Pencarian

Perguruan Kera Emas 2

Dewa Arak 57 Perguruan Kera Emas Bagian 2


anggukannya itu, tak ada seorang pun yang tahu secara persis kecuali dirinya.
Tak lama kemudian, terdengar bunyi langkah-langkah kaki mendekati tempat mereka.
Sesaat kemudian, daun pintu terkuak, dan pemuda berwajah hitam itu muncul di
ambang pintu. "Aku telah memanggil Kakang Gulimang dan Kakang Gembong, Ketua. Sekarang, mereka
berdua menunggu di luar," ucap pemuda berwajah hitam itu mantap.
"Bagus! Suruh mereka masuk, dan kau tunggu di luar!"
"Baik, Ketua!"
Setelah berkata demikian, pemuda berwajah hitam itu membalikkan tubuh, dan
melangkah keluar. Sesaat kemudian, dua sosok tubuh melangkah masuk ke dalam, dan
memberi hormat pada Ki Tapaksi Mandragunta.
"Ketua memanggil kami?" tanya salah seorang di antara mereka yang bertubuh
pendek kekar. "Benar, Gembong," Ki Tapaksi Mandragunta menganggukkan kepala.
"Apa yang harus kami lakukan, Ketua"!" tanya sosok yang satu lagi. Dia seorang
lelaki tinggi kurus bermata sipit
"Majulah kemari! Dan duduk di sini, Gulimang. Kau juga Gembong."
Tanpa menunggu perintah dua kali, Gulimang dan Gembong menghampiri tempat Ki
Tapaksi Mandragunta. Kemudian, keduanya duduk di kursi yang mengelilingi meja
bundar besar. "Kalian sudah mengenal dua tamu istimewa ini?" tanya Ki Tapaksi Mandragunta,
seraya menunjuk Dewa Arak dan Melati.
Gulimang dan Gembong menatap wajah pasangan muda-mudi itu sekilas. Kemudian
hampir berbarengan, menganggukkan kepala.
"Sudah, Ketua. Mereka tentunya Dewa Arak dan Melati. Keduanya kawan Handaka,"
jawab Gembong. "Bagaimana dengan kalian?"
Kali ini pertanyaan Ketua Perguruan Kera Emas ini ditujukan pada Dewa Arak dan
Melati. "Kami juga telah mengenal mereka, Ki," jawab Dewa Arak, tenang. "Bukankah mereka
berdua ketua murid-muridmu, Gulimang dan Gembong"!"
"Ha ha ha. .!" Ki Tapaksi Mandragunta tertawa tergelak. "Syukurlah kalau kalian
telah saling mengenal! Sekarang dengar baik-baik, Gulimang, Gembong!"
"Ya, Ketua," sahut Gulimang dan Gembong, hampir bersamaan.
"Besok aku dan Handaka akan meninggalkan perguruan untuk menyelesaikan sebuah
urusan. Mungkin untuk beberapa hari. Yahhh.. ! Paling lama tiga hari. Dan selama
itu, semua urusan mengenai Perguruan Kera Emas kuserahkan pada kalian.
Mengerti"!"
"Mengerti, Ketua."
"Bagus! Sekarang, kalian siapkan dua buah kamar untuk tamu-tamu istimewa kita.
Mereka akan menginap di sini untuk semalam. Apabila siap, beritahukan padaku.
Mengerti"!"
"Mengerti, Ketua."
"Kalau begitu, cepat siapkan! Mungkin dua tamu istimewa ini telah ingin
istirahat!"
"Baik, Ketua!"
Gulimang dan Gembong bangkit dari duduknya.
"Mari, Dewa Arak, Melati, ikut kami!" ajak Gulimang yang lebih pintar bicara.
"Terima kasih," sambut Dewa Arak seraya bangkit berdiri. Melati pun
mengikutinya. "Kami permisi dulu, Ki!" Dewa Arak menoleh pada Ki Tapaksi
Mandragunta. "Silakan, Arya!" jawab Ketua Perguruan Kera Emas itu, mempersilakan.
4 Malam itu langit kelihatan kelam. Bulan yang hanya sepotong tampak tak berdaya
menembus awan hitam dan tebal yang bergumpal-gumpal menutupinya. Angin yang
sesekali berhembus agak kencang meniupkan hawa dingin, kian menambah seram
suasana malam. Dan dalam keadaan seperti itu, orang-orang merasa lebih suka
tinggal di dalam rumah. Mereka lebih menikmati buaian mimpi di peraduannya,
daripada berkeliaran di luar.
Salah seorang di antara mereka yang tengah terbaring di peraduan adalah Dewa
Arak. Tampak tubuh pemuda berambut putih keperakan ini tergolek di balai-balai bambu.
Telentang dengan kedua mata terpejam.
Mendadak kedua kelopak mata Dewa Arak terbuka. Tubuhnya menggeliat lalu bangkit
dan duduk di tepi tempat tidurnya. Sesaat kemudian, sambil menghembuskan napas
berat, ia bangkit dari balai-balai bambu dan berdiri. Kemudian berjalan mondar-
mandir di ruangan itu. Seperti ada sesuatu yang tengah mengganggu pikirannya.
"Aneh...," desisnya dalam hati, Dewa Arak tiba-tiba merasa ada sesuatu yang
aneh. Matanya menatap langit-Iangit ruangan tempat tidurnya. "Mengapa sejak tadi
perasaanku tak enak. Gelisah. Bahkan sekarang, perasaan ini terasa kian
membesar.... Apa ada bahaya yang tengah mengintai"! Tapi kalau benar, dari mana
datangnya?"
Pertanyaan-pertanyaan itu menggayuti benak Dewa Arak. Setelah beberapa kali
dicoba, tak mampu dirinya menjawab dugaan itu. Kakinya melangkah kembali ke
tempat tidur. Perlahan-lahan direbahkan tubuhnya, lalu dipejamkan kedua mata.
Dewa Arak berusaha tidur untuk
menghilangkan kegelisahan yang melanda. Namun setelah cukup lama Dewa Arak
memejamkan mata dan mengosongkan pikirannya, berusaha untuk tidur, tetap sia-
sia! Kegelisahan terus berkecamuk, padahal malam telah semakin larut. Suasana
semakin sepi, hingga hanya napasnya sendiri yang terdengar.
Saat itulah, pendengaran Dewa Arak yang tajam menangkap ada bunyi langkah
mendekati ruangannya. Langkah itu demikian halus. Hampir tak terdengar. Tentu
saja hal itu membuat jantungnya berdetak kencang. Dewa Arak menyadari kalau
pemilik langkah ini bukan tokoh sembarangan. Pasti memiliki kepandaian tidak
rendah. Setidak-tidaknya, ilmu meringankan tubuh luar biasa!
Meskipun demikian, Dewa Arak berpura-pura tidak mengetahuinya. Sepasang matanya
tetap dipejamkan. Bahkan napasnya pun diatur, hingga mirip pernapasan orang yang
telah tertidur. Tenang dan berirama tetap!
Namun bukan berarti Dewa Arak meremehkan pemilik langkah kaki itu. Meskipun
sepasang matanya terpejam, seluruh otot dan urat saraf Dewa Arak menegang
waspada, disiapkan guna menghadapi segala kemungkinan yang tidak diharapkan.
Dengan sekuat kemampuan dipusatkan hati dan pikiran untuk terus mewaspadai hal
yang mencurigakan itu.
Dugaan Dewa Arak tidak meleset. Bunyi langkah kaki itu lenyap setelah sampai di
depan pintu kamarnya. Rupanya si pemilik telah menghentikan langkah. Ini berarti
memang dirinya yang dijadikan sasaran.
Tak pelak lagi, seluruh urat saraf dan otot di sekujur tubuh Dewa Arak semakin
menegang waspada. Satu bunyi kecil saja yang mencurigakan cukup membuat pemuda
berambut putih keperakan itu melesat dari tempat peraduannya.
Namun, Dewa Arak tak ingin bertindak gegabah, dengan langsung menyergap sosok
yang telah berada di depan pintu itu. Dirinya khawatir lawan akan lebih dulu
kabur sebelum berhasil diringkus.
Oleh karena itu, Dewa Arak tetap meneruskan sikap diamnya seakan-akan tengah
tertidur lelap.
