya
yang sebelah. Dewa Arak mengetahui serangan maut itu. Seran-
gan yang datang dari arah belakang. Dewa Arak mem-
perhitungkan kejadian ini untuk keuntungan dirinya.
Raja Babi tepat berada di depannya. Arya lalu mengu-
rangi tenaga yang diarahkan di kedua kaki. Akibat tindakannya itu piarit naik ke
atas secara cepat. Arya
mempergunakan kesempatan itu untuk melompat ke-
mudian bersalto beberapa kali di udara.
Tindakan yang diambil Dewa Arak membuat seran-
gan sinar hijau lewat di bawah kakinya. Raja Babi pun kehilangan keseimbangan.
Dan, serangan Mata Iblis
meluncur ke arahnya! Kendati demikian, tokoh asal
Madura ini masih mampu mempertunjukkan keheba-
tan dirinya. Piarit yang agak terayun deras ke atas diputar untuk menangkis
serangan sinar hijau.
Crattt...! Wusss....! Pada saat yang bersamaan dengan ayunan piarit-
nya. Raja Babi menghentakkan tangan mengirimkan
pukulan jarak jauh. Tepat di saat sinar hijau berbenturan dengan ujung piarit,
pukulan jarak jauh itu telah terlontar setengah jalan.
Benturan antara sinar hijau dengan piarit menga-
kibatkan Raja Babi terjengkang ke belakang. Sekujur
tangannya terasa panas bukan main. Sementara Mata
Iblis menggulingkan tubuh di tanah untuk mengelak-
kan serangan pukulan jarak jauh Raja Babi.
Kejadian seperti ini sudah diperhitungkan oleh De-
wa Arak. Maka ketika mengelakkan serangan sinar hi-
jau Mata Iblis, pemuda ini menyambungnya dengan le-
satan cepat meninggalkan tempat itu. Tokoh-tokoh
persilatan yang ada di situ mencoba mencegah. Tapi
mereka berpentalan ke sana kemari Ketika Dewa Arak
mengibaskan tangan kanannya.
"Keparat...!" maki Mata Iblis geram. "Bocah kurang ajar itu telah mengecoh ku!"
"Ke mana pun kau lari akan kukejar, pemuda som-
bong!" seru Raja Babi Bertenaga Raksasa tak kalah murka.
Kedua tokoh sesat yang merasa tertipu ini tak me-
lanjutkan pertarungan lagi. Mereka hanya saling ber-
pandangan sejenak sebelum melesat meninggalkan
tempat itu menuju arah yang ditempuh Dewa Arak
Arya yang tahu betapa berbahayanya Raja Babi
dan Mata Iblis, mengerahkan seluruh kemampuan la-
rinya. Dalam waktu sekejap saja ratusan tombak telah
dilalui. Pemuda berambut putih keperakan itu baru
memperlambat kecepatannya ketika merasakan ron-
taan di bahunya.
"Turunkan aku. Aku bisa berlari sendiri" Kata-kata itu membuat Dewa Arak
menghentikan lari. Lalu ditu-runkanya tubuh Winarni
"Terima kasih atas pertolonganmu Sobat. Tapi, kau terlalu tergesa-gesa campur
tangan. Padahal aku bermaksud melenyapkan penjahat-penjahat kecil itu."
"Maaf, Nona. Bukan maksudku bertindak lancang
mencampuri urusanmu. Tapi, kulihat kau terancam
bahaya. Dan...."
"Siapa bilang aku terancam"!" potong Winarni cepat. "Memang kuakui saat itu aku
tengah terdesak.
Tapi itu bukan berarti aku akan kalah. Ilmu andalan
ku belum ku keluarkan! Tak ada kata kalah buat to-
koh persilatan dari Gunung Bromo! Aku adalah ketu-
runan dari Pendekar-Pendekar Gunung Bromo yang
amat terkenal di dunia persilatan!"
"Sayang sekali... gadis secantik ini memiliki watak demikian tinggi hati," pikir
Arya menyesalkan. Tapi di mulutnya ia mengeluarkan perkataan lain. "Maaf, atas
kelancanganku. Kalau saja ku tahu kau keturunan tokoh-tokoh itu, tak mungkin aku
berani ikut campur
tangan! Dengan sedikit kepandaian yang kumiliki ini
mana mungkin aku berani tak tahu diri menolong ke-
turunan Pendekar-Pendekar Gunung Bromo yang ter-
kenal memiliki kepandaian setinggi langit!"