Tiba-tiba telinganya menangkap bunyi berdesis. Pelan sekali. Kalau saja Dewa
Arak tidak tengah memusatkan perhatian pada kedua telinganya, bunyi itu tak akan
terdengarnya. Dewa Arak kian merasa heran mendengar suara desisan pelan itu. Bunyi apakah
gerangan" Hatinya yakin bunyi itu tidak keluar dari mulut ular. Bagi telinganya yang peka,
desisan ular lebih tajam dan keras. Lagi pula sedikit pun tak tercium di
hiungnya keberadaan binatang melata di situ.
Lalu, bunyi apa gerangan"
Rasa ingin tahu itu membuat Dewa Arak memutuskan untuk membuka kelopak matanya
sedikit. Dan dari balik bulu-bulu mata, diliriknya daun pintu. Seketika itu pula
hatinya terperanjat bukan kepalang!
Dari celah-celah bawah daun pintu tampak asap putih tipis menyusup ke dalam
ruangan. Dan sekarang asap itu telah cukup banyak yang masuk. Hanya saja belum mencapai
pembaringan Dewa Arak!
Ketajaman naluri serta pikirannya langsung mengetahui kalau asap itu bukan
sembarang asap, melainkan asap beracun! Kalau tidak asap yang mampu melumpuhkan
saraf, dan dapat membuat orang tertidur pulas.
Menyadari keadaan yang sangat berbahaya itu, Dewa Arak segera menahan napasnya.
Namun segera pula disadari, cara ini cukup berbahaya. Masalahnya, berapa lama
sih dirinya mampu menahan napas"
Namun, Dewa Arak bertindak nekat. Tetap dipilihnya cara itu. Dan tentu saja
pemuda berambut putih keperakan itu tidak sembarangan melakukannya. Hal itu
dilaksanakan setelah dipertimbangkan masak-masak. Dewa Arak yakin, dirinya masih
sanggup menahan napas sampai sosok yang bermaksud jahat itu menyerbu ke dalam
kamarnya. Karena Dewa Arak tak melakukan perlawanan sama sekali, hanya dalam waktu
sebentar seisi ruangan itu telah dipenuhi asap. Tubuhnya tetap tergolek sambil
menahan napas. Di dalam hatinya pemuda berambut putih keperakan itu berharap,
lawan segera masuk untuk mengambil tubuhnya. Jika lawan ternyata tidak segera
bertindak, terpaksa dirinya akan menerobos ke luar.
Karena apabila tetap bertahan, jelas takkan sanggup!
Ternyata benar, sosok yang berada di depan pintu menempelkan telapak tangan
kanannya ke daun pintu. Sosok itu ternyata mengenakan pakaian serba hitam dengan
selubung kain di wajahnya.
Sosok berpakaian hitam itu sepertinya sama sekali tak mengerahkan tenaga, ketika
menempelkan telapak tangan. Tapi.. ,
Klakkk! Kriiittt! Bunyi berderak pelan terdengar ketika palang pintu kamar Dewa Arak patah. Maka
ketika sosok berpakaian hitam itu mendorongnya lagi, daun pintu pun terkuak
diiringi bunyi berderit pelan.
"Hm...!"
Gumaman pelan terdengar dari mulut sosok berpakaian hitam. Matanya yang tak
tertutup selubung, samar-samar melihat sesosok tubuh bergolek diam di balai-
balai bambu. Kemudian dengan langkah perlahan sosok berpakaian hitam itu menghampiri balai
bambu tempat tubuh Dewa Arak tergolek. Matanya berbinar diliputi kepuasan,
karena berhasil melakukan tindakannya.
Hanya dalam beberapa langkah, sosok berpakaian hitam itu telah berada di dekat
balai-balai bambu. Di sini tubuhnya terdiam sejenak. Dengan sepasang matanya
yang tajam berkilat, dirayapinya sekujur tubuh Dewa Arak.
"Maafkan aku, Dewa Arak! Semula kau belum termasuk dalam calon korbanku. Tapi,
apa boleh buat daripada rencanaku untuk membunuh tua bangka tua bangka itu
berantakan, lebih baik kau kulenyapkan! Selamat tinggal, Dewa Arak! Hih!"
Wuttt! Tiba-tiba sosok berpakaian hitam itu mengayunkan tangan ke kepala Dewa Arak.
Dengan gerakan membacok, tangannya meluncur cepat ke pelipis Dewa Arak.
Namun. ., Brakkk! "Eh..."!"
Jeritan kaget keluar dari mulut sosok berpakaian hitam ketika melihat, di saat-
saat tangannya nyaris mengenai sasaran, mendadak tubuh Dewa Arak berguling ke
kanan. sehingga tangannya menghantam balai bambu hingga hancur berantakan.
*** Dalam sekejap saja sosok berpakaian hitam itu tahu kalau rencananya telah gagal.
Dirinya belum mengetahui secara pasti, tapi bisa diperkirakan kalau Dewa Arak
tak terbius asap racunnya.
Pemuda berambut putih keperakan itu pasti telah berpura-pura.
Menyadari keadaan yang tak menguntungkan, tanpa membuang-buang waktu, sosok
berpakaian hitam itu membalikkan tubuh dan langsung melesat ke pintu keluar!
Namun Dewa Arak tampaknya telah memperhitungkan tindakan yang akan dilakukan
lawan. Maka, setelah berguling untuk mengelakkan serangan maut, tubuhnya
langsung melenting ke atas. Dan setelah berputar dua kali di udara tubuhnya
meluncur ke bawah.
Jliggg! Dengan begitu ringan kedua kakinya mendarat tepat di ambang pintu. Pada saat
itulah, sosok berpakaian hitam melesat keluar!
Namun, sosok berpakaian hitam itu kehabisan akal. Begitu dilihat Dewa Arak telah
menghadang jalan, gerakannya tidak dihentikan. Sambil terus melesat, dengan
jari-jari terbuka tangannya dihentakkan ke depan!
Dewa Arak agak kaget melihat gerakan itu. Mungkin hatinya tak menduga gerakan
cepat itu akan dilakukan lawannya. Walaupun demikian, tidak berarti pemuda
berambut putih keperakan itu gugup. Tanpa ragu-ragu, masih dalam keadaan menahan
napas dipapaknya serangan sosok berpakaian hitam itu dengan hentakan kedua
tangannya pula. Dewa Arak mengerahkan seperempat bagian tenaga dalamnya pada
tangkisan ini! Sehingga...,
Glarrr! Suara menggelegar keras memekakkan telinga terdengar, ketika benturan tangan
keduanya terjadi. Dinding-dinding dan atap ruangan itu sampai tergetar hebat
seperti dilanda gempa.
Tampak keduanya terlontar ke belakang. Baik Dewa Arak maupun sosok berpakaian
hitam sama-sama bergulingan di lantai ruangan itu. Untung saja kedua tubuh
membentur dinding kamar.
Sehingga tenaga dorongan itu terhenti.
"Aaakh...!"
Brukkk! Brukkk! Dewa Arak dan sosok berpakaian hitam sama-sama menyeringai ketika bangkit
berdiri. Tampaknya mereka merasakan kesakitan yang hebat akibat dari benturan keras itu.
Keduanya merasakan nyeri di lengan masing-masing. Bahkan dirasakan bagaikan
lumpuh! Sesaat tak mampu digerakkan
Sosok berpakaian hitam tahu keadaan tidak menguntungkan pihaknya. Suara dahsyat
yang timbul akibat benturan tadi akan memancing hadirnya murid-murid Perguruan
Kera Emas. Dan bila itu terjadi, kemungkinannya untuk dapat lolos semakin kecil!
Maka tanpa mempedulikan keadaan dirinya, langsung saja dijejakkan kaki. Seketika
itu pula tubuhnya melesat begitu cepat menembus dinding kamar....
"Hih...!"
Brakkk! Untuk yang kesekian kalinya suara keras terdengar. Kali ini diikuti dengan
hancurnya dinding kamar. Dan sosok berpakaian hitam telah berada di luar
bangunan itu. Karena perasaan cemas terhadap keadaan yang bakal dihadapi jika
para murid Perguruan Kera Emas datang, tubuhnya langsung melesat menihggalkan
markas itu. Melihat sosok berpakaian hitam itu melesat kabur, Dewa Arak tidak bisa berdiam
diri. Dirinya pun melesat mengejar! Namun, belum juga mencapai luar ruangan, tiba-tiba
tubuhnya terasa berat. Kepalanya mendadak terserang rasa pusing. Dengan
pandangan agak berkunang-kunang langkahnya limbung.