"Syukurlah kalau kau mengerti," sahut Winarni tanpa mengurangi rasa sombongnya.
Arya hanya mengangguk-anggukkan kepala tanpa
berkata apa pun. Hanya, di dalam kepalanya bergayut
pertanyaan yang tak terkeluarkan.
"Siapa sebenarnya tokoh-tokoh yang berjuluk Pen-
dekar Gunung Bromo" Kalau saja tak mengingat ke-
sombongan yang ditunjukkan gadis ini, akan kutanya-
kan padanya siapa sebenarnya mereka...."
"Kau tahu siapa diriku. Tapi, kau belum memper-
kenalkan siapa dirimu sebenarnya. Aku yakin meski
tingkat kepandaian yang kau miliki belum berapa ting-
gi, kau telah mempunyai cukup nama di dunia persila-
tan," ujar Winarni lagi berusaha mengetahui tentang Dewa Arak.
"Orang sepertiku mana mungkin punya nama di
dunia persilatan, Nona," sahut Arya merendahkan diri.
"Terlalu banyak orang-orang sakti di dunia persilatan.
Apalah artinya aku ini" Tak ada gunanya diketahui
tentang diriku. Lain halnya dengan dirimu, Nona."
Winarni hanya mengangkat bahu dengan sikap tak
peduli, kendati rasa ingin tahunya meluap-luap. Se-
kuat tenaga perasaan itu ditahannya.
"Aku tak ingin menakut-nakuti. Tapi perlu kuberitahukan padamu untuk berhati-
hati. Orang-orang
yang bertarung denganku memiliki kepandaian amat
tinggi. Aku yakin tindakanmu mencampuri urusanku
dengan mereka akan berbuntut panjang. Mereka akan
mencarimu. Dan...."
"Kuucapkan terima kasih yang sebesarnya atas
perhatianmu, Nona," sela Arya tak sabar. "Meskipun kepandaian yang kumiliki tak
setingkat denganmu,
aku tak akan mundur jika orang-orang itu meminta
pertanggungjawaban. Sampai jumpa lagi, Nona.
Sayang, aku masih mempunyai urusan lain."
Tanpa banyak basa-basi lagi Arya meninggalkan
Winarni dengan langkah seenaknya. Winarni mengger-
takkan gigi. Geram melihat tingkah Dewa Arak yang
berani menyela ucapannya dan meninggalkan dirinya
begitu saja. "Lancang sekali pemuda itu! Sungguh berani dia
bersikap seperti itu padaku. Lupakah dia kalau aku
keturunan Pendekar-Pendekar Gunung Bromo"!" rutuk Winarni dalam hati. Kemudian,
tubuhnya dibalikkan
dan berjalan meninggalkan tempat itu sambil memo-
nyongkan bibir.
*** Arya duduk di pinggir sungai dengan pandangan
tertuju ke permukaannya. Tatapannya yang tak per-
nah berubah menunjukkan kalau pemuda berambut


Dewa Arak 94 Pendekar Gunung Bromo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

putih keperakan ini tengah tenggelam dalam lamunan.
"Tak salahkah Penyair Cengeng" Masalah apakah
yang dimaksudnya akan kutemui di daerah ini" Semu-
la kupikir ada hubungannya dengan gadis berpakaian
merah yang sombong itu. Tapi ternyata tidak! Masalah
gadis itu hanya kecil saja. Atau, sebaiknya ku tinggalkan daerah ini?" pikir
Arya dengan pandang mata tak bergeming dari permukaan air sungai,
Pekikan melengking nyaring membuat Arya tersa-
dar dari lamunan. Kepalanya didongakkan ke atas.
Tampak sosok berwarna kuning keemasan tengah me-
layang-layang di angkasa, berputaran tepat di atasnya.
Arya harus mengerahkan tenaga dalam ke mata
agar dapat melihat lebih jelas sosok kuning keemasan
itu. Ternyata seekor burung garuda!
"Garuda Emas"!" desis Arya. "Bukankah binatang itu yang ditunggangi Penyair
Raja Penyihir Sinting 1 Si Bungkuk Pendekar Aneh Too Pek Koay Hiap Karya Boe Beng Giok Pedang Langit Dan Golok Naga 23
^