Rupanya Dewa Arak tanpa sadar telah menghirup napas. Padahal, udara di dalam
ruangan itu belum bebas dari pengaruh asap beracun! Tak pelak lagi, kejadian
seperti itu pun menimpa Dewa Arak!
Kenyataan ini membuat Dewa Arak sadar kalau asap beracun itu telah dihisap
olehnya. Maka buru-buru ditahannya lagi untuk tidak bernapas. Kemudian sambil berpegangan
pada ujung balai bambu, Dewa Arak berusaha keras agar dapat berdiri.
Di saat itulah, sesosok bayangan putih melesat masuk. Hal itu langsung membuat
Dewa Arak terkesiap. Dikiranya, sosok bayangan itu orang jahat lainnya. Maka
dirinya bersiap untuk mengadakan perlawanan.
Namun, urat-urat sarafnya yang semula sudah menegang, langsung mengendur
kembali, ketika mengenali sosok bayangan putih itu. Ya! Meskipun pandangannya
telah agak kabur, Dewa Arak masih mampu mengetahui kalau sosok itu ternyata
Melati, kekasihnya!
Dewa Arak pun pasrah ketika sosok bayangan putih yang memang Melati itu, memapah
tubuhnya dan membawanya melesat keluar!
"Hhh...!"
Begitu berada di luar pintu, baru Melati menghembuskan napas. Namun, sebelum
dirinya sempat berbuat sesuatu, terdengar bunyi kaki-kaki menghampiri tempatnya.
Sesaat kemudian, muncul murid-murid Perguruan Kera Emas. Di antara mereka ada
pula Gulimang dan Gembong.
"Ada apa, Melati"! Apa yang terjadi dengan Dewa Arak"!" tanya Gulimang, dengan
mata terbelalak kaget karena melihat Dewa Arak berada dalam papahan Melati.


Dewa Arak 57 Perguruan Kera Emas di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku sendiri belum tahu pasti, Gulimang. Yang jelas ada pihak tertentu yang
menghendaki kematian kawanku. Kau lihatlah sendiri di kamarnya!" sahut Melati,
setengah tak peduli.
Mendengar jawaban itu, Gulimang segera mengayunkan langkah mendekati kamar Dewa
Arak yang telah terbuka lebar. Sepasang alisnya langsung berkerut ketika melihat
asap yang membuat suasana kamar itu tampak remang-remang.
Gembong dan murid-murid Perguruan Kera Emas lainnya yang melihat hal itu pun
merasa heran. Meskipun demikian diikuti juga tindakan Gulimang yang melangkahkan
kaki masuk ke kamar Dewa Arak.
Mendadak.. , "Ukh...!"
Terdengar keluhan dari mulut Gulimang. Hal itu membuat Gembong dan yang lainnya
terkejut, dan langsung bersikap waspada. Mereka mengira lelaki pendek kekar itu
melihat sesuatu.
Maka mereka, terutama sekali Gembong, bergegas menghampiri.
Namun tindakan mereka langsung diurungkan ketika mendengar seruan Gulimang.
"Jangan maju! Cepat..., mundur! Kamar ini dipenuhi asap beracun!"
Setelah berseru demikian, Gulimang langsung membalikkan tubuh untuk menjauhi
kamar yang mengandung asap beracun itu. Dan sebenarnya, suara keluhannya tadi
pun karena merasakan kepalanya mendadak pusing begitu berada di ambang pintu
kamar Dewa Arak.
Mendengar perintah Gulimang, para murid Perguruan Kera Emas dengan cepat
berlompatan menjauhi kamar itu.
Brukkk! Bunyi berdebuk keras pertanda ada sesuatu yang berat menimpa lantai, membuat
Gembong dan murid-murid Perguruan Kera Emas lainnya me-nolehkan kepala.
"Kang Gulimang...!" teriak Gembong kaget bercampur khawatir.
Lalu, buru-buru dia membalikkan tubuh, menghampiri Gulimang. Diangkatnya tubuh
itu dan dibopongnya meninggalkan kamar Dewa Arak.
Semua keributan itu tentu saja tak lepas dari perhatian Melati, yang masih
berada di situ.
Gadis berpakaian putih ini merasa khawatir korban akan semakin bertambah. Dengan
mengerahkan kekuatan tenaga dalam Melati berteriak...,
"Cepat..., menyingkir! Jauhi kamar itu! Biarkan angin meniup racun berbahaya
itu!" Seruan Melati langsung mendapat sambutan. Semua murid Perguruan Kera Emas, tak
terkecuali Gembong segera melesat meninggalkan tempat itu. Mereka tak berani
meremehkan peringatan Melati. Telah disaksikan sendiri kehebatan racun dalam
asap itu. Bukan hanya mereka saja yang bergegas meninggalkan tempat itu. Melati pun
demikian. Sambil memapah tubuh Dewa Arak, tubuhnya dengan cepat melesat menjauhi tempat
itu. Sedapat mungkin mereka ingin menghirup udara malam yang alami.
Mereka semua harus melalui jalan lorong yang terapit kamar-kamar di kanan dan
kiri. Panjang jalan itu tak kurang dari sepuluh tombak!
Begitu sampai di halaman luar bangunan, mereka semua berpapasan dengan dua sosok
yang tengah melesat cepat menuju tempat yang baru mereka tinggalkan.
"Berhenti...!"
Salah satu dari dua sosok itu berseru nyaring, penuh wibawa. Seketika itu pula,
langkah murid-murid Perguruan Kera Emas terhenti. Mereka tahu, siapa pemilik
seruan itu. Suara itu mereka kenal betul! Siapa lagi kalau bukan Ki Tapaksi
Mandragunta"
Dugaan itu tidak salah. Di hadapan mereka telah berdiri dua sosok tubuh. Yang
satu Ki Tapaksi Mandragunta. Sedangkan yang lainnya Handaka, putranya!
"Mengapa kalian berlari-lari seperti anjing hendak digebuk"!" tanya Ki Tapaksi
Mandragunta agak keheranan. Tampak jelas ada nada teguran dalam suaranya.
"Ampun, Ketua! Bukan kami bermaksud untuk menjadi pengecut! Tapi, sebuah
kejadian aneh, terjadi di kamar Dewa Arak!" jawab Gembong. Kemudian secara
singkat tapi jelas, diceritakan semua kejadiannya.
"Ah...!"
Ki Tapaksi Mandragunta tersentak kaget. Sepasang matanya terbelalak lebar, dan
tarikan wajahnya menyiratkan keterkejutan yang hebat. Hal yang sama pun dialami
pula Handaka. "Lalu..., bagaimana keadaan Dewa Arak, Melati"!" tanya Ki Tapaksi Mandragunta,
ingin tahu. "Baru saja aku ingin memberinya pertolongan, Ki. Dia keracunan. Tapi, aku bisa
mengobatinya. Ng..., bisa menyediakan arak untukku, Ki?"
Melati sengaja mengajukan permintaan seperti itu. Masalahnya, di dalam guci
kekasihnya tidak terdapat arak sama sekali. Rupanya semua araknya tumpah ketika
tubuh Dewa Arak terguling-guling. Gadis itu tahu, arak biasa pun akan jadi
penawar racun yang ampuh apabila dimasukkan ke dalam guci pusaka Dewa Arak.
Namun, betapa kecewanya hati Melati ketika mendapat jawaban Ki Tapaksi
Mandragunta. "Ah...! Sayang sekali aku tidak bisa menyediakannya, Melati! Arak merupakan
barang terlarang di perguruan ini. Sekali lagi, maaf! Kalau boleh kutahu, apakah
arak bisa menyembuhkan keracunan"! Rasanya..., aku belum pernah mendengarnya."
"Kalau begitu, tidak mengapa, Ki. Biarlah kucoba cara lainnya!"
Usai berkata demikian, tanpa mempedulikan Ki Tapaksi Mandragunta yang
kebingungan karena pertanyaannya tak mendapatkan jawaban, Melati memapah tubuh
Dewa Arak menjauhi mereka. Gadis berpakaian putih ini ingin memberikan
pertolongan pada kekasihnya.
"Gembong, bagaimana keadaan Gulimang?"
Ki Tapaksi Mandragunta mengalihkan pertanyaan kepada Gembong.
"Aku belum tahu, Ketua. Yang jelas, dia hanya mencium asap itu sedikit. Dan.. ."
"Biar kucoba mengobatinya, Ayah," selak Handaka, sebelum Gembong menyelesaikan
penjelasannya. Ki Tapaksi Mandragunta menolehkan kepala. Ditatap wajah putranya lekat-lekat.
"Apa yang akan kau lakukan, Handaka"!" tanya Ki Tapaksi Mandragunta bernada
menguji. "Mudah saja, Ayah," jawab Handaka merasa yakin. "Hanya mengeluarkan racun yang
sempat terhisap olehnya, kan"!"
"Apa yang kau katakan itu memang benar. Tapi bagaimana kau melakukannya"!" desak
Ki Tapaksi Mandragunta karena belum yakin akan ke-mampuan Handaka.
"Kusalurkan hawa mumi untuk mendorong ra cun itu keluar dari tubuhnya," jawab
Handaka dengan suara datar. Seakan meremehkan kekuatan racun itu.
"Ah!" Ki Tapaksi Mandragunta memekik kaget. "Mengapa kau bisa menduga demikian,
Handaka?" Handaka tersenyum pahit. Dirasakan ada nada ketidakpercayaan sang Ayah atas
jawaban yang diberikannya.
"Jawab secara jujur, Handaka. Dari mana kau tahu, cara itu"! Asal kau tahu saja,
hanya orang-orang yang telah berpengalaman merambah dunia persilatan dapat
mengetahui cara itu.
Pengalaman yang menjadi guru. Aku sendiri tahu, kau belum pernah terjun ke dunia
persilatan. Lalu, dari mana kau mendapatkan dugaan seperti itu"!"
Seketika itu pula wajah Handaka merah padam.
"Aku mendapatkannya dari sana, Ayah," jawab pemuda berpakaian kuning itu malu-
malu seraya menudingkan jari telunjuknya ke satu arah.
Ki Tapaksi Mandragunta menoleh ke tempat yang ditunjuk putranya. Lelaki tua itu
segera tahu yang dimaksud Handaka, ketika melihat pemandangan yang membuatnya
mengerti, mengapa putranya dapat mengajukan usul demikian cemerlang.
Di sana tampak dua sosok tubuh. Yang satu dalam keadaan telentang. Sedangkan
yang satu lagi duduk bersila, seraya menempelkan kedua telapak tangan yang
terbuka ke bagian dada. Kedua sosok itu tak lain dari Dewa Arak dan Melati!
Tanpa diberitahukan pun, seperti juga Handaka, Ki Tapaksi Mandragunta mengerti
kalau Melati tengah berusaha mengusir hawa beracun di tubuh Dewa Arak dengan
pengerahan hawa murninya.
Mula-mula memang tak tampak ada pengaruh. Namun semakin lama, terlihat ada
perubahan. Ada asap kehijauan keluar dari kepala Dewa Arak. Mula-mula tipis dan
sedikit, semakin lama semakin tebal dan banyak. Asap itu rupanya hawa beracun
yang tadi masuk ke tubuh Dewa Arak.
Ki Tapaksi Mandragunta mengalihkan perhatiannya lagi pada Handaka.
"Kalau begitu, tunggu apa lagi, Handaka"! Cepat selamatkan nyawa Gulimang!"
"Baik, Ayah," jawab Handaka, gembira. Kemudian matanya menatap wajah Gembong,
"Berikan Gulimang padaku, Gembong!"
Tanpa berkata apa pun, Gembong segera melangkah maju dan menyerahkan tubuh
Gulimang pada Handaka. Pemuda berpakaian kuning itu segera membawa tubuh
Gulimang, menjauhi tempat itu. Sesaat kemudian, dia mulai sibuk dengan
urusannya. "Hhh...!"
Ki Tapaksi Mandragunta mengalihkan perhatian pada bangunan yang hendak
didatanginya. Di bangunan inilah, kamar Dewa Arak dan Melati berada.
Perguruan Kera Emas tergolong sebuah perguruan besar. Di dalam lingkungan
perguruan itu terdapat banyak bangunan besar yang di dalamnya berisi kamar-
kamar! Kamar tempat Dewa Arak dan Melati menginap berada dalam bangunan khusus
untuk tamu-tamu Perguruan Kera Emas.
5 Sementara itu Handaka terus sibuk dengan usahanya untuk menyelamatkan Gulimang.
Seperti juga yang terjadi pada Dewa Arak, dari kepala murid Perguruan Kera Emas
itu mengepul asap. Mula-mula tipis dan sedikit. Namun kemudian semakin banyak
dan tebal, meskipun tidaklah sebanyak yang keluar dari kepala Dewa Arak.
Baik wajah Melati maupun Handaka mulai dicucuri peluh seiring dengan semakin
banyak dan tebalnya asap yang keluar dari kepala Dewa Arak dan Gulimang.
Kenyataan ini menunjukkan kalau perbuatan itu benar-benar menguras tenaga dalam
mereka. Kejadian itu disaksikan mata semua yang berada di situ. Murid-murid Perguruan
Kera Emas, Gembong, dan terutama sekali Ki Tapaksi Mandragunta tak lepas
memperhatikan usaha pembebasan racun dari tubuh Dewa Arak dan Gulimang itu.
Sepasang mata Ki Tapaksi Mandragunta hampir tak berkedip sewaktu menatap Handaka
dan Melati. Dirinya menyadari betapa berbahayanya tindakan kedua orang muda itu.
Apabila terlalu dipaksakan akan menyebabkan luka dalam yang parah!
Itulah sebabnya, Ki Tapaksi Mandragunta tampak begitu tegang. Sepasang matanya
berganti-ganti menatap Handaka, lalu Melati, serta asap yang keluar dari kepala
Dewa Arak dan Gulimang.
Ki Tapaksi Mandragunta melihat asap yang mengepul mulai menipis. Dirinya tahu,
hal demikian merupakan pertanda baik. Racun yang ada di dalam tubuh dua orang
itu tinggal sedikit.
Bahkan tak lama lagi akan lenyap. Senyum lega pun tersungging di wajahnya.
Namun, senyum Ki Tapaksi Mandragunta perlahan mulai melenyap, bahkan berubah
rasa khawatir. Hal itu karena tiba-tiba dilihatnya keadaan Handaka dan Melati
tampak mulai mengkhawatirkan. Dari kepala, Melati dan Handaka mengepulkan asap
tipis! Sebagai seorang tokoh persilatan sakti yang telah banyak makan asam garam
kehidupan Ketua Perguruan Kera Emas itu tahu, bahwa kepulan asap itu pertanda
kalau Melati dan Handaka telah mengeluarkan tenaga melampaui batas. Yang jelas
keadaan muda-mudi ini mulai gawat!
"Hhh...!"
Ki Tapaksi Mandragunta menghela napas berat seakan tak kuat menahan perasaan
bingungnya. Dirinya tahu, ini merupakan saat-saat menegangkan! Sanggupkah Melati
dan Handaka menyelesaikan pekerjaannya" Maksudnya mengusir racun yang merasuk di
tubuh Dewa Arak dan Gulimang, sebelum mereka roboh kehabisan tenaga.
Ki Tapaksi Mandragunta tahu, tak ada yang bisa dilakukannya selain menunggu
hasil perjuangan Melati dan Handaka. Dengan pandang mata tegang, diperhatikannya
kedua macam asap itu.
Sementara itu, asap yang keluar dari kepala Dewa Arak dan Gulimang semakin
menipis. Sebaliknya, asap yang keluar dari kepala Melati dan Handaka semakin banyak
menebal. Bahkan kedua tangan muda-mudi itu pun tampak bergetar keras. Pertanda
telah melewati batas tenaga yang mereka miliki!
Mendadak.. , "Huaaakh.. !"
"Haaakh. .!"
Hampir bersamaan Dewa Arak dan Gulimang memuntahkan cairan kental kehijauan yang
mengeluarkan bau busuk. Sesaat kemudian, tubuh mereka terkulai kembali.
Melihat kejadian itu Melati dan Handaka melepaskan tempelan tangan mereka.
Sekujur tubuh keduanya tampak dibanjiri peluh. Terutama sekali pada wajah.
Butiran-butiran sebesar biji jagung bersembulan dan mengalir.
Namun, baik Handaka maupun Melati seakan tak peduli. Buru-buru mereka
merangkapkan kedua tangan di depan dada. Sesaat kemudian, keduanya telah sibuk
dalam pemusatan batin.
Sementara Ki Tapaksi Mandragunta serta para murid Perguruan Kera Emas menunggu
dengan sabar dan perasaan was-was.
Hari masih pagi. Matahari pun belum tinggi, ketika terlihat empat ekor kuda
hitam berjalan congklang keluar dari pintu gerbang Perguruan Kera Emas.
Kuda-kuda itu ternyata ditunggangi tiga orang lelaki dan seorang wanita. Mereka
ternyata Ki Tapaksi Mandragunta yang berdampingan dengan Melati. Di belakang
Dewa Arak berdampingan dengan Handaka.
"Aku menyesal sekali atas kejadian semalam, Arya...."
Ki Tapaksi Mandragunta membuka percakapan di antara mereka dengan suara
mengandung penyesalan mendalam.
"Lupakanlah, Ki!" sahut Dewa Arak bijaksana, "Aku tahu kejadian itu di luar
perhitunganmu."
"Apa yang kau katakan sama sekali tak salah, Arya. Tapi..., biar bagaimanapun
aku tak bisa lepas tangan begitu saja. Selama kau berada dalam lingkungan
perguruanku, segala kejadian yang menimpa dirimu merupakan tanggung jawabku!"
ujar Ki Tapaksi Mandragunta memperlambat langkah kudanya.
Dewa Arak terdiam. Disadari ada kebenaran dalam ucapan Ketua Perguruan Kera Emas
itu. Bagaimanapun seorang tuan rumah selayaknya bertanggung jawab atas
keselamatan sang Tamu.
"Bisa kau ceritakan padaku rangkaian kejadiannya, Arya"!" tanya Ki Tapaksi
Mandragunta, setelah kuda Dewa Arak berada di sampingnya.
Dewa Arak tak segera menjawab pertanyaan itu. Dirinya tampak tercenung.
Sementara itu kudanya, terus saja berlari congklang, seperti juga kuda-kuda yang
ditunggangi Ki Tapaksi Mandragunta, Melati, dan Handaka.
"Rasanya tak menarik untuk diceritakan, Ki," ujar Dewa Arak pelan tanpa menoleh
pada Ketua Perguruan Kera Emas itu.
"Hal itu tak jadi masalah, Arya. Yang penting ceritakan saja. Aku ingin
mendengar rangkaian kejadiannya dari mulutmu sendiri," pinta Ki Tapaksi
Mandragunta bersikeras.
Sekarang Dewa Arak tak dapat mengelak lagi. "Baiklah kalau memang itu yang kau
inginkan, Ki," kemudian secara singkat tapi jelas, pemuda berambut putih
keperakan itu menceritakan semua kejadian yang dialaminya tadi malam.
Ki Tapaksi Mandragunta mendengar semua cerita Dewa Arak dengan penuh perhatian.
Tak sekali pun diselaknya sampai pemuda berambut putih keperakan itu
menyelesaikannya.
"Sayang..., aku tak sempat mengenalinya, Ki," ujar Dewa Arak menutup ceritanya.
Ki Tapaksi Mandragunta mengangguk-angguk kepala.
"Sayang sekali...!" gumam Ketua Perguruan Kera Emas, penuh penyesalan. "Padahal,
tanganku sudah gatal untuk memberikan pelajaran pada penjahat tak tahu diri
itu." Suasana berubah menjadi hening seusai Ki Tapaksi Mandragunta memberikan
pernyataan. Masalahnya, Arya tidak berbicara lagi. Melati dan Handaka pun rupanya lebih suka
bertindak sebagai pendengar. Yang terdengar, sekarang, hanya suara derap kaki-
kaki kuda menepak bumi.
"Apakah kau tak dapat mengenali penjahat itu, Arya"! Setidak-tidaknya, potongan
tubuhnya"! Atau..., apa saja yang bisa dijadikan titik terang untuk
mengusutnya," tanya Ki Tapaksi Mandragunta memecahkan kebisuan itu.
"Sayang sekali, Ki," Dewa Arak menggelengkan kepala dengan suara mengandung
penyesalan mendalam. "Yang kutahu hanya pakaiannya, serba hitam. Sebab, semua
kejadian berlangsung demikian cepat. Apalagi, keadaan kamar remang-remang karena
tertutup asap.. ."
"Hhh...!"
Ki Tapaksi Mandragunta menghembuskan napas berat bernada putus asa. Pembicaraan
pun terhenti. Dan sekarang mereka memusatkan perhatian pada kuda-kuda tunggangan
mereka. "Hiya! Hiyaaa...!"
Ctar! Ctarrr!

Dewa Arak 57 Perguruan Kera Emas di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kini keempat ekor kuda itu berpacu cepat karena para penunggangnya, saling
menggebah. Debu pun mengepul ke udara. Gemuruh derap kaki kuda yang ditingkahi suara
teriakan-teriakan keras terdengar. Seakan-akan hendak memecah suasana pagi yang
cerah di jalanan selebar tiga tombak yang mereka lalui.
Sejauh itu keempat penunggang kuda itu tak saling mengeluarkan pembicaraan.
Mereka terus saja sibuk menggebah kuda masing-masing. Hingga tanpa disadari
perjalanan telah jauh dari tempat Perguruan Kera Emas.
"Kurasa.. , sudah tiba saatnya kita harus berpisah, Ki," ujar Dewa Arak.
Suaranya terdengar keras, untuk mengatasi riuh-rendah derap kaki-kaki kuda.
"Apa kau tak ingin mengetahui orang yang bermaksud membunuhmu, Arya"!" tanya Ki
Tapaksi Mandragunta, juga setengah berteriak.
"Biarlah, Ki!" jawab Dewa Arak sambil menggelengkan kapala. "Kebetulan aku
mempunyai urusan lain yang lebih penting."
"Kalau begitu kehendakmu, apa boleh buat, Arya" Terima kasih atas kesediaanmu
memenuhi permintaanku."
"Akulah yang seharusnya menyampaikan ucapan itu, Ki. Karena aku telah mengganggu
waktumu! Selamat tinggal, Ki! Mari, Melati!"
"Selamat jalan Arya!" sambut Ki Tapaksi Mandragunta seraya menganggukkan kepala.
Dan tanpa mengendurkan kecepatan lari kudanya, masing-masing pihak memilih jalan
sendiri-sendiri. Kebetulan mereka menemui persimpangan. Dewa Arak dan Melati
mengambil jalan ke kanan sedang Ki Tapaksi Mandragunta dan Handaka mengambil
jalan yang terus, lurus.
Dewa Arak dan Melati terus menggebah kuda mereka. Begitu pun Ki Tapaksi
Mandragunta dan putranya, sedikit pun tak mengurangi kecepatan lari kuda mereka.
Sehingga dalam waktu sebentar saja mereka telah terpisah dalam ratusan tombak.
"Kang...!"
Seraya terus menggeprakkan kuda, Dewa Arak menolehkan kepala melihat Melati,
"Ada apa, Melati?" tanyanya lembut.
"Sebenarnya hendak ke manakah kita sekarang?" tanya Melati, ingin tahu.
"Aku sendiri belum tahu, Melati," jawab Dewa Arak seraya mengangkat kedua
bahunya. "Lalu..., mengapa mesti terburu-buru"!"
"Terburu-buru"! Aku belum mengerti maksudmu, Melati?" Dewa Arak balas bertanya.
"Lho"! Kau tak merasakan kalau sikapmu jelas terburu-buru"! Kuda yang kau pacu
sedemikian cepat, apakah bukan berarti kalau kau tergesa-gesa"!" ada nada
kepenasaran dalam ucapan Melati.
Arya menggeleng-gelengkan kepala.
"Rupanya kau salah duga, Melati," jawab Dewa Arak dengan senyum lebar menghias
bibir. "Aku memacu kuda secepat-cepatnya karena ingin membuang kejengkelan yang
bersarang di hati.
Aku benar-benar kesal pada penjahat semalam."
"Kalau demikian.. , mengapa kau tolak tawaran Ki Tapaksi" Bukankah dia telah
menanyakan apa kau bermaksud mengadakan penyelidikan terhadap penjahat yang
bermaksud membunuhmu"!"
"Bukannya aku menolak, Melati. Aku hanya tak ingin, penyelidikan yang kulakukan,
diketahui orang lain. Bukankah lebih sedikit yang tahu akan rencana ini, akan
membuat keadaan semakin aman?" seraya berputar, Dewa Arak menjelaskan alasan
penolakannya. "Jadi. .."
Melati menghentikan ucapannya. Namun, Arya sudah bisa memperkirakan
kelanjutannya. Terbukti..., "Benar, Melati. Aku akan melakukan penyelidikan secara diam-diam."
"Mengapa demikian, Kang"!" tanya Melati heran, "Bukankah akan lebih baik kalau
Ki Tapaksi Mandragunta tahu" Maksudku..., jangan sampai nanti kalau tindakan
penyelidikanmu ketahuan, timbul perasaan tidak enak dengannya."
"Justru kalau Ki Tapaksi Mandragunta mengetahui hal penyelidikanku, aku jadi tak
dapat bertindak bebas, Melati. Masalahnya, aku mempunyai dugaan kuat kalau orang
yang hendak membunuhku bukan orang luar.. ."
"Maksudmu, Kang...."
"Yahhh...," sahut Arya dengan suara berdesah, "Pelakunya orang dalam Perguruan
Kera Emas sendiri."
"Ahhh...!" seru Melati, kaget, "Dari mana kau bisa mengambil kesimpulan seperti
itu, Kang"!"
Dewa Arak tak segera menjawab pertanyaan itu. Dialihkan perhatiannya untuk
memperlambat lari kudanya. Mau tidak mau, Melati pun melakukan tindakan yang
sama. Kini kedua pendekar muda itu melintasi jalanan berdebu kering. Kedua kuda
berjalan perlahan.
"Banyak, Melati," jawab Dewa Arak, dengan suara berdesah. "Misalnya..., mudahnya
dia mengetahui kamarku..., penutup wajah yang dikenakan, selain itu betapa mudah
dia datang dan pergi tanpa seorang pun murid Perguruan Kera Emas yang
mengetahuinya."
Melati mengangguk-anggukkan kepala. Tampaknya gadis itu mulai menyadari
kebenaran ucapan sang Kekasih.
"Hanya satu hal yang menjadi bahan pikiranku."
"Apa itu, Kang?" tanya Melati cepat, "Katakanlah! Barangkali saja aku dapat
memecahkannya."
Dewa Arak menatap sejenak wajah Melati.
"Orang itu memiliki tenaga dalam yang amat kuat, Melati. Padahal, aku telah
mengerahkan hampir semua tenagaku, tapi akibatnya tubuhku terlempar jauh!"
"Hehhh..."!" Melati tersentak hampir tak percaya. "Kapan hal itu terjadi, Kang"!
Kau yang belum menceritakannya atau aku yang kurang memperhatikannya"!"
"Aku yang belum menceritakannya, Melati," sahut Dewa Arak seraya menyunggingkan
senyum lebar. Dirinya merasa geli mendengar pertanyaan Melati. "Dan memang hal
itu kusengaja. Kau dengar sendiri, kan" Pada Ki Tapaksi Mandragunta pun aku menceritakan
seperti itu."
"Ya...," ujar Melati membenarkan. "Kau hanya bercerita tentang datangnya
penjahat yang berusaha membiusmu, namun kau sempat sadar sebelum pingsan. Lalu
kau lancarkan serangan yang membuatnya terpaksa kabur. Begitu kan"!"
Sambil menyunggingkan senyum lebar, Dewa Arak menganggukkan kepala.
"Maaf, Melati! Aku terpaksa berbohong. Tapi, itu kulakukan agar tak membuat Ki
Tapaksi Mandragunta bingung. Masalahnya aku sendiri ragu dia akan sekuat
penjahat itu. Padahal, aku yakin Ki Tapaksi Mandragunta merasa dirinya yang
memiliki kepandaian tertinggi di Perguruan Kera Emas," ujar Dewa Arak
menjelaskan. Wajah Melati berubah. Tarikan wajah dan sorot matanya menyiratkan keterkejutan.
"Aku tak pernah menyangka kalau penjahat itu memiliki kepandaian demikian
tinggi, Kang."
"Hhh...!"
Sambutan Dewa Arak hanya hembusan napas berat.
"Kang...!"
"Ya...," sambut Dewa Arak memberi kesempatan.
"Mungkinkah penjahat itu Ki Tapaksi Mandragunta"!" duga gadis berpakaian putih
itu. "Tidak, Melati. Bukan dia pelakunya," jawab Dewa Arak penuh keyakinan.
"Atau..., Handaka"! Masalahnya.. , siapa lagi yang mempunyai kemampuan setinggi
itu selain dari mereka berdua"!"
"Handaka pun bukan pelakunya," mantap dan penuh keyakinan kata-kata yang
dikeluarkan Dewa Arak.
"Mengapa kau demikian yakin kalau bukan mereka berdua pelakunya, Kang"! Bukankah
seperti ceritamu, kau tak sempat melihat perawakan penjahat itu. Apalagi
wajahnya," ada nada kepenasaran dalam ucapan gadis berpakaian putih itu.
"Aku sendiri tak tahu, Melati. Yang jelas, aku yakin betul kalau Handaka dan Ki
Tapaksi Mandragunta bukan pelakunya. Entah mengapa aku yakin sekali," jawab Dewa
Arak sambil mengangkat kedua bahu. Tapi, mendadak wajahnya berubah. "Aku ingat,
Melati. Ya! aku baru ingat sekarang, mengapa aku demikian yakin kalau Ki Tapaksi
Mandragunta dan Handaka bukan pelakunya."
"Apa yang membuatmu demikian yakin, Kakang"!" tanya Melati, ingin tahu.
"Suaranya, Melati. Aku ingat betul suaranya. Dan suara itu jelas tak sama dengan
suara Ki Tapaksi Mandragunta maupun Handaka."
"Rasanya alasan yang kau kemukakan kurang kuat, Kang. Bukan tidak mungkin toh,
kalau penjahat itu menyamarkan suaranya," Melati mengajukan dugaan.
"Tidak mungkin Melati. Aku yakin penjahat itu menggunakan suara aslinya. Aku
mempunyai alasan mengapa menduga demikian. Saat itu si penjahat mengira aku
telah tidak berdaya, dan tengah menunggu ajal, untuk apa lagi dia menyamarkan
suara"!"
Melati harus mengakui kebenaran alasan yang dikemukakan Dewa Arak. Maka untuk
yang kesekian kali, kepalanya dianggukkan.
"Kenapa kau tidak mengatakannya pada Ki Tapaksi Mandragunta" Aku yakin, kalau
kau mengemukakan kecurigaanmu, dia akan membantu hingga penjahat itu tertangkap.
Aku yakin dengan kedudukannya sebagai Ketua Perguruan Kera Emas, tanpa menemui
kesulitan akan berhasil mengumpulkan semua muridnya. Dan saat itu kau bisa
mencocokkannya dengan suara yang telah pernah kau dengar."
"Usulmu memang bagus, Melati. Dan aku yakin, dengan cara seperti itu si penjahat
berhasil ditangkap," sambut Dewa Arak.
"Kalau begitu..., mengapa kau tolak uluran tangan Ki Tapaksi Mandragunta"!"
desak Melati. "Karena aku ingin semua masalah ini tuntas!" tandas Dewa Arak seraya manatap
wajah Melati, "Kau tahu, Melati" Penjahat itu tak bermaksud membunuhku.
Sebenarnya dia mengincar sasaran lain. Aku dengar sendiri, dia mengatakan
seperti itu di saat hendak melancarkan serangan mematikan terhadapku."
Melati mengernyitkan dahi.
"Apakah ini pun tidak kau ceritakan"!"
"Benar, Melati," jawab Dewa Arak seraya mengangguk. "Tapi jangan khawatir! Aku
akan memberitahukannya padamu sekarang."
Kemudian, Dewa Arak mernberitahukan ucapan yang dikeluarkan penjahat itu sebelum
mengirimkan serangan maut ke arahnya.
"Kau benar, Kang! Kalau penjahat itu mengatakan demikian, berarti bukan kau yang
menjadi sasaran, melainkan tua-tua bangka! Siapakah yang dimaksudkannya"
Barangkali Ki Tapaksi Mandragunta, Kang," tukas Melati.
Dewa Arak kontan terperanjat.
"Bukan tidak mungkin dugaanmu benar, Melati. Tapi..., kalau menilik ucapannya,
penjahat itu mengincar banyak orang tua. Tapi siapa saja" Di Perguruan Kera
Emas, aku yakin hanya ada satu orang tua. Dan orang itu pasti Ki Tapaksi
Mandragunta. Lalu siapa yang lainnya"!"
Melati terdiam. Sepasang alisnya yang berbentuk indah berkerut. Tampaknya gadis
berpakaian putih itu tengah berpikir keras.
"Apakah ini ada hubungannya dengan kejadian yang menimpa rombongan pengawal
barang kiriman kemarin, Kang?"
"Ah... iya!" Dewa Arak terpekik kaget, "Mengapa aku bisa melupakannya"! Ya...!
Pasti ada hubungannya! Aku pun yakin kalau penjahat itu hendak membunuhku karena
khawatir aku campur tangan di dalam urusan ini."
Dewa Arak menghentikan ucapannya sejenak untuk mengambil napas. Sekarang
sikapnya terlihat demikian sungguh-sungguh.
"Ini berarti keadaan Ki Tapaksi Mandragunta dan Handaka dalam bahaya! Aku yakin,
penjahat itu punya hubungan dengan orang luar!"
"Kalau begitu...."
"Kita harus menyusul Ki Tapaksi Mandragunta dan Handaka, Melati!" tandas Dewa
Arak cepat Seraya berseru demikian, Dewa Arak memutar balik kudanya. Kemudian dipacunya
kuda hitam itu secepat mungkin untuk menyusul Ki Tapaksi Mandragunta.
"Hiya! Hiyaaa...!"
6 "Ayah...!"
Sapaan Handaka membuat Ki Tapaksi Mandragunta menolehkan kepala. Namun kecepatan
kudanya tak diperlambat.
"Hm...!" hanya gumaman pelan yang diberikan sebagai tanggapan.
"Mengapa kau merasa ragu kalau pelaku pembunuhan terhadap para pengawal kemarin
adalah orang-orang Perguruan Camar Sakti"! Bukankah antara perguruan kita dengan
perguruan itu ada permusuhan"!" lanjut Handaka karena sapaannya mendapat
tanggapan dari ayahnya.
"Siapa yang mengatakan kalau antara perguruan kita dengan Perguruan Camar Sakti
ada permusuhan"!" Ki Tapaksi Mandragunta malah balas bertanya.
"Hehhh..."!" Handaka terperanjat, "Bukankah kau tak senang kalau ada murid-murid
Perguruan Kera Emas yang membicarakan Perguruan Camar Sakti"! Sepertinya,
membicarakan Perguruan Camar Sakti merupakan perbuatan terlarang!"
"Itu memang benar! Tapi tidak berarti antara Perguruan Kera Emas dan Perguruan
Camar Sakti ada permusuhan!" bantah Ki Tapaksi Mandragunta.
Handaka terdiam sejenak. Menilik kernyitan dahinya, jelas pemuda itu merasa
bingung. "Sebenarnya..., apakah persoalan yang membuat perguruan kita dengan Perguruan
Camar Sakti, seperti saling bermusuhan, Ayah"! Masalahnya, kulihat sifat murid-
murid Perguruan Camar Sakti pun demikian!"
"Hhh...!"
Ki Tapaksi Mandragunta menghela napas berat. Seakan-akan untuk menjawab
pertanyaan itu merupakan beban berat baginya.
"Aku yakin antara kau dan Ketua Perguruan Camar Sakti ada urusan pribadi yang
tak pernah selesai! Dan aku yakin, Ki Liwung Perkasa bukan orang jahat!" tukas
Handaka setelah melihat sang Ayah hanya diam, tanpa jawaban.
"Hehhh..."! Mengapa kau berpendapat demikian, Handaka"!" tanya Ki Tapaksi
Mandragunta dengan suara keras. Ada perasaan heran di hati lelaki tua itu.
"Mudah saja, Ayah!" kalem jawaban Handaka, "Terbukti, Ayah tidak percaya kalau
pelaku pembunuhan itu orang-orang Perguruan Camar Sakti! Padahal, bukti-bukti
telah menunjukkan mereka sebagai pelakunya! Jelaskanlah Ayah, agar aku menjadi
jelas terhadap persoalan yang tengah terjadi!"
Kembali Ki Tapaksi Mandragunta menolehkan kepala. Kemudian menatap wajah
putranya lekat-lekat. Memang, semula pandangannya telah dialihkan ke depan.
"Dugaanmu memang benar, Handaka. Antara aku dan Ki Liwung Perkasa ada
persoalan,"
ujar Ki Tapaksi Mandragunta bemada keluh, "Dan awalnya adalah kejadian puluhan
tahun lalu."
Ki Tapaksi Mandragunta menghentikan ucap annya. Matanya menatap langit biru.
Seakan-akan kejadian puluhan tahun lalu tergambar di sana.
"Aku dan Ki Liwung Perkasa sebenarnya saudara seperguruan. Dia kakak
seperguruanku. Maaf, Handaka. Aku tidak bisa memberitahukan siapa guru kami. Beliau tak
berkenan kalau namanya diperkenalkan pada orang. Ada sebuah kejadian yang telah
membuatnya terpukul."
"Tidak mengapa, Ayah. Aku bisa mengerti," jawab Handaka mencoba bersikap
bijaksana. Ki Tapaksi Mandragunta tersenyum lebar, penuh rasa bangga mendengar pernyataan
anaknya yang bersikap dewasa.
"Ketika kami tamat belajar, guru memerintahkan kami bertarung, untuk mengetahui
siapa di antara kami yang berhak mendapatkan senjata pusaka guru! Sebuah pedang
berkepala burung hitam," lanjut Ketua Perguruan Kera Emas itu. "Kami pun
bertarung. Baik aku maupun Ki Liwung Perkasa sama-sama mengerahkan seluruh
kemampuan yang dimiliki, agar dapat memenangkan pertarungan dan mendapatkan
pedang itu."
Sampai di sini Ki Tapaksi Mandragunta menghentikan cerita. Wajahnya terlihat
muram. Hal itu membuat Handaka mempunyai dugaan yang tidak-tidak.
"Jadi kau kalah, Ayah"!" tanya Handaka tak sabar.
"Tidak," Ki Tapaksi Mandragunta menggelengkan kepala. "Pertarungan berlangsung
seimbang. Tak ada yang menang atau pun kalah. Selayaknya tak ada seorang pun
yang berhak, mendapatkan pedang itu. Tapi, Ki Liwung Perkasa dengan cerdiknya
berhasil mendapatkan pedang itu. Dia mengajukan alasan yang masuk akal pada
guru." "Apa alasannya, Ayah"!" tanya Handaka penasaran.
"Meskipun tak mampu memenangkan pertarungan, karena dia merupakan kakak
seperguruan, sudah sepatutnya kalau pedang itu jatuh ke tangannya. Begitu
katanya," ujar Ki Tapaksi Mandragunta, tanpa dapat menyembunyikan perasaan yang
mengganjal di dalam hatinya.
"Hhh...!" Handaka menghela napas berat. Sama sekali tak disangka kalau yang
menjadi penyebab keributan hanya sebuah persoalan sepele!
"Mungkin kau menganggapnya sebagai sebuah hal yang remeh! Tapi bagi kami, hal
itu merupakan harga diri. Sejak saat itulah antara aku dengan Ki Liwung Perkasa


Dewa Arak 57 Perguruan Kera Emas di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terjadi perang dingin!" jelas Ki Tapaksi Mandragunta seraya menutup ceritanya.
Handaka diam, tidak berkata-kata lagi. Bahkan perhatian pemuda itu seperti
dialihkan pada kudanya. Hal yang sama pun dilakukan Ki Tapaksi Mandragunta. Kini
yang terdengar hanyalah bunyi kaki kuda.
Mendadak.. . Brrrlll! "Haaah.. !"
Handaka dan Ki Tapaksi Mandragunta tersentak kaget. Keduanya mendongakkan kepala
dengan mata terbelalak, ketika tiba-tiba terdengar suara aneh dari atas.
Ternyata suara itu berasal dari sebuah jala lebar terkembang hendak mengurung
mereka. Wrettt! "Hiaaa.. !"
Meskipun serangan rahasia itu datang secara mendadak, ayah dan anak itu dengan
sigap segera melompat. Keduanya tak ingin terperangkap jaring yang terbuat dari
tali besar dan kuat itu.
Brrrlll! Brettt! Gerakan cepat yang dilakukan Ki Tapaksi Mandragunta dan anaknya, tak sia-sia.
Keduanya berhasil melompat jauh dari kuda mereka, hingga terhindar dari
renggutan jala besar itu.
Namun malang bagi kuda tunggangan mereka. Jaring yang telah terkembang lebar itu
mengurung kedua binatang yang tak tahu menghindarkan diri dari bahaya yang
mengancam. "Hieeeh...!"
"Hieeeh...!"
Kedua kuda hitam itu tampak meronta-ronta ketakutan.
*** Sementara itu, Ki Tapaksi Mandragunta dan Handaka yang masih melayang di udara
kembali tersentak kaget. Mata mereka terbelalak ketika melihat ada beberapa
benda panjang melesat memburu ke atas.
Sing! Sing! Sing!
Diiringi suara berdesing nyaring yang memekakkan tclinga, beberapa benda yang
ternyata tombak itu meluncur cepat memburu tubuh Handaka dan ayahnya. Keduanya
kian merasa kaget ketika mengetahui serangan itu datang dari berbagai arah.
Karuan saja Ki Tapaksi Mandragunta dan Handaka semakin kebingungan.
Namun, ayah dan anak dari Perguruan Kera Emas ini mampu mempertunjukkan
kelihaian. Di saat yang tak memungkinkan untuk mengelak, tangan mereka cepat bergerak ke
pinggang! Dan.... Srat! Srat! Srat!
Mendadak.. . Brrrlll! "Haaah.. "!" Handaka dan Ki Tapaksi Mandragunta tersentak kaget Keduanya
mendongakkan kepala dengan mata terbelalak, ketika tiba-tiba terdengar suara
aneh dari atas.
Ternyata, suara itu berasal dari sebuah jala lebar terkembang yang hendak
mengurung mereka!
Dengan cepat Handaka dan Ki Tapaksi Mandragunta mencabut golok. Kemudian segera
diputar-putarkan ke sekeliling tubuh. Sebuah kecepatan gerak yang luar biasa.
Kedua ayah dan anak ini tampaknya memiliki kemampuan yang sama dalam memainkan
golok. Putaran golok yang begitu cepat itu mampu membungkus rapat tubuh mereka.
Tak ada celah sedikit pun. Jangankan tombak atau pedang! Hujan pun tampaknya tak
mampu memba-sahi tubuh keduanya. Sehingga..., Wuttt! Wuttt!
Trang! Trang! Trang!
Tombak-tombak yang meluncur ke tubuh mereka langsung terpapas. Dentangan keras
pun terdengar, disertai percikan bunga api dari benturan golok dan tombak-tombak
itu. "Hah...!"
"Gila...!"
Seketika terdengar desahan keheranan bercampur kagum dari balik semak-semak dan
pepohonan di kanan kiri jalan, tempat kejadian itu. Tombak-tombak yang tadi
meluncur cepat memburu sasaran di udara, kini berpentalan jatuh ke tanah. Bahkan
beberapa di antaranya ada yang patah menjadi dua.
"Hiaaa.. !"
Jliggg! Jliggg!
Laksana daun kering jatuh di tanah, Ki Tapaksi Mandragunta dan Handaka
mendaratkan kedua kaki di tanah. Keduanya langsung memasang sikap waspada penuh.
Bahkan golok yang tergenggam pun, telah disilangkan di depan dada. Siap-siap
menghadapi serangan lanjutan yang mungkin bakal datang.
"Berdiri saling membelakangi, Handaka," pe-rintah Ki Tapaksi Mandragunta kepada
putranya yang berdiri di samping kanan.
Tanpa banyak membantah, Handaka segera melaksanakan perintah ayahnya. Disadari
kalau perintah itu mengandung kebenaran bagi perlawanan yang akan dilakukan.
Cara yang dikatakan Ketua Perguruan Kera Emas itu memang paling cocok jika
dipergunakan untuk menghadapi banyak lawan.
Ki Tapaksi Mandragunta dan Handaka langsung mengedarkan pandangan ke bagian
depan mereka, tempat hamparan pepohonan dan semak-semak lebat.
"Keluar kalian, Pengecut!" seru Ki Tapaksi Mandragunta, keras penuh kemarahan.
Bahkan lelaki tua itu tanpa ragu-ragu telah mengerahkan tenaga dalam pada
teriakannya. Sehingga teriakan itu terdengar jelas sampai ke tempat yang jauh.
Namun tak terdengar tanggapan apa pun dari balik semak-semak dan pepohonan yang
ada di situ. Karuan saja hal itu membuat Ki Tapaksi Mandragunta dan Handaka
penasaran bukan kepalang.
"Kuberi kesempatan sampai tiga hitungan. Apabila tak juga menampakkan diri,
jangan salahkan bila tempat ini kubakar!" ancam Ki Tapaksi Mandragunta.
"Satu...!"
Ki Tapaksi Mandragunta mulai menghitung.
"Dua...! Ti...!"
Di saat hitungan ketiga hampir selesai, terdengar bunyi siulan nyaring. Pendek
dan hanya sekali. Sesaat kemudian terdengar bunyi berkerosakan.
Sekujur urat-urat saraf Ki Tapaksi Mandragunta dan Handaka semakin menegang,
bersiap untuk menghadapi segala kemungkinan. Keduanya tahu, penyerang-penyerang
gelap mereka sebentar lagi akan tiba dengan serangan mereka.
Dugaan dua tokoh penting Perguruan Kera Emas ini sama sekali tak salah. Sesaat
kemudian, bermunculan sosok-sosok berpakaian hitam dari balik pepohonan dan
semak-semak. Setelah keluar dari tempat persembunyian sosok-sosok berpakaian hitam itu
langsung menyebar. Hanya dalam sekejap Ki Tapaksi Mandragunta dan Handaka telah
terkepung rapat. Tak ada jalan keluar untuk meloloskan diri.
Terdengar bunyi bergemeletuk dari mulut Ki Tapaksi Mandragunta dan putranya
ketika tahu kalau keduanya tak bisa mengenali para pengeroyok. Wajah gerombolan
itu berselubung sehelai kain hitam yang menutup mulai dari bawah mata sampai ke
leher. Anehnya, bagai telah disepakati sebelumnya. Handaka dan Ki Tapaksi Mandragunta
langsung mengarahkan pandangan pada pedang yang tergenggam di tangan para
pengepung mereka. Dan seketika itu pula kedua ayah dan anak itu tersentak kaget.
Mata mereka terbelalak lebar ketika mengetahui pedang lawan mempunyai gagang
yang berukir kepala burung hitam.
Namun, baik Handaka maupun ayahnya sama-sama berpikir bahwa mereka tak bisa
hanya berdiam diri dan menunggu. Para pengeroyok bergerak terus mengepung dan
semakin dekat. Wajah mereka meskipun tertutup kain hitam, dapat dilihat jelas
dari mata yang berkilat. Mereka tampaknya sudah tak sabar untuk merencah tubuh
lawan. "Haaat. .!"
"Hiyaaat..!"
Teriakan keras terdengar susul-menyusul, ketika gerombolan sosok berpakaian
hitam itu saling melompat dan menerjang Ki Tapaksi Mandragunta dan Handaka.
Rupanya, mereka tahu kesaktian lawan. Sehingga serangan itu dilakukan secara
serempak! Seketika itu pula kilatan-kilatan menyilaukan mata dari pedang mereka, seperti
saling berebut untuk menyambar tubuh lawan.
Namun, Ki Tapaksi Mandragunta dan Handaka sama sekali tidak gugup. Keduanya
tetap bersikap tenang. Ditunggunya hingga serangan itu menyambar dekat.
Wuttt! Wuttt! Trang! Trang! Trang!
Bunyi berdentang nyaring terdengar, ketika pedang-pedang itu berbenturan dengan
golok di tangan Ki Tapaksi Mandragunta dan Handaka. Semuanya tertangkis, tak
satu pun yang lolos!
Ternyata tangkisan yang dilakukan kedua ayah dan anak itu mampu membuat tubuh
lawan-lawan mereka terhuyung sambil memegangi tangan. Mulut mereka meringis-
ringis dengan mata terbelalak. Bahkan beberapa di antara mereka tak mampu lagi
menggenggam pedangnya. Hal itu semua menandakan bahwa gerakan menangkis itu
dikerahkan dengan tenaga dalam yang kuat.
Para Ksatria Penjaga Majapahit 20 Pendekar Bayangan Sukma 6 Kakek Sakti Dari Gunung Muria Pendekar Panji Sakti 21
^